vol vi no. 38 | edisi april - juni 2014

60
1 VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Upload: hoangthu

Post on 01-Jan-2017

231 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

1VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 2: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat akan diberikan honor sesuai

Standar Biaya Umum (SBU). Isi majalah tidak mencerminkan kebijakan Inspektorat Jenderal

Pelindung: Inspektur Jenderal, Penasihat: Sekretaris Inspektur Jenderal, Inspektur I, Inspektur II, Inspektur III, Inspektur IV, Inspektur V, Inspektur VI, Inspektur VII, Inspektur Bidang Investigasi,

Penanggung jawab :Alexander Zulkarnaen, C.M. Susetya, Redaktur :M. Hisyam Haikal, Penyunting : Dedhi Suharto, Budi Prayitno, Tito Juwono Pradekso, M.C. Kinanti Raras Ayu, Desain Grafis/ Fotografer :Putra Kusumo Bekti, Nyoman Andri Juniawan, Sekretariat :Suryani, Istianah, Galih Teguh Gumilang, Ridzky Aditya Saputra, Ari Hapsari, Talitha Sya'banah Fajrin Sudana, Johan Ridzky Aditya, Delima Frida P.,Agus Rismanto, Dianita Wahyuningtyas, Rahmawati Setyaningsih, Mujaini, Taufik Danar P, Nur Imroatun Sholihat, Hermulia Hadie P., Pius Apriano G., Retno Wulan S., Irsyad Qomar

ISSN : 1411 - 9455Alamat: Jl. Dr. Wahidin No. 1, Gedung Juanda II Lantai IV - XIII,

Telp. (021) 3865430 fax. (021) 3440907 Kode Pos : 10710e-mail : [email protected]

Contens

Auditorial 3

Auditama 4

Ragam Pengawasan 25

Iklan 35

Auditoase 40

potography 42

Iklan 46

Karikatur 47

Pojok Psikologi 48

Hobby 51

Sudut Kantor 53

Berita Keluarga 56

Gadget 57

Resensi Buku 58

4

1620

8

2528

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 20142

32

Page 3: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditorial

Menyaksikan sepak terjang para pemburu berita itu mengasyikkan. Paling tidak begitu yang kita lihat. Tetapi sesungguhnya memburu berita jauh lebih mengasyikkan, di samping -tentu saja- mendebarkan. Paling tidak, itu yang dirasakan para awak auditoria saat harus terjun dalam hiruk pikuk Konferensi

AAIPI yang baru saja berlalu.

Meliput kawan-kawan OC dan SC menyiapkan konferensi sejak jauh-jauh hari, berjibaku hingga tengah malam pada H-1 hingga keesokan harinya mempersiapkan konferensi, auditoria larut dalam situasi yang turun naik. Santai, tegang, deg-degan, panik, hingga senyum kembali. Rasa bangga menyeruak saat menyaksikan betapa seriusnya mereka mempersiapkan konferensi yang “hanya satu hari”, namun mempertaruhkan maruah alias harga diri institusi. Dua jempol rasanya belum cukup buat mereka yang tak kenal lelah bekerja sesuai tugas masing-masing. Maka mewawancarai mereka bagaikan mewawancarai kebanggaan institusi. Dengan segala hiruk pikuk di dalamnya, mewawancarai mereka sungguh mengasyikkan.

Konferensi AAIPI tak hanya melibatkan “Orang Jakarta”, mereka yang sudah terbiasa dengan kemudahan, standarisasi, dan “sedikit” kendala. Konferensi ini melibatkan peserta dari seluruh penjuru Nusantara. APIP dari pelosok negeri dengan permasalahan dan kendala yang tak terbayangkan “Orang Jakarta”. Maka mewawancarai mereka sungguh luar biasa. Membuka mata kita, betapa tidak mudahnya melakukan standardisasi pengawasan. Mulai dari permasalahan SDM, baik kompetensi, jumlah auditor, maupun pola rekrutmennya, hingga masalah kurangnya dana dan isu independensi APIP. Mereka bagaikan “curhat” kepada auditoria. Tapi itu sungguh membuat auditoria tercerahkan. Bahwa kondisi dan situasi yang dihadapi APIP tidaklah sama.

Dan itulah yang kami coba share dengan para pembaca, dengan menurunkan Laporan Utama tentang Konferensi AAIPI. Dengan harapan jejak-jejak konferensi AAIPI yang begitu fenomenal tidak terdokumentasi dalam memeori kita, tidak hilang begitu saja. Karena begitu banyak PR yang ditinggalkan konferensi itu. Meningkatkan gengsi AAIPI sebagai salah satu asosiasi profesi terkemuka di tanah air tentu membutuhkan usaha tak kenal lelah dari kita semua. Menjadi anggota AAIPI dan aktif di dalamnya adalah salah satu caranya. Begitu banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan menjadi anggota AAIPI. Menyatu bersama saudara seprofesi tentu menyenangkan bukan?

Auditoria selalu berusaha menampilkan diri sebagai “media jurnalistik plat merah” dengan tidak melupakan sisi entertainment. Begitu banyak rubrik di majalah ini yang sayang untuk dilewatkan. Karikatur setia menghibur, Psikologi siap berbagi, Resensi semakin berisi, Sudut Kantor menggugah kita agar tak “cuek” dengan sisi-sisi kantor yang jarang kita perhatikan, Berita Keluarga bikin kita benar-berasa satu keluarag, auditoase selalu berusaha hadir, begitupula Gadget.

Tentu saja karya anda para pembaca selalu dinantikan. Menulislah kawan, seperti Pramoedya Ananta Toer bilang, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Jleb.... menulis adalah bekerja untuk keabadian..... salamcwl)

Share dengan para Pembaca

3VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 4: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

AAIPI, Rumah Besar Auditor Intern Pemerintah

30 November 2012 adalah sebatang tonggak sejarah. Sejarah dalam dunia pengawasan negeri ini. Betapa tidak, pada hari itu resmi berdiri sebuah asosiasi yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Para auditor intern pemerintah sudah berkiprah selama puluhan tahun, mengabdikan diri pada negara dengan melakukan pengawasan, tanpa interaksi dan komunikasi yang memadai di antara sesama unit pengawasan. Tanpa standar yang baku pula, masing-masing melakukan pengawasan. Maka kelahiran AAIPI sangat patut disyukuri oleh bukan saja para auditor intern pemerintah, tetapi juga seluruh pihak yang merasa berkepentingan dengan Pengawasan, Good Governance dan Reformasi Birokrasi. Ia menaungi seluruh Aparat Pengawas Intern

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 20144

Page 5: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

jangan ditanya. AAIPI sudah bergerak jauh dan cepat dari yang kita kira.

Setelah Struktur Organisasi terbentuk, Dewan Pengurus Nasional AAIPI dikukuhkan oleh Wakil Presiden RI pada 19 Desember 2012.

Kepengurusan AAIPI terdiri dari Pengurus AAIPI disebut Dewan Pengurus Nasional yang dipilih dan disahkan melalui kongres, Pengurus Komite AAIPI disebut Pengurus Komite yang dipilih dan disahkan melalui rapat anggota komite yang bersangkutan dan dikukuhkan oleh Dewan Pengurus Nasional. Di samping itu terdapat Pengurus Pelaksana Harian disebut Direktur Eksekutif berasal dari Instansi Pembina Jabatan Fungsional Auditor dikukuhkan oleh Dewan Pengurus Nasional.

Di beberapa daerah, mulai dibentuk AAIPI wilayah, seperti Papua Barat dengan Surat Keputusan Nomor: Kep-03/AAIPI/DPN/W/2013 tanggal 31 Desember 2013 tentang Pengesahan Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) Wilayah Papua Barat; Sulawesi Utara dengan Surat Keputusan Nomor: Kep-04/AAIPI/DPN/W/2014. tanggal 21 Maret 2014 tentang Pengesahan Asosiasi Auditor Intern

Pemerintah (APIP) yang ada di lingkup negara Republik Indonesia.

APIP sendiri merupakan instansi pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah yang terdiri dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/Inspektorat/Unit Pengawasan Intern pada Kementerian/Kementerian Negara, Inspektorat Utama/Inspektorat Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Inspektorat/Unit Pengawasan Intern pada Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Negara, Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota dan Unit pengawasan Intern pada badan hukum pemerintah lainnya sesuai dengan peraturan perundang undangan.

Berdirinya AAIPI sekaligus juga meleburkan Forum Bersama (Forbes) APIP Pusat dan Daerah serta organisasi APIP dengan nama lain. Bila dihitung sejak kelahirannya, tentu saja AAIPI (Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia) masih sangat muda. Baru menginjak tahun kedua. Tetapi soal kiprah

5VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 6: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Pemerintah Indonesia (AAIPI) Wilayah Sulawesi Utara; Sumatera Selatan dengan Surat Keputusan Nomor: Kep- 07/AAIPI/DPN/W/2014 tanggal 9 Mei 2014 tentang Pengukuhan Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) Wilayah Sumatera Selatan; dan satu lagi wilayah yang masih dalam proses pengesahan, Kalimantan Selatan.

Di tingkat pusat, sejak tanggal 24 April 2014 posisi Ketua Umum dijabat oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan V. Sonny Loho, Ak., M.P.M. menggantikan Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc. yang selanjutnya diangkat sebagai Anggota Kehormatan AAIPI. Sungguh kepercayaan yang sangat besar dari seluruh jajaran AAIPI terhadap kiprah Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.

Struktur kepengurusan AAIPI selengkapnya terdiri dari Dewan Pembina, Ketua Umum, Anggota Eksekutif Tetap, Anggota Eksekutif Tidak Tetap, Direktur Eksekutif dibantu seorang Wakil Direktur Eksekutif, Komite Kode Etik, Komite Standar Audit, Komite Telaah Sejawat dan Komite Pengembangan Profesi.

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 20146

Page 7: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Komite Standar Audit terdiri dari 19 (sembilanbelas) orang dan diketuai oleh Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Politik, Sosial dan Keamanan Dr. Binsar Simanjuntak.

Komite Telaah Sejawat terdiri dari 18 (delapanbelas) orang dan diketuai oleh Inspektur Jenderal Kemenkeu V. Sonny Loho.

Komite Pengembangan Profesi terdiri dari 15 (limabelas) orang dan diketuai oleh Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Andha Fauzie Miraza.

Bila dikembalikan kepada pengertian bahwa AAIPI adalah organisasi profesi pengawasan intern di lingkungan pemerintah yang beranggotakan individu perorangan (Auditor termasuk P2UPD) dan unit kerja Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang telah memenuhi persyaratan keanggotaan yang diatur lebih lanjut di dalam Anggaran Rumah Tangga, maka keanggota AAIPI bersifat perorangan dan sekaligus unit kerja. Unit kerja APIP secara otomatis menjadi anggota AAIPI, sedangkan anggota perorangan harus melakukan pendaftaran untuk menjadi anggota.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa para auditor intern pemerintah perlu menjadi menjadi anggota AAIPI? Sebenarnya, menjadi anggota asosiasi profesi di dunia internasional sudah merupakan hal yang jamak. Banyak sekali manfaat yang diperoleh anggota asosiasi dengan interaksi intensif sesama profesi dalam satu wadah profesional. Begitu juga dengan AAIPI. Dengan menjadi anggota AAIPI, seorang auditor dapat meningkatkan profesionalismenya melalui peran aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi. Selain itu anggota AAIPI juga bisa turut berkontribusi dalam pemberian masukan kegiatan Pembina Jabatan Fungsional Auditor dalam pengembangan profesi auditor anggota AAIPI. Dan jangan lupa, dengan menjadi anggota AAIPI, para auditor akan terlibat dalam penyeragaman persepsi terkait profesi auditor di bidang pegawasan intern pemerintah.

Maka, tidak ada alasan lagi buat kita untuk tidak bergabung bersama AAIPI, rumah besar para auditor intern pemerintah, menuju profesionalisme auditor. Caranya tidaklah sulit, kunjungi www.aaipi.co.nr. Selamat datang era baru auditor intern pemerintah. (cwl)

Dewan Pembina beranggotakan 5 (lima) orang yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan: Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., Mec, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Kepala Badan Kepagawaian Negara: Drs. Eko Sutrisno, M.Si.

Anggota Eksekutif Tidak Tetap terdiri dari 10 (sepuluh) orang pucuk pimpinan unit APIP yaitu Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Inspektur Jenderal Kementerian Kelauatan dan Perikanan, Inspektur Jenderal Kementerian Luar Negeri, Jaksa Agung Muda Pengawasan, Inspektur Utama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Inspektur Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Inspektur Provinsi Sumatera Selatan, Inspektur Kabupaten Jombang dan Inspektur Kota Bukittinggi.

Direktur Eksekutif dijabat oleh Kepala Pusat Pembinaan JFA BPKP Sidik Wiyoto, S.H., M.H., sedangkan wakilnya Kepala Pusat Pembinaan JF dan Standarisasi Diklat Kementerian Dalam Negeri Drs. Laode M.S., M.Si.

Komite Kode Etik terdiri dari 15 (limabelas) orang dan diketuai oleh Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Haryono Umar.

7VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 8: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Tanggal 12 Juni 2014, hari masih pagi ketika Gedung Dhanapala mulai dipenuhi para peserta. Mereka datang dari berbagai penjuru Nusantara, mewakili APIP masing-

masing. Wajah-wajah mereka nampak bersemangat untuk meningkatkan kinerja APIP dalam wadah AAIPI. Acara hari itu memang sangat padat. Betapa tidak, dalam sehari para peserta disuguhi dengan berbagai agenda yang sangat penting, sungguh sayang untuk dilewatkan. Apalagi tema konferensi kali ini, yaitu “Penerapan Paradigma Baru Pengawasan untuk Memenuhi Ekspektasi Pemangku Kepentingan dan Mengantisipasi Implikasi Hukum atas Kebijakan Publik” sangat relevan buat para peserta. Diskusi yang berlangsung dari pagi hingga menjelang sore terasa hangat karena materi diskusi yang sangat relevan dengan yang dihadapi pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan publik.

Konferensi AAIPI Satu Hari, Seribu ArtiMateri diskusi pertama disajikan oleh

Mas Acmad Dhaniri, Anggota Komite Etik Level Governance, Otoritas Jasa Keuangan dengan topik “Aspek Governance dalam Pengambilan Kebijakan Publik”. Tokoh yang juga merupakan mantan pegawai Departeman Keuangan ini memang bergiat dalam Good Corporate Governance, sehingga sangat relevan dengan tema konferensi kali ini. Beliau mengemukakan satu pertanyaan yang paling relevan dan sangat penting dewasa ini yaitu, apakah kebijakan publik bisa dipidana?

Banyak pakar hukum mengatakan bahwa pengawasan atas kebijakan dalam suatu tindakan pemerintahan tidak dapat diserahkan kepada hakim, tetapi melekat pada jajaran eksekutif itu sendiri. Hakim tidak boleh menilai kebijakan karena dengan menilai kebijakan pemerintah maka

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 20148

auditama

Page 9: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

hakim seolah-olah duduk sebagai eksekutif. Ketika pejabat menetapkan kebijakan teknis sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka yang bersangkutan statusnya sedang melaksanakan kebijakan Aparatur Negara yang merupakan lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN).

Dalam lingkup HAN tidak dikenal adanya sanksi pidana. Yang ada hanya teguran lisan dan tertulis, penurunan pangkat, pembebastugasan, hingga pemberhentian secara tidak hormat. Manakala terjadi sengketa dalam wilayah HAN, maka semua aspek kewenangan, penyelesaian sengketa, proses pengajuan gugatan, pembuktian dan putusan berada pada Peradilan Tata Usaha Negara.

Langkah yang bisa dilakukan oleh pejabat negara untuk antisipasi kedepannya adalah

Konferensi AAIPI Satu Hari, Seribu Artipenguatan transparansi dan akuntabilitas publik berdasarkan prinsip-prinsip GPG dalam proses pembuatan kebijakan publik. Akuntabilitas harus bisa diukur dan dapat dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan semua kinerja pemerintahan. Selain itu secara berkala dilakukan evaluasi atas kinerja administrasi, proses pelaksanaan, dampak dan manfaat yang diperoleh masyarakat, baik secara langsung maupun manfaat jangka panjang.

Kompleksitas kebijakan publik di satu sisi menuntut pejabat berperan sebagai public entrepreneur. Namun tindakannya bisa mengandung risiko sampai pada aset pribadi bahkan bisa saja berujung pada kriminalisasi tindak pidana korupsi. Untuk menghindari risiko ini, adalah bijak jika pejabat dimaksud melaksanakan kebijakan publik

9VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Page 10: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

dengan berlandaskan prinsip-prinsip GPG (Good Publik Governance).

Pada akhirnya, pembicara menyimpulkan bahwa Kompleksitas kebijakan publik menuntut pejabat berperan sebagai public entrepreneur, namun jika tidak sesuai dengan prinsip GPG dapat berisiko kriminalisasi. Dalam mempraktikkan public entrepreneurship, pengambilan kebijakan publik harus selalu dalam koridor HAN (hard law) dan Pedoman GPG (soft law). Kebijakan publik tidak dapat dikriminalisasi, selama proses pengambilan kebijakan dijalankan dalam koridor GPG (hard law & soft law). RUU Administrasi Pemerintahan (HAN) hendaknya segera disahkan sebagai payung hukum bagi pejabat dalam mengambil kebijakan publik.

Materi diskusi kedua yang disajikan oleh Bapak Asep Nana Mulyana, SH., M.Hum. dengan topik “Tindak Pidana Khusus terkait Pelaksanaan Kebijakan Publik” tidak kalah menariknya. Dalam paparannya, beliau menjelaskan bahwa pada prinsipnya, kebijakan dalam administrasi negara merupakan kebebasan kebijakan dalam publik yang mengandung hak dan kewajiban publik. Oleh sebab itu terdapat dua kebebasan yaitu, kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian. Kebijakan publik

tidak dapat dipidana, meskipun kebijakan juga publik tidak mendapat hak imunitas. Walaupun tidak bisa di pidana, kebijakan publik seharusnya dirumuskan untuk mengurangi risiko maupun kerugiannya.

Beliau menambahkan bahwa kebijakan publik itu dapat disebut tindak pidana jika dilihat dari substasinya. Dalam “Donut Theory”, dijelaskan bahwa kebijakan itu bagaikan bagian tengah donat. Artinya bahwa di sisi-sisi kebijakan ada aturan-aturan yang membatasinya seperti pinggiran donat. Undang-undang tidak mungkin merumuskan sampai se-detail itu perbuatan-perbuatan dari administrator negara. Penyimpangan dalam kebijakan publik atau pelaksanaan GPG dapat menjadi pintu masuk bagi kami untuk penyelidikan. Penyimpangan GPG karena kealpaan atau ketidaktahuan bisa menyebabkan dua kemungkinan, yaitu penyimpangan karena kurang pengetahuan/malpraktik yang merupakan domain etika, atau memang ada unsur delik kesengajaan. Beliau menegaskan keinginan untuk membuat sebuah forum komunikasi koordinasi antara aparat pengawas internal dan aparat penegak hukum yang akan membahas hal-hal tertentu dan bersifat permanen.

Kesimpulan yang bisa diambil dari diskusi

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201410

auditama

Page 11: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

benar-benar membuka mata para peserta akan adanya risiko yang harus dimitigasi seputar kebijakan publik. Pada awal penyajiannya, Pak Wiyagus mengemukakan bahwa saat ini isu kriminalisasi kebijakan publik memang selalu menjadi sorotan di media massa dengan dua pendapat yang berbeda. Yang pertama mengatakan bahwa kebijakan publik itu tidak bisa dikriminalisasi, sedangkan yang kedua menyatakan bisa dikriminalisasi sesuai konteksnya. Beliau tidak sependapat dengan pernyataan bahwa kebijakan publik dapat diidentifikasi

sebagai tindak pidana. Istilah kriminalisasi biasa digunakan untuk proses perumusan perbuatan yang dilarang undang-undang sehingga penggunanaan istilah kriminalisasi dalam kebijakan publik kurang tepat. Contoh, perbuatan-perbuatan yang dianggap memiliki implikasi hukum namun belum masuk dalam KUHP.

Kebijakan publik yang dilakukan oleh pejabat negara terlebih dahulu dilakukan investigasi dari proses perencanaan, kemudian bagaimana pelaksanaanya, hingga sampai bagaimana setelah pelaksanaannya. Terdapat penerapan pasal yang berbeda, sehingga tidak mungkin tindak pidana terjadi dalam kebijakan publik, pun tidak mungkin terdapat kriminalisasi, karena kebijakan publik tersebut dilaksanakan dengan tujuan sebagai tugas pemerintahan.

Terdapat dua syarat dalam mengidentifikasi permasalahan dalam kebijakan publik. Pertama, identifikasikan apa kesalahannya, lalu apakah terdapat unsur melawan hukum. Kedua, apakah perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan sebagai tindak pidana atau tidak. Selama kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suatu kebijakan publik tidak akan dapat melalui proses hukum. Pembuatan kebijakan (termasuk pembuat kebijakannya) dapat dipidana jika terpenuhinya asas legalitas.

Yang menarik, pemateri menambahkan bahwa mencegah terjadinya penyimpangan dalam kebijakan publik yang dapat berimplikasi hukum adalah salah satu tugas APIP. Proses pencegahan ini lebih penting daripada proses penegakan hukum.

Pemateri ke-4 adalah tokoh pemberantasan korupsi yang sangat terkenal, Dr. Bambang Widjojanto dengan topik “Peran APIP dan Implikasi hukum atas Kebijakan Publik”. Anggota KPK ini membuka diskusi

ini adalah bahwa kebijakan publik dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika ada unsur-unsur Kecurangan/Fraud, Benturan kepentingan (Misalnya ketika ada kebijakan yang dibuat tetapi ditujukan kepada pihak tertentu), dan Kesengajaan.

Materi diskusi ketiga yang disajikan oleh Kombes Pol Akhmad Wiyagus dengan topik “Tindak Pidana Khusus Terkait Pelaksanaan Kebijakan Publik”

11VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Page 12: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

dengan menekankan pentingnya peran APIP dalam kebijakan publik yaitu sebagai salah satu pintu untuk membangun akuntabilitas negara. KPK mengakui, pintu yang dimaksud sebagai pengawasan internal ini harus kuat. Terdapat model lembaga-lembaga anti korupsi yang sangat luar biasa, contohnya model lembaga anti korupsi di Jepang yang mewajibkan penyelenggara negara harus melalui tes integritas terlebih dahulu. Ada penyelenggara-penyelenggara yang mengawasi kinerja penyelenggara jika berada di luar kantor (kalau di dalam ruangan sudah ada cctv dan sebagainya). Misalnya, dengan dilakukannya audit kinerja di masing-masing unit pemerintahan. Audit kinerja dapat mengembangkan Corruption Impact Assessment (CIA), dengan CIA ini kami mengkaji bisnis proses satu per satu institusi yang akan dimasuki. Karena dengan mengembangkan CIA di bisnis proses itu, kita akan menemukan titik-titik rawan korupsi.

Salah satu implementasi CIA yang dilakukan KPK adalah pada bidang pertambangan batubara. Indonesia menjadi pengekspor nomor 1 batubara di dunia. Indonesia memiliki cadangan batubara terbesar ketujuh di Dunia, tetapi kita hanya bisa menghasilkan 22 triliun rupiah dari penambangan

batubara, padahal kita perlu 1600 triliun, dan pajak harus menghasilkan 68%. Bagaimana bisa dengan 22 triliun rupiah kita mendongkrak pendapatan. Tapi ternyata begitu KPK masuk, ternyata ada 10 masalah penting dalam bisnis proses, salah satunya pre negosiasi. Bisnis proses menjadi sangat penting karena hal ini dapat menjadi bagian untuk memahami kerawanan-kerawanan korupsi. Hasil dari CIA ini yang akan didiskusikan, kemudian muncul agenda aksi, hingga pada akhirnya menjadi kesepakatankesepakatan.

CIA dasarnya dikembangkan oleh KPK dari asas-asas umum di dalam UU no 28 tahun 1999. Sekarang KPK sedang mengembangkan konsep social cost of corruption, setelah dipelajari sebenarnya kerugian negara yang di rumuskan baik dalam undang-undang keuangan negara maupun di dalam praktek penegakan hukum ternyata agak miss-leading. Misalnya kasus di Bogor, hanya dengan 5 milyar rupiah mereka bisa melepas hutan seluas 2000 hektar. Dalam kasus ini terjadi suap menyuap dalam pemberian izin yang dampaknya sangat merugikan sekali. Disini kita dapat menghitung social cost of corruption dalam masing-masing proses bisnis.

Social cost of corruption dapat dikembangkan

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201412

auditama

Page 13: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

sebagai tindak pencegahan, selama ini yang terlihat dari aparat penegak hukum adalah penindakan-penindakan terhadap tindakan yang terindikasi korupsi seolah-olah aparat penegak hukum tidak memiliki desain untuk mencegah hal itu. Sekarang kami sedang mendesain alat untuk mencegah tindak pidana korupsi. Berdasarkan tipologi korupsi, negara Indonesia masuk ke tipe 3 dan 4, yaitu korupsi yang terlembagakan dan kejahatan dalam administratif.

APIP dapat meminimalisasi potensi-potensi tersebut, bisa menjadi konsultan dalam pembuatan kebijakan publik. Penanganan kasus di KPK sekitar 354 kasus di setiap tahunnya, namun yang berkaitan dengan kriminalisasi kebijakan publik tidak sampai 10. Hal ini tentu menarik, karena ini menjadi perhatian APIP saat ini. Mari kita periksa kasus Century: “dimana letak kriminalisasinya?” mungkin dalam kebijakan bail out atau bisa juga dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Panjang. Hal ini bukan permasalahan kebijakan publik.

Kebijakan publik bisa digunakan sebagai covering sebagaimana bisa masyarakat melihat hal ini digunakan untuk kebijakan umum. Dalam hal ini, penegak hukum jangan main-main dalam menggunakan isu kebijakan publik yang sudah terjadi. Disinilah CIA penting untuk dilakukan agar upaya-upaya pencegahan sudah dilakukan terlebih dahulu. Isunya bukan di kerugian negaranya akan tetapi sejauh mana isu tersebut tidak menyangkut kebijakan publik, tidak mengandung fraud, serta tidak mengandung kepentingan pribadi. Demikian Pak Bambang menutup uraiannya.

Diskusi Sesi I ini menghasilkan kesimpulan yang diuraikan oleh moderator, yaitu :

· Persoalan hukum itu senantiasa bergerak dinamis, sehingga seharusnya diikuti dengan pengetahuan hukum yang memadai dari para pemegang kebijakan.

· Istilah kriminalisasi dalam kebijakan publik dinilai tidak tepat. Kebijakan publik tidak dapat dikriminalisasi jika kebijakan tersebut dijalankan dalam area Good Public Governance.

· KPK merasakan betul peran APIP terutama dalam bidang consulting dan assurance. Harapannya APIP dapat menjadi mitra APH dalam pencegahan korupsi.

· Ada usulan untuk mengadakan diskusi membahas

social cost corruption yang akan banyak membantu untuk APIP.

· KORSUPGAH ke depannya tidak hanya dilakukan dengan BPKP saja namun akan melibatkan APIP lain.

Pada Sesi diskusi kedua, konferensi AAIPI semakin hangat dengan menampilkan tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam Pengawasan Intern. DR. Binsar H. Simanjuntak, Ak., MBA menggebrak diskusi pertama dengan topik : “Penerapan Paradigma Baru Pengawasan dan Ekspektasi Pemangku Kepentingan”.

Deputi Pengawasan Instansi Bidang Politik, Sosial dan Keamanan BPKP ini memulai dengan menyatakan bahwa APIP merupakan alat manajemen untuk membantu mendorong perbaikan institusi. Terdapat pergeseran peran APIP yang tadinya sebagai Watchdog, yaitu untuk menjaga adanya ketaatan atau menjaga supaya dipatuhinya peraturan-peraturan. Menjadi konsultan, dan kemudian bergeser lagi menjadi katalis. Peran APIP sebagai Watchdog adalah membandingkan kriteria dengan kondisi, yang kemudian berdasarkan kriteria dan kondisi tersebut menghasilkan masukan untuk memberikan sanksi. Peran ini lebih ke Compliance Audit (audit Kepatuhan). APIP berperan menjadi sebagai konsultan, yaitu menjadi mitra auditi. Dimana APIP mencoba memberi masukan kepada Auditi, peran ini lebih ke performance audit.

Sebagai katalis, berperan sebagai mitra, auditor mendorong perubahan ke arah perbaikan, selain inisiatif dari stakeholder tetapi juga dari APIP. Tugas APIP adalah membantu pemimpin untuk memberikan early warning dan membangun risk manajemen di pemerintah. Membantu pimpinan sebelum terjadinya bencana. APIP harus bisa mengubah tata kerja serta pola pikirnya, sehingga dapat mengidentifikasi kebutuhan2 yang ada pada instansi pemerintah dan selanjutnya dapat memberikan masukan-masukan sebagai perbaikan instansi pemerintah tersebut. Nilai-nilai independensi dan objektivitas merupakan nilai-nilai yang harus dimiliki oleh internal auditor dalam melaksanakan tugas-tugasnya, demikian Pak Binsar mengakhiri pemaparannya.

Materi kedua disajikan oleh Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A dengan topik : “Ekpektasi Perwakilan Kementerian/Lembaga terhadap peran

13VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Page 14: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

APIP di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan”. Staf Ahli Mendikbud Bidang Kerja Sama Internasional ini memaparkan tiga peran APIP sekaligus transformasi paradigma yang sedang berlangsung di APIP Kemendikbud. Dari tiga peran itu, beliau menyatakan bahwa peran APIP sebagai ‘watchdog’ membuatnya “kurang disukai” oleh pihak yang diperiksa, hal ini merupakan konsekuensi logis dari profesi APIP sebagai pemeriksa, bahwa antara pemeriksa dan pihak yang diperiksa berada pada posisi yang saling berhadapan. Sebaliknya, pihak manajemen lebih membutuhkan peran APIP sebagai konsultan dalam mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Tapi tentu saja peran ini mengharuskan auditor untuk selalu meningkatkan pengetahuan baik profesi auditor maupun aspek bisnis. Demikian juga peran APIP dalam quality assurance, di mana APIP melakukan bimbingan dan pendampingan terhadap manajemen dalam mengenali risiko-risiko yang mengancam pencapaian tujuan organisasi. Sebagai asurans APIP harus mampu memberikan saran-saran yang bersifat konstruktif dan dapat diaplikasikan bagi kemajuan organisasi namun tidak ikut dalam aktivitas operasional. APIP harus menjadi agen perubahan (agent of change).

Dengan demikian, papar beliau, ruang lingkup (scope) kegiatan audit intern menjadi semakin luas, tidak sekedar audit keuangan dan audit ketaatan, tetapi perhatian lebih ditujukan pada semua aspek yang berpengaruh terhadap kinerja dan pengendalian manajemen serta memperhatikan aspek resiko bisnis / manajemen. Di Itjen Kemdikbud sendiri selama ini yang berjalan masih merupakan perpaduan antara paradigma lama pengawasan yaitu audit dan reviu (watchdog) dengan paragidma baru pengawasan yaitu sebagai konsultan intern dan asuransi (memberikan pendampingan, klinik konsultasi dan penilaian risiko). Untuk itu beliau memberikan masukan untuk lebih meningkatkan porsi pendampingan, konsultansi dan bimbingan terhadap tatakelola untuk memberikan nilai tambah; membantu dalam penerapan manajemen risiko terhadap program strategis K/L; meningkatkan kapasitas auditor dalam tatakelola subtantif K/L; menjalin komunikasi yang lebih harmonis dan membangun kepercayaan antara auditor dan auditee.

Materi ketiga masih menyangkut paradigma baru pengawasan disajikan oleh Ir. Usman Hariman,

Wakil Walikota Bogor dengan topik “Penerapan Paradigma Baru Pengawasan dan Ekspektasi Pemangku Kepentingan”. Beliau memaparkan bahwa perubahan paradigma tidak saja terkait dengan posisi dan peran APIP, tetapi juga perubahan pendekatan, sikap, fokus dan komunikasi audit.

Dalam Penerapan paradigma baru APIP sebagai Consultan dan Quality Assurance, Inspektorat Kota Bogor selaku APIP telah memiliki standar perangkat aturan atau pedoman dalam melakukan tugas dan fungsinya, sebagai unsur kekuatan dalam organisasi. Perubahan juga mulai dilakukan dengan menambahkan peran APIP terhadap manajemen. Beliau juga menambahkan, masih ditemukan kendala dalam kaitan perubahan paradigma ini, antara lain jumlah auditor belum mencukupi dalam memenuhi tugas secara optimal dan komprehensif; Anggaran APIP belum memenuhi 1 % dari total APBD Kota Bogor; dan Persepsi Pemangku Jabatan (OPD) masih menganggap APIP sebagai Paradigma lama (Watchdog) saja. Inilah yang menjadi tantangan bagi Inspektorat Kota Bogor ke depannya.

Terkait harapan manajemen terhadap APIP, Pak Usma menyatakan bahwa di samping mampu menjamin dan konsultasi yang independen dan obyektif untuk mendukung pemerintahan daerah dalam mencapai tujuannya, APIP juga diharapkan mampu memberikan reviu dan pertimbangan yang independen dan obyektif sesuai dengan standar yang telah ditetapkan kepada kepala daerah dalam pengendalian keuangan dan operasional pemerintahan daerah.

Materi keempat disajikan oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan yang juga menjabat sebagai Ketua AAIPI, Bapak V. Sonny Loho. Beliau memaparkan topik “Pengalaman Penerapan Paradigma Baru di Itjen Kemenkeu”. Pak Sonny Mengungkapkan bahwa perubahan paradigma tidak terlepas dari Reformasi Birokrasi yang terus digulirkan di Kemenkeu. Itjen melakukan pengawalan atas pelaksanaan reformasi birokrasi di seluruh jajaran Kemenkeu dengan melakukan pengawasan. Hal ini dilakukan antara lain dengan penerapan “Risk Based Audit Planning“ termasuk memperhatikan kebutuhan manajemen; perluasan peran dari sekedar mengawasi ketaatan (watchdog) tetapi juga sebagai konsultan – fungsi asurans dan consulting; Perluasan jenis kegiatan Assurance,

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201414

auditama

Page 15: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

tidak hanya Audit Ketaatan tetapi juga Audit Kinerja, Audit Investigasi, Reviu, Evaluasi, Pemantauan & Compliance Office Risk Management. Di samping itu juga dilakukan pengembangan peran Consulting untuk meningkatkan kapasitas auditi dan perluasan jenis rekomendasi melalui pemberian “Rekomendasi Kebijakan”.

Pada tataran implementasi, Itjen Kemenkeu melakukan Monitoring dan Evaluasi (Monev) atas pelaksanaan Reformasi Birokrasi (RB) dalam rangka quality assurance. Monev dilakukan atas uraian Jabatan, SOP Layanan Unggulan dan Non-Unggulan, Disiplin & kode etik, serta action plan peningkatan mutu layanan public. Di samping itu, Itjen juga melakukan asistensi penyusunan laporan keuangan dan pendampingan pemeriksaan BPK. Dalam meningkatkan risk awareness jajaran Kemenkeu, Itjen melakukan pembimbingan dan konsultasi penerapan manajemen risiko, sedangkan untuk peningkatan pengendalian intern asistensi atas

pemantauan penerapan pengendalian intern. Selain itu, dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan belanja modal, Itjen membuka help desk konsultasi belanja modal.

Dalam kapasitasnya sebagai Ketua AAIPI, Pak Sonny memaparkan bahwa dari 331 APIP di pusat dan daerah, ada 311 (93.96%) APIP yang baru mencapai level 1 (Initial) dalam IACM, 19 (5.74%) APIP di level 2 (Infrastructure), dan hanya 1 APIP yang telah mencapai level 3 (Integrated).

Untuk itu, akan dan telah dilakukan Penguatan Kapabilitas APIP antara lain melalui pencanangan tiga perangkat profesi AAIPI, yaitu Standar Audit, Pedoman Telaah Sejawat, Kode Etik, dan Pengembangan Profesi. Di samping

itu juga dilakukan diskusi antar APIP mengenai Penyempurnaan “Panduan Peningkatan Kapabilitas Kelembagaan APIP” dan Pelatihan / sharing session / benchmarking mengenai kesesuaian Elemen IACM kepada seluruh APIP.

Beliau menambahkan, untuk meningkatkan level IACM menjadi 2 harus dilakukan Identifikasi dan rekrutmen SDM yang kompeten serta pengembangan profesi individu; Perencanaan pengawasan yang berdasarkan prioritas manajemen/pemangku kepentingan (ada pergeseran paradigma dalam pengawasan) serta Akses penuh terhadap informasi organisasi, aset, dan SDM. Sedangkan untuk mencapai level 3 (Integrated) seperti yang sudah dicapai Itjen Kemenkeu, Untuk pencapaian level 3 (Integrated) harus dilakukan layanan konsultansi serta audit kinerja/program evaluasi (perubahan paradigma pengawasan); Membangun tim dan kompetensinya serta pegawai yang berkualifikasi professional; Perencanaan audit berbasis risiko dan

pengukuran kinerja (serta quality assurance kegiatan audit).

Dengan topik-topik yang demikian menarik, peserta begitu antusias dalam mengisi sesi diskusi. Mulai dari kendala yang dihadapi APIP di daerah, wacana tentang pembentukan pengawas nasional, independensi, hingga implikasi hukum kebijakan publik.

Sungguh satu hari yang sangat berarti buat seluruh peserta. Satu hari yang terasa kurang mengingat begitu banyaknya agenda dan aspirasi yang ingin disuarakan. Makanya tidak aneh bila banyak peserta berharap, konferensi selanjutnya dilakukan lebih dari satu hari. Majulah AAIPI!!! (via, dhimas, ose, haryo, cwl)

15VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Page 16: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

“Seandainya saja AAIPI bisa eksis di pentas nasional seperti Indonesia

Lawyers Club (ILC).....”(Hamzah, Auditor pada BKKBN)

Mereka Menaruh Harap di pundak

AAIPImewakili Inspektorat Kabupaten Sika Nusa Tenggara Timur mengatakan, “Acara ini sangat bagus, sebagai pembelajaran bagi para auditor dalam melaksanakan tugas.. akan lebih baik bila diadakan secara rutin satu kali dalam setahun”. Beliau juga menambahkan event ini menjadi luar biasa karena begitu banyak nara sumber kompeten yang dihadirkan. Sesuatu yang sangat sulit ditemui di daerah.

Meski tak jauh berbeda, Pak Said yang mewakili Inspektorat Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) punya komentar yang lebih menarik. Menurutnya, acara konferensi semacam konferensi AAIPI ini bukan sekedar acara untuk kumpul-kumpul semata, tetapi lebih dari itu harus menjadi ajang untuk meningkatkan kapabilitas dan profesionalitas, sehingga sangat layak kalau diadakan secara rutin setahun sekali.

Acungan jempol untuk penyelenggaraan acara konferensi AAIPI datang dari Pak Sulaiman Kurdi, M.Sc, Kepala Biro Sumber Daya Manusia dan Organisasi di BPPT. Menurut beliau konsep dan tampilan konferensi AAIPI kali ini sangat elegan, well organized dan well prepared.

Begitu pula dengan Bu Meri, auditor pada Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup, ujarnya “Saya sangat senang sekali dengan penyelenggaraan konferensi ini. Saya tidak mengantuk sama sekali acara. Bahkan ada musik, wah mewah sekali. Perlu dicontoh. Materinya pun bagus-bagus”.

Bapak Amir Pata, auditor Inspektorat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) secara

Konferensi AAIPI (Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia) belum lama usai. Ia meninggalkan begitu banyak kesan, juga harapan di benak para peserta. Mereka

yang datang dari segala penjuru negeri, berkumpul bersama saudara seprofesi. Suatu event yang sungguh luar biasa. Ada kebanggaan, ada persaudaraan, tentu saja ada “oleh-oleh” yang dibawa pulang, untuk dibagikan kepada rekan sejawat di daerah. Bertemu dengan para auditor dari segala penjuru negeri dan memandang ekspresi wajah optimis mereka, rasanya sangat membanggakan. Auditoria mencoba menangkap itu dan menyajikannya untuk anda para pembaca.

“Konferensi ini sungguh bagus, mestinya diadakan setahun sekali.....”, Ujar Pak Suhaidi dari Inspektorat Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Pria yang menjabat sebagai Auditor Madya ini juga menambahkan kegiatan semacam konferensi ini sangat mengesankan, baik dari segi materi, maupun pemapar serta sesuai dengan kebutuhan di lapangan. “Kalau cuma satu hari rasanya terlalu sebentar, kalau bisa minimal dua atau tiga hari”, imbuhnya.

Senada dengan Pak Suhaidi, Pak Simon Subsidi yang

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201416

auditama

Page 17: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

terus terang melontarkan pujiannya kepada AAIPI karena telah berhasil menyelenggarakan konferensi dalam skala nasional padahal baru setahun berdiri.

Kehadiran para Top Management APIP juga menjadi sorotan para peserta. Pak Aip Suherman, Kepala Biro Administrasi dan Pengawasan Sekretariat Jenderal MPR menganggap kehadiran para petinggi APIP menunjukkan indikasi betapa penting, strategis dan bergengsinya posisi AAIPI dalam pentas nasional.

Usulan untuk menjadikan acara konferensi ini menjadi kegiatan tahunan datang dari Bapak Achmad Idrus (Inspektur Kota Jayapura), Bapak Sudirman (Inspektur Muaro, Jambi), Bapak Aswin (Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara), Ibu Vivi Susilawati (Inspektorat Investigasi Itjen Kementerian Pertanian Pertanian), Bapak Drs. Hj. Ramli Hakim, Msi. (Kepala Inspektorat Kota Bima, Nusa Tenggara Barat), dan Bapak Firmon (Kepala Inspektorat Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat). Hampir serempak, para partisipan yang datang dari kota dan kabupaten yang jauh dari Ibukota menyatakan dukungannya terhadap penyelenggaraan konferensi setahun sekali. Perkembangan dunia pengawasan yang begitu cepat dan tingkat kompetensi auditor yang sangat beragam menjadi latar belakang usulan

semacam ini.

Wajah-wajah optimis penuh harap langsung terpancar dari para peserta yang berhasil ditemui Auditoria di sela-sela acara konferensi yang padat. Apalagi bila ditanyakan kepada mereka tentang harapan kepada AAIPI, asosiasi yang masih belia ini. Hampir semua pihak menyambut baik keberadaan AAIPI.

Pak Sudirman, dari Inspektorat Kabupaten Muaro Jambi misalnya. Beliau beranggapan AAIPI sangat bagus bagi para auditor internal pemerintah untuk menjadi wadah dalam menyamakan persepsi. Di samping itu juga ia berharap agar AAIPI dapat menjembatani komunikasi APIP dengan pihak penegak hukum untuk lebih memberikan pemahaman yang tepat tentang posisi APIP dalam struktur pemerintahan. Dengan demikian kepercayaan aparat penegak hukum dalam bekerjasama dengan APIP menjadi terbangun dan semakin tinggi. Hal senada juga diungkapkan Pak Suhaidi Menurut beliau perlu dibangun kerjasama yang konstruktif antara APIP dengan penegak hukum. Pada posisi demikianlah AAIPI dapat mengambil peran yang sangat penting. Ia juga menambahkan agar AAIPI segera melebarkan sayapnya ke daerah, membentuk AAIPI di seluruh

17VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Page 18: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

wilayah Indonesia, karena akan sangat bermanfaat bagi auditor di daerah-daerah dalam meningkatkan kompetensi dan pengetahuannya.

Suara senada datang dari Ambon, Pak J. Talahatu Kepala Inspektorat Kota Ambon mengungkapkan harapannya yang besar kepada AAIPI agar menjadi fasilitator bagi seluruh APIP agar para auditor mampu meningkatkan kompetensinya. AAIPI juga harus berperan dalam menambah pengetahuan bagi para auditor terutama dalam pencegahan tindak pidana korupsi.

Di samping harapan agar AAIPI dapat menjadi wadah dalam meningkatkan kompetensi, Bapak Ida Bagus Gde Sidharta, S.E., M.Si. (Inspektur Inspektorat Kota Denpasar) berharap AAIPI dapat menjadi sarana dalam menyalurkan aspirasi para anggotanya. Di samping itu ia berharap para peserta yang sudah hadir dalam konferensi dapat membawa hal-hal positif yang didapatnya dalam konferensi ini ke daerah.

Pak Adi Wijaya, Inspektur pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya pendapat lain. Ia berharap AAIPI dapat berperan lebih jauh, yaitu menjadi wadah untuk mengantisipasi implikasi hukum terhadap

kebijakan publik. AAIPI dapat menjembatani bagaimana sosialisasi kepada semua organ aparatur KPU dan juga dalam pemahaman implikasi publik.

Harapan kepada pengurus baru di bawah komando Irjen Kemenkeu Bapak Sonny Loho diungkapkan Inspektur Kota Jayapura Papua, Pak Achmad Idrus. Beliau berharap kepenguruan baru dapat segera membentu kepengurusan di setiap propinsi. Hal ini jelas akan memacu peningkatan kualitas dan kapabilitas para anggota AAIPI terutama di daerah-daerah.

Pentingnya mendorong para auditor baik di pusat maupun di daerah untuk menjadi anggota AAIPI disuarakan oleh Diana Chandra dari Pusbin JFA BPKP. Beliau berpendapat AAIPI dapat menjadi organisasi yang kuat apabila banyak auditor intern pemerintah yang tersebar di seluruh nusantara menjadi anggota dan aktif di dalamnya. Hal ini sekalgus bisa memperkuat eksistensi AAIPI dan sekaligus memberikan pemahaman kepada pihak luar tentang AAIPI itu sendiri, posisi dan manfaatnya.

Pun demikian, ada juga peserta konferensi yang berpendapat sebetulnya pendirian asosiasi ini cukup terlambat. Auditor Badan Koordinasi Keluarga

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201418

auditama

Page 19: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Berencana Nasional (BKKBN), Bapak Hamzah, berpendapat asosiasi ini seharusnya sudah ada sejak dulu, sekaligus menjadi pelindung bagi para auditor dalam melaksanakan tugasnya. Dengan berdirinya asosiasi ini lebih awal, kualitas hasil audit tentu sudah meningkat, karena ada acuan yang standar bagi seluruh auditor intern pemerintah. Ia juga berharap AAIPI bisa lebih berani dalam memback-up dan mendorong para anggotanya untuk melakukan audit sesuai dengan standar meski ada risiko yang ditemui. Dalam jangka panjang, AAIPI diharapkan mampu eksis seperti Indonesia Lawyers Club (ILC). AAIPI mampu tampil secara nasional untuk ikut memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi bangsa ini.

Melihat begitu besar harapan dan rasa optimisme para peserta konferensi, toh ini sama sekali tidak bisa menihilkan kendala. Begitu banyak kendala menghadang dihadapi para auditor di seluruh pelosok nusantara dalam melaksanakan tugas mulianya.

Permasalahan Sumber Daya Manusia alias Auditor menjadi topik paling banyak umum yang disuarakan para peserta konferensi. Pak J Talahatu Inspektorat Kota Ambon mengatakan,”Kendala APIP selama ini adalah lemahnya SDM auditor, sehingga diperlukan pembekalan seperti diklat. Selain itu jumlah auditor belum mencukupi, misalnya ketika seseorang diangkat menjadi dalnis, kemudian dimutasi ke tempat lain”. Menurut beliau hal semacam ini pasti akan jadi kendala dalam memajukan APIP.

Latar belakang pendidikan auditor yang berbeda-beda juga menjadi kendala tersendiri bagi APIP dalam meningkatkan kualitas kinerjanya. Hal demikian diuangkapkan Pak Simon Subsidi dari Kabupaten Sika NTT. Diklat terkait pengawasan menjadi sangat diperlukan untuk seluruh APIP. Kendala lain –yang sebetulnya juga bisa dianggap sebagi peluang- adalah rekruitmen auditor. Di Inspektorat Kabupaten Boyolali, menurut Pak Bambang Sinungharjo, terdapat auditor yang berasal dari BPKP, selain ada juga yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri. Diperlukan waktu untuk menyamakan persepsi dalam melakukan pengawasan sekaligus menerapkan standar audit. Peluang knowledge transfer sebetulnya terbuka lebar karena para auditor dari BPKP punya kelebihan pengalaman dan metodologi dalam melakukan audit.

Kendala rekrutmen SDM juga diungkapkan Inspektur Propinsi Papua Bapak Anggiat Situmorang. Mantan Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Wilayah Bali ini mengatakan beragamnya latar belakang ilmu atau pendidikan menjadi kendala tersendiri dalam meningkatkan kompetensi para auditor.

Yang lebih parah lagi, terkadang auditor diangkat dari mutasi pegawai dari unit lain dan langsung diangkat menjadi auditor. Demikian diungkapkan Kepala Inspektorat Kota Bima NTB Bapak Ramli Hakim. Agak sulit tentu saja menghadapi pola rekrutmen auditor semacam ini, mengingat dari sisi usia dan kompetensi tentu saja sangat berbeda dengan pegawai fresh graduate atau pindahan dari APIP lain.

Pak Ramli juga menambahkan bahwa banyak pegawai yang enggan menjadi auditor, karena para pegawai masih beranggapan bahwa menjadi pejabat struktural lebih jelas jenjang karier dan tingkat kesejahteraannya.

Satu hal lagi yang sangat menarik dari ungkapan para peserta konferensi AAIPI kali ini adalah isu tentang independensi. Kolonel Wahono dari Kemenhan menyebutnya sebagai masih terjadi intervensi yang mengganggu independensi auditor dalam melakukan tugasnya. Tentu saja hal ini juga terjadi pada APIP di daerah karena pengangkatan dan pemberhentian auditor dilakukan oleh “audit” mereka. Hal demikian juga dikeluhkan oleh Pak Suhaidi dan Pak Ida Bagus Gde Sidharta.

Ibu Meri dari Itjen Kementerian Lingkungan Hidup punya pendapat yang sangat menarik tentang kendala APIP dalam melakukan pengawasan. Menurut beliau kurangnya komitmen pimpinan dalam menindaklanjuti temuan menimbulkan kendala tersendiri dan cukup mengganggu bagi kinerja APIP. Apalagi masih ada anggapan bahwa APIP adalah musuh dan bukan mitra.

Sebuah PR besar bagi AAIPI untuk mencoba memnyatukan langkah mengatasi segala kendala yang dihadapi para anggotanya. Tentu saja ini juga peluang bagi AAIPI untuk lebih eksis dan maju.

Begitulah harapan besar yang diletakkan di bahu AAIPI, asosiasi yang usianya baru seumur jagung. Harapan yang harus bisa melecut kita semua untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa tercita. (zah, eli, cwl)

19VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Page 20: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Itjen Kemenkeu, di balik Sukses

Konferensi AAIPI “Konsep dan tampilan konferensi AAIPI kali ini sangat elegan, well organized dan well

prepared” (Sulaiman Kurdi, M.Sc, Kepala Biro SDM dan Organisasi BPPT)

Konferensi AAIPI yang baru lalu bisa dibilang sukses. Sebagai sebuah organisasi yang relatif muda, tentu tidak mudah menyelenggarakan konferensi berskala

nasional. Konferensi yang melibatkan begitu banyak peserta dari seluruh pelosok negeri, juga menghadirkan para pejabat setingkat menteri dan top management, tentu terbayang kerepotan yang dihadapi penyelenggara. Maka acungan jempol sungguh layak diberikan kepada para pegawai dan pejabat Itjen Kemenkeu yang berada di balik sukses

event besar ini. Auditoria mencoba menelusuri orang-orang di balik suksesnya acara ini. Tidak semua bisa diwawancarai memang, tapi setidaknya pembaca bisa membayangkan kompleksitas penyelenggaran konferensi AAIPI dan kemudian berbisik, salut...

Sebagai sebuah event berskala nasional, konferensi tentu saja memilik target yang jelas dan terukur. Pak Roberth Gonijaya, Inspektur VII Itjen Kemenkeu yang menjadi motor utama steering comittee (SC) menuturkan dengan diselenggarakannya konferensi AAIPI ini diharapkan bahwa dapat membawa

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201420

Page 21: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

pemahaman-pemahaman baru tentang standar audit dan implikasi hukum. Kemudian beliau juga menambahkan bahwa perubahan paradigma tetap menjadi harapan yang didengung-dengungkan dalam konferensi ini, mengingat perubahan ini belum merata di seluruh APIP. Paradigma yang dulu dikenal sebagai Paradigma baru auditor intern tentu bukan hal yang baru lagi sekarang. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan dari sekedar fungsi APIP sebagai Watchdog menjadi audit bernilai tambah yang melakukan kegiatan assurance dan consulting. Di samping itu, konferensi ini dimaksudkan juga dapat memacu APIP untuk meningkatkan level IACM (Internal Audit Capability Model). Dari yang masih level 1 menuju level 2, dari level 2 menuju level 3 dan begitu seterusnya untuk seluruh APIP.

Target konferensi dalam memacu level IACM ini juga diamini oleh salah seoorang anggota SC, Febriana Kusuma Ristanti. Menurut auditor Inspektorat VII yang baru saja menyelesaikan studinya di Belanda ini, melalui konferensi, AAIPI dapat membantu dan mendorong APIP untuk lebih meningkatkan kualitas audit yang dilakukan. Hal demikian antara lain terindikasi dari kenaikan level IACM APIP. Febri juga menambahkan bahwa konferensi AAIPI kali ini juga ingin menumbuhkan kesadaran unit internal audit untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh pihak manajemen tidak salah. Kesalahan yang mungkin saja bisa mempunyai implikasi hukum.

Di samping itu, target materi yang ingin disampaikan, terkait tema implikasi hukum terhadap kebijakan publik, sudah tercapai 80%. Pembicara menyampaikan tentang implementasinya dan langkah-langkah yang diambil. Dalam materi yang kedua masih menjelaskan tentang teori, sedangkan yang kami harapkan adalah ekspektasi pemerintah

tentang peran APIP, sedangkan kebanyakan hanya menjelaskan apa yang telah APIP/ Itjen mereka lakukan, namun belum menjelaskan apakah sudah sesuai dengan standar yang seharusnya.

Dibandingkan dengan konferensi sebelumnya, menurut Pak Roberth, tentu saja dalam konfenrensi kali ini ada yang berbeda. Yang pertama tentu saja adanya pengukuhan pengurus baru. Sepereti diketahui posisi Ketua Umum dijabat oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Bapak V. Sonny Loho, Ak., M.P.M. menggantikan Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc. yang selanjutnya diangkat sebagai Anggota Kehormatan AAIPI. Sungguh kepercayaan yang sangat besar dari seluruh jajaran AAIPI terhadap kiprah Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.

Yang kedua, demikian Pak Roberth menambahkan, konferensi kali ini diwarnai dengan Grand Launching Produk baru. Sebagaimana layaknya sebuah asosisasi profesi, AAIPI tentu saja memiliki perangkat profesi. Nah, pada konferensi kali ini dilakukan Grand Launching 3 perangkat profesi AAIPI, yaitu Kode Etik Auditor Intern Pemerintah Indonesia, Standar Audit Auditor Intern Pemerintah, dan Pedoman Telaah Sejawat Auditor Intern Pemerintah.

Kode Etik AAIPI merupakan aturan prilaku dan etika yang harus dipatuhi oleh setiap mereka yang menjalankan tugas profesi auditor Intern Pemerintah. Sungguh merupakan suatu prestasi sendiri, bahwa penetapan kode etik Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) mengayunkan langkah pertamanya sejak didirikan pada tanggal 30 November 2012 dengan susunan Dewan Pengurus Nasional (DPN) yang dikukuhkan oleh Wakil Presiden RI pada tanggal 19 Desember 2012. Dengan adanya implementasi

21VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 22: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

Kode Etik bagi para auditor yang merupakan subyek dari pengawasan tertentu tersebut, dipastikan akan membantu organisasi/instansi dalam mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good gevermence) sebagai bagian dari tugas nasional.

Standar Audit dimaksudkan agar pelaksanaan audit intern berkualitas, sehingga siapapun Auditor yang melaksanakan audit intern diharapkan menghasilkan suatu mutu hasil audit intern yang sama ketika Auditor tersebut melaksanakan penugasan sesuai dengan Standar Audit yang bersangkutan. Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia ini mengatur mengenai kegiatan audit intern yang dapat dilakukan oleh Auditor dan Pimpinan APIP sesuai dengan mandat serta kedudukan, tugas, dan fungsi masing-masing meliputi Audit terhadap Aspek Keuangan Tertentu, Audit Kinerja, Audit Dengan Tujuan

Tertentu, Reviu, Evaluasi, Monitoring (Pemantauan), dan Kegiatan Pengawasan Lainnya, serta Pemberian Jasa Konsultansi (consulting activities).

Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) memilih cara telaah sejawat dalam melakukan penilaian ekstern. Telaah sejawat dilaksanakan setiap tiga tahun oleh tim independen dan berkualitas atau berkompeten yang berasal dari luar APIP. Dalam rangka mempertahankan independensi maka telaah sejawat tidak dilakukan secara resiprokal (saling telaah). Kertas kerja dan metode dalam Pedoman Telaah Sejawat ini juga dapat digunakan dalam penilaian intern. APIP perlu melakukan telaah sejawat berdasarkan pertimbangan untuk mengetahui tingkat kesesuaian aktivitasnya dengan standar yang berlaku, menjamin bahwa aktivitas APIP mengikuti praktik yang sesuai dengan standar AAIPI,

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201422

Page 23: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

auditama

dan sebagai bukti kepada Pemangku Kepentingan tentang kualitas APIP.

Telaah sejawat dimaksudkan untuk melakukan penilaian terhadap efisiensi dan efektivitas organisasi APIP sesuai dengan visi, misi, tugas dan fungsinya, dan harapan pimpinan tertinggi organisasi; menyatakan pendapat tentang kesesuaian aktivitas APIP dengan Standar Audit; memberikan saran perbaikan kinerja APIP agar dapat memberikan nilai tambah kepada organisasi, dengan menjamin bahwa audit telah dilaksanakan oleh auditor yang berkompeten dan dilengkapi dengan pedoman kerja yang memadai.

Satu hal lagi yang membedakan konferensi kali ini, menurut Pak Roberth adalah bila pada tahun lalu AAIPI berbicara tentang bagaimana APIP dapat berperan dalam proses penganggaran Kementerian/Lembaga, maka tahun ini, ada yang ditambahkan,

yaitu APIP tidak hanya dituntut untuk melakukan reviu atas pelaksanaan penganggaran, tetapi juga melakukan kegiatan consulting.

Ketika ditanyakan tentang sejauh mana peran Itjen Kemenkeu dalam konferensi AAIPI kali ini, Pak Roberth dan Mbek Febri sepakat memberikan jawaban betapa strategis peran Itjen Kemenkeu baik dalam rangka terselenggaranya konferensi ini maupun jalannya organisasi AAIPI untuk selanjutnya.

Menurut Pak Roberth, dalam Konferensi AAIPI kali ini Organizing Comittee dipegang secara penuh oleh Itjen Kemenkeu, sedangkan untuk Steering Comittee (SC) banyak pegawai dan pejabat Itjen Kemenkeu yang terlibat secara aktif. Sedangkan dalam AAIPI banyak pegawai itjen yang turut serta mengambil bagian dalam keanggotaannya, dan tentu saja ketua dari asosiasi ini adalah Bapak Sonny Loho,

23VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 24: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Inspektur Jenderal Kemenkeu. Dari awal berdirinya AAIPI, banyak pegawai Itjen yang memang sudah mengambil bagian dalam keanggotaan asosiasi ini. Baik dalam kepengurusan maupun dalam komite yang dibentuk.

Sedangkan Mbak Febri justru melihat peran Itjen dari sisi tanggungjawab selaku APIP yang relatif lebih maju daripada APIP lain, “Itjen Kemenkeu dituntut tanggung jawab lebih untuk menggerakkan roda AAIPI setahun ke depan. Apalagi Pak Irjen ditunjuk sebagai ketua AAIPI. Itjen Kemenkeu harus mengambil insiatif untuk menindaklanjuti apa yang telah dirumuskan oleh kepengurusan yang sebelumnya. Selain itu, Itjen harus menjadi motor untuk menkoordinasikan APIP pusat dan daerah untuk pengenalan akan AAIPI, manfaatnya apa dan membagi pengalaman serta pemahaman yang kita miliki tentang standar audit”.

Ia juga menambahkan bahwa Itjen Kemenkeu harus memperkenalkan hal baru yang sudah terimplementasi di Kemenkeu seperti Manajemen Risiko dan Implementasi Pengendalian Intern.

Selagi punya peran besar, kita berusaha untuk memberikan yang terbaik lewat pemahaman-pemahaman dan produk yang tentunya bermanfaat bagi seluruh APIP. Demikian Mbak Feb mengakhiri wawancara dengan penuh semangat.

Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan adalah sukses konferensi AAIPI kali ini dari sisi penyelenggaran. Kepala Bagian Umum Itjen Kemenkeu, CM. Susetya yang mengomandani OC konferensi ini –seperti biasa- bercerita dengan panjang lebar banyak hal di balik terselenggaranya konferensi AAIPI ini.

“Apa yang kita adakan ini tidak kalah dengan konferensi-konferensi dari luar negeri yang pernah saya ikuti, meskipun dengan anggaran, SDM dan waktu yang terbatas, tapi bisa dibilang sukses”, Ujar Pak CM penuh semangat.

Ketika ditanya soal konsep acara kali ini, beliau menjelaskan bahwa sebetulnya tidak ada konsep khusus, konsep konferensi seperti biasa namun berbeda dengan lokakarya. Ada tambahan agenda penting seperti launching beberapa produk baru AAIPI serta pengukuhan kepengurusan AAIPI yang baru. Dalam konferensi ini, OC tidaklah bekerja sendiri, tetapi menggandeng Event Organizer yang memang sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan

acara sejenis. OC mendukung penuh apa yang sudah ditetapkan dalam rapat persiapan seperti Surat Undangan terkirim dengan baik, memastikan situasi dan kondisi agar materi yang disampaikan dapat diterima dengan dengan baik serta memastikan para peserta hadir dan ikut kegiatan sampai akhir. Intinya, target OC adalah memastikan acara berjalan sukses.

Jumlah peserta yang melebih target adalah salah satu kegembiraan tersendiri buat penyelenggara. Betapa tidak, jumlah peserta yang hadir lebih dari 500 orang melebih target yang ditetapkan yaitu 300 peserta. Selain itu rangkaian acara berhasil diatur sedemikian rupa sehingga lancar, tak tersendat sehingga berkesan bagi seluruh peserta.

Tentu saja, penyelenggaraan acara semacam ini tak luput dari kendala. Pak CM menceritakan bahwa kesulitan yang terbesar adalah Memastikan kedatangan narasumber sekaligus mngatur persiapan penyambutan Pak Menteri, narasumber dan tamu-tamu VIP. Menit demi menit, detik demi detik adalah sesuatu yang menentukan. Apalagi jika diantara beliau ada yang berhalangan hadir sehingga harus diganti atau berubah, maka harus diambil langkah-langkah agar tidak mengurangi nilai jual konferensi tersebut.

Maka acungan jempol layak ditujukan kepada seluruh jajaran panitia penyelenggara tanpa kecuali yang telah bekerja keras menyukseskan acara berskala nasional ini, sekaligus mengharumkan nama Itjen Kemenkeu. Bravo Itjen Kemenkeu.... Majulah APIP.(Zah, Eli, cwl)

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201424

auditama

Page 25: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Dalam pemilu presiden Amerika Serikat terakhir, isu pajak adalah adalah isu yang sangat menarik. Obama –yang kemudian

terpilih menjadi presiden- mampu menarik para pendukungnya waktu itu dengan isu kenaikan pajak untuk warga negara AS yang kaya. Keadilan pajak semacam ini tentu menjadi salah satu daya tarik para pemilih –terutama kalangan menengah ke bawah- di negeri Paman Sam tersebut. Bagaimana tidak, seorang Warren Buffet-pun dengan gamblang menyebutkan bahwa proporsi pajak pendapatan yang dibayarnya lebih kecil daripada sekretarisnya. Capres dari partai Republik sebagai seteru Obama menangkis ide tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu tidak akan berdampak kepada tingkat pengangguran. Tapi fakta bahwa Mitt Romney hanya dibebani pajak pendapatan kurang dari 14% dari US$21juta pendapatannya sungguh tak bisa dibantah dan mencengangkan bagi pendukung isu keadilan pajak.

Ada beberapa hal yang sangat menarik bila kita cermati.

Pertama, isu pajak sangat menarik untuk negara dengan sistem dan kepatuhan pajak yang sudah matang semacam AS. Pajak telah menjadi topik hangat dalam kehidupan masyarakat di sana sehari-hari. Demikian juga pajak telah menjadi satu

instrumen penting yang harus selalu jadi bahan pertimbangan dalam keputusan apapun, baik itu ekonomi maupun politik.

Kedua, transparansi terkait dengan kepatuhan wajib pajak dapat menjadi bahan pertimbangan para pemilih sekaligus senjata yang bisa menghantam lawan politik. Besarnya pajak yang dibayar sekaligus penghasilan Mitt Romney dapat diketahui para calon pemilih. Bayangkan bila ada salah satu kandidat yang bermasalah dalam pemenuhan kewajibannya sebagai wajib pajak, tentu akan sangat mempengaruhi elektabilitasnya.

Dalam kampanye pemilu di Indonesia, isu pajak belum menjadi isu yang mampu menarik para calon pemilih. Dalam Pemilu legislatif yang baru usai sangat jarang terdengar para Caleg mengemukakan isu soal pajak, mungkin begitu pula dalam pemilihan presiden. Hanya sesekali terdengar isu pajak mengemuka, itupun tidak terlalu substantif dan konstruktif.

Jumlah Wajib Pajak (WP) di Indonesia yang “cuma” 24 juta, bandingkan dengan jumlah pemilih dalam pemilu lalu yang 180 juta atau sekitar 14%. Itulah jumlah pemilih yang bakal menoleh bila sang calon presiden membisikkan isu pajak dalam kampanyenya. Mungkin jumlah yang sedikit ini yang membuat isu pajak tidak menjadi sexy dalam pilpres

Mencari Presiden Peduli PajakOleh : M. Hisyam Haikal

Kasubbag Perencanaan dan Anggaran

25VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Ragam Pengawasan

Page 26: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

kita. Belum lagi bila kita bicara rasio pajak (tax ratio) yaitu membandingkan penerimaan pajak dengan GDP. Tax Ratio Indonesia hingga kini belum mampu menembus 15%. Dibandingkan dengan Amerika Serikat yang 27%, tentu saja ini berpengaruh pada semakin tidak menariknya isu pajak dalam kampanye.

Sebenarnya, isu pajak dapat dikemas menjadi sesuatu yang sangat strategis dalam kampanya pilpres. Hal ini bisa dilakukan dengan mengungkap seberapa patuh para capres dan cawapres ini dalam kewajiban perpajakaannya. Isu ini jadi semakin sensitif mengingat Prabowo dan Jusuf Kalla punya latar belakang sebagai pengusaha besar yang sangat sensitif dengan isu pajak. Tentu saja ini bisa mengarah kepada “kampanye agak hitam”. Tetapi bukankah tingkat kepatuhan perpajakan seorang capres cawapres berbanding lurus dengan kecintaannya terhadap tanah air. Sungguh suatu pukulan berat bila kemudian terungkap ketidakjujuran atau lebih parah lagi penggelapan pajak yang dilakukan salah satu calon. Boleh jadi justru isu pajak ini yang akan sangat menentukan dalam pertarungan pilpres 9 Juli kelak.

Di Indonesia hal ini mungkin sulit dibayangkan terjadi. Tahukah anda berapa pajak yang dibayar Prabowo berikut perusahaan-perusahaan milik Prabowo dan Jusuf Kalla? Sudahkah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku? Tahukah anda pula, sebagai pejabat, tidak semua penghasilan yang diterima Joko Widodo dan Hatta Rajasa pajaknya ditanggung oleh pemerintah? Sudahkah beliau berdua patuh terhadap ketentuan perpajakan? Berapa pula kekayaan yang dimiliki para capres cawapres tersebut? Sudahkah

sesuai dengan yang dilaporkan dalam SPT?

Rahasia besar semacam ini, yang bisa saja jadi isu yang sangat menentukan pemenang pilpres, hanya diketahui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan WP itu sendiri. Data WP semacam ini adalah rahasia yang dilindungi Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Tidak satu pihakpun boleh mengaksesnya, tanpa izin Menteri Keuangan. Menkeu-pun tentu saja tak sembarangan memberikan izin terkait akses data tersebut. Maka akan sulit jadinya membayangkan isu pajak Capres Cawapres jadi tema kampanye.

Meskipun jumlah Wajib Pajak di negeri ini hanya sekitar 14% dari jumlah pemilih, jangan lupakan fakta bahwa kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia bergantung kontribusi yang 14% ini. fakta inilah yang perlu diingatkan para calon pemimpin negeri ini kepada para calon pemilihnya. Bahwa pajak adalah darah bagi tubuh negara ini, bahwa aliran darah menentukan hidup mati sang pemilik tubuh, bahwa tubuh besar ini memerlukan darah yang cukup dan sehat untuk bisa hidup. Sungguh sebuah tema kampanye yang sangat sehat, dibanding kampanye murahan, hitam dan negatif seperti yang selama ini mencuat.

Kurang mencuatnya isu perpajakan dalam pemilu di Indonesia boleh jadi menjadi indikasi kurangnya kepedulian para calon pemimpin negeri ini akan peran strategis pajak dalam kehidupan berbangsa bernegara. Padahal, mau tidak mau, suka tidak suka, para pemimpin negeri ini sudah seharusnya peduli pajak. kalau disadari bahwa hidup matinya

perekonomian negara bergantung pada pajak, maka tidak mungkin kita memilih pemimpin yang tidak peduli terhadap pajak.

Lalu apa indikator, seorang presiden dan wapres yang peduli pajak?

Pertama, patuh melaksanakan kewajiban perpajakan. Track record para capres dan cawapres harus bersih dari ketidakpatuhan yang disengaja dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Dengan kata lain seorang capres tidak boleh pernah terlibat dalam penggelapan pajak, apapun modusnya. Kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan berbanding lurus dengan

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201426

Ragam Pengawasan

Page 27: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

kecintaan mereka kepada negeri ini. Para capres dan cawapres harus pula menjadi contoh teladan bagi keluarga, kerabat, partai dan perusahaan dengan menjadi WP yang patuh. Sungguh luar biasa kalau ada calon yang dengan transparan berani membuka informasi perpajakan dirinya dan clear dari ketidakpatuhan perpajakan.

Di samping itu, presiden peduli pajak mestinya juga tidak berhubungan erat dengan WP yang bermasalah dalam perpajakan. Kedekatan yang demikian hanya akan menjadi hambatan psikologis para aparat pajak dalam menegakkan peraturan perpajakan, yang tentu

saja akan berdampak langsung terhadap penerimaan pajak. Selain itu, keakraban yang demikian, apalagi bila diekspos akan sangat menyakiti hati masyarakat luas yang hidupnya bergantung kepada penerimaan pajak.

Kedua, memberikan perhatian penuh kepada current issues perpajakan. Seorang presiden tidak boleh lagi membiarkan isu penting yang sedang hangat tentang perpajakan tanpa terselesaikan. Misalnya opsi kemandirian DJP. Presiden harus punya perhitungan yang matang, dengan Manajemen Risiko yang handal untuk memutuskan apakah pengelolaan perpajakan tetap seperti sekarang (berada di bawah Kementerian Keuangan) atau berdiri menjadi satu badan tersendiri seperti di beberapa negara lain. Persoalan semacam itu harus dikaji secara serius dalam segala aspeknya. Tentu saja pertanyaan yang paling mendasar adalah, apakah dengan menjadi badan tersendiri penerimaan pajak akan meningkat secara signifikan dan kasus-kasus korupsi berkurang? Dengan menjadikan isu ini sebagai satu prioritas utama, seorang presiden telah menunjukkan betapa

ia peduli pajak.

Isu lain yang perlu segera diselesaikan adalah tax amnesty atau pengampunan pajak. Isu ini terus berkembang tanpa penyelesaian yang memadai. Presiden peduli pajak akan aktif mendorong DPR untuk menyelesaikan dan memberi masukan atas pengampunan pajak yang konon RUU-nya sudah dalam penggodokan DPR. Pengampunan pajak semacam apa yang akan diterapkan, apakah mengampuni sanksi pidana saja, atau juga sanksi bunga dan denda pajak. Boleh dikatakan pengampunan pajak adalah “revolusi” dalam dunia perpajakan di Indonesia, karena secara signifikan akan menambah jumlah WP yang selama ini gelap, sekaligus meningkatkan penerimaan negara. Jangan lupakan juga risiko besar di balik pengampunan pajak yaitu gejolak rasa ketidakadilan dari WP yang selama ini patuh memenuhi kewajiban perpajakan namun tidak mendapatkan penghargaan dari DJP berupa penghapusan semacam pengampunan pajak. Kepedulian seorang presiden akan nampak dari serius atau tidaknya mendorong isu besar ini, karena dengan pengampunan pajak, hubungan aparat pajak dengan Wajib Pajak akan lebih transparan. Dan ini jelas sekali akan berdampak pada penciptaan pemerintah yang bersih dan berwibawa, sekaligus menjaring banyak sekali potensi penerimaan pajak.

Ketiga, memberikan perhatian penuh kepada institusi dan aparat pajak. Seorang presiden peduli pajak tahu persis, penerimaan pajak sangat bergantung kepada integritas dan profesionalitas aparat pajak. Ia juga tahu betapa besar potensi penyimpangan yang bisa dilakukan aparat pajak. Mengingat hampir 70% penerimaan negara adalah penerimaan pajak, sudah sepatutnya presiden memberikan perhatian lebih kepada aparat pajak. Kepedulian dapat berupa pemilihan pejabat yang penuh integritas dan profesional serta bertanggungjawab, peningkatan kesejahteraan pegawai pajak, pengalokasian anggaran yang cukup serta penguatan pengawasan internal dan eksternal atas DJP.

Tentu masih banyak lagi indikator lain yang bisa menunjukkan presiden peduli pajak selain yang disebutkan di atas. Maka apabila hari-hari ini kita dengar kampanya presiden tentang upaya untuk menekan pinjaman luar negeri, alangkah tidak masuk akalnya isu semacam ini tanpa diimbangi kepedulian terhadap pajak.

27VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Ragam Pengawasan

Page 28: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Secara etimologi, kata whistleblower berasal dari dua kata dalam Bahasa Inggris, yaitu whistle yang berarti peluit dan blower yang berarti

peniup, sehingga arti secara bahasa adalah peniup peluit. Istilah tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Ralph Nader, seorang aktivis di Amerika Serikat kelahiran Lebanon, untuk menghindari konotasi negatif terhadap istilah informan atau pengadu. Mungkin maksudnya seperti wasit yang meniup peluit dalam pertandingan sepakbola ketika terjadi pelanggaran. Sedangkan pengertian secara terminologi sungguh berbeda dengan arti etimologinya.

Menurut The American Heritage® Dictionary definisi whistleblower adalah “One who reveals wrongdoing within an organization to the public or to those in positions of authority.” Maksudnya adalah seseorang

yang mengungkapkan tindakan yang tidak benar yang terjadi di dalam suatu organisasi kepada public atau pihak yang berwenang.

Sedangkan Wikipedia.org menggunakan istilah “Pengungkap Aib” sebagai pengganti istilah whistleblower. Secara terminologi whistleblower adalah sebenarnya tidak hanya melaporkan masalah korupsi saja, tetapi juga skandal lain atau segala hal yang melanggar hukum dan dapat menimbulkan tidak hanya kerugian tetapi ancaman bagi masyarakat.

Terkadang kita salah mengartikan whistleblower, kita menganggap bahwa semua pelapor itu adalah whistleblower tidak peduli apakah ia terlibat kasus itu atau tidak. Padahal, Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama

WHISTLEBLOWER, PAHLAWAN YANG TERLUPAKAN

Oleh: Agus Rismanto

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201428

Ragam Pengawasan

Page 29: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

(Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu disebutkan bahwa whistleblower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Alasan Pembenar pelaku kejahatanTimbulnya suatu fraud atau kecurangan dalam kehidupan sehari-hari terkadang karena adanya rasionalisasi dari seseorang yang melakukan perbuatan tersebut. Mungkin secara tidak sadar seseorang membuat alasan pembenar atas tindakannya tersebut, dia membentuk suatu mekanisme pertahanan yang dijelaskan secara rasional atau dianggap logis untuk menghindari penjelasan yang benar. Beberapa hal yang dijadikan seseorang menjadi alasan pembenar yaitu:

1. Mumpung ada kesempatan, kalau tidak ketahuan kan tidak masalah,

2. Keadaan darurat atau terpaksa atau overmacht,

3. Tuhan Maha Pengampun,

4. Orang lain juga melakukan hal yang sama.

“Mumpung ada kesempatan, kalau tidak ketahuan kan tidak masalah”, alasan pembenar ini sering digunakan seseorang yang melanggar peraturan lalu lintas, seperti masuk busway, menerobos lampu lalu lintas saat nyala merah, menerobos jalur searah, dan lain-lain. Demikian juga seorang karyawan / pegawai

yang menggelapkan uang/aset perusahaan. Untuk mengatasi masalah seperti ini, cukup dengan control dan pengawasan yang memadai saja sudah bisa.

“Keadaan darurat atau terpaksa atau overmacht”, merupakan alasan pembenar yang paling lazim digunakan. Ketika ada pencuri yang tertangkap, dia seringkali beralasan dalam himpitan ekonomi atau seorang sopir angkot/bus yang semena-mena di jalan, dia beralasan orang kecil lagi cari duit. Namun, apakah yang dimaksud keadaan terpaksa itu seperti hal tersebut yang dengan mudah orang ucapkan? Padahal, dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.”

Jika batasan ruang lingkup overmacht semudah yang diucapkan orang-orang, pasti tidak akan banyak orang yang dijatuhi hukuman. Untuk mengetahui batasan ruang lingkup berlakunya overmacht, R. Sugandhi, S.H. dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya mengatakan bahwa kata-kata “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang. Kekuasaan yang tidak dapat ditentang ini dibedakan dalam 3 macam yaitu:

- Yang bersigat mutlak;

Misalnya, seseorang dipegang oleh seseorang lainnya yang lebih kuat, kemudian dilemparkannya ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa semacam ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan ialah orang yang lebih kuat.

- Yang bersifat relative;

Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum

29VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Ragam Pengawasan

Page 30: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

karena adanya paksaan tersebut.

Namun, menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya apakah yang dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini.

- Yang merupakan suatu keadaan darurat.

Misalnya, untuk menolong seorang yang tersekap dalam rumah yang sedang terbakar, seorang anggota pasukan pencegah kebakaran telah memecah sebuah jendela kaca yang berharga dari rumah yang terbakar itu untuk jalan masuk. Meskipun anggota pasukan pencegah kebakaran itu telah melakukan kejahatan merusak barang orang lain, ia tidak dapat dihukum karena dalam keadaan darurat.

Alasan pembenar selanjutnya adalah “Tuhan Maha Pengampun”. Seringkali, manusia apablia berbuat dosa dengan mudahnya berucap “Tuhan Maha Pengampun, nanti juga diampuni”. Alangkah terlalu percaya diri manusia tersebut mengatur Tuhan agar mau memberi ampunan. Dengan beranggapan bahwa cukup membaca istighfar atau pengakuan dosa, ia sudah yakin kalau dosanya diampuni. Seolah-olah ia beranggapan bahwa dengan menekan tombol “open” maka terbukalah pintu. Padahal, Allah Tuhan Semesta Alam mengampuni dosa siapa yang dikehendaki-Nya bukan yang kita manusia kehendaki. Wallahu a’lam.

Alat pembenar terakhir yang dapat saya sampaikan disini adalah “Orang lain juga melakukan hal yang sama”. Rasionalisasi ini juga sering digunakan. Orang cenderung mudah ikut-ikutan berbuat tidak baik. Hal ini juga menjadi pembenar bagi egonya bahwa dia masih menjadi manusia yang baik dalam lingkungannya karena jika banyak orang yang melakukan perbuatan yang melanggar maka hal itu dianggap sebagai hal yang biasa.

Kolusi, Itjen, dan whistleblowerBerbagai alasan pembenar ini akan berkembang menjadi sesuatu yang bahkan internal control sekalipun tak berdaya menghadapinya, yaitu kolusi. Kolusi melibatkan lebih dari satu orang. Orang-orang yang berkolusi dia akan beralasan, “mumpung ada kesempatan, kalau tidak ketahuan kan tidak masalah”; dan bisa juga dia beralasan, “orang lain juga melakukan hal yang sama, banyak temennya juga”; kemudian yang terakhir ia beragumentasi untuk melawan hati nuraninya, “Tuhan Maha Pengampun, nanti tobat aja terus sedekah, toh diampuni”; atau bisa jadi ia memang dalam keadaan mendesak atau pura-pura mendesak.

Apapun alasan pembenar yang digunakan, sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan (Itjen) harus mempunyai perangkat yang hebat untuk melawan tindak kejahatan kolusi tersebut. Dan Alhamdulillah, Itjen sudah memiliki Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) yang mempunyai berbagai perangkat yang cukup hebat seperti Whistleblowing System (WiSe), Surveilance, dan Digital Forensic.

Namun demikian, seberapa pun hebat perangkat yang dimiliki IBI, tetap ia memerlukan bantuan dari seorang yang dengan gagah berani mengungkapkan ketidakbenaran yang berada di lingkungannya atau yang ia hadapi. Whistleblowing System tidak akan jalan jika tidak ada whistleblower “pahlawan yang terlupakan”. Padahal tanpa adanya informasi whistleblower, auditor IBI atau pemeriksa lain mungkin tidak dapat atau kesulitan mengetahui adanya pelanggaran.

Dilema whistleblowerUntuk menjadi whistleblower tidaklah mudah, perlu keberanian dan mental yang

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201430

Ragam Pengawasan

Page 31: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

kuat untuk melakukannya. Terkadang keberanian itu muncul karena ia merasa kecewa atau sakit hati terhadap kelompoknya tersebut. Terkadang juga keberanian itu muncul memang dari jiwa-jiwa yang bersih, dari hati-hati yang mulia, dari pribadi-pribadi yang berintegritas. Apapun motivasinya, wishtleblower tetap merupakan pahlawan yang terkadang terlupakan. Banyak dilema yang akan dihadapi seorang wishtleblower diantaranya:

• Rasa kasihan dan solidaritas yang negatif. Terkadang orang akan merasa tidak tega melaporkan temen sendiri, kasihan kalau nanti temennya dihukum. Namun, mengapa dia tidak merasa kasihan membiarkan temennya bergelimangan dosa sehingga nanti diazab di akhirat?

• Kurangnya perlindungan terhadap keselamatan pelapor. Seseorang yang melaporkan kejahatan, pasti ia merasa khawatir kalau kejahatan tersebut akan ikut mengancamnya. Sebagai perbandingan, di AS, program perlindungan saksi atau whistleblower (witness security/Witsec) berada langsung di bawah pengawasan Kementerian Kehakiman US dan Kejaksaan Agung US. Perlindungan terhadap saksi atau whistleblower yang telah ditetapkan dilakukan oleh lembaga tersendiri, yaitu US Marshal Service. Lembaga ini merupakan salah satu lembaga penegak hukum tertua di AS.14. Di Indonesia berdasarkan UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, lembaga yang memiliki kewenangan untuk melindungi saksi dan korban serta adalah LPSK. Tetapi undang-undang ini tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai pengertian whistleblower dan tidak secara eksplisit pula menyebutkan bahwa undang-undang ini juga melindungi whistleblower. Padahal, kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar.

• Kerahasiaan identitas. Untuk dapat tetap terjaga kerahasiaan identitas pelapor, sebenarnya pada www.wise.depkeu.go.id, sudah terdapat tipsnya yaitu:

- Jangan memberitahukan/mengisikan data-data pribadi, seperti nama Anda, atau hubungan Anda dengan pelaku-pelaku.

- Jangan memberitahukan/mengisikan data-

data/informasi yang memungkinkan bagi orang lain untuk melakukan pelacakan siapa Anda.

- Hindari orang lain mengetahui nama samaran (username), kata sandi (password) serta nomor registrasi Anda.

Bila hal tersebut kurang cukup, berikut tips dari penulis:

- Buatlah email samaran dengan nama palsu, jenis kelamin palsu, alamat palsu, dan identitas lain dipalsukan.

- Saat melapor pada aplikasi whistleblowing, gunakan nama samara juga

- Agar tidak terlacak IP address komputer Anda, disarankan agar browsing di warnet yang jauh dari rumah.

- Niatkan ibadah.

• Rewarding the whistleblower (Penghargaan bagi whistleblower). Seharusnya seorang pahlawan mendapatkan tanda jasa sedemikian rupa untuk menghargai perjuangannya. Sekarang pun, para “pahlawan tanpa tanda jasa” sudah mulai memperoleh tanda jasa mereka berupa “sertifikasi”. Nah, untuk pahlawan kita yang satu ini yaitu seorang whistleblower, masih terlupakan. Mereka bukannya menerima reward tapi malah mendapat “punishment jika ketahuan. Alangkah baiknya, para pimpinan organisasi ini memikirkan nasib mereka. Misalnya saja memberi reward yang sederhana seperti dimutasi di tempat yang ia harapkan, karena jika ia tetap di unit lama teman-temannya akan memberi “punishment” tersendiri.

31VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Ragam Pengawasan

Page 32: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Pendahuluan

Dewasa ini lingkungan dunia usaha sedang mengalami perubahan besar yang sangat fenomenal, dilanda oleh dahsyatnya gelombang globalisasi. Kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan sebuah pergeseran (transformasi) dari masyarakat industrial menuju masyarakat informasi. Di era globalisasi ini, tiap perusahaan senantiasa “berjuang” dan mengembangkan sebuah strategi mutakhir untuk saling “berlomba” memenangkan persaingan usaha dalam dunia bisnis, dengan cara mendapatkan (merebut) pangsa pasar yang lebih dominan ke arah pencapaian target tingkat profitabilitas yang maksimal.

Era informasi akan bercirikan : pasar didominasi oleh konsumen, berlakunya hukum “permintaan menciptakan penawaran”, dan persaingan akan menjadi semakin lebih tajam. Globalisasi ekonomi di bidang liberalisasi perdagangan telah membawa pesaing-pesaing manca negara memasuki pasar domestik dengan kandungan pengetahuan tingkat dunia. Secara umum, globalisasi di bidang ekonomi akan menimbulkan :

(1). Customer task charge, yaitu proses terjadinya pergeseran kekuasaan dalam mekanisme pasar. Konsumen akan secara aktif menentukan produk dan jasa yang harus disediakan di pasar. Filosofi yang digunakan dalam melayani konsumen adalah pelayanan maksimal dengan anggapan bahwa pasar merupakan pasar yang tersegmentasi.

(2). Competition intensifies, yaitu gejala meningkatnya intensitas persaingan yang terdapat di pasar. Hal ini tentu saja memaksa penawar produk dan jasa untuk memiliki kandungan pengetahuan yang memadai agar mampu bersaing dengan sesama produsen.

(3). Change, yaitu globalisasi yang akan menjadikan lingkungan bisnis semakin bergejolak, penuh dengan perubahan. Perubahan ini dipastikan akan sangat bersifat radikal.

Struktur hubungan bisnis dan mitra kerja sama antar negara juga telah ikut terpengaruh dengan proses restrukturisasi dalam sistem perekonomian global. Struktur pasar lambat laun akan berubah sesuai dengan perilaku konsumen yang makin demanding. Banyak perusahaan manufaktur dan perusahaan jasa mendapati bahwa pelanggan masa kini sangat mengharapkan sebuah produk dan jasa yang dikembangkan secara khusus sesuai kebutuhan pesanan pelanggan. Dalam sebagian besar perusahaan sektor industri, kecepatan dalam pengembangan produk dan kemampuan untuk memenuhi permintaan pasar merupakan hal yang kritis dalam penciptaan profitabilitas perusahaan.

Menuju ReposisiPeran Audit InternalDalam Era GlobalisasiPart I

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201432

Ragam Pengawasan

Page 33: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Meningkatnya persaingan dalam lingkungan bisnis global mempunyai arti bahwa kebutuhan perusahaan terhadap informasi manajemen biaya juga semakin meningkat agar mampu bersaing. Supaya dapat tetap kompetitif dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat, perusahaan di seluruh dunia mengadopsi teknologi informasi dan pemanufakturan yang baru.

Sebuah informasi manajemen biaya tersebut nantinya akan dapat digunakan dalam rangka pengelolaan sumber daya (input) ke arah yang lebih efisien dan efektif (output). Untuk itu, pihak manajemen tentu saja akan sangat membutuhkan sebuah informasi yang reliable. Dalam era globalisasi, sumber informasi yang sifatnya tradisional dan informal sudah tidak lagi mampu memenuhi syarat mutlak kompetisi dalam dunia usaha, artinya : agar dapat mampu menghadapi sekaligus memenangkan persaingan global, penting bagi manajemen untuk mendapatkan informasi yang handal dari sebuah sumber formal (dalam hal ini adalah bagian/divisi audit internal) yang secara khusus dibentuk untuk membantu manajemen mengamati jalannya kegiatan operasional perusahaan sehari-hari. Dengan kata lain, informasi yang handal ini akan dapat diperoleh diantaranya melalui hasil audit internal yang dilakukan oleh para pemeriksa/pengawas internal dalam perusahaan, karena lewat hasil audit internal tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan reliabilitas informasi tentang “keadaan” dalam unit-unit yang diawasinya.

Dengan adanya perubahan yang semakin cepat dalam dunia usaha, yang mengharuskan manajemen mengembangkan dan merancang strategi pengembangan bisnisnya, maka perubahan ke arah globalisasi ini jelas akan membawa pengaruh terhadap peran dan tanggung jawab auditor internal selaku internal consultant manajemen perusahaan.

Perubahan yang baru dalam perekonomian global telah mendorong adanya pengakuan akan peran auditor internal dalam menciptakan nilai tambah bagi organisasi. Auditor internal harus dapat memanfaatkan peluang ini dengan secara proaktif menyesuaikan perannya. Adaptasi dan evolusi oleh profesi audit internal haruslah terjadi. Peran dan keahlian yang harus dimiliki oleh auditor internal telah menjadi subjek diskusi global akhir-akhir ini. Uraian yang ada dalam artikel ini akan mencoba

membahas secara ringkas perihal perluasan peran dan tanggung jawab auditor internal sehubungan dengan semakin pesatnya laju perkembangan dunia usaha.

Masalah Yang Dihadapi Auditor InternalGlobalisasi yang membawa liberalisasi pada

segala bidang, termasuk liberalisasi ekonomi hen-daknya memacu profesi internal audit untuk lebih responsif terhadap kebutuhan manajemen dalam rangka tetap kompetitif di pasar bisnis. Tidak hanya dalam teknis dan standar profesi saja, tetapi juga da-lam pengaruh kegiatannya terhadap bidang ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Mereka semestinya harus bersiap-siap menghadapi lingkungan baru dan sudah saatnya memikirkan apa yang harus diperbaiki baik secara internal maupun eksternal. Di era globa-lisasi, auditor internal akan menghadapi tantangan yang lebih berat, sehingga adaptasi yang inovatif perlu dilakukan terhadap kultur, struktur, dan sistem.

Harapan manajemen bahwa profesi internal audit dapat membantu terciptanya siklus akuntansi, pengendalian manajemen dan kinerja operasional perusahaan yang tertata serta terlaksana dengan baik, sehingga pihak manajemen maupun audittee dapat merasakan dampak positif dari peran audit internal.

Berbagai penilaian dan persepsi negatif sering ditujukan terhadap fungsi internal audit. Audittee seringkali merasa bahwa keberadaan divisi internal audit hanya akan mendatangkan cost yang lebih besar dibanding benefit yang akan diterima. Auditor internal dianggap masih jauh peranannya untuk dapat menjadi seorang konsultan internal (yang merupakan ekspresi tertinggi dalam peran pengawas internal).

Seringkali usulan perubahan atau rekomendasi dari audit internal masih dianggap menyulitkan dan merugikan bagi audittee, bahkan terkesan formalitas dan cenderung mengabaikan tingkat kesulitan atau kendala yang akan dihadapi oleh audittee nantinya atas pelaksanaan saran dari bagian audit internal tersebut Dengan kata lain, usulan yang diberikan auditor internal kepada audittee seringkali lebih banyak konsepnya, dibanding penerapannya. Formalitas peran auditor internal lebih disebabkan karena internal audit saat ini masih

33VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Ragam Pengawasan

Page 34: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

belum memiliki Rencana Induk Pengawasan (Master Plan of Controlling) yang baik dan perencanaan audit yang masih belum terintegrasi, sehingga proses audit dan temuannya sering tampak ”dibuat-buat”. Pada akhirnya banyak sekali dijumpai sikap tidak optimis dari audittee akan peran dan tanggung jawab bagian audit internal.

Chamber’s mengungkapkan aspek perilaku dalam pemeriksaan (behavioral aspects of auditing), yaitu bahwa konflik peran secara psikologis yang dialami pemeriksa intern kemungkinannya adalah melekat dalam peran (fungsi) pemeriksa intern itu sendiri. Di satu pihak ia berusaha memberikan nasehat, tetapi di pihak lain ia sebagai polisi (“policeman”). Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan sebuah krisis identitas tersendiri bagi si pengawas internal. Bahkan menurut Courtemanche, banyak dijumpai individu yang merasa kurang senang dalam melaksanakan perannya sebagai auditor internal.

Berdasarkan hasil penelitian di luar negeri, didapati bahwa sebagian besar responden mahasiswa akuntansi yang diambil dari 7 (tujuh) universitas sangat familiar dengan profesi CPA, hanya sedikit dari mereka yang mengetahui keberadaan profesi CIA. Pengenalan mahasiswa lebih banyak terhadap profesi CPA dan CMA. Hasil penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa ternyata hanya 3 % dari total jumlah responden yang tertarik untuk menjalankan karirnya nanti dalam bidang audit internal. Kemudian juga didapati bahwa dari 50 institusi (lembaga) dengan program pendidikan akuntansinya, hanya 11 dari 50 (22%) yang menawarkan pendidikan (pelatihan) internal auditing dalam programnya. Perlu adanya usaha yang lebih keras untuk dapat menjadikan profesi audit internal sejajar dengan profesi lainnya (seperti profesi akuntan publik dan akuntan manajemen). Para profesional yang sudah menekuni bidang audit internal, mungkin dapat membantu mempromosikan internal auditing sebagai “tempat latihan” bagi para calon pemimpin dan corporate managers masa depan.

Auditor internal merupakan suatu profesi yang di samping memerlukan dukungan dari pihak manajemen maupun audittee, juga perlu ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Dengan adanya perubahan di berbagai bidang serta tuntutan yang lebih tinggi dari pemakai jasa auditor internal,

maka profesi audit internal perlu mengidentifikasi, mengembangkan, mempertahankan, serta menyempurnakan pengetahuan dan keterampilan yang akan dijadikan modal untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang konsultan manajemen.

Berbagai usaha perbaikan dan peningkatan mutu serta untuk mengembalikan kepercayaan pemakai (user) akan profesi internal audit telah dilakukan, diantaranya melalui pengadaan seminar-seminar tentang peran dan tanggung jawab internal audit bagi perusahaan termasuk juga dengan didirikannya sebuah Yayasan Pendidikan Internal Audit (YPIA) oleh Hiro Tugiman yang tidak lain untuk “mencetak” para auditor internal yang berkualitas dan diakui secara profesional.

Di samping permasalahan yang telah dikemukakan di atas, masalah yang juga tidak jarang dihadapi auditor internal adalah menyangkut persoalan tidak adanya dukungan pihak Top Executive perusahaan terhadap orientasi hasil pekerjaan audit internal. Seringkali timbul selisih pendapat antara Top Executive dengan auditor internal akan sesuatu hal yang sifatnya sangat teknis menyangkut operasional perusahaan. Untuk mengantisipasi kejadian ini, maka perlu adanya suatu penyamaan persepsi terlebih dahulu mengenai “objek” yang akan di audit atau yang akan dicarikan jalan pemecahannya. Persepsi Top Executive terhadap fungsi internal audit sangat penting untuk mengurangi kesenjangan (gap) antara keinginan/.kepentingan Top Executive dengan auditor internal. Harus adanya suatu kerja sama yang baik dan harmonis antara Top Executive dengan auditor internal. Fungsi auditor internal akan dapat berjalan dengan efektif apabila memperoleh dukungan yang positif dari Top Executive selaku pengelola kegiatan operasional perusahaan sehari-hari.

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201434

Ragam Pengawasan

Page 35: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

35VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

iklan

Page 36: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201436

Paradigma Baru Audit Internal

Pada masa yang lalu, audit internal telah memusatkan perhatian pada aspek-aspek pengendalian internal (internal control) dalam pengertian sempit. Akibatnya pekerjaan seorang auditor internal terkesan membosankan karena hanya terbatas pada serangkaian tugas-tugas pengecekan internal (internal checking) untuk memastikan ketaatan terhadap prosedur-prosedur dan peraturan-peraturan yang berlaku. Berhubung prosedur dan peraturan yang menjadi acuan dalam tugas-tugas audit pada hakekatnya hanya

merupakan sarana yang digunakan oleh manajemen untuk mengendalikan perilaku manusia.

Dewasa ini dengan adanya globalisasi baik dalam sistem perekonomian maupun dalam dunia usaha, menurut Prakarsa dalam makalahnya yang berjudul : “Peran dan Tanggung Jawab Auditor Internal dalam Era Globalisasi”, ditinjau dari perspektif audit internal, skenario pertumbuhan skala, kompleksitas organisasi dan meningkatnya persaingan akan mendorong pada perlunya perluasan peran auditor internal. Auditor internal tidak hanya sebatas pada pengawas kebijakan manajemen tetapi harus dapat memberikan pelayanan prima kepada manajemen, jadi jelas bahwa manajemen menginginkan agar peran auditor internal tidak hanya terbatas pada compliance audit seperti yang telah diterapkan pada masa-masa sebelumnya.

Laporan audit internal pada umumnya masih sarat dengan informasi mengenai kesalahan-kesalahan perilaku manusia. Laporan tersebut di mata Top Executive terkesan “mencari-cari kesalahan” dan hal inilah yang telah membuat profesi audit internal menjadi kurang populer yang diwarnai dengan citra negatif. Ejekan seperti “the guys who comes after the battle and bayonet the wounded” sering ditujukan pada auditor internal yang lebih dipandang sebagai polisi daripada sebagai konsultan. Auditor internal belum dapat memberikan masukan atau informasi strategis sebagai dukungan yang berarti bagi pihak manajemen atau dengan kata lain bahwa peran auditor internal masih belum mencerminkan sebagai seorang konsultan manajemen di dalam mengelola kegiatan operasional perusahaan sehari-hari. Top Executive menginginkan pelaporan audit internal yang berfokus pada pemecahan masalah seiring dengan ketatnya persaingan bisnis dalam era globalisasi.

Menuju ReposisiPeran Audit InternalDalam Era GlobalisasiPart II

Ragam Pengawasan

Page 37: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

37VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Menurut Reeve dalam makalahnya yang berjudul : “Internal Audit in the Millenium Year”, profesi audit internal sedang bergerak ke arah tanggung jawab yang lebih luas dan penuh tantangan. Jadi auditor internal tidak hanya berperan sebagai “watchdog” semata, melainkan lebih dari itu. Saat ini pihak manajemen masih kurang percaya kepada auditor internal untuk diserahkan melakukan tugas khusus sebagai trouble-shooting. Menurutnya, perubahan peran audit internal yang akan terjadi diikhtisarkan sebagai berikut :

Pada tahun milenium :

Audit internal akan mencapai status baru sebagai tempat latihan bagi para eksekutif.

Auditor internal akan melanjutkan peranannya sebagai ahli pengendalian intern dan Foreign Corrupt Practices Act.

Auditor internal akan menjadi komunikator yang jauh lebih baik.

Pada waktu organisasi perlu mengevaluasi peluang bisnis di luar perusahaan, keahlian para veteran auditor internal yang luas dan beraneka ragam akan banyak diminta.

Manajemen akan makin percaya kepada auditor internal untuk penugasan-penugasan khusus sebagai trouble shooting.

Auditor internal akan tetap memerlukan pelatihan dalam teknik-teknik akuntansi dan auditing.

Auditor internal akan memiliki pengetahuan kerja yang kuat dalam ilmu EDP.

Auditor internal akan mencapai citra dan status baru yang lebih tinggi.

Ditambahkan pula oleh Gunadi dalam makalahnya yang berjudul : “Paradigma Baru Pengawasan Internal”, ciri internal auditing dimasa yang akan datang adalah :

Internal auditor akan menjadi tangan kanan manajemen, konsultan dan membantu menciptakan GCG.

Internal auditor harus mampu memonitor permasalahan yang mungkin timbul atas masalah operasional, legal, sosial, maupun lingkungan.

Kondisi internal audit saat ini masih belum sepenuhnya memberikan manfaat hasil audit bagi audittee. Dalam rangka memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan, di lingkungan internal audit perlu dibangun budaya adanya suatu pengakuan prestasi dan pemberian penghargaan bagi audittee, tidak hanya sekedar menonjolkan pada kelemahan, kecurangan, dan kegagalan audittee. Dengan adanya kerja sama yang baik antara auditor internal dengan audittee maka baik langsung maupun tidak langsung akan memiliki dampak positif bagi keunggulan internal perusahaan.

Meskipun tugas-tugas peninjauan kembali (review) yang dikenal sebagai compliance audit tersebut tetap diperlukan untuk mengamankan harta benda perusahaan, peranan internal audit sebenarnya jauh lebih luas daripada tugas-tugas rutin semacam itu.

Memasuki era globalisasi, auditor internal harus menjadi lebih terlatih daripada sebelumnya baik dari segi keterampilan, keahlian maupun pengetahuan. Dengan semakin profesional, auditor internal diharapkan akan menjadi lebih ahli dalam mendeteksi dan mencegah terjadinya management fraud.

Auditor internal juga harus mampu memberikan alternatif solusi maupun menciptakan sebuah inovasi bagi kepentingan manajemen dalam menghadapi persaingan global. Inovasi di sini dapat berupa pencetusan sebuah ide atau gagasan maupun penemuan sebuah formulasi atas perakitan produk baru untuk menggantikan produk lama yang telah “jenuh” (decline). Dengan turut mengembangkan

Ragam Pengawasan

Page 38: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201438

dan menerapkan teknik manajemen kontemporer berupa continous improvement (dalam bahasa Jepang disebut Kaizen) inilah, auditor internal dianggap telah turut berperan membantu manajemen dalam meningkatkan profitabilitas perusahaan lewat pembaharuan (kualitas) produk.

Tak kalah penting, auditor internal sehubungan dengan reposisi perannya dalam perusahaan juga diharapkan dapat berperan dalam mengevaluasi status “going concern” perusahaan dan secara aktif mengambil tindakan pencegahan (preventive) atas setiap bentuk kendala/hambatan yang akan mengganggu jalannya kegiatan operasional perusahaan.

Dengan adanya globalisasi yang sedang melanda semua negara di dunia, profesi auditor internal harus berbenah diri dan mulai beralih dari jasa profesi tradisional (pengendali atas ketentuan manajemen) menuju jasa non tradisional (konsultan internal), yang secara aktif memberikan informasi strategis dan pelayanan prima kepada manajemen.

Evolusi teknologi juga akan berdampak langsung terhadap peran auditor internal, karena hal ini berarti bahwa keahlian dan pengetahuan yang baru akan diperlukan auditor internal untuk menjamin bahwa transaksi elektronik dan pertumbuhan yang dihasilkannya terjadi dalam lingkungan yang dapat dikendalikan. Dalam hal ini, peluang besar akan hadir terutama bagi auditor internal yang bersedia untuk selalu beradaptasi dan mengimplementasikan kemajuan teknologi dalam menjalankan fungsi audit internalnya. Perusahaan dalam menghadapi tantangan teknologi akan sangat membutuhkan figur auditor internal. E-business adalah merupakan salah satu dari sekian banyak solusi bisnis yang semakin kompleks. E-business akan terus menjadi sebuah alat yang dibutuhkan, dan keahlian yang tinggi dalam bidang teknologi informasi juga akan menjadi sangat diperlukan. Pemahaman yang mendasar atas sistem teknologi informasi akan memungkinkan auditor internal untuk dapat bekerja secara lebih ekektif dalam lingkungan bisnis perusahaan.

Jika dilihat secara historis, peran audit internal telah banyak mengalami perkembangan (perubahan). Pada awalnya, auditor internal lebih banyak menjalankan fungsinya berdasarkan pada compliance based, kemudian berubah menjadi control based, dan yang terkini adalah risk based.

Divisi audit internal diharapkan dapat berfungsi sebagai strategic business partner bagi unit bisnis perusahaan, dan memberikan solusi terhadap beragam permasalahan yang dihadapi oleh setiap unit bisnis tersebut. Seorang auditor internal bukan hanya sekedar mampu dalam teknik audit, tetapi juga harus paham mengenai manajemen risiko, proses tata kelola, dan tentang karakteristik unit bisnis. Sebagai strategic business partner, auditor internal harus dapat berperan sebagai tempat konsultasi bagi unit bisnis.

Transformasi Audit Internal Fungsi audit internal memiliki karakteristik

khusus, yang membedakannya dari unit-unit lain dalam organisasi atau perusahaan. Pihak-pihak yang terkait langsung dengan fungsi audit internal adalah komisaris atau komite audit, direksi, dan auditee. Masing-masing dari kelompok ini dapat mempunyai pandangan yang berbeda mengenai fungsi yang dijalankan oleh auditor internal.

Seringkali, auditor internal dinilai gagal karena dianggap tidak dapat memenuhi ekspektasi

Ragam Pengawasan

Page 39: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

39VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

(harapan) dari masing-masing kelompok di atas. Akumulasi kegagalan ini dapat menimbulkan krisis kepercayaan dan pandangan yang negatif terhadap jajaran audit internal. Pada umumnya, kegagalan terjadi karena kurang adanya penekanan yang jelas mengenai arah atau fokus audit, kurangnya personil auditor internal yang andal (berkualitas), dan penggunaan metode serta sarana audit yang tidak memadai.

Transformasi menuju audit internal yang berkinerja baik sebaiknya dimulai dengan penentuan fokus atau arah audit secara jelas dan tepat, perekrutan atau penempatan staf auditor internal yang tepat, dan penggunaan sarana serta metode audit yang lebih efektif agar sasaran audit dapat tercapai dengan baik. Departemen audit internal harus mampu berperan secara strategis dalam membantu organisasi atau perusahaan mengatasi beragam permasalahan yang ada, sekaligus ikut berperan dalam menjamin terselenggaranya praktik bisnis yang sehat dan beretika.

Bagian audit internal perlu mengidentifikasi dan merumuskan secara jelas apa yang menjadi fokus dan lingkup audit, dengan sepenuhnya

mendapatkan dukungan (melalui konsensus) secara tegas dari pihak Direksi dan Komisaris perusahaan. Arahan yang jelas dan telah melalui proses dialog dan kesepakatan harus dituangkan secara tertulis dalam sebuah internal audit charter (yang ditandatangani bersama oleh Direksi dan Komisaris) dan disosialisasikan kepada seluruh pihak terkait. Bagian audit internal haruslah beranggotakan personil yang memiliki kualifikasi terbaik di bidangnya, baik dari segi kompetensi maupun keragaman jenis keahlian yang dimiliki. Pengembangan terhadap personil audit internal harus dilakukan, diantaranya melalui perancangan program karir yang menarik, pendefinisian dan pengkajian kompetensi secara mendalam, dan penyelenggaraan berbagai jenis pelatihan (baik yang terkait langsung dengan penugasan maupun perkembangan kepribadian personil secara psikologis).

Agar para personil dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan sistematis, diperlukan suatu metode kerja dan sarana pendukung yang tepat dan memadai. Audit berbasis risiko akan mempertajam fokus (arah) audit internal pada hal-hal yang menjadi pusat perhatian manajemen, sehingga hasil audit yang dilakukan benar-benar dapat memberikan nilai tambah tersendiri bagi perusahaan secara keseluruhan. Metode audit yang tepat akan menjadikan pekerjaan audit menjadi lebih efisien dan integratif karena sistematisnya. Penguasaan terhadap metode audit pada umumnya telah terstandarisasi dalam Competence Framework of Internal Auditors (CFIA).

Hery, S.E., M.Si.Dosen FE Unika Atma Jaya08129735510

Ragam Pengawasan

Page 40: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

mereka tentang kita sangat mempengaruhi konsep diri kita, perilaku kita, dan apa yang kita inginkan.

Intinya,

Kita merupakan cermin antara satu sama lain.

Konsep diri sebagai apa yang seseorang pikirkan mengenai pikiran orang lain mengenai dirinya. Charles H. Cooley menyebutnya sebagai “the looking glass-self”.

Ketika 2 orang dihadapkan pada gelas yang berisi air sebanyak setengah gelas, kemudian 2 orang tersebut ditanya, “Apa yang Anda lihat?” Kemudian 1 orang menjawab,

“Saya melihat gelas setengah penuh”

Dan ketika ditanya pada orang kedua, “ Apa yang Anda lihat?” Kemudian ia menjawab,

“ Saya melihat gelas setengah kosong”

Kiasan diatas sebagai gambaran sederhana yang makna nya sama seperti bagaimana orang memandang diri kita. Kita tidak bisa memaksa A

Pembentukan Konsep Dirimelalui Pengelolaan Kesan

Berbicara mengenai konsep diri, berarti berbicara mengenai pandangan siapa diri kita dan hanya dapat diperoleh melalui

komunikasi interpersonal. Melalui komunikasi, kita tidak hanya mengenal siapa diri kita, tetapi juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Secara garis besar, saya dapat menyatakan bahwa,

“Anda Mencintai Diri Anda Apabila Anda Telah Dicintai”

Bagi seorang pekerja kantoran atau PNS, tentunya rekan kerja adalah orang-orang yang dapat disebut “significant others” , orang yang paling membantu untuk memahami siapa diri kita. Karena hampir sebagian besar waktu PNS atau pekerja kantoran habis untuk berinteraksi. Di saat yang sama, harapan, kesan dan citra yang ada di kepala

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201440

Auditoase

Page 41: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

dan B memberi penilaian yang sama terhadap diri kita. Di sisi lain, kesadaran diri amat diperlukan dalam membentuk konsep diri. Saya akan mencoba memperkenalkan Johari’s Window teori yang menjelaskan mengenai kesadaran diri.

Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita berinteraksi dengan orang lain, rekan atau kerabat, sebenarnya diri kita termasuk ke dalam salah satu dari 4 kotak Johari. Dalam kotak pertama, know

to self, known to other artinya informasi dalam komunikasi interpersonal dimengerti oleh diri sendiri maupun orang lain. Seringpula disebut “the open self” atau diri yang terbuka, dimana seluruh informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi dan pikiran-pikiran semua diketahui baik oleh diri sendiri maupun orang lain.

Dalam kotak kedua, not known to self, known to other artinya informasi tidak dimengerti oleh diri sendiri tetapi dipahami oleh orang lain. Pada kotak kedua ini ada yang menyebutnya sebagai “the blind self” bahwa apa yang dimiliki seseorang, termasuk yang bersifat rahasia diketahui oleh orang lain sedangkan orang tersebut justru tidak mengetahui dirinya sendiri.

Dalam kotak ketiga, dinamakan known to self, not known to other bahwa informasi hanya dimengerti oleh dirinya sendiri dan tidak dimengerti oleh orang lain. Kotak ini disebut juga “the hidden self” yaitu diri yang tersembunyi. Tentang dirinya

semua ia ketahui, orang lain juga ia ketahui, akan tetapi dirinya tidak diketahui orang lain.

Dan yang terakhir, dinamakan not known to self, not known to other. Dimana suatu informasi tidak diketahui baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. Disebut juga “the unknown self”. Pada area ini tidak tercipta komunikasi yang efektif.

Setelah mengkaji mengenai 4 jenis Johari Window ini, maka anda bisa melihat termasuk ke dalam kotak mana kah anda dalam hubungan interpersonal bersama rekan kerja? Idealnya, kita berada dalam kotak pertama, karena berkomunikasi efektif kepada orang lain bila seseorang mengetahui tentang dirinya sendiri dan mengetahui lebih banyak mengenai orang lain. Jadi, untuk memperbaiki komunikasi dengan seseorang, hal yang harus dilakukan adalah harus ada keterbukaan pada dirinya.

Pembentukan konsep diri, erat kaitan nya dengan pengelolaan kesan. Saya akan memberi satu pertanyaan “Pernahkah anda menginginkan penilaian diri anda di mata orang lain seperti yang anda harapkan?” Jika anda pernah merasakan hal tersebut, maka anda sedang berupaya untuk mengelola kesan diri anda di mata orang lain. Untuk lebih memahami bagaimana pengelolaan kesan, saya akan mendiskripsikan dramaturgis.

Manusia berada dalam dua panggung yang berbeda, yaitu panggung depan dan panggung belakang. Kehidupan diibaratkan sebagai teater. Interaksi di atas panggung yang menampilkan peran yang dimainkan oleh para aktor/aktris. Seringkali aktor/aktris tersebut melakukan pengelolaan kesan atau Impression Management tanpa sadar.

Namun ada kalanya , ada pula yang sengaja untuk meningkatkan status sosialnya di mata orang lain, atau demi kepentingan finansial atau politik tertentu. Maka, konsep diri yang baik sangat berperan dalam pengelolaan kesan di atas panggung depan dengan sempurna. Setiap orang berusaha menampilkan petunjuk-petunjuk untuk menimbulkan kesan pada orang lain melalui tiga hal, yakni panggung (setting), penampilan (appearance), dan gaya bertingkah laku (manner). Yang terakhir yang paling penting, rasa percaya diri sangat diperlukan dalam pembentukan konsep diri yang tangguh. (Syarifah Alia).

41VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Auditoase

Page 42: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

potography

Seni graffiti sekarang tidak hanya dapat kita nikmati di dinding dan berupa gambar yang dilukis dengan pylox saja, tapi juga dapat

diciptakan melalui cahaya yang dihasilkan oleh senter, korek api, atau benda lain yang mengeluarkan cahaya. Smartphone atau mobile gadget pun sekarang juga bisa kita manfaatkan untuk berkreasi membuat seni graffiti dengan cahaya.

Nah, jika pada artikel sebelumnya kita sudah mengulas tentang Timestacks Photography, maka kali ini kita akan bermain-main dengan shutter speed dalam teknik yang dikenal dengan nama Light Graffiti atau yang kini lebih populer dengan Light Painting. Light painting adalah teknik di mana eksposur dibuat dengan menggerakkan sumber cahaya genggam atau dengan menggerakkan kamera

Light Graffiti, Light Painting, Light Art Photography atau apapun sebutannya telah tercatat dalam sejarah dengan diawali oleh pergerakan Etienne-Jules Marey dan Georges Demeny. Mereka berdua adalah pria berkebangsaan Perancis. Georges yang juga menjadi anak didik dari Marey memiliki projek tentang penciptaan fisiologis di tahun 1882. Selain itu, mereka berdua mengembangkan teknik kamera untuk menganalisa gerakan-gerakan tubuh manusia.

Light Painting, Melukis dengan Cahaya

(Bagian I)

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201442

Page 43: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

potography

Foto Light Graffiti (sebutan penuh untuk saat ini) pertama kali akhirnya diciptakan oleh Demeny pada tahun 1889 dalam perjalanannya menganalisa gerakan tubuh manusia dengan menggunakan lampu yang dinamai “Pathological Walk From in Front”

Tujuan utama teknik foto light painting adalah menerangi beberapa area atau titik pada obyek sehingga hanya daerah yang diterangi tersebut yang terekam di foto. Penggunaan kreatif lain adalah untuk membentuk pola cahaya yang unik. Semua tergantung bagaimana ide dan kreativitas Anda. Teknik ini dilakukan saat kondisi malam atau suasana yang cukup gelap dengan menggerakkan sumber cahaya seperti senter , lampu hias dan sejenisnya.

Ada beberapa macam shot yang bisa masuk kategori light painting : city scape, shimmering light / bokeh, fireworks & long exposure.

©Jeffry Surianto

City Scape

Sederhananya City Scape adalah memotret pemandangan kota di malam hari. Sumber cahayanya tentu berasal dari cahaya lampu kendaraan bermotor dan lampu kota. Untuk mendapatkan gambar seperti contoh di atas, Anda butuh tripod, setelan diagfragma sempit dan ISO rendah, misal ISO 100 serta speed lebih lambat 1 detik atau dengan mode pemotretan bulb.Anda memerlukan ujicoba shutter speed beberapa kali sebelum mendapatkan garis cahaya yang pas sesuai keinginan Anda. Pertimbangkan untuk memakai remote shutter untuk mendapatkan gambar yang bebas goncangan shutter.

©Moann

43VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 44: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Shimmering Light / BokehUntuk bisa menghasilkan foto kreatif seperti berikut anda perlu bukaan besar paling besar, semisal f/3.5, f/2.8 atau f/1.4. Gunakan Speed 1/30 atau 1/60. ISO menyesuaikan kebutuhan. Gunakan fokal lenght terpanjang lensa, misal untuk lensa kit, gunakan focal lenght 55mm. Dekatkan subjek dengan kamera Anda, dan jauhkn subjek dari background.

FireWorksLight painting dengan kembang api adalah salah satu yang paling populer. Pengembangan fireworks adalah steel wool, yang kini sedang ngetren.

Gunakan tripod untuk hasil maximal, bukaan sempit semisal f/11 atau f/16, ISO rendah dan slow shutter lebih lambat dari 6 detik.

©Moan

©Colette Custin 2014

©moann

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201444

potography

Page 45: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Long ExposureSettingannya hampir sama dengan fireworks. Gunakan timer atau remote shutter untuk hindari camera shake. Teknik foto light painting atau light graffiti tidak membutuhkan banyak biaya, hal utama yang membedakan foto light painting bagus dan yang biasa-biasa saja adalah kreatifitas dan kemauan kita untuk mencoba. Dengan teknik ini, kita menggunakan sumber cahaya sebagai kuas layaknya lukisan.

Nah, begitulah perkenalan awal untuk Teknik Light Painting, selanjutnya kita akan fokus tentang Long Exposure. Berikut hasil dari percobaan kami, peralatan apa saja yang dibutuhkan? bagaimana teknik memotretnya? Tunggu di “Light Painting, Melukis dengan Cahaya (Bagian II)”.

©TU & Humas

45VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

potography

Page 46: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

iklan

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201446

Mari tuangkan buah pikiran kita dalam sebuah tulisan. Wujudkan dan bagi pengetahuanmu dengan sesama. Bebas tanpa batas namun tetap bernorma ke: [email protected]

“Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai

jauh, jauh di kemudian hari”-Pramoedya Ananta Toer-

“Kita tidak harus menunggu datangnya inspirasi itu kita sendirilah yang menciptakannya”-Stephen King-

Naskah yang dikirimkan untuk dimuat menjadi hak redaktur dan akan dipilah/seleksi terlebih dahulu.

Page 47: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

karikatur

47VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 48: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Pojok psikologi

ALTRUISME

Ada pengalaman seorang pengajar diklat dari sebuah pusdiklat, sebut saja namanya Pak Jo, saat beliau melanjutkan studi di luar negeri. Pak Jo adalah seorang

yang rajin belajar dan serius mengikuti studinya. Maklum, sebagai pengajar, beliau harus menuntut ilmu sebaik-baiknya, apalagi studinya ini dibiayai melalui program

beasiswa.

Musim ujian tiba, Pak Jo belajar sebaik mungkin untuk mempersiapkan dirinya. Ia mengerjakan semuanya dengan serius. Karena menguasai materi, ujian tersebut dapat ia kerjakan dengan mudah, dan tentu saja dalam waktu singkat. Setelah selesai, ia mulai memperhatikan teman yang duduk di sebelahnya, seorang pemuda dari negara lain. Pak Jo kenal dengannya, meskipun bukan teman akrab. Dilihat oleh Pak Jo, kertas ujian pemuda itu masih kosong, belum diisi. Ia tertunduk terus memandangi soal dengan serius.

Pak Jo lantas memiringkan kertas ujiannya, memperlihatkan jawaban-jawaban yang telah ia tulis rapi. Maksudnya, agar

pemuda di sebelahnya dapat melihat kemudian menjawab ujian dengan benar.

Tapi apa yang dilakukan pemuda itu sungguh di luar dugaan Pak Jo. Ia sama sekali tidak melirik, apa lagi menoleh. Ia terus menatap kertas ujiannya tanpa menanggapi apa yang dilakukan Pak Jo. Begitu terus sampai waktu ujian habis.

Di luar kelas, Pak Jo bicara dengan pemuda itu, “Aku tadi bermaksud membantumu.”

Pemuda itu menjawab begini, “Kamu tadi tidak membantuku melainkan menjerumuskanku.”

Pak Jo cukup kaget dengan ucapan pemuda itu. Sopan, namun bertolak belakang dengan apa yang selama

ini diketahuinya. Berdasarkan pengalaman Pak Jo sebelumnya, memberi contekan adalah perilaku membantu orang lain, agar yang bersangkutan

lulus ujian. Si pemuda asing itu malah merasakan sebaliknya, dijerumuskan.

Dari kisah nyata di atas, kemungkinan besar pemuda itu menolak bantuan Pak Jo karena dirinya memiliki integritas yang tinggi. Lalu bagaimana dengan Pak

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201448

Page 49: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Pojok psikologi

Jo sendiri? Mengapa ia berusaha memberi contekan padahal tidak diminta?

***

Altruisme atau selflessness adalah perilaku yang mendahulukan atau memperhatikan kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Di dalam kebanyakan kebudayaan, termasuk Indonesia, perilaku ini merupakan hal yang penting dan diajarkan turun-temurun.

Salah satu karakteristik dari altruisme adalah empati. Altruisme akan terjadi bila ada empati dalam diri seseorang. Ia merasa bertanggung jawab atas keberhasilan seseorang, toleran, dan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, altruisme sering disamakan dengan perilaku menolong. Secara sederhana, kita akan menolong apabila kita melihat orang di sekeliling kita membutuhkan pertolongan.

Tetapi perilaku menolong bukanlah hal yang sederhana. Terdapat motivasi yang melatarbelakangi seseorang menolong orang lain. Yang pertama tentu saja menolong karena menginginkan kesejahteraan untuk orang yang ditolong. Hal ini dinamakan sebagai motivasi altruistik, yaitu keinginan untuk selalu menolong orang lain. Motivasi ini muncul karena alasan internal di dalam diri sendiri yang menimbulkan positive feeling sehingga kemudian mendorong seseorang mewujudkannya melalui

perilaku menolong orang lain.

Salah satu sifat yang merefleksikan perilaku menolong dengan motivasi altruistik adalah adanya empati (empathy concern). Seseorang dapat benar-benar merasakan kesulitan yang dirasakan orang lain dan ia termotivasi untuk ikut mengurangi kesulitan tersebut. Perilaku altruism dibarengi dengan adanya belas kasihan, gerakan hati, tidak tega, serta adanya kesabaran dalam menghadapi orang lain yang mengalami kesulitan.

Sebaliknya, ada perilaku menolong yang didasari oleh egoistic, yang tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya. Jadi, seseorang menolong orang lain hanya untuk keuntungan dirinya. Beberapa tokoh psikoanalisis memandang bahwa perilaku menolong orang lain dapat disebabkan karena self-defense mechanism terhadap kecemasan dan konflik internal di dalam diri sendiri.

Fokus dari perilaku ini adalah personal distress (stress yang berakibat negatif dalam diri seseorang). Seseorang menolong orang lain karena kepeduliannya terhadap ketidaknyamanan dirinya sendiri dalam menghadapi kesulitan orang lain, kemudian ia terdorong untuk mengurangi ketidaknyamanannya tersebut dengan membantu orang lain yang menghadapi kesulitan.

Perasaan yang muncul misalnya adalah merasa bersalah jika tidak menolong orang lain. Hal ini

49VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 50: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana seseorang tinggal dan dibesarkan. Perasaan lain yang muncul misalnya ketakutan, kegelisahan, cemas atau khawatir akan disalahkan orang lain bila tidak menolong.

Kembali lagi kepada perilaku menolong yang dilakukan oleh Pak Jo.

Perilaku menolong Pak Jo itu dapat dimotivasi oleh empathy concern. Ia dapat merasakan bagaimana bingungnya mahasiswa di sebelahnya yang begitu kesulitan menjawab soal ujian bahkan sampai belum menuliskan apa-apa di lembar jawabannya. Pak Jo bisa saja menempatkan dirinya di posisi mahasiswa asing tersebut dan membayangkan bila tidak lulus mata kuliah tersebut maka ia harus mengulang yang tentu saja dapat memperlambat kelulusannya.

Berbekal rasa empati tersebut Pak Jo tergerak untuk membantu temannya tersebut dengan menawarkan jawaban-jawaban yang sudah ia tulis di kertas ujiannya, walau pun ia harus mengorbankan dirinya dengan mengambil risiko ketahuan pengawas.

Di sisi lain, bisa saja Pak Jo dimotivasi oleh personal distress di dalam dirinya, yang merasa bersalah apabila tidak membantu orang di sebelahnya. ”Nanti kalau dia tidak lulus sedang aku lulus bagaimana? Aku padahal duduk di sebelahnya. (apa kata orang nanti?)” Rasa bersalah dan kekhawatiran yang muncul di dalam diri Pak Jo kemungkinan disebabkan karena latar belakang dirinya yang menganggap bahwa apa yang orang lain nilai atau apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya adalah hal yang sangat penting dan mempengaruhi kehidupannya. Hal ini membuat Pak Jo mengorbankan integritasnya dengan berusaha memberi contekan pada orang di sebelahnya.

Perilaku menolong adalah baik adanya, karena hal tersebut dapat berakibat baik terhadap orang lain. Namun perilaku menolong akan menjadi masalah bila motivasinya keliru. Motivasi yang salah dapat membuat kita salah menilai situasi sehingga perilaku kita menjadi tidak pada tempatnya. Perilaku menolong sebaiknya didasarkan pada keinginan untuk membuat orang lain menjadi lebih baik, sehingga apa yang kita lakukan akan benar-benar berhasil baik. (AL)

Pojok psikologi

Perilaku menolong adalah baik adanya, karena hal tersebut dapat berakibat baik terhadap orang lain. Namun perilaku menolong akan

menjadi masalah bila motivasinya keliru

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201450

Page 51: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Indonesia mempunyai sejarah peredaran uang yang sangat menarik untuk diikuti. Oeang Republik Indonesia (ORI) merupakan mata uang pertama Republik Indonesia setelah

merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa kemerdekaan tersebut uang yang beredar adalah uang Jepang dan uang Javasche Bank. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga sebagai lambang utama negara merdeka. Oleh karena itu, pada tanggal 30 Oktober 1946 ORI resmi beredar. ORI tampil dalam bentuk

Numismatik,hobi yang asik.

uang kertas bernominal satu sen dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks UUD 1945. ORI ditandatangani Menteri Keuangan yang menjabat saat itu yaitu Bapak A.A. Maramis.

Dari sekilas sejarah tentang ORI tersebut, mucul pertanyaan bagiamanakah bentuk uang saat itu? Berapa nominalnya? Apakah warnanya sama menariknya dengan uang yang beredar sekarang? Pertanyaan itulah yang muncul dan menarik minat orang-orang yang memiliki hobi Numismatik. Numismatik merupakan kegiatan mengumpulkan mata uang yang terdiri dari koin, uang kertas, dan

HOBBY

51VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 52: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

HOBBY

token. Dari sekedar hobi, pengoleksi mata uang tersebut kemudian mempelajari sejarah mata uang, cara pembuatannya, ciri-cirinya, variasi yang ditemukan, pemalsuannya, serta sejarah politik terbentuknya mata uang tersebut. Sebagai contoh, sejarah kebijakan “Sanering” untuk menyehatkan keadaan keuangan Indonesia pada masa kemerdekaan dan sejarah “Gunting Sjafruddin” yang jenius mengendalikan inflasi.

Dari sekedar hobi, koleksi mata uang bisa menjadi bentuk investasi yang menguntungkan. Mata uang kuno dengan kondisi baik, akan bernilai sangat mahal. Para kolektor mata uang dengan berpedoman buku katalog mata uang yang beredar di suatu negara, dapat menentukan harga yang pantas dari koleksi mata uang yang dimilikinya. Oleh karena itu, mulai sekarang simpan uangmu dan pelajari sejarahnya, karena pasti ada cerita menarik dari uang yang dikoleksi tersebut. (BPG)

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201452

Page 53: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

sudut kantor

Datang pagi, pulang malam. Rutinitas kerjanya berlalu hari demi hari, bulan, dan berganti tahun. Melihat cara kerja beliau yang

cekatan, sudah dipastikan bahwa Ia adalah sosok berpengalaman dan penuh dedikasi dalam bekerja. Hasil karyanya pun bukanlah hal yang bisa dipandang sebelah mata, karena apa yang dikerjakannya dinikmati para pejabat tinggi baik di dalam maupun luar lingkungan kita.

Adalah Adaran Siburan atau sering kita panggil Opung, sosok yang tidak asing di telinga kita. Membidangi hal percetakan, sudah banyak laporan kegiatan audit, dokumen perencanaan, dokumen pengadaan, dan dokumen-dokumen lain melewati proses “finishing” melalui kelihaian tangannya.

Sebagai bagian pada Subbagian Tata Usaha dan Kehumasan, Opung telah banyak meng-handle berbagai jenis laporan dan dokumen kegiatan Itjen dalam hal penggandaan dan penjilidan. Hal ini bukanlah perkara mudah, karena Ia harus memastikan bahwa bentuk fisik dari laporan tersebut “sempurna” baik presisi maupun kerapian. Sebuah metafora mengatakan “don’t judge a book by its

Menunaikan Ibadahdalam Bekerja

cover” yang kalau kita pelesetkan maknanya secara leksikal ke dalam hasil kerjanya dapat disimpulkan tidak sepenuhnya tepat. Selain kualitas isi laporannya yang baik dan kredibel , bentuk wujud laporan yang “sempurna” pula akan membuat sebuah laporan lebih menarik untuk didalami oleh stakeholder. Menarik bukan? Untuk itu auditoria mewawancarai beliau dalam rangka mengenal lebih dalam baik ranah beliau sebagai seorang profesional, maupun Ia sebagai personal.

Auditoria : Bisa ceritakan sedikit latar pendidikan yang Opung tempuh?

Opung : Saya memperoleh pendidikan semenjak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas itu di kampung halaman yaitu di Tapanuli, Sumatera Utara. Setelah lulus dari pendidikan SMA saya ke Jakarta untuk bekerja.

Auditoria : Kalau dari keluarga, opung berapa bersaudara dan sekarang ada dimana?

Opung : Saya anak ke 4 (empat) dari 12 (duabelas) bersaudara. Kalau orang

53VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 54: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

sudut kantor

di Subbagian Tata Usaha dan Rumah Tangga. Saat itu tata usaha dan rumah tangga digabung dan posisi saya sebagai pengemudi. Ketika terjadi perubahan struktur organisasi dimana fungsi tata usaha dan rumah tangga dipisah, saya masuk ke Tata Usaha kalau tidak salah Tahun 1984. Selama masa kerja saya sudah mengikuti 11 pergantian Inspektur Jenderal di Itjen, 9 Sesitjen, 6 Orang Kepala Bagian Umum, dan 7 Orang Kasubbag TU.

Auditoria : Selama masa kerja tersebut, hal apa yang paling berkesan bagi Opung?

tua keduanya sudah tiada, cuma kalau saudara sekarang ada tersebar di kampung halaman, Bengkulu, Lampung, dan Jakarta sekitar 5 (lima) orang. Saya di Jakarta mulai Tahun 1974.

Auditoria : Bisa ceritakan bagaimana Opung mulai bekerja di Inspektorat Jenderal?

Opung : Setelah lulus SMA, Saya mulai bekerja di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan mulai Tahun 1976. Pada waktu itu kantornya masih di Jalan Budi Utomo sekarang poliklinik Kemenkeu dan Inspektur Jenderal saat itu Mayjen. Yoga Sugama. Awal masuk saya sebagai honorer dan CPNS pada Tahun 1980 melalui test yang dilaksanakan Departemen Keuangan.

Auditoria : Kalau pengalaman kerja Opung selama ini bagaimana?

Opung : Awal Itjen berdiri Tahun 1976 belum ada pekerjaan rutin dan pegawai di Bagian Umum waktu itu baru hanya 20 orang. Awal masuk saya bekerja

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201454

Page 55: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Opung : Banyak yang berkesan dalam masa kerja saya. Cuma yang paling berkesan yaitu pernah bekerja selama 24 jam non-stop. Kasubbagnya saat itu Drs. Sunjoto. Apalagi waktu itu teknologi masih manual, memerlukan banyak waktu dan tenaga. Kadang sudah dirumah “dipanggil”. Selain itu, setiap pergantian Inspektur, mesti ada dokumen dan laporan yang harus diselesaikan mendadak atau segera.

Auditoria : Bisa ceritakan tantangan-tantangan apa saja yang sudah Opung hadapi?

Opung : Secara umum semuanya mengalir seperti minum air. Kalau yang menjadi tantangan apabila pekerjaan itu mendesak dan ditunggu. Sebenarnya semua pekerjaan disini bisa saya handle asal dikasi waktu menginap. “Tiada hari tanpa bekerja”. Jadi semua pekerjaan saya usahakan selesai sesegara mungkin. Selain itu, harus bisa menjaga rahasia. Terutama kalau ada laporan yang sifatnya rahasia.

Auditoria : Berarti dulu memang sering menginap di kantor Opung?

Opung : Kalau memang harus tetap menyelesaikan pekerjaan saya siap menginap. Tapi semenjak ada teknologi yang semakin berkembang seperti sekarang, pekerjaan jadi lebih mudah. Lebih efisien dan cepat. Bisa dihandle oleh satu orang.

Auditoria : Boleh tau moto hidup yang Opung terapkan selama bekerja?

Opung : Moto saya, Don’t wait until tomorrow what you can do/finish today. Jangan menunggu sampai besok apa yang bisa kamu selesaikan hari ini. Kalau ada pekerjaan yang bisa diselesaikan hari ini, selesaikan hari ini. Makanya saya sering pulang malam, karena semua pekerjaan saya usahakan

selesai hari itu juga. Sekuat tenaga saya. Kita tidak akan pernah tahu pekerjaan apa yang akan datang esok hari. Jangan ditunda sampai besok. Apalagi kalau sampai tergesa-gesa. Kalau dibiarkan menumpuk bisa menjadi bom waktu.

Auditoria : Kalau boleh tau hobi Opung apa?

Opung : Hobi saya cuma berenang.

Begitulah percakapan singkat Auditoria. Menghargai waktu, disiplin, tekun adalah beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai contoh positif dalam percakapan tersebut. Selain bekerja dengan optimal dan konsisten, penting pula ditekankan kejujuran dalam mengemban sebuah amanah. Sekecil apapun kontribusi kita dalam pekerjaan, harus kita

laksanakan dengan kesungguhan dan ketekunan. Bagai sebuah kendaraan, sekecil apapun komponennya, memiliki peranan dan bila ada yang tidak pas pada posisinya, akan mempengaruhi kinerja kendaraan tersebut. Dan sekali lagi perlu kita maknai konotasi metafora ini “don’t judge a book by its cover”. RHM

55VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

sudut kantor

Page 56: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

berita keluarga

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201456

Page 57: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

GADGET

Samsung memang sudah cukup lama tak mengeluarkan produk Windows Phone baru ke pasaran. Namun bukan berarti mereka sudah melupakan keberadaan produk Windows Phone miliknya seperti Ativ S ataupun Ativ S Neo. Kini, perusahaan

asal Korea Selatan itu pun baru saja meluncurkan dua aplikasi ekslusif yang ditujukan untuk smartphone Windows Phone miliknya.

Menurut kabar dari PhoneArena, dua aplikasi Windows Phone ekslusif tersebut adalah Share Box dan Samsung Link. Kedua aplikasi itu pun bisa diunduh secara cuma-cuma dan hanya bisa dipakai pada perangkat Windows Phone milik Samsung.

Share Box adalah sebuah aplikasi berbasis DLNA yang memungkinkan pengguna smartphone Windows Phone Samsung untuk memainkan musik ataupun video di televisi tanpa kabel. Dengan adanya aplikasi Share Box ini, smartphone Windows Phone dari Samsung pun bisa digunakan selayaknya sebuah remote untuk memainkan konten di perangkat elektronik lain.

Sementara itu Samsung Link juga merupakan sebuah aplikasi sharing content seperti halnya Share Box. Bedanya, aplikasi Samsung Link ini dapat memainkan konten yang ada di penyimpanan awan dan bisa digunakan untuk membagikan konten tersebut ke perangkat ataupun website lainnya. (gal)

Dua Aplikasi Windows Phone Ekslusifuntuk Samsung Smartphone

57VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 58: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

RESENSI BUKU

Hidup Bukan Untuk Mati

Penulis : WaddaturrahmanPenerbit : QiblaNo. ISBN : 978-979-074-989-4

Puluhan miliar individu terlahir di dunia ini, bertahan hidup, lalu mati. Terus begitu dari generasi. Namun, sebagian dari mereka masih

“hidup” hingga saat ini berkat karya dan jasa mereka di dunia yang terus dikenang dan dikenal sampai berabad-abad sesudah masa hidupnya. Karya besar yang diwariskan individu bagi dunia membuatnya “hidup abadi” dan menjadi bagian hidup sehari-hari generasi sesudahnya.

Setiap individu yang terlahir di dunia ini dianugerahi bekal berupa akal, perasaan, dan nafsu. Akal digunakan untuk berpikir, memikirkan berbagai ciptaan Tuhan yang ada di semesta, dan beragam hukum yang dikandungannya. Perasaan digunakan

untuk merasa dan menimbang antara yang baik dan benar. Yang terakhir adalah nafsu, yang

menjadikan jiwa bergairah. Bergairah untuk hidup, bergairah untuk menggapai, tetapi juga bergairah untuk mencari kenikmatan hidup, bahkan dengan jalan yang keliru.

Anugerah tersebut sudah seharusnya disyukuri sebab hanya manusia yang memiliki semua itu, makhluk lain tidak. Kitalah yang diharapkan Tuhan untuk berbuat banyak atas kehidupan ini, segala yang mengarah pada kebaikan tentunya. Dunia sangat berharap manusia dapat menciptakan kehidupan yang terus membaik, meskipun juga terdapat orang yang merusak ketenteraman. Telah menjadi kodrat manusia untuk berusaha menggapai kepuasan tertinggi, tetapi selama itu pula ia tak akan pernah merasa puas. Ketidakpuasan manusia inilah yang menjadikannya “rakus” dan “egois”. Di sisi lain, ketidakpuasan pula yang menjadikan seseorang akan terus berjuang untuk menjadi yang terbaik. Satu hal yang pasti, semua itu adalah anugerah. Anugerah inilah yang diamanatkan untuk dapat menorehkan sejuta karya dengan sentuhan pikiran, mengukirkan sejuta jasa dengan belaian perasaan,

dan melukis sejuta impian dengan arahan nafsu.

Hidup bukan sekadar menghirup udara lalu mengeluarkannya, tetapi jauh dari itu, yakni untuk berkarya, berjasa, dan terus bermimpi. Bersiaplah dengan segala bekal anugerah yang kita miliki. Tegakkan kaki untuk berdiri di tepi jalan kehidupan ini, dan tataplah ujung jalan yang tak pernah terlihat, sebab jalan hidup ini bukan mengantarkan kita kepada kematian.

Lewat buku Hidup Bukan untuk Mati inilah kita dapat mengungkap rahasia “keabadian” melalui beragam kisah inspiratif, teori, pengakuan, dan bukti nyata perjalanan hidup orang terdahulu. Ketahuilah bahwa Anda pun bisa menjadi bagian dari sejarah dunia yang tak terlupakan. Ingat bahwa sejarah masa depan Anda ditulis melalui tindakan Anda di detik ini. Berpikir, bergairah, bertindak, dan teruslah berkarya tanpa henti sebab Hidup Bukan untuk Mati.

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201458

Page 59: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

RESENSI BUKU

Kembali! Ke Jati Diri Bangsa

Penulis : Djon Pakan LalanlangiPenerbit : Kompas No. ISBN : 978-979-709-659-5

Sumpah Pemuda adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagaimana dimufakati secara bulat dalam Kongres Pemuda Indonesia ke-2,

pada 28 Oktober 1982. Sikap ini berdasarkan pada rumusan para The Founding Fathers kita, yang telah menjabarkan empat komponen jati diri bangsa Indonesia secara Komprehensif, yaitu Sumpah Pemuda, Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945. Keempat komponen ini merupakan satu kesatuan yang bulat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Berbagai rangkaian fenomena yang ada di dunia ini, khususnya yang berpengaruh pada persoalan yang dihadapi bangsa dan negara kita, seharusnya perlu mendapat perenungan yang sungguh-sungguh. Melalui sejarahlah kita dapat menemukan Jati diri Bangsa untuk kemudian memahaminya agar kita semua dapat mengaktualisasikan diri dalam membangun Indonesia yang sejahtera, adil, dan mamkur. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!

Penulis menegaskan bahwa pengungkapan fakta dan sejarah dalam buku ini hanya semata-mata mempunyai satu tujuan, yaitu untuk memetik pelajaran darinya. Setidaknya dengan memahami secara baik Jati diri Bangsa melalui sejarah, kita bisa memiliki tolak ukur untuk mawas diri, kemudian mengambil sikap dan langkah yang seharusnya kita tempuh.

Pada hakikatnya manusia cenderung untuk lupa dan mudah sekali dikelabui

untuk lupa. Bangsa Indonesia akan hancur jika rakyatnya, lebih-lebih pemimpinnya, lupa. Lupa akan sejarah kolonialisme dan bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan berdasarkan jati diri bangsa melalui semangat Sumpah Pemuda. Perjuangan itulah yang seharusnya kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila selama ini kita berada di jalan yang keliru, maka kembalilah ke jalan yang benar sesuai dengan jati diri bangsa! Tak ada kata terlambat. Barangkali hanya inilah satu-satunya alternatif untuk menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi rakyat, pemerintah, bangsa, dan negara Indonesia dewasa ini.

Dimasa kini, sejak era reformasi, pelajaran sejarah terkikis, dan buku ini mengukuhkannya kembali. Buku ini dipersembahkan kepada segenap generasi penerus yang tidak pernah mempunyai kesempatan untuk mendengar secara langsung setiap peristiwa sejarah dari pelaku sejarah.

59VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

Page 60: VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 2014

VOL VI No. 38 | Edisi April - Juni 201460