trauma kepala

22
BAB I PENDAHULUAN Trauma kapitis adalah cedera kepala yang disebabkan oleh trauma yang dapat menimbulkan gejala neurologis seperti penurunan kesadaran, defisit neurologis hingga berujung pada kelumpuhan, kecacatan maupun kematian. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat. Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, 1

Upload: johan-yap

Post on 08-Jul-2016

226 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

trauma kepala

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kapitis adalah cedera kepala yang disebabkan oleh trauma yang dapat

menimbulkan gejala neurologis seperti penurunan kesadaran, defisit neurologis hingga

berujung pada kelumpuhan, kecacatan maupun kematian. Di Amerika Serikat, kejadian

cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas,

10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita

menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang

seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera

kepala cenderung semakin meningkat.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara

15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh

(terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh

kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada,

khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan, dapat melakukan

penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang

lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya

keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis,

serta kurangnya dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini memang merupakan

tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma, khususnya trauma kepala.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap petugas

kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis untuk melakukan

penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit.

Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan

mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan

keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi

a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:

Skin atau kulit

Connective tissue atau jaringan penyambung

Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung

dengan tengkorak 

Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.

Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika

dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal.

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat

laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-

anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan

waktu lama untuk mengeluarkannya

2

b. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari

beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio

temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak

rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan

deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus

frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang

otak dan serebelum.

c. Meningens

Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

1) Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan

meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang

melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput

arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak

antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak

menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami

robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah

vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat

mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri meningens terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang

epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini

3

dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri

meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2) Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid

terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak.

Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari

pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub

arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3) Piamater

Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membrana vaskular

yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling

dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-

arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh piamater.

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa. Otak terdiri dari

beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,

mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula

oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi

emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi

sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus

oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas

berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada

medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam

fungsi koordinasi dan keseimbangan.

e. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi

sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju

ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam

4

sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.

Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu

penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Angka rata-rata pada

kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS

per hari.

f. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa

kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

g. Vaskularisasi Otak

Otak disuplai oleh dua sirkulasi utama yaitu sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior.

Sirkulasi anterior diperdarahi oleh arteri carotis interna dan cabang – cabangnya dan sirkulasi

posterior diperdarahi oleh arteri vertebrobasilaris dan cabang - cabangnya. Kedua arteri besar

ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena

otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak

mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus

cranialis.

II.2 CEDERA KEPALA

II.2.1 Definisi

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung

atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi

fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain

Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan

bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari

luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan

kerusakankemampuan kognitif dan fungsi fisik.

II.2.2 Patofisiologi

a. Tekanan intracranial

Berbagai proses patologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang selanjutnya

dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan

intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak.

5

TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak

normal. Semakin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya

b. Hukum Monroe-Kellie

Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang

tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total

volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan

serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).

Vic = V br+ V csf + V bl

c. Tekanan Perfusi otak

Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure)

dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan

prognosa yang buruk bagi penderita.(American college of surgeon,1997)

d. Aliran darah otak (ADO)

ADO normal kira-kira 50 ml/100g jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 20-

25ml/100g/menit maka aktivitas EEG akan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100

g/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer

dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung

dari satu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras

maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala

dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya

benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang

berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-

deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi

trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi

semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.

Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak

pada tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup)

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang

timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,

6

kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan

neurokimiawi.

Gambar 3. Coup dan countercoup

II.2.3 Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan

apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau non depressed. Fraktur

tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan

brain-window untuk memperlihatkan lokasinya.

Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1

tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat

hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena durameter robek, dan

fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi,

lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak

mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial

sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura

kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang

sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak

mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk observasi.

7

II.2.4 Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera

ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural,

dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara

umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau

bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun

terakhir ini.

Hematoma Epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula

interna dan duramater. Paling sering terletak di regio temporal atau temporal parietal dan

sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal

arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-

kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-

oksipital atau fossa posterior.

Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9%

dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak

segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya

biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi.

Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien

obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan

kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering

juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di

observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam

akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera

kepala.

Gejala yang sering tampak :

•Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

• Bingung

• Penglihatan kabur

• Susah bicara

• Nyeri kepala yang hebat

• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

8

• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.

• Mual

• Pusing

• Berkeringat

• Pucat

• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan

epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya

pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial.

Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun

sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua

pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala

respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang

otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas

tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur

Hematoma Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan

arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita

dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara

korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi

permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,

kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan

prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun

mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.

1.Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah

cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif

disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen

magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat

9

menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan

darah.

2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang

dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga

disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang

menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-

lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik

yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa

jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita

mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan

bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang

disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan

melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

3.Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa

tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati

ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai

10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya

selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan

sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan

perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,

menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada

usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera

tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan

CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi

bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan

lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.

10

Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya

dikeluarkan melalui pembedahan

Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan

dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal,

walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara

kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,

terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma

intraserebral dalam beberapa hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.

Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan

pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling

sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan

(coup) atau pada sisi lainnya (countercoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat

bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan. Gejala – gejala yang dapat timbul

adalah sebagai berikut:

1. Sakit kepala mendadak yang eksplosif

2. Fotofobia

3. Mual dan muntah

4. Hilang kesadaran

5. Kejang-kejang

6. Gangguan respiratori

7. Shock

II.2.5 Klasifikasi

Trauma kapitis dibagi menjadi beberapa jenis.

Didasarkan pada aspek :

a. Mekanisme trauma

1. Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah

2. Tajam : cedera peluru, bacok, dll

b. Berdasarkan derajat keparahannya :

1. Cedera kepala ringan (bila GCS 13-15)

2. Cedera kepala sedang (bila GCS 9-12)

3. Cedera kepala berat (bila GCS ≤8)

11

II.2.6 Pemeriksaan

a. Foto polos kepala

Dilakukan bila tidak ada CT-Scan yang tersedia di rs tersebut. Foto polos kepala yang

dilakukan sebaiknya minimal 2 proyeksi AP dan lateral. Foto polos dapat melihat apabila

terdapat fraktur cranium.

b. CT-Scan

Tujuan CT-Scan adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan

ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. CT Scan merupakan gold standart bagi trauma

kapitis karena dapat dilakukan secara cepat. Pada fraktur os cranium dapat terlihat pada

CT-Scan dengan bone window.

c. Pemeriksaan darah rutin : Untuk melihat tanda – tanda syok hemoragik.

12

II.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan trauma capitis sama seperti trauma lainnya yaitu mulai dari primary survey

terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan secondary survey.

a. Primary Survey

Meliputi airway,breathing, circulation, dissability, envoirenment dan eksposure. Harus

dapat diatasi dalam hitungan menit.

b. Secondary Survey

Setelah aman melewati primary survay maka dapat dilanjutkan dengan melaksanakan

secondary survey meliputi anamnesa AMPLE (Allegy, Medication, Past illness, Last

meal, Envoirentment), pemeriksaan head to toe serta pemeriksaan penunjang dilakukan

disini.

c. Penatalaksanaan trauma capitis

1. Penurunan tekanan intrakranial

- Posisi kepala ditinggikan 30 derajat

- Pemberian manitol 20 % :

i. dosis awal 1gr/KgBB diberikan dalam 20 -30 menit didrip cepat

ii. Dosis lanjutan diberikan 6 jam setelah dosis awal. Berikan 0,5 gr/KgBB drip cepat

selama 20-30 menit biila diperlukan.

2. Atasi komplikasi

i. Kejang : profilaksis dengan obat anti-epilepsi selama 7 hari diberikan pada kasus

fraktur impresi lebih dari 2 diplo

ii. Infeksi: antibiotik profilaksis

iii. Pendarahan GIT : pemberian PPI, antiemetik, antasida bila ada indikasi

Indikasi rawat pasien cedera kepala (diobservasi 2x24jam) bila:

1. Amnesia posttraumatika jelas: disorientasi waktu,tempat dan orang (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

8. Cedera penyerta yang jelas

9. CT scan abnormal

13

II.2.8 PROGNOSIS

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang

agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita

yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan

dari cedera kepala

Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat

mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

.

14

BAB III

KESIMPULAN

Trauma kapitis adalah cedera kepala yang disebabkan oleh trauma yang dapat

menimbulkan gejala neurologis seperti penurunan kesadaran, defisit neurologis hingga

berujung pada kelumpuhan, kecacatan maupun kematian.

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer

dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung

dari satu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras

maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Trauma kapitis juga diklasifikasikan

berdasarkan mekanik trauma dan derajat keparahannya.

Penatalaksanaan trauma capitis sama seperti trauma lainnya yaitu mulai dari primary

survey terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan secondary survey. Apabila penanganan

pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif, terutama pada

anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Lokasi terjadinya lesi pada bagian

kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

15