lp trauma kepala
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA KEPALA
:
Oleh NI PUTU DIAN SEPTIANA ANDRIANI (0902105086)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2012
A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Pengertian Trauma kepala adalah (terbuka dan tertutup) terdiri dari : fraktur tengkorak, komusio (gegar) serebri, kontusio (memar)/laserasi dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak). (Doenges, 2000: 270) Cedera kepala mengacu pada trauma kepala. Hal ini mungkin atau mungkin tidak termasuk trauma pada otak. Namun, istilah cedera otak dan cedera kepala sering digunakan secara bergantian dalam literatur kedokteran. (Wikipedia, 2009) Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai segala perubahan dalam fungsi mental atau fisik yang berkaitan dengan pukulan ke kepala. (Medscape, 2009)
Gambar 1. Fraktur tengkorak pada trauma kepala 2. Klasifikasi Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter 1) Trauma Tumpul Contohnya : Trauma akibat kecepatan tinggi (tabrakan mobil) dan kecepatan rendah (terjatuh, dipukul) morfologi cedera (Mansjoer, 2000: 3)
2) Trauma Tembus Contohnya : luka tembus peluru, dan cedera tembus lainnya b. Keparahan Cedera : berdasarkan skala koma Glasgow (GCS) : GCS 14-15 : GCS 9-13 : GCS 3-8 1) Ringan 2) Sedang 3) Berat c. Morfologi 1) Fraktur Tengkorak a) Kranium : linear/stelatum; depresi/nondepresi; terbuka/tertutup. b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal; dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII 2) Lesi Intrakranial a) Fokal : epidural, subdural, intraserebral b) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus a. b. Menurut Doenges (2000: 270) klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 2 yaitu: Trauma otak primer terjadi karena benturan langsung atau tak langsung (akselerasi/deselerasi otak). Trauma otak sekunder merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sistemik. Sementara menurut Price (2003:1174) cedera kepala diklasifikasikan sebagai a. Hematoma Epidural berikut: Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak bervariasi, penderita hematoepidural yang khas memiliki riwayat cedera kepala dengan periode tidak sadar dalam jangka waktu pendek, diikuti periode lusid.
Gambar 3. Hematoma epidural dalam fosa temporalis (Price, 2006:1174) b. Hematoma Subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut dan kronik yang memiliki gejala dan prognosis yang berbeda-beda.
Gambar 4. Hematoma subdural (Price, 2006: 1174) 1) Hematoma subdural akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor dan sering kali berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan. Keadaan ini cepat menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. 2) Hematoma subdural subakut Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan vena kedalam ruang subdural. Riwayat klinis yang khas pada penderita hemotoma subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidakkesadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. 3) Hematoma subdural kronik Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau terlupakan dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari Hematoma subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat disebabkan oleh
banyak proses penyakit lain.
Gambar 5. Brain Hematoma (Wikipedia, 2009) 3. Etiologi Penyebab cedera kepala adalah tabrakan lalu lintas kendaraan bermotor, rumah dan kecelakaan kerja, jatuh, dan serangan. Kecelakaan sepeda juga merupakan penyebab umum cedera kepala yang berhubungan dengan kematian dan cacat, terutama di kalangan anak-anak. (Wikipedia, 2009) Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi pada kecelakaan lalu lintas. (Mansjoer, 2000:3) 4. Patofisiologi Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya trauma kepala yang terjadi. Ada 2 mekanisme cedera yang bisa terjadi, yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi). Cedera percepatan (aselerasi) terjadi ketika benda yang bergerak membentur kepala yang diam. Sedangkan, cedera perlambatan (deselerasi) terjadi ketika kepala membentur objek yang relatif tidak bergerak, misalnya tanah (Gallo, 1996:226).
Kombinasi mekanisme ini mengakibatkan terjadinya cedera pada jaringan otak dan menimbulkan kerusakan pada sawar darah otak (Blood Brain Barrier). Cedera jaringan tersebut mengakibatkan degranulasi sel-sel mast yang terdapat dalam jaringan otak. Degranulasi ini memacu pelepasan histamin yang menimbulkan efek vaskuler berupa peningkatan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler (Price, 2005:62). Peningkatan permeabilitas kapiler memicu terjadinya eksudasi cairan dari intravaskuler ke jaringan interstisiil otak dan menimbulkan edema serebral (Price, 2005:1168). Selain itu, trauma yang terjadi menimbulkan destruksi pada vaskuler di daerah kepala. Destruksi ini menimbulkan hematoma. Hematoma dan edema serebral dapat berpengaruh pada peningkatan TIK. Peningkatan TIK didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak (1400 gram), darah (sekitar 75ml), dan cairan serebrospinal (sekitar 75ml). Keseluruhan volume tersebut menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 4-15 mmHg. Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga komponen ini mengakibatkan desakan pada ruang dan menaikkan tekanan intrakranial (Price, 2005:1167). Peningkatan TIK yang terjadi mempengaruhi kecepatan aliran darah ke otak dan penekanan pada pusat pernafasan medulla oblongata dan pons. Penurunan kecepatan aliran darah ke otak (Cerebral Blood Flow) mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga memunculkan masalah perfusi jaringan serebral tidak efektif (Nanda, 2005:233). Sedangkan, penekanan pada medulla oblongata dan pons menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi pernafasan (Guyton, 2007:539). Gangguan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa pola nafas tidak efektif (Nanda, 2005:27). Kombinasi antara gangguan suplai O2 ke otak dan gangguan pada fungsi pernafasan akibat penekanan fungsi pernafasan membutuhkan tindakan pemasangan intubasi ETT dan mayo yang bertujuan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas dan membantu pemenuhan kebutuhan oksigen secara adekuat. Keadaan ini dapat mengurangi respon batuk pada pasien, dan membuat sekret menumpuk pada saluran pernafasan. Penumpukan sekret ini menimbulkan masalah keperawatan berupa bersihan jalan nafas tidak efektif (Nanda, 2005:4). Selain itu, trauma kepala juga mengakibatkan terjadinya destruksi vaskuler. Destruksi ini mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya cairan dalam intravaskuler. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa kekurangan volume cairan tubuh (Nanda, 2005:89). Selain itu, trauma kepala juga menimbulkan lesi pada daerah
kepala. Lesi ini dapat menjadi pintu masuk bagi agen infeksius untuk menyerang pertahanan tubuh. Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa risiko infeksi (Nanda, 2005:121). 5. Manifestasi Klinik Gangguan tanda vital, apatis, letargi, berkurangnya perhatian, menurunnya kemampuan untuk mempergunakan percakapan kognitif yang tinggi, hemiparesis, kelainan pupil, pusing menetap, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan bicara, hipoksia, hipotensi sistemik, hilangnya autoregulasi aliran darah, inflamsi, edema, peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi dalam waktu singkat (Price. 2003:1177 ). Menurut Doengoes (2000: 270-272) tanda dan gejala dari cedera kepala yaitu: a. Aktivitas/istirahat kondisinya. Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter. Kelemahan secara umum, keterbatasan dalam rentang gerak, hipotonia. b. Sirkulasi penyakit jantung kongenital (abses otak). Tanda : Tekanan darah meningkat, nadi menurun dan tekanan nadi berat (berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada pusat vasomotor). Takikardi, disritmia (pada fase akut). c. Makanan/cairan Gejala : Kehilangan nafsu makan, kesulitan menelan (pada periode akut). Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa kering. d. Higiene periode akut). e. Neurosensori parestesia, terasa kaku pada semua pernafasan yang terkena, kehilangan sensasi (kerusakan pada saraf kranial), gangguan dalam Gejala : Sakit kepala (mungkin merupakan gejala pertama dan biasanya berat), Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis, beberapa Gejala : Perasaan tidak enak (malaise), keterbatasan yang ditimbulkan oleh
penglihatan seperti diplopia (fase awal dari beberapa infeksi). Tanda : Status mental/tingkat kesadaran, letargi sampai kebingungan yang berat sehingga menjadi koma, delusi dan halusinasi/psikosis organik (ensefalitis). f. Nyeri/kenyamanan diperburuk oleh ketegangan leher/punggung kaku, nyeri pada gerakan okular, fotosensitivitas, sakit tenggorok nyeri. Tanda : Tampak terus terjaga, perilaku distraksi/ gelisah, menangis/ mengaduh/ mengeluh. g. Pernafasan Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru (abses otak). Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (episode awal), perubahan mental (letargi sampai koma) dan gelisah. Gejala : Sakit kepala (berdenyut dengan hebat, frontal) mungkin akan
Gambar 2. Tanda dan Gejala Cedera Kepala 6. Pemeriksaan Diagnostik MRI : sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras. Angiografi serebral menunujukan kelainan serkulasi serebral, seperti pergeseran EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. patologis.
Sinar X mendeteksi adanya perubahaan struktur tulang (fraktur), pergeseran Pungsi lumba, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah arteri atau oksigenasi Kimia/Elaktrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang. subarakhnoid. yang akan dapat meningkatkan TIK. meningkatkan TIK/perubahan mental. terhadap penurunan kesadaran. (Doenges, 2000:272) 7. Penatalaksanaan Pasien harus diberikan 100% oksigen, dan monitoring jantung serta 2 IV line harus diberikan bagi pasien dengan TBI (trauma brain injury) berat, intubasi endotracheal (melalui intubasi cepat) untuk mengamankan jalan napas dan mencegah hipoksemia. Jika dilaksanakan dengan tepat, intubasi cepat akan mencegah peningkatan TIK dan mengurangi terjadinya komplikasi. Saat melakukan intubasi cepat, sangat penting untuk mengimobilisasi tulang leher dengan adekuat dan menggunakan sedasi kuat atau agen induksi. Karena hipotensi dapat mengakibatkan menurunnya perfusi serebral, sangatlah penting untuk dilakukan pengontrolan tekanan darah. Pemberian resusitasi cairan dengan cairan kristaloid. CT scan juga dilakukan dengan berkonsultasi dengan bagian medis neurologi untuk menentukan dilakukannya suatu operasi. Semua pasien dengan indikasi trauma intrakranial, posisi tempat tidur harus ditinggikan sebesar 30.(Jhon: 2004;778) Penatalaksanaan cedera kepala menurut Plantz (1998;526) Jika pasien dengan GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi. Dengan diberikan tekanan PCO2 sebanyak 25-30 mmHg dapat mengakibatkan vasokontriksi cerebral dan membantu menurunkan TIK. Namun bila hiperventilasi ini diberikan secara berlebihan dapat mengakibatkan penurunan perfusi cerebral Penanganan kejang : kejang biasanya diberikan phenytoin dengan atau tanpa benzoidiazepines
Penanganan luka pada kulit kepala: berikan irigasi yang berlebih, penekanan
harus diberikan untuk mengontrol perdarahan dan luka ditutup dengan jaritan. 8. Komplikasi Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2000:7) sebagai berikut: dan terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala tertutup. bruit orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik. pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukan resiko meningkat untuk kejang lanjut dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. 9. Prognosis Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar. Skor pasien 3-4 memungkinkan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang banyak berkembang pada pasien cedera kepala.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Pengkajian Awal Pengkajian ini dibuat dengan cepat selama pertemuan pertama dengan pasien yang meliputi ABC (Airway, Breathing, Circulation) Pengkajian Airway Data Objektif Terdapat sumbatan penumpukan secret Subjektif atau Pasien mengatkan bisa Masalah Bersihan jalan nafas tidak efektif
Adanya suara nafas tambahan : tidak (+) Perubahan (Takipnea) sekretnya nafas Pasien
terdengar adanya suara snoring mengeluarkan Breathing Circulation frekuensi Pola nafas tidak efektif
mengatakan atau sulit
Irama nafas abnormal (cepat dan merasa sesak dangkal) Nafas spontan tetapi adekuat Perubahan tekanan darah Perubahan (takikardia) Akral dingin Hidung dan mulut mengeluarkan darah atau perdarahan masif Anemis (+) Mata : pupil anisokor Reaksi cahaya menurun Penurunan GCS Peningkatan TIK Kerusakan system saraf pusat atau neuromuskular frekuensi jantung tidak bernafas Risiko kekurangan
volume cairan
Disability
Pasien mengatakan merasa lemas/lemah, mual terasa dan nyeri
Perfusi jaringan (serebral) efektif Nyeri akut Mual Gangguan mobilitas fisik Gangguan komunikasi verbal tidak
pada kepala
Gangguan persepsi sensori Risiko cedera Eksposure Kepala terdapat lesi Risiko Infeksi
b. Pengkajian Dasar 1) Identitas pasien Tgl/jam Ruangan No RM Diagnosa Nama pasien Umur Jenis kelamin 2) Riwayat sakit dan kesehatan Keluhan utama saat MRS Keluhan utama saat pengkajian Riwayat penyakit saat ini Riwayat alergi Riwayat pengobatan Riwayat penyakit sebelumnya Riwayat penyakit keluarga Status Sumber Agama Pendidikan Pekerjaan Suku/bangsa Alamat perkawinan informasi
medik
c. Pengkajian Berdasarkan Persistem Pengkajian Breathing Data Objektif Adanya Suara tambahan : Subjektif nafas terdengar Bersihan jalan nafas tidak efektif Pola nafas tidak efektif Masalah
adanya suara snoring (+) Perubahan frekuensi nafas
Blood
Irama nafas abnormal (cepat dan dangkal). Nafas spontan tetapi tidak adekuat Perubahan tekanan darah Perubahan dan irama nadi Perubahan Akral dingin Hidung dan mulut mengeluarkan darah atau perdarahan masif Anemis (+) Kepala terdapat lesi CT Scan Kepala : cedera otak berat Penurunan GCS Peningkatan TIK Kerusakan system saraf pusat atau neuromuskular frekuensi jantung (takikardia) kedalaman Perfusi jaringan (seberal) efektif Risiko kekurangan volume cairan Pk hipovolemi Shok tidak
Brain
Perfusi jaringan (serebral) efektif Nyeri akut Mual Gangguan mobilitas fisik Gangguan komunikasi verbal Gangguan persepsi sensori Risiko infeksi Risiko cedera tidak
Bladder Bowel Bone
-
d. Pengkajian Terus Menerus Dikaji saat perawatan pada pasien secara kontinu
2. Diagnosa Keperawatan a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pembentukan lendir/sekret b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular karena penurunan aliran darah otak dan penekanan pusat pernafasan di medulla oblongata dan pons c. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan kerusakan transportasi oksigen melewati membran kapiler atau alveolar karena peningkatan TIK d. Risiko Kekurangan volume cairan berhubungan dengan dengan kehilangan volume cairan tubuh secara aktif e. PK: Shock hipovolemi f. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial g. Mual berhubungan dengan depresi sistem saraf pusat/ trauma kepala h. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular i. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan fungsi motoris otot-otot bicara j. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan interpretasi sekunder tehadap cedera serebrovaskular k. Risiko infeksi brehubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma l. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder akibat hipoksia
3. Perencanaan NO. 1 DIAGNOSA KEPERAWATAN RENCANA KEPERAWATAN TUJUAN & INTERVENSI Mandiri : 1. Obstruksi dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, perlengketan mukosa, perdarahan, spasme bronkus, dan/atau masalah ronchi, 2. Evaluasi gerakan dada dan 2. Gerakan dada simetris dengan bunyi nafas melalui area paru menunjukkan letak selang tepat/ tak menutup jalan nafas. Obstruksi jalan nafas bawah (mis. Pneumonia/atelektasis) menghasilkan perubahan pada bunyi nafas seperti ronchi, mengi 3. Awasi letak selang endotrakeal 3. Selang endotrakeal dapat masuk ke dalam 16auskultasi untuk bunyi nafas bilateral dengan posisi trakeostomi/selang endotrakeal RASIONAL
KRITERIA HASIL Bersihan jalan nafas tidak Setelah diberikan asuhan Mandiri : efektif dengan lendir/sekret berhubungan keperawatan selama 3 X 15 menit pembentukan diharapkan pasien dapat mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan kriteria hasil : Tidak terdapat suara nafas tambahan Frekuensi batas normal 24x/menit) Irama nafas regular Tidak terdapat produksi sekret/sputum Ekspansi dada simetris, (rales, nafas (RR wheezing, crakels, snoring)
1. Kaji kepatenan jalan nafas
tidak terdapat penggunaan otot bantu pernafasan, tidak ada retraksi dada Tidak orthopnea 4. Catat peningkatan dispnea, sekret terlihat tambahan pada suara (rales, ronchi, selang nafas wheezing, endotrakeal/trakeostomi, crakels, snoring) ada dispnea,
bronkus kanan, sehingga menghambat aliran udara ke paru kiri dan pasien berisiko untuk pneumothorak tegangan 4. Pasien intubasi biasanya mengalami reflek batuk tak efektif atau pasien dapat mengalami gangguan neuromuskuler atau neurosensori
5. Penghisapan tidak harus rutin, dan 5. Hisap sekret sesuai kebutuhan, lamanya harus dibatasi untuk batasi penghisapan 15 detik atau kurang menurunkan bahaya hipoksia. 6. Meningkatkan 6. Ubah posisi/berikan cairan dalam kemampuan individu drainase sekret dan
ventilasi pada semua segmen paru, menurunkan risiko atelektasis 7. Meningkatkan ventilasi pada semua
7. Ubah posisi/berikan cairan dalam kemampuan individu
segmen paru dan alat drainase sekret Kolaborasi :
Kolaborasi : 8. Berikan 2 Pola nafas tidak efektif Setelah berhubungan disfungsi neuromuscular diharapkan diberikan pola nafas bronkodilator IV dan aerosol sesuai indikasi asuhan Mandiri : pasien pernapasan
8. Meningkatkan ventilasi dan membuang sekret dengan relaksasi otot halus/spasme bronkus Mandiri : Intubasi, ventilasi mekanik lama, ketidakmampuan umum, malnutrisi, usia, dan prosedur invansif adalah factor dimana pasien potensial mengalami infeksi dan lama sembuh
dengan keperawatan selama 3 X 15 menit
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman 1.
karena penurunan aliran efektif dengan kriteria hasil : darah otak dan penekanan pusat medulla pons pernafasan oblongata di dan Tidak terdapat suara nafas tambahan Frekuensi batas normal 24x/menit) Irama nafas regular Refleks gag dan reflex menelan (+) 3. Kaji reflex yang penting untuk 3. bernapas gag reflek dan reflex (rales, nafas (RR ronchi, dalam 162. Auskultasi suara napas dan adanya 2. suara-suara tambahan yang tidak normal wheezing, crakels, snoring)
Untuk
mengidentifikasi
adanya
masalah paru atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi serebral Kemampuan memobilisasi atau
membersihkan sekresi penting untuk
menelan 4. Pertahankan kepala tempat tidur ketinggian bagian 4.
pemeliharaan jalan napas. Untuk paru/ventilasi jatuh dan memudahkan paru dan ekspansi dapat saluran
menurunkan adanya kemungkinan lidah menyumbat pernapasan serta menghindari risiko peningkatan TIK 5. Pantau penggunaan dari obat-obatan 5. 3 Perfusi jaringan jaringan Setelah serebral kerusakan oksigen membran alveolar peningkatan TIK tidak berhubungan dengan diharapkan melewati hasil : kapiler atau karena Reaksi pupil positif, isokor GCS 9 - 13 TTV normal (TD 120 - 90/ diberikan perfusi depresan pernapasan, seperti sedative asuhan Mandiri : 1. Kaji tanda-tanda vital : Pantau tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik dan tekanan nadi jaringan Dapat meningkatkan gangguan/
komplikasi pernapasan Mandiri : 1. Pengkajian tanda tanda vital mengindikasikan : Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastolik (nadi yang tanda membesar) merupakan
efektif keperawatan selama 3 X 15 menit
transportasi serebral efektif dengan kriteria
terjadinya peningkatan TIK
90 - 70 mmHg; Nadi 80 100x/menit regular) BGA dalam batas normal (pH 7,35 7,40; PaCO2 3545mmHg; 100mmHg) Saturasi O2 : 95 - 100% PaO2 95 -
Frekuensi jantung, catat adanya bradikardia, takikardia, atau bentuk disritmia lainnya
Perubahan
pada
ritme
(paling
sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya
2. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
2.
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan, dan perkembangan kerusakan SSP.
3. Evaluasi
keadaan
pupil,
catat 3.
Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial III (okulomotor) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara
ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan, dan reaksinya terhadap cahaya
persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus dan okulomotor. 4. 4. Pertahakan kepala/leher pada posisi tengah atau pada posisi netral, hindari pemakaian bantal besar pada kepala 5. 5. Tinggikan kepala pasien 15-450 sesuai indikasi/yang dapat ditolerir satu Kepala yang miring pada salah sisi menekan vena jugularis menghambat aliran darah vena, yang selanjutnya akan meningkatkan TIK Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan TIK 6. 6. Monitor BGA dan/atau saturasi O2 Menentukan kecukupan pernapasan (kemunculan dari hipoksia/asidosis) dan mengindikasikan kebutuhan akan terapi; adekuatnya oksigen sangat penting
dalam mempertahankan metabolisme otak Kolaborasi : Kolaborasi : 7. Berikan obat sesuai indikasi : Diuretik, mis. manitol, furosemid Steroid, mis. deksametason, Antikonvulsan, mis. fenitoin 7. Memberikan obat sesuai indikasi : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan TIK Menurunkan inflamasi Obat pilihan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang Dapat diindikasikan nyeri dan untuk dapat menghilangkan Analgesik
metil prednisolon,
berakibat negatif pada TIK tetapi harus digunakan dengan hati-hati untuk pernapasan Dapat digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi mencegah gangguan
Menurunkan atau mengendalikan Sedatif Antipiretik demam metabolisme peningkatan oksigen 8. dan Menurunkan volume hipoksemia, serebral yang yang dan meningkatakan serebral kebutuhan atau terhadap
mana dapat meningkatkan vasodilatasi 8. Kolaborasi pemberian oksigen 4 Risiko ekurangan volume Setelah cairan volume diberikan asuhan Mandiri : Kaji tanda-tanda vital (terutama tekanan darah dan frekuensi jantung/nadi) darah meningkatkan TIK Mandiri : 1. Perubahan dapat menunjukkan efek hipovolemia (perdarahan/dehidrasi). Penurunan sirkulasi darah dapat terjadi dari peningkatan kehilangan cairan mengakibatkan takikardia 2. Gejala-gejala tersebut hipotensi dan
berhubungan keperawatan selama 3 X 6 jam 1. cairan tubuh dengan kriteria hasil : TTV normal (TD 12090/90-70 mmHg, Nadi 80100x/menit) GCS 8-13 Hematokrit : 42-50%
dengan dengan kehilangan diharapkan volume cairan adekuat secara aktif
Hb : 13-18 gr/dl Tidak terjadi tanda-tanda anemis Turgor kulit normal/baik (elastis) Akral hangat
2.
Observasi
demam,
perubahan
menunjukkkan dehidrasi/hemokonsentrasi dan tanda tanda anemis
tingkat kesadaran , turgor kulit buruk, kulit dan membran mukosa kering, akral dingin, konjungtiva pucat 3. Monitor dan pertahankan intake dan output cairan
3. Pamasukan pasien dapat menurun selama periode krisis. Dehidrasi dapat menurunkan haluaran urin
Kolaborasi: 4. Berikan cairan IV sesuai indikasi
Kolaborasi : 4. Mempertahankan cairan/elektrolit pada keseimbangan tak adanya
pemasukan melalui oral. Cairan harus diberikan segera (khususnya pada keterlibatan SSP) untuk menurunkan hemokonsentrasi dan mencegah infark 5. Memperbaiki/menornalkan 5. Berikan tranfusi darah sesuai kapasitas pembawa oksigen untuk
indikasi
memperbaiki anemia, dan berguna untuk mengatasi perdarahan. Penggantian cairan/darah tergantung pada derajat hipovolemia dan lamanya perdarahan (akut atau kronis) 6. Peningkatan hemokonsentrasi. kemampuan ginjal urine penrunan menunjukkan Kehilangan untuk dapat elektrolit
6.
Monitor serum, dan urine)
hasil
laboratorium
mengkonsentrasikan mengakibatkan serum.
(pemeriksaan hematokrit, Hb, elektrolit
5
Risiko entry kuman
infeksi Setelah
diberikan
asuhan Mandiri : perawatan pertahankan aseptik tehnik dan cuci antiseptik,
Mandiri : 1. Untuk infeksi menghindari nosokomial dari terjadinya petugas
berhubungan dengan port keperawatan selama 3 X 24 jam 1. Berikan (destruksi diharapkan tidak terjadi infeksi jaringan di daerah frontal dengan kriteria hasil :
tangan yang baik
kesehatan kepada pasien
dan peningkatan paparan lingkungan)
TTV normal (Tax 36,50 37,20C) Hasil pemeriksaan laboratorium normal (Leukosit 5.000 10.000/ l) 2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi 2. Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan tindakan pencegahan selanjutnya. 3. Kaji tanda-tanda vital, terutama suhu 3. Mengkaji keadaan umum pasien; peningkatan suhu merupakan salah satu indikator terjadinya infeksi tampak 4. Batasi pengunjung yang dapat 4. Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman penyebab infeksi 5. Menghindari terjadinya infeksi yang lebih luas 6. Lakukan oral hygiene 6. Menurunkan kemungkinan menularkan infeksi 5. Lakukan perawatan luka pada lesi untuk terhadap melakukan dan komplikasi dengan segera
Tidak terjadi tanda tanda infeksi pada lesi/ luka (color, dolor, rubor, dan tumor)
Tidak terdapat produksi sekret/sputum Mulut bersih pasien
terjadinya pertumbuhan bakteri pada
mulut akibat penggunaan ETT Kolaborasi 7. Berikan antibiotik sesuai indikasi Kolaborasi 7. Terapi profilaktik dapat digunakan pada psien yang mengalami trauma (perlukaan), kebocoran CSS, atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan risioko terjadinya infeksi nosokomial 8. Ambil bahan pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (khususnya leukosit) 8. Peningkatan/ penurunan nilai
leukosit mastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organism penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.
4. Manajemen Keperawatan Intensif dan Evaluasi No 1 Oksigenasi
Manajemen Kaji kondisi awal dan kondisi
Evaluasi Tidak terdapat suara nafas tambahan (rales, nafas (RR ronchi, dalam 16wheezing, crakels, snoring)
dasar pasien, serta indikasi bantuan napas yang diperlukan oleh pasien.
Awasi klien dengan alat invasif
Frekuensi batas normal 24x/menit)
seperti trakeostomi Jackson hindari terjadinya regurgitasi dan aspirasi ke dalam laring.
Irama nafas regular Tidak terdapat produksi sekret/sputum Ekspansi dada simetris, tidak terdapat penggunaan otot bantu pernafasan, tidak ada retraksi dada
Pasien dapat diposisikan miring
atau seperti posisi koma untuk mengurangi aspirasi.
Hindari untuk memfleksikan
leher karena berpengaruh buruk pada jalan napas dan peningkatan TIK.
Perubahan posisi yang teratur penggunaan dapat tempat tidur mengurangi
Tidak orthopnea
ada
dispnea,
dan
rotokinetik
Refleks gag dan reflex menelan (+) Reaksi isokor GCS 9 - 13 TTV normal (TD 120 90/ 90 - 70 mmHg; Nadi 80 100x/menit regular) pupil positif,
penumpukan sekret pada lapang paru dependent
Secara rutin dan terus- menerus
perawat harus mengkaji frekuensi dan upaya pernapasan klien, bila diperlukan lakukan pemeriksaan AGD untuk mengetahui efektivitas ventilasi pasien.
BGA dalam batas normal (pH 7,35 7,40; PaCO2 3545mmHg; 100mmHg) PaO2 95 -
Bila penghisapan diperlukan pasien harus
maka
dihiperoksigenasi sebelum, selama dan sesudahnya untuk menghindari
Saturasi O2 : 95 - 100%
cedera
otak
sekunder
akibat
hipoksia dan peningkatan TIK. Pada pasien dengan ventilator mengukur pola napas untuk
(kemampuan mandiri pasien) dapat 2 Mobilisasi Pasien digunakan kapnografi Berikan posisi yang membantu abnormal
benar tonus
Kepala pasien pada posisi 15o-45o sesuai indikasi/yang dapat ditolerir
kepada pasien karena hal ini dapat menghambat
Tidak terjadi atrofi otot otot ekstrimitas Tidak terdapat dekubitus Tidak terdapat suara nafas tambahan (rales, nafas (RR ronchi, dalam 16wheezing, crakels, snoring)
Perhatikan bila terjadi postur
tubuh abnormal : hal ini umum terjadi pada pasien cedera kepala adalah posisi opistotonik. Rotasi batang tubuh dan fleksi ekstremitas bawah akan membantu
Frekuensi batas normal 24x/menit)
menghentikan posisi ini. Usahakan untuk merelaksasikan tonus-tonus otot.
Hindari terjadinya kontraktur
Irama nafas regular Tidak terdapat produksi sekret/sputum Ekspansi dada simetris, tidak terdapat penggunaan otot bantu pernafasan, tidak ada retraksi dada
dengan menggerakkan secara rutin atau terapi ROM secara pasif dan reguler pada pasien.
Hindari kerusakan kulit karena
hilangnya fungsi motorik pasien. Hal ini terjadi karena penekanan, kelembaban,
gesekan
dan
Tidak orthopnea
ada
dispnea,
penurunan sensasi. Tempat tidur yang digunakan harus mendistribusikan BB pasien secara merata.
Penggunaan
bantalan
lunak TTV normal (Tax 36,50 37,20C) Hasil laboratorium Tidak (color, tumor) Tidak terdapat produksi sekret/sputum Mulut bersih pasien tampak terjadi pemeriksaan normal tanda dan
3
Infeksi
diatas dan dibawah tonjolan tulang. Perawat yang bekerja di ICU terutama harus menyadari praktik aseptik. Klien berisiko terhadap infeksi berikut :1)
karena
alasan
sebagai
(Leukosit 5.000 10.000/ l) tanda infeksi pada lesi/ luka dolor, rubor,
Klien ICU merupakan klien penyakit kritis dan sering kali memiliki lebih banyak penyakit yang mendasari dibanding klien lainnya. Peralatan invasif seperti selang intravena dan intraarterial lebih banyak digunakan Penggunaan spektrum berlebihan, luas antibiotik secara menimbulkan
2)
3)
mikroorganisme resistan yang nantinya menyebabkan infeksi.
Perawat mengkaji mekanisme
pertahanan tubuh yang dimiliki oleh klien di ICU
Petugas ICU selalu ingat untuk
melakukan standar precauion dan APD
Melakukan
kontrol
dan
eliminasi agen infeksius, dengan megindikasikan tempat-tempat yang mungkin menjadi sumber infeksi bagi klien (desinfektan,
sterilisasi)
Lakukan
personal
hyigene
secara teratur pada klien, terutama klien yang tidak sadar dalam waktu yang lama
Lakukan
tindakan
aseptik paparan
untuk tindakan medis dan perawat untuk
mengurangi
organisme pada klien ICU. Penuhi asupan akan nutrisi dan klien untuk menjaga cairan
metabolisme tetap adekuat. Lakukan kontrol dan eliminasi Awasi dan batasi interaksi klien reservoar
dan pengunjung yang berisiko. 4 Pemenuhan Nutrisi
Pemberian
terapi
nutrisi
Berat badan sesuai dengan Tonus otot pasien dalam Albumin 3,0 5,5 gr/dL LDL < 100mg/dL HDL > 55 mg/dL Trigliserida < 150 mg/dL Glukosa darah puasa 70 Kolesterol 150 310 Natrium 135 145 mEq/L Kalium 3,5 5,2 mEq/L
disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan klien, seperti: alat invasif yang terpasang pada tubuh klien.
berat badan ideal pasien
batas normal
Perawat
harus
memantau
perkembangan kemampuan pasien terhadap penerimaan nutrisi yang diberikan, parenteral mengubahnya sebelumnya.
seperti untuk
penghentian kemudian bentuk
115 mg/dL
dalam
enteral dengan pelatihan menelan Ha lhal yang harus
mg/dL
diperhatikan
untuk
pemenuhan
nutrisi pasien ICU : 1) kemampuan menelan pasien, 2) status pernapasan klien, 5 Farmakologi 3) kekuatan batuk klien, Mengkaji kebutuhan terhadap dengan diberikan
pasien sesuai yang
Pemberian sesuai dengan cara pemberian,
obat-obatan terapi medis
prinsip 6 B plus (Benar obat, orang, waktu, dosis, dokumentasi, efek samping terhadap obat yang lain, dan efek samping terhadap makanan)
Kaji riwayat reaksi sensitifitas Lakukan penyimpanan dan obat
pada klien
dengan kepada mengenai
instruksi pasien indikasi
sebelumnya keluarga dan efek
Tidak
terjadi
tanda
tanda alergi (sesak, mual, muntah, gatal gatal, dll)
obatnya, penyimpanan sebaiknya dilakukan secara sentral untuk semua pasien.
DAFTAR PUSTAKA Campbell, J.E. 2004. BTLS: Basic Trauma Life Support for EMT-B and the First Responden, 4th Ed. New Jersey: Pearson Education Doenges, Marilynn E. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC Gallo, Hudak. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC Guyton. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC Wikipedia, the Free Encyclopedia. 2009. Brain Injury. (Online). (http://en.Wikipedia.org/wiki/braininjury, Diakses tanggal 26 Maret 2010).