pbl trauma kepala

56
LI.1 MM cedera cranio serebral LO.1.1 Definisi Cedera kepala adalah Suatu gangguan trauma fungsi yang disertai pendarahan interstisial dalam sub stansi otak tampa diikuti terputusnya continuitas otak (R. Samsuhidayat, dkk, EGC, 1997) Cendera Kepala (terbuka & tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak Cranio serebri (geger), Kontusio (memar) / Laserusi & perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi / deselerasi otak). Trauma sekunder akibat trauma syaraf (mil akson) yang meluas hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipertensi sistemik (Doengoes,1993) LO.1.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Turner DA, 1996). Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (PERDOSSI, 2007). (PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007. Pekanbaru.) LO.1.3 etiologi

Upload: gusdinda27

Post on 10-Dec-2015

55 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

emergency

TRANSCRIPT

Page 1: pbl trauma kepala

LI.1 MM cedera cranio serebral

LO.1.1 Definisi

Cedera kepala adalah Suatu gangguan trauma fungsi yang disertai pendarahan interstisial dalam sub stansi otak tampa diikuti terputusnya continuitas otak (R. Samsuhidayat, dkk, EGC, 1997)

Cendera Kepala (terbuka & tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak Cranio serebri (geger), Kontusio (memar) / Laserusi & perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi / deselerasi otak). Trauma sekunder akibat trauma syaraf (mil akson) yang meluas hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipertensi sistemik (Doengoes,1993)

LO.1.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal  sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).  Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Turner DA, 1996).  Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (PERDOSSI, 2007).  

(PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007. Pekanbaru.)

LO.1.3 etiologi

Trauma oleh benda tajam

Menyebabkan cedera  setempat& menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)

Kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.

LO.1.4 klasifikasi

Klasifikasi Cedera Kepala

Page 2: pbl trauma kepala

1. Komosio Serebri (geger otak)

Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak ,termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.

Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.

2. Kontusio serebri (memar otak)

Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi:

a. Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranial yang dapat menyebabkan kematian.

b. Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi)

c. Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).

3. Hematoma epidural

Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat,hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.

4. Hematoma subdural

Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologisseperti hemiparesis, epilepsy, dan edema papil.

Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis :

a. Hematoma Subdural Akut

Page 3: pbl trauma kepala

Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.

b. Hematoma Subdural Sub-Akut

Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.

c. Hematoma Subdural Kronik

Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.

5. Hematoma intraserebral

Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.

Gejala-gejala yang ditemukan adalah :

- Hemiplegi- Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat.- Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke

sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.

6. Fraktura basis kranii

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik.

Gejala tergantung letak frakturnya :

a. Fraktur fossa anterior

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua matadikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematoma atau Racoon’s Eyes), rusaknyaNervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.

b. Fraktur fossa media

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

c. Fraktur fossa posterior

Page 4: pbl trauma kepala

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika.

(1) Menurut Jenis Cedera

Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak

Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas

(2) Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)

Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)

-        GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)

-        Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt

-        Tak ada fraktur tengkorak

-        Tak ada contusio serebral (hematom)

-        Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang

-        Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

-        Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala

-        Tidak adanya criteria cedera sedang-berat

Cedera kepala sedang

-        GCS  9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

-        Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi)

-        Dapat mengalami fraktur tengkorak

-        Amnesia pasca trauma

-        Muntah

-        Kejang

Cedera kepala berat

-        GCS 3-8 (koma)

-        Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)

-        Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial

-        Tanda neurologist fokal

Page 5: pbl trauma kepala

-        Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium

(3) Menurut morfologi

a. Fraktur tengkorak :

- cranium : linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup

- Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII

b. Lesi intracranial         :    

- fokal: epidural, subdural, intraserebral

- difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difusi.

LO.1.5 patofisiologi

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu.

Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.

Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Cedera Primer

Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).

2. Cedera Sekunder

Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.

Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan

Page 6: pbl trauma kepala

kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :

CPP = MAP – ICP

CPP : Cerebral Perfusion Pressure

MAP : Mean Arterial Pressure

ICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.

3. Edema Sitotoksik

Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).

4. Kerusakan Membran Sel

Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut).

Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.

5. Apoptosis

Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage). Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang dapat dihentikan.

a.       Fraktura Tengkorak

Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau  basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata,  depressed atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT  scan dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan  lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau  compound berakibat  hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini  memerlukan operasi perbaikan segera (Http://findlaw.doereport.com  [diakses 9 Januari 2013])

Page 7: pbl trauma kepala

Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih  banyak  mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria  linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali  pada  pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi  risiko hematoma intrakranial sebesar  400 kali  pada  pasien yang sadar dan 20 kali  pada  pasien yang  tidak  sadar. Untuk alasan ini,  adanya  fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli  bagaimana  baiknya tampak pasien tersebut.

b.      Lesi Intrakranial 

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan.  Lesi fokal termasuk hematoma epidural,  hematoma subdural,  dan kontusi (atau  hematoma  intraserebral). Pasien  pada kelompok cedera otak difusa, secara  umum, menunjukkan  CT scan  normal namun menunjukkan  perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular  cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun  terakhir ini.

Lesi Fokal

1)      Hematoma  Epidural  

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporal-parietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena,  terutama diregio  parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma  epidural relatif  tidak  terlalu  sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak  segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya  masih terbatas. Outcome5 langsung  bergantung  pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural  sekitar  0% pada pasien tidak koma,  9%  pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam. (Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery . [diakses 9 Januari 2013]), (Hickey JV, 2003),

 2)      Hematoma Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena  bridging antara korteks serebral dan sinus  draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin  diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. (Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery . [diakses 9 Januari 2013])

3)      Kontusi dan hematoma intraserebral. 

Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat  terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang  otak. Perbedaan antara

Page 8: pbl trauma kepala

kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.  Bagaimanapun,  terdapat zona  peralihan, dan kontusi dapat secara  lambat  laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari (Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery . [diakses 9 Januari 2013])

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (FKUPH, 2005).

LO.1.6 manifestasi klinis

1.     Nyeri yang menetap atau setempat.

2.     Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.

3.     Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga  ), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).

4.     Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.

5.     Penurunan kesadaran.

6.     Pusing / berkunang-kunang.

7.     Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler

8.     Peningkatan TIK

9.     Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas

10.  Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

LO.1.7 diagnosis/diagnosis banding

Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan  pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan  secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ (FKUPH, 2005).

Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks (FKUPH, 2005). Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral (FKUPH, 2005).  Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya ehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia,  atau sakit kepala hebat.

Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai  derajat kegawatan cedera kepala (Turner DA, 1996).

Page 9: pbl trauma kepala

Eye (respon membuka mata)

(4) : spontan membuka mata

(3) : membuka mata dengan perintah (suara, sentuhan)

(2) : membuka mata dengan rangsang nyeri

(1) : tidak membuka mata dengan rangsang apa pun

Verbal (respon verbal)

(5) : berorientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau, disorientasi tempat dan waktu

(3) : bisa membentuk kata tapi tidak bisa membentuk kalimat

(2) : bisa mengeluarkan suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak bersuara

Motor (respon motorik)

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)

(4) : withdraws (menghindar/menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)

(3) : menjauhi rangsang nyeri

(2) : extensi spontan

(1) : tidak ada gerakan

kriteria :

Kesadaran baik / normal : GCS 15

Koma : GCS < 7

Sumber lain:

GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)

GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

Indikasi  pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :

Page 10: pbl trauma kepala

·         bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat.

·         cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak

·         adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii

·         adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran

·         sakit kepala yang hebat

·         adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak

·         kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.

Pemeriksaan Diagnostik

CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran cairan otak.

MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.

Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.

Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).

BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..

PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.

Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.

Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan TIK.

GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.

Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.

Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

DB: koma diabetik, koma alkoholik, CVD atau epilepsy (jika pasien kejang).

LO.1.8 terapi

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA

Penatalaksanaan cedera kepala bertujuan mempertahankan fisiologi umum tubuh, penanganan segera akibat cedera primer, pencegahan atau meminimalkan cedera kapala sekunder dengan

Page 11: pbl trauma kepala

penanganan peningkatan tekanan intrakranial, mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat. Derajat klinis pada penanganan cedera kepala dibagi atas:

I.Standard : Prinsip-prinsip penanganan pasien dengan tingkat kepastian klinis yang tinggi.

II.Guidelines : Tingkat kepastian klinis moderate

III.Option : kepastian klinis belum jelas

Prinsip Dasar Penanganan Cedera Kepala

Monitor tekanan intrakranial beserta penurunannya.

Elevasi kepala 30 derajat

Terapi medika mentosa untuk penurunan udem otak

Penurunan aktivitas otak, menurunkan hantaran oxygen dengan induksi koma.

Pembedahan dekompresi

Terapi Profilaksi terhadap kejang.

Terapi Farmakologi

Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi, jangan menggunakan cairan hipotonis / glukosa

Hiperventilasi fase akut (option):

pada peningkatan tekanan intrakranial pertahankan PaCO2 pada 25-30 mmHg, hindari Pa CO2< 25 mmHg (vasokonstriksi).

Terapi hiperosmoler -manitol (guideline)

Merupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient osmotik dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek optimalisasi reologi dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas darah, meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan efek samping reboun peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah otak terjadi skuestrasi serebral, overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas >320 ml osmol/L. Manitol diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan 0,25- 1 g/kgBB Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.

Page 12: pbl trauma kepala

Koma barbiturat (guideline)

koma barbiturat dilakukan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter tanpa cedera difus, autoregulasi baik dan fungsi kardiovaskular adekuat. Mekanisme kerja barbiturat: menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.

Cairan garam hipertonis : cairan NaCl 0,9 %, 3%-27%.

Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume intravaskular euvolume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari

Kortikosteroid

Tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan tekanan intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan signifikan pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan outcome yang signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%), perdarahan traktus gastrointestinal (85%).

NUTRISI (guideline)

dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.

Terapi prevensi kejang (guideline)

pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama. Harus dievaluasi adanya faktor-faktor yang lain misalnya: hipoglikemi, gangguan elektrolit, infeksi.

Terapi suportif yang lain : pasang kateter, nasogastrik tube, koreksi gangguan elektrolit, kontrol ketat glukosa darah, regulasi temperatur, profilaksi DVT, ulkus stress, ulkus dekubitus, sedasi dan blok neuro muscular, induksi hipotermi.

I. Penanganan cedera kepala ringan:

pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal.

Page 13: pbl trauma kepala

II. Penanganan cedera kepala sedang (GCS 9-13)

Beberapa ahli melakukan scoring Cedera kepala sedang dengan Glasgow Coma Scale Extended (GCSE ) dengan menambahkan skala Amnesia postrauma (PTA) ) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia. Berdasarkan CT scan dan gejalanya, Batchelor (2003 ) membagi cedera kepala sedang menjadi :

1.Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness

2.Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post trauma

3.Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah lebih dari sekali

Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat penanganan Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness. Penetalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan ( terapi wicara dan okupasi ) untuk disfungsi kognitif , dan psiko edukasi .

III. Cedera kepala berat (GCS 3-8)

Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi: primari survei: stabilisasi cardio pulmoner, secondary survei : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau perawatan di ICU.

LO.1.9 komplikasi

1.Kejang pasca trauma.

Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.

2.Demam dan mengigil :

Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.

3.Hidrosefalus:

Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.

4.Spastisitas :

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan

Page 14: pbl trauma kepala

ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning.Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin

5. Agitasi

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.

6. Mood, tingkah laku dan kognitif

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.

Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.

7. Sindroma post kontusio

Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:

Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,

Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

LO.1.10 pencegahan

Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.

Upaya yang dilakukan yaitu :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder

Page 15: pbl trauma kepala

Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama

c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.

Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.

1. Rehabilitasi Fisik

a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh.

b. Perlengkapan splint dan kaliper

c. Transplantasi tendon

2. Rehabilitasi Psikologis

Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.

3. Rehabilitasi Sosial

a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.

b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

LO.1.11 prognosis

Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.

Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala:

Skor GCS: Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan kesadaran < 30 menit, penurunan kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24 jam.

William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang dengan komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan. Rontgen tulang

Page 16: pbl trauma kepala

tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya lesi intrakranial.

Faktor-faktor yang dapat menjadikan ”Predictor outcome” cedera kepala adalah:

lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak mekanisme cedera dan umur.

Pengukuran outcome:

Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering digunakan antara lain:

Glasgow Outcome Scale (GOS) :

Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat, kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan pekerjaannya), kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).

Dissabily Rating Scale (DRS)

Merupakan skala tunggal untuk melihat progress perbaikan dari koma sampai ke kembali ke lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori termasuk komponen kesadaran (GCS), kecacatan (activity of daily living, handicap dalam bekerja).

Fungsional Independent Measure (FIM)

Banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 items skala yang digunakan untuk mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri, kognitif.

Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak yang tidak efektif. Strategi terapi masa yang akan datang lebih ditujukan pada fase hipoperfusi awal antara lain: induksi hipertensi arterial, terapi farmakologi yang dapat memperbaiki peningkatan resistensi mikrosirkulasi dan terapi hipotermi yang dapat memproteksi neuron akibat iskemik.

LI.2 MM perdarahan intrakranial

LO.2.1 definisi

Perdarahan intracranial adalah Perdarahan yang tiba-tiba dalam jaringan otak merupakan bentuk yang menghancurkan pada stroke hemoragik dan dapat terjadi pada semua umur dan juga akibattrauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain.

Page 17: pbl trauma kepala

LO.2.2 klasifikasi

Perdarahan epidural

Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar dura mater otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya arteri meningea media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan ekstradural.Perdarahan epidural atau kita singkat dengan EDH adalah perdarahan yang terjadi di antaraselaput pembungkus otak (duramater) dan tulang kepala. Perdarahan ini terjadi akibat retaknya tulang kepala pada trauma kepala yang selanjutnya retakan tulang itu akan menjadi sumber perdarahan atau dapat pula mencederai pembuluh darah yang berada diselaput pembungkus otak tersebut. Darah kemudian akan berkumpul dan bertambah banyak baik secara perlahan-lahan atau dalam tempo yang singkat. Pada awalnya dimana jumlah darah masih sangat sedikit, mungkin penderita tidak merasakan suatu keluhan yang berat atau berarti sehingga sering diabaikan. Namun bila jumlah perdarahannya sudahcukup banyak maka dampaknya sangat berat hingga kematian.

Etiologi Trauma merupakan penyebab khas perdarahan epidural, meskipun perdarahan spontan bisa

saja muncul. Trauma seringnya berupa benturan tumpul pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir juga mencakup perdarahan pada bayi baru lahir.

Manifestasi klinikGejala klinis yang khas adalah : Lucid Interval (adanya fase sadar diantara 2 fase tidak sadar

karena bertambahnya volume darah). Gelaja paling menonjol yaitu penurunan kesadaran secara progresif.  Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis. Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.

Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :

Hipertensi Bradikardi BradipneuKontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma. Dilatasi pupil,

lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah lesi, adanya gejala – gejala

Page 18: pbl trauma kepala

peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi. Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai adanya epidural hematom.

Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap, yaitu: Coma Fixasi dan dilatasi pupil DeserebrasiGejala lain yang sering tampak :   Bingung  Penglihatan kabur  Susah bicara  Nyeri kepala yang hebat Keluar cairan darah dari hidung atau telinga Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala  Mual  Pusing  Berkeringat  Pucat  Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar

Pemeriksaan penunjang- Foto polos : sulit untuk menentukan- CT Scan akan tampak area hiperdens biconvex.- MRI

 

PenatalaksanaanPenatalaksaan epidural hematoma dapat dilakukan segera dengan cara trepanasi dengan tujuan

melakukan evakuasi hematoma dan menghentikan perdarahan 

Prognosis Prognosis tergantung pada : • Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )• Besarnya • Kesadaran saat masuk kamar operasi.  Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.  

SUBDURAL HEMATOMA

Page 19: pbl trauma kepala

Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena.

Etiologi Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang

mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan fraktur tengkorak.

Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak.

Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah. Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua.

Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural

Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:- Trauma kapitis- Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak

terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.- Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila

ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak – anak.

- Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.- Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang

spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.- Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Page 20: pbl trauma kepala

Patofisiologi Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam

rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung ( bridging veins ) antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar.Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus.

Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama kegagalan vena

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan

Page 21: pbl trauma kepala

penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.

Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.

Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

KlasifikasiTerbagi atas 3 bagian iaitu:

a) Perdarahan subdural akut - Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang

lambat, serta gelisah. - Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. - Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera

batang otak. b) Perdarahan subdural subakut

- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.

- Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. c) Perdarahan subdural kronis

- Terjadi karena luka ringan. - Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.

Page 22: pbl trauma kepala

- Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas.

- Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. - Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Perdarahan intrasereblar adalah perdarahan yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak intrasereblar, sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam jaringan otak, bukan disebabkan oleh trauma.

Etiologi

Etilogi terbanyak adalah hipertensi yang berlangsung lama atau kronis (60-90%), deformitas pembuluh darah bawaan, tumor otak yang kaya pembuluh darah, dan kelainan hemostasis darah. Faktor resiko untuk perdrahan intrasereblar adalah hipertensi, kelainan jantung, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus. obesitas, polisitemia vera, merokok, usia lanjut dan herediter.

Perdarahan intraserebral ini juga dapat dicetuskan oleh stress fisik, emosi, peningkatan tekanan darah mendadak, yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak intraserebral.

Patofisiologi

Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriol berdiameter 100-400µ mengalami perubahan patologis pada dinding pembuluh darah berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid, keduanya menyebabkan kelemahan muskularis arteriol. Hipertensi yang terus berlangsung akan mendesak dinding arteriol yang lemah tadi, membuat herniasi atau pecahnya tunika intima yang kemudian menjadi aneurisma atau terjadi robekan-robekan kecil.

Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlangsung sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik. Jika perdarahannya sedikit maka darah hanya akan menyela diantara selaput akson tanpa merusaknya. Pada keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologis, sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intra kranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus, dan pons.

Selain kerusakan parenkim otak, akibat dari volume perdarahan yang relatif banyak akan menyebabkan peninggian tekanan intra kranial, dan myebabkan perdarahan intra kranial dan menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak karena terganggunya drainase otak. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila jumlah darah yang keluar lebih dari 60 cc maka resiko kematian mencapai 93% pada perdarahan dalam. Sedangkan bila terjadi perdarahan

Page 23: pbl trauma kepala

serebral dengan volume 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 70%, tetapi volume darah 5 cc yang terdapat pada pons sudah berakibat fatal.

Gejala Klinis

Secara umumgejala perdarahanpada otak adalah :

1. Sakit kepala, muntah, pusing (vertigo), gangguan kesadaran.

2. Defisit neurologis, tergantung lokasi perdarahan.

3. Bila perdarahan ke kapsula interna (perdarahan kapsuler) maka ditemukan :

Hemiparese kontralateral

Hemiplegia

koma

Perdarahan terjadi di pons (batang otak) :

1. Kuadriplegik dan flaksid, kadang dijumpai rigiditas deserebri.

2. Pupil kecil (pin point), reaksi cahaya minimal.

3. Depresi pernafasan atau Cheyne stokes.

4. Hipertensi

5. Febris.

6. Penurunan kesadaran yang cepat tanpa didahului sakit kepala, vertigo, mual dan muntah.

Perdarahan di Thalamus :

1. Defisit hemisensorik

2. Hemiparesis atau hemiplegi kontralateral

3. Afasia, anomia dan mutisme bila mengenai hemisfer yang dominan.

Perdarahan di Putamen :

1. Hemiparesis atau hemiplegi kontralateral.

2. Defisit hemisensorik dan mungkin disertai hemianopsia homonim.

3. Afasia bila mengenai hemisfer dominan.

Page 24: pbl trauma kepala

Perdarahan di Lobus :

1. Frontalis : hemiparesis kontralateral dengan lengan lebih nyata, sakit kepala bifrontal, deviasi konjugae.

2. Parietalis : defisit persepsi sensorik kontralateral dengan hemiparesis ringan.

3. Oksipitalis : hemianopsia dengan atau tanpa hemiparesis minimal, pada ipsilateral dengan hemianopsia.

4. Temporalis : afasia sensorik, bila area wernicke hemisfer dominant terkena, hemianopsia atau kuadranopsia.

Gambaran Patologi Anatomi

1. Terdorongnya massa otak.

2. Invasi sekunder ke ventrikel di ruang subarakhnoid.

3. Kompresi ventrikel

4. Edema perifokal karena hematom dan nekrosis sel saraf

5. Peningkatan tekanan intrakranial, konstriksi foramen medulla oblongata, tentorium mesensefalon, diensefalon.

6. Massa difagosit oleh makrofag dan diganti dengan sel glia sehingga terjadi parut kistik.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : Darah rutin (Hemoglobin, Laju endap darah, Leukosit, Hitung jenis, Hematokrit, Trombosit, Waktu perdarahan dan pembekuan, Gula darah puasa, Gula darah 2 jam post prandial, Total kolesterol, HDL-Kolesterol, LDL-Kolesterol, Trigliserida, Asam urat, Natrium, Kalium, Klorida).

Elektrokardiografi

Elektroensefalografi

CT-Scan kepala

Rontgen foto thoraks

Angiografi

Penatalaksanaan

1. Terapi Umum

Page 25: pbl trauma kepala

a. Breathing : menjaga jalan nafas dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi untuk mencegah lidah jatuh ke belakang, pemberian oksigen 2-3 L/menit.

b. Blood : kontrol tekanan darah dan nadi

c. Brain : mengurangi edema, memenuhi intake cairan dengan pemberian cairan isotonis seperti RL 12 jam/kolf, atasi gelisah dan kejang.

d. Bladder : pasang kateter untuk miksi dan mengetahui output urine

e. Bowel : memenuhi asupan makanan, kalori dan elektrolit

d. Burn : demam diatasi.

2. Terapi Khusus

a. Anti udema : manitol bolus 1 gr/kgBB dalam 20-30 menit, kemudian dilanjutkan dengan dosis 0,25-0,5 gr/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target osmolaritas 300-320 mosm/L atau dengan gliserol 10% 10 ml/kg dalam 3-4 jam atau dengan furosemide 1 mg/kgBB IV. Pemberian steroid tidak diberikan secara rutin, bila ada indikasi harus diikuti oleh pengamatn yang ketat.

b. Obat homeostasis : Transamic acid 6 gram/hari IV (2 minggu), berperan sebagai antiinflamasi dan mencegah perdarahan ulang.

c. Anti hipertensi : bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik > 140 mmHg berikan : Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu. Bila tekanan sistolik 180-230 mmHg atau tekanan diastolik 105-140 mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg berikan : Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, ulangi atau gandakan setiap 10 menit sampai maksimmum 300 mg atau berikan dosis awal bolus diikuti oleh Labetalol drip 2-8 mg/menit atau Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu atau Nimodipin. Bila tekanan sistolik <180 mmHg atau tekanan diastolic < 105 mmHg, tangguhkan pemberian obat anti hipertensi.

d. Bila terdapat kejang diatasi segera dengan Diazepam IV perlahan atau dengan antikonvulsan lain.

e. Neurotropik agent : Piracetam 3x400 mg.

f. Tindakan bedah dilakukan dengan pertimbangan usia dan skala Glasgow > 4, dan hanya dilakukan pada penderita dengan : peradarahan serebelum dengan diameter lebih dari 3 cm dilakukan kraniotomi dekompresi, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum dapat dilakukan VP shunting, perdarahan lobus diatas 60 cc dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial akut disertai dengan ancaman herniasi.

g. Rehabilitasi : penderita perlu perawatan lanjutan secara intensif dan dimobilisasi sesegera mungkin bila klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Perubahan posisi badan dan ekstremitas setiap 2 jam untuk mencegah dekubitus.

PERDARAHAN SUBARAKNOID

Page 26: pbl trauma kepala

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Sumber dari perdarahan adalah pecahnya dinding pembuluh darah yang lemah (apakah suatu malformasi arteriovenosa ataupun suatu aneurisma) secara tiba-tiba. Kadang aterosklerosis atau infeksi menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah sehingga pembuluh darah pecah.

Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Perdarahan subaraknoid karena aneurisma biasanya tidak menimbulkan gejala. Kadang aneurisma menekan saraf atau mengalami kebocoran kecil sebelum pecah, sehingga menimbulkan pertanda awal, seperti sakit kepala, nyeri wajah, penglihatan ganda atau gangguan penglihatan lainnya.

Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah. Jika timbul gejala-gejala tersebut harus segera dibawa ke dokter agar bisa diambil tindakan untuk mencegah perdarahan yang hebat. Pecahnya aneurisma biasanya menyebabkan sakit kepala mendadak yang hebat, yang seringkali diikuti oleh penurunan kesadaran sesaat. Beberapa penderita mengalami koma, tetapi sebagian besar terbangun kembali, dengan perasaan bingung dan mengantuk.

Darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak akan mengiritasi selaput otak (meningen), dan menyebabkan sakit kepala, muntah dan pusing. Denyut jantung dan laju pernafasan sering naik turun, kadang disertai dengan kejang. Dalam beberapa jam bahkan dalam beberapa menit, penderita kembali mengantuk dan linglung. Sekitar 25% penderita memiliki kelainan neurologis, yang biasanya berupa kelumpuhan pada satu sisi badan.

Diagnosis

- biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan, yang bisa menunjukkan lokasi dari perdarahan.

- Jika diperlukan, bisa dilakukan pungsi lumbal untuk melihat adanya darah di dalam cairan serebrospinal

- Angiografi dilakukan untuk memperkuat diagnosis dan sebagai panduan jika dilakukan pembedahan.

Sekitar sepertiga penderita meninggal pada episode pertama karena luasnya kerusakan otak. 15% penderita meninggal dalam beberapa minggu setelah terjadi perdarahan berturut-turut. Penderita aneurisma yang tidak menjalani pembedahan dan bertahan hidup, setelah 6 bulan memiliki resiko sebanyak 5% untuk terjadinya perdarahan. Banyak penderita yang sebagian atau seluruh fungsi mental dan fisiknya kembali normal, tetapi kelainan neurologis kadang tetap ada.

Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan.

Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor. Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan kembali.

Page 27: pbl trauma kepala

LI.3 MM fraktur basis cranii

LO.3.1 definisi

Tengkorak adalah kerangka tulang kepala. Tengkorak terdiri dari dua bagian yang terpisah: tengkorak dan rahang bawah. Mandibula adalah rahang bawah atau rahang, dan tempurung kepala adalah sisa tengkorak. Mandibula adalah satu-satunya bagian dari tengkorak yang tidak bergabung dengan sutura.

Tengkorak bertanggung jawab untuk berbagai macam fungsi penting termasuk: mendukung struktur wajah (seperti hidung dan mata), membentuk jarak antara mata, membentuk posisi telinga untuk membantu otak menentukan arah dan jarak suara dan menjaga serta membentuk rongga/cavitas otak.

Fraktur berarti bahwa telah ada kerusakan baik satu atau lebih tulang pada tengkorak. Meskipun dalam hal ini sangat menyakitkan, ancaman yang lebih besar adalah bahwa membran, pembuluh darah, dan bahkan otak, yang berada di dalam tengkorak dapat terlindungi. Fragmen kecil dari tengkorak juga bisa pecah dan menyebabkan kerusakan tambahan pada otak. Selain itu, energi yang dipakai dalam benturan tengkorak bisa melukai jaringan otak.

Fraktur tulang tengkorak dapat diklasifikasikan dalam salah satu dari dua cara, baik dengan jenis cedera yang diderita atau lokasi dari cederanya. Sebuah fraktur tengkorak basilar terjadi di dasar tengkorak. Ini adalah cedera yang sangat jarang terjadi hanya dalam 4% dari semua kasus fraktur. Fraktur ini pada dasarnya adalah fraktur linear, atau retak garis lurus di dasar tengkorak. Patah tulang tengkorak basilar bisa sangat berbahaya karena batang otak dapat terluka, yang antara lain mengirimkan pesan dari otak ke sumsum tulang belakang. Jika otak atau batang otak terluka maka kematian seringkali sangat mungkin terjadi.

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang menyebabkan kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Ini sering dikaitkan dengan perdarahan di sekitar mata (raccoon eyes) atau di belakang telinga (Battle sign). Garis fraktur dapat meluas ke sinus wajah yang memungkinkan bakteri dari hidung dan mulut untuk masuk keadalam dan kontak dengan otak, menyebabkan infeksi yang potensial.

LO.3.2 klasifikasi

Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :• fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak• fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari tulang tengkorak• fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus. Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari basis cranii.

Page 28: pbl trauma kepala

Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).

a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.

b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth, berakhir di fossa media.

c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis.

Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :

a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.

b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.

c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.

Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.

Jenis Fraktur Basis Cranii

Page 29: pbl trauma kepala

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini.

(A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)

A B

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.

Page 30: pbl trauma kepala

Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.

Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

Manifestasi Klinik

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss).

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

Page 31: pbl trauma kepala

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Khusus di regio temporal, kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot temporalis. Basis Craniii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Lantai dasar rongga tengkorak dibagi atas 3 fossa yaitu: fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat lobus temporalis dan fossa posterior adalah ruang untuk bagian bawah batang otak dan otak kecil (serebelum).

Fraktur basis Craniii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis Craniii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis Craniii dan tulang kalvaria. Durameter daerah basis Cranii lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Tanda/gejala klinis fraktur tulang tengkorak antara lain:

1. Ekimosis periorbital (raccoon eyes sign) ditemukan jika frakturnya pada bagian basis Craniii fossa anterior.

2. Ekimosis retroaurikuler (Battle sign), kebocoran cairan serebro spinal (CSS) dari hidung (rhinorrhea) dan telinga (otorrhea) dimana keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi fraktur pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal dan merobek membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul disamping membrane timpani tidak robek tanda ini ditemukan jika frakturnya pada bagian basis Craniii fossa media.

Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi/gangguan nervus Craniialis VII dan VIII (parase otot wajah dan kehilangan pendengaran), yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah trauma.

LO.3.3 MK/Diagnosa/DB

Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :• Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung• Keluar darah atau cairan jernih dari telinga• Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)• Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)• Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi• Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.

PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Pemeriksaan Laboratorium

Page 32: pbl trauma kepala

Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.b. Pemeriksaan Radiologi• Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.

• CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.• MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.

c. Pemeriksaan Penunjang Lain Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu “halo” atau “ring” sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.

Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis Craniii antara lain:

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah rutin, fungsi

2. Pemeriksaan radiologi

a. Foto rontgen

b. CT-scan dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya.

c. MRI (Magnetic Resonance Angiography)

d. Pemeriksaan arteriografi

Diagnosis Banding

Page 33: pbl trauma kepala

Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital). Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :• Kongenital• Ablasi tumor atau hidrosefalus• Penyakit-penyakit kronis atau infeksi• Tindakan bedah

LO.3.4 terapi

A. Penananganan Khusus

Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan pneumocephalus dengan fistula.

a) Fistula cairan serebrospinal:

Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.

Rinore

Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus

Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.

Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada

Page 34: pbl trauma kepala

pembedahan didaerah fossa Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.

Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.

Pendekatan bedah Sinus

endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.(1)

Otore

Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.(2)

Infeksi

Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)

Page 35: pbl trauma kepala

Pnemocephalus:

Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari: operasi untuk membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.(2)

Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:

Penatalaksanaan :

1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial

Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena efek osmotik , manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg

2. Mengontrol tekanan perfusi otak

Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg , baik dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik untuk meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.

3. Mengontrol hematokrit

Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.

4. Obat obatan

Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir neuromuscular. Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri , memfasilitasi ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada endotrachealtube.

5. Pengaturan suhu

Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala , hipertermia harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.

6. mengontrol bangkitan

Page 36: pbl trauma kepala

Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma , menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural , adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan.

7. Kontrol cairan

NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik . 8. posisi kepala

Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan meningkatkan venous return ke jantung.

9. merujuk ke dokter bedah saraf

Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:

• GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal

• Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam

• penurunan skor GCS terutama respon motoric

• tanda-tanda neurologis fokal progresif

• kejang tanpa pemulihan penuh

• cedera penetrasi

• kebocoran cairan serebrospinal(4)

A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cederaB Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteriC Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV lineD Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutinE Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan belakang.

Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah langkah berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan ekstremitas. Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran

Page 37: pbl trauma kepala

CSF akan pulih dengan elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu pada paralisis nervus fasialis. Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi.

LI.4 MM trias cushing

DEFINISISindrom Cushing merupakan kumpulan gejala-gejala berupa peningkatan berat badan yang cepat terutama pada perut (obesitas sentral) dan wajah (moon face), penumpukan lemak pada leher bagian belakang (buffalo hump), hiperhidrosis (berkeringat berlebihan), striae pada abdomen, penipisan kulit, hirsutisme, hipertensi, penurunan libido, gangguan menstruasi, dan lain-lain. Kelainan ini disebabkan oleh kelebihan hormon kortisol dalam darah. Patologi penyakit ini dijelaskan oleh Harvey Cushing pada 1932.

ETIOLOGI & PATOGENESISSecara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan sekresi hormon kortisol dalam darah. Namun penyebab dari berlebihnya sekresi hormon kortisol tersebut dapat berbeda-beda.

Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon kortisol adalah penyebab terjadinya sindrom Cushing. Sindrom Cushing ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan endogen. Pada umumnya sindrom Cushing disebabkan oleh penyebab eksogen yaitu administrasi glukokortikoid jangka lama (disebut juga Sindrom Cushing iatrogenik). Biasanya terapi steroid ini diberikan untuk penyakit asma atau reumatoid artritis dan terapi imunosurpresi setelah transplantasi organ. Penyebab eksogen lainnya adalah administrasi ACTH namun lebih jarang ditemukan.

Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen dimana terjadi kelainan pada sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri. Penyebab endogen sindrom Cushing ini bisa dibagi menjadi 2 macam yaitu ACTH-dependent (kelainan terdapat pada kelenjar pituitari) dan ACTH-independent (kelainan terdapat pada kelenjar adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel di atas.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ACTH-secreting pituitary adenoma adalah penyebab tersering sindrom Cushing yang disebabkan penyebab endogen. Pada kebanyakan kasus adenoma yang terjadi adalah mikroadenoma (<10mm). ACTH-secreting pituitary adenoma bertanggung jawab atas 70% kasus sindrom Cushing endogen dan sering juga disebut Cushing disease.

Sekresi dari ACTH ektopik oleh sel tumor nonpituitari terjadi pada sekitaar 10% kasus sindrom Cushing endogen. Pada sebagian besar kasus, tumor yang menyebabkan hal ini adalah small cell carcinoma pada paru-paru. Varian ini biasa terjadi pada usia antara 40 sampai 50 tahun.

Page 38: pbl trauma kepala

Neoplasma adrenal primer seperti adenoma adrenal dan karsinoma adrenal merupakan penyebab tersering pada sindrom Cushing ACTH-independent. Secara biokimia tanda yang bisa dilihat adalah peningkatan kortisol serum namun ACTH rendah. Hiperkortisolisme pada karsinoma biasanya lebih parah daripada adenoma atau hiperplasia.

MANIFESTASI KLINIS Hiperkortisolisme mendorong penumpukan lemak ke jaringan-jaringan tertentu khususnya

pada wajah bagian atas (menyebabkan moon face), diantara tulang belikat (buffalo hump) dan mesenterik (obesitas sentral). Alasan untuk distribusi jaringan adiposa yang aneh ini belum diketahui namun diperkirakan berhubungan dengan resistensi insulin atau peningkatan kadar insulin.

Selain itu hiperkortisolisme juga menyebabkan atrofi selektif pada otot fast-twitch (tipe 2) yang berakibat pada penurunan massa otot dan kelemahan pada ekstremitas bagian proksimal. Glukokortikoid dapat menginduksi glukoneogenesis dan menghambat pengambilan glukosa oleh sel yang menyebabkan hiperglikemia, glucosuria, dan polidipsi. Efek kataboliknya menyebabkan resorpsi tulang dan hilangnya kolagen sehingga kulit menjadi tipis, mudah luka, penyembuhan luka yang buruk, dan striae. Resorpsi tulang menyebabkan osteoporosis.

Pada wanita, peningkatan androgen adrenal menyebabkan jerawat, hirsutisme, oligomenorea atau amenorea. Hipertensi sering terjadi dan dapat dijumpai perubahan emosional, mudah tersinggung dan emosi labil sampai depresi berat, bingung, atau psikosis.

TATA LAKSANA Sebagian besar kasus Sindrom Cushing merupakan kasus iatrogenik akibat administrasi

glukokortikoid jangka panjang. Jadi untuk tata laksana nya adalah memberikan terapi secara hati-hati dengan pengawasan atau menghentikan terapi glukokortikoidnya.

Pada pasien dengan adenoma pituitari ataupun adenoma adrenal, adenoma dapat dicabut (opeerasi) setelah diagnosis ditegakkan. Biasanya pasien akan membutuhkan terapi replacement steroid pascaoperasi tidak peduli dimana lokasi adenomanya. Pada pasien yang dicabut kedua kelenjar adrenalnya, replacement dapat dilakukan dengan hydrocortisone dan prednisolone.

Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis karena terjadi metastasis. Metastasis tersering terjadi di hati dan paru. Obat utama untuk karsinoma adrenal adakah mitotan. Obat ini menekan produksi kortisol dan menurunkan kadar kortisol dalam darah dan urine. Obat ini biasa diberikan 3-4 kali sehari dengan dosis ditingkatkan bertahap 8-10g perhari.