songket melayu batubara - etnomusikologiusu.com · melalui makalah ini penulis akan mengkaji...

36
Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara hakaman 1 SONGKET MELAYU BATUBARA: EKSISTENSI DAN FUNGSI SOSIOBUDAYA Oleh: Fadlin Muhammad Djafar Akademi Pengajian Melayu UM, Departemen Etnomusikologi USU 1. Pengenalan Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama difokuskan di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kajian tertumpu kepada eksistensi dan fungsi sosiobudaya, dengan pendekatan- pendekatan antropologi. Adapun maksud eksistensi di dalam makalah ini mencakup: etnografi, teknologi, dan organisasi. Sementara di sisi lain, yang dimaksud kajian fungsional adalah sejauh apa songket digunakan dan berfungsi dalam kebudayaan masyarakat Melayu Batubara. Songket adalah satu artefak dalam budaya yang berperanan sebagai salah satu jatidiri orang Melayu. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai songket agar ia dapat menjadi rujukan oleh masyarakat Melayu secara umum. Pentingnya kajian ini juga didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat Melayu Batubara dipandang kuat dalam mengekspresikan budaya songket di kawasan Sumatera, bahkan Dunia Melayu. Pakaian bisanya berfungsi menutupi badan, yang menuruti norma-norma sosial. Adakalanya agama menganjurkan bagaimana adab dan sopan santun berpakaian. Selain itu, dalam pakaian terwujud nilai-nilai keindahan dan etika masyarakat yang mendukungnya. Pakaian ini difungsikan dalam berbagai aktivitas adat-istiadat, misalnya dalam upacara nikah kawin, sunat Rasul, mengabsahkan pemimpin (sultan, tuan kadhi, ketua kampung dan lainnya). Demikian pula yang terjadi dalam budaya masyarakat Melayu Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini. Di Sumatera Utara, keberadaan budaya tenunan songket dalam sistem pembelajarannya berbeda dengan kawasan-kawasan Melayu, dan memiliki ciri-ciri khas budaya setempat. Sistem pembelajaran dari satu generasi ke generasi lain dilakukan secara terbuka, oleh siapa saja dan dari etnik apa saja. Songket tidak dimonopoli oleh keluarga bangsawan Melayu. Penenun songket juga menurut pengamatan lapangan, tidak banyak dilakukan oleh kerabat bangsawan Melayu, lebih banyak dilakukan oleh masyarakat awam. Belajar dilakukan menurut tradisi lisan, artinya seorang calon penenun datang melihat ke rumah gurunya dan kemudian langsung melakukannya, tidak disertai dengan petunjuk-petunjuk ajar melalui buku atau media sejenis lainnya. Pembelajaran songket di Batubara, sudah dimulai oleh para penyongket sejak usia 10 tahun. Diajarkan kepada generasi muda, sebagai penapis generasi tua, agar kebudayaan ini terus kekal. Anak-anak perempuan Melayu yang berusia sekolah ini diajari menenun songket yang relatif sederhana seperti pembuatan kain selendang. Ciri ini menjadi sesuatu yang khas ada di Batubara, bahwa untuk mengekalkan budaya songket mereka telah memikirkannya untuk secara terbuka diajarkan dan sejak usia belia lagi menenun songket. Bahkan di tinkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di kawasan Batubara memasukkan muatan lokalnya pelajaran menenun songket. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan memperdulikan keberadaan tenunan songket di Batubara. Pemerintah memberikan bantuan keuangan dari bank dan juga Tabungan Sosial Pensiunan Pegawai negeri (Taspen). Kelompok perajin songket Yusra milik Ibu Hajjah Ratna misalnya mendapat bantuan kredit lunak dari pemerintah melalui Bank Rakyat Indonesia dan Taspen (Tabungan Pensiunan Nasional). Kepedulian Pemerintah Indonesia ini, menjadi ciri khas pula bagi perkembangan songket di Batubara. Selain itu, ciri khas lainnya, di Sumatera Utara, ada dua kebudayaan yang menghasilkan kain tenun, yaitu budaya songket Batubara dan ulos dalam budaya Batak. Dalam realitasnya, kedua kawasan ini juga saling mempengaruhi bentuk dan gaya tenunan songket, serta memiliki berbagai kesamaan dasr dalam tenunan ini, yang membuktikan bahwa mereka satu budaya dan satu rumpun. Motif-motif songket ada yang dibuat di dalam ulos. Atau pembuat ulos di Tanah Batak ada pula yang menenun songket, baik dari Batubara dan terutama Palembang. Dalam kebudayaan Batak Toba ini, songket Melayu (terutama yang berasal dari Palembang) memiliki nilai sosial yang tinggi. Mereka menganggap bahwa songket Palembang itu baik kualitasnya, dan mencerminkan tingkat sosial yang memakainya, karena harganya relatif mahal dibandingkan ulos. Oleh karena itu, maka banyak penenun ulos ini kemudian menenun songket Palembang dan songket Batubara untuk konsumsi orang-orang Batak Toba sendiri (wawncra dengan Amudi Pasaribu, Maret 2006). Hubungan antara budaya ulos Batak dan songket Melayu di Sumatera Utara ini, dapat pula

Upload: lamkhanh

Post on 13-Jul-2018

263 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 1

SONGKET MELAYU BATUBARA:

EKSISTENSI DAN FUNGSI SOSIOBUDAYA Oleh: Fadlin Muhammad Djafar

Akademi Pengajian Melayu UM, Departemen Etnomusikologi USU

1. Pengenalan Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama difokuskan di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kajian tertumpu kepada eksistensi dan fungsi sosiobudaya, dengan pendekatan-pendekatan antropologi. Adapun maksud eksistensi di dalam makalah ini mencakup: etnografi, teknologi, dan organisasi. Sementara di sisi lain, yang dimaksud kajian fungsional adalah sejauh apa songket digunakan dan berfungsi dalam kebudayaan masyarakat Melayu Batubara.

Songket adalah satu artefak dalam budaya yang berperanan sebagai salah satu jatidiri orang Melayu. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai songket agar ia dapat menjadi rujukan oleh masyarakat Melayu secara umum. Pentingnya kajian ini juga didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat Melayu Batubara dipandang kuat dalam mengekspresikan budaya songket di kawasan Sumatera, bahkan Dunia Melayu.

Pakaian bisanya berfungsi menutupi badan, yang menuruti norma-norma sosial. Adakalanya agama menganjurkan bagaimana adab dan sopan santun berpakaian. Selain itu, dalam pakaian terwujud nilai-nilai keindahan dan etika masyarakat yang mendukungnya. Pakaian ini difungsikan dalam berbagai aktivitas adat-istiadat, misalnya dalam upacara nikah kawin, sunat Rasul, mengabsahkan pemimpin (sultan, tuan kadhi, ketua kampung dan lainnya). Demikian pula yang terjadi dalam budaya masyarakat Melayu Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini.

Di Sumatera Utara, keberadaan budaya tenunan songket dalam sistem pembelajarannya berbeda dengan kawasan-kawasan Melayu, dan memiliki ciri-ciri khas budaya setempat. Sistem pembelajaran dari satu generasi ke generasi lain dilakukan secara terbuka, oleh siapa saja dan dari etnik apa saja. Songket tidak dimonopoli oleh keluarga bangsawan Melayu. Penenun songket juga menurut pengamatan lapangan, tidak banyak dilakukan oleh kerabat bangsawan Melayu, lebih banyak dilakukan oleh masyarakat awam. Belajar dilakukan menurut tradisi lisan, artinya seorang calon penenun datang melihat ke rumah gurunya dan kemudian langsung melakukannya, tidak disertai dengan petunjuk-petunjuk ajar melalui buku atau media sejenis lainnya.

Pembelajaran songket di Batubara, sudah dimulai oleh para penyongket sejak usia 10 tahun. Diajarkan kepada generasi muda, sebagai penapis generasi tua, agar kebudayaan ini terus kekal. Anak-anak perempuan Melayu yang berusia sekolah ini diajari menenun songket yang relatif sederhana seperti pembuatan kain selendang. Ciri ini menjadi sesuatu yang khas ada di Batubara, bahwa untuk mengekalkan budaya songket mereka telah memikirkannya untuk secara terbuka diajarkan dan sejak usia belia lagi menenun songket. Bahkan di tinkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di kawasan Batubara memasukkan muatan lokalnya pelajaran menenun songket.

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan memperdulikan keberadaan tenunan songket di Batubara. Pemerintah memberikan bantuan keuangan dari bank dan juga Tabungan Sosial Pensiunan Pegawai negeri (Taspen). Kelompok perajin songket Yusra milik Ibu Hajjah Ratna misalnya mendapat bantuan kredit lunak dari pemerintah melalui Bank Rakyat Indonesia dan Taspen (Tabungan Pensiunan Nasional). Kepedulian Pemerintah Indonesia ini, menjadi ciri khas pula bagi perkembangan songket di Batubara.

Selain itu, ciri khas lainnya, di Sumatera Utara, ada dua kebudayaan yang menghasilkan kain tenun, yaitu budaya songket Batubara dan ulos dalam budaya Batak. Dalam realitasnya, kedua kawasan ini juga saling mempengaruhi bentuk dan gaya tenunan songket, serta memiliki berbagai kesamaan dasr dalam tenunan ini, yang membuktikan bahwa mereka satu budaya dan satu rumpun. Motif-motif songket ada yang dibuat di dalam ulos. Atau pembuat ulos di Tanah Batak ada pula yang menenun songket, baik dari Batubara dan terutama Palembang. Dalam kebudayaan Batak Toba ini, songket Melayu (terutama yang berasal dari Palembang) memiliki nilai sosial yang tinggi. Mereka menganggap bahwa songket Palembang itu baik kualitasnya, dan mencerminkan tingkat sosial yang memakainya, karena harganya relatif mahal dibandingkan ulos. Oleh karena itu, maka banyak penenun ulos ini kemudian menenun songket Palembang dan songket Batubara untuk konsumsi orang-orang Batak Toba sendiri (wawncra dengan Amudi Pasaribu, Maret 2006). Hubungan antara budaya ulos Batak dan songket Melayu di Sumatera Utara ini, dapat pula

Page 2: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 2

dilihat melalui penggunaan songket yang meluas. Songket selain digunakan dalam berbagai upacara tradisional Melayu, juga digunakan oleh masyarakat Karo, Batak Toba, dan Simalungun, terutama saat mereka melaksanakan upacara perkawinan (baik menurut agama Islam maupun Kristen). Songket dipandang memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi dan menunjukkan tingkat sosial yang tinggi bagi para pemakaianya .

Begitu juga masyarakat Mandailing-Angkola yang sebahagian besar beragama Islam, dan biasanya di Batubara ini telah memelayukan diri, maka songket yang menjadi kegemaran mereka adalah menggabungkan konsep-konsep abit dalam budaya Mandailing-Angkola dan songket Melayu. Mereka biasanya suka menggunakan warna merah dan hitam, sebagai warna dasar abit, dalam memesan songket. Kemudian menyukai motif-motif yang berbentuk garis seperti siku keluang, pucuk betikam, dan pucuk rebung--bukan motif garis lengkung. Motif ini mendekati bentuk motif-motif abit Mandailing-Angkola.

Ciri khas budaya songket dan ulos di Sumatera Utara, adalah menggunakan tiga jenis alat tenunan. Yang pertama adalah okik, yang digunakan dalam tradisi songket Melayu Batubara di Sumatera Utara. Alat tenun ini, secara struktural sama dengan yang terdapat di Semenanjung Malaysia. Begitu juga dengan proses pembuatan songket, dan istilah-istilah yang digunakan banyak memiliki kesamaan dengan di Semananjung Malaysia. Persamaan lainnya adalah penggunaan jenis-jenis motif songket, yang sama antara kawasan Batubara dengan Semenanjung Malaysia. Ini membuktikan bahwa Batubara adalah sebagai salah satu daerah kebudayaan Melayu. Sementara kawasan Dunia Melayu sendiri merentasi beberapa negara di kawasan ini.

Alat tenun yang kedua adalah partonunan, yaitu alat tenun yang digunakan oleh masyarakat Batak Toba untuk menghasilkan ulos. Bedanya dengan okik, alat partonunan ini dilakukan sambil duduk selepoh, bukan di tempat duduk seperti okik. Alat partonunan ini, bagaimana pun memiliki unsur dan teknik yang hampir sama dengan okik. Misalnya dari segi istilah, pada okik ada istilah balero dalam partonunan ada belira, pada okik ada papan penggulung pada partonunan ada pamapan. Namun ditemui juga ciri-ciri khas partonunan yang berbeda dengan okik. Alat partonunan ini digunakan untuk menenun ulos di kawasan Batak Toba, seperti di Tomok, Tarutung, dan Parapat. Alat ini dipandang sebagai alat tenun tradisional Batak Toba.

Alat tenun yang ketiga adalah alat tenun bukan mesin (ATBM). Alat tenun ini berasal dari Jawa. Alat tenun ini merupakan bagian dari program pemerintah Indonesia untuk dipergunakan menenun kain tradisional di seluruh Indonesia. Pemerintah melalui departemen perindustrian dan perdagangan menyebarkan alat tenunan ini ke semua kawasan di Indonesia, yang uangnya diambil dari departemen berkenaan. Ibu Hajjah Ratna juga memperoleh sumbangan alat tenun bukan mesin ini. Namun seperti yang dikemukakan Ibu Hajjah Ratna, alat tenun ini mahal harganya (satu unit Rp 5.000.000,-/lima juta rupiah). Bandingkan dengan satu okik hanya berharga Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupah). Dari pengamatan peneliti di lapangan, para penenun songket lebih memilih alat okik, dibandingkan dengan alat tenun bukan mesin seperti yang digalakkan dan dianjurkan oleh pemerintah Indonesia. Begitu juga dalam kebudayaan Batak Toba, mereka lebih memilih menggunakan alat partonunan dibandingkan dengan menggunakan alat tenun bukan mesin. Alasan utama adalah faktor budaya, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang telah turun-temurun mereka warisi, dan alasan kedua adalah harga alat tenun bukan mesin yang lebih mahal.

Namun demikian, di kawasan Sumatera Utara, ada pula yang menggunakan alat tenun bukan mesin ini, yaitu di kawasan budaya Karo dan Dairi, tepatnya di Kota Kabanjahe. Bagaimanapun keberadaan alat tenun ini tak lepas dari peranan Bapak S. Tambun, S.Teks. Ia adalah lulusan Institut Teknologi Tekstil di Bandung tahun 1995. Dengan demikian, ada juga yang lebih menyenangi alat tenun bukan mesin. Alasan mereka adalah bahan tenunan yang dihasilkan lebih berkualitas, dan akurasi tenunan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan alat tenun tradisional, okik atau partonunan. Alat tenun bukan mesin ini, bagi yang menggunakannya boleh menurunkan harga satu unitnya dengan cara membuatnya sendiri, tidak mengimpornya dari Jawa.

Dalam konteks budaya songket Batubara, peneliti masih menemukan motif naga berjuang.1 Motif ini menurut penjelasan para informan telah lama tidak digunakan dalam tradisi songket Batubara. Kemungkinan besar adalah bahwa agama Islam tidak membenarkan motif-motif berbentuk hewan atau manusia. Motif naga berjuang ini memberikan bukti masih adanya artefak dalam bentuk motif songket yang berasal dari masa pra-Islam. Bagaimanapun, temuan ini dapat mengungkapkan bagaimana orang Melayu membuat motif pada masa itu, dan bagaimana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

1Menurut pendapat Bapak Johan Hanafiah dari Palembang, motif sejenis ini, yaitu naga bersaung, memang

masih disebut-sebut para penyongket di kawasan Sumatera Selatan, namun wujudnya sudah tak dapat dilacak lagi (temubual Maret 2006).

Page 3: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 3

Gambar 1: Okik, Alat Tenun Songket

Gambar 2: Partonunan, Alat Tenun Ulos Batak Toba

Gambar 3:Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang Diprogramkan Oleh Pemerintah Indonesia untuk Menenun Tenun Tradisional Seluruh Indonesia Termasuk di Kabanjahe Karo

Di Riau, menurut Tenas Efendy (2004:38) dijumpai juga motif haiwan-haiwan melata. Di

antaranya adalah: ular-ularan, ular melingkar, ular tidur, naga-nagaan, naga bersabung, naga berjuang, naga bertangkup, dan sebagainya. Namun gambar visual dari naga berjuang ini memang tidak lagi dijumpai untuk tenunan Melayu.

Menurut penjelasan Hajjah Ratna, motif naga bejuang ini, kemungkinan besar berasal dari era Melayu pra-Islam, karena oleh agama Islam bentuk manusia dan haiwan memanglah dilarang.2 Motif ini

2Menurut Tenas Effendy (2004:34) motif-motif yang banyak dipakai dalam budaya tenunan Melayu adalah motif atau corak tumbuhan.

Hal ini tejadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam, sehingga motif hewan dikhawatirkan menjurus kepada hal-hal yang berbau keberhalaan. Menurut Engku Ibrahim Ismail dan Abdul Ghani Shamsuddin (1992:33) Islam mengharamkan patung di dalam rumah untuk perhiasan dan lainnya, karena Malaikat akan menjauhi rumah itu. Sabda Rasulullah yang artinya: “Dari Muslim beliau berkata: ‘Sewaktu kami bersama-sama Masruq dalam rumah Yasar bin Nuamir, ia melihat pada beranda rumah itu patung, maka kata Masruq: ‘Saya dengar ‘Abd Allah berkata, saya dengar Rasulullah bersabda: ‘bahwasanya manusia yang paling keras seksaannya di akhirat adalah pembuat-pembuat patung.”

Page 4: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 4

berasal dari haiwan ular naga, yang dimitoskan menjadi haiwan perkasa penguasa samudera, yang melahirkan corak naga berjuang, naga bersabung, dan lain-lain—yang mencerminkan sifat keperkasaan haiwan yang dimaksud (Tenas Effendy 2004:39-40).

Gambar 4: Seorang Penenun Songket Melayu Generasi Muda di Batubara

Gambar 5: Motif Naga Bejuang yang Masih Dijumpai di Batubara

Gambar 6: Pusat Pembinaan Tenun Songket oleh Pemerintah Republik Indonesia di Desa Pahang, Batubara

2. Kabupaten Batubara di Sumatera Utara

Berdasarkan letak geografi, kebudayaan Melayu itu meliputi berbagai negara yang terbentang di kawasan Asia Tenggara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand (khususnya daerah Patani), dan Brunai Darussalam. Di Indonesia sendiri, etnik Melayu mendiami daerah budaya: Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Pesisir Kalimantan. Etnik Melayu pesisir Timur Sumatera Utara, berdasarkan ciri khusus kebudayaannya, dapat dikelompokkan lagi ke dalam daerah: Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, dan Labuhan Batu.3 Pada masa Kesultanan Melayu di kawasan ini, wilayah mereka lebih lazim disebut dengan Sumatera Timur, dan kemudian setelah masa kemerdekaan disebut Sumatera Utara (yang termasuk di dalamnya wilayah kebudayaan masyarakat Batak dan Nias). Masyarakat yang mendiami wilayah

3Tentang wilayah budaya Melayu ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan: (1) Tengku Luckman Sinar (1994); (2) Ismail Hussein (1984); (3) Mohd Anis Md Nor (1990:66-67); (4) J. C. van Eerde (1920:17-20) dan (5) C. Lekkerkerker (1916:119).

Page 5: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 5

Provinsi Sumatera Utara terdiri dari delapan etnik setempat: (1) Melayu, (2) Batak Toba, (3) Mandailing-Angkola, (4) Simalungun, (5) Karo, (6) Pakpak-Dairi, (7) Pesisir Barat, dan (8) Nias. Selain itu ditambah pula oleh etnik pendatang seperti: Jawa, Sunda, Minangkabau, Aceh, Banjar, Tamil, Benggali, Tionghoa, dan Eropa (Usman Pelly 1994).

Etnik Melayu ini dalam konteks kebijakannya menghadapi kontinuitas dan perubahan kebudayaan, menggunakan empat klasifikasi adat: (1) adat yang sebenarnya adat, yaitu hukum alam yang secara tabi’i harus terjadi menurut waktu dan ruang--jika dikurangi merusak, jika dilebihi mubazir. Selanjutnya (2) adat yang diadatkan, yaitu adat yang berasal dari musyawarah dan mufakat masyarakatnya,4 yang dipercayakan kepada pemimpinnya. Kemudian (3) adat yang teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang lama kelamaan atau tiba-tiba menjadi adat. Yang terakhir (4) adat istiadat, yaitu adat yang merupakan kumpulan dari berbagai kebiasaan, dan cenderung diertikan sebagai upacara-upacara khusus (Lah Husni 1986:206-211). Adapun masyarakat Sumatera Utara, biasanya dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh, Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali dan Eropah. Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia.

Di Indonesia, etnik Melayu mendiami daerah Tamiang di Daerah Istimewa Aceh, Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar 3,000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar 473,606 kilometer (Fisher 1977:455-457). Pulau ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar maksimum sebesar 384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat Indonesia, yang terentang dari 6o LU sampai 6˚ LS secara latitudinal dan 95˚ sampai 110˚ BT secara longitudinal (Whitington 1963:203).

Sumatera juga dikelilingi oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara administratif ikut ke dalam pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera didominasi oleh rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan perikanan (Whitington 1963:539). Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid (Fisher 1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia (Howell 1973:80-81).

Pada masa lampau, beberapa sistem klasifikasi regional dipergunakan untuk membagi wilayah secara etnik. Provinsi Sumatera Utara misalnya pada zaman Belanda terdiri dari dua wilayah yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli. Namun Sumatera Timur mencakup daerah Aceh Timur (Whitington 1963:203). Daerah budaya Melayu Sumatera Utara yang menjadi fokus studi ini, berkaitan dengan daerah Sumatera Timur. Dalam konteks perdagangan dunia, Sumatera Timur sangat terkenal, mempunyai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sumatera Timur mempunyai beberapa perkebunan, menghasilkan minyak bumi, dan menjadi daerah sumber devisa yang penting di Indonesia. Perdagangan dan perikanan menjadi bidang ekonomi yang sangat penting di Pesisir Timur Sumatera Utara ini Daerah Sumatera Timur ini awalnya dihuni oleh tiga etnik setempat, yaitu: Melayu, Karo, dan Simalungun.

Sumatera sendiri dihuni oleh beberapa kelompok etnik setempat, yaitu: Aceh, Alas dan Gayo, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Kubu, Nias, Mentawai, dan Enggano. Di Pesisir Timur Sumatera Utara, yang pada masa kesultanan lazim disebut Sumatera Timur, etnik Melayu mendiami wilayah yang meliputi empat Kabupaten, yaitu: Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu. Pada masa-masa pemerintahan sistem kesultanan, etnik Melayu di Sumatera Timur ini berada dalam tiga kesultanan besar, yaitu: Langkat, Deli, dan Serdang, dan ditambah sultan-sultan yang secara geografis dan politis lebih kecil, yaitu: Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Kualuh.

Wilayah Sumatera Timur terbentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak mempunyai batas-batas geografis sebagai berikut: (1) sebelah utara dan barat berbatasan dengan wilayah Aceh; (2)

4Masyarakat (society) adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang

bersifat kontinu, dan terikat oleh suatu rasa identiti bersama. Lihat Koentjaraningrat (1974:11). Menurut J.L. Gillin dan J.P. Gillin, yang dimaksud masyarakat adalah: "... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative,"--yang ertinya: "kelompok manusia yang terbesar, yang secara umum memiliki adat istiadat, tradisi, sikap, dan rasa bersatu, yang merupakan kesatuan tingkah laku mereka." Lebih jauh lihat J.L. Gillin dan J.P. Gillin (1954:139).

Page 6: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 6

sebelah timur berbatasan dengan Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan tenggara berbatasan dengan daerah Riau; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan daerah Tapanuli (Volker 1928:192-193). Luasnya 94.583 km² atau sekitar 20 % dari luas pulau Sumatera (Pelzer 1985:31). Di antara daerah Aceh di utara serta Riau di selatan dan tenggara inilah terletak kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur.

Sejak dekad 1950-an Sumatera Timur berubah namanya menjadi Provinsi Sumatera Utara, yang di dalamnya terdiri dari Afdeeling Sumatera Timur dan Afdeeling Tapanuli. Sehingga ketika berada dalam Sumatera Timur, etnik tempatannya hanya tiga yaitu Melayu, Simalungun dan Karo. Sementara ketika menjadi Provinsi Sumatera Utara, bertambahlah luas wilayah dan etnik tempatannya, ditambah banyaknya migrasi orang-orang Nusantara dan dunia ke Sumatera Utara. Semua hal ini berpengaruh kepada budaya songket Batubara.

Kabupaten Batubara baru terbentuk dari proses pemekaran wilayah Kabupaten Asahan. Secara hukum kabupaten baru ini disyahkan dengan terbitnya Undang-udang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Batubara dan telah dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007, Nomor 7 tambahan lembaran negara Republik Idonesia Nomor 4681 (Waspada 2007:18). Kemudian sebagaimana telah diatur dalam keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Asahan Nomor 24/K/DPRD/2004 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Asahan Pasal 46 ayat (4) Pengganti anggota DPRD antar waktu tidak dilaksanakan, apabila masa jabatan anggota yang diganti kurang dari empat bulan masa jabatan anggota dewan (Waspada 2007:18). . Kabupaten Batubara telah terbentuk tanggal 15 Juni 2007 ini, dengan Pejabat Bupati, Drs. H. Sofyan Nasution, M.M. yang dilantik Gubenur atas nama Menteri Dalam Negeri. Pelantikan ini sekali gus sebagai dirasmikannya Kabupaten Batubara dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.12.225 tahun 2007. Kemudian sejak Juli 2008 Drs. H. Sofyan Nasution, M.M, telah masuk dalam masa pensiun. Ia digantikan oleh Drs. Syaiful Syafri, M.M. pada bulan Juli sebagai Pejabat Semenetara (Pjs.) Bupati Batubara. Tanggal 23 Desember 2008 ini, tugas dari Bupati Batubara akan segera berakhir. Ia akan digantikan oleh Orang Kaya Arya Zulkarnain yang memenangi pilihan raya bupati pada bulan Oktober 2008 yang lalu dalam masa jabatan 2008-2011. Secara geografi, wilayah Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, meliputi tujuh kecamatan, yaitu: (1) Kecamatan Seibalai, (2) Kecamatan Tanjung Tiram, (3) Kecamatan Talawi, (4) Kecamatan Limapuluh, (5) Kecamatan Airputih, (6) Kecamatan Seisuka, dan (7) Kecamatan Medangderas. Kawasan ini memiliki potensi sumber daya alam semulajadi dan sumber daya manusia. Kawasan Batubara ini memiliki luas 92,220 hektar, berada pada ketinggian antara 0-80 meter di atas permukaan laut, dengan temperatur udara antara 23 sampai 27 derajat celcius. Batubara memiliki 98 desa dan 7 kelurahan, salah satu di antaranya adalah Desa Padang Genting yang menjadi fokus kajian ini (sumber data: kantor Desa Padang Genting, 2006). Secara geografi, Batubara terletak antara batas-batas sebagai berikut: (1) sebelah Timur dengan Kecamatan Meranti dan Air Joman Asahan; (2) sebelah Barat dengan Kabupaten Serdang Bedagai, (3) sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun; dan (4) sebelah Utara dengan Selat Melaka. Secara geografi terletak antara 2-3 darjah Lintang Utara dan 99.1-99.7 darjah Bujur Timur (sumber data: kantor Desa Padang Genting, 2006). Daerahnya termasuk kawasan pesisir pantai dan dataran rendah beriklim tropis, sehingga cukup potensial dikembangkan sebagai kawasan pertanian, perkebunan, pariwisata, dan industri, serta pelbagai bidang jasa lainnya. Jumlah penduduk Batubara mencapai sekitar 336.000 orang lebih. Sebahagian besar adalah petani yaitu sebesar 32,5%. Kemudian buruh perkebunan 18%, nelayan 17,5%, sisanya 32 % buruh bangunan, pengrajin, pedagang, karyawan, dan berbagai mata pencaharian lainnya. Khusus di Desa Padang Genting mayoritas adalah nelayan (sumber data: kantor Desa Padang Genting, 2006).

Dari berbagai sumber sejarah dan keterangan para informan, wilayah Batubara secara administratif, lebih lama tidak bersatu dengan Asahan. Baik pada zaman kerajaan maupun penjajahan. Namun setelah Indonesia merdeka kedua afdeling ini disatukan dalam satu kabupaten Asahan. Menurut sejarah yang ada, wilayah Batubara telah dihuni penduduk sejak 1720 M (Luckman Sinar 1988). Ketika ini ada lima suku penduduk yang mendiami wilayah Batubara, yaitu suku: Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh, dan Boga. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang Datuk sekaligus memimpin wilayah tertentu (Sahril 2006).

Dilihat dari nama-nama wilayah kesukuan di Batubara, memperlihatkan keeratan hubungannya dengan wilayah Pagarruyung Minangkabau. Hal ini memperkuat pendapat masyarakatnya, bahwa mereka dulu sebahagian hijrah dari wilayah Minangkabau. Namun sesampainya di Batubara ini mereka mengamalkan adat Melayu dan disebut sebagai masyarakat Melayu Batubara. Namun demikian sebilangan

Page 7: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 7

masyarakat Melayu Batubara ini ada pula yang berasal dari Aceh dan Batak. Mereka ini kemudian bergaul dan membentuk budaya Melayu Batubara (wawancara dengan Haji Yusufuddin, Januari 2006). Para Datuk tunduk pada kerajaan Siak Sri Inderapura di Riau dan Johor di Tanah Melayu. Karena wilayah ini merupakan bagian dari Kerajaan Siak yang tunduk pada Johor. Yang mengangkat Datuk pada lima wilayah Kedatukan itu adalah Raja Siak. Untuk mewakili kepentingan Kerajaan Siak sekaligus mengepalai Datuk-datuk.

Berbagai versi menceritakan asal mula nama Batubara. Nama Batubara sendiri sudah tercantum dalam literatur di abad ke-16 dengan istilah Batubahara. Dari laporan seorang utusan pemerintahan Inggris di Penang yang berkunjung ke Batubara tahun 1823, menyatakan bahwa di hulu sungai Batubara ketika itu terdapat sebuah bangunan batu yang tidak tercatat tanggal pembangunannya. Bangunan ini empat persegi. Di salah satu sudutnya ada tiang sangat tinggi. Pada dindingnya terdapat lukisan manusia. Mungkin dari bangunan inilah kawasan ini disebut sebagai Batubahara yang kemudian menjadi Batubara. Terdapat pula catatan kolonial Belanda masuk ke Sumatera Timur tahun 1862 ketika wilayah Pagurawan dan Tanjong (kawasan Indrapura sekarang) di bawah kekuasaan Datuk Limapuluh (Wawancara dengan Dwi Widayati Juni 2007).

Pada tahun 1885 Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan wilayah Batubara dengan membayar ganti rugi pada Kerajaan Siak. Sejak ini dimulailah penjajahan Belanda di Batubara. Pada masa penjajahan, wilayah Batubara merupakan salah satu afdeeling (kabupaten) dari lima afdeeling yang ada di Sumatera Timur yang beribukota Medan. Kelima afdeling itu adalah Deli yang langsung di bawah residen Medan, afdeling Batubara yang berkedudukan di Labuhanruku, afdeeling Asahan di Tanjungbalai, Labuhanbatu di Labuhanbatu dan afdeeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis (Sahril 2006:23).

Berdasarkan sejarah sejak dahulu Asahan dan Batubara baik kerajaan maupun afdeling adalah dua daerah tetangga terpisah kekuasaannya. Bukan dua daerah yang disatukan. Wajar saja kalau masyarakat Batubara saat ini meminta sejajar dengan bekas afdeling lainnya, memiliki otonomi tersendiri terpisah dari Asahan, sebagaimana terjadi sejak zaman dahulu. Pada zaman kemerdekaan yaitu mulai tahun 1945, wilayah Batubara menjadi satu Kewedanaan yang membawahi lima kecamatan, yaitu: Talawi, Tanjungtiram, Limapuluh, Airputih, dan Medangderas. Kemudian istilah kewedanaan itu pun dihapus. Hanya tinggal nama lima kecamatan itu menyatu dengan Kabupaten Asahan. Pada awal era reformasi yaitu tahun 1998, warga Batubara kembali mengupayakan terwujudnya Kabupaten Batubara. Sudah sekitar enam tahun perjuangan di era reformasi, namun hingga 2006 belum terwujud. Jika dibandingkan upaya pemekaran kabupaten lain, boleh dikatakan pemekaran Kabupaten Asahan memakan waktu yang cukup panjang dan melelahkan. Pro dan kontra sesama warga Batubara pun tak terelakkan. Sudah dapat dibaca, yang kontra adalah pihak-pihak yang dekat dengan pusat kekuasaan di Pemerintahan Kabupaten Asahan yang beribukota Kisaran. Apalagi ketika pada masa jabatannya pertama 2000-2005, Bupati Asahan, Drs. Risuddin ketika itu cukup kuat melakukan penekanan terhadap pihak-pihak yang mendukung pemekaran (Sahril 2006:23). Namun pada masa jabatan kedua terlihat sedikit mencair, sehingga pihak-pihak yang tadinya kontra mulai terlihat mendukung kembali berdirinya Kabupaten Batubara. Beberapa desa di wilayah Batubara yang sempat menyatakan menolak bergabung dengan Kabupaten Batubara, kini hanya tinggal dua desa saja yang masih menolaknya selebihnya setuju (Sahril 2006:23).

Demikian sekilas tentang aspek politik Asahan dan Batubara yang terus mengalami proses hingga sekarang ini. Selanjutnya kita kaji bagaimana sejarah migrasi masyarakat Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, dan Minangkabau ke Batubara.

Migrasi suku Batak dan Minangkabau ke pesisir timur Sumatera Utara memberi dampak terhadap kebudayaan di daerah Asahan termasuk Batubara, yang merupakan daerah penghasil utama songket Melayu di kawasan ini. Pembahasan mengenai sejarah Batubara, Kabupaten Asahan, dan Kota Tanjungbalai, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena daerah-daerah ini mempunyai latar belakang sejarah yang saling berkaitan, yang tercakup dalam sejarah Asahan, Batubara, dan Tanjungbalai. Tanjungbalai pernah menjadi ibu kota Asahan sejak tahun 1934 yang dipindahkan dari Rantau Panjang. Pada tahun 1933 Asahan diperintah oleh Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmatsyah, sebagai sultan kesebelas Negeri Asahan (Meuraxa 1973:187-201). Etnik Melayu di Asahan merupakan percampuran dari etnik Melayu setempat ditambah dengan suku Batak Toba, Simalungun, Karo, dan Mandailing. Empat suku terkahir ini sering pula disebut dengan Batak. Sementara suku Minangkabau yang juga mempunyai sumbangan dalam bahasa dan kain tenun songket terutama di daerah Batubara. Diperkirakan mereka datang lebih belakangan dibanding empat suku seperti disebut di atas. Adanya bukti-bukti sejarah hubungan antara Pagarruyung dengan Batubara ini, dipertegas lagi dengan adanya nama-nama kawasan di Batubara yang juga terdapat di wilayah budaya Minangkabau,

Page 8: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 8

misalnya nama Lima Puluh (di Minangkabau disebut Lima Puluh Koto), Lima Laras, Tanah Datar (di Minangkabau dialeknya Tanah Data), Pesisir (di Minangkabau adalah wilayah Pasisie di bagian pesisir Minangkabau sebelah baratnya) dan lain-lainnya. Namun demikian ada juga yang berhubungan dengan semenanjung Malaysia, seperti Kampung Pahang, Kampung Perak, dan lainnya. Kemudian kita telisik sejarah Batubara secara khusus. 3. Desa Padang Genting

Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, maka wilayah-wilayah pemerintahan adalah dimulai dari yang paling besar adalah negara Indonesia yang beribukota di Jakarta. Pemeritah Indonesia ini sejak awal berbentuk presidensial, yaitu negara dipimpin oleh seorang presiden. Namun di tahun 1950-an, Indonesia pernah pula menganut sistem parlementer, yaitu negara dipimpin oleh presiden sementara pemeritahan dipimpin oleh perdana menteri. Namun kemudian berdasarkan dekrit presiden tahun 1955, Indonesia menjadi negara unitarian (Negara Kesatuan Republik Indonesia), yang negara dan pemerintahannya dipimpin presiden. Di bawahnya adalah wilayah provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur. Di bawah provinsi ada wilayah kabupaten yang dipimpin oleh bupati, dan wilayah kota yang dipimpin walikota. Di bawahnya ada wilayah kecamatan yang dipimpin olh camat. Seterusnya ada desa yang dipimpin oleh kepala desa atau kelurahan yang dipimpin oleh lurah.

Desa Padang Genting adalah sebuah desa yang terdapat di Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara. Adapun secara geografis berbatasan dengan desa-desa jirannya, yaitu: (a) sebelah utara dengan Desa Panjang; (b) sebelah timur dengan Desa Pahang; (c) sebelah selatan dengan Desa Mesjid Lama; dan (d) sebelah barat dengan Kecamatan Lima Puluh. Desa ini dilintasi oleh jalan raya yang menghubungkan ibukota Kecamatan, Tanjung Tiram ke Kota Lima Puluh. Sehingga setiap saat dijumpai lalu-lalang kenderaan umum. Desa ini adalah hasil pemekaran (pengembangan) Desa Panjang tahun 1992. Desa Padang Genting adalah sebuah desa yang berpenduduk 4.441 jiwa, yang dapat dibagi kepada jenis kelamin yaitu 54 % atau 2,236 jiwa berjenis kelamin perempuan dan selebihnya 46 % atau 2,222 jiwa berjenis kelamin laki-laki. Usia dewasa yaitu 17 tahun ke atas berjumlah 40 % dari semua jumlah penduduk, sedangkan jumlah anak-anak dan remaja berjumlah 60 %. (Wawancara dengan Suhaimi bin Tajuddin, staf pemerintahan atau wakil sekretaris desa, tanggal 20 Februari 2006). Berdasarkan komposisi etnik yang mendiami desa ini, etnik Melayu adalah mayoritas, sebesar 70 %, disusul oleh Jawa 15 %, Batak 10 %, dan etnik lainnya adalah sisanya yaitu 5 %. Di Desa Padanggenting ini terdapat satu mesjid dan empat surau (mushalla). Di desa ini juga terdapat dua buah gereja. Masyarakat Islam terdiri dari semua orang Melayu, semua orang Jawa, dan sebilangan besar masyarakat Batak beragama Kristen Protestan, dan sebilangan kecil beragama Islam. Sementara itu masyarakat Batak yang beragama Islam ini sering dianggap sebagai bagian dari masyarakat Melayu. Desa Padang Genting ini dipimpin oleh seorang kepala desa yaitu Muhammad Nizar yang beretnik Melayu, adapun wakil kepala desanya adalah Abdul Latif Lutfi Panjaitan, S.Sos. (beretnik Batak yang telah masuk Melayu), sementara itu sekretaris desa dijabat oleh Musa bin Amansyah (beretnik Melayu). Mereka ini saling bekerjasama dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, dan dibantu dengan aparat desa lainnya seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Badan Musyawarah Desa dan lain-lainnya. Adapun ibu pejabat (kantor) kepala Desa Padang Genting terdapat di Dusun II. Kawasan Desa Padang Genting memiliki keluasan 643 hektar, dengan pembahagian kebun kelapa sawit dan mastautin penduduk sebesar 85 %, sementara 15 % sisanya berupa persawahan, yang ditanami padi sebanyak tiga kali dalam setahun. Adapun jenis –jenis padi yang ditanami sebilangan penduduk adalah sebahagian besar adalah International Rice (IR) 36. Mereka mengelola irigasi dari saluran air yang mengaliri desa ini selain juga mengharapkan air hujan. Adapun pupuk yang umum digunakan adalah Triple Super Posfat (TSP), yang harganya dikendalikan oleh pemerintah Indonesia. Gabah atau beras biasanya selain dipergunakan untuk kepentingan rumah tangga sisanya biasanya dijual kepada koperasi di desa ini, dengan menuruti standar harga gabah kering atau beras yang ditetapkan pemerintah Indonesia melalui Bulog (Badan Urusan Logistik). Mata pencaharian penduduk Desa Padang Genting ini adalah sebagaian besar (60%) nelayan, disusul petani pekebun sebesar 20%, dan sisanya adalah pegawai negeri, karyawan, buruh, dan lainnya.

Mayoritas (81%) masyarakat Melayu di Desa Padang Genting adalah sebagai nelayan. Untuk itu akan diuraikan bagaimana masyarakat nelayan, yang turut membantu keberadaan budaya songket di desa ini, dan Batubara secara umum. Mereka melakukan aktivitas nelayan berpusat di kawasan Tanjung Tiram, sekitar 3 kilometer dari desa ini. Tanjung Tiram merupakan sebuah kota dan pusat tangkahan nelayan di kawasan Batubara. Hasil utama mereka ialah ikan-ikan laut, baik berupa ikan segar maupun diawetkan dalam bentuk diasinkan.

Page 9: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 9

Para nelayan di Desa Padang Genting dapat dibagi kepada dua kategori menurut kawasan tangkapan ikan, yaitu nelayan pantai dan nelayan laut dalam. Menurut konsep mereka, nelayan pantai yaitu nelayan yang menangkap ikan di kawasan perairan laut paling kurang satu sampai lima kilometer dari tepi pantai. Nelayan-nelayan pantai lazimnya menggunakan alat-alat penangkap ikan seperti: jaring tancap, jaring apolo, ambai, langgai layang, bubu, sondong, tangkul kepiting dan pancing rawai dan pancing bambu. Berdasarkan jenis alat menangkap ikan yang digunakan oleh para nelayan pantai ini, dapat dikatakan bahwa mereka tergolong kepada nelayan yang menggunakan teknologi tradisional Melayu. Manakala nelayan laut dalam terdiri dari mereka yang menangkap ikan di kawasan perairan yang jaraknya dari tepi pantai melebihi batas lima kilometer. Para nelayan ini bekerja pada unit perikanan pukat jerut yang mayoritas adalah milik tauke-tauke China yang berpangkalan di Tanjung Tiram. Jumlah nelayan laut dalam di Desa Padang Genting ini tidak begitu ramai yaitu sekitar 12 % dari semua nelayan. Nelayan laut dalam tersebut bekerja sebagai tauke (ketua/pemilik sebuah kelompok nelayan) atau awak-awak (pekerja). Umumnya mereka ini adalah anak-anak muda yang memiliki motivasi tinggi, mahir, dan bertenaga.

Gambar 7: Hajjah Ratna binti Abdul Talib, Informan Kunci

Gambar 8: Ibu Asmah binti Aiyub, Informan

4. Songket Batubara Mengenai songket di Batubara, berasaskan sumber tertulis yang bertajuk Mission to the East Coast

of Sumatera 1823, yang ditulis Anderson, diperkirakan sudah ada pada tahun tersebut. Anderson adalah seorang utusan Inggeris mengunjungi Sumatera Timur, termasuk Batubara. Ia mencatat semua kegiatannya selama berkunjung di kawasan ini, mulai 30 Desember 1822 sampai 5 April 1823. Seperti yang dikemukannya dalam bahagian pendahuluan, misi beliau ini adalah memperluas perniagaan Inggris, dan mengenal hasil-hasil perrdagangan dari kawasan Sumatera Timur. Anderson berkunjung ke Asahan dan Batubara pada 20 Februari sampai 9 Maret 1823. Rombongannya diiringi oleh utusan Kerajaan Deli yaitu Syahbandar Ahmud. Anderson banyak

Page 10: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 10

menceritakan mengenai berbagai aspek yang dilihatnya saat kunjungan itu. Misalnya nama-nama tempat di Asahan, gambaran umum etnik Melayu dan Batak Toba, berbagai pohon seperti pohon: kelapa, opium, buah pisang, nenas, dan juga ternak seperti kambing, lembu, kuda, dan lain-lainnya.

Pada tanggal 22 Februari 1823, ia berkunjung ke Batubara dan ia mendeskripsikan keberadaan pakaian masyarakat Melayu di kawasan ini seperti berikut ini.

22 February.—Went to the Bindahara’s by appoinments, in expectation of meeting all the chiefs, who ad been summoned by Sri Maharaja Lela meet me; but this being Friday, the Mussulman Sunday, they did not come down. They however sent messages to prepare us their arrival next day. Employed collecing and purchasing all the different sorts of cloths, of which there is an infinite variety. They manufacture silk and cotton cloths, the former principally beautiful tartan patterns, and some splendidly wrought with gold thread. These manufactures consume large quantity of raw silk. I purchased one of the looms, with beautiful tartan sarong half finished in it. My raugtsman made a correct drawin of all their spinning and weaving apparatus, and other objects of interst or novelty. Although they manufactures such a variety of cloths, they prefer wearing of European chintzes, and the corse coast and Bengal cloths, principally on account of their comparative cheapness (Anderson 1977:116).

Dari kutipan di atas dijelaskan oleh John Anderson bahwa saat itu orang Melayu di Batubara telah mengenakan pakaian yang khas, yang bahannya terbuat dari sutera dan kapas, dengan pola-pola berbentuk kotak yang indah. Beberapa di antaranya dengan baik dibuat dari benang emas. Pakaian buatan mereka ini sebahagian besar terdiri dari bahan benang sutera yang kasar. Mereka juga memakai sarung. Pakaian orang Melayu Batubara ini memeperlihatkan gaya pakaian Eropa dan Benggali. Di dekade kedua abad ke-19 ini, masyarakat Melayu Batubara telah mengenal benang emas, benang sutera, dan benang kapas, yang memperlihatkan bahwa mereka telah berhubungan dengan budaya-budaya luar, yang memproduksi benang-benang tersebut. Maka besar pula kemungkinanya bahwa masyarakat Melayu Batubara kemudian membuat songket dan kain yang digunakan untuk pelbagai kepentingan mereka. Dalam perkembangan masa, masyarakat Melayu Batubara memproduksi kain-kain termasuk songket untuk kepentingan adat yang digunakan dalam upacara tertentu. Motif-motif bercorak tumbuhan dan hewan masih dapat lagi dilacak hingga ke hari ini. Menurut pendapat para informan, mereka mewarisi tradisi pembuatan songket ini sejak zaman-berzaman. Kemungkinan besar budaya songket ini dalam kebudayaan masyarakat Melayu Batubara sudah melintasi masa selama lebih dari dua abad, jika menurut sejarah yang ada (wawancara dengan Ibu Hajjah Ratna 20 Januari 2008). Masyarakat Melayu Batubara melintasi zaman sejarahnya sejak awal hingga pengaruh Hindu-Budha di abad pertama sampai ke-13. Selepas itu Islam muncul dikawasan ini di era Kerajaan Haru, yang kemudian diteruskan ke dalam Kesultanan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kotapinang, Kualuh, dan Merbau. Kemudian Belanda menaklukkan kesultanan-kesultanan Islam tersebut, dan menguasai kawasan Sumatera Timur. Kemudian Belanda terusir dari Indonesia, termasuk Batubara d tahun 1942, dan masuklah tentara Jepun ke Sumatera Timur (Luckman Sinar 1986). Menurut penjelasan para informan, tenunan songket terus dijalankan dalam situasi politik tersebut, baik masa Belanda dan Kesultanan, maupun seterusnya ketika Indonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang ini. Sementara penelitian ini penulis lakukan di masa-masa awal abad ke-21, tepatnya tahun 2004-2008. Dengan masa yang pendek ini, penulis belum dapat menyimpulkan aspek sejarah songket Batubara, baru sekedar menyinggungnya saja. Selama penelitian ini dilaksanakan, maka penulis dapat mendeskripsikan pelbagai aspek am mengenai budaya songket Batubara. Yang paling khas, songket Batubara hidup terus menuruti perkembangan zaman, karena songket sangat fungsional dalam kebudayaan Melayu di kawasan ini. Batubara sendiri merupakan pusat industri songket di Sumatera Utara. Songket selalu menjadi bahagian penting dalam upacara-upacara adat Melayu seperti: nikah kawin, khitanan, menyambut tetamu, menghantar dan menyambut jamaah haji, dan lain-lainnya. Selain itu, songket juga digunakan oleh etnik-etnik seperti Karo, Batak Toba, Simalungun, Mandailing, Minangkabau, Jawa dan lainnya yng ada di Sumatera Utara. Songket dipandang sebagai kain yang memiliki lambang-lambang kekuatan budaya, mengintegrsikan antara sesama rumpun Melayu, gengsi sosial, dan lain-lainnya.

Budaya songket ini, sangat jelas dilakukan oleh sebahagian besar kaum wanita, yang sesuai dengan konsep pemberdayaan wanita dalam konsep pemerintahan dan kebudayaan di Indonesia. Perempuan di Indonesia sejak awal mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia. Pergerakan perempuan untuk menjadi mitra (bukan kesetaraan) dengan pria sudah dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika sejak kurun abad ke-19 lagi. Dengan demikian, peranan perempuan oleh dilakukan melalui kebudayaan

Page 11: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 11

songket di Batubara ini. Perempuan di Indonesia dalam koneks ini dipandang membantu ekonomi keluarga menuju keluarga yang sejahtera, seperti yang selalu diharapkan oleh pemerintah Indonesia.

Sistem organisasi songket menurut sistem organisasi tradisional Melayu, yang berasas pada kekeluargaan. Walau songket dapat dijadikan mata pencaharian utama, namun mumnya mereka menganggap bahwa bekerja membuat songket adalah bahagian dari kerja sambilan, artinya di luar pekerjaan utama. Organisasi yang dikelola biasnya terdiri dari ketua pengrajin sekaligus pemilik modal dan para penenun yang jumlahnya berkisar antara 20 hingga 80-an anggota. Mereka diberi upah menurut lembaran songket yang dihasilkan dan tingkat kerumitan membuat songket.

Para pengusaha songket umumnya terdiri dari kaum perempuan, yang bertindak sebagai ketua kelompok (tauke) dan sekali gus juga sebagai penata motif-motif dan pengembangannya. Para penenun songket ada yang menenun di rumah ketua kelompok, dan ada juga yang menenun di rumahnya sendiri sambil membawa alat songket okik di rumahnya. Menyongket dilakukan di waktu luang. Secara tradisional, dahulu kala (sampai tahun 1960-an) menyongket mestilah dilakukan di siang hari, tak dibenarkan menyongket di malam hari, mungkin karena alasan keamanan, sulitnya penerangan atau yang lainnya (wawancara dengan Ibu Hjjah Ratna 20 Januari 2008).

Produksi songket langsung dibeli di rumah-rumah ketua kelompok. Namun ada juga yang dijual ke pusat-pusat perekonomian di Sumatera Utara, terutama Medan. Songket ini diproduksi menurut selera pasar juga, baik warna, kualitas benang (satu, dua, tiga), benang katun, sutera atau emas, maupun yang lain-lainnya. Songket yang mahal akan memberikan dampak dan gengsi sosial, yang mengenakannya dianggap memiliki tingkat sosioekonomi yang relatif lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan. Adapun berdasarkan penelitian lapangan, harga-harga songket Melayu Batubara ini, yang termurah adalah Rp 75.000. Kemudian harga kualitas sedang adalah Rp 300.000. Sampi harga yang termahal yaitu songket dari benang sutera harganya adalah Rp 2.500.000.

Sejak tahun 2007 lalu, para perajin songket Batubara juga menerima pesanan songket dari Moria Gereja Batak Karo Protestan. Mereka memproduksi secara massal karena permintaan gereja ini yang relatif banyak. Songket utuk gereja ini harganya adalah Rp 75.000. Termasuk kelompok tenunan songket Yusra mendapat pesanan tersebut. Ini membuktikan bahwa rumpun Melayu (Karo) tersebut menganggap bahwa sogket Melayu juga menjadi miliknya, karena antara masyarakat Melayu dan Karo sejak awal juga memiliki hubungan kultural yang rapat dan mereka dahulunya satu dalam kerajaan Haru (lihat Tengku Luckman Sinar 1986). Selain itu gereja Moria Gereja Batak Karo Protestan mengajarkan konsep inkulturasi, yaitu menyerap semua kebudayaan dunia dalam konteks kepentingan gereja.

Hal yang menarik lainnya dalam budaya songket di Batubara ini, adalah terciptanya lagu Pantun Berisi karya Hajjah Nurasiah Jamil, seorang tokoh nasyid di Sumatera Utara, berdasarkan keberadaan tenunan songket. Lagu ini diciptakannya pada tahun 1972, selepas ia berkunjung ke Batubara, melihat orang-orang Melayu di Batubara menenun songket (selengkapnya lihat Notasi 1).

4.1 Teknologi

Seperti telah diuraikan dalam Bab I, menurut Noresah Noresah Baharom dkk. dalam Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002:1397), teknologi memiliki arti: (a) aktivitas atau kajian yang menggunakan pengetahuan sains untuk tujuan praktis dalam industri, pertanian, perobatan, perniagaan, dan lain-lain sains gunaan, misalnya kalimat: Universiti Malaya memainkan peranan yang penting untuk melahirkan pakar-pakar teknologi kita; (b) kaedah atau proses menangani sesuatu masalah teknikal; teknologi tinggi adalah teknologi yang berasas kajian saintifik termaju seperti penggunaan peralatan elektronik yang canggih. Teknologi itu adalah penerapan pengetahuan saintifik kepada tujuan praktis dalam kehidupan manusia, atau dalam kata lain adalah untuk perubahan dan penggunaan persekitaran manusia. Dalam tulisan ini yang dimaksud adalah teknologi pembuatan songket, yaitu penerapan etnosains Melayu dalam membuat kain songket, untuk tujuan kehidupan masyarakat Melayu terutama dalam berbusana menurut norma-norma dan sistem nilai sosial.

Teknologi pembuatan songket menurut uraian di atas dapat dikategorikan sebagai teknologi industri manufaktur, yaitu teknologi pembuatan pakaian. Teknologi ini muncul dan berkembang dalam kehidupan manusia karena keperluan manusia akan menutupi tubuh, lebih lanjut menjaga diri dari cuaca alam sekitar. Selain itu juga diperlukan untuk menerapkan norma-norma sosial, bahwa manusia dalam kehiduannya mestilah bepakaian. Kemudian fungsi teknologi pakaian ini adalah untuk keperluan estetika dalam kehidupan manusia, bahwa dengan berpakaian manusia menjaga norma sosial dan sekaligus mengaplikasikan rasa keidahannya terhadap penampilan tubuh. Berikut akan diuraikan tempat pembuatan songket.

Page 12: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 12

Notasi 1: Cuplikan Lagu Pantun Berisi yang Menggambarkan Budaya Songket Batubara

4.1.1 Tempat Pembuatan

Tempat membuat songket dapat dilakukan di mana saja, misalnya di dalam rumah, di beranda rumah, di luar rumah (namun harus ada atapnya). Namun umumnya tempat membuat songket dilakukan di beranda rumah. Misalnya di rumah Ibu Hajjah Ratna binti Abbdul Thalib5 membuat songket dilakukan di beranda sebelah kiri rumahnya. Beranda ini sudah disiapkan sejak awal kali ia membangun rumahnya. Di beranda ini kemudian ditempatkan enam buah okik, yaitu alat tenunan pembuat songket. Di beberapa tempat lainnya di Dunia Melayu, alat tenun okik ini disebut juga dengan kek.

Rumah Ibu Ratna terdiri dari beranda depan dan samping kiri, kemudian ruang tamu yang dilengkapi dengan pajangan untuk kain-kain songket yang diproduksi oleh para pekerjanya, dengan jumlah 63 orang.6 Setelah itu ada pula ruangan keluarga di bagian tengah. Di belakang ada dapur tempat memasak makanan. Di sebelah kanan ada dua ruang tempat tidur.

Rumah Ibu Ratna dibina dalam gaya seni binal Melayu dengan dominasi warna kuning dan putih dengan ukiran (tebuk) lebah bergantung di sisi-sisi bawah atap rumahnya yang terbuat dari seng (zinkum).

5Ibu Hajjah Ratna binti Haji Abdul Thalib adalah seorang informan kunci bagi peneliti. Alamat rumah dan sekali gus tempat pebuatan

songketnya adalah di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Umurnya saat dilakukan penyeldikan ini adalah 50 tahun. Ia berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain beliau di Desa Padang Genting dan kawasan Batubara lainnya, terdapat juga beberapa pengusaha (peniaga) songket. Oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia, teknologi industri seperti yang mereka lakukan ini sering dikategorikan sebagai industri rumah tangga (home industry).

6Para pekerja ini kesemuanya berjenis kelamin perempuan. Mereka terdiri dari anak-anak sekolah, yaitu umumnya Sekolah Mengah Atas (SMA) dan sedarjah lainnya seperti Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ada juga para wanita ibu-ibu rumah tangga atau gadis-gadis di desa ini. Umumnya pekerjaan menenun songket adalah kerja sambilan, di samping keja utamanya dalam konteks mata pencaharian dan ekonomi masyarakat di Batubara.

Page 13: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 13

Gambar 8: Rumah Ibu Ratna Sekaligus Dijadikan Tempat Pembuatan Songket

4.1.2 Alat Pembuatan, Okik

Bahan-bahan yang diperlukan dalam sebuah produksi tenunan songket yang utama adalah alat tenun (okik), yang dibuat oleh para pengrajin atau tukang di Desa Padang Genting. Pembuat alat tenun songket ini umumnya adalah kaum lelaki yang juga biasanya adalah tukang untuk membuat perabot rumah tangga atau juga tukang membuat rumah Melayu, sama ada rumah Melayu tradisional mahupun modern. Khusus pembuat okik kumpulan Yusra ada dua orang, yaitu yang pertama adalah Sukiman (usia 56 tahun)7 dan Tajuddin bin Khayat (60 tahun). Biasanya Ibu Ratna memesan alat okik ini bila ada anggota penyongket yang baru bertambah atau juga untuk memperbaiki okik yang rusak.

Gambar 9: Denah Struktur Rumah Ibu Ratna

Alat ini sebagian besar terbuat dari kayu dan papan. Adapun jenis-jenis kayu yang digunakan adalah kayu apa saja, yang sering diistilahkan sebagai kayu sembarang, atau kayu sempengan. Namun

7Sukiman ini adalah bersuku Jawa, yang lahir dan dibesarkan di Provinsi Sumatera Utara. Isterinya yaitu Siti Asmah bersuku Melayu. Mereka sejak dari kecil memang tinggal di Desa Padang Genting Batubara. Orang-orang Jawa yang dilahirkan di Sumatera Utara disebut dengan Pujakesuma, akronim dari Putra Jawa kelahiran Sumatera. Di antara masyarakat Jawa ini banyak yang kemudian mendukung kebudayaan Melayu dan menganggap dirinya juga sebagai bagian dari masyarakat Melayu. Masyarakat Jawa yang terdapat di Desa Padang Genting ini merupakan keturunan dari masyarakat Jawa Deli yang pada masa penjajahan Belanda sejak abad ke-18 didatangkan dari Jawa yang umumnya dipekerjakan di kebun-kebun teh, karet, dan kelapa sawit yang dibangun oleh Belanda. Mereka juga disebut Jawa Kontrak (Jakon), karena melakukan kontrak kerja dengan Belanda (akte verklaring). Kemudian selepas kemerdekaan terus berlaku migrasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia atau atas keinginan dan usaha sendiri yang disebut dengan transmigrasi swakarsa.

Page 14: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 14

untuk menjaga kualitas kayu, biasanya kumpulan penenun songket Ibu Ratna ini memilih kayu-kayu yang baik kualitasnya seperti kayu meranti, merbau, durian ,dan sejenisnya. Kayu-kayu ini dibeli di toko-toko kayu yang ada di ibu kota kecamatan Tanjung Tiram. Kedai kayu itu selalu disebut dengan panglong, yang umumnya diusahakan dan diurus oleh orang-orang atau taukeh China.

Uang awal untuk mengadakan okik ini, boleh dibagi 50% oleh Ibu Ratna atau penuh ditanggung oleh Bapak Sukiman dan Tajuddin. Itu tergantung dari kesepakatan mereka. Secara struktural, okik ini terdiri dari bahagian-bahagian seperti berikut: gorub, karab, belero, belebas, papan pungguhan, cucak, sumbi, poso, tinjak, turak, dan rahat.

Secara umum fungsi okik adalah untuk merentang benang, melintang benang, memadatkan tenunan, membuat lapisan benang tenunan. Selengkapnya okik itu dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10: Okik

Gambar 11: Rahat

Gambar 12: Bahagian-bahagian Okik

Page 15: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 15

4.1.3 Benang

Bahan lain untuk tenuan songket adalah benang kapas (cotton). Di Desa Padang Genting, benang diimpor dari ibukota Indonesia Jakarta. Adapun merek yang umum digunakan adalah benang yang diproduksi oleh P.T. Bentang Mutiara Tunggal Perkasa Cap Kapal. Menurut penjelasan Ibu Ratna, setiap minggunya ia menghabiskan dua kodi benang. Agak berbeda dengan yang ada pada budaya Batak, yang umumnya mencelup benang untuk pewarnaan, maka di desa ini, mereka tidak lazim melakukan pewarnaan, mereka langsung membeli benang dengan warna-warna yang sesuai dengan keperluan untuk menenun. Sejak dekad awal 2000-an ini, ada upaya pengembangan kualitas songket, dan sesuai dengan perkembangan permintaan pasar. Khususnya pada kelompok Ibu Ratna, ia menenun songket yang bahan dasarnya terbuat dari benang sutera. Benang ini boleh didapatkannya dari seorang pengusaha ternak ulat sutera yang menghasilkan benang sutera, tempatnya di Kota Tanjungmorawa, Kabupaten Deli Serdang, masih di kawasan Provinsi Sumatera Utara. Namun menurut penjelasan Ibu Ratna, harga songket yang terbuat dari sutera ini relatif mahal, karena benang sutera juga mahal. Selain itu, bagi para muslim, lelaki tidak diperbolehkan memakai bahan-bahan sutera, sehingga peminatnya umumnya adalah ibu-ibu pejabat (elite), yang umumnya adalah orang kaya harta. Pembuatan songket sutera ini adalah disesuaikan saja dengan permintaan yang ada.

Gambar 13: Beberapa Jenama Benang untuk Bahan Asas Songket Batubara

Gambar 14: Songket yang Terbuat dari Sutera

4.2.1 Teknik Memadukan Benang Loseng dan Pakan

Teknik yang penting dalam membuat songket Batubara adalah menyatukan antara benang loseng dan benang pakan. Benang loseng adalah benang yang disusun atau ditata sejajar dengan pandangan ke depan penyongket. Adapun benang pakan adalah benang yang dimasukkan secara melintang terhadap benang loseng. Benang loseng dan benang pakan inilah yang kemudian menurut kehendak pereka songket menjadi motif-motif yang diinginkan. Motif yang dihasilkan dari kombinasi ntara benang loseng dan benang pakan ini, ditentukan dari helai demi helai benang. Menurut penjelasan Ibu Ratna, jika ada satu benang saja terlewat maka akan menjadikan kualitas songket tak baik.

Page 16: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 16

Gambar 15: Posisi Benang Loseng Sejajar dengan Arah Pandang Penyongket

Gambar 16: Posisi Benang Pakan Melintang dengan Arah Pandang Penyongket

4.2.2 Teknik Mendisain Bentuk dan Motif

Motif menjadi bagian penting dalam teknik membuat songket. Sebelum ditenun songket didisain pada kertas atau sulaman kain. Mendisain ini disebut dengan sejubilang. Adaun ketika motif tersebut diaplikasikan ke dalam kain songket, maka proses ini disebut memungut. Motif-motif yang digunakan oleh para penenun songket Batubara, adalah masih meneruskan motif tradisi Melayu yang ada. Menurut penjelasan para informan, motif-motif yang digunakan adalah: (A) Motif dasar, terdiri dari empat jenis, yaitu: (i) pucuk betikam, (ii) pucuk perak, (iii) pucuk pandan, dan (iv) pucuk caul. (B) Motif tambahan, terdiri dari berbagai jenis motif seperti: bunga tanjung, bunga, pucuk parang, tampuk manggis, cempaka, bunga tabur, gigi ikan hiu, tolab bermukim (gabungan dari berbagai motif bunga), dan lain-lain. Motif dasar biasanya digunakan untuk kepala kain, hiasan utama pada songket, motif tambahan adalah menyertai motif utama. Pada bagian bawah atau atas songket yang diletakkan secara horizontal, biasanya digunakan motif apa saja yang diistilahkan dengan pinggir pahat. Sejak generasi penenun Ibu Ratna, para penenun songket melakukan berbagai pembaharuan motif-motif. Misalnya menggunakan motif yang berasal dari Terengganu Malaysia, dari Palembang, dari Minangkabau, dari tradisi ulos Batak, dan lainnya. Mereka dapat melihatnya dari berbagai buku dan majalah. Pucuk betikam adalah motif dasar songket yang bentuknya adalah gabungan dua segitiga atau belah ketupat. Selanjutnya untuk pucuk perak bentuknya adalah enam bidang elips yang menyatu pada satu titik. Kemudian pucuk pandan adalah motif yang memimesis bentuk daun pandan, dan pucuk caul, adalah bentuk bunga yang kompleks tenunannya. Sebahagian besar motif songket adalah karya imajinasi seniman songket Melayu, yang menirukan bentuk-bentuk flora (tumbuhan), sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang tidak menggalakkan bentuk binatang atau manusia (antropomorfisme). Contoh-contoh motif itu adalah seperti dalam gambar 16 sampai 31.

Page 17: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 17

Gambar 17: Teknik Memungut Motif dari Sejubilang

Gambar 18:Motif Pucuk Betikam

Gambar 19: Motif Pucuk Perak

Gambar 20: Motif Pucuk Pandan

Gambar 21: Motif Pucuk Rebung

Page 18: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 18

Gambar 22: Motif Tolab Bermukim

Gambar 23: Motif Cempaka

Gambar 24: Motif Pucuk Caul

Gambar 25: Motif Gigi Hiu

Page 19: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 19

Gambar 26: Motif Siku Keluang

Pada penelitian akhir, penulis menemukan sumber-sumber motif yang dipercayai telah berusia lebih dari seratus tahun. Motif ini disimpan oleh Ibu Salbiah. Penulis berusaha ingin bertemu dengannya, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, peneliti meminta bantuan Ibu Ratna untuk mendapatkan sumber motif songket yang disulam di selembar kain. Motif-motif itu berupa hewan dan tumbuhan. Motif hewan berbentuk dua naga yang saling berhadapan dengan menggunakan warna hitam, merah, dan biru. Selain itu juga dijumpai motif hewan pelanduk dan harimau. Menurut penjelasan Ibu Ratna motif-motif hewan ini tidak lazim digunakan dalam budaya songket Melayu Batubara sejak ia kecil lagi. Menurutnya Ibu Salbiah mewarisi motif-motif ini dari oyangnya. Karena mendapat warisan itu, ketika penulis pinjam, Ibu Salbiah melalui Ibu Ratna mengatakan: “Jangan sampai hilang kain motif ini, karena bagi saya itu adalah warisan yang tak ternilaikan harganya. Tak mungkin engkau bisa menggantinya dengan uang berapa pun nilainya.”

Berikut ini diperturunkan motif-motif hewan yang terdapat di Desa Padang Genting yang dianggap telah berusia lebih dari seratus tahun.

Gambar 27: Sumber Motif (Sejubilang) Kuna yang Diturunkan kepada Ibu Salbiah

Penjelasan: Motif ini berbentuk sulaman, dan selanjutnya diturunkan ke dalam motif-motif songket, motif di atas sebahagian besar merupakan mimesis tumbuh-tumbuhan.

Page 20: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 20

Mulai bulan Januari 2008, berasaskan strukur songket dan motif-motif songket yang ada di Batubara, seorang pendisain tenunan tradisional Karo, yaitu Bapak S. Tambun, mulai memproduksi songket, yang ditujukan bagi masyarakat Karo secara luas. Bentuk songket yang didisainnya menggunakan kepala kain dan ujung kain. Namun demikian, kain songket Karo ini menggunakan motif yang khas, yang disebut dengan pengretret, yang didasari oleh bentuk ketupat. Menurut penjelasan S. Tambun, ia mengambil bentuk songket dari Batubara, karena merasa bahasa antara budaya Karo dan Melayu adalah satu induk besar. Kemudian dalam pakaian tradisi Karo selama ini menggunakan kain songket Melayu ditambah kain adatnya seperti bulang, buka buluh, sarung Karo, dan lainnya. Ia menjelaskan sebagai berikut.

Saya sebagai warga masyarakat Karo, yang selama ini berkaya di bidang kain tenunan tradisional Karo, memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan dan membina kain dan pakaian Karo. Saya melihat bahwa orang-orang Karo sejak lama lagi telah menggunakan kain songket dalam pakaian tradisinya, terutama untuk acara perkawinan. Orang Karo selama ini memakai songket Melayu. Oleh karena itu, kami mencoba menciptakan kain songket yang khas Karo, berdasarkan bentuk songket Melayu. Bagaimanapun antara orang Melayu dan orang Karo adalah satu rumpun yang sama dalam masa kerajaan Haru dahulu kala. Jadi rujukan kami adalah kepada saudara terdekat yaitu orang Melayu (wawancara dengan S. Tambun 12 Februari 2008).

Gambar 28: Kain Songket Karo yang Baru Didisasin oleh S.Tambun

Penjelasan: Songket Pertama Karo yang didisasin oleh S. Tambun, yang terinpirasi oleh songket Melayu, dengan menggunakan motif-motif tradisi Karo. 4.2.3 Ukuran Songket

Menurut penjelasan Ibu Ratna, ukuran kain songket yang lazim diproduksinya adalah menurut digunakan untuk lelaki atau perempuan. Untuk lelaki yang juga disebut songket papa, ukuran songket panjangnya 80 cm sampai 90 cm. Sementara untuk perempuan atau songket mama ukuran songket panjang biasanya adalah 103 cm. Ukuran ini dibuat menurut kehendak para pemakai songket. Kalau terlalu panjang atau terlalu pendek menurut mereka tak cantik. Ukuran ini sudah menjadi kehendak umum masyarakat Batubara dan Sumatera Utara. Namun jika dipesan dengan lebih panjang atau pendek juga boleh diproduksi oleh para perajin songket Batubara. 4.2.5 Pengajaran Pembuatan Songket

Pengajaran pembuatan songket langsung dilakukan oleh Ibu Ratna terhadap para pekerjanya. Adakalanya ia dibantu oleh penenun lainnya, yang dianggap mahir dalam pembelajaran ini. Pembelajaran ini dilakukan di rumahnya terutama untuk pekerja yang baru diterimanya. Prosesnya memakan masa tujuh hari saja. Ia akan mengajarkan bagaimana proses menenun dari awal hingga akhir. Yang dimulai dari menggulung benang, menarik benang, menggulung benang ke papan gulung, menggulung ke papan karab, memasukkan sisi, menaikkan ke okik, memungut, dan menenun. Kaedah menyongket ini dilakukan

Page 21: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 21

langsung melalui cara melihat dan mempraktikkanya secara langsung.8 Para pekerja baru ini biasanya menenun songket di rumah Ibu Ratna terlebih dahulu. Setelah dianggap mahir ia dibagi okik dan diperkenankan menenun di rumahnya masing-masing.

Umumya setiap penenun songket dapat menyelesaikan sehelai kain songket selama empat sampai enam hari. Dilakukan selama empat sampai enam jam seharinya. Upah yang diberikan juga menurut berapa helai songket yang dapat ia hasilkan. Selain itu tingat kesulitan menenun juga dibedakan antara benang satu, dua dan tiga. Songket benang satu adalah yang paling sulit dikerjakan oleh para penenun, sedangkan songket benang tiga adalah yang paling mudah dilakukan oleh para penenun songket. 4.2.6 Tahap-tahap Pembuatan

Menurut Norwani Mohd. Nawawi, berdasarkan pengalaman penelitiannya terutama di Malaysia, teknik menenun dan bahan yang digunakan dalam menghasilkan songket masih terpelihara dari zaman ke zaman. Untuk memahami dengan lebih mendalam tentang cara menenun songket, Norwani telah membuat tenunan songket dengan dibantu oleh Puan Wan Mahani Abdullah, seorang guru menenun di Perbandaran Kemajuan Kraftangan Malaysia, Kuala Trengganu. Menurutnya proses utama menenun songket Melayu, terbagi dalam delapan tahap yaitu: mencelup benang, menerai benang, menganing benang, menggulung benang, menyapuk benang, mengarat, menyongket, dan menenun (Norwani Moh. Nawawi 2002:31).

Dalam membuat songket di Batubara, para penenun mestilah menuruti tahap-tahap dari awal sampai akhirnya menjadi selembar songket. Menurut keterangan Ibu Ratna, dalam membuat songket, dilakukan melalui delapan tahapan.

(a) Tahap pertama disebut dengan menorou, yaitu aktivitas menggulung benang dari gulungannya kepada gulungan kecil. Selepas benang yang telah dibeli dengan menggunakan warna yang dikehendaki, maka benang itu dililitkan ke batang bambu (buluh) dengan memusingkan pemutar yang dipanggil rahat. Gelung tali pemutar disarungkan ke bahagian tengah alur roda dan ke mata rahat, yaitu sebuah mata besi yang meruncing. Bahagian ujung benang kapas atau sutera dililitkan pula ke peleting. Peleting ini dimasukkan ke bahagian ujung mata rahat, sehingga tongkol benang akan terurai melalui putarannya, lalu melilit di atas peleting yang diputar oleh pemutar rahat.

Gambar 29: Menorou Benang

(b) Tahap kedua adalah mengani, yaitu aktivitas menarik benang dengan diluruskan menurut bentuk yang hendak dicapai. Proses berikutnya adalah penyediaan benang dengan menggunakan alat pengani yang terdiri dari pemidang peleting dan bingkai pembuat lonseng.

8Di Malaysia menurut Norwani Mohd. Nawawi pembelajaran penenunan songket diturunkan secara rahasia dari satu

generasi ke generasi yang lain oleh penenun yang mahir. Penenun ini hanya menyampaikan pengetahuan dan kemahiran menenun kepad anak-anak dan cucu-cicit mereka yang berminat saja. Kemahiran mereka dalam menenun dapat dilihat dari kain-kain songket lama yang mempunyai latar belakang teknik ikat bercorak halus yang dipanggil bunga cuai. Kain songket ini sukar didapati sekarang. Ia hanya bisa didapati di berbagai museum seperti Muzium Negara, Kala Lumpur, dan Muzium Pitt River di Oxford Egland (Norwani Mohd Nawawi 2002:31).

Page 22: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 22

Gambar 30: Mengani

Gambar 31: Alat untuk Mengani Masa Sekarang Direka Bentuk oleh Para Penenun Batubara

(c) Tahap ketiga adalah menggulung benang ke papan gulung dan direntang menurut bentuk papan gulung tersebut. Setelah proses mengani selasai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah benang lonseng dikeluarkan dari kepala anian dengan cara memasukkan dua batang kayu bolero melalui benang yang bersilang. Dengan cara ini kayu bolero dapat mengasingkan dua kumpulan benang yang berangka genap dan ganjil. Kemudian dua kayu bolero itu dilipat serta disatukan dan diletakkan di atas dua pancang kayu yang khas, yaitu tempat penggulung loseng. Pada ujung benang loseng yang bertentangan dua kayu silinder yang disebut anak kayu, dimasukkan melalui benang loseng bersilang pada bahagian belakang. Di antara dua anak kayu ini dimasukkan sebilah papan gulung dan benang loseng yang berkeadaan tegang dan disebarkan secara merata. Untuk melilit benang lonseng, dua orang perlu memegang papan gulung (pungguhan) serta anak kayu yang menjadi sebahagian dari papan lonseng. Dengan secara perlahan dan cermat keduanya berjalan ke arah tempat pemegang benang lonseng serta menggulung benang ini.

(d) Tahap keempat adalah menyosoh, yaitu menggulungnya ke papan karab. Benang yang telah digulung di papan gulung selanjutnya di cara bahagian ujungnya digulungkan pula kepada karab yang ada di pangkal okik. Kemudian benang-benang ini diregangkan secara menyilang. Kemudian setelah diperolehi ketegangan tertentu maka papan pungguhan benang lonseng dimasukkan ke bahagian cucak.

(e) Tahap kelima adalah memasukkan sisir, yaitu memasukkan benang lonseng ke dalam gigi sisir atau sikat, sebelum dipasang ke alat tenun okik. Gigi sisir dibuat dari lidi-lidi halus dari pokok buluh atau kayu. Menyosoh benang biasanya dilakukan dua orang penenun yang duduk di atas lantai, saling

Page 23: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 23

berhadapan, di tengahnya diletakkan benang, dua kayu bolero dan gigi sisir. Seorang penenun menyusurkan pengait benang melalui celah-celah gigi sisir. Selepas itu, benang-benang ini disangkutkan ke pengait dan dikeluarkan berpasangan oleh penenun yang duduk bertentangan. Setiap pasangan benang dimasukkan ke anak kayu agar tidak kusut.

(f) Tahap keenam adalah menaikkan ke okik. (g) Tahap ketujuh memungut dan merancang motif apa yang akan disongket, yang tentu saja

menurutkan jalur benang. (h) Tahap kelapan adalah menenun songket dengan cara mengarahkan benang dengan torak ke kiri

dan kanan, kemudian diketatkan dengan tinjak yang ditekan dengan kedua telapak kaki di bagian bawah penyongket. Demikian sekilas proses pembuatan songket di Batubara ini.

Menyongket ini akan memakan waktu yang lebih lama dengan menggunakan benang satu. Sedangkan benang dua dan tiga lebih memakan waktu yang lebih pendek. Namun para pelanggan umumnya memesan benang satu dan dua. Selepas disongket dan selesai maka pada bagian tepi songket harus ditutup. Setelah selesai songket lalu dilipat dengan rapi dan kemudian dipajang di lemari Ibu Ratna yang ada di rumah bahagian depan ruang rumahnya.

5. Organisasi Pada bagian ini akan dikaji mengenai organisasi kumpulan penenun songket Batubara, dengan fokus pada kelompok Yusra di Desa Padang Genting. Kajian mengenai organisasi ini meliputi aspek: organisasi sosial, pengembangan organisasi, faktor kemampuan dan keluarga, sistem pengurusan keuangan, keterlibatan pemerintah, peranan perempuan dan laki-laki, sistem upah dan borongan. Organisasi penenun songket di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, dapat dikategorikan sebagai organisasi bisnis, karena organisasi ini terbentuk berasaskan kepentingan bisnis. Namun selain itu organisasi ini juga memiliki unsur-unsur sosial, seperti hubungan kekerabatan dan silaturrahmi.

Menurut Noresah Baharom dkk. dalam Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002:948) organisasi adalah kesatuan atau susunan dan lainnya yang terdiri dari bahagian-bahagian (orang dan lain-lain) dalam sesuatu pertubuhan (perkumpulan, perbadanan, dan lain-lain) untuk tujuan-tujuan tertentu (kepentingan bersama dan sebagainya). Tenaga kerja atau tenaga pekerja pula adalah orang yang bekerja, mengerjakan sesuatu. Tenaga pekerja ini kadang-kadang disebut pula dengan kakitangan. Organisasi bisnis adalah sebuah entitas yang dibentuk untuk tujuan komersial. Organisasi semacam ini biasanya dibentuk menurut hukum yang berlaku. Dalam konteks organisasi penenun songket, meskipun tujuanya bisnis, namun aspek sosial lain seperti kekerabatan dan kekeluargaan juga muncul. Mereka juga tidak mendasarkan aktivitas menurut hukum bisnis yang berlaku di Indonesia, mereka tidak mendaftarkannya kepada pengacara. Sehingga organisasi ini juga bersifat tradisional.

Di kawasan Sumatera Utara, budaya tenunan songket yang paling terkenal adalah di Batubara, khususnya Desa Panjang. Di kawasan ini terdapat kelompok-kelompok penenun songket, yang biasanya dipimpin oleh seseorang yang relatif punya pengalaman dan modal yang memadai. Para pemimpin penenun songket ini biasanya mengasuh sekitar 40-60 anggota. Di Desa Padang Genting ini, pemimpin penenun songket adalah Ibu Hj. Ratna, Ibu Asmah, Pak Sahib, dan Ibu Zuraidah.

Mereka menubuhkan kumpulan pengrajin songket Batubara secara informal. Tujuannya adalah agar tidak terjadi persaingan secara tidak sehat, dan agar harga songket terkawal dan tidak turun yang mereka istilahkan dengan banting harga.9 Biasanya secara diam-diam, persaingan ini terjadi dengan berbagai cara. Di antaranya adalah menurunkan harga songket secara diam-diam, agar tidak diketahui pesaingnya. Cara lainnya adalah menarik pembeli melalui penjelasan bahwa songketnya yang berkualitas baik, kelompok lain tidak baik.

Namun demikian, di antara kelompk-kelompok penenun songket ini terjadi juga persaingan sehat, seperti pengembangan motif dan penjagaan kualitas tenunan songket secara besama-sama, terutama diawasi oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) di bawah arahan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag).10 Banyaknya para pelanggan dan pembeli yang berkunjung dan membeli songket menjadi

9Dalam kebudayan masyarakat Melayu di Sumatera Utara, istilah banting harga ini adalah menurunkan harga jual di bawah rata-rata harga biasanya. Tujuan utamanya adalah agar para pembeli membeli barangannya karena harganya yang murah, dan sekali gus menutup kemungkinan peniaga pesaing untuk mengambil pelanggan. Namun bagaimanapun proses banting harga ini sebenarnya boleh merusakkan aktivitas ekonomi dan menimbulkan suasana bisnis yang tidak sehat.

10Departemen Perindustrian dan Perdagangan adalah sebuah departemen dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, yang mengurusi bidang industri dan perniagaan. Departemen ini biasanya dikepalai oleh seorang menteri perindustrian dan perdagangan. Di tingkat provinsi biasanya dibentuk dewan kerajinan nasional yang mengurus bidang kerajinan (seperti kerajinan tangan, industri rumah tangga, industri tenunan, industri songket, industri batik, dan lainnya). Dewan kerajinan nasional

Page 24: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 24

indikator keberhasilan masing-masing kumpulan. Di antara para penenun songket boleh saja berpindah kepada pimpinan yang manapun, namun ini jarang terjadi.

Penelitian ini difokuskan kepada kelompok Ibu Ratna, yang dalam reklamenya, adalah sebagai Pengrajin “Yusra”, menjual dan menerima tempahan kain tenun Batubara, Hj. Ratna (pengusaha), nomor handphone 081361346814, alamat rumah: Desa Panjang/Padang Genting No. 003, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, telefon: (0623)451470. Di rumah Ibu Ratna sendiri, reklame ini dibuat dalam papan iklan, yang diletakkan di sisi depan bagian atap rumahnya. Adapun kata-kata yang terdapat pada papan iklan tersebut adalah: “Yusra” menjual dan menerima tempahan kain tenun Batubara, alamat: Padang Genting 003, telepon: (0623)451470, Batubara Kecamatan Talawi.” Tujuan dari papan ini adalah untuk iklan dan menandakannya sebagai tempat kegiatan menenun songket dan tempat penjualan songket.

Organisasi penenun atau pengrajin songket di Desa Padang Genting terbentuk karena adanya permintaan pasar terhadap songket. Akhirnya muncullah para penenun yang diurus oleh para pimpinan atau pengusaha penenun songket. Kumpulan atau organisasi ini sistemnya tetap yaitu adanya pimpinan yang menyediakan bahan dan modal untuk berlangsungnya usaha, ditambah para anggota yang mendapatkan alat-alat dan upah yang sistemnya juga telah ada. Artinya alat-alat disediakan oleh pimpinan penenun, para penenun tinggal menenun dan diupah berdasarkan jumlah lembaran tenunan yang mampu ia buat, yang biasanya dihantar dua minggu sekali ke rumah Ibu Hajjah Ratna. Orang-orang yang ada di dalamnya boleh saja berganti-ganti, tetapi sistemnya tetap bertahan.

Adapun pekerja penenun yang dibawahi Ibu Ratna sebahagian besar yaitu wanita-wanita Melayu yang berusia remaja. Kegiatan ini bagi remaja umumnya dilakukan sebagai kerja sambilan yaitu pengisi waktu luang. Yang dimaksud dengan pengisi waktu luang adalah setiap penenun biasanya memiliki kerja utama seperti sebagai buruh di perkebunan sawit, sebagai petani sawah baik di sawahnya sendiri atau buruh tani di sawah orang lain, sebagai buruh pabrik dan lainnya. Atau ada pula di kalangan pekerja remaja ini yang masih bersekolah, umumnya SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas). Di masa waktu luang, selepas bekerja atau sekolah maka ia memiliki waktu luang. Masa inilah ia bekerja menenun songket.

Sistem pengupahan didasarkan pada jumlah songket yang dihasilkan. Setiap satu lembar songket yang dihasilkan, mereka menerima upah yang berkisar antara Rp. 25.000 sampai Rp. 50.000, yang tergantung dari tingkat kesulitannya. Tingkat kesulitan bagi para pekerja terutama adalah dalam menenun menggunakan benang satu, dua, atau tiga. Benang satu dipandang sebagai yang paling sulit ditenun kemudian diikuti benang dua, dan yang paling mudah adalah benang tiga. Umumnya para pembeli selalu memilih tenunan benang dua atau satu. Benang satu dianggap sulit karena hanya selapis dan kedua-dua sisi sama kualitasnya, sedangkan benang dua dan tiga cukup sekali atau dua kali tenun saja. 5.1 Pengembangan Organisasi

Organisasi penenun atau pengrajin songket ini, menurut Ibu Ratna harus selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Untuk itu mereka harus mengembangkan organisasi ini. Caranya adalah dengan menuruti permintaan pasar. Kadangkala pasar menginginkan songket warna merah, maka merekapun memproduksi songket warna merah dengan jumlah yang relatif banyak. Menurut penjelasan Ibu Ratna pengembangan ini mau atau pun tidak harus mengikuti keperluan pasar, artinya para penenun songket harus menenun sesuai dengan yang diminta dan dipesan oleh para pembeli, yang umumnya mengamalkan budaya Melayu, baik dari Sumatera Utara, Riau, Aceh, Malaysia, Singapura, dan lainnya. Mengenai hubungan aktivitas menenun songket dengan keperluan pasar ini Ibu Ratna mengatakan:

Sepanjang pengalaman saya dalam melakukan aktivitas songket ini, dimulai tahun 1971 sebagai pemimpin Yusra, maka saya harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang ada. Saya dan anggota-anggota harus menuruti pangsa pasar yang ada, artinya saya harus memupuk hubungan dengan para pelanggan dan pembeli. Kami harus melayani mereka bentuk songket seperti apa yang dikehendaki. Namun di samping itu kami juga harus memiliki identitas songket-songket11 kami yang berasas kepada kreativitas saya sebagai pemimpin penenun dibantu oleh para anggota yang berasas dari tradisi songket Batubara (wawancara penulis dengan Ibu Ratna 12 Februari 2006).

ini juga selalu melakukan pameran industri kerajinan ke mancanegara atau dalam negeri, untuk merangsang pertumbuhan ekonomi nasional melalui industri kerajinan.

11Yang dimaksud identitas songket-songket oleh Ibu Ratna ini adalah bahwa ia memiliki ciri-ciri tenunan terutama motif, warna, dan kualitas songket yang membedakannya dengan para kumpulan-kumpulan songket yang lain di Batubara. Namun hasil karya songket mereka semuanya berasas kepada motif-motif yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.

Page 25: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 25

Dalam mengembangkan organisasi ini pula kebijaksanaan dari para pemimpin kelompok penenun songket menjadi sebuah keharusan. Artinya setiap pemimpin penenun songket harus pandai-pandai melihat perubahan-perubahan ekonomi terutama di wilayah Sumatera Utara, untuk dapat mempertahankan kumpulannya. Seorang pemimpin penenun songket harus menjalin hubungan bisnis dengan berbagai kalangan masyarakat, termasuk para pemimpin daerah kecamatan atau kabupaten, bahkan provinsi, agar nama kelmpok itu dikenal luas. Selain itu, pemimpin kumpulan penenun songket ini menentukan harga produksi dan harga jual, menghitungnya agar diperoleh keuntungan atau laba, dan menyehatkan jalannya organisasi bisnis ini. Bagi para pelanggan tetap, seorang pemimpin kumpulan songket harus memperhatikan hubungan bisnis jauh ke depan, seperti boleh menghutang dahulu, memberikan diskon yang pantas dan teknik-teknik pendekatan lainnya.

Perkembangan organisasi juga selalu dipengaruhi oleh faktor eksternal ekonomi makro, mikro, dan internal. Faktor eksternal ekonomi makro yang dimaksud adalah seperti fluktuasi nilai tukar mata uang, krisis ekonomi dunia, perdagangan bebas dan dampaknya, dan lain-lain. Faktor ekonomi mikro, lingkupnya adalah secara nasional. Sedangkan faktor-faktor internal, adalah masalah yang dihadapi oleh kumpulan penenun songket itu sendiri. Menurut keterangan Ibu Ratna, selama ia melakukan usaha songket ini, yaitu sejak dekade 1970-an sampai sekarang ini, ia mengalami pasang surut perekonomian usahanya tersebut. Keadaaan yang dirasakannya paling berat adalah ini disebabkan oleh peristiwa krisis moneter internasional tahun 1997, yang juga melanda Indonesia. Pada saat itu, nilai rupiah yang awalnya hanyalah Rp 2400.oo-an per dolar Amerika Serikat jatuh sampai ke level Rp 15.000,oo- dan per dolar Amerika Serikat. Akibatnya benang-benang tenun yang diimpor dari Jepang sangatlah mahal harganya, yang biasanya satu tungkul berharga Rp 5.000 menjadi Rp 15.000, sehingga keuntungan sedikit saja yang diperoleh. Ibu Ratna menjelaskan hal ini seperti kutipan yang dituturkan berikut ini.

Dalam pengalaman hidup saya sebagai pengelola kelompok penenun songket Yusra ini tahun 1970-an, maka masa-masa paling sulit adalah terjadi ketika masa krisis moneter (krismon) melanda Indonesia. Kami harus memciutkan atau mempersempit tenaga kerja yang awalnya berkisar 50 orang menjadi sekitar 20 orang saja. Hal ini saya lakukan untuk menjaga agar usaha ini terus berjalan. Namun akhirnya berkat ridha Allah, sejak tahun 2000-an usaha ini sudah pulih kembali seperti sedia kala, bahkan sampai saat ini anggota penenun songket kami mencapai 63 orang dan ini saya perkirakan akan berkembang lagi (wawancara penulis dengan Ibu Ratna 10 Desember 2005).

Dengan demikian pengembangan organisasi songket ini menuruti perkembangan ekonomi dunia yang terjadi di Indonesia dan dunia. Selain itu faktor penting lainnya dalam mengelola organisasi para penenun songket adalah faktor keluarga. Artinya kelompok penenun songket selalu memilih keluarganya untuk ikut berpartisipasi sebagai penenun dalam sesebuah kumpulan penenun songket, seperti yang dilakukan oleh Ibu Ratna. 5.2 Faktor Keluarga

Menurut pengamatan penulis, para penenun yang barnaung di bawah seorang pemimpin, faktor-faktor pengambilan anggota adalah seperti: hubungan keluarga. Misalnya untuk kelompok Ibu Ratna yang berjumlah 63 orang, yang aktif bekerja di rumah Ibu Ratna adalah para keluarganya, yaitu Aminah (40 tahun) sebagai adik sepupunya, Fatimah Zahara (35 tahun) sebagai adik sepupunya, Aisyah (17 tahun) anak adik suaminya, Karmila (16 tahun) sebagai anak adiknya, dan Maimunah (16 tahun) sebagai anak adik lelakinya. Keseluruhan mereka ini adalah kerabat Ibu Ratna.

Menurut penjelasan Ibu Ratna faktor keluarga dapat membantu mengembangkan usaha, karena ia merasa dekat secara keturunan dan hubungan darah serta merasa lebih bertanggung jawab dan memiliki apa yang dilakukannya. Keluarga ini diberi kepercayaan sampai tahap-tahap tertentu, dan untuk hal-hal yang sifatnya sebagai keputusan penting dilakukan oleh Ibu Ratna dengan meminta pendapat-pendapat dari suaminya Haji Yusufuddin. Kadang-kadang sebelumnya mereka melakukan mesyuarat keluarga, yang dilakukan secara informal saja. Selain itu penenun-penenun lainnya juga dianggap sebagai keluarga besar (seperti kerabat) Ibu Ratna. Ia selalu mengatakan bahwa kita ini adalah sama-sama saudara sesama muslim yang saling diwajibkan untuk menolong dan membantu sesama kita. Ini merupakan penerapan konsep gotong royong (bekerja bersama), yang sudah diwujudkan melalui pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, serta struktur sosial dalam Rukun Tangga dan Rukun Warga. Dengan demikian respons dan motivasi para penenun menjadi begitu terintegrasi secara kuat. 5.3 Faktor Kemahiran dan Moralitas

Page 26: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 26

Selain faktor keluarga atau kerabat dalam mengembangkan organisasi penenun songket, Ibu Ratna juga memilih beberapa faktor lain seperti faktor kemahiran12 bekerja dan moralitas. Faktor moralitas ini dipentingkannya, karena bagaimanapun ia akan mendukung perkembangan kumpulan ini. Rasa menjadi satu dalam sebuah organisasi perlu dibina sejak awal, agar organisasi berjalan lancar. Apabila ia mendapati para anggota yang melakukan khianat, dusta dan penipuan, Ibu Ratna tak segan-segan memecat mereka dan menggantikannya dengan yang baru. Namun tetap dengan pertimbangan yang matang dan dengan musyawarah terbatas. Dalam sejarah ia memimpin kumpulan Yusra ini, baru dua kali saja ia melakukan hal tersebut, karena secara garis besar budaya orang-orang Melayu di kawasan ini menjaga baik hubungan tadi dan saling bahu-membahu dalam mengurus organisasi. Selain faktor moralitas, pilihan lain adalah kemahiran bekerja, artinya setiap penenun haruslah menjaga kualitas yang diinginkan oleh para pelanggan kain songket. Para penenun tidak dibenarkan melakukan sesuka hatinya. Bahkan Ibu Ratna terus memberikan dorongan agar para pekerjanya menenun dengan sebaik-baiknya dan kalau boleh bekerja dalam masa yang cepat sesuai dengan keinginan para pembeli. Kemahiran ini juga menurut beliau tergantung dari individu-individu yang bekerja. Ada yang lambat tetapi hasil tenunanya rapi dan berkualitas. Ada pula yang bekerja cepat dan hasil tenunannya berkualitas. Namun ada yang bekerja cepat tetapi tenunannya tak berkualitas. Itulah masalah-masalah pekerja yang dialami oleh Ibu Ratna, tetapi faktor kemahiran ini bukanlah faktor utama ia menerima para pengrajin songket. 5.4 Sistem Pengelolaan Keuangan

Faktor penting lainnya dalam mengurus organisasi penenun songket adalah sistem pengelolaan keuangan. Ketua kelompok para penenun songket menyediakan modal, yang mencakup: pembuatan alat tenun (okik), benang untuk bahan dasar tenunan, upah yang dihitung per helai, dan jenis songket (semakin besar tantangan membuatnya semakin besar pula ongkos yang diberikan). Alat tenunan (okik) dibuat oleh tukang setempat dan tetap memelihara alat tenun tradisional Melayu, dengan harga berkisar antara Rp 700.000 sampai Rp 1.000.000, per buah. Adapun kayu yang digunakan adalah kayu balok (jenis apa saja), baut (mur), bekas roda sepeda, cat, lem, dan lainnya yang diperoleh di Kota Batubara atau Tanjungbalai. Setiap bulannya rata-rata setiap pengrajin dapat menghasilkan upah kerja sebesar Rp 600.000. Namun mereka yang banyak menghasilkan songket tentu mendapat gajih yang lebih banyak. Di daerah ini upah kerja terendah juga telah ditetapkan oleh pemerintah yang disebut dengan upah minimum regional (UMR).13 Kelompok mereka juga mentaati aturan tersebut, namun karena pekerjaan ini dipandang sebagai kerja sambilan, dan dikerjakan di rumah-rumah para penenun songket yang sifatnya tidak formal, maka aturan tersebut tak berlaku bagi kumpulan mereka. Setiap menghadapi hari raya Idul Fitri mendapatkan tambahan upah kerja yang disebut tunjangan hari raya (THR), biasanya satu bulan gajih. Menurut penjelasan Ibu Ratna dan Ibu Zuraidah (yang juga ketua penenun songket di Desa Padang Genting ini), mereka selama ini dapat bertahan dengan sistem organisasi sosial dan pengelolaan seperti itu, dengan tidak lupa menuruti perkembangan zaman. Berdasarkan sistem organisasi, kelompok-kelompok penenun songket Batubara ini, dilakukan oleh kaum wanita. Baik itu sebagai pemimpin, pekerja, dan pemasaran (marketing)nya. Mengapa terjadi sedemikian, karena dalam budaya Melayu Batubara dan sekitarnya, pekerjaan menenun songket adalah pekerjaaan sampingan, yang memang secara alami paling tepat dilakukan oleh wanita, yang penuh kelembutan, ketelitian, ketekunan, dan kesabaran. Wanita menurut penjelasan para informan, ditakdirkan Tuhan untuk mengurus rumah tangga, termasuk suami, anak-anak, memasak makanan sehari-hari, mencuci pakaian, menyeterika pakaian, termasuk menenun. Pekerjaan menenun adalah pekerjaan perempuan. Namun ada pula sebagian yang dilakukan oleh kaum lelaki, terutama sebagai pemimpin, pembuat alat tenun okik, dan sebagai pemasar songket ke berbagai kawasan. Bagi masyarakat Melayu kawasan ini, penenun lelaki mendapat kategori sebagai bencong (di Malaysia pondan), yaitu lelaki yang memiliki sifat kewanita-wanitaan. Walaupun tidak semua lelaki penenun seperti itu, namun ada benarnya untuk sebagian. Bagi masyarakat Melayu di Batubara, para keluarga biasanya melarang atau paling moderatnya tidak mendukung

12Yang dimaksud kecekapan dalam hal ini termasuk hal-hal seperti: kemahiran, keterampilan, kreativiti, dalam menenun songket. Faktor kecekapan ini boleh diperoleh dari latihan-latiahan, belajar terus-menerus, tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diperolehinya. Akhirnya mengarah kepada profesionalisasi pekerjaaan dan kerjaya.

13Upah minimum regional (UMR) adalah sebuah keputusan bersama antara pengusaha dan pekerja dalam sistem organisasi perusahaan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Upah minimum regional ini adalah ditentukan berasaskan kepada pemerintah daerah provinsi atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan mesyuarat antara pihak pengusaha dan tenaga kerja (buruh). Di Sumatera Utara upah minimun regional saat awal dilakukan penelitian ini adalah Rp 760.000,oo.

Page 27: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 27

anak lelakinya bergiat sebagai penenun songket, kecuali beberapa bidang seperti menjadi ketua atau pengusaha, sebagai penyalur atau pemasar songket, dan sebagai pembuat alat tenun okik. 5.5 Keterlibatan Pemerintah

Secara nasional, pemerintah Republik Indonesia, melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) membentuk organisasi nasional yang dinamakan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas), yang tujuannya melindungi dan mengembangkan kerajinan (seperti songket, ulos, perabot, keramik, dan lainnya) di Indonesia.

Struktur Dekranas ini dimulai dari Departeman Perindustrian dan Perdagangan, yang diketuai oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan, kemudian di tingkat provinsi dibentuk Dewan Kerajinan Nasional Tingkat Provinsi, seterusnya Dewan Kerajinan Nasional di Tingkat Kabupaten. Tahun 2002 yang lalu Kelompok Penenun Songket Yusra oleh Dekranas Provinsi Sumatera Utara dipercayai untuk melakukan pameran di Negeri Melaka Malaysia. Mereka menjual barang dagangan songket, ulos (kain tenunan dari budaya masyarakat Toba, Mandailing-Angkola dan Karo), serta berbagai hasil industri tekstil lainnya.

Selain itu, perhatian pemerintah untuk mereka adalah memberikan kredit bank dengan bunga yang relatif murah, untuk mengembangkan usahanya. Usaha tenunan songket ini termasuk kepada kategori Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam sistem kategori pemerintah Indonesia. Namun, menurut pengakuan para penenun songket, mereka pernah ditawari kredit lunak tersebut, namun dengan realisasi yang “berbelit-belit”, artinya banyak hal yang mesti diurus untuk mendapatkan modal tambahan dari bank-bank pemerintah Indonesia, seperti Bank Nasional Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan lainnya. Mereka mengharapkan dapat memperoleh bantuan kredit dengan manajemen yang sederhana saja.

Perhatian pemerintah Indonesia kepada para penenun songket juga diwujudkan melalui pemberian penghargaan dalam bentuk piagam, trofi, atau anugerah. Kelompok Yusra mendapatkan penghargaan berupa sijil (piagam penghagaan) dan trofi (piala) sebagai sebuah kumpulan pengrajin Usaha Kecil dan Menengah peringkat Provinsi Sumatera Utara, tahun 2006. Menurut penjelasan Ibu Ratna piagam penghargaan dan trofi ini, memang menunjukkan niat baik pemerintah Provini Sumatera Utara dalam membina dan memperhatikan pengusaha dan penenun songket di Sumatera Utara, namun ia juga meminta agar memberikan perhatian di bidang peminjaman dana dalam bentuk kredit lunak oleh Bank Pemerintah, untuk mengembangkan usaha mereka (wawancara peneliti dengan Ibu Ratna 20 Okober 2006) 5.6 Peranan Wanita dan Laki-laki

Dalam aktivitas tenunan songket ternyata meskipun secara gender mayoritas dilakukan oleh kaum perempuan, namun di berbagai aktivitasnya melibatkan lelaki juga bagi terjadinya kongsi gender. Umumnya perempuan adalah menjadi penenun songket. Pimpinan songket dipegang oleh perempuan atau lelaki. Pimpinan perempuan biasanya memiliki akses ke dalam yang lebih banyak dibandingkan dengan kaum lelaki. Untuk membuat alat tenun okik umumnya dikerjakan oleh kaum lelaki yang umumnya menjadi tukang bangunan. Dengan demikian, perempuan mendapat porsi yang paling banyak dalam aktivitas songket ini. 5.7 Sistem Belajar atau Latihan

Untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan budaya tenunan songket Batubara ini tentu harus ada proses pembelajaran agar ia tak pupus ditelan zaman. Sistem pembelajaran yang dilakukan adalah melalui tradisi lisan, artinya para pelajar baru yang ingin menjadi penenun songket datang melihat, dan melakukan penenunan yang dipandu oleh seorang pemandu atau guru. Guru memberikan penjelasan, arahan, dan sekaligus praktik menyongket. Menurut penjelasan Ibu Ratna, setelah empat sampai lima kali pertemuan, biasanya setiap penyongket telah mampu melakukan aktivitas menyongket. Mulailah ia dibekali okik dan benang untuk menyongket. Ia pun akan diberi upah yang sama dengan para penyongket-penyongket yang telah lama. Namun dari segi masa biasanya para penyongket yang baru ini akan lebih lambat menyongket dibandingkan para penyongket lama. Dengan demikian kontinuitas budaya tenunan songket akan berkekalan hingga masa depan. Mengenai aspek ini Ibu Ratna menjelaskannya kepada penulis sebagai berikut.

Untuk menjaga agar kegiatan songket ini terus berkekalan, kami melakukan pendidikan atau pengajaran kepada para penyongket generasi muda. Mereka kami cari dan kami bina di kumpulan kami ini. Kami pun permisi kepada kedua orang tuanya agar tidak terjadi apa-apa di kemudian hari. Alhamdulillah sampai saat ini usaha kami terus berkembang dan terus diminati generasi muda, baik mereka yang masih sekolah ataupun yang sudah tamat. Bahkan beberapa

Page 28: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 28

di antara mereka mengumpulkan duit dan kemudian melakukan sekolah kursus keterampilan menjadi mandiri sebagai penjahit atau membuat usaha songket sendiri (wawancara peneliti dengan Ibu Ratna 11 Desember 2005).

Demikian uraian mengenai keberadaan organisasi songket yang ada di Desa Padang Genting, yang pada prinsipnya mereka mendasarkan pola organisasi secara tradisional dan mampu menghadapi cabaran ekonomi global. 6. Guna Songket Bahagian ini akan mengkaji mengenai guna dan fungsi songket dalam kebudayaan Melayu. Namun sebelumnya akan dikaji terlebih dahulu kedudukan pakaian dalam budaya Melayu. Pemakaian songket biasanya disertai dengan perlengkapan-perlengkapan lainnya, seperti: kopiah, subang, geliya, kerabu, rantai, gelang, selipar (selop), dan lain-lain. 6.1 Gunanya Untuk Busana Pengantin

Busana pengantin adalah sesuatu masalah yang penting pada upacara perkawinan. Busana pengantin tradisional Melayu Sumatera Timur (termasuk Batubara), umumnya sama dengan busana pengantin Melayu di berbagai tempat. Yang membedakannya hanyalah dalam ciri-ciri khas. Bagi mempelai wanita busana yang dipakai adalah: baju kebaya atau baju kurung dan kainnya, sanggul, kasut, songket, dan perhiasan-perhiasan seperti rantai, gelang dan tali pinggang.

Baju kebaya dipakai oleh pengantin wanita Melayu. Ada dua pendapat yang mengemukakan tentang asal-usul baju kebaya. Pertama yang mengatakan bahwa kebaya itu berasal dari perkataan Arab habaya yang bermaksud pakaian labuh yang berbelah di hadapan. Kedua yang mengatakan bahwa pakaian seperti ini dibawa oleh Portugis ke Melaka. Oleh sebab itulah kebaya telah lama dipakai di Melaka dan Dunia Melayu; bukan saja oleh wanita Melayu tetapi juga oleh wanita China Peranakan (Baba) dengan sedikit perbedaan dalam potongan dan gaya memakainya (laman web Muzium Negeri Melaka, disimpan 2006).

Baju kebaya awalnya didisain sampai ke paras lutut ataupun lebih ke bawah lagi. Tangannya panjang dan lebar. Bahagian badannya menurut potongan badan dan melebar ke bawah bermula dari bahagian punggung. Bagian hadapannya berbelah dan berkolar sampai ke kaki baju. Bahagian yang berbelah ini disemat dengan tiga kerongsang berasingan atau yang berangkai dengan rantai halus. Kerongsang ini dikenal sebagai ibu dan anak kerongsang. Kerongsang yang besar dan di atas sekali dipanggil ibu dan dua lagi yang kecil dan dipakai bawah kerongsang ibu disebut anak (laman web Muzium Negeri Melaka, disimpan 2006).

Dalam Dunia Melayu kebaya memiliki berbagai gaya. Contohnya di Selangor, kebayanya tidak berkolar. Di Perak pula lengan kebayanya sangat lebar berbanding dengan kebaya di negeri-negeri yang lain. Di Pahang baju kebayanya yang dikenal sebagai baju Riau Pahang mempunyai leher berkolar dan berkancing seperti baju kurung cekak musang tetapi bahagian hadapannya juga berbelah seperti baju kebaya yang lain; malah turut dipasangkan kerongsang di bawah kancingnya yang berbutang itu.

Baju kebaya sesuai untuk pakaian harian dan juga pakaian pengantin. Bagi pakaian harian, baju kebaya sesuai diperbuat dari kain kapas dan baldu atau sutera (bagi yang berada) dan dipadankan dengan kain sarung. Selendang hanya dikenakan apabila keluar rumah. Bagi pengantin pula, baju kebayanya diperbuat dari songket dan sepasang dengan kain sarungnya. Selendangnya juga dibuat dari songket. Selain itu kadangkala juga pengantin perempuan memakai baju kurung. Baju kurung cekak musang adalah sama dengan baju kurung teluk belanga kecuali pada bahagian lehernya. Leher baju kurung cekak musang ada kolar. Kolar tersebut hanya selebar satu jari dan kedudukannya menegak. Pada bahagian hadapan kolar ada bukaan panjang yang berkancing. Biasanya ada satu kancing pada kolar dan dua atau tiga lagi kancing pada bukaannya. Butang emas atau emas berbatu permata digunakan sebagai pengancingnya. Kancing yang paling terkenal ialah kancing emas yang dipanggil garam sebuku dan kancing berbatu permata yang dikenali sebagai kunang-kunang sekebun (wawancara dengan Ibu Ratna Juli 2005).

Baju kurung cekak musang wanita boleh dipakai dengan seluar atau kain sarung. Seluar yang selalu digunakan ialah kain seluar panjang, seluar panjang dan seluar bambu. Jika mau, samping dan selendang juga boleh dipakai bersama. Baju kurung cekak musang lelaki pula dipakai dengan seluar dan bersamping (kain samping). Lebih baik lagi apabila bertanjak atau bersongkok. Sementara itu pakaian pengantin laki-laki terdiri dari baju gunting China dengan celana longgar. Ditambah destar, yaitu kain yang dilapisi kain keras dan dihiasi manik-manik, dengan berbagai bentuk diikat di kepala. Ditambah sesamping atau kain samping terbuat dari songket atau pelekat yang diikatkan di pinggang dengan lipatan berbagai macam bentuk pula. Panjangnya sampai ke atas lutut, tidak sampai mata

Page 29: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 29

kaki. Konsep-konsep, aktivitas, dan artifak budaya tersebut menjadi bagian dari budaya tenunan songket, termasuk di Batubara. Berikutnya kita kaji budaya tenunan songket Batubara.

Selain digunakan untuk busana pengantin Melayu, di Sumatera Utara songket juga digunakan untuk pakaaian pengantin etnik Karo, Batak Toba, Simalungun, Mandailing-Angkola, dan lainnya. Dalam kebudayaan Karo menurut penjelasan dari Perikuten Tarigan (wawancara 11 Januari 2008), terdiri dari pakaian pengantin perempuan dan pakaian pengantin laki-laki. Pakaian pengantin perempuan terdiri dari: (a) tutup kepala, (b) baju kebaya, yang pada bahagian bahu sampai dada dilapisi kain songket dan selendang khas Karo yang disebut uis gara, (c) kain, yang terdiri dari tiga lapisan, yang pertama songket, kedua kain uis Karo, dan ketiga kain samping Karo). Disertai dengan perhiasan-perhiasannya. Sementara pakaian pengantin lelaki Karo terdiri dari: (a) tutup kepala, (b) baju kemeja dengan dasi (tie), dibalut jas Eropa, yang kemudian dibalut kembali dengan songket Melayu, (b) celana (seluar) panjang. Dilengkapi dengan perhiasan-perhiasan.

Gambar 32: Pakaian Pengantin Melayu Sumatera Timur Menggunakan Bahan Songket ]

Gambar 33: Peci (songkok)

Penggunaan songket untuk pakaian pengantin tradisional Karo, ini menurut penjelasan informan adalah bahwa songket dipandang memiliki nilai yang relatif tinggi di kalangan masyarakat Karo, Batak Toba, Simalungun dan lainnya. Songket ini digunakan bersamaan dengan pakaian tradisional mereka. Songket Melayu ini menjadi lambang status sosial. Songket Melayu dianggap berharga relatif mahal dan kualitasnya baik. Selain itu, songket juga dianggap sebagai milik bersama antara rumpun Melayu di nusantara ini Etnik-etnik di Sumatera memandang bahwa songket juga milik mereka, karena orang Melayu adalah saudara satu rumpun dan budaya. 6.2 Gunanya untuk Kain Sesamping

Page 30: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 30

Salah satu guna songket adalah untuk kain sesamping, yang biasanya dipakai untuk lelaki. Kain sesamping ini melengkapi pakaian tradisional Melayu untuk lelaki, yaitu baju cekak musang atau gunting China, serta celana (seluar), disertai dengan sepatu atau kasut. Kain sesamping ini di Sumatera Utara pada masa sekarang sangat umum dibentuk dengan menggunakan simpul yang dipandang memiliki nilai seni tersendiri. Umumnya simpul tersebut dibentuk menyeruapi kelopak bunga. 6.3 Gunanya untuk Destar

Guna songket yang lainnya adalah untuk dijadikan destar, yaitu tutup kepala dalam tradisi busana Melayu yang dijahit dengan menggunakan lipatan-lipatan tertentu. Destar ini biasa digunakan untuk meraikan upacara-upacara adat, seperti perkahwinan, sunat rasul dan lainnya. Untuk tetemu kehormatan sering pula diberi destar ini sebagai rasa hormat masyarakat kepadanya. Adakalanya digunakan pula untuk para penari Melayu, misalnya dalam mempersembahkan tari silat, tari inai. Beberapa tahun belakangan ada kecenderungan motif-motif songket ditebukkan pada peci atau songkok. 6.4 Gunanya untuk Selendang

Untuk perempuan songket ini selalu digunakan untuk selendang yang dipakai sama ada pada bahu kiri atau kanan pemakainya. Tujuannya agar memperindah busana yang dikenakan. Umumnya selendang ini disertai dengan baju kebaya panjang atau baju kurung dan sarung, sebagai pakaian tradisional Melayu untuk para perempuan Melayu. Selendang yang terbuat dari kain songket tentu saja lebih tebal diandingkan dengan yang terbuat dari kain katun biasa. 6.5 Gunanya untuk Berbagai Alatan Rumah Tangga

Guna lain dari songket ini adalah untuk berbagai kepentingan alatan rumah tangga, misalnya bantal, lukisan, tas, telapak meja, telapak telepon, telapak untuk penutup televisyen, telapak untuk penutup bahagian sisi atas kulkas dan lain-lainnya. 7 Fungsi Songket

Selain penggunaan, maka secara nyata songket juga memiliki sumbangan fungsi yang lebih dalam pada kebudayaan Melayu. Fungsi ini akan memberikan konsistensi internal ke dalam budaya Melayu, yang akhirnya dapat mencapai kekekalan budaya Melayu. Artinya songket memiliki fungsi untuk memberikan identiti khas bagi kebudayaan Melayu, dan akhirnya menjaga stabiliti kebudayaan Melayu. Dalam pandangan penulis, fungsi-fungsi yang disumbangkan oleh budaya tenunan songket itu adalah seperti yang akan diuraikan berikut ini. 7.1 Sebagai Penjaga Kontinuitas dan Stabilitas Budaya Melayu

Songket berfungsi sebagai penjaga kontinuitas dan stabilitas budaya Melayu. Songket dipandang sebagai bagian dari jati diri atau identitas kebudayaan Melayu. Seorang Melayu yang memakai songket dalam upacara-upacara tradisi, akan diabsahkan sebagai orang Melayu yang melakukan serta menghayati budaya Melayu. Dengan memakai songket ia dipandang turut menjaga kontinuitas dan stabilitas budaya Melayu, yang tak akan hilang di bumi.

Kontinuitas dan stabiliti budaya Melayu turut didukung oleh orang-orang Melayu, yang di antara aktivitasnya adalah memakai busana Melayu. Songket diapandang sebagai teras utama budaya Melayu, termasuk mereka yang ada di Batubara. 7.2 Sebagai Pengungkap Sistem Estetika

Songket juga berfungsi sebagai pengungkap sistem estetika budaya Melayu. Melalui songket keindahan dipancarkan dalam wujud motif, warna, kualitas benang, dan aspek keindahan lainnya. Keindahan ini merupakan ekspresi para seniman Melayu khususnya penenun dan perancang songket, yang juga diwarisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Keindahan dalam songket juga diekspresikan melalui warna-warna. Umumnya warna songket juga mencerminkan estetika orang yang memakainya. Keindahan itu dapat dirasakan dan dikomunikasikan kepada setiap orang. 7.3 Sebagai Pengungkap Nilai-nilai

Songket juga berfungsi sebagai penguat nilai-nilai sosial dalam masyarakat Melayu. Misalnya dari cara menempatkan kepala kain kita dapat menilai siapa seseorang itu. Misalnya untuk perempuan Melayu, jika ia memakai kain dengan kepala kain di sebelah hadapan berarti ia adalah anak dara yang belum mempunyai suami atau lelaki. Jika ia memakai songket dengan kepala kain di sebelah belakang, berarti ia seorang perempuan yang sudah bersuami. Manakala seorang perempuan yang memakai songket dengan

Page 31: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 31

kepala kain di sebelah samping, maka ia adalah seorang bekas isteri atau janda. Dengan demikian songket mengungkapkan nilai-nilai khasnya identitas dalam budaya Melayu.

Nilai-nilai lainnya yang wujud dalam songket adalah unsur kesopanan senantiasa dipelihara oleh masyarakat Melayu. Songket sebagai bahagian dari kesopanan berbusana dalam konteks budaya Melayu. Songket secara asasi menutup bahagian-bahagian aurat yang dianjurkan oleh agama Islam, yaitu seluruh bahagian tubuh perempuan kecuali dua telapak tangan dan wajah, serta bagi lelaki adalah mulai dari perut hingga kedua lutut kaki. Manakala dalam pakaian Melayu pula selain nilai-nilai menutup aurat, juga ditambah dengan penutup kepala yang disebut sebagai destar maupun songkok bagi lelaki, kemudian kain sesamping, baju dan seluar, serta kasut. Bagi perempuan pula dipakaikan sebagai kebaya atau gunting China, atau juga busana muslim yang menutupi sebahagian besar tubuh. Ini menandakan sebagai pengungkap nilai-nilai kesopanan. 7.4 Sebagai Wahana Integrasi dan Masuknya Seseorang Menjadi Melayu Fungsi songket lainnya adalah sebagai wahana integrasi14 dan masuknya seseorang yang bukan Melayu menjadi Melayu. Di Semanjung Malaysia, seorang Melayu dianggap sebagai suku kaum juga bangsa. Di Sumatera Utara, Melayu itu dipandang sebagai suku kaum, dan orang yang beragama Islam. Masuk Melayu berarti masuk Islam. Di kawasan Sumatera Utara, termasuk Batubara, masuknya orang-orang Batak menjadi Islam sering disebut dengan masuk Melayu, dengan pantun yang terkenal: Bukan kapak sembarang kapak, Kapak untuk membelah kayu, Bukan Batak sembarang Batak, Batak sudah masuk Melayu.

Pantun di atas memberikan pengertian bahwa suku Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola dan Pakpak-Dairi) yang awalnya beragama animisme atau Kristen, ketika masuk dan beralih menukarkan agamanya kepada agama Islam ia disebut dengan masuk Melayu.

Ketika seorang yang bukan beragama Islam kemudian masuk Islam, dan menjadi Melayu. Maka ia akan menuruti adat-istiadat Melayu, termasuk berbusana Melayu dalam konteks tertentu. Dengan ia memakai busana Melayu yang di antaranya menggunakan songket, maka ia dianggap sebagai bahagian dari masyarakat Melayu, dan menjadi bahagian masyarakat Islam sekali gus.

Pada budaya masyarakat Batubara, yang sebahagian nenek moyangnya adalah keturunan masyarakat Batak, maka berbagai unsur kebudayaan Batak masih diteruskan, namun dengan asas utamanya Melayu Islam. Bagi mereka yang telah beragama Islam, maka selalu menyatakan dan dianggap dirinya sebagai orang Melayu di kawasan ini.

Masyarakat Batak yang telah menjadi Melayu ini, menurut penjelasan Ibu Ratna (wawancara 15 Januari 2006) suka memilih warna hitam dan merah untuk songket. Warna ini adalah warna yang paling utama dalam budaya Batak. Dengan memakai songket yang berwarna kombinasi hitam dan putih ini maka fungsinya adalah menunjukkan integrasi dan masuknya seseorang Batak menjadi Melayu Islam. 7.5 Sebagai Penguat Identitas Melayu

Fungsi lainnya tenunan songket adalah sebagai penguat identiti kemelayuan. Sudah menjadi norma umum di lingkungan masyarakat Melayu dalam setiap upacara adat seperti nikah kawin, sunat Rasul, kenduri adat dan lainnya, secara spontanitas ia akan memakai busana tradisinya, yang biasanya juga menggunakan songket. Songket dipakaikan sebagai selendang, kain, tengkuluk, destar, kain sesamping, dan lainnya. Dengan menggunakan songket ini bererti seseorang Melayu itu menguatkan identiti kebudayaan Melayu.

Identitas kini menjadi sebuah tujuan bagi masyarakat Melayu secara umum. Apatah lagi pada masa sekarang mereka berada pada arus globalisasi budaya, mau tidak mau maka salah satu cara untuk menguatkan budaya adalah dengan kembali kepada penguat identitasnya. Salah satu pendukung penguat identitas itu adalah dengan memakai pakaian tradisional yang di dalamnya termasuk memakai tenunan songket. Dengan memakai songket dalam konteks tertentu seorang Melayu secara sadar atau tidak telah turut membina kelangsungan kebudayaan Melayu, yang bertapak dari zaman ke zaman.

14Wahana integrasi yang dimaksud adalah timbulnya rasa kebersamaan, rasa kesepunyaan, rasa

kesepemilikan dan rasa kesatuan dalam budaya. Selain itu dalam tunjuk ajar Melayu dikemukakan bahwa setiap orang Melau wajib menjaga turai atau susunan sosial masyarakat Melayu, yang menjadi kesatuan dalam menjalani kehidupan ini. Mnusia adalah makhluk sosial yang berkebudayaan.

Page 32: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 32

Identitas Melayu ini diperkuat dengan ciri utama songket seperti bentuk, corak, motif, simpul atau lipatan, warna, penggunaan, dan lain-lainnya. Melalui songket itulah sebahagian identitas Melayu mereka pertahankan. Sebagai contoh, di kawasan Batubara, warna hijau pucuk pisang (hijau pupus) disebut dengan warna Melayu, yang maknanya merujuk kepada identitas kemelayuan yang sangat kuat. Motif-motif yang digunakan dalam songket juga mengisyaratkan makna-makna kemelayuan, yang penuh dengan nilai-nilai. Motif pucuk rebung misalnya adalah tanda orang tahu dirinya dan hidup menjadi payung keseluruh lingkungannya. 7.6 Sebagai Penunjuk Strata Sosial

Fungsi songket yang lain adalah sebagai penunjuk strata sosial. Dalam masyarakat Melayu dikenal strata sosial, yang secara umum dibagi kepada dua golongan utama, walaupun secara umum egalitarian, yaitu golongan bangsawan dan golongan rakyat awam. Pada kawasan-kawasan yang masih berbentuk pemerintahan sistem kerajaan atau kesultanan, maka bentuk, corak dan warna songket berfungsi sebagai penunjuk strata sosial. Sultan-sultan atau kerabat bangsawan di negeri-negeri tertentu menggunakan lipatan destar atau tengkuluk yang tertentu. Warna kuning pula biasanya dipakai oleh raja atau sultan. Warna-warna lain digunakan oleh para pembesar negeri, menurut peraturan negeri masing-masing. Misalnya di Kesultanan Deli, warna kuning untuk sultan. Warna kuning dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan.

Selain itu setelah Indonesia merdeka, maka di antara orang-orang Melayu yang bukan bangsawan, ada yang menjadi golongan aristokrat baru, misalnya peniaga yang berhasil, tentara, ilmuwan dan lain-lainnya. Mereka ini boleh saja memakai songket yang harganya relatif mahal, misalnya yang terbuat dari benang sutera. Pemakain songket yang mahal ini secara sosial menunjukkan strata sosialnya sudah meningkat, ia memilki peran sosial yang dipandang lebih tinggi dari pada awalnya. Mereka ini terutama cukup mampu dan maju di bidang perekonomiannya. Jadi songket mereka ini menunjukkan stratifikasi sosial yang lebih tinggi dari kedudukan awal mereka. Orang-orang Melayu yang relatif kaya atau disebut mereka orang kaya Melayu ini, sering membeli songket-songket yang relatif mahal harganya. Mereka juga bukan hanya membeli songket di kawasan tempat ia bertempat tinggal tetapi juga sampai ke Palembang, atau mengembara di negeri-negeri Melayu lain misalnya Terengganu, Perlis, Kedah, Kelantan atau yang lainnya membeli songket sebagai lambang status dan stratifikasi sosial. Bahkan setiap orang kaya Melayu biasanya memiliki dan mengumpulkan berbagai songket dari berbagai kawasan Melayu. Dengan demikian ia dipandang memiliki strata sosial yang lebih baik. 7.7 Sebagai Ungkapan Rasa Cinta

Fungsi songket lainnya adalah sebagai ungkapan rasa cinta. Ungkapan rasa cinta ini boleh dalam pengertian yang luas, atau pengertian yang sempit. Manusia hidup di dunia diberi nikamt untuk membagi cinta kepada semua makhluk di dunia. Dalam pengertian yang lebih khusus, seseorang akan memilih jodohnya sebagai pasangan hidup yang pasti diharapkan berdampingan berkekalan sebagai sepasang suami dan isteri.

Seorang lelaki Melayu dalam mengungkapkan cintanya sering memberikan songket kepada perempuan pujaannya sebagai rasa cintah, kasih dan sayangnya. Begitu pula saat menju ke jenjang pelaminan, sering kali seorang lelaki memberi hantaran berupa seperangkat busana pengantin dan perhiasannya termasuk di dalamnya adalah songket. Dalam konteks sedemikian rupa, songket berfungsi sebagai ungkapan rasa cinta dari seorang kekasih kepada pasangannya. Fungsinya yang lebih jauh adalah sebagai meneruskan keturunan manusia di dunia ini agar berkekalan dan menjaga budaya Melayu. 7.8 Aktivitas yang Melibatkan Penggunaan Songket Sebagai satu budaya artefak, songket Melayu Batubara boleh menyumbangkan dan menjaga stabilitas serta kontinuitas budaya Melayu. Songket ini terus digunakan dalam pelbagai aktivitas masyarakat Melayu, karena mengandungi sistem nilai dan falsafah hidup orang Melayu yang diwarisi dari zaman berzaman. Di antara nilai-nilai itu adalah songket mencerminkan jatidiri orang yang memakainya, yang dipandang sebagai orang yang taat menurut agama dan adat, memiliki kesopanan dan estetika yang berasas pada budaya Melayu, songket menunjuk keberadaan sosial yang memakainya, dan lain-lain. Semua ini adalah bertujuan utuk menjaga stabilitas kebudayaan Melayu. Stabilitas kebudayaan ini amatlah diperlukan, agar masyarakat Melayu boleh menghadapi perubahan-perubahan zaman. Perubahan akan mengakibatkan cabaran bagi stabilitas kebudayaan. Perubahan pastilah berlaku bagi semua kumpulan manusia di dunia ini. Namun demikian, perubahan yang baik adalah apabila sesebuah kebudayaan itu mampu menjaga stabilitasnya serta meneruskan pula nilai-nilai sebelumnya atau yang lama yang disesuaikan dengan perubahan terkini. Bagaimanapun sebuah kumpulan manusia mestilah selalu menerapkan akar kebudayaannya bagi

Page 33: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 33

memperkokoh jati dirinya di masa kini dan depan. Demikian pula yang terjadi dalam budaya songket Batubara dalam konteks manusia yang menggunakan dan memfungsikannya.

Songket digunakan dalam berbagai aktivitas pada kebudayaan Melayu. Aktivitas itu terutamanya berkaitan erat dengan adat. Bahwa masyarakat Melayu di Batubara memiliki empat stratifikasi adat, yaitu: (a) adat yang sebenar adat, sebagai hukum Allah terhadap alam yang sifatnya mutlak; (b) adat yang diadatkan, yaitu sistem kepimpinan dalam budaya Melayu; (c) adat yang teradat yaitu kebiasaan-kebiasaan yang lama-lama diangkat dan dijadikan adat; serta (d) adat-istiadat yaitu bermakna upacara-upacara dalam budaya Melayu.

Mengenai perlu dan harusnya memakai songket dalam budaya Melayu ini ditegaskan oleh Ibu Ratna seperti berikut ini.

Penggunaan songket dalam berbagai kegiatan budaya Melayu biasanya selalu berkaitan erat dengan adat yang dipergunakan. Misalnya saja orang Melayu, Jawa, atau Batak, jika ia menggunakan adat Melayu, maka setiap orang yang terlibat harus menggunakan busana Melayu, termasuk di dalamnya menggunakan songket. Dalam upacara ini songket dianggap sebagai suatu kewajiban meskipun tak ada peraturan yang tertulis tentang hal itu. Yang penting upacara yang memakai adat Melayu, orang-orang yang terlibat di dalamnya harus pula memakai busana Melayu, dan inti dari busana Melayu itu adalah songket. Pada saat sekarang ini di Batubara penggunaan songket untuk kegiatan upacara terutama adalah dalam upacara perkahwinan adat-istiadat Melayu, yang lainnya adalah untuk pesta khitanan, khatam Qur’an; melepas lancang; jamu sukut dan lain-lainnya (Wawancara penulis dengan Ibu Ratna tanggal 6 Jun 2006)

Songket digunakan dalam berbagai aktivitas dalam budaya Melayu, terutama yang berkaitan

dengan adat-istiadat Melayu. Di antara aktivitas yang mengharuskan masyarakat Melayu menggunakan songket di antaranya adalah pada:

(a) upacara perkawinan, yang terdiri dari pelbagai tahap dari merisik hingga ke pelaminan dan mandi bedimbar;

(b) upacara sunat Rasul, yang dilakukan menurut norma-norma yang ada dalam kebudayaan Melayu; (c) upacara menabalkan anak, yaitu sebuah upacara memberikan anak nama yang biasanya disertai

dengan akikah yang dianjurkan dalam agama Islam; (d) upacara naik haji, yang terdiri dari melepas haji dan menyambut haji yang baru pulang dari tanah

suci Mekkah; (e) upacara musabaqah tilawatil Qur’an yang dilakukan dalam berbagai peringkat wilayah, seperti

peringkat kabupaten, provinsi, dan nasional; (f) upacara khatam Qur’an bagi para murid yang baru saja menamatkan mengaji Al-Qur’an; (g) upacara melepas lancang atau jamu laut, yaitu suatu aktivitas masyarakat Melayu sebagai

ungkapan untuk membersihkan kampung dari marabahaya, seperti penyakit atau bencana alam; (h) upacara gebuk, yaitu suatu aktivitas untuk mengubat penyakit yang diderita seseorang karena

puaka yang diturunkan oleh orang tua atau leluhurnya; (i) upacara-upacara lainnya yang berkaitan dengan budaya Melayu, seperti pembukaan dan penutupan

Pekan Budaya Melayu, menyambut tetamu kehormat; dan banyak lagi upacara yang lainnya.

8. Kesimpulan Hasil penelitian tentang keberadaan pembuatan tenunan songket dalam kebudayaan Melayu Batubara adalah sebagai berikut. Songket Melayu Batubara di Sumatera Utara memiliki ciri-ciri umum dan khusus dalam konteks Dunia Melayu. Ciri-ciri umumnya adalah secara konseptual, aktivitas dan dalam bentuk artefak adalah memiliki kesamaan–kesamaan dengan budaya songket di kawasan Melayu lainnya, seperti yang ada di Semenanjung Malaysia (Terengganu, Kelantan, Pahang, Kedah, dan lainnya), juga di Riau, Palembang, atau Borneo. Kesamaan-kesamaan itu boleh dilihat melalui ide yang terkandung di dalam songket, motif-motif, warna, dan lainnya. Begitu juga dengan aktivitas membuat songket dengan menggunakan teknologi yang sama yaitu menggunakan alat yang disebut kik atau okik.

Ciri khas atau perbedaan kebudayaan songket Batubara dengan kawasan lainnya adalah, bahwa sesuai dengan lingkungannya, songket atau kain tenunan tradisional di Sumatera Utara menggunakan tiga jenis alat, yaitu: okik untuk songket, partonunan untuk ulos, uis dan abit Batak, serta alat tenun bukan mesin (ATBM) seperti yang disarankan pemerintah Indonesia. Ciri khas lainnya bahwa tenunan songket Batubara selain digunakan oleh masyarakat Melayu, ia juga digunakan oleh etnik Karo, Batak Toba, Simalungun dan lainnya yang di Sumatera Utara dan dipandang memiliki nilai-nilai kultural yang tinggi. Songket Melayu juga digunakan sebagai asas untuk rekabentuk songket Karo dalam perkembangan terakhir. Pelatihan atau belajar songket Batubara bersifat terbuka, yaitu boleh dilakukan oleh siapa saja,

Page 34: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 34

tidak terbatas pada golongan sosial tertentu saja. Selain itu masih ditemui motif naga berjuang yang diperkirakan telah berusia ratusan tahun di kawasan ini.

Berdasarkan teknologi yang dipergunakan, sebahagian besar teknologi songket di Batubara ini menggunakan teknologi tradisonal, yaitu dengan menggunakan alat tenun okik. Okik ini terdiri dari bagian-bagian: gorub, karab, belero, belebas, papan pungguhan, cucak, sumbi, poso, tinjak, turak dan rahat. Sementara unsur-unsur seperti benang dan pewarnaan benang diadopsi dari teknologi modern. Benang diimpor dari Jepang melalui Jakarta.

Organisasi kelompok songket juga dilakukan menuruti sistem manajemen tradisonal, yang berbasis pada aspek manajemen kekeluargaan—yang dibina berasaskan hubungan saling memiliki dan menjadi satu keluarga besar. Organisasi ini dipimpin oleh seseorang yang dianggap memiliki keahlian mengorganisasi dan sekaligus bertindak sebagai pemodal, dan juga menentukan pemasaran, dan mengontrol kualitas songket yang dihasilkan. Sistem induk semang ini memungkinkan untuk mengembangkan usahanya selaras dengan permintaan pasar yang berkembang dari zaman ke zaman.

Guna songket secara fisik adalah untuk baju, kain samping, sarung, selendang, bantal, bag, dompet dan lainnya. Fungsi sosisobudaya songket di antaranya menurut penyelidik adalah untuk penjaga kontinuitas dan stabilitas budaya Melayu, juga sebagai wahana integrasi dan masuknya seorang menjadi Melayu, penguat identitas Melayu, sebagai penunjuk strata sosial dan sebagai ungkapan rasa cinta serta pelbagai fungsi lainnya. Dalam kenyataannya, fungsi songket dalam kebudayaan Melayu Batubara yang terutama adalah pada upacara yang bersifat sukacita, misalnya pada upacara perkawinan.

Akktivitas yang melibatkan penggunaan songket di antaranya adalah upacara perkawinan, sunat Rasul, manabalkan, mengakikahkan dan menuruntanahkan anak, upacara melepas dan menyambut haji, upacara musabaqah tilawatil Qur’an, khatam Qur’an, melepas lancang atau jamu laut, upacara gebuk dan lainnya.

Kesimpulan-kesimpulan lain dari penelitian ini adalah seperti yang diperturunkan berikut ini. (1) Sistem pembelajaran songket di Batubara sifatnya sangat terbuka, yaitu semua orang yang ingin belajar songket diperkenankan, tidak bersifat rahsia sesama keluarga atau kelompok saja. (2) Di Batubara tidak dipergunakan teknik pencelupan warna, karena warna yang dikehendaki bisa didapat dari warna-warna benang yang dibeli dari Jakara. Namun di kawasan Karo dan Batak Toba telah dikenal pencelupan warna, baik dengan teknologi tradisional maupun modern. (3) Dalam konteks etnisitas Melayu di Batubara, para etnik yang telah masuk menjadi Melayu masih lagi mengekalkan prinsip warna yang berasal dari suku nenek moyangnya, misalnya orang Mandailing-Angkola dan Batak Toba lebih banyak memilih warna merah dan hitam untuk warna songketnya. (4) Songket di kawasan ini juga mencerminkan strata sosial orang yang menggunakannya. Orang-orang kaya biasanya memakai songket yang berkualitas dan berharga relatif mahal. Sementara kelas sosial menengah sosial ke bawah menggunakan songket sesuai dengan kemampuan ekonominya. Sehingga songket yang diproduksi ada yang berharga relatif murah, sedang, sampai yang berharga mahal. (5) Dalam rangka menjaga lestarinya songket, maka pemerintah kabupaten Batubara menetapkan bahwa songket Batubara dijadikan souvenir (cendera mata) dan juga menjadi bahagian dari dunia pariwisata di kawasan ini. (6) Songket Batubara menjadi salah satu pusat identitas tenunan Melayu yang mewakili seluruh kawasan Melayu di Sumatera Utara dan Dunia Melayu pada umumnya.

Bibliografi Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd. Nefi Imran (penyelenggara), 2004. Busana Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka, Biro

Sosiobudaya Dunia Melayu Dunia Islam. Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd Nefi Imran (penyelenggara), 2004. Busana Melayu Serumpun. Melaka: Institut Seni Malaysia

Melaka (ISMMA). Andaya, Barbara Watson, 1987. The Cloth Trade in Jambi and Palembang During the 17th and 18th Centuries. New York: t.p. Anderson, John, 1971. Mission to The East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press. Atlas Indonesia, 2005. Jakarta: Jembatan. Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik. (Terjemahan Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana, Barney, 1989. Strategic Factor Markets: Expectations, Luck and Business Strategy. London: Management Science. Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln (eds.), 1995. Hand Book of Qualitative Research. London: Sage Publication. Erna Damayanti, 2000. Sejarah Pertumbuhan Kain Songket Palembang. Palembang: Skripsi Fakultas Adab IAIN. Fisher, C.A. 1977. “Indonesia: Physical and Social Geography.“ The Far East and Australasian 1977-78: A Survey and Directory of

Asia and Pacific. London: Europe Publications Ltd. Eerde, J.C. van, 1920. De Volken van Nederlansch-Indie. Amsterdam: Mij Elsevier. Gillin, J.L dan J.P. Gillin, 1954. For A Science of Social Man. New York: McMillan. Hadari Nawawi dan Martini Hadari. 1994. Instrumen Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss Hall, D.G.E., 1988. Sejaah Asia Tenggara. (Terjemahan Soewarsa).. Surabaya: Usaha Nasional. Hamka, 1981. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Page 35: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 35

Harsya W. Bachtiar, 1991. Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Koentjaraningrat ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hasbullah Ma’ruf, 1977. Naskah Cara-cara Nikah-Kawin Adat Melayu Sumatera Timur. Medan. Haviland, William A. 1988. Antropologi. (Terjemahan R.G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga. Haziyah Hussin, 2003. “Peranan Songket dalam Perkahwinan Melayu: Golongan . Istana dan Rakyat Biasa.” Jurnal Arkeologi

Malaysia. Bil. 17, Oktober 2003. Haziyah Hussin, 2006. Motif Alam dalam Batik dan Songket Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Heri Junaidi, 1995. Kerjasama Usaha Seni Tekstil Songket di Palembang. Palembang: Skripsi Fakultas Syariah IAIN Raden

Fatah. Herkovits, Melville J., 1948. Man and His Work. New York: Alfred A. Knoft. Herman, V.J., 1990. Seni Ragam Hias pada Kain Tenun. Mataram: Deparemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya. Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, 1984. Sociology, edisi kelapan. Michigan McGraw-Hill. Terjemahannya dalam bahasa

Indonesia, Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1993. Sosiologi. (Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Howell, W., 1923. The Pacific Islanders. London: Weidenfeld and Nicolson. Ismail Husein, 1984. Antara Dunia Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia. Kasim Ahmad (penyelenggara), 1966. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Kiagus Zainal Arifin, 2006. Songket Palembang: Indahnya Tradisi Ditenun Sepenuh Hati. Jakarta: Dian Rakyat. Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1980a. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra. Koentjaraningrat, 1980b. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1980c. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Lah Husni, 1977. Butir-butir Adat Melayu Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaa. Lauer, Robert. H. 2001, Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta, terj. Alimandan Lekkerkerker, C., 1916. Land en Volk van Sumatra. Den Hag: J.B. Wolters. Lorimer, Lawrence T. dkk. (eds.), 1991. Encyclopedia of Knowledge. Danbury, Connecticut: Grolier Incorporated. Malinowski, “Teori Fungsional dan Struktural,” Teori Antropologi. Koentjaraningrat (penyelenggara). Jakarta: Universitas Indonesia

Press. Marckwardt, Albert H. dkk. (eds.), 1990. Webster Comprehensive Dictionary. Chichago: J.G. Ferguson Publishing Company. Mohd Anis Md Nor, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to a National Performance Tradition. (disertasi Ph.D.).

Michigan: The University of Michigan. Mohd Yusof Md Nor (penyelenggara), 1984. Salasilah Melayu Bugis. Putra Jaya: Fajar Bakti. Muhammad Takari dan Fadlin dkk., 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studia Kultura. Nelson P.A., C. Treichler dan L. Grossberg, 1992. “Cultural Studies.” Cultural Studies. C.Treichler Nelson P.A. dan L. Grossberg

(eds.). New York: Rouledge. Norwani Mohd. Nawawi, 2002. Songket Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Sentuhan Sutra Mengawal Songket Batubara, Waspada, p. 22. Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Songket Batubara Melintasi Generasi Ketiga, Waspada, p. 22. Nurkarim Nehe, 13 Februari 2006, “Menanti Bapak Angkat, Waspada, p. 22. Othman Yatim dkk., 2004. “Sejarah Keindahan Songket Melayu.” (Kertas Kerja Seminar Songket Serumpun Melaka di Negeri

Melaka Bandaraya Bersejarah, 3 Oktober 2004). Parsudi Suparlan, 1987. “Perubahan Sosial Dalam Masyarakat” dalam Bulletin Antropologi. Yogyakarta: Perpustakaan Jur.

Antropologi UGM Pelto, Pertty J. Dan Gretel H. Pelto. 1978. Anthropological Recearch: The Structure of Inguiry. Second Edition London: Cambridge

University Perss. Pelzer, Karl J., 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947. Terjemahan J. Rumbo.

Jakarta: Sinar Harapan. Radcliffe-Brown, A.R., 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Juxtapse Research and Publication Study Club dan Kreasi Wacana. R.M. Rangga Alimuddin, 1999. Prospek Pengembangan Usaha Songket di Palembang: Studi Analisis pada Usaha Songket

Yayasan Mustika Mandiri Palembang. Palembang: Skripsi Ekonomi Tridarma. Sahril, 27 Februari 2006, “Penantian Panjang Kabupaten Batubara,” Waspada, p. 23 Sahril, 27 Februari 2006, “Batubara Negeri Bersinar yang Masih Redup,” Waspada, p. 23. Sahril, 27 Februari 2006, “Wisata Bahari P. Pandan Pesona Keterasingan” Waspada, p. 23. Selvanayagam, Grace I. , 1991. Songket Malaysia’s Woven Treasure. New York: Oxford University Press. Siti Zainon Ismail, 2004. “Tatarias dalam Busana Melayu.” Makalah pada Seminar Busana Melayu Serumpun. Siti Zainon Ismail, 1997. Keindahan Budaya Tradisional Nusantara: Tekstil Tenunan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka. S. Nasution, 1982, Metode Research. Bandung: Jemmars. Soedarsono, 1995. “Pendidikan Seni dalam Kaitannya dengan Kepariwisataan.” Makalah seminar dalam rangka peringatan hari

jadi Jurusan Pendidikan Sendratasik ke-10 FP BS IKIP Yogyakarta. Soerjono Soekanto, 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Perss.

Page 36: SONGKET MELAYU BATUBARA - etnomusikologiusu.com · Melalui makalah ini penulis akan mengkaji keberadaan dan fungsi songket Melayu Batubara, terutama ... di Batubara ini telah memelayukan

Fadlin Muhammad Dja’far, Songket Melayu Batubara

hakaman 36

Steward, Julian H., 1976. Theory of Culture Change: the Methodology of Multilinear Evolution. London: University of Illinois Press. Suwati Kartiwa, 1996. Kain Songket Indonesia. Jakarta: Djambatan. Syed Alwi Sheikh Al-Hadi, 1986. Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian

Pelajaran Malaysia. Tenas Effendy dkk., 2004. Corak dan Ragi: Tenun Melayu Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu

bekerjasama dengan Penerbit AdiCita. Tengku Luckman Sinar, 1986. Sari Sejarah Serdang. Medan. Tengku Luckman Sinar, 1980. Ragam Hias Melayu Sumatera Timur. Medan: Perwira. Tengku Luckman Sinar, 1994. Jati Diri Melayu. Medan: Majelis Adat dan Budaya Melayu Indonesia. Tengku Muhammad Lah Husni, 1986. Butir-Butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan. T.O. Ihromi, 1981. Pokok-pokok Teori Antropologi Budaya. Jakarta: Aksara. Umar Junus, 1984. Sejarah Melayu Menemukan Diri Kembali. Petaling Jaya: Fajar Bakti. Usman Pelly, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES. Volker, 1928. Van Oerbosch tot Cultuurgebied. Medan: De Deli Planters Vereeniging Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Wanda Warning dan Michael Gaworski, 1970. The World Indonesia Textiles. Tokyo: Kodansha International Ltd. Withington, W.A., 1963. “The Distribution of Population in Sumatra, Indonesia, 1961.” The Journal of Tropical Geography, 17. Zainal Abididin Borhan dkk. (penyelenggara), 1990. Adat-istiadat Melayu Melaka. Kuala Lumpur: Institut Kajian Sejarah dan

Patriotisme Malaysia, Kerajaan Negeri Melaka dan Akademi Pengajian Melayu. DAFTAR INFORMAN 1. Nama: Hajjah Ratna binti Abdul Thalib, Umur: 49 tahun, Pekerjaan: Ketua pengrajin tenun songket Yusra, Alamat rumah:

Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonsia. 2. Nama: Zuraidah binti Abdullah, Umur: 42 tahun, Pekerjaan: Ketua pengrajin tenun songket, Alamat rumah: Desa Padang

Genting, Dusun IV, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. 3. Nama: Asmah binti Aiyub, Umur: 47 tahun, Pekerjaan: Ketua pengrajin tenun songket, Alamat rumah: Desa Padang Genting,

Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. 4. Nama: Wan Sahib bin Wan Adnan, Umur: 52 tahun, Pekerjaan: Ketua pengrajin tenun songket, Alamat rumah : Desa Padang

Genting, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. 5. Nama: Suhaimi bin Tajuddin, Umur: 38 tahun, Pekerjaan: Sekretaris Desa Padang Genting, Alamat rumah : Desa Padang

Genting, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. 6. Nama: H. Yusufuddin bin Noer, Umur: 51 tahun, Pekerjaan: Polis Pengaman Laut Indonesia, Alamat rumah: Desa Padang

Genting, Kecamatan Talawi, Batubara, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. 7. Nama: Tengku Syahdan bin Tengku Abdul Aziz, Umur: 74 tahun, Pekerjaan: Ketua Telangkai Sumatera Utara, Alamat rumah:

Jalan Yos Sudarso, Medan Glugur, Indonesia 8. Nama: Encik Tairani binti Suhaimi, Umur: 71 tahun, Pekerjaan: bidan pengantin, Alamat rumah: Desa Batang Kuis Pekan,

Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.