skripsi bab i, ii,iii,iv.docx

78
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal. Plak gigi dinyatakan berperan penting dalam inisiasi periodontitis. Periodontitis umumnya disebabkan oleh plak. Plak adalah lapisan tipis biofilm yang mengandung bakteri, produk bakteri, dan sisa makanan. Lapisan ini melekat pada permukaan gigi dan berwarna putih atau putih kekuningan. Plak yang menyebabkan gingivitis dan periodontitis adalah plak yang berada tepat di atas garis gusi. Bakteri dan produknya dapat menyebar ke bawah gusi sehingga terjadi proses peradangan dan terjadilah periodontitis. (1) Periodontitis kronis biasanya disebut sebagai adult periodontitis atau crhonic adult periodontitis. Merupakan bentuk paling banyak dari periodontitis. Ini 1

Upload: lisna-k-rezky

Post on 29-Nov-2015

69 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

denttistry

TRANSCRIPT

Page 1: skripsi bab I, II,III,IV.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit periodontal merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

bakteri dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal. Plak gigi

dinyatakan berperan penting dalam inisiasi periodontitis. Periodontitis umumnya

disebabkan oleh plak. Plak adalah lapisan tipis biofilm yang mengandung bakteri,

produk bakteri, dan sisa makanan. Lapisan ini melekat pada permukaan gigi dan

berwarna putih atau putih kekuningan. Plak yang menyebabkan gingivitis dan

periodontitis adalah plak yang berada tepat di atas garis gusi. Bakteri dan

produknya dapat menyebar ke bawah gusi sehingga terjadi proses peradangan dan

terjadilah periodontitis. (1)

Periodontitis kronis biasanya disebut sebagai adult periodontitis atau

crhonic adult periodontitis. Merupakan bentuk paling banyak dari periodontitis.

Ini biasa dianggap sebagai perkembangan penyakit. Bagaimanapun, dengan

adanya faktor sistemik ataupun faktor lingkungan yang mungkin bisa menentukan

reaksi host terhadap akumulasi plak, seperti diabetes melitus, merokok, atau stres

yang mungkin menyebabkan perkembangan penyakit ini makin agresif. Meskipun

periodontitis kronis paling sering terdapat pada remaja, itu bisa terjadi juga pada

anak-anak ataupun orang tua sebagai respon terhadap plak kronis dan akumulasi

kalkulus. Penelitian ini mendasari perubahan nama dari adult periodontitis

disarankan menjadi periodontitis kronis. Plak menyebabkan periodontitis terdapat

1

Page 2: skripsi bab I, II,III,IV.docx

pada remaja. Menjadi pandangan yang lebih universal dari periodontitis kronis,

yang dapat terjadi pada semua umur. Periodontitis kronis didefinisikan sebagai

penyakit infeksi dikarenakan inflamasi pada jaringan lunak dari gigi, kehilangan

jaringan ikat secara progresif dan kehilangan tulang, hilangnya jaringan ikat dan

hilangnya tulang alveolar. Susunan poket periodontal biasanya diakibatkan oleh

proses penyakit resesi gingiva sekaligus kehilangan jaringan ikat pada kasus

kedalaman poket yang menyisakan kedangkalan. Meskipun pada keduanya mulai

terjadi kehilangan jaringan ikat dan kehilangan tulang.(1,2)

Adapun bakteri penyebab periodontitis kronis, yaitu Porphiromonas

gingivalis (P.gingivais), Prevotella intermedia (P.intermedia), Capnocytophaga,

A.actinomycetemcomitans (A.a), Eikenella corrodens, Campylobacter rectus

(C.rectus). (1)

Untuk mengetahui jenis bakteri pada pasien penderita penyakit

periodontitis kronis harus dilakukan penelitian dengan menggunkan metode

deteksi bakteri. Dari beberapa metode yang ada, yang paling sering digunakan

adalah dengan menggunakan metode kultur bakteri biasa namun saat ini telah

ditemukan metode deteksi bakteri yang lebih berkembang yang disebut metode

polymerase chain reaction (PCR). Metode PCR adalah sebuah teknik ilmiah

dalam biologi molekular untuk memperkuat satu atau beberapa salinan sepotong

DNA di beberapa kali lipat, menghasilkan ribuan sampai jutaan salinan tertentu

urutan DNA . metode ini dikembangkan pada tahun 1983 oleh Kary Mullis , PCR

sekarang teknik umum dan sering sangat diperlukan digunakan di laboratorium

penelitian medis dan biologi untuk berbagai aplikasi. Ini termasuk kloning DNA

2

Page 3: skripsi bab I, II,III,IV.docx

untuk sekuensing DNA berbasis filogeni , atau fungsional analisis gen , diagnosis

penyakit keturunan , identifikasi sidik jari genetik (digunakan dalam ilmu forensik

dan pengujian paternitas ), dan deteksi dan diagnosis penyakit menular. (3,4)

Metode ini bergantung pada siklus termal , terdiri dari siklus pemanasan

dan pendinginan berulang dari reaksi untuk mencair DNA dan enzim replikasi

DNA. Primer (fragmen DNA pendek) yang mengandung urutan komplementer ke

wilayah target bersama dengan DNA polimerase merupakan komponen kunci

untuk mengaktifkan amplifikasi selektif dan berulang. Sebagai PCR berlangsung,

DNA yang dihasilkan itu sendiri digunakan sebagai template untuk replikasi,

pengaturan dalam menggerakkan reaksi berantai di mana template DNA secara

eksponensial diperkuat. PCR dapat dimodifikasi secara luas untuk melakukan

berbagai macam manipulasi genetik .(5,6)

Meskipun metode polymerase chain reaction ini adalah metode yang

sangat baik digunakan untuk mendeteksi bakteri namun metode ini belum populer

dan belum banyak digunakan dikalangan mahasiswa, maka dengan itu penulis

mencoba untuk menjelaskan bagaimana metode ini digunakan untuk mendeteksi

bakteri penyebab periodontitis kronis.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pemeriksaan

bakteri penyebab penyakit periodontal kronis dengan menggunakan metode

polymerase chain reaction (PCR)

3

Page 4: skripsi bab I, II,III,IV.docx

1.3 Metode Penulisan

Pada penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis melakukan studi

pustaka yaitu dengan mencari, menghinpun, serta mencatat data-data dari berbagai

literatur, buku teks, jurnal, internet, dan bahan-bahan lainnya yang dapat

digunakan dalam penyelesaian skripsi ini.

4

Page 5: skripsi bab I, II,III,IV.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Periodontitis

Periodontitis adalah penyakit multifaktorial yang menyebabkan infeksi

dan peradangan jaringan pendukung gigi, biasanya menyebabkan hilangnya

tulang dan ligamen periodontal dan bisanya merupakan penyebab kehilangan gigi

pada orang dewasa dan edentulousness.(1,4)

Gambar 1. Peradangan pada periodontitis

Sumber: http://www.smile-mag.com/art_files/Periodontitis.pdf

Periodontitis merupakan suatu infeksi campuran dari mikroorganisme

seperti Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, Bacteroides forsythus,

Actinobacillus actinomytemcomitans, dan mikroorganisme Gram-positif, misalnya

Peptostreptococcus micros dan Streptococcus intermedius.(1,2)

5

Page 6: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Peradangan pada periodontal memiliki banyak penyebab (misalnya,

bakteri, trauma). Namun, kebanyakan periodontitis akibat dari akumulasi

mikroorganisme pada gigi. Faktor risiko pada periodontitis kronis termasuk

keberadaan bakteri subgingiva tertentu, penggunaan tembakau, diabetes, usia, dan

jenis kelamin. Selain itu, ada bukti bahwa faktor lain dapat berkontribusi pada

patogenesis penyakit periodontal: lingkungan, genetik, dan sistemik (misalnya,

diabetes).(2,3)

2.2 Periodontitis Kronis

A. Pengertian

Dahulu periodontitis kronis dikenal sebagai adult periodontitis atau slowly

progressive periodontitis. Periodontitis kronis terjadi sebagai akibat dari perluasan

inflamasi dari gingiva ke jaringan periodontal yang lebih dalam. (1)

Gambar 2. Periodontitis kronis

Sumber : Color Atlas of oral disease

6

Page 7: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Gambar 3. A, Abses periodontal kronis pada gigi kaninus kanan rahang atas. B,

Setelah adminsitrasi anestesi lokal, probe periodontal dimasukkan untuk

menentukan keparahan lesi. C, Menggunakan insisi vertikal mesial dan distal,

dilakukan pembukaan flap full-thickness, yang menunjukkan dehisensi tulang

parah, restorasi subgingiva, dan kalkulus akar. D, Permukaan akar telah

dihaluskan dan bebas kalkulus serta restorasi dihaluskan. E, Flap full-thickness

dikembalikan ke posisi awalnya dan dijahit menggunakan absorbable suture. F,

Setelah 3 bulan, jaringan gingiva berwarna merah muda, padat, dan beradaptasi

baik dengan gigi, dengan kedalaman probing periodntal minimal.

Sumber: carranza, tahun 2008 edisi 10

B. Etiologi

Awal periodontitis pada seorang individu diduga karena adanya gen

polimorf yang menyebabkan perubahan pada aktivitas sitokin, substansi yang

mengatur aktivitas sistem imun dalam mempertahankan suatu sel. Perubahan ini

7

Page 8: skripsi bab I, II,III,IV.docx

menyebabkan destruksi pada tulang dan jaringan ikat, yang biasanya terjadi sangat

lambat, dan sebagian besar asimptomatik, sehingga efeknya pada gigi berupa

hilangnya perlekatan dengan tulang terjadi pada usia sekitar 30-50 tahun. Elemen

genetik tersebut yang bisa menjelaskan mengapa periodontitis kronis seringkali

mengenai anggota keluarga yang sama.(4)

Adapun etiologi dari periodontitis kronis, yaitu : (6)

Akumulasi plak dan kalsifikasi kalkulus (tartar) diatas (supra) dan/atau

dibawah (subgingiva) pada batas gingiva.

Organisme penyebab periodontitis kronis, antara lain :

a. Porphiromonas gingivais (P.gingivais)

b. Prevotella intermedia (P.intermedia)

c. Capnocytophaga

d. A.actinomycetem comitans (A.a)

e. Eikenella corrodens

f. Campylobacter rectus(C.rectus)

Reaksi inflamasi yang diawali dengan adanya plak yang berhubungan dengan

kehilangan yang progressif dari ligament periodontal dan tulang alveolar, dan

pada akhirnya akan terjadi mobilitas dan tanggalnya gigi :

a. Perlekatan gingiva dari gigi

b. Membrane periodontal dan tulang alveolar mengalami kerusakan.

c. Celah yang abnormal (poket) yang berkembang antara gigi dan gingiva.

d. Debris dan poket yang dihasilkan oleh poet (pyorrhea)

8

Page 9: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Subjek cenderung rentan karena faktor genetic dan/atau lingkungan seperti :

a. Merokok

b. Polimorf gen interleukin-1

c. Depresi imun

d. DiabeteS

Telah diketahui bahwa kerusakan jaringan dimediasi oleh substansi bakteri

yang melewati barier epitel dan menyebabkan injury secara langsung atau tidak

langsung. Produk bakteri yang dapat menyebabkan injury langsung pada jaringan

yaitu toxin seperti endotoksindan leukotoksi, dan enzim seperti hyaluronidase dan

kolagenase. Beberapa mekanisme dari injury secara tidak langsung dari jaringan

periodontal telah dipaparkan.(9)

C. Bentuk Periodontitis Kronis

Adapun bentuk dari periodontitis kronis adalah(6)

Reccurent periodontitis - tanda dan gejala awal dari periodontitis yang

destruktif kambuh setelah terapi periodontal diakibatkan karena penyakit

tidak dirawat secara adekuat dan/atau pasien tidak melakukan perawatan

oral hygiene yang adekuat.

Refractory periodontitis- periodontitis destruktif yang terjadi pada pasien,

dimana pada saat di lakukan pemeriksaan, terdapat kehilangan perlekatan

pada satu atau lebih dari permukaan gigi, meskipun telah dilakukan terapi

periodontal secara professional dan pasien yang telah melakukan

9

Page 10: skripsi bab I, II,III,IV.docx

pemeliharaan oral hygiene serta telah mengikuti program yang dianjurkan

dari kunjungan pemeliharaan periodontal.

Berdasar pada sistem klasifikasi tahun 1989, refractory periodontitis telah

dipisahkan secara tersendiri. Dipercaya bahwa refractory periodontitis

bukan merupakan kesatuan dari suatu penyakit tunggal.

Pada klasifikasi tahun 1999, refractory dapat digunakan untuk semuatipe

penyakit periodontal yang tidak berespon terhadap perawatan. Kasus

periodontitis kronis yang tidak berespon terhadap perawatan disebut

refractory chronic periodontitis.

D. Refractory chronic periodontitis

Peningkatan kehilangan perlekatan tulang pada pasien meskipun telah

melakukan hal-hal berikut :(10)

a. Terapi periodontal yang akurat

b. Pasien yang telah melakukan perawatan oral hygiene yang tepat.

c. Program yang sesuai dengan kunjungan pemeliharaan periodontal.

E. Gambaran Klinis

Adapun gambaran klinis dari periodontitis kronis, yaitu (8)

Onset penyakit biasanya dimulai pada usia 30-35 tahun.

Penyakit biasanya generalized, meskipun ada beberapa area yang lebih

parah keterlibatannya dibanding area yang lain.

Tidak ada pola yang tetap dari distribusi lesi yang terlihat, kecuali yang

biasa diisolasi untuk satu atau dua sisi.

10

Page 11: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Gambar 4. Periodontitis kronis pada pria usia 45 tahun

Sumber : Essential of clinical periodontology and periodontics

Permukaan inflamasi akut yang parah tidak terlihat, biasanya

memperlihatkan gingiva yang bengkak dari mild periodontitis hingga

moderate periodontitis serta perubahan warna dari merah pucat ke

magenta.

Hilangnya stippling, margin gingiva yang tajam dan bergulung atau papilla

yang crater dapat terlihat.

Perdarahan yang spontan dan inflamasi yang berhubungan dengan eksudat

dari poket juga dapat ditemukan.

Saat poket terbentuk, kemungkinan dapat terjadi abses.

Kedalaman poket bervariasi dan poket supraboni dan infraboni dapat

ditemukan.

Kondisi yang dapat memperparah akumulasi plak seperti bagian

interdental yang terbuka, tepi restorasi yang rusak, dan malposisi gigi

seringkali dapat ditemukan.

11

Page 12: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Jumlah deposit mikroba konsisten dengan keparahan penyakit.

Mobilitas gigi dapat dilihat pada kasus yang sudah lanjut.

Tidak ditemukan abnormalitas serum neutrofil/monosit.

F. Diagnosis

Diagnosis periodontitis kronis didasarkan pada hal-hal berikut, yaitu :(10)

Perdarahan pada saat probing, kedalaman probing, dan kehilangan perlekatan

klinis.

Pemeriksaan mobilitas gigi

Mobilitas gigi diperiksa dengan menggunakan dua handle dari hand

instrument yang ditempatkan dibagian bukal dan lingual. Gigi digerakkan

buko-lingual dengan instrument dan derajat pergerakan gigi dicatat. Cara ini

bersifat subjektif tetapi sudah sangat umum digunakan. Penelitian terakhir

memperkenalkan adanya perkembangan alat elektronik untuk mengukur

mobilitas gigi, Periotest , yang menggunakan sebuah akselerometer untuk

mengukur resistensi gigi terhadap tekanan yang diaplikasikan 16 kali setiap 4

detik dengan silinder metal kecil. Metode ini memiliki 60 skala yang dimulai

dengan -10 (gigi ankilosis atau oseointegrasi seperti implant) hingga +50

(mobilitas yang ekstrem) dan mempunyai keuntungan yaitu bisa dilakukan

kembali dan dibandingkan dengan data sebelumnya. Peningkatan atau

penurunan dari hasil pengukuran mobilitas gigi dapat membantu dalam

memperoleh hasil pengukuran yang akurat.

12

Page 13: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Gambar 5. Periotest untuk mengukur mobilitas gigi dengan

menggunakan akselerometer

Sumber : Clinical textbook of dental hygiene and dental theraphy

Pemeriksaan radiografi (vertical bitewing dan periapikal)

Pola kerusakan tulang yang terlihat pada periodontitis kronis dapat

berbentuk vertical atau horizontal. Saat kehilangan perlekatan dan tulang

terjadi pada laju yang sama pada sebagian besar permukaan gigi disebut

kerusakan tulang horizontal dan umumnya dihubungkan dengan poket

supraboni.(8)

G. Patogenesa

Proses utama yang menyebabkan hilangnya perlekatan dan pembentukan

poket : (11)

Plak subgingiva yang meluas ke arah apical menyebabkan junctional

epithelium terpisah dari permukaan gigi.

Respon jaringan inflamasi epithelium poket berakibat pada destruksi dari

jaringan ikat gingiva, mebran periodontal dan tulang alveolar.

Proliferasi di apical dari junctional epithelium menyebabkan migrasi dari

perlekatan epithelium.

13

Page 14: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Tingkat kerusakan jaringan tidak bersifat konstan, tetapi episodic,

sejumlah tipe penyakit dapat terjadi, mulai dari kerusakan slowly

progressive hingga aktivitas episodic yang berkembang cepat.

Ada lima tahapan yang diketahui pada perkembangan penyakit

periodontal, yaitu : (4)

Pristine gingiva (hanya ditemukan pada hewan percobaan) yang memiliki

lapisan epithelium yang intak dan melapisi gingiva crevice serta tidak

terdapat sel inflamasi dalam jaringan ikat. Terdapat perpindahan yang

kontinyu dari leukosit neutrofil ke bagian korona dari junctional

epithelium dan gingiva crevice.

Gingiva sehat yang normal memiliki sejumlah sel inflamasi dalam

junctional epithelium dan jaringan ikat. Meskipun gingivitis pada tahap ini

tidak dapat dideteksi secara klinis, perubahan inflamasi dapat dideteksi

secara mikroskopik.

Gambar 6. Gingiva yang normal

Sumber : Carranza`s Clinical Periodontology

14

Page 15: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Early gingivitis nampak setelah 10-20 hari setelah akumulasi plak.

Terdapat peningkatan sel inflamasi di dalam jaringan dan meningkatnya

migrasi neutrofil ke dalam gingiva crevice. Epithelium gingiva menjadi

lebih tebal. Jaringan ikat gingiva telah banyak mengandung sel inflamasi

dan terjadi dilatasi pada pembuluh darah.

Gambar 7. Early lesion gingivitis

Sumber : Essential of microbiology for dental students

Established gingivitis memiliki jaringan ikat yang lebih banyak didominasi

oleh sel plasma (10-30%)

Gambar 8. Established gingivitis

Sumber : Essential of microbiology for dental students

15

Page 16: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Periodontitis ditandai dengan migrasi ke arah apical dari junctional

epithelium – tahap pertama dari hilangnya perlekatan. Infiltrasi yang sama

dari sel inflamasi dapat dilihat, namun lebih dominan (>50 %). Kehilangan

tulang mulai terjadi disini.

H. Prevalensi

Periodontitis kronis meningkat prevalensi dan keparahannya sejalan

dengan usia, umumnya mempengaruhi laki-laki dan perempuan dengan frekuensi

yang sama. Periodontitis disebut age associated, bukan age-related. Dengan kata

lain, bukan usia dari individu yang meningkatkan prevalensi penyakit tetapi durasi

dari jaringan periodontal oleh akumulasi kronik dari plak.(1)

I. Keparahan Penyakit

Keparahan dari kerusakan periodonsium yang terjadi sebagai akibat dari

periodontitis kronis umumnya berjalan seiring waktu.dengan peningkatan usia,

kehilangan perlekatan dan tulang menjadi lebih sering dan parah karena

akumulasi dari kerusakan yang terjadi keparahan penyakit dapat dibagi menjadi

slight (mild), moderate, atau severe. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan

keparahan penyakit yang terjadi dalam keseluruhan rongga mulut atau hanya

sebagian dari rongga mulut (seperti perkuadrant atau sextant) atau status penyakit

dari gigi individual. (1,8)

Slight (mild periodontitis)

- Kerusakan periodontal biasanya dikaakan slight jika hilangnya perlekatan

klinis tidak lebih dari 1-2 mm.

16

Page 17: skripsi bab I, II,III,IV.docx

- Biasanya melibatkan banyak gigi.

- Invasi minimal dari furkasi dengan sedikit atau tanpa adanya mobilitas

gigi yang terlihat.

- Kehilangan tulang (kurang 20 % dari perlekatan tulang )

Gambar 9. Periodontitis kronis tahap awal

Sumber : Periodontal manifestasion of local and systemic disease

Moderate periodontitis

Dikatakan moderate jika :

- Hilangnya perlekatan klinis sekitar 3-4 mm

- Keterlibatan furkasi moderate awal dengan mobilitas gigi dari slight

hingga moderate.

- Kehilangan tulang yang lebih besar dari 40 % dari total perlekatan

periodontal klinis

17

Page 18: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Gambar 10. Moderate periodontitis

Sumber : Periodontal manifestasions of local and systemic disease

Severe periodontitis

- Saat hilangnya perlekatan lebih dari 7 mm atau lebih, disebut kondisi

severe.

- Keterlibatan furkasi tingkat III

- Mobilitas gigi yang berlebih

- Kehilangan tulang lebih besar dari 40 %, defek kerusakan tulang

horizontal dan angular dapat di temukan.

Gambar 11. Severe periodontitis

Sumber : Color Atlas of dental hygiene

18

Page 19: skripsi bab I, II,III,IV.docx

J. Faktor resiko penyakit

Beberapa faktror resiko dari penyakit periodontitis kronis adalah:(1,4,8)

Faktor lokal : meliputi plak dan faktor retentive plak. Plak yang melekat pada

gigi dan permukaan gingiva pada dentogingiva junction diketahui sebagai

penyebab primer dari periodontitis kronis. P.gingivais, B.forshytus dan

Treponema denticola seringkali ditemukan pada periodontitis kronis. Faktor

retentive plak membantu akumulasi plak atau mencegah terlepasnya plak

dengan prosedur oral hygiene yang rutin. Faktor tersebut berperan penting

dalam perkembangan periodontitis kronis karena dapat menyebabkan

mikroorganisme plak menjadi lebih dekat dengan jaringan periodontal.

Beberapa faktor tersebut adalah kalkulus, restorasi subgingiva dan/atau margin

yang overhanging, lesi karies yang dalam yang meluas ke subgingiva, gigi

crowded atau malposisi, dan kekasaran permukaan akar.

Faktor sistemik : mekanisme dari faktor sistemik dalam penyakit periodontal

dapat mempengaruhi respon host dan meningkatkan tingkat progresi penyakit

periodontal. Laju perkembangan periodontitis kronis yang disebabkan oleh

plak umumnya berjalan lambat. Namun, pada saat periodontitis kronis terjadi

pada pasien yang memiliki penyakit sistemik yang mempengaruhi keefektifan

dari respon host, laju kerusakan periodontal dapat meningkat secara signifikan.

19

Page 20: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Diabetes.

Diabetes merupakan kondisi sistemik yang dapat meningkatkan keparahan

dan perluasan dari penyakit periodontal pada pasien yang terkena. Diabetes tipe 2,

atau Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) merupakan bentuk

yang paling sering terjadi, dan mencapai 90 % dari semua pasien diabetes. Selain

itu, diabetes tipe 2, seringkali berkembang pada populasi dewasa pada saat yang

bersamaan dengan periodontitis kronis.

Efek yang sinergis dari akumulasi plak dan modulasi dari respon host yang

efektif melalui efek dari diabetes yang dapat berubah menjadi severe dan terjadi

kerusakan periodontal yang luas yang dapat mempersulit perawatan dengan

tekhnik klinis standar mengontrol kondisi sistemik. Peningkatan diabetes tipe 2

pada usia belasan tahun dan usia remaja telah ditemukan dan biasanya

dihubungkan dengan peningkatan obesitas pada anak-anak. Selain itu, diabetes

tipe 1 atau Diabetes Mellitus yang Tergantung Insulin (DMTI) ditemukan pada

anak-anak dan remaja yang dapat menyebabkan kerusakan periodontal yang

meningkat ketika tidak terkontrol. Kemungkinan periodontitis kronis dapat

diperparah oleh komplikasi diabetes tipe 1 dan 2, yang meningkat prevalensinya

pada masa mendatang dan menjadikan perubahan perawatan yang dilakukan oleh

klinisi.

Perubahan hormon

Perubahan ini dapat mempengaruhi respon jaringan gingiva terhadap plak

dan terapi. Pubertas, kehamilan dan menopause, semuanya diketahui sebagai

penyebab perubahan dari respon gingiva. Meningkatnya keparahan gingivitis

20

Page 21: skripsi bab I, II,III,IV.docx

selama kehamilan memberikan pengaruh pada peningkatan sirkulasi dari

progesterone yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah

gingiva dan peningkatan perdarahan serta pembengkakan.

Pembesaran papilla gingiva yang dikenal sebagai epulis pregnancy

seringkali ditemukan selama kehamilan. Lesi tersebut kurang lebih berdiameter 2

cm; namun pengangkatannya sebaiknya dilakukan setelah melahirkan, meskipun

dapat membesar dan menjadi suatu masalah. Lesi tersebut dapat sembuh kembali

secara spontan di akhir kehamilan.

Faktor lingkungan dan tingkah laku

Merokok telah terbukti dapat meningkatkan keparahan dan perluasan

penyakit periodontal. Ketika dikombinasi dengan periodontitis kronis yang

disebabkan oleh plak, peningkatan laju kerusakan periodontal dapat ditremukan

pada pasien yang merokok dan terdapat riwayat periodontitis kronis. Sebagai

akibatnya, para perokok dengan periodontitis kronis memiliki kehilangan

perlekatan dan tulang yang lebih banyak, keterlibatan furkasi lebih banyak, dan

poket yang lebih dalam .

Perokok biasanya memiliki masalah periodontal yang parah daripada yang

bukan perokok, dan hasil perawatan lebih buruk pada perokok. Hal ini disebabkan

karena : (4)

- Reduksi dari sirkulasi darah gingiva (yang menyebabkan reduksi pada

perdarahan saat menyikat gigi dan probing pada perokok)

- Gangguan mobilitas dan fungsi dari sel darah putih

21

Page 22: skripsi bab I, II,III,IV.docx

- Gangguan pada penyembuhan luka

- Peningkatan produksi komponen inflamasi (sitokin) khususnya karena

nikotin yang menyebabkan peningkatan produksi collagenase.

A B

Gambar 12. Generalized chronic periodontitis pada wanita usia 38 tahun dengan

riwayat merokok selama 20 tahun paling sedikit satu bungkus per hari. (A)

Gambaran klinis yang menunjukkan jumlah plak yang minimal dan inflamasi.

Probing menghasilkan perdarahan yang tak berarti, yang umum terjadi pada

perokok. Pasien mengeluhkan adanya ruang antara gigi insisivus kanan atas yang

dihubungkan dengan kehilangan perlekatan dan tulang. (B) Gambaran radiografi

yang menunjukkan keparahan, generalized, pola horizontal dari kehilangan tulang.

Molar atas dan bawah telah hilang karena perkembangan penyakit dan

keterlibatan furkasi.

Sumber : Carranza`s clinical periodontology edisi 10 tahun2008

Selain itu, lebih banyak terbentuk kalkulus supragingiva daripada

subgingiva dan memperlihatkan perdarahan yang sedikit pada saat probing

daripada yang tidak merokok. Tanda awal yang dapat menjelaskan kondisi

tersebut yaitu adanya perubahan mikroflora subgingiva dari perokok

dibandingkan dengan yang bukan merokok, selain itu merokok juga berefek

22

Page 23: skripsi bab I, II,III,IV.docx

terhadap respon host. Tanda klinis, mikrobiologi, dan efek imunologi dari

perokok juga mempengaruhi respon terhadap terapi dan frekuensi dari penyakit

rekuren.(1)

Stress Emosional telah duhubungkan sebelumnya dengan penyakit

necrotizing ulcerative, yang mungkin disebabkan karena efek dari stress yang

terhadap fungsi pertahanan tubuh. Peningkatan emosi terbukti dapat

mempengaruhi perluasan dan keparahan dari periodontitis kronis, yang mungkin

terjadi melalui mekanisme yang sama.(1)

Faktor Genetik

Periontitis dikenal sebagai penyakit multifaktorial dimana keseimbangan

yang normal antara plak mikroba dan respon host terganggu. Gangguan ini,

seperti yang dijelaskan sebelumnya dapat terjadi melalui perubahan komposisi

plak, perubahan respon host, atau perubahan lingkungan dan tingkah laku yang

mempengaruhi respon palk dan host. Selain itu, kerusakan periodontal seringkali

dilihat diantara anggota keluarga dan melintas ke generasi yang berbeda dalam

garis keturunan, serta mendasari dasar genetic untuk kemungkina terjadinya

penyakit periodontal. Studi terakhir telah menunjukkan agregasi familial dari

localized dan generalized aggressive periodontitis.(1)

K. Perawatan

Fase awal dari periodontitis kronis (6)

a. Perawatan awal terdiri dari :

- Konsultasi dengan psikiater pasien mungkin diperlukan jika faktor

resiko sistemik ditemukan. Faktor tersebut terdiri dari merokok,

23

Page 24: skripsi bab I, II,III,IV.docx

diabetes yang tidak terkontrol atau kurang terkontrol, penyakit

sistemik, stress, atau medikasi sistemik tertentu.

- Instruksi individual, evaluasi kemampuan kontrol plak dari pasien.

- Konseling untuk berhenti merokok sebaiknya diberikan pada pasien

yang merokok.

- Debridement permukaan akar

- Agen antimikroba dapat digunakan sebagai tambahan fase awal.

- Pengangkatan atau kontrol faktor local yang menyebabkan inflamasi.

b. Pemeriksaan jaringan periodontal dan evaluasi ulang dari hasil

perawatan fase awal sebaiknya dilakukan setelah terjadi proses

penyembuhan inflamasi dan perbaikan jaringan.

Tujuan perawatan. Tujuan perawatan pasien dengan periodontitis kronis

yaitu :(4)

- Mengontrol plak bakteri pada tingkatan yang kompatibel dengan

kesehatan jaringan periodontal.

- Mengubah atau menghilangkan beberapa faktor resiko yang

menyebabkan periodontitis.

- Menghentikan progress penyakit.

- Mencegah kembalinya periodontitis.

Penilaian Hasil Perawatan

Hasil yang diinginkan dari terapi periodontal pada pasien periodontitis

kronis :(4)

- Pengurangan yang signifikan pada inflamasi gingiva

24

Page 25: skripsi bab I, II,III,IV.docx

- Pengurangan plak gigi pada tingkatan yang kompatibel dengan

kesehatan gingiva

- Pengurangan kedalaman poket pada saat probing

- Pencegahan kehilangan perlekatan yang lebih lanjut.

Hasil jangka panjang dari terapi periodontal tergantung pada

keterampilan pasien dalam melakukan perawatan oral hygiene dan

pemeliharaan jaringan periodontal (panggilan untuk kunjungan ulang)

pada interval yang sesuai.(4)

Tidak semua pasien memiliki respon yang sama terhadap perawatan yang

diberikan. Bagian gigi yang terkena serta tidak memberikan respon terhadap

perawatan umumnya memiliki ciri-ciri berupa (5)

- Inflamasi pada gingiva.

- Peningkatan kehilangan perlekatan klinis

- Jumlah plak yang tidak kompatibel dengan kesehatan gingiva.

2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR adalah singkatan dari Polymerase Chain Reaction. Teknik ini

merupakan teknik perbanyakan DNA secara in vitro. Teknik ini memungkinkan

adanya amplifikasi antara dua region DNA yang diketahui, hanya di dalam tabung

reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Dalam sistem

kerjanya, PCR dilandasi oleh struktur DNA.(14,15)

25

Page 26: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Gambar 13. Proses perbanyakan DNA secara in vitro. Metode ini melibatkan

pemisahan rantai ganda DNA dengan pemanasan. Setelah pemutusan, rantai

tunggal ini akan diikat dengan rantai tambahan. Sehingga terbentuk dua rantai

baru. Melalui beberapa kali pengulangan metode ini akan didapatkan banyak

untaian DNA baru.

Sumber : http://www.ucl.ac.uk/~ucbhjow/b200/pcr.htm.

26

Page 27: skripsi bab I, II,III,IV.docx

1

Gambar 14. Struktur Double helix DNA.

Sumber : Brown, T. A. 2002. Genomes, Second Editions. John Wiley and Sons Inc.,New York.

Dalam keadaan nativenya, DNA merupakan double helix, yang terdiri dari

dua buah pita yang berpasangan antiparalel antara satu dengan yang lain dan

berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara basa-basa

yang komplementer, yaitu antara basa Adenin (A) dengan Toymine (T), dan

Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa itu terikat dengan molekul gula,

deoksiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui

ikatan fosfat.

27

Page 28: skripsi bab I, II,III,IV.docx

A. Tahapan PCR

Terdapat tiga tahap utama di dalam setiap siklusnya, yaitu (14)

a. Denaturasi

Selama proses denaturasi, double stranded DNA akan membuka menjadi

single stranded DNA. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi

menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen.

Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi

polimerisasi pada siklus yang sebelumnya.

b. Annealing

Primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki

komplemen dengan primernya. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen

akan terbentuk. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan

hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali

apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72oC.

c. Reaksi polimerisasi (extension).

Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu

72oC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan

dengan dNTP yang komplemen pada sisi 3’nya.

Jadi, seandainya ada 1 copy gene sebelum siklus berlangsung, setelah satu

siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3

siklus akan menjadi 8 kopi dan seterusnya. Sehingga perubaoan ini akan

berlangsung secara eksponensial.

28

Page 29: skripsi bab I, II,III,IV.docx

B. Komponen PCR

a. Enzim DNA Polymerase

Dalam sejaraonya, PCR dilakukan dengan menggunakan Klenow fragment

DNA polymerase I selama reaksi polimerisasinya. Enzyme ini ternyata tidak

aktif secara termal selama proses denaturasi, sehingga peneliti harus

menambahkan enzyme di setiap siklusnya. Selain itu, enzim ini hanya bisa

dipakai untuk perpanjangan 200 bp. Selain itu, oleh karena suhu annealing

yang rendah dan extension yang hanya bisa dilakukan pada 37oC (suhu kerja

Klenow fragment), hasilnya menjadi kurang spesifik.

Untuk mengatasi kekurangan tersebut, dalam perkembangannya kemudian

dipakai enzim Taq polymerase yang memiliki keaktifan dalam suhu tinggi.

Oleh karenanya, penambahan enzim tidak perlu dilakukan di setiap siklusnya,

dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin. Pemakaian Taq

polymerase dalam konsentrasi yang terlalu besar akan mengakibatkan

munculnya background produk non-spesifik. Sebaliknya, bila konsentrasi Taq

polymerase terlalu rendah, maka proses amplifikasi berlangsung secara

inefisien, dan produk amplifikasi yang diperoleh akan mempunyai

konsentrasi yang relatif rendah.(14)

b. Primer

Apabila memungkinkan primer yang dipilih adalah yang mengandung G+C

sekitar 50%. Apabila memungkinkan, dihindari adanya polipurin atau

polipirimidin. Selain itu, juga dihindari adanya struktur sekunder dan adanya

29

Page 30: skripsi bab I, II,III,IV.docx

komplementari antara primer-dimer. Primer yang digunakan sebaiknya

mempunyai Tm>55oC. Nilai Tm suatu primer dapat diperkirakan = [(jumlah

A+T) x 2oC] + [(jumlah C+G) x 4oC].(14)

c. Reagen lainnya

Selain enzim dan primer, terdapat juga komponen lain yang ikut menentukan

keberhasilan reaksi PCR. Komponen tersebut adalah dNTP untuk reaksi

polimerisasi, dan buffer yang mengandung MgCl2. Konsentrasi ion Mg2+

dalam campuran reaksi merupakan hal yang sangat kritis. Konsentrasi ion

Mg2+ ini sangat mempengaruhi proses primer annealing, denaturasi,

spesifisitas produk, aktivitas enzim dan fidelitas reaksi. Oleh sebab itu,

penambahan berbagai pereaksi harus selalu diperhatikan, jangan sampai ada

ion-ion lain maupun coelating agent yang dapat mengganggu konsentrasi ion

Mg2+ dalam larutan. Secara umum, sebaiknya konsentrasi ion Mg2+ bebas

yang terdapat dalam larutan adalah sekitar 2 mM.(14)

Gambar 15. Siklus PCR, yang terdiri dari denaturasi, penempelan primer

(annealing) dan polimerisasinya

30

Page 31: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Sumber: Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction)

Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic Virus).Jurusan Kimia

Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,2007

Berbagai macam teknik biologi molekuler telah berkembang dalam

beberapa tahun terakhir. Salah satu dari teknik terbaru ini adalah analisa asam

nukleat yang disebut polymerase chain reaction (PCR), pertama kali

diperkenalkan pada tahun 1985. Metode ini menggunakan amplifikasi fragmen

DNA eksponensial tertentu, menghasilkan jutaan salinan yang dapat berfungsi

sebagai template untuk berbagai jenis analisis. (14)

PCR dapat didahului oleh reaksi (RT) reverse transkripsi untuk

menghasilkan DNA dari RNA (RT-PCR). RT-PCR memberikan kemungkinan

untuk menilai transkripsi gen dalam sel atau jaringan.(14)

C. Reverse Transcription Pcr (RT-PCR)

Amplifikasi RNA dengan PCR dapat dilakukan dengan menggunakan

primer yang menempel ke templat RNA dan kemudian mensintesis copy DNA

(cDNA) dengan menggunakan enzim reverse transcriptase (RT) dan diikuti

dengan proses PCR. Beberapa DNA polimerase dapat digunakan pada tahap ini,

seperti T. thermophilus (Tth) DNA polimerase, bila terdapat mangan (Mn) dapat

melakukan transkripsi balik RNA. Karena Tth DNA polymerase dapat

menggunakan DNA dan RNA sebagai templat, maka prosedur ini dapt dilakukan

dalam satu tabung. Templat RNA virus (seperti retrovirus) atau RNA poli A akan

31

Page 32: skripsi bab I, II,III,IV.docx

di copy menggunakan heksamer acak atau primer spesifik. RNA (RT) PCR

merupakan teknik yang sangat sensitif untuk mempelajari ekspresi gen pada

tingkat RNA, dan pada kuantifikasi mRNA atau level RNA virus.(14)

Gambar 16. Mekanisme RT-PCR

Sumber: Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction)

Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic Virus).Jurusan Kimia

Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,2007

Reverse transcriptase biasanya digunakan untuk mensintesis rantai

pertama cDNA dari RNA. Reverse transkriptase dapat dipurifikasi dari beberapa

32

Page 33: skripsi bab I, II,III,IV.docx

sumber, seperti: avian myeloblastosis virus (AMV) dan Molones murine leucemia

virus (MMLV). AMV reverse transkriptase adalao RNA-dependent DNA

plimerase yang menggunakan RNA rantai tunggal sebagai templat dan dapat

mensintesis cDNA dengan arao 5’→3’ jika terdapat primer. Sama seperti aktivitas

DNA polimerase, enzim ini juga mempunyai aktifitas ribonuklease H yang

spesifik teroadap oibrida RNA : DNA.(14)

BAB III

PEMBAHASAN

Teknik molekul alternatif seperti polymerase chain reaction (PCR) mampu

mendeteksi keseluruhan komunitas bakteri tanpa dilakukan kultur. Metode ini

menggunakan daerah lokus rRNA 16S pada mikroba, yang dapat diperkuat

dengan PCR dan sequencing dengan satu set primer bakteri universal. Diferensiasi

spesies bakteri didasarkan migrasi diferensial mereka dalam gel sebagai fungsi

dari persen dari guanin ditambah sitosin (G + C content) dan sifat mencair.

Hasilnya adalah profil bar-code-seperti, dengan masing-masing band mungkin

mewakili organisme mikro yang berbeda dalam komunitas mikroba.(14,15,16)

Untuk saat ini, teknik ini telah menjadi alat penting untuk mempelajari

komunitas bakteri yang kompleks dalam berbagai habitat, termasuk biofilm,

proses fermentasi makanan, infeksi saluran pencernaan, dan poket periodontal.

(14,16)

33

Page 34: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Proses Reaksi Rantai Polimerase(PCR)

PCR adalah proses enzimatik dimana suatu area spesifik dari DNA

direplikasikan berulang-ulang untuk menghasilkan banyak salinan kode DNA dari

sekuen tertentu. ( Saiki et al. 1988, Reynolds et al. 1991 ). Pengkopian molekuler

ini meliputi proses pemanasan dan pendinginan sampel dalam suatu siklus panas

tertentu yang melebihi dari 30 siklus ( gambar 3.1 ). Dalam setiap periode siklus,

sebuah salinan dari sekuen target DNA tersebut dihasilkan untuk setiap molekul

yang mengandung sekuen target ( gambar 3.2 ). Keterbatasan dari produk ini

ditegaskan dengan oligonukleotida primer yang melengkapi buntut 3’- dari sekuen

tersebut.(14)

Gambar 17. Siklus temperatur termal pada PCR

Sumber: Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction)

Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic Virus).Jurusan Kimia

Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,2007

34

Page 35: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Siklus temperatur termal pada PCR. Siklus termal dilakukan pada

temperatur yang berbeda dan terus diulang sebanyak 25-35 kali. Pada suhu 95

derajat celcius, helaian DNA dipisahkan atau di denaturasi. Pada 60 derajat

celcius, ikatan primer atau 'anneal' pada template DNA dan daerah target

diamplifikasi. Pada 72 derajat celcius, DNA polimerase memperpanjang rantai

primer dengan cara menggandakan daerah target dengan menggunakan

deoxynucliotide tripospate building blocks. Proses PCR memakan waktu

sekitar 3 jam dimana setiap siklus memakan waktu sebanyak 5 menit pada

siklus termal konvensional : 1 minute pada tiapa 94 derajat celcius C, 60

derajat celcius dan 72 derajat celcius dan sekitar 2 minutes jarak antara tiga

temperatur.(14)

Gambar 18. Proses amplifikasi DNA dengan polimerase chain reaction (PCR).

35

Page 36: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Sumber: Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction)

Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic Virus).Jurusan Kimia

Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,2007

PCR umumnya dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak 5 – 100 µL.

Dengan jumlah yang sangat rendah itu, penguapan dapat menjadi masalah dan

akurasi dari pengambilan sampel dapat menjadi tantangan. Di sisi lain, volume

sampel yang lebih besar mengarahkan pada masalah keseimbangan panas bagi

reaksi pencampuran karena dibutuhkan waktu yang lebih lama bagi perubahan

suhu eksternal agar dapat ditransmisikan ke pusat sampel ( bagi sampel yang lebih

banyak dibandingkan dengan sampel yang sedikit ). Maka, dibutuhkan waktu

yang lebih lama untuk setiap suhu, sehingga keseluruhan waktu siklus panas yang

dibutuhkan juga memanjang. (14)

Sebagian besar protokol biologi molekuler untuk sampel PCR adalah

antara 20 - 50 µL. Sampel dipipetkan ke dalam berbagai tabung reaksi yang

didesain untuk digunakan dalam siklus panas PCR. Tabung yang paling umum

digunakan untuk sampel sebanyak 20 – 50 µL adalah tabung berukuran 0,2 mL

dengan dinding tipis. (14)

Akumulasi metabolisme bakteri pada permukaan jaringan keras mulut

dianggap sebagai penyebab primer periodontitis. Lebih dari 400 spesies telah

diisolasi dan ditandai dalam plak gigi. Akumulasi bakteri pada gigi merangsang

respon inflamasi secara reversibel pada jaringan gingiva. Bagian yang mengalami

inflamasi pada akhirnya dapat menyebabkan destruksi jaringan secara permanen

36

Page 37: skripsi bab I, II,III,IV.docx

pada daerah lokalisasi sejumlah organisme patogen yang potensial. Spesies

subgingival tertentu kebanyakan terdiri dari bakteri Gram-negatif yang

dihubungkan dengan etiologi penyakit periodontal destruktif seperti:

Actinobacillus actinomycetemcomitans, Porphyromonas gingivalis (P. gingivalis),

Provotella Intermedia dan beberapa spesies bakteroid lainnya.(15,16)

Teknik PCR dan RT-PCR telah berperan dalam beberapa penelitian

kedokteran gigi, dan menunjukkan potensi untuk dapat digunakan untuk

mendiagnosa serta dapat dimanfaatkan dalam bidang pengobatan dan pencegahan

penyakit (karies gigi, penyakit periodontal, infeksi endodontik dan kanker mulut).

Pendeteksian bakteri penyebab periodontitis kronis, seperti Porphiromonas

gingivais (P.gingivais), Prevotella intermedia (P.intermedia), Capnocytophaga,

A.actinomycetemcomitans (A.a), Eikenella corrodens, Campylobacter

rectus(C.rectus) dapat menggunakan teknik Polimerase chain reaction (PCR).

(14,15,16,17)

a. Porphiromonas gingivalis (P.gingivalis)(16)

Porphyromonas gingivalis adalah salah satu bakteri Gram-negatif anaerob

yang berperan penting pada patogenesa periodontitis.Porphyromonas

gingivalis dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) terdeteksi

sebesar 75% dari semua periopatogen dalam plak (Kasuga et al., 2000) dan

dengan titer antibodi dan deteksi mikroba diperoleh 70% P. gingivalis.

(Morinoshi et al., 2000)

37

Page 38: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Gambar 19, bakteri porphiromonas gingivalisSumber: http://www.pgingivalis.org/photo_gallery.htm

Gambar 20, bakteri porphiromonas dengan PCR

Sumber: Jurnal Kedokteran Yarsi 17 (1) : 011-020 (2009)

b. Prevotella intermedia (P.intermedia)(17)

Prevotella intermedia (dahulu Bacteroides intermedius) merupakan bakteri

patogen gram negatif yang berperan dalam infeksi periodontal, termasuk

gingivitis dan periodontitis dan dapat pula ditemukan pada Acute necrotizing

ulcerative gingivitis. Adanya hubungan antara periodontitis dan

38

Page 39: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Porphyromonas gingivalis and Prevotella intermedia ditunjukkan pada

penelitian yang melibatkan 1016 sampel yang diambil dari daerah subgingiva

pasien. Hasil penelitian menunjukkan adanya P. gingivalis terdapat pada 297

sampel (29%) dan Pr. intermedia sebanyak 501 sampel (49%).

Sebuah uji PCR dikembangkan yang secara khusus bisa memperkuat DNA

dari patogen periodontal Prevotella intermedia. Sepasang primer dipilih dari

daerah gen rRNA 16S P. intermedia yang baik berbeda dalam urutan pada

ujung 3 mereka sehubungan dengan daerah yang sesuai dari rRNA gen 16S P.

nigrescens, spesies yang paling erat terkait, dan digunakan dalam PCR. (18)

Uji PCR dioptimalkan digunakan untuk mengidentifikasi P. intermedia dalam

sampel plak subgingiva pasien dengan periodontitis. Konfirmasi amplifikasi

DNA P. intermedia dicapai oleh pencernaan produk PCR dengan

endonuklease pembatasan RsaI, yang memberikan pola pembatasan yang

berbeda untuk P. intermedia dan P. nigrescens. Dari 97 sampel yang

dianalisis, 38 (39%) positif untuk P. intermedia. Hasil yang diperoleh

mengkonfirmasi P. intermedia sebagai agen etiologi penyebab periodontitis.

(18)

Gambar 21, Prevotella Intermedia

39

Page 40: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Sumber: http://www.google.co.id/imgres?q=prevotella+intermedia

Gambar 22, Analisis PCR terhadap bakteri Prevotella Intermedia.

Sumber : Georg Conrads, dkk. Simultaneous Detection of Bacteroides forsythus and Prevotella intermedia by 16S rRNA Gene-Directed Multiplex PCR. J of Clin M,May 1999. [37] 5. p 1623c. Capnocytophaga(19,20)

Capnocytophaga spp. telah terlibat sebagai patogen periodontal diduga terkait

dengan berbagai penyakit periodontal. Meskipun genus diketahui

mengandung lima isolat mulut manusia, identifikasi akurat untuk tingkat

spesies organisme ini pulih dari plak subgingiva telah terhambat oleh

kurangnya metode yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, kebanyakan studi

sampai saat ini telah melaporkan isolat sebagai Capnocytophaga spp. Usaha-

usaha sebelumnya di identifikasi didasarkan pada tes biokimia, namun,

hasilnya meyakinkan. Mengingat fitur virulensi isolat berbeda dari masing-

masing, sangat penting untuk mengidentifikasi isolat ke tingkat spesies. Sifat

universal dan konservatif gen rRNA 16S telah menyediakan metode yang

akurat untuk identifikasi bakteri. Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh

marilou, dkk pada tahun 2005 ini adalah untuk mengidentifikasi

Capnocytophaga spp. melalui analisis enzim restriksi gen ini (16S rRNA

40

Page 41: skripsi bab I, II,III,IV.docx

PCR-fragmen restriksi polimorfisme panjang). Hasil (didukung oleh 16S

rRNA gen sequencing) menunjukkan bahwa metode ini terpercaya

mengidentifikasi semua nama Capnocytophaga spp. ke tingkat spesies.

Identifikasi Capnocytophaga spp. dari isolat klinis sangat penting dalam

mengetahui epidemiologis dan diagnosis klinis. Genus terdiri dari

sekelompok capnophilic, fakultatif anaerob, gram negatif, batang fusiform

ramping, yang melakukan metabolisme fermentasi dan motilitas

menunjukkan meluncur ketika tumbuh pada media kultur padat (20). Ini

berisi lima spesies mulut manusia, Capnocytophaga gingivalis, C. ochracea,

C. sputigena, C. granulosa, dan C. haemolytica (5, 20), dan dua spesies (C

canimorsus dan C. cynodegmi) yang membentuk bagian dari anjing dan oral

flora kucing (3). Signifikansi klinis dari dua spesies terakhir adalah bahwa C.

canimorsus dapat menyebabkan infeksi sistemik manusia (21), sedangkan C.

cynodegmi dapat menyebabkan infeksi lokal (3); kedua jenis infeksi timbul

melalui goresan anjing atau kucing atau gigitan. Penyelidikan asosiasi

mungkin spesies dalam genus ini dengan berbagai kondisi patologis telah

terhambat oleh kurangnya skema yang dapat diandalkan untuk identifikasi

spesies. Studi sebelumnya telah berusaha untuk membedakan antara spesies

dengan uji biokimia (19, 29), profil protein (16, 35), multilocus elektroforesis

enzim dan serotipe imunoglobulin A1 protease (11), DNA probe (7), 16S

rRNA PCR-RFLP (36), dan 16S rRNA urutan analisis (6, 35). Sebagian besar

metode ini (selain dari 16S rRNA PCR-RFLP) yang padat karya, mahal, dan

memakan waktu dan karena itu tidak cocok untuk laboratorium mikrobiologi

41

Page 42: skripsi bab I, II,III,IV.docx

yang paling, terutama ketika beberapa ratus isolat klinis harus diidentifikasi.

Gambar 23, bakteri Capnocytophaga

Sumber: http://www.google.co.id/imgres?q=capnocytophaga

Gambar 24. 16S rRNA PCR-RFLP analisis strain ATCC jenis spesies

Capnocytophaga dengan pembatasan endonuklease CfoI. MM, penanda

berat molekul; Cg, C. gingivalis; Co, C. ochracea; Cs, C. sputigena;

PMG, C. granulosa, Ch, C. haemolytica; KKN, C. canimorsus; CCY, C.

cynodegmi.

42

Page 43: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Sumber: Veruska De João Malheiros; Mario Julio Avila-Campos. Detection Of

Pathogens From Periodontal Lesions. Rev. Saúde Pública Vol.38 No.5 São

Paulo Oct. 2004

d. A.actinomycetemcomitans (A.a)(19,20)

A. Actinomycetemcomitans merupakan periodontopathogen penting yang

terlibat dalam etiologi dari berbagai bentuk penyakit periodontal, terutama di

periodontitis remaja dan dewasa lokal, dan juga di beberapa ekstra-oral

infeksi seperti endokarditis, perikarditis, pneumonia, septicemias, dan abses.

Studnuclei telah mendeteksi A. actinomycetemcomitans menggunakan

metode PCR tetapi pada tingkat yang berbeda pada populasi dengan (19%)

dan tanpa (70%) penyakit periodontal. Penelitian-penelitian juga telah

menunjukkan sensitivitas PCR dan kekhususan dibandingkan dengan kultur

bakteri tradisional.

Gambar 25, bakteri Actinobacillus actinomycetemcomitans

Sumber: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php

43

Page 44: skripsi bab I, II,III,IV.docx

e. F.Nucleatum(19)

Infeksi purulen oral adalah polimikroba, dan disebabkan oleh bakteri

endogen. Topoll dkk, Newman dan Sims melaporkan bahwa sekitar 60 % di

jumpai bakteri anaerob. Bakteri ini tidak terlihat spesifik, tetapi diketahui

patogen terhadap periodontal seperti Porphyromonas gingivalis, Provotella

intermedia dan Fusobakterium nucleatum merupakan spesies bakteri paling

banyak. Bakteri ini diketahui bersama dengan Aa banyak dalam kultur abses

periodontal. Dalam Menurut hasil penelitian Jaramillo A dkk terhadap

sejumlah subjek dilaporkanbahwa pada subingival abses periodontal dijumpai

Fusobacterium spp. (75%), P.intermedia/nigrescens (60%), P. gingivalis

(51%) dan A.actinomycetemcomitans (30%).

Gambar 26. Bakteri F.nucleatum.

Sumber : http://www.googleimages.com

44

Page 45: skripsi bab I, II,III,IV.docx

f. Eikenella corrodens(21)

Eikenella corrodens adalah gram negatif fakultatif anaerob ditemukan

terutama pada rongga mulut dan saluran pernafasan atas . Organisme ini

terlibat sebagai periodontopathogen manusia dan juga dapat menyebabkan

infeksi ekstraoral. E. corrodens menampilkan spektrum yang luas dari

keanekaragaman genetik, fenotipik, dan antigenik. Variasi reaktivitas

biokimia, kolonial morfologi, pola elektroforesis protein membran luar dan

lipopolisakarida, dan serologi telah diamati. Pembatasan endonuklease

analisis E. corrodens nyarankan-gests keberadaan sejumlah besar klon pada

manusia dan bahwa isolat dari subjek yang berbeda biasanya genetik.

Kolonisasi corrodens E. genetika berbeda dalam subjek yang sama juga telah

didokumentasikan dalam penelitian yang melibatkan empat subjek.

45

Page 46: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Gambar 27, bakteri Eikenella corrodens

Sumber: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC267085/

Gambar 28. AP-PCR analisis klonal E. corrodens dari pasien periodontitis dewasa

D11, dengan OPA-2 (panel atas) atau OPA-4 (panel bawah) sebagai primer acak.

Jalur 1 dan 11 masing-masing berisi gel penanda DNA ukuran. Jalur 2, E.

46

Page 47: skripsi bab I, II,III,IV.docx

corrodens jenis galur ATCC 23834; jalur 3, saring 514; jalur 4, saring 517; jalur 5,

saring 508; jalur 6, saring 522; jalur 7, saring 524; jalur 8, saring 509; jalur 9,

Strain 513, jalur 10, saring 519. Strain di jalur 5 sampai 7 dan jalur 8 sampai 10

dipamerkan identik AP-PCR profil.

g. Campylobacter rectus (C.rectus)(22)

Campylobacter rektus, bakteri gram negatif, mikroaerofilik, dan motil, telah

diusulkan untuk memainkan peran patogenik dalam periodontitis manusia.

Permukaan komponen, seperti flagel, lapisan permukaan (S-layer), dan

cytotoxin, telah dilaporkan sebagai faktor virulensi mungkin mikroorganisme.

Dalam penelitian ini, antibodi monoklonal terhadap komponen permukaan

bakteri ini dibuat untuk mendeteksi dan menyelidiki potensi patogenik dari

rektus C dalam periodontitis. Dua antibodi monoklonal, yang ditunjuk CRT-1

dan CRT-2, mengakui 150 aneh kDa S-lapisan protein dengan analisis

imunoblot. Antibodi CRT-2 bereaksi untuk semua strain C. rektus diuji,

kecuali untuk strain S-lapisan negatif dari spesies [C. ATCC 33238 rektus S-

lapisan (-) regangan]. CRT-3 antibodi bereaksi dengan protein 60-kDa di

rektus C dan juga cross-bereaksi dengan Campylobacter showae ATCC

51164 dan 11641 CCUG strain. Menggunakan metode dot blot-, kami mampu

mendeteksi rektus C. menggunakan antibodi CRT-2 saat sesedikit 103

organisme hadir dalam sampel plak gigi subgingiva. Deteksi rektus C dalam

sampel plak berkorelasi secara signifikan dengan temuan klinis seperti

kedalaman probing (P <0,001), perdarahan saat probing (P <0,001), dan

47

Page 48: skripsi bab I, II,III,IV.docx

indeks gingiva (p <0,001). Temuan ini menunjukkan bahwa infeksi oleh C.

rektus mungkin merupakan indikator penting dari status penyakit periodontal.

Gambar 29. bakteri Campylobacter rectus (C.rectus)

Sumber: http://www.google.co.id/search?q=Campylobacter+rectus

Dengan adanya gambaran diatas, diketahui bahwa dengan pemanfaatan

metode PCR akan memudahkan para praktisi klinis maupun peneliti dalam

mengidentifikasi mikroorganisme yang menginvasi jaringan periodontal. Namun,

secara realitas metode ini masih sangat kurang dimanfaatkan karena kurangnya

informasi tentang metode pemeriksaan secara PCR bagi para dokter gigi. Oleh

karena itu, diharapkan dengan adanya pembahasan yang dijelaskan mampu

memberikan tambahan informasi secara mendetail tentang penggunaan PCR

dalam identifikasi mikroorganisme patogen pada jaringan periodontal.

48

Page 49: skripsi bab I, II,III,IV.docx

BAB IV

KESIMPULAN

1. Teknik molekul alternatif seperti polymerase chain reaction (PCR) mampu

mendeteksi keseluruhan komunitas bakteri tanpa kultur bakteri yang

hasilnya adalah profil bar-code-seperti, dengan masing-masing band

mungkin mewakili organisme mikro yang berbeda dalam komunitas

mikroba.

2. Keuntungan metode polymerase chain reaction:

Lebih cepat dibanding menggunakan vektor

Metode pemeriksaan dengan PCR lebih akurat dibanding

pemeriksaan lainnya disebabkan kurangnya kontaminasi dari

mikroorganisme lain karena metode ini memanfaatkan langsung

perbanyakan DNA dari satu mikroorganisme saja.

Jumlah DNA target yang diperlukan sangat kecil

Metode ini mudah untuk dilakukan karena tidak memasukkan ke

dalam sel (in vivo).

3. Kekurangan metode polymerase chain reaction:

Untuk mensintesis DNA primer, kita harus mengetahui segmen

DNA yang memiliki kode spesifik yang diteliti

Pengaplikasian hanya untuk fragmen DNA yang pendek, umumnya

kurang dari 5kb.

49

Page 50: skripsi bab I, II,III,IV.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Carranza et al. Glickman’s Clinical Periodontology. 10th ed. Philadelphia :

WB. Saunders co. 2008.p. 495-9

2. Gafan et al. Prevalence of Periodontal Pathogens in Dental Plaque of

Children. J Clin Microbiol 42. 2004. P. 4141-6.

3. Hapsari, D. Prevalensi Actinobacillus Actynomicetemcomitans pada

Pasien Periodontitis Kronis dan Orang Dewasa yang memilki Periodontal

Sehat di Cina. [Internet]. Available from : URL: http

://www.dhinierha.blogspot.com/2009/07/prevalensi-actinobacillus.html.

2009. Diakses 2 Oktober 2010.

4. Ireland, R. Clinical textbook of dental hygiene and therapy. Singapura :

Blackwell Munksgaard. 2006.p. 57-8

5. Laskaris, Scully. Periodontal manifestasions of local and systemic disease.

Berlin, Heidelberg : Springer; 2003. P.27-31

6. Nield, Wilmann. Foundation of Periodontics for Dental Hygienist 2nd ed.

USA : Lippincott Williams & Walkins;2008. P. 184-5

7. Parija, Chandra. Textbook of Microbiology and Immunology. India :

Elsevier. 2009.p.135-7

8. Reddy, S. Essential of clinical periodontology and periodontics. 2nd ed.

USA : Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd.2008.p. 24-7

9. Ryan, Ray. Sherris Medical Microbiology : An Introduction to Infectious

disease. 5th ed. Champoux, Drew, Neidhardt, Plorde : Mc Graw-Hill

Companies.2010.p. 145-6

50

Page 51: skripsi bab I, II,III,IV.docx

10. Spicer, J. Clinical Bacteriology, Micology and Parasitology. An Illustrated

Colour Text. London : Churchill Livingstone. 2000.p. 56-8

11. Winn dkk. Koneman`s Color Atlast and Textbook of Diagnostic

Microbiology 6thed. USA: Lippincott Williams and Wilkins;2006.p 87-8

12. Wolf, Hassel. Clinical Atlast of Dental Hygiene. Jerman : Thieme;2006.p.

56-7

13. Vivien Thiemy Sakai,Maria Aparecida De Andrade Moreira Machad.

Transkripsi Dan Reverse Polymerase Chain Reaction: Prinsip Dan

Aplikasi Di Gigi; 2006.p. 23-5

14. Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction)

Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic

Virus).Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Bandung: Universitas Padjadjaran;2007.p. 26-8

15. Nao Suzuki, Nao Suzuki, Akihiro Yoshida. Quantitative Analysis of

Multi-Species Oral Biofilms by TaqMan Real-Time PCR Analisis

Kuantitatif Multi-Spesies Biofilm oral oleh TaqMan Real-Time PCR. Clin

Med Res Agustus 2005; 3 (3): p.176-85

16. Rieuwpassa I, Hatta M. Deteksi Mutasi Gen Gyrase A Porphyromonas

Gingivalis Resisten Terhadap Ciprofloxacin Berdasarkan Teknik

Polymerase Chain Reaction. Journal Kedokteran Yarsi 17 (1) 2009:p.11-20

17. H. Torkko, S. Asikainen. Occurrence Of Porphyromonas Gingivalis With

Prevotella Intermedia In Periodontal Samples. Fems Immunology And

23.

51

Page 52: skripsi bab I, II,III,IV.docx

Medical Microbiology vol 6[2] 3: 1993 ;p.195-8

18. Riggio Mp, Lennon A, Roy Km. Detection Of Prevotella Intermedia In

Subgingival Plaque Of Adult Periodontitis Patients By Polymerase Chain

Reaction. J Periodontal Res. Aug;33(6):1998;p.369-76.

19. Marilou Ciantar, Hubert N. Newman, Michael Wilson, And David A.

Spratt. Molecular Identification Of Capnocytophaga Spp. Via 16s Rrna

Pcr-Restriction Fragment Length Polymorphism Analysis. J Clin

Microbiol. 2005 April; 43(4):p. 1894–901

20. Veruska De João Malheiros; Mario Julio Avila-Campos. Detection Of

Pathogens From Periodontal Lesions. Rev. Saúde Pública Vol.38 [5].2004;

p. 436-7

21. Casey Chen, Atsushi Ashimoto. Clonal Diversity Of Oral Eikenella

Corrodens Within Individual Subjects By Arbitrarily Primed Pcr. Journal

Of Clinical Microbiology;1996: P. 1837-9

22. Ihara H et al. Detection of Campylobacter Rectus In Periodontitis Sites By

Monoclonal Antibodies. J Periodontal Res.38[1]: 2003:p.64-72.

52