sejarah aaupb
DESCRIPTION
aaubTRANSCRIPT
A. Sejarah AAUPB
Sejak dianutnya konsepsi welfare state, yang menempatkan pemerintah
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan umum warga negara
dan untuk mewujudkan kesejahteraan ini pemerintah diberi wewenang untuk campur
tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, yang campur tangan ini tidak
saja berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, tetapi dalam keadaan tertentu
dapat bertindak tanpa bersandar pada peraturan perundang-undangan dan berdasarkan
pada inisiatif sendiri melaluiFreies Ermessen, ternyata menimbulkan kekhawatiran di
kalangan warga negara karena dengan Freies Ermessen muncul peluang terjadinya
benturan kepentingan antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam
bentuk onrechtmatig overheidsdaad, detournement de pouvoir, maupun dalam
bentuk willekeur, yang merupakan bentuk-bentuk penyimpangan tindakan
pemerintahan yang mengakibatkan terampasnya hak-hak asasi warga negara.
Guna menghindari atau meminimalisasi terjadinya benturan tersebut, pada
tahun 1946 Pemerintah Belanda membentuk komisi yang dipimpin oleh de Monchy
yang bertugas memikirkan dan meneliti beberapa alternatif tentangVerhoogde
Rechtsbescherming atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan
administrasi negara yang menyimpang.
Pada tahun 1950 komisi de Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya
tentang verhoogde rechtbescherming dalam bentuk “algemene beginselen van
behoorlijk bestuur“ atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hasil penelitian
komisi ini tidak seluruhnya disetujui pemerintah atau ada beberapa hal yang
menyebabkan perbedaan pendapat antara komisi de Monchy dengan pemerintah, yang
menyebabkan komisi ini dibubarkan pemerintah. Kemudian, muncul komisi van de
greenten, yang juga bentukan pemerintah dengan tugas yang sama dengan de
Monchy. Namun, komisi kedua ini juga mengalami nasib yang sama, yaitu karena ada
beberapa pendapat yang diperoleh dari hasil penelitiannya tidak disetujui oleh
pemerintah, dan komisi ini pun dibubarkan tanpa membuahkan hasil.
Agaknya pemerintah Belanda pada waktu itu tidak sepenuh hati dalam upaya
mewujudkan peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi
Negara. Terbukti dengan dibubarkannya dua panitia tersebut, ditambah pula dengan
munculnya keberatan dan kekhawatiran di kalangan pejabat dan para pegawai
pemerintahan di Nederland terhadap AAUPB karena dikhawatirkan asas-asas ini
akan digunakan sebagai ukuran atau dasar pengujian dalam menilai kebijakan-
kebijakan pemerintah.
Seiring dengan perjalanan waktu, keberatan dan kekhawatiran para pejabat
dan pegawai pemerintahan tersebut akhirnya hilang, bahkan sekarang telah diterima
dan dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Belanda.
B. Pengertian AAUPB
Pemahaman mengenai AAUPB ini tidak hanya dapat dilihat dari segi
kebahasaan saja tetapi juga dari sejarahnya hal ini disebabkan kerena azas ini timbul
dari sejarah juga. Dengan bersandar pada kedua konteks ini, AAUPB dapat dipahami
sebagai asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tatacara dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan
menjadi baik, sopan , adil, dan terhormat, bebas dari kesaliman, pelanggaran
peraturan tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.
(Ridwan HR, Hukum administrasi Negara, hal 247)
Selain itu Jazim Hamidi juga memberikan definisi AAUPB dari hasil
penelitiannya yaitu:
a) AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam
lingkungan hukum administrasi Negara
b) AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi paras pejabat administrasi Negara
dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi
dalam menilai tindakan administrasi Negara (yang berwujud
penetapan/beschikking) dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak
penggugat.
c) Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis,
masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat
d) Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar
dalam berbagai peraturan hukum positif.
C. Karakter Hukum dan Fungsi AAUPB
Pada awal kemunculannya AAUPB hanya dimaksudkan sebagai sarana
perlindungan hukum dan bahkan dijadikan sebagai instrumen untuk peningkatan
perlindungan hukum bagi warga Negara dari tindakan Pemerintah. AAUPB
selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi,
di samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan. Dalam
perkembangannya AAUPB memiliki arti penting dan fungsi sebagai berikut:
a) Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan
penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan
yang bersifat sumir, samar, dan tidak jelas. Kecuali itu sekaligus membatasi
dan menghindari kemungkinan administrasi Negara mempergunakan atau
melakukan kebijakan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-
undangan.
b) Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPB dapat
dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986.
c) Bagi hakim TUN dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan
keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN.
d) Kecuali itu AAUPB tersebut dapat juga berguna bagi badan legislatif dalam
merancang suatu Undang-Undang.
D. Beberapa AAUPB dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Pada mulanya keberadaan AAUPB di Indonesia diakui secara yuridis formal
sehingga belum memiliki ketentuan hukum formal. Ketika pembahasan RUU No. 5
Tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas itu dimasukkan sebagai
salah satu gugatan terhadap keputusan badan atau pejabat TUN. Namun putusan ini
ditolak oleh pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail selaku Menteri
Kehakiman saat itu.
Selain itu tidak dicantumkannya AAUPB dalam UU PTUN bukan berarti
eksistensinya tidak diakui sama sekali, karena seperti yang terjadi di Belanda AAUPB
ini diterapkan dalam praktik peradilan terutama dalam PTUN. Prof. Kuntjoro
Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Catatan Hukum Tata
Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara”, menyebutkan 13 asas, yaitu:
a. Asas kepastian hukum
b. Asas keseimbangan
c. Asas kesamaan
d. Asas bertindak cermat
e. Asas motivasi untuk setiap putusan badan pemerintah
f. Asas jangan mencampur adukkan wewenang
g. Asas permainan yang layak
h. Asas keadilan atau kewajaran
i. Asas menanggapi penghargaan yang wajar
j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
k. Asas perlindungan atas pandangan hidup
l. Asas kebijaksanaan
m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum
Sebenarnya AAUPB ini dapat digunakan dalam praktik peradilan di Indonesia
karena memiliki sandaran dalam pasal 14 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Pokok Kehakiman yang pada intinya menyebutkan bahwa hakim tidak
boleh menolak suatu perkara dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang
jelas. Selain itu pada pasal 27 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dengan adanya ketentuan ditegaskan
bahwa hakim dapat menggali, mengikuti, pasal-pasal di atas, maka AAUPB
mempunyai peluang digunakan dalam proses peradilan administrasi di Indonesia.
Pada akhirnya AAUPB dimuat dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari KKN. Dalam pasal 23 UU No.
28 Tahun 1999 ini disebutkan beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yaitu
sebagai berikut:
a) Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap
kebijakan dalam penyelenggaraan negara.
b) Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara
c) Asas kepentingan umum, yakniasas yang mengutamakan kesejahteraan
umumdengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
d) Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindunganatas hak
asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
e) Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f) Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Setelah adanya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun
1986 tentang PTUN. Berdasarkan pasal 53 ayat 2 poin a disebutkan “Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik”, dan dalam penjelasannya disebutkan “Yang disebut dengan AAUPB
adalah meliputi atas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas” sebagaimana dimaksud dalam UU
No. 28 Tahun 1999. Di samping itu dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, AAUPB tersebut dijadikan asas dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 20 ayat 1, yang
berbunyi:
“Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan
Negara yang terdiri atas: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara,
asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas,
asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan asas efektifitas ”