rinitis alergika
TRANSCRIPT
1
RINITIS
1. Histologi & fisiologi hidung
1.1 Histologi
Bagian superior cavum nasi mengandung epitel khusus untuk mendeteksi dan
meneruskan bebauan. Epitel ini adalah Epitel bertingkat semu silindris tinggi (Pseudo
stratified columnar) yang terdiri dari 3 jenis sel:
1. Sel penyokong (sustentakular)
2. Sel olfaktorius
3. Sel basal
Sel penyokong adalah sel panjang dengan inti lonjong yang terletak lebih
superfisial dari sel olfaktorius.
Sel olfaktorius adalah sel panjang dengan inti bulat atau agak sedikit lonjong
dan terletak diantara sel penyokong dan sel basal. Bagian apikal sel olfaktorius yang
langsing mengandung mikrofili mencapai permukaan epitel dan terjulur ke dalam
lapisan mukus. Bagian dasar sel olfaktorius terbentuk langsung dari sana terjulur
akson yang menembus jaringan ikat di bawahnya.
Sel basal adalah sel pendek, kecil yang terletak pada dasar epitel diantara basis
sel penyokong dan sel olfaktorius.
Dibawah epitel olfaktorius terdapat lapisan jaringan ikat yang disebut lamina
propria yang berisi kapiler-kapiler, pembuluh limfatik, saraf olfaktorius, arteriol dan
venula. Selain itu terdapat pula kelenjar olfaktorius tubulo asinar (bowman) yang
menghasilkan cairan serosa yang mengeluarkan sekretnya melalui saluran sempit
yang menembus epitel olfaktorius dan bermuara di permukaan. Sekret kelenjar ini
membasahi mukosa olfaktorius dan menyediakan pelarut yang diperlukan untuk
melarutkan subtansi berbau dan merangsang sel-sel olfaktorius.
Transisi dari sel olfaktorius ke epitel respiratorius terjadi mendadak. Epitel
respiratorius adalah epitel bertingkat silindris (stratified columnar) dengan silia,
permukaannya jelas dan banyak sel goblet. Sel goblet berfungsi menghasilkan mukus
dan menjaga kelembaban dan berfungsi sebagai filter saluran pernapasan.
2
Pada daerah transisi terlihat ketebalan epitel respiratorius sama dengan epitel
olfaktorius, namun di bagian lain saluran respiratorius ketebalan epitel jauh lebih
rendah bila dibandingkan dengan epitel olfaktorius.
Dibawah lapisan lamina propria baik pada epitel olfaktorius ataupun epitel
olfaktorius pada concha nasi terdapat tulang yang merupakan septum pada rongga
hidung.
1.2 Fisiologi
Fungsi hidung dan sinus para nasal antara lain:
a. Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi chonca media dan kemudian turun kebawah kearah
bawah ke arah nasofaring. Aliran udara dihidung ini berbentuk lengkungan atau
arkus.
3
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaiknya. terdapat
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37ᴼ C. fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah dibawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakeri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring dihidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, dan palut lendir.
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin.
b. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian
atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap
adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.
Agar mudah dibaui suatu bahan harus cukup mudah menjadi gas sehingga
molekulnya dapat masuk kehidung dalam udara yang dihirup, serta harus cukup
mudah untuk larut dalam air sehingga dapat larut kedalam lapisan mukus yang
melapisi mukosa olfactorius.
4
Pengikatan suatu molekul odoriferosa ketempat perlekatan khusus disilia
menyebabkan pembukaan saluran Na+ dan K
+ sehingga terjadi perpindahan ion yang
menimbulkan depolarisasi potensial aksi diserat aferen. Frekuensi potensial aksi
bergantung pada konsentrasi molekul-molekul zat kimia yang terstimulasi.
Serat aferen ini bersinaps di bulbus olfactorius dan berjalan ke rute subkortikal
menuju daerah-daerah disistem limbik, khususnya sisi medial bawah lobus temporalis
(korteks olfactorius primer).
c. Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir, dan platum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, g) rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
d. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung, dan pankreas.
5
2. Definisi & Klasifikasi Rhinitis Alergika
Rhinitis alergika adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinorrea,
nasal itchy dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.
Klasifikasi Reaksi Hipersensitifitas Oleh Gel Dan Coombs
1. Type I (Tipe Cepat) Anafilaktik
Antigen yang berkontak dengan tubuh, kemudian Ag bereaksi dengan IgE yang telah
terfiksasi pada sel mati dan basofil, menyebabkan pelepasan mediator dan efeknya.
Jika imunogen yang masuk sedikit dan daerahnya terbatas, maka pelepasan mediator
juga lokal sehingga terjadi vasodilatasi, peningkatan permeabilitas dan pembengkakan
lokal. Jika Ag yang masuk banyak maka dapat terjadi shock anafilaktik.
2. Type II (Siotoksik)
Antibodi (IgG atau IgM) berikatan dengan antigen yang merupakan bagian dari sel
atau jaringan tubuh, terjadi pengaktifan sistem komplemen sehinga terjadi percepatan
fagositosis sel sasaran atau lisis sel sasaran setelah aktifasi sistem C.
3. Type III (Kompleks Imun)
Adanya kompleks imun yaitu kompleks Ag dan Ab yang mengendap di jaringan,
arteri atau vena mengaktifkan sistem komplemen, menarik leukosit, dan
menyebabkan kerusakan jaringan oleh produk-produk leukosit.
4. Type IV (Tipe Lambat)
Reaksi sel-sel limfosit T yang telah tersntisasi dengan antigen menyebabkan sitokin
yang menarik makrofag dan merangsangnya untuk membebaskan mediator inflamasi
sehingga terjadi sitotoksisitas secara langsung dan pengerahan sel-sel reaktif. Reaksi
ini cenderung terjadi 12-24 jam setelah pajanan.
Klasifikasi Rhinitis Alergika Berdasarkan Sifat Berlangsungnya
1. Rhinitis alergi musiman (intermitten = < 4 hari/minggu)
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (persisten = > 4 hari/minggu)
Klasifikasi Rhinitis Alergika Berdasarkan Berat Ringannya
1. Berat = bila terdapat gangguan tidur, gangguan aktifitas, bersantai, belajar, bekerja.
2. Ringan = jika tidak terdapat gangguan aktifitas apapun.
6
3. Patofisiologi Rhinitis Alergika
Terdapat dua fase reaksi alergi:
1. Immediate phase reaction allergic (RAFC) = berlangsung sejak kontak dengan
alergen hingga satu jam setelahnya.
2. Liate phase reaction allergic (RAFL) = berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8
jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (antigen presnting cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempeldi permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA (Human leukosit antigen)
kelas II membentuk komplek MHC kelas II (major histocompability complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan
melepaskan sitokinin seperti IL 1 (interleukin 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.
Sel Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokinin seperti: IL 3, 4, 5 dan 13. IL 4 dan IL
3 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
teraktivasi dan menghasilkan IgE.
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa sudah tersentitisasi terpapar dengan alergen yang sama maka kedua
rantai IgE akan mengikt alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentu
(performed mediator) terutama histamin. Selain histamin juga dikenal newly performed
mediator antara lain: Prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LTD4), LTC4,
bradikinin, Platelet activating factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang dimaksud
RAFC. Pengaruh dari histamin antara lain:
1. Merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidialius menimbulkan rasa gatal pada
hidung dan bersin-bersin.
2. Menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet hidung mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rhinorrea.
3. Vasodilatasi sinusoid menimbulkan hidung tersumbat.
7
4. Menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Celluler Adhesion Molecule 1 (ICAM 1)
Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Gejala alergi akan terus
berlanjut dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, neutrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5
dan Granulosit Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada sekret
hidung.
Timbulnya gejala hiperreaktif atau respon hiperresnponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophil Cationic
Protein (ECP), Eosinophil Derived Protein (EDP), Eosinophil Peroxidase, Major Basic
Protein.
Pada fase ini selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti: asap rokok, bau merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi.
4. Gejala dan Tanda
Karena gejala dan tanda rhinitis alergi mirip dengan rhinitis vasomotor maka akan
dibandingkan dan dilihat perbedaannya.
Rhinitis Allergic Rhinitis Vasomotor
Gejala:
1. Bersin berulang + +
2. Rhinorrea + +
3. Hidung tersumbat + Bergantian kiri dan kanan
4. Hidung & mata gatal + -
5. Lakrimasi + -
Pemeriksaan Fisik:
1. Rhinoskopi: mukosa
edema, basah, pucat, banyak
secret encer, hypertrophy
mukosa inferior.
edema, licin/berbenjol, merah
tua/pucat, sekret sedikit &
mukoid/banyak & encer
2. Bayangan gelap di
Infraorbita + -
8
3. Allergic salute + -
4. Allergic crease + -
5. Facies adenoid + -
6. Cobblestone Appearance + -
7. Geographic tongue + -
Pemeriksaan Lab:
1. Tes cukit kulit + -
2. IgE spesifik Meningkat Normal
3. Eosinofil di sekret hidung Banyak Sedikit
5. Pemeriksaan Penunjang
Tes alergi dibagi menjadi 2 macam:
1. In Vivo
2. In Vitro
In Vivo
Hitung eosinofil pada darah tepi
Jika derajat alergi masih rendah maka akan didapat hasil normal. Tapi jika alergi
sudah lebih berat misalnya menderita lebih dari 1 macam penyakit misalnya
Rhinitis alergi dan Ashma bronchial maka akan didapat jumlah eosinofil tinggi.
IgE total (Prist Paper Radio Immunosorbent Test)
Tampak normal kecuali jika menderita lebih dari 1 macam alergi.
IgE spesifik dengan RAST atau ELISA
Dapat menunjukkan peningkatan walau hanya dengan drajat alergi yang rendah.
Pemeriksaan sitologi hidung.
Eosinofil meningkat = alergi inhalan.
Basofil > 5 sel/lap = alergi ingestan.
Pulau meningkat = infeksi bakteri.
In Vitro
Dilakukan tes cukit kulit.
Alergi inhalan = uji intrakutan atau intradermal tunggal atau erseri (SET) Skin
End-Point Titration.
Cara = suntikkan alergen dalam berbagai jenis konsentrasi.
9
Alergi inggestan = uji intrakutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT)
namun sebagai baku emas dapat dilakukan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test)
Karena alergen ingestan tuntas lenyap dari tubuh selama 5 hari maka makanan yang
dicurigai berpantang selama 5 hari selanjutnya amati reaksinya.
6. Penatalaksanaan
- Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidence) dan eliminasi.
- Langkah pertama dan yang terpenting pada reaksi anafilaksis adaah membebaskan
jalan udara dan mempertahankan konsentrasi oksigen didalam arteri.
- Medikamentosa dengan histamin, yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preaprat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin ini dibagi menjadi 2 golongan: golongan
antihistamin generasi-1 dan generasi-2. Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik,
serhingga daapt menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kedalam golongan ini
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin
generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik dan
efek pada SSP minimal.antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinore, bersin,
gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
- Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek
kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repoplarisasi jantung
yang tertunda dan dapat menyebakan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematian mendadak. Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,
desloratadin, dan levosetirisin.
10
- Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
- Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang seing dipakai ladalah
kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flitikason, mometason
furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topikalbekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluran protein sitotoksin dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah boornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap alergen (bekerja pada respon lambat dan cepat).
- Pengobatan baru lain untk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast/
montelukast), anti IgE, dan DNA rekombinan.
- Tindakan konkotimi parsial (pemotongan sebagaian konka inferior), konkoplasti atau
multiple oufractured, inferior tubinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklo asetat.
- Imunoterapi dilakuan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibodi dan
penurunan IgE. Imunoterapi ini ada 2 motede yaitu secara intradermal dan sub-
lingual.
7. Komplikasi
a. Polip hidung, beberapa penelitian mendapatkan bahwa alergi hidung merupkan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
b. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak dengan sekurang-
kurangnya terjadi kehilangan pendengaran sementara, dapat mengganggu kemampuan
bicara, dan pada banyak kasus sering terjadi infeksi telinga tengah rekuren.
c. Penderita rinitis alergika dapat menjadi asma bronkial.
d. Obstuksi tuba eusthacius.
e. Hipertrofi tonsil dan anenoid
f. Gangguan kognitif
11
8. Evaluasi
Untuk mengevaluasi status pasien, setelah pemberian terapi hal yang perlu
diperhatikan adalah menghindari kontak dengan alergen, baik alergen secara inhalan,
ingestan, injektan, ataupun alergen kontaktan agar tidak terjadi reaksi alergi selanjutnya.
Edukasi terhadap anak untuk menghindari kontak dengan alergen perlu dilakukan,
karena anak biasanya mudah sekali terpajan dengan alergen.
12
BAB VII
KESIMPULAN
- Dari hasil pemeriksaan didapatkan adanya rinorea dan sneezing tanpa dijumpai nasal
itching. Dalam hal ini perlu dilakukan tindakan lanjut berupa tes alergi untuk
mengetahui apakah pasien mengalami reaksi alergi atau tidak.
- Jika pasien mengalami alergi maka pengobatan ditujukan sesuai dengan
penatalaksanaan pada rinitis alergika.
- Namun jika tidak dijumpai adanya reaksi alergi, maka penatalaksanaan tergantung
pada faktor penyebab termasuk diantaranya menghindari kontak dengan alergen. Jika
rinitis terdiagnosa sebagai rinitis vasomotor maka dapat digunakan pengobatan
simptomatis dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung dengan larutan garam
fisiolis, dan kauterasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%.
13
Daftar Pustaka
- R. Sjamsuhidajat Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC:
Jakarta
- Adams, George L Boeis. 1997. Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC: Jakarta
- Guytun & Hall. 2000. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC: Jakarta
- Arsyad Soepardi, Effiaty. Dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher Edisi 6. FKUI: Jakarta