referat leptospirosis
DESCRIPTION
leptospirosisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
patogen yang dikenal dengan nama Leptosira interrogans. Penyakit ini pertama kali
dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai penyakit yang berbeda dengan penyakit lain
yang juga ditandai oleh ikterus.
Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan sampai dengan
gejala infeksi berat dan fatal. Dalam bentuk ringan, leptospirosis dapat menampilkan gejala
seperti influenza disertai nyeri kepala dan mialgia. Dalam bentuk parah (disebut sebagai
Weil’s syndrome), leptospirosis secara khas menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan
diatesis hemoragika.
Diagnosis leptospirosis sering kali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit ini tidak
spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Dalam decade
belakangan ini, kejadian luar biasa leptospirosis di beberapa negara, seperti Asia, Amerika
Selatan dan Tengah, serta Amerika Serikat menjadikan penyakit ini termasuk dalam the
emerging infectious diseases.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun
hewan dengan gambaran klinis yang luas disebabkan kuman leptospira patogen dan
digolongkan sebagai zoonosis. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud
fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane
cutter fever, canicola fever, nanukayami fever 7-day fever dan lain-lain.1,2
Weil menggambarkan untuk pertama kalinya penyakit Leptospirosis, tetapi baru pada
tahun 1915 penyebabnya yaitu Spirochaeta dari genus leptospira ditemukan oleh Inada.
Leptospira adalah organisme yang berbentuk langsing seperti benang dengan diameter 0,1
mikron dan panjang 6 – 12 mikron, berlingkar rapat pada sumbu panjangnya. Diantara
genus Leptospira, hanya species Interrogans yang pathogen untuk binatang dan manusia.
Sekurang – kurangnya ada 180 serotipe dan 18 serogrup. Satu jenis serotipe dapat
menimbulkan gambaran klinis yang berbeda, sebaliknya, suatu gambaran klinis, misalnya
meningitis aseptic, dapat disebabkan oleh beberapa serotype.2
II. EPIDEMIOLOGI
Pada umumnya semua mamalia dapat terinfeksi Leptospira dan menyebarluaskan
penyakit tersebut. Binatang seperti tikus, landak, anjing, musang dan hewan ternak dapat
menjadi sumber infeksi bagi manusia, juga burung, ikan dan reptile. Transmisi Leptospira
kepada manusia terjadi karena (1) kontak dengan urin, darah atau organ dari hewan yang
terinfeksi. Urin sapi yang terinfeksi misalnya, dapat mengandung 100 juta Leptospira per
mililiter, (2) kontak dengan lingkungan (tanah, air) yang terkontaminasi Leptospira.2
Organisme dpat hidup beberapa waktu dalam air dan alam terbuka, misalnya ladang
padi. Temperatur yang panas, lembah dan pH tanah atau air antara 6,2 – 8 merupakan
kondisi yang optimal untuk hidup Leptospira. Leptospira dapat hidup di tanah yang sesuai
sampai 43 hari, juga di dalam air dapat hidup selama berminggu – minggu lamanya. Air
tawar, terutama yang terkontaminasi merupakan sumber penularan yang penting bagi
infeksi Leptospira.2
Keseimbangan biologis dapat terjadi antara beberapa serotype Leptospira dengan jenis
hewan tertentu. Organisme tersebut dapat berdiam di dalam tubulus ginjal hewan yang
terinfeksi tanpa menimbulkan kerusakan pada epitel tubulus. Bila keadaan keseimbangan
biologis ini tidak terjadi, binatang tersebut dapat menjadi sakit atau mati. Manusia
merupakan titik terakhir dari rantai penularan, walaupun transmisi dari orang ke orang
secara teoritis masih mungkin. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada individu yang
pekerjaannya banyak berhubungan dengan ternak, babi, anjing atau air yang
terkontaminasi. Pada penelitian di St. Louis, tahun 1974, 15 – 40 % anjing dinyatakan
terinfeksi. Juga studi di Michigan menunjukkan bahwa 31 % anak diperkotaan dan 10 %
anak di pinggiran kota, mempunyai antibodi terhadap leptospira.2
Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak insidens
dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang
mempengaruhi kelangsungan hidup kuman leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens
tertinggi terjadi selama musim hujan.3
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan
insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga dunia untuk mortalitas.4 Di Indonesia
leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Barat. Pada Kejadian Banjir Besar Di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih
dari 100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Epidemi leptospirosis dapat terjadi
akibat terpapar oleh genangan / luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh urin hewan
yang terinfeksi.3
III. ETIOLOGI
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirocheata. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies
yaitu L. interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas (non patogen atau
saprofit). Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi
menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya.5
Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23. Beberapa
serovar L. interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah
L.Icterohaemorrhagiae, L. manhao, L. Javanica, L. bufonis, L. copenhageni, dan lain-lain.
Serovar yang paling sering menginfeksi manusia ialah L. icterohaemorrhagiae dengan
reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan
babi.5
Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing anaerobes,
bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat bergerak cepat dengan kait
di ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat menembus ke jaringan. Panjangnya 6-
20 µm dan lebar 0,1 µm. Kuman ini sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop
lapangan gelap dan pewarnaan perak.5
Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam
air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Kuman leptospira
hidup dan berkembang biak di tubuh hewan. Semua hewan bisa terjangkiti. Paling banyak
tikus dan hewan pengerat lainnya, selain hewan ternak. Hewan piaraan, dan hewan liar
pun dapat terjangkit.5
Gambar 1. Leptospira (dikutip dari daftar pustaka nomor 6)
IV. TRANSMISI
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan langsung
dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
Leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan penyakit
akibat pekerjaan dan dari manusia ke manusia meskipun jarang. Penularan tidak langsung
terjadi melalui kontak dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur
yang telah tercemar urin binatang yang terinfeksi Leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika
terdapat luka / erosi pada kulit atau selaput lendir. Terpapar lama pada genangan air yang
terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan Leptospira. Oleh karena
leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan hidup berbulan-bulanm maka air
memegang peranan penting sebagai alat transmisi.7,1
Gambar 2. Transmisi Leptospirosis (dikutip dari daftar pustaka nomor 8)
V. PATOGENESIS
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan mukosa seperti
konjungtiva, nasofaring, dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini
mengikuti aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus
jaringan serambi depan mata dan ruang sub arachnoid tanpa menimbulkan reaksi
peradangan yang berarti.2
Faktor yang bertanggung jawab untuk virulensi Leptospira masih belum diketahui.
Sebaliknya Leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi
tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan di dalam serum
oleh neutrophil. Antibodi yang terbentuk meningkatkan klirens Leptospira dari darah
melalui peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan fagositosis. Kuman
Leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem
kekebalan dari aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen
mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari
darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai hari kesepuluh perjalanan
penyakit.1,2
Beberapa penemuan menegaskan bahwa Leptospira yang lisis dapat mengeluarakn
enzim, toksin, dan metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala klinis. Hemolisis pada
leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit, sehingga
eritrosit tersebut lisis, meskipun di dalam darah terdapat antibodi. Kuman leptospira
merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis disertai
kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman leptospira yang penting adalah
perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada
kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin
bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel
dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.1,2
Diatesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, pada keadaan
tertentu dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan
kematian. Beberapa peneliti mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut
disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun
aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diathesis
hemoragik tidak terpengaruh dan juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien
dengan perdarahan. Diatesis hemoragik merupakan refleksi dari kerusakan endothelium
kapiler yang meluas.2
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Ikterik diduga
disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan
yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya
sekresi bilirubin.1
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterik pada leptospirosis. Terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus. Di samping itu,
hemoglobinuria dapat ditemukan pada tahap awal perjalanan Leptospirosis, dan
hemoglobinuria dapat ditemukan sebelum timbulnya ikterus. Namun akhir – akhir ini
ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien Leptospirosis dengan ikterus. Hemolisis
hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan pada beberapa kasus dapat menimbulkan
ikterus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun nekrosis sel hati jarang terjadi
sedangkan SGOT dan SGPT sedikit meningkat. Gangguan fungsi hati yang paling
mencolok adalah ikterus, gangguan faktor pembekuan, serum albumin menurun dan serum
globulin meningkat.2
Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada Leptospirosis. Dalam
ginjal kuman Leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada
Leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab
gagal ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu pertama perjalan penyakit, terlihat
pembengkakan atau nekrosis sel tubuli ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu
kedua terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel sel tubuli ginjal. Sedangkan yang
meninggal setelah hari ke-12, ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal
(korteks dan medulla). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia
dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada
Leptospirosis. Kadang – kadang terjadi insufisiensi adrenal oleh karena perdarahan
kelenjar adrenal.1,2
Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat
menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder
karena hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia atau uremia. Mialgia merupakan
keluhan umum pada Leptospirosis. Hal ini disebabkan oleh karena vakuolisasi sitoplasma
pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut,
hemoptisis, meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, radikulitis, myelitis dan neuritis
perifer. Peningkatan titer antibodi di dalam serum tidak disertai peningkatan antibody
Leptospira didalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat hidup di serambi
depan mata selama berbulan – bulan, hal tersebut berkaitan dnegan terjadinya uveitis
rekurens, kronik atau laten pada kasus Leptospirosis.2
Leptospira dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah
infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat
dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap
dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro
organisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria
berlangsung 1-4 minggu.1
Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenese leptospirosis : invasi bakteri
langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.
Bagan 1. Patogenesis Leptospirosis (dikutip dari daftar pustaka nomor 1)
VI. PATOLOGI
Dalam perjalanan pada fase Leptospiremia, Leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi yang
muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat
perbadaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada
leptospirosis lesi histologi yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan
kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa
kerusakan bukan berasal dari struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan
infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan
Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva,Selaput mukosa utuh
Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah
Kerusakan endotel pembuluh darah kecil : ekstravasasi Sel dan perdarahan (hipotensi,
hipovolemia dan diatesis hemoragik)
Perubahan patologi di organ/jaringan
- Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan.
- Hati : gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.
- Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru
- Otot lurik : nekrosis fokal
- Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik
- Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis
kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier.
Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat
masuk ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan
meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai
komplikasi Leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai Leptospira adalah ginjal, hati,
otot dan pembuluh darah.
Kelainan spesifik pada organ:
Ginjal
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
Leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi immunologis, iskemia, gagal
ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro organisme juga berperan menimbulkan
kerusakan ginjal.
Hati
Hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan Leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
Jantung
Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat
fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma.
Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokardium dan endikarditis.
Otot rangka
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis, vakuolisasi dan
kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada Leptospira disebabkan invasi langsung
leptospira. Dapat juga ditemukan antigen Leptospira pada otot.
Pembuluh darah
Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan
menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
Susunan saraf pusat
Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan
terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi, tidak pada
saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis.
Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid.
Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh
L. canicola.4,9
VII.MANIFESTASI KLINIS
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang ditandai dengan
vaskulitis yang menyeluruh. Karakteristik perjalan penyakitnya adalah bifasik. Kasus sub-
klinis sering kali ditemukan. Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari,
biasanya 7 - 12 hari dan rata-rata 10 hari.2,10
Gambaran klinis pada Leptospirosis: 1,10
Sering : Demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjuctival
suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit,
fotophobi.
Jarang : Pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali,
atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pancreatitis, parotitis, epididimytis,
hematemesis, asites, miokarditis.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase
Leptospiremia/septikemia dan fase imun. 2,10
Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)1,10
Fase Leptospiremia adalah fase ditemukannya Leptospira dalam darah dan CSS,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa
sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai nyeri tekan
pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang
disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret,
bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan
keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di
jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang
berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika
cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan
organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset.
Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas
demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Pada akhir fase ini,
Leptospira menghilang dari darah, dari cairan serebrospinal dan jaringan lain, kecuali
Aqueous Humor mata dan parenkim ginjal.
Fase Imun (minggu ke-2)1,10
Fase ini disebut fase imun atau Leptospiruria yang berlangsung 4 – 30 hari sebab
antibodi dapat terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin,
namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul
sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu
30 hari atau lebih. Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala
pada fase pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari,
namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai
beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu menonjol
seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat
yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali
merupakan tanda awal dari meningitis.
Anicteric Disease ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling utama yang
menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada sekitar
50% pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan pada sebagian
besar pasien. Gejala meningeal umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat
pula menetap sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami
oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa icteric disease merupakan
keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah warna
kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan adalah nyeri perut disertai diare atau
konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ), hepatosplenomegali, mual, muntah dan
anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau
fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi
lambat yang dapat menetap selama beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga
namun dapat pula muncul beberapa bulan setelah awal penyakit.
Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia subconjunctival,
bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous. Keluhan dan gejala
gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria, proteinuria dan oliguria ditemukan
pada 50 % kasus. Manifestasi paru ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu,
limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan.
Leptospirosis An-ikterik
Fase septikemia didahului oleh demam, malaise, nyeri otot, nyeri kepala, dan yeri
abdomen. Gejala ini menghilang dengan lisisnya Leptospira. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan nyeri otot (otot betis, pinggang, dan abdomen), keluhan pada konjungtiva,
yaitu fotofobia, nyeri mata, pendarahan konjungtiva, dehidrasi, limfadenopati
menyeluruh, hepatosplenomegali, ruam kulit (macula, makulopapula, urtikaria, eritema,
petekia, purpura hemoragik atau deskuamasi). Ruam tampak jelas padat bagian badan.
Disarming gejala tersebut, dapat ditemukan pula faringitis, artritis, parotitis, orkitis,
epididymitis, prostatis, arthralgia dan otitis media. Hipotensi jarang ditemukan pada
leptospirosis an-ikterik. Pada anak dapat ditemukan dilatasi kandung empedu non-
obstruktif.2
Fase imun pada kasus leptospirosis an-ikterik ditandai demam, uveitis, ruam, nyeri
kepala dan meningitis. Demam tidak setinggi saat terjadi septikemia dan berlangsung
singkat. Tanda khas untuk fase imun pada leptospirosis an-ikterik ialah adanya
meningitis. Hal ini digambarkan dengan adanya pleositis pada cairan serebrospinal
dengan atau tanpa gejala meningeal. Beratnya meningitis bervariasi dan tidak
tergantung dari beratnya gejala klinis leptospirosis lainnya. Pleositosis cairan
serebrospinal dapat menetap 2-3 bulan, tetapi biasanya menghilang dalam 7-21 hari.
Bersamaan dengan meningginya antibody, Leptospira menghuling dari cairan
serebrospinal terjadi pada minggu ke-2 perjalanan penyakit, reaksi meningeal dapat
ditemukan pada lebih kurang 80% pasien, namun hanya 50% yang jelas menunjukkan
tanda meningitis. Jumlah sel pada cairan serebrospinal berkisar antara normal sampai
500 sel/ml. Sel leukosit PMN lebih sering ditemukan pada awal fase imun dan
selanjutnya lebih banyak ditemukan sel mononuklear. Konsentrasi protein pada cairan
serebrospinal berkisar dari normal sampai 300 mg/dl. Konsentrasi glukosa biasanya
normal. Ensefalitis, spastisitas, paralisis, paralisis saraf kranial, neuritis perifer,
nistagmus, radikulitis, kejang, gangguan penglihatan, myelitis atau sindrom yang
menyerupai Guillain Barre dapat timbul pada atau setelah fase imun.2
Gejala lain yang khas pada fase imun pada leptospirosis an-ikterik adalah leptospiuria.
Hal ini tidak berkaitan dengan gangguan fungsi ginjal. Berbeda dengan binatang,
manusia bukanlah reservoir Leptospira. Leptospiuria pada manusia bersifat sementara.
Pada leptospirosis an-ikterik, proteinuria, piuria, hematuria mikroskopi, dan azotemia
ringan atau sedang dapat ditemukan.2
Leptospirosis Ikterik (Sindroma Weil)
Manifestasi Leptospirosis yang berat ini terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Gejala
awalnya serupa dengan leptospirosis an-ikterik, yang berbeda adalah pada fase imun,
yaitu dapat terjadi gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, kegagalan sirkulasi,
gangguan kesadaran, sehingga angka mortalitas tinggi (5 – 10%). Gejala ikterus dan
azotemia dapat demikian berat sehingga ciri bifasik perjalanan penyakitnya tidak jelas.
Ditemukan demam yang menetap antara fase septikemia dan fase imun. Demam pada
fase imun lebih tinggi dan lebih lama daripada demam Leptospirosis an-ikterik. Ikterus
tampak mulai hari ketiga atau mulai pada minggu kedua. Kadar bilirubin dapat
mencapai 60 – 80 mg/dl, tapi sebagian besar kurang dari 20 mg / dl. Bilirubin direk
maupun indirek dapat meningkat. Peningkatan alkali fosfotase, penurunan aktivitas
protrombin plasma, penurunan albumin serum, dan hipoprotrombinemia dapat
ditemukan. Hipoprotrombinemia dapat dicegah dengan pemberian vitamin K.2
Gangguan fungsi ginjal, kegagalan sirkulasi, dan penyulit perdarahan terjadi pada kasus
dengan gejala ikterus berat. Pada fase septikemia, kelainan sedimen urin ditemukan
pada 80% kasus. Proteinuria paling sering ditemukan dan biasanya ringan. Hematuria
makroskopik dan mikroskopik juga sering ditemukan. Hal ini menggambarkan
diathesis hemoragik dan bukan kerusakan glomerulus. Oliguria dan anuria lebih sering
terjadi setelah minggu pertama, tapi dapat pula terjadi karena hipotensi, syok dan
kekurangan cairan. Gangguan jantung pada umumnya jarang, dan dapat berupa gagal
jantung kongestif dan kolaps kardiovaskular. Gambaran EKG abnormal dan non-
spesifik dapat ditemukan pada 90% kasus. Hiponatremia juga sering ditemukan pada
kasus ikterik berat, dan terapi yang terbaik adalah pembatasan cairan, kecuali terjadi
hipotensi.2
Fase Gambaran Klinik Spesimen Laboratorium
Leptospirosis anikterik
(antara fase leptospiremia
dan fase imun terdapat fase
asimtomatik 1 – 3 hari)
Fase leptospiremia (3-
7 hari)
Demam tinggi, nyeri
kepala, mialgia, nyeri
perut, mual, muntah,
conjunctival suffusion.
Darah, cairan serebrospinal
Fase imun (3-30 hari) Demam ringan, nyeri
kepala, muntah, meningitis
aseptik.
Urin
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia dan fase
imun (sering menjadi satu
atau tumpang tindih)
Demam, nyeri kepala,
mialgia, ikterik, gagal
ginjal, hipotensi,
manifestasi perdarahan,
pneumonitis hemoragik,
leukositosis
Darah, cairan serebrospinal
(minggu I) dan urin
(minggu II)
Tabel 1. Perbedaan Leptospirosis an-ikterik dan Leptospirosis ikterik
(dikutip dari daftar pustaka nomor 11)
Tabel 2. Perjalanan Leptospirosis (dikutip dari daftar pustaka nomor 11)
VIII. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data epidemiologis
penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien. Identitas pasien
ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal dan juga menanyakan hewan
peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan
Leptospirosis. Tempat tinggal; dari alamat dapat diketahui apakah tempat tinggal
termasuk wilayah padat penduduk, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering
tergenang air maupun lingkungan kumuh. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup
besar pada musim pengujan lebih-lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluahan khas
yang dapat ditemukan, yaitu : demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya,
mual, muntah, nafsu makan menurun dan mata makin lama bertambah kuning dan sakit
otot hebat terutama daerah betis dan paha.3,9
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinik menonjol ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival
suffusion. Gejala klinik yang paling sering ditemukan conjungtival suffusion dan
mialgia. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3
selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral
ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring terlihat merah dan
bercak-bercak. Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan
nyeri hebat dan hiperestesi kulit. Kelainan fisik lain, yaitu hepatomegali, splenomegali,
kaku kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis
hemoragik. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi
dapat terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan konjungtiva dan ruam kulit. Ruam
kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria generalisata
maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.3,9
Gambar 3. Conjunctival Suffusion (dikutip dari daftar pustaka nomor 12)
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium umum
a. Pemeriksaan darah
- Pemeriksaan darah rutin : leukositosis normal atau menurun.
- Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil.
- Trombositopenia ringan.
- LED meninggi.
- Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat perdarahan
yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan penyakit.
b. Pemeriksaan fungsi hati
- Jika tidak ada gejala ikterik, fungsi hati normal.
- Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.
- Kerusakan jaringan otot, menyebabkan kreatinin fosfokinase meningkat.
peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata
mencapai 5 kali nilai normal.
Laboratorium Khusus2,9,11,13
Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis,
terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman
Leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan,
immunostaining, reaksi polymerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak
langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira (MAT, ELISA,
tes penyaring).
Pemeriksaan yang spesifik adalah pemeriksaan bakteriologis dan serologis.
Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan bahan biakan/kultur leptospira dengan
medium kultur Stuart, Fletcher, dan Korthof. Leptospira dapat ditemukan dalam
darah atau cairan serebrospinal pada fase septikemia dan dapat ditemukan dalam
urin pada fase imun. Selain dari cairan tubuh, Leptospira juga dapat ditemukan
dalam jaringan biopsi. Jumlah Leptospira yang sedikit dan memerlukan waktu
yang lama untuk tumbuh, maka diperlukan lebih dari satu biakan dengan inkubasi
5 – 6 minggu dalam kamar gelap. Cairan tubuh yang akan dibiakkan harus segera
dimasukkan ke dalam media, namun bila tidak terdapat media, Leptospira dapat
bertahan selama 11 hari dalam darah dengan antikoagulan, misalnya natrium
oksalat. Diagnosa pasti dapat ditegakkan jika dalam waktu 2 - 4 minggu terdapat
Leptospira dalam kultur. Impregnasi perak dan teknik fluoresens antibodi dapat
digunakan untuk mengidentifikasi Leptospira pada jaringan atau cairan tubuh.
Demikian juga dengan mikroskop kamar fase kontras atau lapangan gelap, namun
untuk cara ini diperlukan konsentrasi Leptospira 10.000 – 20.000 / mililiter.
Diagnosis lebih sering ditegakkan dengan tes serologic. Biasanya digunakan
serum, tetapi cairan serebrospinal, urin, empedu atau cairan bola mata juga dapat
digunakan. Uji serologic dapat dilakukan dengan Microscopic Slide Agglutination
Test (MSAT) yang menggunakan organisme mati. Selain itu yang kini lebih sering
digunakan adalah Microscopic Slide Agglutination Test yang menggunakan
organisme hidup. Cara terbaru yang dikembangkan adalah ELISA dapat
merupakan pemeriksaan alternatif bagi Microscopic Slide Agglutination Test
karena sensitive dapat dilakukan standarisasi dan sederhana. Gold standard
pemeriksaan serologi adalah MSAT suatu pemeriksaan aglutinasi secara
mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi
jenis serovar. Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6 - 12).
Dugaan diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala
klinis yang mendukung.
Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine (leukosituria, eritrosit
meningkat dan adanya torak hialin atau granuler). Pada leptospirosis ringan bisa
tedapat proteinuria dan pada leptospirosis berat dapat terjadi azotemia.
Pada Leptospirosis yang sudah mengenai otak, maka pemeriksaan CSS didapatkan
peningkatan sel-sel PMN ( pada awal ) tapi kemudian digantikan oleh sel-sel
monosit, protein pada CSS normal atau meningkat, sedangkan glukosanya normal.
4. Penegakan Diagnosis
Diagnosis pertama yang ditegakkan pada Leptospirosis adalah meningitis, hepatitis,
nefritis, Fever of Unknown Origin (FUO), influenza, sindroma Kawasaki, sindrom
syok toksik, dan penyakit Legionela. Leptospirosis harus dipikirkan pada semua kasus
demam dengan anamnesis kontak dengan binatang atau tanah / air yang terkontaminasi
urin hewan, terlebih lagi bila ada gejala akut demam, menggigil, myalgia, kekeruhan
konjungtiva, nyeri kepala, mual dan muntah. Diagnosis pasti ditetapkan apabila
Leptospira dapat di isolasi dari cairan tubuh, gambaran klinis yang sesuai dengan
Leptospirosis dan adanya kenaikan titer antibody empat kali lipat atau lebih antara fase
akut dan konvalesens.2
Daftar Pertanyaan Jawaban Nilai
A. Jenis gejala dan laboratorium
Sakit kepala mendadak Ya/tidak 2/0
Conjunctival suffusion bilateral Ya/tidak 4/0
Demam Ya/tidak 2/0
Bila demam >38 C Ya/tidak 2/0
Meningismus Ya/tidak 4/0
Nyeri otot terutama betis Ya/tidak 4/0
Meningismus, nyeri otot dan konjungtiva suffosion bersamaan
Ya/tidak 10/0
Ikterik Ya/tidak 1/0
Albuminuria atau azotemia Ya/tidak 2/0
B. Faktor epidemiologi seperti riwayat kontak binatang ke hutan, rekreasi, tempat kerja atau diduga atau diketahui kontak dengan air yang terkontaminasi.
Ya/tidak 10/0
C. Hasil laboratorium serologi :
Serologi (+) di daerah endemik :
Single (+), titer rendah Ya/tidak 2/0
Single (+), titer tinggi Ya/tidak 10/0
Pair sera, titer meningkat Ya/tidak 25/0
Serologi (+) bukan daerah endemik :
Single (+), titer rendah Ya/tidak 5/0
Single (+), titer tinggi Ya/tidak 15/0
Pair sera, titer meningkat Ya/tidak 25/0
Tabel 3. Kriteria WHO untuk Leptospirosis (dikutip dari daftar pustaka nomor 4)
Keterangan : Berdasarkan kriteria di bawah, leptospirosis dapat ditegakkan bila jumlah
A+B >25, atau A+B+C >25 disebut presumptive leptospirosis; dan bila A+B nilai
antara 20-25 disebut suggestive leptospirosis.
5. Diagnosis Banding
Leptospirosis anikterik dapat di diagnosis banding dengan influenza, demam berdarah
dengue, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik viral, keracunan makanan/bahan
kimia, demam tifoid, demam enterik.
Leptospirosis ikterik dapat di diagnosis banding dengan malaria falcifarum berat,
hepatitis virus, demam tifoid dengan komplikasi berat, haemorrhagic fevers with renal
failure, demam berdarah virus lain dengan komplikasi.
Bagan 2. Diagnosis Banding Leptospirosis (dikutip dari daftar pustaka nomor 5)
IX. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Kuratif
Antibiotik sebaiknya diberikan sebelum organisme merusak endotel pembuluh darah
dan berbagai organ atau jaringan. Kesulitan melihat hasil pengobatan adalah bahwa
fakta pada umumnya Leptospira merupakan penyakit self limiting dengan prognosis
yang cukup baik. Bahkan pasien dengan Leptospirosis ikterus yang berat dapat
sembuh tanpa pengobatan yang spesifik. Beberapa peneliti menunjukkan tak jelasnya
efek antibiotic terhadap beratnya penyakit, atau pencegahan terjadinya gangguan
susunan saraf pusat, hati, ginjal, atau penyulit perdarahan dan juga dibuktikan bahwa
lamanya Leptospiremia dan adanya organisme dalam cairan serebrospinal tidak
terpengaruh oleh pengobatan.2
Pengobatan yang dapat diberikan adalah Penisilin G 6 – 8 juta U/m2/hari secara
intravena terbagi dalam 6 dosis selama 7 hari atau tetrasiklin 10 – 20 mg/kgBB/hari
secara intravena terbagi dalam 4 dosis selama 7 hari. Selain itu hal yang perlu
diperhatikan adalah perawatan suportif. Pemasukan cairan dan balans elektrolit harus
diperhatikan. Keadaan seperti gagal ginjal akut, dehidrasi dan kegagalan sirkulasi
memerlukan penanganan yang spesifik dan cermat.2
Leptospirosis An-ikterik Leptospirosis Ikterik
Pilihan
pertama
- Ampisilin 75 – 100
mg/kgBB/hari.
- Amoksisilin 50mg/kgBB/hari,
oral, tiap 6-8 jam, selama 7
hari
- Penisilin G 100,000
U/kgBB/hari, intravena, tiap
6 jam,
- Ampisilin200mg/kgBB/hari,
intravena, tiap 6 jam
- Amoksisili
200mg/kgBB/hari, intravena,
tiap 6 jam
Pilihan kedua - Doksisiklin 40mg/kgBB/hari,
oral, dua kali
- Eritromisin 50
mg/kgBB/hari, intravena
Alergi
penisilin
- Doksisiklin
40mg/kgBB/hari,oral,2x
sehari, selama 7 hari (tidak
direkomendasikan untuk
umur dibawah 8 tahun)
- Eritromisin 50 mg
/kgBB/hari, intravena (data
penelitian in-vitro)
Tabel 4. Antibiotik untuk Leptospirosis (dikutip dari daftar pustaka nomor 4)
2. Pencegahan
Pencegahan penularan kuman Leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi
yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan intervensi
pada pejamu manusia.4
Kuman Leptospira mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan mati oleh
desinfektan seperti lisol. Maka upaya “”lisolisasi”di seluruh permukaan lantai, dinding
dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air banjir yang mungkin sudah terdapat
kuman Leptpspira, dianggap cara mudah dan murah untuk mencegah mewabahnya
Leptospirosis.
Selain sanitasi sekitar rumah dan lingkunga, hygiene perorangan dilakukan dengan
menjaga tangan selalu bersih. Selain terkena air kotor, tangan yang tercemar kuman
dari hewan peliharaan yang sudah terjangkit penyakit dari tikus atau hewan liar dapat
menyebabkan penyakit ini, oleh sebah itu hindari kontak dengan kencing hewan
peliharaan.4
Tikus rumah perlu dibasmi hingga ke sarang – sarangnya. Begitu juga jika ada hewan
pengerat lain.4
X. PROGNOSIS
Prognosis Leptospirois umumnya baik, Tergantung dari virulensi kuman dan daya tahan
tubuh pasien. Usia juga berpengaruh terhadap meningkatnya mortalitas. Pada anak angka
kematian lebih rendah dibandingkan orang dewasa, mortalitas diata 51 tahun adalah 56%.
Pada kasus Leptospirosis An-ikterik, mortalitasnya jauh lebih rendah, tetapi dengan
terjadinya icterus mortalitas dapat mencapai 15 – 40%. Prognosis jangka panjang pada
kasus Leptospirosis dengan lesi ginjal akut adalah baik. Daya filtrasi glomerulus dapat
kembali normal, namun beberapa kasus masih menunjukkan disfungsi tubular, seperti
gangguan kapasitas konsentrasi ginjal.2
BAB III
KESIMPULAN
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman
Leptospira. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung yang
terjadi secara insidental. Leptospirosis sering kali menunjukkan gejala yang tidak khas
sehingga terlambat derdiagnosis.
Leptospirosis terdiri dari dua fase, antara lain fase septikemia dan fase imun.
Leptospirosis terbagi menjadi dua yaitu Leptospirosis an-ikterik dan Leptospirosis ikterik.
Leptospirosis ikterik memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan yang Leptospirosis
an-ikterik, selain itu antara fase septikemia dan fase imun tidak jelas batasnya.
Gejala klinis dapat timbul mulai dari ringan sampai yang berat bahkan dapat
mengakibatkan kematian, apabila terlambat mendapat pengobatan. Diagnosis dini yang
tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit yang berat.
Pencegahan dini terhadap mereka yang beresiko tinggi terekspos diharapkan dapat
melindungi dari serangan Leptospirosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. Pedoman Tatalaksana Kasus dan
Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Jakarta. Departemen
Kesehatan RI: 2003.
2. Herry, Rejeki S, Sumarmo. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis : Leptospirosis.
edisi kedua. Jakarta. Ikatan dokter Anak Indonesia: 2008.
3. Budiharta S. Seminar Nasional Bahaya Dan Ancaman Leptospirosis : Epidemiologi
Leptospirosis. Yogyakarta: 2002.
4. World Health Organization/ International Leptospirosis Society. Human Leptospirosis
Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. Geneva. WHO: 2003.
5. Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi Spiroketa. Edisi 15 jilid 2. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2007.
6. MicrobeWiki. Leptospira. 2010. Kenyon College. Diunduh pada tanggal 15 Mei
2014, Available on : https://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Leptospira.
7. Departemen Kesehatan. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit : Leptospira. Jakarta. Bagian Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan DEPKES RI: 2008.
8. Halim HD. Gejala Kerusakan Ginjal. Medicinesia. 2012. Diunduh pada tanggal 15
Mei 2014, Available on : http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/infeksi-
imunologi/leptospirosis/.
9. Widarso, Yatim F. Majalah Kesehatan : Leptospirosis dan Ancamannya. Edisi 15
Jakarta. Departeman Kesehatan RI: 2000.
10. . Dharmojono. Leptospirosis : Waspadailah Akibatnya!. Jakarta. Pustaka Populer
Obor: 2002.
11. Iskandar Z, Nelwan RHH, Suhendro. Leptospirosis : Gambaran Klinis di RSUPNCM.
Jakarta. RSUPNCM: 2002.
12. PhysicianByte. Leptospirosis. 2010. Physician Byte. Diunduh pada tanggal 15 Mei
2014, Available on : http://www.physicianbyte.com/ECGChangesTwo.aspx.
13. Riyanto B, Gasem MH, Pujianto B, Smits H. Leptospira Sevoars in Patient with
Severe Leptospirosis Admitted to Hospitals of Semarang. Buku Abstrak Konas VIII
PETRI. Malang. PETRI: 2002.