problematika hukum waria

28
Problema Hukum Waria (Khuntsa) dan Operasi Kelamin Oleh Drs.H.Dja’far Abd.Muchit, SH, MHI. 1. Pendahuluan Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As dan Hawa sebagai ci kal bakal manusia. Dari keduanya berkembang biak manusia lelaki dan perempuan dan semakin cepat berkembang manusia tersebut lantaran terjadi hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan sebagai suami isteri, sebagaimana dijelaskan Allah dalam berbagai ayat dalam Al Quran seperti ayat 1 surah Annisa, ayat 13 surah Al Hujurat, ayat 49 -50 surah As Syura, ayat 45 surah An Najm dan lain sebagainya Menurut ayat diatas dan ayat-ayat lainnya, Allah yang telah menciptakan manusia lelaki dan perempuan berikut kelengkapan dan tanda-tandanya sebagai lelaki atau perempuan. Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya-mungkin sejuta satu k arena dalam statistik belum pernah diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut. Berbeda dengan jumlah lelaki atau perempuan yang sering diinformasika n, dimana jumlah lelaki 43% dari jumlah penduduk Indonesia dan jumlah kaum perempua n 57% Mereka itu adalah makhluk Allah yang disebut khuntsa (Waria). Mereka sepertinya belum mendapatkan perhatian dan seperti dibiarkan hidup pada habitatnya mencari dan berjuang mempertahankan hidup menurut mauny a. Mereka seperti belum tersentuh hukum, tapi mereka terkadang dicari bila dibutuhkan atau

Upload: youthe-good

Post on 02-Aug-2015

108 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Problematika Hukum Waria

Problema Hukum Waria (Khuntsa) dan Operasi Kelamin

Oleh Drs.H.Dja’far Abd.Muchit, SH, MHI.

1. Pendahuluan

Allah SWT  telah   menciptakan Nabi Adam  As  dan Hawa   sebagai cikal bakal

manusia.   Dari   keduanya   berkembang biak   manusia   lelaki   dan   perempuan dan

semakin  cepat   berkembang   manusia   tersebut   lantaran   terjadi hubungan   kelamin

antara  lelaki  dan  perempuan  sebagai  suami  isteri,  sebagaimana dijelaskan Allah

dalam berbagai ayat  dalam  Al Quran seperti ayat  1 surah   Annisa,  ayat  13   surah Al

Hujurat,   ayat  49 -50   surah As Syura, ayat  45 surah An Najm dan lain sebagainya

Menurut ayat   diatas   dan  ayat-ayat   lainnya,   Allah   yang   telah  menciptakan

manusia lelaki  dan  perempuan  berikut kelengkapan  dan  tanda-tandanya  sebagai

lelaki atau perempuan.

Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada

sekelompok  orang  yang  sangat  kecil  jumlahnya-mungkin  sejuta satu  karena  dalam

statistik   belum pernah   diinformasikan   berapa   jumlah   kelompok   orang   tersebut.

Berbeda dengan jumlah   lelaki atau  perempuan yang  sering diinformasikan,  dimana

jumlah lelaki 43% dari jumlah penduduk Indonesia dan jumlah kaum perempuan 57%

Mereka   itu   adalah   makhluk   Allah   yang disebut   khuntsa   (Waria).   Mereka

sepertinya belum mendapatkan perhatian dan seperti dibiarkan hidup pada

habitatnya  mencari  dan  berjuang  mempertahankan  hidup  menurut  maunya.  Mereka

seperti  belum tersentuh  hukum,  tapi  mereka terkadang  dicari  bila  dibutuhkan  atau

diperlukan untuk   suatu kepertingan atau tujuan sesaat.

Berbagai   Al   Quran   dan   Hadits   Rasul   telah   banyak menjelaskan aturan

hukum  yang  berkaitan  dengan  lelaki  dan  perempua,  tapi  tidak  menjelaskan suatu

hukumpun   yang   berkaitan   dengan   waria   (khuntsa).   Hal   ini   menunjukkan ketidak

mungkinan  adanya  2  (dua)  alat  yang  berlawanan  dan  berkumpul  pada seseorang.

Untuk itu harus ada ketentuan status hukumnya lelaki atau perempuan.

Mengingat   semakin   semarak   dan   pesatnya   perkembangan   waria   seperti

sekarang  ini  dan  untuk  menghindari  ekses   negatif,  kiranya  perlu  penelitian  khusus

mengenai berbagai hal yang berkaitan  dengan khuntsa termasuk aturan hukum  dan

solusinya.  Contoh  kongkrit   seperti  yang  ditayangkan.   Televisi  swasta  dibulan  suci

Ramadhan,  ada  sebagian  waria sholat  Tarawih  dengan  memilih  pakaian  lelaki  dan

sebagian  yang   lain  memilih  busana  muslimat.  Ini  menunjukkan  bahwa  waria  ingin

mencari jati dirinya lelaki atau perempuan.

1

Page 2: Problematika Hukum Waria

2. Pengertian Khuntsa

Khuntsa  menurut  ahli  bahasa  Arab  seperti tersebut  dalam  kamus  Al  Munjid

dan  Kamus  Al  Munawir,  Khuntsa berasal  dari  kata  khanitsa-khanatsan  yaitu  lemah

dan   pecah. Khuntsa   ialah   orang   yang   lemah   lembut,   padanya   sifat   lelaki   dan

perempuan. Jamaknya khunatsa dan khinatsun.

Menurut  Muhammad Ali  Ash Shobuni dalam  kitabnya al  Mawarits  fis  Syariatil

Islamiyah,  disebut  Khuntsa karena  ia  dalam  ucapan  dan suaranya  lemah  lembut

seperti   perempuan   atau   dalam   tingkah   polahnya,   jalannya   dan   cara   berpakaian

menyerupai gaya orang perempuan.

Khuntsa  menurut   Istilah,   hampir  semua  ulama sama  pendapatnya   dalam

mendefinisikan   khuntsa. Menurut   Ash   Shobuni   dan   menurut   Dr.   Yasin   Ahmad

Ibrahim Daradikah, Khuntsa ialah :

‘Orang  yang  baginya  alat  kelamin  lelaki  (dzaakar/penis)  dan  alat   kelamin wanita

(farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya.

Menurut   penulis   kitab   Syarah   Ar   Rahbiyah   yaitu   Syaikh   Muhammad   bin

Muhammad Dimasqi,  kiranya sulit  atau tidak   mungkin bila tidak ada sama sekali alat

dari keduanya,  sehingga diartikan baginya lubang yang berfungsi untuk  kencing atau

lainnya.

Imam  An  Nawawi  dalam  Al  Muhadzab  menjelaskan  bahwa  waria itu  ada  2

(dua)  macam,  yaitu  orang  yang baginya  (2)  dua  alat  kelamin  (kelamin  lelaki  dan

kelamin   perempuan)   dan   orang   yang   tidak   mempunyai   alat   seperti   diatas   tetapi

baginya   lubang   (serupa   vagina/farji)   yang   dari   lubang   itulah   keluar   sesuatu   yang

keluar seperti air kencing, sperma, darah haid dan lain sebagainya.

Secara medis  jenis  kelamin seorang  khuntsa dapat dibuktikan bahwa  pada

bagian luar   tidak sama   dengan bagian dalam ; misalnya jenis kelamin   bagian dalam

adalah  perempuan dan  ada  rahim,  tetapi  pada  bagian   luar  berkelamin  lelaki  dan

memiliki   penis  atau memiliki keduanya (  penis  dan vagina),  ada  juga  yang   memiliki

kelamin  bagian  dalam  lelaki,  namun dibagian  luar  memiliki  vagina  atau  keduanya.

Bahkan ada  yang  tidak memiliki  alat  kelamin  sama  sekali, artinya  seseorang itu

tampak seperti perempuan   tetapi tidak mempunyai   lobang vagina dan  hanya lubang

kencing atau tampak seperti lelaki tapi tidak memiliki penis.

Dr.Yasin   Ahmad   Ibrahim   Daradikah   dalam   kitabnya   Al   Waris   fis   Syariatil

Islamiyah,  menjelaskan  bahwa oleh  karena  keadaannya seperti diatas,  maka urusan

statusnya   juga   menjadi   samar   tidak   jelas   apakah   lelaki   atau   perempuan.   Karena

pada asalnya jenis manusia itu lelaki atau perempuan. Dan masing-masing

2

Page 3: Problematika Hukum Waria

mempunyai  hak  dan  kewajiban  hukum  sendiri-sendiri.  Yang membedakan  ia  lelaki

perempuan adalah   alat   kelamin.   Bagaimana   halnya   bila   ia   mempunyai   dua   alat

kelamin   bersamaan   atau   tidak   ada   sama   sekali.   Disitulah   letak   kemusykilannya.

Namun  hal  tersebut  terkadang  bisa  menjadi jelas   bila  ia  dewasa  dengan  melihat

fungsi   alat   kelamin   mana   yang   lebih   berperan   tapi banyak   juga   yang sampai

dewasa tetap musykil.

3. Khuntsa di Zaman Nabi   SAW.

Muhammad  bin   Ali   bin   Muhammad Asy Syaukani   dalam   kitabnya   Nailul

Authar  juz   VI  halaman  124-125  menjelaskan  bahwa  pada  zaman  Nabi  sudah  ada

waria dan   yang dikenal namanya antara lain Hita,  Matik dan Hinaba.

Waria di zaman Nabi SAW  ada yang memang asli banci dan ada yang   buat-

buatan. Orang banci asli pada umumnya tingkah lakunya tidak kelihatan

membahayakan kepada kaum wanita. Dan   oleh sebab itu istri-istri nabi menganggap

mereka  (banci  asli)  sebagai  Ghoiru   Ulil   Irbah  (tidak  punya  butuh  dan  tidak  punya

syahwat).  Namun meskipun begitu Nabi   melarang mereka   bebas  masuk )bergaul)

dengan  kaum   wanita  dan  antara  mereka  harus   ada  hijab/tabir.  Bagi  mereka  yang

tidak mematuhi,  oleh  Nabi  dilarang  masuk  dan  tidak  boleh kembali  kecuali  sekali

dalam seminggu  yaitu  setiap  hri  Jumat  untuk  menerima  jatah  makan,  selebihnya

mereka   hidup di Baida’ (tanah lapang) atau di Badiyah (perkampungan terpencil).

Menurut   Asy   Syaukani diantara   pertimbangan   dikeluarkannya   waria   dari

rumah dan diisolir atau direlokalisasi karena beberapa hal sebagai berikut :

a.  Orang  banci  diduga   orang   yang  tidak  punya   butuh   dan   syahwat,  tapi  ternyata

tidak demikian keadaannya atau semuanya;

b.  Mereka selalu bertingkah   polah   dihadapan lelaki   dengan memamerkan aurat dan

keindahannya,  pada hal itu dilarang kecuali   terhadap atau bagi suami istri;

c. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atau bahaya yang   lebih

besar dengan menjalankannya sifat fasiq ;

4. Cara   Menentukan   Status Lelaki   atau Perempuan.

Muhammad   Ali   Ash   Shobudi dalam kitabnya   al   Mawarits fis Syariatil

Islamiyah  ala  Dhauil  Kitab  was  Sunnah  halaman  186  dan  Dr.  Yasin  Ahm ad  Ibrahim

Daradikah dalam kitabnya al Miras fis Styariatil Islamiyah halaman 256-257

menjelaskan bahwa orang  yang   pertama kali memutuskan masalah khuntsa (banci)

pada masa jahiliyah ialah Amir bin Ad Dharab ( salah satu hukamaul Arab).

3

Orang jahiliyah bila menghadapi permasalahan yang sulit mereka mendatangi

Page 4: Problematika Hukum Waria

Amir bin Ad Dharab untuk memperoleh putusan; dan biasanya mereka menerima dan

merasa  puas  atas  putusannya.  Kemudian  pada  suatu  saat  ia  didatangi  sekelompok

kaumnya menanyakan kejadian seorang perempuan yang melahirkan   seorang anak

yang mempunyai  2  (dua) alat  kelamin  atau  khuntsa,  apakah  statusnya  lelaki  atau

perempuan.   Amir   menjawab   ;   statusnya   ya lelaki   dan   perempuan.   Mendengar

jawaban   seperti   itu orang Arab   tidak   mau   menerima   dan   tidak   puas. Melihat

gelagatny seperti itu ia berkata.  Berilah aku waktu (kesempatan).  Ternyata malam  itu

Amir   hampir   tidak bisa   tidur   (istirahat),   gelisah   memikirkan   masalah   khuntsa.

Kebetulan ia  punya  jariyah  (pembantu  perempuan)  yang  terkenal  cerdas  bernama

Sakhilah. Ia terbangun dari tidurnya dan ia ceriterakan kejadian yang baru

menimpanya.  Lantas  jariyah  menyampaikan  pendapaytnya  ;  (tinggalkanlah  putusan

yang barusan  dan  jadikanlah  alat  kencing  sebagai  penentu  status  hukum  khuntsa

lelaki atau   perempuan).   Setelah   ia   menganggap   baik   dan   rasional,   ia   kemudian

menemui kaumnya dan memutuskan status orang itu dengan al Mabal (alat  kencing).

Lihatlah dan perhatikan bila ia kencing dengan dzakar (penis) berarti ia lelaki dan bila

ia   kencing   dengan   farji   (vagina)   berarti   ia   perempuan.   Dan   setelahmendengar

putusan ini mereka semua menerima dan merasa puas.

Sejak  zaman  Nabi   Muhammad  dan  juga sebelumnya (zaman  Jahiliyah),

zaman sekarang dan yang akan  datang,  ternyata  alat  kelamin  itu mempunyai  peran

utama (penting) dan menentukan untuk mengetahui dan menetapkan status

seseorang itu lelaki atau perempuan,  dan mungkin  belum  ditemukan cara lain  yang

lebih  canggih  dan  akurat sebagai  penentu  status  seseorang  lelaki  atau  perempuan

selain alat kelamin.

Muhammad   Makhluf   (ahli fiqh   Kontemporer   Mesir)   menyatakan bahwa

apabila seorang khuntsa (waria) mempunyai indikasi yang lebih cenderung

menunjukkan jenis   lelaki  –lakiannya  atau  jenis   keperempuannya,  maka  ia  disebut

Khuntsa   ghairu   musykil (banci   yang   tidak   sulit   ditentukan   jenis kelaminnya) ;

Misalnya,  khuntsa  yang mempunyai  kelamin  ganda jika  kencing  melalui  penis  dan

berkumis  seperti  layaknya  lelaki,  maka  ia dikatagorikan  sebagai  lelaki,  sebaliknya

jika ia memiliki vagina dan punya   payudara serta indikasi   perempuan lainnya,  maka

ia  dikatagorikan  sebagai  perempuan,  akan  tetapi  jika  tidak  ada  indikasi  seperti  itu,

dalam   arti   tidak   menunjukkan   jenis   kelamin   tertentu,   atau   tidak   konstan   (   selalu

berubah),  maka  ia  dikatagorikan khuntsa  Musykil’(banci  yang  sulit  ditentukan  jenis

kelaminnya).

4

Meskipun   penentuan   status   hukum   khuntsa   sepertinya   sudah   jelas,   yaitu

dengan   melihat   cara   alat   kencingnya   tapi   dalam prakteknya   masih   mengalami

Page 5: Problematika Hukum Waria

kesulitan.  Untuk  itu  tidak  heran  bila  diantara  pakar  Hukum   Islam   seperti  Imam   As

Suyathi   dalam kitabnya al Asybah Wan   Nadhoir   dan   Kitab Faraidl   yang   lain

ditentukan beberapa uraian penjelasan yang sifatnya imajinasi. Hal ini untuk

memberikan   jawaban bila hal ini   untuk memberikan jawaban bila hal itu terjadi,  atau

mungkin terjadi.

Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

4.1. Cara kencing/keluarnya air  kencing.

Bila  ia  kencing  dan  air kencingnya  keluar  lewat  dzakar  /penis   berarti  status

hukumnya   ia   lelaki   ;   dan   bila   ia   kencing   dengan   alat   kencing perempuan

(farji/vagina) berarti statusnya ia perempuan.  Dan bila air kencing itu   keluar dari

kedua  alatnya  maka  harus dilihat  dan  diteliti  mana  yang  lebih  dulu  keluarnya

bila  selesainya  bersamaan;  atau  mana   yang   lebih  akhir   bila   awal   keluarnya

bersamaan.

Bila  dari  yang  satunya  mendahului  dan  dari  yang  satunya  keluar  akhir,  maka

tentukanlah dengan alat mana yang duluan air kencingnya itulah yang

menentukan   statusnya   ia   lelaki atau perempuan,   bila   awal dan akhirnya

bersamaan, maka itu namanya khuntsa munsykil (banci yang   sulit).

4.2. Keluarnya sperma atau air mani.

Bila  sperma  keluar  dari  alat  kelamin  lelaki  berarti  status  hukumnya  lelaki  dan

bila   keluar   dari   farji   (vagina)   berarti   statusnya   perempuan.   Demikian   ini   bila

keadaannya   normal   stabil, dan   bila   sering   berubah-ubah   maka   hukumnya

sebagai   khuntsa munsykil.

4.3. Keluarnya darah haidl.

Bila mengeluarkan darah haidl (menstruasi berarti status hukumnya

perempuan, sebab lelaki menurut  kudratnya tidak haidl.  Namun bila ia haidl tapi

air  kencingnya  atau  keluarnya  sperma  dari  alat  kelamin  lelaki  maka  namanya

khuntsa musykil.

Bilah sampai umur dewasa ia tidak   haidl atau pernah haidl (sekali dua kali) tapi

kemudian  berhenti  total  (bukan  karena  sebab)  dalam  usia  subur  normal maka

status  hukumnya lelaki,  sebab menurut  kudratnya wanita   itu mengalami   haidl

teratur pada waktunya sampai umur monopose.

4.4. Kehamilan dan melahirkan.

5

Bila ia  hamil dan  atau melahirkan  berarti statusnya  perempuan sebab menurut

kudratnya lelaki tidak hamil atau   melahirkan. Dan bila terjadi kelainan seperti di

atas maka statusnya sebagai khuntsa musykil;

Page 6: Problematika Hukum Waria

4.5. Pertumbuhan organ tubuh.

Bila  ia  berkumis  atau  tumbuh  lihyah  (jenggotnya)  dan  cirri-ciri  spesifik  lainnya

bagi seorang  lelaki  seperti  adanya   kecendrungan  mendekati  atau  jatuh   hati

dengan wanita berarti statusnya lelaki.

Bila   Tsadyaiha   (payudara)   tumbuh   montok,   ia   haidl   dan   kecendrungannya

mendekati/jatuh  cinta  pada  lelaki  dan  cirri-ciri  spesifik  lainnya  bagi  perempuan

berarti statusnya perempuan.

Bila   ia berkencan   dengan perempuan   dan   perempuan itu   menjadi   hamil

karenanya,   berarti   statusnya   lelaki,   dan   bila berkencan   dengan   lelaki   dan

kemudian ia hamil maka statusnya perempuan.

Menurut   pakar   hukum Islam seperti   Dr. Yasin Ahmad   Daradikah   dalam

kitabnya al-  Mirats fis syariatil Islamiyah, menyatakan bahwa khuntsa (banci/waria) itu

ada 2 (dua) macam, yaitu

a.  Khuntsa  ghairu  musykil  yaitu  (waria  yang  tidak  sulit diketahui  statusnya lelaki

atau perempuan lewat tanda-tanda seperti diatas ;

b.  Khuntsa musykil   yaitu (waria   yang sulit   mengenal statusnya,  karena sulit,  samar

dan unik   tidak   seperti waria pada umuamnya).

Jika   seorang   khuntsa,   tampak   tanda-tanda   lelakianya   seperti   kencingnya

hanya  keluar  dari   penisnya  dan  sperma  juga  demikian serta  mampu  menghamili

perempuan,   maka   ia   dikatakan   sebagai   orang   lelaki,   dan   hukum   yang   lain   juga

diberlakukan   kepadanya  sama  dengan  lelaki  normal.  Demikian  juga  khuntsa  yang

ada   tanda-tanda haidl  yang  keluar  dari  vaginanya  atau  ia  hamil,  maka  ia  dikatakan

sebagai orang perempuan dan sejak hukum  yang diberlakukan khuntsa terhadapnya

sama  dengan  perempuan  normal.  Kedua   jenis   inilah yang  dikatagorikan  sebagai

khuntsa   ghairun   musykil   sedang   khuntsa   yang   tidak   tampak   suatu   tanda   apapun

sebagaimana  disebutkan  diatas,  maka  itulah  yang  disebut  dengan  khuntsa  musykil,

yang status  hukumnya dapat  diberlakukan atas  dasar  kecenderungan atau perkiraan

yang menonjol lelaki atau perempuan.

5. Beberapa permasalahan hukum orang banci.

5.1. Perkawinan orang banci

Menurut   hukum Islam,   perkawinan yang disyariatkan   oleh Allah   adalah

perkawinan  antara  seorang  lelaki  dengan  seorang  perempuan  dari  jenisnya  sendiri

6

yaitu jenis  manusia (Q.S.Asy Surah 50,  An.Najm  45 ;  An.Nisa’ 1 dsb).Penyimpangan

dari   hal   diatas   seperti   perkawinan   manusia   dengan   Jin   miskipun   lelaki   dengan

perempuan terdapat perbedaan pendapat, dan yang jelas tidak disyariatkan.

Dengan   adanya   perkawinan   tersebut   menjadi   sah/halal   hubungan   seksual

Page 7: Problematika Hukum Waria

antara   mereka   dan   mereka   mendapat   anak   keturunan   yang   sah,   lelaki   maupun

perempuan.  Dan  Allah  mengutuk  penyimpangan  hubungan  seksual  yang  tidak  sah

(pelacuran)  dan hubungan seksual yang tidak wajar  seperti penyimpangan sek kaum

Luth yang melampiaskan  nafsunya  dengan  melkukan homo seksual (  lelaki  sesama

lelaki)  dan mereka menjauhi perempuan sebagai isterinya yang sah yang seharusnya

digauli.  Demikian   juga  terkutuk  wanita   melampiaskan  seksualnya   dengan   sesama

wanita atau lesbi,  dan juga penyimpangan hubungan seksual lainnya yang dianggap

tidak wajar seperti sodomi dan lain sebagainya.

Diciptakannya  jenis  lelaki  dan  perempuan  yang  dilengkapi  dengan  berbagai

perasaan akan menimbulkan daya tarik dan saling tertarik antara dua jenis  lelaki dan

perempuan.   Jadi   rasa   tertarik   dan   mencintai   lawan   jenisnya   adalah   normal   dan

berarti   rasa   tertarik   atau   mencintai   sesama   jenisnya   adalah   abnormal   atau   suatu

penyimpangan.

Disyariatkannya perkawinan tersebut disamping hal diatas, ada hikmah

lainnya yaitu agar  mahluk manusia sebagai  khalifah  Allah dibumi tidak punah begitu

saja sampai waktu yang digariskan.  Sehingga bumi tidak terlalu sepi karena manusia

tidak   berketurunan.   Dengan   demikian   dapat   tercipta   kehidupan   yang   sejahtera,

rumah   tangga   yang   bahagia,   jiwa   dan   pikiran   menjadi   tenteram,   jasmani   rohani

menjadi  segar  serta  menatap  kehidupan  dengan  penuh  optimistis   dan   damai  tidak

gersang dan gelisah

Semua  itu  sebagai  tanda  kebesaran  Allah  menentukan  pasangan  lelaki  dan

perempuan sebagai suami istri ‘ Wajaalnakum azwajan’. Dan seperti firmannya dalam

Q.S Ar Ruum 21 :

‘Dan diantara tanda (kekuasaan) Allah, bahwa dia  telah menciptakan istrimu dari

jenismu (manusia), agar kamu bisa tenang bersamanya dan dia telah menjadikan

mesra   dan   sipat   kasih   sayang   diantara   kamu.   Dalam   hal   ini   adalah   sebagai

pertanda bagi orang-orang yang mau berpikir.’

Oleh karena perkawinan antara lelaki dengan perempuan itu sebagai

peraturan  perundang-undangan  menetapkan  bahwa  perkawinan  itu  mesti  dilakukan

antara lelaki dan perempuan.

Hukum  perkawinan  Amerika  menyebutkan  bahwa  perkawinan  adalah  bentuk

persetujuan yang melibatkan 3 (tiga) pihak,  yaitu   calon suami, calon istri dan Negara

7

atau pemerintah.  Dan hukum  perkawinan di  Indonesia pasal 1 UU No.1 Tahun  1974

menjelaskan:   Perkawinan   ialah   ikatan   lahir   batin   antara   seorang   peris dengan

seorang   wanita   sebagai   suami   istri   dengan   tujuan   membentuk   keluarga   (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Hukum perkawinan bagi khuntsa sama hukumnya dengan yang lainnya, yaitu

Page 8: Problematika Hukum Waria

terkait dasar hukum perkawinan itu sendiri ; yaitu

a.  Wajib,  jika   sudah  mampu  dan  dikhawatirkan akan berbuat  maksiat  jika  tidak

kawin

b.   Sunah,   jika sudah   mampu   tetapi   masih   bisa   menahan   diri   tidak   terjerumus

maksiat.

c.   Mubah,   bagi   yang   belum   ada   minat   kuat   serta   dapat   pula   menahan   diri   dari

maksiat.

d.  Haram,  bagi  orang  yang  dapat  menimbulkan  ketidak  hamonisan  dalam  keluarga

atau  bisa  menyakini  pasangannya  secara  lahir  maupun  batin,  karena  jiwa  dan

perilakunya cenderung menyamai pasangannya.

e.  Makruh,  bagi orang tidak punya kemampuan untuk kawin.

Jika   khuntsa   akan   terjerumus   kedalam   perbuatan   maksiat,   seperti   homo

seksual,  lesbian  semburit  dan  sejenisnya  maka   ia  termasuk  dalam   katagori   wajib

untuk  kawin.   Menurut  sebagian  ulama,  perbuatan   khuntsa  musykil  maupun  ghoiru

musykil   yang   lebih   terdorong   untuk   melakukan   hubungan   seksual   dengan   orang-

orang sejenis  kecenderungan   pungsi kelaminnya dengan yang   memilikinya,  seperti

homoseksual dan lesbian, maka termasuk tindak pidana dalam islam.

Jika   ada   khuntsa   yang   kawin   dengan   pasangan   yang   tidak   sejenis   atau

berjenis   kelamin  beda  seperti   yang  terdapat   pada khuntsa  ghoiru  musykil,  maka

setatus perkawinan seperti manusia normal.

Oleh   sebab   itu   orang   banci   sebaiknya   tidak   melangsungkan   pernikahan

dengan sesama banci, kecuali bila status hukumnya sudah jelas lelaki atau

perempuan Hal ini untuk menghindari perkawinan sesama jenis kelamin.

Bila terjadi seseorang lelaki mengawini banci,  tapi  kemudian ternyata sibanci

itu  lelaki,  atau  seorang   perempuan  kawin  dengan  banci  tetapi  ternyata  sibanci  itu

perempuan,  maka hukumnya diperselisihan   antara sah dan tidak sah.  Menurut  Drs.

Fathur  Rahman,  nikanya  tidak  sah  karena  banci  itu  khuntsa musykil.  Dan menurut

Fuqaha nikahnya fasid  karena bertentangan  dengan yang disyariatkannya nikah dan

menyalahi kudrat.

8

5.2. Kewarisan orang orang banci (khuntsa)

Ulama   farodliyun   (ahli   faraid)   setelah   mengadakan penelitian   tentang

khuntsa, menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan

terdiri   dari   ayah,   ibu,   kakek,   nenek,   suami   atau   istri,   sebab   menurut   hukumnya

khuntsa  musykil  tidak  melakukan  nikah,  sehingga  khuntsa  musykil  itu  mesti  terdiri

dari anak,  cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman.

Page 9: Problematika Hukum Waria

Oleh   sebab   itu   bila   khuntsa   menikah   dan   mempunyai   keturunan   maka

anaknya  akan  mengikuti  garis  keturunan  bapaknya  walaupun  bapaknya  bertingkah

laku seperti  perempuan.  Demikian  juga  ibunya  kendati bertingkah  laku sama seperti

lelalki.  Jika  kelak  anaknya  perempuan  akan  menikah  maka  bapaknya  yang  menjadi

wali, meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia

bertingkah seperti lelaki

Cara menentukan status  khuntsa lelaki atau perempuan  dapat  dilihat  dari alat

kencingnya   (mabal),.   Penemuan   cara   oleh   amir   bin   Adi   Dharahal Al   Jahilly   ini

ternyata diberlakukan juga oleh Islam,   sebagaimana hadis danAtsar dibawah ini :

a. Hadits   riwayat Baihaqi dari Al Kalaby dari Abi Saleh dai Ibnu Abbas   berkara :

Nabi  pernah  ditanya  cara  kewarisan  seseorang  yang  baginya  alat  kelamin  lelaki

dan alat  kelamin perempuan,  nabi  menjawab :  ia mewarisi  dari jalan /  caranya ia

kencing.

b. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa nabi pernah ditanya kaum tentang   seseorang

khuntsa dari Ansor, nabi menjawab kepada mereka :

tetapkanlah kewarisannya dari alat mana lebih dulu air kencing keluar.

c.  Diceritakan  dari  Ali,  Jabil  bin   Zaid,  Qatadah,  Said   bin   Al   Musayab  bahwa  nabi

menetapkan kewarisan banci   dari caranya ia kencing.

d.   Said   bin   Mansur menjelaskan   dalam   sunannya   bercerita   kepda   Hasyim   dari

Mughira dari Asy Syaiby dari Ali r.a.berkata :

Muawiyah   pernah   berkirim surat   kepadaku   dan menanyakan   status hukum

khuntsa, maka kubalas suratnya :  Ia mewarisi berdasarkan cara ia kencing.

Menurut  Ibnu  Mundzir, bahwa penetapan kewarisan orang banci menurut cara

/  jalan  kencingnya  adalah  telah  menjadi  kesepakatan  atau  ijmak  para  fuqaha  dan

juga faradliyun.

Bila orang banci talah jelas  status  hukumnya   berarti ia hukumnya lelaki  atau

perempuan,  maka  berlakulah  hukum   lelaki  atau  perempuan  baginya  dalam   segala

hal,  seperti   auratnya,  shalatnya,  perkawinannya,   kewarisannya,  pergaulannya   dan

sebagainya. Dalam hal yang sudah jelas ini sebaiknya dimohonkan putusan

9

Pengadilan   tentang   status   hukumnya   lelaki   atau   perempuan   agar   ada   kepastian

hukumnya  dan  menghindari  sifat  mendua  dalam  pergaulan  dan  j enis  kelamin  yang

sudah  jelas  ini  kemudian  ditegaskan  dalam  kartu  identitas  seperti  KTP,  SIM,  ATM,

dsb.

Jadi   pada   perinsifnya   tidak   sulit   menentukan   bagian   warisan   yang   harus

diterima oleh khuntsa ghoiru musykil,  karena akan ditentukan oleh jenis  kelamin atau

cirri-cirinya  yang  dominan,  jika   yang  dominant   adalah   laki-laki  ,maka   ia  mendapat

bagian  warisan  sama seperti  lelaki  yang  lain,  demikian  juga  sebaliknya.  Jadi  status

Page 10: Problematika Hukum Waria

kewarisannya dengan berpedoman pada indikasi fisik   bukan kepada jiwa, sepanjang

cara tersebut tidak sulit dilakukan.

Bila banci itu sebagai khuntsa musykil maka para ulama berbeda

pendapatnya  tentang  hukum  kewarisannya.  Menurut  kitab  Al   Mawaris  hal  186-187,

kitab   Al   Mirats   fis   Syariatil   Islamiyah   hal.   260-262   dan   Ilmu   Waris   hal   486-688

pendapat tersebut pada garis besarnya ada 3( tiga)   macam, sebagai berikut :

1.  Khuntsa  mendapat  bagian  yang  terkecil  lagi  terjelek  dari  dua perkiraan  bagian

lelaki  dan  perempuan  dan  ahli  waris  lainnya  mendapat  bagian  yang  terbaik  dari

dua perkiraan tersebut diatas ;

Demikian  ini  pendapat   Imam   Abu  Hanifah,   Imam   Muhammad  dan  Abu  Yusuf

dalam salah satu pendapatnya ;.

2.  Khuntsa mendapat  bagian  atas  perkiraan yang  terkecil dan meyakinkan kepada

si  khuntsa  dan  ahli  waris  lain,  kemudian  sisanya  yang  masih  diragukan  ditahan

dulu  sampai status  hukum  khuntsa  menjadi  jelas  atau  sampai  ada  perdamaian

bersama antara ahli waris   (menghibahkan sisa yang diragukan) .

Demikian  pendapat  ulama  Syafiiyah,  Abu  Dawud,  Abu  Tsaur  dan  Ibnu  Janir  Ath

Thobary dan ulama Hanabilah.

3.   Khuntsa   mendapat   separoh   dari   dua   perkiraan   lelaki   atau perempuan   dan

demikian juga ahli waris lainnya;

Demikian pendapat  ulama  Malikiyah,  Hanabilah  dalam  satu pendapatnya,  ulama

Zaidiyah dan Syiah Imamiyah dalam satu pendapatnya.

Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya sama dengan pendapat

gurunya   tetapi   dalam pendapat   yang   lain   ia   sependapat   dengan   pendapat

Malikiyah   dan   Hanabilah   yakni  khuntsa  mendapat   bagian   separoh  dari  jumlah

bagian dua perkiraan lelaki atau perempuan.

Pendapat pendapat tersebut diatas pada dasarnya hampir   ada

persamaannya dalam tekhins/tahapan pembagian sebagai berikut ;

10

a.   Pembagian   harta   waris   hendaknya   ditahan   dulu   sampai   persoalan   khuntsa

menjadi jelas;

b.   Setiap ahli waris,  termasuk khuntsa diberikan  bagian yang telah meyakinkan,

kemudian   sisanya   yang   masih   diragukan   ditahan   dulu   sampai   persoalan

khuntsa menjadi  jelas.  Bila  persoalan khuntsa jelas,  penerimaan  semua  ahli

waris   disempurnakan  dengan menambahkan  bagian   kepada  mereka   yang

berkurang menurut penerimaan yang seharusnya mereka terima.

c.  Bila  sampai  waktu  cukup  tapi  status   khuntsa  belum   jelas   maka  semua  ahli

waris mengadakan   perundingan damai (islah)   untuk   saling   memberikan

Page 11: Problematika Hukum Waria

terhadap  sisa  yang  ditahan.  Sebab  tanpa  perundingan  tidak  ada  jalan  /cara

yang   dapat   mengesahkan/   menghalalkan.   Dan   perundingan   semacam   ini

adalah  boleh/  sah,  kendatipun  menurut  syarat  hibah  itu  harus   diketahuinya

secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan kebutuhan atau dlararat.

d.   Bila   khuntsa   diperkirakan   dengan   salah   satu   perkiraan   menjadi   terhalang,

maka  khuntsa  itu  dilarang  menerima  warisan  (  mahrum  /mahjub).  Dan  bila

salah satu ahli waris terhalang oleh perkiraan khuntsa lelaki atau

perempuan, maka khuntsa tetap terhalang.

5.3. Cara Menghitung   bagian Khuntsa.

Para  ulama  sepakat  dalam   cara  menghitung  bagian   khuntsa  yakni  dengan

memperhatikan dan menghitung sebagai orang lelaki dan kemudian sebagai

perempuan.   Tapi   mereka   berbeda   pendapat   dalam   menerimakan   bagian   khuntsa

setelah diketahui  hasil dari kedua perkiraan tersebut  dan juga mengenai bagian ahli

waris.

Untuk  mengetahui hal  diatas  dibawah  ini  beberapa  contoh  yang  sekiranya

dapat menambah pemahaman uraian diatas :

1. Seorang mati meninggalkan Ibnun dan anak khuntsa.

a.Khuntsa diperkirakan lelaki ;   b.Khuntsa diperkirakan perempuan

Fard AM = 2 Fard AM = 3

Ibnun Ubn 1 Ibnun Ubg 2

Khuntsa 1 Khuntsa 1

Karena kedua masalah  ini  belum  sama  besarnya,  maka  harus  dicari  asal

masalah  yang  dapat  mencakup  kedua-duanya  yang  disebut  asal  masalah Jamiah

(gabungan)   hingga nilai dari kedua perkiraan   itu sama. Untuk mencari asal masalah

jumlah   itu   harus   dilihat   lagi   ketentuan   Tamatsul   (beberapa   suku   bilangan)   yang

11

bersamaan maqaam)  Tabayun (dua  angka  yang  berlebih  kurang tapi  keduanya

tidak  bisa  habis   dan  harus dikalikan  )  Tawafuq  (  usaha  menyamakan  dua  angka

yang berlebih  kurang)  danTadakhal memasukkan bilangan  kecil pada  bilangan  yang

besar  agar  ada  persamaan.  Karena  disini  ada  2  dua  asal  masalah  yakni  2  dan  3

tabayu,  maka  asal  masalah  Jamiah  adalah  6  sebagai  perkalian  2  x  3  =  6jelasnya

sebagai berikut :

a. Khuntsa diperkirakan lelaki

Fard AM = 2 Nisab AM AM Jamiah Bagiannya

Ibnun Ubn 1 3:  2 3 x2=6 1 x 6/2 = 3

Khuntsa 1 Tabayun 1 x 6/2 = 3

Page 12: Problematika Hukum Waria

b. Khuntsa diperkirakan perempuan   :

Fard AM = 3 Nisab AM AM Jamiah Bagiannya

Ibnun Ub 2 3:  2 3 X2= 6 2 X 6/3 = 4

Khuntsa 1 Tabayun 1 x 6/2   = 2

Dengan demikian dalam  perkiraan lelaki  Ibnun mendapat  mendapat  1  x 6/2  =

3   dan   Khuntsa   menerima   1   x   6/2   =   3,   dan   dalam   perkiraan   perempuan   Ibnun

mendapat  2x/6/8  =  4 dan Khuntsa menerima 1x  6/3 =  2.  Jadi bagian  yang  diberikan

kepada ahli waris menurut pendapat diatas adalah sebagai berikut :

1. Hanafiah 2.   Syafiiyah 3.  Malikiyah

Ibnun =4 Ibnun =3 Ibnun = (3+4 ) / 2 = 3,5

Khuntsa   =      2    Khuntsa   =      2    Khuntsa   =      (3+2)      /2      =      2,5      

6 5 6Pas tidak ada sisa sisa 1 ditahan Pas tidak ada sisa

Untuk  lebih  meyakinkan  validitas   pendapat-pendapat  tersebut  diatas,  kiranya  perlu

contoh  lain dari bentuk khuntsa yang lalin,  yakni selain  sebagai  anak seperti  khuntsa

sebagai   saudara dan   sebahgainya   ,   lebih   jelas   lihat   kitab   waris   seperti   Fatchur

Rahman dsb.

6 Hal-hal yang berkaitan dengan khuntsa.

Sesuai dengan sifat  yang ada pada khuntsa dan status hukumnya yang masih

samar,  para  ulama mnghimbau  kepada  khuntsa  (orang  banci)  beberpa  hal  sebagai

berikut :

a.  Khuntsa  sebaiknya  tidak  makmum   dibelakang  khuntsa  lainnya  atau  dibelakang

perempuan.

b. Khuntsa sebaiknya tidak menjadi wali nikah;

12

c.  Khuuntsa  sebaiknya  tidak  dihitung  sebagai  bilangan  shalat  jumat  dan   demikian

juga  sejumlah  40  orang   khuntsa  didalam   suatu  tempat  tidak  perlu  mendirikan

jumatan sendiri.

d. Khuntsa sebaiknya tidak menjadi hakim/imam;

e. Khuntsa   sebaiknya tidak usah dikhitan (sunat);

f.  Bila  khuntsa  meninggal  dunia  sebaiknya  tidak  dimandikan  oleh  orang  perempuan

atau lelaki lain kecuali kerabatnya;

g.  Khuntsa yang haidnya tidak normal dianjurkan pada waktunya datang bulan untuk

berhati-hati dalam  beberapa hal seperi tidak beriktikaf  di masjid,  tidak melakukan

hubungan seksual dengan suaminya dan wajib mandi setiap akan sholat wajib.

i.   dan lain sebagainya

Page 13: Problematika Hukum Waria

7. Dari segi kemasslahatan umum  (operasi kelamin).

Pada prinsifnya Allah Swt  menciptakan manusia hanya  2 dua jenis  kelamin,

yakni  lelaki  dan  perempuan.  Karena  itu  Allah  menjelaskan  hukum   perkawinan  dan

hukum   kewarisan orang  lelaki dan  perempuan  sejelas-jelasnya didalam   ayat  al

Quran  maupun hadits,  keberadaan  orang  banci  atau  khuntsa  adalah  juga  ciptaan

Allah   yang   tidak   sia-sia   dan   pasti   ada   hikmanya,   dan   baru   sedikit   yang   bisa

diungkapkan

Tidak seorang pun didunia ini yang menginginkan   hidupnya   sedih menderita

tidak sejahtera bahagia, baik   lelaki   maupun perempuan, dan termasuk khuntsa yang

keadaannya   tentunya   tidak dikehendaki   olehnya.   Demikian   juga kedudukannya

sebagai mahkluk sosial dan dimuka hukum adalah sama yakni lelaki atau

perempuan.

Untuk menghindari kevakuman hukum  ini   para sarjana hukum  Islam  (Ulama)

berusaha   dan   berijtihad   untuk   mengatasi   hukumnya.   Ijtihad   mereka   bertitik   tolak

kepada   ketentuan   yang   ada   yaitu   dengan   mengidentikannya   dengan   lelaki   atau

perempuan, dengan cara :

a.   Meneliti alat kelamin yang dilalui air  kencing.

b.  Meneliti tanda kedewasaannya, seperti cirri-ciri yang spesifik bagi orang   lelaki dan

atau cirri-ciri yang spesifik   bagi perempuan.

Bila  dengan  2  (dua)  cara  seperti  diatas   tidak  bisa  jelas,  maka  ia disebut

munsykil. Ini   berarti munsykil juga status hukumnya.

Dengan  demikian   timbul  pertanyaan  bagaimana  usaha dan   cara   yang   baik   agar

kehidupan   damai   tenang,   dan   jelas   hukumnya,   bahwa   khuntsa itu   lelaki   atau

13

perempuan  dan pergaulan  hidupnya  juga  jelas,  hukumnya   jelas perkerjaan   dan

profesinya jelas dan hak kewajiban juga jelas

Dalam   hal   seperti   ini,   maka   alternatif   lain   seperti   operasi   kelamin   patut

dipertimbangkan untuk kemaslahatan umat, yakni untuk khuntsa itu sendiri,

keluarganya dan masyarakat serta bangsanya, dan ini lebih baik dari pada

membiarkan  keadaanya  seperti   sekarang   ini,   yang   tidak  jelas   statusnya  sehingga

dalam pergaulan mereka disiang hari kadang berbeda dengan dimalam hari  dan  cara

berpakaian   serta   berhias   yang   selalu   berpindah   dari   laki   keperempuan   dan   atau

sebaliknya,  yang  hal  semacam  ini  dibenci  Allah  dan  RasulNya,  sebagaimana  Nabi

sabda. Artinya :

Allah mengutuk  orang  lelaki yang  bertingkah  laku seperti perempuan dan

mengutuk   perempuan   yang bertingkah laki   seperti lelaki   H.R.  Ahmad.

Kaidah  hukum  menjelaskan bahwa boleh tidaknya  sesuatu  hal  tergantung

Page 14: Problematika Hukum Waria

juga  pada besar  kecilnya  nafsadah  atau  maslahah  yang  ada.  Bila  operasi  kelamin

(contoh)  ternyata lebih besar  membawa kebaikan (manfaat)  dari   pada madharatnya

(keburukan)  seperti tentang kejiwaannya,  agamanya,  sosial kemasyarakatannya,  jati

dirinya dan kehormatan dirinya, maka dalam hal ini operasi kelamin boleh

hukumnya,  dan demikian   sebaliknya,  bila   ternyata operasi kelamin akan   membawa

dampak   negative   yang besar   dari   pada   keadaannya   sekarang, maka   operasi

kelamin   dilarang hukumnya.

Oleh karena   masalah operasi   kelamin  itu adalah   masalah kedokteran maka

untuk hal ini harus didengar  pendapat ahli kedokteran tentang operasi kelamin.

Operasi   kelamin   adalah   tindakan   perbaikan   atau   penyempurnaan   kelamin

seseorang  karena terjadinya  kelainan  sejak lahir  atau karena penggantian jenis

kelamin.

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 (tiga)  bentuk operasi   kelamin yaitu :

a.  Operasi   perbaikan atau  penyempurnaan  kelamin yang dilakukan   terhadap orang

yang  sejak  lahir  memiliki cacat  kelamin,  seperti penis  atau  vagina  yang  tidak

berlubang.

b.  Operasi  pembuangan  salah  satu dari  kelamin  ganda   yang  dilakukan  terhadap

orang   yang sejak lahir memiliki   2 (dua)  jenis kelamin yaitu penis dan vagina.

c. Operasi penggantian jenis   kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir

memiliki kelamin normal

Permasalahan  penggantian  kelamin  yang  muncul  di  abad  modern  ini  belum

dikenal dalam abad klasik dan   pertengahan, sehingga   pembahasan hukumnya tidak

dijumpai dalam  kitab kitab fiqih tempo dulu.  Jenis  operasi yang dijumpai  dalam  kitab

14

fiqih  klasik,  menurut  Nuruddin  Atar  (guru besar  hadits di  Al  Azhar   Cairo)  hanyalah

pembedah  perut  mayat  yang  semasa  hidupnya  tertelan  uang  (koin).  Pembahasan

operasi kelamin baru dijumpai dalam fiqih Zaman modern sejalan dengan

perkembangan   dan tehnologi.

Menanggapi  masalah  operasi  kelamin  diatas   pendapat  pakar  hukum   Islam

sebagai berikut :

Hasanain   Muhammad   Makhluf   (   ahli   Fiqih   Mesir),   operasi   kelamin   yang

bersifat  tashih  atau   takmil  (perbaikan   atau   penyempurnaan)   diperbolehkan  secara

hukum bahkan   dianjurkan   jika   kelamin   seseorang   tidak   memiliki   lubang   yang

berfungsi  untuk pembuangan air  seni,  baik  penis   maupun  vagina,  maka  operasi

untuk memperbaiki atau menyempurnakannya menjadi kelamin yang normal

hukumnya   boleh   dilakukan   karena   kelainan   seperti   ini   merupakan   suatu   penyakit

yang harus diobati

Menurut   Prof   Drs.Masyfuk   Zuhdi   (ahli Fiqih   Indonesia)   orang   yang   lahir

Page 15: Problematika Hukum Waria

dengan   alat   kelamin   tidak   normal   bisa   mengalami kelainan   fsihis dan   sosial,

sehingga  biasanya   tersisih  dari  kehidupan  masyarakat  normal  serta  mencari  jalan

sendiri,   seperti   melacurkan   diri,   menjadi   wanita   atau   melakukan homo   seksual,

padahal perbuatan tersebut sangat dikutuk oleh Islam.

Untuk  menghindari  hal  ini,  operasi  perbaikan  atau  penyempurnaan  kelamin

boleh dilakukan karena  kaidah Fiqih.  Artinya ;  Menolak bahaya harus didahulukan diri

pada mengupayakan manfaat.

Maksudnya,  upaya  untuk  menghindari  bahaya  yang  akan diakibatkan  oleh

kelainan kelamin tersebut   lebih baik   dari pada mengusahakan suatu kemaslahatan,

karena   menghindari atau menolak bahaya termasuk suatu kemaslahatan juga.

Jadi   apabila   seseorang   mempunyai alat   kelamin   ganda,   yaitu   penis   dan

vagina,  maka untuk memperjelas  dan mempungsikan salah satu alat  kelaminnya,  ia

boleh  melakukan  operasi  untuk  memiliki  salah  satu alat  kelamin  dan  menghidupkan

/memfungsikan   yang   lainnya   sesuai   dengan   keadaan bagian   dalam   kelaminnya;

Misalnya,  jika  seseorang  mempunyai  penis  dan  vagina,  sadang  pada  bagian  dalam

kelaminnya  ada  rahim   dan  ovarium   yang  menjadi ciri  khas   dan   utama kelamim

perempuan, maka ia boleh mengoperasikan penisnya untuk mempungsikan

vaginanya,   dan dengan   demikian mempertegas   identitasnya   sebagai   seorang

perempuan, dan demikian sebaliknya.

Hal diatas  menurut   Syaikh  Ahmad Syaltut   (Rektor  al  Azhar)  dianjurkan oleh

syariat  Islam,  karena  keberadaan penis yang  berbeda  dengan  keadaan bagian

dalamnya bisa   merugikan   dirinya sendiri, baik dari segi   hukum   agama maupun dari

15

segi kehidupan  sosialnya.  Oleh  sebab  itu  operasi yang dilakukan harus  sejalan

dengan  keadaan bagian dalam  kelamin dan  tidak boleh yang  berlawanan dengan

bagian  dalam  kelamin.  Sebab  operasi  kelamin  yang  berbeda  dengan  bagian  dalam

kelamin   bukanlah   Tahsin   (perbaikan),   tapi   termasuk   Taghyir   atau   Tabdil   yakni

mengubah ciptaan  Allah,  dan  ini  dilarang karena  bertentangan dengan Firman Allah

ayat 30 surah al Rahman.

Operasi   perbaikan   (Tashih)   atau   penyempurnaan   (Takmil)   kelamin   sesuai

dengan   keadaan anatomi   bagian   dalam   kelamin   pada   orang   yang   mempunyai

kelainan   kelamin   atau   kelamin   ganda, adalah   juga   sesuai   keputusan   Nahdlatul

Ulama  Jawa  Timur  yang  diadakan  di  Pondok  Pesanteren  Nurul  Jadid  Probolinggo

tanggal 26-28   Desember   1989.

Oleh  sebab  itu ulama  sepakat  mengharamkan  seseorang  baik  lelaki atau

perempuan yang dilahirkan dengan  alat  kelamin normal yaitu lelaki yang memiliki

penis   dan  wanita memiliki vagina,  rahim   dan  ovarium   untuk melakukan   operasi

penggantian kelamin (Tabdil atau   Taghyir), dengan alasan sebagai berikut :

Page 16: Problematika Hukum Waria

1.  Ayat  13 surah  al  Hujurat,  tentang ketentuan   ciptaan  Allah lelaki  dan  perempuan,

adalah   ketentuan   yang   tidak   boleh   diubah,   dan   seseorang   harus   menjalani

hidupnya sesuai dengan kudratnya.

2.   Ayat 119   surah   an   Nisa,   yang   menjelaskan   syaithon akan   suruh   manusia

merubah ciptaan Allah ;   bahwa ayat ini   menyatakan bila mengubah ciptaan Allah

termasuk   perbuatan syaiton.

3. Hadits riwayat  Ahmad tentang larangan dan kutukan   terhadap al Mukhonitsin,  dan

al Mutarajilat,  menyatakan bahwa  gambaran minimal penyerupaan itu dalam  segi

berpakaian  dan bertingkah laku,  apalagi  jika sampai   pada  penggantian kelamin

maka lebih   keras lagi larangannya

Menurut Wahbah  Az- Zuhaili   (guru besar Fiqh di Universitas   Damascus), jika

selama ini penentuan  bagi khuntsa (waria) hak waris  didasarkan  atas  indikasi   atau

kecendrungan  sifat  dan  tingkah  lakunya, maka  setelah  perbaikan  kelamin  menjadi

lelaki  atau  perempuan, maka  hak  waris  dan  status  hukumnya menjadi  lebih  tegas/

jelas,  yakni   hak warisnya diberikan sama seperti hak lelaki atau   perempuan yang

normal,  tidak  lagi  lebih  kecil  dari  bagian  lelaki  dan  perempuan,  dan  berarti  ia  boleh

kawin seperti lelaki atau perempuan yang normal.

16

8. Penutup.

Demikianlah  problema  hukum   khuntsa  yang  dapat dikemukakan  disini  dan

masih  banyak  hal yang  belum   terungkap.   Semoga  pembahasan  yang  singkat   ini

dapat  menambah  wacana  keilmuan  dan  wawasan  hukum  tentang  khuntsa.  Dan  hal

ini akan   lebih mantap dan mendekati  sempurna bila masalah khuntsa ini dilihat  dari

berbagai  disiplin  ilmu seperti  kedokteran,  sosial,  agama,  hukum   dan sebagainya

secara terpadu.

Dari pembahasan diatas,  kiranya ada beberapa hal  yang  dapat disarankan

/diusulka sebagai solusi dari permasalahan khuntsa sebagai berikut :

1.  Khuntsa (  orang  banci)  hendaknya menentukan atau  diberi   pilihan tentang

status   hukumnya   lelaki   atau   perempuan,   sebab   dia   yang   lebih tahu   tentang

dirinya  itu apakah  dekat  kepada  lelaki atau  lebih  dekat  /wajar  ke  perempuan.

Dalam  hal ini dapat  meminta bantuan ahli kedokteran  (fisik dan kejiwaan dengan

tidak   melupakan   kelamin   bagian   dalam   dan   diproses   ditetapkan   oleh   hakim

/pengadilan.

2.   Penetapan   status hukum   (identitas) oleh   pengadilan   tersebut   setelah   yang

Page 17: Problematika Hukum Waria

bersangkutan melakukan operasi   kelamin   (perbaikan/   penyempurnaan)   dan

bukan Taghyir,  dan  selanjutnya diperintahkan   untuk   memenuhi   hak  /kewajiban

sebagai lelaki atau perempuan.

3.   Atau hendaknya   khuntsa   dimasukkan   dalam   peraturan perundang-undangan

(qonun)  seperti  di   Mesir (UU  No.77  Th.1943  tentang  kitab   UU  Hukum  Waris).

yang  diperbaharui  dengan  UU  No.71  Tahumn  1976,  agar  lebih ada kepastian

hukum   baginya  dan  jelas.  Sebab  bila  tidak  diatur niscaya  mereka  akan  tetap

pada habitatnya, bebas hidup   dan bergaul   tanpa beban   sentuhan hukum.

4.  Bila  sudah  jelas  status hukum khuntsa  lelaki  atau  perempuan  maka  berlakulah

baginya hak-hak dan kewajiban seperti lelaki atau perempuan. Bila   ia   melanggar

dari status tersebut ia haru dikenakan sanksi diisolir /direlokalisasi.

Palembang,   12   Juni 2008   M.08 J.Akhir 1429 H.

.Penulis,

Dja’far  Abd.  Muchit, S.H.  MHI

17

Daftar bacaan :

1. Departemen Agama RI Al Quran dan tTafsirnya, Proyek Pengadaan KitabSuci Al Quran, 1995/1996.

2. Asy Syaukani,  Muhammad   bin Ali   bin Muhammad , Nailul   Authar,  Matbaah AlHalaly,  Mesir 1952/1371

3 Ash Shobuny,  Muhammad Aly,  Al Mawarist fis Syariatil Islamiyah Ala Dlauil KitabWas Sunnah, Syirkah Iqolatuddin,  Makkah Al Mukarromah, 1388 H.

4. Asy Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Badaruddin Ad Dimasqi AlMishry, Syarah Ar Rahbiyah,  Maktabah Muhammad Ali As Shobih

5. As Suyuthy, Jalaluddin Abdur Rahman,  Al Asybah wan Nadhoir,  Beirut, DarulKutub al Ilmiyah,  19979

6. Asy Syaafi’I,  Muhammad bin Idris, Al Um, Darul   Marifah Kitabiyah wan Nasyr,Beirut;

7 Fatchur Rahman, Drs, Ilmu waris, PT. Al Ma’arif, Bandung;8. A Hasan ,  Al Faraidl, Pustaka Progresif, Surabaya;9 Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah Dr, Al  Mirats fis Syariatil Islamiyah,

Muassassatul Risalah, Beirut, 1986/1407 H.10   Kamus Bahasa Arab Al Munjid dan Al Munawir;.11 .Peraturan perundang undangan dalam lingkungan Pengadilan Agama,

Pengadilan Tinggi SAgama, Surabaya 1992;12. Ensiklopedi Hukum Islam.13. Dan lain sebagainya;.

Page 18: Problematika Hukum Waria

18