pertemuan 2 pemetaan
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Maksud dan Tujuan Pemetaan
1.2.1 Maksud
1.2.2 Tujuan
1.3 Ruang Lingkup
BAB II PENGENALAN ALAT
2.1 Alat Ukur Sipat Ruang
2.2 Alat Ukur Sipat Datar
2.3 Alat Ukur Jarak
BAB III PROFIL MEMANJANG DAN PROFIL MELINTANG
3.1 Profil Memanjang
3.1.1 Dasar Teori
3.1.2 Metode Perhitungan
3.2 Profil Melintang
3.2.1 Dasar Teori
3.2.2 Metode Perhitungan
3.3 Tahapan Pelaksanaan
3.4 Pengolahan Data
BAB IV PENGUKURAN SPOT HEIGHT
4.1 Dasar Teori
4.1.1 Cara Trigonometris
4.1.2 Pengukuran Sipat Datar
4.1.3 Kesalahan Pengukuran Sipat Datar
4.1.4 Cara Penentuan Beda Tinggi dengan Alat Sipat Datar
4.2 Metode Perhitungan
4.3 Tahapan Pelaksanaan
4.4 Kontur
4.5 Pengolahan Data
BAB V POLIGON5.1 Maksud dan Tujuan
5.2 Pengertian Poligon
5.3 Pengolahan Data Poligon
5.4 Tahapan Pelaksanaan
5.5 Contoh Perhitungan Poligon Dengan Excel
5.6 Pengolahan Data
BAB VI PENUTUP
6.1 Analisa
6.2 Kesimpulan
6.3 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BLUE PRINT
8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Secara umum, Ilmu Ukur Tanah merupakan suatu disiplin ilmu yang meliputi
semua metode untuk pengumpulan dan pengolahan informasi tentang permukaan dan
lingkungan fisis bumi. Dengan menganggap bumi sebagai bidang datar, letak nisbi atau
posisi titik-titik baik yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi dapat
ditentukan dengan metode pengukuran dan referensi hitungan.
Hasil dari pengumpulan dan pengolahan informasi tentang permukaan bumi serta
lingkungan fisis bumi tersebut kemudian diplot dan disajikan pada kertas atau bidang
datar dengan ukuran skala tertentu, yang lazim disebut Peta. Dalam proses pemetaan
tersebut digabungkan tiga komponen yang terdiri atas Ilmu, Teknik, dan Seni. Ilmu
merupakan pengetahuan dengan seperangkat teori-teori. Teknik adalah metode
penerapan teori-teori tersebut, sedangkan seni merupakan kemampuan dalam
menghasilkan penggambaran dan penyajian data yang baik dan benar serta berkualitas.
Dengan keterpaduan ketiga aspek tersebut peta yang dihasilkan terlihat baik dan mudah
dimengerti oleh pemakai sebagai sarana informasi, komunikasi, serta keperluan teknis
lainnya.
Untuk dapat membuat peta yang baik kita harus melakukan pengukuran-
pengukuran di atas permukaan bumi yang mempunyai bentuk yang tidak beraturan
karena adanya gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah yang curam. Pengukuran
dapat dibagi atas pengukuran yang mendatar untuk mendapatkan hubungan mendatar
titik-titik yang diukur di atas permukaaan bumi, dan pengukuran tinggi guna
mendapatkan hubungan tinggi antara titik-titik yang diukur (beda tinggi antara dua titik).
Khusus untuk praktikum Ilmu Ukur Tanah II sekarang ini, dilakukan kegiatan
pemetaan berupa pengukuran Sipat Datar Profil dan Spot Height dengan menggunakan
alat Waterpass dan Theodolite9
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN PEMETAAN
1.2.1 Maksud
Kegiatan pemetaan dimaksudkan untuk membuat gambaran sebagian permukaan
bumi (suatu daerah) beserta lingkungan fisisnya, dimana pada penggambaran tersebut
terkandung informasi tentang relief muka bumi dalam arah potongan tegaknya (profil)
dan tempat-tempat di bumi yang mempunyai ketinggian yang sama (kontur) yang diplot
dan disajikan pada kertas atau bidang datar dengan ukuran dan skala tertentu.
1.2.2 Tujuan
Tujuan pemetaan secara umum adalah untuk memperoleh gambaran/peta yang
dapat memberikan informasi yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan teknis
lainnya seperti untuk perencanaan jaringan jalan, irigasi dan pengairan, perencanaan
kompleks perumahan dan pemukiman, perencanaan bendungan, perencanaan
terowongan, perencanaan perpipaan untuk air bersih dan buangan dan lainnya.
Sedangkan secara khusus sebagai kegiatan dari praktikum Ilmu Ukur Tanah II, pemetaan
ini bertujuan untuk mempraktekkan teori-teori dan metode yang diperoleh dari bangku
kuliah sekaligus membiasakan diri dengan alat, kondisi, dan situasi di lapangan.
1.3 RUANG LINGKUP
Dalam pemetaan ini, daerah yang dijadikan objek untuk dipetakan adalah daerah
sekitar Kampus Universitas Andalas Limau Manis. Pelaksanaannya dibagi dalam
beberapa tahap, yaitu:
1. Orientasi lapangan dan persiapan pengukuran;
2. Proses pengumpulan data, meliputi:
a. Pengukuran Spot Height
b. Pengukuran Sipat Datar Profil
3. Proses Pengolahan data, mencakup:
a. Hitungan kontur
b. Hitungan profil memanjang dan profil melintang
4. Proses penyajian data, mencakup:
a. Penggambaran10
b. Proses Kartografi
c. Penyajian dalam bentuk laporan
BAB II
PENGENALAN ALAT
2.1 ALAT UKUR SIPAT RUANG
Dengan alat ukur sipat ruang (Theodolite) kita dapat mengukur sudut-sudut dua
titik atau lebih dan sudut curaman terhadap bidang yang horizontal pada titik
pembacaan. Dengan alat ini kita akan mendapatkan suatu sudut horizontal dan sudut
vertikal.
Ketelitian pembacaan sudut tergantung antara lain dari garis tengah lingkaran
horizontal berskala dan garis tengah lingkaran vertikal berskala menjadi pelengkap
Theodolite.
Secara umum konstruksi Theodolite terdiri dari tiga bagian utama, yaitu:
1. Bagian bawah yang tidak dapat bergerak.
2. Bagian atas yang dapat digerakkan secara horizontal.
3. Bagian Teropong yaitu alat bidik yang dapat digerakkan secara vertical
dan bersamaan dengan bagian atasnya dapat digerakkan secara
horizontal.
Pada Theodolite dikenal tiga macam sistem sumbu, yaitu:
a. Sumbu I, sejajar dengan garis gaya berat (menuju pusat bumi).
b. Sumbu II, sejajar dengan bidang nivo dan tegak lurus dengan sumbu I
c. Sumbu nivo indek (nivo tabung koinsidensi) sejajar dengan garis bidik.
Suatu Theodolite dapat dikatakan dalam keadaan baik atau sempurna dan layak
digunakan untuk pengukuran apabila:
Sumbu nivo aldehid (nivo tabung) tegak lurus sumbu I.
Garis bidik tegak lurus sumbu II.
Sumbu II tegak lurus sumbu I
Sumbu nivo indek (nivo tabung koinsidensi) sejajar dengan garis bidik atau
koinsidensi, bila garis bidik di stel horizontal
11
2.2 ALAT UKUR SIPAT DATAR
Alat ukur sipat datar (Waterpass) ini dirancang konstruksinya sedemikian rupa
sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk mengukur beda tinggi antara dua titik atau lebih
dipermukaan bumi.
Pada alat ukur sipat datar tingkat ketelitiannya tergantung pada kepekaan nivo
tabung dan pembesaran teropongnya. Makin besar jari-jari busur nivo tabung tersebut
maka kepekaannya juga semakin tinggi. Ini berarti alat ukur sifat datar tersebut memiliki
ketelitian yang makin tinggi.
Pada alat ukur sipat datar teliti, umumnya mempunyai nivo tabung koinsidensi
yang dapat memberikan ketelitian lebih tinggi dibandingkan alat ukur sipat datar yang
mempunyai nivo tabung biasa. Pada alat ukur sipat datar teliti pada teropongnya
dilengkapi suatu kaca datar plan – parallel, sehingga pada waktu dilakukan pembacaan
skala rambu ukur yang dibidik menggunakan teropong sipat datar tersebut, dapat
ditaksir lebih tepat.
Pada dasarnya alat ukur sipat datar terdiri dari 4 (empat) bagian utama, yaitu :
1. Teropong, untuk membidik rambu dan memperbesar bayangan rambu.
2. Nivo tabung, diletakkan pada teropong untuk mengatur teropong agar garis
bidik mendatar.
3. Kiap (Lavelling Head/Base Plate), pada bagian ini terdapat tiga buah sekrup dan
nivo tabung yang fungsinya digunakan untuk mensejajarkan sumbu satu (sumbu
tegak) waterpass dengan garis gaya berat.
4. Statip, sebagai penyangga ketiga bagian diatas.
Sedangkan alat Bantu untuk Waterpass adalah:
1. Unting-unting, untuk mengatur agar waterpass centring terhadap patok.
2. Rambu Ukur
3. Pita Ukur atau tali yang telah dibagi persegmen panjang tertentu.
Suatu alat ukur sipat datar dapat dikatakan dalam kondisi baik dan dapat
digunakan dalam pengukuran, bila :
1. Gelembung nivo tabungnya berada tepat ditengah lingkaran pada busur nivo
tabung (berkoinsidensi), maka :
12
Garis bidik harus benar-benar sejajar dengan garis jurusan bidang
nivo.Garis bidik adalah garis yang menghubungkan antara fokus lensa
okuler dengan fokus lensa objektif.
Sumbu 1 (tegak) harus sejajar dengan garis gaya berat.
Garis jurusan nivo harus tegak lurus sumbu tegak
2. Benang diagfragma mendatar harus tegak lurus sumbu tegak.
Garis mendatar pada prinsipnya merupakan garis bidik teropong yang diletakkan
mendatar. Dengan garis bidik tersebut akan didapat bacaan rambu yang ada di depan
waterpass.
Pengukuran sipat datar mempunyai prinsip seperti yang terlihat pada gambar
diatas. Beda tinggi dapat dari selisih nilai tinggi alat dengan nilai benang tengah.
dimana : ∆h = beda tinggi
Bt = benang tengah
i = tinggi alat
.
2.3 ALAT UKUR JARAK
2.3.1 Secara Konvesional
Cara ini menggunakan pita ukur atau rantai ukur. Ada beberapa cara yang harus
diperhatikan bila menggunakan cara ini, yaitu :
Jarak yang diukur adalah jarak mendatar, pita atau rantai ukur harus
dalam keadan tegang dan datar.
Jika jarak melebihi panjang pita, maka pengukuran dilakukan secara
bertahap.
Pengukuran dilakukan pulang pergi untuk satu slag pengukuran.
Gunakan pita ukur dengan baik.
2.3.2 Secara Elektronis
Pengukuran elektronis dilakukan dengan alat EDM (Electronic Distance Meter).
Dengan alat ini diperlukan alat tambahan berupa reflector yang berfungsi
mengembalikan gelombang electromagnetic yang dipancarkan oleh EDM kembali kealat
tersebut agar dapat dilakukan pemprosesan perhitungan jarak. Jadi alat ini memberikan
hasil secara digital dan hasilnya lebih teliti.13
∆h = Bt - i
2.3.3 Metoda Tachymetri
Dalam metoda ini, jarak ditentukan dengan menggunakan prinsip trigonometri.
Prinsip ini didukung oleh data yang didapat dari bacaan benang diafragma pada
theodolit. Jarak ini didapat dengan rumus :
Dimana : Batas = bacaan benang atas (mm)
Bbawah = bacaan benang bawah (mm)
V = sudut vertikal ( º )
2.3.4 Alat Bantu Pengukuran
Ada beberapa alat Bantu dalam pengukuran yaitu :
Statip
Berguna sebagai tempat diletakkannya Theodolite, ketiga kaki statip ini dapat
dinaikkan dan diturunkan dengan cara melonggarkan sekrup pengatur kaki.
Rambu Ukur
Alat ini berbentuk mistar ukur yang besar dengan satuan panjang terkecil adalah
sentimeter, namun ada skala 0 cm. Satu bagian besarnya 10 cm dan ditandai
oleh dua bagian yang terpisah dengan panjang 5 cm dengan demikian panjang
terkecil yang terdapat dirambu ukur adalah 1 cm.
Unting-unting
Unting-unting ini berfungsi untuk menyentring alat ukur yang tidak memiliki alat
penyentring optis. Unting-unting terdiri dari benang yang diberi pemberat.
Kompas
Berguna untuk menentukan arah utara agar memudahkan kita dalam
menyelesaikan pekerjaan terutama alat ukur yang tidak memiliki kompas.
14
D = 0.1 (B atas – B bawah) Sin² V
Gambar 2.1 Statip
Gambar 2.3 Rambu Ukur
BAB III15
1cm
0.5 cm
0.5 cm
Landasan Theodolite
Sekrup Pengunci Theodolite dengan Statip
Sekrup PengunciBagian kaki yag dapat diturun naikkan
pemberat
benang
Gambar 2.2 Unting-unting
pemberat
benang
PENGUKURAN PROFIL MEMANJANG
DAN PROFIL MELINTANG
Pengukuran sipat datar profil dilakukan dengan pembacaan benang tengah pada
rambu sesuai dengan keperluan penggambaran profil. Profil yang diperlukan adalah
dalam arah memanjang dan melintang dari rencana garis proyek yang akan dikerjakan.
Dalam penggambarannya kedua jenis pengukuran profil ini (memanjang dan melintang),
umumnya terdapat perbedaan skala antara ukuran ketinggian dan ukuran mendatar. Hal
ini disebabkan karena faktor ketinggian lebih berpengaruh dalam perencanaan sehingga
memerlukan skala yang lebih besar. Pekerjaan sipat datar profil ini akan memberikan
informasi bagi para perencana dalam hal:
a. Penentuan gradien yang cocok bagi pekerjaan konstruksi;
b. Menghitung volume pekerjaan;
c. Menghitung besar galian dan timbunan yang perlu dipersiapkan.
3.1 PROFIL MEMANJANG
3.1.1 Dasar Teori
Tujuan dari pengukuran profil memanjang adalah untuk menentukan ketinggian
titik-titik di sepanjang garis rencana proyek sehingga dapat menggambarkan irisan tegak
keadaan permukaan tanah di sepanjang garis rencana proyek. Dalam penggambaran
rencana proyek tersebut, diperlukan ketinggian dan jarak mendatar antara titik-titik
yang ada dalam wilayah yang akan dijadikan rencana proyek. Ketinggian tersebut
dihitung dari perbedaan tinggi titik-titik dari titik datumnya (titik referensi hitungan).
Sedangkan jarak mendatarnya diambil untuk setiap jarak-jarak tertentu, misalnya diukur
dengan pita ukur kemudian ditandai dengan patok atau berpedoman kepada tali yang
sudah diberi tanda setiap jarak-jarak tertentu kemudian direntang di sepanjang garis
rencana proyek.
16
Di lapangan, sepanjang garis rencana proyek dipasang patok-patok dari kayu atau
beton yang menyatakan sumbu proyek. Patok-patok ini digunakan untuk pengukuran
profil memanjang.
3.1.2 Metode Perhitungan
1. Hitung jarak optis dengan rumus:
dimana ba : bacaan benang atas
bb : bacaan benang bawah
Z : sudut vertikal zenith
Catatan :
Dalam hal ini, karena waterpass selalu berada dalam keadaan mendatar sehingga
sinus dari sudut zenithnya pun selalu bernilai satu.
Penentuan jarak optis ini dapat juga digunakan untuk mengontrol benar atau
tidaknya pembacaan benang diafragma.
2. Hitung beda tinggi dengan persamaan:
dimana i : tinggi alat
bt : bacaan benang tengah
Karena alat waterpass selalu berada dalam keadaan mendatar (90o) sehingga harga
sin 2Z bernilai 0, maka persamaan di atas menjadi :
17
D = 0,1 ( ba – bb ) sin2 Z
D = 0,1 ( ba – bb )
Δh = 50 ( ba – bb ) sin 2Z + i - bt
Δh = i - bt
Apabila beda tinggi yang diperoleh bernilai negatif (-) berarti titik dimana alat berdiri
lebih tinggi dari titik target. Apabila yang diperoleh nilai positif (+) berarti titik target
yang lebih tinggi.
3. Hitung elevasi/ketinggian (h) masing-masing titik pengukuran
dimana ha : ketinggian/elevasi titik acuan
Δh : beda tinggi dari hasil pengukuran
3.2 PROFIL MELINTANG
3.2.1 Dasar Teori
Pengukuran profil melintang dilaksanakan untuk memperoleh ketinggian dari
deretan titik yang tegak lurus di kiri dan kanan garis rencana proyek. Dalam pelaksanaan
pengukuran, biasanya profil melintang diukur sejalan dengan profil memanjang.
Profil melintang
Profil memanjang
Yang diukur pada profil melintang adalah ketinggian titik-titik detail setiap jarak
sepanjang garis profil melintang, misalnya untuk setiap titik pada jarak 10 m sepanjang
garis profil melintang tersebut. Adapun prosedur pengukuran, perhitungan, dan
penggambarannya sama halnya seperti profil memanjang. Umumnya skala jarak dan
tinggi pada profil melintang dibuat sama.
18
h = ha + Δh
3.2.2 Metode Perhitungan
1. Hitung jarak optis dengan rumus:
dimana ba : bacaan benang atas
bb : bacaan benang bawah
Z : sudut vertikal zenith
Catatan :
Dalam hal ini karena waterpass selalu berada dalam keadaan mendatar sehingga
sinus dari sudut zenithnya pun selalu bernilai satu.
Penentuan jarak optis ini dapat juga digunakan untuk mengontrol benar atau
tidaknya pembacaan benang diafragma.
2. Hitung beda tinggi dengan persamaan:
dimana i : tinggi alat
bt : bacaan benang tengah
Karena alat waterpass selalu berada dalam keadaan mendatar (90o) sehingga harga
sin 2Z bernilai 0, maka persamaan di atas menjadi :
Apabila beda tinggi yang diperoleh bernilai negatif (-) berarti titik dimana alat berdiri
lebih tinggi dari titik target. Apabila yang diperoleh nilai positif (+) berarti titik target
yang lebih tinggi dari alat.
3. Hitung elevasi/ketinggian (h) masing-masing titik pengukuran
19
D = 0,1 ( ba – bb ) sin2 Z
D = 0,1 ( ba – bb )
Δh = 50 ( ba – bb ) sin 2Z + i - bt
Δh = i - bt
h = ha + Δh
dimana ha : ketinggian/elevasi titik acuan
Δh : beda tinggi dari hasil pengukuran
3.3 TAHAPAN PELAKSANAAN
Pada pengambilan data di lapangan/praktikum maka dilaksaakan tahapan
pelaksanaan berikut yang merupakan tahapan pengukuran profil memanjang dan
melintang.
1. Siapkan peralatan dan keperluan pengukuran
2. Tentukan daerah yang akan di ukur (orientasi medan)
3. Dirikan alat pada titik A dan lakukan proses penyentringan alat pada titik tersebut.
Kemudian buat titik ke dua sejauh 10 m dari titik A (misalnya titik B)
4. Lakukan pengukuruan untuk profil melintang, caranya:
Nolkan sudut horizontal ke titik berikutnya (titik B), putar alat sejauh 90˚ (sisi
kanan) lakukan pembacaan benang diafragma setiap kelipatan 2 meter dan titik
ekstrim
Putar alat sejauh 180˚ dari sisi kanan (hingga 270˚ dari titik B), lakukan
pembacaan benang diafragma setiap kelipatan 2 meter dan titik ekstrim
5. Kemudian lakukan pengukuran untuk profil memanjang. Dirikan alat di antara titik
A dan titik B, kemudian baca benang diafragma setiap kelipatan 2 m dan titik
ekstrim, lakukan hal yang sama untuk semua slag
6. Pindahkan alat ke titik B, kemudian lakukan penyentringan alat, nolkan pada titik
A. Buat titik berikutnya (titik C) sejauh 10 m dari titik B dengan sudut tertentu.
Lakukan pengukuran untuk profil melintang dengan cara:
Putar alat sebesar ½ dari sudut yang di bentuk antara garis AB dan
BC. Kemudian dirikan rambu pada kelipatan 2 m. Baca benang
diafragma
Untuk sisi yang lain dari profil melintang tersebut, putar alat sebesar
180˚ dan dirikan rambu pada kelipatan 2 m. Baca benang diafragma
Setelah pengukuran selesai, maka lakukan pengukuran profil
memanjang dengan mendirikan alat diantara titik B dan C kemudian
baca benag diafragma setaip kelipatan 2 m
7. Pindahkan alat pada titik berikutnya (titik C), lakukan hal yang sama seperti pada
titik B20
8. Lakukan hal di atas hingga titik G
9. Prosedur di atas dilakukan pulang pergi (khusus untuk profil memanjang) dan
pengukuran dilakukan hanya pada titik patok (titik A-G).
BAB IV21
PENGUKURAN SPOT HEIGHT
4.1 DASAR TEORI
4.1.1 Cara Trigonometris
Penentuan beda tinggi dengan cara trigonometris adalah penentuan beda tinggi
secara tidak langsung, yaitu beda tinggi fungsi dari jarak mendatar dan sudut vertikal
antar dua titik yang diukur beda tingginya. Jarak mendatar diperoleh dari hasil
pengukuran dengan menggunakan pita ukur, EDM, atau dengan cara lain, sedangkan
sudut vertikal diukur dengan menggunakan alat ukur theodolite.
Setelah didapat jarak datar (D) dan sudut vertikal (Z atau m) dari suatu titik terhadap
titik lainnya dari pengukuran, maka dapat dihitung beda tinggi antara dua ttitik.
atau
dimana D = Jarak mendatar i = Tinggi alat
m = Sudut miring p = Tinggi rambu
Z = Sudut zenith
Catatan :
22
p
D
Δh
m
Z
i
Δh = D tg m + i - p Δh = D Cotg Z + i - p
Perlu diperhatikan bahwa Theodolite ada yang memakai sudut zenith,
misalnya Theodolite tipe TM, Nikon, dan ada yang menggunakan sudut miring, misalnya
tipe Wild T0. Dalam pembahasan selanjutnya, sudut diasumsikan sebagai sudut zenith,
sesuai dengan theodolite yang dipakai dalam pelaksanaan praktikum ini, yaitu tipe
Nikon.
4.1.2 Pengukuran Sipat Datar
Penentuan beda tinggi dengan pengukuran sipat datar merupakan cara yang
paling akurat dibandingkan dengan cara-cara sebelumnya. Untuk selanjutnya,
pembahasan akan diprioritaskan kepada penentuan beda tinggi dengan pengukuran
sipat datar sesuai yang dilaksanakan dalam praktikum.
Metode-metode pengukuran sipat datar yang sering digunakan dalam penentuan
beda tinggi, yaitu:
a. Sipat Datar Memanjang
b. Sipat Datar Profil
c. Sipat Datar Luas
d. Sipat Datar Teliti
e. Sipat Datar Resiprokal
a. Sipat Datar Memanjang
Pengukuran sipat datar memanjang adalah pengukuran sipat datar untuk
penentuan beda tinggi titik kerangka dasar pada suatu kegiatan pemetaan. Apabila di
lapangan, ternyata garis bidik tidak memotong rambu ukur atau jarak antar titik yang
akan ditentukan beda tingginya sangat besar, maka jarak pengukuran perlu diperkecil
dengan cara membagi jarak tersebut mejadi beberapa slag.
Untuk titik-titik kerangka dasar yang berbentuk jaringan poligon terbuka (lepas)
dimana tidak diketahui ketinggian titik awal dan titk akhirnya, pengukuran harus
dilakukan pulang pergi agar didapat harga ketinggian definitif dari titik-titik kerangka
dasar tersebut. Sedangkan untuk titik-titik kerangka dasar yang berbentuk jaringan
poligon sempurna, tertutup, segitiga, dan triangulasi, pengukuran sipat datar boleh
dilakukan sekali jalan saja karena hasil ukuran dapat dikontrol dengan ketinggian titik
awal dan akhir pada pengukuran tersebut.
b. Sipat Datar Profil23
Pada dasarnya profil merupakan irisan tegak/vertikal dari deretan titik-titik di
lapangan yang telah diketahui ketinggian dan jarak datar antara titik-titik tersebut.
Dengan adanya gambaran irisan tegak dari titik-titik tersebut, maka perencanaan letak
dan tata ruang suatu proyek dapat dilakukan seefektif mungkin.
Profil terbagi dua, yaitu:
Profil memanjang
Profil memanjang digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik di
sepanjang garis rencana proyek. Dengan diketahuinya ketinggian titik-titik
disepanjang garis rencana proyek, akan dapat digambarkan irisan tegak
permukaan tanah di sepanjang garis rencana proyek tersebut.
Untuk menggambarkan irisan tegak titik-titik sepanjang garis profil memanjang,
diperlukan ketinggian dan jarak datar antara titik-titik tersebut. Ketinggian titk-
titik itu dihitung dari beda tinggi titik-titik tersebut terhadap bidang datumnya
( titik referensi hitungan ).
Profil melintang
Profil melintang digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik di sepanjang
garis yang tegak lurus terhadap garis rencana proyek sehingga dapat
digambarkan irisan tegak di sepanjang garis tersebut.
c. Sipat Datar Luas (Spot Height)
Sipat datar luas dipakai untuk menentukan atau merencanakan suatu tata letak
(site plane) untuk bangunan pertamanan. Tujuan pokok sipat datar luas yaitu untuk
menggambarkan relief permukaan tanah secara mendetail. Relief permukaan tanah
tersebut akan digambarkan dengan garis-garis khayal yang dikenal dengan garis kontur.
Supaya pekerjaan pengukuran berjalan dengan cepat, sebaiknya alat diletakkan
sedemikian rupa sehingga dapat dibidik sebanyak mungkin titik-titik di sekitarnya. Titik-
titik tersebut kemudian diplot pada kertas gambar/grafik sehingga garis-garis konturnya
dapat dilukiskan.
d. Sipat Datar Resiprokal
Dalam suatu kegiatan pengukuran yang menggunakan alat sipat datar, observasi
untuk jarak pandang yang relatif jauh tidak dianjurkan, mengingat pengaruh refreksi
udara dan kelengkungan bumi. Akan tetapi pada keadaan yang tidak dapat dihindarkan, 24
seperti pekerjaan pengukuran menyeberangi sungai, sehingga observasi harus
dilakukan untuk jarak pandang yang jauh. Pengukuran khusus semacam ini dikenal
dengan nama sipat datar resiprokal leveling.
4.1.3 Kesalahan Pengukuran Sipat Datar
Pada Ilmu Ukur Tanah II, dapat dinyatakan tanpa syarat, bahwa:
Setiap melakukan pengukuran cenderung melakukan kesalahan.
Tidak ada pengukuran yang tepat.
Harga sebenarnya dari suatu pengukuran tidak pernah diketahui.
Kesalahan yang tepat tidak dapat diketahui.
Kesalahan-kesalahan yang biasanya sangat mempengaruhi hasil pengukuran,
terdiri atas:
1. Kesalahan besar (Blunder)
Kesalahan yang terjadi akibat keliru sewaktu mencatat atau mengukur hasil
pengamatan, atau tidak memahami sepenuhnya metode pengukuran sehingga hasil
pengamatan menyimpang jauh dari harga yang dianggap benar. Biasanya untuk
kesalahan ini tidak dapat ditolerir, dengan kata lain pengukuran harus diulang kembali.
2. Kesalahan sistematis
Kesalahan yang terjadi menurut aturan-aturan yang dapat diterangkan sumber,
sipat, dan besar kesalahannya. Umumnya, kesalahan berasal dari kesalahan alat ukur.
Kesalahan ini tunduk pada kaedah-kaedah matematika dan fisika. Untuk menghilangkan
atau menentukan harga kesalahan sistematis dapat dilakukan dengan cara:
Dieliminir langsung di lapangan sewaktu melaksanakan pengukuran
dengan metode-metode pengukuran tertentu;
Dihitung dengan menggunakan rumus matematika tertentu,
kemudian dikoreksi kepada hasil pengukuran.
3. Kesalahan acak (Random)
Kesalahan yang timbul tidak menentu, acak, serta tidak dapat diprediksi
besarnya. Tetapi, hal tersebut dapat diketahui dengan prosedur perataan. Kesalahan ini
tunduk pada teori kemungkinan sehingga dapat ditaksir dengan menggunakan teori
distribusi normal dan metode kuadrat terkecil (Least Square).
Kesalahan dalam pengukuran berasal dari tiga sumber, yaitu:25
1. Kesalahan alamiah
Kesalahan yang timbul disebabkan oleh perubahan angin, suhu, keregangan
udara, refraksi, gaya berat, dan deklinasi magnetik, serta tidak stabilnya meletakkan alat
sehingga mengalami penurunan selama pengukuran berlangsung.
2. Kesalahan alat (Instrument)
Kesalahan in timbul karena penyetelan alat yang tidak tepat atau karena
ketidaksempurnaan konstruksi alat, antara lain:
Kesalahan garis bidik
Kesalahan ini timbul akibat tidak sejajarnya garis bidik dengan garis
jurusan nivo. Walaupun waterpas sudah dirancang sedemikian rupa
sehingga tidak dapat digerakkan dalam arah vertikal. Namun, kesalahan
garis bidik sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran beda tinggi.
Besar pengaruh kesalahan garis bidik terhadap hasil beda tinggi dapat
dihitung dengan rumus:
Δh * = tan α (Db – Dm ) + Δhu
dimana : Δh * : beda tinggi hasil koreksi
Δhu : beda tinggi hasil pengukuran
tan α : kesalahan garis bidik
Db : jarak ke rambu belakang
Dm : jarak ke rambu muka
Agar pengaruh kesalahan garis bidik sama dengan nol haruslah diusahakan
agar:
Db = Dm atau Σ Db = Σ Dm
a ‘ b ‘
26
α α
a b
B
A Db Dm
Kesalahan nol rambu
Bila rambu baik, maka garis nol skala rambu harus berimpit dengan alas
rambu. Karena kesalahan pembuatan, garis nol dapat terletak di atas
alas rambu. Karena seringnya rambu dipakai, maka ada kemungkinan
alas rambu menjadi aus. Hal ini berarti bahwa angka skala letak di
bawah alas rambu.
Kesalahan nol rambu dapat tereliminir langsung di lapangan dengan
cara membagi slag menjadi slag genap. Penempatan rambu secara
selang-seling akan mengakibatkan rambu yang ditempatkan pada titik
awal akan berfungsi sebagai rambu muka pada slag terakhir dan
ditempatkan pada akhir ukuran.
Kesalahan nivo kotak
Untuk menegakkan rambu ukur digunakan nivo kotak yang diletakkan
pada rambu. Apabila gelembung nivo ditempatkan di tengah, rambu
harus tegak. Akan tetapi bila gelembung nivo sudah di tengah tetapi
rambu miring, dikatakan terdapat kesalahan nivo kotak karena salah
mengaturnya.
Kesalahan miringnya rambu
Kesalahan ini disebabkan oleh berdirinya rambu yang tidak vertikal
yang mengakibatkan hasil pengukuran sipat datar tidak lagi benar. Oleh
karena itu, pada waktu pengukuran harus diusahakan selalu agar rambu
27
benar-benar tegak sebab kesalahan akibat kemiringan rambu ini tidak
dapat dieliminir langsung di lapangan
3. Kesalahan pengukur ( Personal)
Kesalahan yang timbul karena keterbatasan manusia, baik dalam melihat,
merasa maupun meraba. Misalnya, dalam pemegangan rambu, pembacaan skala pada
rambu, atau skala pada alat, dan lain-lain
4.1.4 Cara Penentuan Beda Tinggi dengan Alat Sifat Datar
Ada beberapa teknik pengukuran sipat datar diantaranya yaitu:
1. Menempatkan alat diatas salah satu titik yang akan ditentukan tingginya
it
A
BBeda tinggi antara A dan B adalah:
Δh AB = I - bt
dimana I : tinggi alat waterpas
bt : bacaan benang tengah
2. Menempatkan alat sipat datar diantara dua titik yang akan ditentukan
koordinatnya
28
btmt
B
A
Beda tinggi adalah:
Δh = bt - mt
dimana : bt : bacaan benang tengah rambu belakang
mt : bacaan benang tengah rambu muka
3. Menempatkan alat di luar kedua titik yang akan dihitung beda
tingginya.
Teknik ini dilakukan apabila terdapat kendala penempatan alat di
antara kedua titik tersebut.
mt1 mt2
B
A
Beda tingginya adalah:
Δh = bt - mt29
dimana : mt1 : bacaan benang tengah rambu A
mt2 : bacaan benang tengah rambu B
Dari ketiga cara tersebut di atas, yang paling teliti dan memberikan
pengukuran yang lebih baik adalah menempatkan alat sipat datar di
antara kedua titik yang akan ditentukan beda tingginya.
4.2. METODE PERHITUNGAN
1. Hitung jarak mendatar (D) titik-titik grid dengan metode tachymetri:
D = 0,1 ( ba – bb ) sin 2 Z
2. Hitung beda tinggi (Δh), dengan metode tachymetri:
Δh = 50 ( ba – bb) sin 2Z + I – bt
atau untuk pembacaan luar biasa:
Δh = 50 ( ba – bb) sin 2 ( 360 – Z ) + I – bt
3. Tentukan elevasi/ketinggian (h) titik-titik dengan rumus :
h = ha + Δh
dimana ha = tinggi titik dimana alat berada
Catatan:
Untuk pengukuran pulang pergi pada titik-titik ikat, ketinggian yang diambil
adalah ketinggian rata-ratanya.
4.3. TAHAPAN PELAKSANAAN
1. Siapkan peralatan dan keperluan pengukuran.
2. Tentukan daerah yang akan di ukur (orientasi medan).
30
3. Dirikan alat Theodolite pada titik pertama yang telah diketahui ketinggiannya,
misal titik A.
4. Lakukan penyentringan Theodolite dengan bantuan nivo kotak dan nivo tabung.
5. Arahkan alat pada posisi rambu yang diletakkan pada jarak 20 m (misal titik J),
nolkan skala sudut horizontal, kemudian kunci sudut horizontal. Lakukan
pemasangan patok pada setiap kelipatan jarak 2 m.
6. Putar alat sejauh 90˚ se arah sudut horizontal. Kemudian lakukan pembacaan
benang (atas, tengah, bawah) pada setiap kelipatan jarak 2 m sepanjang 20 m
(10 kali pembacaan benang).
7. Pindahkan alat pada titik patok berikutnya (misal titik B). Nolkan alat pada titik
ikat sebelumnya yaitu titik A . Kemudian alat diputar sejauh 270˚ arah horizontal
dan lakukan pembacaan benang (atas, tengah, bawah) pada setiap kelipatan
jarak 2 m sepanjang 20 m (10 kali pembacaan benang.)
8. Setelah pembacaan benang selesai, dengan cara yang sama pada point 7
lakukan juga untuk titik patok berikutnya.
9. Lakukan pembacaan biasa dan luar biasa untuk tiap-tiap titik patok.
4.4 KONTUR
Garis kontur didefinisikan sebagai garis khayal yag menghubungkan titik-titik di
permukaan bumi yang mempunyai titik yang sama terhadap datum tinggi tertentu yang
digambarkan di atas bidang datar. Pembuatan garis kontur merupakan salah satu bagian
penting pada peta untuk menyatakan keadaan relief permukaan bumi.
Garis kontur yang langsung dibentuk oleh alam adalah garis pantai, tepi danau,
atau tepi waduk yang dibentuk oleh permukaan air dengan tepi daratan. Garis-garis
kontur selalu digambarkan dengan interval yang sama, misalnya setiap 1 meter.
Teorinya adalah besar dari interval kontur berbanding lurus dengan skala peta tersebut,
yaitu skala perseribu meter. Namun, ketentuan interval kontur selain tergantung pada
skala peta, juga tergantung pada beberapa hal berikut ini yaitu:
a. Kondisi relief permukaan bumi
Untuk daerah pemetaan yang sebagian besar permukaan tanahnya
terjal dan berbukit-bukit, interval kontur dibuat relatif besar agar
penggambaran garis kontur tidak terhimpit;
31
Untuk daerah pemetaan yang sebagian besar permukaan tanahya relatif
datar atau landai, interval kontur dibuat relatif kecil agar penggambaran
garis kontur tidak terlalu panjang.
b. Keperluan pemetaan secara teknis
Untuk pemetaan daerah yang digunakan dalam perencanaan detail
teknis atau untuk keperluan pekerjaan tanah yang teliti, interval kontur
yang kecil sangat diperlukan;
Pemetaan untuk perencanaan secara luas dan menyeluruh (survey
pendahuluan), maka cukup digambarkan garis-garis kontur dengan
interval yang besar.
c. Waktu dan biaya pembuatan peta
Jika waktu dan biaya yang disediakan terbatas, maka terpaksa
pengukuran dan penggambaran hanya mampu untuk membuat garis-garis
kontur dengan interval yang besar.
Adapun metode-metode pengukuran kontur:
1. Metode langsung
Pada metode pengukuran langsung, titik-titik ketinggian yang sama
dihubungkan oleh garis kontur peta adalah hasil pengukuran langsung di lapangan.
Titik-titik tersebut selain diukur langsung ketinggiannya, juga diukur koordinatnya
dengan cara poligon agar dapat diplot pada peta dan digambarkan garis konturnya.
Metode pengukuran ini memakan waktu yang lama. Oleh karena itu, hanya
diperlukan untuk pekerjaan teknis yang memerlukan ketelitian yang tinggi dengan
daerah pengukuran relatif kecil, misalnya pembuatan waduk.
2. Metode tidak langsung
Pembuatan peta kontur dengan metode tidak langsung dapat dilakukan
dengan beberapa cara,antara lain:
a. Cara radial
Umumnya cara radial digunakan untuk pemetaan situasi topografi pada
daerah terjal, berlembah, dan berbukit-bukit, dan daerah yang banyak
bangunannya (daerah pemukiman). Alat ukurnya adalah theodolite. Detail-
detail topografi yang diukur adalah titik-titik di sepanjang garis radial pada
jarak-jarak tertentu sesuai dengan kebutuhan. Untuk daerah datar tetapi
32
banyak terdapat bangunan di daerah pemetaan tersebut, maka
pelaksanaan pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan sipat datar.
b. Cara profil
Cara profil digunakan untuk pemetaan situasi topografi pada perencanaan
jalur jalan raya, jalan kereta api, dan saluran irigasi. Jika kondisi daerahnya
relatif berbukit-bukit dan terjal, maka pengukuran ketinggian detail
topografi dapat dilakukan dengan metode tachymetri, sedangkan untuk
kondisi daerah relatif datar dapat digunakan metode sipat datar.
c. Cara jalur ( Paralel )
Digunakan pada daerah relatif datar tetapi berhutan lebat. Seringkali terjadi
pada pemetaan situasi topografi dengan cara fotogrametris terdapat
daerah yang tertutup hutan lebat, sehingga pemetaannya dibantu dengan
cara jalur menggunakan pengukuran teritris.
d. Cara kotak ( Kisi/Grid/Rester )
Biasanya digunakan untuk pemetaan situasi topografi pada daerah yang
relatif datar dan terbuka dengan luas daerah yang relatif kecil. Ukuran jarak
antara kisi-kisi biasanya antara 5 m sampai 50 m, tergantung pada
Kondisi relatif tanah;
Skala peta
Keperluan teknis, yaitu:
a. Perencanaan lapangan terbang
b. Perencanaan kompleks perumahan dan kompleks industri
c. Perencanaan stasiun kereta api
d. Perencanaan lapangan olahraga, dll.
Pada pengukuran kontur ini, selain diukur ketinggian titik-titik detail topografi
pada jarak-jarak yang telah ditentukan di sepanjang garis radial, garis profil, garis
jalur/paralel atau pada titik-titik raster, juga perlu diukur ketinggian titik-titik yang
dilaluinya yang menunjukkan unsur-unsur:
Batas-batas tepi tebing dan dasar lembah;
Batas-batas permukaan air pada danau, rawa, dan sungai;
Batas-batas tepi sawah, perkebunan dan kolam;
Batas-batas tepi jalan dan selokan.
33
Cara kotak ini akan menjadi pokok pembahasan selanjutnya sesuai dengan yang
ditetapkan di lapangan.
Sifat-sifat (karakter) Kontur:
1. Garis kontur selalu merupakan suatu loop, kecuali pada batas-batas peta yang
dibuat;
2. Dua garis kontur atau lebih, dengan ketinggian yang berbeda-beda, tidak mungkin
saling berpotongan.
3. Untuk penggambaran garis kontur pada lembah atau dasar bukit karang dan gua-
gua yang tertutup oleh punggung bukitnya, garis kontur digambarkan dengan garis
putus-putus.
4. Semakin miring atau terjal keadaan permukaan tanah, maka gambaran garis kontur
akan terlihat semakin rapat. Dan semakin landai atau datar permukaan tanah, maka
gambaran garis kontur akan terlihat semakin jarang, pada interval dan skala peta
yang sama.
5. Garis kontur dengan ketinggian berbeda tidak mungkin menjadi satu, kecuali pada
bagian permukaan tanah vertikal yang gambarnya pada peta terlihat berhimpit.
6. Garis-garis kontur yang memotong sungai dan selokan, gambarnya pada peta
kelihatan cekung jika dilihat dari hilir ke arah hulu.
7. Garis-garis kontur yang memotong jalan, gambarnya pada peta terlihat sedikit
cembung jika dilihat dari tempat rendah ke arah mendakinya jalan.
8. Garis-garis kontur yang melalui lidah/tebing bukit atau tanjung, gambarnya pada
peta kelihatan cembung jika dilihat dari tempat kerendahan ke arah lekukan
punggung bukit.
9. Dalam hubungannya dengan kejadian alam, dua garis kontur dengan ketinggian yang
sama tidak mungkin menjadi satu dan juga tidak mungkin suatu garis kontur
bercabang, kecuali buatan manusia.
4.5 PENGOLAHAN DATA
34
BAB V
PENGUKURAN SPOT HEIGHT
5.1. MAKSUD DAN TUJUAN
Pengukuran poligon dimaksudkan untuk mendapatkan dan merapatkan titik
ikat pengukuran di lapangan dengan tujuan sebagai dasar untuk keperluan pemetaan
atau keperluan teknis lainnya.
5.2. PENGERTIAN POLIGON
Poligon berasal dari kata poly yang berarti banyak dan gono yang berarti
sudut. Jadi poligon merupakan suatu rangkaian sudut banyak atau deretan titik yang
menghubungkan dua titik tetap (titik triangulasi).
Berdasarkan kepada titik-titik tetap (koordinatnya diketahui) dan bentuk
geometriknya, secara umum poligon dibedakan atas 3 macam, yakni :
1. Poligon Sempurna.
Merupakan poligon yang deretan titik-titknya terikat pada titik-titik tetap
pada awal dan akhir poligon tersebut serta diketahui azimuth awal dan
azimuth akhirnya. Hasil ukuran dapat dikontrol dan diketahui kesalahannya,
melalui proses hitungan perataan.
2. Poligon lepas atau Poligon Tidak Sempurna
35
α awal α akhir
Gambar 5.1 Poligon terbuka dan sempurna
Adalah Poligon yang deretan titik-titiknya hanya terikat pada satu titik tetap.
Dalam hal ini, hasil ukurannya tidak dapat dikontrol atau diketahui
kesalahannya.
3. Poligon Tertutup.
Adalah poligon yang deretan titik-titiknya terikat kepada satu titik tetap
yang berfungsi sebagai titik awal sekaligus titik akhirnya (artinya titik awal
dan titik akhirnya sama). Hasil pengukuran dapat dikontrol dan dikoreksi
kesalahannya.
5.3. PENGOLAHAN DATA POLIGON36
α
α
A
1
2
5
4
3
Gambar 5.2 Poligon terbuka dan tidak sempurna
Gambar 5.3 Poligon tertutup dan sempurna
Pengolahan data dilakukan sesuai dengan tahapan proses sebagai
berikut :
1. Tentukan koordinat awal, azimuth awal, koordinat akhir dan azimuth akhir, jika
harga-harganya tidak langsung diketahui.
2. Hitung salah penutup sudut.
Poligon terbuka
fβ = Σβu - (αakhir - αawal) - (n + 1) 180º
Poligon tertutup
Apabila yang diukur sudut dalam :
fβ = Σβu - (n - 2) 180º
Apabila yang diukur sudut luar :
fβ = Σβu - (n + 2) 180º
3. Hitung harga koreksi setiap sudut.
Vβ = - fβ/n
dengan ;
n = jumlah titik pengukuran.
Pembagian harus merupakan bilangan bulat. Apabila pembagiannya bersisa,
maka sisa tersebut dibagi-bagikan ke sudut-sudut yang mempunyai sisi-sisi
terpendek.
4. Hitung harga definitif setiap sudut.
37
βi = βu + VβI
5. Hitung azimut sisi-sisi poligon.
Biasanya tergantung bentuk poligon. Persamaan umum :
αij = αawal + βi - 180º
αjk = αij + βj - 180º
6. Hitung selisih absis (ΔX) dan selisih ordinat (ΔY) antara titik-titik poligon.
ΔXij = dij sin αij
ΔYij = dij cos αij
7. Hitung salah linier jarak (salah penutup absis dan ordinat ).
fX = ΣΔX - (Xakhir - Xawal)
fY = ΣΔY - (Yakhir - Yawal)
8. Hitung jumlah panjang sisi-sisi poligon.
D = Σdu
9. Hitung koreksi absis (VX) dan ordinat (VY).
VXij = - dij fX / D, misal - fX / D = L
VYij = - dij fY / D, misal - fY / D = M
10. Hitung koordinat definitif titik-titik poligon.
Untuk absis
Xi = Xawal + (ΔXij + L dij )
Xj = Xi + (ΔXjk + L djk )
38
Untuk ordinat
Yi = Yawal + (ΔYij + M dij )
Yj = Yi + (ΔYjk + M djk )
5.4. TAHAPAN PELAKSANAAN
Tahap-tahap pengukuran poligon/kerangka dasar :
1. Tentukan titik target yang menjadi kerangka poligon.
2. Dirikan alat pada titik awal pengukuran dalam kedudukan benar dan sempurna,
pada titik awal sebaiknya alat diutarakan terlebih dahulu.
3. Putar alat searah jarum jam. Untuk setiap titik, pembidikan dilakukan dua kali,
tehadap titik sebelum dan titik berikutnya.
4. Tempatkan alat pada kedudukan biasa, bidik target pertama yang ditemui dari arah
utara searah jarum jam. Lakukan pembacaan benang difragma pada bagian atas,
tengah dan bawahnya. Kemudian catat pembacaan skala vertikal dan skala
horizontal. Untuk pembacaan skala horizontal ini sebaiknya vizier atau teropong
diarahkan langsung ke patok atau titik ( rambu ) terendah yang dapat di bidik.
5. Arahkan vizier / teropong ke titik target berikutnya. Catat bacaan benang diafragma
dan bacaan skala horizontal serta skala horizontalnya.
6. Masih pada titik yang sama, ubah posisi alat dari kondisi biasa ke posisi luar biasa.
Catat bacaan benang diafragma, skala vertikal dan skala horizontalnya.
7. Arahkan kembali teropong ke target pertama tadi. Lakukan pembacaan benang
diafragma serta skala vertikal dan horizontalnya.
8. Untuk keperluan beda tinggi ukur tinggi alat dari permukaan tanah.
9. Kemudian pindahkan alat ketitik selanjutnya. Lakukan hal yang sama dari titik
tersebut terhadap dua titik yang mengapitnya.
39
5.5. CONTOH PERHITUNGAN POLIGON DENGAN EXCEL
DATA PENGUKURAN POLIGON
Titik /
Bacaan Benang Bacaaan Sudut Jarak JarakKeteranga
nT.Ala
tTarge
tAtas
Tengah
Bawah
Bacaan Vertikal
Bacaan Horizontal
Optis
(mm)
(mm)
(mm) (mm) o ' " o ' "Mete
rMete
r
H
1500
1000 500 9013
40
3 4 20100.8
9100.0
0
A150
01000 500
269
46
20
183 4 20100.0
0
1440B
2240
2000 1760 8850
0 111 2 0 47.8 47.98
2240
2000 1760271
10
0 291 2 0 47.98
47.8 47.98
A940 700 460 91
19
20
0 0 0 47.8 47.97
B 940 700 460268
40
40
180 0 0 47.97
1480C
580 400 220 8957
20
344 10 40 36.65 36.00
580 400 220270
240
164 10 40 36.00
36.65 36.00
B570 390 210 89
58
40
255 19 20 36.65 36.00
C 570 390 210270
120
75 19 40 36.00
1535D
1320
1000 680 9036
40
85 19 40 66.21 63.99
1320
1000 680269
23
20
265 19 20 63.99
66.21 65.00
C
1330
1000 670 90 340
35 42 40 66.21 66.00
D131
0980 650
269
56
20
215 42 20 66.00
1410E
1160
1000 840 9115
0 211 9 0 32.09 31.98
1160
1000 840269
45
0 31 9 20 32.00
32.09 31.77
D
1560
1400 1240 8922
20
352 45 40 32.09 32.00
E156
01400 1240
279
37
40
172 45 40 31.10
40
1340F
1520
1000 480 9011
20
254 45 0103.9
7104.0
0152
01000 480
269
49
20
74 45 0104.0
0103.9
7104.0
0
E
1520
1000 480 9017
20
359 20 40103.9
7104.0
0
F152
01000 480
269
42
40
179 20 0104.0
0
1535G
1220
1000 780 9035
40
259 17 0 44 44.00
1220
1000 780269
34
20
79 17 40 44.00
44 44.00
F
1620
1400 1180 9010
0 0 140
44 44.00 B
G162
01400 1180
269
50
0 180 240
44.00 LB
1415H
1240
1000 760 9024
20
210 240
47.87 48.00 B
1240
1000 760269
35
40
30 240
48.00 LB
47.87 48.00
G
1840
1600 1360 8949
40
0 0 0 47.87 48.00 B
H184
01600 1360
270
15
20
180 0 0 48.00 LB
1380A
1510
1010 510 9014
0 25032
0100.8
9100.0
0B
1480
980 480269
46
0 7032
0100.0
0LB
100.89
100.00
Toleransi Jml Ttk f Beta Hasil
0.070710678 8 -0.063888889 OK
41
PENGOLAHAN DATA POLIGON
Sudut Dalam Kor. Sudut Definitif Jarak Azimuth Absis Kor. X Ordinat Kor. Y Koordinat
No Titik Sdt. δx Vx δy Vy X Yo ' " " o ' " meter o ' " meter meter meter meter meter meter
1 A 252 2 20.0 28.75 252 2 48.8 0 0
47.800 128 35 9.0 37.3641 0.0185 -29.8122 0.0046
2 B 15 49 20.0 28.75 15 49 48.7 37.3825 -29.8076
36.650 292 45 20.3 -33.7973 0.0142 14.1763 0.0035
3 C 170 0 0.0 28.75 170 0 28.8 3.5994 -15.6278
66.210 302 44 51.5 -55.6867 0.0256 35.8156 0.0064
4 D 184 33 20.0 28.75 184 33 48.8 -52.0617 20.1942
32.090 298 11 2.8 -28.2852 0.0124 15.1563 0.0031
5 E 98 0 40.0 28.75 98 1 8.8 -80.3345 35.3536
103.970 20 9 54.0 35.8410 0.0402 97.5970 0.0100
6 F 100 3 0.0 28.75 100 3 28.8 -44.4533 132.9606
44.000 100 6 25.2 43.3172 0.0170 -7.7214 0.0042
7 G 149 59 30.0 28.75 149 59 58.8 -1.1191 125.2434
47.87 130 6 26.5 36.6128 0.0185 -30.8389 0.0046
8 H 109 28 0.0 28.75 109 28 28.8 35.5122 94.4091
100.89 200 37 57.7 -35.5512 0.0390 -94.4188 0.0097
9 A 252 2 20 28.75 252 2 48.8 0.0000 0.0000
479.48
42
Salah Penutup Sudut : - 0 3 50 Salah Penutup Absis (fx) :-
0.185276 :
Koreksi Titik Poligon : + 0 0 28.75 Salah Penutup Ordinat (fy) :-
0.046079 :
Kontrol : Kontrol OK !! Koreksi Jarak : Kontrol OK !!
43
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Zulfahmi. 1989. Surveying II. Padang : HMTS Padang
Frick, Heinz. 1994. Ilmu dan Alat Ukur Tanah. Edisi Kedua. Yogyakarta :KanisiusSinaga, Indra. 1994. Pengukuran dan Pemetaan Pekerjaan Konstruksi.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Wongsotjiro, Soetomo. 1980. Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta : Kanisius
44