periwayatan sejarah melayu

66
PERIWAYATAN SEJARAH MELAYU May 2, '08 11:21 PM by Bang Rudy for everyone Bab I Pendahuluan Penulisan Sejarah Dan Budaya Melayu Istilah “sejarah” dalam konteks ini berartti cerita masa lalu berupa “penulisan sejarah” yang merujuk kepada sumber atau karya yang dihasilkan penulis tempatan.Uraian di dalamnya berupa tafsiran masa lampau.Tafsiran dibuat berdasarkan uji dan analisis kritis terhadap data yang diperoleh dari rekaman atau peninggalan masa lalu itu.”Sejarah” dalam uraian berikut tidak terpisah dari “budaya” atau kebudayaan (cultural historiography). Secara terpisah kebudayaan diartikan sebagai hasil karya dan karsa manusia,baik dalam bentuk materiil,buah pikiran maupun corak hidup manusia.Dengan demikian,kebudayaan lebih mengarah kepada cara hidup manusia,baik masa kini ataupun kehidupan masa silam.Bahkan menurut EB.Taylor kebudayaan mencakup aspek yang amat luas,yakni pengetahuan,kepercayaan,kesenian,moral dan adat istiadat dan segala kebiasaan yang dilakukan dan dimiliki oleh manusia sebagai masyarakat. Segala yang diterima dan dipercayai dilakukan secara berkekalan.Secara singkat dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah ajaran atau doktrin yang diamalkan oleh suatu bangsa.Ajaran tumbuh pada dasarnya oleh kehendak mempertahankan hidup,yang bermula bagi dirinya dan seterusnya anak keturunannya secara turun-temurun.Sifat dan bentuknya tergantung dengan kondisi alam tempat hidupnya.Karena itu kebudayaan senantiasa berubah,baik karena disempurnakan ataupun karena bersentuhan dengan kebudayaan lain.Persentuhan dengan kebudayaan lain tidak selamanya dapat memperkukuh kebudayaan suatu bangsa,bahkan dapat memperlemah dan mungkin menghancurkannya. Berkait dengan kebudayaan Melayu,sejarah pertumbuhannya dapat ditelusuri sejak zaman prasejarah.Untuk memperoleh keterangan yang diperlukan dapat mengacu pada dua sumber.Pertama,peninggalan manusia prasejarah serta kebudayaannya masa itu yang meliputi fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditemukan di dalam tanah,melalui penggalian atau ditemukan secara

Upload: alny-cute

Post on 27-Jun-2015

865 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

PERIWAYATAN SEJARAH MELAYUMay 2, '08 11:21 PMby Bang Rudy for everyone

Bab I

Pendahuluan

Penulisan Sejarah Dan Budaya Melayu

Istilah “sejarah” dalam konteks ini berartti cerita masa lalu berupa “penulisan sejarah” yang merujuk kepada sumber atau karya yang dihasilkan penulis tempatan.Uraian di dalamnya berupa tafsiran masa lampau.Tafsiran dibuat berdasarkan uji dan analisis kritis terhadap data yang diperoleh dari rekaman atau peninggalan masa lalu itu.”Sejarah” dalam uraian berikut tidak terpisah dari “budaya” atau kebudayaan (cultural historiography).Secara terpisah kebudayaan diartikan sebagai hasil karya dan karsa manusia,baik dalam bentuk materiil,buah pikiran maupun corak hidup manusia.Dengan demikian,kebudayaan lebih mengarah kepada cara hidup manusia,baik masa kini ataupun kehidupan masa silam.Bahkan menurut EB.Taylor kebudayaan mencakup aspek yang amat luas,yakni pengetahuan,kepercayaan,kesenian,moral dan adat istiadat dan segala kebiasaan yang dilakukan dan dimiliki oleh manusia sebagai masyarakat. Segala yang diterima dan dipercayai dilakukan secara berkekalan.Secara singkat dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah ajaran atau doktrin yang diamalkan oleh suatu bangsa.Ajaran tumbuh pada dasarnya oleh kehendak mempertahankan hidup,yang bermula bagi dirinya dan seterusnya anak keturunannya secara turun-temurun.Sifat dan bentuknya tergantung dengan kondisi alam tempat hidupnya.Karena itu kebudayaan senantiasa berubah,baik karena disempurnakan ataupun karena bersentuhan dengan kebudayaan lain.Persentuhan dengan kebudayaan lain tidak selamanya dapat memperkukuh kebudayaan suatu bangsa,bahkan dapat memperlemah dan mungkin menghancurkannya.Berkait dengan kebudayaan Melayu,sejarah pertumbuhannya dapat ditelusuri sejak zaman prasejarah.Untuk memperoleh keterangan yang diperlukan dapat mengacu pada dua sumber.Pertama,peninggalan manusia prasejarah serta kebudayaannya masa itu yang meliputi fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditemukan di dalam tanah,melalui penggalian atau ditemukan secara kebetulan.Kedua,Suku-Suku Bangsa yang waktu hidup terbelakang.Di Sumatera,khususnya Riau menghadapi persoalan prasejarah yang sulit,terutama dalam usaha memperoleh gambaran tentang asal-usul penghuni pertama,beserta kebudayaannya.Kondisi ini di Sumatera dan Riau pada umumnya hampir tidak ditemukan fosil-fosil dan artefak-artefak yang dapat mendukung ke arah penelitian itu.Hal ini berbeda dengan di Jawa ditemukan ditemukan berbagai fosil dan artefak.Hingga sekarang Sumatera tidak menghasilkan tulang-tulang dari manusia pertama.Kenyataan tidak mengahasilkan suatu bukti,baik tulang belulang maupun sisa-sisa tanaman,untuk menunjukkan sesuatu yang timbul disana sebelum akhir Zaman Pleistosein,10-15.000 tahun yang lalu.Semua penyelidikan geologi yang dilakukan di Sumatera selama abad terakhir tidak berhasil menemukan fosil mamalia prasejarah,seperti yang banyak ditemukan di Jawa.Walaupun di Riau belum ditemukan fosil-fosil dan kurangnya artefak-artefak sebagai sumber utama untuk mendapat keterangan tentang kehidupan manusia pertama di Riau,tetapi para peneliti masih dapat mengambil manfaat terdapatnya suku-suku yang terbelakang yang hidup di beberapa daerah Riau saat ini.Suku-suku yang dimaksud antara lain:Suku Sakai di daerah Minas,Duri,Siak,Sungai Apit;Suku Orang Hutan atau Orang Bonai di Kec.Kuto Darussalam dan Kepenuhan Kampar;Suku Akik di Siberida,Rengat dan Pasir

Penyu;Suku Laut atau Orang Laut di Inderagiri Hilir dan Kepulauan Riau.Masih terdapatnya suku-suku terbelakang di atas memperkirakan adanya gelombang kedatangan nenek moyang itu ke daerah Riau.Gelombang pertama terdiri dari Ras Weddoide(Wedda) yang dating sesudah zaman es terakhir dan Zaman Mesolitikum yang oleh kebanyakan ahli dinyatakan sebagai suku Ras pertama penghuni Nusantara ini.Menurut Va Heekeren,kedatangan ras Wedda ini diikuti pula oleh Ras Melanesia,Austroloida dan Negrito.Mereka mencapai pulau-pulau Nusantara dengan berperahu.2 Sisa dari Ras Weda ini masih terdapat di Riau sekarang ini,yaitu Suku Sakai,Kubu dan Suku Orang Utan,sebagaimana disebutkan di atas.Para ahli mensejajarkan Suku Sakai yang mendiamin daerah Bengkalis dengan suku-suku Senoi di Malaysia,suku Tokeo dan Toela di Sulawesi,sebagai sisa yang termurni dari orang Wedda.Bahkan Setyawati Sulaiman memperkirakan orang Senai di Melaka sebagai sisa yang termurni dari orang Wedda. Di Indonesia menurutnya ciri-ciri orang Wedda itu ada pada orang Sakai di Riau dan Orang Kubu di Jambi dan Palembang.Ciri-ciri mereka antara lain rambut berombak-ombak,warna kulit sawo matang,bertubuh pendek(1,55 meter),dan berkepala “mesocephal”.Kemudian menyusul kedatangan ras rumpun Melayu.Gelombang pertama dating sekitar tahun 2500-1500 SM yang disebut bangsa “Proto-Melayu” atau “Austronesian”Ke Asia menyebar ke Semenanjung Tanah Melayu dan terus ke bafian barat Nusantara.Mereka adalah pendukung Kebudayaan Zaman Batu (Neolitikum) atau yang mencerminkan kehidupan manusia dalam zaman Neolithic.Pada masa itu manusia telah mampu menghasilkan bahan makanan dengan cara bertani.Keturunan mereka banyak tinggal di pedalaman Kepulauan Melayu,dan di Riau diidentifikasikan sebagai suku Talang Mamak dan suku Laut.Gelombang kedua terjadi sekitar tahun 300 SM,disebut Deutro Melayu.Kedatangan mereka menyebabkan terdesaknya suku Proto-Melayu,sehingga memaksa terdesaknya suku Proto-Melayu,sehingga memaksa mereka pindah ke daerah pedalaman,dan sisanya bercampur dengan pendatang baru.Dalam proses selanjutnya,suku Deuto Melayu yang berasimilasi dengan pendatang terdahulu serta dengan orang-orang yang datang kemudian,menurunkan generasi yang hidup sekarang ini.Keturunan mereka itu yang pada umumnya mendiami Nusantara (Asia Tenggara),khususnya di Kepulauan Melayu.Setelah masuknya Islam di wilayah ini,identitas Melayu menemukan jati dirinya.Istilah “Melayu” di dalam tulisan ini digunakan untuk menunjuk kepada suku bangsa yang mendiami wilayah-wilayah Islam di Indonesia,Malaysia (Semenanjung),Pathani (Thailand Selatan) dan Mindanao (Filipina Selatan).Dalam cakupan wilayah demikian,juga disamakan pengertiannya dengan Asia Tenggara atau Nusantara yang mencakup wilayah yang sama pula,tidak tebatas pada wilayah kepulauan yang kini masuk kekuasaan Republik Indonesia.Dalam konteks yang terakhir sekali,istilah Melayu merujuk secara terbatas kepada Semenanjung Malaysia.Inilah yang disebut V.Matheson dan B.W.Andaya sebagai Melayu dalam arti sempit,yaitu negara(wilayah) yang melanjutkan dan mewarisi tradisi Melaka.Ciri yang paling akrab adalah adanya bahasa yang sama,yaitu bahasa Melayu.Sebelum Islam,Melayu dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang menggunakan bahasa tertentu yang disifatkan sebagai salah satu bahasa daerah.Dengan kepercayaan terhadap Hindu-Buddha,mereka tersebar di seluruh Asia Tenggara dengan cirri-ciri budaya dan keagamaan yang sama.Setelah Islam masuk dan berkembang,kawasan ini menjadi suatu rumpun yang memiliki identitas berbeda dari segi keagamaan .Identitas rumpun ini menjadi jelas,setelah Islam memilih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa penyebaran agama Islam di kawasan ini.Dengan demikian bahasa Melayu yang dahulunya merupakan salah satu bahasa daerah dan bersifat

pinggiran diangkat menjadi bahasa yang mampu membicarakan persoalan ilmiah dan rasional,dan bangsa yang mendukung bahasa tersebut turut terangkat derajatnya bersama bangsa Melayu.Setelah Islamisasi meluas di Nusantara istilah Melayu ini digunakan untuk semua rumpun di Nusantara,sehingga ia dikenal pula sebagai”Alam Melayu” atau “Dunia Melayu”.Karena itu,dari segi istilah Melayu disinonimkan dengan istilah-istilah Islam,Melayu dan Jawi merupakan rangkaian kata yang berhubungan rapat.Contoh,istilah masuk Islam sering dikatakan masuk Melayu,kitab Jawi tidak lain adalah kitab bertuliskan Arab-Melayu.

Bab IIDefinisi Melayu

Pengertian orang mengenai Melayu sering saja keliru dan dicampurbaurkan.Hal ini disebabkan karena Melayu oleh karena pengertian “Bahasa” ada karena pengertian “Ras” dan ada pula karena pengertian etnis sukubangsa dan kemudian dalam pengertian umum”sesama agama Islam”.Maka mau tidak mau haruslah kita telusuri kembali sejauh mungkin apa yang dicatat oleh sejarah.Orang Melayu mendiami wilayah:Thailand Selatan,Malaysia Barat dan Timur,Singapura,Brunei,Kalimantan Barat,Temiang (Aceh Timur),pesisir Timur Sumatera Utara,Riau,Jambi danPesisir Palembang.

Asal Usul Nama Melayu

1.Berdasarkan Mitos Bukit Seguntang

Berdasarkan pembahasan tradisi Melayu,kedudukan raja dan kerajaan dipandang sebagai anugerah yang datang dari atas dan karena itu dianggap suci.Kesucian itu di buktikan dengan mitos asal usul raja yang dikaitkan erat dengan seorang tokoh yang dianggap sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain.,yaitu Sang Sapurba.Raja Iskandar Zulkarnain atau lebih dikenal sebagai Alexander The Great merupakan tokoh agung yang memiliki kerajaan yang terbentang dari Eropa hingga ke Asia sehingga keberhasilannya menjadi inspirasi bagi Napoleon Bonaparte bahkan Adolf Hitler,di kemudian hari.Hal itu menjadi sanjungan serta kebanggaan bagi keturunannya,sehingga menjadikannya sebagai asal usul keturunan Raja-Raja besar,termasuk kemaharajaan Melayu. Dalam bukunya,Sejarah Melayu,Suatu Kajian Aspek Pensejarahan Budaya Kuala Lumpur,Harun Daud mengidentifikasikan Iskandar Zulkarnain sebagai Alexander The Great dari Macedonia.Di situ dikatakan bahwa”…Raja Iskandar anak Raja Darab (Darius),Rum (Romawi) bangsanya,Macedonia negerinya,Zulkarnain gelarnya…”Dalam buku Shorter Encyclopedia Of Islam disebutkan bahwa gelar “Zulkarnain” dalam literatur Arab diberkan kepada beberapa tokoh,termasuk Ali Bin Abi Thalib.Akan tetapi paling banyak di berikan kepada Alexander The Great. Ketika Sang Sapurba muncul di Bukit Seguntang Mahameru,ia bersama saudara-saudaranya menjelaskan bahwa kehadiran mereka dengan kata-kata:”Kami ini bangsa manusia,asal kami dari Raja Nusyirwan Adil,Raja Masyriq dan Magrib,serta pancar kami dari Raja Sulaiman Alaihissalam”.Selanjutnya disebutkan dalam Sejarah Melayu (Sulatat Al Salatin) ,ia lahir di alam Dika dan disanalah ia memperoleh “mahkota koderat” sebagai bukti asal-usulnya sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain.Ketika sampai di Bukit Seguntang,ia diminta oleh dua orang petani agar membuktikan kesaktiannya.Waktu itu juga ia membuat padi berbuah emas,berdaun perak dan berdaun

tembaga.Sementara itu di tempat lain,yaitu Pulau Bintan terdapat seorang Raja perempuan yang bernama Wan Seri Beni (Benai),setelah beberapa lama Sang Sapurba menjadi raja di Bukit Seguntang ia berangkat ke Bintan melalui Tanjung Pura. Setiba di Bintan ia menikahkan anaknya,Nila Utama dengan seorang Puteri dari Ratu Seri Beni tersebut.Nila Utama menetap di Bintan dan menjadi raja di sana.Kemudian dengan bantuan Ratu Bintan,Nila Utama mendirikan kerajaan di Singapura,dengan memakai gelar Sri Tri Buana.Di Singapura dinasti Sri Tri Buana berlanjut selama 32 tahun sampai pada masa cicit nya,yaitu Iskandar Syah yang pada masa pemerintahannya Singapura diserang Majapahit sehingga ia melarikan diri ke Muar.Setelah itu ke Bertam.Di Bertam itulah dia mendirikan kerajaan Melaka.

2.Nama Melayu Berasal Dari Kerajaan Melayu Purba

Menurut berita yang ditulis di dalam Kronik Dinasti Tang di Cina,sudah tertulis nama kerajaan di Sumatera yang ditulis pada tahun 644 dan 645 Masehi.Seorang Pendeta Buddha Cina yang bernama I-Tsing dalam perjalanannya ke India pernah bermukim di Sriwijaya (She Li Fo She)untuk belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan.Menurut tulisannya,dari sini ia menuju Mo Lo Yue dan tinggal selama 6 bulan pula sebelum berangkat ke Kedah dan ke India.Dalam perjalanan pulang kembali ke Cina tahun 685 M ia singgah lagi di Mo Lo Yu yang ternyata sudah menjadi bagian dari She Li Fo She.Rupanya Kerajaan Melayu itu sudah di taklukkan ataupun menjadi satu dengan kerajaan Sriwijaya (antara tahun 645-685 M) menurutnya ,perjalanan pelayaran dari Sriwijaya ke Melayu ditempuh selama 15 hari dengan menggunakan kapal layar yang sederhana.Dimana letak pusat kerajaan Melayu itu banyak sarjana Sejarah berbeda pendapat,tetapi kebanyakan menetapknnya berada di hulu sungai Jambi(sungai Batanghari).Memang dalam eskavasi kepurbakalaan akhir-akhir ini,banyak sekali ditemukan reruntuhan candi,patung-patung dan peninggalan kepurbakalaan lainnya yang cukup tua usianya.Di dalam mitologi orang Melayu seperti tertera di dalam “Sejarah Melayu”,turunnya Sang Sapurba bersama ke-2 saudaranya adalah ditempat yang disebut “Bukit Seguntang Maha Meru” di hulu Palembang,namun di puncak bukit tersebut terdapat makam kuno yang dipercayai makam Datok Tenggorok Berbulu,yang mengingatkan kita akan salah satu nama Dewa Siwa yaitu Nelakantha (Si Leher Hitam).Apabila kita mengikuti pendapat dari Prof.Dr.J.G.Casparis,maka kerajaan Melayu yang telah ditaklukkan Sriwijaya itu sesuai dengan prasasti yang berisi kutukan di Karang Berahi.Menurut De Casparis,sekitar akhir abad ke-11 sampai tahun 1400 M kerajaan Kelayu itu telah pulih kembali.Bahkan untuk menangkis bahaya dari Sriwijaya Kerajaan Melayu itu bekerjasama dengan Kerajaan Jawa Singosari sehingga Kerajaan Jawa itu mengirimkan balatentara yang besar menghancurkan Sriwijaya yang disebut dengan Ekspedisi Pamalayu (1275 M),dan dikirimkannya arca Amoghapasa Lokeswara (1286 M) di Padang Roco,pengiriman itu disambut oleh rakyat Melayu secara gembira bahkan oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.Di belakang Arca itu kemudian ditulis prasasti Raja Adityawarman (1347 M).Yang kemudian melanjutkan Kerajaan Damasraya (Melayu) itu.Baik Kerajaan Damasraya (melayu) maupun kerajan Sriwijaya menggunakan bahasa dan aksara Melayu Kuno ,sebagai contoh nya adalah Prasasti Boom Baru (Pinggiran Sungai Musi) yang berasal dari akhir abad ke-7 M.Kemudian Kerajaan Melayu yang berpusat di hulu sungai Jambi itu pindah ke wilayah Minangkabau (suruaso),Raja Asityawarman tidak pernah menyebut kerajaannya itu sebagai Kerajaaan Minangkabau,tetapi sebagai “Kanakamedinindra Suwarnabhumi” yaitu Penguasa

Negeri Emas,yang dulunya dikuasai Sriwijaya dan Melayu.Setelah masa pudarnya Sriwijaya dan Melayu (Jambi dan kemudian di Pagarruyung) karena serangan dari Jawa,maka orang Jawa menguasai kehidupan di Palembang dan Jambi seperti yang dilaporkan penulis Portugis Tome Pires,dalam bukunya,Summa Oriental:”Jambi kini di bawah Patih Rodim,Raja Demak.Penduduk Jambi sudah lebih mendekati penduduk Palembang yaitu lebih ke-Jawa-annya daripada ke-Melayuan-nya”.Tapi bagaimanapun Bahasa Melayu yang menjadi Lingua Franca di Nusantara sejak disebarkan oleh Imperium Sriwijaya dan Melayu sejak abad ke-6 M itutermasuk adat-istiadat raja-rajanya yang di bawa Parameswara ke Melaka ditahun 1400-an telah memperkuat jati diri Melayu.Setidaknya sekarang ini orang Jambi dan Palembang masih disebut sebagai “Orang Melayu”.Mengenai asal usul nama “Melayu” itu Prof.Dr.R.C.Majumdar mengatakan bahwa ada satu di India bernama Malaya dan Orang Yunani menyebut mereka Malloi dan ada lagi nama gunung Malaya.Banyak lagi nama-nama tempat di Asia Tenggara dan Nusantara yang berasal dari India.Bahkan pada suku Karo ada Marga Sembiring yang berasal dari India.

3.Definisi Melayu berkaitan dengan masuknya Islam tahun setelah 1400 M

Setelah pusat Imperium Melayu berada di Melaka 1400 M dan Parameshwara di-Islamkan oleh Syekh dari Pasai,maka sejak itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam yang disebarkan dari Melaka ke segenap penjuru di Nusantara.Penyebaran melalui rute dagang ini sambil diikuti perkawinan dengan puteri raja setempat,bukan saja membentuk masyarakat Islam tetapi juga membentuk “Budaya Melayu”,sehingga kita lihat pada masa kedatangan orang Barat kemari telah terbentuk kerajaan-kerajaan maritime di sepanjang kuala-kuala sungai di pesisir timur Sumatera dan Kalimantan serta di Thailand Selatan,bahkan sampai di Jayakarta dan Indonesia Timur.Sejak itu terbentuklah definisi jatidiri Melayu yang baru yang tidak lagi terikat kepada faktor genealogis (hubungan darah) tetapi dipersatukan oleh faktor cultural (budaya) yang sama,yaitu kesamaan dalam beragama Islam,berbahasa Melayu dan beradat-istiadat Melayu.Berikut pengertian orang Melayu menurut kesepakatan para ahli-ahli Barat:”Orang-orang Melayu (Malaios) adalah orang Islam dengan bahasa Melayu,mempunyai kebiasaan mempelajari bahasa mereka tetapi juga berusaha memperluas pengetahuan mereka dan juga mempelajari bahasa Arab.Suka mengembara,suatu ras yang paling gelisah di dunia,suka mendirikan kampung-kampung namun dengan mudah meninggalkannya.Mereka bersih dan berketurunan baik,sangat gemar akan musik dan sangat berkasih sayang.”

4.Definisi Jatidiri Melayu Menurut J.M Gullick

Menurut J.M Gullick dalam Malay Society In The Late 19th Century,The Beginning Of Change,terbitan Oxford University Press.Singapore 1989,hal 277.Pada orang Melayu ada beberapa nilai (norma) yang menonjol yaitu:a. Adanya konsep status,yaitu senang mengejar status yang lebih tinggib. Bertindak patut menurut adat dan pendapat orang banyakc. Jika menerima malu dapat berbuat amok atau sindirand. Tidak suka berbicara keras-keras dengan tekanan terhadap setiap kata atau kalimat.e. Cenderung bersifat konservatiff. Berpijak pada yang esa

g. Sangat mementingkan penegakan hokum untuk keamanan,ketertiban dan kemakmuran masyarakat.Hal ini banyak dituangkan dalam bentuk adat.h. Mementingkan sekali budi dan bahasa yang menunjukkan sopan dan santun dan tingginya peradaban Melayu.i. Mengutamakan pendidikan dan ilmu.j. Mementing budaya Melayuk. Musyawarah dan mufakat merupakan sendi kehidupan sosial orang Melayul. Ramah tamah dan terbuka kepada tamum. Melawan hanya pada saat terdesak

Menurut pengakuan Vallentijn (1712 M) seorang peneliti Belanda,bahasa Melayu tidak hanya dituturkan di seluruh Nusantara dan juga negeri-negeri Timur,sebagai suatu bahasa yang dikenal dan dimengerti semua orang,ia juga diketahui dan digunakan di Persia,bahkan melampaui negeri dan sampai ke Filipina.Penterjemah beliau bahkan telah mendengar Bahasa Melayu digunakan di jalanan kota Kanton.

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa orang Melayu itu adalah: Melayu adatnya Melayu bahasanya Islam agamanya

Pandangan ini di sempurnakan lagi oleh Ismail Hamid dari Dewan Bahsa dan Pustaka Malaysia yang mengatakan bahwa Melayu itu adalah seseorang yang menganut agama Islam,lazimnya berbahasa Melayu,mengikuti adat-istiadat Melayu.Pandangan ini melahirkan sebutan bahwa orang bukan Islam lalu masuk Islam disebut “Masuk Melayu”.Sebaliknya orang Melayu yang keluar dari agama Islam tidak lagi diakui sebagai orang Melayu,tetapi disebut ”Orang Lain” atau “Budak Asing”.

Bab IIIZaman Kerajaan Melayu

Kerajaan Melayu Hindu (644 M-1400 M)

Kerajaan Damasraya terletak di Bukit Seguntang Mahameru dan didirikan oleh Sang Sapurba,sepeninggal Sang Sapurba yang pergi ke Bintan kerajaan ini di pindahkan ke hulu sungai Jambi dan akhirnya berpusat di Pagarruyung. Kerajaan Bintan Hindu yang dipimpin oleh Ratu Wan Sri Beni Kerajaan Singapura Hindu yang didirikan oleh Sang Nila Utama di Tumasik.

Kerajaan Melayu Hindu berakhir ketika Penguasa Melaka yang bernama Parameswara memeluk agama Islam pada tahun 1400 M dan bergelar Megat Iskandar Syah.

Kerajaan Melayu Islam (1400 M-Sekarang)

Meskipun Sultan Malaka yang pertama yaitu Iskandar Syah telah memeluk agama Islam,agama

Islam justru baru menyebar dengan pesat pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Syah yang masuk Islam setelah melihat seorang Syekh dari maghribi melakukan shalat di pinggir pantai.Pada umumnya banyak terdapat kerajaan-kerajaan Melayu di Semenanjung Malaysia seperti Selangor,Sabah,Brunai dan Tempasok (Terengganu) namun yang menonjol hanyalah kerajaan Melaka,Johor-Riau dan Lingga-Riau.

A.Kerajaan Melaka (1400 M-1511 M)Kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan Sultan,dalam pemerintahan Sultan di Bantu oleh Datuk Bendahara dan dewan permusyawaratan yang disebut Wazir Berempat sedangkan angkatan perang dipegang oleh seorang Laksamana.

Sultan-Sultannya adalah:1.Parameswara,bergelar Sultan Iskandar Syah (1400 M-1424 M)2.Raja Kecil Besar atau Sri Maharaja,bergelar Sultan Muhammad Syah(1424 M-1444 M)3. Sultan Muzaffar Syah (1444 M-1458 M)4. Sultan Mansur Syah (1458 M-1477 M)

B.Kerajaan Johor-Riau (1511 M-1784 M)

Pada tahun 1511 M Portugis datang dan menyerang Malaka akibat serangan ini Sultan beserta perangkat Pemerintahan terpaksa mengungsi dan memindahkan pusat kerajaan dari Melaka ke Johor sehingga Kesultananan ini lebih dikenal sebagai Kerajaan Johor-Riau.

Sultan- Sultannya adalah:1. Sultan Mahmud Syah I (1511 M-1528 M) merupakan Sultan terakhir Kerajaan Melaka sekaligus Sultan Pertama Kerajaan Johor-Riau.Sultan ini sangat gigih dalam usaha-usahanya mengusir Portugis dan memulihkan kedaulatan Kerajaan Melaka.2. Sultan Alauddin Righayat Syah II (1528 M-1564 M) pada masa ini Kerajaan Johor-Riau mendapat serangan dari Aceh.Baginda Sultan beserta istri nya ditawan di Aceh dan meninggal di sana.3. Sultan Muzaffar Syah (1564 M-1570 M) Bekerjasama dengan Portugis untuk menangkis serangan dari Aceh.4. Sultan Abdul Jalil Syah I (1570 M-1571 M) cucu Sultan Muzafar Syah yang ditunjuk langsung menjadi pewaris ini meninggal pada umur 9 tahun diduga karena diracun,berhubung pada saat itu terjadi perselisihan kekuasaan antara Bendahara dan Ibu Sultan.5. Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1571 M-1597 M) Ayah dari Sultan Abdul Jalil Syah I.Sultan ini membantu Pasukan Pati Unus dari Demak dalam usahanya menyerang Portugis di Malaka.6. Sultan Alauddin Righayat Syah III (1597 M-1615 M) Sultan ini tidak mengakui Johor sebagai Kerajaan jajahan Aceh dan akhirnya Johor di serang oleh Aceh.Sultan di bawa ke Aceh namun dikembalikan lagi ke Johor dengan isyarat agar mau menjadi jajahan Aceh.Namun setelah kembali ke Johor Sultan menolak tunduk kepada Aceh dan berkawan dengan Portugis.Akhirnya Sultan ditangkap lagi di Aceh dan dibunuh di sana.7. Sultan Abdul Jalil Syah III (1623 M-1677 M)8. Sultan Ibrahim Syah (1677 M-1685 M)9. Sultan Mahmud Syah II (1685 M-1699 M) sultan ini tidak memiliki putra sehingga

berakhirlah dinasti Sultan-Sultan keturunan Melaka.10. Sultan Abdul Jalil Righayat Syah IV (1699 M-1718 M) sebelumnya adalah Bendahara,namn setelah Sultan meninggal tapi tidak mempunyai Putra akhirnya Ia yang ditunjuk menggantikan Sultan.11. Raja Kecil,bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1718 M-1722 M) Ia mengaku sebagai putera dari Sultan Mahmud Syah II sehingga merasa berhak atas tahta kerajaan.Akhirnya Ia menyerang Johor dengan dibantu oleh Raja Pagarruyung dan menang.Namun 4 tahun kemudian kekuasaannya digulingkan,Ia pun mengungsi ke Senapelan dan mendirikan Kerajaan Siak di sana.12. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1722 M-1760 M)Dalam usahanya menggulingkan Raja Kecil ia dibantu oleh 4 Bangsawan Bugis yaitu Daeng Marewah,Daeng Cellak dan Daeng Perani.Atas jasa-jasanya,pihak bugis minta ikut berkuasa sebagai pemerintah di samping Sultan dengan gelar Yang Dipertuan Muda.Akibatnya kekuasaan Bugis begitu besar dan Sultan hanya tinggal lambang.Bahkan banyak intrik-intrik yang memperebutkan kekuasaan selalu berujung pada meninggalnya Sultan karena dibunuh oleh Pihak Bugis.13. Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah (1760 M-1761 M)14. Sultan Ahmad Righayat Syah (1761 M) kematiannya dicurigai sebagai akibat ada upaya pihak-pihak tertentu yang ingin lebih leluasa berkuasa.15. Sultan Mahmud Syah III (1761 M-1784 M) Pada masa ini Raja Haji Fisabilillah selaku YDM IV melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda yang semakin menekan kerajaan Johor Riau,namun dalam melakukan pejuangannya beliau gugur.Akhirnya Belanda dapat menancapkan pengaruhnya dengan leluasa di Kerajaan Johor-Riau.Hal ini dibuktikan dengan memaksa agar ibukota Johor di pindahkan ke Lingga dengan alasan lebih dekat ke Batavia.Dengan dipindahkannya Kerajaan ke Lingga maka berakhirlah riwayat Kerajaan Johor-Riau.

C.Kerajaan Lingga-Riau (1784 M-1913 M)

Pada masa ini kekuasaan Belanda sudah kuat di kerajaan Lingga-Riau hal ini dapat dilihat dengan penempatan seorang Residen di tanjungpinang yang di maksudkan untuk dapat mengawasi tindak-tanduk Sultan. Sultan sebagai kepala negara berkedudukan di Tanjungpinang sedangkan YDM sebagai jabatan yang turun-temurun dipegang bangsawan Bugis dan berfungsi sebagai kepala Pemerintahan berkedudukan di Pulau Penyengat.

Sultan-Sultannya adalah:1. Sultan Mahmud Syah III (1784 M-1812 M)2. Sultan Abdurrahnan (1812 M-1824 M) Pada masa ini Inggris berebut kekuasaan atas Lingga-Riau dengan Belanda.3. Sultan Abdurrahman II (1824 M-1832 M) Kekuasaan Sultan ini dimulai setelah Traktat London yang membagi dua kekuasaan Lingga-Riau dengan wilayahnya yang ada di semenanjung Malaya diberlakukan4. Sultan Muhammad Syah (1832 M-1834 M)5. Sultan Mahmud Muzafar Syah (1834 M-1857 M)6. Sultan Badrul Alam Syah (1857 M-1883 M)7. Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883 M-1913 M) Sultan ini diam-diam sedang merencanakan perlawanan melawan Belanda,namun rencana nya telah diketahui dan Beliau diturunkan dari tahtanya.Melalui Surat Keputusan Pemerintah Belanda STBL 1913/19 maka

Kesultanan Melayu Lingga-Riau dihapuskan.Dengan ini berakhir sudah kekuasaan Kerajaan Melayu di Indonesia.

Bab IVPenutup

1.KesimpulanDari uraian makalah kami yang berjudul “Periwayatan Sejarah Melayu” ini,dapatlah kita menarik kesimpulan tentang apa,siapa dan bagaimana yang disebut sebagai orang Melayu berikut perangkat-perangkat peradaban yang mewarnai sepak terjang Melayu sebagai salah satu Bangsa di Nusantara.Secara umum yang dimaksud sebagai Orang Melayu itu adalah suatu suku bangsa yang mendiami wilayah Semenanjung Melayu,Sumatera bagian Timur dan Kalimantan Barat.Sedangkan secara spesifiknya,para ahli dan sejarawan telah bersepakat bahwa apa yang dimaksud sebagai Orang Melayu itu adalah mereka yang Beragama Islam,beradat Melayu dan berbahasa Melayu.Hal ini erat kaitannya dengan masuknya agama Islam di sela-sela kehidupan Melayu.Agama Islam meresap dalam setiap perbuatan-perbuatan yang digariskan oleh hukum adat Melayu.Setelah Islam masuk,agama ini menjadi identitas Melayu.Kebiasaan terdahulu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami ditinggalkan,diganti dengan yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.Pengaruh Islam dalam bidang kebudayaan memberikan corak khusus dan menentukan jalan perkembangan kebudayaan material dan rohaniah.Kebudayaan material tercermin dari surau,musholla,mesjid,makam dan nisan-nisan,seni suara dan dan seni tari.Dalam bidang bahasa dan kesusasteraan pengaruh Islam sangatlah kentara.Aksara Melayu yang satu-satunya dikenal adalah aksara yang berasal dari bahasa Arab.Selain itu kehidupan kerajaan di Melayu ternyata memilki pengaruh yang sangat vital dalam lalu lintas perdagangan Nusantara sampai pada masa kedatangan bangsa-bangsa Barat yang mendesak dan memusnahkan kerajaan Melayu tersebut.

2.SaranHendaknya keunggulan peradaban bangsa Melayu pada bidang Bahasa dan Kesusasteraan dapat kita lestarikan dan kita kembangkan sebagai usaha mempertahankan khazanah budaya Melayu.Bangsa Melayu terkenal dengan kerajan-kerajaannya yang gigih berjuang menentang segala bentuk penjajahan yang ada termasuk dari Pihak Belanda,Inggris,Aceh dan Jambi.Walaupun kerajaan-kerajaan Melayu tersebut hanya tinggal peninggalan saja ,tetapi kita harus dapat mengamalkan segala teladan yang baik yang ditinggalkan mereka,karena semangat mereka tetap hidup dalam diri kita.Lagipula bukan tidak mungkin apabila kejayaan Melayu terulang kembali pada masa kini,namun dalam konsep keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

Luckman Sinar SH,Tengku,Jatidiri Melayu,Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya Melayu,Medan,1994.Mahdini,MA,Dr,Raja dan Kerajaan dalam Kepustakaan Melayu,Yayasan Pusaka Riau,Pekanbaru,2003.Mahdini,MA,Dr,Islam dan Kebudayaan Melayu,Daulat Riau Pekanbaru,2003

Pemda Prov.Riau,Dari Kesultanan Melayu Johor-Riau ke Kesultanan Melayu Lingga-Riau,Pemda Prov.Riau,Pekanbaru,1993.

ORIENTALIS DAN SEJARAH INDONESIAAug 13, '09 1:51 AMfor everyone

Sejarah membuktikan, penjajah Belanda datang ke Indonesia bukan hanya mengeksploitasi kekayaan alam. Tapi, mereka juga berharap bisa menghilangkan pengaruh Islam terhadap bangsa Indonesia. Bersama para orientalisnya, kaum kolonial Belanda berusaha memperkecil arti dan peran Islam dalam sejarah Melayu-Indonesia. Dalam bukunya Nederland en de Islam (hlm. 1), tokoh orientalis Belanda, Christian Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Islam baru masuk ke kepulauan Indonesia pada abad XIII setelah mencapai evolusinya yang lengkap. Snouck Hurgronje juga menyatakan dalam bukunya, Arabie en Oost Indie (hlm. 22), bahwa orang Islam di Indonesia sebenarnya hanya tampaknya saja memeluk Islam dan hanya di permukaan kehidupan mereka ditutupi agama ini. Ibarat berselimutkan kain dengan lubang-lubang besar, tampak keaslian sebenarnya, yang bukan Islam. Orientalis lain, J.C. Van Leur, bahkan menyimpulkan bahwa Islam tidak membawa perubahan mendasar sedikit pun di kepulauan Melayu-Indonesia dan tidak juga perabadan yang lebih luhur daripada peradaban yang sudah ada.

Benarkah Islam hanya merupakan penampilan luar dan tidak membawa perubahan mendasar bagi masyarakat Melayu-Indonesia? Snouck Hurgronje datang ke Indonesia pada 1889 di saat umat Islam Indonesia memasuki masa transisi. Akhir abad XIX mulai terjadi kebangkitan agama di kalangan umat Islam. Ketakutan Pemerintah Hindia Belanda terhadap kebangkitan Islam melatarbelakangi pengangkatan Snouck Hurgronje sebagai penasihat pemerintah untuk urusan pribumi dan Islam. Proses Islamisasi di kepulauan Melayu-Indonesia, menurut pakar sejarah Melayu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, mengalami kemunduruan sejak datangnya kolonialisme Barat. Sebagaimana orientalis lainnya, Snouck Hurgronje menilai umat Islam dari praktek-praktek mereka pada saat kemunduran itu, sehingga memberikan pemahaman keliru tentang Islam.

Di mana Islam?

Penggambaran kurang tepat tentang peradaban Islam dalam sejarah Indonesia juga bisa dijumpai pada sejumlah penulis Kristen, seperti T.B. Simatupang dan Eka Darmaputera. Dalam bukunya, Iman Kristen dan Pancasila (hlm. 11), ia menjelaskan, bahwa Indonesia tidak pernah mengalami sebuah kerajaan Islam yang mencakup seluruh Indonesia, seperti di zaman Mogul di India. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya yang Budha dan Majapahit yang Hindu, pernah mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara. "Tetapi, tidak pernah ada jaman Islam dalam arti kerajaan yang mencakup seluruh negeri," tulis TB Simatupang. Begitulah, lanjutnya, dalam arti tertentu, yang menggantikan Majapahit adalah pemerintahan kolonial Belanda dan yang menggantikan yang terakhir tersebut adalah pemerintahan Republik Indonesia.

Tokoh Kristen lain, Eka Darmaputera, dalam bukunya, Pancasila: Identitas dan Modernitas (1997:41), juga membuat paparan yang kurang tepat tentang sejarah peradaban Islam

di Indonesia. Ia mengakui, dibandingkan dengan kebudayaan asli dan Hindu, Islam jauh lebih berhasil menanamkan pengaruhnya pada seluruh lapisan masyarakat. Ia berhasil mencapai rakyat biasa dan menjadi agama dari mayoritas penduduk Indonesia. Namun demikian, ia tidak menciptakan suatu peradaban baru. Sebaliknya, dalam arti tertentu, ia harus menyesuaikan diri dengan peradaban yang telah ada, tulis Eka Darmaputera. Bahkan, untuk mendukung asumsinya tersebut, Eka menunjuk contoh Sunan Kalijaga, yang meskipun sempat memeluk agama Islam, tetapi tetap menjadi Jawa, dan tidak menjadi Hindu atau Islam. Eka menulis, "Ia adalah seorang Hindu, bangsawan Majapahit, tetapi toh bukan itu, sebab Majapahit adalah masa lampaunya. Ia adalah seorang Islam, menjadi Islam di pusat peradaban Islam yang tengah menyingsing pada waktu itu, Demak. Tetapi toh tidak seluruhnya, sebab akhirnya Demak pun ia tinggalkan, bahkan ia memainkan peranan yang penting dalam kekalahannya. Ia pada akhirnya adalah seorang Jawa, yang merangkul semua, tanpa pernah sepenuhnya menjadi salah satu. Di Mataram lah –sebuah Kerajaan Jawa, yang tidak sepenuhnya Hindu maupun Islam— ia memainkan peranannya yang terpenting di dalam mengislamkan Jawa." (hlm. 34).

Tentu saja, cerita Eka Darmaputera tentang Sunan Kalijaga tersebut sulit dilacak kebenarannya. K.H. Saifuddin Zuhri, tokoh NU, dalam salah satu tulisannya tentang Wali Songo memberikan gambaran tentang Sunan Kalijaga yang jauh berbeda dengan gambaran Eka Darmaputera. Sunan Kalijaga adalah seorang yang sangat aktif berdakwah, yang seluruh hidupnya di abdikan hanya untuk menyiarkan Islam. (Lihat, KH Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan Islam di Indonesia, 1981:310-329). Sebuah kisah populer di Jawa –yang banyak dirujuk oleh para sejarawan dalam melihat sejarah Islam, Majapahit, dan para wali adalah Serat Darmagandul.

Buku Darmagandul ini penuh dengan caci maki terhadap Islam dan Wali Songo. Di sisi lain, pengarang Darmagandul (yang tetap misterius sampai sekarang) sejak awal memiliki itikad untuk menampilkan agama Kristen (Nasrani) lebih memiliki keunggulan dibandingkan Islam. Buku ini juga secara sistematis menanamkan kebencian orang Jawa terhadap Islam. Misalnya ditulis: "Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh, ....(Artinya: Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh ...). (Lihat, Anonim. Darmagandul. Cetakan IV. (Kediri: Penerbit Tan Khoen Swie, 1955). Juga, ungkapan Darmagandul, "Kitab Arab djaman wektu niki, sampun mboten kanggo, resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, kitabe Djeng Nabi, Isa Rahullahu." (Artinya: Kitab Arab jaman waktu ini, sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara adalah kitab Kanjeng Nabi Isa Rahullah). Cerita-cerita dalam Darmagandul yang menyudutkan Islam dan mengadu domba antara Islam dengan Jawa ini memiliki banyak kesamaan cerita dengan Babad Kadhiri yang diakui penulisnya ditulis atas permintaan pemerintah kolonial Belanda.

Penulisan sejarah sangat tergantung pada perspektif penulisnya. Simaklah sejarah Kerajaan Majapahit. Sekali-kali perlu dipertanyakan, benarkah sejarah telah membuktikan bahwa Majapahit pernah menguasai seluruh wilayah Nusantara? Prof. Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit, 2009: 47-48). Ada juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai "penjajah",

sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad Soengenep, misalnya, menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita yang mendasari Perang Bubat yang merupakan kesalah an besar dalam diplomasi Majapahit. (Terkait dengan perang Bubat lihat H. J. Van Den Berg, et all, Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia Jilid I: India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia. Cetakan II. (Jakarta ¨C Groningen: J. B.Wolters, 1952).

Islam: Jati Diri Bangsa

Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib Al-Attas menolak keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis, "Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan ke hinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka." (Lihat, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1990:41).

Al-Attas juga menekankan kekeliruan hasil penelitian ilmiah Barat yang meletakkan serta mengukuhkan kedaulatan kebudayaan dan peradaban Jawa sebagai titik tolak permulaan kesejarahan Kepulauan Melayu-Indonesia. "Anggapan seperti inilah hingga dewasa ini masih merajalela tanpa gugatan dalam pemikiran kesejarahan kita." (ibid, hlm. 40-41).

Al-Attas bahkan menyebutkan, kedatangan Islam di wilayah Nusantara merupakan peristiwa paling penting dalam sejarah kepulauan Melayu-Indonesia. M.C. Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia, memulai penulisan sejarah Indonesia modern dengan kedatangan Islam. Islam, tulisnya, membawa banyak perubahan penting dan mendasar dalam masyarakat kepulauan Melayu-Indonesia.

Menurut Al-Attas dalam Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malaysia Indonesian Archipelago, Islam datang ke kepulauan Melayu-Indonesia membawa semangat religius yang amat intelektual dan rasionalistis, sehingga mudah masuk ke dalam pikiran rakyat. Ini menyebabkan kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang tidak dinyatakan dalam masa-masa pra-Islam. Timbulnya rasionalisme dan intelektualisme ini dapat dipandang sebagai semangat yang kuat yang menggerakkan proses revolusi dalam pandangan dunia Melayu-Indonesia, dan mengelakkannya dari dunia mitologi yang rontok. Semangat rasionalisme dan intelektualisme ini bukan saja di kalangan istana dan keraton, bahkan juga merebak di kalangan rakyat jelata. Banyak risalah tentang falsafah dan metafisika khusus ditulis bagi keperluan umum. (hlm. 5-6)

Risalah-risalah yang dihasilkan oleh para ulama Melayu-Indonesia ditulis dengan huruf Arab meski tidak selalu berbahasa Arab. Bahasa bisa saja Jawa atau Melayu, tetapi hurufnya Arab. Tulisan semacam itu disebut dengan tulisan Arab pegon. Menulis dengan huruf Arab telah

menjadi tradisi umat Islam di kepulauan Melayu-Indonesia jauh hari sebelum mereka mengenal tulisan latin yang dibawa oleh kolonialis Barat.

Peristiwa penting lain yang secara langsung digerakkan oleh proses sejarah kebudayaan Islam, menurut Al-Attas, adalah penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bukan saja dalam kesusastraan epik dan roman, akan tetapi –lebih penting— dalam pembicaraan falsafah. Bahasa Melayu mengalami suatu perubahan revolusioner; di samping pengayaan sebagian besar perbendaharaan kata-katanya yang berasal dari kata-kata Arab dan Persia. Bahasa itu menjadi media utama untuk membawakan Islam ke seluruh kepulauan sehingga pada abad XVI, selambat-lambatnya, telah mencapai kedudukan sebagai bahasa religius dan kesusasteraan menggantikan hegemoni bahasa Jawa. Kesusasteraan Melayu berkembang dalam periode Islam. Abad XVI dan XVII menyaksikan berlimpahnya tulisan Melayu mengenai mistisisme filosofis dan teologi rasional yang tidak tertandingi. Terjemahan Al-Quran yang pertama ke dalam bahasa Melayu dengan tafsiran yang didasarkan atas tafsiran termasyhur dari Al-Baidhawi, dan terjemahan-terjemahan, tafsiran-tafsiran dan karya-karya asli mengenai mistisisme filosofis dan teologi rasional juga muncul selama periode ini yang menandai kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang tidak dimanifestasikan di mana pun sebelumnya di kepulauan. (hlm. 27)

Bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa Islam dan berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Untuk menghilangkan pengaruh Islam, sampai-sampai beberapa sekolah di Jawa yang didirikan oleh misionaris pada awal abad XX menghindari penggunaan bahasa Melayu sejauh mungkin. Imam Yesuit Frans van Lith, pendiri sekolah Muntilan berpendapat, ”Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.” Penolakan terhadap bahasa Melayu menjadi kebijakan tetap misi Yesuit di Jawa Tengah. Salah satu alasannya, khawatir promosi bahasa Melayu akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam.

Pengaruh Islam yang sangat besar dalam sejarah Melayu-Indonesia merupakan fakta keras (hard fact) yang tidak bisa dipungkiri. Pengaruh itulah yang selama berabad-abad dicoba dihilangkan oleh kolonialis dan orientalis Belanda. Wajar, jika penjajah melakukan rekayasa sejarah. Tentu, kemudian, tergantung umat Islam sendiri –apapun suku bangsanya– apakah mau sadar atau tidak, bahwa mereka adalah MUSLIM!

Pantang Larang dalam Budaya Sambas

Assalamu’alaikum warohmatullahiwabaroo kaatuhBismillahirrohmaanirrohiim…Akhirnya setelah lama tidak update tulisan diblog ini, diawal tahun 2009 ini saya akan memuat tulisan saya tentang Kea’rifan Lokal / Kebudayaan / Adat Istiadat di kampung halaman saya di Kabupaten Sambas.Tulisan ini pernah menjadi materi seminar saya pada seminar reguler yang mengangkat tema “RESOLUSI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERBASIS KEARIFAN LOKAL” pada tanggal 21 s.d 22 November 2008.

PANTANG LARANG

Setiap daerah atau suku bangsa, sudah tentu mempunyai beragam adat istiadat yang membedakan ia dengan suku-suku dan daerah yang lainnya.salah satu dari adat istiadat tersebut adalah budaya pantang larang. Pantang larang yang berlaku dalam suatu daerah merupakan salah satu dari berbagai macam kekayaan khazanah kebudayaan. Masing-masing masyarakat, sudah pasti mempunyai suatu kearifan untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya.Tulisan sederhana ini dibuat dalam rangka memperkenalkan kepada masyarakat luas pada salah satu budaya yang berlaku dalam masyarakat suku Melayu Sambas. Mungkin, seperti juga yang terjadi di daerah-daerah lain, budaya pantang larang untuk saat sekarang sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat. Kemajuan tekhnologi dan kebebasan berfikir, mungkin salah satu yang menjadi factor penyebabnya.

Oleh karena itu, dalam rangka upaya untuk melestarikan budaya, yang dipandang banyak orang sudah ketinggalan zaman ini, maka perlu kiranya dilakukan sebuah upaya untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satu upaya kecil dari sebuah cita-cita yang besar itu adalah dengan cara merekam atau menuliskannya, sehingga masyarakat khususnya pemilik kebudayaan tersebut, dalam hal ini orang Melayu Sambas, tak lantas benar-benar lupa, akan kekayaan budaya lokal yang dimiliki.Selain itu, tulisan ini juga bertujuan ingin mengungkapkan, bagaimana peranan budaya pantang larang tersebut dalam proses pendidikan etika, bahkan upaya pelestarian lingkungan dan kebudayaan di sana. Apakah keduanya mempunyai hubungan satu sama lain. Ataukah hanya sebagai mitos-mitos belaka, yang dahulu sangat diyakini.Dalam tulisan ini, penulis mencoba mendeskripisikan mengenai pantang larang yang berlaku pada masyarakat Melayu Sambas. Data tersebut penulis kumpulkan di desa kelahiran penulis yakni desa Maktangguk, kecamatan Tebas.

Desa Maktangguk terletak di wilayah kecamatan Tebas, kabupaten Sambas. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 315 KM, bisa ditempuh dengan menggunakan bis umum, atau sepeda motor, dalam waktu sekitar 5 sampai 6 jam perjalanan.Jarak desa Maktangguk dari ibu kota kecamatan sekitar 15 KM. biasanya ditempuh menggunakan sepeda motor, angkutan umum (oplet), atau bisa juga dengan menggunakan motor air. Namun, alternative terakhir, untuk saat sekarang sudah mulai kurang disukai, karena selain tidak efektif, juga biaya yang dikeluarkan sedikit lebih mahal. Orang di sana lebih menyukai penggunaan sepeda motor, karena faktor kepraktisan tadi.Motor air hanya digunakan penduduk apabila mereka ingin mengangkut barang-barang dalam jumlah yang banyak, yang tidak mungkin menggunakan sepeda motor. Misalnya membawa barang elektronik, yang baru dibeli, dan lain-lain. Selain itu, jalur air ini juga biasanya digunakan untuk membawa hasil perkebunan penduduk, seperti jeruk, kelapa, nanas, dan yang lainnya untuk dibawa dan dijual ke pasar.

Mengenai kondisi jalan menuju desa Maktangguk itu sendiri, keadaannya sudah rusak sangat parah. Padahal, jalan tersebut baru diaspal sekitar dua tahun yang lalu. Sekarang, yang tersisa hanya tonjolan-tonjolan batu, yang sudah “ditinggalkan” aspalnya. Kerusakan parah pada jalan utama ini, disebabkan oleh ketidakmampuan jalan dengan aspal yang ala kadarnya, menampung beban berat mobil-mobil truk, yang mengangkut hasil perkebunan, pertanian, bahkan bahan bangunan. Kerusakan tersebut makin diperparah dengan sering terjadinya banjir, sehingga air bertakung di permukaan jalan, dalam waktu yang lama.

Penduduk di desa Maktangguk boleh dikatakan hampir 99 persen adalah masyarakat Melayu Sambas, sisanya etnis Tionghoa dan Dayak. Sebelum kerusuhan yang terjadi beberapa tahun silam, yang melibatkan etnis Madura, Melayu dan Dayak, dahulu juga terdapat etnis Madura, sekitar 5 sampai 6 kepala keluarga. Mayoritas penduduk beragama Islam.

Mata pencaharian utama mereka adalah mengandalkan sawah dan kebun. Terutama kebun jeruk. Kecamatan Tebas, memang terkenal dengan penghasil jeruk terbanyak, dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kalimantan Barat. Akan tetapi, kebanyakan yang menggeluti pekerjaan ini hanyalah berasal dari kalangan orang tua. Sedangkan pemuda dan pemudi di sana, sebagian besar merantau ke Malaysia menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia), pemudanya juga ada yang bekerja di hutan, menebang kayu, dan ada juga sebagian kecil yang merantau ke Pontianak. Factor rendahnya pendidikanlah yang menyebabkan pemuda dan pemudi di sana lebih memilih untuk meninggalkan kampung halamannya. Karena mereka menganggap, untuk mendapatkan pekerjaan di Malaysia, itu jauh lebih mudah dibandingkan untuk bekerja di negeri sendiri. Untuk menjadi TKI, mereka sama sekali tidak membutuhkan ijazah, hanya berbekalkan kemauan, maka dapatlah pekerjaan di Malaysia. Sedangkan untuk kerja di negeri sendiri, Pontianak, misalnya, minimal mereka harus mengantongi ijazah SMA baru bisa dapat pekerjaan, dan itupun kurang menjamin juga.

Kesadaran masayarakat di sana mengenai pentingnya pendidikan, memang masih bisa dikatakan rendah. Dari data terakhir yang penulis kumpulkan, jumlah sarjana di sana sampai tahun 2008 ini, baru 3 orang, sekarang ketiganya menjadi tenaga pengajar di sekolah dasar di sana. Sedangkan untuk tamatan SMU/sederajat berjumlah 30 orang (selama 15 tahun terakhir). Sisanya tamatan SMP/sederajat dan yang paling banyak hanya tamatan sekolah dasar (SD).

Jumlah penduduk menurut data terakhir berjumlah 1500 jiwa.Mengenai pantang larang yang berlaku di sana, sebagian masih ada yang mempercayainya dengan sepenuh hati. Namun sebagian besar juga sudah mulai meninggalkannya. Penduduk yang masih memakai pantang larang tersebut biasanya berasal dari kalangan orang-orang tua. Dan seiring bergantinya generasi, orang-orang sudah mulai meninggalkannya, dan tidak lagi meyakini hal tersebut sebagai sesuatu hal yang harus benar-benar dipegang.Pantang larang yang penulis kumpulkan ini, mencakup dari berbagai tempat dan kondisi, seperti di rumah, di hutan, di air, di sawah, pantangan untuk wanita hamil dan lain-lain. Berikut adalah pantang larang yang sampai hari ini, masih bisa bertahan, dan masih dipegang:

Pantangan saat berada Di rumah

1. Jangan berbaring sambil tengkurap.Pantangan ini jika dilanggar, diyakini akan menyebabkan ibu kandung orang tersebut bisa meninggal.

2. Jangan berbaring dengan bertopangkan tangan,Berbaring dengan bertopangkan tangan maksudnya, saat kita berbaring, tubuh kita itu bertumpu pada satu tangan, dengan posisi miring (ke kiri atau ke kanan). Dan pantangan ini jika dilkukan maka akan menyebabkan telinga tidak bisa mendengarkan kebenaran, yakni saat orang tersebut akan meninggal dunia, dia tidak akan bisa mengikuti orang yang menuntunnya membaca kalimah tauhid.

3. Jangan memotong kuku pada malam hari,Memotong kuku pada malam hari juga sangat dilarang, karena jika hal tersebut dilakukan, maka seperti pantangan point no 1, maka bisa menyebabkan ibu mati juga.

4. Jangan mandi pakai baju,Terutama saat kita mandi di sungai, maka tidak boleh mandi menggunakan baju. Orang di sana jika mandi di sungai biasanya menggunakan kemban. Jika pantangan ini dilanggar, maka bisa menyebabkan mati bungkus (khusus perempuan). Mati bungkus di sini bermakna, jika orang tersebut hamil, maka anak yang dalam kandungannya tersebut, bisa meninggal dalam kandungan.

5. Bersiul di dalam rumah,Bersiul dalam rumah juga sangat dilarang, karena diyakini akan menyebakan kesialan, dan menjauhkan dari rezeki.

6. Terkena penyapuTerkena penyapu ini, maksudnya pada saat orang lain sedang menyapu, jika sapunya tersebut mengenai kaki atau tubuh yang lainnya maka akan menyebabkan petaka dan sial. Misalnya jika dia bekerja yang mengguanakan senjata tajam. Maka senjata tajam tersebut akan melukainya. Atau jika dia berangkat ke laut, maka dia akan disambar buaya. Namun petaka dan kesialan tersebut, bisa dicegah dengan cara sesegera mungkin meludahi penyapu tersebut.

7. Anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu,Seorang gadis, sangat dilarang duduk di depan pintu rumah. Hal ini di yakini bisa menyebabkan nanti tunangannya balik (tidak jadi datang melamar).

8. Masak jangan sambil menyanyi,Pantangan yang satu ini, bisa dikatakan yang paling populer, dan sampai saat sekarang, masih sering disebut-sebut oleh orang tua maupun muda. Pantangan ini jika diabaikan, bisa menyebabkan anak gadis tersebut nantinya akan mendapat jodoh orang yang sudah tua.

9. Mencuci piring pada malam hari,Mencuci piring paada malam hari, juga termasuk pantangan yang sangat dijaga oleh sebagian besar masyarakat di sana, terutama pada musim panen tiba. Karena diyakini bisa membuat tikus-tikus di ladang jadi beringas dan ganas, untuk merusak dan menghancurkan padi-padi yang siap panen, di sawah.

10. Makan bersisa,Pantangan ini biasanya ditujukan untuk anak-anak kecil, yang biasanya sering makan tidak bersisa, karena pada zaman dahulu, bisanya setiap anak kecil itu, diberikan satu ekor ayam yang dipelihara olehnya, dan jika ayam tersebut sudah besar dan dijual, maka uang hasil penjualannya akan menjadi hak anak tersebut. Nah, jika si anak tersebut makannya sampai bersisa, maka ayam peliharaannya tadi, bisa mati.

11. Jika makan tebu, harus dimakan dari ujung dulu (dari bagian yang tidak manis),Pantangan ini juga ditujukan kepada anak kecil. Menurut orang-orang tua, bagian yang tidak manis tersebut, jika dimakan terlebih dahulu, maka anak tersebut nantinya bisa pandai berenang.

Di sungai atau laut.

1. Tidak boleh mencuci kuali langsung di sungai, dan membuang abu dapur ke sungai,Mencucui kuali, atau membuang abu dapur di sungai, terutama pada saat lorang tersebut melakukan perjalanan dengan menggunakan sampan, maka akan menyebabkan hujan ribut, yang bisa membahayakan nyawa orang yang bersangkutan tentunya. Jadi boleh dikatakan hal ini juga bisa menyebabkan kematian.

Di sawah

1. Menampi beras di sawah,Petani sangat dilarang untuk menampi padi atau beras di sawah. Hal ini dikarenakan, penduduk di sana (sebagian) sangat meyakini bahwa padi atau beras itu seperti anak kecil. Maka petani tersebut harus memperlakukannya secara lemah lembut. Jadi perbuatan menampi beras dianggap suatu perbuatan yang bisa menyebakan padi tersebut ketakutan, jika dia takut, mereka percaya bahwa padi-padi lain (yang belum dipanen) jika melihat hal tersebut, akan ketakutan, lalu ia akan “lari”..

Di hutan

1. Tidak bolah mencemari air yang tergenang,Jadi saat di hutan, jika kita menemukan air yang menggenang, maka kita tidak boleh mencemari air tersebut, baik itu mengunjak-injaknya, membuatnya keruh, apalagi kencing di sana, karena perbuatan tersebut dianggap sama saja dengan durhaka kepada orang tua.

2. Tidak boleh memanggang terasi, ikan, dan rotan pada malam hari,Orang yang sedang berada di dalam hutan, sangat dilarang untuk membakar terasi, ikan, atau barang-banrang yang berbau menyengat lainnya, selain itu juga tidak boleh membakar rotan, karena perbuatan tersebut dapat mengundang hantu hutan, untuk menghampiri dan mengganggu kita.

3. Kencing di liang-liang kayu atau lubang tanah,Di dalam hutan, sudah pasti kita akan banyak sekali menemukan lubang-lubang di tanah atau liang-liang yang terdapat di kayu-kayu besar, karena dikhawatirkan liang atau lubang tersebut merupakan tempat tinggal makhluk halus. Jadi jika seseorang kencing di tempat tersebut, maka makhluk halus yang mendiaminya akan marah, lalu menggangu orang tersebut.

4. Berludah sembarangan,seseorang yang sedang berada di hutan juga sangat dilarang untuk meludah di sembarang tempat, karena air ludah tersebut bisa mengundang pacet dan lintah.

5. Jika ingin minum di air yang tergenang di hutan, harus menggunakan mulut langsung (seperti binatang).Jadi, seseorang tidak boleh menggunakan tangan atau alat Bantu seperti gelas dan lain-lain, karena jika tidak, maka orang tersebut akan mengalami sakit perut atau sakit tulang.

6. Jika sedang kecapean, jangan memegang lutut,Jika sedang melakukan perjalan di dalam hutan, jika seseorang merasakan capek, maka sangat dilarang untuk memegang lutut, karena jika dilanggar, bisa menyebabkan orang tersebut tidak bisa berjalan sama sekali. Akan tetapi bisa diobati dengan memukul-mukulkan daun kayu hutan, ke lutut yang sakit tersebut.

7. Jika bertemu binatang buas, tidak boleh menyebutnya dengan namanya langsung.Di hutan, jika kita menemukan binatang buas seperti ular, harimau, beruang atau binatang buas yang lainnya, tidak boleh disebut namanya, akan tetapi harus disebut dengan bahasa kiasan lain, contohnya kita sebut Nenek atau Datok, karena jika tidak, binatang tersebut akan bertambah besar dan ganas.

8. Tidak boleh melangkahi atau berjalan di atas kayu yang saling bersilang (yang membentuk huruf X).Jika bertemu dengan pohon kayu yang saling bersilang (membentuk huruf X), lebih baik mengambil jalan lain, dari pada berjalan di atasnya, karena dipercaya, jika hal tersebut dilakukan bisa membuat kita tersesat di dalam hutan tersebut, dan tidak akan bisa ditemukan oleh siapapun.

9. Tidak boleh menebang kayu yang rimbun,Menebang kayu yang sangat rindang, yang di bawahnya tak ada kayu lain yang tumbuh, juga dilarang, karena pohon tersebut dipercaya merupakan tempat tinggal makhluk halus, dan jika ditebang maka makhluk halus tersebut akan marah dan mengganggu orang yang menebangnya.

10. Jangan memanggil nama teman dengan berteriak,Jika ada teman yang tertinggal rombongan atau tersesat di hutan, maka dilarang memanggil namanya dengan berteriak, kalaupun harus berteriak, maka jangan memanggil namanya, bisa dengan mengganti dengan istilah lain, atau cukup dengan meneriakkan kata “HU” atau “WOI” atau yang sejenisnya, karena jika tidak, hal tersebut bisa membuat hantu hutan akan menyemar menjadi orang yang kita penggil tersebut.

11. Tidak boleh melangkahi senjata tajam yang akan digunakan untuk bekerja.Pelanggaran dari pantangan ini akan menyebabkan orang yang menggunakan alat yang telah dilangkahi tersebut cedera. Akan tatapi, hal tersebut bisa dicegah dengan meludahi senjata tajam tersebut kemudian diangkat ke kepala.

12. Tidak boleh memukul akar-akar kayu yang menonjol ke tanah,Memukul-mukul akar pohon yang menonjol dari tanah dilarang karena perbuatan tersebut membuat hantu-hantu hutan berdatangan, karena suara pukulan tadi diibaratkan suara musik yang membuat hantu hutan suka,lalu datang ka erah asal suara tadi.

13. Tidak boleh bersiul,Seseorang juga sangat tidak dianjurkan untuk besiul saat berada di hutan, sebab akan mendatangkan badai.

Pantangan bagi wanita yang sedang hamil, serta suaminya, dan setelah ibunya melahirkan:

1. Jangan duduk di depan tangga,Wanita yang sedang hamil, tidak boleh duduk di depan tangga pintu masuk rumah, karena akan mempersulit proses persalinannya nantinya.

2. Tidak boleh tidur saat matahari sedang naik (waktu pagi),Tidur di waktu matahari sedang naik sangat dilarang untuk semua orang, apalagi wanita yang sedang hamil, karena bisa menyebabkan bayi yang di dalam kandungan jadi bengkak, sehingga secara otomatis nantinya akan menyulitkan proses persalinan.

3. Bagi suami, jangan menyembelih hewan, saat istrinya sedang hamil,kegiatan menyembelih hewan, bagi seorang suami sangat dilarang. Karena perbuatan tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan anaknya mirip dengan hewan yang disembelih oleh ayahnya tersebut.

4. Suami juga tidak boleh membelah kayu,Membelah kayu, atau menebang kayu bagi suami yang isterinya sedang hamil besar juga dilarang, karena anaknya bisa berbibir sumbing, cacat atau terjadi hal-hal jelek lainnya.

5. Seorang bapak, yang anaknya belum berumur 40 hari dilarang memotong batang pisang.Saat anak baru lahir, terutama saat tali pusarnya belum kering, bapaknya tidak boleh memotong batang pisang, karena akan menyebabkan pendarahan pada pusar bayi tersebut. Berdasarkan cerita yang penulis dapatkan dari dukun yang biasa membantu persalinan warga di sana, peristiwa ini pernah terjadi. Bapak dari anak tersebut, karena tidak tahu, ia menebang pisang, anakanya yang ada di rumah, dengan serta merta mengalami pendarahan hebat pada pusarnya, yang akhirnya tidak tertolong dan meninggal dunia.

6. Seorang ayah juga tidak boleh memompa sepeda atau sepeda motor,Selain memotong pisang tadi, sebelum seorang anak memasuki umur 40 hari, bapaknya juga tidak boleh memompa sepeda atau sepeda motor, karena jika dilanggar, maka perut anaknya akan kembung.

Pantangan-pantangan yang telah disebutkan di atas, sudah pasti belum semuanya terangkum. Masih banyak pantangan-pantangan lainnya yang belum sempat terekam. Namun penulis rasa, dari beberapa hal tersebut sedikit sudah bisa menggambarkan mengenai apa dan bagaimana posisi budaya pantang larang bagi masyarakat Melayu Sambas. Hal itu dapat dilihat dari tempat berlakunya, hampir semua mencakup tempat-tempat dan kondisi yang memang sangat dekat dengan kehidupan orang Melayu, yakni sawah, sungai dan hutan.

Pantangan-pantangan tersebut, jika kita tinjau lebih dalam, (terlepas dari ancaman-ancaman tersebut, tentunya) maka kita akan menemukan wujud dari kearifan lokal masyarakat setempat pada zaman dahulu dalam upaya untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang sopan santun, etika, dan upaya dalam memelihara lingkungan, serta penghargaan terhadap makhluk ghaib, yang walupun tak terlihat, namun mereka ada, dan berdampingan dengan manusia. Belum lagi jika kita tinjau dari segi kesehatan dan dihubungkan juga dengan ajaran agama.Sebagai contoh, pantangan yang berhubungan dengan pelajaran etika, yakni larangan bagi anak gadis, jangan duduk di depan pintu, atau larangan bernyanyi jika sedang masak. Jika kita lihat hikmah dan pesan yang ingin disampaikan oleh orang tua melalui pantangan itu, memang sangat bijaksana. Anak gadis, dan penulis rasa juga berlaku untuk semua orang, memang tidak pantas duduk di depan pintu. Karena perbuatan tersebut menghalangi orang yang mau masuk, dan itu sangat mengganggu. Begitu juga halnya dengan masak sambil bernyanyi, mungkin orang tua zaman dahulu khawatir, nanti malah anak gadis tersebut keasyikan bernyanyi, sehingga melupakan masakannya.

Contoh lain misalnya, jika makan tebu, harus dimulai dari bagian ujungnya (bagian yang tidak manis) terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan, agar si anak bisa menghargai makanan, sebab jika dia makan yang manis dahulu, bagian yang tidak manisnya, pasti ditinggalkan. Namun, pesan terbesar yang ingin disampaikan melalui pantangan ini adalah, bagaimana kita menjalani hidup. Seseorang, akan merasakan kebahagiaan yang paling manis, ketika ia telah mengecap pengalaman yang tidak manis, bahkan yang pahit sekalipun dalam hidupnya.Pantangan yang berhubungan dengan upaya dalam pemeliharaan lingkungan, misalnya seseorang dilarang membuang abu dapur, atau mencuci kuali ke dalam sungai. Atau pantangan saat berada di hutan, yakni seseorang tidak boleh mencemari air yang tergenang. Larangan tersebut sudah sangat jelas, bahwa ada upaya pencegahan perbuatan yang dapat mencemari lingkungan di situ.

Pantang larang yang bisa kita lihat dari segi upaya menjaga kesehatan dan kebersihan. Misalnya, tidur jangan sambil tengkurap, tidur jangan bertopangkan tangan, dan yang bagi wanita hamil jangan tidur pada saat matahari sedang naik (waktu dhuha), mandi jangan menggunakan baju, dan pantangan mencuci piring pada malam hari. Kesemua itu adalah wujud dari kebijaksanaan orang tua dalam mengajarkan anak-anaknya untuk menjaga kesehatan dan kebersihan.Yang terakhir, kita kaji dari sudut pandang agama. Salah satu contohnya adalah seorang anak tidak boleh makan bersisa. Bukankah Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk tidak melakukan perbuatan mubazir. Selain itu, pantangan tersebut juga mengajarkan pada anak-anak untuk terbiasa menghargai makanan, berapapun jumlahnya. Dan perbuatan tersebut, selayaknya memang harus dibiasakan sejak kecil, karena itu akan membentuk perilakunya sampai ia dewasa.

Di antara pantangan-pantangan di atas, memang, tidak dapat dipungkiri ada juga sebagian yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah etika, kesehatan, ataupun agama. Akan tetapi hal tersebut benar-benar mereka pegang. Mengenai masalah ini, tokoh masyarakat, yang menjadi narasumber dari penelitian ini, sama sekali tidak mau membeberkan alas an mengapa hal tersebut sangat mereka yakini. Beliau hanya menjelaskan bahwa dia juga diberitahu oleh orang tuanya, dan orang tuanya dulu juga diberitahu oleh neneknya, dan begitu terus secara turun-temurun.

Pantangan-pantangan yang dimaksud itu, misalnya di hutan tidak boleh membakar barang-barang yang berbau menyengat, seperti terasi, ikan dan rotan. Seorang bapak yang mempunyai anak bayi yang belum genap berumur 40 hari, tidak boleh membelah kayu, memotong batang pisang, ataupun memompa sepeda atau sepeda motor. Tapi, pastinya orang tua zaman dahulu, mempunyai alasan kuat mengapa perbuatan-perbuatan tersebut juga dilarang. Bisa jadi, kejadian aneh (anaknya berbibir sumbing) atau musibah (pendarahan pada pusar anak, hingga anak tersebut meninggal dunia) memang benar-benar terjadi bertepatan dengan “pelanggaran” yang dilakukan ayahnya. Jadi, orang zaman dahulu, yang sama sekali belum mengetahui perihal cara penanganan kasus tersebut, lalu menghubung-hubungkan kejadiannya. Padahal, bisa jadi, musibah tersebut terjadi karena kesalahan penanganan pada sang bayi, yang lalu berakibat sangat fatal, yakni kematian. Begitulah akhirnya, secara turun temurun, hal tersebutlah yang diyakini sebagai penyebabnya.

Setiap pantang larang yang terdapat di dalam suatu masyarakat, biasanya mayoritas mengandung suatu ancaman, baik itu berupa kegagalan panen, kesulitan, tidak dapat jodoh atau dapat jodoh orang yang sudah tua, , didatangi hantu, sakit, atau bahkan ancaman kematian, baikitu bagi si pelaku pelanggaran, maupun terhadap orang-oarang yang tersayang. Semua hal tersebut, menurut penulis adalah suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji. Mengapa kesemuanya itu, harus menggunakan sebuah ancaman.Berdasarkan diskusi yang penulis lakukan bersama orang-orang terdekat, bahwa adakalanya sebuah ancaman itu pengaruhnya akan jauh lebih berhasil. Apalagi untuk masyarakat yang boleh dikatakan masih sangat tradisional, mereka akan sangat mudah mempercayai apa yang dikatakan oleh orangtuanya.

Orangtua, bagi masyarakat pedesaan, adalah seseorang yang tidak boleh dibantah. Semua yang ia katakana adalah kebenaran. Pemikiran yang seperti inilah yang membuat orang zaman dahulu sangat memegang teguh apa yang orangtua mereka sampaikan. Mereka menganggap bahwa,

orang tua adalah orang yang sangat berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang banyak. Membantah perkataan mereka, berarti membuka jalan yang menuju kesengsaraan.

Pontianak, 10 Januari 2009

ditulis oleh MARISA SYAKIRIN

(Sumber: http://marisasyakirin.blogspot.com/2009/01/pantang-larang-dalam-budaya-sambas.html)

PERISTIWA SAMBAS

1. Latar belakang.

a.    Awal peristiwa dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga suku Madura yang ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku melayu.

b.    Peristiwa berkembang dengan bergabungnya ratusan warga suku Madura dan menyerang warga suku Melayu yang berakibat 3 orang suku Melayu meninggal dunia dan 2 orang luka-luka.

c.    Selain itu terjadi pula kasus perkelahian antara kenek angkot warga suku Melayu dengan penumpang angkot warga suku Madura yang tidak mau membayar ongkos.

d.    Akibatnya terjadi saling balas membalas antara warga suku Melayu dibantu suku Dayak menghadapi warga suku Madura dalam bentuk perkelahian, penganiayaan dan pengrusakan.

e.    Peristiwa berkembang dengan terjadinya kerusuhan, pembakaran, pengrusakan, perkelahian, penganiayaan dan pembunuhan antara warga suku Melayu dibantu warga suku Dayak menghadapi warga suku Madura, yang meluas sampai kedaerah sekitarnya.

f.    Telah terjadi pengungsian warga suku Madura secara besar-besaran. Kemudian isu ini dieksploitir oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya.

g.    Peristiwa ini adalah kejadian yang kesepuluh sejak tahun 1977 dan juga pernah terjadi terhadap etnis yang lain.

2. Kronologi peristiwa.

a.    Pada tanggal 17 Januari 1999 pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan dianiaya pelaku pencurian ayam warga suku Madura oleh warga suku Melayu.

b.    Pada tanggal 19 Januari 1999 sekitar 200 orang suku madura dari suatu desa menyerang warga suku Melayu desa lainnya.

c.    Hari berikutnya terjadi perkelahian antara warga suku Madura dan warga suku Melayu karena tidak membayar ongkos angkot. Kejadian ini berkembang menjadi perkelahian antara kelompok dan antara desa yang disertai pembakaran, pengrusakan dan tindak kekerasan lainnya.

d.    Warga suku Melayu dibantu suku Dayak melakukan penyerangan, pembakaran, pengrusakan, penganiayaan dan pembunuhan terhadap warga suku Madura dan selanjutnya saling membalas.

e.    Peristiwa berkembang dengan terjadinya pengungsian warga Madura dalam jumlah cukup besar menuju Singkawang dan Pontianak.

f.    Tindakan aparat keamanan antara lain :

- Melokalisir dan mencegah meluasnya kejadian,

- Membantu mengevakuasi para pengungsi, melakukan pencarian dan penyelamatan suku Madura yang melarikan diri kehutan,

- Membantu para pengungsi ditempat penampungan,

- Mengadakan dialog dengan tokoh masyarakat dan pemuka agama, serta

- Melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pelaku kriminal.

g.    Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari, meninggal dunia 489 orang, luka berat 168 orang, luka ringan 34 orang, rumah dibakar dan dirusak (3.833), mobil dibakar/dirusak (12) dan motor (9), masjid/madrasah dirusak/dibakar (8), sekolah dirusak (2), gudang dirusak (1) dan warga Madura mengungsi 29. 823 orang.

 

3. Proses Hukum.

a.    Pelaku yang ditangkap 208 orang dan dalam proses peradilan

sebanyak 59 orang, yang terdiri dari suku Madura 13 orang, suku Melayu 42 orang dan suku Dayak 4 orang.

b.    Barang bukti disita 607 pucuk senjata api rakitan, 2.336 senjata tajam, 76 bom molotov, 86 ketapel, 969 anak panah, 8 botol dan 8 toples obat mesiu, 443 butir peluru timah, 79 peluru pipa besi, 349 butir peluru setandard ABRI dan 441 butir peluru gotri.

4. Kesimpulan.

a.    Peristiwa ini berakar antara lain pada masalah kesenjangan pendidikan, marginalisasi suku tertentu dalam menduduki posisi di pemerintahan, kesenjangan ekonomi antara suku pendatang dan suku asli serta adanya benturan budaya/perilaku sosial.

b.    Kerusuhan massal dipicu oleh adanya perkelahian individu antara suku yang berbeda dan selanjutnya meluas keseluruh kabupaten Sambas.

c.    Kehadiran Pasukan Penindak Kerusuhan Massal (PPRM), telah banyak membantu penyelesaian peristiwa ini.

d.    Masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk seyogyanya selalu saling menghormati adat istiadat masing-masing dan senantiasa menjaga Persatuan kesatuan.

TNI dan Polri selalu memprioritaskan untuk menjaga harmoni kehidupan yang telah dinikmati masyarakat Indonesia yang majemuk.

Menyikapi peristiwa Sambas, TNI dan Polri telah menjalankan perannya sebagai pasilitator sekaligus menyelaras demi tercapainya titik

temu antara kelompok masyarakat yang bertikai.

Merevitalisasi Identitas Melayu Sambas

“Takkan hilang Melayu ditelan jaman,”demikian yang diungkapkan Hang Tuah Laksamana Melayu yang legendaris. Memang sampai sekarang yang namanya suku bangsa Melayu masih tetap ada yang tersebar di Bumi Nusantara, begitu juga di bumi Serambi Mekah Sambas. Secara fisik (keturunan) Melayu memang masih ada, namun secara eksistensi jati diri dan kebudayaan patut kita pertanyakan, begitu juga nilai-nilai keislaman yang selama ini melekat pada suku Melayu sehingga ada idiom yang menyatakan “Melayu identik dengan Islam”. Masyarakat Melayu sangat berpegang teguh dengan adat istiadat dan ajaran agama Islam. Dua aspek inilah yang menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Melayu.

Dalam pengertian umum “Melayu” adalah seseorang yang berbicara serta berbudaya Melayu dan beragama Islam (One who speaks Malay habitually, practices Malay culture, and it a muslim) demikian yang diungkapkan Leonard Andaya yang dikutip Pabali Musa. Dari pengertian ini ada tiga hal yang menjadi ciri dari seseorang yang dapat dikatakan Melayu. Pertama, berbicara dengan bahasa Melayu. Kedua, hidup dengan budaya Melayu. Ketiga, beragama Islam. Selain ketiga aspek ini menurut hemat penulis seseorang dapat dikatakan Melayu, ia mestilah terlahir dari keturunan Melayu.

Orang Melayu dikenal sebagai etnik yang berketurunan baik (Duarte Bardosa), sangat sopan di seluruh Asia (Valentijn) dan jarang terlibat soal kriminal karena menjunjung tinggi hukum. Orang Melayu dikenal sangat menghormati tamunya, pemaaf, sabar, lemah lembut, dan lebih suka mnghindari konflik, bahkan untuk memberi nasihat, menyindir atau marah saja menggunakan pantun. Orang Melayu juga dikenal sangat menyukai seni, baik tari dan nyayian. Dalam seni dan sastra Melayu kita mengenal ada gurindam 12, serampang 12, pantun dan japin. Masyarakat Melayu juga dikenal sebagai bangsa yang “welcome” terhadap pendatang, begitu juga Melayu Sambas, sehingga ada pepatah yang menyatakan Kecil telapak tangan nyiru kami tadahkan. Sebab itulah di Sambas ada Kampung Bugis dan Kampung Jawa misalnya.

Kehilangan ataupun melemahnya jati diri dan budaya sebagai seorang Melayu dapat dilihat dari fenomena generasi muda di Kabupaten Sambas yang lebih mengenal tari-tari modern dari tari-tari daerah, lagu-lagu pop dan dangdut daripada lagu daerah, tidak bisa berpantun dan tulis baca Arab Melayu, belum lagi dalam pengamalan norma-norma ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai agama yang dianut oleh suku Melayu. Karena kentalnya nuansa agama Islam dalam kehidupan masyarakat Sambas inilah sehingga Sambas dikenal sebagai Serambi Mekah atau Serambi Madinah Kalimantan Barat. Sambas juga pernah dikenal sebagai “gudangnya” ulama, kita mengenal misalnya Ahmad Khatib Sambas pendiri tarekat Qadariah-Naqsabandiah dan Muhammad Basiuni Imran.

Walaupun tidak semua yang menjadi ciri utama dari seorang Melayu hilang dari generasi muda Melayu Sambas, tetapi fenomena yang terjadi di kalangan generasi muda Melayu Sambas patut untuk kita cermati dan dicarikan jalan keluarnya agar generasi muda Melayu Sambas berlaku sebagai orang Melayu bukan hanya berketurunan Melayu. Tentu saja semua pihak mesti terlibat dalam hal ini, tetapi jangan sampai kita terjebak pada eksklusifisme dan ini tentu saja bukan ciri dari seorang Melayu.

Merevitalisasi identitas Melayu Sambas mestilah dimulai dari dua hal yang paling dasar yang menjadi pilar utama masyarakat Melayu yakni agama Islam dan adat istiadat. Islam adalah agama yang universal dan paripurna dalam ajarannya. Islam mengatur akidah, akhlak, sosial, ekonomi, politik, militer, hukum, seni dan budaya. Apa yang menjadi ciri-ciri Melayu seperti yang diungkapkan diatas terdapat dalam ajaran agama Islam, bahkan Islam dapat memberikan lebih daripada itu semua jika apa yang terdapat dalam al Quran dan Sunah benar-benar diamalkan. Penanaman ajaran Islam dalam kehidupan mestilah dilakukan sejak dini, yang dimulai dari keluarga sebagai fondasi awal. Tentu saja dalam hal ini keluarga yang bahagia (Sakinah. Mawaddah dan rahmah) sangat diperlukan. Dari Keluarga bahagia yang mengamalkan ajaran Islamlah yang akan melahirkan anak-anak yang tahu akan ajaran agamanya. Selain keluarga perlu juga digalakkan pendidikan agama non formal seperti di sekolah sebagai jam tambahan. Dalam hal ini peran Taman Pendidikan al Quran (TPQ), yayasan-yayasan Islam, Organisasi-organisasi Islam dan Masjid begitu strategis. Lembaga-lembaga ini dapat berperan dengan memberikan kursus-kursus keagamaan kepada anak-anak, remaja, pemuda dan bahkan keluarga. Supaya program ini tepat guna dan sasaran, serta tidak terjadinya tumpang tindih

program perlulah kiranya antar lembaga-lembaga ini selalu melakukan koordinasi. Ibarat kita hendak membangun sebuah bagunan yang indah dan megah maka fondasi awalnya amat penting agar dapat menopang bentuk bangunan diatasnya sehingga bangunan itu kokoh dan tidak roboh menghadapi perubahan cuaca atau iklim.

Setelah fondasi awal sudah kita tanamkan dengan kokoh dan sempurna, hal kedua yang perlu untuk diperhatikan dan ditumbuh kembangkan adalah adat istiadat bangsa Melayu. Bukan hanya dalam bentuk fisiknya tetapi juga nilai filosofis yang terkandung didalamnya. Disini peran pemerintah daerah Sambas sangat diperlukan untuk menggali dan mendidik masyarakatnya. Peran ini dapat dilaksanakan melalui Dinas Komunikasi, Budaya dan Pariwisata dan Dinas Pendidikan serta elemen lain sebagai penunjang. Pemerintah Daerah mestilah membuat program berkesinambungan yang dapat bekerjasama dengan Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM) dan Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) atau lembaga ataupun pribadi yang mempunyai perhatian besar terhadap adat istiadat Melayu.

Jika kedua aspek ini telah terbangun dengan baik, bukanlah suatu khalayan jika Sambas ingin menjadi Serambi Mekah ke 2 di Indonesia setelah Aceh, begitu juga dengan program Terpikat-Terigasnya Bupati. Paling tidak akan lahir pribadi-pribadi Melayu yang benar-benar Melayu, sehingga Melayu tidak akan pernah hilang seperti yang ucapkan Laksamana Melayu Hang Tuah. Bukan seperti “Perempuan Melayu Terakhir” demikian judul film negeri jiran Malaysia yang bercerita tentang seorang pemuda yang mencari pemudi yang tahu budaya dan adat istidat Melayu bukan sekedar berketurunan Melayu. Bahkan bisa saja setragis nasib suku Indian Mohikan di Amerika Serikat yang hampir punah seperti diceritakan dalam film The Last Of Mohican.

Provokasi, Sebabkan Kekerasan di Sambas

* Usut Oknum PPRM/PPH yang Lakukan Penembakan

Pontianak, AP Post.

Masyarakat Kabupaten Sambas baik Melayu maupun Dayak menyambut baik ajakan dan imbauan untuk menahan dan tidak melakukan tindakan kekerasan agar konflik antarwarga di Kabupaten Sambas cepat berakhir. Selama ini, tindakan kekerasan terjadi lebih disebabkan adanya provokasi dan intimidasi dari oknum-oknum Madura, baik yang masih berada di Kabupaten Sambas maupun yang sudah berada di lokasi pengungsian.

Demikian Ketua Tim Tokoh Masyarakat Melayu Sambas di Pontianak Drs H Muchalli Taufik dalam press realise yang dikirimkan kepada AP Post tadi malam. Sebelumnya, Tim ini telah melakukan kunjungan, tatap muka dan dialog dengan masyarakat di Kabupaten Sambas selama tiga hari, 8-10 April 1999.

Dalam kunjungan itu, Tim secara intensif melakukan tatap muka dan dialog dengan masyarakat kecamatan di Kabupaten Sambas. Mereka menyadari bahwa bila konflik ini terus berlanjut, maka pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat pada waktunya dan realisasi pemekaran wilayah Kabupaten Sambas akan terhambat. Oleh sebab itu, mereka meminta kepada tim yang turun dari Pontianak untuk membantu sesegera mungkin menyelesaikan konflik ini.

Tidak lanjut dari berbagai pertemuan, pihak Keraton Sambas dipimpin Raden Winata, telah melakukan pertemuan dengan para tokoh masyarakat Sambas dari 11 kecamatan di Keraton Sambas, pada 11 April 1999.

Dalam pertemuan tersebut dihasilkan keputusan, pertama Masyarakat Melayu sepakat menjunjung tinggi hukum, kedua meminta ketegasan pemerintah untuk mengadili oknum PPRM/PHH yang melakukan penembakan, ketiga, melakukan evakuasi secara damai yang dikawal oleh pemuda-pemuda Melayu dan petugas Kodim/Polisi setempat, keempat Sepakat melakukan gencatan senjata, kelima, sepakat memperlancar proses pemekaran wilayah Kabupaten Sambas, dan keenam sepakat menyukseskan Pemilu 1999.

Provokasi

Diungkapkan Muchalli, adanya provokasi dan intimidasi dalam kerusuhan antaretnis itu terbukti adanya 24 oknum Madura di Rumah Sakit Umum Dr Abdul Azis Singkawang pada 8 April 1999.

"Konflik juga terjadi karena aparat keamanan, khususnya oknum PPRM/PHH melakukan tindakan kekerasan yang sembrono serta mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyinggung perasaan dan harga diri masyarakat Melayu maupun Dayak. Tindakan sembrono itu menyebabkan terjadinya Tragedi Sungai Garam yang menewaskan 13 warga Melayu dan 50 orang luka berat dan ringan, yang sampai hari ini masih di rawat di rumah sakit," kata Muchalli.

Dijelaskan, dalam pertemuan dengan masyarakat di Kabupaten Sambas terungkap bawha Melayu Sambas maupun Dayak menyatakan mampu mengamankan wilayah Kabupaten Sambas selama oknum Madura maupun oknum aparat keamanan tidak melakukan tindakan yang dapat memicu amarah masyartakat Kabupaten Sambas.

Oleh sebab itu, kata Muchalli, untuk sementara waktu orang Madura yang berada dilokasi pengungsian di Kecamatan Sambas agar segera diungsikan ke luar Kabupaten Sambas terlebih dahulu. Mereka juga meminta pasukan PPRM dan PHH dan pasukan dari Batalyon 612 Limbong Medang segera ditarik dari Kabupaten Sambas. Sebab kehadiran pasukan itu hanya akan memicu konflik baru antar masyarakat dan aparat keamanan. Dan dengan demikian akan memperburuk keadaan yang sekarang berangsur-angsur mulai pulih dan tenang.

Namun demikian, kata Muchalli, masyarakat juga meminta agar aparat keamaman dapat menahan diri agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan citra negatif di tengah masyarakat. Misalnya memberi peluang, apalagi mengawal oknum Madura untuk kembali ke lokasi-lokasi konflik. Sebab, hal itu dianggap sebagai sikap arogansi dan dapat memicu kemarahan massa.

Masyarakat Kabupaten Sambas tidak anti terhadap hadirnya aparat keamanan di daerah mereka. Hanya mereka meminta agar aparat yang ditempatkan itu adalah mereka yang mengerti adat istiadat dan tata krama masyarakat Kabupaten Sambas. Mereka memandang aparat yang mampu melakukan tugas keamanan sekaligus pendekatan yang menyejukkan adalah dari kesatuan Brimob Kalbar.

Di samping itu, mereka juga meminta sejumlah anggota masyarakat Melayu yang masih ditahan oleh pihak kemanan baik yang kini ditempatkan di tahanan Polres Singkawang maupun Polda Kalbar segera dikeluarkan/diproses secara hukum. Pelucutan atau sweeping senjata tajam yang dilakukan hendaknya tidak hanya

dilakukan kepada warga masyarakat Melayu, melainkan juga kepada masyarakat Madura agar dapat menimbulkan rasa aman.(tim)

Orang Melayu dan Diasporanya di Seluruh Indonesia (Diluar Sumatera dan Sekitarnya)

Dec 19, '06 6:19 PMfor everyone

Menurut konteks Malaysia, yang disebut orang Melayu adalah orang-orang yang menganut agama Islam, menerapkan adat-istiadat Melayu, berbahasa Melayu dan berpola pikir Melayu. Konsep ini juga mencakup orang-orang keturunan Jawa, Mandailing, Rawa (Rao), Aceh, Bugis, Banjar, Bawean (Boyan), Minangkabau dan tentunya penduduk Melayu asli Semenanjung sendiri. Namun jika memasukkan orang Asli dan Dayak, maka istilahnya menjadi Bumiputera.

Sedangkan dalam konteks Indonesia, orang Melayu merupakan salah satu dari sekian ratus suku bangsa yang ada di Indonesia. Orang Melayu ini berbahasa Melayu, beragama umumnya Islam dan beradat istiadat Melayu dengan pusat pemukiman tradisionalnya di Sumatera, khususnya di Riau dan Kepulauan Riau. selain di Jambi,  pesisir timur Sumatera Utara, Aceh Tamiang, Kota Bengkulu dan sekitarnya hingga Sumatera Selatan dan Bangka Belitung.

Jika ditarik garis besarnya, semua ras di Asia Tenggara (kecuali jazirah Indocina) dianggap sebagai ras Melayu, yang terbentang dari Madagaskar di lepas pantai Afrika hingga Hawaii dan Tahiti di Pasifik. Yang ingin ditekankan disini adalah diaspora suku Melayu di Indonesia belaka, karena kalau semuanya dibahas akan terlalu lama dan panjang.

Diperkirakan orang Melayu berasal dari Sumatera, tepatnya di bekas kerajaan Malayu yang sekarang masuk propinsi Jambi. Sedangkan orang Melayu (suku lho) sendiri sudah bermigrasi ke berbagai wilayah di Indonesia sejak abad ke-9 dan 10 Masehi. Coba sedikit-sedikit diulas secara apa adanya tentang kemana saja orang (suku) Melayu ini menuju pasca bermigrasi dari pulau induknya, Sumatera, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung dalam lingkup Indonesia.

Kalimantan

Sekitar 1000 tahun silam, orang-orang Melayu dari Sumatera bermigrasi ke kawasan tenggara Kalimantan, dan membangun pemukimannya di sepanjang tepi Sungai Barito, berbaur dan campur dengan suku-suku proto Melayu, yakni orang Dayak Ngaju, Maanyan, Lawangan dan Bukit, serta Jawa yang melahirkan kelompok baru yang disebut Orang Banjar. Terbagi menjadi Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu dan Banjar Kuala.

Sedangkan di Kalimantan Timur, orang Melayu membentuk suku Kutai dan komunitas-komunitas Melayu di Berau dan Bulungan diutara. Orang Banjar di Kalimantan Timur sering disebut Melayu, dan mereka datang ke Kalimantan Timur sejak abad ke-15.

Sekitar abad ke-16 dan 17, orang Melayu dari Sumatera, Kepulauan Riau dan Semenanjung bermigrasi ke pesisir barat Kalimantan, dan mendirikan berbagai kerajaan baik di Pontianak, Sambas, Landak hingga Ketapang. Mereka juga turut menyebarkan agama Islam dikalangan orang Dayak, dan ‘memelayukan’ mereka yang kemudian masuk Islam. Mereka kemudian terbagi menjadi Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Landak dan Melayu Ketapang, serta kelompok Senganan di Sanggau.

Jawa

Orang Melayu yang dikenal sebagai pedagang banyak bermukim dikawasan Batavia, hingga dibuatkan perkampungan khusus Melayu yang kini ada di Kampung Melayu, Jakarta Timur serta Kampung Melayu di Tangerang, Banten. Sejak abad ke-16 dan 17 suku Melayu tinggal, diperkirakan mereka berasal dari Kalimantan bukan dari Sumatera jika ditilik dari pola bicaranya.

Pada perkembangannya, orang Melayu berbaur dengan berbagai suku yang didatangkan Belanda dari berbagai penjuru tanah air hingga melahirkan kelompok baru yang disebut Orang Betawi, yang budaya dasarnya adalah Melayu namun tercampur dengan budaya Sunda, Jawa, Cina, Belanda, Arab dan Portugis. Bahasa Melayu menggantikan bahasa Portugis sebagai lingua franca di bumi Batavia (Jakarta) sejak abad ke-18.

Orang Betawi yang bentukan Melayu ini kemudian menyebar dari kawasan Tangerang di Banten hingga Karawang, dan dari Jakarta Utara hingga Bojonggede, Jawa Barat. Betawi sendiri kemudian terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni Betawi Kota dan Betawi Udik, didasarkan lagu dan logat bicaranya. Namun orang Betawi sendiri banyak yang tersisih dari wilayah tradisionalnya untuk kemudian berpindah ke daerah luar Jakarta. Pusat budaya orang Betawi yang dijadikan cagar budaya antara lain kawasan Condet dan Babakan Setu.

Bali

Orang Melayu diperkirakan telah hadir di Pulau Dewata sejak abad ke-18. Ini terkait dengan penyebaran agama Islam dikawasan ini, terutama diwilayah Jembrana (Bali Barat). Orang-orang Melayu yang berasal dari Pahang, Trengganu dan Pontianak ini kemudian dimukimkan oleh raja setempat di kawasan bernama Loloan. Kampung ini kemudian terbagi menjadi dua, yakni Loloan Barat dan Loloan Timur yang masuk dalam wilayah Kota Negara, Kabupaten Jembrana.

Orang Melayu Loloan ini tinggal berbaur dengan pendatang asal Bugis dan Makassar yang ikut menjadi penduduk kampung tersebut dan menjadi kampung yang nuansa keislamannya sangat kuat ditengah dominasi agama Hindu dikawasan itu.

Lain Wilayah

Orang Melayu telah berdiaspora ke berbagai penjuru Indonesia, kendatipun kini mereka menghilang, melebur sepenuhnya dalam masyarakat yang mereka tinggali. Kampung-kampung Melayu di Jakarta, Tangerang, Banyuwangi, Semarang, hingga Matarampun kini hanya tinggal nama belaka.

Namun dengan perdagangan yang berkembang dari masa ke masa inilah akhirnya orang Melayu dan bahasanya menyebar disetiap wilayah Indonesia dan menancapkan bahasanya yang menjadi bahasa pengantar antar kelompok serta kesukuan, hingga terlahir bahasa Indonesia sebagai bahasa pengembangan dari Melayu.

Seiring dengan perkembangan jaman, orang bersuku Melayu dari berbagai wilayah Sumatera dan Kalimantan juga turut berpindah-pindah ke berbagai penjuru Indonesia, yang didorong antara lain faktor mata pencaharian dan pendidikan terutama di pulau Jawa.

Memang ada perbedaan konsep tentang Melayu antara Indonesia dan Malaysia, namun perbedaan itu bukanlah penghalang untuk menjembatani persaudaraan bangsa serumpun ini. Amin...

Bambang Priantono

Potensi-Potensi Perdamaian Masyarakat   Melayu Published November 20, 2008 Pendidikan Transformatif Leave a Comment Tags: Melayu, Pendidikan Transformatif, pengorganisasian, rekonsiliasi, Sambas, transformasi konflik

Abstraksi

Perdamaian dikembangkan dan diperjuangkan secara terus-menerus dengan tidak ada batasan waktu kapan terjadi perdamaian yang dicita-citakan. Tidak ada pola dan kecendrungan keberhasilan disuatu tempat akan berhasil dengan gemilang ditempat yang lain. Masyarakat Melayu, dalam beberapa hal tulisan ini secara empiris dibahas lebih banyak tentang masyarakat Melayu Sambas diungkap sebagai masyarakat egaliter dengan kondisi sosial, budaya dan politik yang khas dan menyimpan potensi perdamaian dalam proses panjang perdamaian transformatif. Potensi-potensi perdamaian yang selama ini gagal digali dari budaya, terutama yang diasumsikan menjadi penyebab konflik dan ketidakmaian lebih diungkap dari potensi sosial, komunikasi sosial dan komunikasi kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat, bahkan dimulai dari individu. Ini dilakukan menjadi pekerjaan kumulatif panjang termasuk tidak terlepas dari kondisi politik yang mulai berubah membaik dengan hasil-hasil Pilkada terbaru. Sebuah harapan baru untuk perdamaian.

Kata kunci: Melayu, Potensi Perdamaian, Transformasi Konflik,

Pada suatu pertemuan pegiat LSM (dimana pegiat itu sendiri lebih senang menyebutnya NGO) di Pontianak diajukan sebuah pertanyaan mengenai apa arti damai sesuai dengan pandangan masing-masing. Peserta menimbulkan tanggapan beragam dan bisa disebut dengan berwarna. Ada yang menarik, karena ada yang menjawab bahwa damai itu hal yang biasa. Biasa dimana semuanya berjalan dengan apa adanya tanpa ada gangguan fisik atau perasaan. Segala sesuatu berjalan apa adanya pada kondisi dan situasinya masing-masing. Pada akhirnya sebagian besar peserta berkesimpulan sementara bahwa damai diartikan secara sangat teknis dimana situasi atau kondisi tanpa konflik, perang atau berbagai bentuk kekerasan fisik lainnya.

Harris dan Morrison (2004) mengajukan istilah damai yang negatif dan damai yang positif. Damai dalam pengertian negatif hanya terbatas pada semata-mata penghentian kekerasan. Damai secara positif memuat pengertian standar keadilan, kehidupan yang lebih seimbang, adanya partisipasi dari rakyat terhadap negaranya. Perdamaian dalam makna ini memuat juga pola kerjasama untuk resolusi konflik, penghargaan terhadap keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar, penghargaan terhadap hak azasi manusia, serta menghargai kemanusiaan tanpa prasangka dan diskriminasi.

Sekarang mari kita lihat Kalimantan Barat. Tanah rentan yang tertimpa bencana konflik etnis berkali-kali sejak jaman pra-kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, yang dikelompokkan beberapa kali oleh para ahli tentang konflik kekerasan ini. Begitu juga dengan analisa tentang penyebabnya juga beragam, dari kultur, sosial dan budaya serta politik. Beberapa formula dan rumusan sudah dicari, beberapa mantra telah terucapkan dan beberapa pertemuan tokoh telah dilakukan. Dan hasilnya kita lihat sekarang. Sebagian melihat ini masih api dalam sekam yang bisa menyala sewaktu-waktu, dan yang paling mengejutkan tentunya pemicunya bisa apa saja, dari malam dangdut, rebutan pacar, ambil rumput, sampai pada alasan-alasan yang tidak masuk akal.

Merupakan catatan yang penting, pada semua konflik kekerasan antar etnis, sampai sekarang belum satupun upaya rekonsiliasi yang difasilitasi resmi dilakukan oleh pemerintah. Berbeda dengan konflik di Maluku yang mendapat perhatian serius dan langsung ditangani pemerintah langsung melalui wakil presiden dengan melahirkan Baku Bae, yang tidak lepas dari peran para aktivis perdamaian. Beberapa upaya mencapai belum mencapai hasil yang maksimal, tapi beberapa dialog (atau pertemuan, atau rembuk atau kesepakatan perdamaian atau muncul dengan beragam istilah yang disepakati) yang telah dilakukan jelas menunjukkan keinginan pihak-pihak yang bertikai untuk segera mengakhiri kekerasan dan mengakhiri pertikaian dan permusuhan dengan cara damai. Semua pihak lelah dengan kekerasan dan bermaksud menyelesaikan semua pertikaian dan perselisihan dengan cara yang damai.

Salah satu dialog yang dihadiri beberapa peserta yang mewakili kelompok etnis dan orang yang dianggap berpengaruh pada tahun 1999 di Hotel Surya (dulu namanya Hotel Khatulistiwa 3), jelas menggambarkan suasana yang tegang pada awalnya, semua bersikukuh pada kebenaran masing-masing, pada posisi masing yang menganalisa dan beranggapan darimana konflik ini berasal dan menjalar cepat. Acara pertemuan yang dipandu oleh seorang moderator tersebut pada mulanya tegang, panas dengan alur yang berputar-putar dan sulit mencapai kesamaan sudut pandang, apalagi mencapai kesepakatan. Tapi pada akhirnya para peserta memng sepakat untuk menyelesaikan pertikaian dan perselisihan tanpa kekerasan.

Waktu mau memulai tulisan ini, terus terang sulit untuk melihat potensi damai yang dimaksudkan atau mulai dari mana. Apalagi dengan definisi dengan memenuhi syarat-syarat damai secara positif yang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial tersebut diatas. Kondisi sekarang, ada yang menyebutkan, adalah kondisi tenggang dimana kekerasan akan bisa muncul kapan saja atau berulang pada waktu tertentu.Saya justru percaya sebaliknya, mungkin saja ini bukan masa tenggang sama sekali, karena tetap ada peluang untuk konflik kekerasan tidak akan muncul lagi. Anggapan yang menyiratkan konflik terjadi berulang dalam kurun waktu tertentu adalah tidak mutlak, karena waktu itu adalah lurus, tidak mundur dan berulang. Itu hanyalah keterbatasan manusia mencari batasan waktu, maka tercipta jam, hari, minggu, tahun, dan dekade. Waktu hanyalah siang berganti malam dan seterusnya berganti siang, berjalan terus, tidak mundur dan berulang.

Kembali melihat kondisi masyarakat Kalbar dan kondisi perdamaian yang positif seperti diutarakan diatas. Kita masih jauh dari standar keadilan, kehidupan yang lebih seimbang, adanya partisipasi dari rakyat terhadap negaranya bahkan untuk pemenuham kebutuhan dasar, untuk makan secara layak. Namun demikian, mencari potensi perdamain justru pertanyaan yang mudah

dirumuskan dan sulit dicari tanggapan atau jawabannya. Apalagi dalam konflik etnis, misalnya antara Madura-Melayu yang secara prinsip sesama pemeluk Islam. Dalam konteks ini, ada yang menganggap bahkan agama tidak bisa mencari solusinya terbukti sesama muslim masih bisa saling memusuhi. Berarti kita harus berangkat dari permulaan yang lain, dari potensi yang lain. Keniscayaan memandang titik awal perdamaian ini adalah suatu keniscayaan yang tetap harus kita cari.

Menarik berangkat dari kata ”biasa” diatas dan mungkin kita bisa berangkat dari potensi ini, karena perdamaian adalah hal yang alamiah. Kondisi seperti ini bisa dikatakan kondisi yang damai, selama hal tersebut akan menjadi tetap, menjadi tetapan. Perdamaian adalah sesuatu yang harus tersu menerus diperjuangkan.

Berangkat dari para pemikir transformasi konflik (Miall, 2001) yang berargumen bahwa konflik kontemporer memerlukan lebih dari memposisikan kembali identifikasi win-win (dimana pihak-pihak yang berkonflik sama-sama menang, sama-sama tidak dirugikan dalam konflik tersebut), tapi lebih kepada mengubah (atau mentransformasi) hubungan, minat, wacana, dan jika perlu mengubah konstitusi yang melanggengkan konflik. Bearti perdamaian diciptakan dari mentransformasi potensi yang ada untuyk berkontribusi pada usaha perdamaian.

Masyarakat dalam pihak yang berkonflik dan terpengaruh oleh konflik semuanya memiliki peran komplementer, saling melengkapi dan mempunyai pengaruh dan memainkan peran dalam proses panjang membangun perdamaian. Lebih lanjut ini mengharuskan pendekatan yang komprehensif menekankan pada dukungan kelompok dalam masyarakat yang berkonflik ketimbang mengandalkan mediasi dari pihak luar. Dengan demikian konflik diubah secara bertahap, melalui serangkaian perubahan kecil dan besar sebagaimana juga dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh [pelaku yang beragam yang mungkin memainkan peran yang penting.

Lalu dimana peluang kita untuk melihat potensi damai ini? Sebaliknya justru, kondisi seperti ini yang dianggap ’biasa’ bisa menggunakan semua media yang ada termasuk selalu melakukan mediasi perdamaian menggunakan media yang yang ada. Secara bersamaan, usaha-usaha resolusi konflik harus selalu diimbangi dengan upaya-upaya mengoptimalkan alat-alat perdamamaian. Mulai dengan, misalnya, ’radio perdamaian’, ’koran perdamaian, ’ kelompok perdamaian’ dan diseminasi informasi potensi damai sebanyak mungkin.Dalam masa tenggang ini peluang kita untuk menciptakan perdamaian cukup besar dan banyak potensi yang bisa digali. Atau dari sudut pandang transformasi konflik, konflik ini merupakan peluang besar untuk perdamaian. Semua hal yang terdapat sekarang setelah terjadi konflik bisa ditransformasi atau dirubah untuk menjadi alat perdamaian. Energi-energi yang ada bisa diubah menjadi alat-alat perdamaian.

Tulisan ini diungkap dari pengalaman empiris, berdasarkan referensi tentang sosial budaya masyarakat Melayu dan dan beberapa hasil wawancara yang memuat gagasan-gagasan perdamaian, baik kecil maupun besar yang diletakkan secara seimbang sebagai pecahan kecil dalam rangkaian gambar yang sangat besar. Bagian dari wawancara ini sebagian besar dilakukan dengan beberapa individu-individu dari kelompok masyarakat Melayu Sambas.

Masyarakat Egaliter yang Merampungkan Teka-Teki BesarDari data BPS Kalimantan Barat berdasarkan Sensus Penduduk terakhir (tahun 2000), disebutkan bahwa komposisi penduduk adalah sebagai berikut: Dayak yang berjumlah 1.234.162 jiwa atau 33% dari total penduduk yang berjumlah 3.732.940 jiwa. Selain Dayak, terdapat etnik-etnik lainnya yakni Melayu (1.208.537 jiwa), Jawa (341.173 jiwa), Madura (203.612 jiwa), Sunda (89.493 jiwa), Bugis (121.223 jiwa), Sulawesi (non-Bugis: 30.091 jiwa), Batak (18.809 jiwa), Padang (7.493 jiwa), Sumatra (non-Batak dan Padang: 12.755 jiwa), Banjar (24.117 jiwa), Cina (352.939 jiwa), Arab (3.549 jiwa), India (929 jiwa), lainnya (83.537 jiwa), dan warga asing (531 jiwa)

Pluralitas etnik tersebut dalam kenyataannya jauh lebih kaya daripada data Sensus Penduduk. Selalu ada yang tidak bisa diungkap atau keterbatasan sensus seperti demikian. Dalam etnik Melayu setidaknya terdapat subetnik Melayu Sambas, Mempawah, Landak, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, dan Ketapang yang masing-masing daripadanya memiliki bahasa dan budaya yang unik, dengan dimensi beragam termasuk sastra dan perilaku komunikasi sosial.

Berbicara tentang masyarakat Melayu kemudian merujuk kepada banyak hal: bahasa, sastra, kesenian, adat-istiadat, tempat, orang, kaum, etnis, bahkan ras. Identitas kebudayaan dan etnis wujud sebagai kesadaran akan diri (identitas pribadi), kesadaran akan kelompok etnik (identitas etnik), atau kesadaran sebagai pewaris budaya tertentu (identitas budaya) bersifat dinamis. Secara kontemporer, setelah kedatangan Islam, sistem kebudayaan itu diwarnai oleh ruh Islam sehingga sebagian orang mengidentikkan Melayu dengan Islam. Merujuk pada identitas Melayu dengan Islam bersifat objektif dan subjektif. Objektif karena raja beragama Islam sehinggga keturunannya pun Islam; subjektif, karena siapa pun yang memeluk Islam disebut Melayu. Bila dilihat dari pilar bahasa (dan kebudayaan), dapat juga dikatakan bahwa muslim dan non-muslim dapat disebut Melayu sejauh mereka hidup dalam cara hidup Melayu, berbicara dan menulis dalam bahasa Melayu dan menjalankan adat-istiadat Melayu (Chairil Effendi, 2001).

Mata pencarian masyarakat Melayu di pedalaman dan di pesisir Kalimantan Barat umumnya memiliki karakteristik yang sama, yaitu memanfaatkan hasil laut, menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Mata pencarian masyarakat yang lebih agak jauh dari laut, seperti di Sungai Itik dan pendatang dari Sambas, misalnya, secara tradisional adalah berburu di lokasi hutan disepanjang daerah pesisir dan menggantungkan hidup dengan sumber alam di laut dan sungai dengan menangkap ikan dan sumber alam lainnya yang ada. Alat yang digunakan untuk berburu yang digunakan seperti senapan. lantak, tombak, belati atau parang, jaring, jerat, sumpit, perangkap, jerat dan getah.

Berburu dilakukan untuk menangkap hasil buruan kancil atau pelanduk, kijang dan rusa, dan juga burung seperti peregam, tekukur, imbok, punai, bangau. Mata pencarian lain adalah bertani dengan bentuk bertani di ladang, humé belukar tua dan ‘serandang’. Bentuk mata pencarian lain adalah termasuk ‘meramu’, yaitu mengambil tumbuh-tumbuhan di hutan seperti bahan untuk makanan, bahan-bahan untuk mambangun rumah yang disebut ‘ramuan’. Termasuk meramu getah jelutung, damar, aren atau air legen untuk dijadikan gula kerek atau gulau aren (enau). Masyarakat yang tinggal didekat perairan, sungai dan laut sangat menggantungkan hidupnya dengan sungai dan laut dengan menangkap ikan dan sumber alam lainnya. Penangkapan ikan di laut menggunakan alat-alat tradisional seperti sero, rawai, pukat hanyut, trawl, belat, pancing,

jaring, kail, kelong dan jermal. Penangkapan ikan yang dilakukan di darat adalah nimba, ngammal, nanggok, jala, pukat, bubu, tajur, kail, ilar, lukah, rawai dan serampang. Secara kategoris, namun, masyarakat ini tidak bisa dibedakan apakah sebagai nelayan dan petani dengan melihat mata pencarian mereka tersebut. Diwaktu musim melaut bagus, yaitu dimana ombak tidak besar dan cuaca baik, mereka akan bekerja di laut; menangkap ikan dan melakukan budidaya sumber alam laut. Sebaliknya, dalam waktu tertentu justru mengerjakan humé atau ladang dan meramu jika laut tidak bersahabat.

Dikutip dari Chairil Effendi (2003), berdasarkan pembacaan terhadap sejumlah teks, identitas masyarakat Sambas memperlihatkan sosoknya yang multidimensional. Secara umum identitas budaya masyarakat Sambas digambarkan sebagai pemeluk Islam, tetapi sekaligus masih memelihara nilai-nilai Hindu dan lokal. Berdasarkan Teks Raja Alam, dengan volume teksnya besar dan jangkauan struktur teksnya luas, dan dianggap sakral oleh masyarakat pendukungnya hingga sekarang, dengan jelas memperlihatkan hal itu. Teks ini mengisahkan “perjalanan” tokoh-tokoh keturunan Mambang Kuning di kayangan dalam mendirikan kerajaan-kerajaan di bumi. Dalam “perjalanan” itu dikisahkan bahwa anak pertama Mambang Kuning belum memeluk Islam. Hal serupa masih terlihat pada tokoh Raja Alam, Raja Saih, dan Awang Kamarudin. Nilai-nilai Islam baru terlihat dalam episode ke-6 yang mengisahkan tokoh Awang Kebarin atau Raden Beruk. Dalam banyak hal, tokoh ini menentang nilai-nilai yang diyakini oleh orang tuanya. Perkawinannya dilakukan dilakukan di depan kadi, ulama, dan para pandita. Dia menetang perilaku ayahnya yang kerap menindas orang miskin. Namun, di bagian akhir teks, yakni episode yang mengisahkan keturunan terakhir Mambang Kuning, dikisahkan betapa kuatnya kepercayaan Awang Kesukma kepada mahluk-mahluk halus; bahkan istrinya pun berasal dari sebuah patung kayu pelaik yang dihidupkan oleh seorang pertapa.

Sastra lisan ini juga diungkap (Chiril Effendi, 2003) pada masyarakat Melayu Sekadau dan Ketapang. Misalnya budaya sastra lisan kesah adalah cerita tentang asal-usul kejadian dan keberadaan manusia di dunia; cerita adalah cerita tentang petualangan dan kesaktian tokoh pahlawan yang dipercaya sebagai tokoh historis; dan, ngkaya adalah cerita yang dianggap sebagai rekaan atau imajinasi tukang cerita. Penuturan teks dianggap merupakan sarana pewarisan nilai-nilai luhur yang dipelihara oleh nenek moyang mereka selama berabad-abad; sistem nilai yang menjadikan mereka mampu menghadapi deraan zaman yang selalu berubah.Seorang pemuda Melayu yang berkecimpung dalam masalah revitalisasi kebudayaan budaya Melayu Sambas yang mendorong kebudayaan sebagai alat dan proses transformasi menyatakan. “Melayu punya Budaya yang besar, budaya gotong royong, sebagai pekerja keras, cinta kasih bukan budaya kekerasan,ini yang hrus di hidupakan lagi. Sejarah sambas yang sangat luar biasa hebatnya dalam membangun budaya,yang di awali dengan pendidikan, pada saat lalu bagaimana sekolah–sekolah yang berbasis agama (pesantren)sangat banyak,di pesantren anak-anak yang dididik agama di ajarkan cinta kasih saling menolong dan gotong royong dan kita tahu di pesantren itu semua etnis ada, mereka saling berbaur bergaul tanpa membedakan asal dari mana dan etnis apa.”

Masyarakat Melayu yang dipandang sangat egaliter. Ketokohan dan penokohan orang tertentu dalam simpul massa sebagai representasi juga hanya berlaku untuk kelompok yang sangat kecil. Bayangkan berapa banyak pemuka atau tokoh yang harus diajak bicara jika untuk mengambil keputusan besar seperti rekonsiliasi dan perdamaian di masyarakat Melayu Sambas, misalnya.

Ini yang disebut Hanifan (dalam Rusydi, 2003) sebagai modal sosial. Hanifan mengatakan modal sosial merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial.

Sudah banyak pertemuan yang dilakukan dalam masyarakat Melayu, antar masyarakat Melayu dengan kelompok etnis lainnya dalam menyikapi dan menciptakan perdamaian dalam masyarakat. Di sebuah pertemuan yang disebut rembuk kampung, dilakukan di Singkawang, peserta terdiri dari kelompok etnis Melayu, Dayak, Tionghoa dan beberapa masyarakat Jawa mengungkap kesan bahwa mereka mau terlibat dalm upaya-upaya perdamaian atau peneyelesaian perselisihan atau konflik dengan cara damai. Dari pertemuan tersebut digali dan dikongsikan pendapat dan mengungkap akar masalah konflik, menepis stigmatisasi (pelabelan suatu kelompok masyarakat dengan cap tertentu yang negatif) dan melihat peluang perdamaian. Pada akhir pertemuan dilihat bagaimana kemungkinan untuk bekerjasama menyelesaikan masalah tanpa melihat perbedaan dan mencari persamaan mendasar dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Setidaknya ini sebagai permulaan yang baik, selain bahwa menyiratkan upaya perdamaian ini akan melibatkan banyak sekali orang melayu dalam waktu yang lama.

Kondisi perekonomian yang terpuruk sejak krisis ekonomi global yang menyebabkan Indonesia terpuruk secara global berdampak buruk bagi perekonomian di Sambas. Misalnya sejak jeruk sudah tidak bisa menyangga lagi perekonomian di Tebas, kelompok muda usia produktif banyak yang menganggur, menimbulkan stress sosial yang mendorong orang melakukan kekerasan dipicu dengan penyebab apapun. Banyak yang ’melarikan’ diri ke Malaysia untuk bekerja sekedar mencari sesuap nasi.Dari hasil pembicaraan warung kopi sampai survey ilmiah yang dilakukan menunjukkan bahwa juga pertemuan, dialog atau rembuk yang dilakukan harus sangat memperhitungkan kelompok muda dibawah umur 30 tahun ke bawah, terutama dilakukan pada masyarakat Melayu Sambas. Kelompok umur ini adalah kelompok yang terlibat langsung dalam konflik kekerasan dan merupakan kelompok yang kuat menolak upaya-upaya perdamaian apalagi pemulangan kelompok masyarakat Madura ke Sambas. Untuk memulai perdamaian dan upaya-upaya lainnya harus dimulai dari kelompok umur ini, yang kemudian mampu bergerak, menggelembung untuk menggerakkan perdamaian secara lebih luas dan terorganisir.

Bentuk upaya ini tentunya tidak dilakukan hanya sekali dua kali, bahkan mungkin perlu hitungan ratusan dengan memperhitungkan besarnya kelompok masyarakat Melayu, dan memperhitungkan banyaknya wilayah yang harus dilakukan upaya pertemuan, rembuk dan rapat, atau bentuk pertemuan lainnya kalau memperbincangkan masalah konflik, resolusi dan menciptakan perdamaian.Berangkat dari penglibatan, pertemuan harus berangkat dari kampung. Sebuah kegiatan yang dilakukan yang disebut ‘rembuk kampung’ misalnya dilakukan di daerah ‘penyangga’ Singkawang mensyaratkan penglibatan masyarakat yang egaliter ini dari bawah. Sebuah rembuk di kampung selanjutnya bisa dilakukan secara bergerilya dari satu kampung ke kampung lain, melelahkan memang, tapi sangat layak dicoba dan menglibatkan peran pemerintah, organisasi rakyat dan organisasi sipil secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Nanti akan kita lihat sejauh mana kondisi politik, niat baik politik negara mensikapi masalah ini.

Melakukan pertemuan ini seperti menebak teka-teki besar dimana setiap upaya mewakili satu potongan kecil yang dengan teliti dan hati-hati diletakkan sebagai bagian dari sebuah teka-teki yang besar. Karena tidak ada formula atau rumusan yang manjur untuk membngun perdamaian. Cara yang satu tidak mungkin sama bisa dilakukan ditempat yang lain. Yang harus dilakukan adalah berupaya membangun perdamaan tersebut, menggali potensi dan mencoba melakukannya.

Apalagi dengan mengentalnya identitas Melayu dengan bermunculan organisasi adat, pemuda dan budaya melayu. Setiap upaya ini berkontribusi sangat besar dalam menciptakan potensi damai dengan melakukan upaya perdamaian dengan melibatkan organisasi tersebut. Organisasi seperti Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM), termasuk lembaga kesultanan dari seluruh Kalimantan Barat, harus dipandang secara positif dan merupakan modal sosial potensi perdamaian yang besar dalam upaya menciptakan perdamaian, melalui dialog, pertemuan, rapat-rapat dan tindakan bersama. Tentunya jangan dilupakan organisasi basis dan organisasi rakyat (yang mungkin bahkan tidak pernah kita dengar dan ketahui hanya karena tidak masuk koran dan televisi) yang menyebar di kampung, di kota dan pesisir yang harus secara progressif difasilitasi. Penglibatan menjadi kata kunci dalam hal ini, menepikan titik potong bahwa organisasi ini juga mungkin dibentuk dengan motif-motif politik, yang memperkuat politik identitas dan perebutan kekuasaan. Secara de facto (kenyataannya) organisasi ini menyimpan potensi transformasi rekonsiliasi yang sangat besar, pengubah konflik menjadi perdamaian dan menjaganya.

Situasi sekarang sudah berubah, karena perjalanan waktu tentunya. Secara klasik banyak yang mengungkapkan bahwa waktu menyembuhkan semua luka. Beberapa kelompok Melayu menganggap ini sebagai pertanda perubahan situasi yang membaik dan senang mengakui bahwa perubahan ini ada dan sedang berlangsung. Dari sebuah pertemuan tentang peringatan dini konflik, seseorang yang merasa dari kelompok Melayu mengungkapkan, “Kalau kami sudah biasa melihat orang Madura melakukan transaksi jual beli, melakukan urusan tanah di Sambas.” Beberapa orang juga mengungkapakan kemungkinan yang sama dalam mengembangkan perdamaian, misalnya seorang ketua organisasi majelis ulama di Sambas mengungap ”Dalam membangun perdamaian dan pencegahan konflik di Sambas adalah adat istiadat yang harus di hidupkan, contoh adat pernikahan (walimah) tamu undangan tidak hanya yang berada di sekitar kampung bahkan antar kampong, Acara adat walimah bisa di jadikan media untuk menyampaikan pesan-pesan kerukunan hidup antar umat dan masyarakat, karena pada acara tersebut tokoh-tokoh masyarakat di beri kesempatan untuk menyampaikan pesan tentang kerukunan antar keluarga dan masyarakat,jika kerukunan terwujud maka akan terwujud perdamian. Beberapa orang mengungkapkan“. Saye terkadang kumpul dengan kawan-kawan bertanya dengan mereka sudah berapa anak, apakah ada anak yang usia 20 tahun, kalau ada mungkin anak mereka kuliah di luar, Saya mencoba memberikan pemikiran, cobe lihat anak kita bisa sekolah keluar Sambas dengan aman ngape kite tak tak bise.

Lebih lanjut beliau mengungkapkan “Cerita konflik di kab sambas saat ini sudah berkurang,karena pada saat Bupati turun kelapangan akan meyampaikan pesan bagaimana akan membangun kehidupan yang damai dan mewukudkan pembagunan kalau kita saling meyerang atau selalu rebut.”Harus diakui ini kondisi yang berbeda di Sambas dan perlu perhatian khusus termasuk melihat

kondisi damai disyaratkan tidak hanya bertumpu pada keberhasilan pemulangan pengungsi ke lokasi di Sambas, tapi juga dilihat bahwa dengan hidup terpisah juga harus dilihat pemenuhan hak dan keadilan kedua belah pihak. Mediasi yang adil dan menjamin pemenuhan hak secara damai merupakan kuncinya. Setelah dibangun pemenuhan hak dan memenuhi keadilan dua belah pihak maka akan menjadi modal sosial untuk berinteraksi ke tahap berikutnya. Ini yang disebut kondisi sosial dimana orang beinteraksi tanpa curiga dan memperoleh kepercayaan adalah kunci modal sosial yang kuat. Bagaimanapun juga ini potensi damai.

Beberapa hal patut menjadi catatan dari mengapa kondisi ini bisa terjadi. Tentunya secara optimis ini bisa berlanjut kepada bentuk damai yang lainnya.Untuk membangun modal sosial ini perlu dilakukan cara mendasar dalam komunikasi untuk saling bertemu dan mengemukakan pendapat. Disebutkan oleh dalam pembicaraan (wawancara) salah yang aktif dalam organisasi kepemudaan mengatakan perlu dibangun silaturrahim (jalinan persaudaraan). ”Atau bise dicoba buat acara silaturahmi untuk bersilaturahim seminggu berikut, ye silaturahim lagi agar timpul kedekatan lagi antara masyarakat yang dulu hidup rukun damai.”

Penulis memandang sebagai masyarakat yang egaliter, perlu dilakukan tindakan afirmatif yang disepakati oleh kelompok yang menggelinding dan membesar untuk membentuk komitmen, kesepakatan dan tindakan bersama.“Rekonsiliasi dan perdamaian di Sambas antara etnis Melayu dan Madura itu dapat dilakukan dengan model berjaringan, dimana proses ini tidak hanya sebatas mengumpulkan orang, tapi juga melakukan jaringan antar individu dan individu ini juga harus mencari kawan yang lain supaya banyak yang teriak perdamaian dan menjadi buah bibir.”

Proses berjaringan ini seperti terungkap dalam diskusi adalah tidak hanya sebatas mengumpulkan orang-orang tapi juga melakukan jaringan antar individu dan individu ini juga harus mencari kawan yang lain seperti multi level marketing. Dikatakannya bahwa proses ilmiah terlalu lama, perlu di lakukan intervensi atau tekanan dari orang-orang yang sepaham. Begitu juga anak-anak mahasiawa yang kuliah di Pontianak, misalnya, coba buat diskusi,pertemuan,komunikasi,karena hal itu jarang di lakukan,mungkin mereka-mereka sama-sama tak takut mau mulai sehingga saling menunggu,hal ini di lakukan untuk merubah pandangan bahwa Sambas sudah aman dan damai.

Politik PerdamaianUntuk mencari sumber-sumber atau kekuatan-kekuatan perdamaian dengan mengutamakan kearifan masyarakat dalam menjaga dan memelihara perdamaian, resolusi konflik, baik sebagai upaya pencegahan konflik maupun penyelesaian konflik yang tengah berlangsung adalah dengan menciptakan peluang dan mendorong upaya. Pemerintah secara struktur memegang peran yang sangat penting untuk memfasilitasi perdamaian, mendiseminasi atau bahasa sosialisasi dengan melibatkan peran luas masyarakat secara langsung. Keseimbangan sistem politik dan ekonomi, termasuk mengukur politik identitas etnis tanpa disertai kekerasan akan menjadi peluang dan model sistem perdamaian yang akan dibangun.

Desentralisasi mulai dari kampung bertujuan dalam kerangka otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitas keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan dengan meningkatkan keterlibatan serta partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan maupun implementasinya

sehingga terwujud pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif, dan akuntabel. Dalam prosesnya diberikan pendidikan politik kepada masyarakat akan kepentingan keterlibatan mereka dalam proses pemerintahan dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin mereka secara demokratis. Terakhir, untuk membangun kesalingpercayaan antar masyarakat di satu pihak, dan antara masyarakat dan pemerintah di pihak lain.

Para bupati sekarang sudah dipilih langsung oleh rakyat, memiliki legitimasi lebih kuat dan mempunyai peluang membangun perdamaian yang lebih luas dalam struktur kekuasaan. Partisipasi rakyat dalam pemerintahan demokrasi yang dianut mengakomodir kepentingan masyarakat yang paling bawah diwali dengan pemerintah memperhatikan pembiayaan di kampung atau di desa. Sedikit, tapi ini permulaan.Masyarakat Melayu sendiri mengungkapkan bahwa yang terpenting adanya kemauan politik dari kepala daerah. Dikatakan bahwa banyak moment yang bisa di manfaatkan oleh pak Bupati untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa hidup damai dengan semua etnis.”Mun (kalau) dilakukan paling tidak sudah mulai ada perubahan berfikir walau sedikit di masyarakat, kan tidak mungkin pada saat bupati omong gayye (begitu) lalu di serang masyarakat disiyye (disitu), bupati adalah bupati yang di pilih langsung.”

Catatan Kecil Potensi damai adalah potensi yang dihimpun dari kekuatan kecil menjadi kekuaatan besar, dari kekuatan individu menjadi kekuatan kolektif. Orang Melayu berpribahasa, ”sikit-sikit, lama-lama jadi bukit”, tidak ada yang basi dan usang dengan peribahasa ini.Menghimpun potensi damai yang ada, adalah untuk menciptakan momentum perdamaian dan kembali menghimpun momentum itu, merangkainya menjadi bangunan teguh dan kokoh. Membangun kebijakan politik yang mengakomodir pendidikan perdamaian, usaha perdamaian lainnya tetap juga harus dimulai dari kampung ke kampung. Beberapa rembuk kampung bisa dihimpun. Sejauh ini rembuk kampung yang melibatkan paertisipasi orang kampung secara luas dari mulai isu korupsi, Anggaran Dana Desa (ADD), perempuan dan membangun gerakan Credit Union di masyarakat Melayu dapat menjadi sebarang pintu untuk menuju perdamaian. Kalau sudah tidak ada lagi yang berbuat memang harus orang Melayu sendiri yang bangkit dari keterpurukannya. Sebagai pembangkit semangat mungkin perlu diingat untuk mengangkat harkat dan martabat puak Melayu.

Sejarah Asal Usul Sambas

Sejarah tentang asal usul kerajaan Sambas tidak bisa terlepas dari Kerajaan di Brunei Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat.

Pada jaman dahulu, di Negeri Brunei Darussalam, bertahtalah seorang Raja yang bergelar Sri Paduka Sultan Muhammad. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada anak cucunya secara turun temurun. Sampailah pada keturunan yang kesembilan yaitu Sultan AbdulDjalil Akbar. Beliau mempunyai putra yang bernama sultan Raja Tengah. Raja tengah inilah yang telah datang ke Kerajaan Tanjungpura (Sukadana). Karena prilaku dan tata kramanya sesuai dengan keadaan sekitarnya, beliau disegani bahkan Raja Tanjungpura rela mengawinkan dengan anaknya bernama ratu Surya. Dari perkawinan ini terlahirlah Raden Sulaiman. Saat itu di Sambas memerintah seorang ratu keturunan Majapahit (Hinduisme) bernama Ratu Sepudak dengan pusat pemerintahannya di Kota Lama kecamatan Telok Keramat sekitar 36 Km dari Kota Sambas. Baginda Ratu Sepudak dikaruniai dua orang putri. Yang sulung dikawinkan dengan kemenakan Ratu Sepudak bernama raden Prabu Kencana dan ditetapkan menjadi penggantinya. Ketika Ratu Sepudak memerintah, tibalah raja Tengah beserta rombongannya di Sambas. Kemudian banyak rakyat menjadi pengikutnya dan memeluk agama Islam.

Tak berapa lama, Ratu Sepudak wafat. Menantunya Raden Prabu Kencana naik tahtadan memerintah dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Pada peristiwa bersamaan putri kedua Ratu Sepudak yang bernama Mas Ayu Bungsu kawin dengan Raden Sulaiman (Putera sulung Raja Tengah. Perkawinan ini dikaruniai seorang putera bernama Raden Boma. Dalam pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda, diangkatlah pembantu-pembantu Administrasi kerajaan. Adik kandungnya bernama Pangeran Mangkurat ditunjuk sebagai Wazir Utama. Bertugas khusus mengurus perbendaharaan raja, terkadang juga mewakili raja. Raden Sulaiman ditunjuk menjadi Wazir kedua yang khusus mengurus dalam dan luar negeri dan dibantu menteri-menteri dan petinggi lainnya. Rakyat lebih menghargai Raden Sulaiman daripada Pangeran Mangkurat, hingga menimbulkan rasa iri di hati Pangeran Mangkurat.

Suatu ketika tangan kanan Raden Sulaiman bernama Kyai Satia Bakti dibunuh pengikut Pangeran Mangkurat. setelah dilaporkan kepada raja, ternyata tak ada tindakan positif, suasana makin keruh. Raden Sulaiaman mengambil kebijaksanaan meninggalkan pusat kerajaan, menuju daerah baru dan mendirikan sebuah kota dengan nama Kota bangun. Jumlah pengikutnyapun makin banyak. Hal ini telah mengajak Petinggi Nagur, Bantilan dan Segerunding mengusulkan untuk berunding dengan Ratu Anom Kesuma Yuda. Hasil mufakat keduanya meninggalkan kota lama. Raden Sulaiman menuju kota Bandir dan Ratu Anom Kesuma Yuda berangkat menuju sungai Selakau. Kemudian agak ke hulu dan mendirikan kota dengan ibukota pemerintahannya diberi nama Kota Balai Pinang.

Meninggalnya Ratu Anom Kesuma Yuda dan Pangeran Mangkurat, putera Ratu Anom yang bernama Raden Bekut diangkat menjadi raja dengan gelar Panembahan Kota Balai. Beliau beristrikan Mas Ayu Krontiko, puteri Pangeran Mangkurat. Raden Mas Dungun putera raden Bekut adalah Panembahan terakhir Kota Balai. Kerajaan ini berakhir karena utusan Raden Sulaiman menjemput mereka kembali ke Sambas. Kurang lebih 3 tahun kemudian berdiam di Kota Bandir, atas hasil mufakat, berpindahlah mereka dan mendirikan pusat pemerintahannya di Lubuk Madung, pada persimpangan tiga sungai : sungai Sambas Kecil, Sungai Subah dan Sungai Teberau. Kota ini juga disebut orang ” Muara Ulakan”. Kemudian keraton kerajaan dibangun dan hingga kini masih berdiri megah.

Di tempat inilah raden sulaiman dinobatkan menjadi Sultan Pertama di kerajaan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin I. Saudara-saudaranya, Raden Badaruddin digelar pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Raden Abdul Wahab di gelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma. Raden Bima (anak Raden Sulaiman) ke Sukadana dan kawin dengan puteri raja Tanjungpura bernama Puteri Indra Kesuma (adik bungsu Sultan Zainuddin) dan dikaruniai seorang putera diberinama Raden Meliau, nama yang terambil dari nama sungai di Sukadana. Setahun kemudian merka pamit ke hadapan Sultan Zaiuddin untuk pulang ke Sambas, oleh Raden Sulaiman dititahkan berangkat ke Negeri Brunai untuk menemui kaum keluarga. Sekembalinya dari Brunai, Raden Bima dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Tadjuddin. Bersamaan dengan itu, Raden Akhmad putera Raden Abdu Wahab dilantik menjadi Pangeran Bendahara Sri Maharaja. Wafatnya Sultan Muhammad Tadjuddin, pemerintahan dilanjutkan Puteranya Raden Meliau dengan gelar Sultan Umar Akamuddin I.

Berkat bantuan permaisurinya bernama Utin Kemala bergelar Ratu Adil, pemerintahan berjalan lancar dan adil. Inilah sebabnya dalam sejarah Sambas terkenal dengan sebutan Marhum Adil, Utin Kemala adalah puteri dari pangeran Dipa (seorang bangsawan kerajaan Landak) dengan Raden Ratna Dewi (puteri Sultan Muhammad Syafeiuddin I).

Wafatnya Sultan Umar Akamuddin I, Puteranya Raden Bungsu naik tahta dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin. Kemudian diganti oleh Abubakar Tadjuddin I. Berganti pula dengan Raden Pasu yang lebih terkenal dengan nama Pangeran Anom. Setelah naik tahta beliau bergelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I. Sebagai wakilnya diangkatlah Sultan Usman Kamaluddin dan Sultan Umar Akamuddin III. Pangeran Anom dicatat sebagai tokoh yang sukar dicari tandingannya, penumpas perampok lanun. Setelah memerintah kira-kira 13 tahun (1828), Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I wafat. Puteranya Raden Ishak (Pangeran Ratu Nata Kesuma)baru berumur 6 tahun. Karena itu roda pemerintahan diwakilikan kepada Sultan Usman Kamaluddin.

Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishak dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama Syafeiuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati. Tahun 1855 Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (Kembali ke Sambas tahun 1879). Maka sebagai wakil ditunjuklah Raden Toko’ (Pangeran Ratu Mangkunegara) dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Pada tahun itu juga atas perintah Belanda, Pangeran Adipati diberangkatkan ke Jawa untuk study.

Tahun 1861 Pangeran Adipati pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan dengan gelar sultan Muhammad Syafeiuddin II. Beliau mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan diangkat sebagai putera Mahkota.

Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Muhammad Aryadiningrat. Sebelum manjabat sebagai raja, Putera Mahkota Raden Ahmad wafat mendahului ayahnya. Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Muhammad Mulia Ibrahim. Pada saat Raden Ahmad wafat, Sultan Muhammad Syafeiuddin II telah berkuasa selama 56 tahun. Beliau merasa sudah lanjut usia, maka dinobatkan Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai wakil raja dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin II.

Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, beliau wafat. Roda pemerintahan diserahkan kepada Sultan Muhammad Mulia Ibrahim. Dan pada masa pemerintahan raja inilah, bangsa Jepang datang ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim adalah salah seorang yang menjadi korban keganasan Jepang. Sejak saat itu berakhir pulalah kekuasaan Kerajaan Sambas. Sedangkan benda peninggalan Kerajaan Sambas antara lain tempat tidur raja, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran raja, payung ubur-ubur, tombak canggah, meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Cina dan kaca kristal dari negeri Belanda.

*****Sumber : Website www.sambas.go.id pada link ini.