penyakit mata

34
EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN PENYAKIT MATA DI KOMUNITAS Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro DISUSUN OLEH : Kussetya Angga Praniarto 1410221052

Upload: kussetya-angga

Post on 11-Jul-2016

31 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

penyakit pada mata dan kesmas

TRANSCRIPT

Page 1: Penyakit Mata

EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

MATA DI KOMUNITAS

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

DISUSUN OLEH :

Kussetya Angga Praniarto

1410221052

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DIPONEGORO

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

PERIODE 4 JANUARI - 27 FEBRUARI 2016

Page 2: Penyakit Mata

TINJAUAN PUSTAKA

A. MASALAH PENYAKIT MATA

Mencegah timbulnya penyakit adalah hal yang paling penting dari segi

kesehatan. Dalam ilmu penyakit mata mencegah timbulnya kebutaan adalah hal

yang paling penting, dengan cara mencegah timbulnya penyakit yang dapat

menimbulkan kebutaan atau mengobati setiap penyakit sedini mungkin. Kebutaan

menurut WHO dan UNICEF adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat

menjalankan pekerjaan yang memerlukan penglihatannya sebagai hal yang

esensial sebagaimana orang sehat.1

Buta menurut WHO adalah ketidakmampuan seseorang untuk dapat

menghitung jari pada jarak 3 m pada siang hari atau visus 3/60. WHO

menganjurkan kriteria kebutaan untuk negara yang sedang berkembang ialah

ketajaman penglihatan 3/60 atau lebih rendah yang tidak dapat dikoreksi. Kriteria

kebutaan di Indonesia, pada mulanya dipakai ketajaman penglihatan 1/60 atau

lebih rendah yang tidak dapat dikoreksi. Berdasarkan kriteria ini, frekuensi

kebutaan di Indonesia 0,8 - 1,3%. Sejak tahun 1981 Indonesia memakai kriteria

yang dianjurkan WHO.1

Lalit dan Rakhi mengusulkan bahwa definisi gangguan penglihatan di the

International Statistical Classification of Diseases didasarkan pada penyajian

ketajaman visual bukannya koreksi terbaik ketajaman visual, ketajaman visual

cut-off level kebutaan diubah dari kurang dari 3/60 menjadi kurang dari 6/60,

kategori low vision dimodifikasi sampai gangguan penglihatan sedang yang

didefinisikan sebagai ketajaman visual kurang dari 6/18 sampai 6/60, dan kategori

gangguan penglihatan ringan didefinisikan sebagai ketajaman visual kurang dari

6/12 sampai 6/18.2

Sejak awal lebih dari 50 tahun yang lalu, dan mulai dengan kontrol

trachoma, WHO telah mempelopori upaya untuk membantu negara-negara

anggota untuk memenuhi tantangan kebutaan tak perlu. Sejak berdirinya Program

WHO untuk Pencegahan Kebutaan pada tahun 1978, langkah besar telah

dilakukan melalui berbagai bentuk dukungan teknis untuk membangun program

kebutaan pencegahan nasional. Sebuah inisiatif yang lebih baru, '' The Global

Page 3: Penyakit Mata

Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness’’ (referred to as ‘‘VISION

2020 — The Right to Sight’''), diluncurkan pada tahun 1999, merupakan upaya

kolaborasi antara WHO dan sejumlah internasional organisasi non pemerintah dan

mitra lain yang tertarik. Upaya ini siap untuk mengambil langkah yang diperlukan

untuk mencapai tujuan menghilangkan kebutaan di seluruh dunia pada tahun

2020.14

Gangguan penglihatan dapat membatasi kemampuan seseorang untuk

melakukan tugas sehari-hari dan dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka dan

kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Kebutaan, bentuk yang

paling parah dari gangguan penglihatan, dapat mengurangi kemampuan seseorang

untuk melakukan tugas sehari-hari, dan bergerak tanpa bantuan. rehabilitasi yang

baik memungkinkan seseorang dengan derajat gangguan penglihatan yang

berbeda untuk sepenuhnya menikmati kehidupan, mencapai tujuan mereka, dan

menjadi aktif dan produktif dalam masyarakat. Sebagian besar penyakit dan

kondisi yang menyebabkan gangguan penglihatan dan kebutaan dapat dicegah

atau mudah diobati dengan intervensi yang diketahui dan hemat biaya 3

The Global Eye Health Action Plan tahun 2014–2019 bertujuan untuk

mengurangi gangguan penglihatan yang dapat dihindari sebagai masalah

kesehatan masyarakat global dan untuk mengamankan akses ke layanan

rehabilitasi untuk tunanetra. Ini harus dicapai dengan memperluas usaha saat ini

oleh negara anggota, Sekretariat WHO dan mitra internasional, peningkatan

koordinasi, monitoring efisien, fokus penggunaan sumber daya terhadap

intervensi yang paling efektif, dan mengembangkan pendekatan inovatif untuk

mencegah dan menyembuhkan penyakit mata.3

Kebutaan di Indonesia merupakan ancaman serius yang perlu ditangani

secara khusus. Tanpa tindakan yang tepat dan cepat dikhawatirkan jumlah

penderita buta akan bertambah 2-5 kali pada tahun 2000 yang akan datang.

Tidaklah berlebihan bila kebutaan oleh pemerintah dinyatakan sebagai bencana

nasional.1

Page 4: Penyakit Mata

Klasifikasi

Menurut hasil lokakarya dokter ahli mata dan ahli kesehatan gizi tahun

1976, kebutaan dibagi menjadi:1

a. Buta sosial: ketajaman penglihatan paling tinggi 1/60

b. Buta ekonomi: tajam penglihatan 1/60 - 5/30 tanpa gangguan lapang

penglihatan

c. Buta klinis: ketajaman penglihatan 0

Ada 4 tingkat fungsi visual, menurut International Classification of

Diseases (ICD) -10 (Update dan Revisi 2006):6

1) penglihatan normal

2) gangguan penglihatan moderat

3) gangguan penglihatan parah

4) kebutaan.

Gangguan penglihatan sedang dikombinasikan dengan gangguan

penglihatan berat dikelompokkan dalam istilah "low vision": low vision disatukan

dengan kebutaan mewakili semua gangguan penglihatan.2

Perubahan definisi visual impairment dalam ICD diusulkan. Tiga isu utama

yang perlu dibahas dalam revisi definisi ini.2

1) Pertama, definisi yang ada didasarkan pada koreksi ketajaman visual

terbaik, yang mengecualikan kesalahan bias dikoreksi sebagai penyebab

gangguan penglihatan, menyebabkan meremehkan substansial dari total

beban tunanetra sekitar 38%.

2) Kedua, tingkat cut-off dari tunanetra untuk menentukan kebutaan di ICD

adalah ketajaman visual kurang dari 3/60 di mata yang lebih baik, tetapi

dengan meningkatkan pembangunan manusia persyaratan ketajaman

visual juga meningkat, menunjukkan bahwa tingkat kurang dari 6/60

digunakan untuk menentukan kebutaan.

3) Ketiga, ICD menggunakan istilah 'low vision' untuk tingkat gangguan

penglihatan kurang daripada kebutaan, yang menyebabkan kebingungan

dengan penggunaan umum istilah ini untuk penglihatan uncorrectable

membutuhkan bantuan atau rehabilitasi, menunjukkan bahwa istilah

Page 5: Penyakit Mata

alternatif seperti tunanetra sedang dan ringan akan lebih tepat untuk

tunanetra kurang parah dari kebutaan.

Kami mengusulkan revisi definisi dari tunanetra di ICD yang membahas

tiga isu. Menurut definisi revisi ini, jumlah orang buta di dunia didefinisikan

sebagai adanya ketajaman visual kurang dari 6/60 di mata yang lebih baik akan

mencapai sekitar 57 juta dibandingkan dengan perkiraan WHO 37 juta

menggunakan ICD, definisi terbaik dikoreksi ketajaman visual kurang dari 3/60 di

mata yang lebih baik, dan jumlah orang di dunia tunanetra moderat didefinisikan

sebagai menghadirkan ketajaman visual kurang dari 6/18 untuk 6/60 di mata yang

lebih baik akan menjadi sekitar 202 juta dibandingkan dengan perkiraan WHO dari

124 juta orang dengan low vision didefinisikan sebagai terbaik dikoreksi ketajaman

visual kurang dari 6/18 untuk 3/60 di mata yang lebih baik.2

Etiologi

Kebutaan adalah ketidakmampuan untuk melihat. Penyebab utama kebutaan

kronis termasuk katarak, glaukoma, yang berkaitan dengan usia degenerasi

makula, kekeruhan kornea, retinopati diabetes, trachoma, dan kondisi mata pada

Page 6: Penyakit Mata

anak-anak (misalnya disebabkan oleh kekurangan vitamin A). kebutaan terkait

usia meningkat di seluruh dunia, seperti kebutaan akibat diabetes yang tidak

terkontrol. Di sisi lain, kebutaan yang disebabkan oleh infeksi menurun, sebagai

akibat dari tindakan kesehatan masyarakat. Tiga-perempat dari semua kebutaan

dapat dicegah atau diobati.7

Secara global penyebab utama gangguan penglihatan adalah:6

1. kesalahan tidak dikoreksi bias (miopia, hyperopia atau astigmatisme) 43%

2. acreage katarak 33%

3. glaukoma 2%.

Sedangkan penyebab kebutaan di Indonesia, tanpa memperhitungkan

kelainan refraksi, diantaranya:1

a. Xeroftalmia

b. Infeksi mata

c. Katarak senilis

d. Glaukoma

e. Retinopati diabetikum, retinopati hipertensi, dan penyakit fundus

lainnya

f. Trauma

Paparan berkelanjutan asap rokok menghasilkan perubahan biologis pada

mata yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. Paparan berat asap rokok,

seperti hidup dengan perokok setidaknya selama lima tahun, juga dapat

menyebabkan perubahan ini. Bahan kimia dalam asap tembakau mengurangi

kemampuan tubuh untuk melindungi diri dengan bersamaan meningkatkan kadar

oksidan dan mengurangi tingkat antioksidan dalam tubuh.8

Tekanan darah tinggi, yang disebabkan langsung oleh merokok, merupakan

faktor risiko untuk degenerasi makula. Merokok menyebabkan pembuluh darah

menjadi sempit di seluruh tubuh, termasuk pembuluh darah ke mata. Merokok

juga mengurangi jumlah oksigen dalam darah sehingga kurang oksigen mencapai

makula. Penelitian menunjukkan bahwa tar asap rokok terkait memicu

pembentukan deposito di retina (drusen body) yang menandai awal dari

degenerasi makula. Singkatnya, paparan berulang asap tembakau mempercepat

Page 7: Penyakit Mata

proses penuaan tubuh, termasuk dari mata. Cara terbaik untuk menghindari

beberapa terkait kehilangan penglihatan adalah dengan berhenti merokok.8

Epidemiologi

Pada tahun 2010, jumlah orang dengan gangguan penglihatan diperkirakan

mencapai 285 juta, 39 juta diantaranya buta. Hal ini merupakan terjadinya

pengurangan jumlah orang yang sebelumnya diperkirakan sebagai yang

mengalami gangguan penglihatan pada tahun 2004. Hal ini dapat disebabkan oleh

data yang lebih baik, tetapi juga karena intervensi yang telah mengurangi jumlah

orang dengan gangguan pengelihatan yang dapat dihindari.5

Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 1,49

persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0,5 persen. Prevalensi severe low vision

dan kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 45 tahun keatas

dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya.

Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk

kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada

pertambahan usia.5

Fakta yang didapatkan WHO, sebanyak 285 juta orang diperkirakan akan

dengan gangguan penglihatan di seluruh dunia: 39 juta buta dan 246 memiliki low

vision. Sekitar 90% dari dunia hidup dengan gangguan penglihatan dalam

pengaturan berpenghasilan rendah. 82% dari orang yang hidup dengan kebutaan

yang berusia 50 dan di atas. Secara global, kelainan refraksi dikoreksi adalah

penyebab utama sedang dan berat gangguan penglihatan; katarak tetap menjadi

penyebab utama kebutaan di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah.

Jumlah orang dengan gangguan penglihatan dari penyakit menular telah

berkurang dalam 20 tahun terakhir sesuai dengan pekerjaan perkiraan global. 80%

dari semua gangguan penglihatan dapat dicegah atau disembuhkan.6

Terdapat sebanyak 40 juta orang buta di seluruh dunia, kurang lebih 1% dari

penduduk dunia, terutama di daerah yang sedang berkembang. Diantara kebutaan

ini ada yang dapat dicegah, seperti kebutaan akibat infeksi dan malnutrisi.

Adapula yang dapat diobati, seperti katarak dan glaukoma.1

Page 8: Penyakit Mata

Angka kebutaan di Indonesia masih tinggi, 1000 per 100.000 penduduk,

sedangkan angka kebutaan di negara maju seperti Belanda atau Jepang sekitar 50

per 100.000 penduduk. Sebagian besar disebabkan oleh kerusakan kornea,

terutama xeroftalmia, trakoma, gonore, disamping penyakit lain seperti oftalmia

flikten, ulkus kornea karena herpes simpleks, dan keratomikosis yang

menunjukkan kecenderungan meningkat. Penyebab lain kebutaan di Indonesia

adalah katarak, glaukoma dan trauma.1

Kebutaan akibat kerusakan kornea di Indonesia menunjukkan bahwa

kelainan mata yang terjadi sudah lanjut. Untuk mencegah kelainan mata yang

lanjut ini, pencegahan atau mengatasinya secara dini perlu dilakukan.1

Kelainan mata yang merupakan penyebab kebutaan di Indonesia

berdasarkan usia adalah sebagai berikut:1

a. < 15 tahun: xeroftalmi dan penyakit infeksi

b. 15-40 tahun: uveitis, glaukoma, trauma, dan atrofi saraf optik

c. > 40 tahun: glaukoma, katarak, atrofi saraf optik.

Besarnya gangguan penglihatan dan kebutaan dan penyebabnya telah

diperkirakan, secara global dan menurut wilayah WHO dari data terakhir. Untuk

negara-negara tanpa perkiraan data berdasarkan model baru yang dikembangkan.

Secara global jumlah orang dari segala usia tunanetra diperkirakan 285 juta, di

antaranya 39 juta buta. Orang 50 tahun dan lebih tua 82% dari semua buta.

Penyebab utama gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi yang tidak

dikoreksi (43%) dan katarak (33%); penyebab pertama kebutaan adalah katarak

(51%). tunanetra pada tahun 2010 adalah masalah kesehatan global utama:

penyebab yang dapat dicegah setinggi 80% dari total beban global.4,11

Ras atau etnis

Jumlah non-institusional, pria atau wanita, segala usia, dengan semua tingkatan

pendidikan di Amerika Serikat dilaporkan memiliki cacat visual yang pada tahun

2013. Putih: 5.328.700 (2,3%), Hitam/Afrika Amerika: 1.144.900 (2,9%),

Hispanik: 1.146.100 (2,1%), Asia: 221.800 (1,4%), American Indian atau Alaska

Native: 98.700 (4,0%), Beberapa ras lain (s): 533.700 (2,2%).9

Tingkat kerja bagi individu yang buta di Amerika Serikat telah rendah

selama beberapa dekade. Edward dan Natalia melakukan penelitian yang

Page 9: Penyakit Mata

bertujuan untuk menggambarkan status pekerjaan saat ini dari individu tersebut

dan untuk menganalisis konsistensi dengan laporan federal dan penelitian

sebelumnya. Selain itu, penelitian yang dilakukan Edward dan Natalia berusaha

untuk meneliti faktor-faktor demografi, pendidikan, keterlibatan sipil, dan

pengalaman rehabilitasi populasi ini untuk menentukan apakah beberapa dari

mereka dapat diidentifikasi sebagai kontribusi terhadap hasil kerja.10

Data menunjukkan bahwa 37% dari orang dewasa usia kerja yang buta

bekerja penuh waktu produktif gaji rata-rata $ 35.000 temuan sangat mirip dengan

rehabilitasi dan tenaga kerja temuan federal untuk populasi ini. Temuan ini juga

serupa dengan penelitian yang ada (Bell, 2010; Warren-Peace, 2009),

menempatkan dalam bukti bahwa belum ada perubahan dalam tingkat pekerjaan

di tahun terakhir. Dari 37% individu yang bekerja tersebut, sekitar 67% memiliki

akses ke asuransi kesehatan melalui pekerjaan mereka, 63% memiliki akses ke

asuransi gigi, dan 61% memiliki ketersediaan perencanaan pensiun.10

Meskipun laki-laki dan perempuan yang buta bekerja pada tingkat kira-kira

setara, kesenjangan gender masih ada dengan laki-laki yang mendapatkan rata-

rata $ 10.000 per tahun dibandingkan wanita. Temuan ini konsisten dengan

penelitian sebelumnya (Bell, 2010; Darensbourg, 2013; Randolph, 2004; Warren-

Peace, 2009). Tidak ada perbedaan signifikan yang diidentifikasi dalam tingkat

pekerjaan atau penghasilan berdasarkan karakteristik demografi lainnya, seperti

usia, ras / etnis, atau klasifikasi tunanetra.10

Orang-orang yang afiliasi dengan NFB dalam penelitian ini dipekerjakan

pada tingkat 59%, penghasilan $ 46.200; sedangkan, mereka yang afiliasi dengan

ACB dipekerjakan pada tingkat 42%, penghasilan $ 37.000. Mereka yang

memilih untuk tidak afiliasi dengan organisasi baik cenderung lebih baik

dibandingkan anggota ACB, tapi kurang baik dibandingkan anggota NFB.10

Seperti telah dibuktikan dalam penelitian sebelumnya, pencapaian

pendidikan merupakan faktor yang signifikan dalam pekerjaan penduduk ini,

dengan mereka yang memiliki pendidikan lulusan tingkat sedang bekerja di lebih

dari dua kali lipat tingkat dari mereka dengan hanya ijazah sekolah tinggi, dan

lebih dari $ 35.000 perbedaan pendapatan tahunan.10

Page 10: Penyakit Mata

Siapa yang Berisiko

Sekitar 90% dari orang tunanetra hidup di negara-negara berkembang.6

1) Orang berusia 50 dan lebih.

Sekitar 65% dari semua orang yang tunanetra berusia 50 atau lebih tua,

sedangkan kelompok usia ini terdiri dari sekitar 20% dari populasi dunia.

Dengan meningkatnya populasi lansia di banyak negara, lebih banyak

orang akan berada pada risiko gangguan penglihatan karena penyakit

mata kronis dan proses penuaan.6

2) Anak-anak di bawah usia 15

Diperkirakan 19 juta anak-anak tunanetra. Dari jumlah tersebut, 12 juta

anak-anak tunanetra dikarenakan kesalahan refraksi, suatu kondisi yang

dapat dengan mudah didiagnosis dan diperbaiki. 1,4 juta yang ireversibel

buta selama sisa hidup mereka dan perlu intervensi rehabilitasi visual

untuk pengembangan psikologis dan pribadi penuh.6

Perubahan Selama Dua Puluh Tahun Terakhir

Secara keseluruhan, tunanetra di seluruh dunia telah menurun sejak

perkiraan awal 1990-an. Hal ini terjadi walaupun terjadi penuaan populasi lansia

global. Penurunan ini terutama hasil dari pengurangan tunanetra dari penyakit

menular melalui:6

1. Pembangunan sosial ekonomi secara keseluruhan;

2. Tindakan kesehatan masyarakat;

3. Peningkatan ketersediaan layanan perawatan mata;

4. Kesadaran masyarakat umum tentang solusi untuk masalah yang terkait

dengan gangguan penglihatan (operasi, perangkat refraksi, dll)

Page 11: Penyakit Mata

B. PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT MATA

1. Tanggapan Global Untuk Mencegah Kebutaan

Secara global, 80% dari semua gangguan penglihatan dapat dicegah atau

disembuhkan. Area kemajuan selama 20 tahun terakhir meliputi:6

a. Pemerintah menetapkan program dan peraturan nasional untuk

mencegah dan mengendalikan tunanetra;

b. Layanan perawatan mata semakin tersedia dan semakin terintegrasi ke

dalam sistem perawatan kesehatan primer dan sekunder, dengan fokus

pada penyediaan layanan yang berkualitas tinggi, tersedia dan

terjangkau;

c. Kampanye untuk mendidik tentang fungsi visual kepentingan dan

meningkatkan kesadaran, termasuk pendidikan berbasis sekolah

d. Kepemimpinan kuat pemerintah pada kemitraan internasional, dengan

meningkatkan keterlibatan sektor swasta.

Data selama 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa telah ada kemajuan yang

signifikan dalam mencegah dan menyembuhkan gangguan penglihatan di banyak

negara. Selain itu, pengurangan besar dalam kebutaan terkait onchocerciasis- dan

trachoma merupakan bagian dari penurunan yang signifikan dalam distribusi

penyakit dan telah secara substansial mengurangi beban akibat penyakit menular.

Ini telah dicapai melalui sejumlah kemitraan publik-swasta yang sukses secara

internasional. Prestasi tertentu meliputi:6

1) Brazil yang dalam dekade terakhir telah menyediakan layanan

perawatan mata melalui sistem jaminan sosial nasional

2) Maroko yang telah meluncurkan upaya masyarakat untuk

mengendalikan glaukoma

3) Cina yang telah menginvestasikan lebih dari 100 juta dolar dalam

operasi katarak sejak 2009

4) Oman telah sepenuhnya terintegrasi penyediaan layanan perawatan mata

dalam rangka pelayanan kesehatan dasar selama dekade terakhir

5) India sejak tahun 1995 telah membuat dana yang tersedia untuk

perawatan mata penyediaan layanan untuk termiskin di tingkat

kabupaten.

Page 12: Penyakit Mata

Upaya masyarakat sipil terbesar untuk mencegah dan menyembuhkan

penyakit kebutaan dan merehabilitasi orang-orang yang tunanetra ireversibel atau

buta adalah program SightFirst programme of the International Association of the

Lions Club (LIONS). Antara lain, program ini mendukung inisiatif terbesar untuk

mengembangkan pusat-pusat perawatan mata anak (45 referensi pusat pediatrik

nasional yang didirikan di 35 negara sejauh ini), dilaksanakan dalam kemitraan

dengan WHO.

2. Tanggapan WHO

WHO mengkoordinasikan upaya internasional untuk mengurangi gangguan

visual. Ini berperan untuk:6

a. memantau tren di seluruh dunia tunanetra menurut negara dan wilayah

b. mengembangkan kebijakan dan strategi untuk mencegah kebutaan yang

sesuai untuk berbagai pengaturan pembangunan

c. untuk memberikan bantuan teknis kepada negara-negara anggota dan

mitra

d. untuk merencanakan, memantau dan mengevaluasi program

e. untuk mengkoordinasikan kemitraan internasional yang efektif dalam

mendukung upaya nasional.

Pada tahun 2013, World Health Assembly menyetujui Rencana Aksi 2014-

19 untuk akses universal terhadap kesehatan mata, roadmap untuk negara-negara

anggota, Sekretariat WHO dan mitra internasional dengan tujuan untuk mencapai

pengurangan terukur 25% dari tunanetra dihindari pada 2019.6

WHO bekerja untuk memperkuat upaya nasional dan tingkat negara untuk

menghilangkan kebutaan, membantu penyedia layanan kesehatan nasional

mengobati penyakit mata, memperluas akses terhadap layanan kesehatan mata,

dan meningkatkan rehabilitasi bagi orang yang buta. Membangun sistem

kesehatan diakses dan komprehensif adalah fokus dari dekade ini.6

WHO memimpin beberapa aliansi internasional pemerintah, sektor swasta

dan organisasi masyarakat sipil yang bertujuan membantu menghapuskan

penyakit kebutaan. Hal ini juga menyediakan kepemimpinan teknis untuk upaya

penyakit tertentu yang digunakan oleh mitranya atau sektor swasta untuk

menghilangkan trachoma dari dunia pada tahun 2020. Selama dua dekade terakhir

Page 13: Penyakit Mata

WHO telah bekerja dengan jaringan mitra internasional dan sektor swasta untuk

memastikan bahwa yang tepat, diperbarui, solusi perawatan mata berkualitas baik

dibuat tersedia untuk orang-orang yang membutuhkan.6

Sejak tahun 2004, WHO bekerja sama dengan Lions Clubs International

telah membentuk jaringan global 45 pusat kebutaan anak di 35 negara untuk

pemeliharaan, restorasi atau rehabilitasi penglihatan pada anak-anak. Proyek

global yang unik dan inovatif ini telah melayani lebih dari 150 juta anak-anak dan

akan membuka 10 pusat layanan perawatan mata tambahan untuk anak-anak di 10

negara baru pada tahun 2014. Pusat-pusat akan membantu memerangi melawan

kebutaan pada anak yang dapat dihindari dan membantu mengamankan masa

depan dengan fungsi visual penuh untuk anak-anak yang membutuhkan

perawatan.6

Dalam menanggapi meningkatnya beban penyakit mata kronis WHO telah

mengkoordinasikan upaya penelitian global untuk memetakan layanan dan

kebijakan untuk mengendalikan retinopati diabetes, glaukoma, yang berkaitan

dengan usia degenerasi makula dan kesalahan bias.6

Akhirnya, untuk mendukung sistem perawatan mata yang komprehensif,

WHO terus memberikan dukungan teknis kesehatan epidemiologi dan masyarakat

untuk negara-negara anggota.6

a. Vision 2020

66 World Health Assembly mendukung kesehatan mata Universal: rencana

aksi global 2014-2019. Pada bulan Mei 2013 66 World Health Assembly

Resolution mendukung WHA66.4 termasuk "kesehatan mata Universal: rencana

aksi global 2014-2019".13

Rencana aksi global bertujuan untuk mempertahankan dan memperluas

upaya oleh Negara Anggota, Sekretariat dan mitra internasional untuk lebih

meningkatkan kesehatan mata. Rencana aksi global 2014-2019 dimaksudkan

untuk melayani sebagai peta jalan untuk mengkonsolidasikan upaya bersama yang

bertujuan untuk bekerja menuju kesehatan mata yang universal di dunia. Visi dari

rencana aksi global adalah sebuah dunia di mana tidak ada yang sia-sia tunanetra,

di mana orang-orang dengan kehilangan penglihatan yang tidak dapat dihindari

Page 14: Penyakit Mata

dapat mencapai potensi penuh mereka, dan di mana ada akses universal untuk

layanan perawatan mata yang komprehensif. 13

Tindakan yang diusulkan untuk negara anggota, mitra internasional dan

Sekretariat terstruktur sekitar tiga tujuan: 13

1) Tujuan 1 ditujukan pada kebutuhan untuk menghasilkan bukti besarnya

dan penyebab layanan gangguan dan perawatan mata visual dan

menggunakannya untuk mendukung komitmen politik dan finansial

yang lebih besar oleh Negara Anggota untuk kesehatan mata.

2) Tujuan 2 mendorong pengembangan dan pelaksanaan kebijakan terpadu

mata nasional kesehatan, rencana dan program untuk meningkatkan

kesehatan mata yang universal dengan kegiatan sejalan dengan kerangka

WHO untuk tindakan untuk memperkuat sistem kesehatan untuk

meningkatkan hasil kesehatan.

3) Tujuan 3 alamat keterlibatan multisektoral dan kemitraan yang efektif

untuk memperkuat kesehatan mata.

Ada tiga indikator utama untuk mengukur kemajuan:

1) prevalensi dan penyebab gangguan penglihatan.

2) jumlah personil perawatan mata

3) operasi katarak sebagai indikator proxy untuk penyediaan layanan

perawatan mata

target global adalah pengurangan prevalensi gangguan penglihatan yang

dapat dihindari oleh 25% pada 2019 dari awal tahun 2010. Ini akan memberikan

ukuran keseluruhan dampak dari rencana aksi. Dalam memenuhi target ini,

harapan adalah bahwa keuntungan terbesar akan datang melalui pengurangan

prevalensi gangguan penglihatan dihindari dalam bagian dari populasi yang

mewakili mereka yang berusia lebih dari 50 tahun. katarak acreage dan kesalahan

bias dikoreksi adalah dua penyebab utama gangguan penglihatan dihindari, yang

mewakili 75% dari semua gangguan penglihatan, dan lebih sering di antara

kelompok usia yang lebih tua. Pada 2019, diperkirakan bahwa 84% dari semua

gangguan penglihatan akan berada di antara mereka yang berusia 50 tahun atau

lebih.13

Page 15: Penyakit Mata

3. Keputusan Menteri Kesehatan

Sebagai tindak lanjut pencanangan Vision 2020 oleh WHO dan mendukung

tercapainya Indonesia Sehat 2010, menteri kesehatan mengeluarkan keputusan

nomor 1473/MENKES/SK/X/2005 mengenai rencana strategi nasional

penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan yaitu mengeluarkan rencana

strategi nasional penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan untuk

mencapai vision 2020.12

a. Strategi I

Pendayagunaan komite Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan

dan Kebutaan (PGPK) dan membentuk komite PGPK di propinsi dan

kabupaten/kota untuk menyatupadukan semua sumber daya, kegiatan,

dana PGPK yang dilakukan organisasi profesi, kemasyarakatan/LSM,

dunia usaha, swasta, dan pemerintah

b. Strategi II

Meningkatkan advokasi dan komunikasi lintas sektor/pogram dalam

PGPK

c. Strategi III

Menggalang kemitraan dalam PGPK

d. Strategi IV

Penguatan manajemen program dan infrastruktur pelayanan PGPK

e. Strategi V

Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang terlibat dalam PGPK

f. Strategi VI

Mobilisasi sumber daya swasta, masyarakat, dan lembaga donor dalam

dan luar negeri yang mendukung pelaksanaan PGPK.

4. Pelayanan Kesehatan Mata Melalui Puskesmas

Angka kebutaan di Indonesia diperkirakan sekitar 1,3% dari jumlah

penduduk, diantaranya kebutaan tersebut dapat dicegah dan diobati. Pada

umumnya, pelayanan kesehatan mata terutama dititikberatkan pada pelayanan

individu. Selama orientasi masih terpaku pada pelayanan individu, maka kebutaan

akan terus bertambah yang mungkin pada akhir abad ke 20 dapat berlipat ganda.

Page 16: Penyakit Mata

Pengetahuan mengenai pencegahan dan pengobatan trakoma atau xeroftalmi telah

kita kuasai demikian juga memperbaiki ketajaman penglihatan pada katarak

dengan berbagai operasi maupun keratoplasti pada kerusakan kornea. Tetapi yang

menjadi masalah utama ialah bagaimana cara penerapannya pada seluruh bangsa

Indonesia. Untuk mencapainya, perlu koordinasi yang mantap dalam pelayanan

kesehatan mata daam usaha pencegahan kebutaan dan penurunan fungsi

penglihatan.1

Sejak 1979/1980 telah dimulai pelayanan kesehatan mata melalui

puskesmas yang merupakan pintu gerbang utama dalam pelayanan kesehatan yang

berhubungan langsung dengan masyarakat. Menurut WHO puskesmas, disebut

sebagai “Primary Eye Care” (PEC), adlaah unit terdepan yang merupakan bagian

integral dari puskesmas yang meliputi usaha-usaha peningkatan pencegahandan

pengobatan terhadap individu dan masyarakat, dimana masyarakat merupakan

sasaran utama dari pelayanan tersebut.1

Dalam kegiatan PEC ini, peran serta masyarakat merupakan tulang

punggung keberhasilan kegiatan karena untuk merekalah kegiatan ini

diselenggarakan. Diharapkan dengan segala daya upaya yang dikerahkan untuk

peningkatan pencegahan dan pengobatan penyakit mata dapat dicapai dengan

hasil yang sebesar-besarnya, angka kebutaan dapat ditekan serendah-rendahnya

dan sasaran sehat mata bagi semua dapat terlaksana.1

a. Tujuan Primary Eye Care

Melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan mata yang diintegrasikan di

puskesmas yang berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga angka

kesakitan mata dapat ditekan dan kebutaan serta kemunduran fungsi penglihatan

dapat dihilangkan.1

Dalam usahanya mencapai tujuan PEC, dibuatlah suatu kebijakan berupa:1

1) Penduduk yang berpenghasilan rendah baik yang tinggal di desa

maupun kota mendapat prioritas dalam pelayanan kesehatan mata

2) Pelayanan terutama ditekankan pada usaha peningkatan kesehatan mata,

pencegahan dan pengobatan

3) Pelayanan kesehatan mata mengutamakan pelayanan penderita yang

berobat jalan

Page 17: Penyakit Mata

4) Sistem pelayanan kesehatan mata berorientasi pada masyarakat dengan

partisipasi mereka

Demi keberhasilan kegiatan PEC, peranan dokter puskesmas dan paramedik

yang mendapat pendidikan tambahan di bidang ilmu kesehatan mata sangat

penting. Karenanya dokter puskesmas beserta stafnya perlu mendapat penyegaran

dan latihan mengenai pengetahuan kesehatan mata sehingga mereka terampil

dalam pekerjaannya di puskesmas, seperti:1

1) Membuat diagnosa dini dan pengobatan dini dari penyakit mata yang

terbanyak pada masyarakat.

2) Melakukan operasi kecil seperti entropion, insisi hordeolum, kalazion,

pengeluaran benda asing di kornea, dan abses kelopak mata.

3) Melakukan pertolongan pertamapada glaukoma kongestif akut, hifema,

ulkus kornea, dan trauma

4) Melaksanakan rujukan penderita yang tidak dapat ditangani sendiri ke

tingkat yang lebih tinggi, seperti mata merah dengan penurunan visus,

katarak dengan visus yang buruk, dan ambliopia

5) Melaksanakan pengawasan lanjut pada kelainan-kelainan mata sebelum

dirujuk, seperti katarak imatur bila belum ada indikasi operasi

6) Menumbuhkan partisipasi masyarakat dengan meningkatkan kesadaran

dan motivasi

7) Membuat laporan dan pencatatan kasus dengan memperhatikan nama,

umur, jenis kelamin, tempat tinggal, keluhan dan gejala, diagnosa dan

pengobatan yang diberikan

8) Melakukan case finding aktif maupun pasif, untuk kasus yang didapat di

PEC atau di lapangan

9) Melaksanakan pemeriksaan ketajaman penglihatan menggunakan

snellen chart. Jika visus tak dapat mencapai 5/10 sebaiknya dirujuk

10) Pemeriksaan tonometri menggunakan tonometer Schiotz, terutama usia

≥ 40 tahun, guna menemukan glaukoma secara dini

11) Pengobatan, seperti xeroftalmia, konjungtivitis gonore, dan non-gonore,

trakoma, trauma tanpa penurunan tajam penglihatan dan lain-lain

b. Obat di PEC1

Page 18: Penyakit Mata

Berikut merupakan obat yang harus ada di PEC:

1) Salep mata tetrasiklin 1%

2) Salep mata kloramfenikol 1%

3) Salep mata sulfasetamid 10%

4) Salep mata tetrakain 0,5%

5) Kapsul vitamin A 110 mg (200.000 IU)

6) Karbonik anhidrase inhibitor tablet

7) Pilokarpin 2%

c. Alat yang Diperlukan1

1) Optotipe snellen

2) Trial lens set + trial frame

3) Oftalmoskop

4) Tonometer Schiotz

5) Kertas fluoresein steril

6) Satu set alat bedah kelopak mata

7) Ekstraktor benda asing

8) Perlengkapan penutup mata

5. Rehabilitasi Tunanetra

Kebutaaan merupakan masalah masyarakat yang dampaknya perlu diatasi

dengan pendekatan paripurna, baik dari segi medik maupun sosial. Saaat ini

terdapat sekitar 2 juta tunanetra diantara 165 juta penduduk Indonesia. Sebagian

besarnya dapat dipulihkan penglihatannya melalui rehabilitasi medik. Bagaimana

dengan tunanetra yang tidak dapat dipulihkan, terutama anak-anak usia sekolah

yang saat ini diperkirakan mencapai 300.000 jiwa. Upaya rehabilitasi bagi mereka

sering dianggap usaha yang mubazir dan sering dipengaruhi oleh sikap dan

pandangan negative dari masyarakat. Untuk merehabilitasi, kita tentu perlu

memahami terlebih dahulu apa kesulitan mereka.1

Daya untuk memperoleh informasi dan orientasi lingkungan merupakan

kesulitaan yang dihadapi tunantera. Tak adanya penglihatan membuat mereka

sukar untuk melakukan kegiatan sehari-hari untuk memenuhi hajatnya. Sehingga

Page 19: Penyakit Mata

untuk merehabilitasi tunanetradiperlukan latihan agar mereka mampu

memanfaatkan indera lainnya secara optimal.1

Pengetahuan pertama yang harus dimiliki adalah orientasi:1

1) Orientasi perasaan. Agar dapat mengenali benda, kasar/halus,

panas/dingin, membedakan barang, juga dapat membaca huruf Braille

2) Orientasi pendengaran. Agar dapat memperkirakan luas ruangan,

membedakan benda hidup/mati, menggunakan tongkat sebagai peraba

dan pendengar

3) Orientasi penciuman. Membedakan makanan segar/busuk, membedakan

tempat

a. Tujuan Rehabilitasi

Pedoman rehabilitasi adalah hidup berdikari dengan menggunakan indera

yang tersisa seoptimal mungkin1

1) Mengembaikan tunanetra kepada masyarakat

2) Meringankan beban keluarga dan masyarakat

3) Memelihara kepercayaan diri sendiri

4) Memberi dorongan

5) Menggunakan indera yang tersia seintensif mungkin

6) Memberi pendidikan khusus

7) Member lapangan kerja yang sesuai

b. Cara Rehabilitasi Berdasarkan Usia1

1) Anak-anak dengan kecerdasan normal.

Didirikan sebuah sekolah khusus. Sebelumnya anak-anak ini mendapat

latihan dari tenaga terlatih. Orang tuanya harus dididik untuk dapat

memberikan petunjuk sertalatihan pada anaknya. Pekerja sosial dan

penasihat khusus diperlukan untuk mendidik orangtuanya.

2) Anak dengan hambatan lainnya dalam perkembangan aktivitas

Orang tuanya sendiri yang harus mengusahakan agar anak dapat

berjalan, bermain, bernyanyi, bercerita, dan sebagainya. Tugas tenaga

medis adalah memberikan nasihat pada orang tuanya.

3) Anak sejak lahir tunanetra

Page 20: Penyakit Mata

4) Tunanetra yang menginjak dewasa dan dewasa yang sering mengalami

tekanan batin berat

5) Tunanetra lanjut usia

Tak banyak hasil yang diharapkan dari rehabilitasinya, tetapi jangan

diterlantarkan. Harus dijelaskan tanggung jawab keluarga agar

terhindar dari kecelakaan

Tingkat kerja bagi individu yang buta masih sangat rendah di Amerika

Serikat. Temuan penelitian yang dilakukan oleh Edward dan Natalia dapat

membantu konsumen dan profesional di bidang kebutaan untuk menentukan dan

bekerja pada faktor-faktor yang mempengaruhi perolehan kerja yang kompetitif

dan laba yang lebih tinggi dalam kasus-kasus tertentu mereka. Pendidikan dan

pelatihan tampaknya menjadi dua faktor sentral utama untuk memiliki pengaruh

yang signifikan. Hal ini sangat penting bagi konsumen dan profesional, khususnya

di bidang virtual reality (VR), untuk mengakui manfaat dari jenis pelatihan.

Konsumen harus menyadari data ini tentang structured discovery training agar

dapat membuat suatu pilihan otentik tentang rencana rehabilitasi mereka. Dari

data yang diperoleh melalui penelitian ini, konsumen dan praktisi harus tahu

bahwa:10

1) Usia, jenis kelamin, identitas ras, dan tingkat tunanetra tidak perlu

menghambat kemampuan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan.

2) Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, tampaknya membuat

perbedaan positif dalam kemungkinan dipekerjakan dan jumlah uang

yang satu bisa mendapatkan.

3) Mengetahui model peran positif yang juga adalah muncul buta menjadi

penting dalam mengejar pendidikan, pelatihan, dan pekerjaan.

4) Menggunakan tongkat putih untuk membantu mobilitas sehari-hari

adalah mungkin ide yang baik.

5) Mengetahui dan menggunakan braille untuk membaca secara teratur

masuk akal.

6) Mendapatkan pelatihan yang komperhensif tampaknya lebih baik

daripada mendapatkan itu sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu di

segmen yang lebih pendek.

Page 21: Penyakit Mata
Page 22: Penyakit Mata

DAFTAR PUSTAKA

1. Wijana, Nana. 1983. Ilmu Penyakit Mata. Yogyakarta: Rumah Sakit Dr. Yap.

2. Dandona, Lalit & Dandona, Rakhi. 2006. Revision of visual impairment

definitions in the International Statistical Classification of Diseases.

Available from:

(www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1435919/pdf/1741-7015-4-7.pdf)

3. WHO. 2014. Prevention of Blindness and Visual Impairment. available from:

(http://www.who.int/blindness/en/)

4. WHO. 10 facts about blindness and visual impairment. Available from:

(http://www.who.int/features/factfiles/blindness/en/)

5. WHO. 10 facts about blindness and visual impairment. Available from:

(http://www.who.int/features/factfiles/blindness/blindness_facts/en/)

6. WHO. 2014. Visual impairment and blindness. Available from:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/

7. WHO. 2016. Blindness. Available from:

(http://www.who.int/topics/blindness/en/)

8. ASH. 2014. Smoking and Eye Disease. Available from:

(http://ash.org.uk/files/documents/ASH_132.pdf)\

9. National Federation of the Blind. 2015. Blindness Statistics, Statistical Facts

about Blindness in the United States. Available from:

(https://nfb.org/blindness-statistics)

10. Bell, Edward. C & Mino, Natalia. M. 2015. “Employment Outcomes for

Blind and Visually Impaired Adults.” Journal of Blindness Innovation and

Research, 5(2). Retrieved from

https://nfb.org/images/nfb/publications/jbir/jbir15/jbir050202.html. doi:

http://dx.doi.org/10.5241/5-85.

11. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Available from:

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas

%202013.pdf

12. Kemenkes. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1473/MENKES/SK/X/2005 tentang Rencana Strategi Nasional

Page 23: Penyakit Mata

Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk Mencapai

Vision 2020. Available from:

(http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/1030/3/

KMK1473-1005-G56.pdf)

13. WHO. 2015. Universal eye health: a global action plan 2014–2019.

Available from: (http://www.who.int/blindness/actionplan/en/index1.html)

14. Resnikoff, S & Pararajasegaram, R. 2001. Blindness prevention programmes:

past, present, and future. Available from:

(http://www.who.int/bulletin/archives/79%283%29222.pdf)