pengaruh emisi gas asap kebakaran hutan terhadap polusi udara - dapus

Upload: rina-fiyahdill

Post on 30-Oct-2015

483 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page | 15

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangKebutuhan hidup yang terus meningkat semakin menambah masalah lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan hidup kini telah menjadi salah satu masalah yang penting saat ini. Semenjak masa revolusi industri inilah, kerusakan lingkungan dimulai. Perkembangan yang pesat dari kegiatan pembangunan seringkali menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap kualitas lingkungan hidup. Misalnya seperti pembangunan industri. Pembangunan tersebut sering kali membutuhkan lahan yang besar dengan cara membakar hutan.

Seperti yang kita ketahui, kini kebakaran hutan dan lahan terus berjalan. Bahkan kini bukan hanya untuk lahan pembangunan saja tetapi juga untuk kepentingan, seperti perkebunan dan pertanian. Dengan banyaknya kebutuhan lahan, tentu kebakaran hutan akan semakin banyak dan asap dari kebakaran itu juga meningkat. Akibatnya akan membuat pencemaran lingkungan, baik itu polusi udara maupun tanah. Menurut Purbowaseso (2004), kebakaran hutan dan lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sifat fisik dan kimia tanah, sedangkan menurut Sutedjo (2004), sebagai suatu sistem dinamis tanah akan selalu mengalami perubahan-perubahan yaitu pada sifat fisik, kimia, ataupun biologinya. Perubahan-perubahan ini jelas karena pengaruh berbagai unsur iklim dan ada juga disebabkan oleh tindakan manusia. Misalnya seperti kebakaran hutan yang saya jelaskan di atas. Maka dari itu, karena masalah kebakaran hutan yang terjadi ini merupakan salah satu masalah penting yang begitu berpengaruh terhadap pencemaran lingkungan. Saya ingin memaparkan lebih jelas lagi tentang dampak kebakaran hutan ini terhadap pencemaran lingkungan di sekitar kita, terutama polusi udara.

B. Rumusan MasalahBerikut rumusan masalah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini :1. Apa itu hutan?2. Apa itu kebakaran hutan?3. Mengapa asap kebakaran hutan berpengaruh terhadap polusi udara?4. Apa dampak dari polusi udara akibat kebakaran hutan?5. Bagaimana kasus kebakaran hutan yang ada di Indonesia?6. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan agar tidak mengakibatkan polusi udara?

C. Manfaat1. Menambah pengetahuan lebih jauh tentang polusi udara yang disebabkan oleh kebakaran hutan.2. Memberikan solusi untuk meminimalisir terjadinya polusi udara yang diakibatkan oleh kebakaran hutan.

D. TujuanTujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi bahwa asap dari kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab terjadinya polusi udara.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Hutan dan Proses PembakaranHutan berasal dari bahasa Latin forestis yang berarti tidak tertutup. Kata ini merujuk pada pengertian tanah yang berada di luar kendali desa/petani, yang dikendalikan otoritas pemerintah pusat dalam hal ini Raja (Mulyoutami et al., 2010). Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat berserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di bumi ini (Arief, 2001). Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 hutan diartikan sebagai lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati berserta alam lingkungannya. Lalu ditegaskan lagi dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 bahwa yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.Hutan memiliki peranan yang penting bagi manusia, salah satunya untuk memproduksi oksigen. Namun sekarang banyak manusia yang melupakan betapa pentingnya peranan hutan itu. Tindakan/perilaku manusia kini sama sekali tidak melestarikan hutan. Melainkan malah menebang pohon-pohon di hutan, bahkan ada yang membakar hutan dengan alasan untuk lahan pertanian dan pembangunan. Dan untuk pembakaran hutan itu sendiri dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan karena asap yang dihasilkan kebakaran hutan itu merupakan salah satu faktor penyebab polusi udara.

B. Kebakaran Hutan dan Proses PembakarannyaKebakaran hutan adalah jenis pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengkonsumsi bahan bakar yang terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, batang kayu, tunggak, daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih hidup (Fuller, 1991). Bahaya utama dari kebakaran maupun pembakaran hutan dan lahan ini adalah produksi asapnya. Dampak dari produksi asap tersebut bermacam-macam, dimulai dari yang bersifat sederhana seperti menghalangi pemandangan hingga yang kompleks seperti pemanasan global. Kebakaran hutan sendiri terjadi tidak langsung begitu saja, melainkan bertahap-tahap. Menurut De Bano et al (1998), berdasarkan tahapannya, proses pembakaran dapat digolongkan kedalam lima fase yaitu : 1. Pre-ignition (Pra- Penyalaan) Dehidrasi/distilasi dan pirolisis merupakan proses-proses yang terjadi pada fase Pre-ignition. Karena bahan bakar berada di bagian depan nyala api, maka pemanasan melalui radiasi dan konveksi akan lebih dari 100 C, sehingga uap air, bahan organik yang tidak terbakar, dan zat ekstraktif berkumpul di permukaan bahan bakar dan dikeluarkan ke udara. Radiasi dan konveksi dapat memindahkan panas untuk pirolisis pada permukaan bahan bakar, tetapi perpindahan panas ke bagian interior bahan bakar terjadi melalui proses konduksi. Karena itu konduksi merupakan proses yang dominan dalam proses combustion (pembakaran). Distilasi dari bahan bakar halus (dedaunan, daun jarum, dan rerumputan) pada temperatur di atas 100 C menghasilkan emisi uap air dan ekstraktif organik volatil (misal: terpenes, aldehida aromatic).

2. Flaming (Penyalaan) Fase ini berupa reaksi eksotermik yang menyebabkan kenaikan suhu dari 300-500C. Pirolisis mempercepat proses oksidasi (flaming) dari gas-gas yang mudah terbakar. Akibatnya, gas-gas yang mudah terbakar dan uap hasil pirolisis bergerak ke atas bahan bakar, bersatu dengan O2 dan terbakar selama fase flaming. Panas yang dihasilkan dari reaksi flaming mempercepat laju pirolisis dan melepaskan jumlah yang besar dari gas-gas yang mudah terbakar. Api akan membesar dan sulit dikendalikan, terlebih jika ada angin. Pada fase ini dihasilkan berbagai produk pemabakaran seperti: air, CO2, sulfur oksida, gas nitrogen dan nitrogen oksida.

3. Smoldering (Pembaraan) Biasanya fase smoldering mengikuti fase flaming. Pembakaran yang lambat (< 3 cm/jam pada kebakaran bawah), tidak menyala merupakan proses pembakaran yang dominan pada fase ini. Tidak semua bahan bakar mengalami pembakaran flaming, seperti yang terjadi pada lapisan organik, kayu busuk dan tanah organik (gambut), dimana bahan bakar relatif kompak dan suplai oksigen terbatas. Smoldering merupakan fase pembakaran yang utama untuk jenis-jenis bahan bakar ini. Disini, laju pembakaran api akan menurun, karena bahan bakar tidak mampu mensuplai gas-gas yang mudah terbakar pada konsentrasi dan laju yang diperlukan untuk mendukung pembakaran yang sempurna. Akibatnya, panas yang dilepaskan dan suhu akan menurun, menyebabkan sejumlah gas akan terkondensasi menjadi asap. Asap akan banyak terkonsentrasi dekat permukaan dan emisi atmosfer menjadi dua kali atau tiga kali lebih besar dibandingkan dengan fase flaming. Selanjutnya, emisi partikel hasil pembakaran pada fase smoldering jauh lebih besar dibandingkan dengan pada fase flaming. Pada fase smoldering, gas-gas volatil dan flaming tidak dapat berkembang. Akibatnya, emisi partikel dapat meningkat menjadi sepuluh kali lipat. Arang akan terbentuk di permukaan bahan bakar kayu pada saat smoldering.

4. Glowing (Pemijaran) Fase glowing merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Tetapi glowing tidak sama dengan smoldering. Pada waktu api mencapai fase glowing, kebanyakan dari gas volatil sudah dilepaskan dan oksigen kontak langsung dengan permukaan bahan bakar yang sudah menjadi arang. Bahan bakar akan teroksidasi dan terbakar tanpa nyala sampai suhu menurun dan pembakaran tidak terjadi atau sampai bahan bakar berubah menjadi abu yang tidak dapat terbakar lagi. Bahan bakar yang tersisa terbakar dengan warna kuning. Suhu puncak dari bahan bakar yang terbakar berada pada kisaran suhu 300 hingga 600 C. Selama proses glowing, hanya sedikit atau bahkan tidak ada asap yang dihasilkan. Hasil dari fase glowing ini terutama adalah CO, CO2 dan abu. Fase ini merupakan fase pembakaran yang paling efisien, karena laju pembakaran yang rendah, suplai oksigen yang baik dan volume rendah dan volatil yang mudah terbakar.

5. Extinction Kebakaran akhirnya berhenti pada saat semua bahan bakar yang tersedia habis, atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau flaming tidak cukup untuk menguapkan sejumlah air dari bahan bakar yang basah. Panas yang diserap oleh air bahan bakar, udara sekitar, atau bahan inorganik (seperti batu-batuan dan tanah mineral) mengurangi jumlah panas yang tersedia untuk pembakaran, sehingga mempercepat proses extinction.

C. Dampak Polusi udara Akibat Asap Kebakaran HutanAsap kebakaran hutan dapat mengakibatkan polusi udara dan berdampak buruk jika dihirup oleh manusia. Hal itu karena kebakaran hutan mengemisikan beberapa jenis gas yang berbahaya bagi kesehatan, yaitu CO2 (karbon dioksida), CO (karbon monoksida), NOx (nitrogen oksida) dan SO2 (sulfur dioksida). Berikut dampak dari emisi gas yang dihasilkan dari kebakaran hutan :1. Dampak CO (Karbon Monoksida)Gas CO merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Gas ini berbahaya karena mudah berikatan dengan hemoglobin. Akibatnya, tubuh menjadi kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen ini dapat menimbulkan sakit kepala, cepat lelah, sesak napas, pingsan bahkan kematian. Batas maksimum gas CO di udara 0,1 bpj (Sutresna, 2008).

2. Dampak CO2 (Karbon Dioksida)Polusi udara akibat gas CO2 tidak memiliki dampak berbahaya bagi manusia. Namun konsentrasi gas CO2 yang berlebih di bumi bisa berakibat fatal bagi lingkungan. Hal itu karena CO2 yang berlebih bisa mengakibatkan peningkatan suhu sehingga menyebabkan pemanasan global (Sutresna, 2008).

3. Dampak NOx (Nitrogen Oksida) Nitrogen merupakan komponen terbesar udara (78 %) dan bersifat invert. Dalam keadaan normal hampir tidak ada dampak negatif nitrogen bagi lingkungan. Namun konsentrasi gas NO yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf yang mengakibatkan kejang-kejang. Bila keracunan ini terus berlanjut akan dapat menyebabkan kelumpuhan. Selain itu, pada suhu tinggi nitrogen (gas NO) akan menjadi lebih berbahaya karena akan bereaksi dengan oksigen menghasilkan Nitrogen Dioksida (NO2). Gas Nitrogen Dioksida ini dapat berdampak memerihkan mata dan menimbulkan gangguan pada saluran pernafasan. Gas ini juga merupakan oksida asam dimana dengan adanya air hujan dapat menyebabkan hujan asam (Sutresna, 2008).

4. Dampak SO2 (Sulfur Dioksida)Gas Sulfur Dioksida dapat menyesakkan pernafasan dan menimbulkan gejala batuk. Dalam jumlah besar gas ini juga bisa berdampak merusak saluran pernafasan dan menimbulkan radang tenggorokan serta kerusakan paru-paru bahkan dapat menyebabkan kematian (Sutresna, 2008).

D. Kebakaran Hutan di IndonesiaData-data dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa 60% dari polusi asap di Indonesia, termasuk emisi karbon, berasal dari kebakaran di lahan-lahan gambut yang menutupi hanya 10-14% dari daratan Indonesia, terutama di pulau Kalimantan (Project Fire Fight Southeast Asia Publication, 2003). Pada abad 20, Statistik Kehutanan Indonesia pertama kali memuat luas hutan yang terbakar pada tahun 1978-1979. Kejadian kebakaran hutan besar yang terekam paling awal dan cukup lengkap adalah kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983, semenjak itu, kebakaran hutan merupakan kejadian yang rutin di Indonesia pada umumnya dan Kalimantan khususnya hingga kini.1. Kebakaran Hutan 1982-1983 dan 1987Kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983 merupakan kebakaran hutan paling besar dalam sejarah. Kebakaran hutan yang menghancurkan 3,5 juta hektar hutan atau setara dengan 56 kali luas Singapura. Penyebabnya adalah perubahan struktur vegetasi akibat pembalakan kayu yang telah dimulai sekitar tahun 1970-an. Pembalakan menyisakan limbah kayu dalam jumlah besar yang menjadi bahan bakar. El Nino yang terjadi pada tahun 1982-1983 mengakibatkan terjadinya musim kemarau panjang sehingga memperparah kebakaran hutan. Rincian tipe vegetasi yang terbakar yaitu 800.000 ha hutan primer, 1.400.000 ha hutan yang sudah dibalak, 750.000 hutan sekunder atau ladang berpindah atau pemukiman, dan 550.000 ha lahan dan hutan rawa gambut (KLH, 2001). Kemudian kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1987 yang melanda hampir semua propinsi terutama bagian timur Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Timor, serta Sulawesi dan Kalimantan Tengah. Indonesia kembali mengalami El Nino yang mengakibatkan terjadinya kemarau panjang sejak pertengahan bulan Juni 1987. Penyebab kebakaran hutan tahun 1987 disebabkan oleh kemarau panjang, perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat setempat, areal HPH yang tidak dikelola dengan baik, dan batu bara yang menyala terus menerus di Kalimantan Timur (KLH, 2001).2. Kebakaran Hutan 1991 dan 1994Kebakaran hutan terjadi lagi pada tahun 1991 dan dampaknya lebih luas hingga mencakup 23 propinsi dibandingkan kebakaran hutan pada tahun 1987. Maskapai Merpati Nusantara Airlines melaporkan 337 pembatalan penerbangan dari dan ke Sumatera dan Kalimantan dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp 6,5 milyar. Tingkat hunian di berbagai hotel di Kalimantan dan Sumatera turun 20 hingga 70 persen karena bandara-bandara harus ditutup akibat kabut asap yang menurunkan jarak apandang atau visibilitas. Penyebaran asap ke negara tetangga di Asia Tenggara mulai dirasakan. Pemerintah Malaysia melaporkan kasus iritasi mata dan penyakit pernafasan meningkat. Singapura juga mengalami peningkatan penyakit pernafasan dan iritasi mata pada bulan September 1991 dan jarak pandang hanya satu kilometer (Skpehi, 1992 dalam KLH, 2001).Perubahan dan perbaikan terus dilakukan oleh pemerintah pusat dan provinsi di Kalimantan, namun upaya yang dilakukan masih belum menyentuh dua akar permasalahan utama yaitu perubahan vegetasi serta pembukaan lahan dengan menggunakan api, sehingga berakibat kembali terjadinya kebakaran hutan besar pada tahun 1994. Kebakaran hutan meluas hingga menghancurkan sekitar 4 juta hektar namun hanya sekitar 8000 hektare lahan hutan alam yang terbakar sedangkan sisanya merupakan daerah hutan produksi dan perkebunan serta pertanian (Goldammer, 1997 dalam KLH, 2001). Peristiwa kebakaran tahun 1994 memproduksi asap yang dirasakan semakin menggangu kehidupan dan aktifitas seharihari. Banyak bandara di Sumatera dan Kalimantan yang ditutup karena jarak pandang pendek karena tertutup kabut asap. Asap tebal yang disebabkan kebakaran hutan di Indonesia menyelimuti wilayah Malaysia dan Singapura sejak pertengan September 1994. Asap itu juga menyebar ke Brunei Darussalam dan diperkirakan bergerak menuju Thailand (KLH, 2001).3. Kebakaran Hutan 1997Kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 meliputi 25 propinsi di Indonesia, hanya di Jakarta dan Timtim yang tidak melaporkan adanya kebakaran hutan. Propinsi yang kondisinya paling buruk adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Jambi. Pada akhir September 1997, dapat diidentifikasikan sebanyak 167 titik api. Pada bulan Oktober 1997 api telah mebakar sedikitya 627.280 ha lahan. Sebesar 72 persen dari areal yang terbakar berlokasi di kalimantan, termasuk 260.000 lahan gambut di kalimantan Tengah (KLH, 2001).E. Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran HutanPolusi udara yang diakibatkan oleh asap kebakaran hutan jelas bersumber dari pembakaran hutan itu sendiri baik secara alami maupun karena tindakan manusia. Oleh karena itu, untuk meminimilasir polusi udara karena asap kebakaran hutan maka perlu dilakukan pencegahan dan penanggulang untuk kebakaran hutan tersebut. Menurut Adinugroho et al. (2004) peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Undang-Undang No. 5 tahun 1994, Undang-Undang No. 23 tahun 1997, Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001. Berikut adalah langkah-langkah dan upaya-upaya dalam rangka penanggulangan kebakaran hutan :1. Pemasyarakatan tindakan pencegahan dan penanggulangan (pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan yang terkoordinasi seperti penggunaan media cetak, elektronik dan sebagainya.2. Pelarangan kegiatan pembakaran dan pemasyarakatan kebijakan Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).3. Peningkatan keterampilan dan kemampuan sumber daya manusia baik yang berasal dari instasi pemerintah maupun perusahaan.4. Pemenuhan dan pengadaan peralatan pemadaman kebakaran sesuai dengan standar yang ditetapkan.5. Melakukan kerja sama teknik dengan negara-negara donor.6. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.7. Menindak tegas setiap pelanggar hukum/peraturan yang telah ditetapkan8. Peningkatan upaya penegakkan hukum.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanBerdasarkan pembahasan yang saya jelaskan di atas, maka disimpulkan hal sebagai berikut :1. Asap kebakaran hutan berdampak pada polusi udara karena emisi gas yang terkandung didalamnya.2. Kesehatan dan keseimbangan lingkungan akan terganggu jika emisi gas polusi udara dibiarkan pada konsentrasi yang tinggi.3. Emisi gas dari kebakaran hutan seperti CO, CO2, NOx dan SO2 bisa mengakibatkan gangguan pernafasan bagi yang menghirupnya.

B. Saran1. Masyarakat harus ikut berpartisipasi aktif untuk menurunkan emisi gas asap kebakaran hutan dengan tidak sembarangan melakukan pembakaran hutan yang tak terkendali.2. Pemerintah harus mempertegas kebijakan bagi pelaku pembakaran hutan illegal.3. Sebaiknya masyarakat yang terkena paparan asap kebakaran hutan menggunakan masker agar tidak menghirup emisi gas yang terkandund didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, Wahyu Catur et al. 2004. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor : Wetlands International.Arief, Arifin. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta : Kanisius.De Bano, L. F. D. G. Neary and P. F. Folliot. 1998. Fires Effects on Ecosystem. New York : John Wiley and Sons.Fuller, M. 1991. Forest Fires : An Introduction to Wildland Fire Behaviour, Management, Firefighting and Prevention. Toronto : John Wiley & Sons, Inc.Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2001. Laporan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Jilid 1; Dampak, Faktor dan Evaluasi. Jakarta : Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.Mulyoutami et al. 2010. Perubahan Pola Perladangan. Bogor : World Agroforestry Centre.Project Fire Fight South East Asia. 2003. Membakar Lahan Gambut Sama Artinya dengan Membuat Polusi Asap. Burning Issues No 7, Mei 2003.Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta : Rineka Cipta.Sutedjo, M. M. 2004. Analisis Tanah, Air dan Jaringan Tanaman. Jakarta : Rineka Cipta.Sutresna, Nana. 2008. Kimia Kelas XII Semester 1. Bandung : Grafindo Media Pratama.