cover-dapus (kurang daftar isi)
DESCRIPTION
bssssTRANSCRIPT
MAKALAH
KELOMPOK SGD 1
Dosen Pengampu :
Drg. Ratna Sulistyorini, M.Si. Med
Disusun Oleh :
1. Nur Amaliana Ayu Nisa (J2A014001)
2. Mahanani Elma Baskhara (ketua) (J2A014002)
3. Nida Ulfa (scrable ketik) (J2A014004)
4. Dea Intania Dewi (J2A014007)
5. Ajeng Narita Caustina (J2A014009)
6. Mughni Permatasari (J2A014028)
7. Dzaki Ala Muttaqien (J2A014030)
8. Nisrina Afif Diah Sari (J2A014031)
9. Lovina Julia Kuswandi (J2A014033)
10. Ivan Febiyanto (J2A014035)
11. Wisnu Umaroh Faizal Abdau (J2A014036)
12. Bachtiar Dwi Nugroho (scrable tulis) (J2A014037)
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
bertema “Proses Menelan”
Makalah ini kami susun demi memenuhi sebagian tugas yang telah
diberikan kepada kami. Pada kesempatan ini, kami ucapkan banyak terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan skenario
ini, terutama drg. Ratna Sulistyorini selaku dosen tutorial dua blok sepuluh
semester empat yang senantiasa membantu dan membimbing kami, sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik.
Makalah ini pula kami susun untuk memperluas dan menambah wawasan
kami dan para pembaca khususnya mahasiswa. Untuk menunjang pemahaman dan
melatih keterampilan mahasiswa, kami lampirkan beberapa jurnal dan buku.
Kami menyadari banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, oleh
karenanya kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan laporan selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Semarang, 20 Maret 2016
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................1
C. Tujuan .........................................................................................................2
D. Manfaat .......................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................3
A. Sistem Stomatognasi ...................................................................................3
BAB III PEMBAHASAN ...........................................................................................4
A. Anatomi Sistem Menelan ...........................................................................4
B. Fisiologi Menelan .......................................................................................9
C. Refleks Menelan .........................................................................................10
D. Gangguan Proses Menelan .........................................................................11
E. Penatalaksanaan Kelainan Proses Menelan ................................................20
BAB III PENUTUP......................................................................................................21
A. Kesimpulan .................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut kamus deglutasi atau deglutition diterjemahkan sebagai
proses memasukkan makanan kedalam tubuh melalui mulut “the process of
taking food into the body through the mouth”. Proses menelan merupakan
suatu proses yang kompleks, yang memerlukan setiap organ yang berperan
harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dalam proses
menelan ini diperlukan kerjasama yang baik dari 6 syaraf cranial, 4 syaraf
servikal dan lebih dari 30 pasang otot menelan. Pada proses menelan terjadi
pemindahan bolus makanan dari rongga mulut ke dalam lambung.
Keberhasilan proses menelan ini tergantung dari beberapa faktor, yaitu
ukuran bolus makanan, diameter lumen esophagus, kontraksi peristaltic
esophagus, fungsi sfingter esophagus, dan kerja otot-otot rongga mulut dan
lidah.
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuro-
muskular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan dinding
faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esophagus serta persarafan intrinsic
otot-otot esophagus bekerja dengan baik, sehingga aktivitas motorik berjalan
lancer. Kerusakan pada pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas
komponen orofaring. Otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas.
Oleh karena Otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas juga
mendapat persarafan dari inti motor nevus vagus, maka aktivitas peristaltic
esophagus masih tampak pada kelainan di otak. Relaksasi sfingter esophagus
bagian bawah tejadi akibat peregangan langsung dinding esophagus.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dari proses menelan?
2. Bagaimana fisiologi menelan?
3. Bagaimana refleks menelan?
4. Apa saja gangguan dari proses menelan?
1
5. Bagaimana penatalaksanaan dari gangguan proses menelan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi dari proses menelan.
2. Untuk menegatahui fisiologi menelan.
3. Untuk mengetahui refleks menelan.
4. Untuk mengetahui gangguan dari proses menelan.
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari gangguan proses menelan.
D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui anatomi dari proses menelan.
2. Mahasiswa dapat menegatahui fisiologi menelan.
3. Mahasiswa dapat mengetahui refleks menelan.
4. Mahasiswa dapat mengetahui gangguan dari proses menelan.
5. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan dari gangguan proses
menelan.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Stomatognasi
Komponen sistem stomatognasi meliputi gigi-geligi beserta jaringan
pendukungnya, otot, persyarafan maupun persendian antara maksila dan
mandibula. Stomatognasi dalam praktek kedokteran gigi merupakan ilmu
yang mempertimbangkan hubungan antara gigi geligi, rahang, persendian
temporomandibula, kraniofasial dan oklusi gigi (Andriyani, 2001).
Termasuk dalam fungsi stomatognasi adalah pengunyahan makanan,
penelanan, pernafasan, dan berbicara. Masing-masing fungsi ini erat
hubungannya dan kadang-kadang dua atau lebih fungsi ini dapat dilakukan
secara bersama-sama. Fungsi stomatognasi yang akan dibahas di sini adalah
pengunyahan dan penelanan makanan(Andriyani, 2001).
Selama proses pengunyahan, komponen-komponen yang terlibat
adalah tulang, otot-otot, ligament dan gigi (Andriyani, 2001).
Pada sistem stomatognasi, proses pengunyahan dan penelanan
merupakan suatu proses yang kompleks, melibatkan otot-otot, persendian
temporomandibula, gigi dan persyarafan. Koordinasi pergerakan mandibula
dan gigi yang berfungsi optimal, akan menghasilkan makanan yang berubah
menjadi konsistensi relatif halus yang disebut dengan bolus (Andriyani,
2001).
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap bukal, tahap
faringeal dan tahap esophageal. Aktivitas otot penelanan dimulai dengan
kerja secara volunter dan akan berubah menjadi refleks involunter. Refleks
lain yang dapat terjadi pada aktivitas penelanan adalah batuk, muntah dan
menghisap, diakibatkan rangsangan-rangsangan sensorik (Andriyani, 2001).
BAB III
3
PEMBAHASAN
A. Anatomi Sistem Menelan
1. Otot-otot
Berkovitz (1995) dan William (1995) menyatakan bahwa otot-otot
yang berperan dalam proses penelanan adalah otot-otot didalam kavum
oris proprium yang bekerja secara volunteer, otot-otot faring dan laring
bekerja secara involunter. Kavum oris terbagi menjadi dua bagian yaitu
vestibulum oris dan kavum oris proprium. Vestibulum oris adalah ruang
antara gigi-geligi dan batas mukosa bagian dalam dari pipi dan labium
oris. Sedangkan kavum oris proprium merupakan ruang antara arkus
dentalis superior dan inferior. Batas anterior dan lateral kavum oris
proprium adalah permukaan lingual gigi geligi dan prosesus alveolaris
(Andriyani, 2001).
a. Otot di dalam kavum oris proprium
Otot yang termasuk didalam kelompok ini adalah otot-otot lidah
dan otot-otot palatum lunak. Otot- otot lidah terdiri dari otot- otot
instrinsik dan ekstrinsik. Otot-otot intrinsic lidah merupakan otot yang
membentuk lidah itu sendiri yaitu muskulus longitudinalis lingua
superfisialis, muskulus longitudinalis lingua provunda, muskulus
transfersus lingua dan muskulus vertikalis lingua. Otot ekstrinsik lidah
merupakan otot yang berada di bawah lidah yaitu muskulus
genioglossus untuk mengerakan bagian tengah lidah ke belakang dan
muskulus styloglossus yang menarik lidah keatas dan kebawah.
Sedangan otot- otot palatum lunak yaitu muskulus tensor dan muskulus
levator veli palatini untuk mengangkat faring dan muskulus
palatoglossus yang menyebabkan terangkatnya uvula (Evelyn, 1992).
b. Otot faring
Terbagi menjadi 2 golongan yaitu otot- otot yang jalannya
melingkar dan otot- otot yang menbujur faring. Otot-otot melingkar
terdiri atas muskulus konstriktor faringis superior, muskulus konstriktror
faringis media dan muskulus konstriktor faringis inferior (Evelyn, 1992).
4
Sedangkan otot- otot membujur faring yaitu muskulus stilofaringeus.
Faring tertarik kearah medial untuk saling mendekat. Setelah itu lipatan-
lipatan faring membentuk celah sagital yang akan di lewati makanan
menuju kedalam faring posterior celah ini melakukan kerja selektif
sehingga makanan yang telah di kunyah dapat lewat dengan mudah
(Evelyn, 1992).
c. Otot laring
Terbagi dua yaitu otot laring instrinsik dan otot laring ekstrinsik.
Otot laring ekstrinsik yaitu muskulus krikotiroideus, sedangan otot- otot
laring intrinsic yaitu muskulus tireoepiglottikus dan muskulus
aritenoideus pada laring terdapat dua sfingter yaitu aditus laringis dan
rima glottidis. Aditus laringis berfungsi hanya pada saat menelan. Ketika
bolus makanan di pindahkan kebelakang diantara lidah dan palatum
lunak laring tertarik keatas. Aditus laringis di persempit oleh kerja
muskulus arytinoideus obliqus dan muskulus oroepiglottikus. Bolus
makanan atau cairan, kini masuk ke esophagus dengan mengelincir di
atas epiglottis atau turun lewat alur pada sisi aditus laringis rima
glottidis berfungsi sebagai sfingter pada saat batuk atau bersin tetapi
yang terpenting adalah epiglottis membantu mencegah makanan agar
sejauh mungkin dari pita suara, dimana akan mempengaruhi tegangan
pita suara pada waktu bicara (Evelyn, 1992).
2. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus
faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus,
cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari
n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini
keluar untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi
langsung oleh cabang n.glossofaringeus.
a. Peranan saraf kranial pada pembentukan bolus fase oral
ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN
5
(motorik)
Mandibula n. V.2 (maksilaris) n.V : m. Temporalis, m.
maseter, m. Pterigoid
Bibir n. V.2 (maksilaris) n.VII : m.orbikularis
oris, m. zigomatikum,
m.levator labius oris,
m.depresor labius oris,
m. levator anguli oris, m.
depressor anguli oris
Mulut & pipi n.V.2 (maksilaris) n.VII: m. mentalis, m.
risorius, m.businator
Lidah n.V.3 (lingualis) n.XII : m. hioglosus, m.
mioglosus
Pada fase oral ini perpindahan bolus dari ronggal mulut ke faring segera
terjadi, setelah otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletekkan bolus diatas lidah.
Otot intrinsik lidah berkontraksi menyebabkan lidah terangkat mulai dari
bagian anterior ke posterior. Bagian anterior lidah menekan palatum durum
sehingga bolus terdorong ke faring. Bolus menyentuh bagian arkus faring anterior,
uvula dan dinding posterior faring sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus
faring terangkat ke atas akibat kontraksi m. palato faringeus (n. IX, n.X dan
n.XII).
b. Peranan saraf kranial fase oral
ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN (motorik)
Bibir n.V.2 (mandibularis),
n.V.3 (lingualis)
n.V: m.orbikularis oris,
m.levator labiu oris, m. depressor
labius, m.mentalis
Mulut & pipi n.V.2 (mandibularis) n.VII: m.zigomatikus,levator
anguli oris, m.depressor anguli
oris, m.risorius. m.businator
Lidah n.V.3 (lingualis) n.IX,X,XI : m.palatoglosus
6
Uvula n.V.2 (mandibularis) n.IX,X,XI:m.uvulae,m.palatofaring
Jadi pada fase oral ini secara garis besar bekerja saraf karanial n.V2 dan
nV.3 sebagai serabut afferen (sensorik) dan n.V, nVII, n.IX, n.X, n.XI, n.XII
sebagai serabut efferen (motorik).
c. Fase Faringeal
Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring
anterior (arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase
faringeal ini terjadi6 :
1 m.Tensor veli palatini (n.V) dan m. Levator veli palatini (n.IX, n.X
dan n.XI) berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat, kemudian
uvula tertarik keatas dan ke posterior sehingga menutup daerah nasofaring.
2 m.genioglosus (n.XII, servikal 1), m.ariepiglotika (n.IX,nX)
m.krikoaritenoid lateralis (n.IX,n.X) berkontraksi menyebabkan aduksi
pita suara sehingga laring tertutup.
3 Laring dan tulang hioid terangkat keatas ke arah dasar lidah karena
kontraksi m.stilohioid, (n.VII), m.Geniohioid, m.tirohioid (n.XII dan
n.servikal I). Kontraksi m.konstriktor faring superior (n.IX, n.X,
n.XI), m. Konstriktor faring inermedius (n.IX, n.X, n.XI) dan
m.konstriktor faring inferior (n.X, n.XI) menyebabkan faring tertekan
kebawah yang diikuti oleh relaksasi m. Kriko faring (n.X) Pergerakan
laring ke atas dan ke depan, relaksasi dari introitus esofagus dan
dorongan otot-otot faring ke inferior menyebabkan bolus makanan turun
ke bawah dan masuk ke dalam servikal esofagus. Proses ini hanya
berlangsung sekitar satu detik untuk menelan cairan dan lebih lama bila
menelan makanan padat.
d. Peranan saraf kranial pada fase faringeal
ORGAN AFFEREN EFFEREN
Lidah n.V.3 n.V :m.milohyoid,
7
m.digastrikus
n.VII : m.stilohyoid
n.XII,nC1 :m.geniohyoid,
m.tirohyoid
n.XII :m.stiloglosus
Palatum n.V.2, n.V.3 n.IX, n.X, n.XI :m.levator
veli palatini
n.V :m.tensor veli palatini
Hyoid n.Laringeus superior cab
internus (n.X)
n.V : m.milohyoid, m.
Digastrikus
n.VII : m. Stilohioid
n.XII, n.C.1 :m.geniohioid,
m.tirohioid
Nasofaring n.X n.IX, n.X, n.XI :
n.salfingofaringeus
Faring n.X n.IX, n.X, n.XI : m.
Palatofaring, m.konstriktor
faring sup, m.konstriktor
ffaring med.
n.X,n.XI : m.konstriktor
faring inf.
Laring n.rekuren (n.X) n.IX :m.stilofaring
Esofagus n.X n.X : m.krikofaring
Pada fase faringeal ini saraf yang bekerja saraf karanial n.V.2,
n.V.3 dan n.X sebagai serabut afferen dan n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan
n.XII sebagai serabut efferen Bolus dengan viskositas yang tinggi akan
memperlambat fase faringeal, meningkatkan waktu gelombang peristaltik
dan memperpanjang waktu pembukaan sfingter esofagus bagian atas.
Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu
pergerakan pangkal lidah, pergerakan palatum mole dan pergerakan laring
8
serta pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Waktu Pharyngeal transit
juga bertambah sesuai dengan umur.
3. Vaskularisasi
Vaskularisasi sistem penelanan berasal dari beberapa sumber dan
kadang-kadang tidak beraturan, tetapi yang utama berasal dari cabang
arteri Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang
palatine superior.
B. Fisiologi Menelan
Proses penelanan adalah aktivitas terkoordinasi yang melibatkan
beberapa macam otot-otot dalam mulut, otot palatum lunak, otot faring dan
otot laring. Aktivitas otot penelanan dimulai sebagai kerja volunter dan
kemudian berubah menjadi refleks involunter (Andriyani, 2001).
Hollinshead, Longmore (1985) menyatakan bahwa peristiwa menelan
adalah peristiwa yang terjadi setelah proses pengunyahan selesai didalam
mulut, kemudian mulut tertutup, lidah bagian ventral bergerak ke palatum
sehingga mendorong bolus ke arah isthmus faucium menuju faring untuk
selanjutnya di teruskan ke esophagus (Andriyani, 2001).
Penelanan makanan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap volunteer
atau tahap oral/bukal, tahap faringeal atau involunter dan tahap esophageal.
Setiap tahap ini umumnya melakukan gerak yang berkesinambungan dan
berlangsung dengan cepat (Andriyani, 2001).
a. Tahap Bukal atau Tahap Volunter
Setelah makanan dikunyah dan berbentuk bolus,pergerakan
vertical lidah akan mendorong bolus kea rah isthmus faucium. Isthmus
faucium merupakan daerah paling dorsal kavum oris yang dibatasi oleh
palatum bagian superior dan bagian inferior oleh radiks lidah. Pada waktu
makanan melewati isthmus faucium muskulus palatoglossus berkontraksi
menyempitkan isthmus faucium sehingga mencegah kembalinya makanan
ke dalam rongga mulut. Setelah makanan sampai pada orofaring dengan
diikuti oleh kontraksi muskulus levator dan muskulus tensor veli palatini
dibantu oleh muskulus palatofaringeus sehinggga menutup hubungan
9
antara nasofaring dan orofaring. Keadaan ini terjadi agar makanan tidak
masuk ke dalam nasofaring menuju hidung akan tetapi makanan akan
terdorong ke dalam orofaring (Andriyani, 2001).
b. Tahap Faringeal atau Tahap Involunter
Pada tahap ini faring mulai berperan, yaitu muskulus
stylofaringeus dan muskulus palatofaringeus berkontraksi sehingga
menarik faring kea rah cranial yang memungkinkan makanan terdororng
kea rah laringofaring(Andriyani, 2001).
Pada saat bersamaan otot-otot laring yaitu muskulus aritenoideus
obliqus dan muskulus transversus serta muskulus krikoariteniodeus lateral
berkontraksi yang menyebabkan penyempitan aditus laringis. Kedua
kartilago aritenoidea pada saat ini berkontraksi, kemudian tertarik dan
saling mendekati sampai bertemu dengan epiglotis, rima glotidis tertutup
sehingga makanan tidak masuk kedalam laring tetapi berada dalam
laringofaring (Andriyani, 2001).
c. Tahap Esofageal
Pada tahap ini muskulus konstriktor faring berkontraksi bergantian
dari atske bawah mendorong bolus makanan ke bawah melewati laring.
Dengan terangkatnya laring dan relaksasi sfingter faringoesofageal,
seluruh otot-otot dinding faring berkontraksi. Makanan yang telah
memasuki esophagus akan dialirkan ke lambung melalui gerak peristaltic.
Gerak peristaltic esophagus ada dua tipe, yaitu: peristaltic primer dan
peristaltic sekunder. Gerak peristaltic primer merupakan gelombang
peristaltik yang mendorong makanan di faring menuju esophagus selama
tahap faringeal. Jika gelombang peristaltic primer gagal mendorong semua
makanan yang ada di esophagus ke lambung maka gelombang peristaltic
sekunder yang dihasilkan dari peregangan esophagus oleh makanan yang
tertahan akan mendorong sisa makanan ke lambung (Andriyani, 2001).
C. Refleks Menelan
Kesatuan anatomik susunan syaraf adalah neuron, sedangkan
lengkungan fungsionalnya adalah lengkungan reflek. Lengkungan reflek
adalah dasar anatomik untuk kegiatan-kegiatan reflek di luar pengendalian
10
kemauan kita, ini berarti reaksi-reaksi yang bersifat otomatik, dikeluarkan dari
kavum oris. Proses ini terbentuk secara refleks ataupun secara sadar.
Tujuan reflek menelan adalah mencegah masuknya makanan atau
cairan ke dalamtrakea. Impuls motoris dari pusat menelan yang menuju ke
faring dan bagian atas esophagus diantara oleh kranial v,IX,X DAN XII dan
beberapa melalui saraf cervical. Menelan memiliki beberapa stadium yaitu
stadium volunter, faringeal, dan esofageal.
Pada stadium faringeal palatum mole didorong ke atas untuk menutup
nares posterior sehingga mencegah makanan balik ke rongga hidung.
Stadium faringeal terjadi kurang dari 1 atau 2 detik sehingga
menghentikan nafas selama waktu ini, karena pusat pernafasan dalam medulla
oblongata.
Pada stadium esofageal gelombang peristaltik berjalan dalam waktu 5-
10 detik. Tetapi pada orang yang berada dalam posisi berdiri, waktunya akan
lebih cepat yaitu 4-8 detik karena pengaruh gravitasi.
D. Gangguan Proses Menelan
1. Disfagia
Menelanan abnormal atau yang sering disebut disfagia yaitu
keadaan dimana pasien mengalami kesulitan dalam menelan makanan.
Kesulitan menelan ada dua tahap, pertama, yaitu melewatkan bolus ke
bagian belakang tenggorokan dan kedua, tahap mengawali refleks menelan
makanan. Disfagia yang terjadi setelah tahap mengawali refleks menelan
biasanya disebabkan oleh kelainan neuromuskular dan jarang terjadi, hal
ini karena adanya lesi di dalam laringofaring dan esophagus (Andriyani,
2001).
Beberapa penyebab lain terjadinya disfagia antara lain pernah
dilaporkan oleh Gankroger (1993), yaitu disfagia karena trauma akut
benda asing yang masuk ke dalam faring dan laring, disertai rasa sakit
yang hebat sehingga penderita mengalami kesulitan menelan
makanan (Andriyani, 2001).
Schlie-phake dkk (1998) juga melaporkan bahwa pasien yang
mengalami operasi pengambilan karsinoma sel skuamosa di dasar mulut,
11
akan mengalami kesulitan dalam menggerakkan lidah Karen aperubahan
bentuk otot-otot lidah, selain itu juga akan mengalami perubahan kualitas
suara yaitu suara menjadi terdengar lebih besar dan lebih berat (Andriyani,
2001).
Gejala khas disfagia pada pasien seperti gejala sukar menelan
makanan atau penyakit lain perlu diwaspadai karena dalam
perkembangannya akan merusak fungsi otot-otot yang berperan dalam
peristiwa menelan. Oleh karena itu perlu dilakukan diagnosis yang tepat
penyebab keadaan ini agar diperoleh hasil perawatan yang sempurna tanpa
merusak otot-otot yang berperan dalam proses ini (Andriyani, 2001).
Disfagia pada karsinoma esophagus yang tidak dapat dioperasi
sering dapat dibantu dengan memasukkan sebuah pipa metal atau plastic
dengan bantuan sebuah endoskopi. Endoskopi yang sering dipakai adalah
endoskop fibreoptik, karena resiko untuk menimbulkan kerusakan mukosa
esophagus lebih rendah disbanding dengan endoskop tradisional yang
besar dan kaku (Andriyani, 2001).
Disfagia adalah keadaan terganggunya peristiwa deglutasi
(menelan). Keluhan ini akan timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-
otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke
lambung. Disfagia umumnya merupakan gejala dari kelainan atau penyakit
di orofaring dan esophagus (Andriyani, 2001).
Manifestasi klinik yang sering ditemukan ialah sensasi makanan
yang tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan. Lokasi rasa
sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan di esofagus bagian
torakal. Tetapi bila sumbatan berada di leher, kelainannya terletak di
faring atau esofagus bagian servikal (Andriyani, 2001).
Pembagian gejala dapat menjadi dua macam yaitu disfagia
orofaring dan disfagia esophagus. Gejala disfagia orofaringeal adalah
kesulitan mencoba menelan, tersedak atau menghirup air liur ke dalam
paru-paru saat menelan, batuk saat menelan, muntah cairan melalui
hidung, bernapas saat menelan makanan, suara lemah, dan berat badan
menurun. Sedangkan gejala disfagia esofagus adalah sensasi tekanan
12
dalam dada tengah, sensasi makanan yang menempel di tenggorokan atau
dada, nyeri dada, nyeri menelan, rasa terbakar di dada yang berlangsung
kronis, belching, dan sakit tenggorokan (Andriyani, 2001).
Disfagia juga dapat disertai dengan keluhan lainnya, seperti rasa
mual, muntah, regurgitasi, hematemesis, melena, anoreksia, hipersalivasi,
batuk, dan berat badan yang cepat berkurang (Andriyani, 2001).
Kesulitan menelan dapat terjadi pada semua kelompok usia, akibat
dari kelainan kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis
tertentu. Masalah dalam menelan merupakan keluhan yang umum didapat
di antara orang berusia lanjut. Oleh karena itu, insiden disfagia lebih tinggi
pada orang berusia lanjut dan juga pada pasien stroke. Kurang lebih 51-
73% pasien stroke menderita disfagia (Andriyani, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas disfagia mekanik,
disfagia motorik, dan disfagia oleh gangguan emosi atau psikogenik.
Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus oleh
massa tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibat peradangan
mukosa esofagus, serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar,
misalnya oleh pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah
bening di mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta. Letak
arteri subklavia dekstra yang abnormal juga dapat menyebabkan disfagia,
yang disebut disfagia Lusoria. Disfagia mekanik timbul bila terjadi
penyempitan lumen esofagus. Pada keadaan normal, lumen esofagus orang
dewasa dapat meregang sampai 4 cm. Keluhan disfagia mulai timbul bila
dilatasi ini tidak mencapai diameter 2,5 cm (Andriyani, 2001).
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular
yang berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang
otak, kelainan saraf otak n.V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII, kelumpuhan otot
faring dan lidah serta gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan
disfagia. Kelainan otot polos esofagus akan menyebabkan gangguan
kontraksi dinding esofagus dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah,
sehingga dapat timbul keluhan disfagia. Penyebab utama dari disfagia
13
motorik adalah akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring,
dan scleroderma esophagus (Andriyani, 2001).
Keluhan disfagia dapat juga timbul karena terdapat gangguan
emosi atau tekanan jiwa yang berat (factor psikogenik). Kelainan ini
disebut globus histerikus.
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur
yang berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor yaitu ukuran bolus makanan, diameter lumen esofagus
yang dilalui bolus, kontraksi peristaltik esofagus, fungsi sfingter esofagus
bagian atas dan bagian bawah, dan kerja otot-otot rongga mulut dan
lidah (Andriyani, 2001).
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem
neuromuscular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan
sensorik dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta
persarafan intrinsik otot-otot esofagus bekerja dengan baik sehingga
aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pada pusat menelan dapat
menyebabkan kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot lurik
esofagus, dan sfingter esofagus bagian atas. Oleh karena otot lurik
esofagus dan sfingter esofagus bagian atas juga mendapat persarafan dari
inti motor n.vagus, aktivitas peristaltik esofagus masih tampak pada
kelainan otak. Relaksasi sfingter esofagus bagian bawah terjadi akibat
peregangan langsung dinding esophagus (Andriyani, 2001).
Penyakit-penyakit yang memiliki gejala disfagia adalah antara lain
keganasan kepala-leher, penyakit neurologik progresif seperti penyakit
Parkinson, multiple sclerosis, atau amyotrophic lateral sclerosis,
scleroderma, achalasia, spasme esofagus difus, lower esophageal
(Schatzki) ring, striktur esofagus, dan keganasan esophagus (Andriyani,
2001).
2. Tersedak (chocking)
Tersedak adalah tersumbatnya trakea seseorang oleh benda asing,
muntah, darah atau cairan lain. Tersedak bisa terjadi jika sumber udara
14
tersumbat. Tersedak juga bisa terjadi jika adaya benda asing disaluran
nafas yang menghalangi udara masuk keparu-paru. Tersedak mungkin
disebabkan oleh kelainan otot-otot volunter dalam proses menelan
khususnya pada klien dengan penyakit-penyakit (otot rangka) atau
persarafan yaitu penderita adermatomiiositis, miastenia grafis, distrofi
otot, polio, kelumpuhan pseudobular dan kelainan otak dan sum-sum
tulang belakang seperti penyakit Parkinson dan sklerosis lateral
amiotropik. Tersedak merupakan salah satu gejala klini dari dispagia dan
terjadi bila ada problem dari bagian proses menelan, misalnya kelemahan
otot pipi atau lidah yang menyebabkan kesukaran untuk memindahkan
makanan ke sekeliling mulut untuk dikunyah. Makan yang ukurannya
sangat besar utuk ditelan akan masuk ke tenggorokkan dan menutup jalan
nafas. Kedua, karena ketidak mampuan untuk memulai reflek menelan
yang merupakan suatu rangsangan sehingga menyebabkan makanan dan
cairan dapat melewati faring dengan aman, seperti adanya gangguan
stroke, atau gangguan syaraf lain sehingga terjadi ketidakmampuan utnuk
memulai gerakan otot yang dapat memindahkan makanan-makan dari
mulut ke lambung. Ketiga, kelemahan otot-otot faring sehingga terjadi
ketidak mampuan memindahkan keseluruhan makan ke lambung
akibatnya sebagian makanan akan jatuh atau tertarik kedalam saluran nafas
(trakea) yang menyebabkan infeksi pada paru-paru (Arsyad, 2008).
Tersedak biasanya terjadi karena makanan yang kurang dikunyah
dengan baik “memasuki saluran yang salah”. Bila keadaan ini tidak segera
diatasi, bisa berakibat fatal(Arsyad, 2008).
Tersedak menyebabkan tersumbatnya saluran pernapasan di sekitar
tenggorokan (laring) atau saluran pernapasan (trakea). Aliran udara
menuju paru-paru pun terhambat sehingga aliran darah yang menuju otak
dan organ tubuh lain terputus. Karena itu perlu dilakukan tindakan
pertama yang efektif untuk menyelamatkan nyawa dengan tindakan
Heimlich (Arsyad, 2008).
3. Akalasia
15
Dahulu disebut sebagai kardiopasme adalah gangguan
hipomotilitas yang jarang terjadi. Ganggunan ini ditandai oleh peristaltic
korpus esophagus yang lemah dan tidak teratur atau aperistaltik,
meningkatnya tekanan esophagus bagian bawah dan kegagalan sfingter
esophagus bagian bawah untuk berelaksasi secara sempurna sewaktu
menelan. Akibatnya, makanan dan cairan tertimbun di dalan esophagus
bagian bawah dan kemudian dikosongkan secara perlahan seiring dengan
meningkatnya tekanan hidrostatik. Korpus esophagus kehilangan tonusnya
dan dapat sangat melebar.
Etiologi akalasia tidak diketahui secara pasti, tetapi bukti yang ada
menandakan adanya degenerasi pada pleksus Auerbach menyebabkan
hilangnya control neurologis. Sebagai akibatnya,gelombang peristaltic
primer tidak mencapai sfingter esophagus bagian bawah untuk
merangsang relaksasi. Akalasia primer idiopatik merupakan kasus akalasi
yang paling banyak dijumpai di Amerika Serikat. Akalisa sekunder dapat
disebabkan oleh karsinoma lambung yang menginvasi esophagus melalui
radiasi dan toksin atau obat tertentu.
Akalasia lebih sering terjadi pada orang dewasa . timbulnya secara
perlahan, dan gejala paling mencolok adalag disfagi tergadapa makanan
cair dan padat, makan dapat terhenti oleh dorongan regurgitasi.
Regusgitasi pada malam hari dapat menyebabkan terjadinya aspirasi,
infeksi paru kronik atau kematian secara mendadak.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran radiogram
yang khas. Nila barium tertelan, gelombang peristaltic tampak lemah dan
penumpukan barium pada esophagus bagian distal memberikan gambaran
seperti corong. Pemberian obat kolinergik atau parasimpatomimetik dalam
dosis rendah menyebabkan terjadinya kontraksi dan pengosonngan secara
nyata pada esophagus dan memastikan diagnosis ini. Pemeriksaan
motilitas esophagus mungkin bermanfaat untuk diagnosis dini akalasia.
Pengkuran rhanometrik pada pemeriksaan ini menunjukkan bahwa sfingter
esophagus bagian bawah gagal mengadakan relaksasi pada saat menelan .
16
tekanan sfingter esophagus bagian bawah pada saat istirahat biasanya
meningkat.
4. Spasme Esofagus Difus
Spasme Esofagus Difus merupakan keadaan yang sering terjadi
dan dicirikan dengan kontraksi esophagus yang tidak terkoordinasi, non
propulsive dan timbul bila menelan. Kelainan ini mencolok terutama pada
bagian duapertiga bawah organ, tetapu dapat menyerang seluruh
esophagus. Kedua sfingter bekerja normal. Spasme esophagus difus
merupakan penyakit yang penyebabnya tidak diketahui dan tampaknya
lebih sering terjadi pada pasien berusia lanjut. Gangguan motilitas yang
sama dapat timbul akibat esofagositis refluks atau obstruksi esophagus
bagian bawah, misalnya pada karsinoma.
Spasme difusi primer biasanya terjadi pada pasien berusia 50
tahun. Spasme difusi primer biasnya bersifat asimtomatis, tetapi pada
beberapa kasus, kontaksi dapat menimbulkan gejala. Gejala yang paling
sering timbul adalah disfagi ontermiten dan odinofagi ysng diperberat oleh
menelan makanan dingin, bolus yang besr dan ketegangan saraf. Bila
terdapat nyeri dada intermitten, spasme esophagus mungkin
disalahtafsirkan sebagai angina prektoris, khususnya bila gejala tidak
berkaitan dengan makan . Yang membuat keadaan ini membingungkan
adalah hilangnya rasa nyeri akibat spasme bila diberi nitrogliserin.
Akibatnya beberapa penderita spasme esophagus difus didiagnosa
penyakit jantung.
5. Skleroderma
Disfungsi motorik esophagus terjadi pada lebih dari duapertiga
pendrita scleroderma sistemik progresif. Dasar kelainan pada saluran
gastrointestinal adalah antrofi otot polos bagian bawah esophagus.
Diagnosis diduga dapat melalui pemeriksaan radiografi dengan barium,
tetapi baru dipastikan setelah dilakukan gambaran manometrik. Tanda
khas penyakit ini adalah adanya aperistaltik atau peristaltic yang lemah
pada setengah sampai duapertiga distal esophagus, serta kurangnya tekana
sfingter esophagus bagian distal.
17
Inkompetensi sfingter esophagus distal sering menyebabkan
terjadinya esofagositik refluks dengan pembentukan striker pada
esophagus bagian bawah. Walaupu refluks gastroefagus dan esofagositis
sering terjadi pada sklerodema , nyeri ulu hati bukanlah gejala yang sering
ditemukan. Disfagi adalah gejala yang mencolok bila esofagositis
mengakibatkan pembentukan striker.
6. Esofagositis
Peradangan mukosa esophagus dapat bersifat akut atau kronik dan
dijumpai dalam berbagai keadaan termasuk dalam gangguan motilitas
yang baru dibicarakan. Suatu jenis esofagositis yang tidak berbahaya dapat
terjadi setelah menelan cairan panas. Data mengenai kelainan ini tidak
banyak ditemukan di Indonesia. Tetapi mungkin pula deteksi
keberadaanya belum dapat dilakukan dengan baik disebabkan keterbatasan
pengetahuan dan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat luas. Endoskopi
suatu pemeriksaan yang penting untuk mendeteksi kelainan in, masih
sangat mahal untuk pelayanan kesehatan secara meluas, dan hanya
didapatkan pada rumah sakit pemerintah tipe A atau rumah sakit swasta di
kota besar.
7. Esofagositik peptic (refluks)
Yaitu inflamasi mukosa esophagus yang disebabkan oleh refluks
cairan lambung atau duodenum ke esophagus. Cairan ini mengandung
asam, pepsin dan cairan empedu. Terjadinya reflukske esophagus erat
kaitannya dengan adanya hernia diafragmatika. Meanisme terjadinya
refluks itu sendiri sampai saat ini masih belum jelas. Dua faktor yang
paling penting adalah lemahnya sfingter esophagus bawah dan adnya
sliding hernia diafragmatika. Beberapa faktor yang diduga melemahkan
sfingter esophagus distal adalah :
a. Hormonal, yaitu kolesitikini, esterogen, glucagon, progesterone,
somastostatin dan sekretin.
b. Obat-obatan, yaitu antikolinergik, barbiturate, “calcium channel
blocker”, kafein, diazepam, dopamine, meperidin, prostaglandin E1
dan E2 dan teofilin.
18
c. Diit, yaitu “carminative (papermint, “spearmint, cokla, kafein, ethanol
dan lemak). Inflamasi ini terjadi pada epitel skuamosa di esofagus
distal, disebabkan oleh kontrak berulang dan dalam waktu yang cukup
lama dengan asam yang mengandung pepsin ataupun asam empedu.
Kelainan yang terjadi sangat ringansehinggga tidak
menimbulkan cacat, dapat pula berupa mukosa yang mudah berdarah
meskipun hanya dengan sentuhan ringan. Pada kelainan yang lebih
berat terlihat adanya lesi eritrosit atau tukak dengan eksudat. Lesi
eritrosit dapat berupa linier ataupu oval dan bundar dikelilingi oleh
epitel skuamosa. Tepi lesi skuamosa berwarna merah terang.
Diagonosis dan klasifikasi esofagositis peptic ini masih banyak
dipertentangkan. Hal ini disebabkan karena belum adanya kesesuaian
faham dalam mendeteksi adanya kelainan yang minimal. Adanya
gejala kllinik yang nyata misalnya rasa terbakar di dada, nyeri di
daerah ulu hati , rasa mual dan lain sebagainya. Pada pemeriksaan
esofagoskopitidak didapatkan kelainan yang jelas. ciri khas pada
esofagositis tipe ini adalh peradangan mulai pada daerah perbatasan
esophagus gaster ke proksimal daerah esophagus. Savary 1985 (dikutip
dari Draper) mengajukan klasifikasi sebagai berikut :
a. Tingkat 1 : Adanya lesi eritrosit satu atau lebih berupa bercak
merah dengan atau tanpa adanya selaput putih di bagian proksimal dari
garis “z”. Bercak tersebut sangat sulit dibedakan dengan warna
mukosa yang dilapisi epitel silindris.
b. Tingkat 2 :Adanya lesi eritrosit dengan selaput putih nyata. Lesi
melebar tetapi tidak mengelilingi lumen.
c. Tingkat 3 : Lesi eritrosit yang mengelilingi lumen dengan tukak
dan jaringan nekrotik di telinga.
d. Tingkat 4 : Satu atau lebih tukak yang dalam. Lesi ini sukar
dibedakan dengan lesi ganas. Terdapat fibrosis yang menimbulkan
deformitas dan terdapat gambaran adanya esophagus Barret.
19
E. Penatalaksanaan Kelainan Proses Menelan
A. Akalasia
Pengobatan akalasia bersifat paliatif yaitu perbaikan obstruksi
esophagus bagian bawah. Tidak terdapat cara untuk memperbaiki
obstruksi esophagus bagian bawah. Tidak ada cara untuk memperbaiki
peristaltic normal korpus esophagus. Dua bentuk terapi yang efektif
menghilangkan gejala adalah dilatasi sfingter esophagus bagian bawah dan
esofagomiotomi. Dilatasi dapat dilakukan dengan memasukkan tabung
berisi air raksa yang disebut dengan bougie atau yang lebih lazim dilatasi
kantung pneumatic yang diletakkan pada daearh sfingter esophagus bagian
bawah dan ditiup dengan kuat. Bila dilatasi gagal menghilangkan gejala
ini, dapat dilakukan pembedahan.
B. Esofagositik peptic (refluks)
Pengobatan untuk esofagositis refluks adalah antisida atai tanpa
antagonis H2-receptor. Tindakan pembedahan untuk menghilangkan
refluks hannya dilakuakan pada mereka degan gejala refluks yang menetap
walaupun telah diberikan pengobatan yang optimal.
20
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sistem stomatognasi dibentuk oleh komponen gigi-geligi beserta jaringan
pendukungnya, otot, persyarafan maupun persendian antara maksila dan
mandibula.
2. Fungsi stomatognasi adalah pengunyahan makanan, penelanan,
pernafasan, dan berbicara.
3. Pengunyahan adalah proses menghancurkan partikel makanan di dalam
mulut dibantu dengan saliva yang dihasilkan oleh kelenjar ludah sehingga
merubah ukuran dan konsistensi makanan yang akhirnya membentuk
bolus yang mudah untuk ditelan.
4. Menelan adalah peristiwa yang terjadi setelah proses pengunyahan selesai
didalam mulut, kemudian mulut tertutup, lidah bagian ventral bergerak ke
palatum sehingga mendorong bolus kea rah isthmus faucium menuju
faring untuk selanjutnya di teruskan ke esophagus, melibatkan beberapa
macam otot-otot dalam mulut, otot palatum lunak, otot faring dan otot
laring.
5. Penelanan abnormal atau yang sering disebut disfagia yaitu keadaan
dimana pasien mengalami kesulitan dalam menelan makanan. yaitu saat
melewatkan bolus ke bagian belakang tenggorokan ataupun saat
mengawali refleks menelan makanan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, Anita. 2001. Aspek fisiologis pengunyahan dan penelanan pada sistem
stomatognasi. Medan: USU.
Liebgott, Bernard, D.D.S,M.Sc. D, Ph. D. 1994. Dasar-Dasar Anatomi Kedokteran
Gigi. Jakarta: EGC
McDevitt, W. E. 2001. Anatomi Fungsional Dari Sistem Pengunyahan. Jakarta: EGC
Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho ,Buku ajar Ilmu Kesehatan
Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi V.Penerbit FK-UI,jakarta
2007.
22