cover-dapus (kurang daftar isi)

40
MAKALAH KELOMPOK SGD 1 Dosen Pengampu : Drg. Ratna Sulistyorini, M.Si. Med Disusun Oleh : 1. Nur Amaliana Ayu Nisa (J2A014001) 2. Mahanani Elma Baskhara (ketua) (J2A014002) 3. Nida Ulfa (scrable ketik) (J2A014004) 4. Dea Intania Dewi (J2A014007) 5. Ajeng Narita Caustina (J2A014009) 6. Mughni Permatasari (J2A014028) 7. Dzaki Ala Muttaqien (J2A014030) 8. Nisrina Afif Diah Sari (J2A014031) 9. Lovina Julia Kuswandi (J2A014033) 10. Ivan Febiyanto (J2A014035) 11. Wisnu Umaroh Faizal Abdau (J2A014036)

Upload: nidaulfa

Post on 14-Jul-2016

46 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

bssss

TRANSCRIPT

Page 1: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

MAKALAH

KELOMPOK SGD 1

Dosen Pengampu :

Drg. Ratna Sulistyorini, M.Si. Med

Disusun Oleh :

1. Nur Amaliana Ayu Nisa (J2A014001)

2. Mahanani Elma Baskhara (ketua) (J2A014002)

3. Nida Ulfa (scrable ketik) (J2A014004)

4. Dea Intania Dewi (J2A014007)

5. Ajeng Narita Caustina (J2A014009)

6. Mughni Permatasari (J2A014028)

7. Dzaki Ala Muttaqien (J2A014030)

8. Nisrina Afif Diah Sari (J2A014031)

9. Lovina Julia Kuswandi (J2A014033)

10. Ivan Febiyanto (J2A014035)

11. Wisnu Umaroh Faizal Abdau (J2A014036)

12. Bachtiar Dwi Nugroho (scrable tulis) (J2A014037)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2016

Page 2: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang

bertema “Proses Menelan”

Makalah ini kami susun demi memenuhi sebagian tugas yang telah

diberikan kepada kami. Pada kesempatan ini, kami ucapkan banyak terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan skenario

ini, terutama drg. Ratna Sulistyorini selaku dosen tutorial dua blok sepuluh

semester empat yang senantiasa membantu dan membimbing kami, sehingga

makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik.

Makalah ini pula kami susun untuk memperluas dan menambah wawasan

kami dan para pembaca khususnya mahasiswa. Untuk menunjang pemahaman dan

melatih keterampilan mahasiswa, kami lampirkan beberapa jurnal dan buku.

Kami menyadari banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, oleh

karenanya kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi

kesempurnaan laporan selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Semarang, 20 Maret 2016

Penyusun

i

Page 3: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................1

C. Tujuan .........................................................................................................2

D. Manfaat .......................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................3

A. Sistem Stomatognasi ...................................................................................3

BAB III PEMBAHASAN ...........................................................................................4

A. Anatomi Sistem Menelan ...........................................................................4

B. Fisiologi Menelan .......................................................................................9

C. Refleks Menelan .........................................................................................10

D. Gangguan Proses Menelan .........................................................................11

E. Penatalaksanaan Kelainan Proses Menelan ................................................20

BAB III PENUTUP......................................................................................................21

A. Kesimpulan .................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................22

ii

Page 4: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut kamus deglutasi atau deglutition diterjemahkan sebagai

proses memasukkan makanan kedalam tubuh melalui mulut “the process of

taking food into the body through the mouth”. Proses menelan merupakan

suatu proses yang kompleks, yang memerlukan setiap organ yang berperan

harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dalam proses

menelan ini diperlukan kerjasama yang baik dari 6 syaraf cranial, 4 syaraf

servikal dan lebih dari 30 pasang otot menelan. Pada proses menelan terjadi

pemindahan bolus makanan dari rongga mulut ke dalam lambung.

Keberhasilan proses menelan ini tergantung dari beberapa faktor, yaitu

ukuran bolus makanan, diameter lumen esophagus, kontraksi peristaltic

esophagus, fungsi sfingter esophagus, dan kerja otot-otot rongga mulut dan

lidah.

Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuro-

muskular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan dinding

faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esophagus serta persarafan intrinsic

otot-otot esophagus bekerja dengan baik, sehingga aktivitas motorik berjalan

lancer. Kerusakan pada pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas

komponen orofaring. Otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas.

Oleh karena Otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas juga

mendapat persarafan dari inti motor nevus vagus, maka aktivitas peristaltic

esophagus masih tampak pada kelainan di otak. Relaksasi sfingter esophagus

bagian bawah tejadi akibat peregangan langsung dinding esophagus.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dari proses menelan?

2. Bagaimana fisiologi menelan?

3. Bagaimana refleks menelan?

4. Apa saja gangguan dari proses menelan?

1

Page 5: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

5. Bagaimana penatalaksanaan dari gangguan proses menelan?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui anatomi dari proses menelan.

2. Untuk menegatahui fisiologi menelan.

3. Untuk mengetahui refleks menelan.

4. Untuk mengetahui gangguan dari proses menelan.

5. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari gangguan proses menelan.

D. Manfaat

1. Mahasiswa dapat mengetahui anatomi dari proses menelan.

2. Mahasiswa dapat menegatahui fisiologi menelan.

3. Mahasiswa dapat mengetahui refleks menelan.

4. Mahasiswa dapat mengetahui gangguan dari proses menelan.

5. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan dari gangguan proses

menelan.

BAB II

2

Page 6: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Stomatognasi

Komponen sistem stomatognasi meliputi gigi-geligi beserta jaringan

pendukungnya, otot, persyarafan maupun persendian antara maksila dan

mandibula. Stomatognasi dalam praktek kedokteran gigi merupakan ilmu

yang mempertimbangkan hubungan antara gigi geligi, rahang, persendian

temporomandibula, kraniofasial dan oklusi gigi (Andriyani, 2001).

Termasuk dalam fungsi stomatognasi adalah pengunyahan makanan,

penelanan, pernafasan, dan berbicara. Masing-masing fungsi ini erat

hubungannya dan kadang-kadang dua atau lebih fungsi ini dapat dilakukan

secara bersama-sama. Fungsi stomatognasi yang akan dibahas di sini adalah

pengunyahan dan penelanan makanan(Andriyani, 2001).

Selama proses pengunyahan, komponen-komponen yang terlibat

adalah tulang, otot-otot, ligament dan gigi (Andriyani, 2001).

Pada sistem stomatognasi, proses pengunyahan dan penelanan

merupakan suatu proses yang kompleks, melibatkan otot-otot, persendian

temporomandibula, gigi dan persyarafan. Koordinasi pergerakan mandibula

dan gigi yang berfungsi optimal, akan menghasilkan makanan yang berubah

menjadi konsistensi relatif halus yang disebut dengan bolus (Andriyani,

2001).

Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap bukal, tahap

faringeal dan tahap esophageal. Aktivitas otot penelanan dimulai dengan

kerja secara volunter dan akan berubah menjadi refleks involunter. Refleks

lain yang dapat terjadi pada aktivitas penelanan adalah batuk, muntah dan

menghisap, diakibatkan rangsangan-rangsangan sensorik (Andriyani, 2001).

BAB III

3

Page 7: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

PEMBAHASAN

A. Anatomi Sistem Menelan

1. Otot-otot

Berkovitz (1995) dan William (1995) menyatakan bahwa otot-otot

yang berperan dalam proses penelanan adalah otot-otot didalam kavum

oris proprium yang bekerja secara volunteer, otot-otot faring dan laring

bekerja secara involunter. Kavum oris terbagi menjadi dua bagian yaitu

vestibulum oris dan kavum oris proprium. Vestibulum oris adalah ruang

antara gigi-geligi dan batas mukosa bagian dalam dari pipi dan labium

oris. Sedangkan kavum oris proprium merupakan ruang antara arkus

dentalis superior dan inferior. Batas anterior dan lateral kavum oris

proprium adalah permukaan lingual gigi geligi dan prosesus alveolaris

(Andriyani, 2001).

a. Otot di dalam kavum oris proprium

Otot yang termasuk didalam kelompok ini adalah otot-otot lidah

dan otot-otot palatum lunak. Otot- otot lidah terdiri dari otot- otot

instrinsik dan ekstrinsik. Otot-otot intrinsic lidah merupakan otot yang

membentuk lidah itu sendiri yaitu muskulus longitudinalis lingua

superfisialis, muskulus longitudinalis lingua provunda, muskulus

transfersus lingua dan muskulus vertikalis lingua. Otot ekstrinsik lidah

merupakan otot yang berada di bawah lidah yaitu muskulus

genioglossus untuk mengerakan bagian tengah lidah ke belakang dan

muskulus styloglossus yang menarik lidah keatas dan kebawah.

Sedangan otot- otot palatum lunak yaitu muskulus tensor dan muskulus

levator veli palatini untuk mengangkat faring dan muskulus

palatoglossus yang menyebabkan terangkatnya uvula (Evelyn, 1992).

b. Otot faring

Terbagi menjadi 2 golongan yaitu otot- otot yang jalannya

melingkar dan otot- otot yang menbujur faring. Otot-otot melingkar

terdiri atas muskulus konstriktor faringis superior, muskulus konstriktror

faringis media dan muskulus konstriktor faringis inferior (Evelyn, 1992).

4

Page 8: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

Sedangkan otot- otot membujur faring yaitu muskulus stilofaringeus.

Faring tertarik kearah medial untuk saling mendekat. Setelah itu lipatan-

lipatan faring membentuk celah sagital yang akan di lewati makanan

menuju kedalam faring posterior celah ini melakukan kerja selektif

sehingga makanan yang telah di kunyah dapat lewat dengan mudah

(Evelyn, 1992).

c. Otot laring

Terbagi dua yaitu otot laring instrinsik dan otot laring ekstrinsik.

Otot laring ekstrinsik yaitu muskulus krikotiroideus, sedangan otot- otot

laring intrinsic yaitu muskulus tireoepiglottikus dan muskulus

aritenoideus pada laring terdapat dua sfingter yaitu aditus laringis dan

rima glottidis. Aditus laringis berfungsi hanya pada saat menelan. Ketika

bolus makanan di pindahkan kebelakang diantara lidah dan palatum

lunak laring tertarik keatas. Aditus laringis di persempit oleh kerja

muskulus arytinoideus obliqus dan muskulus oroepiglottikus. Bolus

makanan atau cairan, kini masuk ke esophagus dengan mengelincir di

atas epiglottis atau turun lewat alur pada sisi aditus laringis rima

glottidis berfungsi sebagai sfingter pada saat batuk atau bersin tetapi

yang terpenting adalah epiglottis membantu mencegah makanan agar

sejauh mungkin dari pita suara, dimana akan mempengaruhi tegangan

pita suara pada waktu bicara (Evelyn, 1992).

2. Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus

faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus,

cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari

n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini

keluar untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi

langsung oleh cabang n.glossofaringeus.

a. Peranan saraf kranial pada pembentukan bolus fase oral

ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN

5

Page 9: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

(motorik)

Mandibula n. V.2 (maksilaris) n.V : m. Temporalis, m.

maseter, m. Pterigoid

Bibir n. V.2 (maksilaris) n.VII : m.orbikularis

oris, m. zigomatikum,

m.levator labius oris,

m.depresor labius oris,

m. levator anguli oris, m.

depressor anguli oris

Mulut & pipi n.V.2 (maksilaris) n.VII: m. mentalis, m.

risorius, m.businator

Lidah n.V.3 (lingualis) n.XII : m. hioglosus, m.

mioglosus

Pada fase oral ini perpindahan bolus dari ronggal mulut ke faring segera

terjadi, setelah otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletekkan bolus diatas lidah.

Otot intrinsik lidah berkontraksi menyebabkan lidah terangkat mulai dari

bagian anterior ke posterior. Bagian anterior lidah menekan palatum durum

sehingga bolus terdorong ke faring. Bolus menyentuh bagian arkus faring anterior,

uvula dan dinding posterior faring sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus

faring terangkat ke atas akibat kontraksi m. palato faringeus (n. IX, n.X dan

n.XII).

b. Peranan saraf kranial fase oral

ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN (motorik)

Bibir n.V.2 (mandibularis),

n.V.3 (lingualis)

n.V: m.orbikularis oris,

m.levator labiu oris, m. depressor

labius, m.mentalis

Mulut & pipi n.V.2 (mandibularis) n.VII: m.zigomatikus,levator

anguli oris, m.depressor anguli

oris, m.risorius. m.businator

Lidah n.V.3 (lingualis) n.IX,X,XI : m.palatoglosus

6

Page 10: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

Uvula n.V.2 (mandibularis) n.IX,X,XI:m.uvulae,m.palatofaring

Jadi pada fase oral ini secara garis besar bekerja saraf karanial n.V2 dan

nV.3 sebagai serabut afferen (sensorik) dan n.V, nVII, n.IX, n.X, n.XI, n.XII

sebagai serabut efferen (motorik).

c. Fase Faringeal

Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring

anterior (arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase

faringeal ini terjadi6 :

1 m.Tensor veli palatini (n.V) dan m. Levator veli palatini (n.IX, n.X

dan n.XI) berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat, kemudian

uvula tertarik keatas dan ke posterior sehingga menutup daerah nasofaring.

2 m.genioglosus (n.XII, servikal 1), m.ariepiglotika (n.IX,nX)

m.krikoaritenoid lateralis (n.IX,n.X) berkontraksi menyebabkan aduksi

pita suara sehingga laring tertutup.

3 Laring dan tulang hioid terangkat keatas ke arah dasar lidah karena

kontraksi m.stilohioid, (n.VII), m.Geniohioid, m.tirohioid (n.XII dan

n.servikal I). Kontraksi m.konstriktor faring superior (n.IX, n.X,

n.XI), m. Konstriktor faring inermedius (n.IX, n.X, n.XI) dan

m.konstriktor faring inferior (n.X, n.XI) menyebabkan faring tertekan

kebawah yang diikuti oleh relaksasi m. Kriko faring (n.X) Pergerakan

laring ke atas dan ke depan, relaksasi dari introitus esofagus dan

dorongan otot-otot faring ke inferior menyebabkan bolus makanan turun

ke bawah dan masuk ke dalam servikal esofagus. Proses ini hanya

berlangsung sekitar satu detik untuk menelan cairan dan lebih lama bila

menelan makanan padat.

d. Peranan saraf kranial pada fase faringeal

ORGAN AFFEREN EFFEREN

Lidah n.V.3 n.V :m.milohyoid,

7

Page 11: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

m.digastrikus

n.VII : m.stilohyoid

n.XII,nC1 :m.geniohyoid,

m.tirohyoid

n.XII :m.stiloglosus

Palatum n.V.2, n.V.3 n.IX, n.X, n.XI :m.levator

veli palatini

n.V :m.tensor veli palatini

Hyoid n.Laringeus superior cab

internus (n.X)

n.V : m.milohyoid, m.

Digastrikus

n.VII : m. Stilohioid

n.XII, n.C.1 :m.geniohioid,

m.tirohioid

Nasofaring n.X n.IX, n.X, n.XI :

n.salfingofaringeus

Faring n.X n.IX, n.X, n.XI : m.

Palatofaring, m.konstriktor

faring sup, m.konstriktor

ffaring med.

n.X,n.XI : m.konstriktor

faring inf.

Laring n.rekuren (n.X) n.IX :m.stilofaring

Esofagus n.X n.X : m.krikofaring

Pada fase faringeal ini saraf yang bekerja saraf karanial n.V.2,

n.V.3 dan n.X sebagai serabut afferen dan n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan

n.XII sebagai serabut efferen Bolus dengan viskositas yang tinggi akan

memperlambat fase faringeal, meningkatkan waktu gelombang peristaltik

dan memperpanjang waktu pembukaan sfingter esofagus bagian atas.

Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu

pergerakan pangkal lidah, pergerakan palatum mole dan pergerakan laring

8

Page 12: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

serta pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Waktu Pharyngeal transit

juga bertambah sesuai dengan umur.

3. Vaskularisasi

Vaskularisasi sistem penelanan berasal dari beberapa sumber dan

kadang-kadang tidak beraturan, tetapi yang utama berasal dari cabang

arteri Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang

palatine superior.

B. Fisiologi Menelan

Proses penelanan adalah aktivitas terkoordinasi yang melibatkan

beberapa macam otot-otot dalam mulut, otot palatum lunak, otot faring dan

otot laring. Aktivitas otot penelanan dimulai sebagai kerja volunter dan

kemudian berubah menjadi refleks involunter (Andriyani, 2001).

Hollinshead, Longmore (1985) menyatakan bahwa peristiwa menelan

adalah peristiwa yang terjadi setelah proses pengunyahan selesai didalam

mulut, kemudian mulut tertutup, lidah bagian ventral bergerak ke palatum

sehingga mendorong bolus ke arah isthmus faucium menuju faring untuk

selanjutnya di teruskan ke esophagus (Andriyani, 2001).

Penelanan makanan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap volunteer

atau tahap oral/bukal, tahap faringeal atau involunter dan tahap esophageal.

Setiap tahap ini umumnya melakukan gerak yang berkesinambungan dan

berlangsung dengan cepat (Andriyani, 2001).

a. Tahap Bukal atau Tahap Volunter

Setelah makanan dikunyah dan berbentuk bolus,pergerakan

vertical lidah akan mendorong bolus kea rah isthmus faucium. Isthmus

faucium merupakan daerah paling dorsal kavum oris yang dibatasi oleh

palatum bagian superior dan bagian inferior oleh radiks lidah. Pada waktu

makanan melewati isthmus faucium muskulus palatoglossus berkontraksi

menyempitkan isthmus faucium sehingga mencegah kembalinya makanan

ke dalam rongga mulut. Setelah makanan sampai pada orofaring dengan

diikuti oleh kontraksi muskulus levator dan muskulus tensor veli palatini

dibantu oleh muskulus palatofaringeus sehinggga menutup hubungan

9

Page 13: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

antara nasofaring dan orofaring. Keadaan ini terjadi agar makanan tidak

masuk ke dalam nasofaring menuju hidung akan tetapi makanan akan

terdorong ke dalam orofaring (Andriyani, 2001).

b. Tahap Faringeal atau Tahap Involunter

Pada tahap ini faring mulai berperan, yaitu muskulus

stylofaringeus dan muskulus palatofaringeus berkontraksi sehingga

menarik faring kea rah cranial yang memungkinkan makanan terdororng

kea rah laringofaring(Andriyani, 2001).

Pada saat bersamaan otot-otot laring yaitu muskulus aritenoideus

obliqus dan muskulus transversus serta muskulus krikoariteniodeus lateral

berkontraksi yang menyebabkan penyempitan aditus laringis. Kedua

kartilago aritenoidea pada saat ini berkontraksi, kemudian tertarik dan

saling mendekati sampai bertemu dengan epiglotis, rima glotidis tertutup

sehingga makanan tidak masuk kedalam laring tetapi berada dalam

laringofaring (Andriyani, 2001).

c. Tahap Esofageal

Pada tahap ini muskulus konstriktor faring berkontraksi bergantian

dari atske bawah mendorong bolus makanan ke bawah melewati laring.

Dengan terangkatnya laring dan relaksasi sfingter faringoesofageal,

seluruh otot-otot dinding faring berkontraksi. Makanan yang telah

memasuki esophagus akan dialirkan ke lambung melalui gerak peristaltic.

Gerak peristaltic esophagus ada dua tipe, yaitu: peristaltic primer dan

peristaltic sekunder. Gerak peristaltic primer merupakan gelombang

peristaltik yang mendorong makanan di faring menuju esophagus selama

tahap faringeal. Jika gelombang peristaltic primer gagal mendorong semua

makanan yang ada di esophagus ke lambung maka gelombang peristaltic

sekunder yang dihasilkan dari peregangan esophagus oleh makanan yang

tertahan akan mendorong sisa makanan ke lambung (Andriyani, 2001).

C. Refleks Menelan

Kesatuan anatomik susunan syaraf adalah neuron, sedangkan

lengkungan fungsionalnya adalah lengkungan reflek. Lengkungan reflek

adalah dasar anatomik untuk kegiatan-kegiatan reflek di luar pengendalian

10

Page 14: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

kemauan kita, ini berarti reaksi-reaksi yang bersifat otomatik, dikeluarkan dari

kavum oris. Proses ini terbentuk secara refleks ataupun secara sadar.

Tujuan reflek menelan adalah mencegah masuknya makanan atau

cairan ke dalamtrakea. Impuls motoris dari pusat menelan yang menuju ke

faring dan bagian atas esophagus diantara oleh kranial v,IX,X DAN XII dan

beberapa melalui saraf cervical. Menelan memiliki beberapa stadium yaitu

stadium volunter, faringeal, dan esofageal.

Pada stadium faringeal palatum mole didorong ke atas untuk menutup

nares posterior sehingga mencegah makanan balik ke rongga hidung.

Stadium faringeal terjadi kurang dari 1 atau 2 detik sehingga

menghentikan nafas selama waktu ini, karena pusat pernafasan dalam medulla

oblongata.

Pada stadium esofageal gelombang peristaltik berjalan dalam waktu 5-

10 detik. Tetapi pada orang yang berada dalam posisi berdiri, waktunya akan

lebih cepat yaitu 4-8 detik karena pengaruh gravitasi.

D. Gangguan Proses Menelan

1. Disfagia

Menelanan abnormal atau yang sering disebut disfagia yaitu

keadaan dimana pasien mengalami kesulitan dalam menelan makanan.

Kesulitan menelan ada dua tahap, pertama, yaitu melewatkan bolus ke

bagian belakang tenggorokan dan kedua, tahap mengawali refleks menelan

makanan. Disfagia yang terjadi setelah tahap mengawali refleks menelan

biasanya disebabkan oleh kelainan neuromuskular dan jarang terjadi, hal

ini karena adanya lesi di dalam laringofaring dan esophagus (Andriyani,

2001).

Beberapa penyebab lain terjadinya disfagia antara lain pernah

dilaporkan oleh Gankroger (1993), yaitu disfagia karena trauma akut

benda asing yang masuk ke dalam faring dan laring, disertai rasa sakit

yang hebat sehingga penderita mengalami kesulitan menelan

makanan (Andriyani, 2001).

Schlie-phake dkk (1998) juga melaporkan bahwa pasien yang

mengalami operasi pengambilan karsinoma sel skuamosa di dasar mulut,

11

Page 15: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

akan mengalami kesulitan dalam menggerakkan lidah Karen aperubahan

bentuk otot-otot lidah, selain itu juga akan mengalami perubahan kualitas

suara yaitu suara menjadi terdengar lebih besar dan lebih berat (Andriyani,

2001).

Gejala khas disfagia pada pasien seperti gejala sukar menelan

makanan atau penyakit lain perlu diwaspadai karena dalam

perkembangannya akan merusak fungsi otot-otot yang berperan dalam

peristiwa menelan. Oleh karena itu perlu dilakukan diagnosis yang tepat

penyebab keadaan ini agar diperoleh hasil perawatan yang sempurna tanpa

merusak otot-otot yang berperan dalam proses ini (Andriyani, 2001).

Disfagia pada karsinoma esophagus yang tidak dapat dioperasi

sering dapat dibantu dengan memasukkan sebuah pipa metal atau plastic

dengan bantuan sebuah endoskopi. Endoskopi yang sering dipakai adalah

endoskop fibreoptik, karena resiko untuk menimbulkan kerusakan mukosa

esophagus lebih rendah disbanding dengan endoskop tradisional yang

besar dan kaku (Andriyani, 2001).

Disfagia adalah keadaan terganggunya peristiwa deglutasi

(menelan). Keluhan ini akan timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-

otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke

lambung. Disfagia umumnya merupakan gejala dari kelainan atau penyakit

di orofaring dan esophagus (Andriyani, 2001).

Manifestasi klinik yang sering ditemukan ialah sensasi makanan

yang tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan. Lokasi rasa

sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan di esofagus bagian

torakal. Tetapi bila sumbatan berada di leher, kelainannya terletak di

faring atau esofagus bagian servikal (Andriyani, 2001).

Pembagian gejala dapat menjadi dua macam yaitu disfagia

orofaring dan disfagia esophagus. Gejala disfagia orofaringeal adalah

kesulitan mencoba menelan, tersedak atau menghirup air liur ke dalam

paru-paru saat menelan, batuk saat menelan, muntah cairan melalui

hidung, bernapas saat menelan makanan, suara lemah, dan berat badan

menurun. Sedangkan gejala disfagia esofagus adalah sensasi tekanan

12

Page 16: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

dalam dada tengah, sensasi makanan yang menempel di tenggorokan atau

dada, nyeri dada, nyeri menelan, rasa terbakar di dada yang berlangsung

kronis, belching, dan sakit tenggorokan (Andriyani, 2001).

Disfagia juga dapat disertai dengan keluhan lainnya, seperti rasa

mual, muntah, regurgitasi, hematemesis, melena, anoreksia, hipersalivasi,

batuk, dan berat badan yang cepat berkurang (Andriyani, 2001).

Kesulitan menelan dapat terjadi pada semua kelompok usia, akibat

dari kelainan kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis

tertentu. Masalah dalam menelan merupakan keluhan yang umum didapat

di antara orang berusia lanjut. Oleh karena itu, insiden disfagia lebih tinggi

pada orang berusia lanjut dan juga pada pasien stroke. Kurang lebih 51-

73% pasien stroke menderita disfagia (Andriyani, 2001).

Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas disfagia mekanik,

disfagia motorik, dan disfagia oleh gangguan emosi atau psikogenik.

Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus oleh

massa tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibat peradangan

mukosa esofagus, serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar,

misalnya oleh pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah

bening di mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta. Letak

arteri subklavia dekstra yang abnormal juga dapat menyebabkan disfagia,

yang disebut disfagia Lusoria. Disfagia mekanik timbul bila terjadi

penyempitan lumen esofagus. Pada keadaan normal, lumen esofagus orang

dewasa dapat meregang sampai 4 cm. Keluhan disfagia mulai timbul bila

dilatasi ini tidak mencapai diameter 2,5 cm (Andriyani, 2001).

Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular

yang berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang

otak, kelainan saraf otak n.V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII, kelumpuhan otot

faring dan lidah serta gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan

disfagia. Kelainan otot polos esofagus akan menyebabkan gangguan

kontraksi dinding esofagus dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah,

sehingga dapat timbul keluhan disfagia. Penyebab utama dari disfagia

13

Page 17: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

motorik adalah akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring,

dan scleroderma esophagus (Andriyani, 2001).

Keluhan disfagia dapat juga timbul karena terdapat gangguan

emosi atau tekanan jiwa yang berat (factor psikogenik). Kelainan ini

disebut globus histerikus.

Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur

yang berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan

berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari

beberapa faktor yaitu ukuran bolus makanan, diameter lumen esofagus

yang dilalui bolus, kontraksi peristaltik esofagus, fungsi sfingter esofagus

bagian atas dan bagian bawah, dan kerja otot-otot rongga mulut dan

lidah (Andriyani, 2001).

Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem

neuromuscular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan

sensorik dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta

persarafan intrinsik otot-otot esofagus bekerja dengan baik sehingga

aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pada pusat menelan dapat

menyebabkan kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot lurik

esofagus, dan sfingter esofagus bagian atas. Oleh karena otot lurik

esofagus dan sfingter esofagus bagian atas juga mendapat persarafan dari

inti motor n.vagus, aktivitas peristaltik esofagus masih tampak pada

kelainan otak. Relaksasi sfingter esofagus bagian bawah terjadi akibat

peregangan langsung dinding esophagus (Andriyani, 2001).

Penyakit-penyakit yang memiliki gejala disfagia adalah antara lain

keganasan kepala-leher, penyakit neurologik progresif seperti penyakit

Parkinson, multiple sclerosis, atau amyotrophic lateral sclerosis,

scleroderma, achalasia, spasme esofagus difus, lower esophageal

(Schatzki) ring, striktur esofagus, dan keganasan esophagus (Andriyani,

2001).

2. Tersedak (chocking)

Tersedak adalah tersumbatnya trakea seseorang oleh benda asing,

muntah, darah atau cairan lain. Tersedak bisa terjadi jika sumber udara

14

Page 18: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

tersumbat. Tersedak juga bisa terjadi jika adaya benda asing disaluran

nafas yang menghalangi udara masuk keparu-paru. Tersedak mungkin

disebabkan oleh kelainan otot-otot volunter dalam proses menelan

khususnya pada klien dengan penyakit-penyakit (otot rangka) atau

persarafan yaitu penderita adermatomiiositis, miastenia grafis, distrofi

otot, polio, kelumpuhan pseudobular dan kelainan otak dan sum-sum

tulang belakang seperti penyakit Parkinson dan sklerosis lateral

amiotropik. Tersedak merupakan salah satu gejala klini dari dispagia dan

terjadi bila ada problem dari bagian proses menelan, misalnya kelemahan

otot pipi atau lidah yang menyebabkan kesukaran untuk memindahkan

makanan ke sekeliling mulut untuk dikunyah. Makan yang ukurannya

sangat besar utuk ditelan akan masuk ke tenggorokkan dan menutup jalan

nafas. Kedua, karena ketidak mampuan untuk memulai reflek menelan

yang merupakan suatu rangsangan sehingga menyebabkan makanan dan

cairan dapat melewati faring dengan aman, seperti adanya gangguan

stroke, atau gangguan syaraf lain sehingga terjadi ketidakmampuan utnuk

memulai gerakan otot yang dapat memindahkan makanan-makan dari

mulut ke lambung. Ketiga, kelemahan otot-otot faring sehingga terjadi

ketidak mampuan memindahkan keseluruhan makan ke lambung

akibatnya sebagian makanan akan jatuh atau tertarik kedalam saluran nafas

(trakea) yang menyebabkan infeksi pada paru-paru (Arsyad, 2008).

Tersedak biasanya terjadi karena makanan yang kurang dikunyah

dengan baik “memasuki saluran yang salah”. Bila keadaan ini tidak segera

diatasi, bisa berakibat fatal(Arsyad, 2008).

Tersedak menyebabkan tersumbatnya saluran pernapasan di sekitar

tenggorokan (laring) atau saluran pernapasan (trakea). Aliran udara

menuju paru-paru pun terhambat sehingga aliran darah yang menuju otak

dan organ tubuh lain terputus. Karena itu perlu dilakukan tindakan

pertama yang efektif untuk menyelamatkan nyawa dengan tindakan

Heimlich (Arsyad, 2008).

3. Akalasia

15

Page 19: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

Dahulu disebut sebagai kardiopasme adalah gangguan

hipomotilitas yang jarang terjadi. Ganggunan ini ditandai oleh peristaltic

korpus esophagus yang lemah dan tidak teratur atau aperistaltik,

meningkatnya tekanan esophagus bagian bawah dan kegagalan sfingter

esophagus bagian bawah untuk berelaksasi secara sempurna sewaktu

menelan. Akibatnya, makanan dan cairan tertimbun di dalan esophagus

bagian bawah dan kemudian dikosongkan secara perlahan seiring dengan

meningkatnya tekanan hidrostatik. Korpus esophagus kehilangan tonusnya

dan dapat sangat melebar.

Etiologi akalasia tidak diketahui secara pasti, tetapi bukti yang ada

menandakan adanya degenerasi pada pleksus Auerbach menyebabkan

hilangnya control neurologis. Sebagai akibatnya,gelombang peristaltic

primer tidak mencapai sfingter esophagus bagian bawah untuk

merangsang relaksasi. Akalasia primer idiopatik merupakan kasus akalasi

yang paling banyak dijumpai di Amerika Serikat. Akalisa sekunder dapat

disebabkan oleh karsinoma lambung yang menginvasi esophagus melalui

radiasi dan toksin atau obat tertentu.

Akalasia lebih sering terjadi pada orang dewasa . timbulnya secara

perlahan, dan gejala paling mencolok adalag disfagi tergadapa makanan

cair dan padat, makan dapat terhenti oleh dorongan regurgitasi.

Regusgitasi pada malam hari dapat menyebabkan terjadinya aspirasi,

infeksi paru kronik atau  kematian secara mendadak. 

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran radiogram

yang khas. Nila barium tertelan, gelombang peristaltic tampak lemah dan

penumpukan barium pada esophagus bagian distal memberikan gambaran

seperti corong. Pemberian obat kolinergik atau parasimpatomimetik dalam

dosis rendah menyebabkan terjadinya kontraksi dan pengosonngan secara

nyata pada esophagus dan memastikan diagnosis ini. Pemeriksaan

motilitas esophagus mungkin bermanfaat untuk diagnosis dini akalasia.

Pengkuran rhanometrik pada pemeriksaan ini menunjukkan bahwa sfingter

esophagus bagian bawah gagal mengadakan relaksasi pada saat menelan .

16

Page 20: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

tekanan sfingter esophagus bagian bawah pada saat istirahat biasanya

meningkat. 

4. Spasme Esofagus Difus

Spasme Esofagus Difus merupakan keadaan yang sering terjadi

dan dicirikan dengan kontraksi esophagus yang tidak terkoordinasi, non

propulsive dan timbul bila menelan. Kelainan ini mencolok terutama pada

bagian duapertiga bawah organ, tetapu dapat menyerang seluruh

esophagus. Kedua sfingter bekerja normal. Spasme esophagus difus

merupakan penyakit yang penyebabnya tidak diketahui dan tampaknya

lebih sering terjadi pada pasien berusia lanjut. Gangguan motilitas yang

sama dapat timbul akibat esofagositis refluks atau obstruksi esophagus

bagian bawah, misalnya pada karsinoma. 

Spasme difusi primer biasanya terjadi pada pasien berusia 50

tahun. Spasme difusi primer biasnya bersifat asimtomatis, tetapi pada

beberapa kasus, kontaksi dapat menimbulkan gejala. Gejala yang paling

sering timbul adalah disfagi ontermiten dan odinofagi ysng diperberat oleh

menelan makanan dingin, bolus yang besr dan ketegangan saraf. Bila

terdapat nyeri dada intermitten, spasme esophagus mungkin

disalahtafsirkan sebagai angina prektoris, khususnya bila gejala tidak

berkaitan dengan makan . Yang membuat keadaan ini membingungkan

adalah hilangnya rasa nyeri akibat spasme bila diberi nitrogliserin.

Akibatnya beberapa penderita spasme esophagus difus didiagnosa

penyakit jantung.

5. Skleroderma 

Disfungsi motorik esophagus terjadi pada lebih dari duapertiga

pendrita scleroderma sistemik progresif. Dasar kelainan pada saluran

gastrointestinal adalah antrofi otot polos bagian bawah esophagus.

Diagnosis diduga dapat melalui pemeriksaan radiografi dengan barium,

tetapi baru dipastikan setelah dilakukan gambaran manometrik. Tanda

khas penyakit ini adalah adanya aperistaltik atau peristaltic yang lemah

pada setengah sampai duapertiga distal esophagus, serta kurangnya tekana

sfingter esophagus bagian distal. 

17

Page 21: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

Inkompetensi sfingter esophagus distal sering menyebabkan

terjadinya esofagositik refluks dengan pembentukan striker pada

esophagus bagian bawah. Walaupu refluks gastroefagus dan esofagositis

sering terjadi pada sklerodema , nyeri ulu hati bukanlah gejala yang sering

ditemukan. Disfagi adalah gejala yang mencolok bila esofagositis

mengakibatkan pembentukan striker. 

6. Esofagositis 

Peradangan mukosa esophagus dapat bersifat akut atau kronik dan

dijumpai dalam berbagai keadaan termasuk dalam gangguan  motilitas

yang baru dibicarakan. Suatu jenis esofagositis yang tidak berbahaya dapat

terjadi setelah menelan cairan panas. Data mengenai kelainan ini tidak

banyak ditemukan di Indonesia. Tetapi mungkin pula deteksi

keberadaanya belum dapat dilakukan dengan baik disebabkan keterbatasan

pengetahuan dan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat luas. Endoskopi

suatu pemeriksaan yang penting untuk mendeteksi kelainan in, masih

sangat mahal untuk pelayanan kesehatan secara meluas, dan hanya

didapatkan  pada rumah sakit pemerintah tipe A atau rumah sakit swasta di

kota besar.

7. Esofagositik peptic (refluks) 

Yaitu inflamasi mukosa esophagus yang disebabkan oleh refluks

cairan lambung atau duodenum ke esophagus. Cairan ini mengandung

asam, pepsin dan cairan empedu. Terjadinya reflukske esophagus erat

kaitannya dengan adanya hernia diafragmatika. Meanisme terjadinya

refluks itu sendiri sampai saat ini masih belum jelas. Dua faktor yang

paling penting adalah lemahnya sfingter esophagus bawah dan adnya

sliding hernia diafragmatika. Beberapa faktor yang diduga melemahkan

sfingter esophagus distal adalah : 

a. Hormonal, yaitu kolesitikini, esterogen, glucagon, progesterone,

somastostatin dan sekretin. 

b. Obat-obatan, yaitu antikolinergik, barbiturate, “calcium channel

blocker”, kafein, diazepam, dopamine, meperidin, prostaglandin E1

dan E2 dan teofilin. 

18

Page 22: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

c. Diit, yaitu “carminative (papermint, “spearmint, cokla, kafein, ethanol

dan lemak). Inflamasi ini terjadi pada epitel skuamosa di esofagus

distal, disebabkan oleh kontrak berulang dan dalam waktu yang cukup

lama dengan asam yang mengandung pepsin ataupun asam empedu.

Kelainan yang terjadi sangat ringansehinggga tidak

menimbulkan cacat, dapat pula berupa mukosa yang mudah berdarah

meskipun hanya dengan sentuhan ringan. Pada kelainan yang lebih

berat terlihat adanya lesi eritrosit atau tukak dengan eksudat. Lesi

eritrosit dapat berupa linier ataupu oval dan bundar dikelilingi oleh

epitel skuamosa. Tepi lesi skuamosa berwarna merah terang. 

Diagonosis dan klasifikasi esofagositis peptic ini masih banyak

dipertentangkan. Hal ini disebabkan karena belum adanya kesesuaian

faham dalam mendeteksi adanya kelainan yang minimal. Adanya

gejala kllinik yang nyata misalnya rasa terbakar di dada, nyeri di

daerah ulu hati , rasa mual dan lain sebagainya. Pada pemeriksaan

esofagoskopitidak didapatkan kelainan yang jelas. ciri khas pada

esofagositis tipe ini adalh peradangan mulai pada daerah perbatasan

esophagus gaster ke proksimal daerah esophagus. Savary 1985 (dikutip

dari Draper) mengajukan klasifikasi sebagai berikut : 

a.  Tingkat 1 : Adanya lesi eritrosit satu atau lebih berupa bercak

merah dengan atau tanpa adanya selaput putih di bagian proksimal dari

garis “z”. Bercak tersebut sangat sulit dibedakan dengan warna

mukosa yang dilapisi epitel silindris. 

b. Tingkat 2  :Adanya lesi eritrosit dengan selaput putih nyata. Lesi

melebar tetapi tidak mengelilingi lumen.

c.  Tingkat 3  : Lesi eritrosit yang mengelilingi lumen dengan tukak

dan jaringan nekrotik di telinga. 

d.  Tingkat 4 : Satu atau lebih tukak yang dalam. Lesi ini sukar

dibedakan dengan lesi ganas. Terdapat fibrosis yang menimbulkan

deformitas dan terdapat gambaran adanya esophagus Barret. 

19

Page 23: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

E. Penatalaksanaan Kelainan Proses Menelan

A. Akalasia 

Pengobatan akalasia bersifat paliatif yaitu perbaikan obstruksi

esophagus bagian bawah. Tidak terdapat cara untuk memperbaiki

obstruksi esophagus bagian bawah. Tidak ada cara untuk memperbaiki

peristaltic normal korpus esophagus. Dua bentuk terapi yang  efektif

menghilangkan gejala adalah dilatasi sfingter esophagus bagian bawah dan

esofagomiotomi. Dilatasi dapat dilakukan dengan memasukkan tabung

berisi air raksa yang disebut dengan bougie atau yang lebih lazim dilatasi

kantung pneumatic yang diletakkan pada daearh sfingter esophagus bagian

bawah dan ditiup dengan kuat. Bila dilatasi gagal menghilangkan gejala

ini, dapat dilakukan pembedahan. 

B. Esofagositik peptic (refluks)

Pengobatan untuk esofagositis refluks adalah antisida atai tanpa

antagonis H2-receptor. Tindakan pembedahan untuk menghilangkan

refluks hannya dilakuakan pada mereka degan gejala refluks yang menetap

walaupun telah diberikan pengobatan yang optimal. 

20

Page 24: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Sistem stomatognasi dibentuk oleh komponen gigi-geligi beserta jaringan

pendukungnya, otot, persyarafan maupun persendian antara maksila dan

mandibula.

2. Fungsi stomatognasi adalah pengunyahan makanan, penelanan,

pernafasan, dan berbicara.

3. Pengunyahan adalah proses menghancurkan partikel makanan di dalam

mulut dibantu dengan saliva yang dihasilkan oleh kelenjar ludah sehingga

merubah ukuran dan konsistensi makanan yang akhirnya membentuk

bolus yang mudah untuk ditelan.

4. Menelan adalah peristiwa yang terjadi setelah proses pengunyahan selesai

didalam mulut, kemudian mulut tertutup, lidah bagian ventral bergerak ke

palatum sehingga mendorong bolus kea rah isthmus faucium menuju

faring untuk selanjutnya di teruskan ke esophagus, melibatkan beberapa

macam otot-otot dalam mulut, otot palatum lunak, otot faring dan otot

laring.

5. Penelanan abnormal atau yang sering disebut disfagia yaitu keadaan

dimana pasien mengalami kesulitan dalam menelan makanan. yaitu saat

melewatkan bolus ke bagian belakang tenggorokan ataupun saat

mengawali refleks menelan makanan.

21

Page 25: Cover-dapus (Kurang Daftar Isi)

DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, Anita. 2001. Aspek fisiologis pengunyahan dan penelanan pada sistem

stomatognasi. Medan: USU.

Liebgott, Bernard, D.D.S,M.Sc. D, Ph. D. 1994. Dasar-Dasar Anatomi Kedokteran

Gigi. Jakarta: EGC

McDevitt, W. E. 2001. Anatomi Fungsional Dari Sistem Pengunyahan. Jakarta: EGC

Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho ,Buku ajar Ilmu Kesehatan

Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi V.Penerbit FK-UI,jakarta

2007.

22