pendidikan karakter dalam tafsir al …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1626/1/bakar cd...
TRANSCRIPT
i
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR
AL-QUR’AN SURAT ALI IMRAN AYAT 133 -136
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Ahmad Mudasir
NIM: 11112162
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
ii
i
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR
AL-QUR’AN SURAT ALI IMRAN AYAT 133 -136
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Ahmad Mudasir
NIM: 11112162
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
سضب هللا ف سضب ااذه عخظ هللا ف عخظ ااذه
“Keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orangtua dan kemurkaan Allah
tergantung kepada kemurkaan keduanya.”
Persembahan
Untuk Bapak dan Ibuku (Bapak Nurfauzi dan Ibu Asrifah)
Mas, mbak, adik dan keponakan (Mas Muharrom, Mas Khamim, adek mudhofir,
Anindita, Feri Kurniawan, Khakim Lutfil)
Untuk sahabat-sahabatku dan teman spesialku (Muhammad Kholik, Khamidun,
Ali, Kang tarmo, Adhikara, Intan, Hasan cilikan, Camplung, Kasibok)
Untuk teman-teman seperjuangan PAI E dan teman-teman angkatan 2012
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
yang Maha Rahman dan Rahim yang dengan rahmat, taufik, dan hifdayah-Nya
skripsi dengan judul Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat Ali
Imran Ayat 133-136 bisa diselesaikan.
Skripsi ini tidak akan selesai tanpa motivasi, dukungan dan bantuan dari
berbagai piak terkait sehingga kebahagiaan yang tiada tara penulis rasakan setelah
skripsi ini selesai. Oleh karena itu penulis ucapkan banyak terima kasih setulusnya
kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
3. Bapak H. Ahmad Agus Suaidi, MA. selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dan membantu dalam penyelesaian skripsi.
4. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
IAIN Salatiga.
5. Bapak Winarno, M, Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna.Oleh
karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan tugas-tugas penulis selanjutnya.
Amin Ya Robbal ’Alamin
Salatiga, 5 Maret 2017
Penulis
vii
ABSTRAK
Mudasir, Ahmad. 2017. Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat
Ali Imran Ayat 133 sampai 136 . Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam
Negeri Salatiga. Pembimbing H. Agus Ahmad Suaidi, MA.
Kata kunci: Pendidikan, Karakter
Penelitian ini membahas tentang pendidikan karakter yang terkandung
dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136. Fokus penelitian
ini meliputi: 1) Bagaimanakah konsep pendidikan karakter menurut al-Qur‟an
surat Ali Imran ayat 133-136? 2) Bagaimanakah aktualisasi pendidikan
karakter dalam kehidupan sehari-hari menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat
133-136?
Penelitian yang digunakan oleh peneliti ini termasuk dalam jenis
penelitian literatur, atau penelitian kepustakaan/library research, baik berupa
buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu. Dalam
hal ini penulis mengumpulkan data skripsi ini dengan mengacu pada sumber-
sumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel dan jurnal. Dalam penelitian
literatur ini, penulis mengacu beberapa sumber yang sesuai dengan topik yang
bersangkutan, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primernya
yaitu Al-Qur‟an dan Hadist Nabi yang berkaitan dengan pendidikan karakter.
Sedangkan sumber sekundernya yaitu tafsir Al-Qur‟an yang berkaitan dengan
pendidikan karakter dan buku para ahli yang berkaitan dengannya. Teknik
pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi, sedangkan analisis
datanya menggunakan metode diskriptif analisis dan metode induktif.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa konsep pendidikan
karakter dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 adalah
pendidikan karakter yang ditanamkan kepada peserta didik dalam membentuk
kepribadian yang baik bagi mereka dan menyempurnakan diri peserta didik
secara terus-menerus dengan selalu bergegas dalam kebaikan. Dan aktualisasi
pendidikan karakter mengenai tafsir surat Ali Imran ayat 133-136 dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik antara lain: 1) Pendidik menanamkan
kepada peserta didik agar membiasakan menginfakkan hartanya dan harus
didasari lillahi ta‟ala. 2) Peserta didik dapat memanage emosi, dan pendidik
senantiasa menumbuhkan rasionalitas kepada peserta didik untuk mengalahkan
emosi. 3) Pendidik menanamkan toleransi kepada peserta didik agar
memaafkan kesalahan orang lain dan memiliki kemuliaan jiwa. 4) Peserta
didik memiliki kesadaran untuk cepat mengkoreksi diri dan cepat memperbaiki
diri 5) Peserta didik dapat membiasakan diri berbuat kebaikan yang berlebih
seperti yang disebutkan di atas.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ..................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 4
C. Tujuan Pembahasan .................................................................. 4
D. Manfaat Hasil Penelitian .......................................................... 5
E. Definisi Operasional ................................................................. 6
F. Metode Penelitian .................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................. 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Karakter ................................................................. 11
1. Pengertian Pendidikan Karakter ......................................... 11
2. Aliran-Aliran Pendidikan ................................................... 16
3. Tujuan Pendidikan .............................................................. 19
4. Tujuan Pendidikan Karakter ............................................... 21
5. Urgensi Pendidikan Karakter ............................................. 23
B. Karakter atau Akhlak dalam Al-Qur‟an ................................... 25
1. Karakter dan Akhlak .......................................................... 25
2. Al-Qur‟an Sebagai Rujukan Karakter ................................ 27
ix
BAB III TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136
A. Surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 ....................................... 31
B. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 133-136 menurut Tafsir Ibnu
Katsir dan Tafsir Quraisy Shihab ............................................. 33
C. Tafsir Surat Ali Imran ayat 133-136 menurut Tafsir Al-
Maraghi dan Tafsir An-Nur ...................................................... 43
BAB IV PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR SURAT ALI IMRAN
AYAT 133 SAMPAI 136
A. Konsep Pendidikan Karakter Menurut Al-Qur‟an Surat Ali
Imran Ayat 133-136 ................................................................. 52
B. Aktualisasi Pendidikan Karakter Dalam Kehidupan Sehari-
Hari Menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-136 ......... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 62
B. Saran ........................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran 2 SKK
Lampiran 3 Lembar Konsultasi
Lampiran 4 Riwayat Hidup Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah salah satu cara untuk menciptakan generasi
penerus bangsa yang bermartabat. Dengan pendidikan yang benar dan
berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang
selanjutnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral (Muhammad,
2003: 5). Tetapi walaupun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki
kualitas dan fasilitas yang memadai, namun institusi-institusi tersebut
masih belum mencetak individu-individu yang beradab. Sehingga, tujuan
pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab
terabaikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan
nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Justru yang
terjadi adalah kondisi yang sebaliknya.
Pendidikan di dunia Islam saat ini mengalami krisis yang
menyebabkan kemunduran. Para pemerhati pendidikan telah menganalisis
beberapa sebab terjadinya kemunduran itu, di antaranya karena
ketidaklengkapan aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan
krisis budaya, serta hilangnya qudwah hasanah (teladan yang baik),
akidah shahihah, dan nilai-nilai islami. (Syafri, 2012: 1). Budaya barat
juga sangat berpengaruh pada kehidupan manusia yang menjadikan
mereka seperti tidak membutuhkan pendidikan agama, sehingga bisa
merusak moral dan perilaku seseorang.
2
Melihat beberapa kasus pelanggaran moral dan akhlak yang terjadi
pada peserta didik, tampak jelas tidak tertanamnya dengan baik mana
akhlak yang mesti dijadikan karakter dan mana akhlak yang terlarang. Jika
pendidikan akhlak dibangun berdasarkan worldview yang benar, metode
yang tepat, dan praktik yang integral pada setiap proses pendidikannya,
maka bangunan karakter anak didik akan mudah terbentuk (Syafri, 2012:
7). Jadi, dapat dikatakan bahwa untuk memperbaiki nilai-nilai moral dan
akhlak seseorang, perlu adanya pendidikan karakter yang ditanamkan
kepada para peserta didik.
Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal
positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter
siswa yang diajarnya. Menurut Winton, pendidikan karakter adalah upaya
sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-
nilai kepada para siswanya (dalam Samani dan Hariyanto, 2011: 43).
Dalam makna yang sempit, pendidikan karakter dimaknai sebagai sejenis
pelatihan moral yang merefleksikan nilai tertentu, misalnya
diaktualisasikan dalam bentuk sedekah, memaafkan kesalahan orang lain,
menahan amarah, bertaubat dan sebagainya.
Salah satu pemikir pendidikan karakter kontemporer, Thomas
Lickona misalnya, memiliki pandangan bahwa pendidikan karakter dan
pendidikan agama semestinya dipisahkan dan tidak dicampuradukkan.
Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain,
tanggung jawab pribadi, perasaan senasib sependeritaan (public
3
copassion), pemecah konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang
semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter. (Majid dan Andayani,
2011: 61).
Persoalan kehancuran moral bangsa tidak dapat diatasi dengan
berdoa atau hanya dengan membaca kitab suci. Oleh karena itu, gagasan
Lincona yang masih relevan bagi kita adalah bahwa dalam melaksanakan
pendidikan karakter, terlebih berkaitan dengan pendidikan agama, kita
tidak boleh berhenti pada pengembangan nilai keagamaan yang sifatnya
ritual (Majid dan Andayani, 2011: 64).
Manusia dengan potensinya juga diberi kesempatan memilih.
Manusia bukan robot yang bisa dibentuk, tetapi makhluk yang bisa
dipengaruhi, diarahkan, dan dididik. Namun, manusia sering salah
memilih karena kesalahan pembinaan manusia itu sendiri (Syafri, 2012:
33). Apabila sejak dini peserta didik mulai diberikan arahan-arahan yang
baik, dididik agar memiliki karakter yang baik, pasti mereka akan terbiasa
dengan perilaku yang baik. Untuk itu, proses pendidikan ditempatkan
sebagai misi utama dalam Al-Qur‟an untuk mengenalkan tugas dan fungsi
manusia itu sendiri. Al-Qur‟an meskipun bukan tergolong ilmu
pengetahuan, namun seluruh ayatnya memuat prinsip-prinsip pendidikan
sebagai pegangan manusia untuk dipelajari.
مخمه ( 1ام) ذ ب ف ىخب ال س (2) ره ا
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2)
4
Menurut Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa‟adi, Al-Qur‟an
memiliki dua macam petunjuk; Pertama, berupa perintah, larangan, dan
informasi tentang perbuatan yang baik menurut syari‟at atau ‘urf
(kebiasaan) yang berdasarkan akal, syari‟at dan tradisi. Kedua,
menganjurkan manusia memanfaatkan daya nalarnya untuk melakukan
sesuatu yang bermanfaat. Ayat-ayat Al-Qur‟an sangat membangun
karakter atau akhlak. Beberapa di antaranya adalah pengarahan agar umat
manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surah dan ayat
berikut; QS An-Nur: 30-32, QS Al-Ahzab:33, QS Al-Isra‟: 23, QS At-
Taubah: 119, QS Ali Imran: 133-134 yang mengungkapkan hal-hal yang
berkenaan dengan perilaku, penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran.
(Syafri , 2012: 64).
Oleh karena itu, kedudukan akhlak al-Qur‟an sangat penting, sebab
melalui ayat-ayat-Nya al-Qur‟an berupaya membimbing dan mengajak
umat manusia untuk berakhlakul karimah. Melalui pendidikan karakter ini
manusia dimuliakan Allah dengan akal, sehingga manusia dapat
mengemban tugas kekhalifahan dengan akhlak yang benar. Berdasarkan
hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
pendidikan karakter dan semua yang berkaitan dengan hal tersebut, maka
penulis memutuskan untuk mengambil judul : “Pendidikan Karakter
Dalam Tafsir Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-136”
5
B. Rumusan Masalah
Untuk menyusun skripsi ini, penulis terlebih dahulu merumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep pendidikan karakter dalam tafsir Al-Qur‟an Surat
Ali Imran ayat 133-136?
2. Bagaimana aktualisasi pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-
hari menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-136?
C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami dan menganalisis konsep pendidikan karakter dalam tafsir
Al-Qur‟an QS Ali Imran ayat 133-136.
2. Memahami dan menganalisis aktualisasi pendidikan karakter dalam
kehidupan sehari-hari menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-
136.
D. Manfaat Hasil Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan tentang pendidikan karakter baik menurut Al Qur‟an
ataupun menurut ilmu pendidikan Islam lainnya. Hasil penelitian ini
diharapkan memberi sumbangan ilmu sebagai sarana memperluas
khazanah pengetahuan peneliti khususnya dan orang yang berinteraksi
langsung dengan pendidikan pada umumnya tentang pendidikan
karakter dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136.
6
2. Manfaat praktis
Mengetahui tentang konsep pendidikan karakter dan
aktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari serta sebagai bahan
referensi bagi pihak atau instansi yang membutuhkan penelitian ini,
serta dapat menumbuhkan semangat untuk mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahfahaman dalam mengartikan pembahasan
dalam skripsi ini, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah dalam
skripsi ini sebagai berikut:
1. Pendidikan Karakter
Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip oleh Suwarno
(2006: 19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani,
Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak pergi dan pulang
sekolah diantar seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan
diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang
berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to
educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.
Sedangkan karakter berasal dari bahasa Latin “kharakter”,
“kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris: character dan Indonesia
“karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti membuat
tajam, membuat dalam (Majid dan Andayani, 2011: 11).
7
Jadi, pendidikan karakter atau oleh para pendidik sering disebutnya
sebagai pendidikan watak, adalah sebuah proses pembelajaran untuk
menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang
berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-Indonesiaan,
dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi
manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76).
2. Tafsir
Tafsir berasal dari kata “fassara” yang bermana menjelaskan,
menerangkan. Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang
mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi.
Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang
membahas tentang al-Qur‟an al-Karim dari segi pengertiannya
terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia
(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tafsir).
3. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dengan perantara malaikat Jibril, untuk dibaca, dipahami,
dan diamalkan, sebagai petunjuk atau pedoman hidup umat manusia,
kitab suci umat islam (Rajak, 1993: 24).
8
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian yang digunakan oleh peneliti ini termasuk dalam
penelitian literatur, atau penelitian kepustakaan/library research, yaitu
penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur
(kepustakaan) baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil
penelitian dan peneliti terdahulu (Hasan, 2006: 5). Dalam hal ini
penulis mengumpulkan data skripsi ini dengan mengacu pada sumber-
sumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel dan jurnal.
2. Sumber Data
Dalam penelitian literatur ini, penulis mengacu beberapa sumber
yang sesuai dengan topik yang bersangkutan, yakni dibagi dalam dua
bentuk sumber yaitu:
a. Sumber Primer
Sumber primer yaitu data yang diperoleh secara langsung
dari objek penelitian perorangan, kelompok, dan organisasi
(Ruslan, 2010: 29). Dalam hal ini peneliti mengacu sumber
primernya diantaranya adalah Al-Qur‟an dan Hadist Nabi yang
berkaitan tentang pendidikan karakter.
b. Sumber Sekunder
Yaitu sumber yang mendukung dan melengkapi sumber
data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penulisan
9
skripsi ini adalah tafsir Al-Qur‟an yang berkaitan dengan
pendidikan karakter dan buku para ahli yang berkaitan dengannya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini, digunakan
metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, leger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274).
Metode dokumentasi adalah cara untuk mendapatkan data mengenai
hal-hal atau variabel dengan membuka kembali catatan, daftar riwayat
hidup, transkrip dan lain-lainnya disebut dokumen. Pada penelitian ini
penulis menggunakan buku dalam menemukan data.
Objek penelitian ini adalah pendidikan karakter. Penulis
memfokuskan kajian ini pada pendidikan karakter yang termaktub
dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136.
4. Analisis Data
Dijelaskan oleh Lexy J. Moleong analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori,
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja. Di dalam analisis, data yang muncul
berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka (Miles dan Huberman,
1992:15).
10
Dalam menganalisis penelitian tentang pendidikan karakter
penulis menggunakan beberapa metode, diantaranya metode diskriptif
analisis dan metode induktif. Sedangkan pendekatan yang dipakai
dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analisis, yaitu
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai dari suatu variabel,
dalam hal ini variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa
membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain.
(Hasan, 2006:7)
Metode Induktif adalah metode yang berangkat dari fakta-fakta
yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian dari fakta-
fakta atau peristiwa-peristiwa yang kongkret itu ditarik generalisasi-
generalisasi yang mempunyai sifat umum (Hadi, 1993:42).
Berdasarkan pengertian tersebut penulis akan menguraikan
makna yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-
136, kemudian penulis menarik kesimpulan tentang permasalahan
tersebut.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman isi skripsi ini,
penulis akan menyusun skripsi ini dalam lima bab dengan sistematika
sebagai berikut:
BAB I, bab ini berisi tentang pendahuluan yang mencakup tentang latar
belakang penelitian, rumusan dan tujuan penelitian. Selain itu di dalamnya
juga dibahas tentang manfaat penelitian, definisi operasional, metode
11
penelitian diteruskan dengan sistematika penulisan skripsi agar lebih
terstruktur dalam memahami.
BAB II, sebagai kelanjutan dari bab sebelumnya, maka pada bab ini
penulis memaparkan landasan teori yang di dalamnya terdapat teori-teori
tentang pendidikan, teori-teori tentang pendidikan karakter, dan teori-teori
tentang kandungan surat Ali Imran ayat 133-136.
BAB III, pada bab ini penulis akan membahas tentang ayat-ayat alqur‟an
dan hadis pendukung, serta tafsir surat Ali Imran ayat 133-136.
BAB IV, pada bab ini, penulis memfokuskan pembahasan mengenai surat
Ali Imran ayat 133-136 tentang pendidikan karakter dan aktualisasinya
dalam kehidupan sehari-hari.
BAB V, memaparkan tentang kesimpulan yang telah dibahas dan
diuraikan dalam penelitian ini serta dilanjutkan dengan penutup.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu hal yang dibutuhkan oleh manusia
oleh karena itu tidak heran jika banyak orang yang berbondong-bondong
mengenyam pendidikan dari yang formal sampai yang informal. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 232), Pendidikan berasal dari kata
“didik”, lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”,
yang memiliki arti memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara
dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip oleh Suwarno (2006:
19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang
mengandung makna seorang anak pergi dan pulang sekolah diantar
seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan
educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam
bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti
memperbaiki moral dan melatih intelektual.
Secara terminologi pedidikan telah diumuskan oleh para pakar
pendidikan maupun ulama. Di antaranya yang dikemukakan oleh al-Qodli
Baidlowi yang dinukil oleh Miqdad Yaljan sebagai berikut:
ئب شئب فش ء ا وم غ اش حب اخشبت
13
“Pendidikan adalah usaha perlahan-lahan untuk mengembangkan
sesuatu menuju kesempurnaannya”. Jadi kalau kita perhatikan ta‟rif
tersebut, maka pengertian pendidikan berlaku sangat umum (Huda, 2009:
19).
Dalam pengertian yang sederhana dan umum, pendidikan
merupakan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuai dengan nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Atau
dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil
peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa
itu sendiri (Indar, 1994: 16). Sementara pendidikan dalam arti luas
merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya,
yang berlangsung sepanjang hayat (Sadulloh, 2009: 54).
Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, tercantum pengertian pendidikan yaitu usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Suwarno, 2006: 21).
Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan
14
(Ikhsan, 2003: 2). Selain itu, pendidikan juga merupakan salah satu sarana
terpenting dalam usaha pembangunan sumber daya manusia dan
penanaman nilai-nilai kemanusiaan, yang pada gilirannya akan
menciptakan suasana dan tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan
berperadaban (Naquib Al-Attas, 2003: 23).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar siswa secara aktif mengembangkan potensi diinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
2. Aliran-aliran pendidikan
Terdapat empat aliran pendidikan yang mana keempat aliran tersebut
mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang pendidikan:
a. Aliran empirisme
Aliran empirisme dikemukakan oleh John Locke (1704-1932)
seorang filsuf Inggris. Empirisme juga berasal dari bahasa latin,
dengan kata asal emiricus yang berarti pengalaman. Aliran ini juga
dinamakan aliran “Tabularasa” yang berarti seseorang dilahirkan
seperti kertas kosong yang belum ditulisi apapun, maka pendidikanlah
yang akan menulisnya (Idris, 1992: 5). Jadi John Locke berpendapat
bahwa anak dilahirkan ke dunia ini tanpa pembawaan. Menurut teori
15
empirisme, pendidikan adalah maha kuasa dalam membentuk anak
didik menjadi apa yang diinginkannya (Jumali dkk, 2008: 126).
Teori empirisme ini menganggap bahwa pendidikan hanya
dapat diperolah dari lingkungan yang ada disekitar. Yang dimaksud
dengan lingkungan yaitu lingkungan hidup maupun lingkungan tak
hidup yang berpengaruh besar terhadap pendidikan dan perkembangan
anak.
b. Aliran nativisme
Nativisme berasal dari bahasa latin yaitu natives yang berarti
terlahir. Seseorang berkembang berdasarkan apa yang dibawanya dari
lahir. Pendidikan tidak berpengaruh sama sekali terhadap
perkembangan seseorang. Pelopor dari aliran Nativisme ini adalah
Schopenhauwer (1788-1880) yang berkebangsaan Jerman.
Menurutnya mendidik ialah membiarkan seseorang tumbuh
berdasarkan pembawaannya (Idris, 1992: 6). Aliran ini berpendapat
bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor
yang dibawa manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada
waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya
(Purwanto, 2006: 59).
Dalam hubungannya dengan pendidikan, aliran ini berpendapat
bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan ditentukan oleh
pembawaan yang diperolehnya sejak kelahirannya. Lingkungan tidak
berpengaruh sama sekali terhadap pendidikan dan perkembangan anak
16
itu. Aliran ini juga berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat
menghasilkan tujuan yang diharapkan dengan perkembangan anak
didik. Dengan kata lain aliran nativisme merupakan aliran pesimisme
dalam pendidikan. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung
pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki oleh anak
didik (Jumali dkk, 2008: 126).
c. Aliran naturalisme
Naturalisme berasal dari bahasa latin yaitu nature yang berarti
alami, tabiat, dan pembawaan. Aliran ini hampir sama dengan
nativisme yang berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak sejak
dilahirkan adalah baik. Teori yang dikemukakan oleh J. J Rousseau
(1712-1778) berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir
mempunyai pembawaan yang baik, tidak ada seorangpun anak yang
lahir dengan pembawaan buruk(Jumali dkk, 2008: 127).
d. Aliran konvergensi
Konvergensi berasal dari kata Convergative yang berarti
penyatuan hasil atau kerjasama untuk mencapai suatu hasil. Hukum
ini berasal dari ahli ilmu jiwa Jerman, bernama William Stern (1871-
1939). Ia berpendapat bahwa faktor pembawaan dan lingkungan
kedua-duanya menentukan perkembangan manusia, sehingga aliran
ini merupakan kombinasi dari nativisme dengan empirisme
(Purwanto, 2006: 60).
17
Menurutnya, teori empirisme dan nativisme masing-masing
terlalu berat sebelah. Kedua-duanya mendukung kebenaran dan juga
ketidak benaran. Menurut teori konvergensi baik pembawaan maupun
lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil
perkembangan anak didik. Hasil perkembangan dan pendidikan
bergabung pada kecilnya pembawaan serta situasi lingkungan (Jumali
dkk, 2008: 128).
Jadi, menurut teori konvergensi perkembangan manusia bukan
karena hasil dari pembawaan saja melainkan juga lingkungan yang
menentukan hasil pendidikan tersebut. Selain itu kemampuan atau
aktivitas seseorang itu sendiri juga menentukan hasil dari pendidikan
dan perkembangan manusia. Dengan begitu teori konvergensi
menggabungkan antara pembawaan dan lingkungan serta aktivitas
manusia itu sendiri.
3. Tujuan Pendidikan
Menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 bab 2 pasal 3 mengenai
fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
18
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(Kesuma, 2011: 6)
M Athiyah al-Abrasy (2003: 35), mengemukakan bahwa tujuan
Pendidikan dan pengajaran adalah sebagai berikut :
a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia.
b. Pendidikan dan pengajaran bukanlah sekedar memenuhi otak anak
didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi
mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah
(keutamaan),
c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan
mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, dan jujur.
d. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Jaminan UUD 1945 pasal 29, UU SISDIKNAS RI bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah mencita-citakan lahirnya anak Indonesia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mayoritas jumlah
penduduk Indonesia beragama Islam, tumbuhnya kegairahan para
pemikir dan pengelola lembaga pendidikan Islam untuk memperbaiki,
meningkatkan dan memperbaharui mutu pendidikan, munculnya metode
belajar membaca al-Qur‟an (Mansur, 2005, 145).
Pembentukan karater merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah yang
19
terkandung dalam UU di atas bermaksud agar pendidikan tidak hanya
membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian
atau berkarakter. Sehingga akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa
serta agama (Asmani, 2012: 29).
B. Karakter
1. Pengertian Karakter
Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein,
yang artinya „mengukir‟. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas
benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan waktu atau aus terkena
gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda
yang diukir itu. sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya
(Munir, 2010:2). Kata karakter menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008)
berarti; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain. Sedangkan karakter menurut Pusat Bahasa
Depdiknas memiliki makna; bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak (Syafri, 2012: 7).
Sementara dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah
kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran
seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sfat-sifat yang relatif
tetap (Dali Gulo dalam Furqon Hidayatullah, 2010: 12).
Karakter berasal dari kata character yang berarti watak, karakter
atau sifat (Echols, 1996: 107). Suyanto mendefinisikan karakter sebagai
20
cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu
untuk hidup dan beerja sama, baik dalam lingkup keluarga, sekolah,
masyarakat, bangsa, dan negara (Zuchdi, 2011: 27).
Secara koheren karakter memancar dari hasil olah pikir, olah rasa
dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas
moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan
(Budimansyah, 2010: 23). Dan secara psikologis karakter individu
dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah
pikir, olah rasa, dan olah raga sehingga menghasilkan enam karater
utama dalam seorang individu, yaitu jujur, tanggung jawab, cerdas,
bersih, sehat, peduli, dan kreatif (Majiid dan Andayani, 2011: 164).
Karakter memiliki batasan yang berada di dalam dua wilayah. Ia
diyakini ada sebagai sifat fitri manusia, sementara pada sisi lain ia
diyakini harus dibentuk melalui model pendidikan tertentu. Aristoteles
meyakini bahwa individu tidak lahir dengan kemampuan untuk mengerti
dan menerapkan standar-standar moral, dibutuhkan pelatihan yang
berkesinambungan agar individu menampakkan kebaikan moral.
Sementara Socrates meyakini bahwa ada bayi moral dalam diri manusia
yang meminta untuk dilahikan , tugas pendidikan adalah untuk
membantu melahirkannya (Anees, 2009: 120).
2. Karakter atau Akhlak dalam Al-Qur‟an
Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai
21
suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah
tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut
kebiasaan (Majiid dan Andayani, 2011: 12).
Al-Qur‟an adalah sebagai rujukan akhlak yang berfungsi
menyampaikan risalah hidayah untuk menata sikap dan perilaku yang
harus dilakukan manusia. Ayat-ayat al-Qur‟an sangat membangun
karakter akhlak. Beberapa diantaranya adalah pengarahan agar umat
manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surat dan ayat
berikut yang mengungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan perilaku,
penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran (Syafri, 2012: 63):
a. QS. An-Nur ayat 30-31
حفظا فشجم ره أصو م ان م ا مه أبصبس مئمىه غض ل
خبش بمب صىعن (30) هللا
ال بذه حفظه فشجه ه مئمىبث غضضه مه أبصبس ل
ال بذه صىخه ا ه ه ع جب ضشبه بخمش ال مب ظش مىب
أبىبء ه أ أبىبئ ه أ آببء بعخ ه أ آببئ ه أ صىخه اال بعخ
بى اخ ه أ او اخ ه أ مب بعخ ه أ وغبئ ه أ اح بى أخ ه أ او
ازه م اطف جبي أ سبت مه اش ش أ ال اخببعه غ مىج أمبوه أ
ه ع ال ضشبه بؤسج ساث اىغبء م مب خفه مه ظشا ع ع
ب امئمىن عىم حفحن ) جمعب أ حبا ا هللا ه 31صىخ
22
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (30)."Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-
wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-
pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(31)
b. QS. Al-Ahzab ayat 33
23
الة ألمه اص ت األ جب ج ا جه حبش ال حبش لشن ف بحىه
جظ ب عىىم اش ز سع اومب شذ هللا أطعه هللا وبة آحه اض
ج ب ا شاأ طشوم حط
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu
berhias, dan bertingkah-laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait, dan membersihkan
(dosa) kamu sebersih-bersihnya." – (QS.33:33)
c. QS. Al-Isra‟ ayat 23
ب بغه عىذن ه احغبوب ام اذ بب سبه أال حعبذا اال ابي لض
ى ال ا مب ل ل ال حىشمب مب أف والمب فال حم بش أحذمب أ
وشمب
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
24
d. QS. At-Taubah ayat 119
بدله ووا مع اص ﴾11١﴿ب أب ازه آمىا احما هللا
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (199).
e. QS. Ali Imran ayat 133-134
ماوات واألرض ة عرضها الس كم وجن وسارعوا إلى مغفرة من رب
قين ) ت للمت اء ٣١١أعد ر اء والض ر ( الذين ينفقون في الس
يحب المحسني اس وللا ٣١١ن )والكاظمين الغيظ والعافين عن الن )
“Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan
mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (133). (yaitu) orang-
orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan)
orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(134)
Al-Qur‟an sendiri melakukan proses pendidikan melalui latihan-
latihan, baik formal ataupun nonformal. Pendidikan akhlak ini merupakan
sebuah proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan
latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir yang baik. Selain Al-
Qur‟an, sumber akhlak lainnya adalah sunnah Nabi Muhammad Saw.
pandangan ini berdalil pada pendapat Aisyah ra. Ketika menafsirkan
akhlak Rasul yang tergambar dalam “al-khuluq al-azhim”, yaitu Al-
25
Qur‟an. Seperti dalam firman Allah, اوه ع خك عظم “Dan
sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-
Qalam: 4). (Syafri , 2014: 65)
Akhlak merupakan fondasi dasar sebuah karakter diri. Sehingga
pribadi yang berakhlak baik nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat
yang baik pula dan sebaliknya. Akhlaklah yang membedakan karakter
manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan
derajat sebagai hamba Allah paling terhormat. Sebagaimana firman –Nya,
م ) وغبن ف أحغه حم عبفه )4مذ خمىب ال ( اال 5( ثم سددوبي أعف
بحبث فم أجش غ عما اص 6ش ممىن )ازه آمىا )
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya(Neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-
putusnya” (QS At-Tin: 4-6)
C. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan menurut Ratna Megawangi (2004: 95),
“Sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang
positif kepada lingkungannya.”
Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010: 1), “sebuah
proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan
26
dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku
kehidupan orang itu”. (Kesuma, 2011: 5)
Pendidikan karakter atau oleh para pendidik sering disebutnya
sebagai pendidikan watak, adalah sebuah proses pembelajaran untuk
menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang
berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-Indonesiaan,
dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi
manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76).
Pengembangan karakter terpuji/akhlak mulia/budi pekerti luhur
memerlukan pengembangan ketajaman berpikir/bernalar, pemberian
teladan, dan pembiasaan secara terus menerus. Semua cara tersebut perlu
dilandasi pengembangan kecerdasan religius karena hal ini telah banyak
diakui sebagai kondisi yang dapat membuat pendidikan karakter dapat
dikelola dengan lebih mudah, dengan hasil yang relatif lebih baik (Zuchdi,
2009: 52).
Mantan Presiden RI pertama Soekarno berulang-ulang
menegaskan:
“Agama adalah unsur mutlak dalam National an Character
building” (Sumahamijaya dkk, 2003: 45). Hal ini diperkuat dengan
pendapat Simahamijaya itu sendiri yang mengatakan bahwa
karakter harus mempunyai landasan yang kokoh dan jelas. Tanpa
landasan yang jelas, karakter kemandirian tidak punya arah,
mengambang, keropos sehingga tidak berarti apa-apa. Oleh
karenanya, fundamen atau landasan dari pendidikan karakter itu
tidak lain haruslah agama (Majiid dan Andayani, 2011: 61).
27
Sesungguhnya pendidikan karakter sudah ada dalam UU
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Meskipun kata “karakter” tidak
disebutkan secara langsung, namun penjelasan dari rumusan tersebut
mengarah pada definisi dan arti karakter yang telah disebutkan
sebelumnya. Misalnya pada tujuan pendidikan nasional yang menekankan
“keimanan dan ketakwaan”. Juga pada bahasan kurikulum yang
memperhatikan aspek peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak
mulia dan wajibnya pendidikan agama dari jenjang pendidikan dasar
hingga pendidikan tinggi (Syafri , 2014: 12).
Dalam Majiid dan Andayani (2011: 61), pendidikan karakter
menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri setiap orang ada tiga
tahapan yang harus dilalui, diantaranya:
a. Moral Knowing/Learning to know
Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter.
Pada tahapan ini, tujuam diorientasikan pada penguasaan pengetahuan
tentang nilai-nilai.
b. Moral Loving/Moral feeling
Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa
butuh terhadap nilai-nilai ahlak mulia.
c. Moral Doing/Learning to do
Pada tahapan ini seseorang mempraktikkan nilai-nilai akhlak mulia itu
dalam perilakunya sehari-hari. Tindakan selanjutnya adalah
pembiasaana dan pemotivasian.
28
Pendidikan karakter yang bersifat langsung adalah yang
disampaikan melalui program pembelajaran dan pelatihan tertentu. Dan
tujuan jangka panjang yang hendak dicapai adalah terbangunnya
kehidupan masyarakat, yang aman dan damai, yang bahagia lahir dan
batin. Guna mencapai tujuan ini perlu pengembangan kultur yang
bercirikan pengawasan oleh Tuhan Yang Maha Esa, teladan oleh
pimpinan, dan feedback dari teman (Zuchdi, 2009: 15).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter
adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk
mengarahkan peserta didik pada pengembangan perilaku anak secara utuh
yang didasarkan pada nilai-nilai keluhuran (Zuchdi, 2011: 27).
2. Tujuan pendidikan karakter
Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari
pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart.
Dalam sejarah Islam, Rasulullah Muhammad Saw, Sang Nabi terakhir
dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam
mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter
yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu,
rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni
pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat
yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan
menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad
Saw. bahwa akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan
29
dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Martin Luther King
menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus
character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter,
itulah tujuan yang benar dari pendidikan (Majiid dan Andayani, 2011:
30).
Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas menunjukkan bahwa
pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok
yang disepakati di setip zaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua
pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah
merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan sikap dan
keterampilan (Majiid dan Andayani, 2011: 30).
Untuk mencapai tujuan pendidikan karater kepada taraf yang baik,
dalam artian terjadi keseimbangan antara ilmu dan amal., maka Al-
Qur‟an juga memberikan model pembiasaan dan praktik keilmuan. Al-
Qur‟an sangat banyak memberikan dorongan agar manusia selalu
melakukan kebaikan. Ayat-ayat dalam Al-Qur‟an yang menekankan
pentingnya pembiasaan bisa terlihat pada term “amilus shalihat”. Term
ini diungkap Al-Qur‟an sebanyak 73 kali. Bisa diterjemahkan dengan
kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan”, atau “membiasakan
beramal saleh”. Jumlah term tersebut memperlihatkan pentingnya
pembiasaan suatu amal kebaikan dalam proses pembinaan dan
pendidikan karakter dalam Islam (Syafri , 2014: 137).
30
Pendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di
dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi
generasi selanjutnya. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk
penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih
kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik.
Karakteristik yang paling menonjol dalam organisasi tujuan-tujuan
yang diwujudkan dalam pendidikan karakter, bersifat developmental,
kompetensi-kompetensi itu tidak dapat dikembangkan dalam waktu secara
lingkungan belajar yang sangat terbatas. Mengembangkan kemampuan
dasar/nilai-nilai dalam kehidupan untuk menjadi manusia muslim yang
beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., hanya mungkin dikembangkan
secara kontinu dalam kehidupan sehari-hari (Majiid dan Andayani, 2011:
153).
.
31
BAB III
TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136
A. Surat Ali Imran ayat 133 sampai 136
مبوات واألزض أعدت وسبزعىا إلى مغفسة مه زثكم وجىة عسضهب الس
ظ ٣١١للمتقه ) اء والكبظمه الغ س اء والض س ( الره ىفقىن ف الس
حت المحسىه ) ( والره إذا فعلىا فبحشة ٣١١والعبفه عه الىبس وللا
فبستغ أو ظلمىا أوفسهم ذكسوا للا وىة إال للا فسوا لروىثهم ومه غفس الر
وا على مب فعلىا وهم علمىن ) (أولئك جزاؤهم مغفسة مه ٣١١ولم صس
له زثهم وجىبت تجسي مه تحتهب األوهبز خبلده فهب ووعم أجس العبم
(٣١١
Artinya: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan
mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi
orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu
memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan
perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah
ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi
orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 133-136)
1. Tafsir Surat Ali Imran
Surah Ali Imran dinamai demikian karena di dalamnya dikemukakan
kisah keluarga Imran dengan terperinci, yaitu: Isa, Yahya, Maryam dan ibu
32
beliau. Sedangkan Imran adalah ayah dari ibu Nabi Isa, yaitu Maryam as.
Nama surah ini banyak, antara lain surah al-amanu (keamanan), al-kanz,
thibah, tetapi yang populer adalah Ali Imran. Tujuan utama surah Ali
Imran (keluarga Imran) adalah pembuktian tentang tauhid, keesaan dan
kekuasaan Allah swt., serta penegasan bahwa dunia, kekuasaan, harta, dan
anak-anak yang terlepas dari nilai-nilai Ilahiyah, tidak akan bermanfaat di
akhirat kelak. Tujuan ini sungguh pada tempatnya karena al-Fatihah yang
merupakan surat pertama merangkum seluruh ajaran Islam secara singkat,
dan Al-Baqarah menjelaskan secara lebih terperinci tuntunan-tuntunan
agama. Nah, surah Ali Imran datang untuk menekankan seseutau yang
menjadi dasar dan sendi utama tuntunan tersebut, yakni tauhid. Tanpa
kehadiran tauhid, pengamalan lainnya tidak bernilai di sisi-Nya (Shihab,
2009: 3).
2. Asbabun Nuzul surat Ali Imran ayat 133-136
Sifat atau ciri-ciri yang disebutkan di sini berkaitan erat dengan
peristiwa perang Uhud. Dan karena malapetaka yang terjadi adalah akibat
keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada waktunya
diambil (Shihab, 2009: 264 ). Ayat ini memberi pengertian bahwa Nabi
saw. memaafkan para pemanah yang meninggalkan pos pertahanan dalam
perang Uhud, sehingga akhirnya menyebabkan pasukan muslim
mengalami kekalahan. Nabi pun tidak melakukan pembalasan terhadap
para musyrik yang berlaku kejam kepada Hamzah, paman Nabi, yang
gugur dalam medan perang (As-Shiddieqy, 2000: 690). Yang dimaksud
33
perbuatan keji (fakhisyah) pada ayat 134 ialah dosa besar yang akibatnya
tidak hanya menimpa diri sendiri, tetapi juga orang lain, seperti zina, riba
dan lain-lain. Menzhalimi diri sendiri ialah melakukan dosa yang
akibatnya hanya menimpa diri sendiri (Kementrian Agama RI, 2010: 67)
B. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 133-136 menurut Tafsir Ibnu Katsir dan
Tafsir Quraisy Shihab
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran ayat 133-136 ini
menjelaskan tentang sifat orang-orang yang bertakwa, segera bertobat,
menyesali dosa dan bahwa balasan untuknya adalah diampuni dosa dan
masuk surga.
Dalam Ibnu Katsir (2006: 581), Allah menganjurkan kepada mereka
supaya bergegas dalam kebaikan dan bersegera untuk meraih kedekatan
dengan Allah. Firman Allah,
مبوات واألزض وسبزعىا إلى مغفسة مه زثكم وجىة عسضهب الس
أعدت للمتقه
“Dan bergegaslah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang
bertakwa”. Maksudnya, sebagaimana neraka disediakan bagi orang-orang
kafir. Al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Seseorang
datang kepada Rasulullah Saw. kemudian bertanya, “Bagaimana pendapatmu
mengenai firman Allah, „Surga yang luasnya seluas langit dan bumi,‟ lalu di
manakah neraka?‟, Nabi bersabda, „Bagaimana menurutmu apabila malam
datang dan merambahi segala pekara, maka di manakah siang?‟ „Di tempat-
34
tempat yang dikehendaki Allah.‟ Nabi bersabda, „Demikian pula dengan
neraka. Ia berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala.‟ “Yakni,
demikianlah bila kita tidak menyaksikan malam ketika siang datang, maka
hal itu tidak memastikan tidak beradanya malam ada suatu tempat, meskipun
kita tidak tahu di mana malam itu berada. Demikin pula dengan neraka. Ia
berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala. Ini terlihat jelas dalam
hadis Abu Hurairah dari Al-Bazzar .
األسض مبء جىت عشضب وعشض اغ ا ا مغفشة مه سبىم عببم
“Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari
Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS Al-Hadid:
21)
Dalam Shihab (2009: 263), ketaatan yang diperintahkan oleh ayat
yang lalu dapat terlaksana tanpa upaya sunggguh-sungguh, misalnya sekedar
melaksanakan yang wajib dan mengabaikan yang sunnah atau anjuran. Atau
cukup menghindari yang haram, tetapi melaksanakan yang makruh. Sekedar
memohon ampun atas kesalahan dan dosa besar dan tidak mengingat lagi
dosa kecil atau hal-hal yang kurang pantas. Ayat ini menganjurkan
peningkatan upaya dan melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan dan
kompetisi yang memang merupakan salah satu cara peningkatan kualitas.
Karena itu, bersegeralah kamu bagaikan ketergesaan seorang yang ingin
mendahului yang lain menuju ampunan dari Tuhanmu dengan menyadari
kesalahan dan berlombalah mencapai surga yang sangat agung yang
lebarnya, yakni luasnya selebar seluas langit dan bumi yang disediakan
35
untuk al-muttaqin, yakni orang-orang yang telah mantap ketakwaannya, yang
taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya .
Yang dimaksud lebar surga di sini adalah luasnya, dan luas yang
dimaksud adalah perumamaan. Ia tidak harus dipahami dalam arti harfiahnya.
Dalam benak kita, manusia, tidak ada sesuatu yang dapat menggambarkan
keluasan, melebihi luasnya langit dan bumi. Maka untuk menggambarkan
betapa luasnya surga, Allah memilih kata-kata “selebar langit dan bumi”. Di
sisi lain, sedemikian luasnya sehingga ketika mendengar bahwa lebarnya itu
sudah demikian, bagaimana pula panjangnya. Perumpamaan yang diberikan
oleh Al-Qur‟an ini mengundang kaum muslimin agar tidak mempersempit
surga dan merasa bahwa hanya diri atau kelompoknya saja yang akan
memasukinya yang sedemikian luas sehingga siapa pun yang berserah diri
kepada-Nya, akan mendapat tempat yang luas di sana (Shihab, 2009: 264).
Kemudian Allah Ta‟ala menceritakan sifat ahli surga. Dia berfirman,
“Orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun
sempit.” Yakni pada saat sulit dan lapang, saat giat dan malas, saat sehat dan
sakit, dan dalam segala hal dan keadaan. Allah Ta‟ala berfirman, “Orang-
orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, secara
rahasia maupun terang-terangan.” Maksud ayat ialah bahwa mereka tidak
dilalaikan oleh perkara apa pun untuk menaati Allah Ta‟ala dan berinfak
untuk memperoleh ridho-Nya. Firman Allah, “Yang menahan marah dan
yang memaafkan manusia.” Yakni, bila mereka marah, maka mereka
menahannya, dalam arti menyembunyikannya sehingga orang lain tidak
36
mengetahuinya. Di samping itu, apabila orang lain berbuat buruk kepadanya,
maka dia memaafkannya (Ibnu katsir, 2006: 582).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw.,
beliau bersabda (560):
ذ ذ ظ اش مه وفغ عىذ ذ از ذ ىه اش شعت، غضب بب اص ا
Artinya: “Orang yang kuat pemberani bukanlah yang dapat
menaklukan musuh dalam gulat, namun orang yang dapat mengendalikan
nafsunya ketika dia marah.” (HR. Ahmad).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Athiyah bin Sa‟ad As-Sa‟di, dia
pernah bersama Nabi, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda (562),
“Sesungguhnya kemarahan itu dari setan dan setan itu diciptakan dari api.
Sesungguhnya api itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Jadi jika salah
seorang di antara kamu marah, maka berwudlulah.” Demikian pula
keterangan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Ibnu Katsir, 2006: 583).
Imam Ahmad mengatakan dari Abdullah bin Yazid bahwa Rasulullah
saw. bersabda,
خال ا ط ا لب دس ع أن ىفزي, دعب ي هللا ع سإ مه وظم غظب
ا ئك, س شبء حخ خشي مه أ ح
“Barang siapa menahan amarah, sedangkan ia mampu utnuk
melaksanakannya, maka Allah kelak akan memanggilnya di mata semua
makhluk hingga Allah menyuruhnya memilih bidadari manakah yang
disukainya”. Firman Allah Ta‟ala, “Yang memaafkan manusia”, yakni
37
mereka memaafkan orang yang menzaliminya sehingga di dalam dirinya tiada
niatnya untuk membalas dendam pada seorang pun. Ini merupakan perilaku
yang paling utama. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Allah mencintai orang-
orang yang berbuat kebaikan.” (Ibnu Katsir, 2006: 583).
Al Hakim meriwayatkan dalam mustadraknya, sebuah hadis dari
Musa bin Uqbah dengan sanadnya dari Ubadah bin Shamit, dari Ubai bin
Ka‟ab, bahwa Rasulullah bersabda,
ي أن ششف حشفع اذسجبث مه عش ه ظم ابىبن عف عم ف
مه لطع ص عظ مه حشم
“Barang siapa yang berambisi untuk memiliki kepribadian yang mulia
dan derajat yang tinggi, maka hendaklah dia memaafkan orang yang
menzaliminya, memberi kepada orang yang tidak suka memberi kepadanya,
dan menghubungkan tali silaturrahmi kepada orang yang memutuskan
hubungan dengannya.” Kemudian Hakim mengatakan bahwa hadits ini
shahih karena mengikuti syarat syikhani, meskipun keduanya keduanya tida
meriwayatkan hadis itu (Ibnu Katsir, 2006: 584).
Setelah dalam ayat yang lalu telah digambarkan sekelumit tentang
surga, ayat ini menggambarkan sekelumit tentang sifat-sifat mereka yang
wajar menghuninya. Sifat atau ciri-ciri yang disebutkan di sini berkaitan erat
dengan peristiwa perang Uhud. Dan karena malapetaka yang terjadi adalah
akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada
waktunya diambil, nasihat pertama adalah tentang berinfak dengan
menyatakan bahwa ciri orang bertakwa adalah mereka yang kebiasaannya
38
atau secara terus menerus menginfakan hartanya di jalan Allah baik di waktu
dia lapang, yakni memiliki kelebihan dari kebutuhannya maupun di waktu
dia sempit tidak memiliki kelebihan dari kebutuhannya (Shihab, 2009: 264).
Dalam konteks menghadapi kesalahan orang lain, ayat ini
menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang
mampu menahan amarah. Kata al-kadhimin mengandung makna penuh dan
menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh air lalu ditutup rapat
agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat
masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikirannya masih menuntut balas,
tetapi dia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikiran itu, dia menahan
amarah. Di atas tingkat ini, adalah yang memaafkan. Kata al-‘afin terambil
dari kata al-afni yang biasa diterjemahkan dengan kata maaf. Kata ini antara
lain berarti menghapus. Seseorang yang memaafkan orang lain adalah yang
menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain
terhadapnya. Kalau dalam peringkat pertama di atas, yang bersangkutan baru
sampai pada tahap menahan amarah, kendati bekas-bekas luka itu masih
memenuhi hatinya, pada tahapan ini yang bersangkutan telah menghapus
bekas-bekas luka itu. kini seakan-akan tidak pernah terjadi satu kesalahan
atau suatu apapun. Namun, karena pada tahap ini seakan-akan tidak pernah
terjadi sesuatu, boleh jadi juga tidak terjalin hubungan. Untuk mencapai
tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukai-Nya adalah orang-
orang yang berbuat kebaikan, yakni bukan yang sekedar menahan amarah
39
atau memaafkan, tetapi justru berbuat baik kepada orang yang pernah
melakukan kesalahan. Firman Allah Swt,
والره إذا فعلىا فبحشة أو ظلمىا أوفسهم لروىثهم فبستغفسوا ذكسوا للا
“Dan orang-orang yang apabila mereka melakukan perbuatan keji
atau mereka menzalimi diri sendiri, maka mereka ingat kepada Allah, lalu
memohon ampun atas dosa-dosanya.” Yakni apabila dia melakukan sebuah
dosa, maka perbuatannya itu diiringi dengan tobat dan istighfar (Ibnu katsir,
2006: 584).
Tatkala melakukan tobat sangat dianjurkan untuk berwudlu dan shalat
dua rekaat.
حب امخطشه ه اب ان هللا حب اخ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-
orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah:222)
Firman Allah, “Tiada yang dapat mengampuni dosa kecuali Allah.”
Yakni, tidak ada seorang pun yang mengampuni dosa kecuali Dia.
Sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan dari Aswad bin Sari‟,
“Sesungguhnya Nabi datang dengan membawa seorang tawanan. Dia berkata,
„Ya Allah, sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu bukan bertobat pada
Muhammad.‟ Maka Nabi Saw. bersabda, „Dia mengenal hak itu bagi bagi
yang seharusnya menerimanya.‟” Firman Allah Swt., “Dan mereka tidak terus
menerus berada dalam kemaksiatan dan menekuninya. Jika dia mengulangi
dosa, maka dia bertobat lagi darinya. (Ibnu Katsir, 2006: 586).
40
Firman Allah Swt., “Sedang mereka tidak mengetahui.” Yakni barang
siapa yang bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya. Ini senada dengan
firman Allah, ”Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah akan menerima
tobat dari hamba-hamba-Nya.” Firman Allah Swt., “Mereka itu balasannya
ialah ampunan dari Tuhannya,” yakni balasan bagi mereka yang memiliki
sifat-sifat seperti itu adalah “ampunan dan surga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya. “ dari berbagai jenis minuman,” sedang mereka kekal di
dalamnya,” yakni mereka menetap di sana. “Dan itulah sebaik-baik pahala
orang-orang yang beramal.” Di sini Allah memuji kebaikan surga. (Ibnu
Katsir, 2006: 586)
Setelah menjelaskan sikap dan perilaku mereka yang disebut di atas
dalam menghadapi orang lain, kini melalui ayat ini dijelaskan sikap mereka
menghadapi diri sendiri. Atau, setelah menyebut peringakat tinggi dari
penghuni surga, kini disebutkan peringkat yang di bawah mereka, yaitu
mereka yang apabila mengerjakan dengan sengaja atau tidak sadar perbuatan
keji, yakni dosa besar, seperti membunuh, berzina, korupsi, mencuri atau
menganiaya diri sendiri dengan dosa atau pelanggaran apa pun, mereka ingat
Allah sehingga mereka malu atau takut lalu mereka menyesali perbuatan
merek, bertekad untuk tidak mengulanginya dan memohon ampun atas dosa-
dosa mereka. Ketika itu, Allah mengampuni mereka karena Dia Maha
Pengampun dan tiada selain-Nya yang dapat memberi ampun. Siapa lagi
yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Tentu saja tidak ada!
Selanjutnya, setelah bertaubat mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
41
itu, sedang mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut terlarang.
Mereka yang kedudukannya tinggi sebagaimana diisyaratkan oleh kata itulah
yang akan memperoleh balasan dari Allah. Balasannya ialah mendapat
ampunan dari Tuhan Pemelihara mereka atas kesalahan dan dosa mereka,
baik yang besar mapupun yang kecil, dan di samping itu mereka juga
dianugerahi surga-surga, masing-masing sesuai dengan kedudukan mereka di
sisi Allah, yakni surga itu yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sedang
mereka kekal di dalamnya dan sungguh baik pahala orang-orang yang
beramal (Shihab, 2009: 266).
Di atas Anda baca fahisyah yang diterjemahkan dengan perbuatan keji
diartikan sebagai dosa besar, sedang menganiaya diri diartikan sebagai dosa
atau pelanggaran secara umum termasuk di dalamnya dosa besar. Ada juga
yang membalik pengertiannya. Pendapat ketiga dikemukakan oleh
Muhammad Sayyid Thantawi bahwa perbuatan keji dan menganiaya diri
merupakan dosa dari setiap kedurhakaan. Setiap perbuatan keji yang
dilakukan seseorang berakibat penganiayaan atas dirinya, demikian pula
sebaliknya. Atas dasar itu, sementara ulama menegaskan bahwa kata atau
sebelum kata menganiaya diri sendiri pada ayat di atas berarti dan. (Shihab,
2009: 267).
Kalau diamati sifat-sifat para penghuni surga atau orang-orang
bertakwa di atas, ditemukan bahwa maksiat dan kedurhakaan yang dilakukan
seseorang, selama ia segera menyadarinya, tidak mencabut identitas
ketakwaannya. Ini dipahami dari penjelasan ayat 135 di atas. Hal ini juga
42
membuktikan betapa realitinya ajaran al-Qur‟an. Allah tidak menutup pintu,
dan mengharuskan semua orang sebersih kain putih, sehalus sutra. Dia
menerima hamba-hamba-Nya yang berlumuran dosa dan memasukkan dalam
kelompok orang bertakwa selama mereka menyadari keslahannya. Namun,
tentu peringkat ketakwaannya belum mencapai peringkat yang tinggi (Shihab,
2009: 267).
Firman Allah, a) mereka ingat Allah, lalu memohon ampun, b) tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, c) mereka mengetahui. Ketiganya telah
mencakup makna taubat, yang menurut Imam Ghazali mencakup, a)
pengetahuan, b) kondisi kejiwaan, c) perbuatan. Yang pertama pengetahuan
seseorang bahaya dan dampak buruk dosa yang menjadi penghalang
kedekatan seseorang dengan Allah. Apabila ini dipahami dan dihayati, akan
timbul kesadaran, bahkan rasa pedih karena kehilangan peluang untuk
mendekati-Nya, dan ini menimbulkan penyesalan, selanjutnya mendorong
kepada upaya dan aktivitas yang berkaitan dengan masa kini, lalu, dan akan
datang. Aktivitas masa kini adalah meninggalkan dosa itu. Aktivitas masa
datang adalah tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Sedang aktivitas masa
lalu adalah menghindari apa yang telah berlalu. Firman-Nya: mengingat
Allah isyarat kepada penyesalan, sedang tidak meneruskan isyarat kepada
meninggalkan serta tekad untuk tidak mengulangi dosa, sedang mereka
mengetaui isyarat kepada pengetuan yang menimbulkan kesadaran itu
(Shihab, 2009: 267).
43
C. Tafsir Surat Ali Imran ayat 133-136 menurut Tafsir Al-Maraghi dan
Tafsir An-Nur
مبوات واألزض وسبزعىا إلى مغفسة مه زثكم وجىة عسضهب الس
Bersegeralah melakukan amal yang dapat menyampaikan kepada
ampunan Tuhan atas dosa-dosa kalian, yang dapat memasukkan kalian ke
surga yang luanya disediakan oleh Allah untuk orang yang mau bertakwa,
melaksanakan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya.
Untuk itu beramal baiklah dan bertaubatlah dari perbuatan dosa, dan
bersedekahlah kepada orang sengsara yang membutuhkan pertolongan (Al-
Maraghi, 1986: 115).
Sementara dalam tafsir An-Nur, Kata Abu Muslim: “Yang dimaksud
dengan „ardh’ di sini adalah harga.” Jelasnya, kalau surga dijual, maka
harganya sama dengan atau senilai dengan harga langit dan bumi. Yang
dikehendaki dengan luasnya di sini adalah besarnya, tinggi nilainya dan tiada
tertandingi oleh siapapun (As-Shiddieqy, 2000: 689).
أعدت للمتقه
Inilah surga yang disediakan bagi orang-orang muttaqin (yang
bertakwa), yang memelihara diri dari adzab Allah, dengan melakukan banyak
amal shaleh. Ayat ini menjadi dalil bahwa surga telah ada sekarang, dan surga
berada di luar alam, karena lebih besar dari alam (As-Shiddieqy, 2000: 689).
اء س اء والض س الره ىفقىن ف الس
44
Dalam tafsir Al-Maraghi, sifat orang yang bertakwa adalah orang-
orang yang mau berinfak, baik dalam keadaan mudah atau sulit, mereka
pantang mundur terus beramal sesuai dengan kondisi kemampuan mereka,
dan sama sekali tidak pernah melalaikan infak (beramal). Melakukan infak
dalam dua kondisi, yaitu ketika mudah dan sempit, menunjukkan ketakwaan.
Sebab harta itu amat disayang. Untuk menginfakkannya ke jalan kebaikan
dan maslahat yang diridhai Allah terasa amat berat. Sedang dianjurkannya
berinfak dalam keadaan senang dan mudah, guna menghapus rasa takabbur,
cinta harta, dan memendam berbagai keinginan karena kekayaan dan
kegembiraan yang diakibatkan olehnya. Di samping itu dianjurkannya dalam
keadaan susah, karena manusia lebih cenderung meminta dari pada memberi
namun sekalipun dalam keadaan susah, ia pun masih mempunyai sisa untuk
diinfakkan ke jalan Allah, sekalipun sedikit (Al-Maraghi, 1986: 117).
Oleh karena itu Allah SWT. mengajarkan manusia agar berinfak di
jalan kebaikan sekalipun sedikit, melalui firman-Nya,
مه لذس ع ه ععخ ععت م ب آح هللا ال ىفك ر ىفك مم ىف هللا سصل ف
هللا بعذ عغش غشا وفغب اال مآ آحب عجع
“Hendaknya orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak akan
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesuda
kesempitan.” (At-Talaq, 65: 7)
45
Berdasarkan pengertian ini, dapat dilihat bahwa Allah SWT.
menjadikan alamat takwa yang terpenting ialah menginfakkan harta. Allah
juga menjadikan sifat kikir sebagai alamat tidak bertakwa. Takwa merupakan
jalan menuju surga (Al-Maraghi, 1986: 118).
Petunjuk agama telah memberikan arah dan bimbingan kepada kita,
bahwa jiwa manusia itu hendaknya mempunyai rasa dermawan yang tumbuh
berdasarkan kesadaran, sekalipun ia sedang dilanda kemiskinan. Hendaknya
ia membiasakan diri berbuat kebajikan, sesuai dengan kekuatannya agar
merasa enggan melakukan perbuatan-perbuatan rendah yang dapat menyeret
dirinya lantaran terdesak kebutuhan (Al-Maraghi, 1986: 117).
Para muttaqin adalah orang-orang yang membelanjakan
(menyedekahkan) hartanya, baik pada waktu lapang (memperoleh rezeki
banyak) ataupun di waktu sempit (usaha tersendat-sendat jalannya), sesuai
dengan kemampuannya dan keadaan. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa beliau
pernah sedekah hanya dengan sebiji buah anggur. (As-Shiddieqy, 2000: 689).
Diriwayatkan pula oleh sebagian salaf, bahwa ada seseorang dari mereka
yang sedekah dengan sebiji bawang merah. Dalam sebuah hadis disebutkan
(Al-Maraghi, 1986: 116):
ف م بظ ا اغب ،ي سد بشك حمشة حشق احما اىبس
“Takutlah kalian terhadap neraka, sekalipun hanya dengan sepotong
buah kurma dan berikanlah kepada orang-orang yang minta sekalipun itu
adalah dengki yang dibakar.”
ظ والكبظمه الغ
46
Maksudnya, semua orang yang mampu menyembunyikan
kemarahannya, mampu mengendalikan diri sewaktu marah atau mampu
mengendalikan emosinya, serta tidak menganiaya orang lain sewaktu
berkuasa atau mempunyai kekuatan. Menyembunyikan kemarahan
merupakan perbuatan taqwa (As-Shiddieqy, 2000: 689).
Orang-orang yang menahan dan mengekang perasaan amarahnya,
tidak mau melampiaskannya, sekalipun hal itu bisa saja ia lakukan. Barang
siapa menuruti nafsu amarah, kemudian bertekad untuk dendam, berarti ia
tidak stabil lagi dan tidak mau berpegang teguh pada kebenaran. Bahkan
terkadang ia bisa melampaui batas. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
menahan amarah termasuk takwa kepada Alla SWT. (Al-Maraghi, 1986:
119).
Rasulullah saw. pernah bersabda (Al-Maraghi, 1986: 122):
مبوب مه ا ب امىب مذس ع اوفبري مالأهلل ل ظب وظم غ
“Barang siapa menekan rasa amarahnya sedang ia mampu
melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan rasa
ketenangan dan keimanan.”
Kesimpulannya adalah mereka yang kuasa menekan perasaan marah
dan tidak melampiaskannya bahkan menelannya adalah sama dengan yng
diungkapkan oleh firman Allah SWT (Al-Maraghi, 1986: 120):
ن ا م غفش ارا مب غضب
“....dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (As-Syura, 42:37)
47
والعبفه عه الىبس
Orang-orang yang suka memberi maaf kesalahan orang lain dan
membiarkan mereka, tidak menghukum, sekalipun mereka mampu
melakukan, hal itu merupakan tingkatan penguasaan diri dan pengendalian
jiwa yang jarang bisa dilakukan oleh setiap orang. Tingkatan ini lebih tinggi
dibanding tingkatan mereka yang menahan rasa marah tadi, karena terkadang
seseorang menekan amarahnya disebabkan sifat dengki. At-Tabrani
mengetengahkan sebuah hadis Ubay bin Ka‟ab bahwa Rasulullah saw. pernah
bersabda (Al-Maraghi, 1986: 120):
ه ظم عف عم حشفع اذسجبث ف بىبن ي ان ششف ا مه عش
مه لطع ص عظ مه حشم
“Barang siapa suka bangunan rumahnya (di surga) didirikan dan
derajatnya diangkat, hendaknya ia suka memberi maaf terhadap orang yang
berbuat aniaya terhadap dirinya, memberi kepada misin dan menyambung
silaturrahmi dengan orang yang memutuskannya.”
جضآء عئت عئت مثب فمه عفب ه ال حب اظبم أصح فؤجشي ع هللا او
“Dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan pula, namun siapa yang
memaafkan dan memperbaiki (hubungannya), maka pahala baginya di sisi
Allah. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orng yang dzalim.” (As-Syura:
40)
Mereka tidak melakukan pembalasan terhadap orang yang berbuat
salah, menganiaya dirinya atau menyakiti hatinya, meskipun mereka memiliki
48
kemampuan untuk melakukan pembalasan. Sebaliknya, mereka lebih
menyukai memberi maaf kepada manusia yang berbuat aniaya kepada
dirinya, semau perlakuan negatif atas dirinya diterima dengan ikhlas dan
sabar. Ayat ini memberi pengertian bahwa Nabi saw. memaafkan para
pemanah yang meninggalkan pos pertahanan dalam perang Uhud, sehingga
akhirnya menyebabkan pasukan muslim mengalami kekalahan. Nabi pun
tidak melakukan pembalasan terhadap para musyrik yang berlaku kejam
kepada Hamzah, paman Nabi, yang gugur dalam medan perang (As-
Shiddieqy, 2000: 690).
حت المحسىه وللا
Allah mengasihani hamba-hamba-Nya yang berbuat ihsan (kebaikan
yanng berlebih) kepada orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan,
dengan memberikan sebagian nikmat Allah yang diterimanya sebagai tanda
kesyukuran. Berbuat ihsan kepada orang lain adakalanya dengan memberikan
suatu kemanfaatan. Termasuk dalam ihsan ini adalah memberi petunjuk
kepada orang yang tersesat, mengeluarkan harta untuk jalan-jalan kebajikan
dan ibadat. Adakalanya ihsan dilakukan dengan jalan menolak kemudaratan
dari seseorang, tidak membalas keburukan dengan keburukan. Oleh karena
itu, ayat ini dipandang sebagai ayat yang mengumpulkan berbagai macam
sifat ihsan kepada orang lain (As-Shiddieqy, 2000: 690).
Mengingat hal itu, maka ayat ini mencakup semua segi kebajikan
terhadap orang lain. Allah SWT. telah menuturkan balasan kepada orang
yang suka berbuat kebaikan melalui firman-Nya Wallahu yuhibbul muhsinin.
49
Perlu diperhatikan, bahwa kecintaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya
merupakan derajat pahala yang paling agung (Al-Maraghi, 1986: 122)
فبستغفسوا لروىثهم والره إذا فعلىا فبحشة أو ظلمىا أوفسهم ذكسوا للا
Semua orang yang apabila mengerjakan dosa besar yang
kemudharatannya menyangkut orang lain, seperti zina, riba, mencuri, menipu,
korupsi, mengumpat, atau mengerjakan dosa kecil yang kemudharatannya
tidak mengganggu orang lain, mereka segera mengingat siksa Allah, ancaman
dan janji-Nya, lalu bertobat. Atau mereka segera mengingat kebesaran Allah,
keindahan-Nya, keutamaan-Nya, lalu memandang diri sendiri yang hina-dina
lantaran telah melakukan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Yang demikian
segera mendorong jiwa mereka untuk tidak mengulangi kesalahan dan
kemaksiatan tersebut, sebaliknya, mereka bertobat (As-Shiddieqy, 2000:
691).
ومه غفس وىة إال للا الر
Ayat ini adalah jumlah mu‟taridah, antara ayat yang sebelum dan
sesudahnya, sebagai uacapan salut terhadap orang-orang yaang mau
bertaubat, penghibur hati bagi mereka, berita gembira bagi mereka lantaran
mendapat rahmat Allah yang luas dan ampunan-Nya sudah dekat, dan
meluhurkan kedudukan mereka karena telah mengetahui bahwa tidak ada
jalan lain bagi orang-orang yang berdosa kecuali hanya kepada kemurahan
dan kemuliaan Allah. Dan salah satu di antara kemurahan Allah ialah orang
yang bertaubat dari dosa, bagai orang yang tiada berdosa bagi Allah (Al-
Maraghi, 1986: 123). Tidak seorang pun yang mampu menghapus dosa-dosa
50
seseorang ataupun memberikan pembalasan terhadap perbuatan dosa, kecuali
Allah, Tuhan yang Maha Tinggi (As-Shiddieqy, 2000: 691).
Seorang hamba jika berlindung kepada Allah, kemudian bertaubat
dengan segala kemampuannya, maka Allah memberi maaf dan
mengampuninya, betapapun besar dosanya. Sebab, ampunan dari Allah itu
lebih agung, dan kemurahan-Nya lebih besar. Sebagaimana dalam ayat ini
juga terkandung anjuran kepada hamba-hamba-Nya agar bertaubat kepada-
Nya dan peringatan bagi mereka agar jangan berputus asa (Al-Maraghi, 1986:
123).
وا على مب فعلىا وهم علمىن ولم صس
Mereka tidak terus menerus terjerumus dalam perbuatan dosa, tanpa
beristighfar (meminta ampun). Mereka segera menyadari bahwa
perbuatannya itu buruk dan keji. Mereka begitu mengingat Allah, segera
meminta ampun dan bertobat, dengan tidak mengulangi perbuatan dosanya
itu. ringkasnya, ayat ini memberi pengertian bahwa muttaqin yang telah
disediakan surga untuk mereka, tidak mau terus menerus berbuat kesalahan,
dosa dan maksiat, baik kecil ataupun besar. Perlu ditegaskan, istigfar yang
dimaksudkan di sini bukan membaca istighfar secara lisan, tetapi dalam
bentuk bertobat nasuha (berotbat secara sungguh-sungguh) (As-Shiddieqy,
2000: 691).
Firman Allah wahum ya’lamuna, artinya mereka menyadari kejelekan
yang dilakukannya, larangan melakukannya dan ancaman mengenai hal itu.
tujuan disebutkannya hal itu merupakan penjelasan bahwa bila pelakunya
51
tidak mengetahui kejelekan perbuatannya itu dapat diberi ampunan lantaran
ketidaktahuannya itu (Al-Maraghi, 1986: 124).
هبز خبلده فهبأولئك جزاؤهم مغفسة مه زثهم وجىبت تجسي مه تحتهب األو
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa digambarkan dengan sifat-
sifat yang telah disebutkan tadi, bagi mereka adalah keselamatan dari siksaan,
dan pahala yang agung di sisi Tuhan, yaitu di surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai (Al-Maraghi, 1986: 125)
Semua orang yang memiliki lima sifat seperti telah diterangkan itulah,
yang mencapai derajat kesempurnaan ruh dan memperoleh taufik Ilahi.
Mereka memperoleh pembalasan yang sangat bernilai, yaitu ampunan dari
Allah, pahala besar, dan kekal dalam nikmat yang abadi di dalam surga (As-
Shiddieqy, 2000: 691).
ووعم أجس العبمله
Pembalasan yang telah disebutkan, yang diberikan kepada perbuatan-
perbuatan yang bermanfaat bagi masyarakat luas adalah, sebaik-baik pahala
amal dan sebaik-baik pembalasan kepada semua orang yang beramal untuk
diri sendiri ataupun untuk orang lain (As-Shiddieqy, 2000: 692).
Kesimpulannya sebaik-baik balasan yang telah disebutkan tadi, yaitu
maghfirah dan surga, merupakan pahala bagi orang yang mengerjakan amal-
amal tersebut, baik berupa materi, seperti menginfakkan harta atau jiwa,
seperti tidak menimbulkan bahaya terhadap orang lain. Dalam hal ini
berbeda-beda tingkatan pahalanya sesuai dengan amal kebaikannya (Al-
Maraghi, 1986: 125).
52
BAB IV
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR SURAT ALI IMRAN
AYAT 133 SAMPAI 136
Surat Ali Imran merupakan surat yang ke-3 dari 114 surat dalam al-
Qur‟an. Di dalamnya banyak mengandung ajaran tauhid yang dikisahkan dari
keluarga Imran. Tetapi pada ayat 133 sampai 136 ini banyak mengandung
pendidikan karakter, antara lain dermawan dengan menginfakkan hartanya di kala
lapang maupun sempit, menahan amarah saat kemarahan menguasai diri,
memaafkan kesalahan orang lain, serta segera bertaubat saat melakukan dosa.
Jika seseorang telah memiliki semua sifat-sifat itu maka ia telah sampai pada
derajat kesempurnaan takwa. Namun, untuk bisa memiliki sifat-sifat tersebut
bukanlah hal yang mudah, untuk itu Allah akan memberi balasan surga bagi yang
bisa bersifat demikian. Oleh sebab itu, mengingat pentingnya pendidikan karakter
dalam kehidupan manusia, maka peneliti bermaksud mengadakan pengkajian
terhadap pendidikan karakter sebagaimana termaktub dalam al-Qur‟an surat Ali
Imran ayat 133 sampai 136.
A. Konsep Pendidikan Karakter Menurut Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat
133-136
Telah disebutkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses
pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak
mulia yang berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-
Indonesiaan, dalam rangka mengembangkan kepribadian seseorang supaya
53
menjadi manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter
sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76).
Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk kepribadian manusia yang
baik, menyempurnakan diri individu secara terus-menerus dan melatih
kemampuan diri demi menuju ke arah hidup yang lebih baik. Tentunya agar
dapat mencapai kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat.
Namun,pembentukan karakter pada diri seseorang tidak serta merta dapat
tertanam begitu saja. Perlu usaha terus menerus untuk melatihnya agar dapat
terbiasa dengan perilaku yang baik tersebut.
Setelah mengetahui dan memahami penafsiran surat Ali Imran ayat
133 sampai 136 yang telah dikemukakan oleh para ahli tafsir serta aspek-
aspek pendidikan karakter yang ada di dalamnya, maka konsep pendidikan
karakter menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 adalah
bergegas dalam kebaikan. Yang dimaksud di sini adalah bergegas untuk
melakukan infak, menahan amarah, memaafkan, segera dalam bertaubat serta
berbuat ihsan. Karena orang yang memiliki karakter tersebut berarti ia telah
mencaai derajat ketakwaan, maka dari itu balasannya adalah ampunan dari
Allah dan surga-surga yang telah disediakan bagi mereka. Pada ayat tersebut
mengajarkan dan mendidik seseorang bagaimana agar dapat memiliki
karakter mulia yang diajarkan oleh Rasulullah.
Allah mengetahui bahwa untuk membiasakan perilaku seperti
menginfakkan harta di kala lapang maupun sempit, memaafkan kesalahan
orang lain dan melupakannya, menahan diri saat amarah menguasai hati dan
54
pikiran, bukanlah suatu perkara yang mudah. Maka secara ringkas dalam
surat Ali Imran ayat 133-136 ini, Allah akan menganugrahi nikmat yang
besar pada hamba-Nya yang mampu membiasakan atau berkarakter secara
demikian, yaitu ampunan dari Allah dan surga-surga yang telah disediakan
untuk mereka.
B. Aktualisasi Pendidikan Karakter Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Menurut Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133-136
Karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
seseorang. Orang yang berkarakter berarti ia berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat dan berwatak. Jadi, dapat dikatakan bahwa individu yang
berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang
terbaik terhadap Allah SWT (Syafri, 2014: 7).
Setiap orang memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, karena
karakter merupakan perilaku, watak, budi pekerti, akhlak yang membedakan
seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak ayat Al-Qur‟an yang
menerangkan tentang pendidikan karakter atau akhlak, beberapa diantara ayat
tersebut adalah ayat yang terdapat dalam QS Ali Imran ayat 133 sampai
dengan ayat 136. Di dalam ayat-ayat tersebut terkandung pendidikan karakter
yang berhubungan dengan perilaku sehari-hari, diantaranya yaitu:
1. Menginfakkan harta pada saat lapang maupun sempit
Petunjuk agama telah memberikan arah dan bimbingan kepada kita,
bahwa jiwa manusia itu hendaknya mempunyai rasa dermawan yang
tumbuh berdasarkan kesadaran, sekalipun ia sedang dilanda kemiskinan.
55
Hendaknya ia membiasakan diri berbuat kebajikan, sesuai dengan
kekuatannya agar merasa enggan melakukan perbuatan-perbuatan rendah
yang daat menyeret dirinya lantaran terdesak kebutuhan. Hendaknya ia
menjauh dengan segala kemampuannya dari meminta-minta atau
menadahkan tangan kepada orang utnuk meminta kebaikan. Hal itu
merupakan perbuatan nista yang tidak layak dilakukan seorang
muslim/mukmin yang mempercayai bahwa rezki berada pada genggaman
Allah Swt. Hanya Dia-lah yang memberi dan mencegah rezki (Al Maraghi,
1974: 117).
Bersedekah tidak harus menunggu kaya, tidak harus saat memiliki
uang yang banyak, tetapi di saat miskin pun tidak menghalangi seseorang
untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah walaupun hanya sedikit. Allah
akan menambah nikmat orang yang mau berbagi dengan orang lain.
Seperti telah kita tahu, rumus sedekah adalah mengeluarkan 10 akan
kembali 100. Saat kita mengeluarkan uang untuk diberikan kepada orang
yang lebih membutuhkan, maka sebenarnya uang kita tidak berkurang,
tetapi justru akan bertambah. Karena Allah lah yang akan menambah
dengan 10 kali lipatnya, dengan memberi rejeki melalui jalan yang lain.
Allah telah mengatur rejeki setiap hamba-Nya. Jika seseorang
meyakini bahwa yang memberi dan menahan rejeki adalah Allah, maka ia
tidak akan gentar untuk teta berinfak walaupun sedang dilanda
kemiskinan. Dengan begitu, orang tersebut tidak akan terjerumus ke dalam
jalan yang hina dengan meminta-minta kepada orang lain tetapi yakin
56
bahwa Allah lah yang akan memberinya. Orang yang kaya pun tidak boleh
terlena dengan hartanya, karena sesungguhnya harta itu adalah titipan dari
Allah. Maka dari itu, harus dikembalikan kepada Allah dengan jalan
menginfakkan hartanya ke jalan yang benar. Tidak harus berinfak dengan
harta yang banyak, tetapi semampunya, tidak harus dengan uang tetapi
bisa dengan makanan atau benda.
Tetapi memang tidak semua orang mudah melakukannya, karena
pada kenyataannya masih banyak orang miskin yang menderita, anak
jalanan yang terlantar, dan orang meminta-minta yang semakin bertambah
banyak. Hal itu karena kurangnya kesadaran dan sedikitnya orang-orang
yang berkarakter seperti yang telah disebutkan di atas. Maka dari itu,
pendidik harus menanamkan kepada peserta didik agar membiasakan
menginfakkan hartanya di kala lapang maupun sempit, sehingga dapat
meminimalisir keadaan tersebut. Pendidik harus mengajarkan kepada
mereka bahwa berinfak harus didasari lillahi ta‟ala dan sekaligus
menanamkan keyakinan agar peserta didik tidak tunduk kepada hukum
ekonomi saja.
Seandainya orang-orang Islam dermawan gemar menginfakkan harta
bendanya tatkala dibutuhkan, maka pasti keadaan kita sekarang berbeda
dengan apa yang ada sekarang di tengah para pemeluk agama lain dan
niscaya keadaan kita akan dihormati dan disegani. Akan tetapi, keadaan
kita seperti yang dilihat sekarang. Mudah-mudahan Allah mengubah jiwa
kaum muslimin dan membimbing mereka kepada hal-hal yang maslahat
57
untuk diri mereka, agar mereka mau mengikuti perintah-perintah kitab dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Sebab dalam hal-hal tersebut terkandung
kebahagiaan dunia akhirat (Al Maraghi, 1974: 119).
2. Menahan amarah
Seseorang yang dapat menahan diri ketika amarah telah menguasai
hati dan pikirannya termasuk dalam orang yang bertakwa. Karena ia dapat
menahan nafsu amarah dan tidak melampiaskannya, ia juga tidak bertekad
untuk dendam. Perilaku tersebut sangat sulit untuk dipraktekkan, tetapi
jika seseorang memiliki karakter tersebut berarti ia bertakwa kepada Allah.
Karena Allah sangat menyukai orang yang dapat mengekang amarahnya,
seperti terdapat dalam hadis yang sering kita dengar:
جىت ه ا ال حغضب
“Janganlah kamu marah, bagimu surga.”
Allah akan memberi balasan surga bagi orang yang dapat
mengendalikan amarahnya dan tidak melampiaskannya kepada orang yang
telah mendholiminya, karena ia bertakwa kepada Allah. Dalam dunia
pendidikan, peserta didik dilatih untuk memanage emosi, dan pendidik
harus menumbuhkan rasionalitas kepada peserta didik sekuat mungkin,
sehingga kekuatan itu akan menjadi panglima dalam diri mereka untuk
mengalahkan emosi.
3. Memaafkan kesalahan orang lain
Dalam surat Ali Imran ayat 134 mengandung isyarat tentang baiknya
pemaafan Nabi saw. terhadap pasukan pemanah, bahwa beliau tidak
58
menghukum mereka atas pelanggaran perintahnya. Ayat ini juga
mengandung petunjuk Nabi saw. agar membiarkan kaum musyrikin tidak
membalas atas perlakuan meeka terhadap sang paman Hamzah ra. yang
pada waktu itu beliau melihatnya dalam keadaan menyedihkan (Al
Maraghi, 1974: 121).
Nabi Muhammad langsung memaafkan para pasukan pemanah yang
melanggar perintah beliau yang mengakibatkan kaum muslimin
mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Begitu mudahnya Nabi saw.
memaafkan mereka yang telah membuat kesalahan yang fatal karena
keserakahan mereka. Nabi saw. pun tidak membalas perbuatan orang-
orang kafir yang telah membunuh pamannya, Hamzah dengan kejam.
Walaupun Nabi saw. bisa saja melakukan pembalasan, tetapi beliau tidak
melakukannya dan membiarkan mereka.
Pendidikan karakter dalam memaafkan orang lain ini dicontohkan
secara langsung oleh Rasulullah walaupun dalam keadaan yang berat.
Bukan hanya harus memaafkan saja, tetapi justru berbuat baik kepada
orang yang pernah melakukan kesalahan, itulah perilaku yang disukai
Allah. Seperti kisan Rasulullah yang diejek dan selalu dicaci maki orang
tua buta yang kafir, tetapi Rasulullah membalasnya dengan memberinya
makanan bahkan selalu menyuapinya tanpa sepengetahuan orang tua buta
itu, hingga akhirnya ketika Rasulullah wafat, dan ia baru mengetahuinya
akhirnya ia masuk Islam.
59
عبذ اال عضا ذ ا ال ض عف فبن ا : عىم بب عف ا عى ص هللا ع
وم هللا ا عض فخعبف
Rasulullah saw.: “Hendaknya engkau memaafkan, karena tindakan
memaafkan itu akan menambahkan kemuliaan seorang hamba. Salinglah
memaafkan sehingga kalian mendapatkan kemuliaan dari Allah.”
(Muhammad, 2001: 249)
Pendidik harus menanamkan toleransi kepada peserta didik agar
memaafkan kesalahan orang lain dengan tidak membalas perbuatan yg
mereka lakukan. Dengan begitu peserta didik akan terbiasa memiliki jiwa
yang mulia. Dalam pendidikan harus dimulai dari kemuliaan jiwa karena
orang yg ikhlas itu hanyalah orang yang mulia jiwanya.
4. Segera bertaubat
Seorang hamba, jika berlindung kepada Allah, kemudian bertaubat
dengan segala kemampuannya, maka Allah memberi maaf dan
mengampuninya, betapapun besar dosanya. Sebab, ampunan dari Allah itu
lebih agung, dan kemurahan-Nya lebih besar. Sebagaimana dalam ayat ini
juga terkandung anjuran kepada hamba-hamba-Nya agar bertaubat kepada-
Nya dan peringatan bagi mereka agar jangan berputus asa (Al Maraghi,
1974: 123).
Seseorang yang apabila melakukan dosa dan segera memohon
ampun kepada Allah dan tidak mengulangi perbuatan dosanya itu, maka ia
telah bertobat kepada Allah. Jika seseorang itu benar-benar menyesal dan
bertobat dengan segala kemampuannya maka Allah akan mengampuninya
60
karena Allah Maha Pengampun. Dan tidak ada yang dapat mengampuni
dosa seorang hamba kecuali Allah SWT. Dengan selalu mengingat Allah,
maka seseorang akan terhindar dari perbuatan dosa, karena ia mengetahui
bahwa Allah selalu mengawasinya dan ia takut bahwa azab dari Allah
sangat pedih.
Orang mukmin yang bertakwa tidak akan melakukan dosa secara
terus menerus, sedang ia mengetahui larangan Allah tentang itu, dan
ancaman Allah bagi pelakunya. Dengan demikian, ia mengetahui bahwa
perbuatan dosa itu merupakan perbuatan fasik, dan keluar dari tatanan
syari‟at. Pada ayat yang telah disebutkan menunjukkan bahwa orang-orang
yang bertakwa yang telah disediakan surga oleh Allah untuk mereka
adalah orang-orang yang tidak terus menerus melakukan perbuatan dosa,
baik kecil maupun besar. Sebab, ingatnya mereka kepada Allah dapat
mencegah perbuatan dosa, karena terus-menerus melakukan dosa kecil
akan menjadi dosa besar (Al Maraghi, 1974: 124).
عشاس صغشة مع اال عخغفبس شة مع اال ال وب
“Tidak ada dosa besar yang disertai istighfar dan tidak ada dosa
kecil yang selalu dibarengi dengan keberlangsungan.”
Dalam pendidikan, seorang pendidik harus mengajarkan ilmu
pengetahuan tentang taubat. Agar jika peserta didik melakukan suatu dosa,
ia segera memohon ampun ketika dan tidak mengulanginya lagi, walaupun
itu dosa kecil. Karena dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus
akan menjadi dosa besar yang dapat mengakibatkan seseorang masuk ke
61
neraka. Dan saat peserta didik berbuat dosa, mereka segera beristighfar
memohon ampunan Allah, namun bukan sekedar membaca istighfar secara
lisan, tetapi bertaubat dengan sungguh-sungguh dan tidak mengulanginya
serta mengiringinya dengan perbuatan yang baik.
5. Berbuat Ihsan/baik
Yang dimaksud berbuat ihsan di sini adalah berbuat kebaikan yang
berlebih. Seperti menolong orang yang sedang membutuhkan, memberi
petunjuk jalan yang benar kepada orang yang tersesat, menginfakkan harta
di jalan Allah sebagai tanda kesyukuran, serta berbuat baik kepada orang
yang telah melakukan kesalahan kepada kita atau menyakiti hati kita,
bukan membalasnya dengan keburukan. Karena Allah sangat menyukai
orang-orang yang berbuat ihsan.
مه ححخب حج أن م جىج حجش عما اص ا ه ءامى ش از بش
األوبس
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan
berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 25)
Setiap pendidik pasti mengajarkan peserta didiknya untuk selalu
berbuat kebaikan. Namun, mengacu pada pendidikan karakter ini, peserta
didik diharapkan dapat berbuat kebaikan yang berlebih seperti yang telah
disebutan di atas, agar mereka dapat meraih derajat ketakwaan dan
memperoleh balasan surga.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan antara lain:
1. Konsep pendidikan karakter menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133
sampai 136 adalah:
a. Pendidikan karakter yang ditanamkan kepada peserta didik adalah
membentuk kepribadian yang baik bagi mereka dan
menyempurnakan diri peserta didik secara terus-menerus dengan
selalu bergegas dalam kebaikan.
b. Balasan berupa surga yang disebutkan Allah dalam surat tersebut
mengisyaratkan bahwa seyogyanya pendidikan karakter dimaksudkan
pendidik untuk menguatkan iman peserta didik.
c. Pendidikan karakter dalam surat Ali Imran ayat 133-136 menyatakan
bahwa berbuat kebaikan itu harus dijadikan kebiasaan. Karena dalam
pandangan Allah yang dinilai bukan hanya kebaikan itu sendiri tetapi
juga istiqomahnya kebaikan. Dalam melakukan kebaikan sedikit
tetapi konsisten itu lebih baik dibandingkan melakukan banyak
kebaikan tetapi tidak istiqomah.
2. Aktualisasi pendidikan karakter mengenai tafsir surat Ali Imran ayat 133-
136 dalam kehidupan sehari-hari antara lain:
63
a. Pendidik memberikan penanaman akhlak kepada peserta didik agar
membiasakan menginfakkan hartanya dan harus didasari lillahi ta‟ala.
b. Peserta didik dapat memanage emosi, dan pendidik senantiasa
menumbuhkan rasionalitas kepada peserta didik untuk mengalahkan
emosi.
c. Pendidik menanamkan toleransi kepada peserta didik agar memaafkan
kesalahan orang lain dan memiliki kemuliaan jiwa.
d. Peserta didik memiliki kesadaran untuk cepat mengkoreksi diri dan
cepat memperbaiki diri
e. Peserta didik dapat membiasakan diri berbuat kebaikan yang berlebih
seperti yang disebutkan di atas.
B. Saran
Penelitian yang dilakukan peneliti dalam bab pendidikan karakter ini
merupakan suatu ajakan kepada para pembaca khususnya penulis untuk
menanamkan karakter untuk bersegera dalam kebaikan seperti yang telah
disebutkan di atas dalam diri masing-masing. Karena orang yang memiliki
karakter tersebut akan mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2010. Islam dan Sekularisme. Alih bahasa
oleh Khalif Muammar, dkk. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan
Pengembangan Insan (PIMPIN).
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik).
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Asmani, Jamal Makmur. 2011. Tuntunan Lengkap Metodologi Praktis Penelitian
Pendidikan. Jogjakarta: DIVA Press
As-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasby. 2000. Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Athiyyah, Muhammad. 2003. Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam. Bandung:
Pustaka Setia
Hadi, Sutrisno. 1993. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset
Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: PT. Bumi
Aksara
Hidayatullah, M Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban
Bangsa. Surakarta: Yuma Pressindo.
Huda, Miftahul. 2009. Idealitas Pendidikan Anak. Malang: Malang Press
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tafsir
Ikhsan, Fuad. 2003. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya
Indar, Djumberansyah. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abditam.
Jumali dan Surtikanti. 2008. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah
Univercity Press
Katsir, Ibnu. 2006. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i
Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Miles, Mathew B. dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak
Dari Rumah. Yogyakarta: PT Bintang Pustaka Abadi
Purwanto, Ngalim. 2006. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Rajak, Nasruddin. 1993. Dienul Islam. Bandung: Al-Qur‟an Ma‟arif
Reysyahri, Muhammad M. 2001. Mizanul Hikmah. Jakarta: Nur Al-Huda
Ruslan, Rosady. 2010. Metode Penelitian: Public Relation & Komunikasi.
Jakarta: Rajawali Pers
Sadulloh, Uyoh. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Cet. VI. Bandung:
Alfabeta
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Kesesuaian
Alqur’an. Jakarta: Lentera Hati
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar ruzz.
Syafri, Ulil Amri. 2012. Pendidikan Karater Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
Zuchdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter grand Design dan Nilai-Nilai
Target. Yogyakarta: UNY Press
DAFTAR NILAI SKK
Nama
P A
:
:
AHMAD MUDASIR
Dr. Winarno, S. Si, M. Pd
NIM
Jurusan
:
:
111-12-162
PAI
No Jenis kegiatan Pelaksanaan Jabatan Nilai
1
Orientasi Pengenalan Akademik
dan Kemahasiswaan (OPAK)
“progresifitas Kaum muda,
kunci perubahan Indonesia”
05-07 September
2012 Peserta 3
2
Orientasi dasar keislaman
“membangun karakter
keislaman bertaraf
internasional di era globalisasi
bahasa”
10 September 2012 Peserta 2
3 Seminar “explore your
entrepreneurship talent” 11 September 2012 Peserta 2
4
Achievment motivation
training
“dengan AMT, bangun
karakter, raih prestasi”
12 September 2012 Peserta 2
5
Library user education
(pendidikan pemakai
perpustakaan)
13 September 2012 Peserta 2
6
Seminar regional oleh Resimen
Mahasiswa Sat. 953
“KALIMOSODO” “Indonesia
Satu”
29 Oktober 2012 Peserta 4
7 Bedah buku “24 Cara Mendongkrak IPK”
5 Desember 2012 Peserta 2
8
Pendidikan dasar
perkoperasian “Mencetak
Kader KOPMA Fatawa Yang
Berjiwa Koperasi dan
Enterpreneur dalam Rangka
Menghadapi Perekonomian
Global”
12-14 Februari
2013 Peserta 2
9
Seminar Nasional “Ahlusunnah
waljamaah dalam perspektif
Islam Indonesia”
26 Maret 2013 Peserta 8
10 Seminar Nasional “How to
develop the best generation” 1 Juni 2013 Peserta 8
11
Public hearing “STAIN
menuju IAIN dari mahasiswa
oleh mahasiswa untuk
mahasiswa”
10 Juni 2013 Peserta 2
12
Seminar Nasional “Mengawal
pengendalian BBM bersubsidi,
kebijakan BLSM yang tepat
sasaran serta pengendalian
inflasi dalam negeri sebagai
dampak kenaikan harga BBM
bersubsidi”
08 Juli 2013 Peserta 8
14
Surat Keterangan TPQ AR-
RAHMAN Mushala AR-
RAHMAN Kridanggo Salatiga
08 Februari 2014 Pengajar 21
15
Ibtida‟ lembaga dakwah
kampus (LDK) Darul Amal
STAIN Salatiga
12-13 April 2014 Peserta 2
16
Gebyar seni qur‟anyy umum
ke-IV se-Jawa Tengah
“Aktualisasi makna dan Syi‟ar
Al-Qur‟an sebagai Sumber
Inspirasi”
05 November 014 Peserta 4
17
Seminar Nasional “Perbaikan
mutu pendidikan melalui
profesionalitas pendidikan”
13 November 2014 Peserta 8
18
Pendidikan Anggota Dasar
(PAD) AL-KHIDMAH
Kampus Kota Salatiga
06-07 Desember
2014 Peserta 2
19
Seminar Regional
“Membangun Karakter
Kepemimpinan KSEI dalam
Akselerasi Pembumian Ajaran
Islam di Bidang Ekonomi”
13 Desember 2014 Peserta 4
20
International Seminar on the
Inaguration of IAIN Salatiga
“ASEAN Economic
Community 2015;Prospects
and Challenges for Islamic
Higher Education”
28 Februari 2015 Peserta 8
Ngabuburit dan dialog lintas
agama Salatiga Bhinneka
Tunggal Ika
30 Juni 2015 Peserta 2
21 Bedah buku “Muda 7 Warna”
oleh HMJ PAI IAIN Salatiga 23 September 2015 Peserta 2