paru penyakit asma akibat kerja
TRANSCRIPT
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
1/15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik.
Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan
yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang
yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
alergen.
Alergi dapat merupakan gangguan hipersensitivitas local atau sistemik. Kulit dan
saluran napas adalah organ yang paling sering terpajan alergen dan terlibat dalam penyakit
alergi. Reaksi alergi dapat juga terjadi di jaringan vaskular, traktus gastrointestinal, atau
organ lain. Anafilaksis merupakan bentuk reaksi alergi sistemik yang paling berbahaya.
Reaksi alergi yang kompleks dapat digambarkan sebagai berikut: reaksi diawali dengan
pajanan terhadap alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC), dipecah
menjadi peptida-peptida kecil, diikat molekul HLA (MHC II), bergerak ke permukaan sel dan
dipresentasikan ke sel Th-2. Sel Th-2 diaktifkan dan memproduksi sitokin-sitokin antara lain
IL-4 dan IL-13 yang memacuswitchingproduksi IgG ke IgE oleh sel B, terjadi sensitisasi sel
mast dan basofil, sedangkan IL-5 mengaktifkan eosinofil yang merupakan sel inflamasi
utama dalam reaksi alergi. Selain itu sel residen juga melepas mediator dan sitokin yang juga
menimbulkan gejala alergi.
1
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
2/15
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Penyakit Akibat Kerja
Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan sekitar 70.000
jenis bahan berupa logam, kimia, pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang
digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan
kemudahan bagi penduduk di seluruh dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut
menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera akibat kerja dapat
bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit penyakit
akibat pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati, saraf,
alat reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas.
Biological dan chemical terrorism yang mulai banyak dikhawatirkan ditujukan untuk
menimbulkan kematian atau penyakit pada manusia, hewan dan tanaman dengan
menggunakan bahan seperti anthrax, cacar, virus ensefalitis yang dikeringkan dan dijadikan
bubuk sehingga mudah disebarkan.
Penyakit pertama yang diduga merupakan Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah
silikosis yang sudah terjadi pada masa manusia membuat peralatan dari batu api.
Pengetahuan mengenai PAK masih terbatas karena sulitnya melakukan studi epidemiologi;
hal ini disebabkan berbagai hal seperti definisi PAK yang belum jelas, praktek hygiene
industri dan cara-cara laporan yang berbeda, tidak ada studi kontrol, tidak mungkin
menentukan gejala minimal, banyak karyawan tidak melapor dan sudah meninggalkan tempat
kerja sewaktu penelitian dilakukan sehingga hanya ditemukan survivor population. Hal
tersebut terlihat dari sedikitnya laporan PAK di Indonesia. PAK tersering adalah yang
mengenai saluran napas yaitu asma dan rinitis. PAK imunologik lain yaitu pneumonitis
hipersensitif yang mengenai paru dan PAK yang mengenai kulit.
II.2 Asma Akibat Kerja
Asma akibat kerja adalah asma karena paparan zat di tempat kerja. Secara klinis asma
akibat kerja sama dengan asma yang bukan karena kerja. Beberapa penelitian menemukan
bahwa lamanya paparan setelah gejala timbul dan beratnya asma saat diagnosa ditegakkan
sangat menentukan prognosis.
Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi saluran napas yang variabel dan
bronkus hiperesponsif yang disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal tersebut2
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
3/15
bermula dari inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau digunakan karyawan atau secara
tidak sengaja ditemukan dalam lingkungan kerja. Ciri dari semua asma kronis adalah
iritabilitas berlebihan terhadap berbagai rangsangan/factor dalam lingkungan kerja. Asma
yang timbul dalam lingkungan kerja dibedakan dalam dua kategori. Pertama adalah asma
yang disebabkan bahan/faktor dalam lingkungan kerja dan kedua asma yang sudah ada
sebelum bekerja dan dipicu (eksaserbasi) oleh bahan/ faktor dalam lingkungan kerja.5 Pada
karyawan yang sudah menderita asma sebelum bekerja, 15% akan memburuk akibat pajanan
terhadap bahan/ faktor dalam lingkungan kerja.
Asma akibat kerja yang menjadi permanen, menyebabkan penderita memiliki
disabilitas, harus pindah bekerja di bidang lain, bertambahnya biaya pengobatan, dan
turunnya kualitas hidup. Karenanya, perusahaan tempat ia berkerja dan mendapat asma
seharusnya memberikan kompensasi. Ironisnya banyak perusahaan malah memecat pekerja
tersebut. Untuk itu, perlu undang-undang yang mengatur kompensasi bagi penderita penyakit
alergi akibat kerja.
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan
faktor lingkungan.
1. Faktor genetik
Hipereaktivitas
Atopi/alergi bronkus
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
Jenis kelamin
Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)
Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu
sapi, telur)
Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum dan lain-lain)
Ekpresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
3
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
4/15
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktifitas
tertentu
Perubahan cuaca
II.3 Patofisiologi Asma
Suatu serangan asma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang
ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu
diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain
akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah
alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th
memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk
berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE). IgE yang terbentuk
akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila
proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi
rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang
sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan
basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel
yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan
menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow
releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis
(ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan menyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu :
kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan
menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam
terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas ,
peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut
menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi
darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia,
hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang sangat lanjut. (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994,
William R.S. 1995 )
II.4 Klasifikasi Asma
4
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
5/15
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2
agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat,
kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang
dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan pemeriksaan klinis termasuk uji
faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting
dalam penatalaksanaannya.
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1) Intermitten;
2)Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel 1)
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang
dewasa
Derajat asma Gejala Gejala malam
Intermitten Bulanan
- Gejala1x/minggu tetapi2 kali sebulan
- Serangan dapat mengganggu aktifiti dan tidur .
Persisten sedang Harian
- Gejala setiap hari.
- Serangan mengganggu aktifiti dan tidur.
- Membutuhkan bronkodilator setiap hari. - >2 kali sebulan
Persisten berat Kontinyu
- Gejala terus menerus - Sering
- Sering kambuh
5
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
6/15
- Aktifiti fisik terbatas
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004
2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative
for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda
klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi
yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan
sedang dan asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut).
Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja,
tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan
asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak harus lengkap
untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani
pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada. Penilaian
tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberikan respon yang
kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko
tinggi.
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan
Parameter klinis,
fungsi faal paru,
laboratorium
Ringan Sedang Berat Ancaman henti
napas
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Bisa
berbaring
Lebih suka duduk Duduk
bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin
iritabel
Biasanya iritabel Biasanya
iritabel
Kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
6
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
7/15
Wheezing , Sedang,
sering hanya
pada akhir
ekspirasi
Nyaring,sepanjang
ekspirasiinspirasi
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop
Sulit/tidak
terdengar
Penggunaan otot
bantu respiratorik
Biasanya
tidak
Biasanya ya Ya Gerakan
paradok torako-
abdominal
Retraksi Dangkal,
retraksi
interkostal
Sedang, ditambah
retraksi
suprasternal
Dalam,
ditambah napas
cuping hidung
Dangkal / hilang
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
SaO2 % >95% 91-95% 90%PaO2 Normal
(biasanya
tidak perlu
diperiksa)
>60 mmHg
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
8/15
Metilsantin
Kortikosteroid
sistemik
Terbutalin
Prokaterol
Fenoterol
Ipratropium bromide
Teofilin
Aminofilin
Teofilin lepas lambat
Metilprednisolon
Prednison
turbuhaler, solution,
ampul (injeksi)
IDT
IDT, solution
IDT, solution
Oral
Oral, injeksi
Oral
Oral, inhaler
Oral
IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer
Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser
Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet
Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv
II.5 Reactive Airways Dysfunction Syndrome
Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS) atau irritant induced asthma adalah
reaksi non-imunologik serupa asma yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar
iritan (Toluen Diisosianat/TDI, klorin, fosgen) yang tinggi. Hipereaktivitas bronkus dapat
menetap sedikitnya satu tahun pasca pajanan tersebut. Pajanan terhadap iritan kadar rendah
untuk jangka waktu yang lama dapat juga menimbulkan reaksi serupa.
Dewasa ini, sekitar 250 bahan dalam lingkungan kerja sudah diketahui dapat
menimbulkan asma. Bahan-bahan dengan berat molekul tinggi (HMW seperti bahan asal
hewan, tanaman seperti tepung, kopi, soya) biasanya menginduksi sintesis IgE dan memicu
reaksi asma alergi tipe I. Bahan dengan berat molekul rendah (LMW) seperti TDI, Trimellitic
Anhydride/TMA, platina, nickel merupakan hapten yang berikatan dengan protein pembawa
asal tubuh yang dapat memacu sintesis IgE. Bahan HMW berhubungan, sedang bahan LMW
tidak berhubungan dengan atopi. HMW biasanya menimbulkan reaksi dini dan lambat,
sedangkan LMW reaksi lambat terisolasi.
Bisinosis adalah gejala saluran napas serupa asma dalam berbagai derajat yang
disebabkan oleh pajanan terhadap serat kapas. Oleh karena gejala awal bisinosis terjadi pada
hari kerja pertama yang biasanya hari Senin, bisinosis disebut juga Monday morning fever
atau Monday moning chest tightness atau Monday morning asthma. Bisinosis lebih sering
8
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
9/15
ditemukan pada karyawan pemintalan yang terpajan debu kapas kadar tinggi dibanding
karyawan pertenunan.
Pneumonitis hipersensitif (PH) adalah penyakit parenkim paru akibat pajanan dan
sensitisasi terhadap berbagai debu organik, misalnya produk bakteri, jamur dan protein asal
tanaman. Diisosianat yang digunakan dalam produksi poliuretan, busa, plastik dapat pula
menimbulkan PH. Reaksi yang terjadi pada PH dewasa ini dianggap sebagai campuran reaksi
Tipe III dan Tipe IV.
II.6 Cara Mendiagnosis Asma Akibat Kerja
Untuk menegakkan diagnosis AAK, perlu diketahui riwayat atopi, penilaian pajanan,
imunologi (molekular dan selular), foto paru dan fisiologi seperti hipereaktivitas bronkus,
fungsi paru serial, uji inhalasi spesifik yang merupakan gold standard.
Diagnosis asma akibat kerja pada prinsipnya adalah menghubungkan gejala klinis
asma dengan lingkungan kerja; oleh karenanya dibutuhkan suatu anamnesis yang baik dan
pemeriksaan penunjang yang tepat. Anamnesis teliti mengenai apa yang terjadi di lingkungan
kerjanya merupakan hal penting; seperti : kapan mulai bekerja di tempat saat ini, apa
pekerjaan sebelum di tempat kerja saat ini, apa yang dikerjakan setiap hari, proses apa yang
terjadi di tempat kerja, bahan-bahan yang dipakai dalam proses produksi serta data bahan
tersebut. Dan yang tak kalah penting adalah peninjauan lapangan oleh pemeriksa (dokter)
untuk lebih memahami situasi lapangan.
Selain anamnesis mengenai tempat kerja, yang perlu juga diketahui adalah mengenai
klinis yang terjadi. Kapan mulai timbulnya keluhan, sejak mulai masuk tempat tersebut atau
yang dikenal sebagai masa laten. Masa laten dapat beberapa minggu sampai beberapa tahun,
umumnya 1-2 tahun.Klinis sesak, batuk, mengi dapat timbul sewaktu kerja, setelah kerja
(sore maupun malam) atau keduanya. Bila frekuensi serangan lebih sering/memburuk
sewaktu hari kerja dibandingkan hari libur atau akhir minggu maka dapat diduga asma yang
timbul berhubungan dengan tempat kerja.
Pemeriksaan penunjang Spirometri (pemeriksaan FEV1) sebelum dan sesudah shift.
Dikatakan positif bila terjadi penurunan FEV1 sebesar lebih dari 5% antara sebelum dan
sesudah kerja; pada orang normal variabel tersebut kurang dari 3%. Pemeriksaan ini oleh
banyak ahli diragukan sensitivitasnya karena pada suatu penelitian hanya 20% penderita
asma disebabkan colophony yang turun FEV1nya selama workshift; sedangkan penurunan
FEV1 juga dijumpai pada 10% kelompok orang yang tidak asma (kontrol).
9
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
10/15
Cara lain adalah pengukuran FEV1 dan FVC pada pekerja (tersangka asma akibat
kerja) yang dikeluarkan dari lingkung an kerjanya dan kemudian diukur ulang sewaktu
bekerja kembali. Apabila hasilnya memperlihatkan perbaikan selama meninggalkan tempat
kerja dan didukung oleh perbaikan ke luhan maka dapat disimpulkan hubungan keluhan
klinis dan tempat kerja.
PEFR : Pemeriksaan serial PEFR (peak expiratory flow rate) selama hari-hari kerja
dan beberapa hari libur di rumah, merupakan pemeriksaan asma akibat kerja yang terbaik.
Dikatakan positif respons bila kurva pengukuran selama hari libur di rumah lebih baik dari
sewaktu hari kerja.
Tes provokasi
Ada dua macam pemeriksaan:
1. Non spesifik yaitu provokasi bronkus menggunakan histamin atau metakolin.
Pemeriksaan ini hanya membuktikan bronkus hiperreaktif .
2. Spesifik yaitu provokasi bronkus menggunakan alergen yang diduga
penyebab. Pemeriksaan ini bila dapat dilaksanakan merupakan cara
pembuktian terbaik bahwa alergen tempat kerja merupakan penyebab.
Kesulitannya terletak pada penentuan alergen penyebab dan reproduksinya
bila telah diketahui.
Tes kulit dan tes serologi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan apabila agen penyebab nya bahan dengan berat
molekul besar karena akan merangsang terjadinya reaksi imunologi (IgE).
II.7 Penatalaksanaan Asma Akibat Kerja
Untuk mencegah terjadinya asma akibat kerja maka pemeriksaan kesehatan sebelum
kerja, pemakaian alat pelindung, pemantauan polutan di udara lingkungan kerja sangat
dianjurkan. Bila telah terjadi asma akibat kerja, maka pemindahan ke luar lingkungan kerja
merupakan hal penting. Apabila karena sesuatu hal tidak bisa dipindahkan maka harus
dilakukan upaya pencegahan dan pemantauan penurunan fungsi paru.
Evaluasi fungsi paru secara berkala pada pekerja yang sudah menderita asma akibat
kerja diperlukan untuk mencegah kecacatan. Klinis asma akan menetap sampai beberapa
tahun meskipun pekerja tersebut sudah keluar dari lingkungan kerjanya.
Pengobatan medikamentosa pada pasien asma akibat kerja sama seperti asma bronkial
pada umumnya:10
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
11/15
Teofilin, merupakan bronkodilator dan dapat menekan neutrophil chemotactic factor.
Efektifitas kedua fungsi di atas tergantung dari kadar serum teofilin.
Agonis beta, merupakan bronkodilator yang paling baik untuk pengobatan asma
akibat kerja dibandingkan dengan antagonis kolinergik (ipratropium bromid).
Kombinasi agonis beta dengan ipratropium bromid memperbaiki fungsi paru lebih
baik dibanding hanya beta agonistsaja.
Kortikosteroid, dari berbagai penelitian diketahui dapat mencegah bronkokonstriksi
yang disebabkan oleh provokasi bronkus menggunakan alergen. Selain itu juga akan
memperbaiki fungsi paru, menurunkan eksaserbasi dan hiperesponsivitas saluran nafas dan
pada akhirnya akan memperbaiki kualitas hidup.
11
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
12/15
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Asma akibat kerja adalah asma karena paparan zat di tempat kerja. Secara klinis asma
akibat kerja sama dengan asma yang bukan karena kerja. Beberapa penelitian menemukan
bahwa lamanya paparan setelah gejala timbul dan beratnya asma saat diagnosa ditegakkan
sangat menentukan prognosis. Selain itu, menghindari paparan alergen penyebab ternyata
hanya memberi kesembuhan 50 % penderita. Penelitian retrospektif menunjukkan gejala
asma, obstruksi bronkus, dan hiperreaktivitas menetap walau tidak ada paparan alergen lagi.
Dengan demikian, jelas tindakan preventif yang tepat sangat diperlukan.
Pencegahan tingkat kedua dengan deteksi diri pekerja yang menderita penyakit
tersebut dan menghentikan paparan lebih lanjut. Ini akan mengurangi progresifitas penyakit,
sehingga tidak menjadi lebih berat. Dokter perusahaan harus melakukan pemantauan medis
secara rutin, khususnya pada pekerja yang banyak terpapar alergen.
Tindakan di tingkat tersier adalah menghindarkan pekerja yang telah terdiagnosis dari
lingkungan kerja sebelumnya yang banyak alergen, ke lingkungan kerja bebas alergen. Hal
ini akan mencegah kerusakan akibat asma dan hiperreaktivitas yang menetap.
Asma akibat kerja yang menjadi permanen, menyebabkan penderita memiliki
disabilitas, harus pindah bekerja di bidang lain, bertambahnya biaya pengobatan, dan
turunnya kualitas hidup. Karenanya, perusahaan tempat ia berkerja dan mendapat asma
seharusnya memberikan kompensasi.
III.2 Saran
Saat ini sekitar 7 dari 100 pekerja penuh ( full time ) yang bekerja di sektor swasta
setiap tahunnya mengalami kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Di dunia sekitar 2,8 juta
kasus mengakibatkan hilangnya waktu berproduksi dan setiap tahunnya pula 6000 pekerja
meninggal dunia akibat kecelakaan di tempat kerja.
Perencanaan perlu dilaksanakan untuk mengidentifikasi bahaya penilaian
pengendalian resiko. Perencanaan harus didokumentasikan dan terus diperbaharui sesuai
dengan keadaan. Mengidentifikasikan bahaya, resiko dan implementasi pencegahan termasuk
kegiatan rutin dan non rutin, dan kegiatan setiap personal yang mempunyai akses ke tempat
kerja termasuk kontraktor dan tamu.
12
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
13/15
Metode untuk mengidentifikasi bahaya dan penilaian resiko :
Mendefinisikan sesuai ruang lingkup, sifat alami dan waktu untuk memastikan
proaktif.
Klasifikasi resiko dan identifikasi mana yang harus dihilangkan atau dikontrol. Konsisten dengan pengalaman operasi dan kemampuan pengontrolan resiko yang
dimiliki.
Menentukan fasilitas yang diperlukan, identifikasi pelatihan yang mungkin diperlukan
atau pengembangan kontrol opersional.
Memonitor langkah-langkah yang mungkin yang diperlukan untuk memastikan
efektivitas dan ketepatan waktu implementasi.
Identifikasi bahaya, penilaian resiko dan pengontrolan resiko dijelaskan dalam formulir
HIRARC (Hazard Identification Resico Assesement dan Resico Control).
Suatu perusahaan harus mempunyai kebijakan untuk selalu mamperhatikan dan menjamin
implementasi, peraturan keselamatan, kesehatan dan lingkungan yang meliputi :
Peningkatan berkelanjutan
Sesuai dengan aturan dan perundangan keselamatan dan kesehatan ditempat kerja
yang berlaku. Mengkomunikasikan keseluruh karyawan agar karyawan sadar dan mawas mengenai
kewajiban keselamatan dan kesehatan pribadi.
Dapat diketahui atau terbuka bagi pihak-pihak yang berminat.
Evaluasi berkala untuk mempertahankan agar tetap relevan dan sesuai dengan
perusahaan.
Perusahaan juga harus memiliki kewajiban-kewajiban didalam manajemen keselamatan kerjayaitu :
1. Safety Policy
Mendefinisikan kebijaksanaan umum suatu perusahaan didalam hal keselamatan kerja.
2. Organisation / Management Commitment
Merinci komitmen manajemen disetiap level dan dalam bentuk tindakan sehari-hari.
3. Accountability
13
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
14/15
Mengindikasikan hal-hal yang dapat dilaksanakan oleh bawahan untuk menjamin
keselamatan kerja.
Yang dimaksud Accountability dalam manajemen keselamatan kerja adalah suatu
pengukuran yang aktif oleh manajemen untuk menjamin terpenuhinya suatu target
keselamatan. DidalamAccountability ini tercakup dua hal yaitu :
1. Responsibility
Yaitu keharusan menanggung aktivitas dan akibat-akibatnya didalam suatu keselamatan.
2.Authority
Yaitu hak untuk memperbaiki, memerintahkan dan menentukan arahan dan tahapan suatu
tindakan.
14
-
7/29/2019 Paru Penyakit Asma Akibat Kerja
15/15
DAFTAR PUSTAKA
1. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3rd edition, vol. 2,
Philadelphia, Pennsylvania. 54:1575-1614, 2000.
2. Buchari : Manajemen Kesehatan Kerja dan Alat Pelindung Diri, 2007.
3. Cermin Dunia Kedokteran : Penyakit Akibat Kerja, 2006
4. Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp. JP(K) : Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008
5. http//www.wikipedia.penyakit akibat kerja-k3.com
15