penjelasan paru

Upload: mediaaprina

Post on 16-Oct-2015

125 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Paru

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Penyakit saluran nafas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan

    erat dengan lamanya pajanan terhadap debu tertentu karena pada dasarnya

    saluran pernafasan merupakan salah satu bagian yang paling mudah terpapar

    oleh bahan-bahan yang mudah terhirup yang terdapat di lingkungan. Di negara

    yang sedang berkembang ditemukan banyak orang yang bekerja pada industri

    pengolahan bahan baku keramik. Seperti telah diketahui bahwa industri bahan

    baku pembuatan keramik adalah industri yang menghasilkan banyak debu baik

    dari mulai pengolahan bahan baku hingga sampai pada proses pengepakan yang

    mengakibatkan pekerja terpajan dengan debu (Siregar, 2004). Ada banyak bahan

    baku mineral yang diolah pada jenis industri ini diantaranya adalah pasir silika

    dan feldspar.

    Pada dasarnya ada berbagai macam bahaya di tempat kerja yang bisa

    mengancam kesehatan pekerja maupun orang-orang yang berada di sekitar

    lingkungan perusahaan. Lingkungan kerja yang sering penuh oleh debu, uap, gas

    dan lainnya dapat mengganggu produktivitas dan mengganggu kesehatan.

    Namun untuk jenis industri bahan baku keramik, akibat dari proses mekanis dari

    material padatan seperti penghancuran, penggrindaan, maupun penggilingan

    bahan baku akan menghasilkan partikel padat yang biasa disebut dengan debu.

  • 2

    Hal inilah yang sering menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan

    ataupun dapat mengganggu nilai Kapasitas Vital Paru. Dalam kondisi tertentu,

    debu merupakan bahaya yang dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan

    kerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi faal paru yang dimulai dari

    penyakit saluran nafas kecil bahkan dapat menimbulkan keracunan umum.

    Adapun Penyakit-penyakit dari saluran nafas kecil adalah merupakan awal dari

    terjadinya COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) (Depkes RI, 2003).

    Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2007,

    diantara semua penyakit akibat kerja 30% sampai 50% adalah penyakit silikosis

    dan penyakit pneumokoniosis lainnya. Selain itu juga, ILO (International Labour

    Organization) mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru pneumokoniosis

    (penyakit saluran pernafasan) yang disebabkan oleh paparan debu tempat kerja

    terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya.

    Debu yang terhirup oleh tenaga kerja menyebabkan timbulnya reaksi

    mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport

    mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat

    terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya

    bila konsentrasi debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga

    mengalami gangguan dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir

    makin banyak atau mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi

    saluran napas sehingga resistensi jalan napas meningkat (Yunus,1997).

  • 3

    Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat yang serius.

    Lebih dari 3% kematian akibat penyakit paru kronik di New York adalah

    berhubungan dengan pekerjaan (WHO, 2007). Sebuah studi kasus kontrol di

    Mesir pada pekerja industri keramik didapatkan hasil bahwasannya pekerja yang

    terpapar debu keramik lebih banyak ditemukan gejala terhadap saluran

    pernafasan seperti batuk, demam dan produksi sputum dibandingkan dengan

    kelompok kontrol (Hisham, 2010).

    Kasus pneumokoniosis menempati urutan pertama Occupational

    Diseases (OD) di Negara Jepang dan China (ILO, 2005). Sebuah studi cross

    sectional yang dilakukan di Iran terhadap pekerja industri bahan baku keramik

    didapatkan hasil yang signifikan antara paparan debu terhadap KVP dibawah

    normal pada pekerja produksi bahan baku. Selain itu juga, hasil dari test rontgen

    dada menunjukkan bahwa telah terjadinya abnormalitas pada paru-paru pekerja

    (Neghab, 2007).

    Di Indonesia, penyakit atau gangguan paru akibat kerja yang disebabkan

    oleh debu terutama dari bahan baku industri keramik diperkirakan cukup banyak,

    meskipun data yang ada masih kurang. Hasil pemeriksaan kapasitas paru yang

    dilakukan di Balai HIPERKES (Higyne Perusahan dan Kesehatan) Sulawesi

    Selatan pada tahun 1999 terhadap 200 tenaga kerja di 8 perusahaan semen

    bukanlah industri keramik, namun memiliki jenis debu yang sama yaitu debu

    anorganik diperoleh hasil sebesar 45% responden yang mengalami restrictive,

    1% responden yang mengalami obstructive, dan 1% responden yang mengalami

  • 4

    combination (kombinasi). Kemudian, studi kasus epidemiologi secara cross

    sectional pada populasi pekerja industri keramik A di Kabupaten Tanggerang

    didapatlah hasil bahwasannya variabel kebiasaan merokok, status gizi, dan usia

    pekerja mempengaruhi kelainan fungsi paru pekerja (Siregar, 2004).

    Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan

    berkumpul di bagian awal saluran limfe paru, sehingga pada akhirnya dapat

    menimbulkan kelainan fungsi atau penurunan nilai kapasitas paru. Kelainan

    tersebut terjadi akibat rusaknya jaringan paru-paru yang bersifat profresif dan

    ireversibel (tidak dapat kembali normal) dapat berpengaruh terhadap

    produktivitas dan kualitas kerja.

    Indonesia memiliki empat (4) buah perusahan yang bergerak dibidang

    pengadaan bahan baku keramik dan kaca yaitu PT. Mark Dynamic, PT. Arwana

    Citra Mulia Tbk, PT. Tri Marga Jaya Hutama dan PT. Sibelco Lautan Minerals.

    Adapun dari keempat perusahaan ini yang terbesar adalah PT. Sibelco Lautan

    Minerals (Kemendagri, 2009). Perusahaan ini mengolah bahan baku keramik

    seperti pasir silika dan feldspar yang sudah pasti menghasilkan debu pada proses

    produksi hingga pendistribusiannya. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga

    Kerja No. SE-01/MEN/1997 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk debu total

    lingkungan kerja adalah 10 mg/m3.

    Data hasil pemantauan lingkungan terhadap konsentrasi debu tahun 2010

    yang dilakukan pihak perusahaan pada tiga titik (gudang nepheline, grinding

  • 5

    mill, packing machine) area plant produksi didapatkanlah hasil konsentrasi debu

    yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) sebesar 11.27 mg/m3 pada area

    packing. Sementara pada area lain, dibagian produksi seperti area stock pile tidak

    dilakukan pemantauan konsentrasi debu. Kemudian pada area office dilakukan

    pemantauan pada satu titik yaitu laboratorium dan menghasilkan konsentrasi

    debu yang berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) yaitu sebesar 1.143

    mg/m3.

    Berdasarkan data hasil tes spirometri yang dilakukan di PT. Sibelco

    Lautan Minerals pada tahun 2009 sampai 2011 khususnya pada pekerja bagian

    plant didapatlah peningkatan jumlah presentase KVP dibawah normal setiap

    tahunnya. Pada tahun 2009 terdapat sebesar 7,69% pekerja yang menderita KVP

    dibawah normal, kemudian tahun 2010 meningkat menjadi 15,39% dan pada

    tahun 2011 kembali meningkat hingga 23,08%. Selain itu juga, pada pekerja

    bagian plant yang telah diwawancarai terdapat keluhan subjektif yang dirasakan

    7 dari 10 pekerja seperti batuk kering, sesak nafas dan kelelahan umum.

    Selain itu juga, gangguan faal paru tidak hanya disebabkan oleh

    konsentrasi debu yang tinggi saja, melainkan juga dipengaruhi oleh karakteristik

    yang terdapat pada individu pekerja seperti usia, masa kerja, pemakaian Alat

    Pelindung Diri (APD) jenis masker, riwayat merokok dan riwayat penyakit

    (Sirait, 2010). Kemudian, adanya kebiasaan merokok yang dilakukan oleh

    beberapa pekerja dilingkungan kerja ketika waktu istirahat atau bahkan pada jam

    kerja di area plant akan membuat kondisi lingkungan tempat kerja dan diri

  • 6

    pekerja sendiri lebih beresiko terhadap gangguan kesehatan terutama gangguan

    terhadap sistem pernafasan termasuk di dalamnya paru-paru. Oleh karena itulah

    peniliti ingin mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik

    pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta pada tahun 2011.

    1.2 Rumusan Masalah

    Kapasitas Vital Paru (KVP) yang buruk pada seseorang dapat disebabkan

    oleh tingginya konsentrasi debu yang terhirup oleh orang tersebut. Namun, nilai

    KVP seseorang tidak hanya disebabkan oleh konsentrasi debu yang tinggi saja,

    melainkan juga dipengaruhi oleh karakteristik yang terdapat pada individu

    pekerja seperti usia, masa kerja, pemakaian alat pelindung diri jenis masker,

    riwayat merokok dan riwayat penyakit (Sirait, 2010). Adapun berdasarkan Surat

    Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-01/MEN/1997 Nilai Ambang Batas (NAB)

    untuk debu total lingkungan kerja adalah 10 mg/m3.

    Gambar 1.1

    Kondisi Lingkungan Kerja PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011

  • 7

    Berdasarkan hasil pemantauan lingkungan kerja pada salah satu area

    plant PT. Sibelco Lautan Minerals menghasilkan konsentrasi debu melibihi NAB

    yaitu sebesar 11.27 mg/m3 dan terdapat keluhan subjektif yang dirasakan oleh 7

    dari 10 pekerja bagian plant tersebut seperti batuk kering, sesak nafas, dan

    kelelahan umum. Selain itu juga adanya aktifitas merokok yang dilakukan oleh

    para pekerja di lingkungan kerja akan membuat kondisi lingkungan tempat kerja

    dan diri pekerja sendiri lebih beresiko terhadap gangguan kesehatan terutama

    gangguan terhadap sistem pernafasan termasuk didalamnya paru-paru. Oleh

    karena itulah peneliti ingin mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan

    karakteristik pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco

    Lautan Minerals Jakarta pada tahun 2011.

    1.3 Pertanyaan Penelitian

    1. Bagaimana gambaran KPV pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta tahun 2011?

    2. Bagaimana gambaran lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu) pada

    pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011?

    3. Bagaimana gambaran karakteristik pekerja (usia, kebiasaan olahraga,

    kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker) pada

    pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011?

  • 8

    4. Apakah lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu) berhubungan dengan

    KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta

    tahun 2011?

    5. Apakah karakteristik pekerja (usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan

    merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker) berhubungan

    dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals

    Jakarta tahun 2011?

    1.4 Tujuan Penelitian

    1.4.1 Tujuan Umum

    Diketahuinya hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik

    pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta pada tahun 2011..

    1.4.2 Tujuan Khusus

    1. Diketahuinya gambaran KPV pada pekerja bagian plant PT. Sibelco

    Lautan Minerals Jakarta tahun 2011.

    2. Diketahuinya gambaran lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu)

    pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun

    2011.

    3. Diketahuinya gambaran karakteristik pekerja (usia, kebiasaan

    olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan

  • 9

    masker) pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals

    Jakarta tahun 2011.

    4. Diketahuinya hubungan lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu)

    dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals

    Jakarta tahun 2011.

    5. Diketahuinya hubungan faktor karakteristik pekerja (usia, kebiasaan

    olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan

    masker) dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta tahun 2011

    1.5 Manfaat Hasil Penelitian

    1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti

    Sebagai sarana untuk menambah wawasan pengetahuan dan

    pengalaman penelitian sehingga dapat diterapkan dalam praktik

    sesungguhnya.

    1.5.2 Manfaat Bagi Civitas Akademika

    Memberikan manfaat bagi program kesehatan sebagai dasar untuk

    penelitian lebih lanjut pada industri pengadaan bahan baku keramik

    didaerah tempat penelitian maupun ditempat lain.

  • 10

    1.5.3 Manfaat Bagi Perusahaan

    1. Memberikan gambaran tentang faktor-faktor berhubungan dengan KVP

    pekerjanya khususnya pekerja bagian plant.

    2. Memberikan solusi alternatif pada perusahaan mengenai hasil penelitian

    yang diperoleh melalui uji statistik.

    1.6 Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan pada perusahan pengolah bahan baku keramik

    yaitu PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta pada bulan April hingga September

    tahun 2011. Desain penelitian ini adalah crossectional bersifat kuantitatif untuk

    mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik pekerja dengan

    KVP pada pekerja bagian plant. Penelitian ini dilakukan karena adanya

    konsentrasi debu pada area plant yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB)

    debu di tempat kerja yaitu 11.27 mg/m3

    dari NAB sebesar 10 mg/m3 (Surat

    Edaran Menteri Tenaga Kerja nomor 01 tahun 1997). Kemudian data hasil

    spirometri pekerja bagian plant mengalami kecenderungan peningkatan jumlah

    pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru tiap tahunnya dari 7.69% (2009),

    15.39% (2010) dan 23.08% (2011). Selain itu juga, terdapat keluhan subjektif

    seperti batuk kering, sesak nafas dan kelelahan umum pada beberapa pekerja

    bagian plant. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

    primer yang diperoleh dengan cara pengukuran menggunakan spirometri,

    pengisian kuisioner dan pengukuran kosentrasi debu total yang diterima pekerja.

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Kapasitas Paru-Paru

    Dalam penguraian peristiwa-peristiwa dalam sirkulasi paru, kadang-kadang

    di perlukan untuk menyatukan dua volume atau lebih. Kombinasi seperti itu disebut

    sebagai kapasitas paru. Menurut Guyton (1997), kapasitas paru dapat diuraikan

    sebagai berikut :

    1) Kapasitas inspirasi (IC)

    Inspiration Capacity (IC) adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh

    seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru

    sampai jumlah maksimum (kira-kira 3500 mL). Nilai kapasitas ini

    merupakan hasil dari penjumlahan nilai volume tidal (VT) dengan volume

    cadangan inspirasi (IRV).

    2) Kapasitas residu fungsional (FRC)

    Fungtional Residual Capacity (FRC) adalah jumlah udara yang tersisa dalam

    paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 mL). Nilai kapasitas ini

    hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi (IRV) ditambah volume

    cadangan ekspirasi (ERV).

  • 12

    3) Total Lung Capacity (TLC)

    Kapasitas paru total (TLC) adalah volume maksimum di mana paru dapat

    dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa (kira-kira 5800 mL).

    4) Vital capacity (VC/KPV)

    Kapasitas vital paru (VC) adalah jumlah gas yang dapat diekspirasisetelah

    inspirasi secara maksimal. VC = VT + IRV + ERV (seharusnya 80 % TLC)

    Besarnya adalah 4800 ml.

    2.1.1 Kapasitas Vital Paru (KVP)

    Kapasitas Vital Paru (KVP) adalah kemampuan paru

    untuk menghisap atau menghembuskan udara secara maksimal

    (Usin, 2000). Nilai KVP sama dengan volume cadangan inspirasi

    (IRV) ditambah volume tidal (VT) dan volume cadangan ekspirasi

    (ERV). Ini adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan

    seorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara

    maksimum dan dikeluarkan sebanyak-banyaknya (kira-kira 4600

    mL) (Guyton, 1997). Adapun nilainya diukur dengan cara individu

    melakukan inspirasi maksimum, kemudian menghembuskan

    sebanyak mungkin udara di dalam parunya ke alat pengukur

    (Corwin, 2001).

  • 13

    Ada dua macam kapasitas vital berdasarkan cara pengukurannya:

    1) Vital Capacity (VC): pada pengukuran jenis ini individu

    tidak perlu melakukan aktivitas pernafasan dengan

    kekuatan penuh

    2) Forced Vital Capacity (FVC): pada pengukuran ini

    pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan maksimal

    Pada orang normal tidak ada perbedaan antara kapasitas

    vital dan kapasitas vital paksa, tetapi pada keadaan ada gangguan

    obstruktif terdapat perbedaan antara kapasitas vital dan kapasitas

    vital paksa. Adapun standar KVP dibagai kedalam perbedaan

    jenis kelamin adalah:

    Tabel 2.1

    Nilai Standar KVP

    Usia Laki-Laki Perempuan

    4 700 600

    5 850 800

    6 1070 980

    7 1300 1150

    8 1500 1350

    9 1700 1550

    10 1950 1740

    11 2200 1950

  • 14

    Usia Laki-Laki Permpuan

    12 2540 2150

    13 2900 2350

    14 3250 2480

    15 3600 2700

    16 3900 2700

    17 4100 2750

    18 4200 2800

    19 4300 2800

    20 4320 2800

    21 4320 2800

    22 4300 2800

    23 4280 2790

    24 4250 2780

    25 4220 2770

    26 4200 2760

    27 4180 2740

    28 4150 2720

    29 4120 2710

    30 4100 2700

    31-35 3900 2640

    36-40 3800 2520

    41-45 3600 2390

    46-50 3410 2250

    51-55 3240 2160

    56-60 3100 2060

  • 15

    Usia Laki-Laki Permpuan

    61-65 2970 1960

    (Sumber: Koesyanto, 2005)

    Pengukuran KVP seringkali digunakan di klinik sebagai

    indeks fungsi paru khususnya ventilasi paru-paru dan dinding

    dada. Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi

    mengenai kekuatan otot-otot pernafasan serta beberapa aspek

    fungsi pernapasan lain. Hasil dari tes fungsi paru tidak dapat

    untuk mendiagnosis suatu penyakit paru-paru tapi hanya

    memberikan gambaran KVP dibawah normal yang dapat

    dibedakan atas:

    a. Kelainan obstruktif (kelainan pada ekspirasi)

    Setiap keadaan hambatan aliran udara karena adanya

    sumbatan atau penyempitan saluran nafas. Kelainan

    obstruktif akan mempengaruhi kemampuan ekspirasi.

    b. Kelainan restriktif (kelainan pada inspirasi)

    Gangguan pada paru yang menyebabkan kekakuan

    paru sehingga membatasi pengembangan paru-paru.

    Gangguan restriktif mempengaruhi kemampuan inspirasi

    (Price, 1995).

  • 16

    Adapun kriteria gangguan fungsi paru yang dibagi

    kedalam 4 kriteria, yaitu:

    Tabel 2.2

    Kriteria Gangguan Fungsi Paru Menurut ATS (American Thoracic Society)

    KVP (%) Kategori

    80%

    60-79%

    51-59%

    50%

    Normal

    Restriksi ringan

    Restriksi sedang

    Restriksi berat

    2.1.2 Alat Ukur Kapasitas Vital Paru (KVP)

    Adapun alat yang dapat digunakan untuk mengukur KVP adalah

    spirometri. Spirometri merupakan alat dengan metode sederhana yang

    dapat mengukur volume paru utama yang nantinya akan dijumlahkan

    tergantung kebutuhan untuk mendapatkan nilai kapasitas paru utama.

    Untuk nilai volume paru utama yang diperoleh dibagi atas volume statis

    paru dan volume dinamis paru yang terdiri dari:

    1) Volume statis paru

    a. Volume tidal (VT) = jumlah udara yang dihirup dan dihembuskan

    setiap kali bernapas pada saat istirahat. Volume tidal normalnya

    adalah 350-400 ml.

  • 17

    b. Volume residu (RV) = jumlah gas yang tersisa di paru-paru

    setelah menghembuskan napas secara maksimal atau ekspirasi

    paksa. Nilai normalnya adalah 1200 ml

    c. Volume cadangan inspirasi (IRV) = jumlah udara yang dapat

    diinspirasi secara paksa sesudah inspirasi volume tidal normal.

    d. Volume cadangan ekspirasi (ERV) = jumlah udara yang dapat

    diekspirasi secara paksa sesudah ekspirasi volume tidal normal.

    2) Volume dinamis paru

    Volume ini dihitung melalui nilai Force Vital Capacity

    (FVC) yang merupakan volume udara maksimum yang dapat

    dihembuskan secara paksa atau kapasitas vital paksa yang umumnya

    dicapai dalam 3 detik, normalnya 4 liter dan FEV1 (Forced Expired

    Volume in one second) merupakan volume udara yang dapat

    dihembuskan paksa pada satu detik pertama normalnya 3,2 liter.

    Pada orang normal persentase kapasitas vital kuat yang dikeluarkan

    pada detik pertama (FEV1/FVC%) adalah 80%. Pada obstruksi

    saluran nafas yang serius, yang sering terjadi pada asma akut,

    kapasitas ini dapat berkurang menjadi kurang dari 20% (Guyton,

    1994).

  • 18

    2.2 Penyakit Paru Akibat Kerja

    Berbagai penyakit dapat timbul dalam lingkungan pekerjaan yang

    mengandung debu industri terutama pada konsentrasi debu yang cukup tinggi, antara

    lain pneumoconiosis (silikosis, asbestosis, beriliosis), hemosiderosis, bisinosis,

    bronchitis, asma kerja serta kanker paru. Penyakit paru kerja terbagi atas 3 bagian

    yaitu :

    1. Akibat debu organik, misalnya debu kapas (Bissinosis), debu padi-padian

    (Grain workers disease), debu kayu.

    2. Akibat debu anorganik (pneumoconiosis), misalnya debu silica (silikosis),

    debu asbes (asbestosis), debu timah (Stannosis).

    3. Penyakit paru kerja akibat gas iritan, 3 polutan yang paling banyak

    mempengaruhi kesehatan paru adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen

    dioksida (NO2), dan ozon (O3).

    Bila penyakit paru akibat kerja telah terjadi, umumnya tidak ada

    pengobatan yang spesifik dan efektif untuk menyembuhkannya. Gejala biasanya

    timbul apabila penyakit sudah lanjut.

    2.3 Partikel Debu

    2.3.1 Definisi Debu

    Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai

    partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter / SPM)

  • 19

    dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus

    pencemaran udara baik dalam maupun di ruang gedung (Indoor and Out

    Door Pollution) debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran

    yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap

    lingkungan maupun terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

    Debu industri yang terdapat di udara dibagi menjadi 2, yaitu:

    1. Deposit Particulate Matter

    Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang

    hanya sementara di udara. Partikel ini akan segera mengendap

    karena daya tarik bumi.

    2. Suspended Particulate Matter

    Suspended particulate matter adalah debu yang tetap

    berada di udara dan tidak mudah mengendap. (Pudjiastuti,

    2002)

    Menurut Sumamur (1998), debu adalah partikel-partikel zat

    padat yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis

    seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat,

    peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan baik organik maupun

    anorganik. Adapun debu tersebut terdiri dari 2 golongan, yaitu padat dan

  • 20

    cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat menjadi 3

    macam :

    a. Dust

    Dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang

    submikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya

    adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam sistem pernafasan,

    umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat

    terhirup ke dalam paru-paru

    b. Fumes

    Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi

    oleh karena kondensasi dari bentuk gas, biasanya sesudah

    penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain dan

    biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-

    zat seperti logam (Cadmium) dan timbal (Plumbum).

    c. Smoke

    Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan

    organik yang tidak sempurna dan berukuran sekitar 0,5 mikron.

    2.3.2 Sifat-Sifat Debu

    Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan

    elektris, tidak berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu

  • 21

    di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil

    produksi. Adapun sifat-sifat debu adalah sebagai berikut :

    1. Sifat Pengendapan

    Debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya

    gravitasi bumi. Debu yang mengendap dapat mengandung

    proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di

    udara.

    2. Permukaan cenderung selalu bersih

    Permukaan debu yang cenderung selalu bersih

    disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan

    air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya

    pengendalian debu di tempat kerja.

    3. Sifat Penggumpalan

    Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu

    yang selalu basah maka debu satu dengan yang lainnya

    cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat

    kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di

    udara mempermudah debu membentuk gumpalan.

  • 22

    4. Debu Listrik Statik

    Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik

    partikel lain yang berlawanan dengan demikian partikel dalam

    larutan debu mempercepat terjadinya penggumpalan.

    5. Sifat Opsis

    Opsis adalah partikel yang basah atau lembab

    lainnya dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam

    kamar gelap.

    Partikel debu melayang (Suspended Particulated Metter) adalah

    suatu kumpulan senyawa dan bentuk padatan maupun cair yang tersebar

    di udara dengan diameter yang sangat kecil, kurang dari 1 mikron sampai

    maksimal 500 mikron. Ukuran partikel debu yang membahayakan

    kesehatan umumnya berkisar antara 0,5 mikron sampai 25 mikron.

    Partikel debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relative

    lama dalam keadaan melayang-layang dan dapat masuk melalui saluran

    pernafasan.

    Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan

    tertahan dan tertimbun pada saluran nafas bagian atas, kemudian yang

    berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran nafas

    tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron disebut debu respirable

    merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai

  • 23

    dari bronkhiolus terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang

    dari 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli, debu yang ukurannya

    antara 0,1-0,5 mikron berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk

    alveoli, bila membentur alveoli maka dapat tertimbun ditempat tersebut.

    Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya

    bila jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter kubik udara (WHO,

    1990).

    2.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru (KVP)

    Nilai KVP merupakan suatu gambaran dari fungsi sistem pernafasan.

    Penurunan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis sehingga

    frekuensi lama seseorang bekerja pada lingkungan tempat kerja yang berdebu dan

    faktor-faktor internal yang terdapat pada diri pekerja (karakteristik pekerja)

    merupakan hal utama yang berhubungan dengan KVP (Widodo, 2007). Adapun

    faktor-faktor tersebut adalah:

    1) Lingkungan Tempat Kerja

    Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Kesehatan Nomor 1 Tahun

    1970 dikatakan bahwa tempat kerja merupakan tiap ruangan atau lapangan,

    tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau

    sering dimasuki pekerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat

    sumber-sumber bahaya. Adapun sumber bahaya yang berhubungan dengan

  • 24

    nilai KVP pekerja khusunya perusahaan pengadaan bahan baku keramik

    adalah debu.

    Debu yang memapar pekerja dapat dilihat dari ukuran

    partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama paparan serta

    bentuk dari debu itu sendiri. Pada dasarnya tingkat kelarutan debu

    pada air dapat mengindikasikan tingkat bahan dalam debu larut dan

    dengan mudah dapat masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Bila debu

    tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil maka partikel-partikel

    tersebut dapat masuk ke dinding alveoli. Semakin tinggi konsentrasi

    debu, maka semakin besar pula kemungkinan menimbulkan keracunan

    maupun gangguan terhadap paru (Faridawati, 1995).

    2) Karakteristik Pekerja

    Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam hubungan kerja

    pada pengusaha dengan menerima upah sebagai hasil dari kerjanya.

    Karakteristik pekerja merupakan hal-hal yang ada pada diri pekerja yang

    akan berdampak pada hasil kerja dan dalam hal ini kesehatan individu itu

    sendiri. Adapun yang termasuk hal-hal yang termasuk kedalam karakteristik

    pekerja yang berhubungan dengan KVP adalah:

    a. Usia

    Usia merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya

    gangguan fungsi paru karena usia mempengaruhi kekenyalan paru

  • 25

    sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Semakin tua usia seseorang

    maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru

    terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta

    faktor lain yang akan memperburuk kondisi paru. Penurunan KVP

    dapat terjadi setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat

    setelah usia 40 tahun. Faal paru sejak masa kanak-kanak bertambah

    volumenya dan akan mencapai nilai maksimum pada usia 19 sampai

    21 tahun. Setelah usia tersebut nilai faal paru akan terus menurun

    sesuai dengan pertambahan usia (Budiono, 2007).

    Berdasarkan penelitian Mengkidi (2006), pada populasi pekerja

    pabrik semen di Sulawesi Selatan yang terpapar dengan debu semen

    menunjukkan bahwa usia merupakan faktor risiko untuk terjadinya

    gangguan fungsi paru. Selain itu juga, pada keadaan normal usia juga

    mempengaruhi frekuensi pernapasan dan kapasitas paru. Frekuensi

    pernapasan pada orang dewasa antara 16-18 kali permenit, pada anak-

    anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30 kali

    permenit. Walaupun pada orang dewasa pernapasan frekuensi

    pernapasan lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak dan bayi, akan

    tetapi KVP pada orang dewasa lebih besar dibanding anak-anak dan

    bayi. Dalam kondisi tertentu hal tersebut akan berubah misalnya akibat

    dari suatu penyakit, pernapasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya

    (Syaifudin, 1997).

  • 26

    b. Jenis Kelamin

    Menurut Guyton (1997) volume dan kapasitas seluruh paru

    pada wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil daripada pria,

    dan lebih besar lagi pada atletis dan orang yang bertubuh besar

    daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis. Menurut Tambayong

    (2001) disebutkan bahwa kapasitas paru pada pria lebih besar yaitu

    4,8L dibandingkan pada wanita yaitu 3,1L.

    c. Kebiasaan merokok

    Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi

    saluran pernapasan dan jaringan paru. Apabila kondisi lingkungan

    kerja seorang perokok memiliki tingkat konsentrasi debu yang tinggi

    maka maka dapat menyebabkan gangguan fungsi paru yang ditandai

    dengan penurunan fungsi paru (VC, FVC dan FEV1). Debu yang

    tertimbun dalam paru akan menyebabkan fibrosis (pengerasan jaringan

    paru), sehingga dapat menurunkan KVP. Kebiasaan merokok akan

    mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa

    pertahun adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4mL untuk bekas

    perokok dan 41,7 mL untuk perokok aktif (Anshar, 2005).

    Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pada pengaruh

    debu hanya sekitar sepertiga dari pengaruh buruk rokok (Depkes,

    2003). Tenaga kerja yang merokok dan berada dilingkungan yang

  • 27

    berdebu cenderung mengalami gangguan saluran pernapasan

    dibanding dengan tenaga kerja yang berada pada lingkungan yang

    sama tetapi tidak merokok (Mengkidi, 2006). Selain itu juga menurut

    Gold et al (2005) juga menyatakan bahwa kebiasaan merokok pada

    pekerja yang terpapar oleh debu memperbesar kemungkinan untuk

    terjadinya gangguan fungsi paru.

    Adapun untuk mengukur derajat berat merokok biasanya

    dilakukan dengan menghitung indeks Brinkman, yaitu perkalian antara

    jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap hari kemudian

    dikalikan dengan lama merokok dalam tahun. Nilai yang dihasilkan

    dari perhitungan tersebut akan dimasukkan kedalam tiga kategori

    yaitu:

    Ringan : 0-200

    Sedang : 200-600

    Berat : > 600

    d. Kebiasaan olahraga

    Faal paru dan olahraga mempunyai hubungan yang timbal

    balik.Gangguan faal paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga,

    sebaliknya latihan fisik yang teratur atau olahraga dapat meningkatkan

    faal paru. Seseorang yang aktif dalam latihan akan mempunyai

  • 28

    kapasitas aerobik yang lebih besar dan kebugaran yang lebih tinggi

    serta kapasitas paru yang meningkat (Sahab, 1997).

    Kapasitas Vital Paru (KVP) dapat dipengaruhi oleh kebiasaan

    seseorang melakukan olahraga. Olahraga dapat meningkatkan aliran

    darah melalui paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat

    berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar atau

    maksimum. Kapasitas vital pada seorang atlet lebih besar daripada

    orang yang tidak pernah berolahraga (Hall, 1997). Menurut Guyton

    (1997), kebiasaan olah raga akan meningkan kapasitas paru dan akan

    meningkat 30-40%.

    Secara umum semua cabang olahraga, permainan dan aktifitas

    fisik sedikit banyak membantu meningkatkan kebugaran fisik. Namun

    terdapat perbedaan dalam tingkat dan komponen-komponen kebugaran

    fisik yang ditingkatkan.

    Tabel 2.3

    Kategori Tingkat Kebugaran Aktivitas Fisik/Kegiatan Olahraga

    No Tingkat Kebugaran Jenis Kegiatan Olahraga

    1. Sangat Baik Tarian aerobic Bersepeda

    Bulutangkis Basket

    Jogging/lari Sepak bola

    Bolanet Berenang

  • 29

    No Tingkat Kebugaran Jenis Kegiatan Olahraga

    2. Baik Beladiri Sepak takraw

    Latihan berirama Bola voli

    Tenis meja Berjalan

    Tenis

    3. Minimal Golf Binaraga

    Bowling

    Kebugaran aerobik*: Kebugaran dari paru, jantung dan peredaran darah.

    Kebiasaan berolahraga tersebut dilakukan 3-5 kali

    seminggu. Sumber: Giam.C.K (1996)

    e. Status Gizi

    Kesehatan dan daya kerja erat hubungannya dengan status gizi

    seseorang. Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap

    kekuatan daya tahan dan respon imunologis terhadap penyakit dan

    keracunan. Status gizi juga berperan terhadap kapasitas paru. Orang

    dengan postur kurus panjang biasanya kapasitas vital paksanya lebih

    besar dari orang dengan postur gemuk pendek.

    Tanpa makan dan minum yang cukup kebutuhan energi untuk

    bekerja akan diambil dari cadangan sel tubuh. Kekurangan makanan

    yang terus menerus akan menyebabkan susunan fisiologis terganggu.

    Menurut Sridhar (1999) secara fisiologis seseorang dengan status gizi

    yang kurang maupun lebih dapat mengalami penurunan KVP yang

    pada akhirnya dapat mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru.

  • 30

    Adapun status gizi diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh

    (IMT).

    IMT = BB (kg)

    TB2(m)

    Tabel 2.4

    Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

    Kategori

    IMT

    IMT

    Kurus Kekurangan BB tingkat berat

    Kekurangan BB tingkat rendah

    < 17

    17.0-18.5

    Normal >18.5-25.00

    Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan

    Kelebihan BB tingkat berat

    25.00-27.00

    >27.0

    (Supariasa, 2001)

    f. Riwayat penyakit Saluran Pernafasan

    Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi

    KVP seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat

    sakit (Ganong, 2002). Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang

    pada penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti

    paru) dan pada kelemahan otot pernapasan (Price, 1995). Selain itu

    juga, adanya riwayat pekerjaan yang menghadapi debu akan

    mengakibatkan pneumunokiosis dan salah satu pencegahannya dapat

  • 31

    dilakukan dengan menghindari diri dari debu dengan cara memakai

    masker saat bekerja (Sumamur, 1996).

    g. Penggunaan Masker

    Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh

    partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk

    mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Masker

    berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-partikel yang

    lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari kain

    dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat

    terinhalasi ke paru-paru sehingga terjadi pengendapan partikel dan

    akhirnya mengurangi nilai KVP dapat diminimalisir (Carlisle, 2000).

    h. Masa Kerja

    Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja (pada

    suatu kantor, badan dan sebagainya) (KBBI, 2001). Penelitian Yuli

    (2005) dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat

    mempengaruhi dan menurunkan kapasitas fungsi paru yang salah satu

    didalamnya adalah nilai KVP pada pekerja. Menurut Morgan dan

    Parkes dalam Faridawati (1995) waktu yang dibutuhkan seseorang

    yang terpapar oleh debu untuk terjadinya gangguan KVP kurang lebih

    10 tahun.

  • 32

    Masa kerja dapat dikategorikan menjadi:

    1. masa kerja baru ( < 5 tahun )

    2. masa kerja lama ( 5 tahun )

    Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak

    dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja

    tersebut (Sumamur, 1996).

    i. Riwayat Pekerjaan

    Riwayat pekerjaan dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit

    akibat kerja. Riwayat pekerjaan yang menghadapi debu berbahaya dapat

    menyebabkan gangguan paru (Sumamur, 1996). Hubungan antara

    penyakit dengan pekerjaan dapat diduga dengan adanya riwayat

    perbaikan keluhan pada akhir minggu atau hari libur diikuti peningkatan

    keluhan untuk kembali bekerja, setelah bekerja ditempat yang baru atau

    setelah digunakan bahan baru di tempat kerja. Riwayat pekerjaan dapat

    menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar dengan pekerjaan

    berdebu, hobi, pekerjaan pertama, pekerjaan pada musim-musim tertentu,

    dan lain-lain (Ikhsan, 2002).

  • 33

    3) Karakteristik Pekerjaan

    a. Jumlah Jam Kerja per Minggu (waktu kerja)

    Data jumlah jam kerja per minggu pada aktivitas pekerja yang

    terpapar debu dapat digunakan sebagai perkiraan kumulatif paparan

    yang diterima oleh seorang pekerja. Rendahnya KVP pada pekerja

    tergantung pada lamanya paparan serta konsentrasi debu lingkungan

    kerja. Paparan dengan konsentrasi rendah dalam waktu lama mungkin

    tidak akan segera menunjukkan adanya penurunan nilai KVP

    dibandingkan dengan paparan tinggi dalam waktu yang singkat

    (Budiono, 2007)

    b. Beban kerja

    Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitas

    pekerjaan sehari-hari. Setiap pekerjaan merupakan beban bagi

    pelakunya, beban-beban tersebut tergantung bagaimana orang tersebut

    bekerja sehingga disebut beban kerja, sehingga beban kerja merupakan

    kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan. Beban kerja

    dapat berupa beban fisik dapat mempengaruhi nilai dari KVP seseorang.

    Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah sesuai dengan

    tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernapasan harus tetap

    dapat memelihara kandungan oksigen dan karbondioksida tersebut

    (Guyton & Hall, 1996).

  • 34

    c. Sikap kerja

    Pengertian sikap kerja merupakan kesiapan mental maupun fisik

    untuk bekerja dengan cara tertentu yang dapat dilakukan dalam

    kecenderungan tingkah laku pekerja dalam menjalankan aktivitasnya

    sebagai upaya memperkaya kecakapan dan kelangsungan hidup

    (Maryani, 2005).

    2.5 Kerangka Teori

    Kerangka teori (gambar 2.1) diperoleh dari hasil modifikasi berbagai sumber.

    Faridawati (1995) menyatakan bahwasannya paparan debu dapat menyebabkan

    keracunan maupun gangguan terhadap paru. Kemudian untuk faktor karakteristik

    individu dan beban kerja diperoleh dari teori Guyton dan Hall (1997) yang

    mengatakan bahwa jenis kelamin dan kebiasaan olahraga berhubungan dengan nilai

    KVP. Selain itu juga jumlah jam kerja perminggu, usia (Budiono, 2007), kebiasaan

    merokok (Depkes, 2003), status gizi (Sridhar, 1999), riwayat penyakit saluran

    pernafasan (Ganong, 2002), penggunaan masker (Carlisle, 200), masa kerja

    (Faridawati, 1995), sikap kerja (Maryani, 2005) dan riwayat pekerjaan (Sumamur,

    1996) juga turut berperan terhadap nilai Kapasatas Vital Paru (KVP) seseorang.

    Berdasarkan hasil dari modifikasi tersebut dapat digambarkan sebuah kerangka teori

    sebagai berikut:

  • 35

    Gambar 2.1

    Kerangka Teori

    Sumber: Modifikasi dari (Budiono, 2007; Carlisle, 2000; Depkes, 2003; Faridawati,

    1995; Ganong, 2002; Guyton,1997; Hall, 1997; Maryani, 2005; Sridhar, 1999;

    Sumamur, 1996)

    Lingkungan Tempat Kerja

    Debu : ( konsentrasi , ukuran partikel, daya larut, sifat

    kimiawi, lama debu sampai ke paru dan bentuk debu)

    Karakteristik Pekerja:

    -Riwayat Penyakit Saluran Pernafasan - Usia

    - KebiasaanOlahraga - Masa Kerja

    - Penggunaan Masker - Status Gizi

    - Riwayat Pekerjaan

    -Kebiasaan Merokok

    -Jenis Kelamin

    Kapasitas

    Vital

    Paru

    Karakteristik Pekerjaan :

    - Waktu kerja - Beban kerja - Sikap kerja

  • 36

    BAB III

    KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

    3.1 Kerangka Konsep

    Variabel yang akan diteliti terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan

    variabel terikat.Variabel bebas terdiri dari konsentrasi debu, usia, kebiasaan

    olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker

    sedangkan variabel terikatnya adalah KVP pekerja. Selain itu juga, ada variabel yang

    tidak diteliti pada penelitian ini yaitu jenis kelamin, riwayat penyakit saluran

    pernafasan, riwayat pekerjaan serta faktor pekerjaan.

    Faktor lingkungan kerja dalam hal ini terkait dengan debu (ukuran partikel,

    daya larut, sifat kimiawi, lama paparan dan bentuk debu) tidak diteliti karena debu

    pada area kerja plant terdiri atas 2 (dua) debu yang utama dari bahan baku yang telah

    bercampur sehingga tidak bisa diketahui debu yang akan diukur berasal dari bahan

    baku yang mana. Selanjutnya untuk faktor karakteristik pekerjaan tidak diteliti

    karena seluruh pekerja memiliki waktu kerja yang sama yaitu 8 jam kerja

    (homogen), kemudian tidak ada perbedaan beban kerja dan sikap kerja yang dapat

    mempengaruhi KVP seperti aktivitas fisik dari pekerjaan, posisi kerja yang berbeda

    ketika berada di sumber debu serta ventilasi pada area plant.

    Jenis kelamin pekerja tidak diteliti karena seluruh pekerja bagian plant

    adalah berjenis kelamin laki-laki. Kemudian untuk riwayat penyakit saluran

  • 37

    pernafasan tidak diteliti karena seseorang yang telah mengalami penyakit saluran

    pernafasan secara otomatis akan menurunkan nilai KVP. Selain itu juga, berdasarkan

    hasil survey pendahuluan didapat bahwa hampir seluruh pekerja yang masuk ke

    perusahaan ini adalah fresh graduate, sehingga variabel riwayat pekerjaan tidak

    menjadi variabel pada penelitian ini. Adapun kerangka konsep penelitian dapat

    dilihat pada bagan di bawah ini:

    Lingkungan Tempat Kerja

    Karakteristik Pekerja

    3.2 Hipotesis

    1. Ada hubungan antara lingkungan tempat kerja dengan KVP pada pekerja

    bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011

    2. Ada hubungan antara karakteristik pekerja dengan KVP pada pekerja bagian

    plant pada PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011

    Kapasitas

    Vital Paru

    Usia

    Kebiasaan Olahraga

    Kebiasaan Merokok

    Status Gizi

    Masa Kerja

    Penggunaan Masker

    Konsentrasi debu

  • 40

    BAB IV

    METODELOGI PENELITIAN

    4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode

    cross sectional karena pengambilan data variabel independen dan variabel dependen

    dilakukan pada saat yang bersamaan. Desain ini digunakan karena mudah

    dilaksanakan, sederhana, murah, ekonomis dalam hal waktu, dan hasilnya dapat

    diperoleh dengan cepat (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini bersifat analitik yang

    bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik

    pekerja dengan KVP pekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta

    tahun 2011.

    4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta dari bulan

    April sampai dengan Agustus 2011.

    4.3 Populasi dan Sampel

    4.3.1 Populasi

    Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta pada tahun 2011 yang berjumlah 61 orang. Adapun jumlah

    karyawan dalam tiap bagiannya pada area plant adalah sebagai berikut:

  • 41

    1). Bagian Produksi terdapat 41 pekerja

    2). Bagian Mekanik terdapat 11 pekerja

    3). Bagian Quality Control terdapat 9 pekerja

    4.3.2 Sampel

    Sampel dalam penelitian ini merupakan sampel jenuh pada pekerja

    bagian plant PT.Sibelco Lautan Minerals Jakarta. Jumlah sampel dihitung

    menggunakan rumus uji hipotesis beda proporsi 2 tail (1-/2):

    n = (Z1-/2V2P(1-P)+Z1-Vp1(1-p1)+p2(1-p2))2

    (p1-p2) 2

    Keterangan :

    n = besar sampel

    Z1-a/2 = derajat kemaknaan (CI) pada tertentu P = proporsi rerata

    p1 = proporsi pekerja yang tidak menggunakan masker yang mengalami

    gangguan KVP pada penelitian sebelumnya (0.5) (Widodo, 2007)

    p2 = proporsi pekerja yang menggunakan masker yang mengalami

    gangguan KVP pada penelitian sebelumnya (0.15) (Widodo, 2007)

    sehingga :

    n = (1.96V2x0.325(1-0.325)+0.84V0.05(1-0.5)+0.15(1-0.15))2

    (0.5-0.15)2

    = 26.87 = 27

  • 42

    Hasil dari perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut

    diperoleh jumlah sampel yang harus diambil adalah 27 pekerja. Jadi, sampel

    minimal yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebesar 27 pekerja dikalikan

    dua (2) karena menggunakan uji hipotesis dua proporsi segingga jumlah

    sampel yang harus diambil adalah sebesar 54 pekerja. Untuk menghindari

    drop out atau missing jawaban maka perlu ditambahkan 10% dari jumlah

    sampel minimal sehingga jumlah keseluruhan sampel sebesar 60 pekerja.

    Karena jumlah perja pada bagian plant ada sebanyak 61 orang maka sampel

    yang digunakan adalah sampel jenuh yaitu sebanyak 61 pekerja.

    4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

    4.4.1 Kriteria lnklusi

    Kriteria inklusi adalah syarat yang harus dipenuhi agar

    responden dapat menjadi sampel penelitian. Adapun kriteria pada

    penelitian ini adalah pekerja yang menjadi responden dalam keadaan

    sehat dari penyakit paru dan pernafasan seperti bronchitis, radang paru,

    TBC paru, asma dan alergi saluran pernafasan, dan lain-lain dengan

    asumsi bahwa penyakit yang berhubungan dengan salauran pernafasan

    dan paru tersebut sudah pasti akan berhubungan dengan nilai KVP.

    Hal ini di screening melalui wawancara terhadap pekerja sebelum

    penelitian dilakukan.

  • 43

    4.4.2 Kriteria Eksklusi

    Kriteria eksklusi adalah syarat yang tidak dapat dipenuhi oleh

    responden supaya dapat menjadi sampel. Adapun kriteria tersebut

    adalah responden menolak berpartisipasi dalam penelitian.

    4.5 Pengumpulan Data

    Data yang dikumpulkan berupa data primer. Data primer diperoleh langsung

    dari responden, melalui:

    1. Wawancara dan Observasi Lapangan

    Wawancara adalah cara pengumpulan data dengan jalan tanya jawab

    sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan

    penelitian (Marzuki, 2002). Dalam hal ini dilakukan tanya jawab atau

    wawancara secara langsung kepada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta tahun 2011 dan diisi kedalam kuisioner penelitian.

    Untuk observasi akan dilakukan oleh peneliti langsung kepada para

    pekerja yang ada pada area plant. Data observasi berupa kondisi dan

    penggunaan masker serta aktivitas merokok pada smoking area akan

    dimasukkan kedalam lembar observasi yang telah disediakan.

    2. Pengukuran KVP

    Metode ini dilakukan dengan cara pengukuran paru pekerja

    menggunakan alat spirometer secara langsung terhadap responden.

  • 44

    3. Pengukuran Indeks Masa Tubuh (IMT)

    Metode ini dilakukan dengan cara mendapatkan hasil pengukuran

    tinggi badan dan pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak.

    4. Pengukuran Konsentrasi Debu Terhirup

    Pengukuran debu terhirup menggunakan alat Personal Dust Sampler

    (PDS) yang berisi kertas filter yang akan menangkap debu yang memapar

    pekerja. Alat ini dilengkapi dengan pompa yang akan menghisap debu dari

    udara kedalam filter dengan menggunakan laju alir tertentu.

    4.6 Instrumen Penelitian

    Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen spirometri untuk KVP,

    Personal Dust Sampler (PDS), timbangan injak, meteran, lembar skrining pekerja,

    lembar pengukuran lingkungan kerja, lembar pengukuran status gizi dan KVP,

    lembar observasi serta kuisioner yang akan diuraikan sebagai berikut:

    1. Spirometri

    Spirometri adalah alat yang digunakan untuk mengukur KVP

    pekerja. Data hasil pengukuran ini didapatkan melalui cara pengukuran

    fungsi paru pekerja dengan menggunakan alat spirometer merk Chest tipe

    HI-101. Adapun cara pengukuran kapasitas paru pekerja adalah sebagai

    berikut :

  • 45

    1) Alat spirometri yang akan digunakan dihisupkan terlebih dahulu

    dengan menekan tombol On pada alat.

    2) Masukkan tube atau pipa untuk meniupkan udara pada alat.

    3) Tekan tombol start dengan kondisi tube telah masuk ke dalam mulut

    tanpa ada sedikitpun udara yang keluar melalui mulut.

    4) Mengambil udara (inspirasi) kemudian mengeluarkannya (ekspirasi)

    pada tube yang telah berada di dalam mulut secara perlahan

    (dilakukan sebanyak tiga kali).

    5) Setelah selesai, buka mulut untuk mengambil nafas sejenak untuk

    kemudian melakukan respirasi ulang ke dalam tube secara paksa

    (maksimal) (dilakukan sebanyak tiga kali).

    5) Baca hasil pengukuran pada display dan kertas print out yang keluar.

    2. Personal Dust Sampler (PDS)

    Personal Dust Sampler (PDS) adalah alat yang digunakan untuk

    mengukur konsentrasi debu dengan prinsip kerja menghisap udara

    dengan kecepatan tertentu (1.7 Liter/menit) melalui kertas filter sehingga

    udara yang melalui pipa akan tersaring oleh filter yang mempunyai berat

    tertentu. Tipe PDS yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe SKC

    model 224-PCXR8.

  • 46

    Cara penggunaan alat:

    1). Pasang filter pada PDS, alat di ON kan dan atur flow meter.

    2). Pasangkan holder pada krah baju selama 4 jam.

    3) Filter diambil, kemudian ditimbang (berat filter terisi).

    4) Jika sudah selesai matikan alat dengan menekan OFF.

    3. Timbangan Analitik

    Timbangan analitik adalah alat yang digunkan untuk menimbang

    filter kosong dan filter terisi yang akan dan telah dipasang pada PDS.

    Cara penggunaan alat:

    1) Sambungkan alat dengan arus listrik

    2) Tekan tombol ON/OFF, kemudian muncul angka 8888, tunggu sampai

    berubah 0

    3) Pasangkan kertas filter ke timbangan

    4) Catat berat filter dalam gram

    5) Filter diambil, matikan alat dengan menekanan tombol ON/OFF

    Hasil penimbangan filter dihitung dengan rumus sebagai berikut :

    Konsentrasi debu = (W2 W1) (Wb Wa) X 106

    V

  • 47

    Keterangan :

    W1 : berat filter uji awal (gram)

    W2 : berat filter uji akhir (gram)

    Wa : berat filter awal blangko (gram)

    Wb : berat filter akhir blangko (gram)

    V (volume udara) = F x t (m3)

    F (flow rate) = rata-rata flow rate X Pa X 2980 K (m3/menit)

    760 mm Hg Ta

    Keterangan :

    t : waktu sampling (menit)

    Pa : tekanan udara (mm hg)

    Ta : temperatur udara (temperatur rata-rata + 2730 K)

    4. Timbangan Badan

    Timbangan badan adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur

    berat badan dari tubuh pekerja dengan merk Tanita HA622 500 x 500 cm.

    Pengukuran ini dilakukan sebanyak tiga kali (3) untuk mengurangi bias dan

    validasi hasil pengukuran dan setiap melakukan pengukuran terlebih dahulu

    memastikan jarum timbangan berada pada angka 0.

    5. Meteran

    Meteran adalah sutau alat yang digunakan untuk mengukur tinggi

    tubuh manusia yang dimulai dari ujung kaki hingga ujung lapisan kepala.

  • 48

    Cara penggunaan alat:

    1). Pekerja berdiri tegak.

    2). Lalu meteran diukur dari ujung kaki hingga ujung lapisan kepala.

    6. Lembar Skrining Pekerja

    Lembar skrining pekerja digunakan untuk menyaring pekerja yang

    tidak dimasukkan kedalam sampel penelitian (kriteria inklusi). Lembar

    skrining ini berisi pertanyaan tentang gejala-gejala beberapa penyakit yang

    berhubungan dengan terjadinya penurunan nilai KVP pekerja. Lembar ini

    terdiri atas 7 (tujuh) pertanyaan dimana ketika pekerja menjawab tidak pada

    soal nomor 1 (satu), maka pekerja dapat masuk ke dalam sampel penelitian.

    7. Lembar Pengukuran Status Gizi dan KVP

    Lembar ini berfungsi untuk mencatat rata-rata berat badan dan tinggi

    badan masing-masing responden untuk kemudian mendapatkan nilai dari

    status gizi pekerja tersebut. Nilai KVP didapat melalui data medical check up

    untuk kemudian dipindahkan ke dalam lembar ini untuk mempermudah

    pengumpulan data.

    8. Lembar Observasi Kondisi Masker, Penggunaan Masker dan Aktivitas

    Merokok Pekerja

    Lembar observasi ini digunakan untuk memeriksa kondisi masker

    responden termasuk didalamnya adalah kondisi dari filter atau penyaring

  • 49

    debu yang terdapat dalam masker. Penggunaan masker pada area kerja akan

    diobservasi oleh peneliti dan aktivitas merokok di smoking area dilakukan

    untuk validasi data hasil wawancara.

    9. Kuisioner

    Kuisioner yang digunakan berisi pertanyaan-pertanyaan yang

    berkaitan dengan variabel independen yang merupakan faktor-faktor yang

    berhubungan dengan KVP yaitu: usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan

    merokok, masa kerja dan penggunaan masker.

    a. Usia

    Variabel usia diukur berdasarkan jawaban responden pada

    kuisioner bagian A2. Variabel ini ditegakkan berdasarkan tanggal

    lahir, bulan dan tahun dimana responden dilahirkan.

    b. Kebiasaan Olahraga

    Variabel kebiasaan olahraga didapat dari kuisioner bagian C

    yang bersifat semi terbuka. Variabel ini dikategorikan menjadi 2

    (dua) kategori yaitu Tidak Olahraga apabila responden menjawab

    tidak pada pertanyaan C1. Kemudian untuk kategori Olahraga

    didapat dari pertanyaan C2. Pertanyaan ini berisi tentang jenis

    kegiatan olahraga, frekuensi olahraga selama satu minggu, dan lama

  • 50

    durasi olahraga. Kemudian pertanyaan berikutnya berisi tentang sejak

    kapan melakukan kegiatan tersebut secara rutin.

    c. Kebiasaan Merokok

    Pada penelitian ini, peneliti mengetahui kebiasaan merokok

    responden dari jawaban responden yang terdapat pada kuisioner

    bagian D. Bagian ini terdiri atas 9 (smbilan) pertanyaan untuk

    kemudian dari jawaban tersebut akan diketegorikan kedalam 3 (tiga)

    kategori yaitu: tidak merokok, mantan perokok dan merokok.

    Kebiasaan merokok kategori Tidak Merokok dan Merokok

    didapat dari jawaban pada pertanyaan D1 dan kemudian dilanjutkan

    pada pertanyaan D5 bagi yang menjawab Tidak untuk menggali

    apakah dulu pernah merokok atau tidak. Responden yang menjawab

    Ya pada pertanyaan D5 akan dikategorikan sebagai Mantan

    Perokok dan akan diberikan pertanyaan berikutnya untuk menggali

    kebiasaan merokoknya di masa lalu.

    d. Masa Kerja

    Variabel masa kerja didapat dari jawaban atas pertanyaan

    bagian A yaitu A3 dengan menanyakan bulan dan tahun masuknya

    responden kedalam perusahaan PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta.

  • 51

    e. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Jenis Masker

    Pada variabel penggunaan masker akan dikategorikan menjadi 2

    (dua) kaegori yaitu: Menggunakan dan Tidak Menggunakan.

    Variabel ini akan didapat pada pertanyaan bagian B untuk tidak

    semata-mata menanyakan apakah responden menggunakan masker

    atau tidak, namun juga melihat perihal kondisi dan penggunaan dari

    masker tersebut. Kategori Tidak Menggunakan dan

    Menggunakan masker didapat dari jawaban responden atas

    pertanyaan B7.

    4.7 Cara Pengukuran

    1. Pengukuran Konsentrasi Debu

    Pengukuran konsentrasi debu dilakukan selama 4jam/pekerja dengan

    lama shift kerja 8 jam. Alat yang digunakan dalam pengukuran konsentrasi debu

    ini adalah Personal Dust Sampler (PDS) yang digunakan pekerja selama bekerja.

    Pompa alat ini digantunggakan pada pinggang pekerja dan inlet cyclone

    penampung debu digantungkan pada bahu pekerja.

  • 52

    Gambar 4.1

    Pemakaian Personal Dust Sampler

    2. Pegukuran KVP

    Pengukuran KVP menggunakan alat spirometri yang dipandu oleh

    petugas kesehatan saat pekerja melakukan proses pengukuran kapasitas. Adapun

    nilai kapasitas yang diambil adalah Slow Vital Capacity (SVC) untuk menilai

    seberapa mampu paru-paru seseorang mengeluarkan udara (ekspirasi) setelah

    mengisi rongga paru-paru dengan udara secara maksimal secara normal.

    Gambar 4.2

    Pengukuran KVP

  • 53

    4.8 Uji Coba Kuisioner

    Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer yang

    salah satunya diperoleh dari pengisian kuisioner melalui wawancara pekerja.

    Sebelum dilakukan pengumpulan data tersebut, peneliti telah melakukan uji coba

    kuisioner terlebih dahulu di tempat yang sama terhadap 20 pekerja yang berstatus

    Pekerja Harian Lepas yang dilakukan pada tanggal 1 Juli 2011. Uji kuisioner ini

    dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas dari instrumen

    penelitian. Kuisioner dikatakan valid bila instrumen tersebut dapat mengukur apa

    yang seharusnya diukur. Sedangkan instrument dapat dikatakan reliable jika

    instrumen menghasilkan ukuran yang konsisten walaupun instrument tersebut

    digunakan untuk mengukur berulang-ulang kali (Azwar (2003) dalam e-learning

    Universitas Gunadarma). Adapun langkah-langkah uji validitas dan reliabilitas

    dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    a. Validitas Kuisioner

    Uji validitas kuisioner dinyatakan valid jika r hitung > r tabel

    (0.468). Adapun pertanyaan yang dimasukkan ke analisis validitas dan

    reliabilitas adalah pertanyaan tentang kondisi dan penggunaan masker,

    kebiasaan olahraga dan kebiasaan merokok. Pertanyaan kondisi dan

    penggunaan masker terdiri dari 9 pertanyaan namun 2 pertanyaan

    merupakan pertanyaan terbuka. Berdasarkan hasil uji coba kuisioner

    didapat bahwa semua pertanyaan (7 pertanyaan) valid.

  • 54

    Pertanyaan kebiasaan olahraga terdiri dari 3 pertanyaan dengan 1

    pertanyaan terbuka. Berdasarkan hasil uji coba didapatlah hasil yang

    tidak valid pada ke-dua pertanyaan kebiasaan olahraga pada pertanyaan

    tertutup dan kemudian dilakukan perbaikan redaksi pada pertanyaan yang

    akan diajukan. Pertanyaan pada bagian ini merupakan pertanyaan

    lompatan sehingga jika pekerja menjawab Tidak pada pertanyaan no 1

    maka pekerja lanjut ke variabel penelitian berikutnya, namun jika pekerja

    menjawab Ya maka akan dilanjutkan ke pertanyaan C2 dan C3.

    Untuk pertanyaan kebiasaan merokok terdiri dari 9 pertanyaan

    dengan 2 pertanyaan lompatan. Untuk pekerja yang menjawab Ya pada

    D1 maka 3 pertanyaan (D2 dan D4) dinyatakan valid berdasarkan hasil

    uji coba kuisioner (r tabel > 0.602). Namun untuk pertanyaan D3 tidak

    valid dan dilakukan perbaikan redaksi pertanyaan yang akan ditanyakan.

    Selanjutnya, untuk pekerja yang menjawab tidak pada D1 akan lompat ke

    pertanyaan D5, dan jika menjawab Ya pada pertanyaan D5 maka 4

    pertanyaan berikutnya (D6, D7, D8, D9) dinyatakan valid r table > 0.878.

    b. Reliabilitas

    Kuisioner dinyatakan reliable bila nilai r alpha Crombah > r tabel

    (0.7) (Streiner dan Norman, 2000). Berdasarkan dari hasil analisi uji coba

    kuisioner maka semua pertanyaan reliable kecuali pertanyaan tentang

    kebisaan olahraga

  • 55

    Untuk melihat validitas dan reliabilitas data kuisioner dapat

    dilihat dari hasil uji kuisioner pada tabel 4.1 berikut:

    Tabel 4.1

    Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner Penelitaian di PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta Tahun 2011

    No Nilai r

    Hitung

    Alpha

    Cronbach

    Nilai r

    Tabel

    Keterangan

    Kondisi dan

    Penggunaan

    Masker

    B1

    0.816

    0.833

    0.468

    Valid

    B2 0.688 0.468 Valid

    B3 0.820 0.468 Valid

    B4

    0.697

    0.468

    Valid

    B5 0.806 0.468 Valid

    B6 0.769 0.468 Valid

    B7 0.631 0.468 Valid

    Kebiasaan

    Olahraga

    C1 -0.788 -6.001 0.468 Tidak Valid

    C2 -0.788 0.468 Tidak Valid

    Kebiasaan

    Merokok

    D2 0.820 0.819 0.602 Valid

    D3 0.592 0.602 Tidak Valid

    D4 0.820 0.602 Valid

    D6 0.997 0.820 0.878 Valid

    D7 0.963 0.878 Valid

    D8 0.997 0.878 Valid

    D9 0.963 0.878 Valid

  • 56

    4.9 Pengolahan Data

    Adapun untuk tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data primer

    dari variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut:

    1. Menyunting data (data editing), yaitu kuisioner yang telah diisi dilihat

    kelengkapan jawabannya, sebelum dilakukan proses pemasukan data ke dalam

    komputer.

    2. Mengkode data (data coding), yaitu membuat klasifikasi data dan memberi kode

    pada jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuisioner.

    3. Membuat struktur data (data structure) dan file data (data file), yaitu membuat

    tamplate sesuai dengan format kuisioner yang digunakan

    4. Memasukan data (entry data), yaitu dilakukan pemasukan data ke dalam

    tamplate yang telah dibuat.

    5. Membersihkan data (data cleaning), yaitu data yang telah dimasukkan dicek

    kembali untuk memastikan bahwa data tersebut bersih dari kesalahan, baik

    kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam membaca kode. Dengan

    demikian diharapkan data tersebut benar-benar siap untuk dianalisis.

    4.10 Teknik Analisis Data

    Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif dan analitik. Tekhnik yang

    digunakan dalam menganalisa data penelitian adalah dengan menggunakan paket

    program komputer. Adapun analisis data yang digunkan meliputi analisis univariat dan

    bivariat.

  • 57

    1). Analisa Univariat

    Analisa ini digunakan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian

    dengan cara membuat distribusi frekuensi dan proporsi dari setiap variabel

    dependen dan independen yang ada pada penelitian ini. Hasil analisis ini

    disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

    2). Analisa Bivariat

    Analisa bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel bebas

    dan variabel terikat dengan uji statistik yang sesuai dengan skala data yang

    ada. Uji statistik yang digunakan untuk melihat hubungan variabel kategorik

    (status gizi, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok dan penggunaan masker)

    digunakan uji T independen (beda mean dua kelompok) dan uji Anova

    (untuk beda mean lebih dari dua kelompok). Sebelum masuk ke analisis

    bivariat data numerik (rasio) terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data

    untuk menentukan uji yang akan digunakan.

    Sedangkan analisis bivariat yang digunakan untuk menguji variabel

    yang berjenis numerik dengan numerik menggunakan uji korelasi (korelasi

    pearson jika data (rasio) normal dan korelasi spearman jika data (rasio) tidak

    normal). Kriteria hubungan berdasarkan nilai p value yang dihasilkan

    dibandingkan dengan nilai kemaknaan, dengan kriteria jika p value < maka

    ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

  • 58

    BAB V

    HASIL

    5.1 Gambaran Umum PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta

    5.1.1 Sejarah dan Lokasi PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta (Sibelco,

    2011)

    PT. Sibelco Lautan minerals ini merupakan anggota dari Sablires et

    Carrires Runies (SCR)-Sibelco yang yang berpusat di Belgia. SCR-Sibelco

    didirikan pada tahun 1872 oleh Stanislas Emsens dan merupakan salah satu

    perusahaan di Flanders saat ini. Oleh karena tingginya angka kebutuhan akan

    mineral terutama silika maka SCR-Sibelco mengembangkan usahanya hingga ke

    negara Indonesia.

    Pada bulan April tahun 1997 didirikanlah PT. Sibelco Lautan Minerals

    yang masuk ke dalam anggota Sibelco Asia yang merupakan hasil kerja sama

    antara UNIMIN Corporation (USA), SCR-Sibelco NV (Belgium) dan PT. Lautan

    Luas Tbk (Indonesia). Sampai saat ini PT. Sibelco Lautan Minerals yang

    berlokasi di kawasan industri Jababeka Cikarang Barat ini memiliki dua (2)

    daerah penambangan yaitu di Capkala (November, 2003) sebagai tempat

    penambangan clay dan Belitung (April 2005) sebagai tempat penambangan

    silika. Untuk cabang perkantoran dan pabrik pengolahan terdapat di dua tempat

  • 59

    yaitu Cikarang yang merupakan tempat pengolahan silika dan feldspar, serta di

    Cikupa yang merupakan tempat pengolahan zircon.

    Kemudian pada bulan Juli 2000, PT. Sibelco Lautan Minerals

    mendapatkan sertifikasi ISO 9002:1994 Quality Managemenet System (QMS)

    dan pada bulan Agustus 2003 mendapatkan ISO 9001:2000 oleh LRQA (Lioyds

    Regoster Quality Assurance) dari badan sertifikasi Amerika Serikat. Namun

    hingga saat ini (2011) belum dilakukan sertifikasi untuk Sistem Manajemen

    Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

    5.1.2 Visi dan Misi PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta

    Visi :

    To build an organization talents choose to work for and grow a company

    customers want to associate with (Membangun talenta organisasi yang

    bekerja untuk menumbuhkan perusahaan yang menjadi kebanggaan)

    Misi :

    Global Competencies-Regional Resources-Local Excellence (Kompetensi

    Global-Sumber Daya Regional-Keunggulan Lokal)

  • 60

    Nilai yang dianut (core value):

    We grow people - We invest in mineral resources - We partner our

    customers (Kami mengembangkan karyawan - Kami berinvestasi pada

    sumber daya mineral - Kami bekerjasama dengan pelanggan kami)

    5.1.3 Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja PT. Sibelco

    Lautan Minerals Jakarta (P01 HSE Manual System Procedure

    Sibelco, 2011)

    Kesehatan keselamatan kerja menjadi fokus utama pada

    perusahaan ini. Slogan Health Safety Environment (HSE) First

    merupakan bentuk komitmen dari perusahaan ini untuk

    menciptakan suatu lingkungan kerja yang aman, nyaman dan sehat

    bagi seluruh karyawannya. Selain itu juga, lingkungan sekitar area

    penambangan dan produksi yang dapat terkena dampak buruk dari

    proses produksi perusahaan tersebut sedapat mungkin akan

    diminimalisasi agar kesehatan, keselamatan dan lingkungan kerja

    tersebut akan memberikan keuntungan bagi seluruh karyawan,

    pemegang saham, pelanggan dan juga bagi masyarakat sekitar.

    PT. Sibelco Lautan Minerals percaya bahwa HSE adalah

    salah satu syarat tercapainya efisiensi dan sukses dari perusahaan.

    Perusahaan memiliki kesungguhan untuk dapat melaksanakan

    sepenuhnya kebijakan HSE melalui fungsi dan lintas organisasi

  • 61

    agar dapat menekan angka kecelakaan kerja. Kebijakan HSE

    Sibelco Asia akan dicapai melalui pelaksanaan yang mengikuti

    prinsip-prinsip dasar HSE sebagai pedoman kerja adalah sebagai

    berikut :

    1. Melaksanakan dan menjalankan manajemen HSE yang efektif

    sesuai dengan kebijakan dan komitmen dari Sibelco Group.

    2. Bertanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi kualitas

    udara, air, kebisingan suara dan limbah lainnya dengan cara

    pemeliharaan yang tepat di seluruh area pertambangan dan

    seluruh area kerja produksi.

    3. Mematuhi peraturan dan undang-undang tentang HSE yang

    berlaku dimasing-masing bisnis unit.

    4. Memadukan tatalaksana sistem HSE ke dalam semua aktivitas

    kerja di perusahaan.

    5. Meningkatkan rasa kesadaran diantara seluruh karyawan, rekan

    kerja, pemasok, para pelanggan serta masyarakat atau

    komunitas yang ada di sekitar perusahaan mengenai cara-cara

    mengatur permasalahan HSE yang ada melalui pelatihan rutin

    dan komunikasi yang terbuka.

    6. Mendorong pertukaran komunikasi yang membangun tentang

    pelaksanaan aktivitas HSE yang baik di antara perwakilan-

  • 62

    perwakilan Sibelco Asia yang lain berdasarkan kepercayaan,

    keterbukaan dan semangat kerja kelompok.

    7. Perbaikan yang berkesinambungan dari sistem manajemen

    HSE serta semua peraturan dan pedoman kerja perusahaan

    melalui pemeriksaan dan peninjauan secara berkala serta data-

    data yang selalu diperbaharui.

    8. Memotivasi seluruh karyawan untuk menjadikan HSE sebagai

    Pedoman Hidup dalam pelaksanaan kebijakan HSE dan juga

    mengajak secara aktif untuk mengetahui resiko yang mungkin

    akan terjadi dalam rangka mencegah terjadinya berbagai

    kecelakaan kerja.

    5.1.4 Gambaran Area Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta

    PT. Sibelco Lautan Minerals memiliki dua (2) area kerja yaitu area

    Office dan area Plant. Area kerja plant dibagi atas 3 (tiga) bagian yaitu

    bagian produksi, mekanik, dan quality control. Adapun jumlah karyawan dalam

    tiap bagiannya pada area plant adalah sebagai berikut:

    1). Bagian Produksi terdapat 41 pekerja

    2). Bagian Mekanik terdapat 11 pekerja

    3). Bagian Quality Control terdapat 9 pekerja

  • 63

    Adapun bahan baku yang diolah berasal dari alam yaitu silika dan

    feldspar. Produk pasir silika dan feldspar diolah menjadi tepung berbagai ukuran

    (mesh) untuk dijual menjadi bahan baku sesuai kebutuhan pelanggan (customer).

    Adapun alur pengolahan dari pengolahan ke-dua material ini meliputi :

    1. Produk Silika

    Bahan baku dari pasir silika (pasir kuarsa) diperoleh dari tambang

    perusahanan yang berlokasi di pulau Belitung untuk diolah menjadi tepung

    silika ukuran 200 mesh, 270 mesh, 325 mesh, dan 500 mesh. Bahan baku

    digali, kemudian dicuci (washing) di lokasi penambangan untuk selanjutnya

    dikirimkan ke PT. Sibelco Lautan Minerals yang berada di Cikarang. Setelah

    bahan baku sampai di Cikarang barulah dikeringkan (drying) hingga

    kandungan air menjadi lebih kurang 0.005-0.008 %. Setelah pasir kering

    barulah pasir akan masuk ke proses penggilingan (milling).

    Pada proses milling, bahan baku yang telah kering dimasukkan ke

    dalam mesin yang diberikan batu kali yang sengaja di datangkan dari negara

    Prancis. Pasir yang dimasukkan kedalam mesin milling yang telah berisi batu

    kali akan diputar dengan kecepatan yang telah ditentukan agar batu tidak

    jatuh karena gaya gravitasi. Pada ujung mesin ini dipasang pemisah

    (sparator) untuk pasir yang sudah halus dan pasir yang belum halus dengan

    prinsip gaya sentrifugal. Sehingga, pasir yang masih belum halus akan jatuh

    kebawah dan yang sudah halus akan dihisap ke tempat untuk disiapkan

  • 64

    masuk ke dalam kantong (sack) atau dihisap ke tempat untuk dimasukkan ke

    dalam mobil yang akan dibawa ke pelanggan.

    Bagan 5.1

    Proses Produksi Silika

    Sumber: Sibelco, 2011

  • 65

    2. Produk Feldspar

    Feldspar terdiri atas tiga macam jenis yaitu, potasium feldspar, sodim

    feldspar, kalsium feldspar. Dari ketiga bahan baku ini yang diolah di PT.

    Sibelco Lautan Minerals hanyalah potasium feldspar dan kalsium

    feldspar. Bahan baku ini dibeli dari lampung dan ada juga yang dikirim

    dari negara India dan China melalui grup Sibelco Asia. Bahan baku yang

    didapat kemudian dikirim ke PT. Sibelco Lautan Mineral dalam berbagai

    bentuk dan ukuran. Untuk batu dengan ukuran yang masih besar sekitar

    16 cm akan dimasukkan ke dalam mesin jaw crush untuk dihaluskan

    menjadi sekitar 15-20 ml. Setelah dihaluskan kemudian feldspar akan

    dikeringkan agar menjadi lebih ringan dan kemudian dimasukkan ke

    dalam mesin cone crush.

    Setelah masuk ke dalam mesin tersebut, maka feldspar akan keluar

    menjadi ukuran 3-2 ml untuk kemudian akan di masukkan lagi ke dalam

    mesin ball mill agar menjadi tepung feldspar. Hampir sama dengan

    prinsip milling pada produk silika, namun yang membedakannya adalah

    bahan dalam ball mill. Jika pada ball mill untuk pasir silika

    menggunakana batu kali, maka untuk feldspar diganti dengan alumina

    karena pasir feldspar memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan

    pasir silika. Setelah proses milling selesai, barulah dilakukan pengemasan

    kedalam karung kertas (sack) untuk selnjutnya dikirimkan ke pelanggan.

  • 66

    Bagan 5.2

    Proses Produksi Feldspar

    Sumber: Sibelco, 2011

  • 67

    Adapun debu yang dihasilkan dari kedua proses pembuatan

    tepung tersebut dimulai dari area stockpile yaitu tempat dimana bahan

    baku ditimbun atau disimpan hingga area finishing good, tempat dimana

    tepung-tepung tersebut dimasukkan kedalam kantong atau mobil

    (bulktruck) untuk didistribusikan. Adapun jenis debu pada area plant

    merupakan jenis debu deposit particulate matter yang merupakan debu

    yang hanya sementara di udara dan akan segera mengendap karena daya

    tarik bumi. Namun karena proses pengolahan pasir silika dan feldspar

    tersebut menjadikan raw material berukuran lebih kecil menjadi lebih

    kecil maka debu yang timbul tetap berada di udara dan tidak mudah

    menguap (suspended particulate matter).

    Berdasarkan hasil pemantauan lingkungan area kerja selama

    periode 2010-2011 oleh pihak laboratorium PT. Sibelco Lautan Minerals

    maka didapatlah hasil konsentrasi debu total pada area kerja sebagai

    berikut:

    Tabel 5.1

    Nilai Total Debu berdasarkan Area Plant Sibelco Tahun 2010-1011

    No Bulan Lokasi Total Debu

    1. Juni 2010 Gudang Nephelin 1.34 mg/m3

    2. Mei 2011 1.10 mg/m3

    3. Juni 2010 Grinding Mill 2.70 mg/m3

    4. Agustus 2010 1.47 mg/m3

  • 68

    No. Bulan Lokasi Total Debu

    5. Oktober 2010 Milling 1.82 mg/m3

    6. Desember 2010 2.08 mg/m3

    7. Juni 2011 4.52 mg/m3

    8. Maret 2010 Packing 4.01 mg/m3

    9. Juli 2010 11.27 mg/m3

    10. Mei 2011 Finishing Good 0.86 mg/m3

    Sumber: Departemen QC, 2010-2011

    Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa hasil pengukuran terakhir

    konsentrasi debu total tertinggi yang melebihi NAB adalah pada area packing (11.27

    mg/m3>10 mg/m

    3). Nilai konsentrasi ini meningkat karena pada bulan Juli 2010

    permintaan akan mineral meningkat sehingga dilakukan penambahan bulk truck

    berkapasitas 30 ton dan corong loading. Bulk Truck yang akan membawa hasil produksi

    diisi pada area packing (loading) dengan corong yang langsung bersumber pada mesin

    mill. Hal inilah yang membuat konsentrasi debu pada area packing meningkat tajam.

    Gambar 5.1

    Corong dan Bulktruck Baru pada Proses Packing (Loading)

    Sumber: Sibelco, 2010

  • 69

    Meskipun masih berada di bawah NAB, konsentrasi debu total pada area

    grinding mengalami kecenderungan peningkatan dari hasil tiap pengukuran. Pada

    pengukuran area milling yang terakhir bulan Juni 2011, konsentrasi naik menjadi dua

    kali lebih tinggi daripada konsentrasi sebelumnya karena pada bulan Maret 2011 jumlah

    mesin mill yang beroperasi pada area milling ditambah sehingga jumlah mesin saat ini

    ada tiga (3) buah mesin mill.

    Gambar 5.2

    Pengoperasian Ball Mill 3

    Selanjutnya pada area lain, hasil pengukuran belum bisa dinilai terlalu jauh

    karena pengukuran konsentrasi debu total ini belum dilakukan oleh perusahaan minimal

    setiap bulan karena berbagai faktor terkait internal perusahaan.

  • 70

    5.2 Analisis Univariat

    Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari

    hasil penelitian yang telah diperoleh. Berdasarkan hasil lembar skrining pekerja

    didapatkan sebanyak 60 pekerja yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Analisis

    univariat dalam penelitian ini adalah KVP, konsentrasi debu total, usia, kebiasaan

    olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja, dan penggunaan masker.

    5.2.1 Gambaran Pekerja Bagian Plant Berdasarkan Nilai KVP Pada PT.

    Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011

    Kapasitas Vital Paru (KVP) pekerja bagian plant dapat diketahui

    melalui pengukuran dengan menggunakan alat spirometri. Berikut ini

    adalah gambaran pengukuran nilai KVP pekerja bagian plant PT. Sibelco

    Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan skala rasio:

    Tabel 5.2

    Gambaran Kapasitas Vital Paru Pekerja bagian Plant

    PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011

    Rata-

    Rata

    Standar

    Deviasi

    Nilai

    Terendah

    Nilai

    Tertinggi

    95%CI

    84.57 9,724 65 108 82.05-

    87.08

    Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari 60 pekerja yang bekerja

    pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki nilai rata-

  • 71

    rata KVP 84.57% dengan KVP terendah 65%. Selain itu juga, didapat

    distribusi data dari nilai KVP pekerja bagian plant sebanyak 19 pekerja

    (31.67%) memiliki nilai KVP dibawah normal (KVP79%).

    5.2.2 Gambaran Pekerja bagian Plant Berdasarkan Konsentrasi Debu Total

    pada PT. Sibelco Lautan Minerals

    Berikut ini adalah gambaran pengukuran konsentrasi debu total

    pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang

    menggunakan skala rasio:

    Tabel 5.3

    Gambaran Konsentrasi Debu Total (KDT) Pekerja bagian Plant

    PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011

    Rata-

    Rata

    Standar

    Deviasi

    Nilai

    Terendah

    Nilai

    Tertinggi

    95%CI

    2.41 1.28 0.22 4.04 2.08-2.74

    Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa dari 60 pekerja yang

    bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki

    nilai rata-rata konsentrasi debu total sebesar 2.41 mg/m3

    dengan

    konsentrasi debu tertinggi 4.04 mg/m3 yang memapar pekerja.

  • 72

    5.2.3 Gambaran Pekerja bagian Plant Berdasarkan Karakteristik Pekerja

    PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011

    1). Usia

    Berikut ini adalah gambaran pengukuran usia pekerja bagian plant

    PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan skala rasio:

    Tabel 5.4

    Gambaran Usia Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals

    Jakarta Tahun 2011

    Rata-rata SD Nilai

    Terendah

    Nilai

    Tertinggi

    95%CI

    33.48 6.435 22 45 31.82-35.15

    Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa dari 60 pekerja yang

    bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki

    nilai rata-rata usia 33.48 tahun, dengan usia tertua 45 tahun.

    2). Kebiasaan Olahraga

    Pengukuran kebiasaan olahraga pekerja bagian plant PT. Sibelco

    Lautan Minerals Jakarta dikategorikan menjadi tidak olahraga,

    olahraga < 3 kali/ minggu, olahraga 3 kali/minggu. Selain itu juga

    jenis olahraga dan durasi olahraga yang dilakukan juga akan dianalisis.

  • 73

    Berikut ini merupakan hasil pengukuran kebiasaan olahraga pekerja

    bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta.

    Tabel 5.5

    Gambarab Kebiasaan Olahraga Pekerja bagian

    Plant PT. Sibelco Lautan Minerals

    Jakarta Tahun 2011

    Kebiasaan Olahraga Jumlah %

    Tidak Olahraga 23 38.3

    Olahraga < 3 kali/minggu 31 51.7

    Olahraga 3 kali/minggu 6 10

    Total 60 100

    Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang

    bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta masih

    terdapat 23 pekerja (38.3%) yang tidak memiliki kebiasaan olahraga.

    3). Kebiasaan Merokok

    Kebiasaan merokok pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta dikategorikan menjadi merokok, tidak merokok dan

    mantan perokok. Selain itu juga jenis rokok dan jumlah rokok yang

    dikonsumsi pekerja bagian plant setiap hari juga dianalisis. Berikut ini

    merupakan hasil pengukuran kebiasaan merokok pekerja bagian plant PT.

    Sibelco Lautan Minerals Jakarta.

  • 74

    Tabel 5.6

    Gambaran Kebiasaan Merokok Pekerja bagian

    Plant PT. Sibelco Lautan Minerals

    Jakarta Tahun 2011

    Kebiasaan Merokok Jumlah %

    Merokok 32 53.3

    Mantan perokok 9 15

    Tidak Merokok 19 31.7

    Total 60 100

    Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang

    bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta terdapat

    sebanyak 32 pekerja (53.3%) memiliki kebiasaan merokok.

    4). Status Gizi

    Salah satu penilaian status gizi adalah dengan melihat nilai Indeks

    Masa Tubuh (IMT). Indeks tersebut diukur dengan mendapatkan nilai

    berat badan dan tinggi badan pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta. Nilai IMT ini dikategorikan menjadi kurus (17,0 18,5),

    normal (> 18,5-25,0) dan gemuk (>25,0). Hasil pengukuran tersebut dapat

    dilihat pada tabel berikut:

  • 75

    Tabel 5.7

    Gambaran Status Gizi Pekerja bagian Plant

    PT. Sibelco Lautan Minerals

    Jakarta Tahun 2011

    Status Gizi Jumlah %

    Kurus (17,0 18,5) 5 8.3

    Normal (> 18,5-25,0) 39 65

    Gemuk (>25,0) 16 26.7

    Total 60 100

    Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang

    bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta terdapat

    sebanyak 5 pekerja (8.3%) memiliki status gizi kurus.

    5). Masa Kerja

    Berikut ini adalah gambaran pengukuran masa kerja pekerja

    bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan

    skala rasio:

    Tabel 5.8

    Gambaran Masa Kerja Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals

    Jakarta Tahun 2011

    Rata-rata Standar

    Deviasi

    Nilai

    Terendah

    Nilai

    Tertinggi

    95% CI

    6.70 3.509 1 13 5.79-7.61

  • 76

    Berdasarkan tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang

    bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki

    nilai rata-rata masa kerja 6.70 tahun, dengan masa kerja masa kerja tertua

    13 tahun.

    6). Penggunaan Masker

    Penggunaan masker pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta dikategorikan menjadi menggunakan masker dan tidak

    menggunakan masker. Berikut ini adalah gambaran distribusi frekuensi

    penggunaan masker pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan

    Minerals Jakarta:

    Tabel 5.9

    Gambaran Penggunaan Masker Pekerja bagian

    Plant PT. Sibelco Lautan Minerals

    Jakarta Tahun 2011

    Penggunaan Masker Jumlah %

    Tidak menggunakan 22 36.7

    Menggunakan 38 63.3

    Total 60 100

    Berdasarkan tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang

    bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta ada

  • 77

    sebanyak 22 pekerja (36.7%) yang masih bekerja pada area plant dengan

    tidak menggunakan masker.

    5.3 Analisis Bivariat

    Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui hubungan antara dua

    variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Dalam pengujian hipotesis penelitian

    dengan data (rasio) harus memenuhi syarat uji normalitas distribusi data. Uji normalitas

    distribusi data masing-masing variabel meliputi KVP, konsentrasi debu total, masa kerja

    dan usia dengan jumlah sampel sebanyak 60 pekerja. Adapun hasil uji tersebut dapat

    dilihat pada tabel 5.10 berikut:

    Tabel 5.10

    Hasil Uji Normalitas Data dengan Kolmogorof-Smirnof Z

    Variabel Sig Keterangan

    KVP 0.812 Normal

    Konsentrasi debu total 0.210 Normal

    Usia 0.703 Normal

    Masa kerja 0.456 Normal

    Hasil analisis pada tabel 5.10 diketahui bahwa data masing-masing

    variabel yaitu KVP dengan hasil analisis taraf signifikansi 0.812 > 0.05 dan

    variabel konsentrasi debu total dengan hasil analisis taraf signifikan 0.451 >

    0.05. Selanjutnya variabel masa kerja dengan hasil analisis taraf signifikansi

    0.856 > 0.05 serta variabel usia dengan hasil analisis taraf signifikansi 0.703 >

  • 78

    0.05. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa penyebaran data

    distribusi subjek penelitian untuk keempat variabel tersebut dalam keadaan

    normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji parametrik.

    5.3.1 Hubungan antara Konsentrasi Debu Total dengan KVP pada Pekerja

    bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011

    Hubungan antara konsentrasi debu total yang memapar pekerja