pengantardemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/rilis-kajian... · web viewhal ini merujuk...

51
0

Upload: others

Post on 15-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

Disusun oleh:

Aaron Tirtha

Adelia Susanto

Alifia Khansa

Antonella

Antonius Havik

Aqshal Muhammad

Cora Kristin

Daniel Tangkas

Derby Pambudi

Eduardo Kayona

Eugen Mohamad

Fisco Moedjito

Kevin Daffa Athilla

Muhammad Ardiansyah

Nivia Pipit

Ricko Aldebarant

Shafira Dinda

Syahrico

Thoriq

Yumna Nafisah

Tariq Hidayat Pangestu

ii

Daftar Isi

Daftar Isi1Pengantar2Permasalahan Aspek Prosedural dan Opsi Mekanisme Pembatalan UU Cipta Kerja3Permasalahan dalam Kluster Lingkungan9Permasalahan dalam Kluster Agraria9Permasalahan dalam Kluster Ketenagakerjaan10Permasalahan dalam Kluster Administrasi Pemerintahan dan Pelaksanaannya14Permasalahan Ketentuan Sanksi Pidana17Permasalahan dalam Kluster UMKM dan Penanaman Modal19Pernyataan Sikap Dema Justicia23

Pengantar

Perubahan undang-undang merupakan keniscayaan yang tidak bisa dibendung. Hal ini dikarenakan menurut Sudikno Mertokusumo suatu undang-undang selalu berjalan di belakang peristiwa (het recht hinkt achter de feiten aan).[footnoteRef:1] Dalam negara hukum menurut Maria Farida pembentukan undang-undang adalah menciptakan modifikasi atau perubahan kehidupan masyarakat.[footnoteRef:2] Berdasarkan kontruksi tersebut pembentukan suatu undang-undang haruslah sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat seperti yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, kontradiksi terjadi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinilai baik secara prosedural maupun subtansi dinilai menimbulkan problematika yang pelik. Indikasi utamanya adalah terkait proses pembentukan undang-undang ini tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang pada status quo terdapat dalam Pasal dan 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketataan terhadap asas ini menjadi penting karena eksistensinya untuk memberi suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.[footnoteRef:3] Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman dalam penyusunan undang-undang yang sejalan dengan prinsip supremasi konstitusi.[footnoteRef:4] Atas permasalahan baik secara prosedural maupun materi muatan, Maria SW Sumardjono yang mengutip disertasi Mahfud MD menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan tipologi undang-undang elitis, ortodoks, dan otoriter karena diberlakukan sebagai instrumen untuk melaksanakan kehendak sepihak dari penguasa.[footnoteRef:5] Lebih lanjut menurut Mahfud MD produk hukum dengan karakter ortodoks, konservatif, elitis terjadi dalam negara dengan konfigurasi politik otoriter.[footnoteRef:6] Produk hukum seperti ini lebih mencerminkan visi sosial elit politik dan keinginan pemerintah dan tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat.[footnoteRef:7] [1: Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 103] [2: Sally Falk Moore, “Law And Social Change: The Semi-Autonomous Social Field As An Appropriate Subject Of Study,” Law and Society Review 7, no. 4 (1973): Hlm. 721.] [3: Maria Farida Indrati, 2002, Ilmu Perundang-undangan 1 : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 5-6] [4: Department of Legislative Services Office of Policy Analysis, 2012, Legislative Drafting Manual, Annapolis, Maryland, hlm. 93] [5: Maria SW Sumardjono dalam Anotasi Hukum Undang-Undang Cipta Kerja, 10 November 2020, Kanal Pengetahuan Hukum UGM. https://www.youtube.com/watch?v=10u6XXfi1Ig, diakses pada 11 November 2020.] [6: Mahfud MD, 2006, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm. 15] [7: Ibid. hlm. 25-27]

Oleh sebab itu, melihat proses dan hasil pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak berlebihan dalam tulisan ini Dema Justicia menyatakan hal ini sebagai bentuk Legislasi Picisan. Kata “Legislasi” dimaknai sebagai suatu proses yang utuh mulai proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.[footnoteRef:8] Sedangkan “Picisan” merupakan suatu bentuk kiasan terhadap segala apapun yang bermutu rendah yang juga bersinonim dengan kata inferior atau kelas dua. Adapun dalam tulisan ini akan dibahas mengenai permasalahan prosedural berupa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta permasalahan subtansi dalam kluster Lingkungan, Agraria, Ketenagakerjaan, Administrasi Pemerintahan, UMKM dan Kemudahan Berusaha, dan Ketentuan Sanksi Pidana. Dalam kluster Lingkungan permasalahannya adalah Diakhir tulisan menjadi satu bagian yang tak terpisahkan tercantum sikap Dema Justicia terhadap pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. [8: Dikembangkan oleh Tim Penyusun dalam Saldi Isra, 2018, Pergeseran Fungsi Legislasi, Raja Grafindo Persada, Depok, hlm. 299]

Permasalahan Aspek Prosedural dan Opsi Mekanisme Pembatalan UU Cipta Kerja

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat tahapan-tahapan dan asas penyusunan yang harus benar-benar diterapkan. Akan tetapi, dalam pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja seolah diabaikan. Sebagai suatu produk hukum yang mengatur berbagai macam sektor yang amat berpengaruh kepada masyarakat, UU Cipta Kerja dalam pembentukannya justru menabrak ketentuan mengenai tahapan dan asas penyusunan suatu perundang-undangan. Padahal disaat yang bersamaan menurut Susi Dwi Harijanti dalam due process of law, terdapat due process of substantive dan due process of procedural dalam hal ini tanpa memenuhi hak-hak procedural seperti keterlibatan masyarakat dan prinsip keterbukaan lainnya maka hak-hak subtantif tidak dapat dipenuhi.[footnoteRef:9] Adapun permasalahan mengenai hal ini Pertama, dalam pembentukan UU Cipta Kerja minim adanya keterbukaan. Dimulai dari tahap awal yakni pada saat pengajuan draft RUU Cipta Kerja oleh Pemerintah kepada DPR. Kala itu, draft mengenai RUU Cipta Kerja sudah tersebar di berbagai sosial media, tetapi justru tidak bisa ditemukan pada laman resmi pemerintah maupun DPR RI.[footnoteRef:10] Tidak adanya draft RUU Cipta Kerja yang dirilis dalam laman resmi pemerintah dan DPR ini jelas menunjukkan bahwa sejak awal tidak adanya keterbukaan. Padahal, dalam pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan asas keterbukaan yakni dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.[footnoteRef:11] Tak berhenti pada tahap awal saja, prinsip keterbukaan dalam pembentukan UU Cipta Kerja kembali absen di tahap setelah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI 5 November 2020 lalu. Setelah dilakukan pengesahan, beredar 5 sampai 6 draft di masyarakat dengan jumlah halaman yang terus berbeda-beda.[footnoteRef:12] DPR pun tak kunjung memberikan kejelasan, bahkan dalam laman resminya tidak terdapat juga draft RUU Cipta Kerja.[footnoteRef:13] [9: Keterangan ahli Susi Dwi Harijanti dalam Judicial Review di MK Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019. hlm. 63.] [10: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, “RUU Cipta Kerja: Awal Langkah Penuh Masalah”, https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/ruu-cipta-kerja-awal-langkah-penuh-masalah/, diakses 9 November 2020] [11: Lihat Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan] [12: Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M dalam Pemaparan Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atas Undang-Undang Cipta Kerja, 6 November 2020] [13: Haris Prabowo, “Omong Kosong Transparansi DPR dan Pemerintah Soal UU Cipta Kerja”, https://tirto.id/omong-kosong-transparansi-dpr-dan-pemerintah-soal-uu-cipta-kerja-f54x, diakses 9 November 2020]

Kedua, minimnya partisipasi publik selama proses pembentukan UU Cipta Kerja. Partisipasi publik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan telah diatur dalam pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Prof. Susi Dwi Harijanti pemerintah sudah mengundang pakar, ahli, dan kelompok masyarakat namun masukan tersebut tidak ditindaklanjuti DPR dan Pemerintah dalam proses pembahasan[footnoteRef:14]. RUU Cipta Kerja dilakukan sebanyak 64 kali terdiri dari 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan 6 kali rapat tim perumus dan sinkronisasi[footnoteRef:15]. Dalam proses pembahasan aspirasi publik tidak banyak didengar. Sedikitnya ruang pembahasan yang ada juga menjadi hal yang janggal, mengingat ada 79 UU yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020. DPR terkesan tergesa-gesa dalam proses pembahasan tanpa memperhatikan keterlibatan publik. Degradasi keterlibatan publik semakin terlihat dengan tidak jelasnya draft mana yang sedang dalam proses pembahasan oleh DPR, bahkan anggota DPR dari fraksi PKS juga mengaku belum mendapatkan draft yang sedang dibahas[footnoteRef:16], tidak hanya sampai tahap pembahasan bahkan setelah RUU Cipta Kerja telah mendapat persetujuan kejelasan Draft mana yang digunakan masih saja simpang siur. [14: Haryanti Puspa Sari, “Guru Besar Hukum Sebut UU Cipta Kerja Tak Pertimbangkan Aspirasi Rakyat”, https://nasional.kompas.com/read/2020/10/09/19135131/guru-besar-hukum-sebut-uu-cipta-kerja-tak-pertimbangkan-aspirasi-rakyat, diakses tanggal 9 November 2020.] [15: Nugroho, “Keterlibatan Publik dalam Pembahasan RUU Ciptaker”, https://rri.co.id/humaniora/info-publik/910193/keterlibatan-publik-dalam-pembahasan-ruu-ciptaker#, diakses tanggal 9 November 2020. ] [16: Haryanti Puspa Sari, “Politisi PKS Sebut Anggota DPR Tak Pegang Draf Final UU Cipta Kerja saat Hari Pengesahan”, https://nasional.kompas.com/read/2020/10/08/16410841/politisi-pks-sebut-anggota-dpr-tak-pegang-draf-final-uu-cipta-kerja-saat?page=all, diakses tanggal 9 November 2020.]

Keterlibatan masyarakat sangatlah penting dalam pembentukan Undang-Undang mengingat peraturan tersebut akan berdampak pada secara luas. Dengan minimnya keterlibatan publik hal ini akan menimbulkan kecurigaan bahkan penolakan, hal ini nampak dengan gelombang protes di seluruh Indonesia yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Setidaknya hingga 9 November 2020 terdapat 4 permohonan judicial riview UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja[footnoteRef:17]. Menurut Dr. Zainal Arifin Mochtar perlu adanya pembatasan-pembatasan dalam konteks formal, agar kekuasan tidak dibuat serampangan. Formalitas tersebut merupakan bentuk dari kedaulatan rakyat, peran serta warga negara dalam partisipasi dan menyuarakan aspirasi telah dijamin dengan undang-undang[footnoteRef:18] [17: Vendhy Yhulia Susanto, “MK sebut ada 4 permohonan uji materi UU Cipta Kerja”, https://nasional.kontan.co.id/news/mk-sebut-ada-4-permohonan-uji-materi-uu-cipta-kerja, diakses tanggal 9 November 2020. ] [18: Dr. Zainal Arifin Mochtar, “Legislasi nan Menyebalkan”, Kompas, 20 Oktober 2020.]

Ketiga, praktik salah ketik. Undang-Undang No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) merupakan sebuah Undang-Undang yang mencakup banyak aspek didalam kehidupan masyarakat (Konsep Omnibus Law). Sehingga sudah seyogyanya Undang-Undang ini dibahas dan dibentuk secara teliti mulai dari proses penyusunannya. Nyatanya, masih terdapat beberapa kesalahan berupa salah rujukan ataupun salah ketik (typo) didalam UU Cipta Kerja. Hal ini diakui oleh Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purnowo, yang mengatakan bahwa kesalahan didalam UU Cipta Kerja bersifat redaksional dikarenakan kurangnya waktu dan juga kendala dimasa pandemi covid-19.[footnoteRef:19] Hal ini dibuktikan didalam Pasal 6 UU No.11 Tahun 2020 yang menyebutkan “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf a meliputi….”. Sedangkan, di dalam Pasal 5 sendiri, tidak terdapat satupun ayat didalamnya. Hal serupa juga terjadi pada Pasal 151 Ayat (1) yang menyatakan: “Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b terdiri atas….”. Padahal di dalam Pasal 141 sendiri, juga tidak terdapat ayat satupun didalamnya. Selain itu dalam ketentuan Pasal 175 Angka 6 Ayat (5) yang menyatakan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden”, apabila diperhatikan lebih lanjut pada Pasal 175 Angka 6 Ayat (3) sendiri pada pokoknya justru menjelaskan mengenai penetapan keputusan melalui sistem elektronik, yang mana seharusnya Pasal 175 Angka 6 Ayat (5) tersebut merujuk kepada ayat (4) yang membahas permohonan dikabulkan secara hukum apabila Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan (Fiktif Positif). [19: Farisa, Fitria Chusna, “Ungkap Sebab UU Cipta Kerja Salah Ketik, Istana:Omnibus Tak Familiar”, https://nasional.kompas.com/read/2020/11/06/15052351/ungkap-sebab-uu-cipta-kerja-salah-ketik-istana-omnibus-tak-familiar?page=all, diakses pada 9 November 2020]

Apabila melihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 72 Ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa tenggat penyampaian rancangan undang-undang kepada Presiden paling lama ialah 7 hari. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 72 Undang-Undang No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa pada pokoknya tenggat waktu 7 (tujuh) hari yang dimaksud di dalam Pasal 72 Ayat (2) tersebut hanya untuk persiapan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan semata.[footnoteRef:20] Sehingga sudah seharusnya setelah disahkan didalam rapat paripurna, sebuah RUU sudah bersifat final. [20: Undang-Undang No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.]

Selain dilanggarnya beberapa prinsip dalam pembentukan undang-undang, hal lain yang perlu disorot dari UU Cipta Kerja ini adalah mengenai aturan turunannya. Dengan banyaknya muatan materi dan sektor yang diatur menyebabkan UU Cipta Kerja mensyaratkan adanya sekitar 500 aturan turunan. Jumlah aturan turunan yang begitu banyak ini justru akan menyebabkan over-regulated yang mana hal tersebut kontradiktif dengan semangat utama pembuatan UU ini yakni untuk menyederhanakan berbagai peraturan perundang-undangan.

Opsi Mekanisme Pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja

Dengan berbagai problematika yang tercipta setelah adanya Undang-Undang No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, muncul pandangan untuk membatalkan Undang-Undang No.11 Tahun 2020 ini dengan berbagai cara. Setidaknya terdapat dua cara konstitutional untuk membatalkan UU Cipta Kerja ini. Pertama, Sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dicabut dengan Peraturan Perundang-Undangan yang setingkat atau lebih tinggi.[footnoteRef:21] Frasa “batal” didalam penyusunan Peraturan Perundang-Undangan kurang dikenal, namun hal ini disinggung Penjelas Pasal 5 Huruf b UU No.12 Tahun 2011. Jika sebuah Peraturan Perundang-Undangan dibuat oleh sebuah lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang maka pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut batal demi hukum. Salah satu cara pencabutan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu dengan memaksa Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang menyatakan mencabut sebuah Undang-Undang. [21: Lampiran II Nomor 158 dan 159 UU No.12 Tahun 2011]

Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, hierarki peraturan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yakni sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berada ditingkat yang sama dengan Undang-Undang, sehingga sebuah Perppu dapat mencabut sebuah Undang-Undang yang berlaku. Presiden hanyalah satu-satunya pejabat yang berwenang mengeluarkan sebuah Perppu. Kewenang Presiden didalam mengeluarkan Perppu dinyatakan didalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” [footnoteRef:22] Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi memberikan sebuah tolak ukur sebagai kriteria bagi “kegentingan yang memaksa” didalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam putusannya MK memberikan tiga kriteria bagi Presiden untuk menetapkan sebuah Perppu, antara lain: [22: Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945]

i. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

ii. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

iii. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan carfa membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.[footnoteRef:23] [23: Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU-VIII/2009]

Setelah mengeluarkan sebuah Perppu, maka Perppu tersebut wajib untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikutnya.[footnoteRef:24] Jika tidak mendapatkan persetujuan dari DPR maka, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut.[footnoteRef:25] [24: Lihat Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945] [25: Lihat Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945]

Kedua, selain melalui mekanisme Perppu, pembatalan UU Cipta Kerja juga bisa dilakukan melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan salah satunya untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.[footnoteRef:26] Dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Dimana yang dimaksud dengan pengujian materiil ialah pengujian undang-undang yang berkaitan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. [26: Lihat Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945]

Apabila putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian materiil undang-undang menyatakan bahwa pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[footnoteRef:27] Sedangkan apabila putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian formil menyatakan bahwa pembentukan undang-undang yang diujikan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[footnoteRef:28] Sehingga, apabila dikontekstualisasikan dengan UU Cipta Kerja, pengujian terhadap undang-undang a quo bisa dilakukan melalui pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Kemudian apabila dinyatakan oleh putusan Mahkamah Konstitusi bahwa muatan materi UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan/atau proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI 1945, undang-undang a quo secara otomatis tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi. [27: Lihat Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2oo3 Tentang Mahkamah Konstitusi] [28: Lihat Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2oo3 Tentang Mahkamah Konstitusi]

Permasalahan dalam kluster Lingkungan

· Pelemahan Aspek Administratif

Hukum administrasi merupakan salah satu bidang spesifik dalam penegakkan hukum lingkungan disamping hukum pidana dan perdata. Aspek administratif dimaknai sebagai upaya penerapan dari norma kewenangan, perintah, larangan, izin, dan dispensasi.[footnoteRef:29] Birokrasi yang ada di dalamnya tidak semata mata hanyalah untuk mempersulit berjalannya kegiatan usaha di dalamnya, akan tetapi juga dimaknai sebagai upaya pemerintah daerah maupun pusat guna memastikan suatu perusahaan dapat menjalankan kewajibannya terkait melindungi dan mengelola dan melindungi kelestarian lingkungan hidup. Perlu diingat bahwa dalam memandang suatu lingkungan hidup diperlukan perspektif yang holistik. Holistik disini dimaknai sebagai suatu paradigma yang mengartikan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan hidup sendiri adalah gabungan dari komponen abiotik, biotik, serta budaya/perilaku. Sebelum adanya UU Cipta Kerja, regulasi terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termuat dalam hukum positif di Indonesia yang berupa UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.[footnoteRef:30] Salah satu produk administrasi yang diatur dalam UU a quo adalah berupa izin lingkungan yang merupakan prasyarat suatu usaha dalam mendirikan usaha dan menjalankan kegiatan usahanya. [29: Maradona dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Hukum Lingkungan dan Teori, Legislasi, dan Studi Kasus, hlm. 496.] [30: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).]

Yang menjadi sorotan permasalahan dalam UU Cipta Kerja ini adalah pengubahan izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Intensi dari perubahan ini turut dijelaskan dalam Pasal 21 UU Cipta Kerja dimana dijelaskan bahwa dalam rangka mempermudah perolehan persetujuan lingkungan, beberapa ketentuan yang ada dalam UU PPLH diubah, dihapus, atau diterapkan suatu pengaturan baru. Namun, langkah dan tujuan ini tidak dapat dibenarkan begitu saja. Izin lingkungan sendiri merupakan izin yang diberikan pada pelaku usaha wajib amdal atau UKL-UPL guna menjalankan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai dokumen prasyarat izin usaha dan/atau kegiatan.[footnoteRef:31] Esensi dari izin sendiri adalah memperbolehkan suatu hal yang awalnya dilarang. Sebagai contoh, Surat Izin Mengemudi (SIM) merupakan suatu dokumen yang dibutuhkan seseorang agar dapat mengendarai kendaraan. Jadi, pada dasarnya mengendarai suatu kendaraan adalah dilarang kecuali ia memiliki SIM. Kedudukan dari pemberi izin tentu memiliki posisi yang lebih tinggi dari peminta izin karena pihak yang memperbolehkan izin tentu dianggap lebih memiliki kapabilitas yang lebih tinggi dari peminta izin. Dengan digantinya kata ‘izin’ menjadi ‘persetujuan’ tentu membawa beberapa implikasi yang problematis.[footnoteRef:32] Dijelaskan dalam UU Cipta Kerja, yang dimaksud persetujuan lingkungan adalah: [31: Vide Pasal 1 angka 35 UU PPLH.] [32: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).]

“Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.”[footnoteRef:33] [33: Vide UU Cipker.]

Konsekuensi logisnya adalah dokumen pengganti izin lingkungan ini tidak dapat lagi dianggap sebagai produk administrasi negara. Pada rezim UU PPLH, sebelum dilakukan perubahan oleh UU Cipta Kerja, izin lingkungan adalah salah satu instrumen penegakkan hukum lingkungan yang cukup komprehensif. Terdapat pemaksaan yang dapat dilakukan oleh pemerintah berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan dalam hal ketidaktaatan pelaku usaha terhadap paksaan pemerintah.[footnoteRef:34] Pasal yang mengatur hal tersebut pun dihapus sehingga keberlakuan pemaksaan pemerintah tidak dapat dilaksanaan lagi. Hal ini sudah melemahkan semangat dari hukum administrasi sebagai upaya penegakkan hukum lingkungan. Lebih lanjut lagi, gugatan administratif yang dapat dilakukan oleh masyarakat juga tidak mungkin untuk dilaksanakan. Tentunya ketentuan terkait gugatan administratif[footnoteRef:35] dihapuskan pada UU Cipta Kerja. Konsekuensinya adalah partisipasi masyarakat dalam upaya melestarikan lingkungan terlukai. Pembahasan perihal urgensi partisipasi masyarakat (public participation) dibahas lebih lanjut dalam sub bab berikutnya. [34: Vide Pasal 76 jo. 79 UU PPLH.] [35: Vide Pasal 93 UU PPLH.]

· Reduksi Partisipasi Masyarakat

Dalam Pasal 26 UU Cipta Kerja, terdapat reduksi definisi masyarakat serta kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat yang sebelumnya telah diatur dalam UU PPLH. Dalam UU Cipta Kerja ini menghilangkan poin-poin yang telah terdapat dalam Pasal 26 ayat (3) UU PPLH yang berbunyi:[footnoteRef:36] [36: Vide Pasal 26 ayat (3) UU PPLH.]

“Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

a. yang terkena dampak; 

b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau 

c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.”

Dalam UU Cipta Kerja, hanya masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan kegiatan yang dapat terlibat dalam penyusunan amdal. Hal ini sekaligus menghilangkan hak bagi pemerhati lingkungan hidup dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan untuk ikut andil dalam proses amdal, padahal pada praktiknya mereka lah yang sering memberikan paham idealismenya terhadap proses pembuatan amdal ini. Hilangnya hak mereka untuk turut andil dalam proses amdal ini dapat mengakibatkan degradasi kualitas amdal karena masyarakat terdampak tidak memiliki keahlian seperti pemerhati lingkungan hidup untuk mengkritisi amdal ini. 

UU Cipta Kerja selain seperti yang telah disebutkan sebelumnya juga menghapus ketentuan lain yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPLH. Ayat tersebut berbunyi:

“Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.” [footnoteRef:37]  [37: Vide Pasal 26 ayat (4) UU PPLH.]

Dihapusnya ayat ini dalam UU Cipta Kerja patut disoroti, karena hilangnya ayat ini menyebabkan berkurangnya wewenang masyarakat karena mereka hanya dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan amdal, tanpa ada hak untuk mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal jika ada poin yang dirasa merugikan. Padahal seperti yang kita ketahui, partisipasi masyarakat (public participation) merupakan salah satu prinsip yang diakui keberadaannya oleh pergaulan internasional guna memantau kebijakan atau keputusan pemerintah dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana termuat dalam Rio Declaration.[footnoteRef:38] Lothar Gundling berpendapat bahwa dengan adanya public participation memiliki tujuan untuk meningkatkan kesiapan publik dalam menerima keputusan, memberikan perlindungan yuridis, dan memberlakukan decision-making yang terdemokratisasi.[footnoteRef:39] Oleh karenanya, sungguh disayangkan sekali kebijakan pemerintah dalam meniadakan partisipasi publik ini yang mana sudah pasti melukai hak-hak yang dimiliki publik untuk berpartisipasi dan mengakses informasi terkait kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. [38: Laode M. Syarif, Maskun, Birkah Latif, et al dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op cit, hlm. 66.] [39: Ibid.]

· Pengacauan Ketentuan Sanksi dalam Rezim PPLH

Selain administrasi, penegakkan hukum lingkungan juga berada dalam lingkup hukum pidana, khususnya dalam hukum pidana administratif, dan perdata.[footnoteRef:40] Baik di lingkup pidana maupun perdata, terdapat beberapa pasal yang menjadi sorotan masalah. Pertama dalam ranah perdata, bisa kita cermati pada Pasal 88 UU PPLH yang mengatur asas tanggung jawab mutlak (strict liability) atas limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Kita ketahui bersama bahwa limbah B3 dapat memberi masalah yang cukup serius bagi lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 58 ayat (1) yang menegaskan bahwasanya limbah B3 berpotensi cukup besar dalam memberi implikasi yang buruk,[footnoteRef:41] khususnya bagi lingkungan hidup itu sendiri. Dalam penerapannya, pembuktian kausalitas atau hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku usaha dengan akibat kerugian yang ditimbulkan merupakan hal yang sulit untuk dibuktikan.[footnoteRef:42] Kendati pun UU Cipta Kerja masih menyebutkan pertanggungjawaban yang mutlak, frasa ‘yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’ dihilangkan. Nampaknya asas strict liability seperti dicoba untuk direduksi dengan menghilangkan frasa tersebut. Dari penghilangan frasa tersebut jelas adanya bahwa intensi pemerintah adalah untuk ‘menjinakkan’ esensi dari asas a quo sehingga dalam penerapannya akan semakin sulit. Padahal asas ini merupakan asas dalam hukum lingkungan yang mana merupakan landasan krusial dalam menegakkan keadilan pada hukum lingkungan itu sendiri. [40: Maradona dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op cit, hlm. 495. ] [41: Vide penjelasan Pasal 58 ayat (1) UU PPLH.] [42: Antonius Havik Indradi, Aqshal Muhammad Arsyah, Kevin Daffa Athilla, Naufal Hilmy, Tariq Hidayat Pangestu, et al, “Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan Agraria dan Lingkungan”, Dema Justicia, 2020, hlm. 20.]

Dalam konteks hukum pidana administratif, terdapat sanksi pidana administratif (administrative-penal law) yang dicoba untuk dihilangkan. Penerapan hukum administrasi sendiri memiliki sifat represif[footnoteRef:43] yang merupakan instrument penegakkan hukum lingkungan yang cukup krusial. Dalam hukum positif Indonesia, dapat dilihat pada Pasal 102 UU PPLH yang menyebutkan bahwa seseorang yang mengelola limbah tanpa izin akan dikenai sanksi pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda.[footnoteRef:44] Urgensi dari kepemilikan izin, diatur dalam PP No. 101 Tahun 2014, ini adalah pemantauan pemerintah terhadap pengelolaan limbah B3 berdasar kemampuan seseorang atau perusahaan untuk mengelola dan berdasar lokasi tempat pengelolaan limbah B3 tersebut. Dengan kata lain, izin pengelolaan limbah B3 ini penting adanya sehingga dapat dikenai sanksi apabila pengelola tidak memilikinya. Sungguh sangat disesali bahwa pasal a quo dihapus keberadaannya pada UU Cipta Kerja. Tentu konsekuensi yang dapat muncul adalah maraknya pengelolaan limbah B3 yang tidak terkontrol. Hal ini tentu tidak selaras dengan apa yang diatur dalam Pasal 2 Permen Lingkungan Hidup No. 2 tahun 2013 bahwasanya salah satu tujuan penerapan sanksi administratif adalah menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.[footnoteRef:45] [43: Maradona dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op cit, hlm. 498.] [44: Ibid.] [45: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup]

Adanya penerapan sanksi pidana yang tidak adil juga turut berkontribusi dalam ‘pengacauan’ kluster lingkungan. UU Cipta Kerja mengubah Pasal 109 UU PPLH yang mengatur sanksi pidana administratif bagi setiap orang yang tidak memiliki dokumen administratif (pengganti izin lingkungan) berupa pidana kumulatif yakni pidana penjara dan denda.[footnoteRef:46] Kemudian ketentuan tersebut diubah dan mengalami perluasan unsur delik dari yang awalnya delik formil menjadi delik materiil. Kentara dari adanya frasa ‘yang mengkibatkan’ pada pasal a quo. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa perubahan ini menyulitkan pemenuhan delik pidana tersebut sehingga harus dibuktikan dengan tambahan satu delik yang baru yakni akibat dari perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup tersebut. Sejatinya, ketentuan sanksi pidana yang diterapkan atas akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkungan sudah termuat dalam Pasal 99 UU PPLH. Hingga UU Cipta Kerja disahkan pun Pasal a quo juga tetap berlaku. Yang menjadi sorotan adalah dengan hadirnya perubahan pada Pasal 109 sebagaimana disebutkan di atas. Kedua pasal tersebut dapat saja bersinggungan satu sama lain. Pasal 99 sudah memaparkan klasifikasi sanksi pidana atas kerusakan lingkungan yang cukup jelas. Pembagian tersebut dibagi menjadi tiga yakni:[footnoteRef:47] [46: Ibid.] [47: Vide Pasal 99 ]

a. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kelalaian

b. Kelalaian yang mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia

c. Kelalaian yang mengakibatkan orang luka berat atau mati

Sanksi pidana yang diterapkan pun beragam sesuai dengan akibatnya. Nampak jelas bahwa pasal a quo sudah menerapkan sanksi berdasar signifikan atau tidaknya tindakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Akan tetapi, ketika kita melihat Pasal 109 UU Cipta Kerja yang menggabungkan delik ketiadaan izin dan semua klasifikasi pada Pasal 99, ketentuan sanksi pidana pada pasal tersebut nampak tidak adil karena akan mengesampingkan semua pemidanaan pada Pasal 99. Orang yang melakukan kerusakan lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).[footnoteRef:48] Sementara itu, orang yang mengakibatkan hal serupa dan tidak memiliki dokumen administratif maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).[footnoteRef:49] Dalam hal ini, ketentuan a quo memberikan problematika yakni bagaimana bisa seseorang yang tidak memiliki dokumen adminsitratif dapat dikenakan strtelsel pidana yang lebih ringan. Wajar adanya apabila masyarakat masih mengharap keadilan yang seadilnya hingga detik ini. [48: Vide Pasal 99 ayat (2) UU PPLH.] [49: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).]

Permasalahan dalam kluster Agraria

Dalam BAB VIII Bagian Keempat UU Cipta Kerja, tidak merujuk UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria sebagai payung regulasi ketentuan-ketentuan tentang pengadaan tanah. UU Cipta Kerja hanya merujuk UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Hal ini bertentangan dengan tujuan awal UU Cipta Kerja itu sendiri, yaitu penyederhanaan regulasi. Bahkan, rumusan pengaturan pertanahan dalam UU Cipta Kerja disusun dengan cara menyalin substansi dalam RUU Pertanahan yang ditunda pembahasannya pada 23 September 2019 karena permasalahan krusial yang belum diperoleh jalan keluarnya. [footnoteRef:50] [50: Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020]

Dalam keseluruhan ketentuan Pasal 143-145 UU Cipta Kerja mengatur bahwa WNA dan badan hukum asing dapat memiliki apartemen/sarusun yang berdiri di atas tanah Hak Guna Bangunan (HGB). Ketentuan ini bertentangan dengan pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pokok Agraria. Dalam pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria dijelaskan bahwa yang dapat memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) adalah warga-negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Diatur pula dalam pasal 36 ayat (2) UU Pokok Agraria apabila orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) tersebut, dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Lebih jauh, ketentuan Pasal 143-145 UU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 dan TAP MPR IX/2001.

Selanjutnya mengenai permasalahan bank tanah. Dalam hal ini kendatipun dirumuskan salah satu tujuannya sebagaimana dalam pasal 126 diantarana untuk reforma agraria, kepentingan pembangunan nasinonal dan konsolidasi lahan namun hal ini terkesan hanya mencari legitimasi. Terjadi kontradiksi dimana awal mula muncul gagasan untuk membentuk bank tanah adalah penyediaan tanah bagi investor.[footnoteRef:51] Seolah-olah masuknya tujuan-tujuan yang ‘mulia’ ini hanyalah peredam gelombang penolakan terhadap usulan pembentukan bank tanah yang prematur. Idealnya Idealnya metode yang diusung dalam bank tanah adalah kontrol pasar dan stabilisasi tanah pasar lokal. Bank tanah menjamin ketersediaan tanah untuk pelbagai keperluan pembangunan di masa yang akan datang, efisiensi APBN/APBD, mengurangi konflik dalam prosespembebasan tanah dan mengurangi dampak buruk liberalisasi tanah.[footnoteRef:52] Dalam UU ini perlu dilihat apa tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah dan apakah bisa-bisa mewujudkan filosofis ekonomi berkeadilan bukan hanya pemanis di atas kertas semata.[footnoteRef:53] [51: Ibid] [52: Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, Margaretha Putaka, Jakarta. hlm. 45.] [53: Dema Justicia, “Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II : Pembahasan Agraria dan Lingkungan”, hlm. 3- 4. http://demajusticia.org/rilis-kajian-mengupas-omnibus-law-bikin-gaklaw-jilid-ii-pembahasan-agraria-dan-lingkungan/, diakses pada 10 November 2020.]

Permasalahan dalam Kluster Ketenagakerjaan

· Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Definisi PKWT baru ditemukan di dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:KEP.100/MEN/VI/4004 yang mendefinisikan PKWT sebagai perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan pekerjaan tertentu.[footnoteRef:54] Pasal 59 ayat 4 Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa batas maksimal pekerjaan yang diperkirakan adalah diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. UU Cipta Kerja telah menghapus ketentuan batasan waktu perjanjian kerja yang sebelumnya diatur dalam pasal tersebut. [54: Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:KEP.100/MEN/VI/4004 tentang ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.]

Implikasi hilangnya ayat tersebut sangatlah serius. Selain menghilangkan jangka waktu maksimal dan batasan perpanjangan, ketentuan baru ini juga menghilangkan kesempatan pekerja untuk berubah status dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.[footnoteRef:55] Padahal, posisi pekerja dalam status kerja kontrak jauh lebih riskan dibanding dengan pekerjaan tetap, karena minimnya perlindungan hukum maupun jaringan pengaman yang diberikan negara. Para pemangku kebijakan ingin merubah sistem ketenagakerjaan buruh menjadi contract-based. Permasalahannya adalah, bahwa tanpa pembatasan waktu yang jelas, posisi buruh yang dipekerjakan dengan kontrak sementara akan selalu rentan akan eksploitasi dan unemployment.[footnoteRef:56] [55: Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”, op.cit., hlm 43.] [56: Cooper, Russell W. Wage And Employment Patterns In Labor Contracts. Routledge, 2001, hlm. 41-42.]

· Alih daya (outsourcing)

Hal lain yang patut dikritisi adalah, ketidakjelasan UU Cipta Kerja dalam bidang alih daya. Perlu diketahui bahwa Pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan merupakan suatu kesatuan yang patut dipandang secara keseluruhan. Pasal 64 memberikan suatu dasar outsourcing yang vital dengan mengatur mengenai penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa/buruh.[footnoteRef:57] Pasal 65 memaparkan prosedur dan persyaratan sebuah outsourcing. Selanjutnya, Pasal 66 memiliki fungsi pembatas dari pekerjaan apa saja yang dapat diganti oleh outsourcing. UU Cipta Kerja telah menghilangkan ketentuan Pasal 64 dan 65, dan merubah isi substansi dari Pasal 66. Dengan menghapuskan pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh ahli daya, pemerintah telah memberi ruang outsourcing untuk menjamur tanpa kendali. Praktisnya, alih daya tanpa pembatasan eksplisit cenderung tidak menguntungkan para pekerja.[footnoteRef:58] [57: Trijono, Rachmat. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Papas Sinar Sinanti, 2020, hlm 175.] [58: Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020Op.Cit, hlm 47.]

· Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

UU Cipta Kerja merevisi dan menghapus beberapa pasal yang sebelumnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Pertama, Pasal 151 ayat 2 UU Cipta Kerja berisi “Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.” Namun pada pasal tersebut adanya pengecualian, terdapat pada pasal selipan, yakni pasal 151A UU Cipta Kerja yang berbunyi: a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri; b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia.” Pada pasal ini, seharusnya pemberitahuan tetap dibutuhkan jika terjadinya keempat hal tersebut, memang dalam hal ini hubungan hukumnya sudah berakhir, tetapi jika tidak adanya pemberitahuan maka akan sulit untuk mendeteksi terkait jaminan sosial pekerja, pesangon atau kompensasi yang seharusnya diberikan kepada pekerja. Kedua, UU Cipta Kerja tentang PHK juga mempermudah terjadinya PHK melalui pasal 151 UU Cipta Kerja yang menghapus ketentuan “Segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Hal ini menjadi kontradiktif dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya, yakni PHK merupakan hal yang sebisa mungkin dihindari dan dilarang. Ketiga, adalah tentang hukum formil yang mengatur tentang PHK. Perbedaannya terletak pada pengarahan hubungan pekerja dan pengusaha sebagai hubungan industrial, yang mana sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dengan penetapan penyelesaian PHK diarahkan kepada hukum perdata ataupun hukum administrasi terlebih dahulu. Sedangkan UU Cipta Kerja mengatur, pada pasal Pasal 151 ayat 4 UU Cipta Kerja yang menggunakan frasa “sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial”. Hal ini merujuk kepada perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa tiap pihak berhak memilih alternatif penyelesaian sengketa dan apabila tidak terselesaikan maka dilanjutkan ke pengadilan hubungan industrial. Sebenarnya, pengaturan mengenai PHK ini bertujuan baik melalui cara menempatkan pekerja dan pengusaha dalam hierarki yang sejajar. Namun, pada prakteknya mempertahankan hak pekerja bukan merupakan hal yang mudah karena adanya ketimpangan posisi jabatan secara hierarkis.[footnoteRef:59] UU Cipta Kerja juga merevisi aturan perihal ketentuan besaran pesangon dan penghargaan masa kerja yang berhak didapatkan pekerja setelah terjadi PHK. Bagian yang menjadi poin utama pada perubahan pasal ini adalah perubahan ketentuan pesangon. Alasan mengenai pengurangan jumlah pesangon didasari evaluasi Kementerian Ketenagakerjaan yang berpendapat bahwa aturan pesangon selama ini tidak implementatif.[footnoteRef:60] Hal ini seharusnya dapat diimplementasikan melalui solusi yang lebih pragmatis, tidak dengan mengubah ketentuan yang sebelumnya diatur. Yakni, dengan cara mengubah sistem dan mekanisme pengawasan sehingga implementasi mengenai aturan pesangon dapat berjalan secara efektif. [59: Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020, Op.Cit, hlm 48.] [60: Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, sepanjang tahun 2019, hanya 27% perusahaan yang mematuhi ketentuan pesangon pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan]

· Pengupahan

Kebijakan pengupahan sudah seharusnya mempunyai tujuan untuk penghidupan yang layak bagi masyarakat.[footnoteRef:61] Hal yang patut dikritisi mengenai upah minimum melalui poin-poin adalah sebagai berikut. Pertama, dalam Pasal 88D UU Cipta Kerja mengenai Pengupahan yang mengatur tentang penghitungan upah minimum berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Hal ini merupakan pengubahan dari Pasal 89 yang menyebutkan “Upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup yang layak.” Kemudian, pada Pasal 88C ayat 1 dan 2 UU Cipta Kerja yang berisi penetapan upah minimum provinsi oleh Gubernur dan penetapan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. Hal ini bermakna bahwa penentuan upah minimum di tingkat regional bersifat opsional. Dampak yang paling krusial adalah kesenjangan pendapatan tiap kota/kabupaten.[footnoteRef:62] [61: Abdul Khakim, 2006, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti. hlm 56] [62: Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020, Op.Cit, hlm 45.]

Selanjutnya, mengenai struktur dan skala upah, UU Cipta Kerja menghilangkan pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dalam penentuan upah. Hal ini sangat ironis karena kontradiktif dengan tujuan perbaikan kualitas SDM di Indonesia. Padahal, pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi adalah penilaian mutlak untuk menentukan upah sebagai reward atas prestasi pekerja. Kesimpulannya, UU Cipta Kerja kurang memperhatikan perlindungan pengupahan secara luas sehingga dapat berpotensi menimbulkan ketidakadilan.[footnoteRef:63] [63: Ibid.]

· Pasal pemanis yang sulit diimplementasikan

Ketentuan-ketentuan baru yang dimunculkan di UU Cipta Kerja ada beberapa yang patut kita apresiasi. Contohnya pengadaan upah minimum bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Yang patut kita kritisi disini adalah ketentuan-ketentuan tersebut masih ambigu dan tidak dapat dibayangkan bagaimana cara pengimplementasiannya. Pasal 90B mengatur upah minimum bagi pekerja UMK merupakan suatu tindakan konkrit dari pemerintah yang ingin mengadakan suatu perlindungan bagi pekerja UMK. Namun, penetapan upah yang berdasarkan perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha sebagaimana ditulis di ayat (2) mengeliminasi adanya pengawasan dari pemerintah itu sendiri. Hal ini sia-sia karena peraturan tersebut tidak akan cukup melindungi pekerja UMK. Berdasarkan fakta, hubungan antara pekerja dan pengusaha tidak pernah sebanding dan setara.

Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 46 A adalah suatu upaya dari pemerintah untuk menghadirkan jenis program sosial bagi mereka yang terkena PHK. Jaminan kehilangan pekerjaan ini menggantikan pengurangan pesangon. Jaminan kehilangan pekerjaan tidak difokuskan pada bentuk uang saja, tetapi “berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja”. Disini tidak dijelaskan seberapa persentase uang tunai yang akan diterima dan hanya disebutkan di Pasal 46 D ayat (2), “Jaminan kehilangan pekerjaan diberikan paling banyak 6 (enam) bulan upah”. Yang menjadi masalahnya adalah jaminan kehilangan pekerjaan tidak bisa menjadi suatu substitusi pengurangan pesangon karena esensi dari pesangon itu sendiri adalah dalam bentuk uang. Pasal 46 D ayat (4) membuat manfaat jaminan kehilangan pekerjaan tidak bisa dirasakan secara langsung karena harus menunggu ketentuan lebih lanjut di peraturan pemerintah.

· UU Cipta Kerja menggenjot iklim investasi

Semangat yang dibangun dalam Undang-Undang Cipta Kerja merupakan berperspektif bisnis, bukan untuk kepentingan pekerja. Sehingga beberapa peraturan yang dirasa menghambat investasi direvisi karena dianggap tidak sejalan dengan paradigma pertumbuhan yang sedang diemban.[footnoteRef:64] Dalam hal ini peraturan yang dirasa dapat menghambat investasi, seperti misalnya perlindungan yang rigid terhadap pekerja. Namun apakah benar perlindungan terhadap pekerja dapat menghambat investasi? Kajian dari World Economic Forum, justru menempatkan korupsi menjadi salah satu faktor yang menghambat investasi di Indonesia. Kajian tersebut menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia.[footnoteRef:65] Sedangkan aturan ketenagakerjaan menduduki urutan ke-12 dari penghambat terbesar investasi.[footnoteRef:66] Bahkan dilansir dari The Economist, salah satu media yang berspektrum sebelah “kanan” justru mengkritik keras kebijakan Presiden Jokowi dalam menetapkan UU Cipta Kerja, ia tidak menyambut antusias deregulasi dan debirokratisasi. Hal ini dinilai akan mengurangi partisipasi pemerintah dan masyarakat lokal dalam eksekusi kebijakan yang diniatkan untuk menggenjot pembangunan.[footnoteRef:67] Tentunya, birokrasi yang dibawa dalam semangat UU Cipta Kerja membawa kembali pada kebijakan pembangunan yang top-down.[footnoteRef:68] [64: Ari Hernawan, 2020, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: Peluang dan Tantangan (Perspektif HukumKetenagakerjaan, Seminar Nasional Dies Natalis FH UGM “Peluang dan Tantangan Menuju Omnibus Law di Indonesia] [65: Dwi Hadya Jayani, “Korupsi Penghambat Utama Investasi.”, https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e6183df7/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-indonesia, diakses tanggal 9 November 2020.] [66: Ibid.] [67: Ulil Abshar-Abdalla, “Berseminya Lagi “Pohon Otoritarianisme”, Kompas, 2 November 2020.] [68: Ibid.]

Permasalahan dalam Kluster Administrasi Pemerintahan

· Mengenai pelaksanaan administrasi pemerintahan untuk mendukung cipta kerja

Dalam ketentuan Pasal 174 disebutkan bahwa kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden. Rasio dihadirkannya pasal a quo jika merujuk pada naskah akademik UU Cipta Kerja dikarenakan kondisi pada saat ini terdapat obesitas regulasi yang saling tumpang tindih yang disebabkan karena ego sektoral masing-masing lembaga sehingga dengan menegaskan Presiden sebagai sumber kewenangan menjalankan dan membentuk peraturan perundang-undangan kepada lembaga terkait diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang ada.[footnoteRef:69] Dari pengaturan ini terdapat beberapa diskursus yang perlu dilihat lebih rigid. Pertama, jika ditinjau dari sistem presidensiil yang menjadi salah satu kesepakatan dasar dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945. Karakteristik sistem presidensiil salah satunya adalah Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan mengangkat para menteri sebagai pembantu yang bertanggungjawab kepadanya.[footnoteRef:70] Sehingga ketentuan ini merupakan upaya menegaskan bahwa pada prinsipnya kebijakan yang diambil bukanlah kewenangan menteri secara sektoral melainkan kewenangan Presiden. Kedua, problematika mulai timbul ketika pengaturan ini mencakup pemerintah daerah. Sejatinya jika dikontekskan dengan bentuk negara kesatuan sebagaimana dicantumkan pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dimana konsekuensi logisnya pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara baik di pusat maupun didaerah.[footnoteRef:71] Namun, perlu digarisbawahi dengan model sentralistik jika diterapkan di Indonesia dengan wilayah yang luas dan penduduk yang jamak terbukti secara historis menemukan kegagalannya yang melahirkan tuntutan pada reformasi yaitu otonomi daerah seluas-luasnya. Hal ini dikarenakan otonomi daerah atau desentralisasi salah satu tujuannya adalah untuk mengatasi masalah kesenjangan antara pusat dan daerah serta kesenjangan lainnya.[footnoteRef:72] Oleh sebab itu, esensi adanya pemerintah daerah adalah agar stimulan bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan semua aspirasinya termasuk dalam sistem hukum dan kebijakan lainnya.[footnoteRef:73] Sehingga perlu ditegaskan bahwa pengawasan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah memang perlu namun jangan sampai jatuh pada jurang intervensi karena berpotensi mematikan unsur artikulasi aspirasi masyarakat yang dijalankan oleh pemerintah daerah. [69: Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 15.16] [70: Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu, Jakarta, hlm. 316.] [71: Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah: Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan Daerah Otonomi Khusus, Bandung: Refika Aditama, hlm. 10.] [72: Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020, op.cit., hlm. 90] [73: Andi Kasmawati, loccit]

· Mengenai administrasi pemerintahan

Pasal 53 ayat (4) menyebutkan bahwa apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan Tindakan, permohonan dapat dikabulkan secara hukum. Dalam hal ini, tidak ada suatu penjelasan mengenai peran PTUN dalam memberikan kekuatan hukum terhadap permohonan penerimaan perizinan seperti yang sebelumnya telah dijelaskan pada pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Atas hal ini timbul beberapa permasalahan yang disebabkan pasal a quo. Pertama, warga negara akan kesulitan untuk mendapatkan kepastian hukum karena penerimaan perizinan tersebut tidak didasarkan pada putusan PTUN, mengingat PTUN merupakan instrument penting yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam urusannya dengan administrasi negara. Hal ini sejalan dengan filosofi dibentuknya PTUN adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak perseorangan dan hak masyarakat untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum atas pebuatan administrasi negara.[footnoteRef:74] Pasal 53 ayat (4) tentu dapat menimbulkan suatu keresahan dan keraguan dalam masyarakat karena tidak memberikan jaminan mengenai perlindungan terhadap sesuatu yang sewenang-wenang. Tidak adanya perlindungan disebabkan karena warga negara tidak memiliki kekuatan hukum yang berkaitan dengan penerimaan perizinan tersebut oleh pengadilan.  [74: Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 25]

Probelmatika selanjutnya mengenai diskresi. Jika merujuk pada ketentuan lama yaitu dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administasi Pemerintahan bahwa syarat dilakukan diskresi yaitu:

a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);

b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Sesuai dengan AUPB;

d. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;

e. Tidak menimbulkan Konflik kepentingan; dan

f. Dilakukan dengan itikad baik

Hal ini diubah dalam pasal 175 angka 2 UU Cipta Kerja dengan menghilangkan syarat “tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Dengan diberlakukannya peraturan ini akan berdampak pada iklim administrasi pemerintahan dimana ruang gerak bagi pejabat pemerintah untuk melakukan sebuah tindakan diperluas sekalipun tanpa terikat sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan. Batasan diskresi merupakan perbuatan Hukum Administrasi. Tindakan tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaan memaksa demi kepentingan umum yang telah ditetapkan suatu peraturan perundang-undangan, dengan batas-batas, yaitu bentuk kebijakannya tidak boleh menyimpang dengan aturan diatasnya serta masih berada dalam ruang lingkup peraturan dasarnya.[footnoteRef:75] Oleh karena itu dengan hilangnya syarat “tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan” akan menimbulkan implikasi-implikasi. Pertama, jika membaca pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang jenis dan hierarki perundang-undangan maka segala jenis peraturan perundang-undangan dapat dilanggar. Kedua, kemungkinan penggunaan diskresi secara luas yang mengakibatkan maladministrasi pejabat negara. Dalam panduan investigasi untuk Ombudsman Republik Indonesia, disebutkan dua puluh macam maladministrasi, yakni penundaan atas pelayanan, melalaikan kewajiban, persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, nyata-nyata berpihak, pemalsuan, pelanggaran undang-undang, perbuatan melawan hukum, tidak kompeten, intervensi, penyimpangan prosedur, bertindank sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, bertindak tidak layak/tidak patut, permintaan imbalan uang/korupsi, penguasaan tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.[footnoteRef:76] Selama ini salah satu instrument penting yang dapat mengatur dan mengontrol wewenang atau kebijakan dari pejabat yang memiliki kewenangan adalah peraturan perundang-undangan, namun syarat tersebut telah dihapuskan. [75: Githa Angela Sihotang, “Diskresi dan Tanggung jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi Darurat”, Jurnal Law Reform Vol. 13 No. 1, 2017, hlm. 60] [76: Julista Mustamu, “Diskresi dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Asasi Vol.17 No.2 Bulan April-Juni 2011, hlm. 7]

Permasalahan Ketentuan Sanksi Pidana

Pengesahan RUU Cipta Kerja ternyata tidak lepas dari permasalahan, salah satunya permasalahan dari segi sanksi pidana. Permasalahan ini menunjukkan ketidakcermatan legislator dalam merancang UU a quo. Permasalahan dari segi sanksi pidana tersebut antara lain:

1. Tumpang tindih pembadanan norma sanksi yang digunakan

Terdapat beberapa pasal di dalam UU Cipta Kerja yang mengatur terkait pelanggaran ketentuan a quo diancam dengan sanksi administrasi, namun pada nyatanya ketentuan pidana pasal-pasal tersebut secara jelas mengancamkan pidana penjara dan sanksi secara kumulatif.[footnoteRef:77] Contoh dari tumpang tindih pembadanan norma sanksi yang digunakan dalam UU Cipta Kerja ini dapat dilihat pada perubahan ketentuan Pasal 71 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berbunyi “Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 huruf c yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp.1 Miliar”. Padahal Pasal 62 UU a quo menyatakan bahwa pelanggaran ketentuan Pasal 61 diancam sanksi administratif. Pertentangan semacam ini memunculkan pertanyaan terkait ketentuan mana yang harus digunakan sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum.[footnoteRef:78] [77: Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020. Hlm. 96-98.] [78: Ibid.]

2. Dampak perbuatan yang diatur tidak sebanding dengan pidana

Dalam ketentuan pidana UU Cipta Kerja, terdapat ketidakseimbangan antara kualitas tindakan dengan besarnya ancaman pidana yang dikenakan.[footnoteRef:79] Tindakan yang hanya berupa pelanggaran administratif diancam dengan pidana kumulatif, sedangkan tindakan yang mengakibatkan kematian justru diancam pidana alternatif.[footnoteRef:80] Contohnya pada perubahan Pasal 70 UU Tata Ruang, di mana pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dari pejabat berwenang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 61 huruf b UU a quo yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dikenakan pidana denda dan penjara (bersifat kumulatif), sedangkan pada Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa jika pemanfaatan ruang ini mengakibatkan kematian, diancam pidana penjara atau denda (alternatif). Pengenaan sanksi pidana yang semacam ini lantas menimbulkan kesan bahwa kedudukan nyawa manusia lebih rendah dibandingkan dengan perubahan fungsi tata ruang. [79: Ibid.] [80: Ibid.]

3. Nihilnya sinkronisasi antar klaster

UU Cipta Kerja sebagai UU sapu jagat yang mengubah lebih dari 70 UU juga tampaknya mengakibatkan tidak adanya sinkronisasi antar klaster. Terdapat perbedaan antara suatu tindak pidana yang sejenis dalam klaster yang berbeda ketentuan sanksi-sanksi pidananya.[footnoteRef:81] Contohnya adalah tindakan yang mengakibatkan kematian pada klaster agraria tepatnya perubahan Pasal 69 ayat (3) UU Tata Ruang menjatuhkan pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp.8 Miliar. Sedangkan pada klaster lingkungan hidup tepatnya perubahan Pasal 109 UU PPLH menjatuhkan pidana penjara maksimal 3 tahun penjara dan denda maksimal Rp.3 Miliar. Seharusnya besarnya sanksi pidananya adalah sama untuk tiap kualitas kejahatan yang berdampak sama. Namun, pada kenyataannya UU Cipta Kerja tidak memenuhi hal tersebut sehingga dikhawatirkan persoalan ini dapat menimbulkan disparitas pidana dalam penegakan hukum kedepannya.[footnoteRef:82] [81: Ibid.] [82: Ibid.]

Permasalahan dalam Kluster UMKM dan Penanaman Modal

Diantara bidang-bidang yang menjadi permasalahan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), salah satunya adalah bidang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMK-M). Terdapat kekhawatiran bahwa UU Cipta Kerja gegabah dalam memberikan kelonggaran perizinan dalam pembuatan Perseroan Terbatas (PT) terhadap Usaha Mikro Kecil (UMK), dan bahwa pemberlakuan perizinan satu pintu di UU Cipta Kerja bertentangan dengan prinsip desentralisasi yang dianut oleh Indonesia. Maka dari itu, terdapat dua rumusan masalah yang di elaborasi pada artikel ini. (1) Apakah Dampak UU Cipta Kerja untuk UMK-M? (2) Bagaimana implikasi perizinan satu atap terhadap hak otonomi daerah.

Dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, bagian Usaha Mikro Kecil-Menengah ( UMK-M ) mengenai basis data tunggal dan pengelolaan terpadu usaha mikro dan kecil dengan sistem klaster. Sistem klaster adalah konsentrasi geografis kawasan industri yang memiliki kesamaan kebutuhan teknologi, tenaga kerja dan Infrastruktur.[footnoteRef:83] Basis data tunggal dapat juga diartikan sebagai sistem pendataan dan informasi yang terintegrasi, dimana para pihak yang ingin mengakses informasi menggunakan sumber yang sama.[footnoteRef:84] Ada beberapa pasal yang menjadi masalah dalam UU Cipta Kerja sehingga berdampak terhadap UMK-M. Pada paragraf-paragraf selanjutnya akan membahas tentang pasal-pasal UU Cipta Kerja yang berdampak terhadap UMK-M [83: Sumaryana, F D. 2018. “Pengembangan Klaster Umkm Dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Usaha.” JISPO: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 58–68. http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jispo/article/view/2771. p.61] [84: Wibisono, Setiyawan. 2005. “Enterprise Resource Planning (ERP) Solusi Sistem Informasi Terintegrasi.” Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK 10 (3): 150–59. p.156]

Pertama, Pasal 153A Ayat (1) membahas tentang pendirian perseroan yang dapat didirikan oleh 1 (satu) orang ketika memenuhi kriteria UMK dan pendiriannya cukup berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam bahasa Indonesia.[footnoteRef:85] Hal tersebut berimplikasi pada kredibilitas perseroan untuk jangka panjangnya. Pada umumnya pendirian perseroan menggunakan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Diubahnya Pasal 32 ayat (1) UU PT (UU no. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas) tentang permodalan, dimana modal dasar perseroan ditentukan berdasarkan keputusan pendiri perseroan. Ketentuan ini berbeda dengan yang didasarkan pada Pasal 1 ayat (3) PP 29/2016 tentang kesepakatan para pendiri dalam menentukan besaran modal dasar. Keberlangsungan perseroan itu sendiri kurang terjamin, ketika tidak adanya minimal modal dasar dalam pendirian persero.[footnoteRef:86] Padahal dalam Pasal 32 ayat (1) mengatur bahwa minimal modal dasar perseroan adalah sebesar Rp50 juta rupiah. Tindakan tidak adanya minimal modal dasar untuk Perseroan UMK menimbulkan kekhawatiran bahwa Perseroan UMK memiliki resiko gagal bayar yang lebih tinggi karena tidak memiliki jaminan modal kepada pihak ketiga bila terjadi aktivitas hutang piutang.[footnoteRef:87] [85: Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020] [86: Ibid. hlm. .55] [87: Op cit, p.55]

Kedua, Pasal 153E ayat (1) yang mengatur tentang kepemilikan saham Perseroan untuk Usaha Mikro Kecil (Perseroan UMK). Pasal 153E ayat (1) mensyaratkan pemegang saham Perseroan UMK adalah perseorangan. Jadi badan hukum tidak dapat memiliki saham Perseroan UMK. Menurut hemat penulis hal ini baik apabila ditujukan untuk melindungi Perseroan UMK dari akuisisi bisnis oleh perusahaan atau badan yang sudah besar. Namun, hal ini mengurangi kebebasan aktivitas bisnis oleh Perseroan UMK karena sebagai contoh Perseroan UMK tidak bisa menggunakan sahamnya sebagai jaminan kepada badan hukum untuk memperoleh hutang, gadai, maupun fidusia. Hal ini mengurangi akses Perseroan UMK untuk mencari sumber dana, apa lagi hutang untuk bisnis memerlukan jaminan di koperasi.[footnoteRef:88] Tidak bisanya badan hukum memiliki saham Perseroan UMK dapat mengurangi opsi UMKM untuk tumbuh dalam status barunya sebagai PT, namun peraturan tersebut memberikan keamanan untuk UMK dalam menjalankan bisnisnya dari tekanan aktor bisnis yang besar. [88: “Cara Dan Syarat Mengajukan Pinjaman Di Koperasi.” 2020. 2020. https://ekonomi.bunghatta.ac.id/index.php/id/artikel/406-cara-dan-syarat-mengajukan-pinjaman-di-koperasi.]

Ketiga, Pasal 153E ayat (2) mengatur bahwa pendiri Perseroan UMK hanya dapat mendirikan satu Perseroan tersebut dalam satu tahun. Hal ini dapat membuat terjadinya resiko pendiri Perseroan UMK tersebut membuat banyak perseroan untuk melakukan eksploitasi terhadap sifat pertanggungjawaban terbatas atas perseroan dengan melakukan pencabangan kreditur, sedangkan kemampuan individu tersebut terbatas.[footnoteRef:89] Pemerintah berdalih bahwa kemudahan membuat Perseroan bagi UMK akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.[footnoteRef:90] Namun, peraturan tersebut malah justru mengurangi kepercayaan dan potensi keberlangsungan Perseroan UMK, karena setiap orang dapat membuat satu Perseroan UMK setiap tahun dan tanpa modal.[footnoteRef:91] [89: Op cit. Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., et al. p.55] [90: Rahma, Athika. 2020. “Sederet Manfaat UU Cipta Kerja Buat UMKM Versi Kemenkop UKM - Bisnis Liputan6.Com.” 2020. https://www.liputan6.com/bisnis/read/4385440/sederet-manfaat-uu-cipta-kerja-buat-umkm-versi-kemenkop-ukm.] [91: Sigit Riyanto, dkk, op.cit., hlm. 55]

Hal lain yang perlu diangkat adalah mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan terdahulu. Poin utama yang diangkat adalah koordinasi UMKM antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pada Pasal 38 ayat (1) tertulis bahwa menteri melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM. Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM dilaksanakan secara nasional dan daerah yang meliputi penyusunan dan pengintegrasian kebijakan dan program, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan pelaksanaan pemberdayaan UMKM. Sedangkan pada Pasal 89 ayat (8) dan (9) menegaskan bahwa pemerintah pusat memiliki kendali dalam pengelolaan basis data tunggal melalui koordinasi dan evaluasi. Pada titik ini peran pemerintah seharusnya meliputi koordinasi dua pihak, tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah pusat saja.

Pada bagian mengenai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, undang-undang secara jelas menegaskan bahwa pemerintah pusat memiliki dua kewenangan dalam sistem pengelolaan basis data tunggal UMK yaitu mengkoordinasikan serta melakukan evaluasi pengelolaan terpadu UMK dalam penataan klaster. Adanya ketentuan ini seakan memperlihatkan jika ada upaya untuk mensentralisasikan pengelolaan basis data tunggal dan pengelolaan UMK Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (3) UU 23/2014 menyatakan jika urusan perdagangan dan perindustrian sebagai bentuk urusan pemerintahan yang konkruen, dengan adanya pelimpahan pengkoordinasian dan pengevaluasian dalam pengeloaan UMK sistem klaster maka seakan-akan kewenangan pemerintah daerah ditarik begitu saja oleh pemerintah pusat. Padahal dalam penyelenggaraan administrasi negara koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus berdasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional.

Hal lain yang perlu diangkat adalah mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan terdahulu. Poin utama yang diangkat adalah koordinasi UMKM antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pada Pasal 38 ayat (1) tertulis bahwa menteri melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM. Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM dilaksanakan secara nasional dan daerah yang meliputi penyusunan dan pengintegrasian kebijakan dan program, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan pelaksanaan pemberdayaan UMKM. Sedangkan pada Pasal 89 ayat (8) dan (9) menegaskan bahwa pemerintah pusat memiliki kendali dalam pengelolaan basis data tunggal melalui koordinasi dan evaluasi. Pada titik ini peran pemerintah seharusnya meliputi koordinasi dua pihak, tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah pusat saja.

Adanya kewenangan pemerintah pusat dalam sistem pengelolaan basis data tunggal UMK membuat pencederaan terhadap asas desentralisasi pemerintah daerah. Dimana dalam Pasal 89 UU CK kewenangan koordinasi dan evaluasi pengelolaan terpadu UMK dalam penataan klaster menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.[footnoteRef:92] Upaya pemerintah yang tergolong sentralistik ini tidak sesuai dengan asas desentralisasi yang dianut oleh negara. Kewenangan pemerintah dalam menerbitkan perizinan dalam sistem basis data tunggal merupakan urusan pemerintahan konkruen yang mana dalam pelaksanaannya membutuhkan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah yang konkruen yang diatur daam UU 23 Tahun 2014 namun sekarang dalam pelaksanaannya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam proses pengelolaan UMK, peran Pemerintah Pusat menggeser kewenangan Pemerintah Daerah yang menyebabkan banyak tumpang tindih dan UU CK sendiri telah banyak merubah dalam ketentuan UU Pemerintah Daerah dan terkesan sangat ego sektoral dan menyebabkan penumpukkan kekuasaan Pemerintah Pusat sangat menumpuk dan menjadi obesitas kewenangan Adanya pergeseran kewenangan tersebut membuat pencideraan terhadap otonomi daerah yang seluas-luasnya yang merupakan salah satu tuntutan reformasi. [92: Vide Pasal 89 ayat (7) dan (8) Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020.]

Pernyataan Sikap Dema Justicia

Berdasarkan catatan kritis tersebut, Dema Justicia bersikap sebagai berikut:

1. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai bentuk produk hukum yang elitis, ortodoks, dan otoriter;

2. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan secara tidak demokratis dan telah melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan;

3. Menyatakan beberapa materi muatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak didasarkan politik hukum yang jelas dan tidak berpihak kepada rakyat;

4. Mengecam tindakan Presiden dan DPR dalam membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tidak melibatkan partisipasi publik secara proporsional;

5. Mendukung setiap elemen masyarakat dalam melakukan penolakan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja seperti menyuarakan pendapat dan aspirasi sesuai prinsip demokrasi dan peraturan perundang-undangan maupun melalui pengujian undang-undang baik uji formil maupun uji materiil di Mahkamah Konstitusi agar diputus secara independen dan imparsial;

6. Mendesak Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menunda keberlakuan beberapa pasal yang bermasalah. Kemudian dilakukan evaluasi oleh Presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang perubahan terhadap pasal-pasal yang bermasalah sesuai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

21