disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/rilis-kajian...perundang-undangan yang...
TRANSCRIPT
0
i
Disusun oleh:
Aaron Tirtha
Adelia Susanto
Alifia Khansa
Antonella
Antonius Havik
Aqshal Muhammad
Cora Kristin
Daniel Tangkas
Derby Pambudi
Eduardo Kayona
Eugen Mohamad
Fisco Moedjito
Kevin Daffa Athilla
Muhammad Ardiansyah
Nivia Pipit
Ricko Aldebarant
Shafira Dinda
Syahrico
Thoriq
Yumna Nafisah
Tariq Hidayat Pangestu
ii
1
Daftar Isi
Daftar Isi ................................................................................................................................................ 0
Pengantar ............................................................................................................................................... 2
Permasalahan Aspek Prosedural dan Opsi Mekanisme Pembatalan UU Cipta Kerja .................. 3
Permasalahan dalam Kluster Lingkungan ......................................................................................... 9
Permasalahan dalam Kluster Agraria .............................................................................................. 15
Permasalahan dalam Kluster Ketenagakerjaan .............................................................................. 16
Permasalahan dalam Kluster Administrasi Pemerintahan dan Pelaksanaannya ........................ 21
Permasalahan Ketentuan Sanksi Pidana .......................................................................................... 24
Permasalahan dalam Kluster UMKM dan Penanaman Modal ..................................................... 25
Pernyataan Sikap Dema Justicia ....................................................................................................... 30
2
Pengantar
Perubahan undang-undang merupakan keniscayaan yang tidak bisa dibendung. Hal ini
dikarenakan menurut Sudikno Mertokusumo suatu undang-undang selalu berjalan di belakang
peristiwa (het recht hinkt achter de feiten aan).1 Dalam negara hukum menurut Maria Farida
pembentukan undang-undang adalah menciptakan modifikasi atau perubahan kehidupan
masyarakat.2 Berdasarkan kontruksi tersebut pembentukan suatu undang-undang haruslah
sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat seperti yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun,
kontradiksi terjadi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta
Kerja yang dinilai baik secara prosedural maupun subtansi dinilai menimbulkan problematika
yang pelik. Indikasi utamanya adalah terkait proses pembentukan undang-undang ini tidak
sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang pada status quo
terdapat dalam Pasal dan 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketataan terhadap asas ini menjadi penting
karena eksistensinya untuk memberi suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan,
keakuratan, dan keseragaman dalam penyusunan undang-undang yang sejalan dengan prinsip
supremasi konstitusi.4 Atas permasalahan baik secara prosedural maupun materi muatan, Maria
SW Sumardjono yang mengutip disertasi Mahfud MD menyebutkan bahwa Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan tipologi undang-undang elitis, ortodoks,
dan otoriter karena diberlakukan sebagai instrumen untuk melaksanakan kehendak sepihak dari
penguasa.5 Lebih lanjut menurut Mahfud MD produk hukum dengan karakter ortodoks,
konservatif, elitis terjadi dalam negara dengan konfigurasi politik otoriter.6 Produk hukum
1 Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 103 2 Sally Falk Moore, “Law And Social Change: The Semi-Autonomous Social Field As An Appropriate Subject
Of Study,” Law and Society Review 7, no. 4 (1973): Hlm. 721. 3 Maria Farida Indrati, 2002, Ilmu Perundang-undangan 1 : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius,
Yogyakarta, hlm. 5-6 4 Department of Legislative Services Office of Policy Analysis, 2012, Legislative Drafting Manual, Annapolis,
Maryland, hlm. 93 5 Maria SW Sumardjono dalam Anotasi Hukum Undang-Undang Cipta Kerja, 10 November 2020, Kanal
Pengetahuan Hukum UGM. https://www.youtube.com/watch?v=10u6XXfi1Ig, diakses pada 11 November 2020. 6 Mahfud MD, 2006, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm. 15
3
seperti ini lebih mencerminkan visi sosial elit politik dan keinginan pemerintah dan tertutup
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat.7
Oleh sebab itu, melihat proses dan hasil pembentukan Undang-Undang Nomor 11
tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak berlebihan dalam tulisan ini Dema Justicia menyatakan
hal ini sebagai bentuk Legislasi Picisan. Kata “Legislasi” dimaknai sebagai suatu proses yang
utuh mulai proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.8 Sedangkan “Picisan” merupakan suatu bentuk kiasan terhadap segala apapun
yang bermutu rendah yang juga bersinonim dengan kata inferior atau kelas dua. Adapun dalam
tulisan ini akan dibahas mengenai permasalahan prosedural berupa proses pembentukan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta permasalahan subtansi dalam
kluster Lingkungan, Agraria, Ketenagakerjaan, Administrasi Pemerintahan, UMKM dan
Kemudahan Berusaha, dan Ketentuan Sanksi Pidana. Dalam kluster Lingkungan
permasalahannya adalah Diakhir tulisan menjadi satu bagian yang tak terpisahkan tercantum
sikap Dema Justicia terhadap pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang
Cipta Kerja.
Permasalahan Aspek Prosedural dan Opsi Mekanisme Pembatalan UU Cipta Kerja
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat tahapan-tahapan dan asas
penyusunan yang harus benar-benar diterapkan. Akan tetapi, dalam pembentukan Undang-
Undang Cipta Kerja seolah diabaikan. Sebagai suatu produk hukum yang mengatur berbagai
macam sektor yang amat berpengaruh kepada masyarakat, UU Cipta Kerja dalam
pembentukannya justru menabrak ketentuan mengenai tahapan dan asas penyusunan suatu
perundang-undangan. Padahal disaat yang bersamaan menurut Susi Dwi Harijanti dalam due
process of law, terdapat due process of substantive dan due process of procedural dalam hal
ini tanpa memenuhi hak-hak procedural seperti keterlibatan masyarakat dan prinsip
keterbukaan lainnya maka hak-hak subtantif tidak dapat dipenuhi.9 Adapun permasalahan
mengenai hal ini Pertama, dalam pembentukan UU Cipta Kerja minim adanya keterbukaan.
Dimulai dari tahap awal yakni pada saat pengajuan draft RUU Cipta Kerja oleh Pemerintah
7 Ibid. hlm. 25-27 8 Dikembangkan oleh Tim Penyusun dalam Saldi Isra, 2018, Pergeseran Fungsi Legislasi, Raja Grafindo
Persada, Depok, hlm. 299 9 Keterangan ahli Susi Dwi Harijanti dalam Judicial Review di MK Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019.
hlm. 63.
4
kepada DPR. Kala itu, draft mengenai RUU Cipta Kerja sudah tersebar di berbagai sosial
media, tetapi justru tidak bisa ditemukan pada laman resmi pemerintah maupun DPR RI.10
Tidak adanya draft RUU Cipta Kerja yang dirilis dalam laman resmi pemerintah dan DPR ini
jelas menunjukkan bahwa sejak awal tidak adanya keterbukaan. Padahal, dalam pasal 5 huruf
g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
disebutkan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan asas
keterbukaan yakni dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.11 Tak berhenti pada tahap awal saja, prinsip keterbukaan dalam
pembentukan UU Cipta Kerja kembali absen di tahap setelah Rancangan Undang-Undang
Cipta Kerja disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI 5 November 2020 lalu. Setelah dilakukan
pengesahan, beredar 5 sampai 6 draft di masyarakat dengan jumlah halaman yang terus
berbeda-beda.12 DPR pun tak kunjung memberikan kejelasan, bahkan dalam laman resminya
tidak terdapat juga draft RUU Cipta Kerja.13
Kedua, minimnya partisipasi publik selama proses pembentukan UU Cipta Kerja.
Partisipasi publik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan telah diatur dalam
pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Menurut Prof. Susi Dwi Harijanti pemerintah sudah mengundang pakar, ahli, dan kelompok
masyarakat namun masukan tersebut tidak ditindaklanjuti DPR dan Pemerintah dalam proses
pembahasan14. RUU Cipta Kerja dilakukan sebanyak 64 kali terdiri dari 2 kali rapat kerja, 56
10 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, “RUU Cipta Kerja: Awal Langkah Penuh Masalah”,
https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/ruu-cipta-kerja-awal-langkah-penuh-masalah/, diakses 9 November
2020 11 Lihat Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan 12 Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M dalam Pemaparan Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada atas Undang-Undang Cipta Kerja, 6 November 2020 13 Haris Prabowo, “Omong Kosong Transparansi DPR dan Pemerintah Soal UU Cipta Kerja”,
https://tirto.id/omong-kosong-transparansi-dpr-dan-pemerintah-soal-uu-cipta-kerja-f54x, diakses 9 November
2020 14 Haryanti Puspa Sari, “Guru Besar Hukum Sebut UU Cipta Kerja Tak Pertimbangkan Aspirasi Rakyat”,
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/09/19135131/guru-besar-hukum-sebut-uu-cipta-kerja-tak-
pertimbangkan-aspirasi-rakyat, diakses tanggal 9 November 2020.
5
kali rapat panja, dan 6 kali rapat tim perumus dan sinkronisasi15. Dalam proses pembahasan
aspirasi publik tidak banyak didengar. Sedikitnya ruang pembahasan yang ada juga menjadi
hal yang janggal, mengingat ada 79 UU yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020. DPR
terkesan tergesa-gesa dalam proses pembahasan tanpa memperhatikan keterlibatan publik.
Degradasi keterlibatan publik semakin terlihat dengan tidak jelasnya draft mana yang sedang
dalam proses pembahasan oleh DPR, bahkan anggota DPR dari fraksi PKS juga mengaku
belum mendapatkan draft yang sedang dibahas16, tidak hanya sampai tahap pembahasan
bahkan setelah RUU Cipta Kerja telah mendapat persetujuan kejelasan Draft mana yang
digunakan masih saja simpang siur.
Keterlibatan masyarakat sangatlah penting dalam pembentukan Undang-Undang
mengingat peraturan tersebut akan berdampak pada secara luas. Dengan minimnya keterlibatan
publik hal ini akan menimbulkan kecurigaan bahkan penolakan, hal ini nampak dengan
gelombang protes di seluruh Indonesia yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Setidaknya
hingga 9 November 2020 terdapat 4 permohonan judicial riview UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja17. Menurut Dr. Zainal Arifin Mochtar perlu adanya pembatasan-
pembatasan dalam konteks formal, agar kekuasan tidak dibuat serampangan. Formalitas
tersebut merupakan bentuk dari kedaulatan rakyat, peran serta warga negara dalam partisipasi
dan menyuarakan aspirasi telah dijamin dengan undang-undang18
Ketiga, praktik salah ketik. Undang-Undang No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
(UU Ciptaker) merupakan sebuah Undang-Undang yang mencakup banyak aspek didalam
kehidupan masyarakat (Konsep Omnibus Law). Sehingga sudah seyogyanya Undang-Undang
ini dibahas dan dibentuk secara teliti mulai dari proses penyusunannya. Nyatanya, masih
terdapat beberapa kesalahan berupa salah rujukan ataupun salah ketik (typo) didalam UU Cipta
Kerja. Hal ini diakui oleh Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purnowo, yang
mengatakan bahwa kesalahan didalam UU Cipta Kerja bersifat redaksional dikarenakan
15 Nugroho, “Keterlibatan Publik dalam Pembahasan RUU Ciptaker”, https://rri.co.id/humaniora/info-
publik/910193/keterlibatan-publik-dalam-pembahasan-ruu-ciptaker#, diakses tanggal 9 November 2020. 16 Haryanti Puspa Sari, “Politisi PKS Sebut Anggota DPR Tak Pegang Draf Final UU Cipta Kerja saat Hari
Pengesahan”, https://nasional.kompas.com/read/2020/10/08/16410841/politisi-pks-sebut-anggota-dpr-tak-
pegang-draf-final-uu-cipta-kerja-saat?page=all, diakses tanggal 9 November 2020. 17 Vendhy Yhulia Susanto, “MK sebut ada 4 permohonan uji materi UU Cipta Kerja”,
https://nasional.kontan.co.id/news/mk-sebut-ada-4-permohonan-uji-materi-uu-cipta-kerja, diakses tanggal 9
November 2020. 18 Dr. Zainal Arifin Mochtar, “Legislasi nan Menyebalkan”, Kompas, 20 Oktober 2020.
6
kurangnya waktu dan juga kendala dimasa pandemi covid-19.19 Hal ini dibuktikan didalam
Pasal 6 UU No.11 Tahun 2020 yang menyebutkan “Peningkatan ekosistem investasi dan
kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf a meliputi….”.
Sedangkan, di dalam Pasal 5 sendiri, tidak terdapat satupun ayat didalamnya. Hal serupa juga
terjadi pada Pasal 151 Ayat (1) yang menyatakan: “Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b terdiri atas….”. Padahal
di dalam Pasal 141 sendiri, juga tidak terdapat ayat satupun didalamnya. Selain itu dalam
ketentuan Pasal 175 Angka 6 Ayat (5) yang menyatakan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden”, apabila
diperhatikan lebih lanjut pada Pasal 175 Angka 6 Ayat (3) sendiri pada pokoknya justru
menjelaskan mengenai penetapan keputusan melalui sistem elektronik, yang mana seharusnya
Pasal 175 Angka 6 Ayat (5) tersebut merujuk kepada ayat (4) yang membahas permohonan
dikabulkan secara hukum apabila Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan (Fiktif Positif).
Apabila melihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 72 Ayat (2) Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa tenggat penyampaian rancangan undang-undang kepada
Presiden paling lama ialah 7 hari. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 72 Undang-Undang
No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa pada pokoknya tenggat
waktu 7 (tujuh) hari yang dimaksud di dalam Pasal 72 Ayat (2) tersebut hanya untuk persiapan
segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan semata.20 Sehingga sudah seharusnya setelah
disahkan didalam rapat paripurna, sebuah RUU sudah bersifat final.
Selain dilanggarnya beberapa prinsip dalam pembentukan undang-undang, hal lain
yang perlu disorot dari UU Cipta Kerja ini adalah mengenai aturan turunannya. Dengan
banyaknya muatan materi dan sektor yang diatur menyebabkan UU Cipta Kerja mensyaratkan
adanya sekitar 500 aturan turunan. Jumlah aturan turunan yang begitu banyak ini justru akan
19 Farisa, Fitria Chusna, “Ungkap Sebab UU Cipta Kerja Salah Ketik, Istana:Omnibus Tak Familiar”,
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/06/15052351/ungkap-sebab-uu-cipta-kerja-salah-ketik-istana-
omnibus-tak-familiar?page=all, diakses pada 9 November 2020 20 Undang-Undang No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
7
menyebabkan over-regulated yang mana hal tersebut kontradiktif dengan semangat utama
pembuatan UU ini yakni untuk menyederhanakan berbagai peraturan perundang-undangan.
Opsi Mekanisme Pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja
Dengan berbagai problematika yang tercipta setelah adanya Undang-Undang No.11
Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, muncul pandangan untuk membatalkan Undang-Undang
No.11 Tahun 2020 ini dengan berbagai cara. Setidaknya terdapat dua cara konstitutional untuk
membatalkan UU Cipta Kerja ini. Pertama, Sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa
dicabut dengan Peraturan Perundang-Undangan yang setingkat atau lebih tinggi.21 Frasa
“batal” didalam penyusunan Peraturan Perundang-Undangan kurang dikenal, namun hal ini
disinggung Penjelas Pasal 5 Huruf b UU No.12 Tahun 2011. Jika sebuah Peraturan Perundang-
Undangan dibuat oleh sebuah lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang maka
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut batal demi hukum. Salah satu cara
pencabutan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu dengan memaksa Presiden untuk
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang menyatakan mencabut
sebuah Undang-Undang.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, hierarki peraturan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia yakni sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berada ditingkat yang
sama dengan Undang-Undang, sehingga sebuah Perppu dapat mencabut sebuah Undang-
Undang yang berlaku. Presiden hanyalah satu-satunya pejabat yang berwenang mengeluarkan
sebuah Perppu. Kewenang Presiden didalam mengeluarkan Perppu dinyatakan didalam Pasal
22 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
21 Lampiran II Nomor 158 dan 159 UU No.12 Tahun 2011
8
undang.” 22 Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi memberikan sebuah tolak ukur sebagai kriteria
bagi “kegentingan yang memaksa” didalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam
putusannya MK memberikan tiga kriteria bagi Presiden untuk menetapkan sebuah Perppu,
antara lain:
i. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
ii. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
iii. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan carfa membuat
Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.23
Setelah mengeluarkan sebuah Perppu, maka Perppu tersebut wajib untuk mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikutnya.24 Jika tidak
mendapatkan persetujuan dari DPR maka, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tersebut harus dicabut.25
Kedua, selain melalui mekanisme Perppu, pembatalan UU Cipta Kerja juga bisa
dilakukan melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C
ayat (1) UUD NRI 1945 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan salah satunya untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.26 Dalam Pasal 4 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan
meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Dimana yang dimaksud dengan
pengujian materiil ialah pengujian undang-undang yang berkaitan dengan materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI
1945. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkaitan dengan
proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
22 Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 23 Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU-VIII/2009 24 Lihat Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 25 Lihat Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 26 Lihat Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945
9
Apabila putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian materiil undang-undang
menyatakan bahwa pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.27
Sedangkan apabila putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian formil menyatakan
bahwa pembentukan undang-undang yang diujikan tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.28 Sehingga, apabila
dikontekstualisasikan dengan UU Cipta Kerja, pengujian terhadap undang-undang a quo bisa
dilakukan melalui pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Kemudian apabila dinyatakan
oleh putusan Mahkamah Konstitusi bahwa muatan materi UU Cipta Kerja bertentangan dengan
UUD NRI 1945 dan/atau proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI 1945, undang-undang a quo secara
otomatis tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah adanya putusan dari Mahkamah
Konstitusi.
Permasalahan dalam kluster Lingkungan
• Pelemahan Aspek Administratif
Hukum administrasi merupakan salah satu bidang spesifik dalam penegakkan hukum
lingkungan disamping hukum pidana dan perdata. Aspek administratif dimaknai sebagai upaya
penerapan dari norma kewenangan, perintah, larangan, izin, dan dispensasi.29 Birokrasi yang
ada di dalamnya tidak semata mata hanyalah untuk mempersulit berjalannya kegiatan usaha di
dalamnya, akan tetapi juga dimaknai sebagai upaya pemerintah daerah maupun pusat guna
memastikan suatu perusahaan dapat menjalankan kewajibannya terkait melindungi dan
mengelola dan melindungi kelestarian lingkungan hidup. Perlu diingat bahwa dalam
memandang suatu lingkungan hidup diperlukan perspektif yang holistik. Holistik disini
dimaknai sebagai suatu paradigma yang mengartikan bahwa yang dimaksud dengan
27 Lihat Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2oo3 Tentang Mahkamah Konstitusi 28 Lihat Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2oo3 Tentang Mahkamah Konstitusi 29 Maradona dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Hukum Lingkungan dan Teori, Legislasi, dan Studi
Kasus, hlm. 496.
10
lingkungan hidup sendiri adalah gabungan dari komponen abiotik, biotik, serta
budaya/perilaku. Sebelum adanya UU Cipta Kerja, regulasi terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup termuat dalam hukum positif di Indonesia yang berupa UU No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.30 Salah satu produk
administrasi yang diatur dalam UU a quo adalah berupa izin lingkungan yang merupakan
prasyarat suatu usaha dalam mendirikan usaha dan menjalankan kegiatan usahanya.
Yang menjadi sorotan permasalahan dalam UU Cipta Kerja ini adalah pengubahan izin
lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Intensi dari perubahan ini turut dijelaskan dalam
Pasal 21 UU Cipta Kerja dimana dijelaskan bahwa dalam rangka mempermudah perolehan
persetujuan lingkungan, beberapa ketentuan yang ada dalam UU PPLH diubah, dihapus, atau
diterapkan suatu pengaturan baru. Namun, langkah dan tujuan ini tidak dapat dibenarkan begitu
saja. Izin lingkungan sendiri merupakan izin yang diberikan pada pelaku usaha wajib amdal
atau UKL-UPL guna menjalankan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
dokumen prasyarat izin usaha dan/atau kegiatan.31 Esensi dari izin sendiri adalah
memperbolehkan suatu hal yang awalnya dilarang. Sebagai contoh, Surat Izin Mengemudi
(SIM) merupakan suatu dokumen yang dibutuhkan seseorang agar dapat mengendarai
kendaraan. Jadi, pada dasarnya mengendarai suatu kendaraan adalah dilarang kecuali ia
memiliki SIM. Kedudukan dari pemberi izin tentu memiliki posisi yang lebih tinggi dari
peminta izin karena pihak yang memperbolehkan izin tentu dianggap lebih memiliki
kapabilitas yang lebih tinggi dari peminta izin. Dengan digantinya kata ‘izin’ menjadi
‘persetujuan’ tentu membawa beberapa implikasi yang problematis.32 Dijelaskan dalam UU
Cipta Kerja, yang dimaksud persetujuan lingkungan adalah:
“Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau pernyataan Kesanggupan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.”33
30 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). 31 Vide Pasal 1 angka 35 UU PPLH. 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573). 33 Vide UU Cipker.
11
Konsekuensi logisnya adalah dokumen pengganti izin lingkungan ini tidak dapat lagi dianggap
sebagai produk administrasi negara. Pada rezim UU PPLH, sebelum dilakukan perubahan oleh
UU Cipta Kerja, izin lingkungan adalah salah satu instrumen penegakkan hukum lingkungan
yang cukup komprehensif. Terdapat pemaksaan yang dapat dilakukan oleh pemerintah berupa
pembekuan atau pencabutan izin lingkungan dalam hal ketidaktaatan pelaku usaha terhadap
paksaan pemerintah.34 Pasal yang mengatur hal tersebut pun dihapus sehingga keberlakuan
pemaksaan pemerintah tidak dapat dilaksanaan lagi. Hal ini sudah melemahkan semangat dari
hukum administrasi sebagai upaya penegakkan hukum lingkungan. Lebih lanjut lagi, gugatan
administratif yang dapat dilakukan oleh masyarakat juga tidak mungkin untuk dilaksanakan.
Tentunya ketentuan terkait gugatan administratif35 dihapuskan pada UU Cipta Kerja.
Konsekuensinya adalah partisipasi masyarakat dalam upaya melestarikan lingkungan terlukai.
Pembahasan perihal urgensi partisipasi masyarakat (public participation) dibahas lebih lanjut
dalam sub bab berikutnya.
• Reduksi Partisipasi Masyarakat
Dalam Pasal 26 UU Cipta Kerja, terdapat reduksi definisi masyarakat serta kewenangan
yang dimiliki oleh masyarakat yang sebelumnya telah diatur dalam UU PPLH. Dalam UU
Cipta Kerja ini menghilangkan poin-poin yang telah terdapat dalam Pasal 26 ayat (3) UU PPLH
yang berbunyi:36
“Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.”
Dalam UU Cipta Kerja, hanya masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana
usaha dan kegiatan yang dapat terlibat dalam penyusunan amdal. Hal ini sekaligus
menghilangkan hak bagi pemerhati lingkungan hidup dan yang terpengaruh atas segala bentuk
keputusan untuk ikut andil dalam proses amdal, padahal pada praktiknya mereka lah yang
sering memberikan paham idealismenya terhadap proses pembuatan amdal ini. Hilangnya hak
34 Vide Pasal 76 jo. 79 UU PPLH. 35 Vide Pasal 93 UU PPLH. 36 Vide Pasal 26 ayat (3) UU PPLH.
12
mereka untuk turut andil dalam proses amdal ini dapat mengakibatkan degradasi kualitas amdal
karena masyarakat terdampak tidak memiliki keahlian seperti pemerhati lingkungan hidup
untuk mengkritisi amdal ini.
UU Cipta Kerja selain seperti yang telah disebutkan sebelumnya juga menghapus
ketentuan lain yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPLH. Ayat tersebut berbunyi:
“Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan
terhadap dokumen amdal.” 37
Dihapusnya ayat ini dalam UU Cipta Kerja patut disoroti, karena hilangnya ayat ini
menyebabkan berkurangnya wewenang masyarakat karena mereka hanya dapat berpartisipasi
dalam proses penyusunan amdal, tanpa ada hak untuk mengajukan keberatan terhadap
dokumen amdal jika ada poin yang dirasa merugikan. Padahal seperti yang kita ketahui,
partisipasi masyarakat (public participation) merupakan salah satu prinsip yang diakui
keberadaannya oleh pergaulan internasional guna memantau kebijakan atau keputusan
pemerintah dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana termuat dalam Rio
Declaration.38 Lothar Gundling berpendapat bahwa dengan adanya public participation
memiliki tujuan untuk meningkatkan kesiapan publik dalam menerima keputusan, memberikan
perlindungan yuridis, dan memberlakukan decision-making yang terdemokratisasi.39 Oleh
karenanya, sungguh disayangkan sekali kebijakan pemerintah dalam meniadakan partisipasi
publik ini yang mana sudah pasti melukai hak-hak yang dimiliki publik untuk berpartisipasi
dan mengakses informasi terkait kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
• Pengacauan Ketentuan Sanksi dalam Rezim PPLH
Selain administrasi, penegakkan hukum lingkungan juga berada dalam lingkup hukum
pidana, khususnya dalam hukum pidana administratif, dan perdata.40 Baik di lingkup pidana
maupun perdata, terdapat beberapa pasal yang menjadi sorotan masalah. Pertama dalam ranah
perdata, bisa kita cermati pada Pasal 88 UU PPLH yang mengatur asas tanggung jawab mutlak
(strict liability) atas limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Kita ketahui bersama bahwa
37 Vide Pasal 26 ayat (4) UU PPLH. 38 Laode M. Syarif, Maskun, Birkah Latif, et al dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op cit, hlm. 66. 39 Ibid. 40 Maradona dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op cit, hlm. 495.
13
limbah B3 dapat memberi masalah yang cukup serius bagi lingkungan hidup sebagaimana
disebutkan dalam penjelasan Pasal 58 ayat (1) yang menegaskan bahwasanya limbah B3
berpotensi cukup besar dalam memberi implikasi yang buruk,41 khususnya bagi lingkungan
hidup itu sendiri. Dalam penerapannya, pembuktian kausalitas atau hubungan sebab akibat
antara perbuatan pelaku usaha dengan akibat kerugian yang ditimbulkan merupakan hal yang
sulit untuk dibuktikan.42 Kendati pun UU Cipta Kerja masih menyebutkan
pertanggungjawaban yang mutlak, frasa ‘yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’
dihilangkan. Nampaknya asas strict liability seperti dicoba untuk direduksi dengan
menghilangkan frasa tersebut. Dari penghilangan frasa tersebut jelas adanya bahwa intensi
pemerintah adalah untuk ‘menjinakkan’ esensi dari asas a quo sehingga dalam penerapannya
akan semakin sulit. Padahal asas ini merupakan asas dalam hukum lingkungan yang mana
merupakan landasan krusial dalam menegakkan keadilan pada hukum lingkungan itu sendiri.
Dalam konteks hukum pidana administratif, terdapat sanksi pidana administratif
(administrative-penal law) yang dicoba untuk dihilangkan. Penerapan hukum administrasi
sendiri memiliki sifat represif43 yang merupakan instrument penegakkan hukum lingkungan
yang cukup krusial. Dalam hukum positif Indonesia, dapat dilihat pada Pasal 102 UU PPLH
yang menyebutkan bahwa seseorang yang mengelola limbah tanpa izin akan dikenai sanksi
pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda.44 Urgensi dari kepemilikan izin, diatur
dalam PP No. 101 Tahun 2014, ini adalah pemantauan pemerintah terhadap pengelolaan
limbah B3 berdasar kemampuan seseorang atau perusahaan untuk mengelola dan berdasar
lokasi tempat pengelolaan limbah B3 tersebut. Dengan kata lain, izin pengelolaan limbah B3
ini penting adanya sehingga dapat dikenai sanksi apabila pengelola tidak memilikinya.
Sungguh sangat disesali bahwa pasal a quo dihapus keberadaannya pada UU Cipta Kerja.
Tentu konsekuensi yang dapat muncul adalah maraknya pengelolaan limbah B3 yang tidak
terkontrol. Hal ini tentu tidak selaras dengan apa yang diatur dalam Pasal 2 Permen Lingkungan
41 Vide penjelasan Pasal 58 ayat (1) UU PPLH. 42 Antonius Havik Indradi, Aqshal Muhammad Arsyah, Kevin Daffa Athilla, Naufal Hilmy, Tariq Hidayat
Pangestu, et al, “Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan Agraria dan Lingkungan”,
Dema Justicia, 2020, hlm. 20. 43 Maradona dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op cit, hlm. 498. 44 Ibid.
14
Hidup No. 2 tahun 2013 bahwasanya salah satu tujuan penerapan sanksi administratif adalah
menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.45
Adanya penerapan sanksi pidana yang tidak adil juga turut berkontribusi dalam
‘pengacauan’ kluster lingkungan. UU Cipta Kerja mengubah Pasal 109 UU PPLH yang
mengatur sanksi pidana administratif bagi setiap orang yang tidak memiliki dokumen
administratif (pengganti izin lingkungan) berupa pidana kumulatif yakni pidana penjara dan
denda.46 Kemudian ketentuan tersebut diubah dan mengalami perluasan unsur delik dari yang
awalnya delik formil menjadi delik materiil. Kentara dari adanya frasa ‘yang mengkibatkan’
pada pasal a quo. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa perubahan ini menyulitkan pemenuhan
delik pidana tersebut sehingga harus dibuktikan dengan tambahan satu delik yang baru yakni
akibat dari perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup tersebut. Sejatinya, ketentuan
sanksi pidana yang diterapkan atas akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkungan sudah
termuat dalam Pasal 99 UU PPLH. Hingga UU Cipta Kerja disahkan pun Pasal a quo juga tetap
berlaku. Yang menjadi sorotan adalah dengan hadirnya perubahan pada Pasal 109 sebagaimana
disebutkan di atas. Kedua pasal tersebut dapat saja bersinggungan satu sama lain. Pasal 99
sudah memaparkan klasifikasi sanksi pidana atas kerusakan lingkungan yang cukup jelas.
Pembagian tersebut dibagi menjadi tiga yakni:47
a. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kelalaian
b. Kelalaian yang mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia
c. Kelalaian yang mengakibatkan orang luka berat atau mati
Sanksi pidana yang diterapkan pun beragam sesuai dengan akibatnya. Nampak jelas bahwa
pasal a quo sudah menerapkan sanksi berdasar signifikan atau tidaknya tindakan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan. Akan tetapi, ketika kita melihat Pasal 109 UU Cipta Kerja
yang menggabungkan delik ketiadaan izin dan semua klasifikasi pada Pasal 99, ketentuan
sanksi pidana pada pasal tersebut nampak tidak adil karena akan mengesampingkan semua
pemidanaan pada Pasal 99. Orang yang melakukan kerusakan lingkungan dan membahayakan
kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
45 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan
Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup 46 Ibid. 47 Vide Pasal 99
15
paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).48 Sementara itu, orang yang
mengakibatkan hal serupa dan tidak memiliki dokumen administratif maka dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).49 Dalam hal ini, ketentuan a quo memberikan problematika yakni bagaimana
bisa seseorang yang tidak memiliki dokumen adminsitratif dapat dikenakan strtelsel pidana
yang lebih ringan. Wajar adanya apabila masyarakat masih mengharap keadilan yang seadilnya
hingga detik ini.
Permasalahan dalam kluster Agraria
Dalam BAB VIII Bagian Keempat UU Cipta Kerja, tidak merujuk UU No. 5 tahun
1960 tentang Pokok Agraria sebagai payung regulasi ketentuan-ketentuan tentang pengadaan
tanah. UU Cipta Kerja hanya merujuk UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Hal ini bertentangan dengan tujuan awal UU Cipta Kerja itu sendiri, yaitu
penyederhanaan regulasi. Bahkan, rumusan pengaturan pertanahan dalam UU Cipta Kerja
disusun dengan cara menyalin substansi dalam RUU Pertanahan yang ditunda pembahasannya
pada 23 September 2019 karena permasalahan krusial yang belum diperoleh jalan keluarnya.
50
Dalam keseluruhan ketentuan Pasal 143-145 UU Cipta Kerja mengatur bahwa WNA
dan badan hukum asing dapat memiliki apartemen/sarusun yang berdiri di atas tanah Hak Guna
Bangunan (HGB). Ketentuan ini bertentangan dengan pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pokok
Agraria. Dalam pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria dijelaskan bahwa yang dapat memiliki
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah warga-negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Diatur pula dalam pasal 36 ayat (2)
UU Pokok Agraria apabila orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan
tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) tersebut, dalam jangka waktu
48 Vide Pasal 99 ayat (2) UU PPLH. 49 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573). 50 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020
16
1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Lebih jauh, ketentuan Pasal 143-145 UU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan MK Nomor
21-22/PUU-V/2007 dan TAP MPR IX/2001.
Selanjutnya mengenai permasalahan bank tanah. Dalam hal ini kendatipun dirumuskan
salah satu tujuannya sebagaimana dalam pasal 126 diantarana untuk reforma agraria,
kepentingan pembangunan nasinonal dan konsolidasi lahan namun hal ini terkesan hanya
mencari legitimasi. Terjadi kontradiksi dimana awal mula muncul gagasan untuk membentuk
bank tanah adalah penyediaan tanah bagi investor.51 Seolah-olah masuknya tujuan-tujuan yang
‘mulia’ ini hanyalah peredam gelombang penolakan terhadap usulan pembentukan bank tanah
yang prematur. Idealnya Idealnya metode yang diusung dalam bank tanah adalah kontrol pasar
dan stabilisasi tanah pasar lokal. Bank tanah menjamin ketersediaan tanah untuk pelbagai
keperluan pembangunan di masa yang akan datang, efisiensi APBN/APBD, mengurangi
konflik dalam prosespembebasan tanah dan mengurangi dampak buruk liberalisasi tanah.52
Dalam UU ini perlu dilihat apa tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah dan apakah bisa-
bisa mewujudkan filosofis ekonomi berkeadilan bukan hanya pemanis di atas kertas semata.53
Permasalahan dalam Kluster Ketenagakerjaan
• Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Definisi PKWT baru ditemukan di dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:KEP.100/MEN/VI/4004 yang
mendefinisikan PKWT sebagai perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan pekerjaan tertentu.54 Pasal 59 ayat 4
Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa batas maksimal pekerjaan yang
diperkirakan adalah diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu
kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. UU Cipta Kerja telah menghapus ketentuan
batasan waktu perjanjian kerja yang sebelumnya diatur dalam pasal tersebut.
51 Ibid 52 Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, Margaretha Putaka, Jakarta. hlm. 45. 53 Dema Justicia, “Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II : Pembahasan Agraria dan Lingkungan”,
hlm. 3- 4. http://demajusticia.org/rilis-kajian-mengupas-omnibus-law-bikin-gaklaw-jilid-ii-pembahasan-
agraria-dan-lingkungan/, diakses pada 10 November 2020. 54 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:KEP.100/MEN/VI/4004
tentang ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
17
Implikasi hilangnya ayat tersebut sangatlah serius. Selain menghilangkan jangka waktu
maksimal dan batasan perpanjangan, ketentuan baru ini juga menghilangkan kesempatan
pekerja untuk berubah status dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.55 Padahal, posisi
pekerja dalam status kerja kontrak jauh lebih riskan dibanding dengan pekerjaan tetap, karena
minimnya perlindungan hukum maupun jaringan pengaman yang diberikan negara. Para
pemangku kebijakan ingin merubah sistem ketenagakerjaan buruh menjadi contract-based.
Permasalahannya adalah, bahwa tanpa pembatasan waktu yang jelas, posisi buruh yang
dipekerjakan dengan kontrak sementara akan selalu rentan akan eksploitasi dan
unemployment.56
• Alih daya (outsourcing)
Hal lain yang patut dikritisi adalah, ketidakjelasan UU Cipta Kerja dalam bidang alih
daya. Perlu diketahui bahwa Pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan merupakan suatu
kesatuan yang patut dipandang secara keseluruhan. Pasal 64 memberikan suatu dasar
outsourcing yang vital dengan mengatur mengenai penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa/buruh.57 Pasal
65 memaparkan prosedur dan persyaratan sebuah outsourcing. Selanjutnya, Pasal 66 memiliki
fungsi pembatas dari pekerjaan apa saja yang dapat diganti oleh outsourcing. UU Cipta Kerja
telah menghilangkan ketentuan Pasal 64 dan 65, dan merubah isi substansi dari Pasal 66.
Dengan menghapuskan pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh ahli daya,
pemerintah telah memberi ruang outsourcing untuk menjamur tanpa kendali. Praktisnya, alih
daya tanpa pembatasan eksplisit cenderung tidak menguntungkan para pekerja.58
• Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
UU Cipta Kerja merevisi dan menghapus beberapa pasal yang sebelumnya telah diatur
dalam UU Ketenagakerjaan tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Pertama, Pasal 151 ayat 2
UU Cipta Kerja berisi “Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud
dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.”
Namun pada pasal tersebut adanya pengecualian, terdapat pada pasal selipan, yakni pasal 151A
55 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”, op.cit., hlm 43. 56 Cooper, Russell W. Wage And Employment Patterns In Labor Contracts. Routledge, 2001, hlm. 41-42. 57 Trijono, Rachmat. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Papas Sinar Sinanti, 2020, hlm 175. 58 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020Op.Cit, hlm 47.
18
UU Cipta Kerja yang berbunyi: a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri;
b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja
waktu tertentu c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia.”
Pada pasal ini, seharusnya pemberitahuan tetap dibutuhkan jika terjadinya keempat hal
tersebut, memang dalam hal ini hubungan hukumnya sudah berakhir, tetapi jika tidak adanya
pemberitahuan maka akan sulit untuk mendeteksi terkait jaminan sosial pekerja, pesangon atau
kompensasi yang seharusnya diberikan kepada pekerja. Kedua, UU Cipta Kerja tentang PHK
juga mempermudah terjadinya PHK melalui pasal 151 UU Cipta Kerja yang menghapus
ketentuan “Segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”.
Hal ini menjadi kontradiktif dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya, yakni PHK merupakan
hal yang sebisa mungkin dihindari dan dilarang. Ketiga, adalah tentang hukum formil yang
mengatur tentang PHK. Perbedaannya terletak pada pengarahan hubungan pekerja dan
pengusaha sebagai hubungan industrial, yang mana sebelumnya diatur dalam UU
Ketenagakerjaan dengan penetapan penyelesaian PHK diarahkan kepada hukum perdata
ataupun hukum administrasi terlebih dahulu. Sedangkan UU Cipta Kerja mengatur, pada pasal
Pasal 151 ayat 4 UU Cipta Kerja yang menggunakan frasa “sesuai dengan mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial”. Hal ini merujuk kepada perselisihan hubungan
industrial yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa tiap pihak
berhak memilih alternatif penyelesaian sengketa dan apabila tidak terselesaikan maka
dilanjutkan ke pengadilan hubungan industrial. Sebenarnya, pengaturan mengenai PHK ini
bertujuan baik melalui cara menempatkan pekerja dan pengusaha dalam hierarki yang sejajar.
Namun, pada prakteknya mempertahankan hak pekerja bukan merupakan hal yang mudah
karena adanya ketimpangan posisi jabatan secara hierarkis.59 UU Cipta Kerja juga merevisi
aturan perihal ketentuan besaran pesangon dan penghargaan masa kerja yang berhak
didapatkan pekerja setelah terjadi PHK. Bagian yang menjadi poin utama pada perubahan pasal
ini adalah perubahan ketentuan pesangon. Alasan mengenai pengurangan jumlah pesangon
didasari evaluasi Kementerian Ketenagakerjaan yang berpendapat bahwa aturan pesangon
59 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020, Op.Cit, hlm 48.
19
selama ini tidak implementatif.60 Hal ini seharusnya dapat diimplementasikan melalui solusi
yang lebih pragmatis, tidak dengan mengubah ketentuan yang sebelumnya diatur. Yakni,
dengan cara mengubah sistem dan mekanisme pengawasan sehingga implementasi mengenai
aturan pesangon dapat berjalan secara efektif.
• Pengupahan
Kebijakan pengupahan sudah seharusnya mempunyai tujuan untuk penghidupan yang
layak bagi masyarakat.61 Hal yang patut dikritisi mengenai upah minimum melalui poin-poin
adalah sebagai berikut. Pertama, dalam Pasal 88D UU Cipta Kerja mengenai Pengupahan yang
mengatur tentang penghitungan upah minimum berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi
atau inflasi. Hal ini merupakan pengubahan dari Pasal 89 yang menyebutkan “Upah minimum
diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup yang layak.” Kemudian, pada Pasal 88C ayat 1
dan 2 UU Cipta Kerja yang berisi penetapan upah minimum provinsi oleh Gubernur dan
penetapan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. Hal ini bermakna bahwa
penentuan upah minimum di tingkat regional bersifat opsional. Dampak yang paling krusial
adalah kesenjangan pendapatan tiap kota/kabupaten.62
Selanjutnya, mengenai struktur dan skala upah, UU Cipta Kerja menghilangkan
pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dalam penentuan
upah. Hal ini sangat ironis karena kontradiktif dengan tujuan perbaikan kualitas SDM di
Indonesia. Padahal, pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi
adalah penilaian mutlak untuk menentukan upah sebagai reward atas prestasi pekerja.
Kesimpulannya, UU Cipta Kerja kurang memperhatikan perlindungan pengupahan secara luas
sehingga dapat berpotensi menimbulkan ketidakadilan.63
• Pasal pemanis yang sulit diimplementasikan
Ketentuan-ketentuan baru yang dimunculkan di UU Cipta Kerja ada beberapa yang
patut kita apresiasi. Contohnya pengadaan upah minimum bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
dan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Yang patut kita kritisi disini adalah ketentuan-
ketentuan tersebut masih ambigu dan tidak dapat dibayangkan bagaimana cara
60 Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, sepanjang tahun 2019, hanya 27% perusahaan yang
mematuhi ketentuan pesangon pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 61 Abdul Khakim, 2006, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti. hlm 56 62 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020, Op.Cit, hlm 45. 63 Ibid.
20
pengimplementasiannya. Pasal 90B mengatur upah minimum bagi pekerja UMK merupakan
suatu tindakan konkrit dari pemerintah yang ingin mengadakan suatu perlindungan bagi
pekerja UMK. Namun, penetapan upah yang berdasarkan perjanjian kerja antara pekerja dan
pengusaha sebagaimana ditulis di ayat (2) mengeliminasi adanya pengawasan dari pemerintah
itu sendiri. Hal ini sia-sia karena peraturan tersebut tidak akan cukup melindungi pekerja UMK.
Berdasarkan fakta, hubungan antara pekerja dan pengusaha tidak pernah sebanding dan setara.
Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 46 A adalah suatu
upaya dari pemerintah untuk menghadirkan jenis program sosial bagi mereka yang terkena
PHK. Jaminan kehilangan pekerjaan ini menggantikan pengurangan pesangon. Jaminan
kehilangan pekerjaan tidak difokuskan pada bentuk uang saja, tetapi “berupa uang tunai, akses
informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja”. Disini tidak dijelaskan seberapa persentase uang
tunai yang akan diterima dan hanya disebutkan di Pasal 46 D ayat (2), “Jaminan kehilangan
pekerjaan diberikan paling banyak 6 (enam) bulan upah”. Yang menjadi masalahnya adalah
jaminan kehilangan pekerjaan tidak bisa menjadi suatu substitusi pengurangan pesangon
karena esensi dari pesangon itu sendiri adalah dalam bentuk uang. Pasal 46 D ayat (4) membuat
manfaat jaminan kehilangan pekerjaan tidak bisa dirasakan secara langsung karena harus
menunggu ketentuan lebih lanjut di peraturan pemerintah.
• UU Cipta Kerja menggenjot iklim investasi
Semangat yang dibangun dalam Undang-Undang Cipta Kerja merupakan berperspektif
bisnis, bukan untuk kepentingan pekerja. Sehingga beberapa peraturan yang dirasa
menghambat investasi direvisi karena dianggap tidak sejalan dengan paradigma pertumbuhan
yang sedang diemban.64 Dalam hal ini peraturan yang dirasa dapat menghambat investasi,
seperti misalnya perlindungan yang rigid terhadap pekerja. Namun apakah benar perlindungan
terhadap pekerja dapat menghambat investasi? Kajian dari World Economic Forum, justru
menempatkan korupsi menjadi salah satu faktor yang menghambat investasi di Indonesia.
Kajian tersebut menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor
utama penghambat investasi di Indonesia.65 Sedangkan aturan ketenagakerjaan menduduki
64 Ari Hernawan, 2020, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: Peluang dan Tantangan (Perspektif Hukum
Ketenagakerjaan, Seminar Nasional Dies Natalis FH UGM “Peluang dan Tantangan Menuju Omnibus Law di
Indonesia 65 Dwi Hadya Jayani, “Korupsi Penghambat Utama Investasi.”,
https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e6183df7/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-
indonesia, diakses tanggal 9 November 2020.
21
urutan ke-12 dari penghambat terbesar investasi.66 Bahkan dilansir dari The Economist, salah
satu media yang berspektrum sebelah “kanan” justru mengkritik keras kebijakan Presiden
Jokowi dalam menetapkan UU Cipta Kerja, ia tidak menyambut antusias deregulasi dan
debirokratisasi. Hal ini dinilai akan mengurangi partisipasi pemerintah dan masyarakat lokal
dalam eksekusi kebijakan yang diniatkan untuk menggenjot pembangunan.67 Tentunya,
birokrasi yang dibawa dalam semangat UU Cipta Kerja membawa kembali pada kebijakan
pembangunan yang top-down.68
Permasalahan dalam Kluster Administrasi Pemerintahan
• Mengenai pelaksanaan administrasi pemerintahan untuk mendukung cipta kerja
Dalam ketentuan Pasal 174 disebutkan bahwa kewenangan menteri, kepala lembaga,
atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau
membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan
Presiden. Rasio dihadirkannya pasal a quo jika merujuk pada naskah akademik UU Cipta Kerja
dikarenakan kondisi pada saat ini terdapat obesitas regulasi yang saling tumpang tindih yang
disebabkan karena ego sektoral masing-masing lembaga sehingga dengan menegaskan
Presiden sebagai sumber kewenangan menjalankan dan membentuk peraturan perundang-
undangan kepada lembaga terkait diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang ada.69 Dari
pengaturan ini terdapat beberapa diskursus yang perlu dilihat lebih rigid. Pertama, jika ditinjau
dari sistem presidensiil yang menjadi salah satu kesepakatan dasar dalam perubahan UUD NRI
Tahun 1945. Karakteristik sistem presidensiil salah satunya adalah Presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan mengangkat para menteri sebagai pembantu yang
bertanggungjawab kepadanya.70 Sehingga ketentuan ini merupakan upaya menegaskan bahwa
pada prinsipnya kebijakan yang diambil bukanlah kewenangan menteri secara sektoral
melainkan kewenangan Presiden. Kedua, problematika mulai timbul ketika pengaturan ini
mencakup pemerintah daerah. Sejatinya jika dikontekskan dengan bentuk negara kesatuan
sebagaimana dicantumkan pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dimana konsekuensi
logisnya pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan
66 Ibid. 67 Ulil Abshar-Abdalla, “Berseminya Lagi “Pohon Otoritarianisme”, Kompas, 2 November 2020. 68 Ibid. 69 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 15.16 70 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu, Jakarta,
hlm. 316.
22
negara baik di pusat maupun didaerah.71 Namun, perlu digarisbawahi dengan model sentralistik
jika diterapkan di Indonesia dengan wilayah yang luas dan penduduk yang jamak terbukti
secara historis menemukan kegagalannya yang melahirkan tuntutan pada reformasi yaitu
otonomi daerah seluas-luasnya. Hal ini dikarenakan otonomi daerah atau desentralisasi salah
satu tujuannya adalah untuk mengatasi masalah kesenjangan antara pusat dan daerah serta
kesenjangan lainnya.72 Oleh sebab itu, esensi adanya pemerintah daerah adalah agar stimulan
bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan semua aspirasinya termasuk dalam sistem
hukum dan kebijakan lainnya.73 Sehingga perlu ditegaskan bahwa pengawasan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah memang perlu namun jangan sampai jatuh pada
jurang intervensi karena berpotensi mematikan unsur artikulasi aspirasi masyarakat yang
dijalankan oleh pemerintah daerah.
• Mengenai administrasi pemerintahan
Pasal 53 ayat (4) menyebutkan bahwa apabila dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan Tindakan, permohonan dapat dikabulkan secara hukum. Dalam hal ini,
tidak ada suatu penjelasan mengenai peran PTUN dalam memberikan kekuatan hukum
terhadap permohonan penerimaan perizinan seperti yang sebelumnya telah dijelaskan pada
pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Atas hal
ini timbul beberapa permasalahan yang disebabkan pasal a quo. Pertama, warga negara akan
kesulitan untuk mendapatkan kepastian hukum karena penerimaan perizinan tersebut tidak
didasarkan pada putusan PTUN, mengingat PTUN merupakan instrument penting yang dapat
memberikan kepastian dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam urusannya
dengan administrasi negara. Hal ini sejalan dengan filosofi dibentuknya PTUN adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap hak perseorangan dan hak masyarakat untuk memberikan
pengayoman hukum dan kepastian hukum atas pebuatan administrasi negara.74 Pasal 53 ayat
(4) tentu dapat menimbulkan suatu keresahan dan keraguan dalam masyarakat karena tidak
memberikan jaminan mengenai perlindungan terhadap sesuatu yang sewenang-wenang. Tidak
71 Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah: Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan Daerah Otonomi
Khusus, Bandung: Refika Aditama, hlm. 10. 72 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020, op.cit., hlm. 90 73 Andi Kasmawati, loccit 74 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni,
Bandung, hlm. 25
23
adanya perlindungan disebabkan karena warga negara tidak memiliki kekuatan hukum yang
berkaitan dengan penerimaan perizinan tersebut oleh pengadilan.
Probelmatika selanjutnya mengenai diskresi. Jika merujuk pada ketentuan lama yaitu
dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administasi Pemerintahan
bahwa syarat dilakukan diskresi yaitu:
a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(2);
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Sesuai dengan AUPB;
d. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. Tidak menimbulkan Konflik kepentingan; dan
f. Dilakukan dengan itikad baik
Hal ini diubah dalam pasal 175 angka 2 UU Cipta Kerja dengan menghilangkan syarat
“tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Dengan diberlakukannya
peraturan ini akan berdampak pada iklim administrasi pemerintahan dimana ruang gerak bagi
pejabat pemerintah untuk melakukan sebuah tindakan diperluas sekalipun tanpa terikat
sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan. Batasan diskresi merupakan perbuatan
Hukum Administrasi. Tindakan tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaan memaksa demi
kepentingan umum yang telah ditetapkan suatu peraturan perundang-undangan, dengan batas-
batas, yaitu bentuk kebijakannya tidak boleh menyimpang dengan aturan diatasnya serta masih
berada dalam ruang lingkup peraturan dasarnya.75 Oleh karena itu dengan hilangnya syarat
“tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan” akan menimbulkan implikasi-
implikasi. Pertama, jika membaca pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang jenis dan hierarki
perundang-undangan maka segala jenis peraturan perundang-undangan dapat dilanggar.
Kedua, kemungkinan penggunaan diskresi secara luas yang mengakibatkan maladministrasi
pejabat negara. Dalam panduan investigasi untuk Ombudsman Republik Indonesia, disebutkan
dua puluh macam maladministrasi, yakni penundaan atas pelayanan, melalaikan kewajiban,
persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, nyata-nyata berpihak, pemalsuan,
pelanggaran undang-undang, perbuatan melawan hukum, tidak kompeten, intervensi,
75 Githa Angela Sihotang, “Diskresi dan Tanggung jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi
Darurat”, Jurnal Law Reform Vol. 13 No. 1, 2017, hlm. 60
24
penyimpangan prosedur, bertindank sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, bertindak
tidak layak/tidak patut, permintaan imbalan uang/korupsi, penguasaan tanpa hak, dan
penggelapan barang bukti.76 Selama ini salah satu instrument penting yang dapat mengatur dan
mengontrol wewenang atau kebijakan dari pejabat yang memiliki kewenangan adalah
peraturan perundang-undangan, namun syarat tersebut telah dihapuskan.
Permasalahan Ketentuan Sanksi Pidana
Pengesahan RUU Cipta Kerja ternyata tidak lepas dari permasalahan, salah satunya
permasalahan dari segi sanksi pidana. Permasalahan ini menunjukkan ketidakcermatan
legislator dalam merancang UU a quo. Permasalahan dari segi sanksi pidana tersebut antara
lain:
1. Tumpang tindih pembadanan norma sanksi yang digunakan
Terdapat beberapa pasal di dalam UU Cipta Kerja yang mengatur terkait pelanggaran
ketentuan a quo diancam dengan sanksi administrasi, namun pada nyatanya ketentuan pidana
pasal-pasal tersebut secara jelas mengancamkan pidana penjara dan sanksi secara kumulatif.77
Contoh dari tumpang tindih pembadanan norma sanksi yang digunakan dalam UU Cipta Kerja
ini dapat dilihat pada perubahan ketentuan Pasal 71 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang yang berbunyi “Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 61
huruf c yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp.1 Miliar”. Padahal Pasal 62 UU a quo menyatakan
bahwa pelanggaran ketentuan Pasal 61 diancam sanksi administratif. Pertentangan semacam
ini memunculkan pertanyaan terkait ketentuan mana yang harus digunakan sehingga
mengakibatkan ketidakpastian hukum.78
2. Dampak perbuatan yang diatur tidak sebanding dengan pidana
Dalam ketentuan pidana UU Cipta Kerja, terdapat ketidakseimbangan antara kualitas
tindakan dengan besarnya ancaman pidana yang dikenakan.79 Tindakan yang hanya berupa
pelanggaran administratif diancam dengan pidana kumulatif, sedangkan tindakan yang
76 Julista Mustamu, “Diskresi dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Asasi Vol.17 No.2 Bulan
April-Juni 2011, hlm. 7 77 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020. Hlm. 96-98. 78 Ibid. 79 Ibid.
25
mengakibatkan kematian justru diancam pidana alternatif.80 Contohnya pada perubahan Pasal
70 UU Tata Ruang, di mana pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
dari pejabat berwenang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 61 huruf b UU a quo yang
mengakibatkan perubahan fungsi ruang dikenakan pidana denda dan penjara (bersifat
kumulatif), sedangkan pada Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa jika pemanfaatan ruang ini
mengakibatkan kematian, diancam pidana penjara atau denda (alternatif). Pengenaan sanksi
pidana yang semacam ini lantas menimbulkan kesan bahwa kedudukan nyawa manusia lebih
rendah dibandingkan dengan perubahan fungsi tata ruang.
3. Nihilnya sinkronisasi antar klaster
UU Cipta Kerja sebagai UU sapu jagat yang mengubah lebih dari 70 UU juga
tampaknya mengakibatkan tidak adanya sinkronisasi antar klaster. Terdapat perbedaan antara
suatu tindak pidana yang sejenis dalam klaster yang berbeda ketentuan sanksi-sanksi
pidananya.81 Contohnya adalah tindakan yang mengakibatkan kematian pada klaster agraria
tepatnya perubahan Pasal 69 ayat (3) UU Tata Ruang menjatuhkan pidana penjara maksimal
15 tahun dan denda maksimal Rp.8 Miliar. Sedangkan pada klaster lingkungan hidup tepatnya
perubahan Pasal 109 UU PPLH menjatuhkan pidana penjara maksimal 3 tahun penjara dan
denda maksimal Rp.3 Miliar. Seharusnya besarnya sanksi pidananya adalah sama untuk tiap
kualitas kejahatan yang berdampak sama. Namun, pada kenyataannya UU Cipta Kerja tidak
memenuhi hal tersebut sehingga dikhawatirkan persoalan ini dapat menimbulkan disparitas
pidana dalam penegakan hukum kedepannya.82
Permasalahan dalam Kluster UMKM dan Penanaman Modal
Diantara bidang-bidang yang menjadi permasalahan dalam Undang-Undang Cipta
Kerja (UU Cipta Kerja), salah satunya adalah bidang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMK-
M). Terdapat kekhawatiran bahwa UU Cipta Kerja gegabah dalam memberikan kelonggaran
perizinan dalam pembuatan Perseroan Terbatas (PT) terhadap Usaha Mikro Kecil (UMK), dan
bahwa pemberlakuan perizinan satu pintu di UU Cipta Kerja bertentangan dengan prinsip
desentralisasi yang dianut oleh Indonesia. Maka dari itu, terdapat dua rumusan masalah yang
80 Ibid. 81 Ibid. 82 Ibid.
26
di elaborasi pada artikel ini. (1) Apakah Dampak UU Cipta Kerja untuk UMK-M? (2)
Bagaimana implikasi perizinan satu atap terhadap hak otonomi daerah.
Dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, bagian Usaha Mikro Kecil-Menengah (
UMK-M ) mengenai basis data tunggal dan pengelolaan terpadu usaha mikro dan kecil dengan
sistem klaster. Sistem klaster adalah konsentrasi geografis kawasan industri yang memiliki
kesamaan kebutuhan teknologi, tenaga kerja dan Infrastruktur.83 Basis data tunggal dapat juga
diartikan sebagai sistem pendataan dan informasi yang terintegrasi, dimana para pihak yang
ingin mengakses informasi menggunakan sumber yang sama.84 Ada beberapa pasal yang
menjadi masalah dalam UU Cipta Kerja sehingga berdampak terhadap UMK-M. Pada
paragraf-paragraf selanjutnya akan membahas tentang pasal-pasal UU Cipta Kerja yang
berdampak terhadap UMK-M
Pertama, Pasal 153A Ayat (1) membahas tentang pendirian perseroan yang dapat
didirikan oleh 1 (satu) orang ketika memenuhi kriteria UMK dan pendiriannya cukup
berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam bahasa Indonesia.85 Hal tersebut
berimplikasi pada kredibilitas perseroan untuk jangka panjangnya. Pada umumnya pendirian
perseroan menggunakan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Diubahnya Pasal 32 ayat (1) UU
PT (UU no. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas) tentang permodalan, dimana modal dasar
perseroan ditentukan berdasarkan keputusan pendiri perseroan. Ketentuan ini berbeda dengan
yang didasarkan pada Pasal 1 ayat (3) PP 29/2016 tentang kesepakatan para pendiri dalam
menentukan besaran modal dasar. Keberlangsungan perseroan itu sendiri kurang terjamin,
ketika tidak adanya minimal modal dasar dalam pendirian persero.86 Padahal dalam Pasal 32
ayat (1) mengatur bahwa minimal modal dasar perseroan adalah sebesar Rp50 juta rupiah.
Tindakan tidak adanya minimal modal dasar untuk Perseroan UMK menimbulkan
kekhawatiran bahwa Perseroan UMK memiliki resiko gagal bayar yang lebih tinggi karena
tidak memiliki jaminan modal kepada pihak ketiga bila terjadi aktivitas hutang piutang.87
83 Sumaryana, F D. 2018. “Pengembangan Klaster Umkm Dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Usaha.”
JISPO: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 58–68.
http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jispo/article/view/2771. p.61 84 Wibisono, Setiyawan. 2005. “Enterprise Resource Planning (ERP) Solusi Sistem Informasi Terintegrasi.”
Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK 10 (3): 150–59. p.156 85 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020 86Ibid. hlm. .55 87 Op cit, p.55
27
Kedua, Pasal 153E ayat (1) yang mengatur tentang kepemilikan saham Perseroan
untuk Usaha Mikro Kecil (Perseroan UMK). Pasal 153E ayat (1) mensyaratkan pemegang
saham Perseroan UMK adalah perseorangan. Jadi badan hukum tidak dapat memiliki saham
Perseroan UMK. Menurut hemat penulis hal ini baik apabila ditujukan untuk melindungi
Perseroan UMK dari akuisisi bisnis oleh perusahaan atau badan yang sudah besar. Namun, hal
ini mengurangi kebebasan aktivitas bisnis oleh Perseroan UMK karena sebagai contoh
Perseroan UMK tidak bisa menggunakan sahamnya sebagai jaminan kepada badan hukum
untuk memperoleh hutang, gadai, maupun fidusia. Hal ini mengurangi akses Perseroan UMK
untuk mencari sumber dana, apa lagi hutang untuk bisnis memerlukan jaminan di koperasi.88
Tidak bisanya badan hukum memiliki saham Perseroan UMK dapat mengurangi opsi UMKM
untuk tumbuh dalam status barunya sebagai PT, namun peraturan tersebut memberikan
keamanan untuk UMK dalam menjalankan bisnisnya dari tekanan aktor bisnis yang besar.
Ketiga, Pasal 153E ayat (2) mengatur bahwa pendiri Perseroan UMK hanya dapat
mendirikan satu Perseroan tersebut dalam satu tahun. Hal ini dapat membuat terjadinya resiko
pendiri Perseroan UMK tersebut membuat banyak perseroan untuk melakukan eksploitasi
terhadap sifat pertanggungjawaban terbatas atas perseroan dengan melakukan pencabangan
kreditur, sedangkan kemampuan individu tersebut terbatas.89 Pemerintah berdalih bahwa
kemudahan membuat Perseroan bagi UMK akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.90
Namun, peraturan tersebut malah justru mengurangi kepercayaan dan potensi keberlangsungan
Perseroan UMK, karena setiap orang dapat membuat satu Perseroan UMK setiap tahun dan
tanpa modal.91
Hal lain yang perlu diangkat adalah mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan
peraturan terdahulu. Poin utama yang diangkat adalah koordinasi UMKM antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, pada Pasal 38 ayat (1) tertulis bahwa menteri melaksanakan
koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM. Koordinasi dan pengendalian
pemberdayaan UMKM dilaksanakan secara nasional dan daerah yang meliputi penyusunan dan
88 “Cara Dan Syarat Mengajukan Pinjaman Di Koperasi.” 2020. 2020.
https://ekonomi.bunghatta.ac.id/index.php/id/artikel/406-cara-dan-syarat-mengajukan-pinjaman-di-koperasi. 89 Op cit. Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., et al. p.55 90 Rahma, Athika. 2020. “Sederet Manfaat UU Cipta Kerja Buat UMKM Versi Kemenkop UKM - Bisnis
Liputan6.Com.” 2020. https://www.liputan6.com/bisnis/read/4385440/sederet-manfaat-uu-cipta-kerja-buat-
umkm-versi-kemenkop-ukm. 91 Sigit Riyanto, dkk, op.cit., hlm. 55
28
pengintegrasian kebijakan dan program, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta
pengendalian umum terhadap pelaksanaan pelaksanaan pemberdayaan UMKM. Sedangkan
pada Pasal 89 ayat (8) dan (9) menegaskan bahwa pemerintah pusat memiliki kendali dalam
pengelolaan basis data tunggal melalui koordinasi dan evaluasi. Pada titik ini peran pemerintah
seharusnya meliputi koordinasi dua pihak, tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah pusat
saja.
Pada bagian mengenai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam UU No 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, undang-undang secara jelas menegaskan bahwa pemerintah
pusat memiliki dua kewenangan dalam sistem pengelolaan basis data tunggal UMK yaitu
mengkoordinasikan serta melakukan evaluasi pengelolaan terpadu UMK dalam penataan
klaster. Adanya ketentuan ini seakan memperlihatkan jika ada upaya untuk mensentralisasikan
pengelolaan basis data tunggal dan pengelolaan UMK Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12
ayat (3) UU 23/2014 menyatakan jika urusan perdagangan dan perindustrian sebagai bentuk
urusan pemerintahan yang konkruen, dengan adanya pelimpahan pengkoordinasian dan
pengevaluasian dalam pengeloaan UMK sistem klaster maka seakan-akan kewenangan
pemerintah daerah ditarik begitu saja oleh pemerintah pusat. Padahal dalam penyelenggaraan
administrasi negara koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus berdasarkan pada
prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional.
Hal lain yang perlu diangkat adalah mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan
peraturan terdahulu. Poin utama yang diangkat adalah koordinasi UMKM antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, pada Pasal 38 ayat (1) tertulis bahwa menteri melaksanakan
koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM. Koordinasi dan pengendalian
pemberdayaan UMKM dilaksanakan secara nasional dan daerah yang meliputi penyusunan dan
pengintegrasian kebijakan dan program, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta
pengendalian umum terhadap pelaksanaan pelaksanaan pemberdayaan UMKM. Sedangkan
pada Pasal 89 ayat (8) dan (9) menegaskan bahwa pemerintah pusat memiliki kendali dalam
pengelolaan basis data tunggal melalui koordinasi dan evaluasi. Pada titik ini peran pemerintah
seharusnya meliputi koordinasi dua pihak, tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah pusat
saja.
Adanya kewenangan pemerintah pusat dalam sistem pengelolaan basis data tunggal
UMK membuat pencederaan terhadap asas desentralisasi pemerintah daerah. Dimana dalam
Pasal 89 UU CK kewenangan koordinasi dan evaluasi pengelolaan terpadu UMK dalam
29
penataan klaster menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.92 Upaya pemerintah yang tergolong
sentralistik ini tidak sesuai dengan asas desentralisasi yang dianut oleh negara. Kewenangan
pemerintah dalam menerbitkan perizinan dalam sistem basis data tunggal merupakan urusan
pemerintahan konkruen yang mana dalam pelaksanaannya membutuhkan koordinasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah yang konkruen yang diatur
daam UU 23 Tahun 2014 namun sekarang dalam pelaksanaannya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat. Dalam proses pengelolaan UMK, peran Pemerintah Pusat menggeser
kewenangan Pemerintah Daerah yang menyebabkan banyak tumpang tindih dan UU CK
sendiri telah banyak merubah dalam ketentuan UU Pemerintah Daerah dan terkesan sangat ego
sektoral dan menyebabkan penumpukkan kekuasaan Pemerintah Pusat sangat menumpuk dan
menjadi obesitas kewenangan Adanya pergeseran kewenangan tersebut membuat pencideraan
terhadap otonomi daerah yang seluas-luasnya yang merupakan salah satu tuntutan reformasi.
92 Vide Pasal 89 ayat (7) dan (8) Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020.
30
Pernyataan Sikap Dema Justicia
Berdasarkan catatan kritis tersebut, Dema Justicia bersikap sebagai berikut:
1. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai bentuk
produk hukum yang elitis, ortodoks, dan otoriter;
2. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
dilakukan secara tidak demokratis dan telah melanggar asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan;
3. Menyatakan beberapa materi muatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja tidak didasarkan politik hukum yang jelas dan tidak berpihak kepada rakyat;
4. Mengecam tindakan Presiden dan DPR dalam membentuk Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tidak melibatkan partisipasi publik secara
proporsional;
5. Mendukung setiap elemen masyarakat dalam melakukan penolakan terhadap Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja seperti menyuarakan pendapat dan
aspirasi sesuai prinsip demokrasi dan peraturan perundang-undangan maupun melalui
pengujian undang-undang baik uji formil maupun uji materiil di Mahkamah Konstitusi
agar diputus secara independen dan imparsial;
6. Mendesak Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) untuk menunda keberlakuan beberapa pasal yang bermasalah. Kemudian
dilakukan evaluasi oleh Presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang
perubahan terhadap pasal-pasal yang bermasalah sesuai asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan.