disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/rilis-kajian...perundang-undangan yang...

33
0

Upload: others

Post on 17-Nov-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

0

Page 2: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

i

Disusun oleh:

Aaron Tirtha

Adelia Susanto

Alifia Khansa

Antonella

Antonius Havik

Aqshal Muhammad

Cora Kristin

Daniel Tangkas

Derby Pambudi

Eduardo Kayona

Eugen Mohamad

Fisco Moedjito

Kevin Daffa Athilla

Muhammad Ardiansyah

Nivia Pipit

Ricko Aldebarant

Shafira Dinda

Syahrico

Thoriq

Yumna Nafisah

Tariq Hidayat Pangestu

Page 3: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

ii

Page 4: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

1

Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................................................................................................ 0

Pengantar ............................................................................................................................................... 2

Permasalahan Aspek Prosedural dan Opsi Mekanisme Pembatalan UU Cipta Kerja .................. 3

Permasalahan dalam Kluster Lingkungan ......................................................................................... 9

Permasalahan dalam Kluster Agraria .............................................................................................. 15

Permasalahan dalam Kluster Ketenagakerjaan .............................................................................. 16

Permasalahan dalam Kluster Administrasi Pemerintahan dan Pelaksanaannya ........................ 21

Permasalahan Ketentuan Sanksi Pidana .......................................................................................... 24

Permasalahan dalam Kluster UMKM dan Penanaman Modal ..................................................... 25

Pernyataan Sikap Dema Justicia ....................................................................................................... 30

Page 5: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

2

Pengantar

Perubahan undang-undang merupakan keniscayaan yang tidak bisa dibendung. Hal ini

dikarenakan menurut Sudikno Mertokusumo suatu undang-undang selalu berjalan di belakang

peristiwa (het recht hinkt achter de feiten aan).1 Dalam negara hukum menurut Maria Farida

pembentukan undang-undang adalah menciptakan modifikasi atau perubahan kehidupan

masyarakat.2 Berdasarkan kontruksi tersebut pembentukan suatu undang-undang haruslah

sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat seperti yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-

Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun,

kontradiksi terjadi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta

Kerja yang dinilai baik secara prosedural maupun subtansi dinilai menimbulkan problematika

yang pelik. Indikasi utamanya adalah terkait proses pembentukan undang-undang ini tidak

sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang pada status quo

terdapat dalam Pasal dan 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketataan terhadap asas ini menjadi penting

karena eksistensinya untuk memberi suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan,

keakuratan, dan keseragaman dalam penyusunan undang-undang yang sejalan dengan prinsip

supremasi konstitusi.4 Atas permasalahan baik secara prosedural maupun materi muatan, Maria

SW Sumardjono yang mengutip disertasi Mahfud MD menyebutkan bahwa Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan tipologi undang-undang elitis, ortodoks,

dan otoriter karena diberlakukan sebagai instrumen untuk melaksanakan kehendak sepihak dari

penguasa.5 Lebih lanjut menurut Mahfud MD produk hukum dengan karakter ortodoks,

konservatif, elitis terjadi dalam negara dengan konfigurasi politik otoriter.6 Produk hukum

1 Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 103 2 Sally Falk Moore, “Law And Social Change: The Semi-Autonomous Social Field As An Appropriate Subject

Of Study,” Law and Society Review 7, no. 4 (1973): Hlm. 721. 3 Maria Farida Indrati, 2002, Ilmu Perundang-undangan 1 : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius,

Yogyakarta, hlm. 5-6 4 Department of Legislative Services Office of Policy Analysis, 2012, Legislative Drafting Manual, Annapolis,

Maryland, hlm. 93 5 Maria SW Sumardjono dalam Anotasi Hukum Undang-Undang Cipta Kerja, 10 November 2020, Kanal

Pengetahuan Hukum UGM. https://www.youtube.com/watch?v=10u6XXfi1Ig, diakses pada 11 November 2020. 6 Mahfud MD, 2006, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm. 15

Page 6: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

3

seperti ini lebih mencerminkan visi sosial elit politik dan keinginan pemerintah dan tertutup

terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat.7

Oleh sebab itu, melihat proses dan hasil pembentukan Undang-Undang Nomor 11

tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak berlebihan dalam tulisan ini Dema Justicia menyatakan

hal ini sebagai bentuk Legislasi Picisan. Kata “Legislasi” dimaknai sebagai suatu proses yang

utuh mulai proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan.8 Sedangkan “Picisan” merupakan suatu bentuk kiasan terhadap segala apapun

yang bermutu rendah yang juga bersinonim dengan kata inferior atau kelas dua. Adapun dalam

tulisan ini akan dibahas mengenai permasalahan prosedural berupa proses pembentukan

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta permasalahan subtansi dalam

kluster Lingkungan, Agraria, Ketenagakerjaan, Administrasi Pemerintahan, UMKM dan

Kemudahan Berusaha, dan Ketentuan Sanksi Pidana. Dalam kluster Lingkungan

permasalahannya adalah Diakhir tulisan menjadi satu bagian yang tak terpisahkan tercantum

sikap Dema Justicia terhadap pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang

Cipta Kerja.

Permasalahan Aspek Prosedural dan Opsi Mekanisme Pembatalan UU Cipta Kerja

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat tahapan-tahapan dan asas

penyusunan yang harus benar-benar diterapkan. Akan tetapi, dalam pembentukan Undang-

Undang Cipta Kerja seolah diabaikan. Sebagai suatu produk hukum yang mengatur berbagai

macam sektor yang amat berpengaruh kepada masyarakat, UU Cipta Kerja dalam

pembentukannya justru menabrak ketentuan mengenai tahapan dan asas penyusunan suatu

perundang-undangan. Padahal disaat yang bersamaan menurut Susi Dwi Harijanti dalam due

process of law, terdapat due process of substantive dan due process of procedural dalam hal

ini tanpa memenuhi hak-hak procedural seperti keterlibatan masyarakat dan prinsip

keterbukaan lainnya maka hak-hak subtantif tidak dapat dipenuhi.9 Adapun permasalahan

mengenai hal ini Pertama, dalam pembentukan UU Cipta Kerja minim adanya keterbukaan.

Dimulai dari tahap awal yakni pada saat pengajuan draft RUU Cipta Kerja oleh Pemerintah

7 Ibid. hlm. 25-27 8 Dikembangkan oleh Tim Penyusun dalam Saldi Isra, 2018, Pergeseran Fungsi Legislasi, Raja Grafindo

Persada, Depok, hlm. 299 9 Keterangan ahli Susi Dwi Harijanti dalam Judicial Review di MK Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019.

hlm. 63.

Page 7: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

4

kepada DPR. Kala itu, draft mengenai RUU Cipta Kerja sudah tersebar di berbagai sosial

media, tetapi justru tidak bisa ditemukan pada laman resmi pemerintah maupun DPR RI.10

Tidak adanya draft RUU Cipta Kerja yang dirilis dalam laman resmi pemerintah dan DPR ini

jelas menunjukkan bahwa sejak awal tidak adanya keterbukaan. Padahal, dalam pasal 5 huruf

g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

disebutkan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan asas

keterbukaan yakni dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari

perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan

bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan.11 Tak berhenti pada tahap awal saja, prinsip keterbukaan dalam

pembentukan UU Cipta Kerja kembali absen di tahap setelah Rancangan Undang-Undang

Cipta Kerja disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI 5 November 2020 lalu. Setelah dilakukan

pengesahan, beredar 5 sampai 6 draft di masyarakat dengan jumlah halaman yang terus

berbeda-beda.12 DPR pun tak kunjung memberikan kejelasan, bahkan dalam laman resminya

tidak terdapat juga draft RUU Cipta Kerja.13

Kedua, minimnya partisipasi publik selama proses pembentukan UU Cipta Kerja.

Partisipasi publik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan telah diatur dalam

pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Menurut Prof. Susi Dwi Harijanti pemerintah sudah mengundang pakar, ahli, dan kelompok

masyarakat namun masukan tersebut tidak ditindaklanjuti DPR dan Pemerintah dalam proses

pembahasan14. RUU Cipta Kerja dilakukan sebanyak 64 kali terdiri dari 2 kali rapat kerja, 56

10 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, “RUU Cipta Kerja: Awal Langkah Penuh Masalah”,

https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/ruu-cipta-kerja-awal-langkah-penuh-masalah/, diakses 9 November

2020 11 Lihat Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan 12 Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M dalam Pemaparan Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah

Mada atas Undang-Undang Cipta Kerja, 6 November 2020 13 Haris Prabowo, “Omong Kosong Transparansi DPR dan Pemerintah Soal UU Cipta Kerja”,

https://tirto.id/omong-kosong-transparansi-dpr-dan-pemerintah-soal-uu-cipta-kerja-f54x, diakses 9 November

2020 14 Haryanti Puspa Sari, “Guru Besar Hukum Sebut UU Cipta Kerja Tak Pertimbangkan Aspirasi Rakyat”,

https://nasional.kompas.com/read/2020/10/09/19135131/guru-besar-hukum-sebut-uu-cipta-kerja-tak-

pertimbangkan-aspirasi-rakyat, diakses tanggal 9 November 2020.

Page 8: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

5

kali rapat panja, dan 6 kali rapat tim perumus dan sinkronisasi15. Dalam proses pembahasan

aspirasi publik tidak banyak didengar. Sedikitnya ruang pembahasan yang ada juga menjadi

hal yang janggal, mengingat ada 79 UU yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020. DPR

terkesan tergesa-gesa dalam proses pembahasan tanpa memperhatikan keterlibatan publik.

Degradasi keterlibatan publik semakin terlihat dengan tidak jelasnya draft mana yang sedang

dalam proses pembahasan oleh DPR, bahkan anggota DPR dari fraksi PKS juga mengaku

belum mendapatkan draft yang sedang dibahas16, tidak hanya sampai tahap pembahasan

bahkan setelah RUU Cipta Kerja telah mendapat persetujuan kejelasan Draft mana yang

digunakan masih saja simpang siur.

Keterlibatan masyarakat sangatlah penting dalam pembentukan Undang-Undang

mengingat peraturan tersebut akan berdampak pada secara luas. Dengan minimnya keterlibatan

publik hal ini akan menimbulkan kecurigaan bahkan penolakan, hal ini nampak dengan

gelombang protes di seluruh Indonesia yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Setidaknya

hingga 9 November 2020 terdapat 4 permohonan judicial riview UU Nomor 11 Tahun 2020

tentang Cipta Kerja17. Menurut Dr. Zainal Arifin Mochtar perlu adanya pembatasan-

pembatasan dalam konteks formal, agar kekuasan tidak dibuat serampangan. Formalitas

tersebut merupakan bentuk dari kedaulatan rakyat, peran serta warga negara dalam partisipasi

dan menyuarakan aspirasi telah dijamin dengan undang-undang18

Ketiga, praktik salah ketik. Undang-Undang No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

(UU Ciptaker) merupakan sebuah Undang-Undang yang mencakup banyak aspek didalam

kehidupan masyarakat (Konsep Omnibus Law). Sehingga sudah seyogyanya Undang-Undang

ini dibahas dan dibentuk secara teliti mulai dari proses penyusunannya. Nyatanya, masih

terdapat beberapa kesalahan berupa salah rujukan ataupun salah ketik (typo) didalam UU Cipta

Kerja. Hal ini diakui oleh Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purnowo, yang

mengatakan bahwa kesalahan didalam UU Cipta Kerja bersifat redaksional dikarenakan

15 Nugroho, “Keterlibatan Publik dalam Pembahasan RUU Ciptaker”, https://rri.co.id/humaniora/info-

publik/910193/keterlibatan-publik-dalam-pembahasan-ruu-ciptaker#, diakses tanggal 9 November 2020. 16 Haryanti Puspa Sari, “Politisi PKS Sebut Anggota DPR Tak Pegang Draf Final UU Cipta Kerja saat Hari

Pengesahan”, https://nasional.kompas.com/read/2020/10/08/16410841/politisi-pks-sebut-anggota-dpr-tak-

pegang-draf-final-uu-cipta-kerja-saat?page=all, diakses tanggal 9 November 2020. 17 Vendhy Yhulia Susanto, “MK sebut ada 4 permohonan uji materi UU Cipta Kerja”,

https://nasional.kontan.co.id/news/mk-sebut-ada-4-permohonan-uji-materi-uu-cipta-kerja, diakses tanggal 9

November 2020. 18 Dr. Zainal Arifin Mochtar, “Legislasi nan Menyebalkan”, Kompas, 20 Oktober 2020.

Page 9: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

6

kurangnya waktu dan juga kendala dimasa pandemi covid-19.19 Hal ini dibuktikan didalam

Pasal 6 UU No.11 Tahun 2020 yang menyebutkan “Peningkatan ekosistem investasi dan

kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf a meliputi….”.

Sedangkan, di dalam Pasal 5 sendiri, tidak terdapat satupun ayat didalamnya. Hal serupa juga

terjadi pada Pasal 151 Ayat (1) yang menyatakan: “Kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b terdiri atas….”. Padahal

di dalam Pasal 141 sendiri, juga tidak terdapat ayat satupun didalamnya. Selain itu dalam

ketentuan Pasal 175 Angka 6 Ayat (5) yang menyatakan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai

bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden”, apabila

diperhatikan lebih lanjut pada Pasal 175 Angka 6 Ayat (3) sendiri pada pokoknya justru

menjelaskan mengenai penetapan keputusan melalui sistem elektronik, yang mana seharusnya

Pasal 175 Angka 6 Ayat (5) tersebut merujuk kepada ayat (4) yang membahas permohonan

dikabulkan secara hukum apabila Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan

dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan (Fiktif Positif).

Apabila melihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 72 Ayat (2) Undang-Undang No.

12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa tenggat penyampaian rancangan undang-undang kepada

Presiden paling lama ialah 7 hari. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 72 Undang-Undang

No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa pada pokoknya tenggat

waktu 7 (tujuh) hari yang dimaksud di dalam Pasal 72 Ayat (2) tersebut hanya untuk persiapan

segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan semata.20 Sehingga sudah seharusnya setelah

disahkan didalam rapat paripurna, sebuah RUU sudah bersifat final.

Selain dilanggarnya beberapa prinsip dalam pembentukan undang-undang, hal lain

yang perlu disorot dari UU Cipta Kerja ini adalah mengenai aturan turunannya. Dengan

banyaknya muatan materi dan sektor yang diatur menyebabkan UU Cipta Kerja mensyaratkan

adanya sekitar 500 aturan turunan. Jumlah aturan turunan yang begitu banyak ini justru akan

19 Farisa, Fitria Chusna, “Ungkap Sebab UU Cipta Kerja Salah Ketik, Istana:Omnibus Tak Familiar”,

https://nasional.kompas.com/read/2020/11/06/15052351/ungkap-sebab-uu-cipta-kerja-salah-ketik-istana-

omnibus-tak-familiar?page=all, diakses pada 9 November 2020 20 Undang-Undang No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Page 10: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

7

menyebabkan over-regulated yang mana hal tersebut kontradiktif dengan semangat utama

pembuatan UU ini yakni untuk menyederhanakan berbagai peraturan perundang-undangan.

Opsi Mekanisme Pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja

Dengan berbagai problematika yang tercipta setelah adanya Undang-Undang No.11

Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, muncul pandangan untuk membatalkan Undang-Undang

No.11 Tahun 2020 ini dengan berbagai cara. Setidaknya terdapat dua cara konstitutional untuk

membatalkan UU Cipta Kerja ini. Pertama, Sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa

dicabut dengan Peraturan Perundang-Undangan yang setingkat atau lebih tinggi.21 Frasa

“batal” didalam penyusunan Peraturan Perundang-Undangan kurang dikenal, namun hal ini

disinggung Penjelas Pasal 5 Huruf b UU No.12 Tahun 2011. Jika sebuah Peraturan Perundang-

Undangan dibuat oleh sebuah lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang maka

pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut batal demi hukum. Salah satu cara

pencabutan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu dengan memaksa Presiden untuk

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang menyatakan mencabut

sebuah Undang-Undang.

Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU No.12 Tahun 2011, hierarki peraturan Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia yakni sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berada ditingkat yang

sama dengan Undang-Undang, sehingga sebuah Perppu dapat mencabut sebuah Undang-

Undang yang berlaku. Presiden hanyalah satu-satunya pejabat yang berwenang mengeluarkan

sebuah Perppu. Kewenang Presiden didalam mengeluarkan Perppu dinyatakan didalam Pasal

22 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang

memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-

21 Lampiran II Nomor 158 dan 159 UU No.12 Tahun 2011

Page 11: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

8

undang.” 22 Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi memberikan sebuah tolak ukur sebagai kriteria

bagi “kegentingan yang memaksa” didalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam

putusannya MK memberikan tiga kriteria bagi Presiden untuk menetapkan sebuah Perppu,

antara lain:

i. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah

hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

ii. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi

kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

iii. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan carfa membuat

Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu

yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu

kepastian untuk diselesaikan.23

Setelah mengeluarkan sebuah Perppu, maka Perppu tersebut wajib untuk mendapatkan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikutnya.24 Jika tidak

mendapatkan persetujuan dari DPR maka, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

tersebut harus dicabut.25

Kedua, selain melalui mekanisme Perppu, pembatalan UU Cipta Kerja juga bisa

dilakukan melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C

ayat (1) UUD NRI 1945 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan salah satunya untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.26 Dalam Pasal 4 Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara

Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan

meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Dimana yang dimaksud dengan

pengujian materiil ialah pengujian undang-undang yang berkaitan dengan materi muatan dalam

ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI

1945. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkaitan dengan

proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.

22 Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 23 Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU-VIII/2009 24 Lihat Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 25 Lihat Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 26 Lihat Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945

Page 12: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

9

Apabila putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian materiil undang-undang

menyatakan bahwa pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal,

dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.27

Sedangkan apabila putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian formil menyatakan

bahwa pembentukan undang-undang yang diujikan tidak memenuhi ketentuan pembentukan

undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.28 Sehingga, apabila

dikontekstualisasikan dengan UU Cipta Kerja, pengujian terhadap undang-undang a quo bisa

dilakukan melalui pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Kemudian apabila dinyatakan

oleh putusan Mahkamah Konstitusi bahwa muatan materi UU Cipta Kerja bertentangan dengan

UUD NRI 1945 dan/atau proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan

pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI 1945, undang-undang a quo secara

otomatis tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah adanya putusan dari Mahkamah

Konstitusi.

Permasalahan dalam kluster Lingkungan

• Pelemahan Aspek Administratif

Hukum administrasi merupakan salah satu bidang spesifik dalam penegakkan hukum

lingkungan disamping hukum pidana dan perdata. Aspek administratif dimaknai sebagai upaya

penerapan dari norma kewenangan, perintah, larangan, izin, dan dispensasi.29 Birokrasi yang

ada di dalamnya tidak semata mata hanyalah untuk mempersulit berjalannya kegiatan usaha di

dalamnya, akan tetapi juga dimaknai sebagai upaya pemerintah daerah maupun pusat guna

memastikan suatu perusahaan dapat menjalankan kewajibannya terkait melindungi dan

mengelola dan melindungi kelestarian lingkungan hidup. Perlu diingat bahwa dalam

memandang suatu lingkungan hidup diperlukan perspektif yang holistik. Holistik disini

dimaknai sebagai suatu paradigma yang mengartikan bahwa yang dimaksud dengan

27 Lihat Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2oo3 Tentang Mahkamah Konstitusi 28 Lihat Pasal 57 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2oo3 Tentang Mahkamah Konstitusi 29 Maradona dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Hukum Lingkungan dan Teori, Legislasi, dan Studi

Kasus, hlm. 496.

Page 13: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

10

lingkungan hidup sendiri adalah gabungan dari komponen abiotik, biotik, serta

budaya/perilaku. Sebelum adanya UU Cipta Kerja, regulasi terkait perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup termuat dalam hukum positif di Indonesia yang berupa UU No.

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.30 Salah satu produk

administrasi yang diatur dalam UU a quo adalah berupa izin lingkungan yang merupakan

prasyarat suatu usaha dalam mendirikan usaha dan menjalankan kegiatan usahanya.

Yang menjadi sorotan permasalahan dalam UU Cipta Kerja ini adalah pengubahan izin

lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Intensi dari perubahan ini turut dijelaskan dalam

Pasal 21 UU Cipta Kerja dimana dijelaskan bahwa dalam rangka mempermudah perolehan

persetujuan lingkungan, beberapa ketentuan yang ada dalam UU PPLH diubah, dihapus, atau

diterapkan suatu pengaturan baru. Namun, langkah dan tujuan ini tidak dapat dibenarkan begitu

saja. Izin lingkungan sendiri merupakan izin yang diberikan pada pelaku usaha wajib amdal

atau UKL-UPL guna menjalankan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai

dokumen prasyarat izin usaha dan/atau kegiatan.31 Esensi dari izin sendiri adalah

memperbolehkan suatu hal yang awalnya dilarang. Sebagai contoh, Surat Izin Mengemudi

(SIM) merupakan suatu dokumen yang dibutuhkan seseorang agar dapat mengendarai

kendaraan. Jadi, pada dasarnya mengendarai suatu kendaraan adalah dilarang kecuali ia

memiliki SIM. Kedudukan dari pemberi izin tentu memiliki posisi yang lebih tinggi dari

peminta izin karena pihak yang memperbolehkan izin tentu dianggap lebih memiliki

kapabilitas yang lebih tinggi dari peminta izin. Dengan digantinya kata ‘izin’ menjadi

‘persetujuan’ tentu membawa beberapa implikasi yang problematis.32 Dijelaskan dalam UU

Cipta Kerja, yang dimaksud persetujuan lingkungan adalah:

“Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau pernyataan Kesanggupan Pengelolaan

Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah Pusat atau

Pemerintah Daerah.”33

30 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). 31 Vide Pasal 1 angka 35 UU PPLH. 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573). 33 Vide UU Cipker.

Page 14: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

11

Konsekuensi logisnya adalah dokumen pengganti izin lingkungan ini tidak dapat lagi dianggap

sebagai produk administrasi negara. Pada rezim UU PPLH, sebelum dilakukan perubahan oleh

UU Cipta Kerja, izin lingkungan adalah salah satu instrumen penegakkan hukum lingkungan

yang cukup komprehensif. Terdapat pemaksaan yang dapat dilakukan oleh pemerintah berupa

pembekuan atau pencabutan izin lingkungan dalam hal ketidaktaatan pelaku usaha terhadap

paksaan pemerintah.34 Pasal yang mengatur hal tersebut pun dihapus sehingga keberlakuan

pemaksaan pemerintah tidak dapat dilaksanaan lagi. Hal ini sudah melemahkan semangat dari

hukum administrasi sebagai upaya penegakkan hukum lingkungan. Lebih lanjut lagi, gugatan

administratif yang dapat dilakukan oleh masyarakat juga tidak mungkin untuk dilaksanakan.

Tentunya ketentuan terkait gugatan administratif35 dihapuskan pada UU Cipta Kerja.

Konsekuensinya adalah partisipasi masyarakat dalam upaya melestarikan lingkungan terlukai.

Pembahasan perihal urgensi partisipasi masyarakat (public participation) dibahas lebih lanjut

dalam sub bab berikutnya.

• Reduksi Partisipasi Masyarakat

Dalam Pasal 26 UU Cipta Kerja, terdapat reduksi definisi masyarakat serta kewenangan

yang dimiliki oleh masyarakat yang sebelumnya telah diatur dalam UU PPLH. Dalam UU

Cipta Kerja ini menghilangkan poin-poin yang telah terdapat dalam Pasal 26 ayat (3) UU PPLH

yang berbunyi:36

“Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. yang terkena dampak;

b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau

c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.”

Dalam UU Cipta Kerja, hanya masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana

usaha dan kegiatan yang dapat terlibat dalam penyusunan amdal. Hal ini sekaligus

menghilangkan hak bagi pemerhati lingkungan hidup dan yang terpengaruh atas segala bentuk

keputusan untuk ikut andil dalam proses amdal, padahal pada praktiknya mereka lah yang

sering memberikan paham idealismenya terhadap proses pembuatan amdal ini. Hilangnya hak

34 Vide Pasal 76 jo. 79 UU PPLH. 35 Vide Pasal 93 UU PPLH. 36 Vide Pasal 26 ayat (3) UU PPLH.

Page 15: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

12

mereka untuk turut andil dalam proses amdal ini dapat mengakibatkan degradasi kualitas amdal

karena masyarakat terdampak tidak memiliki keahlian seperti pemerhati lingkungan hidup

untuk mengkritisi amdal ini.

UU Cipta Kerja selain seperti yang telah disebutkan sebelumnya juga menghapus

ketentuan lain yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPLH. Ayat tersebut berbunyi:

“Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan

terhadap dokumen amdal.” 37

Dihapusnya ayat ini dalam UU Cipta Kerja patut disoroti, karena hilangnya ayat ini

menyebabkan berkurangnya wewenang masyarakat karena mereka hanya dapat berpartisipasi

dalam proses penyusunan amdal, tanpa ada hak untuk mengajukan keberatan terhadap

dokumen amdal jika ada poin yang dirasa merugikan. Padahal seperti yang kita ketahui,

partisipasi masyarakat (public participation) merupakan salah satu prinsip yang diakui

keberadaannya oleh pergaulan internasional guna memantau kebijakan atau keputusan

pemerintah dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana termuat dalam Rio

Declaration.38 Lothar Gundling berpendapat bahwa dengan adanya public participation

memiliki tujuan untuk meningkatkan kesiapan publik dalam menerima keputusan, memberikan

perlindungan yuridis, dan memberlakukan decision-making yang terdemokratisasi.39 Oleh

karenanya, sungguh disayangkan sekali kebijakan pemerintah dalam meniadakan partisipasi

publik ini yang mana sudah pasti melukai hak-hak yang dimiliki publik untuk berpartisipasi

dan mengakses informasi terkait kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.

• Pengacauan Ketentuan Sanksi dalam Rezim PPLH

Selain administrasi, penegakkan hukum lingkungan juga berada dalam lingkup hukum

pidana, khususnya dalam hukum pidana administratif, dan perdata.40 Baik di lingkup pidana

maupun perdata, terdapat beberapa pasal yang menjadi sorotan masalah. Pertama dalam ranah

perdata, bisa kita cermati pada Pasal 88 UU PPLH yang mengatur asas tanggung jawab mutlak

(strict liability) atas limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Kita ketahui bersama bahwa

37 Vide Pasal 26 ayat (4) UU PPLH. 38 Laode M. Syarif, Maskun, Birkah Latif, et al dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op cit, hlm. 66. 39 Ibid. 40 Maradona dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op cit, hlm. 495.

Page 16: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

13

limbah B3 dapat memberi masalah yang cukup serius bagi lingkungan hidup sebagaimana

disebutkan dalam penjelasan Pasal 58 ayat (1) yang menegaskan bahwasanya limbah B3

berpotensi cukup besar dalam memberi implikasi yang buruk,41 khususnya bagi lingkungan

hidup itu sendiri. Dalam penerapannya, pembuktian kausalitas atau hubungan sebab akibat

antara perbuatan pelaku usaha dengan akibat kerugian yang ditimbulkan merupakan hal yang

sulit untuk dibuktikan.42 Kendati pun UU Cipta Kerja masih menyebutkan

pertanggungjawaban yang mutlak, frasa ‘yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’

dihilangkan. Nampaknya asas strict liability seperti dicoba untuk direduksi dengan

menghilangkan frasa tersebut. Dari penghilangan frasa tersebut jelas adanya bahwa intensi

pemerintah adalah untuk ‘menjinakkan’ esensi dari asas a quo sehingga dalam penerapannya

akan semakin sulit. Padahal asas ini merupakan asas dalam hukum lingkungan yang mana

merupakan landasan krusial dalam menegakkan keadilan pada hukum lingkungan itu sendiri.

Dalam konteks hukum pidana administratif, terdapat sanksi pidana administratif

(administrative-penal law) yang dicoba untuk dihilangkan. Penerapan hukum administrasi

sendiri memiliki sifat represif43 yang merupakan instrument penegakkan hukum lingkungan

yang cukup krusial. Dalam hukum positif Indonesia, dapat dilihat pada Pasal 102 UU PPLH

yang menyebutkan bahwa seseorang yang mengelola limbah tanpa izin akan dikenai sanksi

pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda.44 Urgensi dari kepemilikan izin, diatur

dalam PP No. 101 Tahun 2014, ini adalah pemantauan pemerintah terhadap pengelolaan

limbah B3 berdasar kemampuan seseorang atau perusahaan untuk mengelola dan berdasar

lokasi tempat pengelolaan limbah B3 tersebut. Dengan kata lain, izin pengelolaan limbah B3

ini penting adanya sehingga dapat dikenai sanksi apabila pengelola tidak memilikinya.

Sungguh sangat disesali bahwa pasal a quo dihapus keberadaannya pada UU Cipta Kerja.

Tentu konsekuensi yang dapat muncul adalah maraknya pengelolaan limbah B3 yang tidak

terkontrol. Hal ini tentu tidak selaras dengan apa yang diatur dalam Pasal 2 Permen Lingkungan

41 Vide penjelasan Pasal 58 ayat (1) UU PPLH. 42 Antonius Havik Indradi, Aqshal Muhammad Arsyah, Kevin Daffa Athilla, Naufal Hilmy, Tariq Hidayat

Pangestu, et al, “Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II: Pembahasan Agraria dan Lingkungan”,

Dema Justicia, 2020, hlm. 20. 43 Maradona dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op cit, hlm. 498. 44 Ibid.

Page 17: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

14

Hidup No. 2 tahun 2013 bahwasanya salah satu tujuan penerapan sanksi administratif adalah

menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.45

Adanya penerapan sanksi pidana yang tidak adil juga turut berkontribusi dalam

‘pengacauan’ kluster lingkungan. UU Cipta Kerja mengubah Pasal 109 UU PPLH yang

mengatur sanksi pidana administratif bagi setiap orang yang tidak memiliki dokumen

administratif (pengganti izin lingkungan) berupa pidana kumulatif yakni pidana penjara dan

denda.46 Kemudian ketentuan tersebut diubah dan mengalami perluasan unsur delik dari yang

awalnya delik formil menjadi delik materiil. Kentara dari adanya frasa ‘yang mengkibatkan’

pada pasal a quo. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa perubahan ini menyulitkan pemenuhan

delik pidana tersebut sehingga harus dibuktikan dengan tambahan satu delik yang baru yakni

akibat dari perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup tersebut. Sejatinya, ketentuan

sanksi pidana yang diterapkan atas akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkungan sudah

termuat dalam Pasal 99 UU PPLH. Hingga UU Cipta Kerja disahkan pun Pasal a quo juga tetap

berlaku. Yang menjadi sorotan adalah dengan hadirnya perubahan pada Pasal 109 sebagaimana

disebutkan di atas. Kedua pasal tersebut dapat saja bersinggungan satu sama lain. Pasal 99

sudah memaparkan klasifikasi sanksi pidana atas kerusakan lingkungan yang cukup jelas.

Pembagian tersebut dibagi menjadi tiga yakni:47

a. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kelalaian

b. Kelalaian yang mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia

c. Kelalaian yang mengakibatkan orang luka berat atau mati

Sanksi pidana yang diterapkan pun beragam sesuai dengan akibatnya. Nampak jelas bahwa

pasal a quo sudah menerapkan sanksi berdasar signifikan atau tidaknya tindakan pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan. Akan tetapi, ketika kita melihat Pasal 109 UU Cipta Kerja

yang menggabungkan delik ketiadaan izin dan semua klasifikasi pada Pasal 99, ketentuan

sanksi pidana pada pasal tersebut nampak tidak adil karena akan mengesampingkan semua

pemidanaan pada Pasal 99. Orang yang melakukan kerusakan lingkungan dan membahayakan

kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling

lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan

45 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan

Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup 46 Ibid. 47 Vide Pasal 99

Page 18: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

15

paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).48 Sementara itu, orang yang

mengakibatkan hal serupa dan tidak memiliki dokumen administratif maka dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling

sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga

miliar rupiah).49 Dalam hal ini, ketentuan a quo memberikan problematika yakni bagaimana

bisa seseorang yang tidak memiliki dokumen adminsitratif dapat dikenakan strtelsel pidana

yang lebih ringan. Wajar adanya apabila masyarakat masih mengharap keadilan yang seadilnya

hingga detik ini.

Permasalahan dalam kluster Agraria

Dalam BAB VIII Bagian Keempat UU Cipta Kerja, tidak merujuk UU No. 5 tahun

1960 tentang Pokok Agraria sebagai payung regulasi ketentuan-ketentuan tentang pengadaan

tanah. UU Cipta Kerja hanya merujuk UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan. Hal ini bertentangan dengan tujuan awal UU Cipta Kerja itu sendiri, yaitu

penyederhanaan regulasi. Bahkan, rumusan pengaturan pertanahan dalam UU Cipta Kerja

disusun dengan cara menyalin substansi dalam RUU Pertanahan yang ditunda pembahasannya

pada 23 September 2019 karena permasalahan krusial yang belum diperoleh jalan keluarnya.

50

Dalam keseluruhan ketentuan Pasal 143-145 UU Cipta Kerja mengatur bahwa WNA

dan badan hukum asing dapat memiliki apartemen/sarusun yang berdiri di atas tanah Hak Guna

Bangunan (HGB). Ketentuan ini bertentangan dengan pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pokok

Agraria. Dalam pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria dijelaskan bahwa yang dapat memiliki

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah warga-negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan

menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Diatur pula dalam pasal 36 ayat (2)

UU Pokok Agraria apabila orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan

tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) tersebut, dalam jangka waktu

48 Vide Pasal 99 ayat (2) UU PPLH. 49 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020

Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573). 50 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020

Page 19: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

16

1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.

Lebih jauh, ketentuan Pasal 143-145 UU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan MK Nomor

21-22/PUU-V/2007 dan TAP MPR IX/2001.

Selanjutnya mengenai permasalahan bank tanah. Dalam hal ini kendatipun dirumuskan

salah satu tujuannya sebagaimana dalam pasal 126 diantarana untuk reforma agraria,

kepentingan pembangunan nasinonal dan konsolidasi lahan namun hal ini terkesan hanya

mencari legitimasi. Terjadi kontradiksi dimana awal mula muncul gagasan untuk membentuk

bank tanah adalah penyediaan tanah bagi investor.51 Seolah-olah masuknya tujuan-tujuan yang

‘mulia’ ini hanyalah peredam gelombang penolakan terhadap usulan pembentukan bank tanah

yang prematur. Idealnya Idealnya metode yang diusung dalam bank tanah adalah kontrol pasar

dan stabilisasi tanah pasar lokal. Bank tanah menjamin ketersediaan tanah untuk pelbagai

keperluan pembangunan di masa yang akan datang, efisiensi APBN/APBD, mengurangi

konflik dalam prosespembebasan tanah dan mengurangi dampak buruk liberalisasi tanah.52

Dalam UU ini perlu dilihat apa tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah dan apakah bisa-

bisa mewujudkan filosofis ekonomi berkeadilan bukan hanya pemanis di atas kertas semata.53

Permasalahan dalam Kluster Ketenagakerjaan

• Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Definisi PKWT baru ditemukan di dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:KEP.100/MEN/VI/4004 yang

mendefinisikan PKWT sebagai perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk

mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan pekerjaan tertentu.54 Pasal 59 ayat 4

Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa batas maksimal pekerjaan yang

diperkirakan adalah diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu

kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. UU Cipta Kerja telah menghapus ketentuan

batasan waktu perjanjian kerja yang sebelumnya diatur dalam pasal tersebut.

51 Ibid 52 Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, Margaretha Putaka, Jakarta. hlm. 45. 53 Dema Justicia, “Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid II : Pembahasan Agraria dan Lingkungan”,

hlm. 3- 4. http://demajusticia.org/rilis-kajian-mengupas-omnibus-law-bikin-gaklaw-jilid-ii-pembahasan-

agraria-dan-lingkungan/, diakses pada 10 November 2020. 54 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:KEP.100/MEN/VI/4004

tentang ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Page 20: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

17

Implikasi hilangnya ayat tersebut sangatlah serius. Selain menghilangkan jangka waktu

maksimal dan batasan perpanjangan, ketentuan baru ini juga menghilangkan kesempatan

pekerja untuk berubah status dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.55 Padahal, posisi

pekerja dalam status kerja kontrak jauh lebih riskan dibanding dengan pekerjaan tetap, karena

minimnya perlindungan hukum maupun jaringan pengaman yang diberikan negara. Para

pemangku kebijakan ingin merubah sistem ketenagakerjaan buruh menjadi contract-based.

Permasalahannya adalah, bahwa tanpa pembatasan waktu yang jelas, posisi buruh yang

dipekerjakan dengan kontrak sementara akan selalu rentan akan eksploitasi dan

unemployment.56

• Alih daya (outsourcing)

Hal lain yang patut dikritisi adalah, ketidakjelasan UU Cipta Kerja dalam bidang alih

daya. Perlu diketahui bahwa Pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan merupakan suatu

kesatuan yang patut dipandang secara keseluruhan. Pasal 64 memberikan suatu dasar

outsourcing yang vital dengan mengatur mengenai penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa/buruh.57 Pasal

65 memaparkan prosedur dan persyaratan sebuah outsourcing. Selanjutnya, Pasal 66 memiliki

fungsi pembatas dari pekerjaan apa saja yang dapat diganti oleh outsourcing. UU Cipta Kerja

telah menghilangkan ketentuan Pasal 64 dan 65, dan merubah isi substansi dari Pasal 66.

Dengan menghapuskan pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh ahli daya,

pemerintah telah memberi ruang outsourcing untuk menjamur tanpa kendali. Praktisnya, alih

daya tanpa pembatasan eksplisit cenderung tidak menguntungkan para pekerja.58

• Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

UU Cipta Kerja merevisi dan menghapus beberapa pasal yang sebelumnya telah diatur

dalam UU Ketenagakerjaan tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Pertama, Pasal 151 ayat 2

UU Cipta Kerja berisi “Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud

dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.”

Namun pada pasal tersebut adanya pengecualian, terdapat pada pasal selipan, yakni pasal 151A

55 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”, op.cit., hlm 43. 56 Cooper, Russell W. Wage And Employment Patterns In Labor Contracts. Routledge, 2001, hlm. 41-42. 57 Trijono, Rachmat. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Papas Sinar Sinanti, 2020, hlm 175. 58 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020Op.Cit, hlm 47.

Page 21: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

18

UU Cipta Kerja yang berbunyi: a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri;

b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja

waktu tertentu c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia.”

Pada pasal ini, seharusnya pemberitahuan tetap dibutuhkan jika terjadinya keempat hal

tersebut, memang dalam hal ini hubungan hukumnya sudah berakhir, tetapi jika tidak adanya

pemberitahuan maka akan sulit untuk mendeteksi terkait jaminan sosial pekerja, pesangon atau

kompensasi yang seharusnya diberikan kepada pekerja. Kedua, UU Cipta Kerja tentang PHK

juga mempermudah terjadinya PHK melalui pasal 151 UU Cipta Kerja yang menghapus

ketentuan “Segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”.

Hal ini menjadi kontradiktif dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya, yakni PHK merupakan

hal yang sebisa mungkin dihindari dan dilarang. Ketiga, adalah tentang hukum formil yang

mengatur tentang PHK. Perbedaannya terletak pada pengarahan hubungan pekerja dan

pengusaha sebagai hubungan industrial, yang mana sebelumnya diatur dalam UU

Ketenagakerjaan dengan penetapan penyelesaian PHK diarahkan kepada hukum perdata

ataupun hukum administrasi terlebih dahulu. Sedangkan UU Cipta Kerja mengatur, pada pasal

Pasal 151 ayat 4 UU Cipta Kerja yang menggunakan frasa “sesuai dengan mekanisme

penyelesaian perselisihan hubungan industrial”. Hal ini merujuk kepada perselisihan hubungan

industrial yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa tiap pihak

berhak memilih alternatif penyelesaian sengketa dan apabila tidak terselesaikan maka

dilanjutkan ke pengadilan hubungan industrial. Sebenarnya, pengaturan mengenai PHK ini

bertujuan baik melalui cara menempatkan pekerja dan pengusaha dalam hierarki yang sejajar.

Namun, pada prakteknya mempertahankan hak pekerja bukan merupakan hal yang mudah

karena adanya ketimpangan posisi jabatan secara hierarkis.59 UU Cipta Kerja juga merevisi

aturan perihal ketentuan besaran pesangon dan penghargaan masa kerja yang berhak

didapatkan pekerja setelah terjadi PHK. Bagian yang menjadi poin utama pada perubahan pasal

ini adalah perubahan ketentuan pesangon. Alasan mengenai pengurangan jumlah pesangon

didasari evaluasi Kementerian Ketenagakerjaan yang berpendapat bahwa aturan pesangon

59 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020, Op.Cit, hlm 48.

Page 22: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

19

selama ini tidak implementatif.60 Hal ini seharusnya dapat diimplementasikan melalui solusi

yang lebih pragmatis, tidak dengan mengubah ketentuan yang sebelumnya diatur. Yakni,

dengan cara mengubah sistem dan mekanisme pengawasan sehingga implementasi mengenai

aturan pesangon dapat berjalan secara efektif.

• Pengupahan

Kebijakan pengupahan sudah seharusnya mempunyai tujuan untuk penghidupan yang

layak bagi masyarakat.61 Hal yang patut dikritisi mengenai upah minimum melalui poin-poin

adalah sebagai berikut. Pertama, dalam Pasal 88D UU Cipta Kerja mengenai Pengupahan yang

mengatur tentang penghitungan upah minimum berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi

atau inflasi. Hal ini merupakan pengubahan dari Pasal 89 yang menyebutkan “Upah minimum

diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup yang layak.” Kemudian, pada Pasal 88C ayat 1

dan 2 UU Cipta Kerja yang berisi penetapan upah minimum provinsi oleh Gubernur dan

penetapan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. Hal ini bermakna bahwa

penentuan upah minimum di tingkat regional bersifat opsional. Dampak yang paling krusial

adalah kesenjangan pendapatan tiap kota/kabupaten.62

Selanjutnya, mengenai struktur dan skala upah, UU Cipta Kerja menghilangkan

pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dalam penentuan

upah. Hal ini sangat ironis karena kontradiktif dengan tujuan perbaikan kualitas SDM di

Indonesia. Padahal, pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi

adalah penilaian mutlak untuk menentukan upah sebagai reward atas prestasi pekerja.

Kesimpulannya, UU Cipta Kerja kurang memperhatikan perlindungan pengupahan secara luas

sehingga dapat berpotensi menimbulkan ketidakadilan.63

• Pasal pemanis yang sulit diimplementasikan

Ketentuan-ketentuan baru yang dimunculkan di UU Cipta Kerja ada beberapa yang

patut kita apresiasi. Contohnya pengadaan upah minimum bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK)

dan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Yang patut kita kritisi disini adalah ketentuan-

ketentuan tersebut masih ambigu dan tidak dapat dibayangkan bagaimana cara

60 Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, sepanjang tahun 2019, hanya 27% perusahaan yang

mematuhi ketentuan pesangon pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 61 Abdul Khakim, 2006, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti. hlm 56 62 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020, Op.Cit, hlm 45. 63 Ibid.

Page 23: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

20

pengimplementasiannya. Pasal 90B mengatur upah minimum bagi pekerja UMK merupakan

suatu tindakan konkrit dari pemerintah yang ingin mengadakan suatu perlindungan bagi

pekerja UMK. Namun, penetapan upah yang berdasarkan perjanjian kerja antara pekerja dan

pengusaha sebagaimana ditulis di ayat (2) mengeliminasi adanya pengawasan dari pemerintah

itu sendiri. Hal ini sia-sia karena peraturan tersebut tidak akan cukup melindungi pekerja UMK.

Berdasarkan fakta, hubungan antara pekerja dan pengusaha tidak pernah sebanding dan setara.

Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 46 A adalah suatu

upaya dari pemerintah untuk menghadirkan jenis program sosial bagi mereka yang terkena

PHK. Jaminan kehilangan pekerjaan ini menggantikan pengurangan pesangon. Jaminan

kehilangan pekerjaan tidak difokuskan pada bentuk uang saja, tetapi “berupa uang tunai, akses

informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja”. Disini tidak dijelaskan seberapa persentase uang

tunai yang akan diterima dan hanya disebutkan di Pasal 46 D ayat (2), “Jaminan kehilangan

pekerjaan diberikan paling banyak 6 (enam) bulan upah”. Yang menjadi masalahnya adalah

jaminan kehilangan pekerjaan tidak bisa menjadi suatu substitusi pengurangan pesangon

karena esensi dari pesangon itu sendiri adalah dalam bentuk uang. Pasal 46 D ayat (4) membuat

manfaat jaminan kehilangan pekerjaan tidak bisa dirasakan secara langsung karena harus

menunggu ketentuan lebih lanjut di peraturan pemerintah.

• UU Cipta Kerja menggenjot iklim investasi

Semangat yang dibangun dalam Undang-Undang Cipta Kerja merupakan berperspektif

bisnis, bukan untuk kepentingan pekerja. Sehingga beberapa peraturan yang dirasa

menghambat investasi direvisi karena dianggap tidak sejalan dengan paradigma pertumbuhan

yang sedang diemban.64 Dalam hal ini peraturan yang dirasa dapat menghambat investasi,

seperti misalnya perlindungan yang rigid terhadap pekerja. Namun apakah benar perlindungan

terhadap pekerja dapat menghambat investasi? Kajian dari World Economic Forum, justru

menempatkan korupsi menjadi salah satu faktor yang menghambat investasi di Indonesia.

Kajian tersebut menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor

utama penghambat investasi di Indonesia.65 Sedangkan aturan ketenagakerjaan menduduki

64 Ari Hernawan, 2020, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: Peluang dan Tantangan (Perspektif Hukum

Ketenagakerjaan, Seminar Nasional Dies Natalis FH UGM “Peluang dan Tantangan Menuju Omnibus Law di

Indonesia 65 Dwi Hadya Jayani, “Korupsi Penghambat Utama Investasi.”,

https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e6183df7/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-

indonesia, diakses tanggal 9 November 2020.

Page 24: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

21

urutan ke-12 dari penghambat terbesar investasi.66 Bahkan dilansir dari The Economist, salah

satu media yang berspektrum sebelah “kanan” justru mengkritik keras kebijakan Presiden

Jokowi dalam menetapkan UU Cipta Kerja, ia tidak menyambut antusias deregulasi dan

debirokratisasi. Hal ini dinilai akan mengurangi partisipasi pemerintah dan masyarakat lokal

dalam eksekusi kebijakan yang diniatkan untuk menggenjot pembangunan.67 Tentunya,

birokrasi yang dibawa dalam semangat UU Cipta Kerja membawa kembali pada kebijakan

pembangunan yang top-down.68

Permasalahan dalam Kluster Administrasi Pemerintahan

• Mengenai pelaksanaan administrasi pemerintahan untuk mendukung cipta kerja

Dalam ketentuan Pasal 174 disebutkan bahwa kewenangan menteri, kepala lembaga,

atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau

membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan

Presiden. Rasio dihadirkannya pasal a quo jika merujuk pada naskah akademik UU Cipta Kerja

dikarenakan kondisi pada saat ini terdapat obesitas regulasi yang saling tumpang tindih yang

disebabkan karena ego sektoral masing-masing lembaga sehingga dengan menegaskan

Presiden sebagai sumber kewenangan menjalankan dan membentuk peraturan perundang-

undangan kepada lembaga terkait diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang ada.69 Dari

pengaturan ini terdapat beberapa diskursus yang perlu dilihat lebih rigid. Pertama, jika ditinjau

dari sistem presidensiil yang menjadi salah satu kesepakatan dasar dalam perubahan UUD NRI

Tahun 1945. Karakteristik sistem presidensiil salah satunya adalah Presiden sebagai kepala

negara sekaligus kepala pemerintahan mengangkat para menteri sebagai pembantu yang

bertanggungjawab kepadanya.70 Sehingga ketentuan ini merupakan upaya menegaskan bahwa

pada prinsipnya kebijakan yang diambil bukanlah kewenangan menteri secara sektoral

melainkan kewenangan Presiden. Kedua, problematika mulai timbul ketika pengaturan ini

mencakup pemerintah daerah. Sejatinya jika dikontekskan dengan bentuk negara kesatuan

sebagaimana dicantumkan pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dimana konsekuensi

logisnya pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan

66 Ibid. 67 Ulil Abshar-Abdalla, “Berseminya Lagi “Pohon Otoritarianisme”, Kompas, 2 November 2020. 68 Ibid. 69 Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 15.16 70 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu, Jakarta,

hlm. 316.

Page 25: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

22

negara baik di pusat maupun didaerah.71 Namun, perlu digarisbawahi dengan model sentralistik

jika diterapkan di Indonesia dengan wilayah yang luas dan penduduk yang jamak terbukti

secara historis menemukan kegagalannya yang melahirkan tuntutan pada reformasi yaitu

otonomi daerah seluas-luasnya. Hal ini dikarenakan otonomi daerah atau desentralisasi salah

satu tujuannya adalah untuk mengatasi masalah kesenjangan antara pusat dan daerah serta

kesenjangan lainnya.72 Oleh sebab itu, esensi adanya pemerintah daerah adalah agar stimulan

bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan semua aspirasinya termasuk dalam sistem

hukum dan kebijakan lainnya.73 Sehingga perlu ditegaskan bahwa pengawasan oleh

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah memang perlu namun jangan sampai jatuh pada

jurang intervensi karena berpotensi mematikan unsur artikulasi aspirasi masyarakat yang

dijalankan oleh pemerintah daerah.

• Mengenai administrasi pemerintahan

Pasal 53 ayat (4) menyebutkan bahwa apabila dalam batas waktu sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau

melakukan Keputusan Tindakan, permohonan dapat dikabulkan secara hukum. Dalam hal ini,

tidak ada suatu penjelasan mengenai peran PTUN dalam memberikan kekuatan hukum

terhadap permohonan penerimaan perizinan seperti yang sebelumnya telah dijelaskan pada

pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Atas hal

ini timbul beberapa permasalahan yang disebabkan pasal a quo. Pertama, warga negara akan

kesulitan untuk mendapatkan kepastian hukum karena penerimaan perizinan tersebut tidak

didasarkan pada putusan PTUN, mengingat PTUN merupakan instrument penting yang dapat

memberikan kepastian dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam urusannya

dengan administrasi negara. Hal ini sejalan dengan filosofi dibentuknya PTUN adalah untuk

memberikan perlindungan terhadap hak perseorangan dan hak masyarakat untuk memberikan

pengayoman hukum dan kepastian hukum atas pebuatan administrasi negara.74 Pasal 53 ayat

(4) tentu dapat menimbulkan suatu keresahan dan keraguan dalam masyarakat karena tidak

memberikan jaminan mengenai perlindungan terhadap sesuatu yang sewenang-wenang. Tidak

71 Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah: Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan Daerah Otonomi

Khusus, Bandung: Refika Aditama, hlm. 10. 72 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020, op.cit., hlm. 90 73 Andi Kasmawati, loccit 74 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni,

Bandung, hlm. 25

Page 26: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

23

adanya perlindungan disebabkan karena warga negara tidak memiliki kekuatan hukum yang

berkaitan dengan penerimaan perizinan tersebut oleh pengadilan.

Probelmatika selanjutnya mengenai diskresi. Jika merujuk pada ketentuan lama yaitu

dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administasi Pemerintahan

bahwa syarat dilakukan diskresi yaitu:

a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat

(2);

b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Sesuai dengan AUPB;

d. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;

e. Tidak menimbulkan Konflik kepentingan; dan

f. Dilakukan dengan itikad baik

Hal ini diubah dalam pasal 175 angka 2 UU Cipta Kerja dengan menghilangkan syarat

“tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Dengan diberlakukannya

peraturan ini akan berdampak pada iklim administrasi pemerintahan dimana ruang gerak bagi

pejabat pemerintah untuk melakukan sebuah tindakan diperluas sekalipun tanpa terikat

sepenuhnya pada peraturan perundang-undangan. Batasan diskresi merupakan perbuatan

Hukum Administrasi. Tindakan tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaan memaksa demi

kepentingan umum yang telah ditetapkan suatu peraturan perundang-undangan, dengan batas-

batas, yaitu bentuk kebijakannya tidak boleh menyimpang dengan aturan diatasnya serta masih

berada dalam ruang lingkup peraturan dasarnya.75 Oleh karena itu dengan hilangnya syarat

“tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan” akan menimbulkan implikasi-

implikasi. Pertama, jika membaca pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang jenis dan hierarki

perundang-undangan maka segala jenis peraturan perundang-undangan dapat dilanggar.

Kedua, kemungkinan penggunaan diskresi secara luas yang mengakibatkan maladministrasi

pejabat negara. Dalam panduan investigasi untuk Ombudsman Republik Indonesia, disebutkan

dua puluh macam maladministrasi, yakni penundaan atas pelayanan, melalaikan kewajiban,

persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, nyata-nyata berpihak, pemalsuan,

pelanggaran undang-undang, perbuatan melawan hukum, tidak kompeten, intervensi,

75 Githa Angela Sihotang, “Diskresi dan Tanggung jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi

Darurat”, Jurnal Law Reform Vol. 13 No. 1, 2017, hlm. 60

Page 27: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

24

penyimpangan prosedur, bertindank sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, bertindak

tidak layak/tidak patut, permintaan imbalan uang/korupsi, penguasaan tanpa hak, dan

penggelapan barang bukti.76 Selama ini salah satu instrument penting yang dapat mengatur dan

mengontrol wewenang atau kebijakan dari pejabat yang memiliki kewenangan adalah

peraturan perundang-undangan, namun syarat tersebut telah dihapuskan.

Permasalahan Ketentuan Sanksi Pidana

Pengesahan RUU Cipta Kerja ternyata tidak lepas dari permasalahan, salah satunya

permasalahan dari segi sanksi pidana. Permasalahan ini menunjukkan ketidakcermatan

legislator dalam merancang UU a quo. Permasalahan dari segi sanksi pidana tersebut antara

lain:

1. Tumpang tindih pembadanan norma sanksi yang digunakan

Terdapat beberapa pasal di dalam UU Cipta Kerja yang mengatur terkait pelanggaran

ketentuan a quo diancam dengan sanksi administrasi, namun pada nyatanya ketentuan pidana

pasal-pasal tersebut secara jelas mengancamkan pidana penjara dan sanksi secara kumulatif.77

Contoh dari tumpang tindih pembadanan norma sanksi yang digunakan dalam UU Cipta Kerja

ini dapat dilihat pada perubahan ketentuan Pasal 71 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang yang berbunyi “Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam

persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 61

huruf c yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling

lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp.1 Miliar”. Padahal Pasal 62 UU a quo menyatakan

bahwa pelanggaran ketentuan Pasal 61 diancam sanksi administratif. Pertentangan semacam

ini memunculkan pertanyaan terkait ketentuan mana yang harus digunakan sehingga

mengakibatkan ketidakpastian hukum.78

2. Dampak perbuatan yang diatur tidak sebanding dengan pidana

Dalam ketentuan pidana UU Cipta Kerja, terdapat ketidakseimbangan antara kualitas

tindakan dengan besarnya ancaman pidana yang dikenakan.79 Tindakan yang hanya berupa

pelanggaran administratif diancam dengan pidana kumulatif, sedangkan tindakan yang

76 Julista Mustamu, “Diskresi dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Asasi Vol.17 No.2 Bulan

April-Juni 2011, hlm. 7 77 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020. Hlm. 96-98. 78 Ibid. 79 Ibid.

Page 28: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

25

mengakibatkan kematian justru diancam pidana alternatif.80 Contohnya pada perubahan Pasal

70 UU Tata Ruang, di mana pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang

dari pejabat berwenang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 61 huruf b UU a quo yang

mengakibatkan perubahan fungsi ruang dikenakan pidana denda dan penjara (bersifat

kumulatif), sedangkan pada Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa jika pemanfaatan ruang ini

mengakibatkan kematian, diancam pidana penjara atau denda (alternatif). Pengenaan sanksi

pidana yang semacam ini lantas menimbulkan kesan bahwa kedudukan nyawa manusia lebih

rendah dibandingkan dengan perubahan fungsi tata ruang.

3. Nihilnya sinkronisasi antar klaster

UU Cipta Kerja sebagai UU sapu jagat yang mengubah lebih dari 70 UU juga

tampaknya mengakibatkan tidak adanya sinkronisasi antar klaster. Terdapat perbedaan antara

suatu tindak pidana yang sejenis dalam klaster yang berbeda ketentuan sanksi-sanksi

pidananya.81 Contohnya adalah tindakan yang mengakibatkan kematian pada klaster agraria

tepatnya perubahan Pasal 69 ayat (3) UU Tata Ruang menjatuhkan pidana penjara maksimal

15 tahun dan denda maksimal Rp.8 Miliar. Sedangkan pada klaster lingkungan hidup tepatnya

perubahan Pasal 109 UU PPLH menjatuhkan pidana penjara maksimal 3 tahun penjara dan

denda maksimal Rp.3 Miliar. Seharusnya besarnya sanksi pidananya adalah sama untuk tiap

kualitas kejahatan yang berdampak sama. Namun, pada kenyataannya UU Cipta Kerja tidak

memenuhi hal tersebut sehingga dikhawatirkan persoalan ini dapat menimbulkan disparitas

pidana dalam penegakan hukum kedepannya.82

Permasalahan dalam Kluster UMKM dan Penanaman Modal

Diantara bidang-bidang yang menjadi permasalahan dalam Undang-Undang Cipta

Kerja (UU Cipta Kerja), salah satunya adalah bidang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMK-

M). Terdapat kekhawatiran bahwa UU Cipta Kerja gegabah dalam memberikan kelonggaran

perizinan dalam pembuatan Perseroan Terbatas (PT) terhadap Usaha Mikro Kecil (UMK), dan

bahwa pemberlakuan perizinan satu pintu di UU Cipta Kerja bertentangan dengan prinsip

desentralisasi yang dianut oleh Indonesia. Maka dari itu, terdapat dua rumusan masalah yang

80 Ibid. 81 Ibid. 82 Ibid.

Page 29: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

26

di elaborasi pada artikel ini. (1) Apakah Dampak UU Cipta Kerja untuk UMK-M? (2)

Bagaimana implikasi perizinan satu atap terhadap hak otonomi daerah.

Dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, bagian Usaha Mikro Kecil-Menengah (

UMK-M ) mengenai basis data tunggal dan pengelolaan terpadu usaha mikro dan kecil dengan

sistem klaster. Sistem klaster adalah konsentrasi geografis kawasan industri yang memiliki

kesamaan kebutuhan teknologi, tenaga kerja dan Infrastruktur.83 Basis data tunggal dapat juga

diartikan sebagai sistem pendataan dan informasi yang terintegrasi, dimana para pihak yang

ingin mengakses informasi menggunakan sumber yang sama.84 Ada beberapa pasal yang

menjadi masalah dalam UU Cipta Kerja sehingga berdampak terhadap UMK-M. Pada

paragraf-paragraf selanjutnya akan membahas tentang pasal-pasal UU Cipta Kerja yang

berdampak terhadap UMK-M

Pertama, Pasal 153A Ayat (1) membahas tentang pendirian perseroan yang dapat

didirikan oleh 1 (satu) orang ketika memenuhi kriteria UMK dan pendiriannya cukup

berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam bahasa Indonesia.85 Hal tersebut

berimplikasi pada kredibilitas perseroan untuk jangka panjangnya. Pada umumnya pendirian

perseroan menggunakan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Diubahnya Pasal 32 ayat (1) UU

PT (UU no. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas) tentang permodalan, dimana modal dasar

perseroan ditentukan berdasarkan keputusan pendiri perseroan. Ketentuan ini berbeda dengan

yang didasarkan pada Pasal 1 ayat (3) PP 29/2016 tentang kesepakatan para pendiri dalam

menentukan besaran modal dasar. Keberlangsungan perseroan itu sendiri kurang terjamin,

ketika tidak adanya minimal modal dasar dalam pendirian persero.86 Padahal dalam Pasal 32

ayat (1) mengatur bahwa minimal modal dasar perseroan adalah sebesar Rp50 juta rupiah.

Tindakan tidak adanya minimal modal dasar untuk Perseroan UMK menimbulkan

kekhawatiran bahwa Perseroan UMK memiliki resiko gagal bayar yang lebih tinggi karena

tidak memiliki jaminan modal kepada pihak ketiga bila terjadi aktivitas hutang piutang.87

83 Sumaryana, F D. 2018. “Pengembangan Klaster Umkm Dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Usaha.”

JISPO: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 58–68.

http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jispo/article/view/2771. p.61 84 Wibisono, Setiyawan. 2005. “Enterprise Resource Planning (ERP) Solusi Sistem Informasi Terintegrasi.”

Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK 10 (3): 150–59. p.156 85 Sigit Riyanto, dkk “Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada : Catatan Kritis Terhadap

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” 5 November 2020 86Ibid. hlm. .55 87 Op cit, p.55

Page 30: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

27

Kedua, Pasal 153E ayat (1) yang mengatur tentang kepemilikan saham Perseroan

untuk Usaha Mikro Kecil (Perseroan UMK). Pasal 153E ayat (1) mensyaratkan pemegang

saham Perseroan UMK adalah perseorangan. Jadi badan hukum tidak dapat memiliki saham

Perseroan UMK. Menurut hemat penulis hal ini baik apabila ditujukan untuk melindungi

Perseroan UMK dari akuisisi bisnis oleh perusahaan atau badan yang sudah besar. Namun, hal

ini mengurangi kebebasan aktivitas bisnis oleh Perseroan UMK karena sebagai contoh

Perseroan UMK tidak bisa menggunakan sahamnya sebagai jaminan kepada badan hukum

untuk memperoleh hutang, gadai, maupun fidusia. Hal ini mengurangi akses Perseroan UMK

untuk mencari sumber dana, apa lagi hutang untuk bisnis memerlukan jaminan di koperasi.88

Tidak bisanya badan hukum memiliki saham Perseroan UMK dapat mengurangi opsi UMKM

untuk tumbuh dalam status barunya sebagai PT, namun peraturan tersebut memberikan

keamanan untuk UMK dalam menjalankan bisnisnya dari tekanan aktor bisnis yang besar.

Ketiga, Pasal 153E ayat (2) mengatur bahwa pendiri Perseroan UMK hanya dapat

mendirikan satu Perseroan tersebut dalam satu tahun. Hal ini dapat membuat terjadinya resiko

pendiri Perseroan UMK tersebut membuat banyak perseroan untuk melakukan eksploitasi

terhadap sifat pertanggungjawaban terbatas atas perseroan dengan melakukan pencabangan

kreditur, sedangkan kemampuan individu tersebut terbatas.89 Pemerintah berdalih bahwa

kemudahan membuat Perseroan bagi UMK akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.90

Namun, peraturan tersebut malah justru mengurangi kepercayaan dan potensi keberlangsungan

Perseroan UMK, karena setiap orang dapat membuat satu Perseroan UMK setiap tahun dan

tanpa modal.91

Hal lain yang perlu diangkat adalah mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan

peraturan terdahulu. Poin utama yang diangkat adalah koordinasi UMKM antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, pada Pasal 38 ayat (1) tertulis bahwa menteri melaksanakan

koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM. Koordinasi dan pengendalian

pemberdayaan UMKM dilaksanakan secara nasional dan daerah yang meliputi penyusunan dan

88 “Cara Dan Syarat Mengajukan Pinjaman Di Koperasi.” 2020. 2020.

https://ekonomi.bunghatta.ac.id/index.php/id/artikel/406-cara-dan-syarat-mengajukan-pinjaman-di-koperasi. 89 Op cit. Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., et al. p.55 90 Rahma, Athika. 2020. “Sederet Manfaat UU Cipta Kerja Buat UMKM Versi Kemenkop UKM - Bisnis

Liputan6.Com.” 2020. https://www.liputan6.com/bisnis/read/4385440/sederet-manfaat-uu-cipta-kerja-buat-

umkm-versi-kemenkop-ukm. 91 Sigit Riyanto, dkk, op.cit., hlm. 55

Page 31: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

28

pengintegrasian kebijakan dan program, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta

pengendalian umum terhadap pelaksanaan pelaksanaan pemberdayaan UMKM. Sedangkan

pada Pasal 89 ayat (8) dan (9) menegaskan bahwa pemerintah pusat memiliki kendali dalam

pengelolaan basis data tunggal melalui koordinasi dan evaluasi. Pada titik ini peran pemerintah

seharusnya meliputi koordinasi dua pihak, tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah pusat

saja.

Pada bagian mengenai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam UU No 11

Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, undang-undang secara jelas menegaskan bahwa pemerintah

pusat memiliki dua kewenangan dalam sistem pengelolaan basis data tunggal UMK yaitu

mengkoordinasikan serta melakukan evaluasi pengelolaan terpadu UMK dalam penataan

klaster. Adanya ketentuan ini seakan memperlihatkan jika ada upaya untuk mensentralisasikan

pengelolaan basis data tunggal dan pengelolaan UMK Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12

ayat (3) UU 23/2014 menyatakan jika urusan perdagangan dan perindustrian sebagai bentuk

urusan pemerintahan yang konkruen, dengan adanya pelimpahan pengkoordinasian dan

pengevaluasian dalam pengeloaan UMK sistem klaster maka seakan-akan kewenangan

pemerintah daerah ditarik begitu saja oleh pemerintah pusat. Padahal dalam penyelenggaraan

administrasi negara koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus berdasarkan pada

prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional.

Hal lain yang perlu diangkat adalah mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan

peraturan terdahulu. Poin utama yang diangkat adalah koordinasi UMKM antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, pada Pasal 38 ayat (1) tertulis bahwa menteri melaksanakan

koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM. Koordinasi dan pengendalian

pemberdayaan UMKM dilaksanakan secara nasional dan daerah yang meliputi penyusunan dan

pengintegrasian kebijakan dan program, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta

pengendalian umum terhadap pelaksanaan pelaksanaan pemberdayaan UMKM. Sedangkan

pada Pasal 89 ayat (8) dan (9) menegaskan bahwa pemerintah pusat memiliki kendali dalam

pengelolaan basis data tunggal melalui koordinasi dan evaluasi. Pada titik ini peran pemerintah

seharusnya meliputi koordinasi dua pihak, tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah pusat

saja.

Adanya kewenangan pemerintah pusat dalam sistem pengelolaan basis data tunggal

UMK membuat pencederaan terhadap asas desentralisasi pemerintah daerah. Dimana dalam

Pasal 89 UU CK kewenangan koordinasi dan evaluasi pengelolaan terpadu UMK dalam

Page 32: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

29

penataan klaster menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.92 Upaya pemerintah yang tergolong

sentralistik ini tidak sesuai dengan asas desentralisasi yang dianut oleh negara. Kewenangan

pemerintah dalam menerbitkan perizinan dalam sistem basis data tunggal merupakan urusan

pemerintahan konkruen yang mana dalam pelaksanaannya membutuhkan koordinasi antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah yang konkruen yang diatur

daam UU 23 Tahun 2014 namun sekarang dalam pelaksanaannya menjadi kewenangan

Pemerintah Pusat. Dalam proses pengelolaan UMK, peran Pemerintah Pusat menggeser

kewenangan Pemerintah Daerah yang menyebabkan banyak tumpang tindih dan UU CK

sendiri telah banyak merubah dalam ketentuan UU Pemerintah Daerah dan terkesan sangat ego

sektoral dan menyebabkan penumpukkan kekuasaan Pemerintah Pusat sangat menumpuk dan

menjadi obesitas kewenangan Adanya pergeseran kewenangan tersebut membuat pencideraan

terhadap otonomi daerah yang seluas-luasnya yang merupakan salah satu tuntutan reformasi.

92 Vide Pasal 89 ayat (7) dan (8) Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020.

Page 33: Disusun olehdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/11/Rilis-Kajian...perundang-undangan yang baik.3 Lebih lanjut asas ini berfungsi untuk memastikan kejelasan, keakuratan, dan keseragaman

30

Pernyataan Sikap Dema Justicia

Berdasarkan catatan kritis tersebut, Dema Justicia bersikap sebagai berikut:

1. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai bentuk

produk hukum yang elitis, ortodoks, dan otoriter;

2. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

dilakukan secara tidak demokratis dan telah melanggar asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan;

3. Menyatakan beberapa materi muatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang

Cipta Kerja tidak didasarkan politik hukum yang jelas dan tidak berpihak kepada rakyat;

4. Mengecam tindakan Presiden dan DPR dalam membentuk Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tidak melibatkan partisipasi publik secara

proporsional;

5. Mendukung setiap elemen masyarakat dalam melakukan penolakan terhadap Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja seperti menyuarakan pendapat dan

aspirasi sesuai prinsip demokrasi dan peraturan perundang-undangan maupun melalui

pengujian undang-undang baik uji formil maupun uji materiil di Mahkamah Konstitusi

agar diputus secara independen dan imparsial;

6. Mendesak Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang

(perppu) untuk menunda keberlakuan beberapa pasal yang bermasalah. Kemudian

dilakukan evaluasi oleh Presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang

perubahan terhadap pasal-pasal yang bermasalah sesuai asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan.