nursing program.docx

Upload: ferdinandus-nawa

Post on 11-Mar-2016

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

NURSING PROGRAM Ghiyas Yulifardana S1 Keperawatan UPNVJ'11Selasa, 15 Oktober 2013SISTEM KARDIOVASKULER - Contoh MakalahSindrom Koroner Akut (SKA)

Definisi Sindrom Koroner Akut (SKA)

Andra (2006) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. Wasid (2007) menambahkan bahwa Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil.

Harun (2007) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.

Etiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)

Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh empat hal, meliputi:

a. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi kolesterol tinggi.

b. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).

c. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.

d. Infeksi pada pembuluh darah.

Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner Akut (SKA) dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:

a Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)

b Stress emosi, terkejut

c Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.

Klasifikasi Sindrom Koroner Akut (SKA)

Wasid (2007) mengatakan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut (SKA) menurut Braunwald (1993) adalah:

a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.

b. Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu istirahat.

c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.

Secara Klinis:

a. Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.

b. Kelas B: Primer.

c. Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati. Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium ) Antiangina dan nitrogliserin intravena.

Patofisiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)

Rilantono (1996) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption disrupsi plak. Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor) dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis trombosis akut. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi pada kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15% pasien IMA didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif. Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/ NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial.

Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark. Sindrom koroner akut yang diteliti secara angiografi 6070% menunjukkan obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya sindrom koroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan dan terapi.

Manifestasi Sindrom Koroner Akut (SKA)

Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag.

Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:

a. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .

b. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering.

c. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.

Pemeriksaan Diagnostik Sindrom Koroner Akut (SKA)

Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus ditemukan, yakni:

a. Sakit dada

b. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q patologik

c. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal), terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.

Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA)

Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien sindrom koroner akut (SKA) adalah:

a. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 23 liter/ menit secara kanul hidung.

b. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 510 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).

c. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan

d. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase 1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.

e. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.

f. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 1016% menjadi 0,25,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 4060% inhibisi dicapai dalam 37 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).

Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA) meliputi:

a Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg.

b Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi Synthelabo).

c Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.

d Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan ASSENT3 membandingkan antara Tenecteplase kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas 4. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS.

e Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.

f Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.

g Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah yang kekurangan atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan pembuluh darah koroner dengan balon dan lalu dipasang alat yang disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat kembali mengalir menjadi normal.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Koroner Akut (SKA)

a. Pengkajian:

1) Identitas klien (umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun)

2) Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung 10 menit)

3) Riwayat penyakit sekarang (Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung 10 menit)

4) Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok, pekerjaan, stress), dan Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM, hipertensi, ginjal).

b. Pemeriksaan Penunjang:

1) Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q patologik)

2) Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal, terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl).

c. Pemeriksaan Fisik

1) B1: dispneu (+), diberikan O2 tambahan

2) B2: suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 dtk, akral dingin

3) B3: pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)

4) B4: oliguri

5) B5: penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-)

6) B6: tidak ada masalah

d. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi KeperawatanMasalah KeperawatanIntervensi

1. Chest Pain b.d. penurunan suplay oksigen ke miokard sekunder terhadap IMA

Tujuan : Klien dapat beradaptasi dengan nyeri setelah mendapat perawatan 1x24 jamNyeri berkurang setelah intervensi selama 10 menit

Kriteria hasil :a. Skala nyeri berkurangb. Klien mengatakan keluhan nyeri berkurangc. Klien tampak lebih tenang1. Anjurkan klien untuk istirahat(R: istirahat akan memberikan ketenangan sebagai salah satu relaksasi klien sehingga rasa nyeri yang dirasakan berkurang, selain itu dengan beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi kemampuannya)2. Motivasi teknik relaksasi nafas dalam(R: relaksasi napas dalam adalah salah satu teknik relaks dan distraksi, kondisi relaks akan menstimulus hormon endorfin yang memicu mood ketenangan bagi klien)3. Kolaborasi analgesik ASA 1 x 100 mg(R: Analgesik akan mengeblok nosireseptor, sehingga respon nyeri klien berkurang)4. Evaluasi perubahan klien: Nadi, TD, RR, skala nyeri, dan klinis(R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan

Masalah KeperawatanIntervensi

2. Penurunan curah jantungTujuan: Curah jantung meningkat setelah untervensi selama 1 jam

Kriteria hasil :a. TD normal, 100/80 -140/90b. Nadi kuat, reguler1. Berikan posisi kepala (> tinggi dari ekstrimitas)(R: posisi kepala lebih tinggi dari ekstremitas (30 o) memperlancar aliran darah balik ke jantung, sehingga menghindari bendungan vena jugular, dan beban jantung tidak bertambah berat)2. Motivasi klien untuk istirahat (bed rest)(R: beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi kemampuannya)3. Berikan masker non reservoir 8 lt/mnt(R: pemberian oksigen akan membantu dalam memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh)4. Kolaborasi medikasi: Pemberian vasodilator captopril, ISDN, Pemberian duretik furosemid(R: vasodilator dan diuretic bertujuan untuk mengurangi beban jantung dengan cara menurunkan preload dan afterload)5. Evaluasi perubahan: TD, nadi, dan klinis(R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan dan sebagai perbaikan intervensi selanjutnya)

Masalah KeperawatanIntervensi

3. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipokalemia

Tujuan : Terjadi keseimbangan elektrolit setelah intervensi 1 jam

Kriteria hasil :a TD normal (100/80 140/90 mmHg)b Nadi kuatc Klien mengatakan kelelahan berkurangd Nilai K normal (3,8 5,0 mmmo/L)1. Pantau TD dan nadi lebih intensif(R: penurunan Kalium dalam darah berpengaruh pada kontraksi jantung, dan hal ini mempengaruhi Td dan nadi klien, sehingga dengan memantau lebih intensif akan lebih waspada)2. Anjurkan klien untuk istirahat(R: beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi kemampuannya)3. Kolaborasi pemberian kalium : Kcl 15 mEq di oplos dengan RL (500 cc/24 jam) dan Pantau kecepatan pemberian kalium IV(R: koreksi Kalium akan membantu menaikkan kadar Kalium dalam darah)4. Evaluasi perubahan klien: TD, nadi, serum elektrolit, dan klinis(R: untuk mengevaluasi terapi yang sudah diberikan dan untuk program intervensi selanjutnya)

Daftar Pustaka

Andra. (2006). Sindrom Koroner Akut: Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=197. Diakses di Surabaya, tanggal 30 September 2010: Jam 19.01 WIB

Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI. Jakarta: EGC

Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Wasid (2007). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut. http://nursingbrainriza.blogspot.com/2007/05/tinjauan-pustaka-konsep-baru penanganan.html. Diaskes di Surabaya, tanggal 30 September: Jam 19.10 WIBDiposkan oleh Ghiyas Yulifardana di 12.02 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke PinterestSISTEM RESPIRASI - Contoh Makalah

MAKALAH SISTEM RESPIRASI

CA. PARU

RUANG 301

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

JAKARTA

2012/2013

Kanker Paru

A. DEFINISI

Kanker paru merupakan keganasan pada jaringan paru (Price, Patofisiologi, 1995).

Kanker paru merupakan abnormalitas dari sel sel yang mengalami proliferasi dalam paru (Underwood, Patologi, 2000).

Kanker paru-paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalm jaringan paru-paru dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen, lingkungan, terutama asap rokok. ( Suryo, 2010)

B. ETIOLOGI

Meskipun etiologi sebenarnya dari kanker paru belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang agaknya bertanggung jawab dalam peningkatan insiden kanker paru :

1. Asap Tembakau

Kanker paru adalah sepuluh kali lebih umum terjadi pada perokok dibanding pada bukan perokok. Resiko ditentukan dengan riwayat jumlah merokok dalam tahun (jumlah bungkus rokok yang digunakan setiap hari dikali jumlah tahun merokok). Selain itu, makin muda individu memulai merokok, makin besar resiko terjadinya kanker paru. Faktor lain yang juga dipertimbangkan termasuk jenis rokok yang dihisap ( kandungan tar, filter vs tidak berfilter).

2. Perokok Kedua

Perokok pasif telah diidentifikasi sebagai penyebab yang mungkin dari kanker paru pada bukan perokok. Dengan kata lain, individu yang secara involunter terpajan pada asap tembakau dalam lingkungan yang dekat (mobil, gedung) berisiko terhadap jadinya kanker paru.

3. Polusi Udara

Berbagai karsinogen telah diidentifikasi dalam atmosfir, termasuk sulfur, emisi kendaraan bermotor dan polutan dari pengolahan pabrik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa insiden kanker paru lebih besar pada daerah perkotaan sebagai akibat penumpukan polutan dan emisi kendaraan bermotor.

4. Pemajanan Okupasi

Pemajanan kronik terhadap karsinogen industrial, seperti arsenik, asbestos, gas mustrad, krop, asap oven untuk memasak, nikel, minyak dan radiasi telah dikaitkan dengan terjadinya kanker paru.

5. Radon

Radon adalah gas tidak berwarna, tidak berbau yang ditemukan dalam tanah dan bebatuan. Selama bertahum-tahun, gas ini telah dikaitkan dengan pertambangan uranium tetapi sekarang diketahui bahwa gas tersebut dapat menyusup ke dalam rumah-rumah melalui bebatuan di dasar tanah. Sekarang, kadar radon yang tinggi (lebih besar dari 4 picokuri/L) telah dikaitkan dengan terjadinya kanker paru.

6. Vitamin A

Riset menunjukan bahwa terdapat hubungan antara diet rendah masukan vitamin A dan terjadinya kanker paru. Telah menjadi postulat bahwa vitamin A berkaitn dengan pengaturan diferensiasi sel.

Faktor-faktor lain yang mempunyai kaitan dengan kanker paru termasuk predisposisi genetik dan penyakit pernapasan lain yang mendasari, seperti PPOM dan tuberkulosis. Kombinasi faktor-faktor risko, terutama merokok, sangat meningkatkan resiko terjadinya kanker paru

C. KLASIFIKASI

Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC). Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk didalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar, atau campuran dari ketiganya.

1. Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) merupakan tipe histologik kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa sentimeter dan cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan mediastinum.

2. Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala-gejala.

3. Karsinoma bronkoalveolus dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh.

4. Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang terletak di sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran mitotik sering ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan crush artifact pada sediaan biopsi. Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan (Kumar, 2007).

5. Karsinoma sel besar adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh (Wilson, 2005).

Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan mesotelioma bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting karena dapat menyerupai karsinoma bronkogenik dan mengancam jiwa

D. MANIFESTASI KLINIS

Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejala-gejala dapat bersifat :

Lokal (tumor tumbuh setempat) :

a. Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis

b. Hemoptisis

c. Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran nafas

d. Kadang terdapat kavitas seperti abses paru

e. Ateletaksis

Invasi lokal :

a. Nyeri dada

b. Dispnea karena efusi pleura

c. Invasi ke perikardium terjadi tamponade atau aritmia

d. Sindrom vena cava superior

e. Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)

f. Suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent

g. Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakhialis dan saraf simpatis servikalis

Gejala Penyakit Metastasis :

a. Pada otak, tulang, hati, adrenal

b. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)

Sindrom Paraneoplastik : terdapat 10% kanker paru dengan gejala :

a. Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam

b. Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi

c. Hipertrofi osteoartropati

d. Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer

e. Neuromiopati

f. Endokrin : sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia)

g. Dermatologik : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh

h. Renal : syndrome of inappropriate antidiuretic hormone

i. Asimtomatik dengan kelainan radiologis

j. Sering terdapat pada perokok dengan COPD yang terdeteksi secara radiologis.

k. Kelainan berupa nodul soliter

E. STADIUM.

Tabel Sistem Stadium TNM untuk kanker Paru paru:

Gambaran TNMDefenisi

Tumor primer (T)T0

Tx

TIS

T1

T2

T3

T4

Kelenjar limfe regional (N)N0

N1

N2

N3

Metastasis jauh (M)M0

M1

Kelompok stadiumKarsinoma tersembunyi TxN0M0

Stadium 0 TISN0M0

Stadium I T1N0M0 T2N0M0

Stadium II T1N1M0 T2N1M0

Stadium IIIa T3N0M0 T3N0M0

Stadium IIIb Setiap T, N3M0 T4 setiap NM0

\

Stadium IV Setiap T, setiap N,M1Tidak terbukti adanya tumor primer

Kanker yang tersembunyi terlihat pada sitologi bilasan bronkus tetapi tidak terlihat pada radiogram atau bronkoskopi

Karsinoma in situ

Tumor dengan diameter 3 cm dikelilingi paru paru atau pleura viseralis yang normal.

Tumor dengan diameter 3 cm atau dalam setiap ukuran dimana sudah menyerang pleura viseralis atau mengakibatkan atelektasis yang meluas ke hilus; harus berjarak 2 cm distal dari karina.

Tumor dalam setiap ukuran dengan perluasan langsung pada dinding dada, diafragma, pleura mediastinalis, atau pericardium tanpa mengenai jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, atau korpus vertebra; atau dalam jarak 2 cm dari karina tetapi tidak melibat karina.

Tumor dalam setiap ukuran yang sudah menyerang mediastinum atau mengenai jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, koepua vertebra, atau karina; atau adanya efusi pleura yang maligna.

Tidak dapat terlihat metastasis pada kelenjar limfe regional.

Metastasis pada peribronkial dan/ atau kelenjar kelenjar hilus ipsilateral.

Metastasis pada mediastinal ipsi lateral atau kelenjar limfe subkarina.

Metastasis pada mediastinal atau kelenjar kelenjar limfe hilus kontralateral; kelenjar kelenjar limfe skalenus atau supraklavikular ipsilateral atau kontralateral.

Tidak diketahui adanya metastasis jauh

Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu (seperti otak).

Sputum mengandung sel sel ganas tetapi tidak dapat dibuktikan adanya tumor primer atau metastasis.

Karsinoma in situ.

Tumor termasuk klasifikasi T1 atau T2 tanpa adanya bukti metastasis pada kelenjar limfe regional atau tempat yang jauh.

Tumor termasuk klasifikasi T1 atau T2 dan terdapat bukti adanya metastasis pada kelenjar limfe peribronkial atau hilus ipsilateral.

Tumor termasuk klasifikasi T3 dengan atau tanpa bukti metastasis pada kelenjar limfe peribronkial atau hilus ipsilateral; tidak ada metastasis jauh.

Setiap tumor dengan metastasis pada kelenjar limfe hilus tau mediastinal kontralateral, atau pada kelenjar limfe skalenus atau supraklavikular; atau setiap tumor yang termasuk klasifikasi T4 dengan atau tanpa metastasis kelenjar limfe regional; tidak ada metastasis jauh.

Setiap tumor dengan metastsis jauh.

F. PATOFISIOLOGI

Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia,hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.

Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin.Wheezing unilateral dapat terdengan pada auskultasi.

Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainan-kelainan berupa perubahan bentuk dinding toraks dan trakea, pembesaran kelenjar getah bening dan tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan pleuritis dengan cairan pleura.

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk :

a. Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru. Kerusakan pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru atau pemeriksaan analisis gas.

b. Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada organ-organ lainnya.

c. Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada jaringan tubuh baik oleh karena tumor primernya maupun oleh karena metastasis.

3. Radiologi

Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang paling utama dipergunakan untuk mendiagnosa kanker paru. Kanker paru memiliki gambaran radiologi yang bervariasi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan tumor dengan melihat ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastasis ke organ lain.

Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan metode tomografi komputer. Pada pemeriksaan tomografi komputer dapat dilihat hubungan kanker paru dengan dinding toraks, bronkus, dan pembuluh darah secara jelas. Keuntungan tomografi komputer tidak hanya memperlihatkan bronkus, tetapi juga struktur di sekitar lesi serta invasi tumor ke dinding toraks. Tomografi komputer juga mempunyai resolusi yang lebih tinggi, dapat mendeteksi lesi kecil dan tumor yang tersembunyi oleh struktur normal yang berdekatan.

4. Sitologi

Sitologi merupakan metode pemeriksaan kanker paru yang mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dengan komplikasi yang rendah. Pemeriksaan dilakukan dengan mempelajari sel pada jaringan. Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan gambaran perubahan sel, baik pada stadium prakanker maupun kanker. Selain itu dapat juga menunjukkan proses dan sebab peradangan. Pemeriksaan sputum adalah salah satu teknik pemeriksaan yang dipakai untuk mendapatkan bahan sitologik. Pemeriksaan sputum adalah pemeriksaan yang paling sederhana dan murah untuk mendeteksi kanker paru stadium preinvasif maupun invasif. Pemeriksaan ini akan memberi hasil yang baik terutama untuk kanker paru yang letaknya sentral. Pemeriksaan ini juga sering digunakan untuk skrining terhadap kanker paru pada golongan risiko tinggi.

5. Bronkoskopi

Setiap pasien yang dicurigai menderita tumor bronkus merupakan indikasi untuk bronkoskopi. Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau gumpalan daging. Bronkoskopi akan lebih mudah dilakukan pada tumor yang letaknya di sentral. Tumor yang letaknya di perifer sulit dicapai oleh ujung bronkoskop.

6. Biopsi Transtorakal

Biopsi aspirasi jarum halus transtorakal banyak digunakan untuk mendiagnosis tumor pada paru terutama yang terletak di perifer. Dalam hal ini diperlukan peranan radiologi untuk menentukan ukuran dan letak, juga menuntun jarum mencapai massa tumor. Penentuan letak tumor bertujuan untuk memilih titik insersi jarum di dinding kulit toraks yang berdekatan dengan tumor.

7. Torakoskopi

Torakoskopi adalah cara lain untuk mendapatkan bahan guna pemeriksaan histopatologik untuk kanker paru. Torakoskopi adalah pemeriksaan dengan alat torakoskop yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam rongga dada untuk melihat dan mengambil sebahagian jaringan paru yang tampak.

Pengambilan jaringan dapat juga dilakukan secara langsung ke dalam paru dengan menusukkan jarum yang lebih panjang dari jarum suntik biasa kemudian dilakukan pengisapan jaringan tumor yang ada.

H. PENATALAKSANAAN

1. Pembedahan

Pembedahan pada kanker paru bertujuan untuk mengangkat tumor secara total berikut kelenjar getah bening disekitarnya. Hal ini biasanya dilakukan pada kanker paru yang tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I (T1 N0 M0 atau T2 N0 M0), kecuali pada kanker paru jenis SCLC. Luas reseksi atau pembedahan tergantung pada luasnya pertumbuhan tumor di paru. Pembedahan dapat juga dilakukan pada stadium lanjut, akan tetapi lebih bersifat paliatif. Pembedahan paliatif mereduksi tumor agar radioterapi dan kemoterapi lebih efektif, dengan demikian kualitas hidup penderita kanker paru dapat menjadi lebih baik.

Pembedahan untuk mengobati kanker paru dapat dilakukan dengan cara :

a. Wedge Resection, yaitu melakukan pengangkatan bagian paru yang berisi tumor, bersamaan dengan margin jaringan normal.

b. Lobectomy, yaitu pengangkatan keseluruhan lobus dari satu paru.

c. Pneumonectomy, yaitu pengangkatan paru secara keseluruhan. Hal ini dilakukan jika diperlukan dan jika pasien memang sanggup bernafas dengan satu paru.

2. Radioterapi

Radioterapi dapat digunakan untuk tujuan pengobatan pada kanker paru dengan tumor yang tumbuh terbatas pada paru. Radioterapi dapat dilakukan pada NCLC stadium awal atau karena kondisi tertentu tidak dapat dilakukan pembedahan, misalnya tumor terletak pada bronkus utama sehingga teknik pembedahan sulit dilakukan dan keadaan umum pasien tidak mendukung untuk dilakukan pembedahan.

Terapi radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar X untuk membunuh sel kanker. Pada beberapa kasus, radiasi diberikan dari luar tubuh (eksternal). Tetapi ada juga radiasi yang diberikan secara internal dengan cara meletakkan senyawa radioaktif di dalam jarum, dengan menggunakan kateter dimasukkan ke dalam atau dekat paru-paru. Terapi radiasi banyak dipergunakan sebagai kombinasi dengan pembedahan atau kemoterapi.

3. Kemoterapi

Kemoterapi pada kanker paru merupakan terapi yang paling umum diberikan pada SCLC atau pada kanker paru stadium lanjut yang telah bermetastasis ke luar paru seperti otak, ginjal, dan hati. Kemoterapi dapat digunakan untuk memperkecil sel kanker, memperlambat pertumbuhan, dan mencegah penyebaran sel kanker ke organ lain. Kadang-kadang kemoterapi diberikan sebagai kombinasi pada terapi pembedahan atau radioterapi.

Penatalaksanaan ini menggunakan obat-obatan (sitostatika) untuk membunuh sel kanker. Kombinasi pengobatan ini biasanya diberikan dalam satu seri pengobatan, dalam periode yang memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan agar kondisi tubuh penderita dapat pulih.

Sumber:

Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Underwood, J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik Edisi 2, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Smeltzer, Suzzane C. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGCDiposkan oleh Ghiyas Yulifardana di 11.47 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke PinterestPosting Lama Beranda Langganan: Entri (Atom) TranslatePowered by TranslateShare ItBlog Archive 2013 (9) Oktober (9) Nursing Program SISTEM PERSEPSI-SENSORI SISTEM HEMATOLOGI KEPERAWATAN KOMUNITAS SISTEM PENCERNAAN SISTEM ENDOKRIN SISTEM NEUROBEHAVIOUR SISTEM RESPIRASI SISTEM KARDIOVASKULERFishPopular Posts SISTEM NEUROBEHAVIOURAnatomi Fisiologi Sistem Saraf A. Pengertian Sistem Saraf Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentu... SISTEM HEMATOLOGI STRUKTUR DAN FUNGSI HEMATOLOGI A. Pengertian Hematologi Ilmu yang mempelajari tentang darah serta jaringan yang membentuk darah. ... SISTEM PERSEPSI-SENSORIANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERSEPSI-SENSORI ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA Kelopak Mata Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi ... SISTEM ENDOKRINANATOMI FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN Kelenjar tanpa saluran atau kelenjar bantu digolongkan bersama dibawah nama organ endokrin, sebab sek... SISTEM KARDIOVASKULER- Contoh Makalah Sindrom Koroner Akut (SKA) Definisi Sindrom Koroner Akut (SKA) Andra (2006) mengatakan Sindrom Koroner Akut (S... SISTEM RESPIRASI - Contoh Makalah MAKALAH SISTEM RESPIRASI CA. PARU RUANG 301 DISUSUN OLEH : KELOMPOK FAKULTAS ILMU-ILMU ... Nursing ProgramGHIYAS YULIFARDANA 111 0711 025 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIO... SISTEM PENCERNAANANATOMI FISIOLOGIS SISTEM PENCERNAAN PENGERTIAN Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan me... KEPERAWATAN KOMUNITASPENGKAJIAN KOMUNITAS PADA KELUARGA A. Pengkajian Pengkajian Pengkajian adalah tahapan suatu tahapan dimana seseorang perawat menga...About ME

Ghiyas Yulifardana Sharing is the key !!!#BIGSMILE#FightingSpirit#TheChainOfKINDNESSLihat profil lengkapku Facebook AccountGhiyas Yulifardana

Buat Lencana Anda Followers