nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kisah nabi...
TRANSCRIPT
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI IBRAHIM
(Kajian Tafsir Surat Ash-Shafat Ayat 100-111)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd)
Oleh
Imalatun Nadzimah
NIM: 11140110000003
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
v
ABSTRAK
Imalatun Nadzimah (11140110000003) Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam
Kisah Nabi Ibrahim (Kajian Tafsir Surat Ash-Shafat Ayat 100-111)
“Skripsi” untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2019.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui isi kandungan surat ash-Shafat ayat
100-111, serta relevansinya dengan nilai-nilai pendidikan akhlak. Penelitian ini
menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) dengan teknik
analisis deskriptif kualitatif, dengan cara mengumpulkan data dari sumber primer
maupun skunder. Sumber primer yang digunakan adalah Tafsir al-Maraghi,
sedangkan sumber skunder berupa buku-buku yang masih berkaitan dengan
pembahasan. Yang kemudian penulis analisis nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam surat ash-Shafat ayat 100-111.
Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak yang tergambarkan dalam kisah nabi
Ibrahim dalam surat ash-Shafat ayat 100-111 ada 5 point, yaitu sabar, tawakal,
ikhlas, taat, dan istiqamah.
Kata Kunci : Nilai-nilai Pendidikan Akhlak, Nabi Ibrahim, Surat ash-Shafat
ayat 100-111
vi
ABSTRACT
Imalatun Nadzimah (11140110000003) Moral Education Values in the Story
of Prophet Ibrahim (Interpretation of the Letter of Ash-Shafat Verse 100-
111) "Thesis" for the Department of Islamic Education, Faculty of Tarbiyah
and Teacher Training, State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 2019.
This study aims to find out the contents of the letter ash-Shafat verses 100-111,
and their relevance to the values of moral education. This study uses the library
research method (library research) with qualitative descriptive analysis
techniques, by collecting data from primary and secondary sources. The primary
source used is Tafsir al-Maraghi, while the secondary source is books which are
still related to the discussion. Which then the author analyzes the values of moral
education contained in the letter ash-Shafat verses 100-111.
The values of moral education depicted in the story of the prophet Ibrahim in the
letter ash-Shafat verse 100-111 there are 5 points, namely patience, tawakal,
sincerity, obedience, and istiqamah.
Keywords: Moral Educational Values, Prophet Ibrahim, Surat ash-Shafat
verses 100-111
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
tiada henti memberikan segala nikmat, karunia, dan pertolongan-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini
(skripsi). Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda nabi
Muhammad saw. yang telah membawa ajaran agama yang benar, dan penuh
kemulian dengan budi pekertinya, sehingga kita terhindar dari kejahilan-kejahilan
yang dapat menyesatkan kita.
Ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua terkasih
yang tidak pilih kasih, yaitu ayahanda Abdul Kholik dan ibunda Darkonah,
yangmana berkat kekuatan do’a serta motivasi dari ayah dan ibu, penulis dapat
menyelesaikan studi ini tanpa suatu kendala apapun.
Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari hambatan dan
kesulitan, namun berkat adanya bimbingan, bantuan, nasihat dan saran serta
kerjasama dari berbagai pihak, khususnya dari dosen pembimbing, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Menyadari bahwa keberhasilan penulis menyelesaikan
skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas
dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis memberikan ucapan dan
penghargaan kepada berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi
ini, antara lain:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA, selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.
viii
4. Abdul Ghofur, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan
bimbingan, masukan, dan arahan serta telah meluangkan waktunya dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Prof. Dr. H. Mundzir Suparta, MA selaku dosen pembimbing akademik
Pendidikan Agama Islam kelas A angkatan 2014
6. Seluruh dosen beserta staf Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan
ilmu serta membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.
7. Teruntuk kakak tersayang Nur Fatiroh, yang tidak pernah lelah memberikan
motivasi dan menjadi inspirasi dalam meraih mimpi.
8. Teman-teman mahasiswa seperjuangan angkatan 2014, yang telah menemani
perjalanan penulis dalam mencari ilmu selama diperkuliahan.
Terakhir semoga segala bantuan yang telah diberikan, sebagai amal shaleh
yang senantiasa mendapat ridha Allah swt. sehingga pada akhirnya skripsi ini
dapat bermanfaat bagi kemajuan Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 09 Januari 2019
Penulis
(Imalatun Nadzimah)
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ii
LEMBAR UJI REFERENSI iii
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 9
C. Pembatasan Masalah 9
D. Perumusan Masalah 10
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 10
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Nilai-nilai Pendidikan 11
1. Pengertian Nilai 11
2. Pengertian Pendidikan 12
3. Peranan Pendidikan 13
B. Akhlak 15
1. Pengertian Akhlak 15
2. Macam-macam Akhlak 15
3. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Akhlak 21
4. Metode Penanaman Akhlak 23
C. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an 26
x
1. Pengertian Kisah 26
2. Macam-macam Kisah dalam Al-Qur’an 29
3. Tujuan Kisah-kisah dalam Al-Qur’an 30
4. Hikmah Kisah dalam Al-Qur’an 33
D. Hasil Penelitian yang Relevan 34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian 36
B. Metode Penelitian 36
1. Pendekatan Penelitian 36
2. Sumber Data 37
C. Fokus Penelitian 38
D. Prosedur Penelitian 38
1. Teknik Pengumpulan Data 38
2. Teknik Analisis Data 38
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Hidup Nabi Ibrahim a.s 41
B. Al-Qur’an Surat As-Shafat Ayat 100-111 42
1. Ayat dan Terjemah 43
2. Tafsir Mufradat 44
3. Tafsir 46
C. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Ash-Shafat ayat
100-111…………………………………………………………. 50
1. Sabar 51
2. Taat 54
3. Istiqamah (Teguh Pendirian) 55
4. Tawakal 56
5. Ikhlas 58
D. Relevansi Kisah Nabi Ibrahim dengan Nilai-nilai Pendidikan
xi
Akhlak …………………………………………………………. 59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 62
B. Saran 64
DAFTAR PUSTAKA 65
LAMPIRAN ……………………………………………………….. 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Manusia diberikan
fisik yang sempurna berupa mata untuk melihat, telinga untuk mendengar,
mulut untuk berbicara, kaki untuk berjalan, tangan untuk menggenggam, dan
hati untuk merasa. Serta Allah melebihkan penciptaan manusia dengan
memberikannya akal, yang mana dengan akal inilah manusia dapat berfikir
sehingga manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
mana yang harus dikerjakan mana yang harus ditinggalkan. Akal pula dapat
menghantarkan manusia merasa dekat dengan penciptanya melalui
perenungan dari alam sekitar, dimana keadaan alam sekitar merupakan tanda-
tanda kebesaran-Nya. Akal pula dapat mendorong manusia untuk berkarya,
berkreasi, dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan dan peradaban
dimuka bumi ini.
Dalam kitab terjemah al-Washaya karangan al-Muhasibi yang
diterjemahkan oleh Wawan Djunaedi Soffandi berjudul Renungan Suci Bekal
Menuju Takwa, menurut Muhammad bin Musa, akal adalah cahaya nurani
yang dibuat Allah untuk menentramkan hati. Dengan cahaya nurani itulah
seorang hamba mampu untuk membedakan antara yang hak dan yang batil.
Dia mampu memilah dan memilih kebenaran dan kebatilan godaan musuh
yang terlintas dalam hatinya atau perasaan was-was yang muncul dari dirinya
sendiri.1
Sedangkan menurut Jujun S. Surya Sumantri dalam buku yang berjudul
Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an karya Yatimin Abdullah, akal
adalah jalinan pikir dan rasa yang menjadikan manusia berlaku, berbuat,
1Wawan Djunaedi Soffandi, Renungan Suci Bekal Menuju Takwa, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2001), hal. 245
2
membentuk masyarakat, dan membina kebudayaan. Akal menjadikan manusia
itu mukmin, muslim, muttaqin, dan shalihin.2
Ditegaskan pula dalam al-Qur’an bahwa manusia dimuliakan dan
diutamakan oleh Allah Swt (QS. Al-Isra:70); manusia dijadikan khalifah Allah
di muka bumi disebabkan keistimewaan wujudnya (QS. Al-Baqarah:30);
karena kedudukan yang tinggi ini para malaikat tunduk dan bersujud kepada
manusia (QS. Shad: 71-72); dan manusia diciptakan begitu mengagumkan
sehingga ia mampu menggunakan kekuatan akal dan kemampuan fisiknya,
serta mengungkap rahasia-rahasia alam dan menundukkannya untuk
kepentingan dirinya (an-Nahl: 14).3
Meskipun demikian, akal tidak akan dapat berkembang tanpa adanya suatu
pemberian pengetahuan atau pembelajaran kepada manusia terutama pada
anak-anak. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
ئا وجعل لكم السمع واألفئدة لعلكم واالبصار وهللا اخرجكم من بطون أمهاتكم الت علمون شي تشكرون
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan,
dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)
Dari ayat tersebut sangatlah jelas, bahwasanya anak terlahir dalam
keadaan tidak tahu menahu apapun, serta tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu
perlulah adanya bantuan dari orangtua untuk merawat, melindungi,
membimbing, mengarahkan, memelihara jasmaninya, rohaninya, dan akalnya.
Secara biologis anak manusia lahir tidak dilengkapi insting yang sempurna
untuk dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi lingkungan. Anak manusia
perlu masa belajar yang panjang sebagai persiapan untuk dapat secara tepat
berhubungan dengan lingkungan secara konstruktif. Awal pendidikan terjadi
setelah anak manusia mencapai penyesuaian jasmani (anak dapat berjalan
sendiri, makan sendiri) atau mencapai kebebasan fisik dan jasmani.
2Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), hal.
81 3 Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: al-Huda, 2006), hal. 17-19
3
Implikasinya anak manusia yang tidak menerima bantuan dari manusia
lainnya yang telah dewasa akan tidak menjadi manusia yang berbudaya atau
bahkan mati. Anak memerlukan perlindungan perawatan sebagai masa
persiapan pendidikan.4
Pada dasarnya akal berfungsi untuk mengerem keinginan-keinginan yang
tidak benar dan mendorong pada perbuatan-perbuatan yang positif. Akal
adalah pembimbing manusia yang paling efektif. Problematika moral dan
sosial biasanya karena kelemahan dalam daya berpikir. Dengan akalnya,
manusia bisa mengambil kesimpulan dan berpikir melampaui ruang dan
waktu, melesat ke masa yang lebih jauh. Dengan akalnya manusia dapat
membaca konsekuensi-konsekuensi logis dari perbuatannya. Dan menimbang-
menimbang untuk memilih alternatif perbuatan lain yang akan memberikan
kebaikan bagi dirinya. Makhluk lain yang tidak memiliki akal sulit untuk
melawan dorongan-dorongan nafsunya. Ketika tidak bisa memikirkan tentang
akibat dari perbuatannya, mereka akan pasrah diperbudak keinginan-keinginan
tersebut.5
Kedudukan akan peran akal dalam kehidupan manusia sangatlah penting,
selain sebagai media atau jalan seseorang memperoleh ilmu pengetahuan dan
teknologi, dengan akal manusia dapat memahami isi dan nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Qur’an. Dengan begitu hidup manusia akan lebih terarah,
jiwa menjadi tenang, serta dapat mengambil hikmah dari segala macam
peristiwa atau kejadian, baik yang menimpa dirinya maupun yang menimpa
pada kehidupan orang lain. Dalam agama Islam pula, kita diharuskan untuk
memelihara akal dari berbagai hal yang dapat merusak dan melemahkan akal,
yang dapat menghinakan manusia karena tingkahnya seperti makhluk yang
tidak berakal.
Al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang diturunkan secara berangsur-angsur
sesuai dengan kejadian-kejadian yang belangsung, sehingga menjadi lebih
4 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar
Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 2012), hal. 33-34
5 Ibrahim Amini, Op.cit.hal.259
4
melekat dalam hati, lebih mudah untuk dipahami oleh akal manusia,
menuntaskan segala masalah, memberikan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan, juga untuk menguatkan hati Rasulullah SAW dalam mengahadapi
cobaan dan kesulitan yang beliau hadapi, juga para sahabatnya. Allah SWT
menurunkan al-Qur’an untuk menjadi undang-undang bagi umat manusia,
menjadi petunjuk, sebagai tanda atas kebesaran Rasul, serta penjelasan atas
kenabian dan kerasulannya. Juga sebagai dalil yang kuat di hari kemudian.6
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran islam dan merupakan pedoman
hidup bagi setiap muslim. Al-qur’an bukan sekedar membuat petunjuk tentang
hubungan manusia dengan tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya (hablun min Allah wa hablun min an-naas), bahkan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran islam
secara sempurna maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah
memahami kandungan isi al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.7
Dalam buku terjemah karangan imam Ghazali yang berjudul Al-Ghazali
Menjawab 100 Soal Keislaman, menjelaskan bahwasanya akal yang sehat
adalah yang mampu membaca ayat-ayat Allah di alam raya ini, sebagaimana
ia mampu membaca ayat-ayat Allah di dalam mushaf. Adapun
keterbelakangan akal akan menjadi penghalang bagi bashirah dan mata
sehingga tidak mampu menguak satu rahasia pun dan membela kebenaran.
Allah swt. berfirman:
ا الت عمى االبصار ن يسمعون باأذا ف تكون لم ق لوب ي عقلون با او ف االرض ا و اف لم يسي فان ت عمى القلوب الت ف الصدور ولكن
“Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, lalu mereka memiliki hati yang
dengannya mereka dapat memahami atau mereka memiliki telinga yang
dengannya mereka dapat mendengar, karena sesungguhnya bukanlah mata
6 Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Prenada Media Group, 2013), hal.
29-30 7 Said Agil Husin Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), cet.1, hal. 3
5
yang buta, tetapi yang buta, (ialah) hati yang berada di dalam dada.” (QS.
Al-Hajj [22]: 46)8
Akan tetapi pada kehidupan sekarang ini tidak sedikit orang yang
menggunakan akalnya dengan baik, ia sungkan untuk membaca, mempelajari
apalagi memahami ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an. Padahal al-
Qur’an merupakan pedoman serta petunjuk yang terbaik, yangmana di dalam
al-Qur’an mencakup berbagai macam kandungan, pelajaran, perundang-
undangan yang mengatur kehidupan manusia maupun cara berhubungan baik
dengan Tuhannya. Dalam al-Qur’an pula terdapat berbagai macam kisah, baik
dari kisah-kisah para nabi, kisah dari orang-orang shaleh yang di abadikan
dalam al-Qur’an, sampai kisah orang-orang yang durhaka kepada Allah pun
terdapat dalam al-Qur’an. Yang mana dari berbagai macam kisah inilah kita
bisa mengambil pelajaran, sehingga kita dapat mengikuti jejak dari kisah-
kisah yang baik, dan menjauhi diri dari kisah yang menghantarkan kita pada
kesesatan. Selain itu, jika kita membaca serta mendalami kisah-kisah yang
terdapat dalam al-Qur’an maka kita akan mengetahui bagaimana cara
mendidik anak agar anak menjadi putra-putri yang shalih, serta selanjutnya
dapat mengaplikasikannya.
Sebagaimana firman Allah swt:
فع الناس ف يمكث ف االرض فاما الزبد ف يذهب جفاء كذلك يضرب هللا الق و البطل كذلك واما ما ي ن يضرب االمثال
“Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang yang haq (kebenaran
sempurna) dan yang batil (salah dan sesat). Adapun buih, maka ia akan pergi
tanpa bekas, dan adapun yang bermanfaat bagi manusia, maka ia tetap di
bumi. Demikianlah Allah membuat oermpamaan-perumpamaan.” (QS. Ar-
Ra’d [13]:17)
Sesungguhnya, kisah al-Qur’an merupakan penuturan sejarah manusia yang
tujuannya bukan untuk mencari perhatian dan memperbagus kalimat-kalimat,
melainkan sebagai ladang pendidikan dan penyadaran, serta untuk
8Muhammad Al-Ghazali, Terjemah Al-Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman, (Jakarta:
Lentera Hati, 2011), hal. 212
6
memperbarui makna setelah para pelakunya berlalu agar menjadi pelajaran
yang abadi.9
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi dalam bukunya yang berjudul Prinsip-
prinsip dan Metode Pendidikan Islam, menyatakan bahwasanya metode
pendidikan Islam itu terdapat tujuh macam, diantaranya;
1. Metode dialog Qur’ani dan Nabawi
2. Mendidik melalui kisah Qur’ani dan Nabawi
3. Mendidik melalui perumpamaan Qur’ani dan Nabawi
4. Mendidik melalui keteladanan
5. Mendidik melalui aplikasi pengalaman
6. Mendidik melalui ibrah dan nasihat
7. Mendidik melalui targhib dan tarhib.10
Salah satu metode yang termasuk dalam metode pendidikan yaitu metode
cerita. Sebagai sebuah metode Pendidikan, cerita memang mempunyai daya
tarik yang menyentuh perasaan. Bercerita atau mendongeng adalah aktifitas
Pendidikan yang dilakukan oleh siapa saja dan dari bangsa serta agama mana
saja. Tidak ada yang tidak menggemari dongeng atau cerita. Kelompok yang
paling suka dengan hal ini tentu ialah anak-anak. cerita atau kisah adalah salah
satu sarana untuk membangun karakter anak didik, karena bercerita mirip
dengan memberikan contoh nyata dalam imjinasi anak. efek dari cerita
memang sangat hebat, karena sebetulnya melalui cerita mereka sedang
dihujani nasihat demi nasehat, pesan demi pesan dan dorongan-dorongan
motivasi.11
Melihat realitas kehidupan sekarang, nampaknya ketertarikan anak
terutama anak remaja akan membaca, mendengarkan, apalagi mendalami
kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an semakin berkurang. Hal ini
ditandai dengan ketidaktahuannya para remaja akan tokoh-tokoh Muslim yang
9 Muhammad Al-Ghazali, Al-Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hal. 299 10 Abdurrahman An-NAhlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Darul Fikri, 1999), hal. 24 11 Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal. 315
7
di abadikan dalam al-Qur’an, seperti Lukmanul Hakim, Ashabul Kahfi,
Dzulkarnain, siti Maryam, dan lain sebagainya. Kebanyakan dari anak remaja
sekarang ini lebih kenal dan mengenal dengan tokoh-tokoh selebritis,
yangmana tokoh-tokoh selebritis inilah yang menjadi panutan dan idola para
remaja dizaman sekarang ini.
Kondisi ini diperparah lagi dengan tayangan-tayangan telivisi maupun di
media sosial (youtube, facebook, Instagram, dll) yang semakin minim akan
unsur nilai-nilai pendidikan. Kebanyakan tayangan-tayangan di televisi
maupun di media sosial mempertontonkan yang tidak berfaedah dan hanya
mengandung unsur kisah percintaan belaka. Yang tentu secara tidak langsung
dapat mempengaruhi pola fikir anak, yang dari pola fikir ini menjadi sebuah
tindakan yang keliru dan melanggar norma agama.
Dalam Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun lalu
menyebut 0,9% remaja perempuan dan 3,6% remaja laki-laki (berusia 15
sampai 19 tahun) mengakui pernah melakukan hubungan seksual. Meski
presentasinya kecil, jika dibandingkan dengan populasi remaja Indonesia yang
mencapai 40 juta jiwa, angka ini mengkhawatirkan. Adapun secara global,
19% di negara berkembang mengalami kehamilan sebelum usia 18 tahun.
Hotline aborsi oleh Samsara di Indonesia menunjukkan 30% kliennya berusia
18 sampai 24 tahun dan 51,2% diantaranya berstatus belum menikah.12
Pada tanggal 16 Oktober 2018 sejumlah siswi di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 39, kota Padang, Sumatera Barat, berperilaku aneh,
yaitu menyayat tangannya sendiri menggunakan silet dan pecahan kaca. Aksi
menyimpang itu dianggap para siswi sebagai tren yang diketahuinya melalui
media sosial facebook. Tindakan para siswi terkuak setelah para guru
melaporkan kepada para penggiat anti narkoba dan diteruskan ke BNN
Sumatera Barat. Hal itu karena para guru cemas dengan aksi siswinya yang
diduga menyalahgunakan narkoba. Meskipun setelah diperiksa hasilnya
12 Mitra Tarigan, 19 Persen Remaja di Negara Berkembang Hamil Sebelum 18 Tahun, (https://gaya.tempo.co/read/1131078/19-persen-remaja-di-negara-berkembang-hamil-sebelum-18-tahun/full&view=ok: 28 September 2018)
8
mereka tidak menggunakan narkoba, akan tetapi diantara mereka ada yang
mengaku menghisap lem.13
Maka dari itu figur sebagai contoh dan panutan anak dalam keluarga itu
sangat penting. Meskipun nyatanya pada zaman sekarang ini sangat sedikit
figur yang menjadi panutan anak, baik di lingkungan sosialnya maupun di
lingkungan keluarganya sendiri. Hal ini kita bisa rasakan banyak sekali berita
di televisi yang memberitakan kasus-kasus yang merusak mental dan masa
depan anak, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, bullying, penganiayaan,
pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan anak
menjadi korban, dan lain sebagainya. Yang mana tindak kejahatan ini
dilakukan oleh teman sendiri maupun tetangganya. Bahkan yang lebih
mirisnya lagi dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, seperti kasus yang
terjadi baru-baru ini pada 26 November 2018 di provinsi Kalimantan Selatan.
Tepatnya di jalan Kasturi, Landasan Ulin Timur, kota Banjarbaru, provinsi
Kalimantan Selatan. Seorang ayah tega mencabuli anak kandungnya selama
14 tahun lamanya. Sang ayah sudah melakukan aksinya terhadap anak
kandungnya itu sejak anak berusia 4 tahun sampai anak tersebut berusia 18
tahun. Korban tidak berani melaporkan aksi bejat ayahnya, karena ia terus
diancam akan menganiaya dirinya dan ibunya jika korban melaporkannya ke
polisi. Bahkan lebih parahnya lagi, ternyata untuk mengamankan aksinya agar
tidak terendus orang lain, korban sebelum disetubuhi dipaksa minum pil KB.14
Selanjutnya pada 4 Februari 2018 di Bekasi telah terjadi penganiayaan
yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang masih berusia 1
tahun. Ibu korban tega menganiaya anaknya karena ibunya kesal balita yang
sedang demam itu terus menangis, hingga ia menganiaya balita tersebut
hingga tewas. Dan masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang terjadi dan
dilakukan oleh orang-orang terdekatnya (keluarga).
13Irwanda, Siswi SMP di Padang Nekat Sayat Tangan karena Dianggap Tren,
(https://kumparan.com/langkanid/dianggap-tren-siswi-smp-di-padang-nekad-sayat-tangan-1539772201616155527: 17 Oktober 2018)
14PT. Duta Prokal Multimedia, Begitu Tega, R Cabuli Anak Kandungnya Sendiri Selama 14 Tahun, (http://kalsel.prokal.co/read/news/19004-begitu-tega-r-cabuli-anak-kandungnya-sendiri-selama-14-tahun : 27 Novemebr 2018)
9
Pelimpahan sepenuhnya pendidikan anak kepada lembaga-lembaga
pendidikan (sekolah) juga merupakan pemahaman keliru. Banyak orangtua
yang berasumsi bahwa pendidikan anak yang didapatkan dari sekolah sudah
cukup, sehingga orangtua tidak mengevaluasi anak-anaknya dan tidak ikut
berperan dalam mengaplikasikannya. Salah satu contoh hal kecil yaitu, di
sekolah anak mendapatkan materi-materi tentang keagamaan, seperti sholat,
mengaji, berakhlak mulia, dan lain sebagainya, akan tetapi di rumah orangtua
tidak menyuruh dan memberikan contoh kepada anak untuk sholat, mengaji,
berperilaku sopan santun, jujur, dan lain sebagainya.
Berdasarkan dari berbagai persoalan di atas, maka peneliti akan mengkaji
surat ash-Shafat ayat 100-111. Pertimbangan penulis mengkaji surat ash-
Shafat ayat 100-111 yaitu dalam surat tersebut menjelaskan tentang
keberhasilan seorang ayah dalam mendidik putranya yang menjadi putra yang
shalih. Untuk itu penulis mengkaji surat tersebut dengan judul “Nilai-nilai
Pendidikan Akhlak dalam Kisah Nabi Ibrahim (Kajian Tafsir Surat ash-
Shafat Ayat 100-111) .”
B. Identifikasi Masalah
1. Ketertarikan anak remaja akan membaca maupun mendengarkan kisah-
kisah dalam al-Qur’an yangmana didalam kisah tersebut syarat akan nilai-
nilai pendidikan semakin berkurang, sehingga banyak akhlak anak remaja
yang bergeser.
2. Banyaknya tayangan di televisi maupun di media sosial yang
mempertontonkan tentang kisah percintaan belaka, sehingga banyak
remaja yang mengikuti atau meniru dari kisah-kisah tersebut.
3. Peran aktif orangtua dalam menerapkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang
didapatkan anak dari sekolah masih kurang.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan dari berbagai sumber buku bacaan yang menjelaskan
berkenaan dengan alur kisah nabi Ibrahim, penulis menganalisis bahwasanya
isi kandungan surat ash-Shafat ayat 100-111 bukan hanya berisi nilai-nilai
pendidikan akhlak saja, akan tetapi mencakup berbagai macam nilai-nilai
10
pendidikan, diantaranya pendidikan akidah, pendidikan spiritual dan
pendidikan emosional. Untuk itu, mengingat luasnya cakupan nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam surat tersebut, serta agar terdapat
kesesuaian akan berbagai macam persoalan di atas, maka penulis akan
mengkaji tentang nilai-nilai pendidikan akhlak saja, yang meliputi:
1. Penafsiran surat ash-Shafat ayat 100-111
2. Menceritakan kisah nabi Ibrahim dalam surat ash-Shafat ayat 100-111
3. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat ash-Shaffat
ayat 100-111
D. Perumusan Masalah
1. Apa isi kandungan surat ash-Shafat ayat 100-111?
2. Bagaimana relevansinya antara kisah nabi Ibrahim yang terdapat dalam
surat ash-Shafat ayat 100-111 dengan nilai-nilai pendidikan akhlak?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian penulisan karya ilmiah ini adalah untuk
mengetahui isi kandungan surat ash-Shafat ayat 100-111, serta
relevansinya dengan nilai-nilai pendidikan akhlak.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi
para akademisi yang sedang atau akan mengadakan penelitian tentang
penanaman akhlak pada diri anak.
b. Menambah sumber referensi bagi dunia pendidikan, khususnya pada
pendidikan akidah dan akhlak
c. Dapat menambah wawasan tentang pendidikan akhlak anak dalam
sebuah keluarga dengan mengambil pelajaran dari keluarga Nabi
Ibrahim dalam mendidik putranya yang bernama Nabi Ismail.
d. Dapat mempermudah pembaca al-Qur’an dalam menangkap nilai-nilai
pendidikan akhlak dalam kisah-kisah yang terdapat dalam surat ash-
Shafat ayat 100-111.
e. Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
11
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Nilai-nilai Pendidikan
1. Pengertian Nilai
Secara Bahasa, nilai berasal dari bahasa latin yaitu vale’re yang
artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan
sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat, dan paling benar
menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Nilai adalah
kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar,
dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya
bermartabat.1
Istilah nilai (value) menurut kamus Poerwodarminto diartikan
sebagai berikut:
a. Harga dalam arti taksiran, misalnya nilai emas
b. Harga sesuatu, misalnya uang
c. Angka, skor
d. Kadar, mutu
e. Sifat-sifat atau hal penting bagi kemanusiaan
Sesuatu dianggap bernilai apabila sesuatu itu memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
a. Menyenangkan (peasent)
b. Berguna (useful)
c. Memuaskan (satisfying)
d. Menguntungkan (profitable)
e. Menarik (interesting)
f. Keyakinan (belief)2
Menurut Hill, nilai sebagai acuan tingkah laku hidup, mempunyai
tiga tahapan, yaitu:
1Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-Karakter Kionstruksivisme VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 56 2Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hal. 126-127
12
a. Values thinking, yaitu nilai-nilai pada tahapan dipikirkan atau values
cognitive
b. Values affective, yaitu nilai-nilai yang menjadi keyakinan atau niat
pada diri orang untuk melakukan sesuatu, pada tahap dirinci menjadi
disposition dan commitments
c. Values action yaitu tahap di mana nilai yang telah menjadi keyakinan
dan menjadi niat (komitmen kuat) diwujudkan menjadi suatu tindakan
nyata atau perbuatan konkret.3
2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan secara umum mengacu pada dua sumber pendidikan
Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis yang memuat kata rabba dari kata
kerja tarbiyah, ‘alama kata kerja dari ta’lim, dan addaba dari kata kerja
ta’dib. Ketiga istilah itu mengandung makna amat mendalam karena
pendidikan adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan
memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani
menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).4
Pendidikan dalam konteks kekinian adalah upaya untuk
mengembangkan, mendorong, dan mengajak manusia agar tampil lebih
progresif dengan berdasarkan nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia
agar terbentuk pribadi yang sempurna, baik yang berkaitan dengan akal,
perasaan, maupun perbuatan. Dengan demikian, pendidikan bertujuan
untuk membentuk pribadi manusia seutuhnya, yang pada akhirnya akan
menjadi insan kamil sehingga memiliki integritas yang tinggi dalam
mengembangkan fitrahnya sebagai makhluk yang bermartabat dan
berkepribadian luhur kepada sesama manusia. Itulah sebabnya, pendidikan
adalah satu kebutuhan, fugsi sosial, bimbingan sarana pertumbuhan yang
mempersiapkan terbentuknya disiplin ilmu.5
3Sutarjo Adisusilo, Op. cit. hal. 60
4 Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Morali, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2016), cet. III, hal. 25 5 Muhammad Takdir Ilahi, op.cit. 27-28
13
3. Peranan Pendidikan
Pendidikan memegang peranan penting dalam merealisasikan
agenda pendidikan yang diarahkan pada peningkatan intelektual,
emosional, dan intelektual anak didik. Begitu besarnya peran pendidikan
dalam kehidupan sehingga ia menempati posisi paling strategis dalam
bidang keilmuan. Untuk itu berikut dijabarkan akan peranan pendidikan:
a. Memecahkan Problematika Umat
Pendidikan berperan penting dalam mengatasi masalah-masalah
yang diakibatkan sindrom globalisasi, semisal dampak kemiskinan.
Masalah kemiskinan menjadi persoalan yang sangat akut dalam sendi-
sendi kehidupan masyarakat. Tidak ayal bila pendidikan diyakini
sebagai alat pemberdayaan yang dapat memutus mata rantai
kemiskinan yang semakin kehilangan fungsinya. Dalam konteks ini,
privatisasi pendidikan pada akhirnya dapat mengarah pada jebakan
kemiskinan dan melanggar fungsi pendidikan sebagai jembatan
kemiskinan.
Menyikapi persoalan ini, manusia diwajibkan untuk selalu mencari
ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya demi mengejar impian.
Dengan harapan mampu menghilangkan kebodohan dan kesengsaraan
yang semakin merajalela dalam kehidupan umat manusia. Disinilah
letak urgentisitas pendidikan dalam memecahkan problematika umat
yang menghiasi seluk-beluk kehidupan manusia. Maka menjadi
penting, peningkatan kualitas pendidikan harus dioptimalisasikan ke
arah yang lebih menjanjikan dan memberikan perubahan berarti bagi
masa depan generasi muda yang kita dambakan.6
b. Mengangkat Martabat dan Derajat Kemuliaan Manusia
Dalam al-Qur’an sudah sangat jelas bahwa “Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-
orang yang berpengetahuan dengan beberapa derajat.” Betapa
kemuliaan dapat diperoleh ketika seseorang mampu mengoptimalkan
6 Muhammad Takdir Ilahi, Op. cit. h. 37-39
14
potensi pribadinya dalam menjalani kehidupan ini. Demikian pula
dengan orang-orang yang berpengetahuan, pada gilirannya mempunyai
keistimewaan tertentu dibandingkan dengan orang-orang yang tidak
berpengetahuan. Sebagaimana kita kenal bahwa derajat kemuliaan
seseorang sebenarnya tidak lepas dari proses pendidikan yang menjadi
langkah primodial dalam mencapai cita-cita itu semua. Peran
pendidikan begitu besar dalam menumbuh kembangkan potensi, bakat,
kepribadian, sikap mandiri, dan tanggungjawab kepada sesama. Peran
pendidikan menjadi satu-satunya harapan untuk mengangkat derajat
kemuliaan seseorang dari keterbelakangan, kebodohan, kesengsaraan,
dan kemiskinan yang menjadi sindrom menakutkan dalam kehidupan
ini.7
c. Membentuk Generasi Potensial
Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan suatu bangsa sangat
ditentukan oleh generasi masa depan bangsa ke depan. Dalam upaya
membentuk generasi potensial diantaranya sebagai berikut:
1) Meningkatkan kualitas keilmuan, wawasan berfikir, dan
kemampuan dalam menganalisis berbagai masalah yang berkaitan
dengan ruang lingkup ilmu pengetahuan. Peningkatan kualitas
keilmuan dalam pribadi generasi muda, menjadi satu keniscayaan
untuk diaplikasikan agar potensi yang terpendam dapat tersalurkan
dan ditransmisikan dengan baik.
2) Menumbuhkan kreativitas dan keterampilan dalam setiap proses
pembelajaran. Pengembangan kreativitas dan keterampilan yang
dimiliki generasi muda sangat urgen untuk diimplementasikan
karena hal itu bisa berpengaruh pada hasil yang dicapai untuk
menghasilkan karya-karya yang berkualitas.
3) Membentuk kepribadian yang luhur sesuai dengan norma-norma
yang berlaku. Pembentukan kepribadian ini memang menjadi
upaya yang sangat vital dalam mencetak generasi potensial karena
7 Muhammad Takdir Ilahi, Op. cit. h. 39
15
kepribadian berkaitan langsung dengan tingkah laku dan sikap
generasi muda dalam kehidupan setiap harinya.8
B. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (bahasa arab) yang berarti
perangai, tabiat, dan adat istiadat. Menurut pendekatan etimologi,
pendekatan akhlak berasal dari bahasa arab jamak dari bentuk mufradnya
“khuluqun” yang menurut logat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah
laku atau tabi’at. Kalimat ini mengandung segi-segi persesuaian dengan
perkataan “khalqun” yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan
“khalik” yang berarti pencipta, dan “Makhluk” berarti yang diciptakan.
Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai
(watak/tabiat) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber
timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan
ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.
Akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama. Ilmu yang berusaha
mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada
perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila.
Farid Ma’ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa manusia yang
menimbulkan perbuatan dengan perbuatan dengan mudah karena
kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran terlebih dahulu.9
2. Macam-macam Akhlak
Dalam buku karangan Yatimin Abdullah yang berjudul Studi
Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an, macam-macam akhlak terdapat dua
jenis akhlak dalam Islam, yaitu Akhlakul karimah (akhlak terpuji) ialah
akhlak yang baik dan benar menurut syariat Islam, dan Akhlak
Madzmumah (akhlak tercela) ialah akhlak yang tidak baik dan tidak benar
menurut Islam. Adapun rincian pembagian akan dijelaskan sebagai
berikut: 8 Muhammad takdir Ilahi, Op.cit. hal 40-41
9Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012), cet. II, hal. 65-67
16
a. Akhlakul Karimah (Akhlak Terpuji)
Jenis-jenis akhlakul karimah itu adalah sebagai berikut:
1) Al-Amanah (sifat jujur dan dapat dipercaya); sesuatu yang
dipercayakan kepeda seseorang, baik harta, ilmu, rahasia, atau
lainnya yang wajib dipelihara dan disampaikan kepada yang
berhak menerimanya. Sebagai realisasi akhlakul karimah adalah
hartawan hendaknya memberikan hak orang lain yang
dipercayakan kepedanya; orang yang diberi rahasia hendaknya
menyimpan, dan lain sebagainya.
2) Al-Alifah (sifat yang disenangi); hidup dalam masyarakat yang
heterogen memang tidak mudah menerapkan sifat al-Alifah, sebab
anggota masyarakat terdiri dari bermacam-macam sifat, watak,
kebiasaan, dan kegemaran satu sama lain yang berbeda. Orang
ynag bijaksana tentulah dapat menyelami segala analisir yang
hidup ditengah masyarakat, menaruh perhatian kepada segenap
situasi dan senantiasa mengikuti setiap fakta dan keadaan yang
penuh dengan aneka perubahan. Pandai mendudukan sesuatu pada
proporsi sebenarnya, bijaksana dalam sikap, perkataan dan
perbuatan, niscaya pribadi akan disenangi oleh anggota masyarakat
dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari.
3) Al-‘Afwu (sifat pemaaf); apabila orang berbuat sesuatu terhadap
diri seseorang yang karena khilaf atau salah, maka patutlah dipakai
sifat lemah-lembut sebagai rahmat Allah terhadapnya, maafkanlah
kesalahannya, janganlah mendendam serta mohonkanlah ampun
kepada Allah untuknya, semoga ia surut dari langjahnya yang
salah, lalu berlaku baik dimasa depan sampai akhir hayatnya.10
4) Anie Satun (sifat manis muka); menghadapi orang yang
menjemukan, mendengar fitnah yang memburukkan nama baik,
harus disambut dengan manis muka dan senyum. Betapa banyak
10 Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), hal. 13
17
orang yang bijaksana memakai sikap ini dan banyak terjadi di
dunia diplomasi orang memperoleh sukses dan mencapai
kemenangan, hanya dengan keep smiling diplomatnya di meja
perundingan. Dengan muka yang manis, dengan senyum yang
menghiasi bibir, orang lain dapat mengakui dan menghormati
segala keinginan baik seseorang.
5) Al-Khairu (kebaikan atau berbuat baik); dalam penjelasan dari
Rasulullah bahwasanya tidak patut hanya pandai menyuruh orang
lain berbuat baik, sedangkan diri sendiri enggan mengerjakannya.
Dari itu mulailah dengan diri sendiri (ibda’ binafsi) untuk berbuat
baik. Tidak perlu disuruh berbuat baik terhadap sesama manusia,
tetapi juga terhadap hewan, hendaknya juga berbuat baik, sebab
setiap kebaikan walaupun kecil sekali, namun Allah akan
membalasnya kelak di akhirat.
6) Al-Khusyu’ (tekun bekerja sambil menundukan diri dan berdzikir
kepada-Nya); khusyu’ dalam perkataan, maksudnya ibadah yang
berpola perkataan, dibaca khusus kepada Allah dengan tekun
sambil bekerja dan menundukan hati, tekun dan tetap senantiasa
bertasbih, bertakbir, bertahmid, bertahlil, memuja asma Allah,
menundukan hati kepada-Nya, khusu’ dikala shalat, memelihara
penglihatan, menjaga kehormatan, jangan berjalan dimuka bumi
Allah dengan sombong.11
7) Sabar; kata sabar berasal dari kata shabr yang merupakan bentuk
Masdar dari kata shabara-yashbiru, yang diantara artinya adalah
menahan. Sedangkan menurut Ibn Mandzur sabar adalah menahan
diri dari kegelisahan dan telah sabar pula dari musibah. Kata sabar
merupakan kata umum yang memiliki arti berbeda-beda sesuai
dengan konteksnya. Jika seseorang mampu bertahan dalam
musibah, maka ia disebut sabar, lawannya al-Juzu’ (gelisah). Akan
tetapi sabar dalam perjuangan disebut syaja’ah (berani), lawannya
11 Yatimin Abdullah,Ibid. . 13-14
18
al-Jubn (takut), menahan sesuatu (sabar) yang mengkhawatirkan
disebut rahb al-Sadr (lapang dada), lawannya al-Dajir (emosi),
sabar menahan bicara disebut kitman (diam atau tertutup),
lawannya al-Mazil (terbuka).12
8) Tawakal; tawakal adalah menyandarkan hati kepada Allah ketika
mencari maslahat atau menghindari mudharat dalam perkara
duniawi dan ukhrawi. Mukmin yang bertawakal akan menyerahkan
seluruh urusannya kepada Allah swt dan mewujudkan
keimanannya dengna meyakini bahwa hanya Allah yang mampu
memberi atau tidak memberi sesuatu, dan mendatangkan manfaat
atau marabahaya. Pada dasarnya tawakal dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu tawakal kepada Allah dalam upaya pemenuhan
hamba dan keuntungan duniawi atau menahan datangnya bahaya di
dunia, dan tawakal kepada Allah untuk mencapai hal yang diridhai
dan dicintai-Nya, yaitu tawakal dalam iman, jihad, dan dakwah
agama-Nya.13
9) Ikhlas; Secara etimologi ikhlas berasal dari kata ikhlas yang
merupakan bentuk mashdar dari akhlasa-yukhlisu. Jadi ia terangkai
dari huruf dasar kha-la-sha yang menunjukan makna penyucian.
Sedangkan secara terminologi, menurut pendapat beberapa ahli
yaitu:
Kafawi berpendapat bahwa ikhlas adalah beribadah dengan
meniatkan penyembahan terhadap sesuatu yang disembah.
Menurutnya, kata ini dapat juga diartikan sebagai penyucian
rahasia, perkataan dan amal.
Adapaun Jurjani berpendapat, ikhlas adalah tidak meminta
orang lain sebagai saksi dalam beramal, tetapi hanya Allah swt.
sematalah yang menjadi saksi.
12Ridjaluddin, Sabar Dalam Pandangan Imam Al-Ghazali, (Jakarta: Lembaga Kajian Islam
Nugraha Ciputat, 2009), hal. 3-4 13 Mahmud al-Mishri, Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, (Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2011), cet. II, hal. 268-269
19
Sedangakan menurut Abu Utsman al-Magribi, ikhlas adalah
sikap seseorang yang melupakan pandangan seluruh makhluk
Allah terhadap amal yang dilakukan lantaran selalu dilihat dan
diawasi oleh Tuhannya.14
b. Akhlakul Madzmumah (Akhlak Tercela)
Jenis-jenis akhlakul madzmuamh (akhlak tercela) itu adalah
sebagai berikut:
1) Ananiyah (sifat egoistis); manusia hidup tidaklah sendiri, tetapi
berada ditengah-tengah masyarakat yang heterogen. Ia harus yakin
jika hasil perbuatan baik, masyarakat turut mengecap hasilnya,
tetapi jika akibat perbuatannya yang buruk masyarakatnya pun
turut pula menderita.
2) Al-Baghyu (suka obral diri pada lawan jenis yang tidak hak atau
melacur); melacur dikutuk masyarakat, baik laki-laki maupun
wanita. Wanita yang beralasan karena desakan ekonomi, atau
karena patah hati dengan suaminya, mencari kesenangan hidup
pada jalan yang salah, jelas dilaknat Allah. Kegemaran melacur,
menimbulkan mudharat yang tidak terhingga, dapat memperoleh
penyakit dan merusak tatanan sosial.
3) Al-Bukhlu (sifat bakhil, kikir, terlalu cinta harta); bakhil, kikir
adalah sifat yang sangat tercela dan paling dibenci Allah. Hidup di
dunia ini hanya sementara, apa yang Allah amanahkan hanya
pinjaman sementara. Jika mati semua yang ada di dunia tidak akan
dibawa kecuali hanya kain kafan pembungkus badan saja.
4) Al-Kadzbu (sifat pendusta atau pembohong); maksdunya sifat
mengada-ada sesuatu yang sebenarnya tidak ada, dengan maksud
untuk merendahkan seseorang. Kadang-kadang ia sendiri yang
sengaja yang berdusta. Dikatakannya orang lain yang menjadi
pelaku, juga adakalnya secara brutal ia bertindak, yaitu
mengadakan kejelekan terhadap orang yang sebenarnya tidak
14Mahmud Al-Mishri, Ibid. hal. 36
20
bersalah. Orang seperti ini setiap perkataannya tidak dipercaya
orang lain. Di dunia ia akan memperoleh derita dan di akhirat ia
akan menerima siksa.
5) Al-Khamru (gemar minum minuman yang memabukkan);
minuman beralkohol walaupun rendah kadarnya diharamkan.
Bilamana orang sedang mabuk maka hilanglah pertimbangan akal
sehatnya. Akal merupakan kemudi yang dapat membedakan baik
dari yang buruk, benar dari yang salah. Kehilangan pertimbangan
akal menyebabkan orang lupa kepada Allah dan agama. Agama
adalah akal, tiada beragama bagi orang yang tiada berakal. Setelah
hilang akal maka hilanglah sifat malunya. Ia berkata dan
berperilaku tak wajar.
6) Al-Khiyanah (sifat pengkhianat); karena tindakannya yang licik,
sifat khianat untuk sementara waktu tidak diketahui manusia, tetapi
Allah maha mengetahui. Ia tidak segan bersumpah palsu untuk
memperkuat dan membenarkan keterangannya bila ia tertuduh,
karena ia tidak mempunyai rasa tanggung jawab. Dia tidak
mempeoleh keuntungan dari tindakannya yang tidak jujur itu, sifat
senang mengorbankan teman sendiri, jadi musuh dalam selimut,
menggunting dalam lipatan. Sifat amanah membawa kelapangan
rezeki, sedangkan khianat menimbulkan kefakiran.
7) Azh-Zhulmun (sifat aniaya); aniaya ialah meletakkan sesuatu tidak
pada tempatnya, mengurangi hak yang seharusnya diberikan.
Penganiayaan dapat memutuskan ikatan persaudaraan antara
sesama manusia. Itulah sebabnya agama melarang zalim karena
manusia selalu mempunyai kekurangan-kekurangan.15
8) Al-Jubnu (sifat pengecut); sifat pengecut adalah perbuatan hina,
sebab tidak berani mencoba, belum mulai berusaha sudah
15Yatimin Abdullah, Op. cit. hal. 14-16
21
menganggap dirinya gagal. Ia selalu ragu-ragu dalam bertindak.
Keragu-raguan memulai sesuatu berarti suatu kekalahan.16
3. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Akhlak
Pada umumnya dalam dunia pendidikan kita sudah mengetahui tiga
aliran yang amat popular, yang mana dalam aliran-aliran tersebut
menjelaskan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi pembentukan akhlak,
diantaranya:
a. Aliran Nativisme
Menurut aliran nativisme bahwa factor yang paling berpengaruh
terhadap pembentukan diri seorang adalah factor bawaan dari dalam
yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-
lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan
kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi
baik.
Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada
dalam diri manusia, dan hal ini kelihatannya erat kaitannya dengan
pendapat aliran intuisisme dalam hal penentuan baik dan buruk
sebagaiamana yang telah diuraikan diatas. Aliran ini tampak kurang
menghargai atau kurang memperhitungkan peranan pembinaan dan
pendidikan.
b. Aliran Empirisme
Menurut aliran empirisme bahwa factor yang paling berpengaruh
terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor luar, yaitu
lingkungan social, termasuk pembinaan yang diberikan kepada anak
itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian jika sebaliknya. Aliran ini
tampak lebih percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia
pendidikan dan pengajaran.
c. Aliran Konvergensi
16Yatimin Abdullah, Op. cit. hal. 16
22
Pada aliran ini berpendapat bahwa pembentukan akhlak
dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor
dari luar yaitu Pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus
atau melalui interaksi dalam lingkungan social. Fitrah dan
kecenderungan kea rah yang baik yang ada di dalam diri manusia
dibina secaraintensif melalui berbagai metode.
Aliran ini tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat
dipahami dari ayat dan hadis berikut ini:
ة د ئ ف اال و ار ص ب اال و ع م الس م ك ل ل ع ج ا و ئ ي ش ن و م ل ع ت ال م ك هت م ا ن و ط ب ن م م ك ج ر خ ا هللا و ن و ر ك ش ت م ك ل ع ل
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl [16]: 78)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi
untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari.
Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran
dan Pendidikan.
Kesesuaian teori konvergensi di atas, juga sejalan dengan hadis
nabi yang berbunyi:
واه البخارى(ر ) ه ان س ج ي و ا ه ان ر ص ن ي و ا ه ان د و ه ي اه و ب ا ف ة ر ط ف ى ال ل ع د ل و ي د و ل و م ل ك “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah (rasa
ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang
tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau
Majusi.” (HR. Bukhari)17
Ayat dan hadis di atas selain menggambarkan adanya teori
konvergensi juga menunjukan dengan jelas bahwa pelaksanaan utama
dalam pendidikan adalah kedua orangtua. Itulah sebabnya orang tua,
khususnya ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat
berlangsungnya kegiatan pendidikan. Dan di dalam hadis nabi banyak
17Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 143-145
23
dijumpai anjuran agar orang tua membina anaknya. Misalnya hadis
yang berbunyi:
ة ل ح ن ا ف ن أر ق ال ة اء ر ق و ه ت ي ب ل ه ا ب ح و م ك ي ب ن ب ح ال ص خ ث ل ث لىع م ك د ال و ا او ب د ا )رواه الديلم عن على( ه ائ ي ف ص ا و ه ائ ي ب ن ا ع م ه ل ظ ال ا ل ظ ال م و ي هللا ل ظ ف ن أر ق ال
“Didiklah anakmu sekalian dengan tiga perkara; mencintai nabimu,
mencintai keluarganya, dan membaca al-Qur’an, karena yang
membawa (hafal) al-Qur’an akan berada dibawah lindungan Allah
swt di hari tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya,
Bersama para nabi dan kekasihnya.” (HR. al-Dailami dari Ali)
Selain itu ajaran Islam juga sudah memberi petunjuk yang lengkap
kepada kedua orang tua dalam pembinaan anak ini. Petunjuk tersebut
misalnya dimulai dengan cara mencari calon atau pasangan hidup yang
beragama, banyak beribadah pada saat seorang ibu sedang
mengandung anaknya, mengazani pada telinga kanan dan mengkomati
pada telinga kiri pada saat anak itu dilahirkan, memberikan makanan
madu sebagai isyarat perlunya makan yang bersih dan halal, mencukur
rambut dan mengkhitannya sebagai lambang suka pada kebersihan,
memotong akikah sebagai isyarat menerima kehadirannya, memberi
nama yang baik, mengajarkan membaca al-Qur’an beribadah terutama
shalat lima waktu pada saat anak mulai usia tujuh tahun, mengajarkan
cara bekerja di rumah tangga, dan menikahkannya pada saat dewasa.18
4. Metode Penanaman Akhlak
Ada berbagai macam cara untuk menenamkan akhlak yang sesuai
dengan Islam di masyarakat, diantaranya dijelaskan sebagai berikut:
a. Ibadah
Ibadah (maksudnya beribadah kepada Allah dengan sebenar-
benarnya) merupakan metode amaliah dan media utama pendidikan.
Ibadah mendidik manusia seutuhnya karena dalam ibadah terdapat
pendidikan jasmani, rohani, sosial, moral, estetika, dan logika.
18Abudin Nata,Ibid. hal. 145-146
24
1) Shalat; shalat mendidik manusia dalam berakhlak dan berpikir.
Shalat berfungsi sebagai penghubung manusia dengan Allah,
penguat kehendak dan motivasi, pendukung kontrol diri, dan
melatih kesabaran. Melaksanakan shalat tepat pada waktunya juga
mengajarkan keteraturan dan keseriusan memelihara waktu. Jika
kita terbiasa melaksanakan shalat wajib tepat waktu, kita akan
terbiasa untuk bekerja secara disiplin, segera menggunakan
kesempatan yang ada sebelum kesempatan itu hilang, dan
menjauhkan diri dari kemalasan.
2) Puasa; puasa mendidik kekuatan jasmani dan rohani kita. Puasa
menjadi kita terbiasa untuk mengontrol diri dan menahan gejolak
hawa nafsu.
3) Zakat; berzakat mendidik manusia untuk taat pada perintah Allah
swt. dengan cara melatih dan mendidik kita untuk menghilangkan
sifat mementingkan diri sendiri dan membangun sifat berbagi
dengan orang lain.
b. Amar Ma’ruf Nahi munkar dan Saling Berwasiat dalam Kebenaran
Saling mengingatkan, ber-amar ma’ruf nahi munkar, berwasiat
dalam kebenaran dan kesabaran adalah bagian dari metode pendidikan
Islam yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Di dalam metode
saling berwasiat, terkandung ajakan kepada setiap muslim untuk
menjadi pendidik yang mengajarkan kepada muslim yang lain,
mengingatkan kebaikan dan kebenaran, berdakwah untuk mengerjakan
keduanya, mengingatkan jika terjadi keburukan dan kerusakan, dan
berdakwah untuk menjauhi keduanya.19
c. Membuat Perumpamaan
Perumpamaan dapat menggambarkan sesuatu yang tidak nyata
menjadi seperti nyata sehingga maknanya dapat dimengerti manusia.
Acapkali, makna-makna yang dipahami oleh akal manusia baru bisa
dimengerti jika dijelaskan dalam praktik yang lebih mudah dimengerti.
19Mahmud Al-Mishri, Op. cit. hal. 913-914
25
Perumpamaan akan menguak hakikat-hakikat yang belum nyata
seolah-olah nyata dan memaparkan permasalahan-pemasalahan yang
belum terlihat seolah-olah terlihat. Beragam perumpamaan dapat
membentuk satu titik pemahaman yang mengagumkan ketika
dipaparkan dengan ungkapan yang singkat. Peran perumpamaan
sebagai sarana pembelajaran dalam al-Qur’an sangat penting untuk
menanamkan nilai-nilai Islami kepada setiap muslim. Dengan
menggunkan perumpamaan, nilai-nilai yang akan disampaikan akan
lebih mudah untuk dipahami oleh orang-orang yang mempelajarinya.
Selain itu, hasil pembelajaran itu akan membuat kita lebih bijaksana
dan akhlak kita pun menjadi lebih baik.
d. Menyampaikan Pesan dan Nasihat
Mendidik melalui nasihat penting untuk menumbuhkan nilai-nilai
keislaman. Nasihat dapat diberikan secara langsung melalui petuah-
petuah karena sebagian besar manusia menyukai mendengarkan petuah
orang yang dicintainya. Dalam kondisi seperti itu, pesan dan nasihat
berpengaruh besar terhadap para pendengarnya.
e. Keteladanan
Seorang pendidik atau dai harus bisa menjadi suri tauladan dalam
perkataan dan perbuatan. Rasulullah saw. adalah suri teladan bagi
kaum muslimin. Karena itu, seorang da’i harus baik akhlaknya. Pada
hakikatnya, akhlak yang baik merupakan dakwah praktis. Karena itu,
setiap gerak-gerik da’i tersebut harus mengandung dasar-dasar dan
nilai-nilai dakwah kebaikan serta mengajak manusia untuk turut
melaksanakan akhlak yang baik.20
f. Pembelajaran dengan Prinsip Learning by Doing
Untuk membentuk akhlak kaum muslimin Rasulullah saw.
menggunakan metode pembelajaran learning by doing (belajar sambil
melakukan). Pendidikan islam dengan cara seperti ini tampak dari
ayat-ayat dan hadis-hadis Rasulullah saw. yakni pendidikan yang
20 Mahmud Al-Mishri, Op. cit. hal. 913-916
26
bertolak dari perkataan menuju perbuatan yang konstruktif, akhlak
yang mulia, atau perubahan perilaku yang mewujudkan manusia utama
sebagaimana yang telah digambarkan Islam.
g. Bercerita
Berkisah atau bercerita merupakan salah satu metode yang paling
efektif untuk mengajarkan akhlak yang baik. Rasulullah saw. sering
menggunakan metode untuk menyisipkan pesan-pesan akhlak islami di
dalamnya. Adakalanya beliau becerita menjelaskan perintah atau untuk
lebih memahamkan makna sebuah ayat atau hal lainnya. Tema-tema
tersebut mengandung berbagai macam nilai yang agung. Kisah-kisah
yang dipaparkan al-Qur’an adalah salah satu sarana pembelajaran dan
pembentukan nilai-nilai akhlak islami. Kisah-kisah tersebut
menyampaikan pelajaran yang telah lalu, memberikan perumpamaan-
perumpamaan, menjelaskan jalan-jalan kebaikan, dan memperingatkan
kekafiran dan pengingkaran (terhadap kebenaran).21
h. Bertanya dan Berdiskusi
Metode ini sangat efektif untuk pembentukan akhlak. Hal itulah
yang ditujukan oleh nash-nash al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah
saw. acapkali para sahabat bertanya atau meminta fatwa kepada
Rasulullah saw. atas permasalah yang mereka hadapi, baik dalam
kehidupan beragama maupun urusan dunia. Firman Allah turun untuk
memberikan jawaban kepada mereka.22
C. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an
1. Pengertian Kisah (Qishash)
Menurut bahasa kata Qashash jamak dari Qishash, artinya kisah-
kisah, berita atau keadaan. Sedangkan menurut istilah Qashashu al-Qur’an
adalah kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang para Nabi dan Rasul mereka,
21Mahmud Al-Mishri, Ibid. hal. 922 22Mahmud Al-Mishri, Ibid. hal. 925
27
serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini, dan
masa yang akan datang.23
Al-Qur’an telah menyebutkan kata qashash dalam beberapa
konteks, pemakaian, dan tashrif (konjungsi) nya, dalam bentuk fi’il madhi
(kata kerja
lampau), fi’il mudhari’ (kata kerja sedang), fi’il amr (kata
perintah), dan dalam bentuk kata mashdar (kata benda).
Imam ar-Raghib al-Ishfahani mengatakan dalam kitab mufradat
nya (al-Mufradat fii Gharib al-Qur’an) tentang kata ini (qashash), “al-
Qashshasu berarti ‘mengikuti jejak’. Dikatakan, ‘Qashashtu atsarahu
‘saya mengikuti jejaknya’.”
Al-Qashash ialah berarti ‘jejak’ (atsar). Allah Ta’ala berfirman:
ا قصصا ثرهاأعلى فارتد “…. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (al-
Kahfi:64)
Kisah al-Qur’an tentang orang-orang dahulu adalah suatu kisah
yang benar dan periwayatannya mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah
jujur dan betul. Ini karena Allah lah yang menceritakan kisah itu dan Allah
benar-benar menyaksikan peristiwa-peristiwa itu, dan ia telah
mentakdirkannya; peristiwa-peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan,
kehendak, dan takdir-Nya. Maka dari itu, ucapan Allah tentang kisah itu
tidak mungkin mengalami kebatilan (kesalahan) dan keraguan, dan
siapakah yang lebih benar ceritanya daripada Allah?.
Kisah al-Qur’an telah diberi karakter sebagai kisah yang benar (al-
Qashash al-Haq). Dalam surat Ali Imran, setelah disebutkan beberapa
ayat yang membantah orang-orang Nasrani perihal kemanusiaan Isa bin
Maryam a.s dan menyanggah anggapan bahwa mereka seputar
penisbatannya kepada Allah swt. (sebagai anak-Nya), dan mengisahkan
23Ahmad Syadali dkk, Ulumul Qur’an II Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MkDK,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 27
28
kepada mereka peristiwa ibunda Maryam r.a yang mengandung Isa,
kemudian melahirkannya, kemudian disebutkan satu ayat yang menyifati
kisah ini sebagai kisah yang benar, yang tidak ada padanya kesalahan,
kebohongan, maupun kebatilan.
Allah Ta’ala berfirman,
القصص الق ومامن اله االهللا... لو اان هذ “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan taka da Tuhan (yang
berhak disembah) selain Allah…” (QS. Ali Imran: 62)
Dalam surat an-Naml, al-Qur’an mengisahkan sekilas kisah Musa
a.s dengan Fir’aun, kemudian sekilas kisah Daud a.s. Ia mengulas sejenak
kisah Sulaiman a.s. dengan seekor semut, bala tantara, burung hud-hud,
dan ratu negeri Saba’ (ratu Balqis), serta kisah mengikutnya ratu Balqis
kepada Sulaiman a.s. dan masuknya ia ke dalam agamanya (Islam).
Kemudian al-Qur’an memberikan komentar terhadap kisah itu dengan
firman-Nya,
“Sesungghunya al-Qur’an ini menjelaskan kepada bani Israel sebagian
besar dari (perkara-perkara yang mereka berselisih tentangnya.)” (an-
Naml: 76)24
Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk menceritakan kisah
itu kepada manusia dan menjelaskan bahwa hal ini dapat mendorong
orang-orang yang mendengarnya berfikir dan mengambil pelajaran.
Perintah ini datang secara tegas dalam sebuah ayat dari surat al-‘Araaf,
setelah al-Qur’an menyebutkan kisah seseorang yang Allah anugerahkan
kepadanya ilmu pengetahuan, lalu ia melepaskan diri dari ilmu
pengetahuan itu, atau justru mempergunakannya dalam kebatilan, dia
diikuti oleh setan (sampai tergoda) dan dia hidup dalam kondisi selalu
“menjulurkan lidah” bagaikan seekor anjing yang selalu menjulurkan
lidahnya.25
24 Shalah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Qur’an Pelajaran Dari Orang-orang Dahulu, (Jakarta:
Gema Insani, 1999), hal. 21-23 25Shalah al-Khalidy, Ibid. hal. 27
29
2. Macam-macam Kisah Dalam Al-Qur’an
Kisah-kisah dalam al-Qur’an terdapat beberapa macam, diantaranya:
a. Dari segi waktu
Ditinjau dari segi waktu kisah-kisah dalam al-Qur’an ada tiga
bagian, yaitu:
1) Kisah hal gaib yang terjadi pada masa lalu, seperti kisah tentang
dialog Malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah
bumi (QS. Al-Baqarah: 30-34), kisah tentang penciptaan alam
semesta (QS. Al-Furqan: 59, QS. Qaf: 38), dan kisah tentang
penciptaan Nabi Adam dan Kehidupannya ketika di surge (QS. Al-
A’raf: 11-25).
2) Kisah hal gaib yang terjadi pada masa kini, seperti kisah tentang
turunnya Malaikat pada malam Lailatul Qadar (QS. Al-Qadar: 1-
5), dan kisah tentang kehidupan makhluk-makhluk gaib seperti
setan, jin atau iblis (QS. A’raf : 13-14).
3) Kisah hal gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang,
seperti kisah tentang akan datangnya hari kiamat (surat al-Qari’ah,
surat az-Zalzalah, dan lain sebagainya), kisah tentang Abu Lahab
kelak diakhirat (surat al-Lahab), dan kisah tentang kehidupan
orang-orang di surga dan orang-orang yang hidup di neraka (surat
al-Ghasyiah, dan lain sebagainya)
b. Dari segi materi
Ditinjau dari segi materi kisah-kisah dalam al-Qur’an dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu:
1) Kisah-kisah para Nabi
2) Kisah tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi masa lampau
yang tidak dapat dipastikan kenabiannya.
3) Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi
dimasa Rasulullah.26
26 Ahmad Syadali dkk, Op.cit. hal. 27-30
30
3. Tujuan Kisah-kisah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an telah mengisyaratkan melalui pembicaraannya kisah-kisah
itu tiga tujuan dari penyebutan kisah-kisah itu. Ia mengajak kita untuk
memperhatikan dan mengejawantahkannya ketika kita sedang membaca
kisah-kisah itu, serta mencermati dan aktif berinteraksi dengannya.
Adapun hikmah kita mempepelajari kisah-kisah dalam al-Qur’an adalah
sebagai berikut:
a. Mendengarkan kisah-kisah al-Qur’an, merenungkan dan dan
memperhatikannya, akan menggiring kita untuk berpikir. Berpikir
merupakan kerja akal dimana manusia mengaktifkan daya pikirnya dan
mendayagunakan akalnya, lalu merenungkan episode-episode kisah
yang memuat nasihat dan pelajaran. Al-Qur’an menginginkan kita
untuk senantiasa berpikir dan mengambil pelajaran, dan ia mengajak
kita dalam banyak ayat untuk berpikir dan mengambil pelajaran,
sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
ا ف رادى ث ت ت فكروامثن و ل أعظكم بواحدة أن قوموا قل ان “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu
suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas)
berdua-dua atau sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang
Muhammad)…’” (QS. Saba’: 46)
Sesungguhnya berpikir itu merupakan suatu kewajiban qur’ani,
keharusan dalam Islam, dan keniscayaan hidup. Orang-orang yang
tidak melaksanakan kewajiban ini dan menelantarkannya, mereka itu
membuang percuma kenikmatan Tuhan yang telah dianugerahkan
kepada mereka dan menyia-nyiakan potensi besar yang dikaruniakan
Allah kepada mereka.27
Berpikir, menalar, dan mengambil pelajaran merupakan buah dari
membaca kisah orang-orang dulu yang ada dalam al-Qur’an, hasil dari
mendengarkan kisah-kisah al-Qur’an dan merupakan salah satu tujuan
27 Shalah al-Khalidy, Op. cit. hal. 28-29
31
mulia yang harus dituju oleh setiap orang yang membaca al-Qur’an,
mendengarkan atau mengisahkannya kepada para pendengar.
b. Dengan kisah-kisah dalam al-Qur’an dapat meneguhkan hati,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
الرسل مان ث ب ت به ف ؤادك وجاءك ف هذه عليك من ان باء ن قص وكلا الق وموعظة وذكرى للمؤمني
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu ialah
kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat
ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan
peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Huud: 120)
Ayat ini merupakan sebuah orasi kepada Rasulullah saw. yang
disebutkan setelah memaparkan kisah-kisah Nabi Nuh, Huud, Shaleh,
Ibrahim, Luth, Syu’aib, dan Musa a.s. dalam surat Huud. Surat Huud
diturunkan kepada Rasulullah saw. pada masa krisis dan berat,
termasuk masa-masa yang paling krisis yang dilalui dakwah Islam di
Mekah. Maka Rasul saw. dan umat Islam bersamanya membutuhkan
hiburan untuk membesarkan hati, menentramkan dan meneguhkan
hati, lalu datanglah kisah nabi-nabi untuk mewujudkan tujuan al-
Qur’an yang mulia ini.
Sesungguhnya orasi di ayat ini adalah universal, mencakup umat
Islam dimana saja berada dan ditujukan kepada setiap muslim di setiap
zaman dan tempat, meskipun pada dasarnya ditujukan kepada
Rasulullah saw, karena sebenarnya orasi yang ditujukan kepada
Rasulullah juga merupakan orasi yang tertuju pada kepada setiap
individu umatnya, selama tidak ada dalil yang menyatakan kekhususan
orasi itu hanya Rasulullah.28
Umat Islam pada masa kini lebih membutuhkan realisasi tujuan al-
Qur’an ini dari kisah-kisahnya. Kita lebih membutuhkan peneguhan
hati kita melalui kisah-kisah al-Qur’an, yaitu mewujudkan ketentraman
28 Shalah Al-Khalidy, Op.cit. hal. 30-31
32
hati, memantapkan posisi kita pada jalan kebenaran, dan meneguhkan
pendirian kita. Ayat ini memberikan kepada kita bahwa telah hadir
kepada kita melalui kisah-kisah al-Qur’an: al-Haq (kebenaran),
pelajaran, dan peringatan bagi orang-orang mukmin.
c. Pelajaran bagi orang-orang yang berpikir, hal ini terdapat dalam firman
Allah Ta’ala,
ي فتى ولكن تصديق الذى بي اكان حدي ثالقدكان ف قصصهم عبة ألول االلباب م
لقومن ي ؤمن ون يديه وت فصيل كل شىء وهدى ورحة
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang ynag mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita
yang dibuat-buat tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya
dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat
bagi kaum beriman.” (QS. Yusuf:111)
Inilah ayat terakhir dalam surat Yusuf yang seolah-olah mengajak
kita untuk mencermati tujuan dari kisah nabi Yusuf yang disebutkan
dalam surat secara keseluruhan. Telah disebutkan sebelumnya ayat
yang menjelaskan konsep kisah al-Qur’an dalam permulaan surat
Yusuf, yaitu firman Allah Ta’ala “Kami menceritakan kepadamu kisah
yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu…”
(QS. Yusuf: 3).29
Ketika kita mengamati kedua ayat itu maka kita menemukan
sebuah hal yang menarik. Ayat yang terdapat pada permulaan surat
kisah Yusuf a.s tersebut menjelaskan kepada kita sumber kisah-kisah
al-Qur’an, menyifatinya sebagai kisah terbaik dan memperkenalkan
kepada kita konsep al-Qur’an yang indah dalam mengambil kisah ini,
mencermati dan berinteraksi dengannya. Adapun ayat yang terdapat di
akhir surat ini mengisyaratkan kepada kita akan tujuan dari penyebutan
kisah ini dalam al-Qur’an dan seolah-olah mengajak kita untuk
29Shalah Al-Khalidy, Op.cit. hal. 31-32
33
mewujudkan tujuan ini dalam diri kita, sehingga kita justru tidak
menjadikan kisah itu sebagai tujuan.
Kisah al-Qur’an dijadikan sebagai ibrah (pelajaran). Ibrah diambil
dari akar kata ‘ubur’ yang berarti menyeberang. Ketika seseorang
menjumpai kisah-kisah orang dahulu dalam al-Qur’an, seolah-olah ia
menyeberang ke masa orang-orang dahulu, seolah-olah ia terlepas dari
ikatan masa dan tempat serta terbebas dari belenggu realita, melampaui
pandangan terbatas yang pendek, meluncur kepada dunia yang luas
dari sejarah orang-orang lama dan kisah orang-orang dahulu, lalu ia
hidup bersama mereka, memantau dan mengambil pelajaran dari
mereka.
Sesungguhnya kisah-kisah al-Qur’an merupakan sebuah khazanah
yang tidak akan habis dan sebuah mata air yang tidak akan kering,
tentang pelajaran, petunjuk, dan peringatannya, tentang keimanan dan
akidah, tentang amal dan dakwah, tentang jihad dan perlawanan,
tentang logika dan retorika, tentang kesabaran dan keteguhan, dan
tentang parameter aksiomatika.
Sesungguhnya pelajaran padanya hanya khusus bagi orang-orang
yang berakal dan orang-orang yang memilki nalar yang benar,
pandangan yang jernih, perhatian yang konkret, pengalaman dakwah,
dan kontribusi jihad. Akan tetapi orang-orang yang berakal (ulul
albab) memilki konsep lain dalam memahami kisah-kisah al-Qur’an,
yang dengannya mereka mewujudkan tujuan al-Qur’an yang mulia ini,
melaluinya mereka mendulang petunjuk, pelajaran, peringatan, dan
mereka tidak sudi untuk menyibukkan diri mereka dan orang lain
dengan apapun yang dapat menghalangi mereka dari petunjuk,
pelajaran, dan peringatan ini.30
30Shalah al-Khalidy, Ibid. hal. 28-34
34
4. Hikmah Kisah dalam Al-Qur’an
Kisah-kisah dalam al-Qur’an memilki beberapa macam hikmah
atau faedahnya, diantaranya sebagai berikut:
a. Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan
pokok-pokok syariat yang disampaikan para Nabi.
b. Memantapkan hati Rasulullah SAW dan umatnya dalam mengamalkan
agama Allah (Islam) dan menguatkan kepercayaan para mukmin
tentang akan datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-
orang yang sesat.
c. Mengabadikan usaha para Nabi dan peringatan bahwa para Nabi
terdahulu adalah benar.
d. Menempatkan kebenaran Nabi Muhammad SAW dalam dakwahnya,
dengan tepat beliau menerangkan keadaan umat-umat terdahulu.
e. Menyingkap kebohongan-kebohangan ahli kitab yang telah
menyampaikan isi kitab mereka yang murni dan mengoreksi pendapat
mereka.
f. Menanamkan akhlakul karimah dan budi yang mulia.
g. Menarik perhatian para pendengar yang diberikan pelajaran kepada
mereka.31
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian relevan yang sebelumnya pernah diteliti dan dikaji
adalah penelitian yang dilakukan oleh Sri Rahayu (2016) yang berjudul
“Nilai-nilai Pendidikan dalam Kisah Nabi Ibrahim dan Implementasinya
dalam Kepribadian Anak.” Dalam penelitian ini menunjukan bahwa kisah
nabi Ibrahim merupakan salah satu kisah yang syarat dengan nilai-nilai
pendidikan terutama pada kisah yang terdapat dalam surat ash-Shafaat [39]
ayat 100-111. Nabi Ibrahim telah berhasil menjalankan perannya sebagai
seorang pendidik utama dan pertama bagi anaknya.
Persamaan penelitian penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sri Rahayu adalah dalam penelitian ini membahas dan mengkaji tentang nilai-
31 Ahmad Syadali, dkk, Op.Cit. hal. 30-31
35
nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah nabi Ibrahim, dan metode
penelitian pun sama, yaitu menggunakan metode library research.
Adapun perbedaan penelitian penulis dengan Sri Rahayu terletak pada
kajiannya. Dalam penelitian yang dilakukan Sri Rahayu kajian penelitian
secara umum, tidak secara mendalam dan terperinci. Sedangkan dalam
penelitian penulis lebih mendalam, yakni mengkaji tafsir yang berkaitan
dengan kisah Nabi Ibrahim yang terdapat dalam surat ash-Shafat ayat 100-
111.
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek penelitian yang penulis kaji yaitu tentang nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam kisah nabi Ibrahim (kajian tafsir surat ash-Shafat ayat 100-111).
Adapun waktu yang dilaksanakan pada penelitian ini dimulai pada bulan
Agustus 2018 dengan perencanaan penelitian sebagai berikut: pada bulan
Oktober 2018 mencari dan mengumpulkan data-data beserta referensi-
referensi dari berbagai sumber, baik sumber primer maupun sumber skunder.
Selanjutnya, pada bulan November 2018 proses penganalisaan dari data-data
yang telah dikumpulkan
B. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif
dengan menggunakan pendekatan tafsir hermeneutic. Tafsir hermeneutik
merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa
dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian menarik
makna yang di dapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman
dan penafsiran tersebut di lakukan. Jika pendekatan hermeneutik ini
dipertemukan dengan kajian al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok
yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah
masyarakat, lalu difahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan di dialogkan
dengan dinamika realitas historisnya.1
Sedangkan metode yang penulis gunakan adalah metode tafsir
Tahlili, tafsir tahlili ialah mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi
dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan
dalam mushaf utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini mengurangi kosa
kata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
1 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Pustaka Pelajar, 1998), cet. I, hal.
31
37
kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat di-istinbath-kan dari ayat
serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan
surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu semua merujuk pada sebab-sebab
turun ayat, hadis-hadis Rasulullah dan riwayat para sahabat dan tabi’in.2
Menurut Said Agil Husin al-Munawar dalam buku yang berjudul
Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan karya Anshori,
terdapat empat aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menafsirkan
ayat dengan menggunakan metode Tahlili ini, diantaranya:
a. Menjelaskan arti kata-kata (mufradat) yang terkandung di dalam suatu
ayat yang ditafsirkan.
b. Menjelaskan asbab an-Nuzul, baik secara asbabi atau ibtida’i.
c. Menyebutkan kaitan ayat yang satu dengan ayat yang lain (munasabah
al-Ayat) dan hubungan antara surat dengan surat yang lain baik
sebelum atau sesudahnya (munasabah al-Surat).
d. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat tersebut, baik
yang berkaitan dengan hukum, tauhid, akhlak, atau yang lainnya.3
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat al-Qur’an terhadap
maksud ayat al-Qur’an yang lain. Termasuk dalam tafsir bi al-ma’tsur
adalah penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis yang diriwayatkan dari
Rasulullah, penafsiran sahabat dengan pendapat para sahabat berdasarkan
ijtihad mereka, dan penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in.4
2. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang
berkaitan dengan tema yang diambil dalam penelitian ini, dengan
mengambil sumber-sumber yang bersifat primer, yakni dari kitab al-
Qur’an dan tafsirnya. Seperti tafsir al-Misbah, tafsir al-Maraghi, tafsir
Jalalain, dan tafsir al-Azhar. Adapun data yang bersifat sekunder yaitu dari
buku-buku yang membahas berkaitan dengan kisah-kisah nabi Ibrahim
2Said Agil Husin Munawar, Op.cit. hal. 69 3Anshori, Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2013), cet. I, hal. 208 4Said Agil Husin Munawar, Op.cit. hal.70
38
dengan nabi Ismail dan buku-buku yang masih berkaitan dengan tema
yang diambil oleh penulis
C. Fokus Penelitian
Pada penelitian ini penulis memfokuskan penelitian mengenai isi
kandungan surat ash-Shafat ayat 100-111, bagaimana kisah nabi Ibrahim yang
terkandung dalam ayat tersebut, serta nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung didalamnya.
D. Prosedur Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam analisis data, penulis menggunakan dengan teknik pengumpulan
data berupa dokumen-dokumen, artikel-artikel, buku-buku yang terkait,
beserta kitab-kitab tafsir, yang kemudian penulis analisis untuk
memperoleh data informasi yang berhubungan dengan tujuan penelitian,
maka sumber datanya meliputi:
a. Data Primer
Yaitu data yang berasal dari sumbernya, dalam hal ini adalah buku-
buku yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang dibahas. Jadi
pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan tafsir
tahlili. Melalui pendekatan ini diupayakan untuk memahami makna
yang terkandung dalam surat as-Shafat ayat 100-111.
b. Data Skunder
Yaitu data yang tidak langsung yang berupa catatan-catatan atau buku-
buku yang berisikan pengetahun tentang al-Qur’an, buku-buku tentang
pendidikan, serta sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan
pembahasan.
2. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah suatu kegiatan untuk mengelompokkan,
membuat suatu urutan, memanipulasi, serta menyingkat data sehingga
mudah untuk dibaca dan dipahami. Dengan perkataan lain, kegiatan
analisis data adalah data mentah yang telah dikumpulkan perlu
39
dikategorisasikan atau dibagi atas beberapa kategori/kelompok, dilakukan
manipulasi, serta disingkat sedemikian rupa sehingga data dapat menjawab
masalah sesuai dengan tujuan penelitian, dan dapat menguji hipotesis.
Kegiatan melakukan manipulasi terhadap data mentah berarti mengubah
data mentah menjadi suatu bentuk yang mudah untuk memperlihatkan
hubungan antara beberapa fenomena.5
Dalam menganalisis suatu data, penulis menggunakan metode
tafsir tahlili dengan beberapa langkah, diantaranya:
1. Penulis memulai dengan menjelaskan kosa kata yang terdapat dalam
surat ash-Shafat ayat 100-111, yang mana dengan menjelaskan kosa
kata terdapat dari masing-masing ayat mengacu pada kitab-kitab tafsir.
2. Setelah menjelaskan kosa kata ayat per-ayat, kemudian penulis
menjelaskan munasabah atau hubungan dengan ayat-ayat yang masih
berkaitan dengan kisah nabi Ibrahim dalam surat ash-Shafat ayat 100-
111.
3. Menjelaskan makna yang terkandung dalam surat ash-Shafat ayat 100-
111 dengan dibantu dari penjelasan ayat atau hadits atau ilmu yang
berkaitan dengan ayat tersebut. Pada tahap ini penulis menjelaskan
makna yang terkandung dalam surat ash-Shafat ayat 100-111 dengan
menggunakan literatur dari kitab tafsir, kemudian hadits-hadits
Rasulullah yang berkaitan dengan makna tersebut, serta buku-buku
penunjang seperti buku pendidikan akhlak. Selain itu pada tahap ini
juga penulis menganalisis nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandunng dalam surat ash-Shafat ayat 100-111 sesuai dengan
runtutan ayat.
4. Setelah menjelaskan makna ayat dan menganalisisnya, selanjutnya
mencari kesimpulan dari surat ash-Shafat ayat 100-111. Kesimpulan
dari penelitian ini berkaitan tentang apa saja isi kandungan surat ash-
Shafat ayat 100-111, bagaimana kisah nabi Ibrahim yang terkandung
5Sofar Silaen dan Widiyono, Metodologi Penelitian Sosial Untuk Penulisan Skripsi dan
Tesis, (Jakarta: In Media, 2013), hal. 177
40
dalam ayat tersebut, serta nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung didalamnya.
41
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Hidup Nabi Ibrahim a.s
Ibrahim lahir di Kawasan Damaskus, ayahnya bernama Azar, seorang
pembuat patung sekaligus penyembahnya. Pemuda Ibrahim yang telah
mendapat hidayah dari Allah, merasa gelisah dengan keyakinan ayahnya itu.
Melihat hal tersebut Ibrahim lantas dengan santun mengajak ayah dan
kaumnya untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan penghambaan pada
berhala. Akan tetapi, ajakan itu tidak mendapat respons yang baik. Ibrahim
pun akhirnya menghancurkan berhala-berhala yang mereka sembah itu dan
menyisakan satu berhala yang paling besar.
Ketika mereka jumpai berhala-berhala sembahan itu hancur, mereka
langsung menuduh Ibrahim sebagai pelaku penghancuran. Ibrahim pun
akhirnya diadili. Dalam pengadilan itu, dia mengajukan pembelaan bahwa
perusak berhala-berhala itu adalah berhala yang paling besar. Pembelaan
Ibrahim tersebut ternyata tidak diterima oleh kaumnya sehingga akhirnya
terjadi perdebatan yang berakhir dengan utusan bahwa Ibrahim harus dibakar.
Allah segera menolongnya sehingga Ibrahim selamat. Tak sedikit pun
tubuhnya hangus oleh api.
Banyaknya cobaan tidak membuat Ibrahim surut dalam berdakwah. Ia pun
lalu menyeru raja Namrud. Perdebatan sengit terjadi antara mereka berdua dan
berakhir dengan ketidak mampuan Namrud melanjutkan perdebatan. Kejadian
itu menolong Ibrahim untuk meningkatkan diri dari maqam ‘ilm al-yaqiin ke
maqam ‘ain yaqiin. Ia bertanya kepada Allah tentang bagaimana caranya
menghidupkan orang mati. Allah pun menyuruh Ibrahim menyembelih burung
dan memotong-motongnya menjadi beberapa bagian. Masing-masing bagian
diletakan di gunung yang berbeda-beda. Lantas Ibrahim memanggilnya.
Dengan seizin Allah, burung itu hidup kembali dan datang menghampirinya.51
51Syihabuddin Qalyubi, Stalistika Al-Qur’an Makna di Balik Kisah Ibrahim, (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2009), cet. I, hal. 32-33
42
Bersama Sarah, istrinya, dan Luth, keponakannya, Ibrahim mengadakan
perjalanan dakwah ke Syam (Syria). Pada waktu itu, penduduk Syam
menyembah bintang. Di sini, terjadilah dialog tentang fenomena alam dengan
mereka. Dari Syam mereka melanjutkan perjalanan dakwah ke Mesir. Raja
Mesir terkenal bengis dan bermaksud menodai Sarah. Akan tetapi, kemudian
ia menyadari kesalahannya. Sarah di hadiahi seorang hamba sahaya bernama
Hajar yang kemudian dinikahi oleh Ibrahim. Dari Mesir mereka kembali ke
Palestina.
Pada awalnya, sebenarnya Sarah ikhlas untuk dimadu. Akan tetapi, setelah
Hajar melahirkan Ismail, kecemburuan tampak pada dirinya. Untuk
menyelamatkan bahtera rumah tangganya, atas petunjuk Allah, Ibrahim
membawa Hajar dan Ismail ke Makkah. Dari situ, mulailah mereka menjalani
kehidupan baru di lembah Makkah ini. Berawal dengan perjuangan berat,
mereka bertahan untuk hidup. Lantas datanglah pertolongan Allah dengan
munculnya mata air zam-zam. Melalui mimpi, Ibrahim mendapat ujian
keimanan berupa perintah Allah untuk menyembelih Ismail, putera
kesayangannya. Setelah lulus ujian, Ibrahim dan Ismail mendapat perintah
dari Allah untuk membangun dan memelihara Baitullah.
Di Palestina, Sarah mendapat kabar gembira dari Allah melalui malaikat.
Dia akan dikaruniai seorang anak yang bernama Ishaq. Sarah sangat senang
mendengar berita ini. Akan tetapi, hatinya was-was. Ia menyadari bahwa
usianya sudah lanjut dan merasa tidak mungkin lagi mendapatkan keturunan.
Meskipun demikian, bagi Allah hal itu bukanlah hal yang sulit. Ishak pun
lahir. Lebih lanjut, dari Ishaq lahirlah Ya’kub. Nasab ini berlanjut hingga lahir
para Nabi dan para Rasul yang menyeru umat-umatnya untuk beriman dan
hanya beribadah kepada Allah.52
B. Al-Qur’an Surat As-Shafat Ayat 100-111
Surat ash-Shafat adalah surat Makiyyah, yakni turun sebelum nabi
Muhammad saw berhijrah ke Madinah. Surah ini merupakan surat yang ke 56
dari segi perurutan turunnya. Ia turun sesudah surah al-An’am dan sebelum
52Syihabuddin Qalyubi, Ibid, hal. 33-34
43
surah Luqman. Yang terdiri dari 182 ayat, menurut cara perhitungan mayoritas
ulama.53
Secara bahasa ash-Shafat berarti yang berbaris-baris, kalimat yang pertama
daripada ayat yang pertama. Yang disebutkan berbaris-baris ialah Malaikat-
malaikat Tuhan di alam Malakut, yang tidak tahu berapa juta bilangannya,
kecuali Allah sendiri. Dalam permulaan surat ini diterangkan dari hal
malaikat. Selain dari yang berbaris rapat dengan teratur untuk melaksanakan
perintah Tuhan, ada lagi malaikat yang bertugas delam pergaulan yang lebih
tinggi di langit ke tujuh tingkat, di luar jangkauan kita.54
Selain itu, dalam surat ini pula diterangkan beberapa orang Nabi dan Rasul
yang berjuang keras melakukan dakwah kepada kaumnya masing-masing.
Mereka telah melakukan tugas yang amat berat. Dalam surat ash-Sahafat ini
adalah tujuh Nabi yang ditonjolkan: Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Luth,
Ilyas, dan Yunus. Yang teramat menarik perhatian ialah bahwa dalam surat ini
yang lebih terperinci diterangkan tentang wahyu yang diterima nabi Ibrahim
yang berupa perintah untuk mengurbankan putranya yaitu Ismail. Bagaimana
nabi Ibrahim di uji kemana berat cintanya, kepada Allah kah atau kepada
anaknya. Rupanya perintah itu dilaksanakannya dengan tidak ragu-ragu dan si
anak pun mendorong dan menggalakkan ayahnya supaya segera melaksanakan
perintah itu.55
1. Ayat dan Terjemah
ال ى ق ع الس ه ع م غ ل ب ام ل ف () م ي ل ح لم غ ب نه ر ش ب ف () ي ح ل الص ن م ل ب ه ب ر ن إ ن د ج ت س ر م ت ما ل ع اف ت ب ي ال ق ىر ت ااذ م ر ظ ان ف ك ب ذ ا ن أ ام ن م ال ى ف ر ا ن إ ن ب ي () م ي اه ر ب ي ن أ نه ي د ن و () ي ب ج ل ل ه ل ت و ام ل س أ ام ل ف () ن ي ب الص ن م هللا اء ش نه ي د ف و () ي ب م ال ء ل ب ال و ل اهذ ن إ () ي ن س ح م ى ال ز ن ك ذل ك ن ا ي ء الر ت ق د ص د ق
53 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 4 54 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar Juz 23, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1994), hal. 86 55 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Ibid. hal. 87
44
ى ز ن ك ذل ك () م ي ه ار ب ى إ ل ع لم س () ن ي ر خ األ ف ه ي ل ع ان ك ر ت و () م ي ظ ع ح ب ذ ب () ي ن م ؤ م ال ن م ه ن إ () ي ن س ح م ال
100. Yaa Rabbku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak (yang
termasuk orang-orang yang saleh)
101. Maka kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat
sabar.
102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’
103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan
anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
104. Dan kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim,
105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu’, sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik.
106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
107. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) dikalangan
orang-orang yang datang kemudian,
109. yaitu ‘kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’,
110. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik
111. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman
2. Tafsir Mufradat
Kata (حليم) terambil dari kata yang terdiri dari huruf-huruf ha’, lam dan
45
mim, yang mempunyai tiga makna dasar, yaitu tidak tergesa-gesa, lubang
karena kerusakan serta mimpi.
Kabar gembira yang disampaikan itu, mengandung isyarat bahwa
anak tersebut adalah anak laki-laki. Ini dipahami dari kata ghulam. Ayat di
atas dari sifatnya sebagai orang yang haliim/penyantun, karena seorang
yang belum dewasa tidak dapat menyandang sifat tersebut.56
Pada kata ( رىأ ) saya melihat, (أذبك) saya menyembelihmu dan
diperintahkan menggunakan bentuk kata kerja mudhari’ (masa kini (تؤمر)
dan datang). Ini untuk mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lihat itu
seakan-akan masih terlihat hingga saat penyampainnya itu. Sedang
penggunaan kata tersebut untuk kata menyembelihmu untuk
mengisyaratkan bahwa perintah Allah yang dikandung mimpi itu belum
selesai dilaksanakan. Karena itu pula jawaban sang anak menggunkaan kata
kerja masa kini juga untuk mengisyaratkan bahwa ia siap, dan bahwa
hendaknya sang ayah melaksanakan perintah Allah yang sedang maupun
yang akan diterimanya.57
Kata (تل ه) terambil dari kata (الت ل) yakni tempat tinggi. Ada juga
yang memahaminya dalam arti itu tumpukan pasir/tanah yang keras. Kata
tallahu dari segi bahasa berarti melempar atau menjatuhkan seseorang ke
atas tumpukan. Maksud ayat ini adalah membaringkan dan meletakkan
pelipisnya dengan menatap pada satu tempat yang mantap dan keras, agar
tidak bergerak.58
Kata وفدينه maksudnya anak yang diperintahkan untuk disembelih
(nabi Ismail). yakni dengan domba yang sama dengan domba yang
56 M. Quraish Shihab, Op. cit. hal. 61-62
57 M. Quraish Shihab, Op. cit. hal. 63 58 M. Quraish Shihab, Ibid. hal. 65
46
dijadikan kurban oleh Habil. Domba itu dibawa oleh malaikat Jibril, lalu
nabi Ibrahim menyembelihnya seraya membaca takbir.59
3. Tafsir
( ي ح الص ل ن م ل ب ه ب ر ) Tuhanku, berilah aku anak-anak yang taat,
yang dapat membantu aku dalam berdakwah dan menjadi hiburanku di
perantauan, dan mereka bakal menjadi pengganti dari kaumku dan
keluargaku yang telah aku tinggalkan. Tuhan mengabulkan do’a Ibrahim,
dengan firmanNya:
( م ي ل ح لم غ ب نه ر بش ف ) Maka Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim dengan
bakal lahirnya seorang lelaki yang ketika mencapai dewasa, dia menjadi
anak yang sangat sabar.
Kedewasaan anak Ibrahim itu dapat dimengerti dan disifatinya dia
sebagai seorang yang halim. Karena, sifat seperti itu memang lazim pada
umur dewasa, disamping jarang sekali terdapat dikalangan anak-anak kecil
sikap lapang dada, kesabaran yan baik dan ketidakliaran terhadap segala
hal. Dan anak ini ialah Ismail as. karena Ismaillah anak yang pertama-tama
diberitakan kepada Ibrahim sebagai kabar gembira. Dia lebih besar
daripada Ishaq, demikian menurut kesepakatan para ulama, baik dari
kalangan ahli kitab maupun kaum muslimin.
Memang, kesabaran manakah yang seperti kesabaran Ismail karena
dikala dia hampir dewasa, ayahnya datang kepadanya dan menyatakan
hendak menyembelihnya, namun dia berkata
ن ي الص ب ن م هللا اء ش ن إ ن د ج ت س “Engkau akan mendapatiku, insya Allah termasuk orang-orang yang
sabar.” (QS. Ash-Shafat [37]: 102)60
59Imam Jalaludin Al-Mahalli dan Imam Jalaludin As-Suyuti, Tafsir Jalalain Berikut
Asbaabun Nuzul Ayat , (Jakarta: Sinar BAru Algensindo, 1987), hal. 1937 60Ahmad musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz XXIII, (Semarang: Toha Putra,
1993), hal. 125
47
( ىر ات اذ م ر ظ ان ف ك ب ذ أ ن أ ام ن م ال ى ف ر أ ن إ ن ب ي ال ق ي ع الس ه ع م غ ل ا ب م ل ف )
dan tatkala Ismail menjadi besar, tumbuh dan dapat pergi bersama
ayahnya berusaha melakukan pekerjaan-pekerjaan dan memenuhi
keperluan-keperluan hidupnya, maka berkatalah Ibrahim kepadanya, “Hai
anakku, sesungguhnya aku telah bermimpi bahwa aku menyembelih ka,u.
maka bagaimanakah pendapatmu?” Mimpinya itu dia ceritakan kepada
anaknya, dia tahu bahwa yang diturunkan kepadanya adalah cobaan dari
Allah, sehinga ia hendak meneguhkan hatinya kalua-kalau dia gusar dan
hendak menentramkan jiwanya untuk menunaikan penyembelihan,
disamping agar dia menginginkan pahala Allah dengan tunduk kepada
perintah-Nya. Kemudian Allah menerangkan bahwa Ismail itu mendapat
dan patuh serta tunduk kepada apa yang diperintahkan kepada ayahnya.
( ر م ؤ ات م ل ع اف ت ب ي ال ق ) Ismail berkata: Hai ayahku, engkau telah
menyeru kepada anak yang mendengar, dan engkau telah meminta kepada
anak yang mengabulakan dan engkau telah berhadapan dengan anak yang
rela dengan cobaan dan putusan Allah. Maka, Bapak tinggal
melaksanakan saja yang diperintahkan, sedang aku hanyalah akan patuh
dan tunduk kepada perintah, dan akau serahkan kepada Allah pahalanya,
karena Dial ah cukup bagiku dan sebaik-baik tempat berserah diri.
Setelah Ibrahim berbicara kepada anaknya dengan ucapannya, yaa
Bunayya sebagai ungkapan kasih sayang, maka dijawab anaknya dengan
mengucapkan yaa Abatii, sebagai ungkapan tunduk dan hormat, dan
menyerahkan urusan kepada ayahnya, sebagaimana yang dia rundingkan
dengannya. Dengan bahwa kewajibannya hanyalah melaksanakan apa
yang dipandang baik oleh ayahnya.61
Kemudian, dia tegaskan tentang kepatuhannya kepada perintah
dengan katanya:
ن ي الص ب ن م هللا اء ش ن ا ن د ج ت س 61Ahmad musthafa al-Maraghi, Ibid. 129
48
Aku akan sabar menerima putusan dan sanggup menanggung penderitaan
tanpa gusar dan tanpa gentar dengan apa yang telah ditakdirkan dan
diputuskan. Dan memang benar-benar Ismail menepati apa yang dia
janjikan, dan melaksanakan dengan baik kepatuhan dalam menunaikan apa
yang diperintahkan kepadanya. Oleh sebab itu, Allah swt berfirman
tentang dirinya dengan menguji kepadanya:
د ع و ال ق اد ص ان ه ك ن إ ل ي ع س إ تب ك ال ف ر ك اذ و “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang
tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya dia adalah seorang yang
benar janjinya.” (QS. Maryam [19]: 54)
( ي ب ج ل ه ل ل ت و ام ل س ا ام ل ف ) Dan tatkala kedua orang itu telah berserah diri dan
tunduk kepada perintah Allah dan menyerahkan segala urusan kepada
Allah swt, tentang qada dan qadarnya, dan Ibrahim telah menelungkupkan
wajah anaknya dengan memberi isyarat kepadanya, sehingga ia tidak
melihat wajah anaknya itu yang bisa mengakibatkan rasa kasihan
kepadanya. Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ismail berkata kepada ayahnya,
“Janganlah engkau menyembelihku sedang engkau melihat kepada
wajahku. Boleh jadi engkau kasihan kepadaku sehingga tidak tega
padaku. ikatlah tangan dan leherku. kemudian letakkan wajahku
menghadap tanah.” Maka Ibrahim pun menuruti permintaan anaknya. ( ي ؤ الر ت ق د ص د ق م ي ره ب ي ن أ نه ي د ن و ) malaikat suruhan Allah swt menyeru
Ibrahim dari belakangnya, sesungguhnya telah terlaksana apa yang
dimaksud dari mimpimu, karena engkau telah membaringkan anakmu
untuk disembelih.62 Dan telah nyata kepada perintah dan kesabarannya
menerima keputusan Allah. Dan pada saat itulah kedua orang itu
bergembira dan bersyukur kepada Allah atas nikmat ynag dianugerahkan
kepada keduanya, berupa dihindarkannya mereka berdua dari cobaan yang
62 Ahmad musthafa al-Maraghi, Ibid. 130
49
menimpa, dan atas taufik Allah kepada sesuatu yang Allah tidak memberi
taufik ke arah yang seperti itu kepada selain mereka berdua, disamping
dinyatakannya keutamaan mereka berdua dan diperolehnya pahala dari
Tuhan mereka berdua. ( ي ن س ح م ى ال ز ن ك ذل ك ن ا ) sesungguhnya sebagaimana Kami
memaafkan Ibrahim dari menyembelih anaknya setelah nyata
keikhlasannya dalam beramal, ketika dia telah mempersiapkan segala
sesuatunya dan tak bisa dikalahkan oleh perasaan belas kasihan kepada
anaknya. Lalu dia rela melaksanakan keputusan Allah dengan tunduk dan
patuh, maka Kami pun memberi balasan kepadanya dengan sempurna,
sesuai dengan yang patut dia terima dan setimpal dengan yang dia peroleh. ( ي ب م ال الؤ ب ال و ا ل هذ ن ا ) sesungguhnya peristiwa yang terjadi ini
benar-benar merupakan cobaan besar dan ujian yang tiada tara terhadap
hamba-hamba Allah. Dan Allah boleh saja mencoba siapa saja diantara
hamba-hamba-Nya dengan beban-beban apa saja yang Dia kehendaki.
Karena, Dia Maha melaksanakan putusan-Nya dan tak ada yang mampu
menghalangi takdir-Nya. Sementara itu, memang banyak beban yang tidak
kita ketahui rahasia-rahasia hikmahnya, namun Allah tahu tentang apa
yang karenanya beban-beban itu disyariatkan.63 (م ي ظ ع ح ب ذ ب نه ي د ف و ) dan Kami menebus anak Ibrahim itu dengan seekor
domba yang diturunkan kepadanya dari gunung khaidar, demikian kata
Hasan al-Bishri. Dan agaknya, kita tidak perlu menambah apa yang sudah
dikatakan dalam al-Kitab.
(ن ي ر خ اال ف ه ي ل ع ان ك ر ت و ) dan Kami kekalkan untuk Ibrahim pujian yang baik di
kalangan manusia di dunia, sehingga dia menjadi orang yang dicintai di
kalangan semua orang dari agama dan aliran mana pun. Orang-orang
63 Ahmad musthafa al-Maraghi, Ibid. 131
50
Yahudi, Nasrani, dan Islam mengagungkannya, bahkan orang-orang
musyrik tetap menghormatinya.
Kemudian Allah menyebutkan bahwa Dia mengaruniakan kepada
Ibrahim karunia yang ketiga, firman-Nya:
(م ي اه ر ب لى ا ع لم س )
Dan Kami katakana kepada Ibrahim, “Salam sejahtera kepadamu di
kalangan para malaikat, manusia dan jin.”64
C. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Ash-Shafat Ayat 100-111
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada
nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Turunnya al-Qur’an itu
sebagai pedoman dan pegangan untuk orang-orang yang beriman. Dalam
al-Qur’an mengandung berbagai macam kandungan, pelajaran, perundang-
undangan yang mengatur kehidupan manusia maupun cara berhubungan
baik dengan Tuhannya. Dalam al-Qur’an pula terdapat kisah-kisah, seperti
kisah-kisah para nabi, kisah orang-orang shaleh yang di abadikan dalam
al-Qur’an, sampai kisah orang-orang yang durhaka kepada Allah pun
terdapat dalam al-Qur’an. Yang mana dari berbagai macam kisah-kisah
tersebut kita bisa mengambil pelajaran, sehingga kita dapat mengikuti
jejak dari kisah-kisah yang baik, dan menjauhi diri dari kisah yang
menghantarkan kita pada kesesatan.
Salah satu kisah yang dapat kita ambil pelajaran, penulis mengambil
dari kisah nabi Ibrahim yang diberikan ujian begitu berat, yaitu nabi
Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putra yang sangat
disayanginya. Dan kisah tersebut terdapat dalam surat ash-Shafat ayat 100-
111.
Nabi Ibrahim bukanlah hanya seorang Rasul, tetapi ia juga
merupakan seorang ayah dan suami yang sukses dalam mendidik
keluarganya. Beliau adalah suri tauladan bagi seluruh umat. Ada banyak
sifat mulia yang diajarkan dan dicontohkan oleh nabi Ibrahim, baik
64Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Ibid. 132
51
dilingkungan luar rumah ketika ia berdakwah, maupun didalam
lingkungan keluarga. Keberhasilan beliau mendidik anaknya tercermin
dari kisah penyembelihan Ismail, dalam kisah ini terlihat jelas, sang ayah
yang shalih ini menuntun dan mendidik anaknya dengan sangat bijak.
Dari kisah nabi Ibrahim inilah kita dapat menganalisis terdapat
nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung didalamnya, diantaranya:
1. Sabar
Secara harfiah, sabar berasal dari kata shabara-yashbiru-shabran
yang artinya menahan atau mengekang. Sabar dalah menahan diri dari
bersikap, berbicara, dan bertingkah laku yang tidak dibenarkan oleh Allah
swt. dalam berbagai keadaan yang sulit, berat, dan mencemaskan. Sabar
juga bermakna ketabahan dalam menerima suatu kesulitan dan kepahitan,
baik secara jasmani seperti menanggung beban dengan badan berupa
beratnya suatu pekerjaan, sakit, dan sebagainya, juga sabar secara rohani
seperti menahan keinginan tidak benar. Kata sabar mengandung makna
yang luas dalam berbagai keadaan, sehingga istilahnya berbeda-beda.
Ketika seseorang mendapatkan musibah musibah, dia harus bersabar.
Ketika seseorang hidup berkecukupan atau berlebihan, dia harus
mengendalikan hawa nafsu yang disebut dengan zuhud. Jika seseorang
menghadapi peperangan, kesabarannya disebut syaja’ah (berani). Jika
seseorang marah kesabarannya adalah lemah lembut (al-Hilmu). Jika
seseorang menghadapi bencana, sabarnya adalah lapang dada, jika
menyimpan perkataan (rahasia), sabarnya adalah kitmaanus-sirri, jika
memperoleh sesuatu yang tidak banyak, sabarnya adalah qana’ah
(menerima).65
Kesabaran yang dimiliki nabi Ibrahim sudah tidak diragukan lagi,
berbagai macam ujian dan cobaan yang diujikan dari Allah kepadanya
berhasil dilalui dengan penuh kesabaran. Dimulai dari cobaan tidak
dikaruniai seorang anak sampai diusia senja, sehingga ia dengan tenang
berhijrah meninggalkan kampung halaman dengan penuh harapan
65 Ahmad Yani, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, (Jakarta: Al-Qalam, 2007), hal. 125
52
mendapat keturunan. Selanjutnya beliau tetap sabar dalam menghadapi
kaumnya yang membangkang, dan tidak mendengarkan serta tidak mau
meyakini apa yang telah diserukan oleh nabi Ibrahim kepada kaum
tersebut, bahkan ketika nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup gara-gara ia
menghancurkan berhala-berhala yang disembah kaumnya. Sampai pada
cobaan terberat dalam hidup nabi Ibrahim, yaitu ketika putra yang dinanti-
nantikan selama berpuluh-puluh tahun lamanya, diperintahkan oleh Allah
untuk dikurbankan atau sembelih. Akan tetapi, nabi Ibrahim tetap
menjalankan perintah itu dengan penuh kesabaran.
Selanjutnya, kesabaran yang agung juga dimiliki oleh istrinya,
Hajar. Ketika Allah memerintahkan Ibrahim agar pindah bersama Hajar
dan Ismail ke kota suci Makkah, yang mana pada saat itu kondisi Makkah
masih gersang dan tandus, tidak ada pepohonan, tidak ada air, dan tidak
ada seorang pun di daerah itu. Lalu Ibrahim meninggalkan keduanya
(Hajar dan Ismail) dengan sedikit air dan kurma dari nabi Ibrahim. Hajar
tetap sabar, ia tidak menggerutu dan tidak pula sedikitpun marah kepada
suaminya yang meninggalkan dirinya dan putranya. Kesabaran Hajar
lanjut diuji, setelah berhari-hari tinggal dilembah yang tandus dan gersang
itu, Hajar yang tengah menyusui Ismail, ia merasa kerongkongannya
kering dan Ismail terus menangis karena kehausan. Lalu Hajar pun berlari-
lari untuk mencari air ke bukit Shafa, akan tetapi air yang dicari tidak
kunjung ada. Dibawah teriknya matahari, dengan sabar Hajar masih
berusaha mencari air di bukit Marwah. Hingga akhirnya buah kesabaran
itu berakhir, tiba-tiba ada air yang memancar dari bawah kaki Ismail yang
masih mungil.
Seperti halnya sebuah pepatah mengatakan “Buah jatuh tak jauh
dari pohonnya”, berkat kesabaran dari kedua orangtua (nabi Ibrahim dan
Sarah) sifat kesabaran ini diwarisi putranya, Ismail. Melalui cerita dari
orang-orang terdekatnya mengenai sosok ayahnya yang begitu penyabar
dalam mengahadapi berbagai macam cobaan dahulu, membuat Ismail
53
bersedia untuk dikurbankan dan membantu ayahnya untuk mentaati dan
menjalankan perintah dari Allah. Ini bisa kita lihat dalam firman-Nya:
ن ي ب الص ن م هللا اء ش ن إ ن د ج ت س ر م ؤ ات م ل ع اف ت ب أ ي ال ق …“Ia (Ismail) menjawab: ‘Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar.’ ” (QS. Ash-Shafat: 102)
Dari sinilah sudah semestinya kita senantiasa bersabar dalam
segala hal, baik sabar dalam menghadapi cobaan, sabar dalam
menjalankan ketaatan, dan tak kalah penting ialah sabar dalam mendidik
anak. Jika kita telusuri dalam al-Qur’an dan hadis, kita akan menemukan
sebuah ketetapan bahwa keberuntungan itu akan senantiasa menaungi
orang-orang yang bersabar. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
ق ل ب او اص و ت و حت والص ل ل م ع و او ن ام ن ي ذ ال ال ا ()ر س ي خ ف ل ان س ن اال ن ا ( ) ر ص ع ال و ()ب لص ب او اص و ت و
“Dan demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling
menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
(QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Dalam surat al-Baqarah ayat 155-157 pula Allah memberi kabar
gembira kepada hamba-hamba-Nya yang bersabar dalam menghadapi
ujian, mereka akan mendapatkan keberkahan dan rahmat dari Allah,
firman Allah yang artinya:
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar
gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka berkata: ‘inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami
kembali). Merekalah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari
Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.
Al-Baqarah: 155-157)
54
2. Taat
Ketaatan dan kepatuhan nabi Ibrahim dan putranya kepada Allah
swt. terlihat saat Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk menyembelih
anaknya yang bernama Ismail, dengan penuh ketaatan beliau menjalankan
perintah tersebut, dengan segera ia membicarakan perihal perintah Allah
untuk menyembelih Ismail lewat mimpi itu, sebagaimana dalam petikan
ayat berikut:
ىر ات اذ م ر ظ ان ف ك ب ذ أ ن أ ام ن م ال ى ف ر أ ن إ ن ب ي ال ق “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasanya aku menyembelih
engkau. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.”
Ketaatan dan kepatuhan ini dijelaskan pula dalam surat al-Baqarah
ayat 131:
ي م عل ال ب ر ل ت م ل س أ ال ق م ل س ه أ ب ه ر ل ال ق ذ إ “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim
menjawab: ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam’.” (QS. Al-
Baqarah: 131)
Selanjutnya pada ayat 132, Allah menjelaskan bahwa ketaatan nabi
Ibrahim juga ia wasiatkan kepada anak cucunya. Kepatuhan nabi Ibrahim
tidak ia miliki sendiri, tapi beliau sebarkan kepada keturunan-
keturunannya. Berkat ketaatan dan kepatuhannya kepada Allah,
sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir al-Maraghi, Allah swt
menganugerahkan kepada nabi Ibrahim empat karunia, yaitu:
a. Nabi Ibrahim mendapatkan karunia berupa anak yang sangat sabar
b. Allah kekalkan untuk Ibrahim pujian yang baik di kalangan manusia di
dunia, sehingga ia menjadi orang yang dicintai dikalangan semua
orang dari agama (Yahudi, Nasrani, Islam dan orang-orang musyrik)
dan aliran mana pun.
c. Allah mengatakan kepada Ibrahim, “salam sejahtera kepadamu
dikalangan para ,malaikat, manusia, dan jin.”
d. Allah memberikan kepada Ibrahim, Ishaq, dan mengkaruniakan
padanya nikmat kenabian kepada Ishaq dan kepada sekian banyak
55
diantara cucunya. Allah perbanyak anak cucunya dan dijadikan
diantara mereka nabi-nabi dan rasul-rasul, sebagai balasan atas
kepatuhannya kepada perintah Allah dan kesabarannya dalam
menghadapi berbagai macam cobaan.66
3. Istiqamah (Teguh Pendirian)
Kata istiqamah berasal dari kata yang tersusun dari huruf qaf, waw,
dan mim yang menunjukkan dua makna. Makna pertama adalah kumpulan
manusia (kaum) dan makna kedua adalah berdiri atau tekad yang kuat.
Dari makna yang kedua, istiqamah diartikan dengan I’tidal (tegak atau
lurus).
Sedangkan menurut istilah, istiqamah adalah menempuh jalan yang
lurus yang tidak bengkok ke kanan dan tidak pula bengkok ke kiri. Hal itu
mencakup semua bentuk ketaatan, baik lahir maupun batin, dan
meninggalkan semua larangan.
Adapun menurut Ibnu Hajar, istiqamah adalah kiasan dari
mematuhi perintah-perintah Allah swt, baik dalam bentuk perbuatan
mengerjakan sesuatu maupun meninggalkannya.67
Ketika nabi Ibrahim dan Ismail hendak melaksanakan perintah
Allah yaitu menyembelih putranya, setan dan iblis datang dan mengusik
keyakinan Ibrahim dalam menjalankan perintah tersebut. Setan dan iblis
terus-menerus menggoda, merayu, mengelabui agar rencana nabi Ibrahim
untuk menyembelih putranya dibatalkan. Akan tetapi, dengan keteguhan
hati dan niat untuk membenarkan bahwa itu adalah benar-benar perintah
dari Allah, Ibrahim pun tetap melaksanakan penyembelihan itu.
Terlepasnya nabi Ibrahim dari godaan dan rayuan setan itu tidak
lain karena keimanan yang begitu sempurna yang melekat pada diri nabi
Ibrahim, hal ini dapat kita lihat bahwasanya terdapat beberapa ayat yang
menyebutkan secara tidak langsung bahwa nabi Ibrahim dijuluki sebagai
66Ahmad Musthafa al-MAraghi, op. cit. hal. 132-133 67Mahmud Al-Mishri, Op.cit. hal. 763-764
56
bapak agama. Selain itu, nabi Ibrahim di juluki sebagai khalila,
sebagaimana dalam firman-Nya yang berbunyi:
م ي اه ر ب ا هللا ذ ات و اف ي ن ح م ي اه ر ب ا ة ل م ع ب ات و ن س م و ه و ه لل ه ج و م ل س ا ن م ان ي د ن س ح ا ن م و ل ي ل خ
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan
ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan dan
mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim
menjadi kesayangannya.” (QS. An-Nisa: 125)
Dalam buku yang berjudul Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur’anul
Karim karya Teungku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, kata خليل merujuk
pada kedudukan yang tinggi yang diperoleh oleh nabi Ibrahim dan nabi
Muhammad saw.68
Ayat yang senada juga dengan ayat diatas terdapat dalam surat an-
Nahl ayat 120, yang berbunyi:
ي ك ر ش م ال ن م ك ي ل و اف ي ن ح لل ات ان ق ة م ا ان ك م ي اه ر ب ا ن ا “Sungguh Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan),
patuh kepada Allah dan ‘hanif’. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik
(yang mempersekutukan Allah).” (QS. An-Nahl: 120)
4. Tawakal
Secara harfiah, tawakal berasal dari kata wakala yang artinya
menyerahkan, mempercayakan, atau mewaikili urusan kepada orang lain.
Tawakal adalah menyerahkan segala perkara dan usaha yang dilakukan
kepada Allah swt, serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya untuk
mendapatkan kemaslahatan atau menolak kemudharatan.
Tawakal merupakan salah satu ciri orang yang beriman, bahkan
Muhammad bin Abdul Wahab, seorang ulama Arab Saudi menyatakan
68Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur’anul Karimi,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 223
57
seperti yang dikutip dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa tawakal
merupakan pekerjaan hati manusia dan puncak tertinggi keimanan.69
Menurut Abu Bakar al-Jazairi, tawakal adalah perbuatan dan
harapan dengan disertai hati yang tenang, jiwa yang tentram, dan
keyakinan yan kuat bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, atau
apa yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi. Allah ta’ala tidak menyia-
nyiakan pahala orang yang berbuat baik.70
Keimanan yang terpatri dalam diri nabi Ibrahim, membuat nabi
Ibrahim senantiasa menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah.
Karena ia yakin hanya Allah lah sebaik-baik pelindung. Seperti pada saat
nabi Ibrahim dalam keadaan terbelenggu dengan tangan dibelakang
hendak dibakar, yang kemudian kaumnya melemparkan nabi Ibrahim ke
dalam api, namun iman nabi Ibrahim tidak sedikitpun goyah, malahan
perkataan dan cobaan itu menambah ketaatan dan keimananya. Allah
berfirman:
م ع ن و اهللا ن ب س ح او ال ق و ان ي ا م اه ز ف م ه و ش اخ ف م ك ل ع ج د ق اس الن ن ا اس الن م ل ال ق ن ي ذ ل ا ل ي ك و ال
“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan rasul-Nya yang
kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan; ‘sesungguhnnya
manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu karena itu
takutlah kepada mereka.’ Maka perkataan itu menambah keimanan
mereka dan mereka menjawab, ‘cukuplah Allah menjadi penolong kami
dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.’” (QS. Ali-Imran: 173)
Ketika hari penyembelihan telah sampai pun, keduanya (nabi
Ibrahim dan Ismail) nampak begitu pasrah, dan menyerahkan segala
urusan kepada Allah swt. tentang qada dan qadarnya. Hingga pada
akhirnya pengurbanan itu berakhir, tanpa melukai putranya itu.
69Ahmad Yani, Ibid. hal. 52 70Ahmad Yani, Ibid. hal. 53
58
5. Ikhlas
Secara etimologi ikhlas berasal dari kata ikhlas yang merupakan
bentuk mashdar dari akhlasa-yukhlisu. Jadi ia terangkai dari huruf dasar
kha-la-sha yang menunjukan makna penyucian. Sedangkan secara
terminologi, menurut pendapat beberapa ahli yaitu:
Kafawi berpendapat bahwa ikhlas adalah beribadah dengan
meniatkan penyembahan terhadap sesuatu yang disembah. Menurutnya,
kata ini dapat juga diartikan sebagai penyucian rahasia, perkataan dan
amal.
Adapaun Jurjani berpendapat, ikhlas adalah tidak meminta orang
lain sebagai saksi dalam beramal, tetapi hanya Allah swt. sematalah yang
menjadi saksi.
Sedangakan menurut Abu Utsman al-Magribi, ikhlas adalah sikap
seseorang yang melupakan pandangan seluruh makhluk Allah terhadap
amal yang dilakukan lantaran selalu dilihat dan diawasi oleh Tuhannya.71
Sikap keikhlasan dan keridhaan itu terlihat jelas setelah nabi
Ibrahim menerima mimpi itu, dan Ismail memberikan jawaban atas
kesediaan dirinya untuk dikurbankan. Keduanya menerima keputusan
Allah yang telah ditetapkan. Keikhlasan itu terbukti tatkala datang godaan
setan yang bertubi-tubi, agar nabi Ibrahim membatalkan niatnya untuk
menyembelih Ismail, bujukan itu tidak dihiraukan. Yang ada setan itu ia
terus lempari dengan batu hingga setan itu berlari terbirit-birit. Inilah bukti
ketulusan dan keikhlasan seorang hamba dalam menjalankan perintah
Allah. Karena sejatinya, setan sendiri telah membuka tabir dihadapan
Allah, ia tidak akan pernah mampu menggelincirkan seorang hamba dari
ketaatan yang didasari oleh keikhlasan. Sebagaimana firman Allah:
()ي ص ل خ م ال ك اد ب ع ال ا () ي ع ج ا م ه ن ي و غ ال و ض ر اال ف م ل ن ن ي ز أل ن ت ي و غ ا ا ب ب ر ال ق “Ia (iblis) berkata: ‘Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi
mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali
71Mahmud Al-Mishri, Op.cit. hal. 36
59
hamba-hamba-Mu yang mukhlis (ikhlas) diantara mereka’” (QS. Al-Hijr:
39-40)
D. Relevansi Kisah Nabi Ibrahim dengan Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
Sebagai seorang Muslim yang beriman kepada Allah, tentu kita
wajib mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Selain itu, kita
juga di anjurkan untuk berkelakuan dengan hal-hal yang disukai oleh
Allah diantaranya yaitu berakhlak mahmudah.72
Dalam kisah nabi Ibrahim dalam surat ash-Shafat ayat 100-111
merupakan kisah yang sarat akan nilai-nilai pendidikan akhlak, yang
dimaksudkan disini adalah akhlak mahmudah. Diantaranya sabar, tawakal,
ikhlas, taat, dan istiqamah. Yang tentu dari nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya akan dapat membentuk karakter seorang muslim menjadi
pribadi yang lebih baik, serta menjadikannya manusia yang sempurna.
Selain itu sifat-sifat atau nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam surat
tersebut merupakan suatu prinsip-prinsip dalam pendidikan, bukan hanya
untuk peserta didik akantetapi lebih-lebih kepada pendidik.
Seperti yang dijelaskan dalam buku yang berjudul Ensiklopedia
Pendidikan Akhlak Mulia Panduan Mendidik Anak Menurut Metode Islam
karangan Abdullah Nasih Ulwan, bahwasanya sifat-sifat asasi yang harus
dimiliki pendidik adalah sebagai berikut:
1. Ikhlas
Pendidik hendaknya meluruskan niatnya semata-mata untuk Allah
swt dalam seluruh aktivitas mengajar, baik melakukan perintah,
larangan, nasihat, pengawasan, maupun hukuman. Ia senantiasa
mengharapkan pahala dan keridhaan Allah swt, termasuk dalam
menerapkan sebuah metode Pendidikan dan pengawasan terhadap
anak-anak didiknya secara berkesinambungan. Ikhlas dalam perkataan
dan perbuatan adalah termasuk fondasi keimanan dan merupakan
keharusan dalam Islam.
72 Mukni’ah, Ibid. hal. 121
60
Allah swt tidak akan menerima suatu perbuatan tanpa didasari dengan
niat yang ikhlas. Adapun perintah untuk bersikap ikhlas telah
dijelaskan dalam al-Qur’an:
ين حن فاء ويقيمو الصلوة وي ؤ ت و الزكاة وذلك دين القي مة وما امروا اال لي عبدوا هللا ملصي له الد “Padahal mereka tidak diperintah, kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan (dengan ikhlas) kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; yang demikian itulah agama yang
lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)73
2. Bertakwa
Sifat terpenting lainnya yang mesti dimiliki pendidik adalah takwa.
Pengertian takwa, seperti yang di artikan oleh sebagian ulama adalah
mengerjakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-
larangan-Nya.
Sebagian ulama lainnya mengartikan takwa, yaitu menjaga diri dari
azab Allah dengan senantiasa merasa takut kepada-Nya baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pengertian takwa
tersebut pada prinsipnya sama, yaitu menjaga dari azab Allah dengan
senantiasa merasa berada di bawah pengawasan-Nya. Juga senantiasa
berjalan pada aturan yang telah ditentukan oleh Allah, baik disaat
sendirian maupun dalam keramaian, dan selalu berusaha semaksimal
mungkin untuk meraih yang halal dan menjauhi yang haram.74
3. Bersabar
Diantara sifat utama yang dapat membantu keberhasilan pendidik
dalam merealisasikan tanggung jawab profesinya, adalah sifat sabar.
Dengan sifat yang sungguh mulia ini, anak akan merasa simpati
kepada pendidiknya. Dengan kesabaran pendidik, anak akan
meneladaninya sebagai akhlak yang terpuji (akhlakul karimah), dan
73 Abdullah Nasikh Ulwan, Terjemah Ensiklopedia Pendidikan Akhlak Mulia Panduan Mendidik Anak Menurut Metode Islam, (Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi, 2006), hal. 69-70 74Abdullah Nasikh Ulwan, Ibid. hal. 70
61
menjauhi segala sifat yang tercela. Ia akan menjadi sosok malaikat
dalam wujud manusia.
Oleh sebab itu, Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada
sifat sabar ini. Islam memberi petunjuk kepada umatny untuk
mengaplikasikan sifat ini, berdasarkan sumber otentik dari ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi.
Kaum muslimin pada umumnya para pendidik dan juru dakwah, pada
khususnya dapat memahami bahwa kesabaran merupakan esensi
spiritual dan moral yang sungguh besar maknanya. Sifat sabar dapat
menghantarkan seseorang mencapai puncak keluhuran akhlak
sebagaimana firman Allah swt dalam potongan ayat berikut:
و الكاظمي الغيظ و العافي عن الناس و هللا يب المحسني “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebaikan.” (QS. Ali Imran: 134)75
Oleh sebab itu, pendidik mesti menghiasi dirinya dengan
kesabaran, kelemahlembutan, dan ketabahan dalam menjalani
profesinya, jika ia mengharapkan dirinya dapat mendidik umat dengan
sebaik-baiknya, menginginkan kebaikan dan perbaikan, memberi
petunjuk bagi generasi Muslim, dan memperbaiki karakter serta tabiat
mereka.76
75Abdullah Nasikh Ulwan, Ibid. hal. 75 76 Abdullah Nasikh Ulwan , Ibid. hal. 76
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam surat ash-Shafat ayat 100-111 pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan bahwa terdapat 5 point nilai-nilai pendidikan
akhlak yang terkandung dalam surat ash-Shafat ayat 100-111, diantaranya:
1. Sabar
Sabar dalah menahan diri dari bersikap, berbicara, dan bertingkah
laku yang tidak dibenarkan oleh Allah swt. dalam berbagai keadaan yang
sulit, berat, dan mencemaskan. Sabar juga bermakna ketabahan dalam
menerima suatu kesulitan dan kepahitan, baik secara jasmani seperti
menanggung beban dengan badan berupa beratnya suatu pekerjaan, sakit,
dan sebagainya, juga sabar secara rohani seperti menahan keinginan tidak
benar.
Kata sabar mengandung makna yang luas dalam berbagai keadaan,
sehingga istilahnya berbeda-beda. Ketika seseorang mendapatkan musibah
musibah, dia harus bersabar. Ketika seseorang hidup berkecukupan atau
berlebihan, dia harus mengendalikan hawa nafsu yang disebut dengan
zuhud. Jika seseorang menghadapi peperangan, kesabarannya disebut
syaja’ah (berani). Jika seseorang marah kesabarannya adalah lemah
lembut (al-Hilmu). Jika seseorang menghadapi bencana, sabarnya adalah
lapang dada, jika menyimpan perkataan (rahasia), sabarnya adalah
kitmaanus-sirri, jika memperoleh sesuatu yang tidak banyak, sabarnya
adalah qana’ah (menerima).
2. Taat
Menurut bahasa, taat artinya mau menerima, mengikuti atau
melaksanakan. Adapun menurut istilah, taat adalah menerima dan
melaksanakan semua perintah Allah swt. dan meninggalkan semua
larangan-Nya. Pentingnya sikap perilaku taat kepada Allah antara lain agar
terhindar dari murka Allah yang mengakibatkan azab dan malapetaka,
63
tidak akan nikmat Allah swt yang harus disyukuri sehingga nikmat
tersebut semakin bertambah, dan agar tercapai hidup bahgia di dunia dan
di akhirat.
3. Istiqamah (Teguh Pendirian)
Kata istiqamah berasal dari kata yang tersusun dari huruf qaf, waw,
dan mim yang menunjukkan dua makna. Makna pertama adalah kumpulan
manusia (kaum) dan makna kedua adalah berdiri atau tekad yang kuat.
Dari makna yang kedua, istiqamah diartikan dengan I’tidal (tegak atau
lurus).
Sedangkan menurut istilah, istiqamah adalah menempuh jalan yang
lurus yang tidak bengkok ke kanan dan tidak pula bengkok ke kiri. Hal itu
mencakup semua bentuk ketaatan, baik lahir maupun batin, dan
meninggalkan semua larangan.
4. Tawakal
Tawakal adalah menyerahkan segala perkara dan usaha yang
dilakukan kepada Allah swt, serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya
untuk mendapatkan kemaslahatan atau menolak kemudharatan. Tawakal
merupakan salah satu ciri orang yang beriman, bahkan Muhammad bin
Abdul Wahab, seorang ulama Arab Saudi menyatakan seperti yang dikutip
dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa tawakal merupakan pekerjaan hati
manusia dan puncak tertinggi keimanan.
Menurut Abu Bakar al-Jazairi, tawakal adalah perbuatan dan
harapan dengan disertai hati yang tenang, jiwa yang tentram, dan
keyakinan yan kuat bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, atau
apa yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi. Allah ta’ala tidak menyia-
nyiakan pahala orang yang berbuat baik.
5. Ikhlas
Secara etimologi ikhlas berasal dari kata ikhlas yang merupakan
bentuk mashdar dari akhlasa-yukhlisu. Jadi ia terangkai dari huruf dasar
kha-la-sha yang menunjukan makna penyucian. Sedangkan secara
terminologi, menurut pendapat beberapa ahli yaitu:
64
Kafawi berpendapat bahwa ikhlas adalah beribadah dengan
meniatkan penyembahan terhadap sesuatu yang disembah. Menurutnya,
kata ini dapat juga diartikan sebagai penyucian rahasia, perkataan dan
amal.
Adapaun Jurjani berpendapat, ikhlas adalah tidak meminta orang
lain sebagai saksi dalam beramal, tetapi hanya Allah swt. sematalah yang
menjadi saksi.
Sedangakan menurut Abu Utsman al-Magribi, ikhlas adalah sikap
seseorang yang melupakan pandangan seluruh makhluk Allah terhadap
amal yang dilakukan lantaran selalu dilihat dan diawasi oleh Tuhannya.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah:
1. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat. Yangmana
dalam al-Qur’an berisi petunjuk, ilmu pengetahuan, hukum-hukum yang
mengatur bagaimana berhubungan baik dengan sesama makhluk-Nya,
maupun bagaimana berhubungan baik dengan Tuhannya, serta dalam al-
Qur’an pula terdapat kisah-kisah orang-orang terdahulu, yang dapat
dijadikan pelajaran dikehidupan sekarang maupun yang akan datang. Oleh
karena itu, kita sebagai seorang muslim hendaknya tidak terlepas dari al-
Qur’an.
2. Diantara kewajiban anak adalah mematuhi segala apa yang diperintahkan
oleh orangtua, selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syar’at
3. Hendaknya manusia mau berkorban untuk kepentingan agamanya demi
mencapai derajat yang lebih tinggi disisi Allah swt.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Amzah.
2007
Adisusilo, Sutarjo. Pembelajaran Nilai-Karakter Konstruksivisme dan VCT
Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta:
Rajawali Pers, 2012
Amini, Ibrahim. Agar Tak Salah Mendidik. Jakarta: al-Huda. 2006
Anshori. Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan.Jakarta: PT
Raja Grafindo. 2013
Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim. Tafsir Al-Azhar Juz 23. Jakarta: Pustaka
Panjimas. 1994
Baidan, Nashrudin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Pustaka Pelajar. 1998
Ghazali, Muhammad. Terjemah Al-Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman.
Jakarta: Lentera Hati. 2011
Hamid, Abdul. Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: Prenada Media Group. 2013
Herimanto dan Winarno. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara,
2010
Irwanda. Siswi SMP di Padang Nekat Sayat Tangan karena Dianggap Tren.
https://kumparan.com/langkanid/dianggap-tren-siswi-smp-di-padang-
nekad- sayat-tangan-1539772201616155527: 17 Oktober 2018
Ilahi, Muhammad Takdir. Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral. Jogjakarta:
Ar- Ruz Media. 2016
Khalidy, Shalah. Kisah-kisah Al-Qur’an Pelajaran Dari Orang-orang Dahulu.
Jakarta: Gema Insani. 1999
Mahalli, Imam Jalaludin dan As-Suyuti, Imam Jalaludin. Tafsir Jalalain Berikut
Asbaabun Nuzul Ayat. Jakarta: Sinar BAru Algensindo. 1987
Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi 23. Semarang: Toha Putra
Semarang. 1989)
66
Mishri, Mahmud. Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW. Jakarta: Pena Pundi
Aksara. 2011
Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-
dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta:
PT. Raja grafindo Persada. 2012
Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Jakarta: Ciputat Pers. 2002
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers. 2014
Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Bandung:
Darul Fikri. 1999
PT. Duta Prokal Multimedia. Begitu Tega, R Cabuli Anak Kandungnya Sendiri
Selama 14 Tahun, http://kalsel.prokal.co/read/news/19004-begitu-tega-r-
cabuli-anak-kandungnya-sendiri-selama-14-tahun : 27 Novemebr 2018
Qalyubi, Syihabuddin. Stalistika Al-Qur’an Makna di Balik Kisah Ibrahim.
Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang. 2009
Ridjaluddin. Sabar Dalam Pandangan Imam Al-Ghazali. Jakarta: Lembaga
Kajian Islam Nugraha Ciputat. 2009
Soffandi, Wawan Djunaedi. Renungan Suci Bekal Menuju Takwa. Jakarta:
Pustaka Azzam. 2001
Silaen, Sofar dan Widiyono. Metodologi Penelitian Sosial Untuk Penulisan
Skripsi dan Tesis. Jakarta: In Media, 2013
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an.
.Jakarta: Lentera Hati. 2002
Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Qur’anul
Karimi. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2002
Syadali, Ahmad dkk. Ulumul Qur’an II Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen
MkDK. Bandung: Pustaka Setia. 2000
Tarigan, Mitra. 19 Persen Remaja di Negara Berkembang Hamil Sebelum 18
Tahun. https://gaya.tempo.co/read/1131078/19-persen-remaja-di-negara-
berkembang-hamil-sebelum-18-tahun/full&view=ok: 28 September 2018
67
Ulwan, Abdullah Nasikh. Terjemah Ensiklopedia Pendidikan Akhlak Mulia
Panduan Mendidik Anak Menurut Metode Islam. Jakarta: PT Ikrar
Mandiriabadi. 2006
Yani, Ahmad. Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji. Jakarta: Al-Qalam. 2007
Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Group. 2012
68
LAMPIRAN