nata de coco_paulus yosef_12700014_kloterf

Upload: james-gomez

Post on 14-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Nata de Coco

TRANSCRIPT

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan terhadap nata de coco dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de CocoKelTinggi Kedalaman (cm)Ketebalan (cm)% Lapisan Nata de Coco

H0H7H14H0H7H14

F10,500,40,4080 %80 %

F2200,20,2010 %10 %

F31,500,50,2075 %13,33 %

F41,500,30,3020 %20 %

F51,500,30,1020 %6,67 %

Dari hasil pengamatan di atas dapat dilihat bahwa kelompok F1 dengan ketinggian awal media 0,5 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 80% pada hari ke-7 dan hari ke-14. Kelompok F2 dengan ketinggian awal media 2 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 10% pada hari ke-7 dan hari ke-14. Kelompok F3 dengan ketinggian awal media 1,5 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 75% pada hari ke-7 dan 13,33% pada hari ke-14. Kelompok F4 dengan ketinggian awal media 1,5 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 20% pada hari ke-7 dan hari ke-14. Dan kelompok F5 dengan ketinggian awal media 1,5 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 20% pada hari ke-7 dan 6,67% pada hari ke-14.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji SensoriKelompokAromaWarna

F1++++

F2++++

F3++++

F4++++

F5++++

Keterangan:AromaWarna++++: tidak asam++++: putih+++: agak asam+++: putih bening++: asam++: putih agak bening+: sangat asam+: kuning

Dari hasil pengamatan di atas dapat dilihat bahwa nata de coco kelompok F1 sampai F5 mempunyai aroma agak asam. Nata de coco kelompok F1 sampai kelompok F5 mempunyai warna kuning.

10

13

2. PEMBAHASAN

Nata merupakan produk fermentasi yang dihasilkan dari bantuan bakteri Acetobacter xylinum (Santosa et al., 2012). Acetobacter xylinum akan membentuk nata melalui proses fermentasi dan akan membentuk gel pada permukaan larutan yang mengandung gula. Sel-sel Acetobacter xylinum selanjutnya akan membentuk nata karena adanya pengambilan glukosa dalam larutan gula ke substrat. Glukosa akan bergabung dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel yang nantinya akan melakukan ekskresi dan bersama enzim akan mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel (Palungkun, 1996).

Nata berwarna putih hingga abu-abu muda, tembus pandang dan teksturnya kenyal. Nata sedikit berserat dalam keadaan dingin dan sedikit rapuh pada saat panas (Tahir et. al., 2008). Menurut Anastasia et al. (2008) nata adalah selulosa berbentuk padat dan berwarna putih transparan, bertekstur kenyal dengan kandungan air sekitar 98% dan umumnya dikonsumsi sebagai makanan ringan. Santosa et al., (2012) juga menambahkan bahwa nata de coco memiliki bentuk padat, kokoh, kuat, berwarna putih transparan, bertekstur kenyal.

Nata de coco adalah jenis minuman dari senyawa selulosa yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi mikroba Acetobacter xylinum. Faktor yang diteliti adalah konsentrasi dekstrin dan konsentrasi CMC. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: kelarutan, kadar serat kasar, kadar air, dan uji organoleptik meliputi: warna, bau dan penampilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CMC dan dekstrin yang ditambahkan ke minuman instan kaya serat dari nata de coco signifikan pada efek kelarutan, serat kasar konten, kadar air, warna, rasa dan penampilan. Hasil terbaik adalah pada D3C5 Dekstrin konsentrasi 15% dan 2,5% CMC (Santosa et al., 2012).

Nata de coco merupakan makanan penutup yang berasal dari Filipina yang dihasilkan oleh fermentasi air kelapa dengan bakteri Acetobacter xylinum, bakteri gram negatif. Acetobacter xylinum memetabolisme glukosa dalam air kelapa dan mengubahnya menjadi selulosa bakteri yang memiliki sifat unik yang termasuk kemurnian tinggi, bagian kristalinitas bisa didefinisikan dan kekuatan mekanik. Bubuk bakteri selulosa yang dihasilkan dari nata de coco ditemukan dapat dalam cupriethylenediamine, pelarut terkenal untuk selulosa. Nata de coco adalah sumber yang baik dari bakteri selulosa. Kemurnian selulosa bakteri yang dihasilkan dari nata de coco cocok untuk penelitian yang menggunakan selulosa murni (Halib et al., 2012).

Nata de coco memiliki nilai nutrisi yang sangat rendah karena kandungan terbesarnya adalah air. Namun, nata de coco juga mengandung serat kasar (dietary fiber) yang dibutuhkan tubuh (Astawan & Astawan, 1991). Mesomya et al. (2006) juga menambahkan bahwa nata de coco baik dikonsumsi untuk menjaga berat badan dan mencegah penyakit kanker colon dan rectum. Hal ini karena nata de coco memiliki kandungan selulosa yang tinggi, rendah lemak, rendah kalori, serta tidak mengandung kolesterol.

Pembuatan nata de coco ini dimulai dengan pembuatan media, yaitu dengan air kelapa. Pembuatan media dalam proses pembuatan nata de coco ini menurut Volk & Wheeler (1993), adalah sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme pembentuk nata, mengkondisikan lingkungan pembiakan organisme dalam jumlah yang besar, membuat biakan penyuburan, serta untuk mendapatkan biakan murni.

Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam organik, selain karena adanya kandungan yang lengkap seperti gula, protein, asam amino, berbagai macam vitamin dan mineral. Air kelapa juga memiliki kelebihan, yaitu murah, kadar kontaminasi yang lebih kecil karena termasuk produk alami dan bukan merupakan sisa suatu proses produksi, produk samping minimum serta ketersediaanya yang terjamin secara kontinyu (Widayati et al., 2002). Menurut Awang (1991) air kelapa mengandung air 91,23%, protein 0,29%, lemak 0,15%, karbohidrat 7,27%, dan abu 1,06%. Selain itu juga mengandung sukrosa, dekstrosa, fruktosa, vitamin B kompleks (asam niotinat 0,01 g, asam pentotenat 0,52 g, biotin 0,02 g, riboflavin 0,01 g, dan asam folat 0,003 g/ml.

Dalam praktikum ini air kelapa disaring terlebih dahulu untuk memisahkan dari kotoran. Tahap ini sesuai dengan Astawan & Astawan (1991) bahwa penyaringan bertujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang masih ada.

Lalu air kelapa dipanaskan hingga mendidih lalu didinginkan hingga suhunya tidak terlalu panas (hangat). Pemanasan air kelapa berfungsi menghilangkan mikroorganisme yang dapat mencemari produk yang dihasilkan. Dengan tidak adanya pemanasan maka kemungkinan terdapat mikroorganisme lain dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum dalam mengubah glukosa menjadi selulosa sehingga kemampuan bakteri Acetobacter xylinum untuk membentuk nata juga menjadi tidak sempurna (Astawan & Astawan (1991) & Tortora et al., (1995)).

Kemudian dilakukan penambahan gula pasir sebanyak 10% dari volume air kelapa dan ammonium sulfat sebanyak 0,5% dari volume air kelapa, lalu diaduk perlahan hingga rata. Penambahan gula pasir pada air kelapa ini berperan sebagai sumber karbon organik untuk mikroorganisme (Awang, 1991). Menurut Pambayun (2002), sumber karbon yang bisa digunakan meliputi monosakarida dan disakarida, dimana sukrosa merupakan sumber karbon yang paling banyak digunakan, contoh sukrosa adalah gula pasir. Hayati (2003) juga mengatakan bahwa penambahan gula dalam pembuatan nata bertujuan untuk memperoleh tekstur, penampakan, dan flavor yang ideal, selain juga berfungsi sebagai pengawet.

Menurut Jagannath et al (2008), Acetobacter xylinum bisa menggunakan sukrosa sebagai sumber karbon tunggal dalam medium air kelapa. Produksi selulosa bergantung pada pH dan konsentrasi amonium sulfat dan sukrosa. Ketebalan nata diperoleh pada pH 4 dengan sukrosa konsentrasi 10% dan ammonium sulfat konsentrasi 5%.

Sementara itu, penambahan amonium sulfat (sebanyak 0,5% dari volume total air kelapa) sebagai sumber nitrogen bertujuan untuk mendukung aktivitas bakteri nata. Sumber nitrogen yang sering digunakan adalah ammoniun fosfat (ZA) karena dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter aceti yang merupakan pesaing Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Menurut Awang (1991), syarat minimal medium yang digunakan untuk proses fermentasi adalah mengandung unsur karbon dan nitrogen. Rahayu (1993) menambahkan bahwa sumber C dan N digunakan untuk pembentukan asam nukleat dan protein sebagai sumber energi untuk pertumbuhan bakteri optimum.

Pada tahap penambahan asam asetat glasial bertujuan untuk membuat pH medium yang sesuai dengan kebutuhan Acetobacter xylinum, sehingga perlu dilakukan penambahan acidulan ke dalam medium (Anastasia et al., 2008). Pambayun (2002) mengatakan bahwa Acetobacter xylinum masih dapat tumbuh pada kisaran pH 3,57,5 namun kondisi optimum untuk bakteri ini adalah pada suasana asam (pH 4,3). Menurut Atlas (1984), pH yang terlalu rendah menyebabkan Acetobacter xylinum akan menggunakan energi secara berlebih untuk mengatasi stress akibat perbedaan pH yang terlalu besar. Sehingga nantinya aktivitas Acetobacter xylinum akan terhenti akibat ketersediaan energi yang telah habis.

Kemudian air kelapa dimasak agar media menjadi steril dan disaring kembali dengan menggunakan kain saring, lalu dimasukkan pada wadah plastik transparan. Sterilisasi berupa pemasakan bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan, sedangkan proses penyaringan bertujuan untuk mendapatkan media yang bersih dan bebas dari kontaminan atau pengotor lainnya (Pato & Dwiloted, 1994). Selanjutnya ditambahkan biang nata (starter) secara aseptis, ke dalam wadah yang telah berisi media (air kelapa) sebanyak 10% dari volume media. Penambahan starter sesuai dengan teori yang bahwa dalam pembuatan nata ditambahkan inokulum sebanyak 1-10%, yang nantinya akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan nata pada substrat (Rahayu et al., 1993).

Lalu proses selanjutnya dilanjutkan dengan menggojog secara perlahan agar media dan starter bercampur. Kemudian permukaan wadah ditutup dengan menggunakan kertas coklat secara rapat dan selanjutnya diinkubasikan pada suhu ruang selama 2 minggu. Setelah itu, dilakukan inkubasi selama 14 hari diikuti dengan pengamatan yang dilakukan sebanyak 3 kali (hari ke-0, ke-7, dan ke-14) untuk menghitung persentase ketebalan lapisan. Selama proses inkubasi, wadah tidak boleh digoyang agar lapisan nata yang terbentuk tetap stabil dan tidak terpisah-pisah. Waktu dan suhu inkubasi yang dilakukan sudah sesuai dengan teori, yaitu untuk mendapatkan nata terbaik dengan ketebalan yang optimum, maka dibutuhkan waktu fermentasi selama 10-14 hari pada suhu 28-32C (Rahayu et al., 1993).

Seharusnya, proses selanjutnya meliputi yaitu, nata yang telah jadi tersebut dicuci dengan menggunakan air mengalir, kemudian ditambahkan air kembali ke dalam wadah yang berisi nata lalu direndam. Hal tersebut dilakukan terus menerus selama 3 hari. Perendaman dan penggantian air ini bertujuan untuk mempercepat penghilangan bau asam pada nata yang dihasilkan (Rahayu et al., 1993). Setelah itu, nata dipotong dan dimasak dengan menggunakan air gula serta dilakukan pengamatan uji sensori terhadap aroma dan warna pada nata yang dihasilkan.

Dari praktikum pembuatan nata de coco ini didapatkan hasil bahwa kelompok F1 dengan ketinggian awal media 0,5 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 80% pada hari ke-7 dan hari ke-14. Kelompok F2 dengan ketinggian awal media 2 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 10% pada hari ke-7 dan hari ke-14. Kelompok F3 dengan ketinggian awal media 1,5 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 75% pada hari ke-7 dan 13,33% pada hari ke-14. Kelompok F4 dengan ketinggian awal media 1,5 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 20% pada hari ke-7 dan hari ke-14. Dan kelompok F5 dengan ketinggian awal media 1,5 cm mempunyai persentase ketebalan lapisan nata sebesar 20% pada hari ke-7 dan 6,67% pada hari ke-14.

Berdasarkan hasil pengamatan ketebalan nata, dapat dilihat pada kelompok F1, F2, dan F4 adanya kecenderungan ketebalan nata tetap seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Sedangkan pada kelompok F3 dan F5 mengalami penurunan ketebalan nata seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Penurunan tinggi ketebalan nata jika dibandingkan dengan tinggi awal media dikarenakan menurut Rahayu et al (1993), nata yang terbentuk di permukaan cairan dapat menurun jika terjadi gangguan seperti goncangan saat proses fermentasi. Selain itu, tingkat aseptis selama penambahan kultur starter nata juga mempengaruhi ketebalan nata karena kehadiran mikroba perusak dapat mengurangi konsentrasi glukosa pada medium sehingga nata yang terbentuk akan kurang maksimal. (Tranggono & Sutardi, 1990).

Selain persentase ketebalan lapisan, dilakukan pula pengamatan sensori pada semua nata de coco yang terbentuk. Dari hasil pengamatan tersebut didapatkan hasil bahwa nata de coco kelompok F1 sampai F5 mempunyai aroma agak asam. Nata de coco kelompok F1 sampai kelompok F5 mempunyai warna kuning. Aroma asam yang muncul pada nata setelah pemasakan disebabkan karena perendaman dengan aquades yang kurang maksimal sehingga masih ada pengaruh aroma dari asam asetat glasial yang ditambahkan untuk menurunkan pH hingga 4-5. Menurut Anastasia et al. (2008), semakin sering penggantian aquades yang digunakan untuk merendam nata, maka semakin berkurang aroma asam pada nata.

Nata yang dihasilkan semua kelompok kloter F mempunyai warna kuning. Hal ini disebabkan menurut Tahir et al (2008) adanya perbedaan warna pada hasil akhir yaitu nata yang berwarna kuning kemungkinan disebabkan dari penambahan gula pasir berwarna agak cokelat, sehingga nantinya akan mempengaruhi wana hasil akhir nata setelah pemasakan.

Palungkun (1996) menambahkan bahwa pembentukan nata terjadi karena proses pengambilan glukosa di larutan gula dalam substrat oleh sel Acetobacter xylinum. Kemudian glukosa digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel. Prekursor ini dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel. Komponen selulosa selanjutnya akan membentuk jaringan mikrofibril panjang dalam cairan fermentasi.

Faktor faktor yang berpengaruh dalam pembuatan nata adalah pH, suhu dan kandungan gula dalam substrat (Rahman, 1992). Pambayun (2002) menambahkan bahwa bakteri Acetobacter xylinum akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun (mempolimerisasi) zat gula menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh dalam bahan tersebut, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya tampak padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut dengan nata.

Strain sebanyak dua ratus empat biocellulose menghasilkan strain Gluconacetobacter yang diisolasi dari 48 buah tropis yang dikumpulkan di Thailand. Dua puluh sembilan sampel isolat dipilih dari masing-masing 16 sumber isolasi dan diidentifikasi secara morfologi, fisiologis dan biokimia dan 16S rRNA. Yang dipilih 29 isolat dibagi menjadi tujuh subgrup dalam Gluconacetobacter kelompok xylinus genus Gluconacetobacter dan diidentifikasi sebagai Gluconacetobacter oboediens Gluconacetobacter rhaeticus (subgrup II, satu isolat), Gluconacetobacter hansenii (subgrup III, tujuh isolat), Gluconacetobacter swingsii (subgrup IV, dua isolat) dan Gluconacetobacter sucrofermentans (subgrup V, dua isolat). Isolat sisa dikelompokkan ke dalam sub-kelompok melalui (tiga isolat) dan VIb (sembilan isolat). Semua isolat diuji kemampuan pembentukan sellulosanya. Dari isolat 29, mengisolasi PAP1 (subgrup VIb, tak dikenal) memberikan hasil tertinggi (15 g/L) dari media SM. Namun, hasil BC meningkat tiga kali lipat (3.5 g/L) ketika D-glukosa dalam Media HS digantikan oleh D-manitol (Suwanposri et al., 2013).

Kinerja Nata de coco (NDC) dan alginate kalsium (CA) sebagai media imobilisasi untuk Saccharomyces cerevisiae dibandingkan tingkat produksi dan konversi. Studi menunjukkan bahwa NDC merupakan biokatalis yang baik dalam kondisi yang dioptimalkan untuk biokatalis CA . Kekuatan struktural dan efektivitas Nata de Coco membuat media imobilisasi sangat menjanjikan untuk dijadikan produksi Bioethanol (Montealegre et al., 2012).

3. KESIMPULAN

Nata merupakan produk fermentasi yang dihasilkan dari bantuan bakteri Acetobacter xylinum. Sel-sel Acetobacter xylinum akan membentuk nata karena adanya proses pengambilan glukosa di larutan gula dalam substrat. Nata berwarna putih hingga abu-abu muda, tembus pandang dan teksturnya kenyal. Nata de coco baik dikonsumsi untuk menjaga berat badan dan mencegah penyakit kanker colon dan rectum. Pembuatan media sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme pembentuk nata, mengkondisikan lingkungan pembiakan organisme dalam jumlah yang besar, membuat biakan penyuburan, serta untuk mendapatkan biakan murni. Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam organik. Air kelapa mengandung air 91,23%, protein 0,29%, lemak 0,15%, karbohidrat 7,27%, dan abu 1,06%. Tahap penyaringan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang masih ada. Pemanasan air kelapa untuk membunuh mikroorganisme yang dapat mencemari produk yang dihasilkan. Penambahan gula pasir pada air kelapa berperan sebagai sumber karbon organik untuk mikroorganisme Acetobacter xylinum bisa menggunakan sukrosa sebagai sumber karbon tunggal dalam medium air kelapa. Penambahan amonium sulfat (sebanyak 0,5% dari volume total air kelapa) sebagai sumber nitrogen bertujuan untuk mendukung aktivitas bakteri nata. Penambahan asam asetat glasial bertujuan untuk membuat pH medium yang sesuai dengan kebutuhan Acetobacter xylinum Pemasakan bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan. Proses penyaringan bertujuan untuk mendapatkan media yang bersih dan bebas dari kontaminan atau pengotor lainnya. Nata yang terbentuk di permukaan cairan dapat menurun jika terjadi gangguan seperti goncangan saat proses fermentasi. Semakin sering penggantian aquades yang digunakan untuk merendam nata, maka semakin berkurang aroma asam pada nata. Nata yang berwarna kuning kemungkinan disebabkan dari penambahan gula pasir berwarna agak cokelat, sehingga nantinya akan mempengaruhi wana hasil akhir nata setelah pemasakan.

Semarang, 4 Juli 2015Asisten dosen : Wulan Apriliana Nies Mayang SariPaulus Yosef Surya P A12.70.00144. DAFTAR PUSTAKA

Anastasia; Nadia; dan Afrianto Eddy. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.

Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Halib, N.; Mohd C. I. M. A.; and Ishak A. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco fromLocal Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012): 205211

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Jagannath, A; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju; and A. S. Bawa. (2008). The Effect of Ph, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata-De-Coco) by Acetobacter Xylinum.World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:25932599.

Mesomya, W; Varapat P; Surat K.; Preeya L.; Yaovadee C.; Duangchan H.; Pramote T.; and Plernchai T. (2006). Effects of Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human. J. Sci. Technol., 28(Suppl. 1) : 23-28.

Montealegre Charlimagne M., Emerson R. Dionisio, Lawrence V. Sumera, Jay R T. Adolacion and Rizalinda L. De Leon . 2012. Continuous Bioethanol Production Using Saccharomyces cerevisiae Cells Immobilized In Nata De Coco (Biocellulose). 2nd International Conference on Environment and Industrial Innovation. Singapore.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. & Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.

Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santosa, B.; Kgs. Ahmad; and Domingus T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 No. 1, Mar 2012,6-11.

Suwanposri Amornrat, Pattaraporn Yukphan, Yuzo Yamada and Daungjai Ochaikul. 2013.Identification and biocellulose production of Gluconacetobacter strains isolated from tropical fruits in Thailand. Maejo Int. J. Sci. Technol., 7(01), 70-82.

Tahir, I.; Sri S.; and Shinta D. A. (2008). KAJIAN PENGGUNAAN LIMBAH BUAH NENAS LOKAL (Ananas comosus, L) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN NATA Fruit Waste of Local Pineapple (Ananas Comosus, L) as Nata Media.http://iqmal.staff.ugm.ac.id/wp.../semnaskimxviii-2008-iqmal-nanas.pdf

Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35.

5. LAMPIRAN

5.1. 5.2. Perhitungan

Persentase Lapisan Nata =

Kelompok F1

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 80 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 80 %

Kelompok F2

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 10 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 10 %

Kelompok F3

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 33,33 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 13,33 %Kelompok F4

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 33,33 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 20 %

Kelompok F5

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 20 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 80 %

5.3. Jurnal 5.4. Laporan Sementara