nasionalisme, islam, dan kebangkitan indonesiawebbuy.pbworks.com/f/nasionalisme, islam dan...
TRANSCRIPT
Nasionalisme, Islam, dan Kebangkitan Indonesia
Gerakan kebangkitan nasional muncul sebagai gerakan modern pada
pergantian abad ke-19 dan ke-20. Munculnya Budi Utomo [1908], Syarikat Dagang
Islam atau SDI [1911] yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam atau SI
[1912], Muhammadiyah [1912], kemudian Nahdlatul Ulama [1926], dan Sumpah
Pemuda [1928], semua itu diyakini sebagai gerakan dan artikulasi politik yang
menjadi fondasi kesadaran nasionalisme, yang kelak menjadi faktor pendorong utama
dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa pada 1945.
Sebelumnya gerakan rakyat melawan kolonialisme berlangsung secara
sporadis dan tak terorganisasi secara baik. Namun setelah lahirnya organisasi-
organisasi tadi, gerakan rakyat kian menemukan bentuk yang jelas dan arah yang
pasti tentang masa depan bangsa yang diinginkan.
Ide persatuan bangsa berbasis Islam yang diusung H. Agus Salim menjadi
antitesis terhadap gerakangerakan sukuistik atau kesukuan yang marak ketika itu
seperti Jong Java, Jong Sunda, Jong Betawi, Jong Sumatera, dan lain-lain. Salim
menginisiasi lahirnya Jong Islamitten Bond [JIB] yang melampaui sentimen-sentimen
kesukuan. Sebab, kendati Islam bersifat “sektarian”, namun ideologi JIB adalah
ideologi persatuan nasional atau kebangsaan, melebihi ideologi keislaman. Salim
melihat bahwa Islamlah ketika itu satu-satunya ideologi yang bisa mempersatukan
seluruh bangsa.
Dari sini pula kemudian lahir persatuan pemuda Indonesia yang dikenal
sebagai Sumpah Pemuda pada 1928, yang mempersatukan segenap Jong, dan menjadi
katalisator bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945. Hampir 100 tahun
setelah kebangkitan nasional pada awal abad ke-20, kita juga menyaksikan lahirnya
kebangkitan nasional yang lain, yaitu gerakan reformasi pada tahun 1998. Gerakan
reformasi Mei 1998 telah mengantarkan bangsa Indonesia pada “kemerdekaan” jilid
kedua, yaitu lahirnya demokrasi dan kebebasan politik. Hal ini menunjukkan bahwa
gejala kebangkitan bukan merupakan puncak, melainkan sebuah awal dari peristiwa
besar. Gejala kebangkitan hanya menandai proses menuju suatu masa depan yang
diimpikan.
Belajar dari sejarah itu, memasuki seabad kebangkitan nasional ini, sebaiknya
kita gelorakan kembali spirit untuk merajut kembali rasa nasionalisme, semangat
kebersamaan membangun rasa keindonesiaan dengan mengubur kepentingan
kelompok atau golongan yang merongrong kohesi nasional. Kita harus bersatu padu
membangun kebersamaan Indonesia yang sedang sakit. Janganlah kita masih
terkotak-kotak karena kepentingan-kepentingan kelompok atau golongan, kesukuan
dan partai. Sudah banyak pembelajaran yang patut kita renungkan dan mesti kita
sikapi. Lihat hasil pertikaian antar-kelompok yang pernah terjadi.
Teroris pun dengan leluasa keluar masuk di negeri tercinta ini, dan berhasil
memporak-porandakan rasa kenyamanan yang telah kita bangun bersama pemerintah.
Semua ini sungguh melukai nalar sehat dan nurani rakyat yang senantiasa damba
pada perdamaian. Peristiwa ini pasti akan menyisakan barisan sakit hati atau ketidak-
puasan kelompok-kelompok tertentu.
Kadangkala muncul sekelompok orang yang merasa berhasil, merasa paling
besar, merasa paling penting, merasa paling berjasa, sehingga melunturkan rasa
kepedulian dan kebersamaan serta tujuan akhir perjuangan para pendahulu kita.
Empati kita terkikis, rasa memiliki dan menjadi bagian warga negara ini luntur karena
ego dan kepentingan kelompok atau golongan serta keserakahan kita yang ingin
mendapatkan lebih dan tidak mau berbagi. Padahal tanpa adanya dukungan dan
kebersamaan dari orang lain maka sebenarnya kita tidak bisa berbuat dan
mendapatkan apa-apa serta tak punya arti apa-apa.
Maka hal terpenting yang kita harus lakukan saat ini adalah menyatukan
kembali nasionalisme keindonesiaan kita yang tercabik-cabik. Lalu karena dengan
semangat kebersamaan akhirnya berhasil ditransformasikan menjadi gerakan
kebangkitan nasional yang modern, rasional dan bersatu. Muaranya pun jelas, yaitu
tujuan bersama meraih kemerdekaan bangsa.
Kalau kita tidak menggelorakan semangat keindonesiaan lalu diwujudkan
dengan karya nyata yang untuk memajukan rakyat, maka 20 atau 30 tahun yang akan
datang kita tidak akan menyaksikan perubahan besar apa pun, dan kita akan tetap
menjadi bangsa yang kerdil dan terkucil dalam pergaulan dunia. Dan mimpi para
pejuang dan pendiri negeri ini yang ingin menjadikan negeri ini menjadi negeri besar,
adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kartoraharjo akan kandas dan
hanya akan tetap menjadi mimpi. Saatnya kita bangun bersama semangat
nasionalisme untuk membangun dan mewujudkan mimpi besar itu dan memberikan
yang terbaik untuk anak cucu kita.