narasi orang biasa | neni muhidin

105

Upload: neni-muhidin

Post on 31-Mar-2016

278 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Profil dan sejarah 8 kampung di Palu dampingan Wahana Visi Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin
Page 2: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Narasi Orang BiasaProfil Kampung dan Kader Wahana Visi Indonesia ADP Palu

PenerbitWahana Visi Indonesia ADP Palu

Page 3: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Narasi OraNg BiasaProfil Kampung dan Kader Wahana Visi Indonesia ADP Palu

Penulis: Neni MuhidinTata letak: Muh. Syukuran Ahaba Fotografer: Nur Soima Ulfa

© Hak cipta Wahana Visi Indonesia

Pertama kali diterbitkanWaHaNa Visi iNDONEsia AREA DEVELOPMENT PROGRAMME PALU Jln. Nuri No. 12, kode pos 94126Kota Palu, Propinsi Sulawesi Tengah

Narasi Orang BiasaNeni MuhidinPalu: Wahana Visi indonesia Area Development Programme Palu Cetakan Pertama, Nopember 201214,8 X 21 cm; 130 hlmISBN 978-602-17244-0-8

Page 4: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

UJUNADi Sebuah Sudut Sempit Ujuna

KINTABARUKintabaru Harapan Baru

LERELere Merambat Bersama Pembangunan Kota Palu

KAYUMABOKOKampung Terujung Di Batas Kota Palu

LEKATUSuatu Waktu Di Lekatu

MANGUMangu Sisi Lain Palu

SALENAAdat Masi Ada Di Salena

WANAWana Dan Cakrawala Di Barat Kota

Wahana Visi IndonesiaEpilog

- Hal V- Hal Vii- Hal 1- Hal 5

- Hal 17

- Hal 29

- Hal 49

- Hal 59

- Hal 71

- Hal 83

- Hal 97

- Hal 113- Hal 115

Page 5: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin
Page 6: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

KaYUMaboKo KAMPUNG TERUJUNGDI BATAS UTARA KOTA PALU

Dari arah Kota Palu jarak kampung itu tambah kurang 30 km. Kampung itu berada di sisi kanan jalan poros trans Sulawesi yang menuju ke arah Pantai Barat Kabupaten Donggala. Mudah ditemukan karena berada di antara kawasan pelabuhan Pantoloan dan Wani. Jarak masuk ke dalam kampung dari jalan poros sekira 2 km, yang di sepanjang jalan masuk itu, di sisi kiri dan kanan jalannya pohon-pohon lebat berbaris rapi meneduhkan jalan. Dekat dari kampung itu, sebuah kuala (sungai) besar terlihat memanjang. Plang SMP Negeri 11 di pinggir jalan poros menjadi penanda utama menuju Kayumaboko.

Page 7: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sebelum tahun 2000 ketika jalan rintisan menuju kampung belum dibuka, warga Kayumaboko keluar masuk ke kampungnya melintasi Sungai Ova, sungai besar yang membatasi kampung itu dengan Lobu, kampung tetangga di sebelah timur Kayumaboko. Jalan baru dengan aspal pengerasan dibuka baru pada tahun 2001untuk menujuke Kayumaboko, dan kampung tetangga lainnya yang berada di atas, Limran.

Kayumaboko adalah lingkungan (rukun warga), sebutan lain bagi ngata dalam bahasa Kaili, atau dusun, kampung terujung di bagian utara dari wilayah administratif Kota Palu, yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala.

Kayumaboko masuk menjadi bagian dari Kelurahan Pantoloan Boya, kelurahan hasil pemekaran dari kelurahan induknya, Kelurahan Pantoloan pada Februari 2012, yang terkenal sebagai kawasan pelabuhan.

Page 8: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sungai besar dekat Kayumaboko adalah batas penanda sebagai batas alam antara Kelurahan Pantoloan (induk) dan Kelurahan Pantoloan Boya.Ada sekira 180an kepala keluarga yang tinggal di Kayumaboko. Sebagian besar kepala-kepala rumah tangganya bekerja wiraswasta sebagai buruh di pelabuhan Pantoloan atau berkebun palawija skala kecil menanam kakao, kelapa dalam, umbi-umbian, dan jagung.

Sebagai kampung tua di kawasan pelabuhan Pantoloan, sebagian besar warga Kayumaboko adalah orang Doi, satu dari banyak sub etnis Kaili yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah, khususnya di Kecamatan Tavaeli, dan Kecamatan Palu Utara, Kota Palu dan beberapa wilayah di kabupaten tetangga yang berbatasan langsung seperti Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong.

Nama Kayumaboko dipercaya oleh sebagian warganya berasal dari kebudayaan tenun kain warganya. Boko adalah bebat kayu sebagai penyangga pinggang penenun. Sebagai kesatuan alat tenun yang berada di depan dan belakang penenun, pengertian lain dari arti Kayumaboko adalah kayu yang saling berbalik. Sayangnya, kebudayaan tenun Kayumaboko yang dulunya ada hampir di setiap rumah warga Kayumaboko itu sekarang tinggal kenangan, sekalipun masih ada beberapa rumah yang menyimpan dan menggunakan alat tenun yang menghasilkan salah satu kerajinan khas Sulawesi Tengah yang terkenal dengan nama Sarung Donggala itu.

Page 9: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Jalan-jalan di Kayumaboko sudah terlihat rapi, meskipun tak semua jalan sudah ada drainase (got/selokan) permanen. Infrastruktur di sana ada bangunan kantor kelurahan yang masih bersifat sementara, sekolah dasar negeri 11, pos kesehatan desa (poskesdes) dan posyandu dengan 1 orang tenaga bidan dan 2 orang kader kesehatan, mesjid, taman kanak-kanak yang masih menggunakan bangunan mesjid tua kampung, dan sebuah perpustakaan kecil yang diinisiasi warga di depan gedung sekolah (SDN 11).

Hal yang pernah terjadi dan karenanya menjadi kekhawatiran di Kayumaboko adalah ketika hujan lebat yang bisa membuat banjir genangan, dan sebagai dampak banjir kiriman dari kampung tetangga, Limran, yang punya danau musiman dan posisinya agak lebih tinggi permukaannya dari Kayumaboko.

Page 10: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

jamruD (Kayumaboko, RT 01/RW 02, Kelurahan Pantoloan Boya, Kecamatan Tavaeli, Kota Palu)

RASA-rasanya dia memang sudah jadi intan hijau seperti nama pemberian orangtuanya itu bagi keponakan-keponakannya dan anak-anak tetangga yang masih kecil-kecil itu. Jamrud

yang bertubuh ringkih dan sangat murah senyum itu memang dekat dengan anak-anak kecil di sekitaran rumahnya di Kayumaboko. Beberapa anak seringkali mendekat padanya dengan manja minta ditemani bermain atau menggambar.

Sebagai warga Kayumaboko, sejak lahir dan hingga sudah 41 tahun umurnya Jamrud tinggal di rumahnya di Kayumaboko. Selama itu pula Jamrud menyaksikan banyak hal-hal yang belum atau sudah berubah di Kayumaboko. Jamrud berkisah tentang jalan masuk ke Kayumaboko yang dahulunya orang-orang keluar-masuk kampung itu melalui jalur kuala (sungai).

Selain bekerja membantu operasional sekolah dasar negeri yang berada dekat dari rumahnya, Jamrud juga berkebun. Sebagai kader Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kayumaboko, kegiatan yang sering dilakukan Jamrud bersama kawan-kawan kader sekampungnya adalah mensosialisasikan pengurusan jaminan-jaminan kesehatan untuk masyarakat dari pemerintah daerah untuk warga Kayumaboko. Setahun terakhir, Jamrud dan kawan-kawan se kampung membantu pengurusan jaminan kesehatan untuk Nuralifa (2 tahun), warga Kayumaboko yang mengalami hydrocephalus, kelainan bawaan lahir pada bayi yang ditandai dengan bentuk ukuran kepala yang membesar secara tidak normal. Harapannya anak itu dapat pengobatan dengan jaminan kesehatan, kata Jamrud.

Tempat/tanggal lahirPantoloan, 4 Mei 1971

Pekerjaan Wiraswata

Pendidikan terakhirSMA

AgamaIslam

StatusBelum menikah

jaMrUd

Page 11: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Apa yang belum terlaksana di Kayumaboko?Ada tiga hal yang jadi skala prioritas untuk Kayumaboko. Jembatan yang menghubungkan Lobu dan Kayumaboko, pembangunan drainase di jalan-jalan rt/rw yang belum ada drainasenya, dan bangunan permanen taman kanak-kanak yang saat ini masih numpang di mesjid tua. Kebutuhan jembatan penghubung itu baik untuk warga Lobu, dan Wombo yang masuk wilayah Kabupaten Donggala. Untuk mengurus apa-apa ke kantor kelurahan atau kecamatannya mereka bisa langsung melalui jalan melalui Kayumaboko. Jalan rintisan yang kami buka antara Lobu dan Kayumaboko awalnya adalah swadaya masyarakat setempat.

Hal lain yang jadi harapan dapat terlaksana di Kayumaboko?Pendidikan yang jenjangnya lebih tinggi buat anak-anak di Kayumaboko. Jadi tidak hanya sampai SMA saja. Ini akan berpengaruh pada ekonomi. Hasil kebun tidak seberapa. Harga 1 kg kopra sekarang hanya Rp. 3000. Coklat (kakao) masih bagus, 1 kg Rp. 17.000 sampai paling tinggi bisa Rp. 20.000. Kalau lagi panen satu minggu itu bisa dapat rata-rata 5 kg. Rata-rata satu 1 keluarga punya 70 sampai 80 pohon kakao.Tentang ekonomi yang juga membantu pendidikan anak ini, harapannya anak-anak Kayumaboko dapat bersaing jika pendidikannya tinggi. Apalagi kedepannya kami tahu soal rencana kawasan ekonomi khusus di Palu Utara (sekarang Kecamatan Tavaeli) ini. Tapi soalnya masih ada keponakan atau saudara yang sma atau smp yang mengeluh soal bayaran di sekolah, soal uang pembangunan atau uang pemutuan untuk les. Kan pemerintah sudah ada anggarannya untuk itu, kenapa masih dibebani lagi.

Tentang WVI, pendapat Anda?Kami mendapatkan satu hal yang baik dari teman-teman WVI dalam hal proses pembelajaran. Teman-teman WVI kasih kami bibit tanaman buah untuk ditanam di halaman rumah (Jamrud menunjuk tanaman mangga yang ditanamnya di halaman rumahnya), sosialisasi pentingnya sanitasi yang baik untuk keluarga, mendirikan perpustakan, dan soal pengurusan surat-surat administrasi kependudukan macam akte kelahiran, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, hingga surat jaminan kesehatan.

Page 12: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

iBu WarDa (Kayumaboko, RT 01/RW 02, Kelurahan Pantoloan Boya, Kecamatan Tavaeli, Kota Palu)

MUNGKIN karena motto hidupnya adalah berjuang, hingga sudah tak terhitung lagi cerita suka duka yang dia alami selama 20 tahun mengurusi posyandu di Kayumaboko. Yang paling

sering adalah dibangunkan tengah malam karena ada ibu hamil yang akan melahirkan. Yang terakhir, cerita ketika malam pergantian tahun dari 2011 ke 2012. Bersama Masru, suaminya, dan beberapa warga Kayumaboko, malam tahun baru itu harus mereka habiskan di kantor Palang Merah Indonesia (PMI), dan rumah sakit Undata di Palu untuk menyelamatkan seorang ibu hamil di Kayumaboko yang harus dioperasi dan butuh donasi darah golongan O.

Anis, ibu hamil yang dia bantu bersama warga Kayumaboko yang lain pada malam tahun baru itu, melahirkan sepasang anak kembar sehat, lelaki dan perempuan.

Di kampung itu orang lebih mengenalnya sebagai Ibu Warda. Suaminya, Masru, adalah ketua rt 01/rw 02 di Kayumaboko. Sekalipun lahir di Alindau, Pantai Barat Donggala, Warda sejak kecil sudah tinggal di Kayumaboko. Pasutri itu terlihat kompak dalam banyak hal, terlebih ketika membicarakan hal-hal yang terkait dengan warga dan kampung mereka, Kayumaboko.

Banyak yang hilang di sini, menurut Warda. Banyak warga Kayumaboko yang pindah ke Kalimantan. Biasanya karena kerja atau karena kawin dengan orang di sana. Hal lain yang juga perlahan hilang di kampung itu adalah kebudayaan tenun. Kata Kayumaboko, sebagai nama kampung, alas dari kayu yang berfungsi sebagai sandaran pinggang penenun, dianggap dipengaruhi oleh kebudayaan tenun tersebut.

Tempat/tanggal lahirAlindau, 7 Juli 1968

Pekerjaan Rumah Tangga/Kader

PosyanduPendidikan terakhir

SMAAgama

IslamStatus

Sudah menikah

nUrwarda

Page 13: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Apa kegiatan rutin di posyandu?Yang rutin dari kegiatan posyandu adalah setiap tanggal 18 bulan berjalan. Saya dibantu sama 5 kader posyandu. Periksa ibu hamil, timbang bayi, dan kegiatan-kegiatan penunjang posyandu lainnya. Masih ada soal di sini tentang sosialisasi kesehatan, khususnya bagi ibu hamil. Masih ada yang waktu melahirkan dengan dukun anak. Sedang sekarang kan untuk urus akte kelahiran itu diketahui atas nama bidan. Kalau untuk yang setiap hari ada poskesdes.

Sekarang, dari data ibu ada berapa jumlah anak balita di Kayumaboko?75 anak balita

Pernah ada kasus anak dengan gizi buruk?Belum pernah. Tapi pernah dimasukkan dalam kategori BGM, atau Bawah Garis Merah. Mungkin maksudnya dalam kesehatan mendekati gizi buruk itu.

Tentang WVI, ada cerita?Itu juga banyak suka dukanya. Sukanya adalah perubahan-perubahan yang terjadi di sini. Mereka dekat dengan anak-anak. Anak-anak menjadi lebih berani bercerita tentang siapa mereka, tentang kampungnya. Anak-anak di Kayumaboko dikenalkan dengan saudara-saudara mereka di wilayah lain seperti di Salena sana. Dorang baku bantu. Juga soal pengurusan dokumen-dokumen catatan sipil kayak akte kelahiran, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, yang dibutuhkan warga untuk dipakai kalau urusan-urusan administrasi kependudukan.

Dukanya itu dianggap negatif (Masru, suami Warda meneruskan) kristenisasi. Pernah difitnah soal itu sampai harus klarifikasi ke kantor kelurahan. Saya tak merasa seperti anggapan-anggapan keliru itu. banyak juga kawan-kawan WVI yang bersama-sama kita disini adalah muslim. Dan memang tak ada hubungannya dengan anggapan itu. Kami melihatnya sebagai bagian dari kerja-kerja kemanusiaan. Sampai Badan Intelejen Negara (BIN) dan dinas sosial saja pernah mendata, mempertanyakan soal itu.

Page 14: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

iQBaL (Kayumaboko, RT 01/RW 02, Kelurahan Pantoloan Boya, Kecamatan Tavaeli, Kota Palu)

SARJANA agama yang berkomitmen untuk tetap berada di kampung

halamannya, Kayumaboko. Pemuda murah senyum ini aktif bersama

kader lainnya, untuk mengajak warga kampung lainnya aktif

dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Bagi Iqbal yang

sehari-harinya berkebun itu hidup adalah membuat agar lebih hidup.

Tempat tanggal lahirKayumaboko,13 Nopember 1976

PekerjaanWiraswasta

Pendidikan terakhirS1

AgamaIslam

StatusBelum menikah

Moh. iQbal

Tempat/tanggal lahirPantoloan, 1 Maret

1975Pekerjaan

-Pendidikan terakhir

SMAAgamIslam

StatusBelum menikah

hernita

HErNi (Kayumaboko, RT 01/RW 02, Kelurahan Pantoloan Boya, Kecamatan Tavaeli, Kota Palu)

MUNGKIN karena menurutnya dia “anak rumahan” yang punya banyak

waktu luang, selain mengurusi rumah, menjaga dan melayani

kedua orangtuanya, hari-hari Herni adalah aktif di semua kegiatan

pemberdayaan, khususnya dengan anak-anak di Kayumaboko. Pemudi

riang yang punya motto tabah dalam cobaan dan jaya dalam

rintangan ini menatap masa depan kampungnya yang lebih baik

dengan mantap.

Page 15: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin
Page 16: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

aDa plang besar bertuliskan Pasar Vinase di sisi kanan jalan poros Trans Sulawesi dari Kota Palu sebelum sekitar dua kilometer dari Pelabuhan Pantoloan. Dari plang itu, satu kilometer ke arah dalam ada kampung yang bernama Mangu. Selain pasar tradisional Vinase, sebagian orang mengenal Mangu karena kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kakao milik Pemerintah Kota Palu bangunannya berada di kampung itu.

Mangu adalah lingkungan yang masuk dalam wilayah Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaeli, Kota Palu. Maljanah, Ketua RT 12/RW 06 mengatakan, nama Mangu muasalnya bukan dari bahasa Kaili sub etnis Rai, yang 80 persen mendiami kampung itu. Nama itu ditengarai malah dipengaruhi oleh bahasa Bugis, suku yang secara historis sudah berbaur lama di Mangu bersama suku Jawa dan Minahasa yang datang belakangan. ”Nama Mangu bermakna hangus, kering,” kata Maljanah.

Page 17: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Nama itu seolah jadi metafora. Sejak dari jalan poros trans menuju ke kampung, banyak lahan-lahan kosong yang belum terisi oleh pemukiman penduduk atau bangunan. Belum semua jalan kampung teraspal. Lahan-lahan luas yang kosong itu hanya ditumbuhi semak belukar, pohon-pohon johar, kelapa, rumput liar, dan beberapa tanaman jati, dan di situ juga ada kawanan sapi dan kambing milik warga. Masih terlihat dengan kasat mata, di balik kampung tampak bukit-bukit kering gersang memanjang.

Hanya ada pos kesehatan desa (poskesdes), pos ronda warga, dan baliho peta rencana pembangunan Kawasan Industri Palu dan Kawasan Ekonomi Khusus, di perempatan pertama sebelum masuk ke pemukiman warga Mangu. Yang nyaris tak kelihatan di sana adalah drainase (selokan).

Air bersih menjadi soal paling utama 130 kepala keluarga yang tinggal di sana. Sumber air bersih satu-satunya yang diakses bersama warga Mangu adalah pipa air mesjid kampung. Tak heran, dari subuh sebagian besar warga sudah harus turun mengambil air bersih di mesjid untuk keperluan keluarga sehari semalam.

Page 18: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sebagian besar warga Mangu berpenghasilan dari usaha mereka sebagai buruh harian lepas atau tetap (TKBM atau tenaga kerja bongkar muat) di pelabuhan bongkar muat barang Pantoloan, dan sebagai buruh bangunan, atau memiliki usaha subsisten lainnya di pasar tradisional Vinase yang tak jauh dari Mangu.

Kampung yang terbilang tua di Tavaeli itu merasakan sejatinya kemerdekaan memang baru ketika abad

berganti menjadi milenium. Masjid kampung, sumber air bersih warga Mangu, batu pertama untuk

pembangunannya secara simbolis pada tahun 1999 diletakkan oleh Ketua DPRD saat itu,

Rusdy Mastura, yang saat ini menjabat sebagai Walikota Palu. Mesjid diresmikan

baru pada tahun 2003, yang sekaligus menandai pemenuhan bersama

kebutuhan air warga Mangu. Listrik malah dirasakan baru

belakangan. Lasmita (42) seorang ibu rumah

tangga mengaku, baru merasakan

listrik di Mangu pada 2006.

Sebelumnya rumah-rumah di

Mangu hanya diterangi lampu

minyak teplok, termasuk

rumahnya.

Page 19: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sudah ada rintisan yang menjadi solusi untuk menjawab persoalan kebutuhan air bersih warga Mangu. Pipanisasi dari sumber mata air di Sungai Liku di arah timur Mangu yang memanjang dari kelurahan tetangga Lambara sebelumnya sudah mengalir ke rumah-rumah warga. Sayangnya, air itu tak lagi mengalir sekarang. Entah kenapa. Untuk itulah dalam banyak kesempatan pada pertemuan-pertemuan resmi warga, usulan Mangu yang sangat prioritas adalah air bersih untuk keperluan masak dan MCK (mandi, cuci, dan kakus).

Pemerintah Kota Palu dalam perencanaan tata ruangnya ke depan akan merealisasikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Industri Palu (KIP) di lokasi yang pusatnya berada di wilayah Kecamatan Palu Utara yang setelah pemekaran menjadi Kecamatan Tavaeli. Mangu secara keseluruhan menjadi bagian dari area lokasi penetapan kedua perencanaan kawasan itu. Tentu saja ini harapan sekaligus kekhawatiran bagi warga Mangu. Sebagai harapan, karena dengan rencana pembangunan itu infrastruktur di sana akan berkembang menjadi lebih baik dari sekarang, dan sekaligus kekhawatiran karena soal-soal kemajuan sering kali meminggirkan masyarakat dengan tingkat kecakapan bekerja yang di bawah standar kebutuhan. Banyak warga Mangu yang putus sekolah, dan saat ini kepala-kepala rumah tangga bekerja sebagai buruh bangunan atau buruh di pelabuhan bongkar muat barang Pantoloan.

Page 20: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

iBu LaiTa (Mangu, RT 12/RW 06, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaeli, Kota Palu)

NAMA lengkapnya Lasmita. Tetapi orang-orang lebih mengenalnya dengan panggilan Ibu Laita. Dia adalah sosok ibu rumah tangga yang

tangguh. Setiap hari sejak subuh, tubuhnya yang kecil itu sudah harus mengambil air untuk kebutuhan mandi dua anaknya yang akan bersekolah. Anak Lasmita ada tiga. Dua yang pertama sudah kelas 6 dan kelas 5 SD, yang bungsu baru berumur satu tahun. Tak hanya untuk kebutuhan mandi, ember-ember air yang diangkatnya bolak-balik dari mesjid yang jaraknya sekira 500 meter itu juga untuk kebutuhan dikonsumsi sebagai air minum dan mencuci peralatan dapur. Jarak mencuci baju malah lebih jauh. Dari rumahnya sekitar 1 km. Lasmita membutuhkan rata-rata 50 liter air bersih setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Arsyid, suami Lasmita, bekerja serabutan sebagai buruh lepas di pelabuhan, kadang jadi buruh bangunan, juga berkebun menanam jagung. Lasmita yang lahir di Baiya tetapi asli Bugis Makassar itu bertemu dengan Arsyid yang asli Mangu pada tahun 1999. Kawin dan mulai menetap di Mangu sejak tahun 2000, ketika masih hanya sekitar 80-an Kepala Keluarga yang tinggal bersama mereka di Mangu. Dan belum ada listrik saat itu di Mangu.

Tempat/tanggal lahirBaiya, 1 Januari 1970

PekerjaanIbu rumah tangga

Pendidikan terakhirSMP

AgamaIslam

StatusSudah menikah (3 anak)

lasMita

Page 21: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Di tengah keterbatasan itu, Lasmita berkomitmen penuh atas pendidikan anak-anaknya, dan upayanya sebagai kader kesehatan kampung untuk mengurusi dokumen-dokumen penting warga , melakukan pendataan dari rumah ke rumah, khususnya untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Aktif di berbagai kegiatan sosial di Mangu, Lasmita berharap ke depannya Mangu menjadi lebih baik dari sekarang.

Selain berperan sebagai Ibu Rumah Tangga, apa kegiatan lain Ibu di Mangu?Sebagai kader kesehatan, saya bekerja turun dari rumah ke rumah melakukan pendataan untuk kebutuhan pendataan jaminan kesehatan. Dan tidak hanya di RT ini. RT-RT yang dekat dari sini juga. Data terakhir yang saya punya, ada 13 orang di Mangu yang sudah mendapat jaminan kesehatan provinsi (jamkesprov). Saya selalu berkomunikasi dengan orang-orang di kesehatan kota (Palu) dan provinsi (Sulawesi Tengah), karena ada banyak jaminan kesehatan yang dapat digunakan untuk pengobatan kalau sakit.

Apa yang berubah sejak Ibu tinggal di Mangu?Pertama tinggal di sini tahun 2000 waktu ketemu bapaknya anak-anak, belum ada listrik. Saya baru merasakan listrik tahun 2006. Belum banyak orang yang tinggal di Mangu waktu itu seperti sekarang.

Page 22: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Apa harapan-harapan Ibu ke depan?Air. Itu masalah utama kami di Mangu. Saya sudah harus bangun dari jam 4 pagi, pergi ambil air di mesjid buat anak-anak mandi, ke sekolah. Belum mencuci baju, jauh juga. Yang penting bagi saya anak-anak bisa sekolah.

Ibu pernah ikut musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dan membicarakan soal itu?Tidak pernah (sambil tersenyum). Ketua RT saja. Usulan warga paling utama di sini itu, air. Harapannya kebutuhan kami untuk air bersih di Mangu ini dapat terpenuhi masuk ke rumah-rumah. Anak-anak sehat. Di sini ada anak-anak putus sekolah. Anak-anakku semoga jadi pegawai negeri. Di RT ini cuma satu orang yang jadi guru di SMA 9. Ada rencana KEK nanti di kampung ini. Itu petanya di luar. Kami berharap tidak dipindahkan kalau nanti KEK itu jalan.

Page 23: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

maLjaNaH (Mangu, RT 12/RW 06, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaeli, Kota Palu)

PAK Maljanah adalah Ketua RT 12/RW 06 di Mangu. Rumah orangtuanya bersebelahan dengan Ibu Lasmita. Suami Lasmita, Arsyid, adalah adik kandung Maljanah. Dua kakak beradik itu, ibu mereka adalah

anak dari tokoh bernama Saile, atau yang lebih dikenal warga Tavaeli di utara Kota Palu sebagai Mangge Jatia.

Maljanah punya banyak kegiatan selain bekerja sebagai ketua RT. Sehari-harinya Maljanah juga aktif mengurusi koperasi yang bernama Koperasi BDN (singkatan dari Bank Dagang Negara, bank yang sudah tak ada lagi karena kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia), koperasi simpan pinjam yang dikelola bersama kawan-kawan mantan pegawai BDN itu di Pasar Vinase dekat Mangu. Selain koperasi, Maljanah juga terdaftar sebagai pegawai harian lepas (honorer) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kakao. Di kantor milik pemerintah yang berlokasi di Mangu, dekat dari rumahnya itu, Maljanah bekerja tiga hari dalam seminggu: Senin, Rabu, dan Jumat.

Sebagai ketua RT sejak tahun 2010, Maljanah paham betul gambaran wilayah dan warga di rukun tetangga yang dipimpinnya. Ia lahir dan besar di situ. Harapan Maljanah besar terhadap perkembangan yang terjadi ke depannya, khususnya di Mangu. Kegelisahannya sama seperti Lasmita atau warga lainnya di Mangu, yaitu tentang air bersih. ”Itu akan punya dampak besar pada kualitas hidup warga di sana,” katanya.

Tempat tanggal lahirTavaeli, 4 Juli 1972

PekerjaanSwasta / Ketua RT

Pendidikan terakhirSMEA

AgamaIslam

Status Sudah menikah (2 anak)

Maljanah latogiMpU

Page 24: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Air bersih adalah problem utama warga Mangu?Ya, bayangkan kalau tidak mandi itu bagaimana. Tidak semangat bekerja, juga sekolah. Banyak anak-anak putus sekolah di Mangu. Paling banyak hanya sampai SMP. Mungkin karena sudah tahu kerja. Pernah ada cerita lucu waktu ketemu rapat dengan Walikota. Cerita ini saya sampaikan. Ada orang di Mangu dari SD sampai SMA tidak pernah mandi pagi. Bukan hanya karena malas dan tidak mau mandi, tetapi karena memang sudah menjadi kebiasaan bahwa air susah di sini. Tetapi soalnya adalah di sini masalahnya itu, air bersih yang harusnya mudah didapatkan warga di rumah-rumah.

Apa yang berubah di Mangu?Banyak yang berubah, khususnya jumlah warga yang tinggal di sini. Di Mangu ada 130 kepala keluarga yang 80 persennya adalah penduduk asli, orang Kaili Rai, 15 persen Bugis, sisanya orang Jawa dan dari Sulawesi Utara. Infrastruktur juga, sekalipun masih banyak yang harus ditambah, khususnya air itu, dan drainase. Tapi ada satu hal yang tidak berubah di Mangu dan ini menjadi modal sosial kami, yaitu kebiasaan Tunja, atau patungan kalau ada warga di sini yang meninggal atau yang membutuhkan. Itu kami pertahankan.

Ke depannya Mangu akan jadi bagian dari kawasan industri atau masuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK? Kita harapannya itu berdampak baik terhadap Mangu. Sekarang saja ada perusahaan peti kemas yang lokasinya di Mangu (PT Alken) yang sudah mempekerjakan hampir 75 persen warga Mangu.

Page 25: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin
Page 26: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

KintabarUHarapan Baru

KaTa Kinta pada Kintabaru diyakini Cinaria (43 tahun), kader WVI yang juga warga yang tinggal di sana sebagai kintal atau halaman. Kintabaru atau sebuah halaman (kampung) baru di utara Kota Palu.

Kintabaru adalah nama lingkungan setingkat rukun warga yang masuk dalam wilayah Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaeli. Bertetangga dengan Mangu, dekat dengan ibukota kecamatan dan Pelabuhan Pantoloan, dan berada di dua ruas sisi jalan –kiri dan kanan jalan trans Sulawesi yang menuju ke pantai barat.

Kintabaru menjadi wilayah dampingan terluas Wahana Visi Indonesia (WVI) di bagian utara Kota Palu, selain dua wilayah lainnya, Kayumaboko dan Mangu. Ada tiga rukun tetangga di wilayah itu yang sudah hampir tiga tahun terakhir bersama dengan WVI.

Page 27: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Fokus kegiatan di sana ada pada pemberdayaan anak. Untuk

itu, tiga rukun tetangga di Kintabaru aktif dengan beragam kegiatan pemberdayaan anak-anak dan remaja, yang ditandai dengan dibentuknya kelompok-kelompok belajar anak (kba) dan kelompok belajar masyarakat (kbm) di masing-masing RT yang diharapkan menjadi wadah anak-anak dan remaja berkegiatan. Untuk menyebut salah satunya, di rukun tetangga 10, terbentuk kelompok belajar anak yang diberi nama Kinbar Forever.

Pada bulan Juli 2012 lalu, Kintabaru menginisiasi kegiatan bersama olah raga dan menjadi tuan rumah pertandingan sepak bola mini yang melibatkan wilayah lain seperti Mangu dan Kayumaboko. Upaya lain

untuk menjalin silaturahmi dan berbagi informasi dengan wilayah tetangga.

Page 28: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Dinamika sosial yang cukup tinggi karena bersentuhan dengan industri, yang ditandai dengan pelabuhan, gudang-gudang besar penyimpanan barang dan komoditi alam, dan dekat dari pusat interaksi masyarakat Tavaili di Kelurahan Panau, membuat dampak sosial baru bagi Kintabaru. Terlebih jika Kawasan Ekonomi Khusus sudah diberlakukan. Dampak sosial itu dapat terlihat di sektor tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Dampak sosial lainnya sebagai turunan dari dinamika yang terjadi di sana adalah konflik Baiya dan Lambara.

Banyak anak dan remaja yang putus sekolah di Kintabaru yang disebabkan oleh banyak faktor, seperti kebutuhan ekonomi, lingkungan yang membentuk kultur, dan kemauan anak didik dan orang tua. Tak sedikit pula remaja perempuan yang akhirnya harus “kawin muda” dan akhirnya tak melanjutkan pendidikan.

Page 29: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Di isu lingkungan, sebagian rumah di RT 11 (Tolambu, Buntina) misalnya, bermasalah dengan air bersih dan fasilitas MCK. Di situ, aliran listrik masih ditarik kabelnya dari satu rumah untuk dialokasikan ke banyak rumah. Di lingkungan wilayah RT 10, banjir genangan oleh hujan senantiasa mengancam rumah-rumah dan bangunan yang berada di permukaan yang lebih rendah karena tipologi wilayahnya yang tak rata. Itu karena nyaris tak terlihat drainase di jalan-jalan lingkungan di RT 10.

Dan tempat pembuangan sementara (tps) sampah warga, menjadi persoalan di dua rukun tetangga itu. Karena tak ada tps, warga di dua RT itu mengelola sendiri sampah mereka.

Tapi selalu ada harapan bagi Kintabaru. Harapan itu ada pada kohesi sosial. Nama Tavaili yang secara historis diyakini menyatukan masyarakat di utara Kota Palu dikembalikan oleh pemerintah, setelah empat kecamatan di Kota Palu dimekarkan. Kecamatan Palu Utara dimekarkan menjadi Kecamatan Tavaili, yang itu berarti menyatukan masyarakat Baiya, Lambara, Panau, dan Sebagian Nupabomba. Harapan bagi terwujudnya spirit sosial masyarakat Kaili, nosarara nosabatutu. Dan Kintabaru sedang menuju ke cita-cita itu.

Page 30: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

iBu CiNaria (Kintabaru, RT 09/RW 05, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaili, Kota Palu)

DIA sosok ibu rumah tangga yang berkomitmen penuh pada pendidikan. Pada ketiga anak-anaknya, pada anak-anak di lingkungannya. Bentuk komitmen

itu ditunjukkannya dengan terlibat aktif sebagai guru honorer Sekolah Dasar di Wani, mengurusi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), paket b dan paket c, dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sintuvuta, yang semuanya berlokasi di Kelurahan Baiya. Di tengah kesibukannya itu, Ibu Cinaria sedang menempuh pendidikan untuk gelar sarjana Tarbiyah di Universitas Muhammadiyah, Palu.

Di RT 09, bersama Ibu Nelvi yang tinggal bertetangga dengannya, Ibu Cinaria menjadi kader pendataan kesehatan untuk anak-anak dan Lanjut Usia (Lansia). Setiap bulannya, ada dua tempat untuk kegiatan posyandu itu. Untuk anak-anak di rumah Ibu Nelvi, untuk Lansia di rumah Ketua RW 05.

Sejak kapan berkegiatan bersama dengan WVI?Sejak September 2011. Jadi hampir setahun. Bersama WVI, kami mengembangkan pendekatan mendidik anak dengan cara yang informal. Anak-anak ditanamkan soal disiplin pada waktu, metodenya menggambar, membangun kepercayaan diri mereka untuk memperkenalkan diri, tentang siapa mereka, lingkungannya. Itu proses pembelajaran yang kami bangun. Hubungan kami dengan teman-teman WVI sejauh ini baik dan hampir tidak punya kendala. Harapan kami bisa terus berlanjut, berkesinambungan.

Tempat tanggal lahirTavaili, 6 Juni 1969

PekerjaanIbu Rumah Tangga, Guru SD

Pendidikan terakhirSMA

AgamaIslam

StatusSudah menikah ( 3 anak)

Cinaria

Page 31: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Bisa berbagi informasi dasar umumnya terkait Kintabaru, khususnya RT 09?Kintabaru itu dari kata Kintal atau halaman, kampung. Jadi kampung baru. Orang tahunya Baiya. Umumnya tahu Tavaili. Makanya nama Tavaili sebagai kecamatan baru hasil pemekaran, yang sebelumnya Palu Utara, itu akan menyatukan kembali kebersamaan Panau, Lambara, Baiya, sebagai orang Tavaili.

Di RT 09 ini ada 147 Kepala Keluarga (KK). Ada banyak juga anak-anak di lingkungan sini yang putus sekolah. Paling banyak putus SD. Itu belum yang di RTnya Ibu Nelvi di RT 07. WVI belum sampai ke RT itu, tapi Ibu Nelvi aktif ikut bantu-bantu kegiatan di RT 09.

Apa harapan ibu yang ingin diwujudkan di lingkungan sini?Taman Pengajian Anak (TPA). Itu tujuan kami yang rencananya mau kami wujudkan. Teman-teman WVI yang sebelumnya aktif bersama kami di sini, ada yang pindah ke tempat lain dan digantikan yang baru. Harapannya, komitmen rencana-rencana program dan kegiatan yang sudah kami bangun bersama itu dapat dilanjutkan lagi, sekalipun ada pergantian yang bersama kami.

Page 32: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

iBu NELVi (Kintabaru, RT 07/RW 04, Kelurahan Baiya,

Kecamatan Tavaili, Kota Palu)

WAHANA Visi Indonesia baru masuk di tiga rukun

tetangga (RT 09, RT 10, dan RT 11) di wilayah

dampingan mereka di lingkungan Kintabaru, Kelurahan Baiya. Sekalipun begitu, Ibu Nelvi, yang tinggal di RT 07 tetap

melibatkan dirinya menjadi kader WVI di salah satu rukun tetangga (RT 09), untuk membantu kegiatan bersama WVI di

sana.

Bersama Ibu Cinaria, tetangganya, Ibu Nelvi bersedia rumahnya dijadikan tempat pusat kegiatan kelompok belajar,

sekaligus posyandu untuk anak-anak. Tentang pendidikan anak-anak, itu cita-citanya sejak lama, mendirikan Pendidikan

Anak Usia Dini (PAUD).

Ibu Nelvi tinggal di Baiya sejak tahun 1986. Dalam rentang waktu yang tak pendek itu hingga sekarang, Ibu Nelvi

aktif di berbagai kegiatan di tingkat kelurahan. Yang rutin dilakukannya adalah ketika datang waktu untuk pembagian

Raskin (beras untuk warga miskin), selain juga ikut dalam kepengurusan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)

Uventumbu, dan bersama Ibu Cinaria menjadi kader pendataan masyarakat sebagai bagian dari program Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Tentang kiprah WVI di lingkungannya, Ibu Nelvi menyambut baik, karena cakupan kegiatan mereka berfokus pada anak-

anak. “Ada 30an anak yang aktif kami dampingi bersama WVI di RT 09,” pungkasnya.

Tempat/tanggal lahirGintu, 20 Juli 1968

Pekerjaan Ibu Rumah TanggaPendidikan terakhir

SMAAgamaKristenStatus

Sudah menikah

nelVi rantUng

Page 33: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

mama rEZa (Kintabaru, RT 10/RW 05, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaili, Kota Palu)

ORANG lebih akrab menyebut nama seorang ibu atau ayah yang diambil dari nama anak tertuanya. Pun Mama Reza yang namanya Sri Herni Wahyuni.

Reza, anak tertuanya sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dua anaknya yang

lain, satu masih Sekolah Dasar, yang satunya lagi masih berumur 19 bulan. Keseharian Mama Reza

adalah menjaga Si bungsu yang masih butuh perhatiannya, sembari membuka warung makan

kecil yang menyatu dengan rumah. Suaminya bekerja sebagai tenaga kerja bongkar muat di

pelabuhan Pantoloan, dunia kerja umumnya laki-laki dewasa di utara Kota Palu.

Mama Reza asli Baiya. Di rumah yang ditinggalinya sekarang, bersama ibu-ibu

tetangganya sebaya, dia berpengharapan anak-anak di lingkungannya bisa tumbuh sebagai

anak-anak sehat dan cerdas. “Kita sudah punya Kelompok Belajar Anak (KBA) di sini. Namanya

Kinbar Forever. Kita punya rencana carikan tempat untuk perpustakaan buat anak-anak di

RT sini,” katanya. Rumahnya, yang berfungsi jadi warung kecil itu menjadi titik pertemuan (melting pot) sebagian warga di RT 10 yang jumlah Kepala

Keluarga (KK) di sana ada 173 KK.

Tempat/tanggal lahirBaiya, 18 Desember 1981

Pekerjaan Ibu Rumah TanggaPendidikan terakhir

SMPAgama

IslamStatus

Menikah ( 3 orang anak)

sri herni wahYUni

Page 34: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Seorang ibu tetangganya, Desiwati, bilang, Mama Reza sebagai “tukang ba sibuk”, kalau ada urusan bersama tentang lingkungan, anak-anaknya, jualannya, sampai harus dia titip ke mereka ibu-ibu tetangga. Selain kader WVI di RT 10, Mama Reza juga aktif sebagai kader kesehatan yang melakukan pendataan warga, termasuk pengurusan jaminan kesehatan warga, dan seabrek kegiatan sosial lainnya yang berhubungan dengan RT 10.

Di sebuah petak tanah yang cukup luas di RT 10 itu, rumah-rumah berderetan mengelilingi, termasuk rumah Mama Reza. Anak-anak kecil terlihat bermain di tengahnya, yang ada pompa air yang dipakai bersama warga di situ.

Apa tantangan menjadi kader?Meyakinkan orang tua yang anak-anaknya kita ajak untuk berkegiatan bersama dalam kegiatan-kegiatan. Ada pemahaman di sebagian orang tua tentang kegiatan-kegiatan itu berhubungan dengan agama tertentu. Padahal tidak. Saya tidak bosan ajak anak-anak, izin ke orang tuanya, kalau tidak sempat, saya telepon kasih tahu kalau mau kumpul rapat atau ada kegiatan anak-anak. Pokoknya setelah kita bertemu dengan teman-teman dari WVI, positifnya ke anak-anak. Mereka dekat dengan anak-anak. Belajar sambil bermain.

Page 35: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Apa yang menjadi perhatian warga di RT ini? Soal sampah, misalnya?Kalau soal lingkungan, di sini tidak ada tempat pembuangan sampah. Orang-orang masih mengurusi sampahnya sendiri-sendiri. Biasanya dikumpul, atau dibakar saja. Sama soal perkelahian berapa bulan lalu itu dengan Lambara. Saya trauma sampai tidak tidur dua hari dua malam, polisi di mana-mana gara-gara konflik itu. Mudah-mudahan tidak ada lagi yang kayak begitu. Baru saudara juga di sana itu.

Page 36: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Para (Kintabaru, RT 10/RW 05, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaili, Kota Palu)

NAMA lengkapnya Aspar. Sehari-hari Aspar bekerja sebagai tenaga administrasi dengan

status honorer di Sekolah Menengah Kejuruan di Tondo, dekat Universitas

Tadulako. Harapannya, tahun ini bisa jadi pegawai negeri, katanya. Jarak tempuh dari rumahnya ke tempat bekerja yang

terbilang cukup jauh itu dijalaninya dengan penuh semangat untuk masa depan. Seperti

harapannya sebagai kader WVI melihat lingkungannya di RT 10, ingin melihat adik-adiknya di sana menjadi anak-anak kreatif,

mandiri, percaya diri, dan bisa bersosialisasi. Pendekatan belajar sambil bermain sebagai

tahapan-tahapan itu mereka lakukan bersama anak-anak ketika berkumpul.

Bersama Mama Reza dan Jesman di RT 10, ketiganya bahu membahu bersama teman-

teman dari WVI merencakan dan melakukan kegiatan demi kegiatan untuk kemajuan

anak-anak dan remaja di sana. Sama seperti Mama Reza, rumah Para juga menjadi

tempat berkumpul warga di lingkungan RT 10 untuk kegiatan Kelompok Belajar Anak

(KBA) dan Kelompok Belajar Masyarakat (KBM).

Tempat/tanggal lahirBaiya, 9 Juni 1985

PekerjaanStaf Administrasi SMKN

TondoPendidikan terakhir

SMAAgama

IslamStatus

Belum menikah

para

Page 37: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

jEsmaN (Kintabaru, RT 10/RW 05, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaili, Kota Palu) SEBAGAI sarjana muda (diploma) pendidikan jasmani dan kesehatan, Jesman mengajar mata pelajaran itu di tiga sekolah: Dasar, Madrasah (setingkat SMP), dan

Aliyah (setingkat SMA), semuanya di Tavaili. Ketika anak-anak sekolah libur panjang bulan Ramadan, seperti saat ditemui, Jesman mengisi hari-harinya sebagai ojeg motor di Pasar Vinase dekat rumahnya di Kintabaru, Baiya, Kecamatan Tavaili.

Jesman terbilang orang baru di Kintabaru. Di sana dia baru dari tahun 2006.

Dia orang Langko, Kulawi, yang menikahi istrinya yang asli Kintabaru. Tapi sekalipun

tak seperti warga lainnya yang sudah lama tinggal di sana,

Jesman kenal betul Kintabaru, khususnya anak-anak. Ada sekira

40 lebih anak-anak dari balita hingga yang berusia 12 tahun menurutnya

yang bersama kader WVI lainnya di RT 10, menjadi adik-adik yang dia dampingi

untuk berkegiatan.

Kendala tentang kegiatan-kegiatan mereka di RT 10 yang sudah hampir setahun lamanya itu adalah kurangnya persiapan-persiapan. Inisiasi kegiatan yang dibuat ke dalam proposal untuk pembiayaan jadi mepet, katanya. “Tapi itu proses pembelajaran buat kami semua untuk kedepan,” Jesman menambahkan.

Tempat tanggal lahirLangko, 5 Januari 1986

PekerjaanGuru Penjaskes

Pendidikan terakhirDiploma II (FKIP Penjaskes)

AgamaIslam

StatusMenikah

jesMan

Page 38: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

asBar (Kintabaru, RT 11/RW 06, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaili, Kota Palu)

ADA banyak hal yang bisa mengubah hidup seseorang. Satu dari sekian hal itu adalah pengalaman berorganisasi. Apa yang dirasakan Asbar hari ini adalah apa yang pernah dia alami sekian tahun silam ketika dirinya memimpin OSIS SMP di Pantoloan, lalu di SMK di Palu (STM), dan bahkan menjadi ketua forum OSIS Sulawesi Tengah.

Bekal pengalaman itu dirasakannya ketika bekerja dan bermasyarakat. Di Kelurahan Baiya, dan khususnya di Kintabaru RT 11, Asbar aktif untuk mengorganisir kegiatan-kegiatan bersama warga. Selain membantu mengorganisir kegiatan dengan WVI, Asbar adalah Ketua Forum Kesehatan, dan menjadi pengurus aktif Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.

Tempat/tanggal lahirLende, 2 Mei 1978PekerjaanWiraswastaPendidikan terakhirSMK (STM)AgamaIslamStatusSudah menikah

asbar

Page 39: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Asbar berdarah Kaili India. Kakeknya menurutnya, adalah pendatang awal migrasi keturunan

India ke Sulawesi Tengah. Asbar sempat lama merantau ke pulau Kalimantan

dan bekerja di salah satu perusahaan pengolahan hasil

hutan milik pengusaha terkenal Bob Hasan. Pasca reformasi

1998 membuat dampak besar pada Asbar dan ribuan karyawan

lain perusahaan yang saat itu di”rumah”kan. Bob Hasan yang dekat

dengan kekuasaan saat itu (Soeharto dan Orde Baru) adalah bagian yang

tidak terpisahkan dengan perubahan besar yang terjadi di masa itu. Asbar

pulang kampung dan sempat berdagang pakaian dari pantai barat, kampungnya,

hingga ke pantai timur Sulawesi Tengah.

Suatu waktu, pertemanan membuat hal baru dalam hidup Asbar. Ia dihubungi kawannya

untuk bekerja di perusahaan penyimpanan hasil alam (kakao) yang lokasinya sekarang ada di dekat rumahnya di Kintabaru. Di tempat baru itu ia bertemu dan mempersunting pujaan hatinya yang memberinya 3 orang anak.

Sejak kapan berinteraksi dengan teman-teman dari Wahana Visi Indonesia?Sejak 2009. Sejak itu ada banyak hal positif sebagai pembelajaran yang menambah wawasan saya, utamanya tentang berorganisasi. Anak-anak juga jadi punya wadah berkumpul, yang sebelumnya tak ada. Pendekatan informal yang dilakukan oleh teman-teman WVI membuat anak-anak di sini sekarang jadi lebih percaya diri. Hal yang lain tentang akte kelahiran. Ada peningkatan angka pemilik akte kelahiran di sini.

Page 40: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Ada anggapan soal kegiatan-kegiatan itu berkaitan dengan agama Kristen, sedang di sini (Kintabaru) seperti yang kita tahu mayoritas muslim. Suatu waktu saya bikin perjanjian di forum pertemuan. Saya muslim, dan akan jadi orang pertama yang akan bermasalah dengan teman-teman WVI kalau arahnya ke situ. Itulah makanya saya suka bilang ke teman-teman, kalau ada masalah, sampaikan, jangan dipendam, dibicarakan. Rumah saya terbuka untuk berdiskusi dengan siapa saja.

Apa yang menjadi perhatian Bapak, khususnya di Kintabaru?Ada banyak soal di sini tapi saya menganggapnya sebagai bagian dari dinamika sosial, yang bisa dipecahkan jika kita bisa bermasyarakat dengan baik. Misalnya di soal lingkungan, belum adanya drainase, juga tempat pembuangan sampah sementara. Kalau sudah hujan di sini, di tempat yang lebih rendah di depan itu langsung tergenang.

Ada anak-anak yang putus sekolah di sini karena faktor-faktor seperti keterbatasan ekonomi, kebutuhannya harus bekerja. Misalnya jadi buruh bongkar muat barang. Tapi saya suka bilang, boleh patah pinsil, tapi tidak boleh patah hati (semangat).

Berapa biasanya upah bongkar muat begitu?Kalau misalnya semen, itu 1 zak semen dihargai Rp. 500.

Apa masukan-masukan buat WVI?Tetap ramah dan berbuat sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat.

Page 41: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

FiTa (Kintabaru, RT 11/RW 06, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaili, Kota Palu)

FITA adalah sosok remaja perempuan kebanyakan. Riang dan penuh dengan istilah-istilah anak muda zaman sekarang. Tapi ada yang tidak kebanyakan dari dirinya sebagai remaja perempuan: tidak punya akun Facebook.

Tidak punya akun bukan karena tak tahu media sosial internet itu. Tapi karena tak suka saja, katanya. Sisi lain yang harus dihargai karena kecenderungan media sosial internet yang fungsi informasi dan hiburan padanya itu kecenderungannya sekarang malah hanya bikin penggunanya tak produktif dan menjadikannya ajang curahan hati semata.

Tapi Fita bukan tanpa prestasi. Fita yang hingga kini aktif di pramuka, pada 2010, mewakili Sulawesi Tengah dalam Forum Pemuda Nasional di Jakarta. Sebagai perwakilan remaja, bersama Pak Asbar di RT 11, bersama-sama menginisiasi kegiatan-kegiatan bersama khususnya untuk anak-anak dan remaja. Walau baru saja lulus SMA, saat ini Fita sudah jadi pembina remaja di lingkungannya.

Beragamnya masalah sosial pada anak-anak dan remaja di lingkungannya membuat Fita merasa tertantang untuk berbuat lebih banyak hal positif dalam bentuk kegiatan-kegiatan. Itulah mengapa Fita berharap, buat kakak-kakak temannya dari WVI tidak berhenti untuk mendampingi mereka, dan juga tidak bosan.

Tempat/tanggal lahirBaiya, 9 Mei 1994Pekerjaan-Pendidikan terakhirSMK Nurul Islam, jurusan Adminitrasi Perkantoran AgamaIslamStatusBelum menikah (4 bersaudara)

nUr Fita sari

Page 42: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

aLmiN (Kintabaru, RT 11/RW 06, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tavaili, Kota Palu)

DI Rukun Warga 06, Almin adalah ketuanya. Di RW yang diketuainya itu ada 2 Rukun Tetangga (RT 11 dan RT 12). Sehari-hari Almin bekerja sebagai Buruh Harian Lepas.

Lingkungan di sekitar rumah Almin yang semi permanen itu dikenal sebagai jalan Tolambu, tak seperti lingkungan di RT lainnya di Kintabaru. Hanya ada beberapa Kepala Keluarga di situ. Dan sarana umum menjadi hal yang lain, yang membedakannya itu.

Aliran listrik di sana baru ditarik dari satu rumah dan dibagikan ke rumah-rumah yang lain yang berdekatan. Tempat mandi cuci kakus (mck) yang belum layak, termasuk air bersih, menjadi kendala paling utama di sana. Dan untuk itu, Almin berharap hal tersebut menjadi perhatian bersama khususnya pemerintah, termasuk WVI yang bersama-sama mereka berinteraksi di sana.

Harapan baru terbentang di Kintabaru dan menjadi keyakinan baru warga di sana, juga Almin, sebagai Ketua RW. Nama Tavaili yang dikembalikan menjadi nama kecamatan baru hasil pemekaran, menurut Almin adalah harapan baru yang menyatukan Panau, Lambara, Baiya, dan sebagian Nupabomba. Wilayah-wilayah yang dihuni etnis Kaili Rai itu menjadi harapan baru bagi sebuah ikatan (kohesi) sosial yang harapannya lebih kuat untuk mencapai kemajuan di sisi utara Kota Palu itu.

Tempat/tanggal lahirBaiya, 26 April 1972

PekerjaanBuruh Harian LepasPendidikan terakhir

SMK Agama

IslamStatus

Sudah menikah

alMin

Page 43: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin
Page 44: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

rumaH-rumah berhimpitan dengan badan jalan tak lebar. Nyaris tak ada satu pun rumah di lingkungan setingkat rukun

tetangga itu yang punya halaman buat taman atau untuk menanam pohon peneduh. Yang ada hanya “pohon-pohon

besi” yang berfungsi sebagai tiang listrik dan tiang telepon yang kabel-kabelnya silang sengkarut. Pagar-pagar rumah di situ

kebanyakan berfungsi ganda sebagai batas rumah dan sebagai tempat jemuran pakaian.

Ujuna adalah nama kelurahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Palu Barat. Di salah satu sudut di Kelurahan itu,

tepatnya di RT 04 RW 06 hidup sekitar 100 Kepala Keluarga dari akulturasi antara kebudayaan Kaili, Bugis, dan Jawa. Lingkungan

itu berdekatan dengan bantaran sungai dan ruang publik yang dulunya dikenal warga kota sebagai Taman Hiburan Umum (THU). Akulturasi yang terjadi di kawasan perdagangan itu

tumbuh bersama sebagian peranakan etnis Tionghoa, Arab, dan India-Pakistan, yang berdagang

di beberapa bilangan jalan-jalan utama.

Page 45: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

RT 04 RW 06 Kelurahan Ujuna menjadi jalur alternatif yang dapat menghubungkan akses

dari arah jalan Gajah Mada, ke bagian belakang pasar tua (Bambaru), dan lapangan sepakbola

mini dekat Jembatan Palu 3 di Kelurahan Kampung Baru.

Sebagian besar penduduk di lingkungan rukun tetangga itu bekerja di sektor swasta. Ada yang

khas dari ibu-ibu rumah tangga di sana yang rata-rata bekerja sampingan sebagai pengupas

bawang. Kota Palu terkenal dengan salah satu kuliner khasnya, bawang goreng. Bawang dari varietas khusus yang hidup di lembah Palu ini

memang berbeda dengan bawang bumbu sebagai rempah penyedap masakan. Gurih

bawang goreng yang dimakan seperti kerupuk menjadi kekhasannya. Bawang yang dikupas

ibu-ibu di lingkungan itu adalah bawang goreng yang diproduksi untuk kebutuhan

industri skala rumahan yang biasanya dikemas sebagai cinderamata.

Page 46: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Ketika produksi bawang meningkat, hampir setiap pagi ada puluhan kilogram bawang

yang diantarkan pemiliknya dan akan diambil keesokannya. Per kilogram bawang yang sudah

dikupas kulit arinya dan diiris tipis-tipis dihargai Rp 2.500.

Di tengah lingkungan, tepat di bawah pos ronda yang juga berfungsi sebagai ruang

pertemuan warga, ada sebuah parit lebar dengan warna air kusam menghitam.

Sampah-sampah rumah tangga tampak tersangkut di beberapa bagian. Air

selokan yang mengalir cukup deras itu bermuara ke sungai.

Sampah menjadi persoalan utama di lingkungan itu.

Susah mencapai kesepakatan bersama warga untuk

mengatasi permasalahan sampah, termasuk

membicarakan hal-hal lain yang menyangkut kepentingan bersama

tentang lingkungan. Tetapi itu tantangan

buat Eddy, yang sejak 2010 menjadi Ketua

RT di lingkungan itu. Bersama Mujilah,

istrinya, Eddy optimis lingkungan padat

penduduk itu bisa menjadi lebih baik

ke depannya.

Page 47: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Mujilah tinggal di rumah bibinya itu sejak 1993. Mujilah yang lahir di Magelang bertemu dengan Eddy, suaminya yang asal Pemalang. Pasutri asal Jawa Tengah ini menempati rumah yang mereka tinggali itu sejak mereka menikah. Eddy, suami Mujilah yang hijrah ke Palu karena sejarah transmigrasi, orangtuanya berkisah, tempat itu sudah dia tahu sejak tahun 1986. Rumah yang mereka tinggali itu dulunya batas sungai. “Dulu kuala itu bersih, tidak seperti sekarang. Dulu orang-orang mandi dan cuci pakaian di situ,” kenang Eddy, yang dulunya sebelum menikah juga tinggal di bantaran sungai, di seberangnya, di kawasan yang sekarang dikenal orang dengan nama Lorong Bakso.

iBu mujiLaH (RT 04/RW 02, Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu)DI warung makan yang menyatu dengan kios dan rumahnya, setiap hari Mujilah berinteraksi dengan warga di lingkungan itu. Warung makan yang menjual mie instan sebagai menu utama jualannya ramai pelanggan.

Tempat tanggal lahirMagelang, 5 Nopember

1976Pekerjaan

Ibu rumah tanggaPendidikan terakhir

Sekolah DasarAgama

IslamStatus

Sudah menikah (3 anak)

MUjilah

Page 48: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Mujilah adalah sosok motivator bagi keluarga dan tetangga-tetangganya. Sebagai ibu rumah tangga dengan tiga orang anak, komitmen Mujilah atas pendidikan anak-anaknya seperti tak bisa ditawar-tawar. Mungkin karena masa lalu pendidikannya yang hanya sampai sekolah dasar. Dua anak lelakinya yang pertama sudah duduk di bangku SMP. Yang bungsu perempuan belum cukup umur untuk masuk sekolah. Bentuk kongkrit komitmen Mujilah atas hal itu adalah menggaransi masa depan semua anak-anaknya melalui asuransi pendidikan. Tak hanya asuransi pendidikan, pasutri Mujilah dan Eddy juga punya asuransi jiwa dan kesehatan.

Dengan ibu-ibu tetangga dan anak-anak di lingkungan itu Mujilah akrab. Dan tanpa rasa bosan, di setiap kegiatan-kegiatan bersama untuk sosialisasi misalnya, Mujilah senantiasa mengajak ibu-ibu dan anak-anak di sana. Itu semua dilakukannya karena komitmennya pada lingkungan tempatnya tinggal dan aktivitas sosial suaminya sebagai Ketua RT, aktif di Forum Tanggap Siaga Bencana (Tasbe), dan juga di Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kelurahan.

Page 49: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Apa yang menjadi masalah utama di lingkungan ini?

Sampah. Juga kesulitan mengajak warga, khususnya ibu-ibu untuk aktif kalau ada kegiatan yang biasanya kita bikin di pos warga. Waktu jadi kendala buat kumpul-

kumpul begitu. Susah cari waktunya. Ibu-ibu waktunya banyak untuk kupas

bawang. Tetapi kalau anak-anak gampang dikumpulkan. Kalau ada kegiatan dengan

Wahana Visi, anak-anak kumpul di pos warga itu, berdiskusi, bermain, menulis. Oleh teman-teman dari Wahana Visi itu

kepada anak-anak di sini ditanamkan soal tanggung jawab.

Ada anak-anak yang putus sekolah di lingkungan ini?

Kurang lebih ada 20 anak. Mungkin karena faktor lingkungannya begitu. Anak-anak

sudah tahu kerja. Anak-anak saya akan saya sekolahkan tinggi-tinggi. Itu cita-cita

saya.

Ke mana warga membuang sampah mereka?

Ke sungai.

Page 50: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

(Eddy, suami Mujilah menambahkan) Saya pernah menggagas akan mengurusi sampah di lingkungan sini. Sosialisasinya sampai saya mengundang Kadis Kebersihan, Pak Hidayat, karena program green and clean itu. Setiap bulan warga bayar 10 ribu dengan perincian untuk biaya operasional motor bak pengangkut sampah dari kelurahan dan petugas yang akan mengoperasikan motornya. Tak dicapai kesepakatannya. Warga merasa keberatan. Sampai saya sampaikan kepada warga, sampahnya taruh saja, kumpulkan setiap pagi di depan rumah saya. Baru nanti diangkut pakai motor bak itu ke TPS (tempat pembuangan sementara).

Apa suka-duka menjadi ibu Ketua RT?Ya, kita harus selalu mengajak warga sini untuk peduli atas lingkungannya. Bapak juga mengurusi soal-soal warga di sini. Tengah malam ada yang butuh diantar ke rumah sakit, orang datang, pergi yang tinggal di rumah kost. Ada tujuh rumah kost di RT ini. Belum lagi urusan bikin surat-surat warga di kelurahan.

Ibu Ani, tetangga: Tetapi ada juga keberhasilannya, misalnya pos warga itu, atau sumur suntik yang kita pakai di sini sama-sama.

Eddy: Saya apa pun program yang dari luar, kalau untuk kebaikan bersama warga di sini, sebagai Ketua RT akan saya terima. Tantangannya memang di situ, yakinkan orang bahwa yang kita kerjakan ini untuk kepentingan kita bersama juga. Tetapi saya optimis.

Page 51: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin
Page 52: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

mENuruT catatan sejarah, penamaan rupabumi (toponimi)

Kelurahan Lere berasal dari sebuah tanaman rambat yang

dulunya banyak terdapat di kampung itu. Oleh cerita rakyat

tanaman itu disebut Lalere, atau daun Katang-katang. Warga Kota

Palu lebih terbiasa menyebut wilayah itu dengan Kampung

Lere.

Jauh sebelum itu, ketika masa penjajahan Belanda belum datang, nama Lere awalnya

adalah Panggona. Kampung Lere termasuk salah satu dari kelurahan di kawasan pesisir

sebagai wilayah teras depan Kota Palu.

Page 53: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Letak kampung tua di tengah kota itu unik, karena dekat dengan dua dimensi alam sekaligus. Sungai di sisi timur kampung, dan laut di sisi utara.

Souraja atau Banua Oge, sebagai salah satu cagar budaya yang berupa bangunan bersejarah, bekas rumah raja, terletak di kampung itu. Rumah bersejarah itu sekarang telah jadi salah satu obyek wisata budaya di Kota Palu.

Jejak sebagai kampung tua juga terlihat pada situs sejarah yang juga berada di Kampung Lere. Makam Abdullah Raqie bergelar Dato Karama berada di sana. Dato Karama yang berasal dari tanah Minangkabau adalah pembawa syiar Islam awal abad 17 ke lembah Palu.

Page 54: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Pembangunan jembatan Palu 4, yang telah menjadi salah satu ikon baru kota, membuka akses jalan Kota Palu dari timur ke barat dan sebaliknya. Jembatan lengkung dengan panjang 300 meter itu membuat perubahan besar tidak saja bagi Palu sebagai sebuah kota, tetapi juga bagi Kampung Lere yang berada dekat dengan jembatan itu.

Jembatan yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Mei 2006 itu segera melapangkan akses transportasi pesisir Kota Palu, dan membuat kampung tua itu menjadi lebih terbuka dalam banyak aspek.

Pembangunan jembatan itu beriringan dengan semakin meningkatnya intensitas pembangunan sarana dan prasarana di sepanjang pesisir pantai Taman Ria, sebagai salah satu dari sekian lokasi yang dipersiapkan pemerintah Kota Palu sebagai obyek wisata bahari. Program reklamasi di kawasan yang menjadi bagian dari Kelurahan Lere itu sedang dipersiapkan fasilitas-fasilitas penunjangnya. Akan ada hotel berbintang, pusat perbelanjaan modern, tempat hiburan, dan ruang publik terbuka di kawasan itu, bersama bangunan yang sudah ada sebelumnya, seperti Taman Budaya, atau Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Dato Karama.

Page 55: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Pengembangan kawasan tersebut menjadi cerita paling baru dari Kampung Lere. Khususnya pemukiman Jalan Pangeran Hidayat, Jalan Cumi-cumi, dan Jalan Tembang. Sebagian besar penduduknya adalah nelayan dan penjual ikan. Mereka berjualan di areal dekat jembatan Palu IV, sebagian penduduk lainnya bekerja sebagai pegawai negeri, swasta, dan buruh bangunan. Dua bangunan permanen yang berdekatan dengan jembatan itu sudah disiapkan, sebagai pasar dan rumah susun. Mulai dari

bangunan semi permanen yang saat ini mereka tempati.

Cerita baru itu berkaitan dengan harapan dan tantangan bagi warga Kampung Lere untuk ikut menjadi subjek dalam perubahan yang sudah dan yang akan terjadi di kawasan yang dekat dengan mereka itu. Keniscayaan dari perubahan itu berdampak pada terbukanya lapangan kerja

dan usaha, dan harapan dan tantangan itu ada pada keduanya, sumber daya manusia dan akses bagi para

pelaku usaha kecil dan menengah. Penguatan bagi dua hal itu mutlak dilakukan. Dan Kampung Lere adalah

bagian dari cerita itu.

Page 56: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Tempat/tanggal lahirLindu, 10 Nopember 1966

PekerjaanWiraswata

Pendidikan terakhirSarjana Pertanian

AgamaIslam

StatusSudah menikah

rojali

rOZaLi (RT 03/RW 01, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat)

RAUT dan perangainya jauh lebih muda dari usianya yang sudah

hampir setengah abad. Mungkin yang membuatnya terlihat lebih muda

dan bersemangat adalah aktivitas di berbagai kegiatan kepemudaan dan

masyarakat di tingkat kota. Rozali adalah motivator, penyemangat buat remaja di

lingkungannya di Kampung Lere.

Inisiasi-inisiasi awal kegiatan kepemudaan dan remaja di sana

didukungnya dengan penuh dedikasi. Rozali mendorong anak-anak muda Kampung Lere untuk berkarya dan

melakukan hal-hal produktif, “sekalipun sedikit,” katanya. “Dulu Kampung Lere

terkenal Texas juga,” dia menambahkan, sebagai asosiasi untuk wilayah yang

tinggi kerawanan kenakalan remajanya yang indikasinya perkelahian.

Page 57: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Setelah akses jalan terbuka, khususnya di dekat Jembatan Palu 4, jalan-jalan di

Kampung Lere juga menjadi jalan ramai dengan kendaraan yang digunakan

warga Kota Palu untuk mengakses Kampung Baru, Ujuna, dan kelurahan-

kelurahan tetangga lainnya yang berdekatan.

Saat ini, Rozali, bersama Riswan kawannya sekelurahan, bergiat aktif

menjadi pendamping remaja di Sanggar Remaja yang terbentuk di Kampung Lere

yang bernama Sarara Ntovea.

Page 58: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Apa yang terlihat berubah di Kampung Lere?

Saya lahir di Lindu. Saya di Kampung Lere ini sejak masih kecil, tahun 1974.

Yang paling terlihat berubah dari yang ada sekarang adalah perubahan

fisik. Dari rumah saya ini, dulu Jalan Diponegoro itu (di arah selatan

Kampung Lere), masih kelihatan kendaraan-kendaraan lewat. Di depan

tanah kosong ini (sekarang lapangan sepak bola) adalah sawah-sawah.

Perubahan di wilayah Kelurahan Lere terlihat cepat, terlebih ketika Jembatan

Palu 4 diresmikan.Ya, pembangunan setelah jembatan

itu jadi cepat. Di sepanjang Taman Ria itu nanti akan jadi lebih ramai

dari sekarang karena ada hotel dan tempat hiburan. Harapannya itu akan

berdampak secara ekonomi bagi warga di Kampung Lere. Anak-anak harus disiapkan untuk kebutuhan tenaga

kerja di tempat-tempat baru itu.

Apa mata pencaharian warga yang paling banyak di Kampung Lere ini?

Sekitar 60 persen nelayan. Ada juga yang jualan ikan di dekat jembatan

itu. Kebanyakan keluarga juga. Kalau di Teluk Palu ini yang paling banyak

didapat itu ikan Lamale.

Page 59: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Apa yang menjadi perhatian Bapak sebagai warga di Kampung Lere?Soal kerentanan lingkungan. Kalau air laut pasang, air naik sampai jalan, air sungai juga. Apalagi kalau hujan lebat yang lama. Sudah kayak danau itu lapangan sepakbola. Saya melihat ada soal tumpang tindih perencanaan lingkungan, khususnya pembangunan drainase untuk soal ini. Contoh saja, rumah saya, itu gotnya lebih tinggi dari halaman, jadi kalau sudah hujan, got tersumbat, itu air semua di halaman rumah.

Perhatian lainnya soal anak-anak muda di sini. Saya suka berdiskusi dengan mereka untuk berbuat bagi kepentingan orang banyak. Ada sanggar remaja Sarara Ntovea di Kampung Lere ini yang harapannya bisa jadi wadah buat mereka berkarya, bisa lebih produktif. Makanya dengan teman-teman Wahana Visi Indonesia proses kita di sini jadi terbantu. Ada proses pendewasaan buat anak-anak, juga keterampilan buat bekal mereka dewasa kelak. Karena buat saya, sekalipun sedikit, yang penting sudah berbuat, berkarya, produktif, apalagi yang dibuat itu untuk kepentingan orang banyak.

Ini juga penting. Soal status tempat usaha penjual ikan, perlu ada kepastian bagi mereka untuk mencari nafkah. Apalagi kita tahu nanti ada pembangunan reklamasi.

Page 60: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

risWaN (RT 05/RW 01, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat)

SEBAGAI guru di sekolah dasar negeri di Bumi Sagu, Kota Palu, Riswan hadir menjadi sosok guru informal bagi adik-adik remaja di lingkungannya di Kampung Lere. Sebagai pendamping remaja di sanggar remaja Sarara Ntovea yang ikut dibidaninya sejak Desember 2011, Riswan punya harapan besar, adik-adik remaja di lingkungannya bisa kreatif, punya kemauan dan keterampilan yang akan berguna buat masa depan mereka nanti.

Tempat/tanggal lahirPalu, 18 April 1983

PekerjaanGuru

Pendidikan terakhirSarjana Tarbiyah

Agamaislam

StatusBelum menikah

riswan

Rumahnya yang berseberangan dengan kantor kelurahan menjadi tempat berkumpulnya anak-anak remaja yang tergabung dalam sanggar remaja Sarara Ntovea, untuk berkegiatan, berdiskusi, dan utamanya memproduksi kerajinan tangan (handicraft) yang menjadi kegiatan utama sanggar selama enam bulan terakhir. Uniknya, handicraft yang mereka olah bahan bakunya berasal dari kertas dan koran bekas, sebagai praktik pengolahan pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan daur ulang (recycle) sampah kertas.

Page 61: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Terciptalah banyak bentuk handicraft dari mereka, seperti kotak tisu, vas bunga, miniatur rumah adat Kaili, dan bentuk artisitik lainnya yang punya nilai ekonomis. “Kami akan ikut pameran UKM tanggal 28 Oktober nanti, sekarang sedang produksi untuk memperbanyak kerajinan yang nanti akan dijual di pameran yang akan diselenggarakan pemda itu,” tutup Riswan.

Bagaimana awal terbentuknya Sarara Ntovea?Sarara Ntovea ini awalnya diinisiasi empat orang anak di lingkungan sini. Tiga orang dari yang membentuk itu adalah anak remaja putus sekolah. Sanggar remaja itu diharapkan bisa jadi wadah buat mereka untuk berkarya. Kami sepakat untuk mengembangkan kegiatan kerajinan tangan. Teman-teman Wahana Visi memfasilitasi kami dengan mengundang Ibu Celia dari Pontianak untuk memberi kami keterampilan belajar mengolah barang bekas menjadi kerajinan tangan. Di tempatnya di Pontianak, sudah ada yang mereka sebut ’bank sampah’ yang pengolahannya mereka pilah untuk kerajinan tangan. Baru-baru ini kami kirim hasil yang telah kami buat ke sana.

Page 62: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

rENDi (RT 05/RW 03, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat)

SAAT ditemui, Rendi sedang mengikuti program Pendidikan Sistem Ganda (PSG), program magang pelajar setingkat

Sekolah Menengah Kejuruan di kantor-kantor pemerintahan. Rendi adalah pelajar SMK Alkhairaat di Kampung Lere.

Remaja enerjik penuh semangat itu berkisah tentang awal pembentukan Sarara Ntovea, sanggar remaja yang dia ikut

aktif di kegiatan-kegiatannya. “Akan ada dua rencana kegiatan yang akan kami lakukan, bikin pelatihan kepemimpinan dan Kelompok Belajar Anak (KBA) dan perpustakaan mini. Untuk

KBA dan perpustakaan itu sudah ada lokasi yang kami pilih dan sudah diizinkan, yaitu dekat Mesjid Al Maidah,“ kata Rendi.

Tentang kedekatannya dengan teman-teman dari Wahana Visi Indonesia, Rendi menjelaskan bahwa kakak-kakak yang dari

Wahana Visi itu membagi tugas mereka. Ada yang ke anak-anak, ada yang ke remaja, dan orangtua, ibu-ibu di sini. Cara

itu baik karena semua harus didekati, harus akrab dengan warga sini.

Ada kendala yang masih juga dirasakannya ketika mengajak teman-teman sebaya untuk bergabung dalam kegiatan-

kegiatan bersama sanggar remaja yang mereka bentuk itu, dan ada keprihatinan bahwa ada banyak teman-teman sebayanya

selingkungan yang putus sekolah karena soal ekonomi keluarga.

Tempat/tanggal lahirMakassar, 1 Nopember

1995Pekerjaan

-Pendidikan terakhir

Pelajar SMK Alkairaat Agama

IslamStatus

Belum menikah

asriandY

Page 63: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin
Page 64: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

LEKaTu adalah dusun pertama yang dilewati sebelum Salena dan lalu Wana.

Bersama dalam satu ruas jalan akses, membuat tak sulit menjangkau Lekatu

yang lebih dekat dari poros ruas jalan trans Palu – Donggala. SMPN 8 di Kelurahan Tipo

menjadi penanda akses ke sana.

Page 65: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sekalipun bersama dalam satu ruas jalan sebagai akses ke kampung, Lekatu beda kelurahan dengan Salena, wilayah tetangganya yang paling dekat yang masuk dalam wilayah kelurahan tetangga yang lebih ke utara, Kelurahan Buluri. Lekatu berada dalam satu wilayah kelurahan yang sama dengan Wana, yang berada paling atas di ruas jalan akses itu, sebagai lingkungan-lingkungan rukun warga dan tetangga yang masuk sebagai wilayah Kelurahan Tipo. Ada 3 Rukun Tetangga (RT) yang membagi Lekatu dan Wana. Dua RT di Lekatu, satu RT di Wana.

Kuala (Nggolo) yang mengalir dari Wana dan bermuara di pesisir Tipo. Ia menjadi batas alam yang memisahkan Lekatu dan Wana yang berada di Selatan sedangkan Salena agak ke Utara. Penanda lainnya adalah, sebagian besar orang Wana adalah Kaili Da’a, sedangkan orang Salena adalah Kaili Unde.

Page 66: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Dibanding Wana dan Salena (Bolonggima) yang letaknya agak lebih di atas, Lekatu adalah wilayah baru. Sebagian besar warga Lekatu adalah warga yang dahulunya menempati pemukiman lain di sekitar wilayah itu seperti Lumbulemo, juga Salena, atau yang bermigrasi dari wilayah lain di sekitar pegunungan Kamalisi yang memanjang di bagian barat Kota Palu. Keterikatan wilayah itu juga menjadi bagian dari sejarah yang sama dengan wilayah-wilayah tetangga ketika warga-warga di sekitar wilayah itu direlokasi pemerintah ke Palolo (sekarang Kabupaten Sigi) untuk program transmigrasi pada tahun 1976.

Dekat dari akses jalan poros di Kelurahan Tipo, membuat Lekatu menjadi lebih dekat ke fasilitas-fasilitas publik seperti sekolah dan puskesmas. Sekalipun daya jangkau itu tak membuat dua hal yang menjadi kebutuhan dasar warga itu –pendidikan dan kesehatan menjadi lebih baik di sana.

Page 67: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

YuLius (Lekatu, Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu)

SEBELUM tinggal di Lekatu pada tahun 1997, Yulius tinggal di Uvemanje. Bapak

dengan dua anak itu adalah anak pendeta, yang masih punya ikatan batin

dengan tempat asalnya itu. Di Uvemanje, Yulius masih punya kebun kacang merah

dan jagung yang diurusnya hingga sekarang, selain kemiri yang ditanamnya

di sekitar Lekatu.

Sebagian besar lelaki dewasa di Lekatu menurut Yulius bekerja

sebagai pengumpul batu, bekerja di pertambangan emas di Poboya, atau

bertani palawija di areal sekitar Lekatu.

Tempat tanggal lahirBalumpewa, 14 Juli 1980

PekerjaanTani

Pendidikan terakhirSMA

AgamaKristenStatus

Sudah menikah (2 anak)

YUliUs linggU

Page 68: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sejak tahun 1997 ketika Yulius berpindah menetap di Lekatu, banyak perubahan yang dirasakannya. Ketika datang pertama kali di sana, hanya ada sekira 76 Kepala Keluarga (KK) yang menetap tinggal di sana, dan sekarang sudah 150an KK. Perubahan yang paling baru dirasakan warga Lekatu adalah listrik yang masuk kesana baru pada tahun 2010.

Dan rumah Yulius menjadi tempat berkumpul warga, khususnya untuk kegiatan Wahana Visi Indonesia (WVI) di sana untuk anak-anak, selain rumah Ibu Marta, tetangganya sesama kader yang aktif memfasilitasi kegiatan-kegiatan bersama warga Lekatu.

Page 69: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Apa yang menjadi perhatian Pak Yulius selama tinggal di Lekatu?Pendidikan. Bagi saya ini adalah masalah yang paling utama yang harus diberikan perhatian. Masih banyak anak-anak putus sekolah di sini. Tapi ini menurut saya berkaitan dengan anak dan kemauan orang tua.

Tentang kesehatan?Di Lekatu bidan sekarang sudah 24 jam. Puskesmas dekat. Mungkin kalau harus ke rumah sakit. Saya karena pernah punya pengalaman tahun 2003, sampai harus marah-marah dulu sama petugas di rumah sakit (Anutapura). Waktu itu anak saya baru 28 hari umurnya dan kena ispa, harus segera dilayani. Saya tidak dilayani hanya karena rekomendasi yang saya bawa waktu itu hanya kartu sehat. Sekarang saya sudah punya Jamkesda.

Sejak kapan berinteraksi dengan teman-teman dari WVI?

Sejak tahun 2010. Dalam proses bersama-sama teman-teman dari WVI itu respon masyarakat

belum semua sama. Saya kira di sinilah tantangannya. Tapi sejauh ini respon warga atas keberadaan WVI positif. Kegiatan-kegiatan yang

dilakukan di sini adalah pelatihan bagi anak-anak. Untuk itu harapan saya WVI jalan terus bersama

anak-anak di sini.

Page 70: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

iBu marTa & OLWiN (Lekatu, Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu)

DUA sosok itu terlihat sebagai dua perempuan kompak yang saling memberi dukungan. Yang pertama sebagai ibu, yang kedua sebagai anak. Olwin adalah anak perempuan Ibu Marta yang baru saja lulus SMA.

Olwin memilih melanjutkan pendidikannya ke Universitas Terbuka, program kuliah jarak jauh dan mengambil program sarjana pendidikan guru untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Membuka PAUD dan menjadi guru bagi PAUD di Lekatu adalah cita-cita Olwin. Ibunya, Marta mendukung cita-cita anaknya itu.

Sebidang ruang yang menyatu dengan badan rumah mereka di Lekatu telah dipersiapkan sebagai fasilitas awal pembentukan PAUD. Olwin punya cita-cita mulia yang sedang diwujudkannya perlahan, Lekatu, tempat dia lahir dan besar, kedepannya menjadi lebih baik dari sekarang. Marta, ibunya, mengamini cita-cita itu.

Tempat tanggal lahirLekatu, 18 Oktober 1993

Pekerjaan-

Pendidikan terakhirSMA

AgamaKristenStatus

Belum menikah

olwin

Tempat tanggal lahir7 Maret 1967

PekerjaanIbu Rumah Tangga

Pendidikan terakhirSMA

AgamaKristenStatus

Menikah

Marta

Page 71: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Ibu Marta terbilang warga lama di Lekatu. Di Lekatu, Ibu Marta menetap sejak tahun 1989. Sebelumnya Ibu Marta adalah warga di Kecamatan Marawola (Kabupaten Sigi). Selain sebagai kader kesehatan (Posyandu) yang aktif di Lekatu sejak tahun 1993 hingga saat ini, Ibu Marta juga bekerja sebagai honorer di Sekolah Dasar di Lekatu.

“Dulu orang-orang tua masih takut anak-anaknya diimunisasi, karena biasanya memang setelah imunisasi anak-anak jadi panas,” Ibu Marta berkisah sebagai kader Posyandu tentang upayanya memberikan

pemahaman pada warga perihal Imunisasi pada anak balita, yang sekarang pemahaman itu menurutnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Kegiatan rutin bulanan Posyandu di Lekatu dilaksanakan pada minggu keempat bulan berjalan.

Tentang pendidikan, data yang ada pada Ibu Marta, ada 98 anak di Lekatu dari semua tingkatan sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama dan Atas yang putus sekolah. Hal yang harusnya menjadi perhatian banyak pihak.

Page 72: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Selain perubahan fisik, bertambahnya rumah-rumah penduduk, juga sarana dan prasarana di Lekatu, perubahan lainnya yang disampaikan oleh Ibu Marta adalah data-data kependudukan bagi warga, sebagai dokumen catatan sipil yang dibutuhkan dalam banyak urusan-urusan administrasi. Salah satu dokumen dasar itu misalnya pembuatan Akte Kelahiran untuk anak-anak yang baru dilahirkan. Untuk itu, keberadaan WVI yang membantu mengadvokasi dalam pengurusan Akte Kelahiran menjadi respon yang menurut Ibu Marta positif sebagai kerja kongkrit yang harus diapresiasi.

Page 73: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin
Page 74: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

HaNYa butuh sekitar 10 sampai 15 menit dengan motor atau mobil dari pusat kota ke arah barat untuk tiba di Salena.

Sebagai daerah perbatasan di arah barat Kota Palu, Salena menjadi wilayah antara yang berada di satu akses ruas jalan bersama Lekatu di bawahnya, dan Wana (dibaca Vana) yang berada di atasnya. Ketiga nama itu sering ditulis atau disebut dusun, cakupan wilayah terkecil dari desa sebagai satuan dalam definisi resmi pemerintahan di tingkat kabupaten. Tetapi Salena dan dua tetangganya itu adalah bagian dari wilayah administrasi Kota Palu. Ketiganya dapat diakses melalui Tugu di sebelah kantor Kelurahan Tipo (juga kantor sementara kecamatan pemekaran, Ulujadi, yang baru saja diresmikan), atau bisa juga masuk dari SMPN 8 Tipo.

Page 75: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Tetapi Salena tak sekadar nama dusun. Salena adalah cakupan besar sebuah entitas adat yang hidup secara turun-temurun di Pegunungan Kamalisi di sisi barat Kota Palu. Ngata (desa) Nggolo adalah cakupan adat itu, dan dalam cakupan wilayah adat yang luas itu, Salena menjadi identik dengan penanda lainnya, Bolonggima di sisi utara, dan Padanjese di sisi selatan Pegunungan Kamalisi. Salena Bolonggima masuk dalam wilayah Kelurahan Buluri, Kecamatan Ulujadi.

Page 76: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Orang Salena mempercayai cerita rakyat (folklore) tentang muasal sejarah nama dan rupa bumi (toponimi) Salena Bolonggima sebagai kisah terbentuknya kawasan itu akibat gejala alam, ketika sebuah batu besar (bolonggima) menggelinding, dan longsor yang membentuk sebuah ceruk besar yang sekarang dialiri oleh Sungai Nggolo yang airnya jernih. Dalam bahasa Kaili disebut nipanjali kaombo atau digerus longsor. Dari bukit di tengah jalan kampung terlihat pemandangan teluk dan bentuk topografi ceruk yang serupa huruf V.

Sebelum masuk ke kawasan perkampungan yang sekitar 2 km jaraknya dari jalan trans itu, kita akan bertemu tebing-tebing batu terjal dan hutan yang pepohonannya tumbuh meranggas di sepanjang jalan aspal yang tak begitu lebar dan menanjak.

Page 77: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Bangunan sekolah dasar menjadi penanda pemukiman yang rumah-rumah warganya berbentuk panggung dari kayu. Di Salena ada 600-an warga dari 136 kepala keluarga (KK). Selain sekolah dasar, fasilitas publik yang ada di sana ada posyandu, poskeedes, bantaya atau tempat warga berkumpul untuk bermusyawarah, dan sebuah tanah datar yang cukup luas yang digunakan sebagai lapangan sepak bola.

Warga dusun mengonsumsi air bersih dari satu-satunya bangunan MCK umum yang masih berfungsi. Satu unit lainnya sudah tidak berfungsi. Air tersebut bersumber dari Sungai Nggolo yang ditampung dalam bak penampung. Airnya sudah keruh, terlebih ketika hujan turun. Sungai Nggolo yang dekat dari sana juga adalah sumber air PDAM.

Page 78: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sarana untuk listrik ke beberapa rumah saat ini adalah panel solar yang diberikan

pemerintah. Hanya tinggal sepuluh rumah di salah satu rukun tetangga (RT 01) dari total 42 rumah atau kepala keluarga di RT itu. Sebelumnya pada tahun 2008 dibangun pembangkit listrik mikrohidro dan sekarang sudah rusak dan tak bisa digunakan.

Fasilitas-fasilitas publik yang diadakan pemerintah di Salena tidak terlepas dari

cerita kelam yang pernah terjadi di Salena pada akhir 2005 dan pertengahan 2008,

ketika rentetan peristiwa memilukan terjadi di sana. Sebuah nama menjadi begitu terkenal oleh pemberitaan media massa, yaitu Madi, yang dituduh menyebarkan ajaran sesat karena ritual adat yang dilakukannya, lalu terjadi salah paham dan menimbulkan korban jiwa tiga orang aparat kepolisian dan seorang warga Salena pada 25 Oktober 2005, yang berlanjut pada 5 April 2008, ketika Madi tewas tertembak aparat dalam pengejaran. Dalam rentang waktu itu, warga Salena hidup dalam pengungsian, ketakutan, dan seolah tanpa masa depan.

Dan senja yang tenggelam di barat Dusun Salena, di balik bukit-bukitnya yang hijau, akan menjadi teman yang indah yang membuat kita terlena memandang keindahan teluk di timurnya.

Page 79: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

ENDi (RT 01/RW 06, Salena, Kelurahan Buluri, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu)

SEBAGIAN besar mata pencarian orang Salena adalah bertani ladang. Ubi, kemiri, dan kakao adalah komoditi yang paling banyak ditanam oleh warga Salena. Hasil komoditi ini uniknya masih digunakan sebagai alat barter selain uang dengan kampung-kampung tetangga, seperti Wana, ketika hari pasar yang dijadwal mingguan setiap Kamis itu.

Tentang perladangan dan pengelolaan sumber daya alam, orang Salena yang sebagian besar warganya adalah suku Kaili dari sub etnis Kaili Unde itu masih memegang teguh prinsip-prinsip adat Ngata Nggolo. Kearifan lokal itu tercermin dari sosok Endi.

Tempat/tanggal lahirBolonggima, 15 Agustus

1960Pekerjaan

TaniPendidikan terakhir

Sekolah DasarAgama

IslamStatus

Menikah (7 anak dan 2 cucu)

endi

Page 80: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sebagai Ketua RT, Endi sehari-harinya adalah petani ladang. Di sekitar rumah panggungnya yang bersebelahan dengan MCK kampung, ditanaminya pohon kakao dan ubi. Itu belum yang di kebun yang letaknya di bukit, di atas kampung, di Bolonggima.

Endi Lahir di Salena. Usianya sudah lebih dari setengah abad. Dia berkisah banyak hal dari sejarah relokasi warga. Tahun 1976 terjadi program transmigrasi dalam jumlah yang besar. Sejumlah besar warga Salena dipindahkan ke Palolo (sekarang Kabupaten Sigi). Endi tidak betah tinggal di lokasi transmigrasi. Ia sempat hidup berpindah-pindah dari Pantai Barat hingga Dusun Puntuna –keduanya masuk dalam wilayah adminsitrasi Kabupaten Donggala. Sekarang ia tinggal di Salena. Salena telah banyak mengalami banyak perubahan.

Page 81: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sejak kapan akhirnya menetap lagi di rumah yang sekarang?Saya lahir dan besar di Bolonggima. Tinggal di Salena sejak 1984. Dulunya ikut transmigrasi tahun 1976, tetapi hanya sebulan, terus pindah-pindah.

Apa yang terasa berubah sejak tinggal menetap lagi di Salena?Perubahan baru terlihat di Salena ketika ada jalan aspal tahun 2000. Juga sudah ada SD (sekolah dasar), posyandu, saya kadernya juga, setiap bulan tiap tanggal 22 sampai tanggal 28. Ada bantaya, ada MCK dua unit, tetapi tinggal satu unit yang bagus, ada bak penampung air, ada listrik yang waktu 2008 dari mikrohidro tetapi sudah rusak, rumah-rumah tinggal pakai panel solar, tetapi tidak semua (dari 24 pembagian panel solar, tinggal 10 yang bisa digunakan). Sebelum itu kami di Salena dekat dengan teman-teman YPR (Yayasan Pendidikan Rakyat) dari tahun 1998 yang memberikan pembelajaan tentang hak masyarakat adat dan pelestarian alam. Kita pernah dikasih bibit kemiri supaya tidak hanya ambil kayu di hutan buat bikin arang.

Page 82: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Kemiri itu dijual?Ya. Panennya tahunan. Rata-rata

panen kemiri punya saya 50 kg. Satu kg Rp 5.000. Pemerintah pernah

kasih kita juga 12.000 bibit kakao, tetapi tidak begitu bagus hasilnya. Saya punya kurang lebih 50 pohon

kakao, yang kalau panen itu rata-rata 6 sampai 7 kg. Ada juga ubi. Saya

punya kurang lebih 1 ha. Tetapi lebih banyak dimakan sendiri.

Page 83: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Bagaimana dengan kesehatan dan pendidikan anak-anak di Salena?Kita kalau ada yang sakit, puskesmas ada di Tipo. Bagi ibu-ibu yang hamil ada posyandu. Biasanya ada juga yang harus dibawa ke Pustu (Puskesmas Pembantu) atau ke rumah sakit. Tetapi yang jadi soal di sini itu urus-urus yang begitu (surat-surat kependudukan dan catatan sipil). Teman-teman Wahana Visi Indonesia pernah urus kami secara kolektif kartu keluarga, kan untuk dapat Kartu Tanda Penduduk (KTP) harus ada kartu keluarga. Anak-anak juga harus punya akte lahir. Waktu itu bayarnya 21 ribu untuk Kartu Keluarga, 40 ribu untuk KTP. Saya sudah kumpul warga, tetapi dari 136 KK yang mau urus, yang punya baru 21 KK. Jadi untuk pengurusan KTP saya sebagai Ketua RT, kalau warga saya tidak dapat, saya juga tidak mau ambil.

Page 84: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Anak-anak yang mau lanjut ke SMP juga ada di Tipo, di Buluri. Teman-teman Wahana Visi juga dengan anak-anak usia dini di Salena mengembangkan cara belajar yang tidak harus di SD (dalam ruangan), di lapangan juga biasa. Baru-baru ini ada di sini, masih keluarga juga, putus tidak bisa lanjut ke SMA. Saya punya harapan anak-anak di Salena ini tidak ada yang putus sekolah, karena jadi orang itu harus berpendidikan dan yang lebih penting juga, berani. Mereka yang nanti akan memajukan ini Salena.

Page 85: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Tentang kepemilikan lahan perkebunan di Salena, bagaimana mengaturnya?

Kami punya prinsip adat tentang itu. Makanya, sebagai ketua RT, saya pernah dikasih tahu

tentang prona, program untuk pengurusan sertifikat tanah-tanah di Salena. Saya tidak

mau, karena tanah adat itu kepemilikannya bersama (kolektif ), tidak untuk dijual, dan bagi saya kalau di-sertifikat itu memiskinkan. Ambil

contoh, dengan sertifikat yang bisa dipakai buat ambil uang (kredit) di bank, kalau tidak

bisa kita kembalikan, tanahnya dijual.

Page 86: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin
Page 87: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

DusuN itu ditulis dengan huruf W (Wana). Namun orang-orang, khususnya warga di sana dan beberapa wilayah tetangga, menyebutnya dengan konsonan V (Vana). Itu untuk membedakannya dengan lokasi lain yang sama (Wana) yang berada di pedalaman jazirah timur Sulawesi Tengah (sebagian besar di Kabupaten Tojo Una-una), yaitu Suku Tau Ta’a Wana.

Page 88: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Dusun Wana adalah wilayah perbatasan di sisi paling barat Kota Palu. Masuk dalam wilayah Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Wana berada di satu ruas akses jalan bersama menuju Dusun Lekatu, dan kemudian Dusun Salena yang berada di bawahnya.

Karena masih dekat dari poros jalan trans Palu – Donggala, tak butuh waktu tempuh yang lama menuju Wana. Jalan aspal hanya sampai di Salena. Dengan kemiringan dan keterjalan jalan yang berbatu, menggunakan kendaraan bermotor ke sana butuh keterampilan khusus. Juga tentu saja perlu diketahui kapasitas motor yang digunakan. Mendaki (hiking) selama kurang lebih satu jam menjadi pilihan lain ke Wana. Jalan akses dibuka baru tiga bulan yang lalu, yaitu pada bulan Mei 2012.

Page 89: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Wana berada di atas bukit dengan ketinggian sekitar 700 meter dari permukaan laut. Ada 44 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa sekitar 200 orang. Sebagai sebuah kawasan pemukiman, Wana dihuni sejak awal milenium abad 21. Sebelumnya warga Wana adalah warga yang kebanyakan tinggal di wilayah pedalaman Lumbutabata dan Lumbulemo di daerah

Pegunungan Kamalisi, wilayah yang masih berdekatan dengan lokasi Wana yang sekarang. Warga Wana adalah etnis Kaili dari sub Da’a.

Sebagai kota, Palu unik karena memiliki banyak dimensi tidak saja alam, tetapi juga sosial. Sulit membayangkan sebuah dusun kecil dengan rumah-rumah panggung semi permanen itu menjadi bagian dari sebuah kota dalam pengertian administratif. Fasilitas umum di Wana tak sama dengan wilayah urban lainnya di Kota Palu atau yang kurang lebih sama dengan yang setingkat itu, dusun, ngata dalam bahasa Kaili. Keterbatasan itu lebih banyak disebabkan karena daya jangkau.

Page 90: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Ada sekolah dasar di sana yang bentuknya semi permanen dan hanya terbagi dalam tiga ruang yang tak bersekat antara ruang satu dan ruang yang lainnya. Satu ruangan diisi oleh dua kelas murid. Ada juga tenaga pengajarnya. Dua tenaga pengajar yang aktif tapi masih berstatus guru honorer, Ibu Asdiah dan Pak Mesak, adalah bagian dari keseharian anak-anak Wana yang jumlahnya ada 60 anak didik. (Ada 90 anak usia 2 – 14 tahun di Wana). Tenaga pengajar yang ditempatkan pemerintah daerah tak terbiasa dengan lokasi Wana dan akhirnya tak aktif. Begitu pula dengan kepala sekolah. Soal tenaga pengajar menjadi soal tersendiri di sana.

MCK adalah fasilitas umum lainnya yang digunakan warga untuk kebutuhan harian. Untuk kebutuhan minum, orang Wana mengkonsumsi langsung tanpa dimasak air jernih yang tak henti-hentinya mengalir dari mata air di gunung.

Rumah-rumah di Wana sudah dialiri listrik dari panel solar tenaga matahari. Di tengah dusun berdiri sebuah bangunan memanjang, gereja Bala Keselamatan, yang ada di sana sejak pemukiman-pemukiman ada di Wana.

Page 91: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sebagian besar warga Wana bekerja sebagai petani kebun (kemiri, bawang daun, ubi, dan kacang tanah). Sektor pekerjaan lainnya juga

dirambah, seperti sebagai pemecah batu gunung untuk kebutuhan bahan bangunan, dan sebagian yang lain bekerja jauh hingga

ke Vatutempa, lokasi pertambangan emas rakyat di Poboya, sisi timur Kota Palu. Di sana mereka bekerja sebagai buruh pikul material

pertambangan.

Dinamika sosial dan permasalahannya di Wana mulai dari fasilitas umum, perihal pendidikan,

kesehatan, yang bermuara pada satu hal, yaitu perhatian dari banyak pihak, khususnya

pemerintah daerah, dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendasar secara

tepat, menyeluruh, dan tidak parsial. Negara mestinya hadir dalam banyak keterbatasan itu.

Page 92: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Tempat/tanggal lahirMalang, 20 September 1980

PekerjaanPendeta

Pendidikan terakhirSarjanaAgamaKristenStatus

Sudah menikah (1 anak)

YUstianUs eKo wandono

LETNaN (Wana, Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu)

BALA Keselamatan (Salvation Army), atau sering disingkat BK, punya sejarah panjang sebagai organisasi keagamaan yang mengedepankan pelayanan sosialnya di seluruh dunia. Berpusat di London, Inggris, BK ada di Indonesia sejak akhir abad 19. Di Sulawesi Tengah, cikal bakalnya menurut Letnan sejak 1930-an di Desa Kalawara (Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi).

Dalam kerja pelayanan sosialnya, pegawai-pegawai BK ditandai dengan kepangkatan seperti yang kita kenal dalam dunia kemiliteran. Seperti Letnan yang punya nama Yustipanus Eko Wandono. Warga di Wana dan wilayah yang berdekatan di sana mengenalnya, memanggilnya dengan sebutan itu, Letnan.

Page 93: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Letnan adalah pendeta BK yang melayani warga Wana sejak Agus-tus 2010. Istrinya yang juga bekerja sebagai pendeta BK adalah asli Lindu, Sigi, yang bertemu dengannya saat pendidikan BK di Bandung, pusat kan-tor BK di Indonesia. Bersama istri dan seorang anak batita perempuannya, Letnan yang asli Malang, Jawa Timur, itu tinggal di Wana bersama warga di sana, dusun yang tak pernah dia tahu sebelumnya. “Pelayanan membuat kami siap ditempatkan dan bertugas di mana saja,” katanya. Saat ini, Letnan tak hanya melayani Wana, tetapi juga Lekatu, dusun yang berada di bawah Wana.

Tegas dalam bersikap menjadi yang paling kelihatan dari perangainya. Fahri, pegiat yang bekerja untuk wilayah dampingan Wahana Visi di Wana, Salena, dan Lekatu menyebut anak-anak di Wana sangat menghormati Letnan karena kedisiplinan yang dia tanamkan pada mereka. Orang-orang tua di Wana kadang melaporkan pada Let-nan anak-anak mereka yang kadang tak patuh.

Page 94: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Tidak hanya pelayanan kerohanian, Letnan menjadi semacam fasilitator, kader, yang menjembatani

kebutuhan warga Wana untuk misalnya, kesehatan. Obat-obat untuk penyakit yang umumnya diderita

warga, seperti panas, demam, dan diare, disiapkannya. Istrinya pun sama, misalnya dalam hal melayani ibu

melahirkan yang kebanyakan masih dengan cara tradisional, dengan cara berjongkok.

Apa yang menjadi perhatian Anda atas Wana?Ini satu soal, ketika guru yang ditugaskan di Wana

beragama Islam, sedang di Wana seratus persen warga beragama Kristen. Tak jadi soal kalau yang

diajarkan pelajaran umum seperti baca, tulis, hitung, tetapi kalau pelajaran agama, kan jadi soal. Tentang

pendidikan di Wana ini saya pernah mendiskusikannya dengan UPT (Unit Pelaksana Teknis) Dinas Pendidikan

di Kecamatan Palu Barat.

Page 95: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Soal lain, tentang perhatian pada warga Wana. Misalnya, pernah ada pendataan statistik yang hanya mendata, tanya saya lewat telepon. Saya maunya datang dan lihat keadaannya secara langsung. Saya bilang kepada petugasnya, itu kan bagian dari tugasnya. Begitu juga pernah ada mahasiswa yang butuh data, tetapi tidak mau naik ke Wana. Inilah yang saya sayangkan. Bentuk perhatian yang setengah-setengah. Sama juga kalau pemilu.

Ada banyak soal-soal yang terlihat biasa, sepele, tetapi sebenarnya masalah. Jalan yang sudah dibuka itu, misalnya. Ada kebun yang dilalui karena pembukaan jalan. Sepetak kebun ubi itu untuk konsumsi satu keluarga selama satu tahun. Ada Ibu Ena, warga di Wana, yang sampai jatuh sakit karena kebunnya hilang oleh pembukaan jalan itu.

Bagaimana pendekatan yang Anda lakukan di Wana yang masih kental adatnya?Bagi saya adat penting. Sama pentingnya dengan pemahaman saya dengan kehidupan yang layak. Itu untuk memanusiakan manusia.

Tentang Wahana Visi Indonesia?Saya apresiasi terhadap apa yang dilakukan oleh teman-teman Wahana Visi, khususnya terhadap perkembangan anak-anak di Wana. Saya harapannya apa yang mereka lakukan itu berkelanjutan.

Page 96: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

iBu asDia (Wana, Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu)

PENGALAMAN yang paling tak bisa dilupakannya adalah ketika suatu waktu dia harus berbohong pada

petugas rumah sakit Anutapura, kepemilikan jaminan kesehatan

daerah (Jamkesda) miliknya diakuinya milik seorang ibu hamil yang dia bawa saat itu dan harus

segera mendapatkan pertolongan medis. Dalam perjalanan menuju

rumah sakit, terjadi kecelakaan pula. Untungnya tak sampai luka berat dan saat itu harus segera mengganti biaya

kerusakan motor pengendara lain yang ditabrak suaminya dan agar tak

panjang urusan sampai ke polisi.

Tempat/tanggal lahirPalu, 10 Agustus 1972

PekerjaanGuru honor

Pendidikan terakhirSMA

AgamaKristenStatus

Sudah menikah (3 anak)

asdia

Page 97: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Pengalaman itu menjadi sekian dari kisah suka dan dukanya bersama warga Wana. Di Lekatu, rumahnya, di Wana, tempatnya mengajar, dan sebagian Salena, orang-orang mengenalnya, memanggilnya Mama Tika, nama anak perempuan tertuanya yang sudah berusia 13 tahun.

Ibu Asdia adalah sosok perempuan tangguh yang penuh rasa keibuan. Tidak saja bagi anak-anaknya, tetapi juga bagi anak-anak di sebagian besar Lekatu dan Wana. Berjalan kaki pulang pergi Wana dan Lekatu menjadi hal yang biasa dalam kesehariannya. Sudah sering, ke Wana bersama suaminya nekat pakai motor dan jatuh dalam perjalanan waktu naik atau ketika turun dan tergelincir.

Page 98: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sebelumnya Ibu Asdia tinggal di Lumbulemo dan akhirnya berpindah ke Lekatu sejak tahun 1977. Di Wana, Ibu Asdia juga punya rumah. Kalau akan mengajar keesokannya, dia bermalam di sana. Bersama Pak Mesak, Ibu Asdia menjadi guru dengan status honor yang mengajar di semua kelas di sekolah dasar di Wana.

Ibu adalah guru di Dusun Wana. Bagaimana pendidikan di sana?Kami fokusnya ke pelajaran dasar baca, tulis, hitung. Ada 60 anak didik sekarang yang harapannya mereka bisa melanjutkan sampai SMP. Saat mengajar juga kita harus sesekali pakai bahasa Kaili, sesekali bahasa Indonesia. Itu supaya anak-anak tidak bosan dan mengerti pelajarannya. Tentang pendidikan di Wana ini menurut saya penting, karena bagi saya mereka anak bangsa juga, yang butuh perhatian khususnya pendidikannya.

Page 99: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

PaK mamu (Ketua RT di Wana, Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu)

PAK Mamu adalah Ketua RT di Wana. Bapak dengan tujuh orang anak itu sehari-harinya turun ke punggung bukit, di sungai jernih yang melintasi jalan sebagai perbatasan antara Wana dan Salena, untuk berkebun. Dia memiliki beberapa pohon kemiri yang buah-buahnya dikumpulkannya untuk dijual pada hari Kamis, sebagai hari pasar di Salena.

Banyak hal yang disampaikannya tentang Wana, sesekali dalam bahasa Kaili Da’a, sesekali dalam bahasa Indonesia. Pak Mamu, yang sebelumnya tinggal di Lumbulemo dan berpindah ke Wana sejak tahun 2002 itu bercerita tentang perubahan, problem, dan potensi yang ada di Wana.

Menurutnya, potensi yang bisa dikembangkan dari Wana adalah kerajinan tangan yang sudah biasa dibuat oleh orang Wana untuk kebutuhan rumah tangga, seperti sendok kayu untuk memasak dan tudung saji yang dibuat dari bambu.

Tempat/tanggal lahirWana, 65 tahunPekerjaanBertaniPendidikan terakhir-AgamKristenStatusSudah menikah (7 anak)

Page 100: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Perubahan-perubahan terjadi dalam pola kerja. Sejak pertambangan emas ramai di Poboya, yang mereka sebut Vatutempa, sebagian besar lelaki-lelaki dewasa di Wana bekerja di sana sebagai buruh pikul material pertambangan, karena pendapatan di sana besar.

Ada banyak pecahan batu gunung yang sudah dirapikan dan siap diangkut truk di sepanjang jalan menuju Wana, khususnya di punggung bukit, titik pemberhentian terakhir kendaraan roda empat. Menurut Pak Mamu, batu-batu gunung sebagai kebutuhan pondasi bangunan yang dipecahkan itu dihargai Rp 70.000 untuk satu bak truk.

Terkait problem di Wana yang sempat disampaikannya, Pak Mamu mempertanyakan perihal rencana rehabilitasi sekolah dasar di Wana, yang menurutnya sebagai Ketua RT di sana, dia merasa harus tahu dan dilibatkan dalam proses pembangunannya yang sampai saat ini belum juga terlaksana.

Page 101: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Wahana Visi indonesia (Wahana Visi) adalah organisasi kemanusiaan Kristen yang

bekerja untuk membawa perubahan berkelanjutan pada kehidupan anak,

keluarga dan masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Didasari oleh nilai-nilai Kristiani, Wahana Visi mendedikasikan diri bekerja

bersama masyarakat yang paling membutuhkan pendampingan, melayani semua orang tanpa

membedakan latar belakang agama, ras, suku, atau jender.

Visi kami untuk setiap anak, hidup untuk sepenuhnya;

Doa kami untuk setiap hati,tekad untuk mewujudkannya

Page 102: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Sejak tahun 1995, Wahana Visi telah menjadi mitra organisasi kemanusiaan World Vision Indonesia dan menjalankan hampir semua kegiatan pelayanan World Vision di Indonesia. Saat ini, Wahana Visi hadir mendampingi masyarakat melalui lebih dari 40 kantor operasional yang menjangkau lebih dari 800 desa, yang tersebar dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua.

Wahana Visi terdaftar di Dinas Sosial di masing-masing daerah layanan. Dinas Sosial adalah mitra yang memayungi pelayanan sosial-kemanusiaan di daerah. Selain itu, Wahana Visi juga bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, Pendidikan, Pertanian serta lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya yang memiliki visi sejalan, yaitu mendukung terjadinya transformasi kehidupan anak dan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang lebih berkualitas.

Pada akhir tahun 2011, kerja sama Wahana Visi dan World Vision telah mendukung peningkatan kesejahteraan hidup sekitar 2.000.000 masyarakat Indonesia, termasuk 87.000 anak sponsor yang disponsori oleh ribuan individu dari 13 negara. Sekitar 8.500 anak diantaranya disponsori oleh masyarakat Indonesia.

Page 103: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

sETiaP wilayah punya sejarahnya sendiri-sendiri. Seringkali sejarah sebuah wilayah – ditandai oleh nama, dalam bahasan ilmiah disebut toponimi. Peristiwa alam atau dinamika sosial yang membentuk wilayah itu menjadi cerita yang secara turun temurun hadir dalam bawah sadar warga yang menempati wilayah itu. Ada yang mempengaruhi secara langsung pada apa yang terjadi sejak dahulu hingga hari ini di wilayah itu, ada yang tidak.

Wilayah yang dimaksud dalam buku ini adalah kampung, definisi lain dari desa atau dusun, satuan terkecil dalam pengertian administrasi wilayah baik kota ataupun kabupaten dalam sebuah propinsi. Delapan kampung dalam buku ini adalah kampung yang menjadi bagian dari wilayah administratif Kota Palu.

Banyak cerita dari delapan kampung yang terangkum dalam buku ini, termasuk dinamika yang terjadi oleh interaksi warganya dan membentuk kampung itu hingga sekarang. Delapan kampung dalam buku ini merentang dari utara hingga barat.

Page 104: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin

Kedelapan kampung itu merepresentasi dimensi kewilayahan yang terdiri atas wilayah pesisir, wilayah urban dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi, dan wilayah perbukitan.

Di utara ada Kayumaboko, Mangu, dan Kintabaru, yang masuk dalam Kelurahan Pantoloan Boya dan Baiya, setelah pemekaran kecamatan, masuk menjadi wilayah Kecamatan Tavaeli. Lalu Ujuna dan Kampung Lere, dua kelurahan yang berada di titik pusat keramaian kota, sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Palu Barat, dan tiga wilayah tetangga yang masuk dalam wilayah Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi yang berciri perbukitan: Lekatu, Salena, dan Wana.

Ada banyak keterbatasan di kedelapan kampung itu, tapi juga ada banyak harapan. Keterbatasan dan harapan itu dimaknai oleh sebagian warganya sebagai sebuah optimisme yang kuat, bahwa kampung mereka akan menjadi lebih baik dari hari ke hari. Sebagian kecil dari mereka itu adalah personal yang tidak biasa, yang mendedikasikan dirinya bagi perbaikan kampung mereka. Oleh Wahana Visi Indonesia yang mendampingi kedelapan kampung itu personal-personal itu adalah kader.

Mereka bekerja penuh dedikasi dan memberi inspirasi dalam banyak ranah sosial: pendidikan, kesehatan, dan sektor publik lainnya, untuk membangun keyakinan sesama warga tetangga sekampung bahwa hari esok akan lebih baik dari hari ini, di kampung mereka.

Dan untuk itulah buku ini dipersembahkan.

Neni muhidin

Page 105: Narasi Orang Biasa | Neni Muhidin