modul skleroderma

47
Tinjauan pustaka SKLEROSIS SISTEMIK Rita Sriwulandari Pembimbing Prof. Dr. Eddy Mart Salim, SpPD, K-AI, FINASIM Dr. Nova Kurniati, SpPD, K-AI, FINASIM PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I 1

Upload: rita-sriwulandari-syahrial

Post on 29-Jun-2015

818 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODUL SKLERODERMA

Tinjauan pustaka

SKLEROSIS SISTEMIK

Rita Sriwulandari

Pembimbing

Prof. Dr. Eddy Mart Salim, SpPD, K-AI, FINASIM

Dr. Nova Kurniati, SpPD, K-AI, FINASIM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRI / RSMH PALEMBANG

2011

1

Page 2: MODUL SKLERODERMA

DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………………………………………………………………… i

BAB 1 Sklerosis Sistemik…………………………………………………….. 1

1.1 Definisi……………………………………………………………….. 1

1.2 Epidemiologi…………………………………………………………. 1

1.3 Klasifikasi…………………………………………………………….. 2

1.4 Faktor Genetik………………………………………………………… 5

1.5 Faktor Lingkungan……………………………………………………. 6

1.6 Patogenesis……………………………………………………………. 6

1.6.1 Vaskulopati……………………………………………………. 8

1.6.2 Autoimunitas Seluler dan Humoral…………………………… 10

1.6.3 Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis…………………… 12

BAB 2 Diagnosis dan Penatalaksanaan Sklerosis Sistemik…………………… 15

2.1Diagnosis…………………………………………………………… 15

2.2Gambaran Patologi..……………………………………………….. 17

2.3Penatalaksanaan……………………………………………………. 19

BAB 3 Kasus-kasus Skleroderma di Bagian Penyakit Dalam RSMH Palembang 25

BAB 4 Daftar Pustaka………………………………………………………… 30

2

Page 3: MODUL SKLERODERMA

BAB 1

SKLEROSIS SISTEMIK

1.1 Definisi

Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai

dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan keterlibatan organ internal

yang luas terutama paru, saluran cerna, jantung dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini

berhubungan dengan gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan

struktural dan fungsional yang menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang

progresif akibat dari proses fibrosis. Adanya gambaran skleroderma, membedakan

sklerosis sistemik dari penyakit jaringan ikat lain. 1-5

1.2 Epidemiologi

Skleroderma adalah penyakit sporadis dengan distribusi yang luas diseluruh dunia

dan menyerang semua ras. Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio

pada tahun 1973 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun.

Hubungan skleroderma dengan fenomena Raynaud pertamakali dilaporkan oleh Maurice

Raynaud pada tahun 1865. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa

penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun 1945 Goetz mengusulkan istilah

progressive systemic sclerosis yang menggambarkan lesi yang luas baik di kulit maupun

di organ viseral. Pada tahun 1964 Winterbauer mendeskripsikan salah satu varian

Skleroderma yang hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut dengan

sindroma CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).1-5

Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang tidak

dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada

masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar

19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : 1.

Pada penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien skleroderma pada

wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia

yang sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali

3

Page 4: MODUL SKLERODERMA

laki-laki pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan

insiden yang lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat.1-5

Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras

kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor

lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma misalnya debu silika

dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin,

trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga

diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma. Pajanan terhadap vinilklorida

diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud,

akroosteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomisin pada kanker testis

terutama bila dikombinasi dengan sisplatinum ternyata berhubungan dengan timbulnya

skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru. 1-5

Skleroderma adalah penyakit yang jarang dan sebagian besar penelitaian

epidemiologi deskriptif berasal dari penelitian retrospektif dan prospektif pasien yang

masuk rumah sakit atau penelitian pada populasi yang dicurigai. Hanya terdapat satu

penelitian berbasis populasi yang dilakukan oleh Maricq dkk tahun 1989. Penelitian

prevalensi di Inggris oleh Allock dkk tahun 2004 menemukan frekuensi yang lebih tinggi

yaitu 12 diantara 100.000 penduduk, serupa dengan penelitian Mayes dkk 2003 di

Amerika utara dan penelitian Roberts-Thomson dkk 2001 di Australia. 3

Kesimpulan dari studi demografik ini didapatkan bahwa penyakit ini jarang

terjadi pada anak-anak dan insidennya meningkat sesuai dengan penambahan usia.

Insiden yang jarang ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan

penting dalam kerentanan yang terjadi pada populasi. 1-5

1.3 Klasifikasi

Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat

dibagi menjadi dua kelompok yaitu : 1-5

1. Skleroderma Lokal

Yaitu beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai

kelainan sistemik. Termasuk dalam kelompok ini adalah :

4

Page 5: MODUL SKLERODERMA

a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh

mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan.

b. Linear Sclerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai perubahan skleroderma pada

kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan tulang

dibawahnya

c. Scleroderma en coup de sabr : Merupakan varian skleroderma linier, dimana garis

yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah

frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dana kelainan tulang.

2. Sklerosis sistemik

a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas, muka

dan seluruh tubuh.

b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut

tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah sindroma CREST

(calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).

c. Sklerosis sitemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit

walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk

sklerosis sistemik.

d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau penyakit

otot inflamasi

e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan fenomena

Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sitemik

5

Page 6: MODUL SKLERODERMA

Tabel 1. Klasifikasi Skleroderma 3

Gambar 1 Gambaran klinis Skleroderma. 3

(A,B) Keterlibatan kulit tersebar pada sklerosis sintemik, (C.) Amputatum,

(D) Plaque morphea

Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa dapat dilihat

pada table 2.

6

Page 7: MODUL SKLERODERMA

Tabel 2. Perbedaan antara sklerosis sitemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa 1

Sklerosis Sistemik Terbatas versus Sklerosis Sistemik Difusa

Tampilan Sklerosis Sistemik Terbatas Sklerosis Sistemik Difus

Kulit yang terlibat Terbatas pada jari, lengan distal, wajah, progresifitas lambat

Difus: jari-jari, ekstremitas, wajah, badan, progresifitas cepat

Fenomena Raynaud

Mendahului keterlibatan kulit; berhubungan dengan iskemia

Sejalan dengan keterlibatan kulit

Fibrosis pulmonal Mungkin terjadi, moderat Sering, awal dan berat

Hipertensi arteri pumonal

Sering, lambat, mungkin terisolasi Dapat terjadi, berhubungan dengan fibrosis pulmonal

Krisis renal skleroderma

Sangat jarang 15 % terjadi; diawal

Kalsinosis kutis Sering, menonjol Dapat terjadi, ringan

Karakteristik autoantibodi

Antisentromer Antitopoisomerase (Scl-70)

1.4 Faktor Genetik

Skleroderma adalah penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan hukum

Mendelian. Kembar dizigot dan monozigot menunjukkan kekerapan yang berbeda.

Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang menunjukkan

pentingnya faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk systemic lupus

erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat pada keturunan

pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan pada polimorfisme

gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi imunitas, inflamasi, fungsi

vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang lemah antara single nucleotide

polymorphisms (SNPs) denagan skleroderma telah dilaporkan pada gen yang mengkode

angiotensin-converting enzyme (ACE), endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers

(CD19), kemokin (monocyte chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin

(interleukin (IL)-1 alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth factors

dan reseptornya (connective tissue growth factor [CTGF] and transforming growth factor

beta [TGF-beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC).1-5

1.5 Faktor Lingkungan

7

Page 8: MODUL SKLERODERMA

Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan

pentingnya faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama

virus, paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat

mencetuskan skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan

antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I

autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit. Hal

ini terjadi melalui proses mimikri molekuler antara hCMV dengan host. Penelitian lain

menunjukkan implikasi infeksi hCMV pada vaskulopati allograft pada transplantasi

organ padat. Vaskulopati ini dicirikan dengan pembentukan neointima vaskuler,

proliferasi otot polos dan vaskulopati obliteratif. hCMV dapat secara langsung

menginduksi produksi CTGF pada fibroblast yang terinfeksi sehingga hipotesis tentang

peran hCMV terhadap kejadian skleroderma adalah rasional. Infeksi Human parvovirus

B19 juga diperkirakan berhubungan dengan kejadian Skleroderma. 1-5

Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada

pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan dengan

skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic hydrocarbons

(toluene, trichloroethylene). Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian

skleroderma adalah bleomycin, pentazocine, cocaine dan penekan nafsu makan

(terutama derivat fenfluramine) yang berhubungan dengan kejadian hipertensi

pulmonal. 1-5

1.6 Patogenesis

Dalam dua dekade ini telah banyak usaha dilakukan untuk mengetahui

pathogenesis dari skleroderma. Salah satu yang menjadi kendala adalah gambaran klinis

yang luas dan bagaimana menjelaskan perbedaan terjadinya pola penyakit berdasarkan

sistem organ. 1-5

Didapatkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan dalam patogenesis

skleroderma dan pada sebagian besar pasien tampaknya kerentanan host merupakan

factor kunci yang dapat mencetuskan penyakit. 1-5

8

Page 9: MODUL SKLERODERMA

Makrofag, sel mast, eosinofil dan basofil jumlahnya meningkat dalam darah dan

jaringan skleroderma yang aktif. Sel-sel ini mampu memproduksi mediator larut yang

dapat memodifikasi fungsi endotel dan fibroblast. Sebagai contoh sel mast menghasilkan

histamin yang menstimulasi proliferasi dan sintesis matriks oleh fibroblast dan

menyebabkan retraksi sel endotel.1-5

Sel target utama dari respon imun adalah sel endotel dan fibroblast. Stimulasi

sintesis kolagen dapat melibatkan sejumlah besar sitokin yang dapat memodulasi

fibroblast. Dimungkinkan bahwa perubahan kadar sitokin atau autokrin/parakrin dapat

menstimulasi atau menstabilkan proses penyakit. Perubahan sel jaringan ikat (sintesis

kolagen, fibronektin dan glikosaminoglikans yang berlebihan) dan kerusakan sel endotel

serta vaskulopati terjadi akibat proses imunologi. 1-5

Sel efektor utama pada Skleroderma adalah sel fibroblast yang mensintesis

matriks. Sel ini mengekspresikan penanda dan fenotif miofibrolast seperti hasil penelitian

Kissin dan Korn tahun 2002. Diduga sel progenitor yang beredar mengendap pada

daerah fibrosis, sebaliknya pada Skleroderma juga ditemukan sel endothel dalam

sirkulasi seperti penelitian Del Papa 2004. Penelitian Denton dkk tahun 2001

menyatakan bahwa terdapat sejumlah sel progenitor fibrobalast yang dapat diaktifasi

manjadi fibrosis. 1-5

Patogenesis Skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon imun

seluler dan humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel. Autoimunitas, perubahan

fungsi sel endotel dan aktifitas vaskuler mungkin merupakan manifestasi dini dari

Skleroderma berupa fenomena Raynaud yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran

klinis lain muncul. Terjadi proses yang kompleks dari proses fibrosis mulai dari inisiasi,

amplifikasi dan perbaikan jaringan. 1-5

Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap

scleroderma, akan menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler, inflamasi dan

terjadinya autoimunitas. Inflamasi dan respon imun akhirnya menyebabkan sel fibroblast

teraktifasi dan berdifernsiasi secara terus menerus, menghasilkan fibrogenesis yang

patologis dan kerusakan jaringan yang ireversibel. 1-5

9

Page 10: MODUL SKLERODERMA

Gambar 2. Skema pathogenesis kompleks Sklerosis Sistemik.

(CTG ; Connective Tissue Grown Factor, PDGF : Platelet-Derived Grown Factor, ECM :

Extracelluler Matrix).4

1.6.1 Vaskulopati

Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan penting

dalam implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi awal penyakit ditandai

dengan perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya

reversibel, terjadi akibat perubahan sistem saraf otonom dan perifer dengan kurangnya

produksi neuropeptida seperti calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris

dan peningkatan sensitifitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler.

Pada fenomena Raynaud primer gejala klinis relative lebih ringan dan tidak progresif

10

Page 11: MODUL SKLERODERMA

seperti halnya Skleroderma yang mengakibatkan perubahan morfologi dan fungsi

sirkulasi yang ireversibel dan mengakibatkan cedera endotel. 1-5

Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas endothelium-

derived factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide, prostacyclin) dan

vasokonstriksi (endothelin-1). Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah mikro

sehingga diapedesis leukosit transendotelial meningkat, aktifasi kaskade koagulasi dan

fibrinolitik serta agregasi trombosit. Proses ini menyebabkan terjadinya trombosis. Sel

Endotel menunjukkan peningkatan ekspresi molekul adhesi intercellular adhesion

molecule-1 (ICAM-1) serta molekul adhesi permukaan lainnya. 1-5

Vaskulopati mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole dan bahkan

pembuluh darah besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot

polos mengalami proliferasi, membran basal menebal, reduplikasi serta terjadi

perkembangan fibrosis adventitia. Oklusi lumen vaskuler progresif akibat hipertrofi

tunica intima dan media serta fibrosis adventitia, ditambah dengan kerusakan persisten

sel endotel dan apoptosis sehingga menjadi suatu lingkaran setan. Angiogrom tangan dan

ginjal pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan hilangnya gambaran vaskuler. 1-5

Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan pelepasan

vasokonstriktor (tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan

vaskuler ini kemudian diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat

iskemia berhubungan dengan terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan

menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut melalui peroksidasi lipid membran.

Sebaliknya, proses revaskularisasi yang seharusnya mempertahankan aliran darah pada

jaringan yang iskemik tampaknya gagal pada Skleroderma. Kegagalan vaskulogenesis

terjadi dalam keadaan kadar faktor angiogenik yang tinggi seperti vascular endothelial

growth factor (VEGF). Pada pasien Skleroderma, jumlah progenitor sel CD34+ dan

CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi jumlahnya menurun secara

bermakna. Lebih jauh lagi, penelitian in vitro menunjukkan diferensiasinya menjadi sel

endotel matur terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif dan kegagalan perbaikan

pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma.1-5

11

Page 12: MODUL SKLERODERMA

1.6.2 Autoimunitas Seluler dan Humoral

Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan

terakumulasi di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang terkena. Sel T yang

menginfiltrasi, mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR

serta menampakkan restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai

respon terhadap antigen yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga

meningkatkan reseptor kemokin dan mengekspresikan molekul adhesi alpha 1 integrin

yang berfungsi meningkatkan kemampuan untuk mengikat endotel dan fibroblast.1-5

Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang

memfasilitasi diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan

respon Th2 terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2

ini dapat menginduksi TGF-beta yang merupakan modulator regulasi imun dan

akumulasi matriks yang. TGF-beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta

sitokin lain karena mempunyai aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi fibroblast

dan sel efektor lain. 1-5

Tabel 3. Mediator terlarut pengaktivasi Fibroblast yang kadarnya meningkat pada Skleroderma4

12

Page 13: MODUL SKLERODERMA

Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial

menunjukkan pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4 dan

IL-13 serta penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang

sintesis kolagen dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan

memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin. 1-5

Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma. Autoantibodi ini

spesifisitasnya tinggi terhadap skleroderma dan menunjukkan hubungan yang kuat dengan

fenotif penyakit individual dan haplotipe HLA yang dibedakan secara genetik. Kadar

autoantibodi berhubungan dengan keparahan penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai aktifitas

penyakit. Autoantibodi spesifik Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang langsung protein

mitosis seperti topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang

antigen permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada Skleroderma

dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi terhadap fibroblast, sel

endotel, fibrillin-1 serta enzim matriks metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin

mempunyai peran patogenik langsung sebagai mediator kerusakan jaringan. 1-5

Berbagai mekanisme potensial telah diajukan dengan memperhitungkan peran

pembentukan autoantibodi pada Skleroderma. Menurut salah satu teori, pada pasien sklerodema

self-antigen spesifik dapat membuat perubahan struktural melalui celah proteolitik, peningkatan

level ekspresi atau perubahan lokalisasi subseluler sehingga sel tersebut dapat dikenali oleh

sistem imun. Sebagai contoh, sel Tc melepaskan protease granzim B yang merusak autoantigen,

menghasilkan fragmen baru dengan neo-epitop potensial yang merusak toleransi imun. 1-5

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam autoimunitas dan

fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai antigen

presenting cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi fungsi

sel T dan sel dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas intrinsik

dengan penningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan menurunkan jumlah

sel B memori serta sel plasma. 1-5

13

Page 14: MODUL SKLERODERMA

1.6.3 Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis

Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma yang

membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan konsekuensi

dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan penggantian arsitektur

jaringan normal dengan jarunga ikat aseluler yang progresif yang menyebabkan peningkatan

morbiditas dan mortalitas skleroderma.3-5

Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas fungsional

dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh TGF-beta dan

sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan kolagen dan matriks

makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi reseptor permukaan

untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi miofibroblast. Respon fibroblast ini

memfasilitasi perbaikan cedera jaringan yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan

fibroblast akan berhenti dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi.3-5

Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi terus-menerus dan makin

besar yang menghasilkan perubahan matriks dan pembentukan jaringan parut. Aktivasi

fibroblast yang salah ini serta akumulasi matriks adalah perubahan patologis utama yang

mendasari terjadinya fibrosis pada skleroderma. 3-5

Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum

tulang yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang mengekspresikan

CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth muscle actin-positive

fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta.3-5

14

Page 15: MODUL SKLERODERMA

Gambar 3. Aktivasi Fibroblast pada scleroderma 5

Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di sumsum tulang,

perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan meningkatnya diferensiasinya menjadi

matriks adesif dan fibrosit yang kontraktil belum sepenuhnya diketahui. Transisi sel epitel

menjadi sel mesenkim adalah proses yang terjadi dalam berkembangnya fibrosis di paru dan

ginjal serta organ lain. 3-5

Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos. Baik proses

transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta. Miofibroblast bertahan di

dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap apoptosis. Miofibroblast berkontribusi

terhadap pembentukan skar melalui kemampuannya dalam memproduksi kolagen dan TGF-beta,

memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks di sekitar dan mengubahnya menjadi skar yang

rapat. 3-5

15

Page 16: MODUL SKLERODERMA

Ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari fibroblast pasien

skleroderma. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks ekstraseluler,

ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF, resitensi tehadap

apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGf-beta intraseluler yang

tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan kegagalan loop umpan balik negative Smad-7

tamapak pada Skleroderma. Protein koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi yang

dimediasi Smad dan merupakan lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler yang

memodulasi fungsi fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad, p300 dan

protein seluler lain mempengaruhi meneta dan progresifitas proses fibrogenik scleroderma

dengan cara memodulasi transkripsi gen. 3-5

Gambar 4. Perubahan lesi pada berbagai stadium Skleroderma. 5

16

Page 17: MODUL SKLERODERMA

BAB 2

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

2.1 Diagnosis

Diagnosis Skleroderma ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul

kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan

gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun. 1

Tahun 1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria sklerosis

sistemik dengan sensitifitas 97 % dan spesifisitas 98 %., yaitu bila terdapat:

- Satu kriteria mayor, atau

- 2 dari 3 kriteria Minor

Kriteria Mayor :

Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik pada

kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.

Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan

abdomen)

Kriteria Minor :

- Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut di atas tetapi hanya terbatas pada jari

- Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Hal ini terjadi akibat iskemia.

- Fibrosis basal kedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikular terutama di

bagian basal kedua paru, tampak pada gambaran foto thorak standar.

17

Page 18: MODUL SKLERODERMA

Gambar 5. (A) Hiperkeratosis pada lipatan kuku pasien pada fase edema pasien

skleroderma terbatas. (B) Ulserasi jari pada pasien skleroderma terbatas. 5

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah autoantibodi antitopo-I (Scl 70) dan

antisentromer, karena memiliki spesifisitas yang baik pada sklerosis sistemik.

Gambar 6. Autoantibodi pada scleroderma. 5

Evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan.

Bila keadaan meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.18

Page 19: MODUL SKLERODERMA

Gambar 7. (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah paa specimen kulit pasien

scleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke

jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar

dari biopsi ginjal pasien skleroderma.5

2.2 Gambaran Patologi

Patologi Kulit

Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran

patologis yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks

ekstraselular pada dermis, terutapa kolagen tipe I dan III, yang disertai penipisan epidermis dan

hilangnya rete pegs merupakan gambaran patologis yang khas pada skleroderma. Hal ini

meyebabkan penegangan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium awal, tampak infiltrasi

sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosist T dan Mast sel. Sel-sel ini banyak

ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif

aselular. 1,2,3,4

Lesi Vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ

lainnya. Tunika intima arteri dan arteriola tampak berproliferasi sehingga lumennya menjadi

sempit. Dengan tekhik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler

yang makan lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperplasi tunika

intima, sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.1,2,3,4

19

Page 20: MODUL SKLERODERMA

Patologi Paru-paru

Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan kelainan

vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan skleroderma

yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru, yaitu penebalan tunika

media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat berakhir

sebagai gagal jantung kanan. 1,2,3,4

Patologi Jantung

Sklerosis sistemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada

perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang akhirnya

dapat berkembang menjadi perikarditis konstruktif. Pada miokardium, tammpak proliferasi

intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. De sekeliling pembuluh darah koroner,

ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark miokard.

1,2,3,4

Patologi Saluran Cerna

Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus

proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologis, tampak gambaran fibrosis pada

tunika propria dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat

fibrosis, peristaltis usus akan berkurang. Selain itu atrofi lapisan otot dan berkurangnya

peristaltis akan menimbulkan divertikel di kolon dengan mulut yang lebar. Pada esofagus dapat

timbul Barret`s esofagus (gastritis esofagus distal). Walaupun demikian, insiden,

adenokarsinoma pada keadaan ini sangat rendah.1,2,3,4

Patologi Ginjal

Akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan

reduplikasi lamina elastika. Membaran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada

20

Page 21: MODUL SKLERODERMA

tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran sklerotik pada glomeruli mmerupakan tanda khas

infark kortek ginjal dan stradium akhir skleroderma. Pada sklerosis sitemik yang disertai

kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisis eritrosit yang

beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat.1,2,3,4

Patologi Sistem Muskoloskletal

Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosis perivaskular yang menyebabkan

penurunan kekuatan otot dan peingkatan ringan enzim otot dalam serum. Selain itu dapat juga

terjadi kelainan seperti tampak pada poli dan dermatomiositis, yaitu infiltrasi limfositik

perivaskular, nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinis akan tampak

kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan

tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat

timbul kontraktur fleksi, teutama pada jari-jari.1,2,3,4

Fenomena Raynaud

Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem) yang

dicetuskan oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional. Perubahan spesifik umumnya

terjadi pada jari tangan, dapat juga mengenai jari kaki, daun telinga, lidah dan hidung. Pada fase

palordan sianosis pasien akan merasa nyeri sedangkan pada fase hiperemis akan terasa terbakar.

Fenomena Raynaud pada slerosis sistemik dapat dijumpai sebanyak 95%.1,2,3,4

2.3 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mano yang terlibat. Derajat penyakit

merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan kulit menunjukkan

perlunya terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat

tergantung manifestasi organ spesifik.

Strategi penatalaksannan skleroderma telah berkembang dengan pesat beberapa tahun

terakhir ini seperti tampak pada gambar di bawah ini. 3

21

Page 22: MODUL SKLERODERMA

Gambar 8. Ringkasan penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ (CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD : gastroesophageal refl ux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF, mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterial hypertension; PDE-5 : type 5 phosphodiesterase; RP : Raynaud’s pheno menon;SRC:scleroderma renal crisis; SSRI, specifi c serotonin receptor uptake inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-β, transforming growth factor beta.)

Penyuluhan dan dukungan psikososial

Penyuluhan dan dukungan psikososial memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

pasien sklerosis sistemik, karena perjalanan penyakit lama dan progresif.

Terapi Vaskuler

Komplikasi Skleroderma terjadi akibat PAH (pulmonary arterial hypertension), RP

(Raynaud’s phenomenon) dan SRC (scleroderma renal crisis). Pendekatan penatalaksanaan

keadaan ini telah berkembang dengan cepat. 3,6

PAH (Pulmonary Arterial Hypertension)

Disfungsi endothel pada PAH menyebabkan peningkatan endothelin dan penurunan nitric

oxide dan prostasiklin. Pemberian Continuous intravenous epoprostenol (Flolan) dan 22

Page 23: MODUL SKLERODERMA

subcutaneous atau intravenous treprostinil (Remodulin) yang sudah disahkan oleh US Food and

Drug Administration (FDA) dipakai sebagai terapi lini pertama penatalaksanaan PAH fs NYHA

IV. Efek prostasiklin yang selektif pada pembuluh darah pulmonal, memberikan tempat untuk

pemberiannya dengancara inhalasi untuk menghindari efek sitemiknya. Pemberian Iloprost

(Ventavis) tampaknya memberikan perbaikan fungsi dan hemodinamik serta menurunkan

kecepatan progresifitas penyakit. Peran endothelin 1 pada PAH idiopatik dan PAH skleroderma

memungkinkan dikembangkannya endothelin receptor antagonists (ERA) dengan contoh

preparat oral Bosentan (Tracleer). Type V phosphodiesterase (PDE-5) yang memetabolisme

cyclic guanine monophosphate (cGMP) dapat dihambat dengan PDE-5 inhibitor sildenafil

(Viagra) untuk meningkatkan vasodilatasi pulmonal dengan efek samping keram otot. 3,6

Scleroderma Renal Crisis (SCR)

Definisi SCR adalah terjadinya hipertensi maligna dan anemia heholitik mikroangiopati

pada pasien scleroderma. Penatalaksanaan SCR adalah dengan ACE inhibitor. Obat ini tetap

dapat diberikan walaupun fungsi ginjal menurun dengan drastic. Jika diperlukan dapat dilakukan

dialysis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid dan plasmafaresis tidak ada gunanya. 1,3,6

Raynaud’s Phenomenon (RP)

Terapi utama RP adalah menghangatkan badan. Pemakaian sarung tangan, penghangat

tangan dan penghangat ekstremitas lain dapat dipakai. Calcium-channel blockers seperti

amlodipine, nifedipine atau felodipine, adalah terapi medikal pertama pada RP. Dosis rendah

selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) juga digunakan karena dapat menhambat efek

agregasi dan aktivasi trombosit. Diantara SSRI, fluoxetine ( Prozac, Symbyax, Sarafem)

responnya baik dalam beberapa penelitian. ACE inhibitor dan ARB tidak efektif untuk RP.

Iskemi dan ulserasi jari ditatalaksana dengan pemberian Iloprost secara intermiten serta obat-

obatan lain yang dipakai pada PAH. 1,2,3,4

Obat Anti Infl amasi

Saat ini pemberian obat antiinflamasi pada skleroderma terbatas pada adanya keterlibatan

enyakit paru interstitial dan miositis. 3,5

23

Page 24: MODUL SKLERODERMA

Cyclophosphamide

Cyclophosphamide (CYC) telah digunakan sebagai terapi utama untuk penyakit paru

interstisial skleroderma. Dalam uji coba terkontrol baru-baru ini, cyclophosphamide

meningkatkan kapasitas vital paksa (FVC) sebesar 2,9% dibandingkan dengan plasebo.3,5

Transplantasi Stem Cell autologous

Immunoablasi dengan imun rekonstitusi dengan menggunakan stem cell perifer

autologous telah dipertimbangkan untuk scleroderma. Berbagai studi terus menerus dilakukan

untuk membandingkan anatara transplantasi sel induk dengan CYC dalam penatalaksanaan

scleroderma. 3,5

Methotrexate

Percobaan acak terkontrol mengevaluasi efisiensi dari metotreksat dalam skleroderma

dalam mengontrol stabilitas penyakit yang lebih besar dibandingkan dengan plasebo.

Methotrexate digunakan untuk kasus awal scleroderma dengan gambarabran skleroderma

terbatas pada kulit dan muskuloskeletal sistem, termasuk myositis. 3,5

Mofetil Mycophenolate

Belum ada penelitian acak buta ganda untuk Mofetil mycophenolate dalam

penatalaksanaan skleroderma. Bukti yang ada sekarang menunjukkan Mofetil mycophenolate

mungkin efektif pada skleroderma. 3,5

Tabel 4. Kandidat Terapi scleroderma 6

24

Page 25: MODUL SKLERODERMA

Terapi Antifibrotik

Terlepas dari kenyataan bahwa fibrosis merupakan komponen utama dalam patofisiologi

skleroderma, sampai saat ini belum ada obat anti fibrosis yang terbukti efektif untuk saat ini.

Agen nonspecifik, termasuk D-penicillamine dan rekombinan relaksin manusia, telah gagal

dalam uji klinis. Pentingnya ekspresi faktor pertumbuhan transformasi beta (TGF-beta) dalam

patogenesis skleroderma telah mendorong evaluasi agen yang dapat menghambat TGF-beta.

Meskipun penggunaan anti- antibodi TGF-beta telah diusulkan dalam studi-studi awal

aman, namun bukti klinis masih harus diamati. Terapi antisitokin lain belum berhasil pada

scleroderma. 3,5

Terapi Organ Spesifik Lain

Selain terapi ditujukan terhadap gangguan organ paru, ginjal dan pembuluh darah perifer

dalam skleroderma, saluran pencernaan adalah fokus umum untuk terapi organ specifiki. Jangka

panjang proton-pump inhibition (PPI) sangat efektif dalam mengobati refluks gastroesofagus

yang sering menjadi masalah kronis dan menjadi komplikasi pada skleroderma. Dosis tinggi

yang diperlukan kadang-kadang 2-3 kali dosis terapi normal, untuk mengurangi gejala. Dilatasi

dari striktur esophagus dapat dilakukan bila terdapat indikasi. ektasia vena lambung antral

(gastric antral venous ectasia /GAVE),sekarang dianggap sebagai penyebab paling umum dari

perdarahan gastrointestinal pada pasien skcleroderma. GAVE didiagnosis dan diobati

dengan endoskopi dan laser photocoagulation. Terjadi atropi otot polos sehingga menyebabkan

gastroparesis dan hipomotilitas usus kecil. Agen Prokinetik, termasuk metoklopramide dan

25

Page 26: MODUL SKLERODERMA

domperidone, digunakan dengan efek yang yang bervariasi. Pseudo-obstruksi usus dapat

ditangani dengan subkutan octreotide, analog somastatin. Perut kembung dan / atau diare

menandakan pertumbuhan yang berlebih dari bakteri usus kecil. Hal ini diobati dengan

pemberian antibiotic yang diubah secara berkala untuk menghindari resistensi antibiotic

contohnya pemebrian satu-dua minggu metronidazol 250 mg tiga kali sehari atau ciprofloxacin

500 mg empat kali sehari.Semakin beratnya scleroderma maka keterlibatan saluran pencernaan

mungkin akan didominasi oleh inkontinensia tinja dan sembelit. Obat antidiare dan dan obat

antikonstipasi dapat dipakai sesuai indikasi. 3,5

26

Page 27: MODUL SKLERODERMA

BAB 3

KASUS- KASUS SKLERODERMA

DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSMH PALEMBANG

1. Wanita, 37 tahun, luar kota, dirawat sejak tanggal 4 september 2007 jam 18.25 WIB

dengan keluhan utama sulit menelan sejak 3 minggu SMRS. Tiga bulan SMRS os

mengeluh muka kaku, mulut sulit untuk dibuka, bicara sulit, sulit menelan, jari-jari

tangan kaku dan tidak bisa diluruskan, napas terasa sesak, tidur dengan tiga bantal, perut

kencang, kaki kencang, sulit berjalan, rasa nyeri pada sendi dan tulang (+), timbul bercak

putih pada muka, timbul benjolan pada kaki sebesar ujung korek api berisi cairan,

dipecahkan menjadi luka yang terbuka. Makan obat dari warung, sakit tidak berkurang.

Tiga minggu SMRS muka semakin kaku, mulut semakin sulit dibuka, sulit untuk

menelan, sesak masih tetap, perut bertambah kencang, BAB cair sehari 3 kali, warna

kecoklatan sebanyak ± 1 gelas. Bercak putih di wajah bertambah banyak dan melebar.

Berobat ke RS Gumawang, dirawat, setelah 1 minggu os dirujuk ke RSMH. Riwayat

penyakit 8 tahun yang lalu terasa pegal di seluruh badan. 7 tahun yang lalu kulit

menggelembung berisi cairan pada lengan dan tungkai. 6 tahun yang lalu jari ,lengan,

tungkai dan wajah mulai kencang, 5 tahun yang lalu bertambah berat, sakit pada

persendian, mengkonsumsi jamu pegal linu sebanyak 10 macam, 1 tahun yang lalu ke

dokter penyakit dalam di Belitang. Keadaan umum tampak sakit berat, CM, TD 110 / 80

mmHg, nadi 78 x / m ,reguler isi dan tegangan cukup, RR 24 x /m, T 36,8 ˚C. Keadaan

spesifik , kepala konjungtiva palpebra pucat (+) , hipopigmentasi pada wajah, kulit muka

keras dan tegang, trismus lebar 3,5 cm, RBH basal kedua paru, abdomen, cembung,

tegang, ekstremitas superior kontraktur jari 1-5 kanan dan kiri membentuk sudut 90º ,

kulit tegang, Inferior, kulit tegang, ulkus pada tumit kiri 5 x 4 cm, pada punggung kaki

3 x 2 cm, mata kaki kanan terdapat ulkus 2 x 2 cm . Laboratorium Hb : 8,5 gr/dl, Ht : 26

vol % , LED : 76 mm/jam, trombosit : 195.000 /mm3, asam urat : 9,0 mg/dl, ureum : 87

mg/dl, kreatinin : 1,7 mg/dl, albumin : 2,0, globulin : 3,7, serologi : CRP : (+).Echo :

EDD 4,13, FS 43, ESD 2,32, EF 75 %, IVS 1,5, LVH echocentrik, PW 1,23, LV

Function N, E/A 1,42, Diastolic filling N, AO 3,22,PH moderat, LA 3,15, TR mild,

27

Page 28: MODUL SKLERODERMA

USG Abdomen : Bright liver, OMD : Normal foto OMD, Foto thorax Top : Pulmo

normal tdk ada, Cor bentuk normal, besar prominen, USG ginjal : Kanan : ukuran normal

hiperechoik, batas cortex dan medula tidak jelas, Kiri : ukuran normal hiperechoik,

Batas cortex dan medula tidak jelas, ANA positif, C3 44, C4 12, Anti ds- DNA 552,7,

Foto manus et pedis dextra et sinistra, Poliartritis pada sendi phalanges dan kontraktur

manus dan pedis kanan dan kiri. Pasien ditatalaksana dengan diet bubur biasa, IVFD Rl

gtt x/m (mikro), Omeprazole 1 x 20 mg, Allopurinol 3 x 100 mg, Ceftriaxon 1 x 1 gr,

Vitamin B1 B6 B12 3 x 1, Diltiazem 3 x 30 mg, Captopril 2 x 6,25 mg, Furosemid 1 x 1

tab, Hct 1 x 25 mg, Spironolakton 3 x 25 mg, Metylprednisolon 16-16-12 mg, Kompres

luka dengan NaCl 0,9 %, Transfusi PRC 150 cc.

2. Seorang wanita, Ny. L P, umur 25 tahun, datang ke Poliklinik Penyakit Dalam pada 5

Agustus 2009 dengan keluhan utama jari-jari tangan biru bila cuaca dingin sejak + 1

bulan sebelumnya. Sejak 2 tahun yang lalu os mengeluh kulit tangan dan wajah terasa

tebal, jari-jari tangan terasa kaku di pagi hari dan pucat hingga tampak biru bila cuaca

dingin. Rambut sering rontok, kulit wajah terasa merah bila terpapar sinar matahari. Os

juga mengeluh berat badan terus menurun meskipun nafsu makan tidak ada perubahan

(biasa). Berat badan dari 50 kg menjadi 45 kg. BAB & BAK tidak ada keluahan. Os

merasa bahwa dirinya di guna-guna (diracun) orang. Os kemudian berobat ke

paranormal, tetapi tidak ada perubahan. + 1 bulan sebelumnya os mengeluh jari-jari

tangan biru bila cuaca dingin, ngilu dan nyeri kadang-kadang, Os juga mengeluh kulit

tangan dan wajah terasa tebal, dan kaku. Bila membuka mulut terasa kaku, kesulitan

menelan disangkal, nyeri disekitar kerongkongan disangkal, sesak nafas disangkal. Berat

badan menurun, menjadi 40 kg. Nafsu makan tidak ada perubahan. Sesak nafas

disangkal, nyeri dada disangkal. BAB & BAK tidak ada keluhan. Dari pemeriksaan fisik

didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 92 x/menit,

reguler isi tegangan cukup, pernafasan 20 x/menit, suhu 36,5 oC, kulit dada tampak

menebal bentuk normal, abdomen kulit terasa tebal, hepar dan lien tak teraba, terdapat

sindaktili pada jari tangan kanan dan kiri, skleroderma proximal pada tangan dan lengan,

simetris kanan dan kiri. Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 12,8 g/dl, Ht 40 Vol %,

28

Page 29: MODUL SKLERODERMA

Leukosit, 10.900 /mm3, LED 7, Trombosit 408.000 /mm3, DC 0/1/1/68/24/6, Sel LE

tidak ditemukan, BSS 90 mg/dl, Ureum 20 mg/dl, Creatinin 0,8 mg/dl, Protein total 7,8

g/dl, Albumin 4,0 g/dl, Globulin 3,8 g/dl, Na 139 mmol/l, K 4,1 mmol/l, Urin:Leukosit

: 0 – 2 /LPB, Eritrosit : 0 – 1 /LPB, Protein : - , Glukose : -. EKG normal. Rongent

thorax PA, cor dan pulmo tidak ada kelainan. Echocardiografi : PR mild-moderate,

Endoskopi : Tampak mukosa didaerah pangkal lidah berdungkul-dungkul, rapuh, mudah

berdarah, Funduskopi: Vaskulitis OD, Leukokoria OS, Spirometri :Restriktif sedang,

Rontgen Manus dextra et Sinistra : manus kanan dan kiri normal, ANA (+), C3: 114

mg/dL, C4 30 mg/dL, Anti ds DNA 6.8 IU/mL, Antisentromer <7.5 IU/mL, USG

Normal, Endoskopi Kesan : Gastritis akut + Refluks empedu, Rehabilitasi Medik : ROM

bahu kiri & kanan terbatas, Keterbatasan Ekspansi dinding thorax.Os mendapat terapi

Vitamin B1B6B12 3x1 tab, Asetosal 1x80 mg, Ditiazem 3x15 mg, Metil prednisolon 1x6

mg, Lansoprazol 1x30 mg, Metoklopropamid 3x5 mg, Krim Urea 10% 2 kali sehari, Jaga

lingkungan agar tetap hangat, Senam nafas setiap hari, Program latihan dirumah, senam

wajah, senam persendian setiap hari.

3. Seorang wanita, Ny S, 36 tahun datang ke RSMH dengan keluhan luka koreng dikaki kiri

yang tidak mau sembuh sejak 1 minggu SMRS. Sejak 15 tahun SMRS os mengeluh nyeri

sendi, saat bangun tidur, nyeri pada sendi tangan dan kaki, nyeri berkurang saat siang,

sering kesemutan. Sejak 10 tahun SMRS nyeri pada tangan dan kaki semakin bertambah,

ujung jari os menghitam dan jari terasa memendek, kuku menipis, jari-jari tangan os

memucat hingga biru bila cuaca atau lingkungan dingin, lamanya 1 jam bila tidak

dihangatkan, kesulitan mengenggam tangan, sering sariawan dan gangguan menelan

terutama makanan padat, lidah kesat, kulit muka dan tangan terasa mengering, kurang

berkeringat dan nafsu makan berkurang. Sejak 7 tahun SMRS ujung jari kaki dan tangan

os mulai memendek, mengecil dan menghitam, nyeri bertambah, kuku os menipis sampai

mengelupas, kulit tangan dan kaki os mulai menebal, sariawan semakin sering, kesulitan

membuka mulut, rambut rontok, penglihatan kabur. Sejak 5 tahun SMRS timbul keras di

kaki os yang sebesar uang logam 100 rupiah, jumlah 5-6 buah masing-masing di kaki kiri

dan kanan os. Muka menebal, mulut terasa kaku dan mengecil. Sejak 1 tahun SMRS

29

Page 30: MODUL SKLERODERMA

tapak kaki os sering sakit, timbul keras dan bernanah, ujung jari kaki dan tangan os

memendek, kulit muka menebal. Sejak 2 minggu SMRS lutut kiri os mulai membengkak

disertai nyeri, panas jika diraba, bengkak menjalar kekaki kiri os, jari-jari semakin

membiru jika cuaca dingin, disertai nyeri, mulut semakin kaku dan menebal, sariawan

semakin sering, kesulitan menelan. Sejak 3 hari SMRS kaki kiri os semakin bengkak dan

bernanah, nyeri, lutut sulit digerakkan os berobat ke RSUD Ibnu Sutowo Baturaja

kemudian dirujuk ke RSMH. Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi dan status gizi

kurang. Pada keadaan spesifik didapatkan muka menebal, kojungtiva palpebrae pucat (+),

trismus (+), bentuk mulut fishmouth. Pada ekstremitas superior didapatkan sklerodaktili

(+) pada digiti manus I-V dextra et sinistra, skleroderma proksimal pada manus dan

antebrachial, simetris dextra et sinistra, kontraktur digiti manus III dextra. Kontraktur

digiti manus III-V sinistra. Pada ekstremitas inferior didapatkan ulkus di kruris sinistra,

jumlah 3 buah, dasar otot, ukuran masing-masing 3x3 cm; 2x3 cm; 3x4 cm, sklerodaktili

(+) pada jari kaki I-V kanan dan kiri, skleroderma proksimal pada tangan dan lengan

bawah, simetris kanan dan kiri, pembengkakan pada artikulatio genu sinistra, teraba

hangat, calsinosis di pedis dextra et sinistra dengan diameter masing-masing 2,5 cm,

ujung-ujung jari terasa dingin, ujung-ujung jari sakit jika diluruskan, kulit tegang (+),

keras (+), edema tibia sinistra. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 9,0 mg/dl,

Leukosit: 13.500/mm3, LED: 85 mm/jam, Albumin: 1,7 g/dl, Na: 126 mg/dl, K: 3,0

mmol/l. Sel LE tidak ditemukan, Protrombin Plasma : 14 1”, aPTT 25 2”, Gambaran

Darah Tepi : Anemia ec Penyakit Kronik ( infeksi/inflamasi). Protein total :7,8 mg/dl,

Albumin : 3,5 mg/dl, Globulin : 4,3 mg/dl, Bilirubin total : 0,51, Bilirubin direk : 0,18,

Bilirubin indirek : 0,33 mg/dl, SGOT : 22 u/l, SGPT : 14 u/l, Na : 133 mmol/l, K : 3,2

mmol/l, Ca : 2,17 mmol/l, TIBC : 177 ug/dl, Fe : 30ug/dl.’ ASTO (+), CRP (+), RF (-),

Coomb test direk (+), Coomb test indirek (+). Urin rutin : Sel epitel : positif +, leukosit :

4-5/LPB, Eritrosit : 0-1/LPB, Silinder : Granula Positif +, Protein : Positif +, Glukose :

(-), Nitrit (-). Faeces Rutin :Konsistensi : lembek, amoeba (-), eritrosit 0-1/LPB, leukosit :

0-1/LPB, telur cacing (-), sisa makanan : tak, protein : tak, lemak : tak, darah samar :

negatif (-). Kultur pus :Hasil Mikroskopis : Gram (+) coccus (+), Gram (-) basil (+),

leuko : 5-6/LPB, Epitel : 1-2/L, Hasil Biakan : Acinetobacter Calceocaticus, Hasil Uji

30

Page 31: MODUL SKLERODERMA

Sensitivitas : Amikacin , Imipenem, Rontgen Genu Ap/Lateral : OA genu Sinistra dan

OA Pedis Sinistra, rontgen Thoraks : kor dan pulmo tidak ada kelainan, funduskopi :

Vaskulitis ringan, OMD : peristaltik berkurang, bentuk esofagus relatif tubuler dan

spastik. Tidak tampak gambaran filling defek maupun additional shadow. Esofagus

tampak memendek disertai penarikan gaster ke superior (hernia hiatal). Ditambahkan

kontras negatif (gas) tampak mucosa gaster yang licin. Kesan: sesuai dengan gambaran

skleroderma oesophagus. Endoskopi : Tidak bisa dilakukan karena os susah membuka

mulut, mouthpeace tidak bisa masuk, ANA: Positif, Centromere Autoantibodies: < 7,5

IU/ml, Scl-70 IgG Autoantibodies: 108,00 Units, Feritin serum : 274,40 ng/dl, Coomb

test: direk (-), indirek (-), FEV 1/ FVC : 77 %, Spirometri : Gangguan restriktif ringan.

Os ditatalaksana dengan Diet NB 1700 kal, IVFD NaCl 0,9% : D5 % gtt xx/mnt,

Meropenem 3 x 500 mg, Meloxicam 1x7,5 mg, Topikal : kompres NaCl 0,9 % +

Gentamisin 2, Antioksidan 1x1.

31

Page 32: MODUL SKLERODERMA

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiyohadi B. Sklerosis Sistemik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : Pusat

penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, 2006.hal. 1239-1244.

2. Varga J. Systemic Sclerosis (Scleroderma). In : Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,

Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editor. Harrison’s Principles of internal

medicine. New York : Mc Grwa Hill Medical, 2008.p 2096-2106.

3. Denton CP, Black CM. Systemic Sclerosis, Scleroderma. In: Rose NR,

Mackay IR, editor. The Autoimmune Disease.. 4th ed. London :Elsevier,

2006. p : 369-379

4. Mayes MD. Systemic Sclerosis. In : Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH , editor. Primer on the Rheumatic Diseases. 13th edition. London:. Springer Science Business Media,2008; p 343-362.

5. Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T. Scleroderma. The New England Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society. 2009.p.1989-2003

6. Sardana K, Garg VK. Therapeutic trial for systemic sclerosis : an update. Indian Journal Dermatology Venerology. 2008; 436-446.

32