metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

26
TUGAS ANALISA PANGAN TEKNIK ANALISA KANDUNGAN AFLATOKSIN B 1 SECARA ELISA PADA PAKAN TERNAK DAN BAHAN DASARNYA DISUSUN OLEH : NUR INDAH EKA OKTAFIANI 093234013 BINAR BERLIAN 093234016 VINANCIA EKA HANANIA 093234031 KIMIA A 2009

Upload: nur-eka-oktafiani

Post on 29-May-2015

3.983 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

TUGAS ANALISA PANGAN

TEKNIK ANALISA KANDUNGAN AFLATOKSIN B1 SECARA

ELISA PADA PAKAN TERNAK DAN BAHAN DASARNYA

DISUSUN OLEH :

NUR INDAH EKA OKTAFIANI 093234013

BINAR BERLIAN 093234016

VINANCIA EKA HANANIA 093234031

KIMIA A 2009

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2012

Page 2: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahan makanan mudah terkontaminasi oleh kapang atau cendawan. Jenis bahan makanan

utama yang dapat terkontaminasi oleh kapang adalah biji-bijian, padi-padian, dan kacan-

kacangan, yang salah satunya adalah kacang tanah dan hasil olahannya.

Salah satu jenis racun yang dihasilkan oleh kapang pada makanan adalah aflatoksin.

Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihsilkan oleh metabolit sekunder kapang Aspergillus

flavus dan A. parasiticus. Kapang ini biasanya ditemukan pada bahan pangan atau pakan

yang mengalami proses pelapukan (Diener dan Davis, 1969), antara lain jagung. Kerusakkan

akibat kontaminasi kapang sangat beragam. Kerusakkan meliputi kerusakkan fisik:

perubahan warna, bau, perubahan tekstur, dan kerusakkan kimiawi: perubahan nilai nutrisi,

sehingga berakibat pada kesehatan konsumen manusia maupun hewan.

Jagung yang baru dipanen memiliki kadar air yang tinggi, jagung dengan kadar air tinggi

cocok sebagai substrat untuk pertumbuhan Aflatoksin. Aflatoksin yang paling mendominasi

untuk tumbuh subur pada jagung adalah Aspergillus flavus. Pertumbuhan dan

perkembangan Aspergillus flavus pada substrat jagung sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan substrat tersebut. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan

Aspergillu flavus diantaranya adalah suhu, kelembapan, pH, aktivitas air, keadaan udara,

dan curah hujan yang tinggi. Kondisi seperti itu hanya bias ditemui di negara tropis seperti

Indonesia. Apabila kondisi tersebut optimal maka pertumbuhan Aspergillus flavus akan

mencapai pertumbuhan yang optimal pula. Adanya kontaminasi aflatoksin yang melebihi

ambang batas maksimal yang dipersyaratkan dunia perdagangan menyebabkan jagung

menjadi tidak laku untuk diperdagangkan. Kesadaran masyarakat semakin tinggi akan

pentingnya mutu dan keamanan pangan termasuk pangan dari jagung. Oleh karena itu mutu

dan keamanan jagung harus dijaga, termasuk dijaga dari kontaminan Aspergillus flavus yang

dapat menghasilkan aflatoksin pada jagung. Senyawa aflatoksin terdiri atas beberapa jenis,

yaitu B1, B2, G1, dan G2, namun yang paling dominan dan mempunyai sifat racun yang

sangat tinggi serta berbahaya adalah aflatoksin B1 (Diener dan Davis 1969).

Page 3: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

Aflatoksin yang ada pada bahan pangan berbahaya bagi kesehatan. Aflatoksin dapat

menyebabkan berbagai penyakit (Syarief dan Nurwitri, 2003; M. Noor, 2005):

hepatocarcinoma (aflatoksin akut), kwashiorkor, reye’s syndrome, kanker hati.

Kualitas jagung untuk pakan ternak antara lain ditentukan oleh ada atau tidaknya cemaran

aflatoksin pada jagung tersebut. Kandungan aflatoksin yang tinggi pada jagung sebagai

bahan dasar pakan ternak akan menyebabkan kontaminasi aflatoksin yang tinggi pula pada

pakan jadinya, karena sekitar 50% bahan dasar pakan unggas berasal dari jagung sebagai

sumber karbohidrat. Jika pakan yang tercemar aflatoksin diberikan kepada ternak unggas

(ayam, itik), maka residu aflatoksin akan terdapat pula pada produk ternaknya seperti telur,

daging dan hati. Kandungan aflatoksin pada produk ternak akhirnya akan mempengaruhi

kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya (Budiarso, 1995).

Untuk mendeteksi keberadaan aflatoksin pada bahan dasar pakan dan pakan ternak, telah

tersedia metode analisis yang cepat, sensitive, dan spesifik yaitu enzyme linked

immunosorbent assay (ELISA). Keuntungan dari teknik analisis ini adalah sangat sensitive

dan spesifik dengan menggunakan antibody. Selain itu, waktu analisisnya cepat, baik pada

contoh tunggal maupun banyak.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumskan masalah “Berapa kadar tingkat

kontaminasi aflatoksin B1 secara Elisa pada contoh pakan ternak dan bahan dasarnya?”

C. Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui tingkat kontaminasi aflatoksin B1 secara ELISA pada contoh pakan

ternak dan bahan dasarnya.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Dapat mengetahui ciri-ciri bahan makanan yang tercemar aflatoksin baik dari segi fisika

ataupun kimia.

Page 4: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

2. Dapat mengetahui bahaya aflatoksin pada kesehatan pengkonsumsi makanan yang telah

tercemar aflatoksin.

3. Mengetahui kadar kandungan aflatoksin yang masih dalam batasan tidak berbahaya pada

pakan ternak dan bahan dasarnya.

Page 5: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Aflatoksin

Kapang dapat menghasilkan metabolit beracun yang disebut mikotoksin. Mikotoksin

terutama dihasilkan oleh kapang saprofit yang tumbuh pada bahan pangan atau pakan

hewan. Setelah tahun 1970, diketahui bahwa mikotoksin dapat menimbulkan penyakit pada

manusia, bahkan dapat menyebabkan kematian. Toksisitas mikotoksin dapat bersifat akut

maupun kronik, tergantung pada jenis dan dosisnya.

Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari

fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Aflatoksin

merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus

parasiticus. Keberadaan toksin ini dipengaruhi oleh faktor cuaca, terutama suhu dan

kelembaban. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai, Aspergillus flavus dan

Aspergillus parasiticus dapat tumbuh pada jenis pangan tertentu serta pada pakan hewan,

kemudian menghasilkan aflatoksin. Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis

kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A.

parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau

berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang

tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada,

serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat

dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi

kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini.

Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih

pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak

memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis

merupakan tempat berkembang biak paling ideal.

Terdapat beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Keempat

jenis aflatoksin tersebut biasanya ditemukan bersama dalam berbagai proporsi pada berbagai

jenis pangan dan pakan hewan. Aflatoksin B1 biasanya paling mendominasi dan bersifat

Page 6: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

paling toksik. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus

parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus

parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui

pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi

aflatoksin M1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin.

Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutama

kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian

jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma

pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien.

Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-

senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan

diikat dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif

menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak

dapat dikonsumsi lagi.

Gambar 1. Kapang Aspergillus flavus

Gambar 2. Struktur kimia (-)-aflatoksin B1

Page 7: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

B. Sumber Pangan yang Dapat Terkontaminasi Aflatoksin

Aflatoksin dapat dijumpai pada berbagai bahan pangan, misalnya jenis serealia (jagung,

sorgum, beras, gandum), rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond,

kacang tanah), susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin),

termasuk produk pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai

kacang. Namun, komoditi yang mempunyai tingkat risiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin

adalah jagung, kacang tanah, dan biji kapas (cotton seed).

Gambar 3. Jagung dan kacang tanah yang ditumbuhi kapang Aspergillu flavus

Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan,

kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi

lembab. Serangga dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada komoditi yang

disimpan.

C. Efek Aflatoksin terhadap Kesehatan

Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena

memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut terhadap

manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis,

dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada

hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika

diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada

kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga 10 mg/kg berat badan.

Page 8: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

Pada tahun 1988, IARC menggolongkan aflatoksin B1 pada daftar karsinogen terhadap

manusia. Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan Afrika

yang menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel hati (Liver Cell

Cancer = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya penyakit yang berhubungan dengan

aflatoksin pada manusia kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status

nutrisi, dan/atau paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.

D. Gejala Aflatoksikosis

Manusia dapat terpapar aflatoksin melalui pangan yang dikonsumsinya. Paparan

aflatoksin ini sulit dihindari karena pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin pada pangan

tidak mudah dicegah.

Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar aflatoksin disebut

aflatoksikosis. Beberapa negara, terutama negara dunia ketiga, seperti Taiwan, Uganda, dan

India telah melaporkan adanya bukti terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia. Di negara-

negara maju, kontaminasi aflatoksin pada pangan jarang terjadi pada tingkat yang dapat

menimbulkan aflatoksikosis akut terhadap manusia.

Penelitian toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap manusia difokuskan pada potensi

karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia terhadap aflatoksin masih belum diketahui,

meskipun pada studi epidemiologi di Afrika dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak

terjadi insiden hepatoma, telah ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan kandungan

aflatoksin dalam diet. Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan adanya hubungan sebab

akibat, tetapi dapat menjadi bukti adanya kaitan.

Pada manusia, kasus aflatoksikosis sesungguhnya jarang dilaporkan, tetapi kebanyakan

kasus tidak selalu dikenali sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi

aflatoksikosis jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai

berikut:

1. Penyebab penyakit tidak dapat segera teridentifikasi.

2. Penyakitnya tidak menular.

3. Penyebab penyakit diduga diakibatkan oleh jenis pangan tertentu.

4. Pemberian antibiotik atau obat lainnya hanya memberikan sedikit pengaruh.

5. Kejadiannya bersifat musiman (kondisi cuaca dapat mempengaruhi pertumbuhan

kapang).

Page 9: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia)

dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis akut (jangka pendek) dan

aflatoksikosis kronik (jangka panjang).

E. Aflatoksikosis Akut

Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat sedang

hingga tinggi. Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah edema anggota tubuh bagian

bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin dapat

menyebabkan perdarahan, kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan,

dan kemungkinan kematian.

Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar umumnya terjadi di peternakan. Organ target

aflatoksin adalah hati. Setelah aflatoksin masuk ke hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit

dan menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati. Hal ini terutama disebabkan oleh

metabolit aflatoksin yang bereaksi secara negatif dengan protein sel lain, yang menyebabkan

penghambatan metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan

fungsi hati, terjadi gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus (jaundice), dan

penurunan protein serum esensial yang disintesis oleh hati.

F. Aflatoksikosis Kronik

Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat rendah hingga

sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya bersifat subklinis dan sulit dikenali.

Gejala aflatoksikosis kronik dapat berupa penurunan laju pertumbuhan, penurunan

produksi susu atau telur, dan imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan adanya

karsinogenisitas, terutama terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan

hati karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik jaundice, serta timbul

pembengkakan kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas aflatoksin

dengan sel T, penurunan aktivitas vitamin K, dan penurunan aktivitas fagositosis makrofag.

Pada hewan, efek imunosupresi akibat aflatoksin ini memberi kecenderungan terkena infeksi

sekunder dari jamur lain, bakteri, maupun virus.

G. Penatalaksanaan Aflatoksikosis

Page 10: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

Permulaan/onset gejala aflatoksikosis dapat timbul lebih dari 8 jam setelah paparan. Pada

kasus masuknya aflatoksin melalui oral, untuk mengikat aflatoksin yang masuk dapat

diberikan sejumlah besar adsorben, misalnya arang aktif. Pemberian antioksidan, seperti

ellagic acid dan penginduksi sitokrom P450, seperti indole-3-carbinol dapat diberikan untuk

memberikan efek proteksi.

Pertolongan penunjang yang dapat diberikan adalah memonitor fungsi hati, dialisis atau

transfusi darah, dan pengobatan gejala.

H. Pengerjaan Masuknya Aflatoksin ke Dalam Tubuh

Produksi pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit

dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat

meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran

mikotoksin pada produk pangan. Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya di

tempat yang kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan di freezer).

Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana

jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain

dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah

berubah rasa atau tengik.

I. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang

terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau

antigen dalam suatu sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang

medis, patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri. Dalam pengertian sederhana,

sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi

spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya.

Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi

yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi.

Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifitas untuk antigen

tertentu. Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui diimobilisasi pada suatu

permukaan solid (biasanya berupa lempeng mikrotiter polistirene), baik yang non-spesifik

Page 11: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

(melalui penyerapan pada permukaan) atau spesifik (melalui penangkapan oleh antibodi lain

yang  spesifik untuk antigen yang sama, disebut ‘sandwich’ ELISA). 

Setelah antigen diimobilisasi, antibodi pendeteksi ditambahkan, membentuk kompleks

dengan antigen. Antibodi pendeteksi dapat berikatan juga dengan enzim, atau dapat

dideteksi  secara langsung oleh antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim melalui

biokonjugasi. Di antara tiap tahap, plate harus dicuci dengan larutan deterjen lembut untuk

membuang kelebihan protein atau antibodi yang tidak terikat. Setelah tahap pencucian

terakhir, dalam plate ditambahkan substrat enzimatik untuk memproduksi sinyal yang

visibel, yang menunjukkan  kuantitas antigen dalam sampel.

Uji ini dilakukan pada plate 96-well berbahan polistirena. Untuk melakukan teknik

"Sandwich" ELISA ini, diperlukan beberapa tahap yang meliputi:

1. Well dilapisi atau ditempeli antigen.

2. Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.

3. Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti

peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel

sebelumnya.

4. Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi.

5. Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA reader

hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD). Dengan menghitung rata-rata

kontrol negatif yang digunakan, didapatkan nilai cut-off untuk menentukan hasil positif-

negatif suatu sampel. Hasil OD yang berada di bawah nilai cut-off merupakan hasil

negatif, dan demikian juga sebaliknya.

Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di antaranya adalah kemungkinan yang

besar terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu

dengan antigen lain. Hasil berupa false negative dapat terjadi apabila uji ini dilakukan pada

window period, yaitu waktu pembentukan antibodi terhadap suatu virus baru dimulai

sehingga jumlah antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi.

ELISA dapat mengevaluasi kehadiran antigen dan antibodi dalam suatu sampel,

karenanya merupakan metode yang sangat berguna untuk mendeterminasi konsentrasi 

antibodi  dalam serum (seperti dalam tes HIV), dan juga untuk mendeteksi kehadiran

antigen. Metode ini juga bisa diaplikasikan dalam indiustri makanan untuk mendeteksi

Page 12: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

allergen potensial dalam makanan seperti susu, kacang, walnut, almond, dan telur. ELISA 

juga dapat digunakan dalam bidang toksikologi untuk uji pendugaan cepat pada berbagai

kelas obat.

Page 13: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Plate, erlenmeyer 125 mL,

tabung 15 mL, corong, tisu, pengatur waktu, spidol, kertas saring Whatman no. 41,

shaker (Labinco LD-45), vortex, sudip, kertas timbang, ELISA reader, multichannel

pipet 50-300 μl, Pipet tip 100 μl dan 1000 μl, gelas ukur 1000 ml, kain penyerap, bak

untuk pembuangan, plate holder, reservoir, lemari pendingin, dan neraca analitik

(Shimadzu).

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jaung; bungkil; kedelai;

dedak; 13 contoh pakan jadi (Tabel 1); akuades; methanol p.a; methanol 70%; tween

20%; antibody aflatoksin B1; larutan standar aflatoksin dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15,

20, dan 25 ppb; larutan konjuat aflatoksin-HRP; larutan substrat (K-Blue) untuk

memberikan warna pada ikatan antara antibody dan contoj yang dianalisis; serta larutan

penghenti reaksi (H2SO4 1,25 M).

B. Prosedur Penelitian

Prinsip Dasar

ELISA adalah suatu teknik deteksi dengan menunakan metode serologis yang

berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibody, mempunyai sensitivitas dan

spesifitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. Prinsip dasar ELISA

(Burgess, 1995) adalah analisis interaksi antara antigen dan antibody yang teradsorpi secara

pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibody atau antigen yang

dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna

yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandanan mata atau kuantitatif dengan

pembacaan nilai absorbansi (OD) pada ELISA plate reader.

Page 14: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

Prinsip Percobaan

Percobaan digunakan dengan menggunakan perangkat ELISA komersial aflatoksin B1

dari Neogen yang mempergunakan prinsip dasar ELISA secara kompetitif langsung.

Analisis berlangsung dalam wadah microwell (mikroplat) dengan konsentrasi antibody yang

dilapiskan pada mikroplat 0 mg/ml. Aflatoksin B1 yang terdapat pada contoh yang diperiksa

akan berkompetisi dengan antibody yang berada dalam mikroplat. Bahan atau pereaksi yan

tidak berikatan akan terbuang setelah mengalami proses pencucian. Dengan menambahkan

substrat pada mikroplat akan terbentuk warna pada ikatan antara antibody dan enzim

konjugat. Semakin biru warna yang dihasilkan, semakin kecil aflatoksin B1 yang terdapat

pada contoh yang dianalisis. Hasil analisis ditentukan dengan membaca optical density (OD)

pada ELISA reader. Kurva kalibrasi, plot antara nilai OD dan konsentrasi standar aflatoksin

B1 dibuat dan digunakan untuk menghitung kadar aflatoksin B1 pada contoh.

Tabel 1. Asal, jenis, dan jumlah contoh bahan pakan dan pakan jadi yang dianalisis

Asal contoh Jenis contoh Jumlah

Pabrik pakan Pakan jadi 8

Pasar Pakan jadi 5

Jumlah 13

Pabrik pakan Jagung

Dedak

Bungkil kedelai

Tepung ikan

7

2

2

1

Pasar Jagung 5

Jumlah 17

Jumlah seluruhnya 30

Penyiapan contoh:

1. Disiapkan 1.000 ml larutan methanol 70% dengan cara melarutkan 700 ml methanol p.a

dan 300 ml akuades dalam gelas ukur 1.000 ml.

Page 15: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

2. Disiapkan 100 ml tween 10% dengan melarutkan 10 ml tween 20% dan 90 ml akuades.

3. Disiapkan akuades pencuci 500 ml yang telah diberi 500 μl tween 10%.

4. Masing-masing contoh ditimbang 5 gr kemudian dimasukkan kedalam Erlenmeyer 125

ml.

5. Masing-masing contoh dilarutkan (ditambahkan) dengan 25 ml larutan methanol 70%.

6. Contoh dikocok selama 30menit dan didiamkan sampai mengendap.

7. Contoh disaring dengan memakai kertas saring Whatman no. 41.

8. Contoh yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol contoh.

9. Contoh siap dianalisis secara ELISA.

Cara Kerja :

1. Lubang sumur (mikroplat) untuk mencampur larutan standar disiapkan. Semua pereaksi

dari kit aflatoksin B1 dikeluarkan dari lemari pendingin dan dibiarkan hangat pada suhu

kamar.

2. Untuk melakukan kalibrasi standar aflatoksin B1 diperlukan lima lubang sumur, yaitu

satu luban sumur untuk blanko (tanpa penambahan contoh, berisi pelarut), satu lubang

sumur untuk kontrol berisi enzim konjugat, dan tiga lubang sumur untuk larutan standar

yang berlainan konsentrasi dan contoh.

3. Larutan standar aflatoksin 100 μl dimasukkan kedalam masing-masing lubang sumur

dengan konsentrasi 5 ppb dan 15 ppb, begitu juga 100 μl ekstrak contoh untuk setiap

contoh yang akan dianalisis, 100 μl methanol 70% untuk control, dan 200 μl methanol

70% untuk blanko.

4. Larutan konjugat 100 μl dimasukkan ke setiap lubang sumur, baik yang berisi larutan

standar maupun contoh, kecuali lubang sumur yang berisi blanko.

5. Larutan diaduk dengan menggunakan pipet multichannel dengan menlakukan pemietan

dan mengeluarkannya kembali, sampai tiga kali.

6. Dari tiap-tiap lubang sumur yang sudah berisi larutan standar, contoh maupun blanko

dipipet masing-masing 75 μl dan dimasukkan ke dalam lubang sumur yang sudah

dilapisi antibody dan dibiarkan selama 2 menit.

7. Setelah 2 menit, larutan dibuang dan semua lubang sumur dicuci dengan akuades dengan

cara mengisi sumur dan membuangnya lima kali.

Page 16: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

8. Semua lubang sumur yang sudah dicuci, dikeringkan dengan membalikkan luban sumur

tersebut di atas kain/ kertas peresap air.

9. Ke dalam masing-masing sumur ditambahkan 100 μl larutan subsrat (K-Blue) dan

dibiarkan selama 3 menit.

10. Setelah 3 menit, ditambahkan 100 μl larutan penghenti reaksi (H2SO4 1,25 M) kedlam

masing-masing lubang sumur dan hasilnya siap dibaca pada ELIA reader.

Page 17: Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak

Daftar Pustaka

Budiarso, I. T. 1995. Dampak Mikotoksin terhadap Kesehatan. Cermin Dunia Kedokteran 103:

5.

Burgess, G. W. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya. Teknoloi ELISA dalam

Diagnosis dan Penelitian. G. W. Burgess (Ed) Wayan T. Ariana (terjemahan).

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Diener. U.L. and N. D. Davis. 1969. Aflatoxin Formation by Aspergillus Flavus. In L. A.

Goldlatt (Ed). Aflatoxin. New York: Academic Press.

Ginting. Ng. 1984. Aflatoksin dalam Bahan Baku Pakan dan Pakan Ayam Pedagin di Daerah

Bogor. Penyakit Hewan 16: 152-155.

SNI (Standar Nasional Indonesia).1996. Batasan Maksimum Residu Kontaminasi Kimia pada

Pakan dan Bahan Dasar pakan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Wahid. 2012. Teknik-teknik ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) sebagai Alat

Dianosis Ampuh dalam Bidang Medis, Patologi Tumbuhan, serta Berguna dalam Bidang

Industri. (http://wahid-biyobe.blogspot.com/2012/12/teknik-teknik-elisa-enzyme-

linked.html diakses pada tanggal 04 Januari 2012).

Widiastuti, R., R. Maryam, B. J. Blancy. N. Salvina, and D. Stoltz. 1988. Corn As A Source of

Mycotoxin in Indonesia. Poultry Feed and The Effectiveness of Visual examination

Method for Detecting Contamination. Mycopathologia 102: 45-49.