manaqib kh. abdul hamid (pasuruan)  · web viewmanaqib kh. abdul hamid (pasuruan) anjing pun...

66
Manaqib KH. Abdul Hamid (Pasuruan) Anjing pun diperlakukan baik Siapa pun (orang Islam) tidak suka bila melihat anjing berada di sekitarnya. Bahkan orang akan mengusirnya dengan cara kasar. Melemparinya dengan batu, memukuli dan hal-hal lain yang menjurus pada perlakuan kasar. Perbuatan ini bertolak belakang dengan kiai Hamid. Di samping beliau menebar cinta ke semua orang, beliau juga menebar cinta kepada binatang. Termasuk anjing yang oleh orang awam tadi dipandang dengan kebencian karena najis mughallazhahnya. Berkali- kali anjing datang, duduk-duduk diteras rumah beliau atau bermain ditempat wudlu pondok. Oleh beliau, binatang itu dibiarkan, malah tak boleh diusir. Suatu kali ada seekor anjing masuk ke dalam pesantren. Karuan saja para santri segera mengepungnya, memukulinya dan menjerat lehernya. Keesokan harinya, dalam pengajian ahad, Kiai Hamid marah besar. “Anjing itu juga mahkluk Allah, tidak boleh diperlakukan semena-mena,” katanya dengan penuh tekanan. Sumber: H. Misbah (Miskat), Pasuruan Pencuri datang, dihormati sebagai tamu Kiai Hamid adalah sosok yang halus pembawaannya. Suaranya pelan, sangat lirih, nyaris berbisik. Pelan ketika mengajar, pelan ketika membaca kitab, pelan ketika salat, pelan ketika berzikir, pelan juga ketika bercakap-cakap. Baik bercakap dengan tamu, dengan santri, maupun dengan keluarganya sendiri. “sejak dulu, Kiai Hamid kalau membaca Qur’an sendiri tak pernah terdengar suaranya,” kata KH. Zaki Ubaid, yang sejak kecil sudah mendampingi Kiai Hamid, “hanya kalau tadarus terdengar suaranya.” Gus Zaki Ubaid bercerita, jemuran di pekerangan belakang rumah beliau sering raib. Setelah berhari-hari melakukan pengintaian bersama sejumlah santri, akhirnya sang pencuri tertangkap basah. Maka digelandanglah sang pencuri itu ke halaman depan, untuk menjadikan bancakan, pesta bogem mentah. Tapi sial, begitu keluar dari pintu lorong, mereka kepergok Kiai Hamid. “O, ada tamu ya. Silakan, silakan“ kata beliau. Maling dibilang tamu. Urusan pun berpindah tangan, sementara ”pesta besar” batal dilaksanakan. Gus Zaki Ubaid dkk. Tak bisa berbuat apa-apa. Akan halnya Kiai Hamid, beliau memperlakukan si pencuri seperti layaknya tamu. Disuguhi minuman , diberi makan, diajak bercengkrama. Ketika pulang, diantar hingga ke halaman, sambil

Upload: others

Post on 25-Jan-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Manaqib KH. Abdul Hamid (Pasuruan)

Anjing pun diperlakukan baik

Siapa pun (orang Islam) tidak suka bila melihat anjing berada di sekitarnya. Bahkan orang akan mengusirnya dengan cara kasar. Melemparinya dengan batu, memukuli dan hal-hal lain yang menjurus pada perlakuan kasar.

Perbuatan ini bertolak belakang dengan kiai Hamid. Di samping beliau menebar cinta ke semua orang, beliau juga menebar cinta kepada binatang. Termasuk anjing yang oleh orang awam tadi dipandang dengan kebencian karena najis mughallazhahnya. Berkali-kali anjing datang, duduk-duduk diteras rumah beliau atau bermain ditempat wudlu pondok. Oleh beliau, binatang itu dibiarkan, malah tak boleh diusir. Suatu kali ada seekor anjing masuk ke dalam pesantren. Karuan saja para santri segera mengepungnya, memukulinya dan menjerat lehernya. Keesokan harinya, dalam pengajian ahad, Kiai Hamid marah besar. “Anjing itu juga mahkluk Allah, tidak boleh diperlakukan semena-mena,” katanya dengan penuh tekanan. Sumber: H. Misbah (Miskat), Pasuruan

Pencuri datang, dihormati sebagai tamu

Kiai Hamid adalah sosok yang halus pembawaannya. Suaranya pelan, sangat lirih, nyaris berbisik. Pelan ketika mengajar, pelan ketika membaca kitab, pelan ketika salat, pelan ketika berzikir, pelan juga ketika bercakap-cakap. Baik bercakap dengan tamu, dengan santri, maupun dengan keluarganya sendiri. “sejak dulu, Kiai Hamid kalau membaca Qur’an sendiri tak pernah terdengar suaranya,” kata KH. Zaki Ubaid, yang sejak kecil sudah mendampingi Kiai Hamid, “hanya kalau tadarus terdengar suaranya.”

Gus Zaki Ubaid bercerita, jemuran di pekerangan belakang rumah beliau sering raib. Setelah berhari-hari melakukan pengintaian bersama sejumlah santri, akhirnya sang pencuri tertangkap basah. Maka digelandanglah sang pencuri itu ke halaman depan, untuk menjadikan bancakan, pesta bogem mentah. Tapi sial, begitu keluar dari pintu lorong, mereka kepergok Kiai Hamid. “O, ada tamu ya. Silakan, silakan“ kata beliau. Maling dibilang tamu. Urusan pun berpindah tangan, sementara ”pesta besar” batal dilaksanakan. Gus Zaki Ubaid dkk. Tak bisa berbuat apa-apa. Akan halnya Kiai Hamid, beliau memperlakukan si pencuri seperti layaknya tamu. Disuguhi minuman , diberi makan, diajak bercengkrama. Ketika pulang, diantar hingga ke halaman, sambil berpesan agar mampir lagi kalau ada waktu.1

Sumber: KH. Zaki Ubaid (al Marhum), Pasuruan

Sepuluh Ribu Untuk Kyai Hamid

Kota Pasuruan merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang menyimpan banyak nilai religi dan kental dengan aroma keislamannya. Berbagai kegiatan islami di kota yang terkenal dengan sebutan “ kota santri” ini sangat beragam dan tak terhitung jumlahnya. Namun dibalik itu, siapa sangka kota yang banyak para kekasih Allah tersebut, menyimpan segudang cerita unik yang cukup menggelitik hati yang justru muncul dari para tokoh agama di kota itu.

Alkisah di kota Pasuruan dahulu hidup seorang kyai yang terkenal dengan kewaliannya dan memilki kharismatik tinggi di mata masyarakat Pasuruan. Ya, siapa lagi kalau bukan KH. Abdul Hamid atau yang lebih akrabnya biasa dipanggil romo kyai Hamid . Pada suatu hari ada seorang pengusaha bernama Sukir yang hendak sowan kepada kyai Hamid yang terkenal dengan sikap tawadlu’ dan lemah lembutnya itu. Sukir-pun akhirnya mendatangi temannya terlebih dahulu sambl bertanya, ”biasanya kalu sowan kepada kyai Hamid perlu memberi “salam templek” apa tidak ?” Temannya pun menjawab: “kadang ya, kadang juga tidak.” Jawabnya singkat. Merasa belum puas, sang pengusaha tadi kembali bertanya: “kalau memberi salam templek, kira-kira berapa ya ?” tanyanya dengan nada penasaran. “ah...... saya tidak tahu, karena saya sendiri tidak pernah memberi salam templek. Malahan kyai Hamid sendiri yang sering memberi tamunya.” Jelasnya cukup panjang lebar. Mendengar keterangan dari temannya tersebut, akhirnya Sukir memutuskan untuk memberi salam templek, karena ia tahu biasanya kalu sowan kepada kyai-kyai manapun, kebanyakan memberi salam templek, meskipun jumlahnya nggak terlalu besar. Sesaat kemudian ia pun bingung karena berapa jumlah uang yang pantas untuk diberikan kepada kyai Hamid. Tanpa panjang lebar ia pun merogoh sakunya dan mengambil uang sebesar sepuluh ribu, lalu dimasukkan ke dalam amplop dan ditutupnya rapat-rapat. Dalam benaknya ia berfikir, kalau nanti banyak orang yang sowan sementara yang diberikannya itu kurang “kan tidak tahu kalu itu dari saya.” Selang beberapa saat, Sukir pun berangkat menemui sang kyai di Ponpes Salafiyah Pasuruan. Setibanya di sana ia langsung bertemu dengan kyai Hamid, dan Sukir pun bersalaman sambil menyelipkan amplop yang dibawanya ke tangan kyai Hamid. “sepuluh ribu juga boleh,” kata kyai Hamid dengan nada datar. Pengusaha itupun spontan merasa heran yang dibarengi dengan keluarnya keringat dingin dari sekujur tubuhnya, ia merasa malu karena merasa tertebak isi amplop yang diberikannya kepada kyai Hamid. (Jar)

Melarang Memakai Cincin Pun Dengan Halus

Dalam pemahaman kiai Hamid, kegiatan ajar-mengajar adalah kegiatan dakwah, bukan sekedar transfer ilmu dari guru ke murid. Dengan demikian, mengajar adalah suatu kegiatan untuk mengubah perilaku dari yang menyalahi syariat, menjadi sesuai dengan syariat.

Dalam dakwahnya, beliau kalau mengingatkan atau menasehati orang caranya harus sekali. Beliau lebih mengutamakan harmoni, diusahakan hal itu tidak akan menimbulkan kejutan. Seperti ketika ada tamu pria dari Kalimantan yang memakai cincin emas. Beliau tak suka melihat hal ini karena pria dilarang (haram) memakai aksesori dari emas. Tapi beliau tak langsung mengingatkan, hanya mengamati dengan seksama. "Cincinnya bagus, saya ambil boleh?" Tanya beliau. "Oh ya, silahkan," jawab si pemakai sambil melepaskan cincinya, dan menyerahkannya kepada beliau. "Sekarang cincin ini saya titipkan sampeyan untuk diberikan kepada istri sampeyan," kata beliau sambil mengembalikan cincin tersebut. "Masukkan ke sapu sampeyan," ujar beliau lagi. Orang tersebut menurut. Tapi ketika keluar dari rumah beliau, cincin itu dipakainya lagi. Ketika bersua lagi di musholla, beliau melihat cincin tesebut melingkar manis di jari orang tersebut. "Lho, kok dipakai lagi?" kata beliau. "Lepas saja, masukkan ke saku, kasihkan pada istri sampeyan." Sebuah dakwah yang halus, dan tidak merugikan. Coba kalau cincin itu langsung dibuang atau disita.

Menjadi Bapak Dari Masyarakat

Sebagai seorang pengasuh pondok, beliau bukan hanya menjadi bapak dari santri-santrinya. Tetapi beliau juga menjadi bapak dari masyarakat. Seorang bapak yang merasa punya tanggung jawab untuk melayani mereka di kala mereka sedih ataupun ditimpa masalah.

Kholil yang berusia hampir 70 tahun warga kebonsari, adalah pemilik warung kaki lima yang menyediakan minuman dan makanan kecil. Warung ini bka tiap malam hari, sehabis isya' sam'pai subuh, di pinggir jalan dekat langgar arghob (jalan jawa). Setiap malam, sambil membangunkan orang pada pukul 3 dini hari, beliau selalu menyempatkan diri untuk mampir di warung tersebut. Bukan untuk makan minum, melainkan bercengkrama dengan pemiliknya. Terkadang beliau juga memberi saran-saran untuk perbaikan. Misalnya, beliau menyarankan kholil untuk agar mengganti tiang warungnya yang terbuat dari bamboo. "Ini diganti besi saja biar tak mudah roboh," kata beliau sambil memegang tiang tersebut. Kholil menuruti nasehat tersebut. Betapa besar perhatian beliau pada individu. Besar pula perhaian beliau pada masyarakat. Cerita berikut ini memperlihatkan orientsi beliau kepada umat. Pada 1975 ta'mir Masjid Jami' Al-Anwar sepakat bahwa menara lama harus dirobohkan karena kondisinya mengkhawatirkan. Maka diputuskan menara itu akan dibongkar dan diganti yang baru. Mengenai yang baru, rapat ta'mir sepakat lokasinya agak ke barat, artinya menempel ke bangunan induk. Tapi ada satu peserta rapat yang tidak sutuju yaitu gus Zaki saya ngotot agar ditaruh dekat jalan raya ujar gus zaki maksudnya bagaimana kira-kira orang lewat itu yang dilihat pertama kali bukan tugu di alun-alun depan masjid tapi menara pokoknya bagaimana menara itu bisa menonjol usul ini akhirnya disetujui peserta rapat hasil rapat seperti biasa dilaporkan pada kyai hamid beliau nerkata begini ki penduduk itu jumlahnya tambah lama tambah banyak kalau orang bertambah banyak ya butuh rumah yang besar ya butuh jalan yang lebar lha kalau sekarang (menara) ditaruh di sana kalau kelak jalan dilebarkan bagaimana?" mendengar jawaban itu kontan gus zaki merasa malu sekali betapa tidak saya yang biasa lewat di jalan raya kok tidak pernah berpikir tentang kebutuhan masyarakat akan jalan kiai Hamid yang tidak pernah lewat jalan raya (kalau ke masjid beliau lewat gang pen.) kok bisa mikir sampai ke sana," kata gus zaki. (Abd)

Mana kulit pisangnya?

Salah satu bukti kekasyafan (ilmu waskita; weruh sakdurunge winarah) Kiai Hamid adalah satu cerita dari Bapak H. Misykat.

Suatu hari Misykat diberi pisang oleh kiai Hamid. "ini makan , kulitnya kasihkan kambing," katanya. Padahal tak ada kambing, ta kulitnya dia buang. Setelah Asar, dia dipanggil. "Mana kulit pisangnya?" tanyanya. "Saya buang, Yai." "Lho, dusuruh kasihkan kambing, dibuang." Ternyata tak lama kemudian ada orang mengantar kambing. (Sumber: H. Misykat Kebonsari Pasuruan)

Mengajari Umat Untuk Membiasakan Sholat

Keheningan dan kedamaian di komplek Pondok Pesantren Salafiyah hari itu masih terasa dan begitu menyentuh hati para santri yang ada di dalamnya. Tak terkecuali santri yang beranama Zuhdi asal Kota Pasuruan. Zuhdi yang saat itu masih berstatus santri dan menjadi khodam dari KH. Abdul Hamid, pada satu kesempatan didatangi tamu dari Banyuwangi, kota yang terletak di ujung timur propinsi Jawa-Timur. Tamu tersebut jauh-jauh datang ke Pasuruan hanya ingin bersilaturrahmi atau sowan kepada KH. Abdul Hamid yang berada di Pon-Pes Salafiyah. Sebelumnya Zuhdi tidak menyangka bakal kedatangan tamu, namun dengan kekaromahan yang dimilki romo Kyai Hamid (sapaan akrab yang digunakan orang Pasuruan untuk memanggil beliau), Zuhdi ditimbali (dipanggil) sang kyai di pintu gerbang timur pondok sebelum tamu tersebut datang. Perlahan zuhdi melangkahkan kaki untuk menghampiri panggilan gurunya, tanpa ngomong panjang lebar, KH. Hamid berkata kepada Zuhdi: “Di…..,maringene onok tamu soko Banyuwangi, tolong yo! omongno Aku ndak gelem nyalami (Di….., sebentar lagi ada tamu dari Banyuwangi, tolong ya! Katakan saya tidak mau menyalami). Setelah itu, kyai meninggalkan Zuhdi, dapat tiga langkah dari tempat Zuhdi, kyai bergumang: “lha wong omae pinggir menara masjid, tapi ndak tau gelem jama’ah neng masjid” ( rumahnya di pinggir menara masjid, tapi kok tidak pernah berjama’ah di masjid). Tanpa komentar si Zuhdi hanya mengatakan “iya” dengan isyarat menganggukkan kepala. Setelah itu Kyai Hamid masuk ke dalam dan Zuhdi pun meninggalkan tempat tersebut. Dalam benaknya, Zuhdi berkata. “Siapa ya, kira-kira tamu yang dimaksud Kyai tadi, Ah … sebentar lagi aku pasti tahu siapa tamu yang dimaksud”. Semilirnya angin ketika itu terus berlalu-lalang dan senantiasa menyapa tubuh Zuhdi dengan kedamaian. Selang beberapa saat, ternyata apa yang dikatakan kyai sungguhan. Zuhdi kedatangan seseorang. Dalam ingatan Zuhdi. “Ah… mungkin ini tamu yang dimaksud Romo Kyai (KH. Abdul Hamid).” Setelah itu tamu tersebut langsung mendatangi Zuhdi dan menanyakan apakah KH. Abdul Hamid ada dan bisakah ia menemuinya? dengan ramah Zuhdi menjawabnya: maaf mas! KH. Abdul Hamid memang ada, namun beliau tidak bisa menemui dan bersalaman dengan anda Dengan langkah gontai si tamu-pun pergi tanpa menanyakan mengapa KH. Abdul Hamid tidak bisa menemuinya? Zuhdi pun ingat pesan gurunya, supaya mengantar tamu sampai ke gang menuju jalan raya. Nah di tengah-tengah perjalanan inilah si Zuhdi mencoba menghibur si tamu atas rasa kekecewaannya karena tidak bisa bertemu KH. Abdul Hamid. Dengan sikap sok akrap, Zuhdi menanyakan di mana rumah tamu tersebut? Tamu itupun menjawab: saya dari kota Banyuwangi mas! Spontan si Zuhdi heran, karena asal kota pria tersebut sesuai dengan apa yang di katakan Kyai kepadanya. Sembari demikian si Zuhdi-pun kembali menanyakan apakah rumah sampean dekat menara masjid? Orang tersebut kembali menjawab: iya mas !, lalu Zuhdi bertanya kembali, apakah sampean sering jama’ah di sana? Tamu itu menjawab: rumah saya memang berdekatan dengan masjid, tapi saya tidak pernah jama’ah di sana. Kembali si Zuhdi menimpali pernyataan dari tamu tersebut dengan mengatakan: “lha … ! itu sebabnya mas, mengapa kyai tidak kerso dan tidak mau menemui sampean !!.” dengan perasan malu dan menyesal, tamu tadi undur diri kepada Zuhdi untuk pulang. Selang beberapa hari, lelaki yang berasal dari Banyuwangi tersebut kembali lagi dengan menata niatnya berangkat ke kota santri yakni Pasuruan untuk menemui KH. Abdul Hamid. Ia optimis kedatangnnya kali ini pasti akan di terima oleh kyai yang di masa kecilnya bernama Abdul Mu’thi. Ia mempunyai keyakinan seperti itu karena dia berfikir kedatangannya dahulu ke Pon-Pes Salafiyah untuk silaturrahmi ke KH. Abdul Hamid ditolak/tidak ditemui lantaran ia tidak pernah shalat di rumah Allah (Masjid) didekat rumahnya, alias tidak pernah jama’ah di sana. Maka dari itu, Kyai enggan untuk menemuinya, dari peristiwa itulah, seseorang tersebut sadar atau insyaf akan tindakannya yang kurang pantas dan kini ia pun telah membalik atau merubah keadaan drinya dengan rajin berjama’ah di masjid. Nah… dengan perubahan seperti itulah KH. Abdul Hamid pasti mau menerimanya dan alhamdulillah, ternyata omongan dan firasatnya mujarab, ia datang ke KH. Abdul Hamid dan ternyata beliau pun mau menemuinya sebagai tamu. Sumber: Ustadz Khodlori- Pasuruan)

Disembuhkan Dengan Cara yang Aneh

Suatu ketika Gus Zaki (KH. Zaki Ubaid) diserang sakit maag yang parah. Serasa tidaka kuat, dia sampai menggelepar-gelepar. Semua anggota keluarga pada datang, mendoakan. Kiai Aqib, Nyai Nafisah Hamid, Nyai Maryam Ahmad Sahal. Semua sudah membesuk, kecuali Kiai Hamid. Dr. Han pun sudah dipanggil. Karena sakitnya masih tak ketulungan, Gus Zaki menyuruh orang untuk memanggil Dr. Han lagi. "Buat apa? Suntik sudah, obat sudah, sekarang sabar saja," kata dr. Han. Dia tak mau datang. Lalu Gus Zaki minta Kiai Hamid di-aturi datang, diundang. Ternyata beliau tak ada di rumah. Sekitar pukul 23.30, Maimunah, istrinya yang setia menunggui, pergi ke dapur untuk menjerang air. Sebab, air yang di botol sudah dingin. (Oh ya, untuk mengurangi rasa sakit, botol yang berisi air hangat ditempelkan di perut.) Ketika ditinggal sendirian itulah, Gus Zaki dikejutkan oleh kehadiran Kiai Hamid yang begitu tiba-tiba di dalam kamar. Entah dari mana masuknya. Setelah mengubah posisi kursi dan bantal, beliau memperlihatkan telapak tangannya, Gus Zaki melihat di telapak tangannya itu seperti ada kabel-kabel. "Ini biar saya ganti saja, ya, sudah lapuk," katanya. Entah apa maksudnya. Lantas telapak tangan kanan itu ditempelkan di perut si pasien. Tiba-tiba dia merasakan perutnya enakan, hingga hilang rasa sakitnya. Dia disuruh duduk, eh, tak apa-apa. Padahal sebelumnya, jangankan duduk, bergerak sedikitpun sudah sakit. "Keburu ada orang. Ini biarkan saja, Ki, nanti nyambung sendiri," kata beliau sambil menunjuk ke perut Gus Zaki, sebelum bergegas pergi. Setelah ditinggal pergi, barulah Gus Zaki merasakan kejanggalan. Dari mana masuknya? pikir dia. Apa betul itu Kyai Hamid? "Kalau betul Kyai Hamid, kok nggak ngasih uang?". Sebab, biasanya Kyai Hamid tidak pernah absent memberi uang. Sejurus kemudian, Neng Muna masuk kamar. Dia kaget melihat suaminya sudah duduk. "Sampean ini bagaimana, kok duduk?!" tegurnya. Dia lebih sewot lagi melihat posisi kursi dan bantal yang sudah tak karuan. Kalau jatuh bagaimana? Pikirnya. "ini siapa yang mindah?" tanyanya. Gus Zaki yang masih terlongong-longong tak menggubris kata-kata istrinya. "Coba kamu lihat pintu depan dan belakang." Katanya dengan penuh tanda Tanya. Neng Muna menurut. "Semua terkunci! Memangnya ada apa?" tanyanya begitu kembali. "Barusan ada Kyai Hamid" jawab Gus Zaki sembari menceritakan semua yang dialaminya. Esoknya, habis shalat subuh Kyai Hamid datang "Bagaimana keadaanmu?" Tanya beliau. "Alhamdulillah, sudah baik. Ya tadi malam ….". Sampai di situ kata-katanya dipotong "sudah-sudah" kata beliau sembari meletakkan telunjuk tangannya di mulut. Beliau kemudian memberi Gus Zaki uang Rp 500.- lantas pergi lagi. (Sumber: KH. Zaki Ubaid)

Dibenak Ingin diberi Makan,

Kiai Hamid pun Menyediakan

Kiai Hamid adalah orang yang kasyaf (ilmu Waskita; weruh sak durunge winarah). Salah satunya adalah cerita Sa'id Amdad dari Pasuruan yang dulunya tidak percaya pada wali. Dia orang rasional. Mendengar kewalian Kiai Hamid yang tersohor di mana-mana, dia jadi penasaran. Suatu kali ia mengetes. "Saya ingin diberi makan Kiai Hamid". Coba, dia tahu apa tidak," katanya dalam hati, ketika plang dari Surabya. Setiba dari Surabaya, dia langsung ke pondok Salafiyah. Waktu itu pas mau jam'ah shalat Isya'. Usai shalat Isya', dia tak langsung keluar, membaac wirid dulu. Sekitar pukul setengah sembilan, jamaah sudah pulang semua. Lampu teras Kiai Hamidpu sudah dipadamkan. Dia melangkahkan kaki keluar. Dia melihat ada yang melambai dari rumah Kiai Hamid. Diapun menghampirinya. Ternyata yang melambai adalah tuan rumah alias Kiai Hamid. "makan di sini ya," kata beliau. Di ruang tengah, hidangan sudah ditata. "maaf ya, lauknya seadanya saja. Sampeyan tidak bilang dulu sih," kata kia Hamid dengan ramahnya. Said merasa disindir. Sejak itu dia percaya, kiai Hamid itu wali. (Sumber: Ali At-Tamimi Gentong Pasuruan)

Terkenal sebagai Waliyullah; Falsafahnya Pohon Kelapa

Orang mengenal Kiai Hamid karena beliau dikenal sebagai seorang wali. Dan orang mengatakan wali - biasanya - hanya karena keanehan seseorang. Tidak banyak yang tahu tentang sejatinya beliau. Nah ! Dalam rangka memperingati haulnya pada bulan Mei ini kami turunkan sekelumit tentang beliau.

Seperti halnya orang mengenal Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani sebagai sultanul auliya', tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya Syekh Abdul Qodir adalah menguasai 12 disiplin ilmu. Beliau mengajar ilmu qiraah, tafsir, hadits, nahwu, sharaf, ushul fiqh, fiqh dll. Beliau sendiri berfatwa menurut madzhab Syafi'I dan Hanbali. Juga Sahabat Umar bin Khattab, orang hanya mengenal sebagai Khalifah kedua dan Panglima perang. Padahal beliau juga wali besar. Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar negeri cukup dari mimbar Masjid di Madinah dan pernah menyurati dan mengancam sungai Nil di Mesir yang banyak tingkah minta tumbal manusia, hingga nurut sampai sekarang.

Kiai Abdul Hamid yang punya nama kecil Abdul Mu'thi lahir di Lasem Rambang Jawa Tengah tahun 1333 H bertepatan dengan tahun 1914 M. dari pasangan Kiai Abdullah bin Umar dengan Raihanah binti Kiai Shiddiq. Beliau yang biasa dipanggil Mbah Hamid ini adalah putra keempat dari 12 saudara.

Seperti umumnya anak cerdas, Hamid pada waktu kecil nakalnya luar biasa, sehingga dia yang waktu kecil dipanggil Dul ini panggilannya dipelesetkan menjadi Bedudul. Kenakalannya ini dibawa sampai menginjak usia remaja, dimana dia sering terlibat perkelahian dengan orang China yang pada waktu itu dipihak para penjajah. Pernah suatu saat dia ajengkel melihat lagak orang China yang sombong, kemudian orang China tersebut ditempeleng sampai klenger. Karena dia dicari-cari orang China kemudian oleh ayahnya dipondokkan ke Termas Pacitan. Sewaktu dia belajar di Termas sering bermain ke rumah kakeknya, Kiai Shiddiq di Jember dan kadang-kadang bertandang ke rumah pamannya Kiai Ahmad Qusyairi di Pasuruan. Sehingga, sebelum dia pindah ke Pasuruan, dia sudah tidak asing lagi bagi masyarakat disana.

Setelah di pesantren Termas dipercaya sebagai lurah, Kiai Hamid sudah mulai menampakkan perubahan sikapnya, amaliyahnya mulai instensif dan konon dia suka berkhalwat disebuah gunung dekat pesantren untuk membaca wirid. Semakin lama, dia semakin jarang keluar kamar. Sehari-hari di kamar saja, enath apa yang diamalkannya. Sampai kawan-kawannya menggoda . Pintu kamarnya dikunci dari luar. Tapi, anehnya dia bisa keluar masuk.

Tawadlu' dan Dermawan.

Kiai Hamid yang kemudian diambil menantu Kiai Qusyairi adalah sosok yang halus pembawaannya. Meski sebagai orang alim dan menjadi menantu kiai, beliau tetap tawadlu' (rendah hati). Suaranya pelan dan sangat pelan. Ketika apa saja apelan, entah mengajar, membaca kitab, berdzikir, shalat amaupun bercakap-cakap dengan tamu. Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis. Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi marah. "Angel dukane, gampang nyepurane", kata Durrah, menantunya.

Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri pun beliau memperlihatkan sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di rumahnya. Sebaliknya pencuri itu dibiarkan pulang dengan aman, bahkan beliau pesan kepada pencuri agar mampir lagi kalau ada waktu.

Sikap tawadlu' sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-Hikam; "Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)". Artinya janganlah menonjolakan diri. Dan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Bila ada undangan suatu acara, beliau memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong disitu beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.

Kiai Hamid yang wafat pada tahun 1982 juga dikenal sebagai orang yang dermawan. Biasanya, kebanyakan orang kalau memberi pengemis dengan uang recehan Rp. 100,-. Tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau kalau memberi tidak melihat berapa uang yang dipegangnya, langsung diserahkan. Kalau tangannya kebetulan memegang uang lima ribuan, ya uang itu yang diserahkan kepada pengemis. Tak hanya bentuk uang, tapi juga barang. Dua kali setahun beliau selalu membagi sarung kepada masing-masing anggota keluarga.

Orang Alim

Biasanya orang yang terkenal dengan kewaliannya hanya dipandang dari kenyentrikannya saja. Tapi tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau dipandang orang bukan hanya dari kenylenehannya, tapi dari segi keilmuannya, beliau juga sangat dikagumi banyak kiai. Karena, memang sejak dari pesantren beliau sudah terkenal menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu kanoragan, ketabiban, fiqih, sampai ilmu Arudl beliau sangat menguasai. Terbukti beliau juga menyusun syi'iran.

Karena kedalaman ilmunya itu, masyarakat meminta beliau menyediakan waktu untuk mengaji. Akhirnya beliau menyediakan waktu Ahad pagi selepas subuh. Adapun kitab yang dibaca kitab-kitab tasawwuf, mulai dari yang kecil seperti kitab Bidayatul Hidayah, Salalimul Fudlala' dan kemudian dilanjutkan kitab Ihya'.

Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya merah. Beliau lalu memberi nasehat dengan falsafah pohon kelapa. "Bunga Kelapa (manggar) kalau jadi kelapa semua yang tak kuat pohonnya atau buahnya jadi kecil-kecil" katanya menasehati sang guru. "Sudah menjadi sunnatullah," katanya, bahwa pohon kelapa berbunga (manggar), kena angin rontok, tetapi tetap ada yang berbuah jadi cengkir. Kemudian rontok lagi. Yang tidak rontok jadi degan. Kemudian jadi kelapa. Kadang-kadang sudah jadi kelapa masih dimakan tupai.

Ijazah-ijazah

Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau adalah:

1. Membaca Surat Al-Fatihah 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal mendapatkan keajaiban-keajaiban yang terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya' 10 kali.2. Membaca Hasbunallah wa ni'mal wakil sebanyak 450 kali sehari semalam.3. Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat Nariyah dan Munjiyat.4. Membaca kitab Dala'ilul Khairat. Kitab ini berisi kumpulan shalawat.

Gus Miek Bertemu KH. Hamid, Pasuruan

Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi KH. Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek talah beberapa hari tinggal di pondok KH. Hamid. Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan shalat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh KH. Hamid, Gus Miek kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan shalat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan shalat melainkan membaca perjalanan hidup KH. Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenak kelebihan dan kekurangannya. KH. Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, KH. Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.

Suatu ketika, rombongan keluarga KH. Ahmad Siddiq yang tengah khusyuk ziarah ke makam Sunan Ampel tergangu oleh datangnya rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang kehidupannya. Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengganggu rombongan yang lain, termasuk rombongan KH. Ahmad Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur aduk dan gaduh itu KH. Ahmad Siddik menyingkir lalu melanjudkan perjalanan ke Pasuruan menemui KH. Hamid yang masih merupakan kerabatnya. KH. Ahmad Siddiq kemudian bercerita kepada KH. Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel.

Ya, Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab KH. Hamid setelah mendengar pengaduan KH. Ahmad Siddiq.“Ah, masak?” tanya KH. Ahamd Siddiq tidak percaya karena KH. Hamid sudah sangat termasyhur keluhurannya di kalangan ulama tanah Jawa.Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah,” jawab KH. Hamid. KH. Ahmad Siddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan.Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, pejudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Dan, untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas KH. Hamid.Setelah mendengar jawaban KH. Hamid, KH. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui KH. Djazuli untuk mengadukan jawaban KH. Hamid tersebut.

Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH. Djazuli.Pada kasus lain diceritakan, KH. Ahmad Siddiq pernah mengadu kepada KH. Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena kebetulan KH. Ahamad Siddik juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering melihat hal itu.Begini Pak Kiai, sampean kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab KH. Hamid. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. KH. Ahmad Siddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu.

Setelah kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah KH. Hamid yang dikenal sebagai wali. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatehah kepada KH. Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.

Tiba-tiba di pekarangn rumah KH. Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak shalat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?”Amar mengangguk.“Gus, nanti tidur di sini ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu yagn ternyata adalah KH. Hamid.

KH. Hamid ternyata tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjungi KH. Hamid belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang. Pertemuan pertama Gus Miek dengan KH. Hamid adalah saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH. Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH. Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil.Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata: “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata karma!”Mungkin karena Kiai Hamid adalah kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.Walaupun kemenakannya saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali.” Jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi.Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata: “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Ahmad as-Syakaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hamper seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga as Syakat. Hingga diputuskan” pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah, dan yang jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga.Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH. Hamid Pasuruan.

Begitu tiba di rumah KH.hamid, dia sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa KH. Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.Setelah di dalam rumah, KH. Hamid kemudian menyodorkan kain sarung Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.Ini, Gus, saya beri sarung, silakan shalat dulu,” kata KH. Hamid .Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan sholat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya shalat, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis shalat, keduanya menemui KH. Hamid.Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jum’at, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kata KH. Hamid.Gus Miek hanya tersenyum. KH. Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya.

KH. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.Gus Miek, yang tadinya mengambil biji yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan KH. Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yan lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian KH. Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, KH. Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah KH. Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.

Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad as-syakaf sebagaimana petunjuk KH. Hamid. Ternyata, rumahnya dekat sekali dengan rumah KH. Hamid. Tiba di rumah Habib Muhamad as-syakaf, orangnya tinggi besar dengan suara yang keras dan lantang.Dari mana?” Tanya Habib Muhamad as-Syakaf.Mau minta doa shalawat,” jawab Gus Miek.Apa belum shalat, di dalam shalat kan banyak shalawat dan banyak doa,” jawab Habib Muhamad as-Syakaf.Habib Muhamad as-Syakaf kemudian berdiri dan menjalankan shalat. Akan tetapi, urut-urutan shalat yang dijalankan Habib Muhamad as-Syakaf sungguh kacau balau menurut tata aturan syari’at fiqih pada umumnya.

Usai shalat, Habib Muhamad as-Syakaf mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib Muhamad as-Syakaf menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dn sisuruh menghabiskannya. Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib Muhamad as-Syakaf kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski seolah Gus Miek tidak mersakan apa-apa.

Setelah puas saling membuktikan kemampuannya, Habib Muhamad as-Syakaf menyuruh Gus Miek berdoa dan dia mengamininya.Di tengah perjalanan pulang, Ibnu Katsir Siroj memprotes Gus Miek mengenai peristiwa pemberian KH. Hamid. Seharusnya, menurut Ibnu Katsir, Gus Miek tidak mengambil biji yang tengah karena Gus Miek sudah sakti. Gus Miek menjelaskan, pada awalnya memang ingin mengambil yang pinggir, tetapi tiba-tiba ada suara “Khayrul umuri ausatbuha,” (sebaik-baik perkara adalah yang tengah). Lalu, Ibnu Katsir meminta sarung Gus Miek, tetapi Gus Miek tidak memberikannya karena ia kenang-kenangan dari KH. Hamid Pasuruan.Setelah tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, semakin hari semakin banyak pengikut Gus Miek, baik pengikut Lailiyah maupun santri jalanan yang simpati kepada Gus Miek. Gus Miek hanya menyarankan kepada mereka untuk mengunjungi orang-orang saleh sehingga kesadaran mereka bisa muncul dengan sendirinya. Misalkan berkunjung ke KH. Hamid Pasuruan, Gus Miek meminta Maskur menyampaikan salamnya kepada KH. Hamid. KH. Hamid yang memhami maksud Gus Miek, menerima salam itu sambil terlihat marah (ia tampak habis memarahi rombongan yang masih berada di pelataran rumahnya).Gus Miek siapa!” bentak KH. Hamid. Ploso, jawab Maskur. Gus Miek itu siapa, sembahyang atau tidak,” bentak KH. Hamid.Ya, tidak tahu,” jawab Maskur.Anak siapa sih Gus Miek itu, ya sudah kamu tidak salah, saya juga tidak salah, sampaikan salam saya kepada Gus Miek,” kata KH. Hamid .Maskur kemudian mencari Gus Miek ke Ploso, Mojoagung, Jember, Surabaya, Botoputih, tatapi tidak ketemu. Akhirnya, ia balik ke Setonogedong, Kediri. Setelah membaca surat Yasin, Gus Miek tiba-tiba muncul.Pembicaraan KH. Hamid dengan Maskur beserta rombongannya tersebut juga disaksikan oleh seorang tamu yang meragukan shalat Gus Miek, ingin menemui KH. Hamid untuk menanyakan hal itu.Lho, itu yang kau tanyakan, itu kan Gus Miek, cepat minta maaf. Ayo, saya antarkan,” ajak KH. Hamid seperti gugup.KH. Hamid kemudian membukakan jendela. Lihat, itu siapa yang shalat,” kata KH. Hamid.Orang itu gemetar dan pucat karena melihat Gus miek tengah menjalankan shalat di pucuk pohon mangga, beralaskan daun-daun mangga.Sudah, cari Gus Miek dan minta maaf,” perintah KH. Hamid.Orang itu pun terus mencari Gus Miek dan baru bertemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.( Habib Ghundul Bhotaklongor )

ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT ALA SAYYIDYبـصيغ الصلوات على سيد السادات سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Nabi SAW:مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ (Barang siapa menulis sholawat kpdku dlm sebtah buku, maka para malaikat selalu memohonkan ampun kpd Alloh pd org itu selama namaku masih tertulis dlm buku itu). اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

Manaqib Romo Kyai Haji Hamid bin Abdullah Bin Umar Ba Syaiban Pasuruan

Kyai Hamid bin Abdullah Umar==============================Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.

Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.

Mu'thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu'thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.

Kiai Hamid Pasuruan: Kini Sulit Dicari Padanannya

Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.

Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.

Mu'thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu'thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.

Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.

Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.

Dipondokkan

Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.

Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.

Tidak Suka Dipuja

Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.

Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.

Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya'ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.

Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.

Prihatin

Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.

Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.

Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri -- dua orang -- yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.

Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.

Fenomenal

Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.

Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.

Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf -- meminjam istilah Gus Mus -- “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).

Lurus

Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.

Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.

Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.

Hormat

Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.

Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.

Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”

Sabar

Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.

Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.

Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.

Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.

Penyakit Hati

Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.

Bergunjing

Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma'shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”

Manusia Biasa

Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).

Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.

Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.

Hamid Ahmad (dari buku “Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan”)sumber:http://salafiyah.org/beranda/42-tokoh/129-kyai-hamid-bin-abdullah-umar.html

Kemakrifatan Kyai Abdul Hamid Pasuruan (Keteladanan Kyai Hamid)

Kemakrifatan Kyai Abdul Hamid PasuruanKeteladanan Kyai Hamid===========================لا يعرف الولىّ الا الولىّ“Tidak ada yang bisa mengetahui seorang Wali, kecuali (orang) tersebut juga seorang Wali.” Begitulah Maqolah (perkataan) yang menerangkan tentang Wali.

Kita sering mendengar kataWali, lalu apakah Wali itu? Kata "Wali" dalam Bahasa Arab berarti yang menolong, yang dicintai, yang dilindungi. Dan dalam dunia sufi kata Wali tersebut diartikan orang yang suci, yang mempunyai akidah yang benar dan yang selalu menjalankan Amal Saleh serta selalu mengikuti Sunnah Rasulallah SAW. Dalam kitab Sirajul Tholibin dijelaskan:والاولياء جمع ولي:وهوالعارف بالله وصفات حسبمايمكن المواظب على الطعات المجتنب المعاصي والمعرض عن الانهماك في االلذات والتشهوات

"Auliya' itu adalah kata Jama' dari Wali, Wali adalah orang yang betul-betul mengenal Allah SWT, selalu tetap taat kepada Allah, menjauhi semua larangan dan berpaling dari keasyikan Ladzat (Duniawi) dan Syahwat (nafsu duniawi)."

Tidak semua Wali itu berasal dari seorang “Kyai”. Tapi kebanyakan seorang kyai yang semakin berisi (Ilmu-nya) dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta selalu meningkatkan Akhlaqnya, suatu saat pasti akan diangkat menjadi kekasih-Nya. Sebut saja K.H. Mukhsin, yang sebelum menjadi seorang pengasuh sebuah PonPes yang Santrinya ratusan, bahkan sampai ribuan, adalah seorang Sopir pribadi seorang Juragan di tempatnya bekerja. Berikut sepercik kisahnya.

K.H. Mukhsin saat ini adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Maqbul yang terletak di daerah Bululawang, Kabupaten Malang. Namun sebelum ke-Waliannya “mengudara”, beliau adalah seorang Sopir salah satu juragan di daerah Bululawang. Waktu itu tidak ada yang tahu bahwasannya beliau adalah salah satu “orang-orang pilihan”.

Suatu hari sang majikan minta diantar ke Pasuruan, ke kediaman salah satu kyai yang terkenal akan tingkah lakunya (Akhlaq) nya. Dengan berpakaian ala Sopir pada umumnya, dia pun melaju dengan kecepatan yang sedang, sambil meliuk-liuk di jalanan yang tidak begitu padat. Setelah menempuk pejalanan kurang lebih satu jam, akhirnya mobil yang di kendarai sang Sopir saleh tiba dihalaman Pesantren yang diasuh oleh Kyai Hamid bin Abdullah bin Umar.

Setelah memarkir mobil, sang Sopir melihat sepertinya di “tolak” oleh Kyai berkelahiran Lasemm Jawa Tengah itu. Namun tak lama kemudian sang majikan menghampiri Sopir kesayangannya tersebut. “Kyai Hamid tidak mau menerima kedatanganku, kalau kamu tidak ikut masuk” sang majikan berkata kepada Sopir yang sedang menunggunya di dalam Mobil. Sang Sopir keheranan, “kenapa kyai itu tidak mau menerima majikanku, kalau aku tidak ikut ke dalam?” penasarannya dalam hati.

Setelah sang Sopir masuk ke Ndalem Kyai Hamid bersama majikannya, kyai Hamid menyambutnya dengan hangat. Di tengah perbincangan, kyai Hamid bertanya kepada sang Sopir amalan-amalan apa yang di jalaninya selama ini. Dia menjawab, bahwa amalan-amalan yang dijalaninya selama ini adalah amalan yang umumnya dijalankan para Masyarakat, yang sama sepertinya.

“Tadi kenapa Kyai (sapaan Kyai Hamid) menolak kedatangan saya, ketika saya masuk sendirian ke kediaman anda? Dan anda bilang tidak akan menerima kedatangan saya apabila tidak mengajaknya (Sopir) juga?” tanya sang majikan, karena masih terselinap rasa penasaran yang amat di hatinya tentang kelebihan sang Sopir pribadinya tersebut.

“Arek iki bakale dadi wali, lan duwe pondok seng gede. Aku mero tanda-tandane. Makane iku aku nolak koen polae waline gak di ajak melbu” (Anak (karena sang sope lebih muda dari Kyai Hamid ini bakal menjadi seorang walik, dan juga akan mempunyai Pesantren yang besar. Maka dari itu aku menolak kamu Karena “Wali”nya (sopir) tidak kamu ajak masuk. kyai Hamid memaparkan alasannnya mengenai penolakan sang tamu, dengan sedikit guyonan. Sang sopir pun tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya karena malu mendengar alasan Kyai Hamid tentang dirinya. Padahal dia sendiri tidak mengetahui akan hal itu. Dan sang majikan kaget bukan kepalang mendengar pernyataan kyai Hamid tentang sopir pribadinya tersebut.

Mulai saat itu pun ke-walian K.H. Mukhsin mulai terdengar penjuru kota. satu persatu para orang tua mengirim anaknya kepada beliau untuk belajar. Semula hanya lima murid dan bertempat di Mushollah dekat rumah majikannya. Karena lambat laun santri beliau tambah banyak, yang datang bukan hanya dari dalam kotam dari luar kota pun banyak yang datang mengirimkan anak-anaknya untuk belajar kepada beliau.

Lalu berdirilah Pesantren tersebut. Setahun kemudian santrinya mencapai 100. dan lambat laun terus bertambah jumlahnya. Lalu beliau semakin memperbesar Pesantren tersebut. Dan hingga kini jumlah santri yang me-nyantri di pesantren kurang lebih sepuluh ribuan anak. Subhanalah itu bukan bilangan yang sedikit. Semoga semua santri yang belajar di PonPes Al-Maqbul selalu dalam kasih sayang Allah SAW.

Bermula dari seorang sopir yang senantiasa takut kepada-Nya di manapun. Tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Dan sunnah-sunnah Rasul SAW yang lain. Semoga kita senantiasa bisa meniru amal ibadah beliau. Amin . . . (H-di)

Sumber : Wali santri Salafiyahsumber:http://salafiyah.org/beranda/51-kyai-hamid/402-kemakrifatan-kyai-abdul-hamid-pasuruan.html

Salam dari malaikat Jibril (Kisah karomah Kyai Hamid Pasuruan)

Published on February 16, 2010 in Tariqah, Artikel Islam, Manaqib, Makrifat, Fiqih and Renungan.

Di dunia ini tidak sedikit orang yang beranggapan alam gaib itu tidaklah ada. Meski demikian, ada pula orang yang percaya, akan tetapi kepercayaan mereka cuma sekedar tahu saja, tidak ada pemantapan hingga seratus persen. Lain halnya dengan orang Islam yang memang benar-benar yakin dengan rukun iman yang nomor enam, yakni percaya kepada qodo’ dan qodar atau ketetapan-ketetapan Allah, baik yang buruk maupun yang baik. Memang sangat sulit sekali meyakini barang yang tidak ada wujudnya, tetapi kita sebagai umat Islam wajib hukumnya percaya seratus persen dengan adanya alam ghaib itu ada.

Dalam al-Qur’an dijelaskan:

“لا يعلم الغائب الا لل”"Yang artinya: “Tidak ada yang mengetahui barang gaib kecuali Allah SWT”

Meskipun demikian, anda jangan terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Memang dalam ayat tersebut al-qur’an menjelaskan sedemikian rupa, akan tetapi para ulama ahli tafsir sepakat bahwa, ada orang-orang tertentu (kekasih Allah) di dunia ini yang memang di izini atau diberi tahu oleh Allah SWT dalam masalah kegaiban tersebut. Contohnya adalah cerita kiai Hamid.

Alkisah, dahulu ada santri yang bernama Ihsan, Ia adalah salah satu khadam (pembantu kiai) yang paling dekat dengan kiai Hamid. Bahkan setiap malam, Ihsan di suruh tidur di ruang tamu kiai Hamid.

Selain terkenal akan tawadhu’ dan kewaliannya. Kiai kelahiran kota Lasem tersebut juga terkenal akan keistiqomahan dalam ibadahnya. Setiap malam beliau tidak pernah meninggalkan qiyamu al-lail (shalat Tahajjud). Pada suatu malam tepatnya pukul 00.00 Istiwa’, setelah melakukan shalat Tahajjud kiai Hamid membangunkan Ihsan. “Ihsan…Ihsan… tangio nak!” ( Ihsan…Ihsan… bangunlah nak! ) begitulah cara halus kiai Hamid ketika membangunkan santrinya. Ihsan pun bangun, sambil mengucek-ucek matanya Ia berkata “Wonten nopo kiai?” (Ada apa kiai?) tanya Ihsan. “Awak mu sa’iki sembayango teros lek mari moco al-Fatihah ping 100, maringono lek wes mari awakmu metuo nang ngarepe gang pondok, delo’en onok opo nang kono.” (Sekarang kamu shalat, lalu sesudahnya kamu baca surat al-Fatihah sampai 100 kali, kalau sudah selesai kamu keluarlah ke gang pondok, lihatlah ada apa di sana.) Perintah kiai Hamid. “inggeh kiai” jawab singkat sang santri. Ia pun langsung pergi ke kamar mandi untuk berwudlu’.

Singkat cerita setelah Ihsan membaca surat al-Fatihah, ia lalu keluar dari gang pondok tepatnya di jalan Jawa, atau yang sekarang namanya berubah menjadi Jl. KH. Abdul Hamid. Pada waktu Ihsan keluar dari pondok, jarum jam kala itu menunjukkan tepat pukul 01.00 dini hari.

Nyanyian jangkrik senantiasa mengiri langkah kaki Ihsan. terangnya sinar rembulan menjadi penerang jalannya. Sesampainya di Jalan Jawa, Ihsan melihat ada mobil dari arah barat. Lalu mobil tersebut berhenti tepat di depannya. Kaca mobil tersebut terbuka, “Ihsan lapo bengi-bengi nang kene?” (Ihsan mau apa malam-malam kok di sini) begitulah suara yang keluar dari dalam mobil tersebut. Karena lampu dalam mobil tidak dihidupkan, Ihsan pun tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang berbicara dengannya. Ihsan pun masih tercengang dan kebingungan suara siapakah itu. Akhirnya pintu mobil itu pun terbuka dan yang keluar adalah Ibu Nyai Hj. Nafisah Ahmad, istri hiai Hamid. Ternyata yang ada di dalam mobil tersebut adalah rombongan Ibu Nyai Hj. Nafisah yang datang dari Jakarta. Ihsan masih belum menjawab pertanyaan yang tadi.

“Yo wes ketepaan lek ngono tolong gowokno barang-barange sing nang njero montor, mesisan ambek barange bojone Man Aqib.” (Ya sudah kebetulan, kalau begitu tolong bawakan barang-barang yang ada di dalam mobil, sekalian dengan barangnya istrinya Paman Aqib) perintah Ibu Nyai Nafisah. Tanpa pikir panjang Ihsan pun langsung menurunkan semua barang yang ada di dalam mobil.

Setelah semua barang sudah di bawa ke pondok, Ihsan lalu masuk ke dalam ndalem kiai Hamid. Tak lama kemudian kiai Hamid datang kepada Ihsan. “yok opo San? pas yo! Iku mau pas aku sembayang, malaikat Jibril teko nang aku nyampekno salam teko Allah. Ambek ngandani lek bojoku teko jam siji bengi. San, bener nang al-Qur’an dijelasno, lek gak ono sopo wae sing weroh ambek barang ghoib, yo contone koyok kejadian iku mau iku termasuk ghoib. Cuman Allah SWT iku ngidzini utowo ngewenehi weroh barang sing goib marang uwong sing dicintai ambek gusti Allah.” (Bagaimana San? Pas kan! Itu tadi waktu aku shalat, malaikat Jibril datang menyampaikan salam dari Allah, dan memberi tahu kalau istriku akan datang jam satu malam. San, benar di dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwasannya tidak ada siapa pun yang mengetahui tentang masalah gaib. Ya, contohnya kejadian tadi itu termasuk gaib. Cuma Allah SWT itu memberi idzin atau memberi tahu barang gaib kepada hamba yang dicintainya) jelas kiai Hamid. Setelah menjelaskan kejadian tersebut, kiai Hamid langsung masuk ke dalam. Sedangkan Ihsan masih tercengang dan merasa kagum kepada kiai Hamid.

Tidaklah ada kalimat yang pantas ketika kita melihat atau mendengar kejadian yang menakjubkan dari Allah SWT, malainkan kata “Subhanalloh…!” (zEn)Sumber: KH. Ihsan Ponco Kusumo-Malang

Terkuaknya ke-wali-an Kyai Hamid Pasuruan dan Kisah salam Kyai Hamid kepada ‘wali gila’ di pasar kendal

17:26 Achmad Fahrizal Zulfani Al Hanif No comments

Suatu ketika seorang habaib dari Kota Malang, ketika masih muda, yaitu Habib Baqir Mauladdawilah (sekarang beliau masih hidup), di ijazahi sebuah doa oleh Al Ustadzul Imam Al Habr Al Quthb Al Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih (Pendiri Pesantren Darul Hadist Malang).

Habib Abdulqadir Blf berpesan kepada Habib Baqir untuk membaca doa tersebut ketika akan menemui seseorang agar tahu sejatinya orang tersebut siapa,orang atau bukan.

Suatu saat Datanglah Habib Baqir menemui seorang Wali min Auliya illah di daerah Pasuruan, Jawa Timur, yang masyhur dengan nama Mbah Hamid Pasuruan.

Ketika itu di tempat Mbah Hamid banyak sekali orang yang soan kepada baliau, meminta doa atau keperluan yang lain,

Setelah membaca doa tersebut kaget Habib Baqir, ternyata orang yang terlihat seperti Mbah Hamid sejatinya bukan Mbah Hamid, Beliau mengatakan, “Ini bukan Mbah Hamid, khodam ini, Mbah Hamid tidak ada disini” kemudian Habib Baqir mencari dimanakah sebetulnya Mbah Hamid,

Setelah bertemu dengan Mbah Hamid yang asli, Habib Baqir bertanya kepada beliau, “Kyai, Kyai jangan begitu, jawab Mbah Hamid: “ada apa Bib..??” kembali Habib Baqir melanjutkan, “kasihan orang-orang yang meminta doa, itu doa bukan dari panjenengan, yang mendoakan itu khodam, Panjenengan di mana waktu itu?” Mbah Hamid tidak menjawab, hanya diam.

Namun Mbah Hamid pernah menceritakan masalah ini kepada Seorang Habib sepuh (maaf, nama habib ini dirahasiakan),

Habib sepuh tersebut juga pernah bertanya kepada beliau,

“Kyai Hamid, waktu banyak orang-orang meminta doa kepada njenengan, yang memberikan doa bukan njenengan, njenengan di mana? Kok tidak ada..?” jawab Mbah Hamid, “hehehee.. kesana sebentar”Habib sepuh tsb semakin penasaran, “Kesana ke mana Kyai??”

Jawab Mbah Hamid, “Kalau njenengan pengen tahu, datanglah ke sini lagi”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Singkat cerita, habib sepuh tsb kembali menemui Mbah Hamid, ingin tahu di mana“tempat persembunyian” beliau,

setelah bertemu, bertanyalah Habib sepuh tadi, “Di mana Kyai..?”Mbah Hamid tidak menjawab, hanya langsung memegang Habib sepuh tadi, seketika itu, kagetlah Habib sepuh, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan Masjid yang sangat megah, “di mana ini Kyai..?” Tanya Habib Sepuh, “Monggoh njenengan pirsoni piyambek niki teng pundi..?” jawab Mbah Hamid. Subhanalloh..!!!

Ternyata Habib Sepuh tadi di bawa oleh Mbah Hamid mendatangi Masjidil Harom.

Habib sepuh kembali bertanya kepada Kyai Hamid, “Kenapa njenengan memakai doa??” Mbah Hamid kemudian menceritakan,

“Saya sudah terlanjur terkenal, saya tidak ingin terkenal, tidak ingin muncul, hanya ingin asyik sendirian dengan Allah, saya sudah berusaha bersembunyi, bersembunyi di mana saja, tapi orang-orang selalu ramai datang kepadaku,Kemudian saya ikhtiar menggunakan doa ini, itu yang saya taruh di sana bukanlah khodam dari jin, melainkan Malakul Ardli, Malaikat yang ada di bumi, berkat doa ini, Allah Ta’ala menyerupakan malaikatnya, dengan rupaku”.

Habib sepuh yang menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut, sampai meninggalnya merahasiakan apa yang pernah dialaminya bersama Mbah Hamid, hanya sedikit yang di ceritakan kepada keluarganya.

—————————————————————

Lain waktu, ada tamu dari Kendal soan kepada Mbah Hamid, singkat cerita, Mbah Hamid menitipkan salam untuk si fulan bin fulan yang kesehariannya berada di Pasar Kendal, menitipkan salam untuk seorang yang dianggap gila oleh masyarakat Kendal.

Fulan bin fulan kesehariannya berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya,

Tamu tersebut bingung kenapa Mbah Hamid sampai menitip salam untuk orang yang di anggap gila oleh dirinya,

Tamu tsb bertanya, “Bukankah orang tersebut adalah orang gila Kyai..??” kemudian Mbah Hamid menjawab, “Beliau adalah Wali Besar yang njaga Kendal, Rohmat Allah turun, Bencana di tangkis, itu berkat beliau, sampaikan salamku”

Kemudian setelah si tamu pulang ke Kendal, menunggu keadaan pasar sepi, dihampirinyalah “orang gila” yang ternyata Shohibul Wilayah Kendal,

“Assalamu’alaikum…” sapa si tamu,

Wali tsb memandang dengan tampang menakutkan layaknya orang gila sungguhan, kemudian keluarlah seuntai kata dari bibirnya dengan nada sangar,

“Wa’alaikumussalam.. ada apa..!!!”

Dengan badan agak gemetar, si tamu memberanikan diri,

berkatalah ia, “Panjenengan dapat salam dari Kyai Hamid Pasuruan, Assalamu’alaikum……”Tak beberapa lama, wali tersebut berkata,

“Wa’alaikum salam” dan berteriak dengan nada keras,

“Kurang ajar si Hamid, aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui manusia, kok malah dibocor-bocorkan”

“Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku, aku mau pulang saja, gak sanggup aku hidup di dunia”

Kemudian wali tsb membaca sebuah doa, dan bibirnya mengucap, “LAA ILAAHA ILLALLOH… MUHAMMADUR ROSULULLOH”

Seketika itu langsung meninggallah sang Wali di hadapan orang yang di utus Mbah Hamid agar menyampaikan salam, hanya si tamulah yang meyakini bahwa orang yang di cap sebagai orang gila oleh masyarakat Kendal itu adalah Wali Besar, tak satupun masyarakat yang meyakini bahwa orang yang meninggal di pasar adl seorang Wali,

Malah si tamu juga dicap sebagai orang gila karena meyakini si fulan bin fulan sebagai Wali.

Subhanalloh.. begitulah para Wali-Walinya Allah,

saking inginnya ber-asyik-asyikan hanya dengan Allah sampai berusaha bersembunyi dari keduniawian, tak ingin ibadahnya di ganggu oleh orang-orang ahli dunia,

Bersembunyinya mereka memakai cara mereka masing-masing, oleh karena itu janganlah kita su’udzon terhadap orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan dia adalah seorang Wali yang “bersembunyi”.

Cerita Mbah Hamid yang saya coba tulis hanyalah sedikit dari kisah perjalanan Beliau, semoga kita, keluarga kita, tetangga kita dan orang-orang yang kita kenal senantiasa mendapat keberkahan sebab rasa cinta kita kepada wali-walinya Allah,

Jadi ingat nasihat Maha Guru kami, Al Quthb Habib Abdulqadir bin ahmad Bilfaqih,

“Jadikanlah dirimu mendapat tempat di hati seorang Auliya”

Semoga nama kita tertanam di hati para kekasih Allah, sehingga kita selalu mendapat nadhroh dari guru-guru kita, dibimbing ruh kita sampai terakhir kita menghirup udara dunia ini, Amin…….. !!!!

Sumber: Syaikhina wa Murobbi Arwakhina KH. Achmad Sa’idi bin KH. Sa’id(Pengasuh Ponpes Attauhidiyyah Tegal)

Filosofi Pohon Kelapa (Kisah ketawadlu’an Kyai Hamid Pasuruan)

Published on February 16, 2010 in Artikel Islam, Tariqah, Manaqib, Makrifat and Renungan.

Dewasa ini. Kita pasti mengetahui, bahwasanya guru mana yang tidak mau semua muridnya berhasil dan sukses dalam mata pelajarannya. Tak ayal jika guru ketika berada di rumah sang guru mondar-mandir, ke sana ke mari, hanya perlu memikirkan metode pengajaran yang mudah dipaham oleh para muridnya.

Hal inilah yang pernah dialami oleh Ust. H. Syamsul huda, seniman kaligrafi berkaliber nasional jebolan Pondok Pesantren Salafiyah. Selain sangat ahli dalam masalah seni tulis dan lukis kaligrafi, beliau juga sangat ahli dalam masalah ilmu Nahwu.

Al-Kisah dahulu, ketika Ust. Syamsul masih mengajar ilmu nahwu di Pon-Pes Salafiyah, Mulai ba’da shalat shubuh Ust. Syamsul mulai mondar mandir di depan kantor madrasah salafiyah. Yang diberpikir tiada lain adalah menggunakan metode apakah yang paling tepat agar semua anak didiknya mendapat nilai bagus semua. Padahal jika dilihat, nilai siswa pada pelajaran nahwu yang diajarkan oleh Ust. Syamsul terbilang lumayan relatif, seperti layaknya sekolah-sekolah formal yang lain pastilah ada satu dua anak yang dapat niali merah.Sudah hampir jam masuk sekolah Ust. Syamsul masih saja mondar-mandir di depan kantor madrasah. Ketika itu Kiai Hamid yang berada di teras ndalem melihat Ust. Syamsul yang terlihat seperti orang linglung. Kiai Hamid pun datang menghampiri Ust. Syamsul.

“Sul… ayo melok aku.” (Sul… Ayo ikut Saya). Ajak Kiai Hamid. Lalu, Ustad yang kini mengisi jajaran staf pengajar di madrasah tsanawiyah dan aliyah tersebut digandeng tangannya sampai di samping ndalem (kediaman) Kiai Hamid. Di situ Ust. Syamsul ditunjukkan sebuah pohon kelapa yang masih sedikit buahnya.

“Sul…awakmu weroh ta lek krambil iku gak kiro dadi kelopo kabeh. Yo onok singlugur, onok sing dadi degan langsung di ondoh, onok seng dadi kelopo iku mek titik, loh ngono iku mau masio wes dadi kelopo kadang sekdipangan bajing. Cobak pikiren mane, seumpamane lek kembang iku dadi kabeh, singsakaken iku uwite nggak kuat engkok”.

(Sul… apakah kamu tahu, kalau “krambil” (bunga kelapa) itu tidak akan jadi kelapa semuanya. Ya ada yang terjatuh, ada yang masih jadi degan akan tetapi sudah diambil, ada juga yang sudah jadi kelapa, itu pun sedikit. Walau pun sudah jadi kelapa, terkadang belum dipanen sudah dimakan sama tupai dulu. Coba kamu pikir, kalau bunga itu jadi kelapa semua, yang kasihan itu pohonnya, pasti tidak akan kuat.) ujar Kiai Hamid. Belum Ust. Syamsul menjawab Kiai Hamid melanjutkan lagi. “anggepen ae wet kelopo iku mau guru, lek onok guru muride dadi kabeh yo angel, yo onok sing bijine elek, yo onok sing pas-pasan. Yo onok mane sing apik. Engko lek muride oleh nilai apik kabeh sak’aken gurune, biso-biso lek nggak kuat guru iku mau biso ngomong “ikiloh didikanku, dadi kabeh sopo disek gurune” lah akhire isok nimbulno sifat sombong.

Paham awakmu Sul? Lek paham wes ndang ngajaro, sekolahe wes wayahe melebu.” (anggap saja pohon kelapa itu tadi adalah guru. Kalau ada seorang guru yang muridnya sukses semua itu sangat sulit. Ya pastinya ada yang nilainya jelek, ada yang nilainya biasa-biasa, dan ada juga yang nilainya bagus. Nanti kalau nilai muridnya bagus semua yang kasihan adalah gurunya. Bisa-bisa guru tersebut berbicara “ini loh, anak didikku, semuanya sukses, siapa dulu gurunya” lah, akhirnya bisa menimbulkan sifat sombong.

Kamu paham Sul? Kalau paham cepat mengajar, sudah waktunya jam masuk sekolah.) tambah Kiai Hamid. Tanpa menjawab Ust. Syamsul pun langsung undur diri dari Kiai Hamid. Subhanalloh … padahal, Ust Syamsul masih bercerita sedikit pun, akan tetapi sudah menjawab semua yang dikeluhkan oleh Ust. Syamsul, dengan menggunakan sebuah filosofi pohon kelapa.

Setiba dikelas Ust. Syamsul masih terpikir oleh ucapan Kiai Hamid tadi. “benar juga apa yang dikatakan oleh beliau (Kiai Hamid”. Ujar Ust. Syamsul dalam hati. Sebaiknya cerita ini bisa menjadi ibrah bagi para guru, agar tidak terlalu berkecil hati ketika ada satu-dua anak didiknya yang didak mampu pada pelajaran yang guru ajarkan. Dibalik itu semua pasti aka nada hikmahnya… (zen)

Sumber Pondok Salafiyah Pasuruan 

Kiai Hamid dikenal sebagai seorang ulama dan wali yang dekat dengan siapa saja. Ia dicintai dan memberi teladan yang menyejukkan. Ke Pasuruan tidak berziarah ke makam Kiai Hamid rasanya kurang sempurna. Sebab di komplek pemakaman yang terletak di belakang Masjid Jami’ Al-Anwar Pasuruan itu, terdapat makam Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, Syekh Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dan beberapa ulama lainnya. Kiai Hamid memang istimewa. Makamnya menjadi salah satu tujuan wisata di Jawa Timur. Sama dengan makam Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Maulana Malik Ibrahim. Keistimewaan itu membuat komplek Masjid Jami’ tak pernah sepi sepanjang siang dan malam, khususnya pada bulan Ramadan. Kiai Hamid lahir pada 1333 H / 1912 M di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, tepatnya di Dukuh Sumurkepel, Desa Sumbergirang, sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota Kecamatan Lasem. Ayahanda beliau, KH Abdullah bin Umar, memberi nama Abdul Mu’thi. Sewaktu kecil Mu’thi biasa dipanggil “Dul”. Tapi seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul”, karena kenakalannya. Mu’thi tumbuh sebagai anak yang lincah, ekstrovert dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH Hasan Abdillah, adik sepupu dan juga iparnya. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang, yang suka mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, walau untuk ukuran anak seorang kiai dipandang luar biasa. Sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya main sepak bola dan layang-layang. Mu’thi bisa dibilang bolamania alias gila bola, dan ayahnya tidak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, belajar ngajinya otomatis kurang teratur, walaupun tidak ditinggalkan sama sekali. Beliau mengaji kepada KH Maksum (ayahanda KH Ali Maksum Yogyakarta) dan KH. Baidlowi (besan KH A Wahab Hasbullah mantan Rais Am Syuriah PBNU) dua pentolan Ulama Lasem. Ketika beranjak remaja, Mu’thi mulai gemar ilmu kanuragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi, “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid, adik sepupunya di Pasuruan. Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda kewalian atau setidaknya orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH Muhammad Shiddiq Jember (ayahanda KH. Ahmad Shiddiq, mantan Rais Am Syuriah PBNU), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid. Pada usia 12-13 tahun, Hamid dikirim ke Pondok Kasingan, Rembang guna meredam kenakalannya. Ia tidak lama di pondok ini, satu atau satu setengah tahun, kemudian ia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH Dimyati ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini lahir banyak ulama besar, diantaranya, KH Ali Maksum (mantan Rais Am PBNU) KH. Masduqi (Lasem), KH. Abdul Ghafur (Pasuruan), KH. Harun (Banyuwangi), Prof. Dr. Mu’thi Ali, mantan Menteri Agama dan lain-lain. Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk makan nasi tiwul (nasi yang bahan dasarnya gaplek atau singkong) tidak membuatnya patah arang. Hamid tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang. Setelah 12 tahun belajar di Pondok Tremas. Ia dinikahkan dengan Nafisah, putri pamannya, Syekh Ahmad Qusyairi, yang dikenal sebagai penulis berbagai kitab bahasa Arab. Konon, Kiai Ahmad pernah menerima pesan dari ayahnya KH Muhammad Shiddiq, supaya mengambil cucunya itu sebagai menantu, mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda itu. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah. Sayang, sang kakek tidak sempat menyaksikan pernikahan itu, karena lebih dulu menghadap Ilahi. Namun, rencana perayaan pernikahan itu bubar. Sebab, pada hari yang sudah ditentukan, para undangan yang sudah berkumpul di Masjid Jami’ menunggu lama pengantin pria yang tidak kunjung tiba. Bahkan hingga petang harinya. Akibatnya akad nikah hanya disaksikan oleh kerabat dekat. Selidik punya selidik, keterlambatan terjadi karena rombongan pengantin sering berhenti.“Pengantinnya kuajak mampir ke makam para wali,” kata KH Ali Maksum, ulama besar yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Hidup Prihatin Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Ahmad pindah ke Jember, lalu pindah lagi ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama Istrinya harus berjuang sendiri secara mandiri mengarungi bahtera samudra kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, beliau berusaha apa saja, dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai, sampai menyewa sawah untuk digarap dan berdagang onderdil dokar. Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan, makan nasi dengan tempe panggang atau krupuk sudah menjadi kebiasaan. Terkadang sarung yang sudah usang pun masih dipakai. Tapi Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha. Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan pesantren Salafiyah, meski tinggal di komplek pesantren yang pernah diasuh mertuanya. Tapi di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri, dua orang, yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah, Kiai Hamid juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di Kabupaten Pasuruan, Rejoso, Rangge, dan lain-lain. Pada sekitar 1951, sepeninggal KH Abdullah bin Yasin, yang menjadi pengasuh pondok pesantren Salafiyah, Kiai Hamid dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH Aqib Yasin, adik KH Abdullah, menjadi pengasuh, tapi secara de fakto Kiai Hamid yang memangku pondok, mengurusi segala hal, karena Kiai Aqib yang masih muda tengah menyelesaikan belajar di Lasem. Kiai Hamid benar-benar berangkat dari nol dalam membina Pondok Salafiyah, karena pesantren dalam keadaan sepi sewaktu ditinggal KH Abdullah Yasin, yang menerapkan disiplin tinggi. Pondok Pesantren Salafiyah ini didirikan oleh KH Muhammad Yasin bin Rais. Salah satu santrinya yang terkenal adalah KH. Muhammad Dahlan mantan Menteri Agama RI 1968-1972 dan KH Abdullah Ubaid, pendiri gerakan pemuda Anshor, yang kemudian menjadi menantu Kiai Yasin. Walaupun tidak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Gerak perkembangannya memang tidak bisa dibilang cepat, tapi pasti, terus bergerak dan bergerak. Jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-runag pondok yang lahannya sudah tidak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk. Kamar-kamar yang sudah tidak mencukupi untuk menampung para santri, hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal. Perkembangan fenomenal terjadi justru pada pribadi beliau. Semula yang hanya dipanggil “haji”, lalu diakui sebagai “kiai”. Dan pengakuan masyarakat semakin besar. Tamunya semakin lama semakin membesar. Sinarnya mencorong terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf sekitar 1954. Habib Ja’far adalah wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang juga menjadi guru spritualnya. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas. Hingga akhirnya mencapai taraf – meminjam istilah KH Mustafa Bisri (Gus Mus) – Muttafaq ‘alaih, yakni disepakati semua orang, termasuk di kalangan orang-orang yang selama ini tidak mudah mengakui kewalian seseorang. Seperti halnya para wali sejati, beliau menjadi tiang penyangga masyarakatnya, tidak hanya di Pasuruan, tetapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah saka guru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin, untuk melihat borok-borok diri. Beliau adalah teladan, panutan, beliau dipuja dimana-mana, kemana-mana dikejar orang. Walaupun ia sendiri tidak suka, bahkan marah, jika ada orang yang mengkultuskannya. Namun, juga beliau manusia biasa, yang pasti mengalami kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi masyarakat muslim. Hari itu saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di dalam rumah di dalam komplek Pondok Pesantren Salafiyah, setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya, karena penyakit jantung akut, beliau menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan tiga orang anak: Nu’man, Nasih dan Idris. Umat pun menangis, gerak hidup di Pasuruan seakan berhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Kota Pasuruan, memenuhi relung-relung masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati ruas-ruas dan gang-gang jalan yang membentang di sekelilingnya. Mereka dalam gerak serentak, mengangkat tangan sambil mengucapkan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat jenazah yang diikuti jemaah oleh jumlah yang luar biasa. Ulama Tawadu’ Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tidak sedikit orang yang merasa tersaingi, terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang, ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat. Lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu, tidak dengan rekayasa, melainkan dengan perbuatan nyata, dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadu’ itu. “Kalau menghadiri suatu acara beliau, memilih duduk ditempat orang-orang biasa, di belakang bukan di depan. Kiai Hamid selalu ndempis(menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah. Beliau bersikap hormat kepada siapapun, dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya ketika sedang melayani banyak tamu, beliau memberikan perhatian kepada mereka semua, mereka ditanya satu persatu, sehingga tidak ada yang merasa diabaikan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada ilmu, pada ulama, pada orang alim, bahkan pada orang biasa. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Mentri Agama Prof Dr. Mu’thi Ali –yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas. Beliau sangat menghormati ulama dan Habib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, Kiai Hamid sibuk melayaninya. Misalnya ketika Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah bertamu, Kiai Hamid sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap-cakap, sambil memijatinya, padahal tamunya itu usianya jauh lebih muda. Sikap tawadu itu antara lain, yang menjadi rahasia “keberhasilan” Kiai Hamid hingga mencapai tingkatan tinggi di sisi Allah. Karena sikap ini pula beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para Kiai dan ulama tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadu Kiai Hamid yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata manusia maupun di sisi Allah SWT. “Barangsiapa bersikap tawadu, Allah akan mengangkatnya.” Senantiasa Sabar Rahasia sukses lainnya adalah sifat sabar yang tinggi, dengan pembawaan yang sangat halus sekali. Sebenarnya di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan tempramental. Hanya berkat riadhah (latihan) yang panjang, beliau barhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa.Riadhah telah memberi beliau kekuatan luar biasa untuk mengendalikan amarah. Kiai Hamid dapat menahan amarah ketika didorong seorang santri hingga hampir terjatuh. Ia juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebunnya habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternaknya ludes dipotong. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” katanya suatu saat. Pada saat awal memimpin Pondok Salafiyah, Kiai Hamid sering dimusuhi tetangga. Namun ketika orang itu mempunyai hajat beberapa bulan kemudian, Kiai Hamid sudah menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah tetangga itu. Tentu saja orang itu kaget dan menyesal telah membenci Kiai Hamid yang hatinya bersih. Melalui Riyadah dan Mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau berhasil membersihkan hatinya dari berbagai penyakit, tidak hanya penyakit takabur dan marah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau mampu menghalau rasa iri dan dengki. Bukannya menjadikan kiai lain sebagai pesaing, Kiai Hamid justru mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampean tanya saja kepada Kiai Ghafur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seseorang yang bertanya masalah fikh. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ketempatnya dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau juga tidak segan mengarahkan sejumlah santrinya kepada KH Abdurrahman, yang tinggal di sebelah rumahnya atau Ustadz Sholeh, keponakannya, yang mengasuh pondok pesantren Hidayatus Salafiyah. Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit, terutama bagi orang-orang yang mempunyai kelebihan ilmu dan pengaruh. Namun ada yang tidak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu menggunjing orang lain, bahkan para kiai yang mempunyai derajat tinggipun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Kiai Hamid menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak menggunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH Ali Maksum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itu, beliau tidak mau ngerasani (menggunjing) orang lain.”

Manaqib Kyai Utsman Al-Ishaqi Surabaya

AL-LU’LU’U WAL-MARJAN

Dengan pertolongan Alloh swt. ada barokah Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi R.A. kami berusaha untuk menerbitkan Manaqib Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi untuk pertama kali dengan bahasa Indonesia, dengan harapan akan mudah difahami oleh kaum muslimin yang mencintai beliau khususnya para muridin dan muridat beliau untuk lebih memantapkan Robithoh kepada beliau sewaktu akan melakukan dzikir serta agar selalu mendapatkan barokah apa saja dari beliau baik di dunia maupun di akhirat nanti khususnya dalam menghadapi sakarotul maut.Karena dengan selalu dekat kepada guru rahmat Alloh akan selalu mengalir terus kepada murid yang selalu dekat kepada guru tersebut.

Manaqib ini kami bagi menjadi tiga Bab dengan Penjelasan sebagai berikut :

BAB I : Menceritakan tentang biografi beliau sejak di dalam rahim ibu sampai beliau menetap kembali di Surabaya untuk membuka Pesantren dan memimpin Thoriqoh QODIRIYYAH dan NAQSYABANDIYYAH.BAB II : Menjelaskan tentang keistimewaan dan keluhuran beliau disisi Alloh seperti yang diungkap¬kan oleh para Habaib dan para Auliya’ yang sudah terkenal akan kewaliannya.BAB III : Membicarakan tentang kekeramatan beliau yang tiada habis-habisnya sampai beliau pulang ke Rahmatulloh.

Demikian manaqib ringkas ini kami sampaikan mudah