laporan penyakit kulit pada anjing

14
PENYAKIT KULIT DAN PARASIT DARAH SERTA PENANGANANNYA PADA ANJING ( DEMODEKOSIS, PYODERMA, BABESIOSIS DAN EHRLICHIOSIS ) Anitawati Umar, Andi Sarmalia, Risna Risyani, Muh.Danawir Alwi, Hanum Latifah Bagian Bedah & Radiologi. Departemen Klinik, Reproduksi & Patologi Program Studi Kedokteran Hewan (PSKH), Universitas Hasanuddin (UNHAS) Korespondensi penulis: [email protected] Abstrak Tujuan praktikum ini adalah untuk memaparkan kasus penyakit kulit dan parasit darah serta penanganannya pada anjing. Seekor anak anjing domestik bernama Grey yang berumur ± 3bulan, berat badan 4,6kg dengan anamnesis rambut kusam, belum divaksin, dan Grey merupakan anjing liar. Memiliki temperatur 38,6 o C, frekuensi nafas 28x/menit, frekuensi nadi 100x / menit, habitus/tingkah laku yang jinak serta sikap berdiri yang malas. Hasil pemeriksaan klinis ditemukan ekspresi kepala yang selalu menunduk, banyak lesi di daerah punggung, seborrhea, frekuensi jantung 68x/menit, bradikardia dengan intensitas yang lemah, serta ditemukan beberapa pinjal yang melompat di rambutnya. Pemeriksaan lanjutan (lab) yang sebaiknya dilakukan yaitu pemeriksaan mikroskopik dengan mengambil sampel pinjal dari rambut untuk mengetahui jenis pinjal apa yang menyerang. Anjing didiagnosa terkena infestasi pinjal Stenocephalides canis dengan prognosa fausta. Terapi yang diberikan yaitu fipronil 50 EC larutan 1:1000, amitraz untuk dipping, pyrethrum 0,4% spray dan suplemen yang mengandung zinc. Diagnosa banding untuk kasus ini antara lain pedikulosis dan

Upload: anitaumar

Post on 09-Dec-2015

56 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

demodekosis, babesiosis, ehrlichiosis, pyoderma dan infestasi pinjal

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Penyakit Kulit Pada Anjing

PENYAKIT KULIT DAN PARASIT DARAH SERTA PENANGANANNYA

PADA ANJING

( DEMODEKOSIS, PYODERMA, BABESIOSIS DAN EHRLICHIOSIS )

Anitawati Umar, Andi Sarmalia, Risna Risyani, Muh.Danawir Alwi, Hanum Latifah

Bagian Bedah & Radiologi. Departemen Klinik, Reproduksi & Patologi

Program Studi Kedokteran Hewan (PSKH), Universitas Hasanuddin (UNHAS)

Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Tujuan praktikum ini adalah untuk memaparkan kasus penyakit kulit dan parasit darah serta penanganannya pada anjing. Seekor anak anjing domestik bernama Grey yang berumur ± 3bulan, berat badan 4,6kg dengan anamnesis rambut kusam, belum divaksin, dan Grey merupakan anjing liar. Memiliki temperatur 38,6o C, frekuensi nafas 28x/menit, frekuensi nadi 100x / menit, habitus/tingkah laku yang jinak serta sikap berdiri yang malas. Hasil pemeriksaan klinis ditemukan ekspresi kepala yang selalu menunduk, banyak lesi di daerah punggung, seborrhea, frekuensi jantung 68x/menit, bradikardia dengan intensitas yang lemah, serta ditemukan beberapa pinjal yang melompat di rambutnya. Pemeriksaan lanjutan (lab) yang sebaiknya dilakukan yaitu pemeriksaan mikroskopik dengan mengambil sampel pinjal dari rambut untuk mengetahui jenis pinjal apa yang menyerang. Anjing didiagnosa terkena infestasi pinjal Stenocephalides canis dengan prognosa fausta. Terapi yang diberikan yaitu fipronil 50 EC larutan 1:1000, amitraz untuk dipping, pyrethrum 0,4% spray dan suplemen yang mengandung zinc. Diagnosa banding untuk kasus ini antara lain pedikulosis dan akariasis. Kesimpulan yang dapat diambil dari anamnesa serta penemuan klinis yakni Grey terkena infestasi pinjal Ctenocephalides canis dengan prognosa fausta.

Kata kunci : Anjing, Ctenocephalides canis, pedikulosis, akariasis

Page 2: Laporan Penyakit Kulit Pada Anjing

Pendahuluan

Anjing sangat berpotensi sebagai tempat hidup beberapa spesies ektoparasit, hal ini karena anjing memiliki rambut yang halus dan hangat yang merupakan lingkungan yang disukai ektoparasit seperti caplak dan kutu. Iklim Indonesia yang panas (tropis) juga merupakan salah satu faktor pendukung dari banyaknya jenis ektoparasit yang terdapat pada hewan peliharaan (Dharmojono, 2001 ).

Di Amerika, Ctenocephalides canis merupakan penyakit ektoparasit yang umum terjadi. Di Indonesia, penelitian mengenai ektoparasit pada anjing telah dilakukan oleh Ricardo pada tahun 2000. Hasil penelitiannya ditemukan 7 jenis ektoparasit, diantaranya adalah Rhipicephalus sanguineus, Ctenocephalides canis dan Heterodoxus longitarsus yang menginfestasi anjing peliharaan di kota Pekanbaru.

Tinjauan Pustaka

Kasus yang kami dapatkan saat praktikum yakni infestasi parasit (pinjal) Ctenocephalides canis. Pinjal merupakan insekta tanpa sayap, berbentuk pipih, memiliki kaki-kaki kuat untuk meloncat. Infestasi pinjal yang banyak merugikan pada anjing salah satunya yaitu Ctenocephalides. Secara langsung atau tidak infestasi pinjal menyebabkan gangguan yang lebih besar secara dermatologik daripada agen etiologi lainnya (Subronto, 2010).

Dermatitis akibat gigitan pinjal dalam jumlah yang banyak akan mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Rasa gatal menyebabkan ketidaktenangan yang sangat, dan lesi kulit dapat berkembang menjadi radang infeksi. Dalam keadaan demikian biasa terjadi dermatitis pyoderma (Subronto, 2010).

Anamnesa merupakan berita atau keterangan atau lebih tepatnya keluhan dari pemilik hewan mengenai keadaan hewannya ketika dibawa datang berkonsultasi untuk pertama kalinya (Widodo, Setyo,2011). Anamnesa yang didapatkan yaitu anjing bernama Grey merupakan anjing liar, berambut kusam, belum divaksin, dan sering menggaruk moncongnya.

Sinyalemen merupakan identitas diri dari seekor hewan yang membedakannya dengan hewan lain sebangsa dan sewarna meski ada kemiripan satu sama lainnya (Widodo, Setyo,2011). Sinyalemen yang dilakukan yaitu anjing bernama Grey merupakan anjing domestik berjenis kelamin jantan, berumur ±3bln dengan berat badan 4,6kg. Status present ( keadaan umum ) yang ditemukan saat pemeriksaan yaitu habitus/tingkah laku jinak, gizi dan pertumbuhan yang baik, sikap berdiri malas, suhu tubuh 38,6oC, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi nafas 28x/menit, frekuensi jantung 68x/menit. Inspeksi pertama yaitu ekspresi kepala yang selalu menunduk, kemudian dilakukan palpasi pada turgor kulit dengan hasil 1detik (normal) namun ditemukan banyak lesi di daerah punggung serta seborrhea. Pada auskultasi jantung hasil yang didapatkan yaitu ritme jantung ritmis namun bradikardia dengan intensitas yang lemah. Hasil tersebut didapatkan kemungkinan karena anjing dalam keadaan rileks/istirahat. Daerah urogenital yakni pada preputium anjing kotor. Inspeksi alat gerak tidak ada perubahan namun anjing tidak mau berlari, selalu ingin berbaring.

Pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan untuk membantu dalam menegakkan diagnosa yaitu pemeriksaan mikroskopik. Pemeriksaan mikroskopik diperlukan untuk mengamati sel dan benda

Page 3: Laporan Penyakit Kulit Pada Anjing

berbentuk partikel lainnya. Banyak macam unsur mikroskopik dapat ditemukan baik yang ada kaitannya dengan infeksi (bakteri, virus,parasit) maupun yang bukan karena infeksi misalnya perdarahan, disfungsi endotel dan gagal ginjal (Atmojo, 2010). Pemeriksaan mikroskopis dilakukan sebagai pemeriksaan lanjutan untuk memastikan bahwa anjing terkena infestasi pinjal serta untuk melihat jenis pinjal apa yang menyerang anjing.

Dari hasil temuan yang didapatkan, anjing bernama Grey terkena infestasi pinjal Ctenocephalides canis. Hasil studi pustaka menyatakan hal yang sama dilihat dari gejala-gejala yang ditimbulkan seperti sering menggaruk daerah wajah dan kepala, lesi pada beberapa bagian tubuh, seborrhea serta ditemukan agen parasit yang dapat dilihat dengan kasat mata. Menurut Subronto (2010), bagian tubuh anjing yang paling disenangi oleh pinjal meliputi wilayah sakral, lumbal, ekor dan kepala. Di bagian tubuh yang merupakan sarang pinjal atau di kulit yang diserang pinjal akan terbentuk alopesia lokal, eritema, papula dan keropeng, disertai rasa gatal yang sangat.

Diagnosa banding untuk kasus infestasi pinjal Ctenocephalides canis yaitu (1) Pedikulosis. Infestasi kutu (lice) pada anjing paling banyak dilakukan oleh kutu menggigit antara lain Trichodectes sp dan Linognathus sp. Kutu dapat dijumpai di berbagai bagian kulit tubuh terutama pada bagian kulit yang ada lipatannya. Infestasi yang bersifat sedang hanya mengakibatkan rasa gatal, dan ketidaktenangan, pada infestasi yang berat terjadi eritema dan rontoknya rambut. (2) Akariasis (Skabies). Skabies disebabkan oleh tungau Sacrcoptes scabiei var canis pada jantan biasanya hidup di lapisan kulit epidermis. Gejala klinis yang ditemukan antara lain rasa gatal dan ketidaktenangan dan penderita mencoba mengurangi rasa gatal dengan menggosok-

gosokkan ke obyek keras. Rambut rontok, dengan lesi yang tidak rata tepinya, tidak begitu menonjol dari permukaan dan biasa bersisik atau berkeropeng, dengan bentuk papula yang tidak begitu berat (Kelly, 1977).

Prognosis adalah proses suatu kasus penyakit berdasarkan hasil diagnosis. Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:

- Fausta : tingkat kesembuhan lebih dari 50%- Dubius : tingkat kesembuhan 50 : 50- Infausta : tingkat kesembuhan <50%

Sedangkan prognosa dari kasus ini dapat dikatakan fausta dilihat kondisi tubuh anjing yang baik dan lesi tidak menyebar rata diseluruh tubuh (Sajuthi, Tiara, 2013).

Pengobatan untuk anjing yang terinfestasi pinjal tergantung dari tingkat infestasi dan tebalnya rambut. Obat-obatan dapat berpa serbuk atau cairan untuk disemprotkan atau dimandikan seperti Rotenon 1%, Maldison 2% (obat berupa serbuk), pyrethrum 0,4%, carbaryl 0,4%-1% (aeorosol), pyrethrum 0,4% spray, fipronil dalam bentuk larutan. Secara sistemik obat yang dapat diberikan yaitu Fenchlorphos dengan dosis 200mg/kg diberikan per os tiap 3-4 hari sampai populasi pinjal terkendali (Subronto, 2010).

Pyoderma

Etiologi

Pyoderma merupakan suatu infeksi bakteri yang dapat terjadi pada berbagai lapisan kulit. Infeksi kulit ini sering terjadi pada anjing dan jarang terjadi pada kucing. Pyoderma dapat terjadi pada lapisan superfisial dan pada lapisan dalam kulit (deep pyoderma). Bakteri yang menyebabkan pyoderma antara lain Staphylococcus intermedius, Staphylococcus ureus, Staphylococcus hyicus, Pasteurella

Page 4: Laporan Penyakit Kulit Pada Anjing

multocida, atau Pseudomonas aeroginosa.. Selain itu, infeksi kulit ini dapat terjadi sebagai akibat komplikasi dari alergi kulit (alergi kutu, alergi lingkungan, dan alergi makanan), ketidakseimbangan hormon (hipotiroidism, Cushing’s disease), dan kondisi lain yang berkaitan dengan sistem imun (Paterson,2008)

Gejala KlinisPyoderma superfisial umumnya

terjadi pada tubuh. Luasnya lesi dari pyoderma tidak jelas akibat tertutup oleh rambut hewan. Pyoderma yang dalam sering mempengaruhi dagu, hidung, dan kaki ataupun terjadi secara menyeluruh. Pada saat physical examination terlihat adanya sisik, kerak, kemerahan pada kulit, kebotakan, papula, pustul, abses, furunculosis, dan cellulitis. Gejala yang sering terlihat pada kejadian pyoderma adalah pruritus. Jika penyebab awal dari pyoderma adalah alergi maka kulit akan kemerahan, jika penanganan hanya untuk mengatasi kejadian pyoderma tanpa mengatasi kejadian alergi maka pruritus yang timbul tidak akan terselesaikan. Jika penyebab utama adalah disfungsi endokrin, maka akan terlihat gejala lain seperti polidipsia/poliuria, lethargy, penambahan berat badan, ataupun feminisasi (Paterson,2008).

Diferensial Diagnosa Differensial diagnosa dari kejadian

pustula yaitu pyoderma superfisial akibat staphylococcus, dermatophytosis, demodecosis, pemphigus foliaceus, dan dermatosis pustular subcornea. Sedangkan differensial diagnosa untuk furunculosis adalah pyoderma dalam akibat Staphylococcus, infeksi bakteri tingkat tinggi (Actinomyces, Nocardia, Mycobacteria, Actinobacillus), demodecosis, dermatophytosis, infeksi jamur oportunis, panniculitis, dermatosis akibat respon zinc (Paterson, 2008).Terapi

Terapi dapat dilakukan dengan pemberian Ivermectin 0.2 mg/kg bb sc, Metronidazole 20 mg/kg bb po, CTM 4 mg po, dan Dexamethasone 0.3 mg/kg bb po. Menurut Smith dan Tilley (2000), pyoderma akibat Staphylococcus intermedius dapat diterapi dengan pemberian Cephalosporin, Cloxacillin, Oxacillin, Methicillin, Amoxicillin-clavulanate, Erythromycin, dan Chloramphenicol. Terkadang isolat sudah resisten terhadap Amoxicillin, Ampicillin, Penicillin, Tetrasiklin, dan Sulfonamida. Hindari pemakaian steroid karena akan merangsang resistensi dan pengulangan kejadian meskipun diberikan bersamaan dengan antibiotik. Oleh karena itu, pemberian Dexamethasone yang merupakan turunan dari corticosteroid sebaiknya tidak digunakan lagi untuk mengatasi kasus pyoderma (Irhke PJ, 2007).

DemodekosisEtiologi

Demodekosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau Demodex canis yang menyerang anjing. Demodex canis terdapat dalam jumlah yang kecil pada kulit dan tidak menunjukkan gejala klinis pada anjing yang sehat. Penularan demodekosis ini terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. Dalam kondisi normal, parasit ini tidak memberikan kerugian bagi anjing, namun bila kondisi kekebalan anjing menurun maka demodex akan berkembang menjadi lebih banyak dan menimbulkan penyakit kulit (Triakoso, 2006).

Gejala KlinisGejala klinis dari demodekosis

adalah pada kulit terjadi alopecia, berkerak, kemerahan, disertai rasa gatal dan sakit jika ada infeksi sekunder. Munculnya demodex biasanya pada daerah kepala, kaki depan, hidung, ekor dan beberapa anjing ada juga yang terserang hanya di daerah telapak kaki dan telinga saja. Pada demodekosis general,

Page 5: Laporan Penyakit Kulit Pada Anjing

lesi terdapat hampir di seluruh tubuh dan biasanya disertai dengan infeksi sekunder (Scott, 2001).

Diagnosa yang dapat dilakukan pada kasus demodekosis adalah dengan kerokan kulit yang agak dalam dari bagian tengah lesi, kemudian diberi tetesan KOH 10 % untuk diamati di bawah mikroskop. Apabila positif maka akan ditemukan parasit demodex yang bentuknya seperti wortel atauCerutu (Scott, 2001).

TerapiPengobatan demodekosis terutama

ditujukan untuk membunuh parasit penyebab. Ivermectin diberikan secara sub kutan dengan dosis 400 μg per kg berat badan dengan interval pengulangan sekali seminggu, dan diberikan injeksi duradryl secara sub kutan terlebih dulu sebagai antihistamin. Pemberian Amitraz dengan cara hewan penderita dimandikan dengan interval sekali seminggu. Pengobatan yang dilakukan pada penderita demodikosis dengan pemberian obat anti bakterial seperti Erythromycin atau obat golongan Trimethoprim-sulfonamide yang sering digunakan seperti Bactrim, karena pemberian obat golongan ini ditujukan untuk pengobatan infeksi bakteri (Triakoso, 2006).

BabesiosisEtiologi

Babesiosis atau periplasmosis merupakan salah satu infeksi parasit yang biasa terjadi pada anjing. Kejadian babesiosis disebabkan oleh protozoa Babesia sp dari filum Apicomplexa. Pada anjing kejadian babesiosis umumnya disebabkan oleh adanya infeksi Babesia canis dan Babesia gibsoni. Parasit babesia bersifat intraseluler pada sel darah merah. Infeksi babesia umumnya melalui vektor. Pada anjing, vektor yang paling sering dilaporkan dapat menularkan babesia ialah

caplak dari spesies Rhipicephalus sanguineus filum Ixodidae (Atmojo, 2010).

Gejala KlinisInfeksi babesiosis dapat terjadi dengan

tanpa gejala, atau menimbulkan gejala ringan sampai berat, tergantung derajat infeksi, patogenitas agen serta kerentanan dari inang. Gejala akut yang sering diperlihat pada infeksi babesia ialah adanya demam, ataksia, anoreksia, kelemahan, kelesuan, kadang-kadang juga terdapat tanda-tanda saraf sebagai akibat dari penyerapan eritrosit yang terinfeksi di kapiler otak. Pada kasus kronis kadang terjadi kondisi Anemia dan haemoglobinuria. Dilaporkan bahwa kejadian babesia umumnya berlangsung subklinis. Penyakit ini dapat menyebabkan terjadinya anemia hemolitik, trombositopenia, dan splenomegali. Tanda lainnya yang dapat menunjukkan adanya infeksi babesia adalah pucat gusi dan lidah, urin berwarna merah atau oranye, penyakit kuning (semburat kuning pada kulit, gusi, putih mata, dll), pembesaran kelenjar getah bening, dan pembesaran limpa (Boozer & Macintire, 2005).

Diagnosa hewan yang terkena babesiosis dapat dilakukan dengan pengamatan tanda-tanda klinis berupa haemoglobinuria dan anemia. Diagnosa kemudian dapat dikonfirmasi dengan pengamatan babesia pada preparat ulas darah yang diwarnai dengan pewarna giemsa kemudian diamati dibawah mikroskop dengan pembesaarn 100x. Hasil positif ditunjukkan oleh adanya babesia dalam sel darah merah. Selain itu, diagnosa laboratorium lainya yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya infeksi babesia ialah melalui pemeriksaan Elisa, PCR atau menggunakan FAT. Penggunaan PCR dalam diagnosis babesia sangat meningkatkan sensitivitas deteksi parasit, namun cara ini masih terbatas pada

Page 6: Laporan Penyakit Kulit Pada Anjing

laboratorium tertentu limpa (Boozer & Macintire, 2005).

TerapiPemberian obat Imidocarb

dipropionate (Imizol, Burroughs Wellcome, Schering-Plough) 2.5 mg/pound BB IM tiap 2 minggu untuk 2x treatment. (Donald C. Plumb, Pharm.D.1999).

EhrlichiosisEtiologi

Ehrlichia merupakan tipe bakteri yang menyerang anjing dan spesies lainnya di dunia yang menyebabkan penyakit Ehrlichiosis. Ehrlichiosis dapat pula disebut sebagai penyakit tropical canine pancytopenia yang biasanya ditularkan melalui kutu. Ehrlichia menyerang sel darah putih (Scott, 2001).

Gejala KlinisGejala yang ditimbulkan tergantung

pada spesies dan sistem imun anjing. Gejala klinis yang biasanya muncul antara lain demam, letargy, nafsu makan menurun, kehilangan berat badan, pembesaran limfonodus, splenomegali, rasa sakit dan kekakuan (terjadi akibat arthritis dan rasa sakit pada otot), batuk, ocular dan nasal discharge, muntah, diare, inflamasi daerah mata, gejala syaraf (Scott, 2001).

Diagnosa Ehrlichiosis sulit dilakukan. Pemeriksaan darah menunjukkan penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) dan penurunan sel darah merah (anemia) dan/atau sel darah putih (leukopenia) (Scott, 2001).

TerapiEhrlichiosis merespon dengan baik

antibiotik Doxycyclin. Pada kasus yang parah dimana jumlah sel darah sangat rendah, transfusi darah mungkin diperlukan (Scott, 2001).

Hasil Praktikum

Data dalam bentuk tabel ( salinan kartu rekam medis)

Diskusi

Penyakit kulit akibat infestasi ektoparasit sangat banyak dijumpai pada hewan kecil seperti anjing. Kasus yang ditemukan pada saat praktikum yaitu infestasi pinjal Ctenocephalides canis. Pinjal ini banyak ditemukan pada tubuh hewan khususnya dibagian superficial dan dapat dilihat dengan kasat mata apabila kita memperhatikan dengan seksama. Pinjal akan melompat dari satu tempat ke tempat yang lain dan dapat menyebabkan rasa gatal pada tubuh anjing.

Saat praktikum ditemukan banyak lesi di daerah punggung serta seborrhea dan rambut anjing yang sangat kusam. Anjing juga selalu menunduk dan lemas dilihat dari anjing yang hanya diam, berbaring dan denyut jantung yang bradikardia, sesekali menggaruk di daerah moncongnya. Dan ditemukan agen ektoparasit Ctenocephalides canis pada rambut disekitar punggung anjing, dilakukan isolasi parasit dan dilihat dibawah mikroskop.

Menurut literatur, bagian tubuh anjing yang paling disenangi oleh pinjal meliputi wilayah sakral, lumbal, ekor dan kepala. Di bagian tubuh yang merupakan sarang pinjal atau di kulit yang diserang pinjal akan terbentuk alopesia lokal, eritema, papula dan keropeng, disertai rasa gatal yang sangat (Subronto, 2010). Dalam jumlah yang sedikit dan sistem imunitas dalam keadaan baik, pinjal tidak membahayakan tubuh tetapi ketika sistem imun mengalami penurunan, jumlah ektoparasit seperti pinjal akan banyak

Page 7: Laporan Penyakit Kulit Pada Anjing

dijumpai dan dapat menimbulkan gejala-gejala yang merugikan tubuh hewan.

Kesimpulan

Kasus akibat infestasi pinjal Ctenocephalides canis sering ditemukan saat pemeriksaan. Prognosa fausta dengan pemberian terapi seperti dimandikan dengan pyrethrum, fipronil atau dengan obat sistemik seperti Fenchlorphos dan juga pemberian suplemen yang mengandung zinc untuk membantu meremajakan kulit.

Pustaka Acuan

Atmojo SD. 2010. Identifikasi Protozoa Parasit Darah pada Anjing (Canis sp.) Ras Impor di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta.[Skripsi]. Program Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Boozer L, Macintire D. 2005. Babesia Canis: An Emerging Pathogen in Dogs. Compend Contin Educ Pract Vet27(1):33-41.

Dharmojono. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner. Jakarta : Pustaka Populer Obor.

Donald C. Plumb, Pharm.D.1999. Veterinary Drug Handbook Third Edition.

Irhke PJ. 2007.Infectious Diseases of the Dog and Cat. Ed ke-3. Oxford (GB): Blackwell. Hlm: 6-7.

Kelly, J.D.K. 1977. Canine Parasitology, The University of Sydney, Post Grad. Foundation in Vet. Science, Vet.Rev. 17, Sydney, N.S.W Australia.

Paterson S. 2008. Manual of the Skin Diseases of Dogs and Cats. Ed ke-2. Oxford (GB): Blackwell. Hlm: 26-47

Sajuthi Tiara. 2013. Cat Flu. Veterinary Clinis PDHB drh. Cucu K. Sajuthi

Scott, DW, WH Miller, CG Griffin. 2001. Small Animal Dermatology. WB Saunders Company.

Subronto. 2010. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Triakoso, N. 2006. Demodicosis Up Date. Reginal Seminar Veterinary Dermatology Up Date. Surabaya

Widodo Setyo. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor : IPB Press.

Page 8: Laporan Penyakit Kulit Pada Anjing

Lampiran:

Pinjal Ctenocephalides canis yang ditemukan di rambut Grey

Pemeriksaan umur, mukosa, gigi geligi dan lidah

Auskultasi jantung

Lesi dan seborrhea

Page 9: Laporan Penyakit Kulit Pada Anjing

Pyoderma pada anjing

Demodekosis pada anjing

Gejala klinis babesiosis jaundice pada gusi

Ehrilichiosis pada anjing menunjukkan gejala perdarahan kapiler diseluruh tubuh