makalah ushul fiqh

8
Makalah Ushul Fiqh KEWAJIBAN HAJI DAN UMROH DITINJAU DARI USHUL FIQH MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah USHUL FIQH Dosen Pembina: Drs. Moh. Harisuddin Cholil, M. Ag Oleh: Wahyu Irvana SEMESTER: II-B SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM "MIFTAHUL 'ULA" (STAIM) JURUSAN TARBIYAH, PRODI S-1 PAI NGLAWAK-KERTOSONO Juni, 2009 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Upload: erman-suhendri

Post on 26-Jun-2015

286 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Ushul Fiqh

Makalah Ushul Fiqh

KEWAJIBAN HAJI DAN UMROHDITINJAU DARI USHUL FIQH

MAKALAHDisusun Untuk Memenuhi Tugas MatakuliahUSHUL FIQH

Dosen Pembina: Drs. Moh. Harisuddin Cholil, M. Ag

Oleh:Wahyu IrvanaSEMESTER: II-B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM "MIFTAHUL 'ULA"(STAIM)JURUSAN TARBIYAH, PRODI S-1 PAINGLAWAK-KERTOSONOJuni, 2009

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANGPara ulama’ ushul telah menetapkan sejumlah kaidah-kaidah ushul yang wajib kita ketahui dan diperhatikan bagi mereka yang hendak istinbath hukum, dan juga memperhatikan hukum dari nash-nash, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits serta illat hukumnya dari sesuatu masalah yang ada.Para ulama’ fiqih dalam berijtihad senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah kulliyah ushul fiqh dalam meramu hukum fiqh. Oleh karena pentingnya adanya kaidah ushul fiqh, maka dalam makalah ini akan disajikan istinbath hukum dengan kaidah-kaidah ushul fiqh, yang dalam hal ini

Page 2: Makalah Ushul Fiqh

adalah mengenai kewajiban haji dan umroh.

B. RUMUSAN MASALAH1. Bagaimana takrif kewajiban haji dan umroh??2. Bagaimana istibath hukum dengan kaidah-kaidah ushul fiqh tentang kewajiban haji dan umroh??3. Apa kesimpulan dari istinbath hukum tersebut??

C. TUJUAN MASALAH1. Untuk mengetahui takrif kewajiban haji dan umroh2. Untuk mengetahui istibath hukum dengan kaidah-kaidah ushul fiqh tentang kewajiban haji dan umroh3. Untuk mengetahui kesimpulan dari istinbath hukum.BAB IIKEWAJIBAN HAJI DAN UMROH

A. TAKRIF KEWAJIBAN HAJI DAN UMROHJumhur ulama' sepakat bahwa haji merupakan rukun islam yang kelima. Jadi hukum berhaji adalah wajib bagi setiap mukallaf. Adapun tentang umroh, masih terdapat ikhtilaf di antara mereka. Namun madzhab Syafi'i juga mewajibkan umroh di samping kewajiban haji. Jadi haji dan umroh sama-sama diwajibkan bagi mukallaf yang mampu melakukan perjalanan ke Baitulloh.Seperti dijelaskan dalam salah satu kitab fiqh madzhab syafi'iyah (kitab Tsimaruh Ya'inah fi Riyadhil Badi'ah) :

"Tidak wajib atas keduanya (haji dan umroh) dalam pokok syari'at Islam kecuali hanya sekali dalam seumur hidup, sehingga apabila ia keluar dari agama Islam (murtad) setelah melakukan keduanya, kemudian kembali pada Islam, maka tidak wajib baginya mengulangi keduanya (haji dan umroh). Adapun syarat wajib haji dan umroh adalah islam, baligh, berakal sehat, merdeka, dan mampu…"Dari keterangan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa taklif haji dan umroh adalah untuk orang islam, baligh, berakal sehat, merdeka, dan mampu melaksanakan perjalanan ke Baitulloh.

Seperti kita ketahui bersama (ma'lum) bahwa hukum fiqh merupakan hukum yang konsumtif, jadi siap untuk dipakai oleh mukallaf, yang telah diramu oleh para Imam Mujtahid. Adapun perumusan hukum tersebut adalah dengan cara istinbath hukum dari Al Qur'an dan Al Hadits, serta dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh (resep meramu hukum fiqh)

B. ISTINBATH HUKUM HAJI DAN UMROH DENGAN KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQHUshuk fiqh merupakan pokok-pokok dari ilmu fiqh. Oleh karenanya tentunya kaidah-kaidah yang digunakan harus sesuai da dikuasai oleh para peramu hukum fiqh.Adapun istinbath hukum haji dan umroh adalah dari dua sumber syari'at Islam, yakni Al Qur'an

Page 3: Makalah Ushul Fiqh

dan As Sunnah.• Dalil-dalil yang mewajibkan hajiQS. Ali Imron: 97

"Dan Allah telah mawajibkan atas manusia mengunjungi Baitulloh…."Dan ayat ini diperkuat pula dengan hadits Nabi (bayan taqrier) yang shohih, yakni:

"Hai Manusia, sesungguhnya Allah benar-benar telah memfardhukan haji atas kamu semua, maka berhajilah" (HR. Muslim)

"Dari Ibnu Abbas ra. Berkata: Rosululloh bersabda kepada kami: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu semua untuk berhaji…" (HR. Imam Al Khomsah Kecuali At Tirmidzi Asal lafadznya dari Muslim dari hadits Abu Hurairah)Kesimpulan: bahwa kewajiban haji wajib dilakukan bagi orang mukallaf (islam, baligh, berakal sehat [ma'lum]). Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh:

�ْو�ُج�ْو�ِب� �ْل ِل �ْم�ِر� �َال ْا ِف�ى �ْص�ُل� �َال .ْا"Pada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib"• Haji tidak wajib bagi budak (tidak merdeka)Adapun dalil yang menerangkan adalah:

"….adapun budak yang telah berhaji, kemudian dimerdekakan, maka ia wajib berhaji dengan haji yang lain…" (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqy)Dari hadits ini dijelaskan bahwa budak tidak wajib melaksanakan ibadah haji. Sebab ia adalah milik majikannya, maka apabila ia telah berhaji pada masa budak, ia harus menggantinya dengan haji yang baru setelah ia merdeka. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh:

"Qodho itu harus dengan perintah yang baru"Artinya qodhonya budak tadi berdasar hadits di atas, bukan dari QS. Ali Imron:97. Dalam hal ini ketika ia sedang menjadi budak, tidak wajib baginya berhaji, disebabkan kewajibannya pula melayani majikannya. Secara Qiyas Musawi keduanya adalah wajib, maka boleh memilih salah satu, sebab terbatasnya kesempatan.Sesuai dengan hadits Nabi SAW.

"Dari Ibnu Umar ra. Sesunmgguhnya Rosululloh bersabda: sesungguhnya budak kerika melayani majikannya dan memperbaiki ibadah kepada Allah, maka padanya pahala dua kali lipat" (HR.

Page 4: Makalah Ushul Fiqh

Muttafaqun Alaih)Kesimpulan: haji tidak wajib bafi budak, oleh karena itu setelah ia merdeka ia wajib melakukan haji, walaupun ketika menjadi budak ia telah berhaji.• Kewajiban haji hanya bagi orang yang mampuPerintah haji dalam QS. Ali Imron: 97, yakni:

Ðitakhsis dengan kalimat setelahnya, yakni:

"..bagi yang mampu melakukan perjalanan kepadanya (baitulloh).."(QS. Ali Imron:97)Dari mukhossis di atas, jelaslah bahwa melakukan haji hanya diwajibkan bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitulloh.Dalam hukum ini, dapat pula dirumuskan secara Mafhum Mukholafah, yaitu Mafhum Syarat "haji wajib bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullloh" jadi "haji tidak wajib bagi orang yang tidak mampu melakukan perjalanan ke Baitulloh".Adapun perjalanan menuju ke Baitulloh juga merupakan sarana berhaji (misalnya: pesawat terbang), dan sesuai kaidah ushul fiqh:

"Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mewujudkan sarananya"Kesimpulan : karena sarana haji adalah perbekalan dan kendaraan. Maka jika tidak mampu mewujudkannya berarti tidak memenuhi 'amr dalam berhaji. Oleh karena itu, haji hanya wajib bagi orang yang mampu saja, diperkuat oleh takhsis dan mafhum mukholafah tadi.• Kewajiban haji hanya sekali dalam seumur hidupPerhatikan kembali QS. Ali Imron :97, dari ayat tersebut jika dikaitkan dengan kaidah ushul fiqh:

"Pada dasarnya perintah itu tidaj menghendaki berulang-ulang (berulang-ulangnya perbuatan yang diperintah)"Dari kaidah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban haji hanya sekali dalam seumur hidup.Adapun hal ini juga diperkuat dengan Hadits Nabi SAW. (bayan taqrier):

"Dari Ibnu Abbas ra. berkata, Rosululloh SAW. bersabda: 'sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu semua berhaji', maka berdirilah Aqro' bin Habis dan ia bertanya: 'apakah setiap tahun ya Rosululloh?' Nabi menjawab: 'jika aku berkata (setiap tahun), maka haji akan wajib setiap tahunnya'. Haji itu sekali (seumur hidup), maka selebihnya adalah amalan sunnah." (HR. Imam Al Khomsah kecuali At Tirmidzi asal lafadznya dari Muslim dari hadits Abu Hurairah)Kesimpulan: jadi kewajiban haji hanya sekali dalam seumur hidup bagi orang mukallaf. Sesuai pula dengan kaidah ushul fiqh:

"Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki adanya kesegeraan"

Page 5: Makalah Ushul Fiqh

Jadi tidak harus segera melakukan haji, melainkan menunggu sampai orang mukallaf mampu melakukan perjalanan ke Baitulloh.• Kewajiban umroh sama wajibnya dengan kewajiban hajiBanyak ulama' yang bersepakat bahwa ibadah umroh sama wajibnya dengan ibadah haji, hal ini sesuai dengan QS. Al Baqoroh: 196,

"dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh karena Allah”Dari ayat ini, ibadah umroh dikatakan wajib hukumnya, sama dengan wajibnya hukum haji dilihat dengan Dalalatul Iqtiron, sebab umroh disebutkan bersama-sama dengan haji.Hadits Nabi yang mentaqrirkan pendapat tersebut adalah:

"Dari Jabir ra. Dengan jalan marfu': haji dan umroh adalah fardhu keduanya"Kesimpulan : kewajiban umroh sama dengan kewajiban haji

C. KESIMPULAN UMUM 1. Haji merupakan kewajiban bagi orang mukallaf, yakni islam, berakal dan dewasa, namun merupakan kewajiban yang mu'ayyan sebagaimana sabda nabi:

"ambillah dariku manasik kamu semua"2. Haji hanya wajib dilakukan oleh orang yang merdeka dan yang mampu melaksanakan perjalanan ke Baitulloh serta hanya sekali seumur hidup.3. Umroh juga diwajibkan, sebagaimana kewajiban haji.

BAB IIIPENUTUP

A. KESIMPULAN1. Manusia yang diwajibkan melaksanakan ibadah haji dan umroh adalah yang islam, baligh, berakal sehat, merdeka, dan mampu melakukan perjalanan ke Baitulloh.2. Haji dan umroh termasuk:• wajib mu'ayyan (telah ditentukan macam dan jenisnya), • wajib mudhayyaq bagi haji serta muwassa' bagi umroh• wajib 'ain (setiap mukallaf)• wajib muhaddad (sekali seumur hidup)

B. SARAN-SARAN1. Istinbath hukum seharusnya dengan pengetahuan dalil-dalil yang banyak, baik yang mantuq atau mafhum, yang mujmal maupun mubayyan, yang 'aam atau yang khos, dan dari Al Qur'an maupun Al Hadits. Maka seandainya terdapat kekeliruan mohon dibenarkan, sebab ini berhubungan dengan syara'.2. Jangan suka jadi orang yang taqlid A'ma (buta).

Page 6: Makalah Ushul Fiqh

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Allamah K. Arwany. Tt. Al Qur'anul Karim. Kudus: Menara Kudus

2. Al Allamah Syaikh Muhammad Nawawi Al Jawi. Tanpa tahun. Tsimarul Ya'inah fi Riyadhil Badi'ah. Semarang: Karya Toha Putra.

3. Al Allamah Abu Zakariya Al Anshory. Tanpa tahun. Riyadhus Sholihin. Surabaya: Haromain.

4. K. Ahmad Subhi Musyhadi. 1981. Misbahul Anam fi Tarjimah Bulughul Marom Juz III. Pekalongan: Maktabah Raja Murah

5. Sayyid Ahmad Hasyimi. 1971. Mukhtarul Ahaditsun Nabawiyyah. Surabaya: Haromain.

6. Drs. Moh. Harisuddin Cholil, M. Ag. 2003. Ushul Fiqh I. Nganjuk: STAIM Press.

7. Prof. TM. Hasby Ash Shiddiqy. 2001. Al Islam 2. Semarang: Pustaka Rizki Putra.