makalah sistem partikel
TRANSCRIPT
MEKANIKADINAMIKA SISTEM PARTIKEL
MAKALAH
Disusun untuk memenui tugas mata kuliah Mekanika
yang dibina oleh Bapak Nasikhudin
Oleh :Adiyat Makrufi (100321400984)
Charisma P. W. (100321400989) Ferdiana Ika Wati (100321405240)
Mar’atus Sholihah (100321400895) Regina Petty Yolanda (100321400893)
Kelompok IVKelas C / Offering C
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN FISIKA
Oktober 2011
Z r1 m1mn rn r2 m2 Y rk Xmk X mk
BAB VI
DINAMIKA SISTEM PARTIKEL
A. SistemPartikel dan Pusat Massa
Pada hakekatnya hukum kekekalan energi mekanikberkaitandengan momentum linear,
momentum angular, dan energi terapan. Beberapa ahli berpendapat dalam sistem terdapat
suatu interaksi antara benda makro dengan mikro.
Jika sebuah sistem berisi sejumlah N partikel, symbol bilangannya 1,2,…n. Massa
partikel adalah m1,m2,…mndan letaknya pada jarak r1,r2,…rn. Untuk beberapa sistem partikel,
pusat massa terletak di R(X,Y,Z). Sehingga didapat hubungan.
(m1+m2,…+mn) R =m1r 1 + m2 r2 + …+ mn rn atau
∑k=1
n
mk R=¿∑k=1
n
mk r k¿ oleh karena itu : R= ∑ mk r k
∑ mk
= ∑ mk r k
M
(1)
Gambar 1. Sistem partikel dengan beberapa massa pada jarak yang berbeda dari titik asal.
Dalam hal ini M = ∑ mk merupakan jumlah kesulurahan massa dan penjumlahan
∑ dari k=1 ke k=N. Berdasarkan komponen maka dapat dituliskan :
X=1M ∑ mk xk , Y =
1M ∑ mk yk , Z =
1M ∑ mk zk (2)
Dari persamaan (1) didapat bahwa pusat massa merupakan pusat rata – rata dari
massa berat. Kecepatanv = Rpada pusat massa dapat diperoleh dengan differensiasi
persamaan (1) terhadap t, oleh karena itu,
v = R = 1M ∑ mk rk (3)
Komponen – komponen kecepatanpadapusatmassadapatditulis
vx = x= 1M ∑ mk xk, v y = y =
1M ∑ mk yk, vz = z =
1M ∑ mk zk (4)
Percepatana didapat dengan mendifferensialkan lagi yaitu :
a=R= 1M ∑ mk rk (5)
atau, dalam komponen
ax= x= 1M ∑mk xk, a y= y= 1
M ∑mk yk, az= z= 1M ∑ mk zk (6)
Selanjutnya akan didiskusikan Pemkaian tiga hukum kekekalan yang menjadi dasar yaitu:
(1)Kekekalan momentum linier, (2)Kekekalan momentum sudut, (3) Kekekalan energi. Dan
juga terdapat dua pemecahan pada masalah ini yaitu : (1) Hukum – hukum Newton,
(2)Prinsip kesamaan.
B. Kekekalan Momentum Linier
Sebuah partikel bermassa m dengankecepatanv dan dengan momentum linear p, hukum II
Newton menyatakan : F= d pdt
(7)
Dalam hal ini Fadalah gaya luar yang bekerja pada m, dan p= m v (8)
Jika m konstan
F= d pdt
= ddt
¿) = md vdt
= m a (9)
Selanjutnya, jikaF= 0, p adalah konstan, ini adalah konservasi dari hukum kekekalan
momentum linear untuk partikel tungggal. Pada sistem N partikel, seperti pada gambar (1),
gerak partikel ke k dari massa mk, pada jarak rkdari titik asal dan dengan kecepatan rk ( = vk
) dan percepatanrk. Gaya total F kbekerja pada partikel k t hmerupakan penjumlahan dua gaya
:
1. Jumlah gaya eksternalF k yang diterapkan pada partikel k t h.
2. Jumlah gaya internal F kpada partikelk t h dengan n – 1 partikel dalam sistem
Jadi persamaan gerak untuk partikel k t hsesuai dengan hukum Newton adalah :
F k = K kl + K k
i = mk rk, k = 1,2,…..n (10)
Dalam hal ini F ki = ∑
k=1k ≠l
n
Fkli (11)
F kli adalah gaya partikel ke k t hpadalt h partikel, karena vektor alami dari persamaan
(10), dalam hal ini 3n untuk orde ke-2 secara persamaan differensial dapat terpecahkan.
Persamaan (10 )dapat diselesaikan dengan menggunakan pusat koordinat massa.
Momentum untukpartikelk t hdiberikanoleh :
pk = mk vk = mk rk (12)
Persamaan (10) diambil dari : d pk
dtFk = F k
l + F ki (13)
Jumlah kedua sisi meliputi semua N partikel,
∑k =l
N d pk
dt= d
dt∑
l
N
pk=∑l
N
Fk=∑l
N
Fkl +∑
l
N
Fki
Bilamana p adalah jumlah momentum linier pada system partikel N partikel dan F gaya luar
total yang bekerja pada sistem, maka :
P=∑k=l
N d pk
dt=∑
k=l
N
mk rk , (15)
F=∑k=l
N
Fkl (16)
Selanjutnya jumlah gaya dalam yang bekerja pada semua system partikel sama
dengan nol ∑k =l
N
Fki =0 (17)
Kombinasi Persamaan (15), (16), dan (17) dengan pers (14) didapatkan : d pdt
=F (18)
Teorema Momentum untuk sistem partikel :
“Kekekalan momentum linier : perubahan rata – rata pada momentum liniear adalah
sama dengan gaya terapan luar total. Jadi bila jumlah semua gaya terapan luar sama dengan
nol, maka momentum liniear total p dari sistem ini adalah konstan “.
p = konstan, jikaF = 0 (19)
Pusat koordinasi massa
p=∑k=l
N
mk r k=M R (20)
subtitusi pers(15)didapat :
F=M R (21)
Sehingga dapat disimpulkan “Pusat massa pada sistem partikel bergerak seperti
halnya partikel tunggal bermassa m bekerja pada gaya tunggal F sama dengan jumlah semua
gaya luar yang bekerja pada sistem”.
Dua buah pendekatan differensial :
1. Hukum II Newton
2. Prinsip dari kerja nyatanya, sesuai dengan persamaan (11) : F= ∑k=l , k± l
N
Fkli
F kli merupakan gaya dorong pada partikelk t hmenuju partikellt h. Sesuai dengan hukum III
Newton.
F ki =−Fk
i (22)
Dengan menggunakan persamaan (11) jumlah semua gaya internal adalah
∑k =l
N
Fki =∑
k=l
N
∑l=1 , l ≠1
N
Fkli (23)
Pada pembuktian terdahulu, diasumsikan bahwa gaya internal datang secara
berpasangan. Kerja yang dilakukan oleh gaya internal F ki pada suatu simpangan
sesungguhnya δ untuk partikel ke k t hadalah : δ W k=Fki . δ r (24)
Kerja total yang dilakukan oleh seluruh gaya internal adalah :
δW=∑k=l
N
δ W k=∑k=l
N
(Fki . δ r )=δ r .[∑
k=l
N
Fki ] (25)
δ r sama untuk semua partikel, jika total kerja yang dilakukan oleh gaya internal sama dengan
nol untuk semua perpindahan maka : δ r . [∑k =l
N
Fki ]=0
Karenaδ tidak nol maka: ∑k =l
N
Fki =∑
k=l
N
. ∑l=l , l≠ 1
N
Fki =0 (26)
C. KEKEKALAN MOMENTUM SUDUT
Momentum sudut dari partikel tunggal didefinisikan pada bentuk perkalian silang yaitu:
L=r x p=r xm v (27)
Pada system partikel N momentum sudut total L dapat ditulis :
L=∑k =l
N
rk x pk=∑k=l
N
rk x mk r=0 (28)
Turunan persamaan (28) terhadap waktu menghasilkan
d Ldt
=∑k=l
N
(r¿¿k ¿xmk rk )+∑k=l
N
(r k x mk r k)¿¿ (29)
Suku pertama bagian kanan diabaikan karena hasil perkalian silangnya sama dengan nol (r
xmr=0), sedangkan mr, dari persamaan (10) sama dengan gaya total yang bekerja pada
partikel k, diperoleh :
d Ldt
=∑k=l
N
[rk¿x (Fke+ ∑
l=l , l ≠k
N
Fkli )]=∑
k =l
N
rk x Fke+∑
k=l
N
∑l=l ,l ≠k
N
rk x Fkli ¿ (30)
Dalam hal ini F kl merupakan gaya luar total yang bekerja pada partikel k, danF kl
i
sebagai gaya dalam yang bekerja pada partikel k t hmenujult h. Suku kedua pada ruas kanan
sama dengan nol, dalam hal ini,
(rk x Fkli )+(rl x Fkl
i ) (31)
Olehkarena F kli =¿ - F lk
i , maka persamaan dapat dinyatakan seperti gambar (2)
(r k−rl ) x Fkli =rkl x Fkl
i (32)
Penerapan ini sama dengan nol jika gaya dalam adalah pusat. Karena kedua partikel ini
saling tarik menarik atau tolak menolak sehingga suku bagian kanan persamaan (30)
dihilangkan dan persamaannya menjadi :
d Ldt
=∑l=l
N
Fkl rk (33)
Jikaτ k merupakan torka pada partikel k t h , maka torka totalnya adalah
d Ldt
=∑l=l
N
τ k=∑l=l
N
Fkl rk (34)
Dan d Ldt
=τ k (35)
Kekekalan momentum sudut, untuk sistem yang tertutup , satu sama lain tidak bekerja gaya
luar, torka total τmenjadi nol, dalam hal ini momentum sudutnya konstan dalam besar dan
arah yakni
τ=0 ,d Ldt
=0 dan L=∑l=l
N
rk × mk vk=konstant (36)
D. KEKEKALAN ENERGI
Pada beberapa situasi, gaya total yang bekerja pada partikel dalam sistem adalah suatu
fungsi posisi partikel pada sistem. Gaya Fk pada partikel kth adalah :
Fk = Fke + Fki = Fk (r1, r2......,rn) dalam hal ini k=1,2,....,N (37)
Gaya luar Fke dapat tergantung pada posisi rk dari partikel k, sedangkan gaya dalam Fki
tergantung pada posisi relatif dari partikel-partikel relatif lain terhadap partikel k, yakni rk1 =r
k r1 dan sebagainya. Jika gaya Fk1 memenuhi kondisi,
∇ x F k=curl Fk=0 (38)
Dan, fungsi potensial : V=V (r1 ,r 2 , …, rn) (39)
Sehingga
F kx=−∂ V∂ xk
, Fky=−∂ V∂ yk
, Fkz=−∂ V∂ zk
, dimana k=1,2,...N (40)
Gerak partikel kth dinyatakan sebagai : mk rk=mk v k=Fk (41)
Dengan menggunakan persamaan (40) didapat
mk−d vkx
dt=−∂ V
∂ xk
, mk−d vky
dt=−∂ V
∂ yk
,mk−d v kz
dt=−∂V
∂ zk
, (42)
Mengalikan persamaan pertama dengan vk1 = dxdt
k , persamaan kedua dengan vk1 = dydt
k , dan
persamaan ketiga vkl = dzdt
k, dan menambahkannya sehingga diperoleh,
ddt ( 1
2mk vk
2)+ ∂V∂ xk
d xk
dt+ ∂V
∂ yk
d yk
dt+ ∂ V
∂ zk
d zk
dt=0 dengan k = 1, 2, .......N (43a)
Jumlah meliputi semua nilai k, maka
ddt∑k=l
N
( 12¿mk vk
2)+∑k=l
N
( ∂V∂ xk
d xk
dt+ ∂V
∂ yk
d yk
dt+ ∂V
∂ zk
d zk
dt )=0¿ (43b)
Dalam hal ini
∑k =l
N
( 12¿mk vk
2)=K ¿ dengan K= Energi Kinetik (44)
Dan
∑k =l
N
( ∂V∂ xk
¿d xk
dt+ ∂ V
∂ yk
d yk
dt+ ∂V
∂ zk
d zk
dt)=dV
dt¿
(45)
Oleh karena itu persamaan (43b) dapat dinyatakan
ddt
( K+V )=0 atau K + V = E = konstan (46)
Yang merupakan “Hukum Kekekalan Energi”.
Jika gaya luar tidak gayut pada posisi dan potensial Vi gayut pada posisi relatif pasangan
partikel, maka
V kli =V kl
i (r kl )=V kli (r2−r 1) (48)
Selama :
V i=∑k=l
N
∑l−1
k−1
V kli (r kl¿¿)¿¿ (49)
Dapat diperoleh bahwa :
F ki =−i
∂ V∂ xk
− j∂ V∂ y k
− k∂V∂ zk
(50)
Sistem ini merupakan gaya pergesaran dalam, seperti gaya pergeseran ini gayut pada
kecepatan relatif dari partikel dan bukan gaya pusat, sehingga hukum kekekalan energi,
persamaan (46) tidak dapat dicapai sebagai sistem.
E. Gerak Sistem dengan Variabel Massa
Roket
Teknologi roket berdasarkan pada prinsip sederhana kekekalan momentum linear.
Sebuah roket terdorong kedepan dengan penyemburan massa yang arahnya terbalik
(kebelakang) dalam bentuk gas sebagai hasil pembakaran bahan bakar.
Gaya dorong roket merupakan reaksi menuju gaya dorong ke belakang dari gas yang
keluar dari tempat pembakaran bahan bakar. Untuk menentukan kecepatan roket pada waktu
meninggalkan bumi seperti ditunjukkan gambar3 dala hal ini t sebagai waktu, massa roket
(m) yang bergerak dengan kecepatan v relaif dengan beberapa system koordinat tertentu
(bumi). Kecepatan gas merupakan u terhadap roket, sedang kecepatan u + v terhadap system
koordinat tertentu. Pada interval waktu antara t dan t+dt, sejumlah pembuangan gas adalah
dm= -dm, sedangkan massa roket adalah m+dmdan kecepatan v+dv .
Momentum system pada saat t yakni p(t )=m v (51)
Dan momentum system pada saat t+dt adalah
p (t+dt )=p roket (t+dt)+ pgas(t+dt)=(m+dm)( v+dv ¿ (−dm )(v+dv ) (52)
Perubahan momentum selama selang waktu dt adalah:
m
dp p ( t+dt ) p (t )=m dvu dm (53)
Dalam hal ini dm dv ditiadakan, sedangkan persamaan (53) dapat dinyatakan
sebagai ,
d Pdt
=F=mdvdt
−udmdt
(54)
Catatan bahwa u adalah kecepatan dari gas yang keluar. Persamaan (54) dapat
ditulis sebagai: mdvdt
=udmdt
+F (55)
Dalam hal ini F sebagai gaya gravitasi, gaya gesek udara, atau beberapa gaya
luar lainnya, sedangkan mdvdt
sebagai gaya daya dorong mesin roket. Oleh
karena dm/dt bernilai negative, daya dorong berlawanan dengan kecepatan u
dari gas yang dikeluarkan. Gaya F0 diperlukan untuk menjaga keadaan
setimbang.
F 0=−udmdt
(56)
untuk F = 0 persamaan (55) sebagai, md vdt
=udmdt
(57)
perkalian kedua sisi dengan dt/m dan diintegrasikan,
∫v0
v
dv=u∫m0
mdmm
atau v=v0−u . ln m¿¿ mm0
, karena m0>m maka,
v=v0−u0 lnm0
m(58)
Kecepatan akhir v tergantung pada dua faktor,
1) Besar nilai u , kecepatan dari gas yang dikeluarkan dan
2) Besar nilai m0/m, dalam hal ini m0 merupakan massa awal roket dan bahan bakar,
sedangkan m sebagai massa akhir saat semua bakar telah digunakan. Besar nilai m0/m
digunakan untuk satelit pesawat/ roket. Penambahan nilai m0/m digunakan untuk satelit
dan pesawat luar angkasa meninggalkan bumi.
Untuk posisi roket dekat permukaan bumi , maka gaya gravitasi tak dapat diabaikan
sehingga disubstitusi F=m g dalam persamaan (55) dan didapat:
mdvdt
=udmdt
+m g (59)
Dan hasil integrasinya,
∫0
v
dv=u∫m0
m1m
dm+g∫0
1
dt
Hasilnya,v=v0−u . ln(m0
m )+g .t (60)
Pada saat t=0 dan besar kecepatan v0=0 dan u berlawanan dengan v, maka persamaan (60)
menjadi (bentuk scalar) : V=u . ln(m0
m )−g .t (61)
Pada keadaan awal, daya dorong roket harus cukup besar untuk mengatasi gaya gravitasi m0g.
Sabuk Conveyer
Ditinjau sabuk-berjalan untuk menghitung gaya F, diperlukan sabuk berjalan
bergerak horizontal dengan kecepatan v sedangkan massa pasir (barang) yang diberikan pada
sabuk tersebut dm/dt. Missal M sebagai massa sabuk dan m sebagai massa pasir pada sabuk
tersebut. Momentum total pada system,sabuk dan pasir pada sabuk yaitu,
p=(m+M )v (62)
Karena M dan v konstan, sedangkan m berubah maka
F=d pdt
=vdmdt
(63)
Dalam hal ini F merupakan gaya yang digunkan pada sabuk-berjalan. Daya yang
disuplai oleh gaya agar sabuk-berjalan dapat melaju v yakni,
Daya=P=F . v=v2 dmdt
=12
m v2=2ddt ( 1
2(m+M )v2)=2
dkdt
(64)
Dalam hal ini besar daya dua kali laju perubahan energy kinetiknya, dan hokum
kekekalan energy mekanik tidak dapat diterapkan disini. Daya yang lepas digunakan untuk
bekerja berlawanan dengan gaya gesek. Ketika pasir mengenai sabuk-berjalan maka harus
dipercepat dari kelajuan nol sampai kelajuan sabuk-berjalan menempuh jaraj tertentu. Pada
pengamat yang berada pada sabuk, pasir yang jatuh ke bawah harus bergerak horizontal
dengan kelajuan v pada arah berlawanan dengan sabuk. Sabuk-berjalan menggerakkan pasir
bermassa dm dengan gaya horizontal d F f yakni,
d F f=μ (dm) g (65)
Dalam hal ini µ merupakan koefisien gesekan kinetic antara sabuk dan pasir. Jadi
percepatan pasir adalah a=F /m ,sehingga
ym33fθ3m1m21iθ4Sebelum tumbukanSetelah tumbukan4f
a=d F f
dm/ μ g (66)
Jarak x yang ditempuh oleh pasir yang mengalami perubahan kelajuan dari –v ke 0 yakni,
X= v2
2 a= v2
2 mg(67)
Dan kerja yang dilakukan oleh gaya gesekan adalah
d W f =d F f . x=μ ( dm) gv2
2 mg12(dm)v2 (68)
Daya yang hilang digunakan oleh gaya gesek yakni,
Pm=d W f
dt=1
2dmdt
v2= ddf ( 1
2m v2)=1
2P (69)
G. Tumbukan Tak Lenting
Pada tumbukan antar partikel, ada kemungkinan energi kinetik akhir lebih kecil dari
pada energi kinetik awal, maka pada kondisi ini sistem menyerap energi, dan dinamakan
endoergenic atau tumbukan jenis pertama, sedangkan tumbukan yang menghasilkan energi
kinetik akhir lebih besar daripada energi energi kinetik awal, maka sistem melepas energi,
dan dinamakan exoergenic atau tumbukan jenis kedua. Jika energi kinetik awal Ki dan energi
kinetik adalah Kf, maka energi disintegrasi (φ) dapat dinyatakan sebagai : φ = Kf - Ki(96)
jika φ > 0 exoergik, tumbukan tak lenting jenis kedua (97a)
φ < 0 endoergik, tumbukan tak lenting jenis pertama (97b)
φ = 0 exoergik, tumbukan tak lenting jenis kedua (97c)
Seperti tampak pada gambar 8, tumbukan tak lenting antara dua partikel bermassa m1
yang bergerak dengan kecepatan v1i terhadap sebuah partikel bermassa m2 yang diam, dan
menghasilkan dua partikel baru dengan massa m3 dan m4 yang bergerak dengan kecepatan v3f
dan v4f yang membentuk sudut θ3 dan θ4 terhadap sumbu-x. Sedangkan K1, K2, K3, dan K4
merupakan energi kinetik partikel m1, m2, m3, m4, dan energi disintegrasinya Q. Berdasarkan
hukum kekekalan momentum dan energi kinetik, dapat ditulis
m1 v1i = m3 v3f.cosθ3 + m4 v4f.cosθ4 (98)
0 = m3 v3f.sinθ3 - m4 v4f.sinθ4 (99)
Dan K1 + Q = K3 + K4 (100)
Gambar 8. Tumbukan tak elastis antara dua partikel
Dengan demikian akan diperoleh,
(m4v4f)2 = (m1v1i)2 + (m3v3f)2 – 2m1m3v1i.v3f.cosθ3 (101)
Dan mengkombinasi persamaan (100) dan (101) dan menggunakan relasi energi kinetik K1,
K3, danK4, akan diperoleh energi disintegrasinya Q yakni,
(102)
Ditinjau sebuah objek bermassa m1bergerak dengan kecepatan v1 menabrak sebuah objek lain
yang diam bermassa m2 , dan kemudian kedua objek menempel setelah tumbukan dan
kecepatannya v2. Menurut hukum konservasi momentum maka,
v2 = m 1 v1
m1+m 2 (103)
Dalam hal ini energi kinetik tidak kekal, sehingga
Q = Kf – Ki = 12
(m1 + m2) v22 -
12
m1 v12
subtitusikan persamaan (103) untuk didapatkan,
Q = K1 – m2
m1+m 2(104)
Yang bernilai negatip dan tumbukannya bersifat endoergik.
Jadi energi minimumnya (energi ambang) dinyatakan dengan persamaan
(105)
Untuk reaksi endoergic K1 harus menjadi ≥ (K1) ambang.
m1m2m1m2 O 1i 2i 1f2f X1i - 2i = -(real)i 1i - 2i = (real)f
Hukum kekekalan momentum dan energi yang diperlukan pada tumbukan satu dimensi
antara dua buah objek seperti pada gambar 9, yakni
m1v1i + m2v2i = m1v1f + m2v2f (106)
12
m1v1i 2+
12
m2v2i2 =
12
m1v1f2+
12
m2v2f2 (107)
Dalam hal ini dihasilkan,
v1i + v2i = v2f - v1f (108a)
Atau (vrelatif)f = - (vrelatif)i (108b)
Koefisien restitusi (e) = -(v relatif ) f( vrelatif )i
(109)
Dalam hal ini, e=1 untuk tumbukan lenting dan e=0 untuk tumbukan tak lenting
sempurna, untuk tumbukan tak elastis e berada diantara 0 dan 1.
Gambar 9. Tumbukan lenting satu dimensi antara dua massa m1 dan m2
H. Sistem Koordinat Pusat Massa Dua Benda
Suatu sistem berisi dua objek bermassa m1 dan m2 pada jarak r1dan r2 dari titik asal O,
seperti gambar 10., F 1 edan F 2 emerupakan gaya luar yang bekerja pada m1 dan m2 ,
sedangkan F12i adalah gaya dalam yang bekerja antara m1 dan m2 , dan F21
isebagai gaya dalam
yang bekerja antara m1 dan m2, sesuai dengan hukum III Newton,
F12i = - F21
i= f (110)
Sedangkan gaya luar total yang bekerja pada suatu sitem
F = F1e + F2
e (111)
Mengikuti hukum II Newton, gerak dua benda dalam sistem lab dapat ditulis sebagai :
(112)
m2CMr2Rm1r1 O
(113)
Koordinat pusat massa R dapat dinyatakan dengan persamaan,
(114)
Dan koordinat relatif (r) diberikan oleh
r=r1 - r2 (115)
Sedangkan reverse transformasi diberikan dengan persamaan
r1 = R + m2
m1+m 2r (116)
Gambar 10. Pusat massa dan gerak rektif untuk sistem tetap pada dua partikel
Dan r2= R - m2
m1+m 2r(117)
Penjumlah persamaan (112) dan (113) akan diperoleh,
Dengan menggunakan persamaan (110), (111), dan (114), didapatkan persamaan,
(m1 + m2) R= F
Atau MR = F (118)
Rsebagai percepatan pusat massa sistem M (m1 + m2) karena gaya luar F . Selanjutnya
dengan mengalikan persamaan (112) dengan m2 dan persamaan (113) dengan m1 dan
kemudian menguranginya, didapatkan persamaan :
m1m2 (r1 - r2) = m2F1e - m1F2
e + m2F12i + m1F21
i
dari persamaan (110), didapat
(119)
Untuk khasus khusus,F1e=F2
e = 0 (120)
Atau F1
e
m1
-F2
e
m2
(121)
Gaya luar yang bekerja pada objek tersebut proposional dengan massanya, sehingga
persamaan (119) menjadi
m1 m2¿1 - r2) = (m1 + m2) f (122)
Oleh karena massa reduksi didefinisikan sebagai
µ = m1 m2
m1+m 2 (123)
dan r=r1 - r2, maka persamaan (122)
µr = f (124)
Merupakan persamaan gerak benda bermassa µ yang diberif gaya iternal f = F21i
sehingga menghasilkan percepatan (r) seperti pada persamaan (118).
Untuk menentukan momentum linier (P), anguler (L), dan total energi kinetik K dalam
koordinat pusat massa (CM) maka ditinjau kembali kecepatan pusat massa yakni,
(125)
Dan kecepatan relatif (v)
v = r = r1 - r2 (126)
Sedangkan invers tranformasinya dinyatakan sebagai,
(127)
(128)
Dengan demikian total momentum linier sistem yakni,
P = m1r1 + m2r2 = MR(129)
Dan total momentum sudut sistem yakni,
L = m1(r1 x r1) + m2(r2 x r2) (130)
Subtitusi untuk r1 dan r2 dari persamaan (127) dan (125), didapatkan
L = M (R x R) x µ (rx r2) (131)
Sedangkan untuk energi kinetiknya diberikan oleh persamaan
m1CMm2Xv1iv2i = 0
K = 12
m1 r12 +
12
m2 r22
(132)
Dengan mensubtitusikan r1 dan r2 didapat
K = 12
MR2 + 12
µr2 (133)
Atau K = 12
MV 2 + 12
µv2
I. Tumbukan dalam Sistem Koordinat Pusat Massa
Sebelumnya telah dibahas tumbukan elastik dan tak elastik antar dua benda dari sudut
pandang pengamat yang diam dalam sistem koordinat laboratorium (SKL). Pada banyak
kasus, akan memudahkan apabila pengamatan dilakukan dalam dalam sistem koordinat yang
bergerak terhadap SKL. Umumnya sistem koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat
pusat massa (SKPM), di mana tumbukan diamati oleh pengamat yang ada di pusat massa
yang tentunya ikut bergerak dengan kecepatan yang sama dengan pusat massa.
Misalkan sebuah partikel bermassa m1 di x1 bergerak dengan kecepatan v1i, sementara
sebuah partikel bermassa m2 di x2 diam seperti ditunjukkan gambar 11 pusat massa xc
diberikan oleh
(m1 + m2)xc = m1x1 + m2x2 (135)
Sementara kecepatan pusat massa diperoleh dari differensiasi persamaan 135 yaitu
(m1 + m2)vc = m1x1 + m2x2 (136)
Dimana vc = dxc/dt, untuk situasi seperti yang ditunjukkan gambar 11, x1=v1 dan x2=0,
sehingga kecepatan pusat massa vc terhadap SKL diberikan oleh
vc¿m1 v 1 im1+m 2 =
µm v1i , dimana µ adalah massa tereduksi. (137)
Gambar 11. Kecepatan m1 dan m2 dan pusat massanya dalam sistem koordinat lab (SKL).
Y m1v1fv1θLX Om1m2 ΦLm2 V2f
Ym1v’1f = v1i - vc m1 v’2im2XO v’1i = v1i - vcm2v’2f = vcSEBELUMSESUDAH
Misalkan tumbukan antara m1 dan m2 diamati oleh pengamat yang berada dalam
SKPM yang bergerak dengan kecepatan vc. Kecepatan m1 dan m2 terhadap SKPM adalah
v’1i dan v’2i (tanda aksen menunjukkan bahwa besaran digambarkan dalam SKPM).
Gambar 12. Gerak partikel m1 dan m2 pada sistem koordinat pusat massa (SKPM).
Gambar 12 menunjukkan gerak kedua partikel terhadap SKPM. Momentum tiap partikel
sebelum tumbukan dalam SKPM adalah
Jadi momentum linier total dari sistem dalam SKPM sebelum tumbukan adalah
Bahwa momentum linier total sebelum tumbukan sama dengan nol merupakan salah satu sifat
penting dari SKPM. Hal ini berakibat agar momentum liniear kekal, momentum linier total
setelah tumbukan harus nol juga. Dipandang dari SKPM dua partikel bermassa m1 dan m2
saling mendekat dalam garis lurus dan setelah tumbukan saling menjauh dalam garis lurus
juga dengan kecepatan awal yang sama, seperti ditunjukkan dalam gambar 13(a). Garis yang
menghubungkan kedua partikel yang saling menjauh dapat juga membentuk sudut θc (dalam
SKPM). Sebagai perbandingan, gambar 13(b) menunjukkan tumbukan yang diapandang dari
SKL.
(a)
(b)
m1 CM m2
O x
v’1i = v1i- vc v2i = - vc
Yvc v’1f θL v1f O θc X ϕL v’2f v2fvc
Gambar 13. Tumbukan antara dua partikel bermassa m1 dan m2 yang dilihatdari (a)
SKPM (b) SKL
Selanjutnya akan dibahas masalah bagaimana cara kembali dari SKPM ke SKL dan
hubungan antara sudut yang dibuat oleh partikel setelah tumbukan dengan arah mula-mula
baik dalam SKL maupun SKPM. Dalam SKPM, kecepatan akhir dan arah partikel setelah
tumbukan ditunjukkan pada gambar 13(a). Untuk menentukan kecepatan akhir partikel dalam
SKL, maka prosedur untuk berubah dari SKL ke SKPM dapat dibalik. Hal ini dapat
dilakukan dengan menambahkan ke kecepatan akhir v’1f = (v1i – vc) dan v’2f = vc, kecepatan
pusat massa vc seperti ditunjukkan oleh gambar 14, dapat ditentukan hubungan θL dan ΦL
dalam SKL dan θLdalam SKPM. Dengan menguraikan ke dalam komponennya, persamaan
(143) dapat dituliskan
v1f cos θL = vc + v’1f cosθC (145)
v1f sin θL = v’1f sinθC (146)
Dengan saling membagi akan diperoleh
tan θL= V ' 1 fsinθ cVc+V ' 1 f cosθ c
=sin θc
Vc
V ' 1 f+cosθc (147)
atau tan θL = sin θc
γ+cosθc
(148)
Dimana γ = Vc
V ' 1 f = KecepatanpusatmassadalamSKL
Kecepatanm1 setela h tumbukandalamSKPM
(149)
Nilai dari vc dan v’1f diberikan oleh persamaan (137) dan (135). Dari persamaan (137)
vc = m1
m1+m 2 v1i = µ
m2 v1i (150)
Dimana µ adalah massa tereduksi dan v1i adalah kecepatan relatif awal (= v1i – v2i = v1i – 0
=v1i). Kecepatan relatif akhir, v’1f (= v’1i), dari persamaan (138) sama dengan
v’1f = m2
m1+m 2 v1f = µ
m1 v1f
(151)
Gabungan tiga persamaan tersebut (dan dengan memperhatikan bahwa kecepatan akhir
sama dengan kecepatan awal dalam SKPM), diperoleh
γ = Vc
V ' 1 f = m 1V 1 im2 V 1 f
(152)
Untuk tumbukan tak lenting v1i ≠ v1f sehingga persamaan (145) menjadi
tan θL = sin θc
m1v 1i /m 2 v1 f +cosθc (153)
Untuk tumbukan lenting, v1i = v1fsehingga persamaan (153) menjadi
tan θL = sin θc
(m 1/m2)+cosθc (154)
Ditinjau beberapa kasus khusus dari persamaan (154) untuk tumbukan lenting :
Kasus (a) : Jika m1 = m2, seperti dalam khusus tumbukan antara neutron dan proton,
persamaan (154) dapat dituliskan sebagai
tan θL = sin θc
1+cosθc =
2sin (θc2 )cos ( θc
2)
2 cos2( θ c2
) = tan
θc2
(155)
sehingga θL = θc2
(156)
Karena dalam SKPM θc dapat memiliki nilai antara 0 dan π, maka θL dapat memiliki
nilai maksimum π2
.
Kasus (b) : Jika m2 >m1, persamaan (154) dapat dituliskan sebagai
tan θL ≈ sin θccosθc = tan θc (157)
sehingga θL ≈ θ C (158)
Kasus (c) : Jika m1 >m2, partikel yang menumbuk lebih berat dibandingkan partikel sasaran.
Dalam kasus ini, θL harus sangat kecil, tidak peduli berapa nilai θc.Hal ini bersesuaian dengan
persamaan (90) yang menyatakan bahwa θL tidak dapat lebih besar nilainya dibandingkan
dengan nilai maksimum θmaks.