lp sjs

39
SISTEM INTEGUMEN “LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DAN HEALTH EDUCATION SINDROM STEVENS-JOHNSON Oleh : KELOMPOK SGD 3 NI PUTU INTAN PARAMA ASTI 1302105007 KADEK LISA DWI BUDAYANI 1302105009 NI PUTU SRI ANGGRENI 1302105021 LUH ANGGARIASIH 1302105023 NI MADE DITA ANDAYANI 1302105027 NI LUH DIAH PRADNYA KERTHIARI 130210503 PUTU MAYA PRIHATNAWATI 13021050!0 HERDI SAHIRLAN 13021050!3 IDA AYU MADE SINTA DEWI 1302105053 NI LUH TRISNAWATI 1302105079 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN "AKULTAS KEDOKTERAN UNI#ERSITAS UDAYANA 2015

Upload: julia-dewi-eka-gunawati

Post on 04-Oct-2015

81 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jjjj

TRANSCRIPT

SISTEM INTEGUMEN LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DAN HEALTH EDUCATION SINDROM STEVENS-JOHNSON

Oleh :

KELOMPOK SGD 3NI PUTU INTAN PARAMA ASTI

1302105007KADEK LISA DWI BUDAYANI

1302105009NI PUTU SRI ANGGRENI

1302105021LUH ANGGARIASIH

1302105023NI MADE DITA ANDAYANI

1302105027NI LUH DIAH PRADNYA KERTHIARI

1302105036PUTU MAYA PRIHATNAWATI

1302105040HERDI SAHIRLAN

1302105043IDA AYU MADE SINTA DEWI

1302105053NI LUH TRISNAWATI

1302105079PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2015LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SINDROM STEVENS-JOHNSONA. DEFINISISindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) akut yang mengenai kulit, selaput lendir di orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini sering dianggap sebagai bentuk dari Eritema Multiforme yang berat. (A Djuanda, Hamzah M, 2005)Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan reaksi mukokutaneus akut yang mengancam jiwa berupa nekrosis yang ekstensif dan lepasnya epidermis. SSJ ditandai dengan adanya makula eritem yang luas atau lesi target atipikal dan erosi membran mukosa yang berat. (JC Roujeau, Allanore LV, 2008)Jadi, Sindrom Stevens Johnson adalah sindroma akut yang ditandai dengan makula eritem yang luas atau lesi pada selaput lendir pada kulit, orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat.B. KLASIFIKASIAdapun klasifikasi dari Sindrom Stevens-Johnson, yaitu tertera dalam tabel berikut ini.Faktor yang MembedakanErythema

MultiformeStevens-Johnson

syndromeStevens-Johnson

syndrome/toxic

epidermal necrolysisToxic epidermal

necrolysis

Penampakan LesiTargetlike,

erythemateousMerah kehitaman,Datar atipikalMerah kehitaman,Datar atipikalDigambarkan kurang baik,

erythemateous

Datar atipikal

DistribusiEkstremitasWajah

KerongkonganWajah

KerongkonganWajah

Kerongkongan Ekstremitas

ConfluenceLesi terisolasiLesi terisolasiModerate confluenceHeavy confluence

Epidermal detachment,% dari daerah kuli030

Agen penyebabNevirapine, lamotrigin, dan sertraline, sulfamethoxazole / trimetoprim, sulfonamid, allopurinol, carbamazepine, phenytoin, fenobarbital, dan obat anti-inflamasi, obat dari jenis oxicam

(Bozena Seczynska dkk, 2013)

C. ETIOLOGI1. Penyebab utama timbulnya SJS adalah alergi obat, sedangkan penyebab lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan radiasi. Obat yang paling sering terlibat adalah obat golongan antikonvulsan (35,7%) terutama karbamazepin diikuti oleh antibiotika (28,5%), obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) (14,3%), dan allopurinol (7,1%) menurut hasil penelitian yang dilakukan di Changi General Hospital Singapore. Penelitian yang dilakukan pada 82 pasien SJS di Korea Selatan menunjukkan 14,6% kasus disebabkan oleh obat antikonvulsan dan 11% disebabkan oleh antibiotika.

2. Infeksi

a. Virus

Stevens Johnson Syndrom dapat terjadi pada stadium permulaan dari infeksi saluran nafas atas oleh virus pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian flu, Lympho Granuloma Venerium, Meales, Mumps dan vaksinasi Smallpox virus.

Virus virus Coxsackie, Echovirus dan Poliomylitis juga dapat menyebabkan Steven Jonhnson Syndrom.

b. Bakteri

Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Steven Jonhson Syndrom ialah Brucellosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia, Psittatcosis, Tularemia, Lepromatus Leprosy atau Typoid Fever.

c. Jamur

Coccidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema Multiforme Bulosa, yang pada keadaan berat juga dikatakan sebagai Steven Johnson Syndrome.

d. Parasit

Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.

3. Alergi Sistemik terhadap :

a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna

b. Kontaktan :

Bromofluerene, Fire sponge (Tedania Ignis) dan Rhus (3- Pentadecylcatechol).

c. Faktor fisik

Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain lain.

D. EPIDEMIOLOGIDi Amerika Serikat, kasus cenderung terjadi pada awal musim semi dan musim dingin. Insiden SSJ dan nekrosis epidermal toksik (NET) diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terjadi pada dewasa. (A Djuanda, Hamzah M, 2005).Jumlah kasus di Amerika Serikat cenderung meningkat pada awal musim semi dan musim dingin. Untuk kasus overlap SSJ/NET, NSAID oksikam (piroksikam, meloksikam, tenoksikam) dan sulfonamid merupakan penyebab tersering di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Kontras dengan negara-negara Barat, penyebab tersering di negara-negara Asia Timur dan Tenggara adalah allopurinol. (C Stephen Foster, 2014).E. MANIFESTASI KLINISPenyakit SSJ sangat akut dan mendadak dapat di sertai gejala prodromal berupa demam tinggi ( 38 C 40 C ), mulai nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta menurunnya kesadaran, soporous sampai koma. Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

a. Kelainan kulit

Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema berbentuk cincin (pinggir eritema tengahnya relative hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae atau purpura. Bila disertai purpura - prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi generalisata.b. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering adalah pada mukosa mulut / bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan dilubang alat genetalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masingmasing 8%-4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal. Stomatitis merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan terbentuk krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat menyebabkan penderitaan sukar menelan. Kelainan Dimukosa dapat juga terjadi di Faring, Traktus Respiratorius bagian atas dan Esophagus. Terbentuknya Pseudo membrane di Faring dapat memberikan keluhan sukar bernafas dan penderita tidak dapat makan dan minum.

c. Kelainan mata. Kelainan pada mata merupakan 80% diantar semua kasus, yang sering terjadi adalah Conjunctivitis Kataralis. Selain itu dapat terjadi Conjunctivitis Purulen, pendarahan, Simblefaron , Ulcus Cornea, Iritis/Iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga dikenal trias yaitu Stomatitis, Conjuntivitis, Balanitis, Uretritis.F. PATOFISIOLOGI

Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih. Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya seperti obat-obatan atau infeksi virus. Meka-nisme terjadinya sindroma adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memi-cunya. Sindrom Stevens-Johnson mun-cul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien.

Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi pascavaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit kolagen.Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Berdasarkan etiologi reaksi simpang obat (Sulfonamid, antikonvulsan aromatic, NSAID, alupurinol, sulfonamide, klormenazon), sehingga mempengaruhi reaksi hipersensitifitas tipe III. Hipersensitif tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibody IgG atau IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan. Komplemen teraktivasi melepas macrophage chermotatic factor. Makrofag dikerahkan ke tempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil melepas granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di jaringan sehingga terjadi kerusakan jaringan. Akibatnya terjadi Akumulasi Neutrofil yang kemudian melepaskan Lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran ( Target Organ ). (Bratawidjaya KG, 2000)Pathway

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Pemeriksaan laboratorium: tidak ada pemeriksaan laboratorium (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalammenegakkan diagnosa.2) Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yangnormal atau leukositosis nonspesifik. Peningkatan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.3) Determine renal function and evaluate urine for blood. 4) Pemeriksaan elektrolit5) Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.6) Pemeriksaan bronchoscopy, Esophagogastro, duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan.7) Chest radiography untuk mengidentifikasi adanya pneumonitis.8) Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.H. PENATALAKSANAANPenatalaksaan terhadap penderita Sindrom Stevens-Johnson memerlukan tindakan yang tepatdan cepat. Penderita biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit. Penanganan yang perlu dilakukan meliputi:1. Preparat Kortikosteroid

Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan bila lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan pre-parat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari. (M. Hamzah, 2007)

2. Antibiotik

Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, misalnya bronco-pneneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, ber-spektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. (Mansjoer S A, Wardhani WI, Setiowulan W, 2000) 3. Infuse dan Transfusi Darah

Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Apabila terapi yang telah diberikan dan penderita belum menampakkan perbaikan dalam waktu 2-3 hari, maka penderita dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leucopenia. (Mansjoer S A, Wardhani WI, Setiowulan W, 2000) 4. KCl

Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral. (M. Hamzah, 2007)

5. Adenocorticotropichormon (ACTH)

Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH sin-tetik dengan dosis 1 mg. (RS Siregar, 2004)

6. Agen Hemostatik

Agen hemostatik terutama diberi-kan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K. (RS Siregar, 2004)7. Diet

Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan. (G Laskaris, 1994). 8. Vitamin

Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler. (M. Hamzah, 2007)

Perawatan pada kulit, mata, genital, dan oral:1. Perawatan pada Kulit Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit. Kerjasama antara dokter gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan. (Mansjoer S A, Wardhani WI, Setiowulan W, 2000) 2. Perawatan pada Mata Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, memberikan kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang kronis,suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal epithelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder. 3. Perawatan pada genital Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil. (RK Landow, 1983) 4. Perawatan pada Oral Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superin-feksi. Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum sehingga tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.Penatalaksanaan Keperawatan:a. Epidermal Detachment Secara teratur memonitor perubahan kulit Membersihakan/mengangkat lapisan epidermis yang terkelupas Terapkan dressing nonadherent diresapi dengan0,5% perak nitrat, kapas wol sintetik dressing dengan perak ionik atau silver19 nanocrystallic Menstabilkan dressing dengan kapas jaring Gunakan dressing biosintesis (Biobrane) Mandikan pasien dengan ethacridine laktat (Rivanol)b. Ulserasi rongga mulut Menganjurkan pasien untuk berkumur pasien dengan 1% klorheksidin Memantau gigi untuk mencegah adanya indikasi infeksic. Ulserasi pada Konjungtiva Siram konjungtiva dengan garam fisiologis steril Berikan obat tetes mata kortikosteroid Terapkan penggunaa salep antibiotikd. Menangani Nyeri Menilai nyeri sesuai dengan lisan atau skala numerik, setelah pemberian obat analgesik Pantau tingkat kesadaran dan pola pernapasanpasien. e. Cairan dan elektrolit Ganti cairan sesuai dengan jumlah total permukaan tubuh yang terkena Terus memantau parameter hemodinamik (denyut jantung, tekanan darah invasif, pusat tekanan vena) Secara teratur mengukur kadar elektrolit dan mengisikembali sesuai yang dianjurkan Memonitor asupan cairan dan output secara teratur (Bozena Seczynska dkk, 2013)I. KOMPLIKASIKomplikasi yang tersering ialah bronko-pneumoni, yang didapati sekitar 16% diantara seluruh kasus yang datang berobat di bagian kami. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.J. PROGNOSISPada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.K. HEALTH EDUCATIONPendidikan yang perlu diberikan kepada pasien dan keluarga dapat berupa:1. Penjelasan mengenai perlunya pengobatan yang teratur, cara minum obat, dan lama pengobatan.2. Penjelasan mengenai perawatan yang dapat dilakukan oleh pasien dan keluarga, seperti: Perawatan luka pada daerah yang terkena (mata, kulit dan selaput lender diorifisium) Cara menangani nyeri. Pakaian dan alas tidur hendaknya terbuat dari bahan yang lembut dan ringan dengan tujuan untuk mencegah iritasi akibat gesekan

Memastikan agar kuku jari tetap pendek, dipotong dengan baik guna mencegah infeksi sekunder3. Penjelasan mengenai personal hygiene.4. Penjelasan mengenai pentingnya gizi/ nutrisi yang diberikan pada pasien.5. Perubahan gaya hidup/ aktivitas pasien.ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SINDROM STEVENS-JOHNSONA. PENGKAJIAN

1. Identitas PasienNama

: Tn. AUmur

: 45 TahunJenis kelamin

: Laki-lakiPendidikan

: SDPekerjaan : PetaniStatus perkawinan : MenikahAgama

: HinduSuku

: BaliAlamat

: Jl. Gunung Agung, No. 03, Denpasar -BaliTanggal masuk: 19 Februari 2015Tanggal pengkajian: 19 Februari 2015Sumber Informasi: Keluarga

Diagnosa masuk: Steven Johnson Syndrome2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama : Lesi pada mata, kulit dan selaput lender diorifisium

b. Riwayat kesehatan sekarang :

Pasien datang ke RS pada tanggal 19 februari 2015 dengan keluhan terdapat lesi pada seluruh tubuh sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya timbul bintik-bintik merah berisi cairan pada mulut dan hampir seluruh wajah. Kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Ukuran bintik-bintik awalnya seperti titik kemudian membesar dengan cepat. Tidak disertai rasa gatal namun terasa nyeri. Selain timbul gelembung di kulit, pada bibir pasien terdapat sariawan yang diderita bertambah parah dan tidak sembuh, terasa nyeri dan terasa sakit apabila mulut diregangkan. Pasien mengalami kesulitan untuk makan dan terasa sakit pada tenggorokan saat menelan namun pasien dapat minum sedikit dengan bantuan menggunakan sedotan.

SMRS pasien mengalami demam selama 7 hari dan dirasakan terus menerus hingga menggigil sebelum muncul bintik-bintik merah pada kulit. Pasien juga mengalami nyeri kepala, namun pasien menyangkal pernah mengalami batuk dan pilek saat demam. BAB pasien normal dengan frekuensi 1x/hari konsistensi lunak, berwarna kecoklatan, tidak terdapat darah dan bau khas. BAK pasien normal berwarna kuning jernih dengan frekuensi 3x/hari dan tidak disertai adanya lendir.

c. Riwayat kesehatan dahulu :

Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit asma (-), penyakit jantung (-), darah tinggi (-)

d. Riwayat kesehatan keluarga :

Keluarga pasien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit serupa seperti pasien sebelumnya.

3. Data Subjektif :

Pasien mengeluh demam tinggi, lemah letih, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan atau sulit menelan.

Data Obyektif :

a) Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erupsi yang luas, sering didapatkan purpura

b) Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lender, stomatitis dan pseudomembran di faring

c) Konjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis4. Pemeriksaan Fisik

a. Tanda-tanda vital :

Keadaan umum: compos mentis

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi

: 60x/menit

Suhu

: 380C

Respirasi

: 25x/menit

b. Head to toe

1. Kulit dan rambut

Inspeksi :

Warna kulit : sawo matang dan terdapat eritema, lesi

Warna rambut : hitam2. Kepala

Inspeksi : bentuk simetris antara kanan dan kiri, terdapat lesi

Palpasi

: tidak ada nyeri tekan

3. Mata

Inspeksi: sklera ikhterik, terdapat lesi pada konjungtiva

4. Telinga

Inspeksi: simetris kanan dan kiri

Palpasi

: tidak terdapat benjolan

5. Hidung

Inspeksi: simetris, tidak terdapat sekret

Palpasi

: tidak terdapat benjolan

6. Mulut

Inspeksi : bentuk mulut simetris, terdapat lesi pada lidah, mukosa mulut dan terdapat stomatitis

7. Leher

Inspeksi: bentuk leher simetris, terdapat lesi

Palpasi

: tidak terdapat benjolan, terdapat nyeri tekan

8. Paru

Inspeksi : simetris antara kanan dan kiri

Palpasi

: getaran lokal fremitus sama antara kanan dan kiri

Auskultasi: normal (sonor)

Perkusi: resonan

9. Abdomen

Inspeksi: perut datar simetris, terdapat lesi

Palpasi

: tidak terdapat nyeri

Perkusi: resonan5. Pengkajian Pola Fungsionala. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Pasien mengatakan tidak pernah minum obat sebagai bentuk penanganan terhadap penyakitnya. Pasien mengatakan tidak mengetahui penyebab penyakitnya secara spesifik, pasien dan keluarga pasien jarang berobat ke pelayanan kesehatan. Pasien tidak mengerti cara mengatasi penyakitnya agar lesi pada kulitnya hilang.

b. Pola nutrisi dan metabolism, cairan dan elektrolit1) Sebelum sakit: Pasien mengatakan makan 3x sehari dengan porsi nasi dan lauk pauk seadanya, minum air putih 6-7 gelas perhari.

2) Saat dikaji

: Pasien hanya menghabiskan setengah porsi makanan yang disediakan dari rumah sakit.c. Pola eliminasi

1) Sebelum sakit: Pasien mengatakan biasa BAB 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, warna kecoklatan. BAK 3x/hari dengan warna kuning jernih.

2) Saat dikaji

: Pasien mengatakan BAB 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, warna kuning kecoklatan, berbau khas feses. BAK 3x sehari dengan warna kuning jernih.d. Pola aktivitas dan latihan1) Sebelum sakit: Pasien dapat melakukan kegiatan dan aktivitas tanpa bantuan orang lain.

2) Saat dikaji

: Pasien tidak dapat bergerak bebas karena badannya terasa nyeri. Aktivitas sehari hari seperti mandi, makan, BAB, BAK dibantu perawat dan keluarga.e. Pola tidur dan istirahat1) Sebelum sakit: Pasien bisa tidur 7-8 jam/hari tanpa ada gangguan, jarang tidur siang.

2) Saat dikaji

: Pasien mengatakan tidak bisa tidur semalaman dan juga siang tidak bisa tidur.

f. Pola persepsi dan kognitif

Pasien mengatakan percaya bahwa penyakit yang dialaminya murni penyakit medis

g. Pola persepsi diri dan konsep diri

Citra diri : pasien mengatakan menyukai semua bagian tubuhnya SMRS

Identitas : pasien mengatakan dirinya Tn.A

Peran : pasien mengatakan sebagai kepala rumah tangga

Ideal diri : pasien mengatakan ingin cepat sembuh

Harga diri: pasien mengatakan khawatir dengan penyakitnya h. Pola peran dan hubungan

1) Sebelum sakit: Pasien mengatakan dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan lancar

2) Saat dikaji

: Pasien mengatakan khawatir apabila penyakitnya tak sembuh dan kurang dapat berkomunikasi dengan orang lain akibat terdapat lesi pada mulut dan terasa nyeri

i. Pola seksualitas dan reproduksi

Pasien mengatakan sudah menikah dan berjenis kelamin laki-laki.

j. Pola toleransi coping-stres

Pasien mengatakan ia dapat mengalihkan masalah yang di hadapinya dan saat pasien tidak nyaman pasien mampu untuk mengatasi ketidaknyamanan tersebut.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan

1) Sebelun sakit: Pasien mnengatakan beragama hindu dan biasa sembahyang

2) Saat dikaji

:Pasien hanya beerdoa di tempat tidur.6. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia

b. Histopatologi : infiltrat sel monoklear, edema, ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel diepidermis

c. Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

d. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

7. Pengkajian 7 ciri lesi kulit

a) Pasien mengeluh nyeri pada seluruh tubuh dan terdapat lesi. Awalnya terdapat bintik-bintik merah berisi cairan di mulut dan hampir seluruh wajah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh.b) Pasien sebelumnya mengalami demam dan nyeri kepala tanpa disertai batuk dan pilek.c) Pasien mengatakan lesi muncul sejak 1 bulan yang lalu di seluruh tubuh. Awalnya terdapat bintik-bintik merah berisi cairan di mulut dan hampir seluruh wajah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. d) Ukuran bintik-bintik awalnya seperti titik kemudian membesar dengan cepat. Tidak disertai rasa galat namun terasa nyeri.e) Bintik-bintik pasien tersebut muncul setelah demam. Kemudian bintik-bintik tersebut membesar dan menjadi lesi.f) Pasien mengatakan sebelumnya meminum obat demam.g) Pasien mengatakan bintik-bintik bertambah parah saat di bawah sinar matahari.B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Analisis Data

NO.DATAINTERPRETASIMASALAH KEPERAWATAN

1. DS:

Pasien mengatakan nyeri di kulit seperti terbakar, dengan nyeri di daerah yang mengalami lesi (mata, mukosa, hampir seluruh permukaan kulit)

DO:

Hampir 80% permukaan kulit tertutupi makulopapular, eritema, bula dan ulserasi pada daerah oral dan nasofaring.

Tampak edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, dan adanya eksudat purulen dari saluran konjungtiva.

Kerusakan Integritas Kulit

2. DS:

Pasien mengatakan mengalami nyeri seperti terbakar pada bagian bibir dan mulut.

Pasien mengatakan sulit mengunyah dan menelan.

Pasien mengatakan tenggorokannya nyeri dan dispagia.

DO:

Tampak adanya vesikel dan bula di mukosa.

Tampak adanya erosi dan eksoriasi dan pseudomembran di faring.

Tampak adanya stomatitis pada mukosa oral.

Kerusakan Membran Mukosa Oral

3. DS:

Pasien mengatakan merasa nyeri ketika mengunyah makanan

Pasien mengatakan menjadi kurang minat pada makanan.

Pasien merasa lemas.

DO:

Tampak vesikel, bula, dan stomatitis pada membrane mukosa oral pasien.

Tampak pesudomembran pada faring dan esophagus.

Berat badan 20% di bawah berat badan ideal.

Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh

4. DS:

Pasien mengatakan nyeri di kulit seperti terbakar (Q), dengan nyeri di daerah yang mengalami lesi (R) (mata, mukosa, hampir seluruh permukaan kulit), skala nyeri pada tiap bagian lesi berbeda yakni pada bagian purpura berskala 7 dan bagian vesikel dan bula berskala 5 (S), nyeri bertambah apabila lesi disentuh atau bergesekan (P), dan nyeri sudah terjadi selama satu minggu sejak gejala prodromal berakhir dan mulai munculnya eritema dan vesikel (T).

DO:

Pasien tampak gelisah karena hampir 80% permukaan kulit tertutupi makulopapular, eritema, bula dan ulserasi pada daerah oral dan nasofaring.

Tampak edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, dan adanya eksudat purulen dari saluran konjungtiva.

Tampak vesikel, bula, dan stomatitis pada membrane mukosa oral pasien.

Nyeri Akut

5. DS: -

DO:

Hampir 80% permukaan kulit tertutupi makulopapular, eritema, bula dan ulserasi pada daerah oral dan nasofaring.

Tampak edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, dan adanya eksudat purulen dari saluran konjungtiva.

Tampak vesikel, bula, dan stomatitis pada membrane mukosa oral pasien.

Risiko Infeksi

6. DS:

Pasien mengatakan tidak memahami secara spesifik penyebab munculnya SJS.

Pasien mengatakan tidak mengetahui cara penangannya, termasuk apakah boleh dilakukan personal hygiene (mandi) pada daerah lesi atau tidak.

DO:

Pasien tampak cemas dan mengungkapkan masalahnya.Defisiensi Pengetahuan

DIAGNOSA KEPERAWATAN1. Kerusakan integritas kulit b.d penurunan imunologis ditandai dengan gangguan permukaan kulit dan kerusakan lapisan kulit (reaksi inflamasi: vesikel, eritema, bula, erosi, purpura).

2. Kerusakan membrane mukosa oral b.d efek samping obat (antikonvulsan, antipiretik, antibiotic) ditandai dengan edema, lesi pada mulut, kesulitan makan (mengunyah) dan menelan, stomatitis, dan adanya vesikel.

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan makanan (karena adanya pseudomembran pada saluran pencernaan atas) ditandai dengan ketidakmampuan memakan makanan dan kurang minat pada makanan.

4. Nyeri akut b.d agen cedera biologis (inveksi virus, misalnya: Herpes Simplex, HIV, Coxsackie; zat kimia, misalnya alergi obat: antikonvulsan, antibiotic, antipiretik) ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal dan mengekspresikan perilaku gelisah.

5. Risiko infeksi b.d pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (kerusakan integritas kulit) dan ketidakedekuatan pertahanan sekunder (imunitas menurun atau terjadinya autoimun: Sindrom Steven Johnsone).

6. Defisiensi pengetahuan b.d keterbatasan kognitif (karena kurangnya informasi tentang penyakit) ditandai dengan pengungkapan masalah.C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATANDiagnosa Tujuan dan Kriteria hasilIntervensiRasional

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi, penurunan imunologis (reaksi hipersensitifitas) ditandai dengan gangguan permukaan kulit ( timbulnya bula, vesikel, eritema, erosi yang luas dan purpura)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x24 jam diharapkan kerusakan integritas pasien berkurang dengan kriteria hasil: NOC Label:

Tissue Integrity skin: skin and mucous membranes

Wound healing : primer and sekunder

1. Lesi teratasi

2. Menunjukkan adanya proses penyembuhan luka

3. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya infeksi

NIC Label:

Skin surveillance

1. Inspeksi kulit, lihat adanya kemerahan, lesi, erosi

2. Pantau kemungkinan terjadinya inspeksi, terutama pada area yang terjadi kerusakan lapisan kulit(lesi).Skin care: Topical treatment

1. Lakukan tindakan delegatif dengan memberikan obat oral kortikosteroid dan obat topical antiinflamasi pada area kulit yang terjangkit (bila dianjurkan).2. Lakukan pemantauan pada kulit secara berkala

Pressure Management

1. Hindari kerutan pada tempat tidur (terurama pada linen)2. Monitor status nutrisi pasien Wound care

1. Memonitor karakteristik luka meliputi cairan, warna, ukuran dan odor.2. Bersihkan lesi dengan normal salin (NaCl 0,9%) atau pembersih non-toksik (jika diperlukan)3. Lakukan teknik perawatan luka dengan steril.4. Ubah posisi pasien setiap 2 jam sekali5. Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka untuk mencegah infeksi6. Dokumentasikan lokasi luka, ukuran

NIC Label:

Skin surveillance1. Dari cara menginfeksi kulit dapat mengetahui penanganan selanjutnya yang akan diberikan kepada pasien.

2. Memantau terjadinya infeksi untuk mencegah tanda-tanda awal terjadinya infeksi.Skin care: Topical treatment 1. Menggunakan terapi farmakologi obat antiinflamasi topikal dapat mengurangi terjadinya peradangan pada kulit2. Agar dapat mengetahui tanda-tanda awal bila terjadi lesi, ruam kembali, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan dengan segeraPressure Management 1. Kerutan pada linen ( tempat tidur) akan menyebabkan tekanan pada kulit pasien yang akan menyebabkan eritema.

2. Staus nutrisi pasien digunakan untuk mengetahui perkembangan status gizi pasien apakah berisiko mengalami ketidakseimbangan nutrisi. Wound care

1. Dengan mengetahui karakteristik luka pada pasien dapat menentukan intervensi yang tepat.

2. Pembersihan luka dengan NS untuk menghindari risiko infeksi. 3. Perawatan luka dengan steril untuk menghindari risiko infeksi.4. Dengan mengubah posisi pasien akan menghindari bagian kulit pasien yang mengalami tekanan yang lama, misalnya dengan posisi tidur terlentang yang lebih dari 2 jam akan memberikan tekanan yang lebih pada area punggung dan pantat.

5. Keluarga merupakan orang terdekat pasien yang akan membantu pasien dalam melakukan perawatan luka saat pasien berada di rumah.

2. Kerusakan membrane mukosa oral berhubungan dengan reaksi alergi terhadap obat (antikonvulsan, antipiretik, antibiotic) ditandai dengan edema, lesi pada mulut, kesulitan makan dan menelan, stomatitis dan vesikel.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x24 jam diharapkan kerusakan membrane mukosa oral berkurang dengan kriteria hasil: 1. Lesi pada mukosa oral berkurang dan berangsur sembuh

1. Anjurkan pasien berkumur dengan 1 % chlorhexidine

2. Gunakan cairan paraffin pada area bibir yang berwarna merah terang

3. Monitor gigi pasien

1. Chlorhexidine bertindak sebagai antibakteri, bakteriostatik, analgesik dan agen anti-inflamasi

2. Agen ini mencegah kekeringan, bibir pecah-pecah, dan pembentukan pendarahan scabs, meningkatkan kemampuan pasien untuk secara bebas membuka mulut3. Monitor gigi pasien untuk mengindikasikan infeksi

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan ketidakmampuan memakan makanan, kurang minat pada makanan.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam diharapkan kerusakan integritas pasien berkurang dengan kriteria hasil:

NOC Label:

Nutritional status: Adequacy of nutrient

Nutritional status : food and fluid intake

Nutrional intake

1. Intake makanan dan minuman terpenuhi2. Asupan nutrisi terpenuhi

NIC Label:

Managemen nutrisi

1. Kaji adanya alergi makanan

2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien

3. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori

4. Sediakan makanan dan minuman protein dan kalori tinggi yang bisa dikonsumsi dengan cepat, jika perlu5. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisiMonitoring nutrisi

1. Monitor adanya penurunan berat badan

2. Monitor makanan kesukaan

Therapy nutrisi

1. Monitor asupan makanan/cairan (asupan nutrisi)2. Tentukan kebutuhan pemberian makanan melalui selang nasogastrik

Managemen nutrisi

1. Menghindari pemberian makanan yang dapat menyebabkan alergi2. Memenuhi nutrisi sesuai dengan kebutuhan kalori dalam tubuh pasien 3. Mengetahui perkembangan nutrisi pasien4. Makanan yang mengandung protein dapat membantu pembentukan jaringan-jaringan baru sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.

5. Keluarga adalah orang terdekat dengan pasien sehingga keluarga penting untuk mengetahui nutrisi yang tepat untuk pasien.Monitoring nutrisi1. Dengan mengetahui berat pasien bisa menentukan status gizi pasien

2. Makanan yang sesuai dengan selera pasien dapat meningkatkan nafsu makanTherapy nutrisi 1. Dengan memonitor asupan nutrisi pasien untuk mengetahui apakah asupan nutrisi pasien sudah sesuai dengan kebutuhan nutrisi pasien.

2. Apabila SJS terjadi pada mukosa mulut, sehingga akan lebih mudah memberikan makanan melalui selang nasogatrik.

4. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (kerusakan integritas kulit), ketidakadekuatan pertahanan sekunder (imunitas didapat tidak adekuat).Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan dapat meningkatkan rasa nyaman pada pasien dengan kriteria hasil:

NOC Label:

Immune status

Knowledge : infection control

Risk control

1. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3. Jumlah leukosit dalam batas normal4. Menunjukkan perilaku hidup sehatNIC Label

Infection Control

1. Ajarkan pasien cara mencuci tangan yang benar.2. Anjurkan pasien menggunakan sabun antibakteri saat mencuci tangan. Skin Surveillance

1. Kaji warna kemerahan, edema, drainase dan suhu yang terlalu hangat pada kulit.

2. Pantau perubahan yang terjadi pada kulit dan dokumentasikan.

3. Beri tahu pasien dan keluarga tanda dan gejala kerusakan kulit serta tanda dan gejala infeksi yang mungkin muncul.

Medication Administration : Skin

1. Kaji riwayat kesehatan pasien sebelumnya dan kaji adanya alergi.

2. Pertahankan kondisi kulit diluar area kulit yang diberikan obat.

3. Berikan terapi topikal untuk mengatasi kerusakan kulit yang terjadi.

4. Pantau tanda dan gejala infeksi yang mungkin timbul akibat penggunaan obat.

Infection protection

1. Monitor tanda dan gejala infeksi

2. Monitor hitung granulosit, WBC

Infection Control

1. Tangan merupakan bagian tubuh yang paling utama kontak dengan tubuh yang lainnya dan lingkungan. Tangan sebagai tempat utama dalam penyaluran kuman/ bakteri dari luar tubuh ke dalam tubuh sehingga dengan mencuci tangan dapat menghindari infeksi secara dini.

2. Dengan memakai sabun antibakteri dapat menghambat masuknya kuman/bakteri ke dalam tubuh.

Skin Surveillance

1. Dengan pengkajian, perawat dapat mengetahui keadaan umum kulit pasien.

2. Dengan mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada kulit maka dengan mudah dapat menentukan tindakan pencegahan terhadap kerusakan kulit yang lebih lanjut.

3. Dengan mengetahui tanda dan gejala kerusakan kulit, pasien dan keluarga bersama perawat dapat mencegah kerusakan kulit dan infeksi lebih lanjut.

Medication Administration : Skin

1. Dengan mengetahui riwayat kesehatan sebelumnya dan riwayat alergi, perawat dapat menentukan pengobatan yang terbaik bagi pasien.

2. Mempertahankan kondisi kulit diluar area yang diberikan obat untuk mencegah timbulnya kerusakan kulit yang meluas.

3. Terapi topikal dapat mempercepat proses penyembuhan lesi pada kulit karena obat-obat topikal lebih cepat terabsorpsi oleh kulit.

4. Agar dapat menentukan penanganan yang tepat sebelum infeksi terjadi lebih meluas .

Infection protection

1. Mengetahui tanda dan gejala infeksi dapat digunakan indikator dalam menentukan penanganan yang tepat sebelum infeksi lebih meluas.2. WBC yang meningkat mengindikasikan bahwa terjadi infeksi.

5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ( infeksi virus ), zat kimia : alergi obat ( missal antikonvulsan, antibotik, antipiretik ), ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal, perubahan selera makan, mengekspresikan perilaku ( gelisah ) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x24 jam diharapkan nyeri pada pasien dengan kriteria hasil:

NOC :

Pain Level

Pain Control

1. Mampu mengontrol nyeri ( tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri )

2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

3. Mampu mengenali nyeri ( skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri )NIC :

Pain Management

1. Lakukan pengkajian nyer secara konprehensif termasuk lokasi, karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

2. Observasi reaksi non verbaldari ketidaknyamanan

3. Pilih dan lakukan penanganan nyeri ( farmakologi dan non farmakologi )

Analgetic Administration

1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat.

2. Cek riwayat alergi

3. Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan berat nyeriPain Management

1. Mengenali karakteristik nyeri dan memnentukan jenis nyeri berdasarkan karakteristik tersebut.

2. Menentukan derajat keparahan dari nyeri

3. Penanganan nyeri yang tepat dapat rasa nyeri pasienAnalgetic Administration

1. Mencegah terjadinya efek samping dari obat

2. Mencegah terjadinya alergi3. Mendapatkan efektifitas obat yang dapat menurunkan rasa nyeri secara efektif

6. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif ( urang informasi mengenai penyakit sjs ) ditandai dengan pengungkapan masalahSetelah dilakukan tindakan keperawatan selama x24 jam diharapkan pasien mengetahui tentang proses penyakit dengan kriteria hasil:

NOC :

Kowlwdge : Disease Process

Kowlwdge : Health Behavior1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan

2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar

3. Pasien dan keluarga mampu dijelaskan perawat atau tim kesehatan lainnyaNIC :

Teaching :Disease Process

1. Memberitahukan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit

2. Memberitahukan proses penyakit

3. Intruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan

Teaching : Disease Process

1. Pengetahuan tanda dan gejala penyakit dapat mencegah komplikasi pada penyakit

2. Dengan memberitahukan proses penyakit dapat rasa kecemasan pada pasien

3. Dengan melaporkan tanda dan gejala dapat mencegah terjadinya komplikasi dan dapat memberika penanganan yang tepat

D. IMLPLEMENTASI

Implementasi dilakukan berdasarkan pada hasil anamnesa, diagnose keperawatan yang ditegakkan, dan tujuan yang ingin dicapai. Namun, apabila di dalam pelaksanaannya terjadi perubahan kondisi pasien, maka akan dilakukan analisis data subjektif dan objektif kembali serta disusun rencana asuhan keperawatan selanjutnya sehingga implementasi yang dilakukan dapat bersifat komprehensif dan mencapai tujuan.E. EVALUASI1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi, penurunan imunologis (reaksi hipersensitifitas) ditandai dengan gangguan permukaan kulit ( timbulnya bula, vesikel, eritema, erosi yang luas dan purpura)

S: Pasien dan keluarga pasien mengatakan paham mengenai proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya infeksiO: Masih terdapat lesi (pada mata; mulut dan kulit.

A: Tujuan tercapai sebagian

P:Pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi mengenai cara perawatan luka

2. Kerusakan membrane mukosa oral berhubungan dengan reaksi alergi terhadap obat (antikonklusan, antipiretik, antibiotic) ditandai dengan edema, lesi pada mulut, kesulitan makan dan menelan, stomatitis dan vesikel.S : -O : Lesi pada mukosa oral berkurang dan berangsur sembuhA: Tujuan tercapai

P : Pertahankan kondisi pasien

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan ketidakmampuan memakan makanan, kurang minat pada makanan.

S : -

O :-Makanan masuk ke dalam tubuh pasien melalui selang nasogatrik

-Jumlah kalori yang masuk ke tubuh pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.

A : Tujuan tercapai sebagian

P : Lanjutkan intervensi mengenai terapi nutrisi

4. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (kerusakan integritas kulit), ketidakadekuatan pertahanan sekunder (imunitas didapat tidak adekuat).

S : -

O : Pasien tampak tidak mengalami tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, rubor, fungsiolesa, tumor)

A : Tujuan tercapai

P : Pertahankan kondisi pasien

5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ( infeksi virus ), zat kimia : alergi obat ( missal antikonvulsan, antibotik, antipiretik ), ditandai dengan melaporkan nyeri secara verbal, perubahan selera makan, mengekspresikan perilaku ( gelisah )

S : Pasien mengatakan nyeri berkurang

O : Pasien tampak tidak merasa gelisah

A : Tujuan tercapai

P : Pertahanan kondis pasien

6. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif ( kurang informasi mengenai penyakit sjs ) ditandai dengan pengungkapan masalah

S : pasien mengatakan mengerti tentang penjelasan perawat

O : pasien tampak mengerti dengan penjelasan peawat

A : Tujuan tercapai

P : Pertahankan kondisi pasienDAFTAR PUSTAKAA Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Erupsi Alergi Obat.. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Media Aesculapius.Bozena Seczynska dkk, 2013. Supportive Therapy for a Patient With Toxic Epidermal Necrolysis Undergoing Plasmapheresis, Vol 33, No. 4. Amerika: American Association of Critical-Care Nurses.Bratawidjaya KG. Reaksi Hipersensitivitas. Dalam: Bratawidjaya KG. Imunologi Dasar, 4th. Balai Penerbit FKUI: Jakarta; 2000 : 106-129.Djuanda A, Hamzah M. 2005. Sindrom Stevens-Johnson. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.Dochterman, Joanne M. & Bulecheck, Gloria N. 2004. Nursing Interventions Classification : Fourth Edition. United States of America : Mosby. Domonkos AN, Arnold HL, Odom RB. 1982:Eritema Multiforme Exudativum,Stevens Johnson Syndrome,Andrews Disease of the Skin Clicical Dermatology,Igaku Shoin/Saunders,Tokyo,Seventh Edition,page 147-150,150-151.Foster, C Stephen. 2014. Stevens-Johnson Syndrome. Diakses tanggal 20 Februari 2015, dari www.emedicine.medscape.com.Hamzah M. 1993:Sindroma Stevens-Johnson ,Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi kedua, ,halaman 127-129. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. 2007. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Landow RK. 1983. Kapita Selekta terapi Dermatologik. Jakarta: CV EGC. Laskaris G. 1994. Color Atlas of Oral Disease. New York: Thieme Medical Publisher.

Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcomes Classification : Fourth Edition. United States of America : MosbyNANDA International. 2011. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC.Roujeau JC, Allanore LV. Epidermal necrolysis (Stevens-Johnson syndrome and toxic Epidermal necrolysis). Dalam: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill; 2008. hlm.349-55. Siregar RS. Sindrom Stevens Johnson. Saripati Penyakit Kulit 2nd edition. Jakarta: EGC; 2004. p. 141-2.

Sularsito SA,Soebaryo RW,Kuswadji. 1986. Sindroma Stevens-Johnson ,Dermatologi Praktis, Perkumpulan ahli Dermato- Venereologi Indonesia, Edisi Pertama, halaman 121.Defisiensi Pengetahuan

Risiko Infeksi

Ketidakadekuatan pertahanan primer

Reaksi inflamasi hampir di seluruh permukaan kulit dan mukosa

Adanya vesikel, bula, erosi dan purpura

Merangsang serabut saraf tipe C nosiseptor polimodal

Nyeri Akut

Reaksi inflamasi

Kesulitan mastikasi

Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh

Intake makanan (waktu, porsi, dan frekuensi) menurun setiap harinya

BB 20% atau lebih dari BB ideal

Vesikel dan bula di mukosa oral

Vesikel dan bula di mukosa oral

Stomatitis

Kerusakan Membran Mukosa Oral

Eritema, vesikel, bula pada kulit

Pecah

Erosi luas dan purpura

Kerusakan Integritas Kulit

Reaksi Simpang Obat

(Antikonvulsan aromatic, NSAID, alupurinol, sulfonamide, penisilin)

Reaksi inflamasi hampir di seluruh permukaan kulit dan mukosa

Penyebab penyakit tidak diketahui dan cara penanganan (oleh keluarga atau pasien secara mandiri kemungkinan tidak tercapai

Reaksi hipersensitif tipe III terhadap molekul obat

Komplemen teraktivasi melepas makrofag kemotaktik faktor

Membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin)

Merangsang sel mast dan basofil melepas granul

Menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan dijaringan

Makrofag melepas enzim yang merusak jaringan

Pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibody IgG atau IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan

Erosi luas

Purpura

Kerusakan di kulit

Kerusakan integritas kulit

Gangguan penglihatan

Resiko jatuh

Erosi, ekskoriasi, stomatitis

Kesulitan mastikasi

Intake makanan (waktu, porsi, dan frekuensi) menurun setiap harinya

BB 20% atau lebih dari BB ideal

Ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan

Kerusakan membrane mukosa oral

Timbulnya rasa malu akibat lesi di sekitar tubuh

Gangguan citra tubuh

Nyeri akut

Intensitas nyeri sering dan menetap

Gangguan rasa nyaman

Ketidakadekuatan pertahanan primer

Resiko Infeksi

Merangsang serabut saraf tipe C nosiseptor polimodal

Pecah

Vesikel, bula di mukosa

Eritema, vesikel, bula

Pecah

Adanya vesikel, bula, erosi dan purpura

Konjungtivitis, kataralis, perdarahan, ulkus kornea, iridosiklitis

Kelainan kulit

Reaksi inflamasi

Kelainan mata

Kelainan selaput lender di orifisium

Sindrome steven johnson

Defisiensi Pengetahuan

Penyebab penyakit tidak diketahui dan cara penanganan (oleh keluarga atau pasien secara mandiri kemungkinan tidak tercapai

Lisozim terlepas

Kerusakan organ target

Akumulasi neutrofil

Kerusakan jaringan kapiler

Menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan dijaringan

Merangsang sel mast dan basofil melepas granul

Makrofag melepas enzim yang merusak jaringan

Membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin)

Komplemen teraktivasi melepas makrofag kemotaktik faktor

Pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibody IgG atau IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan

Reaksi hipersensitif tipe III

Infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi pascavaksinasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit kolagen

Proses imunologi

Reaksi Simpang Obat

(Antikonvulsan aromatic, NSAID, alupurinol, sulfonamide, penisilin)