laptut emergency
TRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
BLOK XXIV KEDARURATAN MEDIK
SKENARIO 1
SYOK ANAFILAKTIK SEBAGAI REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I
AKIBAT INJEKSI PENICILLIN
OLEH :
KELOMPOK 2
Okky Dita Rachmadian G0008035
Yoni Frista Vendarani G0008039
Deliza Ardela Pravintasari G0008077
Devika Yuldharia G0008079
Dian Kartika Sari G0008081
Hanindyo Baskoro G0008103
Ike Pramastuti G0008107
Ria Rahma Agustia G0008155
Trisna Adhy Wijaya G0008177
Dian Atika Rahayu G0008207
Yusuf Allan Pascana G0008245
NAMA TUTOR : Marwoto, dr., SpMK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Anafilaksis merupakan reaksi tipe hipersensitivitas tipe I dalam
bentuk sistemik yang ekstrem. Pada reaksi hipersensitivitas tipe ini akan
terjadi pelepasan mediator oleh mastosit dan basofil. Salah satu akibatnya
adalah vasodilatasi sistemik. Vasodilatasi sistemik menghasilkan penurunan
tekanan darah kemudian dapat berujung pada keadaan syok. Pada kasus
anafilaksis, syok ini dinamakan syok anafilatik yang merupakan keadaan
kedaruratan medik dan memerlukan penanganan segera.
Data yang menjelaskan angka kejadian syok dan reaksi anafilaksis di
Indonesia saat ini sangat terbatas. Kasus ini memang jarang terjadi, namun
bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Penyebab dari syok anafiaktik
bermacam-macam, misalnya makanan, obat, latex, dan reaksi imunoterapi.
Penanganan yang lambat atau penanganan yang salah akan menyebabkan
komplikasi serius bahkan dapat berujung pada kematian. Pada kematian
akibat reaksi anafilaksis, onset gejala biasanya muncul pada 15 hingga 20
menit pertama, dan menyebabkan kematian dalam 1-2 jam. Reaksi anafilaktik
yang fatal terjadi akibat adanya distress pernafasan akut dan kolaps sirkulasi.
oleh karena itu penting sekali memahami dan mengetahui tentang syok
anafilaksis.
Dalam laporan ini akan dipaparkan tentang syok anafilaksis, baik
pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, maupun penanganan, serta pembahasan
skenario.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan radang tenggorokan?
2. Bagaimana metode yang benar dalam pemberian terapi antibiotik?
3. Bagaimana gejala klinik pasien dengan alergi penicillin?
4. Bagaimana epidemiologi, pathogenesis, dan gejala klinis syok anafilaktik?
5. Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan syok anafilaktik?
6. Bilamana dan bagaimana pemberian terapi adrenalin dan dilakukannya
Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO)?
C. TUJUAN
1. Mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan radang tenggorokan.
2. Mengetahui metode yang benar dalam pemilihan terapi antibiotik.
3. Mengetahui tentang syok anafilaktik yang disebabkan penicillin, meliputi
epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, dan penatalaksanaan.
4. Mengetahui cara pemberian adrenalin dan RJPO.
D. MANFAAT
1. Sebagai bahan pembelajaran mahasiswa untuk mencapai sasaran
pembelajaran yang sudah ditetapkan.
2. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar.
3. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang syok anafilaktik sebagai
salah satu kasus kegawatdaruratan.
4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang indikasi pemberian
antibiotik.
E. HIPOTESIS
Penicillin menyebabkan rekasi syok anafilaktik pada pasien dalam
skenario yang harus diberikan tatalaksana dengan cepat dan cepat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN RADANG TENGGOROKAN
(FARINGITIS)
Faringitis merupakan radang pada dinding faring yang disebabkan oleh
bakteri, virus, trauma, toksin, dan lain-lain. Faringitis dibagi menjadi faringitis
akut dan kronik. Faringitis akut dapat diklasifikasikan menjadi faringitis viral,
faringitis bakterial, faringitis fungal, dan faringitis gonorea. Sedangkan
faringitis kronis dapat dibagi menjadi faringitis kronik hiperplastik, faringitis
kronik atrofi, dan faringitis spesifik (Rusmarjono, 2007).
Pada faringitis bacterial, bakteri yang sering menjadi penyebab adalah
grup A Streptokokus β hemolitikus. Gejala dan tanda yang ditimbulkan karena
infeksi bakteri tersebut adalah nyeri kepala, muntah, demam, dan jarang
disertai batuk. Pada pemeriksaan ditemukan tonsil yang membesar, hiperemis,
dan terdapat eksudat pada permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak peteki pada palatum dan faring. Kelenjar limfe anterior membesar,
kenyal, dan nyeri.
Terapi pada faringitis adalah dengan pemberian antibiotik. Antibiotik
yang diberikan adalah penicillin G banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal,
atau amoxicillin oral 50mg/kgBB, 3 kali sehari selama 10 hari. Selain
antibiotik, diberikan juga kortikosteroid dexametason 8-16 mg IM, satu kali.
Untuk mengurangi sakit diberikan analgetika (Rusmarjono, 2007).
B. TERAPI DENGAN ANTIBIOTIK
Antibiotic memiliki sifat toksisitas selektif, yaitu hanya bekerja pada sel
yang terinfeksi, tanpa merusak sel sekitar yang masih sehat. Berdasarkan sifat
toksisitas selektif, antibiotic dapt bersifat bakterisid dan dapat pula
bakteriostatik.
Berdasarkan cara kerjanya, antibiotik dibagi menjadi lima kelompok,
yaitu:
1. Penghambat metabolisme sel mikroba
Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamide,
trimetoprim, asam p-aminosalisilat, dan sulfon. Antibiotik golongan ini
mensintesis analog dari Para Amino Benzoat (PABA) sebagai pembentuk
asam folat bakteri. Sehingga PABA menjadi abnormal atau nonfungsional.
2. Penghambat sintesis dinding sel mikroba
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah penicillin, sefalosporin,
vankomisin, basitrasin, dan sikloserin.
3. Penggangu keutuhan membran sel mikroba
Obat yang termasuk golongan ini adalah polimiksin, dan beberapa
antimikroba kemoterapeutik. Golongan ini akan merusak membran sel
setelah bereaksi pada fosfat dalam fosfolipid membran sel bakteri.
4. Penghambat sintesis protein sel mikroba
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah aminoglikosid, makrolid,
linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. Penghambat sintesis protein sel
mikroba terjadi dalam beberapa cara. Diantaranya pembentukan protein
nonfungsional, menghambat translokasi t-RNA peptida dari lokasi asam
amino ke lokasi peptide, dan berikatan dengan ribosom 50S, sehingga
protein tidak terbentuk.
5. Penghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
Obat yang termasuk golongan ini adalah rifampisin dan golongan kuinolon.
Obat ini berikatan dengan enzim polymerase RNA sehingga menghambat
sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut (Setiabudy, 2007).
Untuk memutuskan perlu tidaknya diberikan terapi antibiotik, perlu
dilihat gejala klinisnya. Penyakit infeksi dengan gejala ringan tidak perlu
diberikan antibiotik. Karena antibiotik hanya mempercapat penyembuhan
penyakit infeksi, maka antibiotik hanya diperlukan bila infeksi berlangsung
beberapa hari dan menimbulkan gejala yang berat.
Sebelum diberikan antibiotik, perlu dilakukan kultur biakan kuman
untuk mengetahui kepekaan terhadap antibiotik tersebut. Memilih antibiotik
dengan mempertimbangkan luas spektrum tidak dibenarkan karena hasil terapi
tidak lebih unggul daripada dengan spektrum sempit. Selain itu superinfeksi
juga sering terjadi dengan antibiotik berspektrum luas (Nelwan, 2006).
C. SYOK
Syok merupakan keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila
pasokan oksigen ke mitokondria sel di seluruh sel tubuh tidak mampu
memenuhi kebutuhan konsumsi oksigen. Sebagai akibat dari kurangnya
oksigen di mitokondria, maka terjadilah metabolisme anaerob, yang bila
berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan irreversibel jaringan. Syok
dapat dibagi menjadi :
1. Syok neurogenik : terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan
2. Syok hipovolemik : terjadi karena hilangnya cairan intravaskuler
3. Syok Kardiogenik : terjadi karena kegagalan fungsi pompa jantung
4. Syok septik : terjadi karena infeksi sistemik berat
5. Syok anafilaktik : terjadi karena reaksi imun yang berlebihan
Gejala dan tanda dari masing-masing jenis syok dapat dilihat pada tabel
berikut :
Gejala
dan Tanda
Septik Hipovolemi
k
Anafilaksi
s
Kardiogeni
k
Neurogenik
Tekanan darah N/-/-- -/-- -/-- -/-- N
Tekanan nadi N/+/++ -/-- -/-- -/-- N
Denyut nadi +/++ +/++ +/++ + Lambat
Isi nadi Besar Kecil N/kecil N/kecil N
Vasokonstriksi
perifer
Tidak
ada
+ + +(-) N/+
Suhu kulit Hangat Dingin Dingin Dingin N
Warna Merah Pucat N/pucat N/pucat N/ pucat
Tekanan vena
sentral
N/rendah N/rendah N/rendah Tinggi N
Diuresis -/-- -- - -/-- N
EKG N N N Abnormal N
Foto Paru Udem
infiltrate
N N Udem N
Tatalaksana syok dimulai dengan tindakan umum untuk memulihkan
perfusi jaringan dan oksigenasi sel. Tindakan ini tidak bergantung pada jenis
syok. Untuk memenuhi perfusi jaringan dan kebutukan metabolit dapat
dipenuhi, maka dibutuhkan tekanan darah sebesar 70-80 mmHg. Tekanan darah
ini dapat dicapai dengan prinsip resusitasi ABC (Airway, Breathing,
Circulation). Selain itu diberikan pula cairan plasma atau pengganti plasma
untuk meningkatkan tekanan osmotik intravaskuler. Pemantauan terhadap
pasien syok perlu terus-menerus dilakukan, yaitu meliputi suhu badan, denyut
nadi, tekanan darah, pernapasan, dan kesadaran (Sjamsuhidajat, 2005).
D. SYOK ANAFILAKTIK
Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek beberapa organ,
terutama kardiovaskuler, respirasi, dan gastrointestinal. Anafilaktik merupakan
reaksi imunologi (hipersensitivitas tipe I) yang didahului dengan terpaparnya
alergi yang sebelumnya telah tersensitasi. Syok anafilaktik adalah reaksi
anafilaksis yang disertai dengan hipotensi dengan atau tanpa penurunan
kesadaran.
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase, yaitu :
1. Fase sensitasi
Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentuan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel basofil. Allergen yang
masuk dipresentasikan kepada Limfosit T oleh makrofag. Kemudian
limfosit T akan mngeluarkan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi sel B
berploriferasi menjadi sel plasma. Kemudian akan diproduksi IgE yang
berikatan pada reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan sel basofil.
2. Fase aktivasi
Merupakan waktu selama terjadinya paparam ulang oleh antigen
yang sama. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan isinya berupa granula
yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Alergen yang sama akan
diikat oleh IgE spesifik yang berakibat keluarnya mediator vasoaktif seperti
histamin, serotonin, bradikinin, dan vasoaktif lain.
3. Fase efektor
Merupakan waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek
mediator yang dilepas basofil. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan udem,
sekresi mukus, dan vasodilatasi. Serotonin berakibat meningkatnya
permeabilitas vaskuler dan bradikinin berakibat kontraksi otot polos
(Tomaszewski, 2001).
Gejala permulaan dari anafilaktik adalah pusing, sakit kepala, gatal, dan
perasaan panas pada organ. Gejala kulit yang timbul antara lain urtikaria dan
eritem, kadang sianosis. Gejala yang timbul pada sistem respirasi adalah
bronkospasme, stridor, rhinitis, edem paru, batuk, napas cepat dan pendek,
edem epiglottis, wheezing, dan obstruksi komplit. Gejala kardiovaskuler
adalah hipotensi, sinkop, aritmi, dan diaphoresis. Sedangkan gejala sistem GIT
adalah mual, muntah, disfagi, diare, dan inkontinensia urin.
Diagnosis anafilaktik dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis ditujukan untuk mendapatkan
informasi zat penyebab anafilaksis, yaitu injeksi obat, disengat hewan, bahan
makanan tertentu, atau setelah test kulit. Pemeriksaan fisik meliputi keadaan
umum, kesadaran, tanda vital. Pemeriksaan penunjang diantaranya EKG dan
pemeriksaan darah hitung sel.
Penatalaksanaan syok anafilaktik adalah sebagai berikut :
1. Hentikan obat atau allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis
2. Pasang tourniquet di proksimal daerah masuknya obat
3. Posisikan penderita dengan posisi tenderlenberg, yaitu kaki lebih tinggi
daripada kepala
4. Bebaskan airway dan berikan oksigen 5-10 liter/menit
5. Pasang infus dengan cairan elektrolit 0,5-1 liter dalam 30 menit
6. Pertahankan tekanan darah sistol
7. Injeksi adrenalin SC/IM 1:1000, 0,3-0,5 ml. dapat diulang2-3 kali dengan
selang waktu 15-30 menit
8. Injeksi diphenhidramin IV pelan, dengan dosis untuk anak 1-2 mg/kgBB
9. Pemberian aminophilin bila ada spasme bronkus dengan dosis 4-6
mg/kgBB dilarutkan dalam 10 ml garam faali atau D5, IV selama 20 menit
10. Observasi selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai membaik
E. TERAPI ADRENALIN
Adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah,
menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamin dan mediator lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin
meningkatkan siklik AMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat
terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain
itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung,
tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan
dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut
dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek (Hermawan, 2003).
Cara pemberian adrenalin dalam menangani syok anafilaktik yaitu:
1. Adrenalin subcutan
Absorbsi lambat namun konstan karena terjadi vasokonstriksi pada jaringan
sekitar, sehingga perlu dilakukan pemijatan.
2. Adrenalin Intramuscular
Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari cara
pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin
memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler dan pada pasien
dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebihg cepat dan lebih baik
dari pada pemberian subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan untuk
pemberian sendiri injeksi intramuskuler adrenalin. Volume injeksi adrenalin
1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler pada syok anafilaksis.
3. Adrenalin Intravena
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan benar-benar diragukan
kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500mcg
(5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan
kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan.
Pada anak-anak dapat diberi dosis 10mcg/kgBB (0,1ml/kgBB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000 dengan injeksi intravena lambat
selama beberapa menit.
BAB III
PEMBAHASAN
Pemberian obat kepada pasien akan menimbulkan berbagai macam reaksi
akibat interaksi antara obat dan tubuh pasien itu sendiri. Faktor pasien yang
mempengaruhi reaksi tersebut antara lain umur, genetik ,kehamilan, dan keadaan
patologik tubuh pasien.
Pada kasus dalam skenario, pasien mengalami radang tenggorokan, dapat
dilihat dengan adanya nyeri tenggorok. Kemungkinan pasien mengalami faringitis
bakteri, oleh sebab itu, dikter memberikan injeksi penicillin. Namun, penicillin
tersebut menimbulkan suatu reaksi anafilaktik berupa sesak nafas, takipneu, suara
nafas ngorok, keringat dingin, hipotensi, takikardi, nadi kecil, mual, muntah,
pingsan, serta kesadaran sopor. Dari gejala tersebut, dapat didiagnosis bahwa pasien
mengalami syok anafilaktik dengan manifestasi pada sistem respirasi,
kardiovaskuler, gastrointestinal, dan SSP.
Pengobatan yang dipilih dokter pada skenario adalah penicillin, yang
merupakan salah satu terapi kausatif dari radang tenggorokan. Pemilihan cara
pemberian bisa dengan intramuskular. Dosis pemberian penicillin injeksi yang benar
pada terapi radang tenggorokan adalah 50.000 U/kgBB. Untuk dosis oral amoxicillin
50mg/kgBB, 3 kali sehari selama 10 hari. Kesalahan dalam teknik penyuntikan dan
dosis dapat menimbulkan efek berupa reaksi anafilaksis, misalnya penicillin yang
seharusnya diberikan secara intramuskuler, tetapi diberikan secara intravena.
Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan
intravena seperti antibiotik atau media kontras. Obat suntik yang paling sering
menimbulkan syok anafilaksis antara lain penisilin, streptomisin, tiamin, ekstrak bali
dan kombinasi vitamin neurotropik. Reaksi anafilaktik pada pasien ini termasuk
reaksi cepat yang berlangsung kurang dari 1 jam.
Reaksi ini terjadi dalam tiga fase, yaitu fase sensitasi IgE yang kemudian
menempel pada sel mast dan basofil, fase aktivasi dimana sel mast berubah dan
membentuk granula, kemudian sel mast lisis dan mengeluarkan zat kimia atau
berbagai mediator, dan yang terakhir adalah fase efektor, yaitu terjadinya efek yang
kompleks pada beberapa organ. Zat-zat atau substansi tersebut, missal histamin, akan
menimbulkan mekanisme peningkatan permeabilitas kapiler hingga ekstravasasi dan
penurunan volume sirkulasi, serta vasodilatasi pembuluh darah. Vasodilatasi yang
terjadi pada syok anafilaktik mengakibatkan hipovolemik relatif dan berakibat
tekanan darah yang turun. karena adanya keadaan hipovolemi sehingga pasokan
darah ke otak menurun, dan sebagai kompensasinya adalah peningkatan respirasi
rate, yang nantinya timbul takikardi.
Selain itu, vasodilatasi juga mengakibatkan udem laring, sehingga pasien
sesak napas. Sebagai mekanisme kompensasi karena ventilasi yang kurang,
pernapasan meningkat, dangkal cepat, dan disertai suara ngorok.
Penanganan dan penatalaksanaan untuk kegawatdaruratan secara spesifik
tidak ada, namun bila dilihat secara umum, penanganan yang dilakukan dapat berupa
penanganan yang serupa dengan keadaan trauma, yaitu primary survey.
Penanganan awal pasien di skenario ini yaitu dengan posisi syok di mana
kaki diletakkan lebih tinggi dari kepala sehingga menambah cairan darah yang
mengalir ke otak kira-kira 400 cc dan mencukupi kebutuhan oksigen pada otak.
Pembebasan jalan nafas dengan chin lift. Bila memungkinkan seharusnya segera
dipasang infuse elektrolit untuk memberikan cairan intraseluler.
Selanjutnya diberikan adrenalin sebagai agonis alfa reseptor yang
mengatasi vasodilatasi perifer dan mengurangi oedem. Selain itu adrenalin juga
sebagai agonis beta reseptor dengan efek bronkodilator, meningkatkan kontraksi
miokardium, serta menekan pelepasan histamin dan leukotrien. Injeksi adrenalin
dapat dimulai secara subkutan, jika tidak berhasil dapat secara IM, lalu IV ataupun
transtrakheal, dan intrakardial yang jarang digunakan dan hanya dilakukan oleh
dokter yang ahli. Pemberian secara IM merupakan cara yang sangat aman, sedangkan
cara IV apabila tidak hati-hati dan perlahan dapat menyebabkan takikardia dan
aritmia. Dosis dimulai dari yang kecil dan dapat dinaikkan. Obat alternatif lain yang
dapat digunakan adalah aminofilin, kortikosteroid, dan antihistamin.
Tujuan tata laksanan penanganan syok yaitu: (1) mempertahankan tekanan
arterial rata2 di atas 60 mmHg untuk menjamin perfusi pada organ-organ vital; (2)
mempertahankan aliran darah pada organ2 yang paling sering mengalami kerusakan
akibat syok; dan (3) mempertahankan kadar laktat darah arterial dibawah 22mol/L.
Setelah penanganan awal pasien tetap tampak diam , tidak ada reaksi
dengan tepukan dan rangsang nyeri diindikasikan mengalami henti jantung dan henti
napas. Henti napas dan henti jantung merupakan tanda syok anafilaktik derajat berat.
Pemberian adrenalin belum mampu mengatasi keparahan syok sehingga perlu RJPO
dan dibawa ke UGD untuk mendapatkan penanganan segera.
Resusitasi jantung paru meliputi :
1. Airway ‘penilaian jalan napas’. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
2. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada
syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan
napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan
napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi.
3. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau
a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan
hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru
otak. Pencegahan syok anafilaktik akibat obat dapat dengan edukasi pada pasien agar
mencatat obat apa saja yang menyebabkan alergi. Sedangkan tes kulit atau skin prick
test tidak terlalu membantu, karena tes yang negatif tidak berarti penderita tidak akan
mengalami reaksi anafilaksis.
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Reaksi anafilaktik merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I akibat paparan
ulang dari alergen.
2. Syok anafilaktik adalah reksi anafilaktik disertai hipotensi dengan atau tanpa
penurunan kesadaran, yang merupakan salah satu kedaruratan medik yang
perlu penanganan cepat dan tepat.
B. SARAN
1. Sebaiknya perlu pertimbangan ulang dalam pemilihan terapi antibiotik, yang
disesuaikan dengan gejala klinik dan uji sensitifitasnya.
2. Sebelum pemberian obat, terutama antibiotik, perlu dilakukan anamnesis
lengkap tentang alergi obat.
3. Sebaikya selalu disediakan fasilitas yang dibutuhkan dalam penanganan
segera tehadap syok, misalnya adrenalin atau epinephrine.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan, H.A.G. 2003. Anafilaktik Syok. Dalam: Buku Pelatihan
Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Bagi Dokter. Surakarta: UNS
Press. pp 155-60.
Nelwan, R.H.H. 2006. Pemakaian antimikroba secara rasional di klinik. Dalam :
Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Rusmarjono dan Soepardi E.A. 2007. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Dalam : Buku Ajar Ilu Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta
: FKUI
Setiabudy, R. 2007. Pengantar Antimikroba. Dalam : Ganiswara S. G. (edt).
Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : Gaya Baru, p: 585
Sjamsuhidajat, R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Tomaszewski, C.A. 2001. Anaphylaxis and Acute Allergic Reaction. Dalam : Cline,
D.M. et al. Emergency Medicine : A comprehensive Study Guide, Companion
handbook. Europe : McGraw-hill education.