laporan grand design dan roadmap akhir ......laporan akhir grand design dan roadmap pengembangan...
TRANSCRIPT
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Isu (Permasalahan) Pembangunan Perdesaan
Beberapa permasalahan terkait pembangunan perdesaan selama RPJMN III (Tahun
2015-2019) antara lain:
1) Urbanisasi dan Kesenjangan Desa-Kota
Tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 2,18% pertahun lebih tinggi
dari tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata nasional sebesar 1% pertahun. Sedangkan
pertumbuhan penduduk di perdesaan menurun sebesar 0,64% pertahun.
Bagan 1.1: Urbanisasi dan Kesenjangan Desa-Kota
2) Menurunnya Pertumbuhan Perekonomian di Wilayah Perdesaan
Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten menunjukkan penurunan yang besar dari
tahun ke tahun dibandingkan dengan laju PDRB Kota.
Bagan 1.2: Urbanisasi dan Kesenjangan Desa-Kota
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
2010 2015 2020 2025 2030 2035
Pe
rse
nta
se (
%)
Tahun
Perkotaan Perdesaan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 2
3) Pergeseran Tenaga Kerja Sektor Pertanian
4) Pertambahan Jumlah Desa dan Menurunnya Areal Persawahan
a) Pertambahan Jumlah Desa Tertinggal;
b) Sebaran Kawasan Perdesaan Tertinggal Dominan Secara Nasional;
c) Sebaran Lokasi Desa-Desa Tertinggal di Daerah Tertinggal.
5) Kemiskinan, pengangguran, dan kerentanan ekonomi masyarakat desa
a) Masih tingginya angka kemiskinan di perdesaan;
b) Berkurangnya lahan usaha untuk kemandirian pangan.
6) Keterbatasan ketersediaan pelayanan umum dan pelayanan dasar minimum
a) Rendahnya pelayanan pendidikan dasar-menengah di perdesaan;
b) Rendahnya pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat perdesaan;
c) Rendahnya pelayanan sanitasi dan air bersih di perdesaan.
7) Masih rendahnya keberdayaan masyarakat perdesaan
Masih rendahnya keberdayaan masyarakat perdesaan dalam partisipasi ekonomi,
partisipasi publik, partisipasi politik.
8) Belum optimalnya tata kelola desa dan peran kelembagaan desa dalam perencanaan dan
pembangunan desa
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 3
a) Belum siapnya kapasitas pemerintah desa, lembaga-lembaga desa, dan lembaga-
lembaga kemasyarakatan;
b) Belum memadainya data desa riil yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
menyusun perencanaan dan pembangunan desa.
9) Belum optimalnya penataan ruang kawasan perdesaan, pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup:
a) Tingginya kerusakan lingkungan akibat kegiatan pencemaran, pembakaran, dan
sampah laut;
b) Masih tingginya perambahan dan alih fungsi kawasan pertanian menjadi kawasan
non-pertanian;
c) Kerentanan perdesaan terhadap bencana dan perubahan iklim.
10) Keterbatasan ketersediaan infrastruktur dalam membuka keterisolasian daerah
perdesaan dan mendorong keterkaitan Desa-Kota.
a) Masih belum optimalnya pelayanan sarana dan prasarana transportasi dan
telekomunikasi termasuk ketersediaan jalan poros desa, jalan produksi, moda
transportasi, serta jembatan penghubung antardesa dan antara desa dengan pusat
pertumbuhan terdekat;
b) Ketersediaan dan pelayanan prasarana energi khususnya dalam hal pemenuhan
elektrifikasi perdesaan masih belum optimal;
c) Masih belum optimalnya penyediaan sarana dan prasarana pengolahan dan
pemasaran dalam menunjang kegiatan agribisnis dan industrialisasi di perdesaan.
1.2. Regulasi Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan
Setelah hampir 70 Tahun (1945 sd 2014), kita memiliki regulasi sendiri terkait
pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan sejak Tahun 2014.
Oleh karena itu, dengan lahirnya regulasi terkait dengan Desa secara bersamaan pada
Tahun 2014 ini, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014
tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Keuangan Desa,
maka kehadiran regulasi ini perlu mendapatkan sambutan yang positif bersama masyarakat
Indonesia karena pembangunan Desa menapaki babak baru dan diharapkan dapat membawa
paradigma baru dalam pembangunan, mampu mengubah cara pandang pembangunan,
bahwa kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi tidak selamanya berada di kota atau
perkotaan, tetapi dalam membangun Indonesia haruslah dimulai dari Desa.
Namun, sebenarnya pengaturan tentang Desa sudah diamanatkan dalam UUD 1945
Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-
undang”.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 4
Mengacu kepada rumusan Pasal 18B ayat (2) tersebut, maka UU tentang Desa
memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa atau yang
disebut dengan nama lain yang telah ada sebelum NKRI terbentuk.
Sebagai bukti keberadaanya, Penjelasan Pasal 18 UUD RI Tahun 1945 (sebelum
perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang
250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti Desa di Jawa
dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, sebagainya. Daerah itu
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap
diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam NKRI”.
Melalui keberadaan Desa yang menjadi bagian dari wilayah pemerintahan daerah
kabupaten/kota, maka Desa melaksanakan fungsi pemerintahan dengan mengacu pada
ketentuan Pasal 18 ayat (7) bahwa Desa melaksanakan fungsi pemerintahan, baik
berdasarkan kewenangan asli yang dimiliki oleh Desa, maupun kewenangan yang
ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Dengan
demikian, UU ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu
pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2)
dan Pasal 18 ayat (7), dengan konstruksi menggabungkan fungsi ‘self-governing
community dengan local self government’ sedemikian rupa, sehingga landasan
konstitusional ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi masa depan Desa di Indonesia.
Oleh sebab itu, kedepannya Desa dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata
kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang
berdayaguna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya.
Bagan 1.4: Proses Kelahiran Regulasi tentang Desa dan Kawasan Perdesaan
PP 72 TH 2005 TTG DESA UU NO. 6 TH 2014 TTG DESA
Naik Kelas
UU NO. 5 TAHUN 1979
PP No. 76 TAHUN 2001
PENYUSUTAN OTONOMI DESA
EKSPANSI OTONOMI DAERAH
UU NO. 22 TAHUN 1999
UU NO. 32 TAHUN
2004
UU NO. 19 TAHUN 1965
Turun Ranjang
Siuman setelah tidur panjang
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 5
1.3. Kegiatan Percepatan Pembangunan Kawasan Perdesaan Terpadu
Salah satu program/kegiatan untuk mendukung program percepatan pembangunan
daerah tertinggal selama RPJMN II (2010-2014) yaitu program Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) dan atau PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus
(PNPM DTK) dan kegiatan Percepatan Pembangunan Kawasan Perdesaan Terpadu
(P2KPT) atau lebih dikenal juga dengan Bedah Desa.
Program P2DTK dan P2KPT sebagai salah satu instrumen utama Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) dalam melakukan koordinasi dan sinkronisasi
guna mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Pelaksanaan P2KPT dengan
pendekatan kewilayahan memerlukan integrasi, sinergi dan harmonisasi antar sektor terkait
agar dapat berfungsi lebih efektif dan efisien. P2DTK diinisiasi tahun 2005 dan dan
dilaksanakan sejak tahun 2006-2012, sedangkan P2KPT diinisiasi tahun 2010 dan
dilaksanakan sejak tahun 2011-2014 ini.
Namun dalam pelaksanaannya, masih terdapat isu strategis yang belum terpecahkan
dalam pelaksanaan kegiatan percepatan pembangunan kawasan perdesaan selama ini
terutama terkait antara lain:
1) Belum terlaksananya sinergi lokus dan fokus terutama dengan kegiatan internal di
lingkungan KPDT yang sifatnya sektoral terutama kegiatan (produk unggulan
kabupaten sehinggaa menyebabkan pelaksanaan kegiatan pembangunan kawasan
perdesaan berjalan dengan kaki sebelah (tidak sempurna) dimana pada akhirnya
hasil yang didapatkan belum optimal;
2) Belum semua lokasi kawasan perdesaan memiliki Rencana Induk Kawasan
Perdesaan Terpadu (Masterplan), Rencana Aksi dan Rencana Investasi sehingga
kegiatan yang dilaksanakan pada kawasan perdesaan belum terarah.
3) Dengan telah disahkannya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang
Desa, dimana salah satu isi pasalnya adalah terkait dengan pembangunan kawasan
perdesaan sehingga perlu segera ditindalanjuti dengan dokumen operasionalnya.
4) Disamping itu, Asisten Deputi Urusan Perdesaan sendiri sampai saat ini belum
memiliki grand design dan roadmap untuk menjadi acuan bagi daerah dalam
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 6
membuat grand strategy dan rencana aksi daerah untuk pengembangan kawasan
perdesaan di daerahnya.
Oleh Karena itu, dalam rangka untuk dapat memberikan arah bagi percepatan
pembangunan kawasan perdesaan kedepannya, maka perlu melakukan penyusunan Grand
Design dan Roadmap Pengembangan Kawasan Perdesaan untuk Tahun 2015-2019.
1.4. Maksud dan Tujuan
1) Maksud kegiatan ini adalah untuk:
a) Menjalankan satu bentuk pelaksanaan tata kelola kebijakan organisasi
kementerian/lembaga yang baik, dengan senantiasa melakukan penyusunan
rencana pembangunan;
b) Mendapatkan masukan atas grand design dan roadmap yang disusun dari
pihak-pihak di tingkat pusat terutama kementerian/ lembaga terkait;
c) Memperoleh bahan pertimbangan dalam menentukan pengembangan kawasan
perdesaan dan keberlanjutan program/kegiatan yang telah dilaksanakan
maupun yang akan dilaksanakan.
2) Tujuan kegiatan ini adalah untuk :
a) Menentukan berbagai faktor atau variabel yang penting dikembangkan
sebagai indikator kinerja (prasyarat) untuk pengembangan kawasan
perdesaan;
b) Mendapatkan diskripsi atas grand design dan roadmap pengembangan
kawasan perdesaan untuk RPJMN III (2015-2019).
1.5. Sasaran
Sasaran dari kegiatan ini:
1) Tersusunnya hasil identifikasi berbagai faktor atau variabel yang penting untuk
dikembangkan sebagai indikator kinerja (prasyarat) pengembangan kawasan
perdesaan;
2) Adanya hasil grand design pengembangan kawasan perdesaan untuk kebutuhan
kedepannya dalam RPJMN III (2015-2019);
3) Adanya hasil roadmap pengembangan kawasan perdesaan untuk kebutuhan
kedepannya dalam RPJMN III (2015-2019);
4) Adanya hasil analisis atas kebijakan terkait pengembangan kawasan perdesaan
yang lebih efektif; dan
5) Rekomendasi kebijakan atas pengembangan kawasan perdesaan dan tindaklanjut
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 7
yang dilakukan pemerintah daerah dalam mengembangkan setiap kawasan
perdesaan untuk tahun 2015-2019.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 8
BAB II
PENDEKATAN DAN METODOLOGI
Dalam melaksanakan penyusunan Grand Design dan Roadmap Pengembangan
Kawasan Perdesaan (GDRM-PKP) Tahun 2015-2019 ini diperlukan penggunaaan
pendekatan dan dan metodologi yang tepat. Ketepatan memilih pendekatan dan metodologi
ini merupakan hal yang sangat penting untuk kesempurnaan penyusunannya.
2.1. Tahap Persiapan
Tahapan persiapan merupakan bagian awal rangkaian proses kegiatan dalam
penyusunan GDRM-PKP Tahun 2015-2019.
Dalam tahapan ini terdapat beberapa kegiatan yang dilaksanakan, antara lain :
1) Koordinasi, diskusi dan sinkronisasi dengan pengembail kebijakan di Keasdepan
Urusan Perdesaan, KPDT dalam rangka menyamakan persepsi tentang
penyusunan GDRM-PKP Tahun 2015-2019;
2) Penyusunan jadwal pelaksanaan kegiatan GDRM-PKP Tahun 2015-2019;
3) Identifikasi kebutuhan informasi dan data yang dibutuhkan untuk penyusunan
GDRM-PKP Tahun 2015-2019.
4) Desk study berbagai dokumen yang berkaitan dengan kebijakan, data ataupun
informasi yang berkaitan dengan penyusunan GDRM-PKP Tahun 2015-2019
terutama hasil pelaksanaan kegiatan/program pada Keasdepan Urusan Perdesaan,
KPDT.
2.2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelakasanaan ini, yang dilakukan adalah penyusunan instrumen GDRM-
PKP Tahun 2015-2019. Hal ini sangat penting dilakukan karena akan menentukan hasil
berikutnya.
Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap ini secara detail, sebagai berikut:
1) Mempelajari Term of Return (TOR)
TOR ini sangat penting artinya sebagai acuan dalam pelaksanaan studi lapang, apa
tujuan dan hasil yang diharapkan sehingga harus dituangkan secara jelas di dalam
TOR ini.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 9
2) Penyusunan Kuisioner
Kuistioner ini merupakan salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan studi
lapang, karena dengan kuistioner yang tepat maka akan diperoleh informasi yang
jelas dan akurat. Begitu juga sebaliknya apabila kuistioner yang disusun tidak
sesuai dengan TOR studi lapang, maka data yang diperoleh pun juga akan bias.
3) Penyusunan Panduan Studi Lapang.
Panduan studi lapang merupakan instrumen pendukung untuk memandu pihak-
pihak yang akan ikut dalam studi lapangan. Apa dan bagaimana caranya, semuanya
tertuang didalam panduan tersebut;
4) Panduan wawancara mendalam.
Disamping kuistioner untuk menjaring pertanyaan kepada responden kategori
umum, masih ada lagi instrumen berupa panduan wawancara mendalam yang
dimaksudkan untuk menjadi pedoman melakukan wawancara mendalam kepada
reponden yang terpilih.
5) Tabulasi dan Pengolahan Informasi - Data,
Merupakan kegiatan tabulasi data hasil studi, dilanjutkan pengolahan data yang
berupa analisis kualitatif maupun kuantitatif jika diperlukan. Analisis ini dilakukan
agar diperoleh informasi dan data-data jelas dan akurat dalam kegiatan
penyususnan GDRM-PKP Tahun 2015-2019.
2.3. Metode Penggalian dan Analisis Data
2.3.1. Analisis Participatory Rural Appraisal
Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan metode yang mendorong
masyarakat untuk turut serta meningkatkan pengetahuan dan menganalisa kondisi mereka
sendiri, wilayahnya sendiri yang berhubungan dengan hidup mereka sehari-hari agar dapat
membuat rencana dan tidakan yang harus dilakukan, dengan cara pendekatan berkumpul
bersama. Berikut ini, ada 11 (sebelas) prinsip metode PRA yang aplikasinya akan
disesuaikan dengan kondisi masyarakat di lokasi studi, antara lain:
1) Mengutamakan Yang Terabaikan
Prinsip ini memiliki makna keberpihakan terhadap masyarakat yang terabaikan,
termarjinalisasikan, mungkin tertindas atau terlindas oleh struktur. Sekelompok
masyarakat seperti ini tidak boleh diabaikan oleh sekelompok masyarakat yang
lain.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 10
2) Penguatan Masyarakat
Penguatan masyarakat memiliki makna bahwa masyarakat memiliki kemampuan
tidak hanya ekonomi, akan tetapi juga sosial politik. Artinya, kekuatan ekonomi
memungkinkan masyarakat tidak tergantung dengan orang luar, sedang
kemampuan sosial politik memungkinkan masyarakat mampu membela haknya.
3) Masyarakat sebagai pelaku, Orang Luar sebagai Fasilitator
Posisi orang luar hanya sebagai fasilitator, artinya mereka mendorong proses
perubahan secara partisipatif yang bersumber dari dalam diri masyarakat itu
sendiri. Ada kalanya seorang fasilitator juga menjadi mediator terhadap kejadian
konflik yang berlangsung dalam masyarakat. Peran fasilitator sebagai motivator
adalah untuk mendorong semangat masyarakat untuk bekerja sama karena ada
pengakuan eksistensi dari orang luar
4) Saling Berlajar dan Menghargai Perbedaan
Prinsip ini lebih mengutamakan hubungan antar orang luar yang berperan sebagai
fasilitator dengan kelompok masyarakat yang difasilitasinya.
5) Santai dan informal
Kegiatan yang dilakukan, baik oleh orang luar yang bekerja sama dengan
masyarakat setempat maupun antar masyarakat setempat adalah memerlukan
situasi santai, tidak formal, luwes dan fleksibel.
6) Trianggulasi.
Prinsip ini lebih berhubungan dengan perolehan informasi. Adakalanya informasi
yang dikemukakan oleh individu ada kemungkinan tidak dibenarkan menurut
kelompok, dan ada kemungkinan juga informasi yang diberikan kelompok tidak
cocok dengan realitas. Oleh sebab itu, prinsip trianggulasi merupakan tidakan
untuk mengontrol sumber informasi tersebut.
7) Optimalisasi Hasil
Optimalisasi hasil sangat berkaitan dengan informsi yang dikumpulkannya.
Karena banyaknya informasi yang dikumpulkan, seringkali informasi itu sulit
dianalisis. Oleh sebab itu, dalam hal seperti ini maka para pemandu atau fasilitator
perlu mengajak mereka untuk mengklasifikasikan secara bersama sama informasi
yang telah diperolehnya.
8) Orientasi Praktis
Artinya bahwa program dan kegiatan yang dikembangkan dengan metode PRA ini
lebih berorientasi pada pemecahan masalah secara praktis.
9) Keberlanjutan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 11
Dalam kehidupan masyarakat masalah ekonomi itu berkembang terus, artinya
selama manusia itu ada maka masalah tidak pernah akan selesai. Oleh karenannya,
program dan kegiatan yang dirancang oleh masyarakat untuk memecahkan
persoalan mereka lebih untuk berkesinambungan dan memungkinkan
mengantisipasi munculnya masalah dikemudian hari.
10) Belajar dari kesalahan
Dalam PRA kesalahan itu wajar dan sangat manusiawi. Oleh sebab itu,
perencanaan program dan kegiatan jangan terlalu sulit sehingga masyarakat tidak
mampu memenuhinya. Dalam menyusun kegiatan bukan juga hal yang bersifat
coba-coba, akan tetapi telah mempertimbangkan banyak hal termasuk tentang
kesalahan.
11) Terbuka
Dalam PRA sangat memungkinkan terjadi ketidaksempurnaan hasilnya. Oleh
sebab itu, keterbukaan atas tanggapan orang lain terhadap kegiatan PRA ini sangat
positif sebab disadari bahwa disetiap metode tidak pernah ada yang dilaksanakan
secara sempurna.
Adapun dalam pelaksanaan PRA terbagi dalam beberapa tahapan yang meliputi
tahapan-tahapan dalam pengembangan program dan kegiatan, mulai dari identifikasi
masalah dan kebutuhan, pencarian alternatif kegiatan, pemilihan alternatif kegiatan,
pengorganisasian dan pelaksanaan kegiatan, serta pemantauan dan evaluasi program/
kegiatan.
Secara operasional, metodologi tersebut dapat memberikan akomodasi efektif terhadap
muatan teknis seperti berikut:
1) Interaksi dan brainstorming dengan pemangku kepentingan di tingkat lokal atau
masyarakat basis;
2) Pengendalian terhadap kualitas data studi dilakukan dengan proses trianggulasi,
yang dilakukan selama proses penggalian dan pelaksanaan kajian dilakukan;
3) Insitu review melalui teknik FGD (Focus Group Discussion) pada forum
workshop di masing-masing lokasi; dan
4) Diagnosis melalui testimonial dan simulation practice sebagai pendekatan
scenario pilot project dalam dengan fokus pada pengujian konsep integrasi
program berbasis pemberdayaan dalam konteks lokal.
Dengan memastikan kegiatan penyusunan GDRM-PKP Tahun 2015-2019 dalam
kerangka metodologi di atas, maka dapat dikontrol hasil yang diharapkan, seperti berikut:
1) Inventarisasi program/kegiatan berbasis pemberdayaan masyarakat dan
kewilayahan yang dilaksanakan oleh Kementrian/Lembaga, Pemerintah Daerah
maupun lembaga lain terkait;
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 12
2) Identifikasi dan menghimpun pembelajaran terbaik (lesson learned) dan praktek
terbaik (good practices) yang dapat dijadikan pengetahuan baru (knowledge
management) sebagai bahan rujukan merumuskan dukungan kebijakan dan atau
regulasi, seperti peraturan daerah tentang pembangunan partisipatif dan integrasi
perencanaan pembangunan, dan sebagainya;
3) Kerangka umum peta perjalanan (roadmap) dan identifikasi faktor-faktor
determinan arah kelanjutan kegiatan/program pengebmagan perdesaan dan
kawasan perdesaan ke depannya;
4) Dukungan kebijakan dan regulasi untuk efektivitas dan pelaksanaan program
penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat, maupun penyempurnaan
kebijakan untuk mendorong prioritas yang sudah ditetapkan.
2.3.2. Penentuan Sampel, Instrumen dan Pengendalian terhadap Kualitas Data
Studi
Pengendalian terhadap kualitas data merupakan agenda penting bagi untuk
memastikan bahwa kegiatan pengambilan data di lapangan dan analisis yang digunakan
mampu menjabarkan berbagai potensi, peluang, tantangan dan kelemahan dari realitas
kondisi kelembagaan masyarakat. Hal yang paling esensi justru pada proses pengambilan
data, dimana akurasi data akan sangat tergantung pada tepatnya dalam penentuan responden
atau informan. Strategi lain proses penggalian data dilakukan dengan menggunakan focus
group discussion (FGD) setelah terlebih dahulu dilakukan pemetaan terhadap berbagai
pelaku-pelaku program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan dan
pembangunan perdesaan berbasis kawasan perdesaan.
Metode penentuan sampel atau informan dalam pengumpulan data perlu didisain,
sehingga setiap komponen pertanyaan yang ada dalam daftar pertanyaan agar dapat dijawab
oleh responden atau informan yang tepat penguasaannya atas data yang dibutuhkan tersebut.
Setidaknya mencakup 3 sumber data, yaitu: sumber data sekunder, sumber data primer, serta
sumber data dokumenter. Dengan adanya keragaman sumber data tersebut, maka perlu
mengembangkan teknis pengumpulan data sesuai dengan sumber data dimaksudkan.
2.3.3. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali informasi dan data yang lebih
rinci, dan tidak dapat tergali dari data‐data sekunder yang ada. Wawancara mendalam juga
dimaksudkan untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut terhadap fenomena yang terdapat
dalam data primer dan sekunder maupun informasi untuk aspek‐aspek kualitatif yang tidak
dapat tersajikan secara kuantitatif melalui data. Wawancara mendalam akan difokuskan
lebih dulu untuk pennggalian aspek‐aspek kualitatif tertutama untuk isu‐isu sosial, budaya,
kemasyarakatan, pemerintahan dan politik lokal. Wawancara mendalam akan dilakukan
terhadap beberapa narasumber informasi yang berasal dari kalangan pemerintah, non
pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah (kabupaten, kecamatan, desa) dan
masyarakat sendiri. Narasumber dari kalangan pemerintah berasal dari institusi perencanaan
daerah dan instansi teknis yang relevan.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 13
Sementara narasumber dari luar pemerintah terutama berasal dari pakar yang berasal
dari perguruan tinggi, lembaga penelitian maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM)
serta masyarakat akan dipilih secara teliti agar dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan untuk keperluan penyusunan GDRM-PKP Tahun 2015-2019. Wawancara
mendalam akan dilakukan dengan menggunakan bantuan intrumen dalam bentuk panduan
pertanyaan mendalam (guideline questionaire) yang akan menjadi acuan dalam menggali
informasi melalui wawancara. Berbeda dengan instrumen kuestioner yang biasa digunakan
dalam survei, guideline questioner hanya memuat beberapa point pertanyaan penting dan
arah penggalian informasi yang akan dieksplorasi melalui wawancara. Pelaksanaan
wawancara diharapkan dapat mengembangkan poin pertanyaan tersebut, melakukan
pendalaman dan eksplorasi lebih dalam atas informasi yang digali. Oleh karena itu, dalam
wawancara mendalam sangat disarankan dilakukan langsung riset (tidak menggunakann
surveyor/enumerator) sehingga lebih mengetahui informasi yang akan digali disesuaikan
dengan tujuan yang dilakukan. Berdasarkan hasil dari analisis kualitatif ini kemudian
diangkat menjadi isu‐isu strategis dan permasalahan daerah untuk kebutuhan perencanaan
pembangunan ke depannya.
2.3.4. Penyepahaman Metode Penggalian Data, Penentuan atau Informan dalam
Pengumpulan Data
Salah satu inovasi terpenting untuk mendukung capaian output pekerjaan yang
telah digariskan adalah menggunakan pendekatan dari berbagai karakterisktik keberadaan
program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemeberdayaan masyarakat dan
pembangunan perdesaan berbais kawasan perdesaan. Kerangka pendekatan ini diterapkan
dalam rangka memastikan kualitas penyusunan rekomendasi dan tindak lanjut dapat
memenuhi azas kualitas.
Metode penentuan sampel atau informan dalam pengumpulan data perlu didisain,
sehingga setiap komponen pertanyaan yang ada dalam daftar pertanyaan agar dapat dijawab
dan ditemukan sintesa oleh responden atau informan yang tepat penguasaannya atas data
yang dibutuhkan tersebut.
Oleh karena itu, setidaknya mencakup 3 (tiga) sumber data, yaitu: sumber data primer
termasuk sumber data documenter dan sumber data sekunder. Adanya keragaman sumber
data tersebut, sehingga perlu mengembangkan teknis pengumpulan data sesuai dengan
sumber data dimaksudkan.
2.3.5. Penggunaan Metode Trianggulasi dalam Proses Pengolahan Data
Metode trianggulasi penting direkomendasikan dalam proses pengolahan data,
sehingga memberikan hasil berupa kualitas data yang baik. Data yang diperoleh
disingkronkan dengan informasi dari pihak lain sehingga diperoleh data yang obyektif dan
berkualitas.
Metode ini dilakukan dengan cara memberikan ruang kegiatan untuk hal-hal berikut
ini:
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 14
1) Terlibat dalam pentabulasian data, sehingga data yang telah digali dari lapangan,
dilakukan validasi data yaitu mengecek apakah seluruh item pertanyaan diisi atau
belum. Dan apakah seluruh data yang ada diisi dengan data yang valid;
2) Terlibat dalam proses input data tabulasi ke dalam data base, sehingga data telah
lengkap dan akurat.
2.3.6. Penyepahaman Metode Analisis Data
Metode analisis data perlu dituangkan dalam standar analisis, agar penyusunan
GDRM-PKP Tahun 2015-2019 yang dihasilkan dapat dijadikan panduan yang berkualitas.
Metode analisis kualitatif merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi berbagai gejala
yang diaktualisasikan dari data-data yang ada. Dengan analisis kualitatif seperti ini akan
diperoleh berbagai hubungan antara indikator satu dengan lainnya secara utuh guna
menunjang data dan analisis kuantitatif yang telah dihasilkan.
2.4. Indikator Output
Indikator kualitas keluaran ini perlu dirumuskan agar ada pemahaman yang sama
tentang keluaran dari kegiatan penyusunan GDRM-PKP Tahun 2015-2019 ini.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 15
BAB III
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM
MENDUKUNG PEMBANGUNAN KAWASAN
PERDESAAN
3.1 Pengertian Grand Desain dan Roadmap
Pengertian GRAND DESIGN, terdiri atas 2 kata yakni: Grand, yang berarti hal yang
paling penting, besar, menjadi induk dan Design yang berarti suatu skema pengaturan
(sinonim dari designing), sesuatu yang ditujukan sebagai pedoman untuk melaksanakan
sesuatu lainnya (sinonim dari blueprint), suatu anticipated outcome yang ingin dicapai
(sinonim dari aim).
Secara praktikal, maka GRAND DESIGN kerap diterjemahkan/ diimplementasikan
sebagai RENCANA INDUK atau KERANGKA UTAMA. Sebagai sebuah rencana induk
maka GRAND DESIGN merujuk pada dokumen pembangunan Nasional serta memuat visi,
arah kebijakan, visi dan misi, tujuan dan sasaran, sasaran 5 tahunan (ROADMAP);
1) RENCANA INDUK ini bertujuan untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan
selama kurun waktu tertentu secara efektif, efisien terukur, konsisten, terintegrasi,
melembaga dan berkelanjutan.
2) Sebagai KERANGKA UTAMA maka GRAND DESIGN merupakan gambaran
umum secara menyeluruh tentang program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh
Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dan dimaksudkan untuk memberikan arah
kebijakan dan keterkaitan antara kegiatan, sub kegiatan dengan program-program
yang telah ditetapkan. Memberi arah kebijakan, pedoman K/L dalam perencanaan
pembangunan, rujukan penyusunan roadmap merupakan sejumlah ciri grand design
yang telah berjalan selama ini.
3) Sedangkan ROADMAP atau peta jalan adalah rencana kerja rinci yang
menggambarkan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Roadmap
umumnya disusun sebagai bagian dari rencana strategis. Substansi penulisannya
dapat terdiri dari:
a) Keadaan saat ini (sebagai baseline);
b) Tujuan yang ingin dicapai;
c) Uraian tahap pelaksanaan untuk mencapai tujuan;
d) Sasaran dari setiap tahap; dan
e) Indikator pencapaian sasaran.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 16
ROADMAP dapat diterapkan untuk berbagai domain persoalan, seperti ekonomi,
kesehatan, transportasi, reformasi birokrasi, teknologi informasi, dan lain sebagainya
termasuk konsep kewilayahan seperti pembangunan kawasan perdesaan. Juga untuk
kehidupan kita di dunia ini. Apa tujuan hidup kita 5, 10, 25 tahun mendatang? Apa yang
harus kita lakukan untuk mencapai tujuan tersebut? Apa dan berapa banyak yang harus kita
capai setiap tahunnya? dsb..
3.2 Regulasi Pembangun Kawasan Perdesaan
Pada tahun 2014 ini, terdapat regulasi yang sangat penting sekali bagi pembangunan
desa dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang DESA
dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6
Tahun 2014 tentang Desa. Dalam regulasi (UU dan PP ) tersebut, salah satunya mengatur
terkait pembangunan kawasan perdesaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, pengertian pembangunan kawasan
perdesaan berdasarkan regulasidisebutkan dalam :
Pasal 83, disebutkan bahwa:
1) Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-
Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota.
2) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan
meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat
Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif.
3) Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
a. Penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan
pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota;
b. Pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan;
c. Pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan
pengembangan teknologi tepat guna; dan
d. Pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan akses terhadap
pelayanan dan kegiatan ekonomi.
4) Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa.
5) Rencana pembangunan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 17
Pasal 84 disebutkan bahwa:
1) Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan
pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.
2) Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset Desa untuk
pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa.
3) Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan
Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 85 disebutkan bahwa:
1) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat
daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan
masyarakat Desa.
2) Pembangunan Kawasan Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib
mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta
mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa.
3) Pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan
pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-Desa.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014, pembangunan
kawasan perdesaan diatur dalam:
Pasal 123 dimana disebutkan bahwa:
1) Pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa
yang dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas
pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa melalui
pendekatan pembangunan partisipatif.
2) Pembangunan kawasan perdesaan terdiri atas:
a. Penyusunan rencana tata ruang kawasan perdesaan secara partisipatif;
b. Pengembangan pusat pertumbuhan antar-Desa secara terpadu;
c. Penguatan kapasitas masyarakat;
d. Kelembagaan dan kemitraan ekonomi; dan
e. Pembangunan infrastruktur antarperdesaan.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 18
3) Pembangunan kawasan perdesaan memperhatikan kewenangan berdasarkan hak
asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa serta pengarusutamaan perdamaian
dan keadilan sosial melalui pencegahan dampak sosial dan lingkungan yang
merugikan sebagian dan/atau seluruh Desa di kawasan perdesaan.
Pasal 124, disebutkan bahwa:
1) Pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123
dilaksanakan di lokasi yang telah ditetapkan oleh bupati/walikota.
2) Penetapan lokasi pembangunan kawasan perdesaan dilaksanakan dengan
mekanisme:
a. Pemerintah Desa melakukan inventarisasi dan identifikasi mengenai wilayah,
potensi ekonomi, mobilitas penduduk, serta sarana dan prasarana Desa sebagai
usulan penetapan Desa sebagai lokasi pembangunan kawasan perdesaan;
b. Usulan penetapan Desa sebagai lokasi pembangunan kawasan perdesaan
disampaikan oleh kepala Desa kepada bupati/walikota;
c. Bupati/walikota melakukan kajian atas usulan untuk disesuaikan dengan
rencana dan program pembangunan kabupaten/kota; dan
d. Berdasarkan hasil kajian atas usulan, bupati/walikota menetapkan lokasi
pembangunan kawasan perdesaan dengan keputusan bupati/walikota.
3) Bupati/walikota dapat mengusulkan program pembangunan kawasan perdesaan di
lokasi yang telah ditetapkannya kepada gubernur dan kepada Pemerintah melalui
gubernur.
4) Program pembangunan kawasan perdesaan yang berasal dari Pemerintah dan
pemerintah daerah provinsi dibahas bersama pemerintah daerah kabupaten/kota
untuk ditetapkan sebagai program pembangunan kawasan perdesaan.
5) Program pembangunan kawasan perdesaan yang berasal dari Pemerintah
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perencanaan pembangunan nasional.
6) Program pembangunan kawasan perdesaan yang berasal dari pemerintah daerah
provinsi ditetapkan oleh gubernur.
7) Program pembangunan kawasan perdesaan yang berasal dari pemerintah daerah
kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota.
8) Bupati/walikota melakukan sosialisasi program pembangunan kawasan perdesaan
kepada Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan masyarakat.
9) Pembangunan kawasan perdesaan yang berskala lokal Desa ditugaskan
pelaksanaannya kepada Desa.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 19
Pasal 125, disebutkan bahwa:
1) Perencanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan aset Desa dan tata ruang dalam
pembangunan kawasan perdesaan dilakukan berdasarkan hasil musyawarah Desa
yang selanjutnya ditetapkan dengan peraturan Desa.
2) Pembangunan kawasan perdesaan yang memanfaatkan aset Desa dan tata ruang
Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.
3) Pelibatan Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal:
a. Memberikan informasi mengenai rencana program dan kegiatan
pembangunan kawasan perdesaan;
b. Memfasilitasi musyawarah Desa untuk membahas dan menyepakati
pendayagunaan aset Desa dan tata ruang Desa; dan
c. Mengembangkan mekanisme penanganan perselisihan sosial.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
dalam Pasal 215 disebutkan bahwa:
1) Pembangunan kawasan perdesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota dan atau
pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa.
2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perda,
dengan memperhatikan:
a. Kepentingan masyarakat desa;
b. Kewenangan desa;
c. Kelancaran pelaksanaan investasi;
d. Kelestarian lingkungan hidup;
e. Keserasian kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 20
3.3 Penguatan Daya Saing Daerah1)
Setiap daerah ditantang untuk berbenah diri menghadapai era persaingan yang tidak
hanya bersifat lokal tetapi juga bersifat global. Persaingan ini menuntut setiap bangsa,
negara dan daerah untuk berbenah diri dengan memberi lingkungan paling kondusif bagi
pelaku bisnis dalam berusaha. Hal ini memerlukan strategi yang dirumuskan oleh segenap
komponen pembangunan daerah (pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk dapat unggul
baik di tingkat regional maupun internasional guna menunjukkan usaha yang paling
kompetitif, yang dikenal dengan istilah daya saing daerah.
Daya saing daerah juga lebih banyak diartikan sebagai suatu potensi yang bersifat
tunggal, sehingga dengan demikian tidak ada upaya pemahaman bagaimana kompleksitas
faktor-faktor yang membentuk daya saing daerah tersebut. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila didalam pembicaraan mengenai daya saing daerah, opini yang
berkembang dapat menjadi sangat beragam dikarenakan masing-masing pihak, baik
individu atau pun lembaga melihatnya dari perspektif atau faktor yang berbeda.
Industri kluster sebagai kelompok industri atau konsentrasi antara perusahaan-
perusahaan yang saling terkait dan melakukan kerjasama. Dalam industri kluster ada dua
(2) elemen pokok, yaitu perusahaan yang ada dalam kluster harus saling berhubungan dan
berlokasi di suatu tempat yang saling berdekatan atau mudah dijangkau (kawasan industri).
Oleh karena itu, bagaimana nantinya daya saing daerah dapat memberikan dukungan
kekuatan terhadap kluster industri suatu daerah akan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain:
1) Kapasitas Pemerintah Daerah
Peran pemerintah daerah dan semua pemangku kepentingan (stakeholder)
pembangunan berperan dalam rangka untuk memperbaiki lingkungan usaha guna
mempengaruhi daya saing daerah. Agus (2003), mengemukakan bahwa
pemerintah sekarang dipacu segera mengimplementasikan industri klaster.
Persaingan dunia semakin ketat, menuntut daya saing yang semakin tinggi.
Masalahnya, negara dan daerah diperhadapkan pada kompetisi dan tantangan yang
sama, meski kemampuannya berbeda. Mau tidak mau, suatu negara dan daerah
dituntut untuk mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan negara dan atau
daerah lain.
Industri kluster di Indonesia sudah diterapkan dibeberapa daerah utamanya
kabupaten dan kota di pulau Jawa. Karena keberhasilan instrument kebijakan
industri kluster tidak terlepas dari berbagai anasir kepentingan politik apakah
untuk jangka panjang karena model inisiasi industri kluster umumnya baru
menampakkan hasil setelah 5-7 tahun dengan upaya implementasi perbaikan
1 Rais, Sasli dan Flassy, Dance Yulian, Strengthening the Competitiveness of the Region to Support the Industry Cluster, Journal of Business Development
& Management, College of Economics and Business Development Management (STIE PBM), Vol. No. XI. 17, April 2011, ISSN-1412-7628.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 21
lingkungan usaha bagi pelaku bisnis yang dilakukan secara ketat dan terpogram
atau hanya jangka pendek semata misalnya dalam rangka pemilihan kepala daerah.
Agus (2003), bahwa industri kluster menjadi model pengembangan industri
nasional jangka panjang. Industri kluster dipastikan dapat meningkatkan daya
saing industri karena terjadi hubungan yang saling mendukung antara industri inti,
industri penunjang, dan industri terkait. menegaskan klaster bukan hanya berarti
sentra industri pada suatu lokasi tertentu. Klaster bisa lebih luas menjadi proses
kegiatan yang saling mendukung untuk mendorong efisiensi dan produktivitas.
Industri kluster tidak berarti harus berdekatan, utamanya bagaimana industri
penunjang mendukung industri inti yang tujuannya meningkatkan keunggulan
kompetitif.
Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk memoles lingkungan usahanya
melalui dukungan system infrastruktur inovasi yang kuat dan sumber daya
manusia dengan talenta terbaik sehingga dunia bisnis mampu menghadirkan
inovasi dalam berbisnis, termasuk pemerintah memberikan perhatian khusus untuk
mengembangkan klaster. Seluruh kemampuan, pendanaan maupun insentif akan
ditujukan pada pengembangan industri kluster (Abdullah, 2002: 21-22; KPPOD,
2005: hlm. 6).
2) Dukungan Kultur dan Semangat Berkompetisi
Indonesia sebagai negara yang terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya dan
juga berlebihan dalam sumber daya manusia. Dalam kondisi interdependensi yang
tidak sejajar, kita harus merelakan tersedotnya kelebihan sumber daya kita untuk
memakmurkan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Bahkan untuk laku di pasaran
dunia, produk kita harus menggunakan negara lain sebagai tempat parkir untuk
mendapat sertifikasi laik ekspor ke negara-negara yang memerlukannya.
Di Negara-negara maju, kultur yang dikembangkan orang tua dalam mendidik
anaknya sudah mengarah pada upaya memandirikan mereka. Sifat protektif
dikembangkan sebatas pada tindakan yang menuntut keterlibatan orang tua. Anak-
anak mereka tidak pernah dilarang untuk mrlakukan sesuatu sepanjang bersifat
konstruktif bagi perkembangan anak. Seorang anak tidak pernah dilarang untuk
mengembangkan aktivitas meskipun aktivitas tersebut mengandung unsur-unsur
yang dapat mencelakakan mereka. Mereka diajarkan bagaimana menghindari
bahaya bila melakukan sesuatu kegiatan, bukan dengan menghindarkan diri dari
kegiatan tersebut. Pola hubungan orang tua dan anak dikembangkan secara
demokratis sehingga anak-anak mereka tidak takut untuk bertanya ataupun
membantah perintah orangtuanya bila menurut logika masyarakat beradab
bantahan tersebut sangat rasional untuk mendidik anak menjadi mandiri. Kondisi
kemandirian ini pada akhirnya akhir menjadi dukungan terhadap sumber daya
saing daerah (Sudantoko, 2002: hlm 53-54).
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 22
Krisis ekonomi dari sisi positif, banyak hikmah yang dapat kita ambil dari krisis
ekonomi tersebut untuk lebih efektif lagi memperbaiki kehidupan berbangsa dan
negara. Sangat beralasan bagi pemerintah untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat dalam berkompetisi sehingga di masa datang akan memberikan
hormat yang tinggi terhadap daya juang daerah dan negara ini dalam mengambil
manfaat dari era globalisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong
terciptanya kehidupan yang demokratis di rumah tangga, sekolah-sekolah,
perguruan tinggi dan birokrasi pemerintah. Di lingkungan birokrasi pemerintah,
kesadaran berkompetisi ini dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai
profesionalisme dalam bekerja dan memberikan penghargaan kepada mereka yang
mempunyai prestasi, inovasi dan kemampuan sehingga seorang pejabat tidak harus
menunggu masanya untuk menduduki jabatan karier yang tinggi, dan masyarakat
pun tidak kaget lagi bila melihat seorang birokrat muda menduduki jabatan dengan
tingkat eselon yang tinggi. Pemerintah harus menjadi pelopor bagi masyarakat
dalam membangkitkan kesadaran akan pentingnya berkompetisi agar menjadi
daerah dan atau negara yang dihormati dalam pergaulan regional dan internasional
(Sudantoko, 2002: hlm. 56)
3) Partisipasi Aktif Stakeholder
Peran pemerintah daerah dan semua pemangku kepentingan (stakeholder)
pembangunan berperan dalam rangka untuk memperbaiki lingkungan usaha guna
mempengaruhi daya saing daerah. Partisipasi aktif ini menurut Bourdieu dalam
Syafi’i (2007, hlm. 109) juga merupakan modal sosial dalam pembangunan
ekonomi daerah dalam pembangunan industri kluster. Pemda dalam hal ini dapat
berperan didalam menfasilitasi lintas pelaku pendukung industri kluster (Hartarto,
hlm. 66). Pemerintah daerah yang kurang maju dapat membentuk tim lintas
disiplin dalam kluster seperti perguruan tinggi, LSM, lembaga pengembang
teknologi, ahli pemasaran, dan masyarakat lokal (Bappenas, 2000). Menurut Agus
(2003) bahwa industri kluster atau tepatnya sentra industri sudah banyak
terbentuk. Namun, sentra masih belum menunjukkan adanya keterkaitan dengan
industri pendukung. Model industri kluster yang akan diterapkan menekankan
pada partnership. Tidak hanya menekankan pembangunan industri tapi
memperkuat partnership antara industri prioritas, terkait dan pendukung,
Penerapan industri kluster harus mendasarkan pada latar belakang budaya dan
kondisi alam daerah, salah satu contohnya adalah partisipasi dan koordinatif aktif
pemerintah daerah dan masyarakatnya. Contoh dalam hal ini adalah keberhasilan
provinsi Oita, Jepang melaksanaan One Village One Product (OVOP) sebagai
suatu gerakan revitalisasi daerah untuk mencari atau menciptakan apa yang
menjadi merk daerah, lalu meningkatkan isi dan mutunya sehingga dapat diterima
dan diakui nilainya secara nasional dan internasional. Latar belakang progam
OVOP dalam rangka menghidupkan kembali vitalitas di perdesaan, dengan
membangkitkan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan skala dan ukuran perdesaan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 23
tersebut, di samping untuk mengurangi rasa ketergantungan masyarakat desa yang
terlalu tinggi terhadap pemerintah daerah dan perlu menciptakan inisiatif dan
semangat revitalisasi dalam masyarakat desa. Keberhasilan OVOP di provinsi
Oita, Jepang karena pemda dapat memanfaatkan semua potensi yang ada melalui:
1) Partisipasi dan koordinasi dengan aparat sampai tingkat bawah (desa) untuk
mendiskusikan konsep OVOP ini;
2) Pejabat berwenang langsung turun lapangan untuk mengawal konsep OVOP
setiap hari;
3) Memanfaatkan media massa khususnya TV untuk membangkitkan
pelaksanaan OVOP;
4) Pemerintah daerah mempersiapkan berbagai lembaga kajian dan
laboratoriuim untuk mendukung upaya promoasi produk yang khas desa;
5) Membentuk pondok belajar (pusat latihan) di beberapa tempat untuk
menghasilkan local leader yang menjadi pelopor dan penggerak OVOP di
desa;
6) Pemerintah daerah Oita berusaha memperkenalkan informasi produk-produk
khas OVOP kepada masyarakat di dalam dan luar Oita termasuk gubernur
Oita sendiri; dan
7) Pemerintah daerah Oita memberikan penghargaan terhadap orang atau
kelompok yang berusaha sukses melaksanakan OVOP (Kazuhiza, 2005: hlm
5-6).
Pengalaman OVOP telah dijadikan pelajaran di beberapa negara berkembang dan
sebagian menerapkan konsep OVOP untuk membuat gerakan serupa, antara lain
di China (Shanghai, Wuhan, Jiangsu, Shanxi, Jiangxi), Philipina, Thailand,
Malaysia, Kamboja, Laos, Mongolia, USA, dan Indonesia (Kazuhiza, hlm. 10)
yang pernah secara langsung diterapkan di provinsi Jawa Timur pada saat
Gubernur Basofi Sudirman. Namun progam OVOP pada era gubernur Basofi ini
ada yang mengatakan berhasil tetapi juga ada yang mengatakan tidak berhasil
karena kebijakan pelaksanaan OVOP ini lebih banyak untuk kepentingan politik
gubernur Basofi.
Agus mengemukakan (2003), bahwa justru industri kluster menangani industri
secara mendalam, antara lain mulai dari pemetaan masalah, pembangunan
infrastruktur, meperkuat jaringan akses pendanaan sehingga melakukan inovasi
untuk mengembangkan produktvitas. Hanya diharapkan penerapan sistem industri
kluster sangat tergantung kepada efektivitas hubungan kerja sama pemerintah
pusat, daerah dan dunia usaha. Tanpa kerja sama dan komitmen yang tinggi,
pengembangan industri nasional mandek.
4) Pentingnya Keamanan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 24
Beberapa hal menarik dari para pengusaha Czeh maupun Austria dalam merespon
kunjungan pemda Jawa Tengah adalah kesungguhan mereka untuk berbisnis
dengan para pengusaha Jawa Tengah yang terlihat dari jumlah pengusaha yang
menghadiri business matching di kedua negara melebihi target dan transaksi bisnis
yang langsung dilakukan dengan pengusaha Jawa Tengah yang ikut dalam misi
dagang seketika itu, adanya komitmen beberapa pengusaha untuk berkunjung ke
Jawa Tengah guna menindaklanjuti kesepakatan yang telah mereka buat dengan
pengusaha Jawa Tengah dan yang paling penting adalah bahwa mereka percaya
dengan tingkat keamanan yang tercipta di Propinsi Jawa Tengah setelah mendapat
penjelasan menyeluruh dari Tim pemda Jawa Tengah.
Kepercayaan terhadap rasa aman bagi negara lain terhadap suatu daerah dan
negara lain ini menjadi suatu hal yang mampu untuk mengundang datang ke
daerah dan Negara tersebut. Memang hal ini diperlukan adanya jaminan juga oleh
pemerintah setempat (Sudantoko, 2002: hlm. 61; Abdullah, Pitter dkk.: 2002: hlm
20; KPPOD, 2005: hlm. 6).
5) Peran LSM Daerah
Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) yang umumnya lahir antara lain karena
keinginan untuk memperbaiki persoalan-persoalan kemiskinan, kesenjangan
perlakuan hukum dan pemerataan di tengah masyarakat serta menyarakan secara
kongkrit apa yang menjadi cita-cita masyarakat kepada pemerintah dan
mengkritisi tindakan pemerintah (juga legislatif) mempunyai peran yang strategis
dalam mensukseskan penyelenggaraan otonomi daerah utamanya didalam
mendukung daya saing daerah sebagai industri kluster.
Apapun yang terjadi pada saat ini, pemerintah masih mempunyai komitmen yang
kuat untuk menjadikan LSM sebagai salah satu stekeholders yang ikut menentukan
arah penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. LSM merupakan salah satu
elemen masyarakat yang diajak Pemerintah untuk menyempurnakan program dan
bagaimana cara terbaik bagi Pemerintah dalam melaksanakan jalannya
pemerintahan dan pembangunan. Meskipun tidak dapat dipungkiri, tidak jarang
pada sisi yang lain Pemerintah melihat LSM sebagai kerikil yang membuat
pemerintah lamban dalam mengambil sikap. Dari sudut rasionalisme seringkali
saya mengatakan dan menulis dalam media massa bahwa pemerintah dimanapun
selalu menginginkan dukungan dari rakyatnya (Sudantoko, 2002: halm 74)
Sangat mustahil bila ada pemerintahan, terutama dalam alam demokratis, yang
menisbikan keberadaan masyarakat. Sebab sebuah program pemerintah akan
berhasil bila mendapat dukungan dari rakyatnya. Bagaimanapun baiknya sebuah
program yang dicirikan dengan kemampuannya mengatasi persoalan dan
menempatkan alokasi sumber daya secara tepat, bila program ini jauh dari
keterlibatan masyarakat, outputnya tidak pernah akan mencapai sasaran yang
ditargetkan. Dalam perspektif pemerintah dengan berbagai pertimbangan yang
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 25
rasional, LSM merupakan lembaga masyarakat yang dapat merealisasikan konsep
tersebut. Tentunya LSM yang diharapkan bukanlah LSM yang siap melakukan
apapun untuk kepentingan pemerintah tetapi LSM yang secara murni menilai
bahwa keterlibatannya memang dibutuhkan karena program pemerintah
mempunyai dimensi yang kental dengan aspek-aspek kerakyatan.
Dalam alam kehidupan yang segala sesuatunya dinilai berdasarkan persfektif
benefit cost ratio dan dogma ekonomi ”mengeluarkan sedikit untuk mendapatkan
hasil sebesar mungkin”, tentunya akan sulit bagi LSM untuk menjaga dan
memelihara visinya terutama ketika keterlibatan ini lebih didominasi oleh
kepentingan ”perut” daripada ”hati nurani” iklim seperti ini tidak hanya dihadapi
oleh LSM,tetapi juga profesi-profesi lain yang seharusnya mengandung lebih
banyak sisi sosialnya daripada sisi ekonominya.
Tarikan ekonomi yang sangat kuat menjadi pemicu yang menyuburkan budaya
ekonomi ketimbang budaya sosial. Pelayanan-pelayanan sosial pun tidak lagi
menjadi bagian inheren dari masyarakat yang tidak mampu. Kini pelayanan seperti
itupun akhirnya disahkan menjadi milik sekelompok masyarakat yang mampu
mengaksesnya. Untuk mendapatkan segala pelayanan yang terbaik, mulai dari
keadilan, pendidikan, kesehatan bahkan dakwah agama terbaik, hanya masyarakat
yang mampu menimbangnya secara ekonomi yang akan mendapatkan. Perbedaan
antara nilai sosial dan ekonomi begitu tipis, bahkan tidak jarang ketika kita
membicarakan persoalan nilai-nilai sosial dan kerakyatan kita seolah-olah menjadi
makhluk yang langka. Makin menguatnya budaya ekonomi ketimbang budaya
sosial tidak terlepas dari rendahnya penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai
moral atau etika yang selama ini menjadi ciri khas bangsa timur. Etika adalah nilai
yang akan menumbuhkan kekuatan moral, harga diri dan kredibilitas yang perlu
dikembangkan oleh individu ataupun lembaga. Membangun LSM yang
independent, demokratis, mandiri, akuntabel dan profesional menuntut adanya
etika yang mampu menimbulkan rasa malu bagi LSM yang melanggarnya
(Sudantoki, 2002: 77).
LSM yang mendasarkan tingkah lakunya dengan etika yang disepakati tidak akan
kesulitan menjadi LSM yang ”disegani” dan menjadi kontrol yang efektif bagi
Pemerintah serta menjadi representasi yang dihargai dari suara masyarakat.
Ditengah keraguan terhadap efektifitas sanksi hukum dalam menertibkan konflik-
konflik hukum, menegakkan etika seharusnya menjadi embrio untuk memperkuat
pelaksanaan sanksi hukum. Memang tidak ada sanksi bagi mereka yang melanggar
etika, tetapi masyarakat akan menghukumnya secara sosial. Tidakkah LSM
tergerak menjadi pionir untuk hal yang kini langka di masyarakat dalam rangka
mendukung daya saing daerah di masa depan.
Contoh daerah yang mencoba memanfaatkan potensi keberadaan LSM ini adalah
Pemda Jawa Tengah dan Jawa Barat memanfaatkan kondisi LSM ini dengan
melihat LSM sebagai salah satu stakeholders yang efektif dan diperlukan dalam
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 26
membahas persoalan pembangunan, penyusunan rencana pembangunan dan
sebagai pelaksana ataupun ”watch dog” pembangun itu sendiri. Dalam rangka
pengembangan sumber daya daerah, pemda telah membentuk forum yang
anggotanya mencakup seluruh stakeholders termasuk LSM. Salah satu tugas
forum adalah merancang program pemberdayaan usaha kecil dan menengah
termasuk perkembangan di sektor agribisnis. Kedua sektor ini memang menjadi
domain dari program pemda untuk mempercepat pemulihan ekonomiregional dari
krisis. Partisipasi LSM di kedua sektor ini terlihat paling menonjol dibandingkan
dengan sektor lainnya (Sudantoko, 2002: 71-72).
6) Nasionalisme
Keinginan memberdayakan masyarakat daerah sendiri terutama kehidupan politik
dan ekonomi makin menguat sehingga melahirkan sifat-sifat otoritarian yang
menisbikan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keunggulan
kesukuan menjadi epidemi yang sulit dihindari. Nasionalisme tidak lagi menjadi
komitmen bangsa. Primordialisme tumbuh dan berkembang sebagai alat yang
paling efektif bagi pemimpin-pemimpin politik lokal untuk menarik simpati dan
suara rakyat serta memegang kekuasaan.
Di kala kita disibukkan dengan tindakan primordialisme, tanpa disadari spirit
nasionalisme tampak makin rentan ketika dihadapkan kepada kekuatan
kapitalisme internasional. Kekuatan ini di masa datang akan menjadi
neokolonialisme yang secara perlahan dan bertahap mampu mempengaruhi dan
menjerat bangsa Indonesia kedalam alam ketergantungan yang sangat besar.
Sehingga tidak tertutup kemungkinan mereka dapat menjadi panglima yang
mengemudikan urusan-urusan negara dan bangsa secara keseluruhan.
Dalam dunia yang serba ”wireless”, nirkabel atau tanpa batas, tidak ada satu
bangsa pun yang dapat menghindarkan diri dari interaksi sosial, budaya maupun
ekonomi. Dengan populasi terbesar kelima di dunia dan kekayaan sumber daya
alam yang melimpah, Indonesia merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi
perusahaan-perusahaan multinasional. Mereka akan melakukan berbagai upaya
untuk memanfaatkannya. Sementara kondisi ekonomi kita yang serba terbatas
menuntut pemerintah daerah atau pun pusat mencari modal tambahan guna
memacu pertumbuhan ekonominya. Dalam posisi yang demikian, pasar dipaksa
untuk membuka diri sebagai kompensasi dari kebutuhan modal sehingga jelas
tidak mungkin bagi kita untuk mengisolasi diri lepas dari komunitas dan
permainan antar negara. Kita tentu berharap akan mendapatkan spread effect dan
bukan backwash effect (Sudantoko, 2002: hlm. 64-66)
Spread effect akan mendorong terjadinya proses transformasi teknologi dan
mobilitas modal yang aktif ke negara lain. Dengan demikian keterbatasan-
keterbatasan yang selama ini menjadi penghalang tergalinya potensi ekonomi
daerah dan atau negara dapat dieliminasi. Interaksi kedalam masyarakat
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 27
internasional akan mempengaruhi pelaku ekonomi domestik untuk melakukan
transformasi manajemen ke arah yang lebih efisien dan mengurang budaya yang
kurang mendukung nilai-nilai kompetisi (Syafi’i, 101-102).
Namun sekarang justru kita menyaksikan adanya backwash effect berupa pelarian
modal yang agresif ke luar negeri karena faktor keamanan dan adanya garansi yang
lebih pasti bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan
mengendap di dalam negeri. Selain itu backwash effect juga ditunjukkan oleh
akumulasi ketergantungan teknologi yang miskin lama makin besar terhadap
pemilik teknologi sehingga sangat menyulitkan bagi bangsa ini untuk melepaskan
diri dan membangun industri domestik yang andal. Kondisi demikian akan sangat
mengurangi terhadap daya saing daerah (Munir dan Fitanto, 2005: hlm. 45) untuk
menuju industri kluster yang tangguh (Sudantoko, 2002: 67).
Contoh, yang paling mudah adalah budaya Mc Donald yang mewabah di kalangan
anak-anak dan generasi muda adalah merupakan contoh lain bahwa
ketergantungan yang sekarang dirasakan tidak hanya dari sudut teknologi dan
modal saja tetapi juga budaya. Dalam hubungan yang nyaris menempatkan bangsa
kita kedalam posisi peripheral atau pinggiran, tentunya suasana egaliter yang
diharapkan tampaknya harus dikubur dalam-dalam. Keadaan yang demikian harus
dikikis secara bertahap agar kita berani mengatakan tidak kepada kekuatan
kapitalisme internasional untuk sesuatu yang menurut analisis rasional akan
menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada keuntungan. Ketika kita
mengatakan tidak, bangsa lain yang lebih superior akan mengetahui bahwa
penolakan ini memang benar-benar dinyatakan oleh bangsa yang tidak dapat
diremehkan, bangsa yang dapat membedakan antara kepentingan nasionalisme
dan kepentingan ekonomi.
3.4 Pengembangan Ekonomi Lokal
3.4.1 Pengembangan Ekonomi Lokal untuk Meningkatkan Daya Saing Daerah
Pemerataan pembangunan telah digariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945
alinea keempat, yang menyatakan bahwa fungsi sekaligus tujuan Negara Indonesia, yakni
memajukan kesejahteraan umum. Salah satu proses pencapaian tersebut adalah melalui
pembangunan. Menurut Tjokroamidjojo (1988,h.4) pembangunan adalah “upaya suatu
masyarakat bangsa yang merupakan suatu perubahan sosial yang besar dalam berbagai
bidang kehidupan ke arah masyarakat yang lebih maju dan baik, sesuai dengan pandangan
masyarakat itu.” Jadi, pembangunan dimaksudkan agar ada perubahan positif yang terjadi
dalam semua bidang, baik itu dari segi ekonomi, sosial, budaya, infrastruktur, dan bidang
lainnya. Tujuan akhir dari pembangunan itu sendiri yakni tercapainya kesejahteraan bagi
masyarakat.
Pencapaian pelaksanaan pembangunan yang diharapkan tersebut tidak dapat
dipisahkan dari perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Lahirnya
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti menjadi UU
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 28
No. 32 Tahun 2004 menjadi reformasi dalam tata hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah serta menjadi cikal bakal lahirnya otonomi daerah di Indonesia termasuk adanya
desentralisasi fiskal. Adanya otonomi daerah mampu mendorong kegairahan daerah untuk
memngembangkan perekonomiannya. UU No. 32 Tahun 2004, menyebutkan bahwa
pembangunan harus memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, karena setiap
daerah memiliki karakter baik itu sosial, budaya, bahkan geografis yang berbeda sehingga
perlu kebijakan yang berbeda pula. Maka, kebijakan pembangunan ekonomi yang diambil
oleh pemerintah daerah diharapkan mampu memaksimalkan potensi yang ada didaerahnya
agar mampu mencapai hasil pembangunan yang optimal. Keberhasilan pembangunan
ekonomi dilihat melalui pertumbuhan ekonominya, dimana pertumbuhan ekonomi dapat
diukur salah satunya menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Dalam rangka mengoptimalkan pembangunan ekonomi lokal di era otonomi yang
mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, secara otomatis
menuntut pemerintah daerah untuk berorientasi secara global. Dikarenakan kondisi tingkat
persaingan antar negara yang semakin tinggi dan tidak menutup kemungkinan akan
berdampak pada perekonomian di Indonesia khususnya di daerah. Oleh karena itu,
tantangan pemerintah daerah bukan lagi pada otonomi maupun desentralisasi, melainkan
daerah dituntut untuk meningkatkan daya saingnya. Abdullah dkk (2002, h.15) menjelaskan
bahwa daya saing daerah adalah “kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai
pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada
persaingan domestik dan internasional.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa daya saing
daerah sangat bergantung pada iklim usaha yang kondusif, keunggulan komparatif, dan
keunggulan kompetitif daerah.
Peningkatan daya saing dengan menggunakan keunggulan komparatif yang berbasis
pada pengembangan ekonomi lokal pernah diterapkan di Provinsi Gorontalo. Gorontalo
pernah menjadi provinsi termiskin di Indonesia, namun hal tersebut berubah ketika Fadel
Muhammad menjabat sebagai Gubernur, Beliau mengoptimalkan produk unggulan
Gorontalo dalam sektor pertaniannya. Jagung, peternakan sapi, dan usaha ikan tuna
merupakan produk unggulan yang dihasilkan Provinsi Gorontalo untuk dipasarkan bukan
hanya dalam skala lokal tetapi hingga internasional. Pembangunan daerah yang didasarkan
pada potensi lokal tersebut mampu membuat pertumbuhan ekonomi Provinsi Gorontalo
naik sebesar 7-8 persen diatas pertumbuhan ekonomi nasional dan penduduk miskin
menurun dari 72 persen pada tahun 2001 hingga 33 persen pada tahun 2004. (Muhammad,
2008, h.x-xi).
Pengalaman dari Provinsi Gorontalo menggambarkan bahwa pembangunan daerah
yang disesuaikan dengan kondisi potensi yang ada dan dengan prioritas program pemerintah
yang mengarah pada pengembangan potensi ekonomi lokal akan mendapat hasil
pembangunan yang optimal dan cepat, yang akan berdampak pula pada terciptanya
kesejahteraan masyarakat termasuk didalamnya mengatasi masalah kemiskinan dan
pengangguran. Secara otomatis pula akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi,
sehingga Gorontalo mempunyai posisi daya saing yang kuat pula.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 29
3.4.2 Konsideran Akademik Pengembangan Ekonomi Lokal
Potensi ekonomi daerah didefinisikan oleh Suparmoko (2002, h.99) sebagai
“kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin dan layak dikembangkan sehingga
akan terus berkembang menjadi sumber penghidupan rakyat setempat bahkan dapat
mendorong perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya
dan berkesinambungan.” Sumihardjo (2008, h.114) menjelaskan bahwa pengembangan
sektor unggulan yang dimiliki daerah tercermin pada visi dan misi daerah yang tertuang di
dalam rencana pembangunan jagka panjang daerah (RPJPD) dan rencana jangka menengah
daerah (RPJMD). Di dalam RPJPD dan RPJMD tampak bidang-bidang prioritas pada setiap
program daerah kabupaten/kota dalam memperkokoh pengembangan sektor unggulan.
Selain itu, APBD harus mencerminkan program-program dan tujuan-tujuan pembangunan.
Karena suatu rencana akan bersifat operasionil apabila anggarannya tersedia. Hal tersebut
merupakan upaya pemerintah dalam pengembangan potensi daerah yang tertuang dalam
perencanaan pembangunan daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan dibidang pembangunan pada dasarnya adalah kunci
keberhasilan pengembangan potensi ekonomi lokal untuk menguatkan daya saing daerah.
Muktianto (2005, h.8) menjelaskan bahwa pendekatan yang umum dalam pengembangan
potensi daerah dengan cara menelaah komponen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
komponen sumber daya manusia, teknologi dan sistem kelembagaan. (dikutip dari
Sumiharjo, 2008, h.12). Dalam menelaah PDRB dilakukan untuk mengetahui potensi basis
dan non basis. Suatu daerah yang memiliki keunggulan memberikan kekhasan tersendiri
yang tidak ada pada daerah lain, sehingga sektor unggulan tadi dapat dikatakan sebagai
kegiatan basis (Triyuwono & Yustika, 2003, h.93).
Tarigan (2007, h.28) menjelaskan bahwa teori basis ekonomi mendasarkan
pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya
peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua
sektor, yaitu kegiatan basis dan bukan basis. Kegiatan basis adalah mengekspor barang dan
jasa ke tempat-tempat di luar batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan.
Sedangkan kegiatan bukan basis adalah kegiatan yang tidak mengekspor, yakni hanya
kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan di dalam daerah itu sendiri. Bertambah
banyaknya kegiatan basis di dalam suatu daerah akan menambah permintaan terhadap
barang dan jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume kegiatan bukan basis.
Sebaliknya, berkurangnya kegiatan basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan
yang mengalir masuk ke dalam daerah yang bersangkutan dan turunnya permintaan
terhadap produk dari kegiatan bukan basis. Dengan demikian kegiatan basis ekonomi
mempunyai peranan sebgai penggerak pertama (primer mover rule), sedangkan setiap
perubahan mempunyai “efek multiplier” terhadap perekonomian regional, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk mengetahui sektor basis dan bukan basis
antara lain menggunakan metode analisis “location quantient” (LQ). (Triyuwono & Yustika,
2003, h.93). Dengan mengetahui kegiatan basis di suatu daerah berdasarkan potensi yang
dimilikinya, maka dapat menguatkan daya saing daerah tersebut.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 30
Abdullah dkk (2002, h.15) menjelaskan bahwa “daya saing daerah adalah
kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan
yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan
internasional.” Indikator-indikator utama dan prinsip-prinsip penentu daya saing daerah
salah satunya adalah perekonomian daerah. Prinsip-prinsip Kinerja perekonomian daerah
yang mempengaruhi daya saing daerah yakni :
1) Nilai tambah merefleksikan produktivitas perekonomian setidaknya jangka
pendek;
2) Akumulasi modal mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dalam
jangka panjang;
3) Kemakmuran suatu daerah mencerminkan kinerja ekonomi dimasa lalu; dan
4) Kompetisi yang didorong mekanisme pasar akan meningkatkan kinerja ekonomi
suatu daerah. Semakin ketat kompetisi pada suatu perekonomian daerah, maka
akan semakin kompetitif perusahaan-perusahaan yang akan bersaing secara
internasional maupun domestik. (Abdullah dkk, 2002, h.17).
3.4.3 Masalah SDM, Kelembagaan, Kerjasama, Infrasrtruktur Dalam
Pengelolaan/Pengembangan Ekonomi Lokal
1) Rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dalam pengelolaan
lintas sektor dan lintas wilayah
2) Rendahnya kapasitas SDM aparatur dan masyarakat dalam mengelola ekonomi
daerah secara lintas sektor dan lintas wilayah;
3) Rendahnya kapasitas kelembagaan usaha dalam pengembangan ekonomi daerah,
khususnya di luar Pulau Jawa dan Bali;
4) Rendahnya kemitraan antara Pemerintah-Swasta dalam pengembangan ekonomi
daerah;
5) Rendahnya partisipasi stakeholder lokal/daerah dalam pengambilan keputusan
terkait pengembangan ekonomi daerah;
6) Kerjasama Antar Daerah belum optimal; dan
7) Terbatasnya kapasitas dan jumlah fasilitasi serta jangka waktu fasilitasi di dalam
sistem yang mendukung pengembangan ekonomi daerah.
3.4.4 Kerjasama antar Daerah Belum Optimal
1) Sampai dengan tahun 2008, terdapat 48 bentukan kerjasama antar daerah.
Sebanyak 41 bentukan kerjasama merupakan kerjasama antar daerah (lintas
provinsi dan lintas kabupaten/kota) dalam lingkup satu bagian pulau;
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 31
2) perdagangan antar daerah masih relatif kecil akibat terlalu dominannya
perdagangan intra daerah itu sendiri.
3.2.1. Ketersediaan akses jaringan infrastruktur antar daerah, seperti jaringan
transportasi belum merata
Kondisi jaringan jalan, baik jalan kabupaten, jalan provinsi, dan jalan nasional
dengan status mantap, sebagian besar masih terdapat di Pulau Jawa, Bali, dan
Sumatera.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 32
3.5 Pendampingan Masyarakat dalam Membangun Kawasan Perdesaan2)
Sejak kegagalan mazab teori pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan yang
ternyata justru menimbulkan semakin besarnya kesenjangan masyarakat, upaya untuk
mencari teori pembangunan alternative terus dilakukan.
Salah satu di antaranya adalah pembangunan berbasis masyarakat (Korten, 1978),
yang berbasis pada upaya pemberdayaan masyarakat dan pengembangan partisipasi
masyarakat (Tjokrowinoto, M. 2004).
Dalam hubungan ini, disadari bahwa pelaksana utama pembangunan pada dasarnya
adalah masyarakat lapis-bawah yang sekaligus juga merupakan penerima manfaat
pembangunan. Mereka ini, umumnya tergolong kelompok ekonomi-lemah, baik lemah
pendidikannya, ketrampilannya, teknologi yang digunakan, dan seringkali juga lemah
dalam semangatnya untuk Maju (Hadisapoetro, 1978).
Seiring dengan itu, disadari semakin pentingnya pendampingan masyarakat, baik
dalam pengembangan partisipasi masyarakat maupun kaitannya dengan pemberdayaan
masyarakat.
3.3.1 Membangun Kawasan Perdesaan
Mosher (1969) dalam bukunya “Creating Progresive Rural Development”
mensyaratkan bahwa untuk membangun kawasan perdesaan yang progresif diperlukan 6
(enam) kelembagaan lokal yaitu: Pengujian Lokal, Penyuluhan, Lembaga Keuangan, Pasar
Sarana Produksi Lembaga Pengolahan hasil, Lembaga Pemasaran, dan Transportasi; yang
masing-masing harus memiliki keterkaitan dengan kelembagaan sejenis di tingkat nasional
(Mosher, 1981). Dengan kata lain, untuk membangun suatu kawasan perdesaan, perlu
diciptakan dan dikembangkan efektivitas kelembagaan-kelembagaan tersebut secara
berkelanjutan.
2 Mardikanto, Mardikanto (Guru Besar Ilmu Penyuluhan/Pemberdayaan Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta,Solo),2014,Pendampingan Masyarakat Desa
Dalam Membangun Kawasan Perdesaan, Paper, Seminar Pengembangan Kawasan Perdesaan diselenggarakan oleh Asisten Deputi Urusan Perdesaan, Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi di Ruang Rapat, Transmigrasi pada 25 November 2014.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 33
Gambar 3.1: Kelembagaan Perdesaan Progresif
3.3.2 Pendampingan Masyarakat
Di atas telah dikemukakan bahwa pendampingan masyarakat, diperlukan baik
kaitannya dengan pemberdayaan maupun pengembangan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
Tentang hal ini, Mardikanto (2010) mengemukakan bahwa pemberdayaan memiliki
dua makna, baik sebagai penguatan/pengembangan kapasitas maupun pemberian hak
kepada masyarakat untuk menentukan pilihan-pilihan terbaik bagi kehidupannya secara
mandiri. Tentang hal ini, ada 4 (empat) aspek yang harus diberdayakan, yaitu:
penguatan/pengembangan kapasitas manusia, penguatan/ pengembangan kapasitas usaha,
penguatan/pengembangan kapasitas lingkungan, dan penguatan/pengembangan kapasitas
kelembagaan. Selain itu, pemberdaya-an juga memiliki makna dalam
penguatan/pengembangan individu, penguatan/pengembangan entitas, dan
penguatan/pengembangan jejaring (system).
Di lain pihak, pendampingan untuk menumbuh-kembangkan partisipasi masyaraat,
pada hakekatnya merupakan proses komunikasi pembangunan yang bertujuan untuk
(Mardikanto, 1988; 2010):
1) Proses penyadaran masayarakat, tentang keberadaannya, dan pentingnya pemenuhan
kebutuhan yang terus bertambah (ragam, jumlah dan mutunya) serta pentingnya
pemecahan masalah-masalah yang sedang dan akan dihadapi, untuk memperbaiki mutu
hidupnya.
Penelitian/ pengujian
penyuluhan
pembiayaan pengolahan
lokal
pasar sarana/ produk
Transportasi
lokal
transportasi antar-lokasi
industri pengolahan
besar
pembiayaan regional/ nasional
pusat/balai
penyuluhan
pusat/balai penelitian/ pengujian
Pasar nasional
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 34
2) Proses penyampaian informasi kepada segenap warga masyarakat tentang adanya
kegiatan pembangunan yang sedang dan akan diupayakan oleh pemerintah bersama-
sama dengan atau oleh masyarakat.
3) Proses penyadaran masyarakat tentang pentingnya kegiatan pembangunan bagi
perbaikan mutu hidup mereka dan segenap warga masyarakat lainnya.
4) Proses penyadaran untuk tumbuh, bergerak, berkembang dan terpeliharanya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan yang sedang diupayakan oleh pemerintah bersdama-
sama dengan atau oleh masyarakat.
5) Proses untuk mengajak dan mendidik warga masyarakat untuk siap melakukan
perubahan-perubahan perilaku dan menerapkan teknologi/inovasi yang sudah terpilih,
guna tercapainya perbaikan mutu hidup yang telah direncanakan/ditetapkan.
6) Proses untuk terus-menerus mengembangkan semangat belajar dari segenap
masyarakat, agar senantiasa memahami keadaannya, masalah-masalah yang dihadapi,
dan upaya-upaya pemecahan masalah tersebut, agar mereka dapat terus-menerus
memperbaiki mutu hidup.
7) Proses pemeliharaan dan pengembangan partisipasi masyarakat secara berkelanjutan,
demi terus berkembangnya kegiatan pembangunan untuk mencapai mutu hidup yang
lebih baik lagi di masa-masa mendatang.
3.3.3 Proses Pendampingan Masyarakat
Sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan yangtak terpisahkan dari
pembangunan yang mensyaratkan partisipasi masyarakat, maka proses pendampingan yang
dilakukan sejak kajian-dasar berupa survey mawas diri, penilaian keadaan (PRA), analisis
dan pemetaan-sosial, penyadaran, pengorganisasian masyarakat, pelatihan, implementasi
kegiatan, serta pemantauan dan evaluasi harus dilakukan secara partisipatif pula.
Terkait dengan hal ini, maka pemberdayaan masyarakat yang biasanya terfokus pada
upaya penguatan/pengembangan kapasitas manusia (berupa pengetahuan teknis, sikap
kewirausahaan, dan ketrampilan manajerial) tidak boleh melupakan
penguatan/pengembangan kapasitas usaha, penguatan/pengembangan kapasitas
lingkungan, dan penguatan/pengembangan kapasitas kelembagaan yang biasanya kurang
diperhatikan. Sebab, tanpa ketiga penguatan/pengembangan kapasitas tersebut,
dikhawatirkan akan berakibat kepada ketidak-berlanjutan pemba-ngunan.
Lebih lanjut, khusus yang berkaitan dengan pengelolaan Dana Desa sebagai
konsekuensi dari diterbitkannya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Perlu
pemikiran tentang pengamanan pengelolaan Dana Desa tersebut serta kelembagaan
ekonomi yang akan dikembangkan, baik melalui Badan Usaha Milik Desa (Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010), Badan Usaha Milik Petani/BUMP (UU No.
19 Tahun 2013), maupun Badan Usaha Milik Masyarakat (BUMM) yang digagas oleh
Presiden Joko Widodo saat masih menjabat Walikota Solo pada tahun 2012 yang lalu.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 35
3.6 Perspektif Otonomi ‘Mandiri’ Masyarakat Desa3)
Tidak ada suatu yang sempurna segala sesuatu yang merupakan ‘produk’ buatan
manusia, termasuk dalam hal ini adalah pembuatan Undang-Undang (UU) No. 32/2004
tentng Otonomi Daerah (Pemerintahan Daerah) sebagai hasil revisi dari UU No. 22/1999,
dimana dalam UU Pemerintahan Daerah ini diatur pula tentang Pemerintah Desa.
Desa sebagai suatu komunitas otonom berdasarkan ‘keaslian adat istiadat’ yang
dikaitkan dengan asal usul dengan senantiasa dihormati. Penghormatan tersebut ditunjukkan
dengan adanya pengakuan dalam perubahan disetiap UU dari UU No. 22/1999 yang direvisi
dengan keluarnya UU No. 32/2004 dan direvisi kembali dengan keluarnya UU Nomor 12
Tahun 2008. Pemberian batasan yang berbeda-beda tentang desa, namun pada intinya
batasan tersebut tentang desa atau apapun istilahnya merupakan satuan khusus yang
memiliki kewenangan untuk mengurus kepentingannya sendiri. Dalam UU No. 22/1999
masih adanya kekaburan posisi desa karena mencampuradukkan antara self-governance
community (otonomi asli) dan local-self government (desentralisasi) tanpa batas-batas
perbedaan yang jelas. Pengakuan desa sebagai self-governance community lebih bersifat
simbolik dan nostalgia, daripada substantif (Abdur Rozaki dkk., 2005: 184). Dalam UU No.
32/2004 sudah agak lebih jelas posisinya.
Apabila dikaji rumusan desa disetiap perubahan UU tentang pemerintahan yang ada,
tampaknya pemerintah dan dewan masih menemukan kesulitan untuk menetapkan arah apa
saja yang menjadi kewenangan desa. Namun, uniknya kewenangan yang tidak jelas tersebut
tetap dihormati oleh UU yang ada. Oleh karena itu, berbagai intervensi yang dilakukan
pihak luar baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarat (LSM)-LSM belum
mengacu pada kewenangan yang dimiliki desa. Bahkan intervensi ini seringkali justru
memperkenalkan sesuatu yang menurut pihak luar akan bermanfaat bagi masyarakat desa.
Beberapa intervensi yang ada didesa itu, misalnya sbb.:
1) Hampir seluruh departemen yang ada kecuali departemen luar negeri memiliki
perpanjangan tangan di desa dalam bentuk lembaga/organisasi. Misalnya,
Kelompok Tani (Deptan), Karang Taruna (Depsos), PKK, pemdes,
LKMD/LMD/BPD (Depdagri), P3A (PU/Kimpraswil), Kelompok Usaha Bersama
(BKKBN), Koperasi Unit Desa (Menkip & UKM), Kelompok Tani Hutan
(Dephut), pernah ada Kelompencapir (Deppen/BIN), dsb. Organisasi ini
dikelompokkan menjadi organisasi standar. Hampir seluruh program yang digagas
oleh perencana, dimasukkan ke desa melalui kelembagaan ini.
2) Organisasi asli desa, yaitu organisasi yang tumbuh atas inisiatif masyarakat itu
sendiri, seperti Serikat Tolong Menolong, Arisan, kelompok olah raga, remaja
masjid, kelompok remaja kampung, dsb. kurang mendapatkan perhatian
3 Rais, Sasli dan Supriyadi, Rohamd, Perspektif Otonomi ‘Mandiri’ Masyarakat Desa, http://p2dtk.bappenas.go.id
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 36
pemerintah dikarenakan organisasi ini masih dikategorikan sebagai ‘organisasi
sukarela’.
3) Intervensi pemerintah, masuk ke desa tanpa konsep yang jelas, semua didasarkan
atas kepentingan instansi pembina organisasi standar desa dan biasanya tidak
terintegrasi dengan baik. Dengan demikian masyarakat desa tidak memiliki suatu
sistem yang terpadu untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya (kapital)
ekternal tersebut. Akibatnya sumber daya tersebut terdistribusikan seluruhnya
tanpa diiringi kemampuan untuk memperbaharui atau pun menggandakan sumber
daya tersebut. Apalagi saluran masuk intervensi ini seringkali melalui organisasi
standar desa saja seperti pemerintah desa dan kelembagaan lainnya.
4) Sumber daya internal desa kurang termanfaatkan, pemerintahan desa dibiayai
mayoritas dari sumber dana desa baik dalam bentuk Inpres/bantuan pembangunan
desa maupun proyek-proyek yang masuk ke desa dalam bentuk program
pemberdayaan masyarakat (Sulistiyani, 2004: 135) seperti progam-progam yang
pernah ada seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS),
P2D (Progam Prasarana Dasar); dan saat ini melalui progam-progam yang masuk
dalam progam inti Progam Nasional Pemderdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
seperti PNPM Perdesaan sebelumnya lebih dikenal namanya Progam
Pengembangan Kecamatan-PPK, PNPM Perkotaan sebelumnya dikenal dengan
nama Progam Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan-P2KP, PNPM Infrastruktur
Perdesaan yang dulunya dikenal dengan Progam Prasarana Infrastruktur
Perdesaan-PPIP, PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus-PNPM DTK yang lebih
dikenal dengan Progam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus
(P2DTK), dan yang baru di-launching pada Juli 2008 yaitu PNPM Progam
Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah-PISEW serta progam-progam
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang masuk sebagai PNPM
Pendukung. Akibatnya governance desa yang terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu:
pemerintah desa, civil society/LPMD, dan pasar atau pelaku usaha/usaha
masyarakat sangat tergantung pada hubungan baiknya dengan kekuasaan,
sementara akumulasi sumberdaya internal tidak terjadi.
Melihat kecenderungan yang terjadi seperti diuraikan di atas, bahwa pembangunan
desa selama ini masih terkooptasi oleh kepentingan pemerintah. Pembangunan desa
disandarkan pada kepentingan pemerintah untuk membangun desa bukan atas kepentingan
dan kebutuhan masyarakat desa untuk membantu dirinya sendiri. Meskipun dalam
prosesnya terutama untuk progam pemberdayaan masyarakat desa ‘seakan-akan’ sudah
melibatkan masyarakat dalam eksplorasi permasalahan dan kebutuhan masyarakat desa.
3.6.1. Pentingnya Otonomi ‘Mandiri’ Masyarakat Desa
Apabila pemikiran strategi pembangunan desa yang menempatkan desa sebagai
obyek pembangunan oleh pemerintah dianggap tidak mampu mempercepat perubahan desa,
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 37
maka strategi tersebut sudah harus diubah. Perubahan yang dikehendaki agar pembangunan
desa dilakukan oleh 'governance desa itu sendiri berdasarkan inisiatif, kebutuhan dan
potensi yang mereka miliki sesungguhnya yang kemungkinan dapat dilakukan. Perubahan
tersebut dimungkinkan oleh UU No. 22 tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU No. 32
tahun 2004, meskipun beberapa hal masih perlu diubah.
Dalam memaknai otonomi asli yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999 dan
diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, pada dasarnya terdapat 3 (tiga) aliran
pemikiran, yaitu: pertama, aliran pemikiran yang memaknai ‘kata otonomi asli’ sebagai
otonomi adat atau dekat dengan sosial budaya; kedua, aliran pemikiran yang memaknainya
sebagai ‘otonomi yang diberikan’; dan ketiga, pemikiran baru tentang otonomi desa yang
dimaknai sebagai ‘otonomi masyarakat’ (otonomi ‘mandiri’ masyarakat desa).
Otonomi ‘mandiri’ masyarakat desa adalah kemampuan masyarakat untuk mengatur
dirinya sendiri, seperti memilih pemimpin, merencanakan pembangunan dan menggalang
segenap potensi yang ada bagi peningkatan kemandirian desa. Perwujudan otonomi
‘mandiri’ masyarakat desa dapat dipandang sebagai proses peningkatan kemampuan
masyarakat untuk berpartisipasi menuju kehidupan masyarakat desa yang diatur dan
digerakkan oleh masyarakat, dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat.
Dengan otonomi desa maka diharapkan mampu menciptakan sinergi antara
governance desa untuk mengatur desa. Interaksi yang seimbang di antara ketiganya
diharapkan menghantarkan kehidupan desa pada kondisi saling kontrol dan bekerjasama
satu sama lainnya, mewujudkan keunikan di antara desa satu dengan desa lainnya karena
sumber pengaturan berasal dari internal desa yang diakui sebagai satu kesatuan yang unik.
Pada akhirnya diharapkan mampu mewujudkan keanekaragaman desa sesuai karakteristik
governance di desa tersebut. Disamping itu, diharapkan mampu mengurangi ketergantungan
desa pada supra desa karena kapital internalnya berkembang sementara kapital eksternal
bersifat pelengkap saja.
3.6.2. Wujud Otonomi ‘Mandiri’ Masyarakat Desa
Berdasarkan hasil penelitian Bina Masyarakat Mandiri (1999) di 9 (sembilan) desa
di Kabupaten Bekasi, Sumedang dan Bengkalis, yang merumuskan konsep otonomi
‘mandiri’ masyarakat desa, dimana otonomi masyarakat desa itu sangat dipengaruhi oleh
kemampuan: pertama, pemerintah desa; kedua, badan perwakilan desa (BPD); ketiga,
lembaga pembangunan masyarakat desa (LPMD) yang khusus melaksanakan perencanaan
pembangunan desa; keempat, usaha masyarakat; dan kelima, kemampuan keuangan desa.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, maka badan perwakilan desa (BPD) dalam UU No. 22
tahun 1999 terdapat perubahan kata ‘perwakilan’ dengan ‘permusyawaratan’. Perubahan ini
mencoba untuk mengedepakan peran masyarakat secara keseluruhan dibandingkan ‘seakan-
akan’ masih bersifat individu. Selanjutnya penjelasan model otonomi ‘mandiri’ masyarakat
desa dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 38
Gambar 3.2: Bentuk Otonomi Masyarakat Desa
Sumber: Saragi, 2004: 78
Pemikiran pelaksanaan otonomi ‘mandiri’ masyarakat desa diperkuat dengan adanya
pemikiran tentang good governance yang muncul dipenghujung abad 20 tentang
penyelenggaraan pemerintahan baik yang menjadi acuan banyak pihak guna mengadakan
perubahan dalam penyelenggaraan pemerintah termasuk pemerintah desa (village
governance)
Perumusan bentuk (model atau wujud) otonomi ‘mandiri’ masyarakat desa tersebut,
perwujudan otonomi masyarakat desa ditetapkan dalam bidang:
1) Memilih Pemimpinnya Sendiri
Guna terwujudnya kemampuan masyarakat desa untuk memilih pemimpinnya
sendiri atau dengan kata lain pemberdayaan politik. Governance desa diberi
keleluasaan menentukan sendiri calon pemimpinnya menurut kriteria yang dapat
mereka ukur dan pahami. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor utama
penggerak suatu organisasi. Ciri-ciri pemimpin yang dibutuhkan antara lain adalah
pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas, kemampuan bernegosiasi,
menumbuhkan motivasi anggotanya, berorientasi pada kepentingan anggota,
berdasarkan pada pertanggung jawaban publik, demokratis dalam pengambilan
keputusan, memiliki kemampuan manajemen (administrasi dan keuangan) serta
mampu menggalang jaringan kerjasama antar organisasi sosial di tingkat desa
maupun diaras desa masih minim. Justru yang masih sering dijumpai adalah
pemimpin-pemimpin organisasi sosial yang dianggap “tokoh” (meski sering kali
Pemdes
Usaha
Masyarakat
BPD
Sarana &
Prasarana
LPMD
Keuanga
n Desa
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 39
tidak jelas kriteria ketokohan tersebut) atau pemimpin yang berorientasi keatas
(birokrat diaras desa). Tokoh masyarakat sering kali tidak memiliki kemampuan
manajerial yang baik sehingga sulit beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Pemilihan kepala desa yang berlangsung demokratis, transparan tanpa dikotori oleh
permainan uang merupakan awal yang baik untuk menciptakan pemerintahan desa
yang bersih, bertanggung jawab dan demokratis. Oleh karenanya masukan program
pembinaan diarahkan untuk menjaga agar proses pemilihan kepala desa berlangsung
transparan.
2) Kemampuan pemerintahan desa menjalankan fungsi-fungsinya
Untuk mewujudkan otonomi ‘mandiri’ masyarakat dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi pemerintahan desa mencakup dengan dimulai menentukan sendiri jenis dan
tujuan organisasinya. Pembentukan organisasi ini disesuaikan dengan kewenangan
desa. Ini berarti masyarakat akan mengatur sepenuhnya tentang tugas, fungsi,
struktur, personalia dan anggaran yang dibutuhkan untuk menggerakkan organisasi
tersebut.
Kemudian diikuti dengan kesepakatan untuk menghindari jabatan rangkap. Jabatan
rangkap kepala desa sudah ditiadakan dalam turunan UU No 22/1999 dan hasil revisi
dengan UU No. 32 tahun 2004. Pemisahan ini sangat memperingan tugas kepala desa
dan memperkecil peluang KKN terutama dalam menggunakan dana perimbangan.
3) Bidang pembangunan desa
Permasalahan mendasar dalam pembangunan desa adalah persepsi masyarakat. Oleh
karena selama ini dominasi pemerintah desa sangat tinggi, maka kehadiran BPD
dianggap sebagai pesaing baru. Apalagi tugas dan fungsi BPD salah satunya sebagai
pengawas jalannya pemerintahan desa sehingga seringkali desa merasa tidak leluasa
lagi. Padahal, BPD sebagai wakil masyarakat tidak diatur mekanisme
pertanggungjawabannya kepada masyarakat yang diwakili. Akibatnya dominasi
BPD sangat kuat. Sementara BPD belum tentu merupakan aspirasi seluruh
masyarakat sebab BPD juga tidak punya mekanisme bagaimana menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya.
Untuk menjamin terjadinya proses akuntabilitas, transparansi dan partisipasi
masyarakat, maka optimalisasi Forum Musbangdes menjadi sangat penting. Adapun
langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain:
4) Menempatkan Musbangdes sebagai forum tertinggi dalam pengambilan
keputusan di desa
Forum Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) sejak lama diperkenalkan
yang merupakan salah satu wadah untuk meningkatkan keberdayaan governance
desa.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 40
Forum Musbangdes hendaknya difungsikan tidak hanya sebagai wahana
pertanggung jawaban pemerintah desa baik atas kegiatan per tahun maupun
pertanggung jawaban akhir masa jabatan kepala desa.
Hasil Musbangdes ditetapkan oleh BPD dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes)
sebagai landasan kerja bagi pemerintah desa dalam satu tahun. Di akhir tahun
sebelum Musbangdes dilakukan untuk penyusunan rencana kerja desa tahun
berikutnya, rencana kerja desa tahun sebelumnya dievaluasi secara oleh ketiga
governance desa. Hasil evaluasi akan menggambarkan kinerja pemerintah desa.
Dalam Musbangdes tersebut bila dilakukan secara partisipatif yaitu melibatkan
seluruh komponen governance desa, maka rencana kerja desa dapat dijadikan
patokan untuk mengukur kinerja desa. Hasil Musbangdes yang berkaitan dengan
lintas desa perlu dikomunikasikan dalam diskusi UDKP tapi bila dapat diselesaikan
oleh desa keputusan diambil di tingkat forum Musbangdes saja.
Hasil Musbangdes kemudian disyahkan oleh BPD dalam bentuk Peraturan Desa.
Dokumen inilah yang dijadikan sebagai bahan penilaian kinerja pemerintah desa
pada forum Musbangdes tahun berikutnya.
5) Meningkatkan Kapasitas Organisasi
Keterlibatan seseorang dalam suatu organisasi sering kali tanpa dibarengi dengan
kesadaran akan manfaat (hak atau benefit) dan konsekuensi (kewajiban) dari
keterlibatan tersebut, kemampuan berorganisasi seperti manajemen organisasi dan
kemampuan bernegosiasi. Keterlibatan seseorang lebih didasarkan kriteria tertentu
yang telah ditetapkan oleh perencana proyek sebagai pemanfaat misalnya keluarga
pra sejahtera atau keluarga miskin atau karena petani maka seseorang berarti dapat
menjadi anggota yang dibentuk oleh instansi diaras desa.
Seyogyanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi merupakan keputusan
rasional yang diambil seseorang dari sejumlah pilihan-pilihan rasional yaitu tindakan
yang dilakukan setelah mempertimbangkan manfaat dan kewajiban yang harus
dipenuhi.
Kapasitas organisasi berkaitan erat dengan kemampuan pengelolanyaterutama
tentang manajemen organisasi, manajemen program, manajemen keuangan,
manajemen SDM dan manajemen jaringan kerja.
6) Bidang Kemampuan Keuangan
Hal ini didasari pemikiran agar desa memiliki sumber dana pasti untuk menyusun
rencana pembangunan desa. Disamping dari dana perimbangan, desa menetapkan
berbagai pungutan retribusi, pancen dan lain-lain. Hanya saja proses penetapannya
tidak partisipatif sehingga realisasi dalam perhitungan APBDesa sangat rendah.
Komponen sumber pendapatan desa lainnya adalah provinsi dan sumbangan pihak
III yang tidak mengikat. Dengan diperbolehkannya desa mendapatkan pinjaman dari
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 41
pihak ketiga dapat merangsang desa untuk meningkatkan kapital ekonomi desa tapi
dapat juga menimbulkan permasalahan baru. Oleh karena itu, maka Perda harus
mengatur rambu-rambu yang tegas tentang syarat-syarat peminjaman dan
pengembaliannya. Hal lain yang dapat meningkatkan kemampuan keuangan desa
adalah peluang untuk mengembangkan Badan Usaha Desa, seperti adanya badan
kredit desa (BKD) sebagai hasil kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Dengan harapan semakin menguatnya kemampuan keuangan desa maka penghasilan
kepala desa, aparat desa dan lembaga lainnya dapat ditingkatkan.
3.6.3. Pemberdayaan Governance Desa
Upaya pemberdayaan governance desa memerlukan strategi dan arah program yang
tepat. Mengacu pada Friedman dalam Zudan (2004: 83), pemberdayaan dibedakan atas
pemberdayaan politik, sosial dan psikologis. Pemberdayaan politik diarahkan agar
intervensi birokrat diaras desa menjadi minimal dan membangkitkan animo governance
desa untuk melakukan pengaturan sendiri (self regulation).
Pemberdayaan sosial diarahkan pada upaya-upaya membangun organisasi modern di
desa dilakukan dengan cara merubah modus orientasi organisasi standardan sukarela yang
ada di desa yang semula bersifat tradisional dan subsisten menjadi organisasi modern.
Perubahan tersebut diawali dengan meninjau kembali tujuan organisasi, membangun sistem
akumulasi kapital internal, membangun sistem distribusi kapital eksternal yang merata.
Pemberdayaan psikologis dilakukan dengan cara meningkatkan kapital sosial,
reinternalisasi nilai-nilai terutama anarkisme dan alturisme.
Pembaerdayaan politik, sosial dan psikologis diarahkan agar terjadinya keseimbangan
interaksi diantara ketiga elemen governance desa. Keseimbangan interaksi tiap elemen
governance desa menjadi sangat penting agar ketiga komponen tersebut mampu melakukan
pengaturan sendiri (self-organizing), menjelaskan bahwa nilai-nilai dan norma merupakan
sosial kapital.
Disamping ketiga jenis pemberdayaan seperti dikemukakan Friedman, salah satu yang
sangat penting dan terlupakan adalah pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan desa dengan menjalin kerjasama
dengan usaha-usaha masyarakat. Peluang untuk ini tersedia dengan pengakuan UU No 32
tahun 2004 tentang keberadaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Badan usaha ini
hendaknya dijadikan wahana pengakumulasi kapital ekonomi internal dan juga sebagai
saluran utama bagi masuknya kapital ekonomi eksternal. Selama ini program instansi terkait
diaras desa dilakukan melalui organisasi standar perpanjangan tangan mereka di desa.
Hendaknya program instansi berkaitan dengan upaya-upaya peningkatan pendapatan
masyarakat dilakukan melalui Bumdes.
Otonomi ‘mandiri’ masyarakat desa sebagai sebuah alternatif atas kebuntuan aliran
pemikiran otonomi asli desa yang dimaknai sebagai otonomi adat dan otonomi yang
diberikan. Guna mewujudkan otonomi ‘mandiri’ masyarakat desa paling tidak ada 2 (dua)
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 42
hal yang dibutuhkan, yaitu: pertama, bagaimana mengurangi campur tangan birokrat atas
desa; dan kedua, bagaimana memberdayakan governance desa.
Pemberdayaan governance desa dimulai dengan memperjelas kewenangan desa.
Pemerintah kabupaten memfasilitasi governance desa untuk merumuskan kewenangan
desa. Berdasarkan rumusan kewenangan tersebut, maka governance desa membangun
organisasi sebagai pelaksana kewenangan tersebut.
Untuk mencapai hal ini, maka dalam UU No. 32 tahun 2004 mencoba mengarahkan
agar pemerintah kabupaten menetapkan Perdes yang mengembalikan kewenangan yang
pernah dimiliki oleh desa dan mengatur perimbangan keuangan antara kabupaten dan desa.
Selanjutnya, pengaturan lebih lanjut tentang desa ditetapkan dalam Perdes. Dengan rumusan
ini, maka kabupaten tidaklah leluasa mengintervensi desa dan sebaliknya governance desa
diberi ruang untuk mengatur dirinya sendiri. Hanya saja keleluasaan demikian mungkin saja
tidak dapat dimanfaatkan oleh governance desa untuk mengatur dirinya. Untuk itu, UU No.
32 tahun 2004 sebagai hasil revisi UU No. 22 tahun 1999 menegaskan bahwa peran
pemerintah kabupten cukup sebagai fasilitator guna meningkatkan keberdayaan governance
desa dalam bentuk bimbingan fasilitasi dan pemberian panduan bukan ‘pengaturan’,
sehingga arah UU No. 32 tahun 2004 diharapkan disamping dapat memperkuat
penyelenggaraan otonomi daerah, namun juga mempertegas bahwa desa sebagai subsistem
otonom dibangun dalam koridor otonomi daerah juga bukan otonomi politik. Apabila tidak,
maka esensi UU No. 32 tahun 2004 akan lebih menarik lagi kewenangan yang telah
diberikan atau resentralisasi.
3.7 Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Kawasan Perdesaan)
3.7.1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Pemberdayaan merupakan terjemahan dari “empowerment” pada intinya diartikan:
“membentuk individu untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri dalam
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan
dirinya, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan
tindakan.” Sementara Shardlow (1998: 32) mengatakan bahwa pemberdayaan membahas
bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka
sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka
sendiri.
Sesuai dengan pernyataan di atas, bahwa pemberdayaan adalah dalam perspektif
yang lebih luas yang sering diartikan hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar (basic
needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut
(safety net). Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa
yang disebut sebagai The Politics of Alternative Development, yang menghendaki adanya
“inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and sustainability or
intergenerational equity” (Friedmann, 1992). Selanjutnya, Kartasasmita (1996) mengutip
pendapat beberapa ahli dengan melukiskan konsep pemberdayaan itu sebagai suatu konsep
yang tidak mempertentangkan antara pertumbuhan dengan pemerataan, tetapi memadukan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 43
antara keduanya, karena sebagaimana dikatakan oleh Brown (1995), kedua konsep tersebut
tidak harus diasumsikan sebagai “tidak cocok atau berlawanan (incompatible or
antithetical)”.
Konsep pemberdayaan berusaha melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game”
dan “trade off”, dan bertitik tolak dari pandangan bahwa melalui pemerataan akan tercipta
landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan sekaligus akan menjamin pertumbuhan
yang berkelanjutan dengan perbaikan. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Kirdar
dan Silk (1995), “the pattern of growth is just as important as the rate of growth”. Hal yang
dikehendaki sebenarnya adalah “the right kind of growth” (Ranis, 1995) yakni bukan yang
vertikal dan menghasilkan “trickle-down”, karena sudah terbukti tidak berhasil, tetapi yang
bersifat horizontal (horizontal flows) yakni “broadly based, employment intensive, and not
compartmentalized”.
Sejalan dengan konsep para ahli di atas, Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa
memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap
kemiskinan dan keterbelakangan. Atau dengan kata lain, memberdayakan adalah
memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam konteks pemikiran tersebut, upaya
memberdayakan masyarakat haruslah diawali dengan menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang atau dikembangkan. Titik tolaknya
adalah pengenalan bahwa setiap manusia atau setiap masyarakat, memiliki potensi yang
dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena
apabila demikian adanya maka masyarakat tersebut sudah punah.
Pemberdayaan masyarakat tidak hanya meliputi penguatan individu, tetapi juga
berbagai pranatanya (institutions) berupa penguatan, misalnya dalam bentuk penanaman
nilai-nilai budaya modern, seperti: kerja keras, hemat, keterbukaan, dan sikap
bertanggungjawab yang menjadi bagian dari proses pemberdayaan masyarakat. Demikian
pula, pemberdayaan masyarakat juga menyangkut pembaharuan lembaga sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya,
khususnya yang menyangkut partisipasi dalam pengambilan keputusan dalam proses
pembangunan di lingkungannya. Atas dasar pandangan tersebut maka pemberdayaan
masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan nilai
demokrasi di masyarakat. Dalam konteks ini, Friedmann (1992), menyatakan “The
empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, places the
emphasis on autonomy in the decision-making of territorially organized communities, local
self-reliance (but not autarchy), direct (participatory) democracy, and experiental social
learning”.
Dengan demikian maka pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya untuk
membangun daya berupa kekuatan baru atau potensi yang dimiliki masyarakat, dengan
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya, sehingga orang atau masyarakat
menjadi berdaya, lepas dari ketergantungan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 44
3.7.2. Pemberdayaan dan Strategi Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu strategi atau merupakan paradigma
pembangunan yang dilaksanakan dalam kegiatan pembangunan masyarakat, khususnya
pada negara-negara yang sedang berkembang. Pemberdayaan masyarakat muncul
dikarenakan adanya berbagai kegagalan yang dialami dalam proses dan pelaksanaan
pembangunan yang cenderung sentralistis seperti community development atau
pengembangan komunitas. Pembangunan dengan model seperti ini tidak memberi
kesempatan langsung kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan,
terutama dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pemilihan pejabat,
perencanan, pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan.
Dalam hal keterkaitan pemberdayaan dan pembangunan sebelumnya Schumacher
(1973) lebih menekankan aspek ekonomi dibandingkan aspek politik dalam proses
pemberdayaan masyarakat, dengan menyatakan: economic development can succeed only if
it is carried for ward as a board popular “movement reconstruction” with the primary
emphasis on the full utilization of the drive, anthusiasm, intelligence an labour power of
every one. Sedangkan strategi yang paling tepat adalah dengan memberikan masyarakat
berupa sarana agar mampu dan dapat mengembangkan diri. Lebih lanjut Schumacher
mengemukakan bahwa, dalam proses pemberdayaan masyarakat NGO (nongovermental
organization) memiliki tempat yang istimewa dalam kaitannya membentuk kelompok
mandiri.
Perkembangan selanjutnya, Elliot (1987) menyatakan bahwa terdapat tiga strategi
pemberdayaan yang dapat dilakukan yaitu :
1) The Welfare Approach. Pendekatan ini mengarah pada pendekatan manusia dan
bukan untuk memberdaya masyarakat dalam menghadapi proses politik dan
pemiskinan rakyat.
2) The Development Approach. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan
proyek pembangunan untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian dan
keswadayaan masyarakat.
3) The Empowerment Approach. Pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan
sebagai akibat dari proses politik ataupun kekuasaan dan berusaha untuk
memberdayakan atau melatih rakyat untuk mengatasi ketidakberdayaan
masyarakat.
Friedmann (1992) menawarkan konsep atau strategi pembangunan yang populer
disebut dengan empowerment atau pemberdayaan. Konsep pemberdayaan ini adalah sebagai
suatu konsep alternatif pembangunan yang pada intinya memberikan tekanan pada otonomi
dalam mengambil keputusan di suatu kelompok masyarakat yang dilandaskan pada
sumberdaya pribadi, bersifat langsung, demokratis dan pembelajaran sosial melalui
pengalaman langsung. Fokus utama pemberdayaan, menurut Friedmann adalah sumberdaya
lokal, namun bukan berarti mengabaikan unsur-unsur lain yang berada di luar kelompok
masyarakat, bukan hanya ekonomi akan tetapi juga pendidikan, politik dan yang lainnya
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 45
agar masyarakat memiliki posisi tawar menawar yang seimbang, baik ditingkat lokal,
nasional, regional maupun internasional.
Strategi pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat merupakan upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan dan memandirikan, serta menswadayakan masyarakat sesuai
dengan potensi dan budaya lokal yang dimilikinya secara utuh dan konprehensif agar harkat
dan martabat lapisan masyarakat yang kondisinya tidak mampu dapat melepaskan diri dari
kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya meliputi
penguatan individu anggota masyarakat, tetapi pranata hidup yang ada dalam masyarakat
itu sendiri, perlu dan harus diberdayakan. Melalui strategi pemberdayaan masyarakat,
partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pembangunan akan semakin meningkat dari
waktu ke waktu.
3.7.3. Proses Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Perdesaan
Implementasi pemberdayaan masyarakat pada dasarnya tidak dapat berlangsung
begitu saja, namun dilaksanakan dengan proses yang sistematis dan berkelanjutan. Proses
pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan secara bertahap melalui tiga fase (Pranaka dan
Prijono, 1996) yaitu:
1) Fase Inisiasi. Fase ini merupakan fase pemberdayaan yang menggambarkan
bahwa semua proses pemberdayaan berasal dari pemerintah, dan masyarakat
hanya melaksanakan apa yang direncanakan dan diinginkan oleh pemerintah dan
tetap tergantung pada pemerintah.
2) Fase Partisipatoris. Fase ini merupakan fase pemberdayaan yang
menggambarkan bahwa proses pemberdayaan berasal dari pemerintah bersama
masyarakat, oleh pemerintah dan masyarakat, dan diperuntukkan bagi rakyat. Pada
dasarnya masyarakat sudah dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembangunan
untuk menuju kemandirian.
3) Fase Emansipatoris. Fase ini merupakan fase pemberdayaan yang
menggambarkan bahwa proses pemberdayaan berasal dari rakyat dan untuk rakyat
dengan didukung oleh pemerintah bersama masyarakat. Pada dasarnya fase
emansipatori ini masyarakat sudah dapat menemukan kekuatan dirinya sehingga
dapat dilakukan dalam mengaktualisasikan dirinya. Puncak dari kegiatan proses
pemberdayaan masyarakat ini adalah ketika pemberdayaan ini semuanya datang
dari keinginan masyarakat sendiri.
3.7.4. Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Perdesaan
Pada dasarnya pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan menempatkan
masyarakat tidak sebagai objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan
subjek dari upaya pembangunan itu sendiri. Berdasarkan konsep tersebut, maka
pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan (Sumodiningrat, Gunawan, 2002),
sebagai berikut: pertama, upaya itu harus terarah. Secara populer hal ini disebut sebagai
pemihakan. Upaya ini ditujukan langsung kepada masyarakat yang memerlukan, dengan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 46
program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua,
program tersebut harus langsung mengikutsertakan masyarakat atau bahkan dilaksanakan
oleh masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan. Mengikutsertakan masyarakat yang
akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni: agar bantuan tersebut efektif karena sesuai
dengan kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan masyarakat. Selain itu,
sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang,
melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan
ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok masyarakat, karena secara
sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya. Hal ini juga dalam lingkup bantuan menjadi terlalu luas apabila
penanganannya dilakukan secara individu. Jadi, pendekatan kelompok merupakan
pendekatan yang paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien.
Selanjutnya ada pendekatan yang banyak digunakan oleh berbagai Lembaga Suadaya
Masyarakat yaitu advokasi. Pendekatan advokasi pertama kali diperkenalkan pada
pertengahan tahun 1960-an di Amerika Serikat (Davidoff, 1965), dengan model pendekatan
ini mencoba meminjam pola yang diterapkan dalam sistem hukum, di mana penasehat
hukum berhubungan langsung dengan kliennya sendiri. Dengan demikian, pendekatan
advokasi menekankan pada proses pendampingan kepada kelompok masyarakat dan
membantu mereka untuk membuka akses kepada pelaku-pelaku pembangunan lainnya,
membantu mereka mengorganisasikan diri, menggalang dan memobilisasi sumberdaya
yang dapat dikuasai agar dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining position) dari
kelompok masyarakat tersebut. Pendekatan advokasi tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa pada hakekatnya masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang
masing-masing mempunyai kepentingan dan sistem nilai sendiri-sendiri. Masyarakat pada
dasarnya bersifat majemuk, di mana kekuasaan tidak terdistribusi secara merata dan akses
keberbagai sumberdaya tidak sama yang dapat diakibatkan letak geografis/wilayah,
transpotrasi dan keterjangkauan lainnya.
Selanjutnya, dengan pendekatan advokasi masyarakat dalam jangka panjang
diharapkan masyarakat mampu secara sadar terlibat dalam setiap tahapan dari proses
pembangunan itu sendiri, baik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
pelaporan, dan evaluasi. Dalam perkembangannya, pendekatan advokasi dapat pula
diartikan sebagai salah satu bentuk “penyadaran” secara langsung kepada masyarakat
tentang hak dan kewajibannya dalam proses pembangunan yang dilaksanakan.
3.7.5. Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Kawasan Perdesaan
Pasca reformasi 1998, kondisi masyarakat dan kawasan perdesaan belum
menunjukkan adanya perbaikan yang berarti. Malahan, sejak krisis ekonomi melanda
perekonomian nasional kondisi sosial dan ekonomi kawasan perdesaan cenderung semakin
memburuk. Banyak faktor berperan dibalik keadaan. Konsep pembangunan nasional yang
puluhan tahun cenderung merugikan kawasan dan masyarakat perdesaan. Sehingga untuk
memperbaiki keadaannya perlu perubahan yang fundamental dalam konsep pembangunan
nasional, khususnya pembangunan ekonomi masyarakat perdesaan.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 47
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses
untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara
proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk
mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat memiliki
keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat
merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan
membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang
dinamis.
Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup
lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan,
masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang
dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi,
sosial dan ekologi-nya. Secara ringkas keterkaitan antara pemberdayaan masyarakat dengan
sustainable development dapat digambarkan dalam kerangka pada gambar 3.3.
Selain itu, upaya pemberdayaan semestinya memfasiltasi dan mendorong masyarakat
pedesaan yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh dan petani untuk mampu
memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya sehingga mampu secara efisien dan menjamin
pemenuhan pangan serta memperoleh surplus yang dapat dijadikan modal.
Pada beberapa masyarakat lokal, telah tumbuh beberapa institusi tradisional yang
selama ini telah dimanfaatkan sebagai sarana untuk mencapai kegiatan produksi yang lebih
efisien disesuaikan dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki dan atau dikuasai oleh
masyarakat setempat.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 48
Gambar 3.3: Keterkaitan Pemberdayaan Masyarakat dengan Sustainable
Development
Dalam studi yang dilakukan Subejo dan Iwamoto, telah dapat diidentifikasi bahwa
masyarakat lokal di daerah dataran tinggi dengan keterbasan sumberdaya produksi telah
mengorganisasikan diri ke dalam kelompok atau grup melalui institusi pertukaran kerja
(labor exchange institutions) yang ternyata sangat efisien dan efektif.4
Terkait dengan mekanisme ekonomi, sebenarnya telah banyak upaya untuk
menciptakan institusi ekonomi dengan maksud meningkatkan akses masyarakat terhadap
pasar. Namun nampaknya kelembagaan ekonomi yang ada belum dapat sepenuhnya
memberikan manfaat langsung terhadap masyarakat. Salah satu contoh adalah pembentukan
koperasi pedesaan yang diarahkan pada penyediaan sarana prasarana produksi atau usaha di
beberapa tempat menunjukkan keberhasilan, namun pada banyak kasus justru mengalami
4 Subejo dan Supriyanto, 2004, Metodologi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, Short paper pada Kuliah
Intensif Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan, Study on Rural Empowerment (SORem)-Fak. Pertanian UGM
tanggal 16 Mei 2004.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 49
kegagalan karena tidak melibatkan masyarakat secara penuh. Manfaat dan keuntungan baru
dinikmati secara signifikan oleh pihak tertentu.
Subejo dan Supriyanto, mengidentifikasi bahwa beberapa institusi lokal-tradisional
terkait dengan ekonomi/pasar yang sebenarnya sudah mulai dikembangkan oleh masyarakat
secara swadaya (self-organizing). Munculnya kelompok simpan pinjam tradisional (arisan)
yang secara luas dikenal dengan rotation saving and credit associations (ROSCAs)
merupakan sumber permodalan lokal antar petani merupakan salah satu wujud
pemberdayaan petani secara internal. Di daerah pegunungan seperti di sekitar Gunung
Slamet Banyumas dengan keterbatasan semberdaya alam dan ekonomi, masyarakat lokal
secara kreatif menciptakan lembaga institusi lokal yang disebut dengan “prayaan” yang
menggabungkan prinsip ekonomi pasar dan keeratan hubungan sosial yang dikembangkan
untuk berbagai kegiatan produktif.5
Menurut pendapat Sadjad bahwa selama ini program pemberdayaan secara ekonomi
masih on farm centralism. Mestinya pemberdayaan lebih diarahkan supaya tumbuh
rekayasa agribisnis sehingga petani desa bisa menjadi pelaku bisnis yang andal dan akhirnya
bisa menjadi pusat bisnis masyarakat pedesaan yang menyejahterakan. Pembangunannnya
harus dari hilir, yaitu pasar yang melalui komponen tengah ialah agroindustri, baru hulunya
on farm business. 6
Sustainable development mensyaratkan adanya pengelolaan sumberdaya ekologi
secara bijaksana oleh warga masyarakat lokal. Dalam hal ini mekanisme ekologi mencakup
aspek lingkungan sekitar yang sangat luas bagi masyarakat. Termasuk di dalamnya
bagaimana masyarakat diberi kesempatan dan didorong untuk mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya ekologi-nya secara berkesinambungan, termasuk di dalamnya
fasilitas infrastuktur (saluran irigasi, jembatan, jalan, fasilitas publik lainya), hutan
masyarakat, penggembalaan umum, gunung, sungai dan lain sebagainya.
Beberapa ahli banyak memberikan kritik bahwa selama ini masyarakat cenderung
hanya dilibatkan sebagai obyek dalam pengelolaan sumberdaya ekologi, mereka jarang
sekali dilibatkan dalam perencanaan, pengambilan keputusan serta pengelolaan sumberdaya
ekologi tersebut. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat lokal sebenanya
memiliki kearifan dan kemampuan dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya
ekologi agar memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Terkait dengan mekanisme sosial, sebagian besar masyarakat di Indonesia dikenal
sebagai salah satu masyarakat di dunia yang mempunyai tradisi komunitarian paling kuat.
Tradisi komunitarian tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk social relationship yang
kuat, masyarakat kita telah banyak berinovasi dalam menciptakan social relationship yang
memberikan manfaat kepada warganya. Para ahli telah mangacu social relationship sebagai
suatu networking yang secara spesifik sering disebut dengan terminologi social capital
(untuk lebih jelas lihat dalam homepage World Bank). Saat ini sudah ada kesepahaman
5 Ibid
6 Sadjad,Sjamsoe`oed, 2000, Memberdayakan Petani Desa, Kompas 22 September 2000.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 50
bahwa social capital memiliki peran penting dan positif dalam memacu pertumbuhan
ekonomi. Transaksi-transaksi ekonomi akan berjalan dengan lebih efisien jika didukung
dengan social relationship yang mantap dan kuat.7
7 Laporan-laporan hasil studi World Bank tentang social capital dapat diakses melalui http://worldbank.org/poverty/scapital/
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 51
BAB IV
ARAH KEBIJAKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN
KAWASAN PERDESAAN
Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan
Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa, PP No. 60 tentang Dana Desa, serta dengan mempertimbangkan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 78 tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal, maka ada beberapa hal yang dapat dijadikan bahan rekomendasi untuk
menutup laporan evaluasi ini.
4.1 Arah Kegiatan Percepatan Pembangunan Kawasan Perdesaan Terpadu
Berdasarkan hasil laporan evaluasi pelaksanaan kegiatan Percepatan Pembangunan
Kawasan Perdesaan Terpadu (P2KPT) Tahun 2010-2014 maka kedepannya, kebijakan arah
kegiatan P2KPT Tahun 2015-2019 dengan memperhatikan hal-hal berikut ini.
4.1.1. Penentuan Lokasi Kawasan Sasaran
Penetapan lokasi (lokus) kawasan perdesaan dalam kegiatan P2KPT kedepannya
diharuskan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten dan kawasan
perdesaan sehingga menghindari adanya perubahan kawasan perdesaan yang menjadi lokasi
sasaran kegiatan pada saat proses pelaksanaan kegiatan sedang berjalan. Kawasan yang
dimaksud sebagai sasaran kegiatan P2KPT seyogyanya adalah kawasan yang memiliki
orientasi untuk pengembangan ekonomi kawasan, dan oleh karenanya kawasan sasaran
tersebut harus mempunyai ciri karakteristik potensi-potensi dan sumberdaya alam
pendukung pengembangan komoditi ekonomi yang relatif sama. Berbasis pada karakteristik
kondisi yang relatif sama tersebut maka bisa dikembangkan komoditi unggulan untuk
mendukung perkembangan perekonomian kawasan. Agar menghasilkan intepretasi yang
sama oleh daerah mengenai penentuan kawasan tersebut maka perlu dibuatkan Manual
Penentuan Kawasan yang memberikan petunjuk mengenai kriteria dasar penentuan kawasan
sasaran.
Kawasan perdesaan yang akan menjadi sasaran kegiatan tersebut idealnya terdiri dari
minimal 3 desa dan maksiml 5 desa, dimana desa yang masuk dalam kawasan perdesaan ini
tidak harus semuanya merupakan desa yang dikategorikan tertinggal.
Lokasi-lokasi kawasan sasaran yang sudah dipilih secara tepat tersebut harus
dirancang dalam sebuah komitmen perencanaan jangka menengah 5 (lima) tahun sesuai
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 52
dengan strategi pelaksanaan sebagaimana dijelaskan di dalam konsep P2KPT. Komitmen
perencanaan 5 tahun seyogyanya mengikuti pergantian kepemimpinan dan arah kebijakan
nasional sehingga memudahkan dalam mengukur capaian atas hasil pelaksanaan kegiatan
P2KPT sekaligus mengukur kinerja di dalam unit kerja KPDT. Komitmen perencanaan 5
tahunan tersebut, sesuai dengan strategi pelaksanaan P2KPT dimulai dengan kegiatan
penyusunan Master Plan Kawasan yang sebisa mungkin melibatkan berbagai baik antar K/L
di pusat, instansi pemerintah terkait di provinsi dan kabupaten, serta sektor swasta terkait.
Dengan demikian maka sinergi kegiatan dan pendanaan akan lebih optimal serta
menghindari tumpang tindih kegiatan di kawasan perdesaan.
4.1.2. Penguatan Kelembagaan Masyarakat
Dalam rangka penguatan kelembagaan masyarakat ini, kegiatan P2KPT harus
kembali pada substansi kegiatan pemberdayaan masyarakat karena kegiatan P2KPT lokus-
nya di desa (kawasan perdesaan). Komponen pokok yang harus ada dalam pemberdayaan
masyarakat antara lain penguatan kapasitas melalui pelatihan dan pendampingan kepada
masyarakat termasuk organisasi masyarakat setempat (OMS) serta partisipasi aktif dan
sukarela dari masyarakat.
Oleh karena itu, dengan sudah diterbitkannya UU dan PP tentang Desa maka perlu
dikaji kembali kemungkinan perubahan istilah-istilah yang ada pada kegiatan P2KPT untuk
disesuaikan dengan istilah-istilah yang ada pada UU dan PP tersebut. Misalnya Forum
Bedah Desa menjadi Badan Kerjasama Kawasan Perdesan, Balai Bedah Desa menjadi
Badan Kerjasama Antar Desa, dan sebagainya.
4.1.3. Perencanaan Kegiatan
Perencanaan kegiatan P2KPT sudah melibatkan masyarakat tetapi sifatnya baru
sebatas administrasi, belum pada perencanaan kegiatan yang sifatnya substantif. Artinya,
perencanaan yang betul-betul dibuat berdasarkan mekanisme musyawarah yang melibatkan
partisipasi aktif mayarakat untuk membuat usulan kegiatan P2KPT.
Kedepannya, dalam menyusun sebuah perencanaan kegiatan diwajibkan kepada
seluruh lokasi kegiatan P2KPT untuk menjadikan rencana jangka panjang menengah
(RPJM) Daerah, RPJM Desa dan rencana kerja pemerintah (RKP) Desa dengan melibatkan
pemerintahan desa dan masyarakat desa dalam penentuan usulan kegiatannya sebagai bukti
mereka berpartisipasi dalam proses pembangunan desa (kawasan perdesaan).
4.1.4. Penentuan Menu Kegiatan
Menu kegiatan P2KPT selama ini sebenarnya sudah sesuai dengan arah kebijakan
pembangunan kawasan perdesaan, yaitu infrastruktur sarana parasarana sosial dasar,
wilayah dan ekonomi. Menu kegiatan P2KPT yang diusulkan untuk dibangun harus
berdasarkan potensi ekonomi dan mendukung pengembangkan ekonomi kawasan perdesaan
tersebut. Oleh karena itu, dalam rangka lebih memfokuskan hasil pelaksanaan kegiatan
P2KPT kedepan, maka usulan menu kegiatan hendaknya mempertimbangkan:
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 53
1) Kabupaten dibolehkan mengajukan menu usulan kegiatan berupa sarana prasarana
sosial dasar dan wilayah untuk tahun ke 1, 2 dan 3;
2) Kabupaten yang telah mendapatkan 3 tahun kegiatan P2KPT harus masuk dalam
kegiatan suprastruktur ekonomi;
3) Menu kegiatan untuk infrastruktur sarana prasarana sosial dasar dan wilayah hanya
dibolehkan 1 (menu) kegiatan dan cakupan lokasi kegiatannya adalah antar desa
(2-3 desa) bukan 1 (satu) desa saja;
4) Menu kegiatan untuk suprastruktur dibolehkan lebih dari 1 (menu) kegiatan,
seperti menu pengadaan mesin penggilingan kopi dan menu pelatihan
operasionalnya tetapi dalam 1 (satu) paket menu kegiatan, termasuk didalamnya
juga menu pengembangan teknologi tepat guna dan sistem informasi manajemen
(SIM).
4.1.5. Pengembangan Ekonomi Kawasan
Kegiatan P2KPT sudah cukup berjalan baik, hanya ada beberapa hal yang perlu
dioptimalkan dalam pelaksanaannya mulai dari sosialisasi, perencanaan, menu kegiatan,
peran lembaga masyarakat (forum kawasan perdesaan - FKP dan balai kawasan perdesaan
- BKP), pelaksanaan, pengendalian dan evaluasinya. Hasil kegiatan dalam kurang waktu 5
tahun (RPJMN 2010-2014) ini masih belum cukup optimal dalam mendukung
pengembangan ekonomi kawasan perdesaan dikarenakan menu kegiatan yang menjadi
usulan masyarakat masih pada menu infrastruktur sarana prasarana sosial dasar dan wilayah,
sedangkan pengembangan ekonomi masih belum berjalan optimal. Oleh karena itu, kegiatan
pengembangan kawasan perdesaan kedepannya perlu dipertimbangkan untuk
mengembangankan kegiatan baru pada Keasdepan Urusan Perdesaan, KPDT tetapi, lokus
kegiatan suprastrutur dan investasi tersebut tetap dalam lokus kawasan perdesaan.
Kegiatan-kegiatan tersebut bisa berupa:
1) Kegiatan Suprastruktur Pengembangan Ekonomi dengan menambahkan
komponen kegiatan pengembangan ekonomi lokal dengan lokus kawasan
perdesaan.
2) Mengembangkan kelembagaan BKP menjadi lembaga yang berorientasi pada
pengembangan ekonomi lokal dan “pusat pembelajaran” (centre of exellent) bagi
pengembangan potensi-potensi ekonomi di kawasan sasaran.
3) Kegiatan Percepatan Investasi (accelarating and investment disadvantaged areas/
AIDA) dalam rangka menunumbuhkan ekonomi daerah dengan lokus kabupaten
(antar kawasan perdesaan).
4.1.6. Penguatan Kapasitas dan Pendampingan
Konsep strategi implementasi P2KPT yang dalam tahap 3 (tiga) tahun pertama
adalah pembangunan infrastruktur kawasan yang mencakup lintas desa yang diarahkan
untuk medukung percepatan pengembangan ekonomi masyarakat kawasan, dan pada tahap
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 54
2 (dua) tahun kedua diikuti dengan penguatan suprastruktur perekonomian masyarakat,
sangat menuntut strategi pemberdayaan yang kompleks. Kompleksitas pemberdayaan
tersebut meliputi 2 (dua) hal penting yaitu pelatihan-pelatihan pengembangan kapasitas dan
pendampingan terhadap kelembagaan-kelembagaan P2KPT.
Kegiatan-kegiatan pelatihan seperti pelatihan mekanisme perencanaan, pelatihan
manajemen pengelolaan kegiatan, pelatihan-pelatihan yang terkait dengan pengembangan
ekonomi kawasan, dll perlu diberikan kepada masyarakat dan para pelaku kegiatan P2KPT.
Pegembangan kapasitas yang sudah diberikan tidak dapat didiamkan begitu saja.
Peningkatan kapasitas yang sudah diberikan kepada para pelaku tersebut harus di dampingi
agar lebih berkembang dan memberikan keberlanjutan jangka panjang dengan melakukan
pembinaan dan pemberdayaan. Mekanisme intervensi pembinaan dan pemberdayaan
tersebut dilaksanakan melalui penyediaan jasa Konsultan Pendamping, yang pada
prinsipnya memiliki fungsi:
1) Memberdayakan peran dan fungsi perencanaan terintegrasi dari para pihak;
2) Memberdayakan peran dan fungsi pengorganisasian dari kelembaga-kelembaga
pelaku P2KPT dan kelembagaan pembangunan desa lainnya; dan
3) Memberdayakan fungsi untuk advokasi kebijakan-kebijakan daerah yang pro
pembangunan kawasan, dll. Starategi-strategi pemberdayaan dan penguatan
tersebut sekali lagi hanya bisa dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan
pendampingan.
4.1.7. Pendanaan
Pelaksanaan atau implementasi P2KPT tahun 2011 dan 2012 dilaksanakan dengan
mekanisme tugas pembantuan (TP) dimana masih mengakomodir tersediaya konsultan-
konsultan pendamping di kabupaten-kabupaten sasaran. Lepas dari pelaksanaan kegiatan
tahun 2011 dan 2012 yang masih lemah, namun daerah merasakan bahwa kegiatan P2KPT
memiliki aspek-aspek pengembangan kapasitas melalui berbagai bentuk pelatihan-pelatihan
bagi para pelaku kelembagaan P2KPT, dan kemudian para pelaku tersebut terlibat di dalam
proses perencanaan dan pengawasan implementasi kegiatan.
Periode tahun 2013 sampai tahun 2014 sifat-sifat pemberdayaan program tersebut
sangat berkurang akibat perubahan mekanis pendanaan dari TP ke Bansos (“murni”).
Bansos tersebut, dengan segala mekanisme peraturan yang ada di dalamnya, telah
mengurangi aspek pemberdayaan terutama dalam hal pelatihan dan pola pendampingan dari
P2KPT. Biaya pendampingan dan peningkatan kapasitas tidak bisa dibiayai oleh Bansos.
Bansos hanya diperuntukkan bagi “belanja barang” yang mekanisme implementasi
mengalami beberapa perubahan. Tahun 2013 dan 2014 dilaksanaan melalui lelang daerah.
Dengan mempertimbangkan penjelasan-penjelasan di atas, maka pelaksanaan
P2KPT ke depan akan lebih sesuai dan oleh karena itu dianjurkan untuk memakai meknisme
pendanaan melalui TP karena melalui mekanisme tersebut akan mampu:
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 55
1) Menumbuhkan komitmen daerah melakukan sharing pendanaan kegiatan selama
5 tahun, dimana untuk dapat mendukung sharing pendanaan akan dikeluarkan
perundangan atau peraturan daerah megenai pendanaan tersebut dan
peruntukannya;
2) Memungkinkan direalisasikannya penyediaan Konsultan Pendamping dan
kegiatan-kegiatan pelatihan bagi para pelaku P2KPT baik dari unsur pemerintah,
masyarakat, maupun sektor swasta; dan
3) Memungkinkan daerah lebih berperan aktif dalam perencanaan, implementasi, dan
pelaporan pelaksanaan kegiatan karena daerah mememiliki peran
pertanggungjawaban yang lebih besar atas pelaksanaan kegiatan.
4.1.8. Sinergisitas
Kosep “terpadu” dalam kegiatan Percepatan Pembangunan Kawasan Perdesaan
Terpadu (P2KPT) mengindisikan sebuah fokus yang merupakan kerjasama atar pihak
(multistakeholders) serta keterlibatan sumbangan kegiatan antar sektor. Arah keterpaduan
semacam ini belum maksimal terjadi dalam pelaksanaan P2KPT 2010 – 2014 baik dalam
lingkunp dukungan antar keasdepan di lingkungan KPDT maupun kerja sama dengan K/L
lain. Oleh karena itu implementasi pelaksanaan P2KPT ke depan harus diarahkan kepada
kerja sama antar pihak dan antar sektor sehingga pengembangan kawasan tertinggal
memiliki daya ungkit yang signifikan. Konsep “pengembangan kawasan” harus dirancang
sedemikian rupa menjadi konsep yang terbuka sehingga memungkinkan terjadinya kerja
sama antar pihak namun tetap menjaga fokus kegiatan pada pengembangan kesejahteraan
masyarakat kawasan.
Melihat dari kemanfaatannya yang begitu besar bagi masyarakat-masyarakat
kawasan sasaran yang umumnya berlokasi di daerah-daerah yang terisolir, dengan akses
yang minim terhadap pusat-pusat ekonomi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta
pelayanan publik lainnya, maka kegiatan-kegiatan yang dikembangkan melalui P2KPT bisa
dikatakan sebagai model investasi pembangunan yang strategis dalam upaya mengurangi
“ketertinggalan” masyarakat.
Melalui temuan-temuan analisa proses pelaksanaan P2KPT TA. 2010 sampai TA.
2014 dan rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan untuk perbaikan pelaksanaan P2KPT
ke depan, sangat dimungkinkan bahwa pelaksanaan P2KPT ke depan akan mampu
memberikan sumbangan yang lebih baik kepada masyarakat kawasan tertinggal di
kabupaten-kabupaten tertinggal lainnya.
4.2. Inisiasi Program Percepatan Integrasi Pembangunan Antar-Kawasan
Perdesaan
Pergeseran paradigma pembangunan yang mengutamakan pendekatan pembangunan
sektoral saat ini mulai bergeser dengan memperhatikan kebutuhan pembangunan
kewilayahan. Pendekatan kewilayahan berperan dalam memberi arahan kepada sektor untuk
memperhatikan karakteristik kebutuhan suatu wilayah. Untuk mendukung percepatan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 56
program/kegiatan diperlukan investasi sektor yang mempertimbangkan karakteristik
wilayah. Kunci utama untuk mewujudkan hal tersebut melalui dialog dengan semua
pemangku kepentingan agar dapat mewujudkan suatu koordinasi yang baik.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KPDT)
sebagai leading sektor pembangunan daerah tertinggal selama ini telah mengembangkan
beberapa program untuk melakukan percepatan antara lain, melalui:
1) Penyediaan layanan sosial dasar yang memadai bagi masyarakat; dan
2) Pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal.
KPDT selama ini juga telah melaksanakan pengembangan program-program antara
lain tiga (3) program regular utama melalui P2KPT, Program Produk Unggulan abupaten
(Prukab), Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) atau
Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA); serta dua (2) program pendukung
melalui yaitu Aceh Economic Development and Financial Facility (Aceh-EDFF) dan Nias
Local Economic Development Project (Nias-LEDP).8
Namun, program-program pembangunan daerah tertinggal yang telah dikembangkan
tersebut selama ini belum saling bersinergi secara komprehensif, sehingga hasil yang
8 Pelaksanaan Program P2DTK, Tahun 2005 s.d. 2012 dengan sumber pembiayaan dari Grant, Multi Donor
Fund (MDF Aceh-Nias) dan Loan, Bank Dunia; sedangkan Nias-LEDP dan Aceh-EDFF (Tahun 2009 s.d.
2012) bersumber dari grant MDF Aceh-Nias, terdapat beberapa best practice khususnya dalam menggarap
capacity building, integrasi perencanaan program dan pengembangan produk unggulan kabupaten. Best
practice pada program tersebut, akan memberikan hasil yang signifikan jika diterapkan dalam pelaksanaannya
pada Program Bedah Desa dan Prukab.
Sedangkan berdasarkan hasil Studi Pembelajaran PNPM Daerah Tertinggal (P2DTK): Perencanaan
Partisipatif dan Penyediaan Layanan Masyarakat oleh Bank Dunia bekerjasama dengan Lembaga Pattiro
pada Tahun 2011, disimpulkan bahwa :
1) Sub-proyek Program P2DTK cukup berhasil membantu pelayanan publik di daerah dengan cara
menyediakan layanan yang selama ini sulit diakomodasi oleh anggaran daerah. Penajaman fungsi sub-
proyek sebagai komplementer ini akan lebih meningkatkan efektivitas program.
2) Perbaikan model perencanaan dalam Program P2DTK dengan memasukkan unsur teknokratis, berhasil
memperkuat pematangan usulan dan referensi masyarakat. Di sisi lain hal ini memunculkan tantangan baru,
yang mensyaratkan adanya pengawasan masyarakat yang lebih kuat.
3) Integrasi perencanaan Program P2DTK dengan dengan Musrenbang reguler tidak otomatis terjadi,
walaupun peluang untuk itu sangat besar. Di berbagai wilayah integrasi terjadi lebih karena adanya faktor
ketokohan sebagai jembatan, belum didukung mekanisme dan struktur insentif yang disiapkan oleh
program secara khusus. Integrasi ‘vertikal’ khususnya masih menjadi tantangan yang besar. Misalnya, di
Kabupaten Poso diterbitkan Perda tentang Perencananaan Pertisipatif pada Tahun 2010 yang
mengakomodir ”Proses Kajian Teknis Program P2DTK” dalam Perda tersebut.
Disamping itu, berdasarkan hasil Evaluasi Bappenas Tahun 2011 terkait dengan pencairan dan penyaluran
dana Program P2DTK diambil kesimpulan bahwa kinerja P2DTK sangat memuaskan karena pencairan
dananya lebih dari 95% sehingga Bappenas merekomendasikan kepada Kementerian Keuangan dan Bank
Dunia bahwa Program P2DTK boleh dilakukan perpanjangan dari Desember 2011 menjadi Desember 2012
dalam rangka menyelesaikan kegiatan dan meningkatkan kinerja program P2DTK sendiri .
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 57
dicapai belum optimal berdampak siqnifikan dalam upaya percepatan pembangunan daerah
tertinggal. Program Bedah Desa dengan lokus garapan kawasan perdesan terpadu belum
bersinergi dengan program Prukab yang fokus pada garapan produksi unggulan. Jika kedua
program ini disinergikan dapat saling melengkapi, dimana hasil Bedah Desa dapat menjadi
masukan bagi Prukab dan sebaliknya Prukab dapat mendukung pelaksanaan sektor
unggulan yang dapat dikembangkan oleh P2KPT. Demikian juga dengan pelaksanaan
sinergi pelaksanaan Program P2DTK, Nias-LEDP, Aceh-EDFF khususnya untuk Aceh-
Nias.
Berdasarkan pelaksanaan Program P2DTK, Nias-LEDP, Aceh-EDFF dengan
pembiayaan dari loan dan grant pada beberapa tahun terakhir ini, maka terdapat beberapa
best practice khususnya dalam menggarap capacity building (peningkatan kapasitas) dan
pengembangan produk kabupaten. Best practice pada kedua program ini, akan memberikan
hasil yang signifikan jika diterapkan dalam pelaksanaan capacity building P2KPT dan juga
efektif dalam promosi investasi di program Prukab.
Oleh karena itu, dalam rangka untuk lebih mensinergikan program-program
khususnya di internal KPDT tersebut guna mendukung realisasi arah kebijakan dan strategi
pembangunan daerah tertinggal, salah satunya melalui pelaksanaan Program Percepatan
Integrasi Percepatan Pembangunan Antar-Kawasan Perdesaan yang dirancang dan
dikembangkan dengan mengacu pada Program P2DTK, P2KPT, Produk Unggulan
Kabupaten, Nias-LEDP dan Aceh-EDFF dengan tetap menjadi bagian dari PNPM Mandiri
secara linier sangat sesuai dan mendukung Nawakerja KDPDT2 Tahun 2015-2019. .
4.2.1. Konsep Dasar Program
Pelaksanaan program dengan konsep untuk mendukung sinergi antar program
strategis yang ada di internal KDPDT2. Adapun the project development objective, dari
program ini adalah meningkatkan integrasi pembangunan antar kawasan perdesaan,
meningkatkan pasar yang berkelanjutan dari produk primer prioritas (produk
unggulan), dengan mendorong kemitraan yang saling menguntungkan antara produsen
lokal, pemerintah daerah dan sektor swasta (atau forum bisnis) di kawasan perdesaan
yang dikembangkan. Hal ini akan dicapai melalui:
1) Pemilihan dan Pengembangan produk prioritas;
2) Penguatan kapasitas produsen di perdesaan dan pemerintah daerah;
3) Mengembangkan dan memperkuat kemitraan antara produsen, pemerintah
daerah dan sektor swasta atau forum bisnis dalam skema yang saling
menguntungkan;
4) Memfasilitasi kemitraan antara forum bisnis dengan mitra yang relevan;
Meningkatkan konektivitas daerah cluster untuk mendukung iklim usaha, dan
jasa.
4.2.2. Pendekatan, Prinsip dan Strategi Pengelolaan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 58
Program ini merupakan program peningkatan kapasitas pemerintah, pelaku
usaha dan masyarakat/ producer organization untuk melakukan percepatan
pembangunan ekonomi di kawasan perdesaan. Program ini dikembangkan dengan tetap
mempertemukan proses perencanaan pembangunan partisipatif dengan perencanaan
pembangunan reguler kabupaten, yang disinergikan dengan program prioritas pusat
pembangunan lainnya.
4.2.2.1 Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam program ini melalui:
1) Peningkatan Kapasitas, diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan
dan sumber daya manusia, baik pemerintah daerah, pelaku usaha maupun
masyarakat/ Pro;
2) Pemberdayaan Masyarakat, diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pelaku
usaha maupun masyarakat/ Pro berperan aktif dalam setiap proses tahapan kegiatan
pembangunan ekonomi daerah;
3) Keberlanjutan Matapencaharian Masyarakat, diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam keberlanjutan usaha dan atau produksi yang telah
dilaksanakannya selama ini;
4) Pengembangan Ekonomi Lokal, diarahkan untuk mengembangkan ekonomi
daerah dengan didasarkan pada potensi sumberdaya lokal (prioritas produk
unggulan) kabupaten, baik melalui pemerintah daerah, sektor swasta dan
kelembagaan/organisasi yang berbasis masyarakat setempat/ Pro;
5) Perluasan Kesempatan/Akses Terhadap Pelayanan Pembangunan, yang
diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah-daerah tertinggal dengan
menghubungkan ke pusat pertumbuhan ekonomi berbasis kawasan perdesaan
terpadu.
4.2.2.2 Prinsip
Dalam pengelolaan pelaksanaan program ini mendasarkan pada 10 (sepuluh)
prinsip, yaitu:
1) Desentralisasi, yaitu memberikan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan
serta menyelaraskan dan mengintegrasikan pelaksanaan program kepada
pemerintah daerah sesuai rencana pembangunan dan mekanisme reguler daerah;
2) Partisipatif, artinya mendorong keterlibatan masyarakat secara luas dan aktif
dalam proses pengambilan keputusan pada setiap tahapan persiapan, perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan program pembangunan di daerah;
3) Prioritas, artinya pengambilan keputusan mengutamakan kebutuhan masyarakat
(Producer Organization), sektor swasta dalam rangka membangun iklim investasi
yang kondusif;
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 59
4) Keberagaman, artinya kegiatan yang dilakukan sesuai kebutuhan, kondisi, dan
kekhususan daerah;
5) Terbuka, artinya informasi pengelolaan kegiatan program dapat diakses dan
diketahui oleh masyarakat luas dan semua pihak yang berkepentingan;
6) Kearifan Lokal, artinya memperhatikan adat istiadat dan budaya yang hidup
dalam masyarakat setempat;
7) Terpadu artinya pengelolaan kegiatan program dilakukan secara menyeluruh
(holistik) dalam satu kesatuan sistem dengan kegiatan pembangunan lainnya;
8) Berwawasan lingkungan, artinya harus mempertimbangkan dampak kegiatan
program terhadap kondisi lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya baik jangka
pendek, menengah maupun jangka panjang;
9) Dapat dipertanggungjawabkan, artinya pengelolaan kegiatan program
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan hasilnya dapat diterima
serta berdaya guna bagi masyarakat setempat; dan
10) Berkelanjutan, artinya hasil dan pelembagaan kegiatan program dapat dipelihara
dan dikembangkan dalam perencanaan pembangunan daerah selanjutnya.
4.2.2.3 Strategi
Adapun strategi yang ditempuh dalam melaksanakan Program ini melalui
antara lain:
1) Sinergi, yaitu penyelarasan antar program yang dilaksanakan dalam internal
lingkup KDPDT2 sebagai satu kesatuan instrumen pembangunan.
2) Integrasi, yaitu penyelarasan kegiatan antar program yang dilaksanakan di
daerah tertinggal, serta penyatupaduan pelaksanaan program ke dalam
mekanisme reguler.
3) Berbasis Kawasan, yaitu pelaksanaan kegiatan program mengacu secara
konsisten perencanaan pembangunan kawasan.
4) Penerapan analisis value chain dalam pelaksanaan kegiatan program.
4.2.3. Penerima Manfaat
Para penerima manfaat dari Program ini baik secara langsung maupun tidak
langsung, antara lain:
1) Pemerintah Daerah, dengan terlibat langsung aparatur dalam proses perencanaan
program, pelaksanaan, pengendalian dan pertanggungjawaban prgram kegiatan
program.
2) Pelaku usaha, dengan terlibat langsung dalam proses perencanaan program dan
pelaksanaan kegiatan program. Asosiasi dunia usaha (Kadinda, Kopinda, dsb);
productive partnership; producer organization;
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 60
3) Masyarakat, lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) dan perguruan tinggi,
dengan terlibat langsung aparatur dalam proses perencanaan program,
pelaksanaan, pengendalian dan pertanggungjawaban kegiatan program serta
pengembangan produk unggulan kabupaten
4.2.4. Kerangka Strategis
Berikut ini penjelasan kerangka strategis yang dapat tergambarkan secara
menyeluruh pada setiap komponen, seperti apa nantinya apabila program ini dilaksanakan.
4.2.4.1 Capacity Building
Tujuan dari komponen peningkatan kapasitas (capacity building) ini adalah dalam
rangka upaya meningkatkan kapasitas pelaku yang berperan penting dalam keberhasilan
program ini dan fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan mulai dari tingkat pusat, provinsi,
kabupaten dan kawasan perdesaan dari kegiatan persiapan, perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengelolaan, dan pemeliharaan serta keberlanjutan hasil-hasil kegiatan
program.
Pelatihan khusus akan berorientasi secara luas baik untuk manajemen proyek dan
pengetahuan implementasi dan kapasitas atau bidang keterampilan tertentu terkait dengan
konsep value chain, peluang mata pencaharian, peningkatan prioritas produksi, productive
partnership, dsb.
Komponen capacity building dibagi berdasarkan sub komponen sbb.
1) Capacity Building for National and Local Government,
Peningkatan kapasitas lebih difokuskan pada kemampuan perencanaan
pembangunan daerah yang terintegratif termasuk salah satunya dengan program
yang berada dibawah internal KDPDT2 dan program sector lainnya terutama
program-program penanggulangan kemiskinan, pengelolaan keuangan program
dan daerah yang baik dan transparan, proses pengadaan barang dan jasa yang
transparan, fasilitasi pengembangan sektor usaha (pembentukan pelayanan
perijinan satu pintu, kerjasama regional dan kawasan, productif partnership) dan
pengelolaan sumber daya alam melalui peningkatan prioritas produk daerah.
2) Capacity Building for Business Actor
Peningkatan kapasitas lebih fokus pada usaha mendorong pelaku usaha untuk
berpartisipasi aktif dalam perencanaan pembangunan daerah dan kerjasama
antar daerah, mendorong pemerintah agar menfasilitasi pelaksanaan productive
partnership, pendampingan producer organization dan membangun jaringan
kerjasama pelaku usaha di luar daerahnya.
3) Capacity Building for Community
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam program lebih difokuskan pada
kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan sederhana, seperti fasilitasi
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 61
persiapan pembentukan pelaku program, proses perencanaan berbasis kawasan
atau pun perdesaan, pelaksanaan community procurement baik dan transparan,
pemantauan program yang efektif dan efisien, pengendalian sub project yang
dilaksanakannya dan keberlanjutan programnya.
Prinsip-prinsip dalam peningkatan kapasitas program ini, antara lain:
1) Salah satu prioritas utama peningkatan kapasitas pelaku program ini adalah sektor
swasta, masyarakat/ producer organization di tingkat kawasan perdesaan.
2) Hasil yang diharapkan dari peningkatan kapasitas adalah adanya peningkatan kapasitas
pemerintah daerah dan sektor swasta untuk melaksanakan dan mendukung program
mata pencaharian dan prioritas produk daerah, meningkatkan kerja yang berhubungan
dengan keterampilan dan peluang bagi masyarakat (producer organization) kawasan
pedesaan melalui dukungan pelatihan pendukung pengembangan prioritas produk lokal,
dan pengurangan kerentanan masyarakat kawasan pedesaan terhadap factor eksternal
yang masuk dalam kawasan tersebut. Hal ini dimaksudkan bahwa program ini akan terus
membangun dan memperkuat prinsip-prinsip yang juga sudah ada dalam peningkatan
kapasitas untuk mencapai hasil tersebut. Ini termasuk:
a. Mengadopsi pendekatan terpadu untuk pelatihan keterampilan untuk diterapkan
aparat pemda, sector swasta dan masyarakat, meningkatkan informasi, dan
komunikasi bagi masyarakat setempat, dan meningkatkan metode perencanaan yang
partisipatif;
b. Mengarahkan pengingkatan kapasitas menuju jamininan keberlangsungan jenis
program infrastruktur yang mendukung pengembangan prioritas produk, membuka
peluang mata pencaharian dan productive partnershiop yang didukung melalui
program
c. Memfokuskan upaya pada pendamping program, sektor swasta, dan Pro di kawasan
perdesaan, kabupaten dan provinsi;
d. Mendorong pengintegrasian dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah
daerah dan prosedur administrasi di tingkat lokal;
e. Mempromosikan koordinasi dan lintas-learning peluang dalam program di internal
KDPDT2 dan dengan program-program kemiskinan di kawasan perdesaan, dsb;
f. Meningkatkan kapasitas pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam
melakukan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan di
daerah yang didukung oleh program.
g. Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menyusun
pelaporan-pelaporan program yang dikelolannya.
3) Sementara mengadopsi peningkatan kapasitas dari program/kegiatan sebelumnya,
seperti proses sinergi dengan perencanaan pembangunan regular dengan program
penanggulangan kemiskinan yang ada di kawasan perdesaan sehingga tidak terjadi
adanya tumpang tindih program yang bersamaan lokasinya, proses kajian teknis yang
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 62
melibatkan multistakholder untuk menghasilkan kegiatan yang berkualitas yang
diinginkan program dalam rangka mendukung kegiatan pembangunan daerah. Program
ini tidak bekerja sebagai proyek yang berdiri sendiri, tetapi akan bekerja sama dengan
provinsi, kabupaten, kawasan lain dan membantu mereka merampingkan prosedur
internal mereka untuk menguntungkan semua proyek dan program dan untuk
memperkuat proses desentralisasi, partisipasi, perbaikan mata pencaharian dan
productive partnership dalam rangka peningkatan prioritas produk daerah.
4) Salah satu pelajaran utama dari program ini adalah lemahnya kemampuan pendamping
dan sektor swasta dalam rangka mendorong regulasi daerah yang cukup mendukung
terciptanya iklim yang kondusif bagi pelaku usaha dan investasi di kawaan perdesaan
sehingga program ini dapat lebih fokus dalam kemampuan pendampingan perubahan
regulasi yang kondusif bagi pelaku usaha ini.
5) Berdasarkan alokasi dana untuk peningkatan kapasitas pelaku program dari tingkat
pusat, provinsi, kabupaten dan kawasan, baik dari unsur pemerintah, sector swasta
maupun masyarkaat/ producer organization melalui pelatihan manajemen proyek,
pelatihan administrasi dan teknis pelaksanaan sub project akan dikoordinasikan dengan
lembaga keuangan. Kegiatan peningkatan kapasitas melaui pelatihan/ kegiatan
sejenisnya akan memberikan rincian juga termasuk tujuan dari acara tersebut, jumlah/
tingkat kelompok sasaran, perkiraan biaya, lokasi program, durasi acara, dan rincian lain
yang relevan. Sedangkan untuk kegiatan peningkatan kapasitas yang dibiayai oleh
pemerintah baik pusat, provinsi maupun kabupaten mengikuti mekanisme penggunaan
anggaran oleh pemerintah.
Kebutuhan peningkatan kapasitas (capacity building = CB) untuk pemerintah daerah,
sector swasta dan masyarakat (forum bedah desa, balai bedah desa, tim kajian teknis, tim
pengelola kegiatan)/ Producer organization (tim pelaksana kegiatan) dari tingkat pusat,
provinsi, kabupaten dan kawasan perdesaan.
4.2.4.2 Pengembangan Produk Unggulan Daerah dan Usaha (Prioritized Product
and Its Business Development)
Komponen ini bertujuan memberikan dukungan investasi untuk kabupaten, yang
berfokus pada pengembangan bisnis dan fasilitas produktif bagi tenaga kerja lokal dan
peningkatan pendapatan berdasarkan produk unggulan lokal yang diprioritaskan di kawasan
perdesaan yang dibangun. Komponen ini juga akan memfasilitasi pemilihan produk paling
prioritas di antara berbagai alternatif produk lokal primer prioritas; mengembangkan standar
proses dan kualitas untuk memenuhi kebutuhan target pasar; dan mempromosikan produk
yang diprioritaskan melalui percontohan (piloting) jaringan pasar yang lebih baik dan
inovasi bisnis di kawasan perdesaan.
Komponen ini akan memiliki tiga sub komponen, yaitu :
1) Fasilitasi Pengembangan Produk
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 63
Subkomponen ini dirancang untuk membantu kabupaten dan tim kabupaten untuk
melakukan identifikasi, memilih dan membuat prioritas produk primer yang
tersedia di kabupaten, serta untuk mengembangkan lebih jauh sebagai inti dari
bisnis. Identifikasi dan seleksi produk akan dilakukan dengan pendekatan
partisipatif multi-stakeholder di bawah kepemimpinan multi-stakeholder forum
atau balai kawasan perdesaan (BKP) dengan dukungan dari fasilitator kabupaten.
Subkomponen tersebut akan membiayai hal-hal berikut ini, antara lain kegiatan:
penelitian, analisis dan peningkatan kualitas dan sertifikasi produk prioritas,
identifikasi kapasitas pasokan bahan baku, identifikasi peluang pasar, analisis
rantai nilai (value chain), dan identifikasi kendala di sepanjang rantai pasokan dari
produk prioritas serta penyusunan Prospektus Produk dan Prospektus Bisnisnya.
Hanya produk-produk primer yang diprioritaskan oleh BKP yang akan
dipertimbangkan untuk pembiayaan dengan subkomponen satu (1) ini.
2) Fasilitasi Produksi
Subkomponen ini dirancang untuk membantu kabupaten dan kelompok produsen
agar dapat menghasilkan produk diprioritaskan dalam skala percobaan semi
komersil (pilot scale), yaitu, produksi awal sebagai model untuk menetapkan
standar kualitas produk, percobaan pemasaran, percobaan pengolahan, pelatihan
keterampilan, pengembangan dan penyempurnaan pelaksanaan sistem produksi
seperti misalnya perbaikan kualitas dan produktivitas untuk memenuhi persyaratan
dan kebutuhan pasar dan atau untuk meningkatkan kegiatan produksi yang ada bila
diperlukan. Subkomponen ini akan membiayai hal-hal berikut ini:
a) Penyediaan fasilitas pengolahan kecil (pilot plant) untuk percobaan
pengolahan, pengembangan produk dan inovasi, pengembangan ketrampilan
(fasilitas pelatihan) dan sebagai sarana yang memungkinkan untuk
menghasilkan sampel produk baru yang dikembangkan atau ditingkatkan
untuk percobaan pemasaran dan negosiasi, dengan kapasitas yang sesuai;
b) Modal kerja untuk mendukung kegiatan produksi selama 12 bulan dalam skala
pilot;
c) Penyusunan Studi Kelayakan Ekonomi dan Rencana Bisnis produk prioritas;
dan
d) Pelatihan teknis.
Untuk kabupaten yang produk prioritasnya telah berada di tahap pengembangan
usaha, subkomponen ini akan membiayai teknologi tepat guna yang dibutuhkan
dan fasilitas produksi untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka.
3) Pengembangan Kemitraan Produktif
Subkomponen ini dirancang untuk membantu kabupaten dan kelompok produsen
dapat berhubungan dengan mitra produktif, yaitu dengan menyiapkan,
mempromosikan dan menegosiasikan skema kemitraan produktif yang saling
menguntungkan antara produsen lokal, pemerintah daerah dan sektor swasta (atau
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 64
forum bisnis). Pengembangan skema kemitraan produktif akan dilakukan dengan
pendekatan partisipatif multi-stakeholder, di bawah kepemimpinan BKP dengan
dukungan dari fasilitator kabupaten. The subkomponen ini akan membiayai hal-
hal sebagai berikut:
a) Forum Diskusi Kelompok antara multi pihak (BKP) untuk mempersiapkan
skema investasi dan skema kemitraan;
b) Identifikasi Mitra Potensial melalui lokakarya secara serial dan partisipasi
dalam pameran nasional yang relevan; dan
c) Urusan legalitas kemitraan produktif.
4) Meningkatkan Iklim Investasi Daerah
Subkomponen ini akan mendukung kegiatan pembentukan dan penguatan forum
multi-stakeholder dan kelompok produktif, tinjauan peraturan daerah dan
rekomendasi untuk perbaikannya; pengembangan pelayanan perizinan terpadu
satu pintu (PTSP); membantu kelompok produsen untuk mendapatkan akses untuk
membiayai dan jasa manajemen risiko; diseminasi Informasi yang berkaitan
dengan urusan investasi.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 65
BAB V
GRAND DESIGN PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
5.1. Tujuan
Grand Design Pengembangan Kawasan Perdesaan (GD-PKP) Tahun 2015-2019
bertujuan untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan pembangunan dan pengembangan
perdesaan di daerah tertinggal dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten,
terintegrasi, melembaga dan berkelanjutan di Keasdepan Urusan Perdesaan. Kebijakan
pelaksanaan pelaksanaan pembangunan dan pengembangan kawasan perdesaan ini meliputi
visi, arah kebijakan dan strategi pembangunan nasional, arah kebijakan dan strategi
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggali dan Transmigrasi (KDPDT2), arah
kebijakan dan program Kedeputian Pengembangan Daerah Khusus; arah kebijakan
Pengembangan Kawasan Perdesaan, visi, misi, tujuan, dan sasaran Pengembangan Kawasan
Perdesaan selama kurun waktu 2015-2019 dalam hal berikut ini:
1) Analisis potensi ekonomi perdesaan (kawasan Perdesaan) dan bantuan bagi
masyarakat desa-desa tertinggal melalui pengembangan kawasan perdesaan dan
pengembangan ekonomi lokal berdasarkan karakteristik masing-maisng darah;
2) Peningkatan dan Penguatan Fasilitasi Pembangunan Kawasan Perdesaan dengan
mendorong pengembangan produksi ekonomi kawasan perdesaan;
3) Pemantapan Kerjasama Pembangunan Kawasan Perdesaan dengan pihak-pihak
terkait baik dalam bidang kelembagaan masyarakat, kelembagaan ekonomi dan
keuangan perdesaan maupun perekonomian kawasan pedesaaan.
GD-PKP 2015-2019 ini menjadi pedoman dalam penyusunan Grand Design dan Grand
Strategy Pembangunan dan Pengembangan Perdesaan, serta kawasan perdesaan di daerah
tertinggal. Selanjutnya, GDRM-PPDT 2015-2019 dapat dijadikan pedoman utamanya
Keasdepan di Lingkungan Kedeputian Pengembangan Daerah Khusus dan Keasdepan di
Lingkungan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kementerian/Lembaga
lainnya serta Pemerintah Daerah dalam menyusun road map masing-masing dalam
pelaksanaan pembangunan perdesaan di daerah tertinggal.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 66
5.2. Visi Pembangunan Nasional (RPJPN 2005-2025)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025, visi pembangunan nasional adalah INDONESIA YANG
MANDIRI, MAJU, ADIL, DAN MAKMUR.
Strategi untuk melaksanakan Visi dan Misi tersebut dijabarkan secara bertahap dalam
periode lima tahunan atau RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Masing-
masing tahap mempunyai skala prioritas dan strategi pembangunan yang merupakan
kesinambungan dari skala prioritas dan strategi pembangunan pada periode-periode
sebelumnya.
Tahapan skala prioritas utama dan strategi RPJM secara ringkas adalah sebagai
berikut:
RPJMN I (2005–2009) diarahkan untuk menata kembali dan membangun
Indonesia di segala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman
Bagan 5.1:
Kerangka Pikir Grand Design dan Road Map
Pengembangan Perdesaan di Daerah Tertinggal, Tahun
2015-2019
VISI PEMBANGUNAN NASIONAL
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
VISI DAN MISIPENGEMBANGAN PERDESAAN
TUJUAN & SASARAN PENGEMBANGAN PERDESAAN
SASARAN TAHUNANPENGEMBANGAN PERDESAAN
PERMASALAHAN
GRAND DESIGN PENGEMBANGAN PERDESAAN TAHUN 2015-2019
ROADMAP PENGEMBANGAN PERDESAAN 2015-2019
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 67
dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya
meningkat.
RPJMN II (2010–2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali
Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya
saing perekonomian.
RPJMN III (2015–2019) ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara
menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif
perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia
berkualitas serta kemampuan iptek yang terus meningkat.
RPJMN IV (2020–2025) ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang
dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan
keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan
berdaya saing.
Bagan 5.2:
Pentahapan Pembangunan Dalam RPJPN 2005-2025
Skala Prioritas RPJMN III (2015-2019) sebagai berikut:
1) Makin mantapnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi dengan menitikberatkan
pada prinsip toleransi, nondiskriminasi, dan kemitraan, semakin mantapnya
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan iptek, memperkuat daya saing perekonomian
RPJM 4 RPJPN 2005-2025
(2010-2014)
(2005-2009) NKRI,
NKRI, membangun
aman dan damai,
demokratis,
kesejahteraan yang
PENTAHAPAN PEMBANGUNAN
(2020-2024)
RPJM 3 (2015-2019)
RPJM 2
RPJM 1
Menata kembali
Indonesia yang
yang adil dan
dengan tingkat
lebih baik.
Memantapkan penataan kembali
meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan iptek, memperkuat daya saing perekonomian
Memantapkan pem- bangunan secara menyeluruh dengan menekankan pem- bangunan keung- gulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan iptek
Mewujudkan masya- rakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan di segala bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 68
2) Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan semakin mantap Melalui daya dukung
lingkungan dan kemampuan pemulihan; untuk mendukung kualitas kehidupan
sosial dan ekonomi secara serasi, dan lestari; terus membaiknya pengelolaan dan
pendayagunaan SDA; Diimbangi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup dan
didukung meningkatnya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat; serta
semakin mantapnya kelembagaan dan kapasitas penataan ruang di seluruh wilayah
Indonesia.
3) Ketersediaan infrastruktur yang sesuai dgn rencana tata ruang Melalui
berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi; Terpenuhinya pasokan tenaga
listrik yang handal dan efisien sesuai kebutuhan sehingga eletrifikasi rumah tangga
dan elektrifikasi perdesaan dapat tercapai, serta terwujudnya konservasi sumber
daya air, pengembangan sumber daya dan terpenuhinya penyediaan air minum
untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
4) Pengembangan infrastruktur perdesaan akan terus dikembangkan, terutama untuk
mendukung pembangunan pertanian.
5.3 Visi dan Misi Presiden Jokowo -Jusuf Kalla
Visi : Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian
berlandaskan gotong royong.
Misi :
1) Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi, dengan mengamankan sumber daya
maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara
kepulauan;
2) Mewujudkan masyarakat maju berkeseimbangan, dan demokratis
berlandaskan negara hukum;
3) Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif;
4) Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan
sejahtera;
5) Mewujudkan bangsa yang berdaya saing;
6) Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat,
dan berbasis kepentingan nasional; dan
7) Mewujudkan masyarakat berkepribadian dalam kebudayaan.
5.3.1 Nawacita
Nawacita, Sembilan (9) Agenda Prioritas era Presiden Joko Widodo - Jusuf Kalla
sebagai berikut:
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 69
1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.
2) Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan
yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan;
4) Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan
hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya;
5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia;
6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional;
7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik;
8) Melakukan revolusi karakter bangsa; dan
9) Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
5.3.2 Prioritas dari Nawacita
5.3.3 Delapan Strategi Pembangunan
1) Penguatan tata kelola desa yang baik, melalui:
a) Penyusunan peraturan pelaksanaan UU Desa;
b) Meninjau ulang dan menyusun peraturan perundang-undangan terkait dengan
UU Ketransmigrasian, PP Percepatan Pembungunan Daerah Tertinggal;
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 70
c) Peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat desa.
2) Mempercepat pemenuhan standar pelayanan minimum untuk pelayanan dasar di
perdesaan, daerah tertinggal dan kawasan transmigrasi
3) Penguatan pendanaan pembangunan yang bersumber dari APBN, APBD, Dunia
Usaha, dan Masyarakat.
4) Mendorong investasi yang meningkatkan produktivitas rakyat;
5) Memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
6) Memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang keamanan, adminitrasi
kependudukan, pertanahan, akta-akta, dan sebagainya;
7) Peningkatan koneksitas melalui penyediaan infrastruktur transportasi dan
perhubungan di pedesaan, daerah tertinggal dan kawasan transmigrasi; dan
8) Peningkatan dan Penguatan koordinasi lembaga pusat dan daerah dan antar daerah.
5.4. Pengembangan Wilayah dan Pembangunan Kawasan Perdesaan (RPJMN 2015-
2019)
5.4.1 Sasaran Utama Pengembangan Wilayah
1) Untuk percepatan dan perluasan pengembangan ekonomi wilayah, sasarannya adalah:
a) Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di masing-masing pulau
dengan memanfaatkan potensi dan keunggulan daerah, termasuk diantaranya
adalah pengembangan 10 KEK, 13 KAPET, 4 KPBPB, 169 KPI.
b) Percepatan pembangunan ekonomi nasional berbasis maritim (kelautan)
dengan memanfaatkan sumber daya kelautan, yaitu peningkatan produksi
perikanan; pengembangan energi dan mineral kelautan; pengembangan
kawasan bahari; dan kemampuan industri maritim dan perkapalan, dengan
sasaran :
c) Peningkatan produksi perikanan tangkap dan budidaya sebesar 48 juta ton
pada tahun 2019 (termasuk rumput laut);
d) Peningkatan dan pengembangan jumlah kapal perintis 75 unit untuk
menghubungkan pulau besar dan pulau-pulau kecil dan 100 lintas subsidi
perintis;
e) Pengutuhan dan penambahan luasan kawasan koservasi laut dari 15,7 juta ha
(tahun 2013) menjadi 20 juta ha (tahun 2019);
f) Pengembangan energi dan mineral kelautan, serta kawasan wisata bahari;
g) Peningkatan cakupan pengawasan sumber daya perikanan dan kelautan
menjadi 53,4 persen terhadap wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
2) Untuk menghindari terjadinya kesenjangan antar wilayah di masing-masing pulau,
sasarannya adalah pembangunan daerah tertinggal sebanyak 75 Kabupaten tertinggal
dapat terentaskan dengan sasaran outcome:
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 71
a) Meningkatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar
7,35 persen;
b) Menurunnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal menjadi 12,5
persen; dan
c) Meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah tertinggal
sebesar 71,5.
3) Untuk mendorong pertumbuhan pembangunan kawasan perkotaan, utamanya di luar
Jawa, sasarannya adalah:
a) Percepatan pembangunan 5 Pusat Kegiatan Nasional (PKN) perkotaan baru;
b) Peningkatan efisiensi pengelolaan 7 PKN yang sudah ada saat ini; dan
c) Optimalisasi peran 20 kota otonom berukuran sedang di luar Jawa sebagai
penyangga (buffer) urbanisasi.
4) Sementara itu, sesuai dengan amanat UU No. 6/2014 tentang Desa, maka akan
dilakukan pembangunan perdesaan dengan sasaran: Mengurangi jumlah desa
tertinggal dari 26 persen (2011) menjadi 20 persen (2019).
5) Untuk meningkatkan keterkaitan pembangunan kota-desa, sasarannya adalah
mewujudkan 39 pusat pertumbuhan baru perkotaan sebagai Pusat Kegiatan Lokal
(PKL) atau Pusat Kegiatan Wilayah (PKW).
6) Untuk mewujudkan kawasan perbatasan sebagai halaman depan negara yang berdaulat,
berdaya saing, dan aman, sasarannya adalah: pengembangan 26 Pusat Kegiatan
Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan
negara yang dapat mendorong pengembangan kawasan sekitarnya, terutama 187 lokasi
prioritas (lokpri) perbatasan.
7) Untuk mengurangi risiko bencana, maka sasaran penanggulangan bencana adalah:
mengurangi indeks risiko bencana pada PKN dan PKW yang memiliki indeks risiko
bencana tinggi, baik yang berfungsi sebagai KEK, KAPET, KSN, ataupun PKSN.
8) Untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan,
maka sasaran penataan ruang meliputi:
a) Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b) Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c) Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
9) Untuk penguatan tata kelola pemerintahan dan peningkatan kapasitas aparatur
pemerintah daerah, sasaran yang perlu dicapai adalah:
a) Meningkatnya proporsi penerimaan pajak dan retribusi daerah sebesar 40
persen untuk provinsi dan 15 persen untuk kabupaten/kota;
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 72
b) Meningkatnya proporsi belanja modal dalam APBD provinsi sebesar 35
persen dan untuk Kabupaten/Kota sebesar 45 persen pada tahun 2019 serta
sumber pembiayaan lainnya dalam APBD;
c) Meningkatnya jumlah daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa
pengecualian (WTP), sebesar 85 persen untuk provinsi dan 60 persen untuk
kabupaten/kota;
d) Terbentuknya kerjasama daerah, terutama dalam rangka percepatan
konektivitas dan peningkatan pelayanan publik;
e) Tersusunnya Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang tepat fungsi dan
ukuran sesuai dengan karakteristik wilayah Papua;
f) Meningkatnya kualitas dan proporsi tingkat pendidikan aparatur sipil negara
untuk jenjang S1 sebesar 20 persen, S2 sebesar 5 persen, dan S3 sebesar 5
persen; dan
g) Meningkatnya implementasi pelaksanaan SPM di daerah, khususnya pada
pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Tabel 5.1:
Sasaran Tingkat Pengangguran per Wilayah Tahun 2015-2019
Tabel 5.2:
Sasaran Tingkat Kemisknan per Wilayah Tahun 2015-2019
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 73
Tabel 5.3:
Sasaran Tingkat Ekonomi per Wilayah Tahun 2015-2019
5.4.2 Arah dan Strategi Pembangunan Desa dan Kawasan Kawasan Perdesaan
1) Penanggulangan kemiskinan di Desa, melalui strategi:
a) Meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat desa melalui fasilitasi,
pembinaan, maupun pendampingan dalam pengembangan usaha, bantuan
permodalan/kredit, dan kesempatan berusaha;
b) Menyiapkan kebijakan jaring pengaman sosial melalui jaminan sosial bagi
masyarakat desa.
2) Pemenuhan Standar Pelayanan Minimum sesuai dengan kondisi geografis desa,
melalui strategi:
a) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana dasar, baik perumahan,
sanitasi, air minum, pendidikan dan kesehatan;
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 74
b) Meningkatkan ketersediaan jaringan listrik dan telekomunikasi.
3) Pembangunan Sumber Daya Manusia, Keberdayaan, dan Modal Sosial Budaya
Masyarakat Desa, melalui strategi:
a) Mengembangkan pendidikan berbasis ketrampilan dan kewirausahaan;
b) Mengembangkan peran aktif masyarakat dalam pendidikan dan kesehatan;
c) Meningkatkan perlindungan masyarakat adat termasuk hak atas tanah
adat/ulayat;
d) Memberdayakan masyarakat desa/masyarakat adat dalam mengelola dan
memanfaatkan tanah dan SDA termasuk pengelolaan kawasan pesisir dan laut
yang berkelanjutan;
e) Menguatkan partisipasi kelompok/lembaga masyarakat desa termasuk
perempuan dan pemuda dalam pembangunan desa;
f) Meningkatkan kapasitas SDM dalam pemanfaatan IPTEK dan Teknologi
Tepat Guna.
4) Penguatan Pemerintahan Desa dan masyarakat Desa, melalui strategi:
a) Melengkapi dan mensosialisasikan peraturan pelaksanaan UU No. 6/2014
tentang Desa;
b) Meningkatkan kapasitas pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan
kader pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring pembangunan desa, pengelolaan keuangan desa serta pelayanan
publik melalui fasilitasi, pelatihan, dan pendampingan;
c) Menyiapkan data dan informasi desa yang digunakan sebagai acuan bersama
perencanaan dan pembangunan desa.
5) Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup berkelanjutan, penataan
ruang kawasan perdesaan, serta mewujudkan kemandirian pangan, melalui
strategi:
a) Menjamin pelaksanaan distribusi lahan kepada desa dan distribusi hak atas
tanah bagi petani, buruh lahan, dan nelayan;
b) Menata ruang kawasan perdesaan untuk melindungi lahan pertanian dan
menekan alih fungsi lahan produktif dan lahan konservasi;
c) Meningkatkan kemandirian pangan melalui penjaminan hak desa untuk
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam berskala lokal
(pertambangan, kehutanan, perikanan, peternakan, agroindustri kerakyatan)
berorientasi keseimbangan lingkungan hidup dan berwawasan mitigasi
bencana;
d) Menyiapkan kebijakan shareholding pemerintah, desa, dan investor dalam
pengelolaan sumber daya alam;
e) Rehabilitasi dan konservasi daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 75
6) Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-
kota, dengan strategi:
a) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana produksi, pasca panen, dan
pengolahan produk pertanian dan perikanan;
b) Mewujudkan sentra produksi dan industri pengolahan hasil pertanian dan
perikanan, dan tujuan wisata;
c) Meningkatkan akses transportasi desa dengan pusat-pusat pertumbuhan
lokal/wilayah;
d) Meningkatkan akses terhadap informasi dan teknologi tepat guna, khususnya
di Kawasan Timur Indonesia;
e) Mengembangkan kerjasama antar desa dan antar daerah khususnya di luar
Jawa-Bali, dan kerjasama pemerintah-swasta khususnya di daerah yang sudah
maju;
f) Mengembangkan lembaga keuangan untuk meningkatkan akses terhadap
modal usaha.
5.4.3 Sasaran Pembangunan Kawasan Perdesaan
5.4.4 Tahapan Pembangunan Kawasan Perdesaan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 76
5.5. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(KDPDT2)
Kelembagaan Kementeritan KDPDT2 dibangun dengan landasan hukum sebagai
berkut:
1) UU NOMOR 29 TAHUN 2009 tentang Ketransmigrasian
2) UU NOMOR 6 TAHUN 2014 tentang Desa
3) UU NOMOR 23 TAHUN 2014 tentang Pemerintah Daerah
4) PP NOMOR 3 TAHUN 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 29/2009
5) PP NOMOR 43 TAHUN 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 6/2014
6) PP NOMOR 60 TAHUN 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari APBN
7) PP NOMOR 78 TAHUN 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah
Tertinggal
8) Peraturan Presiden No. 165 Tahun 2014 Tentang Penataan Tugas dan Fungsi
Kabinet Kerja
5.5.1 Tugas dan Fungsi
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi memimpin dan
mengkoordinasikan:
1) Penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa yang meliputi kelembagaan dan
pelatihan masyarakat desa, pemberdayaan adat dan sosial budaya masyarakat
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 77
desa, usaha ekonomi masyarakat desa, dan sumber daya alam dan teknologi tepat
guna perdesaan yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri;
2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pembangunan daerah tertinggal
yang dilaksanakan oleh KPDT;
3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang transmigrasi yang dilaksanakan
oleh Kemenakertrans.Pembangunan daerah tertinggal tahun 2015-2019 ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan
pembangunan antara daerah tertinggal dengan daerah maju pada 122 kabupaten.
5.5.2 Arah Kebijakan
Bagan 5.4: Arah Kebijakan KDPT2
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 78
5.5.3 Program Prioritas dan Program Unggulan sebagai Penjabaran Nawakerja
Sebagai wujud dari Program Prioritas dan Program Unggulan maka Nawakerja
dijabarkan sebagai berikut ini.
No Program Prioritas Proram Unggulan
1. Prioritas Quick Wins 1) Peluncuran “GERAKAN 3500 DESA MANDIRI”
pada tahun 2015 *).
2) Pendampingan 3500 DESA MANDIRI *).
2. Prioritas Program
Membangun dari
Pinggiran,
Memperkuat Daerah
dan Desa.
1) Mengawal implementasi UU Desa secara sistematis,
konsisten, dan berkelanjutan melalui penyusunan 16
Peraturan Menteri sesuai amanah UU Desa.
2) Melanjutkan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat dan menambah sasaran sebesar 30 %.
3) Membangun fasilitas pendidikan dasar di seluruh
desa /kawasan pedesaan di 50 % daerah terpencil,
perbatasan dan tertinggal sesuai standar pelayanan
minimum.
4) Membangun fasilitas kesehatan dasar di seluruh
desa/kawasan pedesaan di 50 % daerah terpencil,
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 79
perbatasan dan tertinggal sesuai standar. pelayanan
minimum.
5) Membangun fasilitas pemasaran di seluruh
desa/kawasan pedesaan di 50 % daerah terpencil,
perbatasan dan tertinggal sesuai standar pelayanan
minimum *).
6) Mewujudkan 50% dari seluruh desa di Indonesia
menjadi Desa Mandiri hingga 2019 *).
7) Pembentukan 5000 BUMDes dan pengembangan
BUMDes yang sudah ada di seluruh desa hingga
2019 *).
8) Melakukan Pencanangan 1000 desa berdaulat benih
hingga 2019.
9) Pilot project sistem jaringan koneksi on line dengan
3500 Kepala Desa *).
10) Memenuhi standar pelayanan minimum penyediaan
guru dan dokter di seluruh desa/kawasan pedesaan
daerah terpencil, perbatasan dan tertinggal *).
3. Prioritas Kemandirian
Ekonomi
1) Menyalurkan modal bagi UMKM 5000
Desa/Kawasan pedesaan *).
2) Revitalisasi pasar tradisional di 5000 Desa/Kawasan
Pedesaan *).
3) Membangun infrastruktur jalan pendukung
pengembangan produk unggulan di 3500 DESA
MANDIRI *).
4) Pembukaan 1 juta Ha lahan pertanian kering di luar
Jawa dan Bali.
5) Pembangunan terminal baru untuk bongkar muat di
seluruh 25 Kabupaten di Pulau Terdepan, Terluar
dan Terpencil.
4. Prioritas Program
Kawasan
1) Mengembangkan 20 Kawasan Perkotaan Baru
(KPB) menjadi kota kecil/ kota kecamatan dengan
berkembangnya industri pengolahan sekunder dan
perdagangan.
2) Meningkatkan pelayaran perintis antar pulau di 25
Kabupaten di pulau Terdepan, Terluar dan Terpencil
dan Lokasi Prioritas Perbatasan.
3) Mengentaskan minimum 75 kabupaten pada tahun
2019.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 80
4) Mengentaskan desa tertinggal pada tahun 2019
menjadi 24%.
5) Mewujudkan 39 pusat pertumbuhan pertumbuhan
baru, meliputi 27 di kawasan timur Indonesia dan 12
di kawasan barat Indonesia.
5.5.5 Nawakerja Prioritas
Sebagai wujud implementasi produk pemerintah agar berjalan dengan baik, serta
tahapan untuk menjalankan program kerja 5 tahun ke depan (RPJMN 2014-2019), maka
Kementerian Desa, Pembanguan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dalam jangka pendek
ini akan mewujudkan Nawakerja Prioritas Kementerian sebagai implementasi dari
Nawacita Visi-Misi Presiden Jokowi-JK.
Dalam Nawakerja Program Prioritas ini terdapat 9 (sembilan) program yang hendak
dicapai oleh Kementerian yaitu program:
Pertama, 'Gerakan Desa Mandiri' di 3.500 Desa pada tahun 2015;
Kedua, pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur 3.500 pada
Desa tahun 2015;
Ketiga, pembentukan dan juga pengembangan 5.000 Badan Usaha Milik Desa
(BUMDES);
Keempat, yakni melakukan revitalisasi pasar Desa yang ditargetkan akan dilakukan di
5.000 Desa/kawasan peDesaan;
Kelima, pembangunan infrastruktur jalan pendukung pengembangan untuk produk
unggulan di 3.500 Desa Mandiri;
Keenam, persiapan implementasi penyaluran Dana Desa sejumlah Rp 1,4 miliar untuk
setiap Desa secara bertahap;
Ketujuh, penyaluran modal bagi koperasi/UMKM di 5.000 Desa;
Delapan, pelaksanaan pilot project sistem pelayanan publik jaringan koneksi online di
3.500 Desa; dan
Kesembilan, 'Save Villages' (Selamatkan Desa) perbatasan, pulau terdepan, dan terluar.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 81
5.5.6 Pentahapan Penjabaran dan Implementasi Nawakerja Prioritas
Tabel 5.4: Pentahapan Penjabaran dan Implementasi Nawakerja
5.6. Asisten Deputi Urusan Perdesaan
5.6.1 Tugas dan Fungsi
Berdasarkan Peraturan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal No. 15 Tahun
2010, pada Pasal 333, Tugas Pokok dari Aisten Deputi Urusan Perdesaan adalah:
“Melaksanakan Koordinasi, Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan dengan
Kementerian/ Lembaga Terkait, Pengendalian, Pemantauan, Evaluasi, Fasilitasi
dan Penyusunan Laporan Pelaksanaan Kebijakan di Daerah Perdesaan”.
Sedangkan Fungsinya, berdasarkan Pasal 334 adalah:
1) Melaksanakan koordinasi, perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan fasilitasi
di daerah perdesaan;
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 82
2) Penyiapan dan pelaksanaan koordinasi kebijakan kegiatan pengembangan
daerah perdesaan dengan kementerian/ lembaga terkait, lembaga non-
pemerintah; dan
3) Pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan koordinasi
kebijakan pengembangan di daerah perdesaan.
5.6.2 Visi dan Misi
VISI :
‘Terciptanya masyarakat kawasan perdesaan terpadu yang mandiri dan sejahtera’.
1) Terciptanya rumusan kebijakan pembangunan kawasan perdesaan;
2) Sebagai unit yang mampu mendorong terciptanya model kawasan perdesaan
terpadu yang produktif, mandiri, dan sejahtera;
3) Terumuskannya kebijakan pembangunan kawasan perdesaan;
4) Terciptanya rumusan kebijakan pembangunan kawasan perdesaan untuk
mendorong terciptanya model kawasan perdesaan terpadu yang produktif,
mandiri, dan sejahtera; dan
5) Terlaksananya kebijakan pembangunan kawasan perdesaan untuk mendorong
terciptanya model kawasan perdesaan terpadu yang produktif, mandiri, dan
sejahtera.
MISI :
1) Menjadikan lokus kawasan perdesaan terpadu sebagai lokus program/kegiatan
internal Kementerian PDT dan eksternal (Kementerian/Lembaga) terkait;
2) Peningkatan kapasitas pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha serta
kelembagaannya;
3) Pelembagaan sistem pembangunan partisipatif berkoordinasi, berintegrasi,
bersinergi dengan perencanaan pembangunan regular (tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, dan provinsi);
4) Pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan daerah dalam mendukung
pembangunan kawasan perdesaan terpadu;
5) Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana prasarana sosial dasar, ekonomi, dan
wilayah masyarakat yang dibangun;
6) Koordinasi/ Integrasi/ Sinergi/Harmonisasi pelaksanaan pembangunan kawasan
perdesaan terpadu dengan program/kegiatan internal Kementerian PDT
(persiapan, perencanaan, implementasi, pengendalian sampai evaluasi) maupun
eksternal dengan kementerian/lembaga terkait;
7) Peningkatan dan pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan
kawasan perdesaan terpadu dengan kementerian/ lembaga/dunia
usaha/perguruan tinggi baik di tingkat lokal maupun nasional.
5.6.3 Sasaran Tahunan Pengembangan Kawasan Perdesaan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 83
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025
menetapkan tahapan pembangunan yang menjadi periode RPJMN I (2005-2009), RPJMN
II (2010-2014), RPJMN III (2015-2019), dan RPJMN IV (2020-2025).
Sasaran tahunan dalam Grand Design Pengembangan Kawasan Perdesaan (GD-PKP)
Tahun 2015-2019 ini mengacu pada periodesasi tahapan pembangunan sebagaimana
tercantum dalam RPJPN 2005-2025.
1) Sasaran 2 Tahun (2014-2015)
Sasaran Pengembangan Kawasan Perdesaan pada 2 tahun (awal RPJMN III )
tahap ini, difokuskan pada evaluasi pencapaian atas hasil kinerja pelaksanaan
Pengembangan Kawasan Perdesaanl (Tahun 2010-2014), melakukan identifikasi
dan pemetaan kembali atas Pengembangan Kawasan Perdesaan, melakukan
identifikasi kebutuhan pelatihan Pengembangan Kawasan Perdesaan; identifikasi
regulasi yang dibutuhkan untuk mendukung Pengembangan Kawasan Perdesaanl,
dan identifikasi yang dibutuhkan untuk pembentukan lembaga baru dalam rangka
untuk penguatan pelaksanaan Pengembangan Kawasan Perdesaan sehingga
diharapkan didapatkan data yang menyeluruh terkait Pengembangan Kawasan
Perdesaan di seluruh perdesaan. Tahap ini disebut Tahap Inisiasi.
2) Sasaran 5 Tahun (2015-2019)
Sasaran Pengembangan Kawasan Perdesaan pada 3 tahun tahap ini, difokuskan
pada melanjutkan identifikasi dan pemetaan, pelaksanaan pelatihan
Pengembangan Kawasan Perdesaan bagi aparat dan pelaku; membuat regulasi
yang mendukung Pengembangan Kawasan Perdesaan, pembentukan lembaga
baru Pengembangan Kawasan Perdesaan, pemberikan fasilitasi terhadap
Pengembangan Kawasan Perdesaan, dan evaluasi atas pelaksanaan
Pengembangan Kawasan Perdesaan sehingga diharapkan keberadaan
pembangunan kawasan perdesaan dapat berkembang dan cukup kuat di seluruh
kawasan perdesaan. Tahap ini disebut Tahap Instalasi (2015-2017) dan Tahap
Konsolidasi (2017-2018).
3) Sasaran 2 Tahun (2018-2019)
Sasaran Pengembangan Kawasan Perdesaan pada 2 tahun tahap ini, difokuskan
pada pelaksanaan peningkatan kapasitas pengelolaan Pengembangan Kawasan
Perdesaan; evaluasi regulasi Pengembangan Kawasan Perdesaan, evaluasi
lembaga baru Pengembangan Kawasan Perdesaan, dan evaluasi atas pelaksanaan
Pengembangan Kawasan Perdesaan (Tahun 2015-2019) sehingga memberikan
kemandirian kawasan perdesaan di semua daerah, serta memberikan masukan
Pengembangan Kawasan Perdesaanuntuk periode RPJMN IV (2020-2024) dan
periode RPJP selanjutnya. Tahap ini disebut Tahap Stabilisasi (2018) dan Tahap
Reflikasi (2019) dan tahun pertama (2020) pada RPJMN IV.
Bagan 5.6: Sasaran Tahapan Tahunan Pengembangan
Kawasan Perdesaan Tahun 2015-2019
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 84
5.6.4 Indikator Keberhasilan
Mengukur keberhasilan dalam pelaksanaan pengembangan kawasan perdesaan ini
dilakukan antara lain dengan mengacu pada pencapaian sasaran indikator kinerja utama
yang telah dibuat sebelumnya dengan dilakukan penyempurnaannya, antara lain:
1) Pengembangan kegiatan kawasan perdesaan termasuk penguatan lembaga dan
kelembagaan sosial ekonomi masyarakat;
2) Peningkatan jumlah kawsasan yang menyediakan sarana dan prasarana hasil
produksi kawasan perdesaan;
3) Peningkatan prosentase berfungsinya lembaga keuangan mikro (LKM) kawasan
perdesaan;
4) Peningkatan kegiatan produksi di kawasan perdesaan melalui penguatan,
koordinasi, kerjasama serta pemberian stimulan kepada kelompok masyarakat;
5) Peningkatan pengembangan dan pengelolaan produksi dan pereknomian kawasan
perdesaan dengan memberikan fasilitasi produksi perekonomian termasuk fasilitasi
management information system (MIS);
6) Peningkatan kawasan perdesaan yang didukung ketersediaan data dan informasi
yang dibutuhkan.
Pada akhir RPJMN III (2019) dan awal RPJMN IV (2020), diharapkan pencapaian
sasaran di atas secara bertahap telah menghasilkan kawasan perdesaan yang meningkat
kuantitasnya dan berkualitas. Semakin baik kuantitas dan kualitas kawasan perdesaan, maka
semakin baik pula hasil pembangunan kawasan perdesaan (outcomes program) yang
ditandai dengan, antara lain:
1) Data dan informasi kawasan perdesaan cukup tersedia;
2) Lembaga pengembangan kawasan perdesaan yang ada bersifat mandiri;
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 85
3) Lembaga pengembangan kawasan perdesaan yang ada dipayungi oleh regulasi
resmi;
4) Pengembangan kawasan perdesaan yang ada mendapatkan dukungan penuh dari
masyarakat (kelompok masyarakat), pemerintah daerah/ kecamatan/ desa, pihak
swasta, dan perguruan tinggi yang ada di daerah tersebut;
5) Adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan pengurangan angka kemiskinan
di kawasan perdesaan;
6) Masyarakat kawasan perdesaan meningkat kesejahteraan ekonominya di kawasan
perdesaan.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 86
BAB VI
ROADMAP PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
6.1. Tujuan
Roadmap Pengembangan Kawasan Perdesaan (RM-PKP) Tahun 2015-2019 yang
disusun dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali bertujuan untuk memberikan arah
pelaksanaan pengembangan kawasan perdesaan di Keasdepan Urusan Perdesaan,
Kedeputian Pengembangan Daerah Khusus, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (KDPDT2) agar berjalan secara efektif, efisien, terukur,
konsisten, terintegrasi, melembaga dan berkelanjutan.
Roadmap PKP Tahun 2015-2019 ini mengikuti sasaran pembangunan desa dan kawasan
perdesaan selama kurun waktu 2015-2019 (RPJMN III) sebagaimana yang termuat dalam
Grand Design Pengembangan Kawasan Perdesaan (GD-PKP) Tahun 2015-2019 sebagai
berikut ini:
7) Pengembangan kegiatan kawasan perdesaan termasuk penguatan lembaga dan
kelembagaan sosial ekonomi masyarakat;
8) Peningkatan jumlah kawsasan yang menyediakan sarana dan prasarana hasil
produksi kawasan perdesaan;
9) Peningkatan prosentase berfungsinya lembaga keuangan mikro (LKM) kawasan
perdesaan;
10) Peningkatan kegiatan produksi di kawasan perdesaan melalui penguatan,
koordinasi, kerjasama serta pemberian stimulan kepada kelompok masyarakat;
11) Peningkatan pengembangan dan pengelolaan produksi dan pereknomian kawasan
perdesaan di daerah tertinggal dengan memberikan fasilitasi produksi
perekonomian termasuk fasilitasi management information system (MIS);
12) Peningkatan kawasan perdesaan di daerah tertinggal yang didukung ketersediaan
data dan informasi yang dibutuhkan.
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 87
6.2. Keterkaitan Grand Design dengan setiap Tahapan Roadmap
Keterkaitan GD-PKP Tahun 2015-2019 dengan setiap RM-PKP Tahun 2015-2019
sebagai berikut ini:
Tabel 6.1:
Keterkaitan GD-PKP Tahun 2015-2019 dengan
setiap RM-PKP Tahun 2015-2019
GD-PKP Tahun 2015-
2019
GD-PKP Tahun 2015-2019 ditetapkan dengan Peraturan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi
Roadmap PKP Tahun
2014
Roadmap PKP Tahun 2015-2019 lebih bersifat ‘living document’
ditetapkan ditingkat kebijakan Kedeputian atau pun Keasdepan
Uruan Perdesaan.
Road Map PUEMP
2015-2017
Roadmap PKP Tahun 2015-2019 disusun sesuai dengan hasil
pelaksanaan RPJMN dan Roadmap PKP periode sebelumnya,
serta dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan nasional. Road Map PUEMP
2018-2019
Transisi 2020 UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional menetapkan bahwa proses penyusunan
RPJP harus dilaksanakan 1 tahun sebelum berakhirnya RPJP
sedang berjalan.
Bagan 6.1: Keterkaitan Grand Design PKP 2015-2019 dengan
Roadmap PKP 2015-2019
2014 2015 2017 2019 2020
GRAND DESIGN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN
TAHUN 2015-2019
ROADMAP
2014
ROADMAP
2015-2017 ROADMAP 2018-2019 ROADMAP
2014
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 88
6.3. Kunci Keberhasilan.
Keterkaitan Grand Design Pengembangan Kawasan Perdesaan Tahun 2015-2019 dengan
setiap Roadmap Pengembangan Kawasan Perdesaan Tahun 2015-2019 sebagai berikut ini:
Pengembangan perdesaan dan kawasan perdesaan harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsp
pengelolaan yang baik dan profesional. Pengembangan perdesaan harus sepenuhnya
mengabdi pada kepentingan masyarakat perdesaan di daerah tertinggal dan bekerja untuk
memberikan penguatan dan dukungan pengelolaan engembangan kawasan perdesaan yang
transparan, akuntabel, keberpihakan dan menjauhkan kepada good governance.
Pelaksanaan pengembangan perdesaan dan kawasan perdesaan harus mampu mendorong
perbaikan dan peningkatan ekonomi kawasan perdesaan. Kinerja akan meningkat apabila
ada motivasi yang kuat secara keseluruhan baik internal Keasdepan Urusan Perdesaan
maupun internal Keasdepan di Lingkungan KDPDT2, Kementerian/ Lembaga terkait,
Pemerintah Provinsi, Kabupaten serta Pemerintah Kecamatan dan Desa. Motivasi akan
muncul apabila setiap program/kegiatan yang dilaksanakan menghasilkan keluaran, nilai
tambah, hasil dan manfaat yang lebih baik dari tahun ke tahun disertai dengan system
reward dan pusnishment yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.
Kunci keberhasilan pelaksanaan Roadmap Pengembangan Kawasan Perdesaan Tahun
2015-2019 ini terletak pada hal berikut ini, antara lain:
1) Komitmen Nasional
Komitmen nasional ditunjukkan dengan adanya UU No. 17 Tahun 2007 tentang
RPJPN 2005-2025, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-
2014, Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan adanya dukungan kebijakan dari KDPDT2.
2) Penggerak
Secara institusional, penggerak pengembangan perdesaan dan kawasan perdesaan
adalah Keasdepan Urusan Perdesaan (Kedeputian Pengembangan Daerah Khusus,
KDPDT2). Namun harus pula didukung juga pimpinan K/L lain terkait dan
Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kecamatan/ Desa), dimana penggerak
ini harus berdaya tahan kuat terhadap tantangan dan hambatan, serta memiliki daya
dobrak dan kreatif untuk melaksanakan program/kegiatan terobosan, baik secara
horizontal maupun vertikal.
3) Proses
Proses pengembangan perdesaan dan kaawasan perdesaan dilakukan dengan cara
sbb:
a) Desentralisasi
Langkah-langkah pelaksanaan pengembangan kawasan perdesaan dengan
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 89
mengacu pada Grand Design PKP Tahun 2015-2019 dan Roadmap tahap
sebelumnya, sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing kawasan
perdesaan.
b) Bertahap dan Serentak
Penyebarluasan pemahaman tentang Grand Design PKP Tahun 2015-2019
dan Roadmap PKP 2015-2019 dilakuka secara bertahap dan serentak di
internal Keasdepan Urusan Perdesaan dan Keasdepan di lingkungan
KDPDT2 dan dilakukan secara serentak kepada seluruh K/L terkait dan
Pemerintah Daerah dalam rangka efektivitas pencapaian target sasaran
pelaksanaan pengembangan perdesaan dan kawasan perdesaan. Setiap
Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa) memiliki
karakteristik kawasan perdesaan yang berbeda sehingga pengembangan
perdesaan di daerah tertinggal dilakukan dengan titik awal dan kecepatan
yang berbeda pula.
c) Koordinasi
Pelaksanaan pengembangan perdesaan di daerah tertinggal dilakukan dengan
langkah-langkah yang terkoordinasi secara nasional terutama di internal
KDPDT2 dengan mengacu pada Grand Design PKP 2015-2019 dan
Roadmap tahap sebelumnya, implementasi program/kegiatan
pengembangan kawasan perdesaan dimonitor dan dievaluasi secara periodik,
berkelanjutan, dan terlembaga sampai di tingkat desa.
4) Strategi Pelaksanaan
Langkah-langkah strategi pelaksanaan pengembangan kawasan perdesaan dan
kawasan perdesaan ini, mulai dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, pelaksana
(pelaku), kegiatan/program dan metode pelaksanaan diserahkan kepada
Pemerintah Daerah dan yang ada di bawah Keasdepan Urusan Perdesaan,
KDPDT2 yang berorientasi terhadap hasil.
6.4. Tahap Pelaksanaan Roadmap
Tahap pelaksanaan pengembangan perdesaan dan kawasan perdesaan di daerah
tertinggal mengikuti tahap tahunan yang telah disusun dalam Grand Design Pengembangan
Kawasan Perdesaan Tahun 2015-2019.
Adapun rincian tahap kegiatan Roadmap Pengembangan Kawasan Perdesaan dTahun
2015-2019 dapat dilihat dalam matriks (lampiran)
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 90
LITERATUR
Buku dan Hasil Penelitian:
Rais, Sasli dan Flassy, Dance Yulian, Strengthening the Competitiveness of the Region to
Support the Industry Cluster, Journal of Business Development & Management,
College of Economics and Business Development Management (STIE PBM), Vol. No.
XI. 17, April 2011, ISSN-1412-7628
Rais, Sasli dan Supriyadi, Rohmd, Perspektif Otonomi ‘Mandiri’ Masyarakat Desa,
http://p2dtk.bappenas.go.id, Desember 2008.
Sekretariat Asisten Deputi Urusan Perdesaan, Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal, 2014, Hasil Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Percepatan Pembangunan
Kawasan Perdesaan Terpadu (P2KPT) Tahun 2010-2014 (RPJMN II), Jakarta:
November 2014.
..........2013, Rancang Bangun Program P2DTK II: Rancangan Konsep dan Kebijakan,
Jakarta: Desember 2013.
..........2013, Pengembangan Produk Unggulan Daerah Berbasis Kawasan: Perspektif
Program P2DTK II, Jakarta: Desember 2013
Satria, Arif, Rustiadi, Erman dan Purnomo, Agustina M, 2011, Menuju Desa 2030, Cetakan
Pertama, CRESCENT PRESS, Bogor.
Paper
Jafar, Marwan, 2014, Arah Dan Kebijakan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi, Disampaikan pada Rapat Kerja Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi di Ruang Rapat Lantai 1, Gedung
Transmigrasi, Jakarta: 11 November 2014.
Jafar, Marwan, 2014, Arahan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi: “Nawakerja Prioritas Kementerian”, Disampaikan dalam Rapat
Pimpinan di Ruang Rapat Lantai 1, Gedung Pembangunan Daerah Tertinggal, Jakarta:
14 November 2014.
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Kementerian PPN/Bappenas,
RPJMN 2015-2019, RPJMN 2015-2019 Bidang Pengembangan Wilayah,
Disampaikan dalam Rapat Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi di Ruang Rapat Lantai 1, Gedung Transmigrasi, Jakarta: 11
November 2014.
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Kementerian PPN/Bappenas,
Road Map Persiapan Implementasi Undang-Undang Desa Tahun 2014-2019,
Laporan
akhir
GRAND DESIGN DAN ROADMAP
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN TAHUN 2015-2019
Halaman 91
Disampaikan dalam Rapat Kelompok Kerja Pengendali PNPM Mandiri di Ruang
Rapat Lantai 1, Kemenkokesra, Jakarta: 27 Juni 2014.
Peraturan-Peraturan:
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;