laporan akhir kajian pengembangan jasa pergudangn di...

113
LAPORAN AKHIR KAJIAN PENGEMBANGAN JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2015

Upload: vancong

Post on 24-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

LAPORAN AKHIR

KAJIAN PENGEMBANGAN JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2015

i

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat dan rahmat-Nya, sehingga laporan “KAJIAN PENGEMBANGAN

JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA” dapat diselesaikan. Kajian ini

dilatar belakangi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang

Perdagangan memiliki kewenangan dalam pembinaan sarana

perdagangan dimana salah satunya adalah pergudangan dan Peraturan

Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 tentang Penataan

dan Pembinaan Pergudangan juga mengatur tentang Tanda Daftar

Gudang untuk menjamin tertib niaga dan kelancaran distribusi barang.

Pergudangan perlu diatur karena memiliki peran strategis dalam

mendukung kelancaran distribusi barang. Oleh karena itu, diperlukan

pengetahuan mengenai jasa pergudangan, termasuk gambaran peluang

dan ancaman suatu bisnis serta faktor peningkat kinerja untuk

memenangkan persaingan.

Kajian ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan

Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim peneliti terdiri dari Firman

Mutakin, Bagus Wicaksena, Yudha Hadian Nur, Riffa Utama dan Nasrun

serta dibantu tenaga ahli

Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan,

maka kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Dalam kesempatan ini tim mengucapkan terima kasih terhadap berbagai

pihak yang telah membantu terselesainya laporan ini. Sebagai akhir kata

semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pemimpin dalam

merumuskan kebijakan di pengembangan Jasa Pergudangan di

Indonesia.

Jakarta, Oktober 2015

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

ii Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

ABSTRAK

Kajian ini dilatar belakangi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 tentang Penataan dan Pembinaan Pergudangan memiliki kewenangan dalam pembinaan sarana perdagangan dimana salah satunya adalah pergudangan. Pergudangan memiliki peran strategis dalam mendukung kelancaran distribusi barang, maka diperlukan infromasi mengenai jasa pergudangan, termasuk gambaran peluang dan ancaman suatu bisnis serta faktor peningkat kinerja untuk memenangkan persaingan. Kajian ini bertujuan memberikan gambaran bisnis jasa pergudangan di Indonesia, menganalisis faktor-faktor penentu kinerja jasa pergudangan di Indonesia dan merumuskan kebijakan pengembangan jasa pergudangan di Indonesia. Hasil dari kajian ini menunjukkan Jasa Pergudangan di Indonesia dipersepsikan Strength-and-opportunity dominan (berada pada kuadran I). Kinerja Jasa Pergudangan yang menjadi acuan adalah biaya, sistem, dan penerapan SNI/lainnya. Sementara faktor yang mempengaruhi kinerja jasa pergudangan antara lain: Kondisi Faktor (SDM, Knowledge Resource, Infrastruktur), Kondisi Permintaan, Industri Terkait dan Pendukung (Industri Hulu, Industri Hilir, Asosiasi/Pemerintah, dan Akademisi), dan Kebijakan (Perpajakan, Upah, Investasi, dan Lainnya).

Kata kunci: jasa pergudangan, kinerja, SWOT

ABSTRACT

The background of this study are Law No. 7 of 2014 and Trade Minister Regulation No. 90/M-DAG/PER/12/2014 on the Management and Development Warehousing has the authority in coaching means of trade where one of them is warehousing. Warehousing has a strategic role in supporting the distribution of goods, it is necessary infromasi regarding warehousing services, including an overview of business opportunities and threats as well as performance-enhancing factor to win the competition. This study aims to provide an overview warehousing services business in Indonesia, analyzing the determinants of performance warehousing services in Indonesia and formulate development policies warehousing services in Indonesia. Results from this study indicate Warehousing Services in Indonesia perceived opportunity Strength-and-dominant (located in quadrant I). Warehousing Services performance as the reference is the cost, system, and application of ISO / other. While the factors that affect the performance of warehousing, among others: Condition Factor (Human Resources, Knowledge Resource, Infrastructure), Conditions Demand, Industry Related and Supporting (Industrial Upstream, Downstream, Association / Government, and Academia), and Policy (Taxation, Wages, Investments, and Other). Key words: warehousing , performance , SWOT

iii Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

DAFTAR ISI

LAPORAN AKHIR ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

ABSTRAK/ABSTRACT ............................................................................. ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

DAFTAR TABEL ...................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Perumusan Masalah.................................................................... 2

1.3 Tujuan Pengkajian ....................................................................... 5

1.4 Keluaran yang Diharapkan ......................................................... 5

1.5 Perkiraan Manfaat dan Dampak .................................................. 5

1.6 Ruang Lingkup ............................................................................ 6

1.7 Sistematika Laporan .................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 8

2.1 Peran Pergudangan .................................................................... 8

2.2 Pengelolaan Gudang ................................................................... 9

2.3 Struktur dan Bisnis Model Industri Pergudangan ...................... 13

2.4 Aktivitas Gudang ....................................................................... 14

2.5 Hubungan Kinerja dan Daya Saing ........................................... 19

2.6 Kerangka Teori .......................................................................... 22

2.7 Kerangka Berpikir ...................................................................... 25

BAB III METODOLOGI ............................................................................ 29

3.1 Metode Analisis ......................................................................... 29

3.2 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data .............................. 37

3.2.1 Jenis data dan Sumber Data ............................................. 37

3.2.2 Metode pengumpulan data ............................................... 40

3.3 Operasional Survey ................................................................... 41

BAB IV GAMBARAN BISNIS JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA . 43

iv Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

4.1 Tipe Jasa Pergudangan di Indonesia ........................................ 43

4.1.1 Manfaat Jasa Pergudangan .............................................. 44

4.1.2 Karakteristik Penyedia Jasa Pergudangan ....................... 46

4.2 Kondisi Internal dan Eksternal Jasa Pergudangan di Indonesia 48

4.2.1 Kondisi Gudang Komoditas ............................................... 50

4.2.2 Aktivitas Gudang Komoditas ............................................. 52

4.2.3 Kondisi Gudang Non-Komoditas ....................................... 53

4.2.4 Aktivitas Gudang Non-Komoditas ..................................... 56

BAB V FAKTOR PENENTU KINERJA JASA PERGUDANGAN DI

INDONESIA ................................................................................... 59

BAB V FAKTOR PENENTU KINERJA JASA PERGUDANGAN DI

INDONESIA ................................................................................... 59

5.1 Elemen Daya Saing Sebagai Penentu Kinerja Pergudangan .... 59

5.2 Pengujian Model Pengukuran (Outer Model) ............................ 59

5.2.1 Model Pengukuran Kondisi Faktor .................................... 64

5.2.2 Model Pengukuran Kondisi Permintaan ............................ 66

5.2.3 Model Pengukuran Industri Pendukung dan Terkait ......... 67

5.2.4 Model Pengukuran Strategi Perusahaan, Struktur dan

Persaingan ........................................................................ 70

5.2.5 Model Pengukuran Pemerintah ......................................... 71

5.2.6 Model Pengukuran Kinerja Industri Jasa Pergudangan .... 73

5.3 Pengujian Model Struktural (Inner Model) ................................. 75

BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN JASA PERGUDANGAN .......... 79

6.1 Kebijakan Pergudangan Saat Ini ............................................... 79

6.2 Kebijakan Logistik dan Pergudangan di Beberapa Negara ....... 81

6.2.1 Australia ............................................................................ 82

6.2.2 Tiongkok ........................................................................... 83

6.2.3 India .................................................................................. 85

6.2.4 Thailand ............................................................................ 86

6.3 Strategi dan Kebijakan Pengembangan .................................... 88

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ................. 94

7.1 Kesimpulan ................................................................................ 94

v Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

7.2 Rekomendasi Kebijakan ............................................................ 94

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tipe Jasa Pergudangan ........................................................... 13

Tabel 2.2 Faktor dan Atribut Faktor Jasa Pergudangan ........................... 25

Tabel 3.1 Perhitungan Skor dan Bobot .................................................... 30

Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel Kajian .............................................. 36

Tabel 3.3 Variabel Identifikasi SWOT....................................................... 38

Tabel 3.4 Variabel Kinerja Jasa Pergudangan ......................................... 39

Tabel 3.5 Operasional Survey .................................................................. 42

Tabel 4.1 Perhitungan Skor dan Bobot Gudang Komoditas ..................... 51

Tabel 4.2 Perhitungan Skor dan Bobot Gudang Non-Komoditas ............. 54

Tabel 5.1 Composite reliability dan Cronbachs’ alpha ............................ 62

Tabel 5.2 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Kondisi Faktor65

Tabel 5.3 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Kondisi Faktor ... 66

Tabel 5.4 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Kondisi

Permintaan .............................................................................. 67

Tabel 5.5 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Industri

Pendukung dan Terkait ........................................................... 68

Tabel 5.6 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Industri Pendukung

dan Terkait .............................................................................. 69

Tabel 5.7 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Strategi

Perusahaan, Struktur, dan Persaingan ................................... 70

Tabel 5.8 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Strategi

Perusahaan, Struktur, dan Persaingan ................................... 71

Tabel 5.9 Hasil Pengujian Bobot Faktor Variabel Pemerintah .................. 72

Tabel 5.10 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Pemerintah ..... 73

Tabel 5.11 Hasil Pengujian Bobot Faktor Variabel Kinerja Industri Jasa

Pergudangan ........................................................................... 74

Tabel 5.12 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Kinerja Industri

Jasa Pergudangan .................................................................. 74

Tabel 5.13 Rangkuman Hasil Pengujian Model Struktural ....................... 76

vii Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Fungsi Gudang Sebagai Penunjang Transportasi .................. 8

Gambar 2.2 Fungsi Gudang sebagai Bauran Produk dan Pasokan ........... 9

Gambar 2.3 Pengelolaan Penyimpanan dan Distribusi Barang Secara

Tradisional .......................................................................... 10

Gambar 2.4 Pengelolaan Penyimpanan dan Distribusi Barang Secara

Modern ..........................................................................................11

Gambar 2.5 Biaya Pada Public dan Private Warehouse .......................... 12

Gambar 2.6 Proses Dalam Pergudangan ................................................ 16

Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran ............................................................. 28

Gambar 3.1 Kuadran Posisi Industri ........................................................ 31

Gambar 3.2 Kontruksi SEM ...................................................................... 32

Gambar 4.1 Industri Tanpa Jasa Pergudangan ....................................... 45

Gambar 4.2 Industri Dengan Jasa Pergudangan ..................................... 46

Gambar 4.3 Karakteristik Penyedia Jasa Pergudangan ........................... 48

Gambar 4.4 Aktivitas Pengelolaan Inventory Barang Komoditas ............. 53

Gambar 4.5 Aktivitas Pengelolaan Inventory Barang Non-Komoditas ..... 57

Gambar 4.6 Kuadran Posisi Industri Pergudangan di Indonesia .............. 58

Gambar 5.1 Diagram Jalur Full Model ..................................................... 63

viii Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

DAFTAR LAMPIRAN

lampiran 1. Kuesioner Penelitian ............................................................ 100

lampiran 2. Hasil Estimasi Kedua Dengan SmartPLS ............................ 103

1 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor jasa logistik memiliki peranan penting dalam distribusi

barang dan perdagangan di Indonesia. Frost & Sullivan memprediksi

industri logistik Indonesia tumbuh 14,7 persen menjadi Rp 1.816

triliun pada tahun 2014, dibandingkan dengan perkiraan Rp 1.583

triliun setahun yang lalu karena pertumbuhan di sektor jasa dan

peningkatan konsumsi pribadi rumah tangga1. Pertumbuhan indikator

makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB) dan paritas daya beli

masyarakat akan meningkatkan konsumsi pribadi yang berdampak

pada peningkatan volume perdagangan dan distribusi.

Logistik menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik

Nasional adalah bagian dari rantai pasok (supply chain) yang

menangani arus barang, arus informasi, dan arus uang melalui

proses pengadaan (procurement), penyimpanan (warehousing),

transportasi (transportation), distribusi (distribution), dan pelayanan

pengantar (delivery services) dimana dalam cetak biru tersebut

batasan ruang lingkup aktivitas logistik meliputi transportasi,

pergudangan, dan distribusi.

Pengembangan sektor jasa logistik belum terlihat signifikan.

Logistic Performance Index (LPI) Indonesia pada tahun 2014 berada

pada peringkat ke-59 dengan skor 3,00 yang walaupun relatif lebih

baik dibandingkan dengan skor LPI tahun 2012 sebesar 2,94 namun

tidak merubah peringkat Indonesia. Sementara peringkat beberapa

negara ASEAN berada di atas Indonesia seperti Singapura pada

peringkat ke-5, Malaysia ke-25, Thailand ke-35, dan Vietnam ke-48

1http://www.frost.com/prod/servlet/press-release.pag?docid=290094205 diakses pada tanggal 08 Januari 2014.

2 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

(World Bank, 2014). Dari sisi biaya, sektor jasa logistik dinilai masih

belum efisien dimana biaya logistik di Indonesia masih mencapai

sekitar 26,03% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai tersebut jauh

lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Singapura

yang hanya sebesar 8%, Malaysia 13%, Thailand 20%, dan Vietnam

25% (State of Logistic Indonesia, 2013).

Terkait dengan sektor jasa logistik, Kementerian Perdagangan

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang

Perdagangan memiliki kewenangan dalam pembinaan sarana

perdagangan dimana salah satunya adalah pergudangan. Dalam

Undang-Undang, pergudangan perlu diatur karena memiliki peran

strategis dalam mendukung kelancaran distribusi barang. Peraturan

Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 tentang

Penataan dan Pembinaan Pergudangan juga mengatur tentang

Tanda Daftar Gudang untuk menjamin tertib niaga dan kelancaran

distribusi barang dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Dengan skema peraturan tersebut, pembinaan pergudangan yang

baik akan dapat menciptakan kelancaran distribusi barang yang

efisien.

1.2 Perumusan Masalah

Pergudangan merupakan salah satu infrastruktur dalam sistem

logistik nasional memiliki peran penting dalam menunjang

ketersediaan dan kelancaran barang yang diperdagangkan. Pada

dasarnya, pergudangan dan persediaan merupakan sarana yang

mahal (costly) dalam hal sumberdaya manusia, fasilitas, dan

peralatannya sehingga kinerja gudang akan langsung berdampak

pada rantai pasok secara keseluruhan. Rancangan dan/atau

manajemen pergudangan yang tidak memadai akan berakibat pada

inefisiensi rantai pasok2. Aktivitas pergudangan diperlukan untuk

beberapa alasan seperti produksi musiman, permintaan musiman,

2 VH Mohan, ciilogistics.com/coursware/sem2/Warehousing.pdf diunduh pada tanggal 25 Februari 2015

3 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

produksi skala besar, quick supply, produksi yang

berkesinambungan, dan stabilisasi harga3.

Jika dilihat dari fisik gudang, jumlah gudang yang ada di

Indonesia tahun 2013 diperkirakan mencapai 9.300 unit, naik 18%

dari tahun 2012 (Kemendag, 2013). Namun demikian, keberadaan

gudang perlu dikelola dengan dengan manajemen pergudangan

yang baik4. Baijal (2014) dan Faber, de Koster, & Smidts (2013)

menekankan bahwa pengelolaan gudang dengan manajemen yang

memadai merupakan hal yang penting dalam penurunan biaya,

optimalisasi ruang, dan waktu hingga order picking. Saat ini, biaya

gudang di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

beberapa negara lain, yaitu sebesar 9,47% dari Produk Domestik

Bruto (State of Logistic Indonesia, 2013). Sebagai pembanding,

kontribusi biaya pergudangan di Thailand diperkirakan hanya

sebesar 7,6% (Xianghui, 2012), Brazil diperkirakan maksimum

sebesar 4,1% (Filipe, 2012), Tiongkok sebesar 6,3%, India sebesar

3,8%, dan Amerika Serikat sebesar 2,8% (Baijal, 2014).

Selain itu, fungsi gudang yang seharusnya juga dapat

menjawab beberapa permasalahan seperti produksi dan permintaan

musiman, produksi industri skala besar, hingga stabilisasi harga

sepertinya juga belum optimal, seperti pada beberapa pusat distribusi

(Nolvarista, 2012 dan Puska Dagri, 2013). Dari sisi kebijakan,

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan

Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 Tentang Penataan dan Pembinaan

Gudang yang pada dasarnya bertujuan untuk mendorong kelancaran

dan ketersediaan barang yang diperdagangkan. Namun pada tataran

pelaksanaannya, regulasi tersebut terlihat belum implementatif dan

berdaya dalam hal pembinaan pengelolaan gudang. Beberapa pasal

yang mengatur tentang pengelolaan gudang seperti pada Pasal 8, 9,

3 Ibid. 4 http://www.kemendag.go.id/id/photo/2015/02/13/dirjen-pdn-pada-acara-grand-opening-ceremony-pt-ilc-logistic-indonesia?id=21819#photo

4 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

dan 13 dalam peraturan dimaksud hanya difokuskan pada

penyelenggaraan administrasi dan pencatatan gudang.

Tantangan sektor logistik, termasuk subsektor pergudangan di

Indonesia semakin besar dimana beberapa kerjasama perdagangan

internasional, baik yang bersifat regional, bilateral, maupun

multilateral, sudah menunjukkan inisiatif dalam mencapai liberalisasi

sektor jasa, termasuk logistik yang di dalamnya mencakup subsektor

pergudangan5. Aberdeen (2006) juga menganalisis tuntutan

perbaikan kinerja pergudangan dalam menjawab permasalahan yang

meliputi tantangan penurunan biaya logistik, pertumbuhan bisnis

tanpa tambahan fasilitas, respon terhadap fluktuasi permintaan dan

penawaran, selera konsumen atas pemenuhan yang tepat waktu,

dan tuntutan konsumen atas penciptaan nilai tambah.

Berdasarkan gambaran di atas, kebijakan yang berorientasi

pada pengembangan jasa pergudangan menjadi penting mengingat

pengelolaan gudang perlu menjadi perhatian. Baijal (2014) juga

menekankan perlunya kebijakan untuk mendukung pengembangan

sektor logistik, termasuk pergudangan. Baijal (2014) melihat adanya

korelasi antara kebijakan dan perbaikan kinerja logistik (terutama

pergudangan) dalam penurunan biaya logistik di Amerika, China, dan

India untuk dikategorikan dalam posisi mature, consolidation, dan

growth. India memiliki kebijakan pengembangan pergudangan yang

difokuskan pada komoditas pangan dan distribusi, Amerika

menjalankan kebijakan pengembangan gudang untuk komoditas

pangan dan pergudangan wilayah pelabuhan, dan China dengan

kebijakan pergudangan yang berorientasi ekspor.

Pada kasus Indonesia, pemerintah belum memiliki strategi

pengembangan jasa pergudangan yang secara proses bisnis

berorientasi pada perbaikan manajemen gudang. Regulasi yang ada

belum secara implementatif dan berdaya dalam membina dan

5ASEAN Sectoral Integration Protocol For The Logistics Services Sector pada tanggal 24 Agustus 2007 di Makati, Filipina yang terdaftar dalam CPC 742 yaitu Klasifikasi Produk Central Internasional untuk Jasa Penyimpanan dan Pergudangan

5 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

mengembangkan pengelolaan gudang. Puspitasari, Arvianto,

Tauhida, dan Hendra (2012) menjelaskan bahwa kemampuan

bersaing dalam pasar harus menjadi tujuan utama dalam menyusun

strategi pengembangan suatu bisnis/industri. Oleh karena itu,

diperlukan pengetahuan mengenai bisnis/industri itu sendiri,

termasuk gambaran peluang dan ancaman suatu bisnis serta faktor

peningkat kinerja untuk memenangkan persaingan. Dengan

demikian, mengingat peran strategis jasa pergudangan dalam

menciptakan operasional gudang yang efisien dalam mendukung

sistem logistik, maka diperlukan kajian pengembangan jasa

pergudangan di Indonesia.

1.3 Tujuan Pengkajian

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan dari kajian ini

adalah sebagai berikut:

a. Memberikan gambaran bisnis jasa pergudangan di Indonesia.

b. Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja jasa pergudangan di

Indonesia.

c. Merumuskan kebijakan pengembangan jasa pergudangan di

Indonesia.

1.4 Keluaran yang Diharapkan

a. Gambaran tentang bisnis jasa pergudangan di Indonesia.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja jasa pergudangan di

Indonesia.

c. Rumusan kebijakan pengembangan jasa pergudangan di

Indonesia.

1.5 Perkiraan Manfaat dan Dampak

Melalui pengkajian ini diharapkan akan diperoleh peta kekuatan

dan kelemahan pelaku jasa pergudangan, serta faktor yang

mempengaruhi kinerja industri jasa pergudangan dalam rangka

pengembangan jasa pergudangan Indonesia.

6 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

1.6 Ruang Lingkup

Analisis dalam kajian ini mencakup beberapa aspek, yaitu:

a. Jasa pergudangan yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau

perorangan dengan melakukan pengelolaan dan penyimpanan

barang, baik di gudang milik sendiri maupun gudang milik pihak

lain (mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

90/M-DAG/PER/12/2014)

b. Gudang selain pada kawasan berikat dan yang melekat dengan

usaha ritel/eceran, yang digunakan sebagai tempat penyimpanan

sementara barang dagangan eceran (Pasal 19 pada Peraturan

Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014)

c. Kebijakan liberalisasi sektor jasa pergudangan dengan tipe mode

3: commercial presence.

d. Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah terkait dengan jasa

penyimpanan dan pergudangan di Indonesia.

1.7 Sistematika Laporan

Laporan kajian akan disusun dalam 7 (tujuh) Bab dengan

sistematika sebagai berikut:

Bab I.

Pendahuluan. Terdiri dari Latar Belakang yang

menjelaskan permasalahan dan alasan pelaksanaan kajian,

Tujuan, Keluaran, Manfaat, dan Ruang Lingkup kajian.

Bab II. Tinjauan Pustaka. Teridri dari teori terkait pergudangan,

jasa pergudangan, kebijakan pergudangan yang terkait

dengan pasar dalam negeri dan kerjasama perdagangan,

konsep kinerja yang dapat meningkatkan daya saing

sehingga dapat digunakan dalam pengembangan jasa

pergudangan, kerangka teori yang menjadi acuan analisis,

dan kerangka berpikir kajian.

Bab III. Metodologi. Menjelaskan metode analisis yang digunakan,

sumber data dan teknik pengumpulan data yang

digunakan, dan sampel pada daerah penelitian. Metode

7 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan SWOT

untuk menggambarkan bisnis jasa pergudangan di

Indonesia dan Structural Equation Modeling (SEM) dengan

Partial Least Square (PLS) dalam menganalisis faktor yang

menentukan kinerja jasa pergudangan.

Bab IV. Gambaran Bisnis Jasa Pergudangan di Indonesia.

Menjelaskan gambaran industri dan bisnis jasa

pergudangan yang meliputi pelaku usaha, operasional, dan

keterkaitan dengan sektor lain dalam kerangka supply

chain management. Selain itu juga dipetakan kondisi

internal dan eksternal industri jasa pergudangan di

Indonesia.

Bab V. Analisis Kinerja Jasa Pergudangan di Indonesia.

Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja jasa

pergudangan di Indonesia. Pada bab ini, faktor penentu

kinerja ditentukan dan dianalisis untuk menjelaskan

pengaruhnya terhadap kinerja jasa pergudangan.

Bab VI. Strategi Pengembangan Jasa Pergudangan.

Menjelaskan tentang strategi yang diperlukan untuk

pengembangan jasa pergudangan di Indonesia. Pada Bab

ini juga akan diulas strategi pengembangan jasa

pergudangan di negara lain.

Bab VII. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan.

Menyampaikan kesimpulan dari kajian ini serta

rekomendasi kebijakan dalam pengembangan jasa

pergudangan yang berdaya saing di Indonesia.

8 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peran Pergudangan

Gudang merupakan salah satu unsur penunjang dalam aktivitas

logistik. Secara umum, gudang merupakan sarana yang

menyediakan waktu dan tempat untuk bahan baku, produk industri,

produk jadi, sekaligus sebagai media pelayanan konsumen dalam

menciptakan nilai tambah. Coyle, Joseph, Bardy, & Edward (2003)

menyebutkan setidaknya terdapat 6 (enam) fungsi gudang yang

bernilai tambah, yaitu konsolidasi transportasi, bauran produk, cross-

docking, jasa pelayanan, perlindungan terhadap kepadatan, dan

kelancaran (smooting). Seperti dijelaskan sebelumnya, gudang

dalam perannya sebagai konsolidasi transportasi adalah sebagai

saran penghubung antara produsen (supplier) dengan pabrik (plant)

(inbound logistics system) dan/atau antara pabrik (plant) dengan

konsumen/pasar (outbound logistics system) seperti ditunjukkan

dalam Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Fungsi Gudang Sebagai Penunjang Transportasi Sumber: Coyle, Joseph, Bardy, & Edward (2003)

9 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Dalam kompleksitas kegiatan produksi dan pemasaran, peran

gudang juga menjadi penting karena proses pengadaan

(procurement) bahan baku yang beragam serta kebutuhan konsumen

yang bervariasi. Sebagai penyedia jasa bauran produk, gudang

dapat berfungsi sebagai pengatur varians produk yang berbeda dari

berbagai produsen/pabrik untuk kemudian didistribusikan kepada

konsumen sesuai dengan kebutuhannya (product mixing). Dalam

fungsinya sebagai bauran pasokan (supply mixing), gudang berperan

sebagai pengatur varians pemasok bahan baku untuk kemudian

didistribusikan kepada produsen/pabrik, seperti yang ditunjukkan

dalam Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Fungsi Gudang sebagai Bauran Produk dan Pasokan

Sumber: Coyle, Joseph, Bardy, & Edward (2003)

2.2 Pengelolaan Gudang

Baijal (2014) menekankan bahwa pengelolaan gudang saat ini

erat kaitannya dengan penyimpanan dan distribusi. Hal ini

dikarenakan efisiensi gudang tidak terlepas dari inovasi dalam

10 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

penyimpanan dan distribusi barang. Dalam pengelolaan gudang

secara tradisional, setiap barang yang diterima tidak dikelompokkan

sesuai dengan karakteristiknya, melainkan berdasarkan

kedatangannya. Dengan demikian, biaya penyimpanan bisa lebih

mahal dan waktu yang diperlukan pada saat pengiriman menjadi

lebih lama (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Pengelolaan Penyimpanan dan Distribusi Barang

Secara Tradisional

Sumber: Baijal (2014)

Sementara pada pengelolaan gudang secara modern, barang

dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya sehingga pengiriman

didasarkan pada kebutuhannya. Dengan demikian, biaya

penyimpanan relatif lebih rendah dan waktu yang diperlukan pada

saat pengiriman menjadi lebih cepat (Gambar 2.4).

11 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

.

Gambar 2.4 Pengelolaan Penyimpanan dan Distribusi Barang

Secara Modern

Sumber: Baijal (2014)

Nath dan Gandhi (2011) menjelaskan bahwa pengelolaan

gudang (warehouse management) dan distribusi memiliki peran

penting dalam rantai pasok. Terlepas dari efektivitas yang diperoleh

dari seluruh aktivitas pendukungnya, manajemen gudang dan

distribusi memiliki pengaruh dalam menentukan tingkat pelayanan

kepada pelanggan. Beberapa strategi pengelolaan gudang yang

diperlukan dalam penentuan tingkat pelayanan antara lain:

a. Tipe gudang, yaitu pengelolaan gudang dikaitkan dengan

kepemilikan gudang yang meliputi private warehouse (gudang

yang dimiliki dan dikelola swasta secara eksklusif), public

warehouse (gudang yang ditujukan untuk keperluan publik dan

dapat dikelola setelah mendapatkan izin dari Pemerintah),

government warehouse (gudang yang dimiliki dan dikelola oleh

pemerintah), bonded warehouse (gudang yang dimiliki oleh

pemerintah dan swasta dan dikuhususkan untuk barang impor

12 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

dan umumnya di lokasi pelabuhan), dan co-operative warehouse

(gudang yang dimiliki dan dikelola oleh koperasi atau asosiasi).

b. Secara umum, pengelolaan gudang dapat dilakukan pada gudang

pribadi (private warehouse) dimana kepemilikan dan pengelolaan

gudang menjadi satu bagian, atau public warehouse dimana

pengelolaan gudang dilakukan pada gudang pihak lain. Salah

satu keunggulan pengelolaan gudang pada public warehouse

adalah pada aspek biaya dimana fixed cost pada public

warehouse relatif lebih kecil karena terbagi sesuai dengan jumlah

penyewa.

Gambar 2.5 Biaya Pada Public dan Private Warehouse

Sumber: Nath dan Gandhi (2011)

c. Lokasi gudang, yang meliputi area produksi, pasar, atau di

beberapa lokasi yang pada dasarnya menunjang tujuan bisnis.

Namun demikian, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan

dalam mendukung penentuan lokasi gudang adalah infrastruktur

pendukung, perlengkapan, dan fasilitas gudang itu sendiri.

d. Rancangan, ukuran (space), dan utilisasi gudang. Atribut tersebut

perlu disesuaikan dengan karakteristik barang yang akan dikelola.

13 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

2.3 Struktur dan Bisnis Model Industri Pergudangan

Industri pergudangan merupakan entitas bisnis yang meliputi

infrastruktur dan fisik gudang, serta jasa yang ditawarkannya. Pada

dasarnya, industri pergudangan merupakan rangkaian dalam sistem

rantai pasok (supply chain management) sehingga proses bisnisnya

tidak dapat terlepas dari kerangka rantai pasok itu sendiri. Literatur

yang mengulas tentang model bisnis pergudangan termasuk tipe jasa

pergudangannya dijelaskan oleh Baijal (2014) yang

mengklasifikasikannya sesuai dengan tipe gudang, tujuan, tipe

penanganan, dan lokasi yang pada dasarnya seperti pada Tabel 2.1

berikut.

Tabel 2.1 Tipe Jasa Pergudangan

Tipe Gudang Tujuan Tipe Produk Lokasi

Inland Container Depot

Menangani produk yang dikhususkan untuk ekspor/impor

Produk dengan kargo/container

Umumnya dekat dengan/di pelabuhan

Rail side warehouse

Menyediakan fasilitas pergudangan bagi perusahaan melalui infrastruktur rel. Biasanya memfasilitasi bongkar muat dari moda kereta.

Umumnya produk curah seperti semen, pupuk, grain, dan produk perkebunan

Daerah konsumen dan pelabuhan

Bonded Warehouse

Menyediakan penangguhan bea impor melalui penyediaan penyimpanan sementara produk impor (bahan baku) yang digunakan untuk produk ekspor

Barang impor (umumnya bahan baku)

Dekat dengan pelabuhan dan area industry

Retail Distribution Center

Menyediakan pelayanan bagi produk ritel sebelum didistribusikan ke toko eceran (termasuk pemberian nilai tambah)

Produk ritel dan barang konsumen

Area konsumen

Service parts distribution center

Menyediakan jasa penyimpanan suku cadang dan barang peralatan berat (mesin industri)

Suku cadang dan peralatan mesin

Area industri

Gudang industry

Menyediakan penyimpanan dan distribusi produk jadi yang digunakan oleh perusahaan lain sebagai bahan baku

Barang jadi yang digunakan oleh industri lain seperti kemudi untuk dipakai industri otomotif

Area industri

14 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

3PL warehouse

Menyediakan jasa pengelolaan gudang secara keseluruhan bagi industri (termasuk nilai tambah, distribusi, dan konsolidasi)

Beragam Area industri dan konsumen

Gudang primer (godown)

Menyediakan penyimpanan berupa gudang primer yang umumnya masih sangat tradisonal

Beragam Area industri dan konsumen

Cold storage warehouse

Menyediakan jasa penyimpanan dan pengelolaan produk dengan teknologi pendingin

Produk pangan Area konsumen dan pelabuhan

Foodgrain warehouse

Menyediakan jasa penyimpanan dan distribusi produk padi-padian

Produk padi-padian seperti beras, gandum, dan sebagainya

Area pertanian

Air cargo warehouse

Menyediakan fasilitas pergudangan untuk perusahaan yang menggunakan jaringan transportasi udara

Produk yang mudah rusak, bernilai tinggi

Bandar udara

Sumber: Baijal (2014)

2.4 Aktivitas Gudang

Rajuldevi, Veeramachaneni, dan Kare (2009) menjelaskan

bahwa industri pergudangan merupakan entitas bisnis yang dinamis

dalam menjawab kebutuhan pasar. Dalam menjalankan fungsi

bisnisnya, bisnis pergudangan merupakan industri yang berorientasi

jasa pelayanan, baik penyewaan gudang maupun pengelolaan

gudang.

Warehouse Management (WHM) memainkan peran penting

dalam memaksimalkan sarana pergudangan dan pelayanan bagi

pengguna jasa gudang. Addy-Taiye (2012) juga menjelaskan bahwa

fungsi WHM yang sebelumnya sebagai cost-center kini dapat

berfungsi sebagai pencipta nilai tambah. Dalam implementasinya,

WHM dapat diterapkan berdasarkan fungsi dan klasifikasi gudang,

seperti:

a. Manajemen berdasarkan produk yang disimpan, seperti produk

yang mudah rusak, makanan beku, suku cadang, dan bahan

khusus (seperti bahan peledak).

15 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

b. Manajemen berdasarkan tahapan dalam rantai pasok, dimana

gudang dapat berfungsi sebagai pengatur bahan baku, barang

proses, atau barang jadi.

c. Manajemen berdasarkan lokasi geografi, yaitu gudang dapat

berfungsi sesuai dengan lokasinya seperti wilayah, negara

bagian, atau dunia.

d. Manajemen berdasarkan fungsi gudang sebagai penyimpan saja

atau juga termasuk fungsi lain seperti pemilihan (sorting) dan lain-

lain.

e. Manajemen yang disesuaikan dengan keperluan perusahaan,

dimana gudang dapat digunakan oleh satu perusahaan saja atau

beberapa perusahaan dengan produk yang beragam.

Selain itu, manajemen gudang juga diperlukan dalam

menciptakan proses aktivitas dalam pergudangan yang baik dan

efisien, antara lain sebagai berikut:

a. Penerimaan (receiving), yaitu proses bongkar muat barang yang

diterima dari transportasi (trucking), identifikasi, pendaftaran, dan

pengepakan ulang jika memungkinkan.

b. Pemindahan barang dari proses bongkar muat ke dalam area

penyimpanan (put away).

c. Penyimpanan (storage), dapat dalam bentuk curah (in bulk) atau

sudah disesuaikan untuk pengambilan.

d. Pengisian kembali (replenish), yaitu proses pengelolaan stok

dengam memindahkan barang dari gudang penyimpanan curah

(bulk storage) ke gudang penyimpanan yang sudah disesuaikan

untuk pengambilan (pick storage). Hal ini dilakukan hanya jika

tingkat persediaan di pick storage sudah di bawah batas yang

ditentukan.

e. Pengambilan (pick), yaitu proses pengambilan barang

berdasarkan kebutuhan, dapat dalam bentuk bulk atau jumlah

kecil.

16 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

f. Pengapalan (ship), yaitu proses pengepakan barang untuk

kemudian dipersiapkan dalam pengapalan (shipping).

g. Pada saat pengapalan, gudang dapat menjadi penghubung

antara penerimaan (receiving) dengan titik pengapalan, umumnya

bagi barang yang tidak perlu penyimpanan terlalu lama. Proses ini

disebut cross-dock.

h. Penciptaan nilai tambah (value added), dimana gudang dapat

menciptakan tambahan nilai bagi suatu barang seperti pemberia

label (labeling) atau penyortiran (sorting).

Dengan demikian, WHM memiliki peran sentral dalam

mengontrol penyimpanan dan pergerakan barang di dalam gudang

serta proses transaksi, penerimaan, pengapalan, penjemputan, dan

penyimpanan.

Gambar 2.6 Proses Dalam Pergudangan

Sumber: Addy-Taiye (2012)

Optimalisasi WHM dapat dilakukan melalui adopsi teknologi.

Kot, Grondy, dan Szopa (2011) menjelaskan bahwa penerapan

manajemen pergudangan (inventory management) yang berbasis

pada perkiraan permintaan dapat meminimalisir biaya persediaan.

Pada prinsipnya, permintaan yang dapat diperkirakan akan

17 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

meningkatkan efisiensi pada rantai pasok, mulai dari produksi, tingkat

persediaan, dan biaya gudang untuk mengelola persediaan

(inventory). Sankar, Kannan, dan Muthukumaravel (2014) juga

menjelaskan pentingnya penerapan sistem informasi dalam jasa

logistik, termasuk pergudangan yang berbasis pada pergerakan

barang berdasarkan kebutuhan konsumen. Penggunaan teknologi

pergudangan dapat mempermudah peran manajemen logistik seperti

pengadaan, pemindahan barang, dan penyimpanan serta dapat

meningkatkan hubungan dengan pelanggan melalui fungsi pelacakan

(tracking), pemenuhan persediaan (inventory fulfillment), invoicing,

penyimpanan, dan distribusi.

Selain adopsi teknologi, pengelolaan gudang secara modern

juga diperlukan dalam merespon permintaan. Mahajan, Singh, dan

Singh (2013) menjelaskan bahwa untuk mencapai optimasi sebagai

respon dari pertumbuhan permintaan dan tren global, pengelolaan

gudang harus didasarkan pada konsep modernisasi yang meliputi

area yang luas, peningkatan pelayanan, dan mekanisasi

pergudangan. Pergudangan yang modern dapat mengurangi alokasi

ruang, manajemen persediaan, biaya tenaga kerja, dan perbaikan

kinerja aliran barang, hingga peningkatan kepuasan konsumen.

Beberapa hal yang tergolong modernisasi yaitu: pencahayaan yang

efisien, sistem penyimpanan, shuttle racking otomatis, handling

equipment otomatis, fashion sense yang dapat membantu

kompleksitas multi-channel, serta labour management system yang

dapat mengukur kinerja.

Goskoy, Vayvay, dan Ergeneli (2013) menyimpulkan bahwa

inovasi strategi manajemen pergudangan seperti efisiensi operasi,

peningkatan utilisasi ruang, peningkatan akurasi persediaan, dan

meminimalisir keluhan pelanggan atas jasa yang dijual merupakan

strategi dalam persaingan global. Dalam hal ini, penerapan teknologi

yang didukung dengan sumberdaya manusia yang baik akan

meningkatkan daya saing manajemen pergudangan. Temuan Autry

18 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

dkk (2005) juga mengungkap bahwa teknologi pergudangan dapat

mendorong peningkatan kemampuan logistik. Teknologi, baik

hardware dan peralatan maupun software, memengaruhi

peningkatan kinerja operasional gudang maupun benefit bagi

pelanggan.

Faber, de Koster, & Smidts (2013) menganalisis penggerak

utama manajemen pergudangan yaitu kompleksitas tugas dan

dinamika pasar. Dalam hal ini, beberapa hal seperti sistem yang

mengadopsi teknologi, perencanaan, dan standard prosedur sangat

berpengaruh terhadap pelayanan pelanggan. Selain itu, manajemen

pergudangan juga dipengaruhi oleh kemampuan untuk memprediksi

pasar, produk yang dikelola, sumberdaya manusia yang baik, dan

hubungan yang baik dengan pemasok dan konsumen. Jika hal

tersebut dapat dikelola dengan baik, maka manajemen pergudangan

akan dapat efisien karena biaya dan waktu yang dikelola juga lebih

baik.

Sementara Baijal (2014) membandingkan bahwa penurunan

biaya pergudangan akan langsung berdampak pada biaya logistik

secara keseluruhan seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Baijal

(2014) memberi gambaran bahwa efisiensi pergudangan di Amerika,

dimana penurunan biaya pergudangan terhadap PDB pada tahun

1980an dari 8.3% menjadi 2.8% pada tahun 2014 berdampak pada

penurunan biaya logistik terhdap PDB dari 16,2% pada tahun 1980an

menjadi sekitar 8,5% pada tahun 2014. Peran kebijakan seperti

pembenahan infrastruktur pada sektor logistik (termasuk

pergudangan), fasilitas fiskal seperti free trade zone dan insentif

pajak, serta pertumbuhan komoditas tertentu juga menjadi

pendorong perbaikan kinerja logistik secara keseluruhan.

Terkait dengan pergudangan, Baijal (2014) juga mencontohkan

bahwa kebijakan Free Trade Warehousing Zone dan standardisasi

pergudangan berkontribusi dalam peningkatan efisiensi pergudangan

di China dan India, terutama untuk mendorong adopsi teknologi.

19 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Selain itu, dengan masih tingginya ketergantungan industri

pergudangan pada faktor tenaga kerja, maka kebijakan terkait tenaga

kerja juga menjadi penting.

Pada intinya, aktivitas pergudangan yang pada umumnya terdiri

dari perencanaan, pelaksanaan prosedur penyimpanan, dan

distribusi barang akan menjadi efisien bila didukung dengan teknologi

yang berdaya guna, sumber daya manusia yang unggul, infrastruktur,

keterkaitan dengan industri pemasok dan konsumen, serta kebijakan

yang tersrtuktur.

2.5 Hubungan Kinerja dan Daya Saing

Kinerja dan daya saing merupakan hal yang perlu menjadi

perhatian dalam pengembangan suatu industri. Burange & Yamini

(2010) mengelaborasi beberapa teori kinerja dalam suatu industri

yang erat kaitannya dengan daya saing. Dalam penelitiannya pada

industri baja di India, Burange & Yamini (2010) menjelaskan bahwa

kinerja industri baja dilakukan untuk melihat perbaikan pada periode

berjalan dan kemudian perlu diikuti dengan peningkatan daya saing,

baik di dalam negeri maupun di pasar global. Yoyo, Daryanto,

Gumbira, & Hasan (2014) juga mengembangkan model daya saing

yang berasal dari kinerja (performance) industri kelapa sawit

berdasarkan teori Industrial Organization (IO). Dalam hal ini, Yoyo et.

al (2014) melihat bahwa kinerja industri kelapa sawit akan

berdampak pada peningkatan daya saing. Keduanya menggunakan

teori bahwa kinerja suatu industri akan berdampak pada daya saing

industri itu sendiri.

Dalam penelitian ini, konsep pengukuran kinerja industri

pergudangan juga dikaitkan dengan konsep daya saing industri.

Dalam hal ini, pengukuran kinerja gudang dilakukan melalui adopsi

pendekatan Poter’s Diamond untuk melihat faktor yang berpengaruh

terhadap kinerja industri jasa pergudangan yang pada akhirnya

diharapkan dapat merumuskan strategi pengembangan industri jasa

pergudangan yang berdaya saing melalui perbaikan kinerja.

20 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Walaupun pada dasarnya, konsep Porter’s Diamond lebih umum

digunakan untuk melihat daya saing industri suatu negara terhadap

negara lain, dalam penelitian ini, variabel (atribut) dalam konsep

Porter’s Diamond relevan mempengaruhi kinerja pergudangan di

Indonesia.

Dalam ulasannya, Porter (1990) mengkaji konsep daya saing

dari perspektif mikro (perusahaan) ke perspektif daya saing bangsa.

Daya saing didefinisikan sebagai suatu kemampuan negara untuk

menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan

perusahaan-perusahaannya dan untuk mempertahankan kualitas

kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya. Porter dengan konsep

Diamond of Competitive Advantage menjelaskan empat piramida

penentu daya saing, yaitu:

a. Kondisi faktor (factor condition), yaitu posisi negara dalam hal

penguasaan faktor produksi seperti tenaga kerja terampil dan

infrastruktur merupakan syarat kecukupan untuk bersaing dalam

suatu industri.

b. Kondisi permintaan (demand consition), yaitu karakteristik

besarnya permintaan domestik (home-market) untuk produk atau

jasa dari suatu industri.

c. Industri pendukung dan terkait (relating and supporting

industries), yaitu kehadiran industri yang menyediakan bahan

baku dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan

daya saing industri di pasar global.

d. Persaingan, struktur, dan strategi perusahaan (firm’s strategy,

structure, and rivalry), yaitu kondisi pemerintahan di dalam suatu

negara bagaimana perusahaan diciptakan, diorganisasikan, dan

dikelola, serta karakteristik persaingan domestik.

Saptana (2010) menjelaskan bahwa Porter’s diamond

dimodifikasi oleh Cho tahun 1994 dengan mengambil pengalaman

Korea dengan membagi sumber keunggulan menjadi dua kategori

yaitu faktor fisik dan faktor manusia. Jika diperinci, maka faktor

21 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

penentu daya saing faktor fisik adalah sumber daya alam, lingkungan

bisnis, industri pendukung, dan kondisi permintaan,sedangkan untuk

faktor manusia adalah pekerja, politisi, birokrasi, pengusaha, dan

profesional dan perekayasa teknologi.

Porter’s Diamond umum digunakan untuk melihat kinerja suatu

industri dalam rangka perumusan strategi pengembangan yang pada

akhirnya berorientasi pada peningkatan daya saing. Beberapa

penelitian yang menggunakan Porter’s Diamond dalam analisis

kinerja industri antara lain Alvino (2013) yang melihat kinerja industri

gula di Indonesia melalui Matriks Perbandingan Berpasangan (MPB)

dan teori Porter’s Diamond. Dalam analisisnya, MPB dilakukan untuk

mendapatkan gambaran kondisi pergulaan di Indonesia untuk

kemudian dianalisis dengan menggunakan Porter’s Diamond untuk

mengetahui situasi, kondisi, dan pengaruhnya terhadap

perkembangan industri gula di Indonesia.

Puspitasari et. al (2012) dalam penelitian pengembangan bisnis

tanaman enceng gondok juga menggunakan Porter’s Diamond untuk

merumuskan strategi pengembangan industri enceng gondok yang

berdaya saing. Tumengkol, Palar, & Rutinsulu (2015) menganalisis

daya saing hasil perikanan laut pada pasar ekspor dengan Revealed

Comparative Advantage (RCA) untuk melihat posisi Indonesia di

pasar dunia dan analisis Porter’s Diamond untuk mengetahui faktor

kinerja industri perikanan di Kota Bitung agar lebih berdaya saing.

Porter’s Diamond juga umum digunakan untuk menganalisis

kinerja industri yang memiliki keterkaitan antara hilir dan hulu, seperti

Lau (2009) yang menganalisis kinerja industri penerbangan di

Hongkong untuk melihat potensi daya saingnya di international hub

dan Wu (2006) dalam analisis industri otomotif di China. Boja (2011)

juga menggunakan Porter’s Diamond dalam menganalisis konsep

klaster industri dalam peningkatan daya saing, dimana perusahaan

tidak hanya bersaing namun juga berkolaborasi untuk meraih

keunggulan ekonomi. Wu (2006) menjelaskan bahwa Porter’s

22 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Diamond dapat digunakan sebagai pembentuk strategi

pengembangan, kebijakan pendukung, dan tuntutan pasar

berdasarkan pendekatan Industrial Organization (IO).

2.6 Kerangka Teori

Kajian tentang kinerja dan daya saing secara kualitatif lazim

dilakukan mengacu pada Teori Diamond dari Porter. Porter (1990)

mengelompokkan faktor pembentuk daya saing kedalam empat

determinan; kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait atau

pendukung, dan strategi dan struktur perusahaan serta persaingan

yang keempatnya digambarkan sebagai diamond. Disamping empat

determinan tersebut, dua faktor lain, meski bukan pembentuk

diamond, juga berpengaruh terhadap daya saing negara, yaitu

chance dan pemerintah (Porter, 1998 dan Bakan & Dogan, 2012).

Masing-masing faktor dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kondisi faktor

Determinan ini berkaitan dengan posisi negara dalam hal

faktor produksi, yakni input yang diperlukan untuk bersaing dalam

setiap industri, seperti SDM, fasilitas fisik, pengetahuan, sumber

daya alam, modal, dan infrastruktur. Porter mengelompokkan

faktor-faktor tersebut dalam dua kategori; faktor dasar dan faktor

keunggulan (advanced factors). Faktor dasar terdiri dari sumber

daya alam, iklim, lokasi, SDM trampil dan semi trampil, dan biaya

modal. Sedangkan faktor keunggulan mencakup infrastruktur

telekomunikasi dan pertukaran data digital serta SDM terdidik.

Menurut Porter, kondisi faktor merupakan input yang harus

“diciptakan”, bukan warisan. Kelangkaan sumber daya (factor

disadvantage) seringkali membantu negara menjadi

kompetitif.Terlalu banyak sumber daya justru kemungkinan disia-

siakan.

b. Kondisi permintaan

Determinan ini berkaitan dengan kondisi-kondisi permintaan

terhadap produk/jasa yang dihasilkan industri. Ada tiga hal

23 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

penting dalam permintaan tersebut; komposisi permintaan,

ukuran dan pola pertumbuhan permintaan, dan mekanisme

bagaimana produk preferensi domestik dipasarkan secara global.

Komposisi permintaan mengarahkan perusahaan untuk

menerjemahkan dan memenuhi kebutuhan konsumen. Ada tiga

karakteristik komposisi permintaan yang dapat berpengaruh

secara signifikan terhadap keunggulan kompetitif nasional:

segmen permintaan, pembeli yang menuntut, dan antisipasi

kebutuhan pembeli. Komposisi permintaan ini lebih

mencerminkan efek dinamis persaingan, bukan permintaan

secara agregat.

c. Industri terkait dan industri pendukung

Determinan ketiga yang membentuk daya saing nasional

adalah tersedianya industri pemasok atau industri terkait yang

memiliki daya saing global. Keunggulan bersaing dalam suatu

industri pemasok akan menciptakan potensi daya saing beberapa

industri lain dalam negeri karena mereka menghasilkan input

yang digunakan secara luas dan penting untuk inovasi atau

internasionalisasi. Keunggulan industri terkait juga dapat

mendorong terbangunnnya suatu industri karena adanya arus

informasi dan pertukaran teknologi, berbagi aktivitas atau sering

dalam bentuk kerjasama formal. Contoh industri komputer di

Amerika Serikat yang ditempatkan di Bukit Silikon memungkinkan

penguatan daya saing industri komputer di negara tersebut.

d. Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

Determinan ini berkaitan dengan kondisi bagaimana suatu

perusahaan dibentuk, diorganisir, dan dikelola sebagaimana

menjadi ciri dalam persaingan domestik. Sikap terhadap

kewenangan manajerial, interaksi antar personal, perilaku

karyawan, dan norma sosial juga berpengaruh terhadap daya

saing perusahaan. Perbedaan praktek-praktek manajemen antar

negara terjadi seperti dalam hal training, latar belakang

24 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

ketrampilan karyawan, orientasi pimpinan, gaya kepemimpinan,

inisiatif karyawan, sikap terhadap aktivitas global, dan hubungan

antara manajemen dengan karyawan.

Persaingan domestik membentuk tekanan kepada

perusahaan untuk melakukan perbaikan dan inovasi. Pesaing

lokal menekan perusahaan lain untuk menekan biaya produksi,

meningkatkan kualitas dan layanan, dan menciptakan produk/jasa

baru. Ada kemungkinan perusahaan tidak memiliki keunggulan

bersaing untuk jangka panjang, namun tekanan dari persaingan

akan memacu inovasi mereka sehingga akhirnya berdampak

pada meningkatnya daya saing mereka. Persaingan lokal yang

ketat bukan hanya menciptakan daya saing di tingkat domestik,

namun juga menekan perusahaan untuk menerobos pasar global.

Peluang (chance) merupakan variabel tambahan yang

mempengaruhi daya saing nasional namun bukanlah pembentuk

diamond itu sendiri. Chance berupa faktor-faktor di luar kendali

perusahaan seperti perang, kemajuan tekologi, gejolak minyak,

atau pergeseran permintaan global. Faktor tersebut dapat

menciptakan kontinuitas maupun diskontinuitas yang dapat

merubah struktur industri dan peluang bagi sebuah negara untuk

menggantikan posisi negara lain dalam industri tertentu.

Elemen terakhir pelengkap daya saing nasional adalah

pemerintah, yang karena kedudukannya dapat menumbuhkan

atau melemahkan industri. Peran ini jelas terlihat berkaitan

dengan berbagai kebijakan yang dapat mempengaruhi setiap

determinan pembentuk daya saing. Pemerintah memainkan peran

penting dalam peningkatan daya saing negara melalui penciptaan

lingkungan yang kompetitif dan kondusif bagi industri.

Secara operasional, Porter’s Diamond dalam kajian ini terdiri

dari faktor dan atribut faktor. Kriteria tersebut dapat digunakan untuk

mendukung identifikasi faktor internal dan eksternal dalam menyusun

25 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

gambaran peta kekuatan dan kelemahan pelaku jasa pergudangan

serta melihat faktor yang mempengaruhi kinerja jasa pergudangan di

Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Faktor dan Atribut Faktor Jasa Pergudangan

Faktor Atribut

1. Kondisi faktor 1. Kualifikasi Tenaga Kerja

2. Knowledge resource

3. Infrastruktur

2. Kondisi Permintaan

Pertumbuhan permintaan jasa

pergudangan

3. Industri pendukung dan

industri terkait

1. Keberadaan industri hulu

2. Keberadaan industri hilir

3. Keberadaan lembaga riset dan

pengembangan industri

4. Strategi perusahaan, struktur

dan persaingan

1. Strategi untuk merespon

pasar/pelanggan

2. Klasterisasi industri

5. Pemerintah 1. Kebijakan perpajakan/retribusi

2. Dukungan regulasi

Indikator Kinerja Sistem

Efisiensi & Efektivitas

Utilisasi Ruang

2.7 Kerangka Berpikir

Dalam praktiknya, sistem logistik Indonesia masih belum optimal

dimana kontribusi biaya logistik terhadap Produk Domestik Bruto

(PDB) sebesar 26,04% dipandang masih relatif tinggi dibandingkan

dengan beberapa negara lain. Secara struktur, transportasi

merupakan penyumbang terbesar utama, yaitu sekitar 12,4%

26 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

terhadap PDB, diikuti oleh pergudangan sebesar 9,47%, dan

administrasi sebesar 4,52%.

Kementerian Perdagangan sebagai salah satu instansi

pemerintah memiliki kewenangan dalam pembenahan sektor logistik

nasional yang diantaranya meliputi distribusi dan pergudangan guna

menjamin kelancaran barang, seperti yang diamanatkan dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dalam

Pasal 12, 15, 16, 17, dan 100 serta Peraturan Menteri Perdagangan

Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 tentang Penataan dan Pembinaan

Gudang. Dalam hal ini, penyediaan gudang diharapkan tidak hanya

bersifat fisik tetapi juga pengelolaan dan manajemen gudang.

Mengutip pemikiran dan teori dari VM Hon, Naber et al (2013) &

Baijal (2014) bahwa fasilitas pergudangan diperlukan dalam

menjawab permasalahan produksi dan permintaan musiman,

produksi skala besar dan berkesinambungan, quick supply, dan

stabilisasi harga. Namun demikian, permasalahan tersebut perlu

dijawab melalui pengelolaan gudang yang baik sehingga fungsi

gudang sebagai penyedia jasa dapat lebih optimal.

Pada saat ini, pemerintah berusaha melakukan penataan dan

pembinaan pergudangan dalam rangka menjamin ketersediaan dan

kelancaran arus barang melalui Peraturan Menteri Perdagangan

Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014. Namun dalam tatanan pelaksanaan

dan teknisnya, peraturan dimaksud belum berdaya dalam pembinaan

pengelolaan gudang. Isu seperti disparitas harga, tingginya harga

jual, dan kasus penimbunan dapat diduga sebagai indikasi

permasalahan yang tidak hanya terkait distribusi namun juga

manajemen persediaan dan pergudangan. Oleh karena itu, kebijakan

tersebut perlu didukung dengan strategi kebijakan pengembangan

jasa pergudangan yang diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi

gudang

Dalam menghasilkan rumusan tersebut, mengutip teori dari

Puspitasari et al (2012), maka diperlukan arah pengembangan

27 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

strategi yang pada akhirnya berorientasi pada peningkatan daya

saing industri tersebut. Untuk menghasilkan rumusan tersebut,

diperlukan gambaran industri dan faktor yang mempengaruhi kinerja

industri tersebut. Dalam penelitian ini, gambaran industri jasa

pergudangan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT untuk

melihat kekuatan-kelemahan dan peluang-ancaman dalam bisnis.

Selanjutnya, penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

jasa pergudangan diperoleh melalui telaah literatur Porter’s diamond

dan dianalisis menggunakan Structural Equation Modeling dengan

Partial Least Square (PLS). Hasil analisis tersebut kemudian

digunakan untuk merumuskan kebijakan strategi pengembangan jasa

pergudangan.

Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dalam Gambar

2.6 berikut.

28 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran

Poter’s Diamond:

Kondisi Faktor; Kondisi Permintaan; Industri Pendukung &

Terkait, Strategi Perusahaan; Struktur, dan Persaingan; dan

Pemerintah

BIAYA JASA LOGISTIK (PDB)

1. Transportasi (12,04%) 2. Pergudangan (9,47%) 3. Administrasi (4,52%)

PERATURAN

1. UU No 7 Tahun 2014 2. Permendag 90/2014 3. Perpres No 26/2012

Kuadran Posisi Industri:

Kekuatan Kelemahan

Peluang Ancaman

PLS

SEM

Strategi Pengembangan Jasa Pergudangan

di Indonesia

Gambaran Bisnis

Jasa Pergudangan di Indonesia

Kinerja Gudang: Sistem, Efisiensi dan

Efektivitas, Utilisasi Ruang SWOT

PERGUDANGAN

PENGELOLAAN PERGUDANGAN

Produksi & permintaan musiman, Produksi skala besar dan berkesinambungan , Quick supply, dan stabilisasi harga

JASA PERGUDANGAN

VM Hon, Naber et al (2013) & Baijal (2014)

Regulasi BELUM berdaya

Preliminary survey (2015)

Puspitasari et. al (2012)

29 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB III

METODOLOGI

3.1 Metode Analisis

Dalam analisis, digunakan metode analisis yang bersifat

kualitatif dan kuantitatif. Untuk menjawab tujuan pertama, kondisi

industri jasa pergudangan dijelaskan dengan Analisis kualitatif

dengan SWOT yang dikembangkan oleh Pearce dan Robinson

(1997) agar diketahui peta kekuatan dan kelemahan pelaku usaha

jasa pergudangan. Adapun tahapan analisis SWOT adalah sebagai

berikut (Tabel 3.1).

a. Melakukan perhitungan skor dan bobot poin faktor serta jumlah

total perkalian skor dan bobot pada setiap faktor S-W-O-T yang

terdiri dari Faktor Internal (IFAS) dan Faktor Eksternal (EFAS).

Identifikasi awal IFAS adalah sebagai berikut:

1) Ketersediaan lahan untuk pengembangan

2) Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai pasok

3) Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan

pelatihan/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang

kompeten di bidang jasa pergudangan

4) Kesadaran (awareness) industri terhadap pentingnya jasa

pergudangan dalam sistem distribusi

5) Efektivitas regulasi

6) Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standard

terkait SHE (Safety, Health, Environment)

Sementara identifikasi awal untuk EFAS dijelaskan sebagai

berikut:

1) Tingkat permintaan jasa pergudangan

2) Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015

3) Kondisi geografis dan demografis

30 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

4) Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain

dalam kerangka MEA 2015

5) Kondisi investasi asing (langsung maupun melalui

kemitraan) dalam industri jasa pergudangan.

6) Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled

7) Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh

produsen

8) Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah dan perizinan)

b. Melakukan pengurangan antara jumlah total faktor S dengan W

dan faktor O dengan T yang telah diidentifikasi pada butir (a).

c. Mencari posisi organisasi yang ditunjukkan oleh titik (x,y) pada

kuadran SWOT yang diperoleh dari butir (b).

Tabel 3.1 Perhitungan Skor dan Bobot No Strenght Skor Bobot Total 1 2 Total Strenght

No Weakness Skor Bobot Total 1 2 Total Weakness

Selisih S-W=x No Opportunity Skor Bobot Total 1 2 Total O

No Threat Skor Bobot Total 1 2 Total T

Selisih O-T=y Sumber : Pearce dan Robinson (1997)

Selanjutnya setelah diperoleh perhitungan bobot dan skor, maka

diperoleh ordinat (x,y) yang diletakkan dalam kuadran untuk melihat

posisi industri jasa pergudangan sebagai berikut (Gambar 3.1)

31 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Gambar 3.1 Kuadran Posisi Industri

Sumber : Pearce dan Robinson (1997)

Sedangkan untuk menjawab tujuan kedua, yaitu menguji

hubungan antar variabel yang tergambar dalam model kajian ini

beserta pengaruh faktor penentu kinerja dalam Teori Diamond dari

Porter, digunakan uji Model Persamaan Struktural (Structural

Equation Modelling-SEM) berbasis varians dengan Partial Least

Square (PLS).

PLS merupakan model persamaan struktural yang berdaya

karena tidak didasarkan pada banyak asumsi seperti normalitas data,

ukuran sampel, dan skala pengukuran [(Fornell dan Bookstein,

1982);(Vinzi dkk, 2010: 48)]. PLS dapat memberikan hasil optimal

meski dengan jumlah sampel kecil [(Chin, 1995); Gefen dkk, 2000)].

Disamping itu, PLS juga memiliki kelebihan dapat digunakan untuk

mengestimasi hubungan antar variabel untuk seluruh skala

pengukuran variabel; nominal, ordinal, maupun interval (Fornell dan

Bookstein, 1982). PLS juga bisa digunakan untuk menganalisis

model persamaan struktural dengan indikator reflektif, formatif,

maupun keduanya (Fornell dan Bookstein, 1982).

Analisis data dan pemodelan persamaan struktural dengan

menggunakan PLS dilakukan dengan prosedur berikut:

32 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

a. Merancang model struktural (inner model). Inner model atau

model struktural menggambarkan hubungan antar variabel laten

berdasarkan pada substantive theory. Perancangan model

struktural hubungan antar variabel laten didasarkan pada

rumusan masalah atau hipotesis penelitian.

b. Merancang model pengukuran (outer model). Outer model

mendefinisikan hubungan setiap blok indikator dengan variabel

latennya. Perancangan model pengukuran menentukan sifat

indikator dari masing-masing variabel laten, apakah reflektif atau

formatif, berdasarkan definisi operasional variabel. Dalam kajian

ini semua variabel laten bersifat reflektif.

c. Konstruksi diagram jalur. Diagram jalur menggambarkan

hubungan antar variabel dan dimensi pembentuk variabel dalam

model persamaan struktural dengan PLS. Diagram jalur yang

terbentuk tersebut tergambar pada Gambar berikut.

Gambar 3.2 Kontruksi SEM

h

Y1

Y2

Y3

ly1

ly2

ly3

x1

x2

x3

x4

X1.1 lx1,1

lx1,2

lx1,3

d1.1

d1.2

d1.2

lx 2

X1.2

X1.3

X2 d2

X3.1 lx3,2

lx3,3

d3.1

d3.2

d3.2

X3.2

X3.3

lx3,1

X4.1 d4.1

d4.2 X4.2

x5 X5.1 d5.1

d5.2 X5.2

lx4,1

lx4,2

lx5,1

lx5,1

g1

g2

g3

g4

g5

z1

e1

33 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Notasi-notasi dalam diagram jalur tersebut adalah:

x1 : Variabel laten eksogen kondisi faktor

x2 : Variabel laten eksogen kondisi permintaan

x3 : Variabel laten eksogen industri pendukung dan terkait

x4 : Variabel laten eksogen strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

x5 : Variabel laten eksogen pemerintah

X1.1 s.d. X1.3 : Manifest variabel laten eksogen kondisi faktor: Kualifikasi SDM, Knowledge Resource, Infrastruktur

X2 : Manifest variabel laten eksogen kondisi permintaan

X3.1 s.d. X3.3 : Manifest variabel eksogen industri pendukung dan terkait: Keberadaan Industri Hulu, Keberadaan Industri Hilir, Keberadaan Lembaga Riset

X4.1 s.d. X4.2 : Manifest variabel eksogen strategi perusahaan, struktur, dan persaingan: Strategi Merespon Pelanggan, Klasterisasi Industri

X5.1 s.d. X5.2 : Manifest variabel eksogen pemerintah: Kebijakan Pajak/Retribusi, Dampak Regulasi Terkait

lX1.1 s.d l X1.3 : Loading factors variabel eksogen kondisi faktor

lX2 : Loading factors variabel eksogen kondisi fakto kondisi permintaan

lX3.1 s.d l X3.3 : Loading factors variabel eksogen industri pendukung dan terkait

lX4.1 s.d l X4.2 : Loading factors variabel eksogen strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

lX5.1 s.d l X5.2 : Loading factors variabel eksogen pemerintah

d1.1 s.d d1.3 : Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen kondisi faktor

d2 : Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen kondisi permintaan

d3.1 s.d d3.3 : Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen industri pendukung dan terkait

d4.1 s.d d4.2 : Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

d5.1 s.d d5.2 : Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen pemerintah

h : Variabel laten endogen kinerja jasa pergudangan

Y1 s.d Y3 Manifest variabel laten endogen kinerja jasa pergudangan: Sistem, Efisiensi dan Efektivitas, Utilisasi Ruang

ly1 s.d ly3 : Loading factors variabel endogen kinerja jasa

34 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

pergudangan

e1 : Error variabel manifest untuk variabel laten endogen kinerja jasa pergudangan

g1 s.d. g5 : koefisien pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen

z1 : Error model persamaan struktural

d. Konversi diagram jalur kedalam sistem persamaan

1) Inner model. Yakni spesifikasi hubungan antar variabel laten

(structural model), disebut juga sebagai inner relation. Model

ini menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasar

teori substantif penelitian. Dari konstruksi model persamaan

pada Gambar 2, persamaan innner model dapat diturunkan:

h = g1x1 + g2x2 + g3x3+ g4x4+ g5x5+ z1

2) Outer model. Merupakan spesifikasi hubungan antara variabel

laten dengan indikatornya, disebut juga dengan outer relation

atau measurement model, mendefinisikan karakteristik

konstruk dengan variabel manifestas-nya.

e. Estimasi parameter

Metode pendugaan parameter (estimasi) di dalam PLS

adalah metode kuadrat terkecil (least square methods). Proses

perhitungan dilakukan dengan cara iterasi, dimana iterasi akan

berhenti jika telah tercapai kondisi konvergen. Pendugaan

parameter di dalam PLS meliputi 3 hal, yaitu:

1) Weight estimate yang digunakan untuk menghitung data

variabel laten.

2) Path estimate yang menghubungkan antar variabel laten dan

estimasi loading antara variabel laten dengan indikatornya.

3) Means dan parameter lokasi (nilai konstanta regresi, intersep)

untuk indikator dan variabel laten.

f. Evaluasi goodness of fit

Goodness of fit untuk inner model diukur menggunakan R2

variabel laten dependen dengan interpretasi yang sama dengan

regresi; Q2 predictive relevance untuk model struktural mengukur

35 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga

estimasi parameternya. Q2> 0 menunjukkan model memiliki

predictive relevance, sedangkan sebaliknya Q2£ 0 menunjukkan

model kurang memiliki predictive relevance. Perhitungan Q2

dilakukan dengan rumus:

Q2 = 1 – ( 1 – R12 ) ( 1 – R22 ) … (1 – Rp2)

dimana R12, R1

2, …, Rp2 adalah R kuadrat variabel endogen

dalam model persamaan. Besaran Q2 memiliki nilai dengan

rentang 0 < Q2< 1, dimana Q2 semakin mendekati 1 berarti model

semakin baik. Besaran Q2 ini setara dengan koefisien determinasi

total pada analisis jalur (path analysis) Rm2. Untuk outer model,

goodness of fit diukur dengan:

1) Covergent validity: nilai loading 0,5 sampai 0,6 dianggap

cukup. Untuk jumlah indikator variabel laten berkisar antara 3

sampai 7.

2) Discriminant validity. Membandingkan nilai square root of

average variance extracted ( ) setiap konstruk dengan

korelasi antar konstruk lainnya dalam model. Jika lebih

besar dari korelasi dengan seluruh konstruk lainnya maka

dikatakan memiliki discriminant validity yang baik. Sedangkan

AVE sendiri dihitung dengan:

Direkomendasikan nilai AVE lebih besar dari 0,5.

3) Composite reliability : nilai batas yang diterima untuk tingkat

reliabilitas komposit (ρc) adalah ≥ 0,7, walaupun bukan

merupakan standar absolut.

Dalam pembentukan model kajian, faktor penentu kinerja

menjadi variabel independen yang diduga mempengaruhi kinerja

industri jasa pergudangan, sedangkan variabel dependennya adalah

indikator kinerja pergudangan yang terdiri dari variabel efisiensi dan

efektivitas, sistem, dan utilisasi ruang. Pengukuran variabel kajian

36 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

dilakukan melalui penguraian variabel ke dalam operasional variabel

yang terdiri dari variabel, konsep, indikator, satuan ukuran, dan

skala ukur yang disajikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel Kajian

Faktor Atribut Indikator

1. Kondisi faktor 1. Kualifikasi Tenaga Kerja

Proporsi SDM dengan pendidikan D-3, SDM dengan pengalaman kerja minimal 3 tahun, proporsi jam pelatihan terhadap jam kerja, SDM dengan sertifikasi professional, dan proporsi staf yang tidak pindah selama 5 tahun

2. Knowledge resource

Keberadaan unit riset, penggunaan hasil riset, dan pengembangan diri pegawai

3. Infrastruktur Akses lahan, dukungan jalan, ketersediaan alat untuk aktivitas pergudangan, dan kemudahan pendanaan

2. Kondisi Permintaan

Pertumbuhan permintaan jasa pergudangan

Pertumbuhan jumlah pelanggan, jumlah item yang dikelola, dan nilai transaksi dalam 3 tahun terakhir.

3. Industri pendukung dan industri terkait

1. Keberadaan industri hulu

Dukungan industri hulu terhadap kelancaran bisnis jasa pergudangan: Pengusaha gudang, pemilik barang, industri kemasan, industri alat pergudangan, security & maintenance operator), serta potensi industri hulu terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan.

2. Keberadaan industri hilir

1. Dukungan industri hilir terhadap kelancaran bisnis jasa pergudangan (trucking, distribusi, retailer, end user).

2. Potensi industri hilir terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan.

3. Keberadaan lembaga riset dan pengembangan industri

Dukungan lembaga riset terhadap pengembangan industry (pemerintah dan institusi pendidikan).

37 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

4. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan

1. Strategi untuk merespon pelanggan/pasar

1. Kemudahan menyesuaikan pengelolaan gudang terhadap perubahan keinginan pelanggan.

2. Kemudahan melibatkan mitra perusahaan logistic untuk merespon perubahan pasar .

3. Penciptaan nilai tambah untuk pelanggan

2. Klasterisasi industri 1. Tingkat kemudahan untuk pengembangan jejaring vertikal.

2. Tingkat kemudahan akses ke titik-titik distribusi untuk penyerahan ke end-user

5. Pemerintah 1. Kebijakan perpajakan

Besaran pajak/retribusi yang dibayarkan.

2. Dukungan regulasi 1. Dampak kebijakan investasi terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan.

2. Dampak kebijakan upah minimum 3. Dampak kebijakan distribusi

komoditas terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan.

4. Dampak kebijakan industri terkait (transportasi, kawasan berikat, dry port) terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan.

Indikator Kinerja Sistem adopsi teknologi dan Integrasi sistem, prosedur dan standard operasi, dan tingkat kepatuhan terhadap standard

Efisiensi & Efektivitas Proporsi order dapat terpenuhi tepat waktu, peluang zero defect, dan biaya operasional

Utilisasi Ruang Volume per m2 dan acuan SNI

3.2 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

3.2.1 Jenis data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam melakukan kajian ini adalah:

a. Data sekunder yang diperoleh dari publikasi instansi

tertentu, seperti laporan Knight Frank India sebagai

38 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

benchmark dalam penentuan variabel kinerja, literatur

akademik terkait pergudangan, serta regulasi baik yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah.

b. Data primer yang diperoleh dari hasil survei.

Tabel 3.3 menyajikan daftar data dan informasi yang

diperlukan untuk gambaran industri jasa pergudangan beserta

dengan sumber datanya. Daftar data dikelompokkan

berdasarkan identifikasi faktor internal dan eksternal yang

digunakan dalam deskripsi gambaran industri jasa

pergudangan di Indonesia.

Tabel 3.3 Variabel Identifikasi SWOT

No Jenis Data (Variabel) Sumber Data

1 Internal Factors (IFAS)

a. Ketersediaan lahan untuk pengembangan

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

b. Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai

pasok

c. Awareness lembaga pendidikan dan

training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di bidang jasa pergudangan

d. Awareness terhadap pentingya jasa pergudangan

dalam sistem distribusi

e. Efektivitas regulasi

f. Standar Key Performance Index (KPI)

g. Kepatuhan terhadap standar SHE (safety, health,

environtment)

h. Ketersediaan SDM yang trained dan skilled

2 Exernal Factors (EFAS)

a. Tingkat permintaan jasa pergudangan

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

b. Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015

c. Kondisi geografis dan demografis

d. Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari

negara lain dalam kerangka MEA 2015

e. Kondisi Investasi asing (langsung atau melalui

kemitraan) dalam industri jasa pergudangan

39 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

f. Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled

g. Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh

produsen

h. Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah,

perijinan)

Sementara Tabel 3.4 yang terdiri dari kondisi faktor,

kondisi permintaan, industri pendukung & terkait, strategi

perusahaan; struktur, dan persaingan; dan pemerintah. Data

tersebut digunakan untuk mengetahui faktor yang

mempengaruhi kinerja jasa pergudangan di Indonesia.

Tabel 3.4 Variabel Kinerja Jasa Pergudangan

No Jenis Data (Variabel) Sumber Data

1 Variabel Kinerja (Endogen)

Sistem: Proporsi penerapan dan adopsi teknologi, prosedur, dan kepatuhan terhadap standard

Primer dan Sekunder/Literatur: Nath & Gandi (2011) dan Baijal (2014)

Efisiensi & Efektivitas: Proporsi ketepatan waktu, peluang zero defect, dan biaya

Utilisasi Ruang: Proporsi penggunaan ruang untuk storage dan pemenuhan Standard Nasional Indonesia atau standard lainnya

2 Kondisi Faktor

Kualifikasi Tenaga Kerja: Pendidikan, Pengalaman kerja, Lama kerja, jumlah jam pelatihan, SDM dengan sertifikat keahlian, dan SDM yang bertahan dalam perusahaan selama minimal 5 tahun

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

Knowledge resource: Jumlah unit riset terutilisasi, Implementasi hasil riset, dan dukungan perusahaan terhadap pengembangan SDM

Infrastruktur: aksesibilitas lahan yang tersedia untuk pergudangan, kondisi jalanan baik, kemudahan akses terhadap modal, serta ketersediaan alat untuk mendukung aktivitas pergudangan.

3 Kondisi Permintaan

Pertumbuhan jumlah pelanggan, jumlah item yang dikelola, dan pertumbuhan nilai transaksi dalam kurun

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa

40 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

waktu 3 tahun terakhir Pergudangan

4 Industri Pendukung & Terkait

Keberadaan industri hulu: Dukungan industri hulu terhadap kelancaran bisnis jasa pergudangan (Pengusaha gudang, pemilik barang, industri kemasan, industri alat pergudangan, security & maintenance operator)

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

Keberadaan industri hilir: Dukungan industri hilir terhadap kelancaran bisnis jasa pergudangan (trucking, distribusi, retailer, end user).

Potensi industri hulu dan hilir terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan

Keberadaan lembaga riset dan pengembangan industri: Dukungan lembaga riset terhadap pengembangan industri

5 Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan

Strategi untuk merespon pasar: Tingkat adaptabilitas perusahaan terhadap perubahan pasar, Intensitas pelibatan mitra untuk merespon perubahan pasar, penciptaan nilai tambah.

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

Klasterisasi industri: Tingkat kemudahan untuk pengembangan jejaring vertikal, Tingkat kemudahan akses ke industri pendukung

6 Pemerintah

Kebijakan perpajakan: besaran pajak yang dibayarkan

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

Dukungan regulasi: Dampak kebijakan investasi, upah minimum, distribusi komoditas, dan industri terkait (transportasi, kawasan berikat, dry port) terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan

3.2.2 Metode pengumpulan data

Survey ini dilakukan pada perusahaan yang memberikan

pelayanan jasa pergudangan, baik pada gudang milik sendiri

atau pihak lain (mengacu para Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014) dengan produk

yang dikelola dapat berupa komoditas penting dan strategis

dan non komoditas (barang bebas). Metode yang digunakan

dalam survey adalah wawancara dengan menggunakan

41 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

kuesioner (terlampir) yang terstruktur dan mengacu pada

variabel yang dijelaskan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4.

Data yang akan dicari melalui survey adalah data primer

seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 yang

dapat berupa rasio, ordinal, dan nilai. Setelah divalidasi, akan

dilakukan proses coding dan input data. Data survey yang

telah diinput kemudian akan ditabulasi dan dianalisis dengan

metodologi yang telah dijelaskan sebelumnya dengan

menggunakan software statistik Smart PLS.

Survey dilakukan di 3 (tiga) daerah yang menjadi simpul

logistik, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara.

Responden dipilih secara purposive dengan ketentuan bahwa

responden tersebut merupakan pengambil keputusan

dan/atau pegawai yang memahami proses bisnis jasa

pergudangan pada perusahaannya.

Adapun kriteria pemiihan daerah didasarkan pada hal

berikut:

a. Jawa Barat: Diperlukan investasi subsektor pergudangan

hingga 30% untuk mencapai kondisi ideal jasa

pergudangan untuk penyangga kepadatan aktivitas logistik

di Jakarta (BKPM, 2011)

b. Jawa Timur: Merupakan simpul logistik untuk wilayah

Indonesia Timur (World Bank, 2011)

c. Sulawesi Utara: Diperlukan investasi subsektor

pergudangan hingga 60% untuk mencapai kondisi ideal

jasa pergudangan untuk mendukung perdagangan

komoditas yang diperkirakan akan tumbuh signifikan

(BKPM, 2011).

3.3 Operasional Survey

Pelaksanaan survey dilakukan oleh Tim Peneliti yang dibagi

menjadi 3 (tiga) tim berdasarkan wilayah. Adapun susunan tim

survey dan target responden adalah sebagai berikut:

42 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Tabel 3.5 Operasional Survey

Daerah Waktu

Pelaksanaan Petugas Survey Target

Responden

Jawa Barat M-3 Mei 2015 Bagus Wicaksena, Setijadi, dan Akhmad Yunani

Dunex, SGL Group, Bulog, BGR, Kamadjaja, RPX, Surya Mas, Syncrum, Wira, dll

Jawa Timur M-3 April 2015 Firman Mutakin, Riffa Utama, dan Nasrun

Panadia, Bulog, Cahaya Surya, Sentra Timur, Sarimelati, Sido Utama, Suri Mulya, dll

Sulawesi Utara M-2 Juni 2015 Firman Mutakin, Riffa Utama, dan Yudha H.N

Diamond, Wira, Kamadjaja, BGR, Bitung Mina, Jasatrans, dll

43 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB IV

GAMBARAN BISNIS JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA

4.1 Tipe Jasa Pergudangan di Indonesia

Jasa pergudangan di Indonesia relatif berkembang cukup baik

seiring dengan pertumbuhan kawasan industri yang dikelola oleh

pihak swasta yang umumnya tersebar di wilayah Jawa Barat, Jawa

Timur, Sulawesi, dan Jakarta. Pada prinsipnya, jasa pergudangan

merupakan entitas bisnis yang melakukan pengelolaan persediaan

(inventory) pihak ke-3 (principal) berdarkan kontrak dengan tingkat

tertentu (service level agreement - SLA). Namun dalam praktiknya,

industri jasa pergudangan di Indonesia merupakan entitas bisnis

dengan produk jasa sebagai berikut:

1. Perusahaan yang mengelola aset pergudangan dengan

menyewakan kepada pihak lain (lender). Dalam hal ini, pelaku

jasa pergudangan tidak melakukan pengelolaan inventory pihak

lain karena bisnis intinya (core business) adalah sewa

pergudangan. Sebagai contoh, PT X memiliki aset pergudangan

dengan luas 5000 m2 dan disewakan kepada PT Y dan Z

dengan luasan tertentu. Adapun tipe gudang yang dimiliki atau

dikelola umumnya gudang primer (godown) dengan fisik

bangunan yang layak untuk penyimpanan (basic).

2. Perusahaan yang mengelola aset pergudangan dan inventory

pihak lain. Dalam hal ini, pelaku usaha jasa pergudangan

melakukan pengelolaan inventory pihak lain dengan

menggunakan sistem manajemen pergudangan yang menjadi

inti bisnisnya. Adapun pengelolaan inventory pihak lain dapat

dilakukan di dalam gudang milik sendiri atau menyewa dari pihak

pemilik gudang. Pada umumnya, produk yang dikelola sangat

beragam dengan jumlah pengguna yang bervariasi. Sebagai

ilustrasi, PT X melakukan pengelolaan inventory PT A, PT B, dan

44 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

PT C di dalam gudang PT X atau menyewa gudang dari PT Z.

Adapun tipe gudang yang dimiliki atau dikelola meliputi depo

container, gudang berikat, distribution center, service part

distribution center, foodgrain warehouse, dan cold-storage.

3. Perusahaan yang mengelola inventory pihak lain di gudang milik

pihak tersebut. Dalam hal ini, pelaku usaha jasa pergudangan

tidak memerlukan aset pergudangan dan produk yang dikelola

umumnya tidak beragam. Sebagai ilustrasi, PT X mengelola

inventory PT Z di gudang PT Z. Dalam implementasinya, jasa

pergudangan Tipe 3 juga merupakan pengembangan produk

jasa dari Jasa Pergudangan Tipe 2. Adapun tipe gudang yang

dikelola berupa industrial warehouse karena berada di lokasi

manufaktur.

4.1.1 Manfaat Jasa Pergudangan

Berdasarkan hasil wawancara mendalam (depth interview)

dengan responden (stakeholder yang terdiri dari pengguna

jasa pergudangan dan penyedisa jasa pergudangan), bisnis

jasa pergudangan yang umum digunakan saat ini dan dapat

memberikan manfaat terbaik adalah Tipe 2, dimana jasa

pergudangan dipersepsikan dapat memberikan manfaat dalam

beberapa hal, antara lain lead-time, manajemen persediaan,

biaya logistik secara keseluruhan, pemanfaatan dan utilisasi

gudang, dan bahkan sistem distribusi.

Responden menjelaskan bahwa jika proses bisnis dan

industri yang semakin dinamis dan terhubung dengan pasar

global dilakukan tanpa menggunakan jasa pengelola

pergudangan, maka proses bisnis yang terjadi adalah sebagai

berikut. Dalam perdagangan, eksportir dari luar negeri mengirim

barang ke perusahaan di Indonesia secara langsung kepada

perusahaan/manufaktur. Tantangan yang akan dihadapi antara

lain penanganan penerimaan produk/barang dengan jalur yang

panjang, manajemen biaya transportasi yang tinggi, pengaturan

45 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

inventory dan pergudangan yang relatif rumit, terutama pada

saat mendesak. Hal serupa juga akan terjadi pada saat

perusahaan/manufaktur di Indonesia akan menjual produknya

ke pasar dalam negeri/ekspor. Dengan demikian,

perusahaan/manufaktur umumnya menghadapi permasalahan

seperti waktu pengiriman (lead-time) yang tidak stabil, biaya

yang tinggi, dan ketatnya sirkulasi pergudangan. Secara

deskriptif, karakteristik perusahaan/manufaktur yang tidak

menggunakan jasa pergudangan dijelaskan pada Gambar 4.1

berikut.

Gambar 3 Industri Tanpa Jasa Pergudangan

Sumber: Data Primer (diolah)

Sementara jika kegiatan industri dilakukan dengan

menggunakan jasa pergudangan, maka proses yang terjadi

adalah sebagai berikut. Dalam perdagangan, eksportir dari luar

negeri mengirim barang ke perusahaan di Indonesia melalui

jasa pergudangan yang terintegrasi, untuk kemudian dikelola

sebelum dikirim ke perusahaan/manufaktur. Jasa pergudangan

Jepang: Eksportir

Urgent shipment à Biaya Tinggi

Importir: manufaktur

Lead-time yang tidak stabil, biaya tinggi, manajemen

persediaan ketat

Konsumen (end-user)

46 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

juga dapat mengelola persediaan sesuai dengan kebutuhan

perusahaan/manufaktur dalam mengelola permintaan dari

pelanggan. Dengan demikian, perusahaan/manufaktur dapat

lebih fokus pada proses produksi dan biaya logistik (terutama

biaya inventory) dapat ditekan.

Secara keseluruhan, lead-time dalam pengiriman

dipersepsikan lebih stabil dan manajemen persediaan relatif

lebih terkelola dengan baik, sehingga pada akhirnya biaya

dapat ditekan. Hal ini dikarenakan penyedia jasa pergudangan

dapat mengelola portofolio stok dan pengiriman sehingga biaya

yang dihasilkan relatif lebih rendah. Secara deskriptif,

karakteristik perusahaan/manufaktur yang menggunakan jasa

pergudangan dijelaskan pada Gambar 4.2 berikut.

Gambar 4.4 Industri Dengan Jasa Pergudangan

Sumber: Data primer (diolah)

4.1.2 Karakteristik Penyedia Jasa Pergudangan

Keunggulan jasa pergudangan Tipe 2 ditekankan pada

karakteristik perusahaan jasa pergudangan. Berdasarkan

telaah literatur dan didukung dengan wawancara mendalam

(depth interview), jasa pergudangan Tipe 2 umumnya terdiri

Konsumen (end-user)

Jepang: Eksportir

Manufaktur

Jasa Gudang: Inventory Management

Order Order

Delivery

- Perusahaan fokus pada proses produksi - Jasa pergudangan mengelola stok,

pengiriman, dan bahkan exim - Biaya logistik dapat ditekan

Exim

47 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

dari perusahaan penyedia jasa logistik (Logistic Service

Provider), Third Party Logistic Provider (3PL), dan Lead

Logistics Provider (LLP). Sementara untuk jasa pergudangan

Tipe 3 dapat dikategorikan sebagai Fourth Party Logistics

Provider (4PL) walaupun masih sangat jarang ditemukan di

Indonesia.

Berdasarkan karakteristiknya, LSP merupakan jasa logistik

(termasuk pergudangan) yang paling dasar, dengan model

hubungan dan harga yang berdasarkan produk dan kontrak,

jasa logistik yang standar, seperti pengiriman dan

penyimpanan, serta atribut kunci yang berfokus pada

penurunan biaya. Sementara untuk 3PL dan LLP, model

kerjasama dan harga didasarkan pada kontrak dengan

pembiayaan berdasarkan fixed cost dan variabel atau risk

sharing. Dengan demikian, jasa yang ditawarkan lebih

kompetitif karena penyedia jasa logistik dapat mengatur

portofolio-nya, sehingga atribut kunci lebih ditekankan pada

peningkatan kemampuan, efisiensi, dan penggunaan teknologi.

Selain itu, jasa yang ditawarkan juga sarat akan nilai tambah.

Sementara untuk 4PL, model kerjasama dan harga

berdasarkan hubungan dan nilai, dengan penawaran jasa yang

optimal. Adapun atribut kuncinya lebih difokuskan pada

hubungan strategis, supply chain yang terintegrasi dengan

pasar global, penggunaan teknologi yang mutakhir, serta

berbagi risiko dan peluang dengan pengguna jasa. Karakteristik

ini umum dijumpai pada penyedia jasa pergudangan Tipe 3.

Gambar 4.3 menjelaskan karakteristik tipe jasa pergudangan.

48 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Gambar 5 Karakteristik Penyedia Jasa Pergudangan

Sumber: Data primer (diolah)

4.2 Kondisi Internal dan Eksternal Jasa Pergudangan di Indonesia

Seperti dipaparkan pada Bab III, berdasarkan identifikasi awal,

faktor-faktor internal (IFAS) bisnis jasa pergudangan adalah:

1) Ketersediaan lahan untuk pengembangan

2) Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai pasok

3) Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan

pelatihan/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di

bidang jasa pergudangan

4) Kesadaran (awareness) industri terhadap pentingnya jasa

pergudangan dalam sistem distribusi

5) Efektivitas regulasi

6) Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standard terkait

SHE (Safety, Health, Environment)

Sementara, identifikasi awal untuk EFAS adalah:

1) Tingkat permintaan jasa pergudangan

2) Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015

Pelayanan Dasar (Basic Services)

Nilai Tambah (Value Added)

Lead Logistic

Advanced Service

Penawaran Jasa

Kerjasama dan Model Harga

Model Outsourcing Logistik

Atribut Kunci

Komoditas dan Transaksi

Kontrak Fixed & Variable

Kontrak dan Risk Sharing

Partnership dan Value Based

4 PL

LLP

3 PL

LSP

Strategic Relationship, berbasis iptek, adaptif dan fleksibel

Single point of contract, integrasi teknologi 3PL

Peningkatan kemampuan, Perluasan penawaran jasa

Fokus pada penurunan biaya dan pelayanan

49 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

3) Kondisi geografis dan demografis

4) Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain

dalam kerangka MEA 2015

5) Kondisi investasi asing (langsung maupun melalui kemitraan)

dalam industri jasa pergudangan.

6) Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled

7) Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen

8) Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah dan perizinan)

Dari hasil survei bisnis jasa pergudangan yang dilakukan di tiga

provinsi, dapat ditentukan faktor-faktor yang merupakan kekuatan

(strength) dan kelemahan (weakness) dari IFAS, serta peluang

(opportunity) dan ancaman (treath) dari EFAS.

Survei bisnis jasa pergudangan dilakukan dengan

menggunakan sejumlah variabel Faktor Pembentuk dan Ukuran

Kinerja. Untuk masing-masing variabel tersebut dilakukan penilaian

dari para responden.

Dengan menggunakan hasil penilaian survei terhadap variabel-

variabel yang bersesuaian, ditentukan bahwa faktor-faktor yang

merupakan kekuatan adalah variabel-variabel IFAS yang

mendapatkan nilai rata-rata lebih dari 50%, sedangkan faktor-faktor

yang merupakan kelemahan adalah variabel-variabel IFAS yang

mendapatkan nilai rata-rata sampai dengan 50%. Penentuan faktor-

faktor tersebut juga dilakukan dengan mempertimbangkan masukan

dari tim pakar Supply Chain Indonesia (SCI) dan Asosiasi Logistik

Indonesia (ALI).

Demikan pula halnya untuk penentuan peluang dan ancaman.

Faktor-faktor yang merupakan peluang adalah variabel-variabel

EFAS yang mendapatkan nilai rata-rata lebih dari 50%, sedangkan

faktor-faktor yang merupakan ancaman adalah variabel-variabel

EFAS yang mendapatkan nilai rata-rata sampai dengan 50%.

50 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Penentuan faktor-faktor tersebut dilakukan untuk gudang komoditas

dan gudang non-komoditas.

4.2.1 Kondisi Gudang Komoditas

Gudang komoditas merupakan gudang yang

dikhususkan untuk menyimpan produk primer seperti pertanian

dan pertambangan. Untuk gudang komoditas, faktor-faktor

yang merupakan kekuatan adalah: Ketersediaan lahan untuk

pengembangan; Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem

rantai pasok; Kesadaran (awareness) industri terhadap

pentingnya jasa pergudangan dalam sistem distribusi; dan

Efektivitas regulasi.

Sementara faktor-faktor yang merupakan kelemahan

adalah: Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan

training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di

bidang jasa pergudangan; dan Kepatuhan industri jasa

pergudangan terhadap standar terkait SHE (safety, health,

environment). Faktor-faktor yang merupakan peluang adalah:

Tingkat permintaan jasa pergudangan; Peningkatan volume

distribusi komoditas akibat MEA 2015; Kondisi geografis dan

demografis; dan Kondisi Investasi asing (langsung atau melalui

kemitraan) dalam industri jasa pergudangan.

Sementara faktor-faktor yang merupakan ancaman

adalah: Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled;

Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain

dalam kerangka MEA 2015; Tingkat relokasi pusat distribusi ke

negara lain oleh produsen; dan Sinkronisasi regulasi terkait

(otonomi daerah, perijinan).

Perhitungan skor, bobot, dan nilai total untuk masing-

masing faktor ditunjukkan pada tabel berikut ini. Total nilai

kekuatan sebesar 2,05 dan total nilai kelemahan sebesar 0,33,

sehingga diperoleh selisih kedua nilai tersebut sebesar 1,72.

Sedangkan total nilai peluang sebesar 1,66 dan total nilai

51 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

ancaman sebesar 0,62, sehingga diperoleh selisih kedua nilai

tersebut sebesar 1,04.

Tabel 4.1 Perhitungan Skor dan Bobot Gudang Komoditas

No. Strength Skor Bobot Total 1 Ketersediaan lahan untuk pengembangan 3.7 0.17 0.64 2 Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem

rantai pasok 3.1 0.17 0.52

3 Kesadaran (awareness) industri terhadap pentingnya jasa pergudangan dalam sistem distribusi

2.6 0.16 0.42

4 Efektivitas regulasi 3.1 0.15 0.48 Total Strength 0.66 2.05

No. Weakness Skor Bobot Total

1 Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di bidang jasa pergudangan

1.0 0.16 0.16

2 Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standar terkait SHE (safety, health, environment)

0.9 0.18 0.17

Total Weakness 0.34 0.33

Selisih Strength - Weakness = 1.72

No. Opportunity Skor Bobot Total

1 Tingkat permintaan jasa pergudangan 3.2 0.14 0.46 2 Peningkatan volume distribusi komoditas

akibat MEA 2015 3.5 0.13 0.47

3 Kondisi geografis dan demografis 2.8 0.13 0.38 4 Kondisi Investasi asing (langsung atau melalui

kemitraan) dalam industri jasa pergudangan 3.0 0.12 0.36

Total Opportunity 0.53 1.66 No. Treath Skor Bobot Total 1 Ketersediaan SDM asing yang trained dan

skilled 1.5 0.12 0.18

2 Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain dalam kerangka MEA 2015

1.8 0.12 0.21

3 Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen

1.0 0.12 0.12

4 Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah, perijinan)

1.0 0.11 0.11

Total Treath 0.47 0.62

Selisih Opportunity - Treath = 1.04

52 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

4.2.2 Aktivitas Gudang Komoditas

Berdasarkan hasil survey, produk komoditas seperti

pangan (beras dan gula) dan sarana pertanian (pupuk) sudah

mulai dikelola oleh jasa pergudangan yang umumnya

dilakukan oleh koperasi, pengelola gudang SRG, dan pelaku

swasta. Mengacu pada jenis jasa pergudangan pada studi

Baijal (2014), tipe gudang yang digunakan oleh jasa

pergudangan komoditi adalah gudang primer (godown),

gudang pendingin (cold storage), dan gudang pangan (food

grain) yang dapat berbentuk silo.

Sementara berdasarkan karakteristiknya, beberapa

penyedia jasa pergudangan untuk komoditas pangan dan

pertanian merupakan Third Party Logistics (3PL) yang sudah

memiliki sistem yang terintegrasi antara pengelolaan

pergudangan, distribusi dan transportasi, dan bahkan

penanganan impor (import handling). Namun demikian,

penyedia jasa pergudangan Non-3PL relatif masih

mendominasi, dimana pada umumnya penyedia jasa

pergudangan hanya berfokus pada penyediaan tempat

penyimpanan dengan penciptaan nilai tambah “seadanya”,

seperti packaging, grading, dan keamanan barang selama

disimpan. Dengan demikian, beberapa jasa pergudangan Tipe

1 umum dijumpai pada komoditas pertanian.

Sedangkan jika dilihat dari aktivitasnya, pengelolaan

gudang dilakukan relatif efisien dengan namun belum

sepenuhnya menggunakan teknologi modern. Sebagai

contoh, proses loading/unloading umumnya dilakukan secara

manual dengan tenaga manusia, proses penerimaan dan

pencatatan barang dengan perangkat lunak (software) yang

umum digunakan (seperti Ms Office). Namun untuk

perusahaan besar, proses penerimaan dan pencatatan sudah

menggunaakan sistem manajemen gudang yang customized.

53 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Untuk proses penyimpanan, pelaku usaha jasa

pergudangan skala kecil umumnya menggunakan palet

sederhana dengan penumpukkan produk (stacking) yang

dilakukan dengan tenaga manusia. Sementara untuk

perusahaan jasa pergudangan yang relatif besar, proses

penyimpanan sudah menggunakan forklift dengan stacking

yang sesuai standar yang umumnya mengacu pada Standard

Nasional Indonesia (misal pada produk beras) atau standar

umum yang disyaratkan produsen (misal pada produk pupuk).

Gambar 6 Aktivitas Pengelolaan Inventory Barang Komoditas

4.2.3 Kondisi Gudang Non-Komoditas

Gudang Non-Komoditas merupakan gudang yang

menyimpan produk non pertanian dan pertambangan. Untuk

gudang non-komoditas, faktor-faktor kekuatan adalah:

Ketersediaan lahan untuk pengembangan; Efisiensi distribusi

yang dicapai dalam sistem rantai pasok; dan Efektivitas

regulasi. Sementara faktor-faktor yang merupakan kelemahan

Sumber: Survey (2015), diolah

54 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

adalah: Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan

training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di

bidang jasa pergudangan; Kesadaran (awareness) industri

terhadap pentingnya jasa pergudangan dalam sistem

distribusi; dan Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap

standar terkait SHE (safety, health, environment).

Sementara faktor-faktor yang merupakan peluang

adalah: Tingkat permintaan jasa pergudangan; Peningkatan

volume distribusi komoditas akibat MEA 2015; Kondisi

geografis dan demografis; dan Kondisi Investasi asing

(langsung atau melalui kemitraan) dalam industri jasa

pergudangan. Sedangkan faktor-faktor yang merupakan

ancaman adalah: Ketersediaan SDM asing yang trained dan

skilled; Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari

negara lain dalam kerangka MEA 2015; Tingkat relokasi pusat

distribusi ke negara lain oleh produsen; dan Sinkronisasi

regulasi terkait (otonomi daerah, perijinan).

Perhitungan skor, bobot, dan nilai total untuk masing-

masing faktor ditunjukkan pada tabel berikut ini. Total nilai

kekuatan sebesar 1,59 dan total nilai kelemahan sebesar

0,63, sehingga diperoleh selisih kedua nilai tersebut sebesar

0,96. Sedangkan total nilai peluang sebesar 1,66 dan total

nilai ancaman sebesar 0,63, sehingga diperoleh selisih kedua

nilai tersebut sebesar 1,03.

Tabel 4.2 Perhitungan Skor dan Bobot Gudang Non-Komoditas

No. Strength Skor Bobot Total

1 Ketersediaan lahan untuk pengembangan 3.7 0.17 0.64

2 Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai pasok

3.3 0.17 0.56

3 Efektivitas regulasi 2.6 0.15 0.40

Total Strength 0.49 1.59

55 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

No. Weakness Skor Bobot Total

1 Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di bidang jasa pergudangan

1.1 0.16 0.17

2 Kesadaran (awareness) industri terhadap pentingnya jasa pergudangan dalam sistem distribusi

1.8 0.16 0.30

3 Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standar terkait SHE (safety, health, environment)

0.9 0.18 0.16

Total Weakness 0.51 0.63

Selisih Strength - Weakness = 0.96

No. Opportunity Skor Bobot Total

1 Tingkat permintaan jasa pergudangan 3.2 0.14 0.46

2 Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015

3.5 0.14 0.48

3 Kondisi geografis dan demografis 2.8 0.13 0.36

4 Kondisi Investasi asing (langsung atau melalui kemitraan) dalam industri jasa pergudangan

3.0 0.12 0.36

Total Opportunity 0.53 1.66

No. Treath Skor Bobot Total

1 Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled

1.5 0.12 0.18

2 Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain dalam kerangka MEA 2015

1.8 0.12 0.22

3 Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen

1.0 0.12 0.12

4 Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah, perijinan)

1.0 0.11 0.11

Total Treath 0.47 0.63

Selisih Opportunity - Treath = 1.03

56 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

4.2.4 Aktivitas Gudang Non-Komoditas

Berdasarkan hasil survey, produk non-komoditas seperti

produk manufaktur (seperti suku cadang kendaraan, tekstil,

plastik, dan produk kimia) sudah mulai dikelola oleh jasa

pergudangan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan

swasta berskala besar. Beberapa diantaranya bahkan

merupakan perusahaan berskala global dan merupakan unit

bisnis dari perusahaan manufakturnya. Sementara jika

mengacu pada jenis jasa pergudangan pada studi Baijal

(2014), tipe gudang yang digunakan oleh jasa pergudangan

komoditi adalah service part distribution center, bonded

warehouse (khusus jasa pergudangan yang menangani bahan

baku yang berasal dari impor), retail distribution (juga

termasuk pusat distribusi), dan in-land container (jasa

pergudangan yang mengelola container).

Sementara berdasarkan karakteristiknya, penyedia jasa

pergudangan untuk produk non-komoditas sudah merupakan

Third Party Logistics (3PL) dengan sistem yang terintegrasi

antara pengelolaan pergudangan, distribusi dan transportasi,

dan bahkan penanganan impor (import handling). Bahkan,

beberapa diantaranya merupakan 4PL dengan aktivitas

pengelolaan persediaan secara langsung di industri

manufaktur (jasa pergudangan Tipe 3).

Sedangkan jika dilihat dari aktivitasnya, pengelolaan

gudang untuk produk non-komoditas oleh pelaku usaha jasa

pergudangan terdiri dari bongkar muat barang (unloading),

penerimaan (receiving), penyimpanan (storing), persiapan

pengiriman, dan muat barang untuk dikirim ke pelanggan

(loading to end user). Proses aktivitas pergudangan dilakukan

secara efisien dengan menggunakan teknologi modern.

Sebagai contoh, proses loading/unloading dilakukan dengan

menggunakan forklift, proses penerimaan dilakukan dengan

57 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

menggunakan warehouse management system (WMS)

dimana barang yang diterima dicatat dengan sistem barcode,

serta proses penyimpanan dilakukan dengan forklift khusus

atau dengan teknologi robot yang terprogram dengan sistem

tertentu.

Gambar 4.7 Aktivitas Pengelolaan Inventory Barang Non-Komoditas

Berdasarkan hasil perhitungan selisih nilai kekuatan-

kelemahan dan peluang-ancaman di atas, dapat dipetakan posisi

industri pergudangan komoditas dan non-komoditas yang ditunjukkan

pada Gambar 4.5 di bawah ini. Hasil pemetaan di atas menunjukkan

bahwa industri pergudangan komoditas dan pergudangan non-

komoditas berada pada kuadran yang sama, yaitu kuadran I. Posisi

pada kuadran ini mengharuskan suatu industri untuk melakukan

strategi progresif.

Sumber: Survey (2015), diolah

58 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Gambar 8 Kuadran Posisi Industri Pergudangan di Indonesia

Gudang Komoditas

Gudang Non-Komodit

as

-2.0

-1.6

-1.2

-0.8

-0.4

0.0

0.4

0.8

1.2

1.6

2.0

-2.0 -1.6 -1.2 -0.8 -0.4 0.0 0.4 0.8 1.2 1.6 2.0

StrengthWeakness

Opportunity

Threath

59 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB V

FAKTOR PENENTU KINERJA JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA

5.1 Elemen Daya Saing Sebagai Penentu Kinerja Pergudangan

Bab ini menguji model struktural yang dibangun untuk

menggambarkan keterkaitan antara faktor-faktor pembentuk daya

saing (berbasis Teori Diamond dari Porter) dengan kinerja

pergudangan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa

yang memiliki dampak paling kuat terhadap kinerja pergudangan

diantara lima faktor pembentuk daya saing.

Ada dua tahap yang dilakukan untuk menguji model yang

menggambarkan keterkaitan antara faktor-faktor pembentuk daya

saing dengan kinerja pergudangan tersebut, yaitu outer model dan

inner model. Outer model digunakan untuk mengetahui validitas dan

reliabilitas instrumen, sedangkan inner model digunakan untuk

menguji hubungan antara variabel dalam model.

5.2 Pengujian Model Pengukuran (Outer Model)

Model pengukuran merupakan model yang menghubungkan

antara variabel laten dengan indikator. Pada kajian ini terdapat 6

variabel laten dengan jumlah indikator sebanyak 38. Variabel laten

kondisi faktor terdiri dari 12 indikator, kondisi permintaan terdiri dari

3 indikator, industri pendukung dan terkait terdiri dari 6 indikator,

strategi perusahaan, struktur dan persaingan terdiri dari 5 indikator,

pemerintah terdiri dari 5 indikator, dan kinerja industri jasa

pergudangan terdiri dari 7 indikator.

Sebelum model dibangun, terlebih dahulu perlu dilakukan uji

validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui

korelasi antara indikator dengan konstruknya.

60 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Pengujian validitas dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

- menghitung korelasi antara indikator dengan konstruk

berdasarkan varibael operasional. Indikator dinyatakan valid

jika nilai korelasi terhadap konstruknya lebih besar daripada

0,5. Hasil penghitungan pada tahap ini berupa outer loading

untuk masing-masing indikator.

- mengeluarkan indikator yang memiliki korelasi dengan konstruk

lebih kecil daripada 0,5. Dari hasil penghitungan pada estimasi

awal diperoleh nilai-nilai korelasi antara indikator dengan

konstruknya (outer loading setiap indikator), sebagaimana

terlihat pada Lampiran 1. Pada Lampiran 1 tersebut terlihat ada

10 indikator yang harus dikeluarkan yaitu indikator ke-1 dan ke-

3 dari dimensi kualifikasi SDM (pada variabel kondisi faktor),

indikator ke-4 dari dimensi infrastrukut (pada variabel kondisi

faktor), indikator ke-3 dari dimensi strategi merespon pasar dan

indikator ke-1 dari dimensi klasterisasi indsutri (keduanya pada

variabel strategi perusahaan, struktur dan persaingan), indikator

ke-3 dari dimensi regulasi (pada variabel pemerintah), indikator

ke-1 dan ke-2 dari dimensi efisiensi dan efektivitas, indikator ke-

2 dari dimensi sistem, dan indikator ke-1 dari dimensi utilisasi

ruang. Keempat indikator yang disebut terkahir berasal dari

variabel kinerja industri jasa pergudangan.

- menghitung kembali (re-estimasi) model setelah dikeluarkannya

indikator tidak valid. Hasil re-estimasi terlihat dalam Lampiran 2.

Tabel pada lampiran tersebut menunjukkan bahwa seluruh

indikator setiap konstruk telah bernilai lebih besar daripada 0,5.

Sebagaimana dikemukakan oleh Ghazali (2008) bahwa

validitas konvergen telah terpenuhi jika seluruh factor loading

indikator bernilai lebih besar daripada 0,5 (Ghazali, 2008: 27,

40-41). Dengan demikian instrumen valid untuk membangun

model.

61 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui keandalan kuesioner

sehingga jika digunakan kembali untuk mengukur gejala yang sama

akan memberikan perolehan hasil yang konsisten. Pengukuran yang

memiliki reliabilitas tinggi adalah pengukuran yang mampu

memberikan hasil ukur yang terpercaya. Reliabilitas ditunjukkan oleh

koefisien reliabilitas. Koefisien reliabilitas ini menunjukkan tingkat

konsistensi jawaban responden, dan bernilai antara 0 sampai 1.

Semakin mendekati 1 koefisien tersebut, maka semakin baik alat

ukurnya. Salah satu cara untuk menilai reliabilitas alat ukur adalah

dengan menggunakan teknik belah dua (split-half).

Umumnya disepakati bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel

jika memiliki nilai Cronbachs’ Alpha paling rendah 0,7. Meskipun

demikian, beberapa kritik juga diarahkan terhadap penggunaan

Cronbachs’ Alpha, misalnya bahwa tidak adanya standar yang jelas

tentang batas nilai alpha yang memenuhi kriteria reliabel (Clark dan

Watson, 1995), sehingga dengan alpha yang relatif rendah, 0,5

misalnya, tidak akan berdampak serius terhadap koefisien validitas

sehingga tetap bisa memenuhi konsistensi internal instrumen [(Clark

dan Watson, 1995); (Schmitt, 1996)]. Robinson dkk (1991)

menyatakan bahwa ukuran reliabilitas moderat terletak pada

koefisien alpha antara 0,6-0,69 (Robinson dkk, 1991).

Salah satu prinsip dalam teori pengujian klasik adalah bahwa

skala pengukuran harus memiliki derajat konsistensi internal yang

tinggi, diuji melalui reliabilitas instrumen. Tinggi rendahnya reliabilitas

ditunjukkan oleh koefisien reliabilitas.

Dalam model persamaan struktural PLS, uji reliabilitas konstruk

dilakukan dengan dua kriteria yaitu composite reliability dan

Cronbachs’ Alpha dari blok indikator yang mengukur konstruk.

Konstruk dinyatakan reliabel jika memiliki composite reliability di atas

0,6 (Ghazali, 2008: 27), sedangkan Cronbachs’ Alpha yang

digunakan untuk patokan nilai reliabilitas mengacu pada Robinson

62 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

dkk (1991), Clark dan Watson (1995), dan Schmitt (1996), yaitu di

atas 0,6.

Hasil uji reliabilitas dengan alat bantuan SmartPLS nampak

dalam tabel berikut:

Tabel 5.1 Composite reliability dan Cronbachs’ alpha

Variable/konstruk Composite reliability Cronbachs, alpha

Kondisi faktor 0.836893 0.773645

Kondisi permintaan 0.912838 0.885739

Industry pendukung dan terkait

0.746881 0.721715

Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan

0.852817 0.736870

Pemerintah 0.927148 0.892118

Kinerja industry jasa pergudangan

0.881260 0.816059

Sumber: data diolah

Nilai composite reliability maupun Cronbachs’ alpha untuk

seluruh konstruk, sebagaimana terlihat pada Tabel 5.3 di atas, jauh

lebih besar daripada 0,6. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

seluruh konstruk reliabel.

Dengan metode estimasi dengan Partial Least Square

(menggunakan SmartPLS), diperoleh diagram jalur full model

pengaruh faktor-faktor pembentuk daya saing (berbasis Teori

Diamond dari Porter) dengan kinerja pergudangan seperti terlihat

pada berikut.

63 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Gambar 9 Diagram Jalur Full Model

Gambar tersebut secara ringkas menunjukkan beberapa

variabel yang berpengaruh terhadap kinerja jasa pergudangan, yaitu:

A11 SDM pengalaman 3 tahun C12 Potensi industry hulu

A12 Staf tidak pindah kerja 5

tahun

C21 Dukungan industry hilir

A21 Keberadaan tim riset C22 Potensi Industri hilir

A22 Aplikasi hasil riset C31 Peran Perguruan Tinggi dan

Asosiasi

A23 Fasilitas pengembangan

SDM

C32 Peran lembaga riset pemerintah

A31 Akses lahan D11 Strategi merespon pelanggan

A32 Dukungan Jalan D12 Kemudahan melibatkan mitra logistik

A33 Ketersediaan sarana D21 Kemudahan akses distribusi

B1 Pertumbuhan pelanggan

dalam 3 tahun

E1 Kebijakan perpajakan

64 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

B2 Pertumbuhan jumlah item

dalam 3 tahun

E21 Kebijakan investasi

B3 Pertumbuhan nilai

transaksi dalam 3 tahun

E22 Kebijakan Pengupahan

C11 Dukungan industry hulu E23 Kebijakan industry terkait

Sementara variabel yang dapat dijadikan acuan dalam menilai

kinerja pergudangan antara lain variabel F11 (biaya), F21 (Teknologi

informasi), F22 (Standard Operasional Prosedur), dan F31

(Pemenuhan persyaratan teknis yang mengacu pada SNI atau

standard lainnya). Selanjutnya disajikan model pengukuran dari

masing-masing variabel yang digunakan dalam kajian ini.

5.2.1 Model Pengukuran Kondisi Faktor

Kondisi faktor diukur menggunakan 8 indikator. Melalui

bobot faktor outer loading yang terdapat pada Lampiran 2

dapat dilihat pada first order dimensi kualifikasi SDM, indikator

proporsi SDM memiliki pengalaman kerja pergudangan

minimal 3 tahun (kode A.1.2) memiliki bobot faktor paling

besar, yakni 0.913532. Ini menunjukkan bahwa indikator

tersebut paling kuat merefleksikan dimensi kualifikasi SDM.

Untuk dimensi knowledge resource, indikator hasil riset

digunakan dalam bisnis pergudangan (kode A.2.2) memiliki

bobot faktor paling besar (0.952). Ini menunjukkan bahwa

indikator tersebut paling kuat merefleksikan dimensi

knowledge resource. Sedangkan untuk dimensi infrastruktur,

indikator dukungan jalan untuk akses dari/ke gudang memiliki

bobot faktor paling besar (0.881) yang menunjukkan bahwa

indikator tersebut paling kuat dalam merefleksikan dimensi

infrastruktur.

65 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Pada second order variabel laten kondisi faktor, dimensi

infrastruktur memiliki bobot faktor paling besar (0.834) yang

menunjukkan bahwa dimensi tersebut paling kuat

merefleksikan variabel laten kondisi faktor. Selanjutnya hasil

pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta

tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk dimensi bisa

diketahui melalui nilai thitung masing-masing indikator

tersebut.

Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai

thitung disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.2 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Kondisi Faktor

A A.1 A.2 A.3

A.1.2 7.156698 24.74228

A.1.5 3.485421 8.049544

A.2.1 7.615869 35.70424

A.2.2 6.101857 34.39164

A.2.3 2.028522 2.716656

A.3.1 5.469472 14.22413

A.3.2 5.800575 18.08233

A.3.3 12.69075 15.72647

Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot

faktor (loading factor) untuk kedelapan indikator yang diperoleh

menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur

setiap dimensi kondisi faktor sudah valid dan reliabel. Hal ini

ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing indikator lebih

besar dari nilai t tabel 1,96. Artinya, pada first order, indikator yang

66 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

digunakan tersebut secara signifikan mampu merefleksikan setiap

dimensi kondisi faktor. Demikian juga pada second order, konstruk

kondisi faktor berpengaruh terhadap seluruh indikator pada first order

pembentuk dimensi kondisi faktor, ditunjukkan oleh nilai thitung yang

lebih besar dari nilai tabel 1,96.

Tabel 5.3 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel

Kondisi Faktor

Composite

Reliability AVE

A 0.836893 0.406166

A.1 0.829765 0.710642

A.2 0.857356 0.681285

A.3 0.876065 0.702752

Sumber: data diolah

Pada Tabel 5.3, nilai Composite Reliability untuk variabel laten

kondisi faktor sebesar 0.837, menunjukkan tingkat kesesuaian

indikator dalam membentuk konstruk variabel laten kondisi faktor

sebesar 0.837 dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance

extracted (AVE) sebesar 0.406 menunjukkan bahwa secara rata-rata

40.6% informasi yang terdapat pada masing-masing indikator dapat

mencerminkan variabel laten kondisi faktor.

5.2.2 Model Pengukuran Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan diukur menggunakan 3 indikator. Melalui

bobot faktor yang terdapat pada Lampiran 2 dapat dilihat pada

second order, indikator pertumbuhan nilai transaksi jasa

pergudangan dalam kurun 3 tahun terakhir memiliki bobot faktor

paling besar (0.975865) yang menunjukkan bahwa indikator tersebut

paling kuat merefleksikan variabel kondisi permintaan. Selanjutnya

hasil pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta tingkat

kesesuaian indikator dalam membentuk variabel bisa diketahui

melalui nilai t-hitung masing-masing indikator tersebut.

67 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai thitung

disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.4 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Kondisi Permintaan

B

B.1 8.788014

B.2 19.888531

B.3 100.67255

Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot

faktor (loading factor) untuk ketiga indikator yang diperoleh

menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur

variabel laten kondisi permintaan sudah valid dan reliabel. Hal ini

ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing indikator lebih

besar dari nilai t tabel 1,96. Artinya, pada second order, indikator

yang digunakan tersebut secara signifikan mampu merefleksikan

variabel kondisi permintaan.

Nilai Composite Reliability untuk variabel laten kondisi

permintaan sebesar 0.913 menunjukkan tingkat kesesuaian indikator

dalam membentuk konstruk variabel laten kondisi permintaan

sebesar 0.913 dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance

extracted (AVE) sebesar 0.779 menunjukkan bahwa secara rata-rata

77.9% informasi yang terdapat pada masing-masing indikator

mencerminkan variabel laten kondisi permintaan.

5.2.3 Model Pengukuran Industri Pendukung dan Terkait

Industri pendukung dan terkait diukur menggunakan 6 indikator.

Melalui bobot faktor yang terdapat pada outer loading yang terdapat

pada Lampiran 2 dapat dilihat pada first order dimensi keberadaan

industri hulu, indikator potensi industri hulu terhadap pengembangan

bisnis jasa pergudangan memiliki bobot faktor paling besar

68 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

(0.956055), menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat

merefleksikan dimensi keberadaan industri hulu. Untuk dimensi

keberadaan industri hilir, indikator dukungan industri hilir terhadap

kelancaran bisnis jasa pergudangan memiliki bobot faktor paling

besar (0.921795) yang menunjukkan bahwa indikator tersebut paling

kuat dalam merefleksikan dimensi keberadaan industri hilir. Pada

dimensi keberadaan lembaga riset dan pengembangan industri,

indikator peran lembaga riset dan pemerintah dalam pengembangan

industri memiliki bobot faktor paling besar (0.961999) yang

menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat dalam

merefleksikan dimensi keberadaan lembaga riset dan

pengembangan.

Pada second order, dimensi keberadaan industri hulu memiliki

bobot faktor paling besar (0.934) yang menunjukkan bahwa dimensi

tersebut paling kuat merefleksikan variabel laten indusri pendukung

dan terkait. Selanjutnya hasil pengujian bobot faktor masing-masing

indikator beserta tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk

variabel bisa diketahui melalui nilai thitung masing-masing indikator

tersebut.

Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai thitung

disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.5 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Industri

Pendukung dan Terkait

C C.1 C.2 C.3

C.1.1 24.43314 74.88649

C.1.2 49.50941 92.80182

C.2.1 18.56727 31.21813

C.2.2 16.89262 28.66836

C.3.1 2.060341 1.951517

C.3.2 2.362835 1.878157 Sumber: data diolah

69 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot

faktor (loading factor) untuk keenam indikator yang diperoleh

menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur

variabel laten industri pendukung dan terkait sudah valid dan reliabel.

Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing

indikator lebih besar dari nilai tabel 1,96. Artinya, pada first order,

indikator yang digunakan tersebut secara signifikan mampu

merefleksikan setiap dimensi industri pendukung dan terkait, kecuali

dua indikator pada dimensi keberadaan lembaga riset. Demikian juga

pada second order, konstruk industri pendukung dan terkait

berpengaruh terhadap seluruh indikator pada first order pembentuk

dimensi industri pendukung dan terkait, ditunjukkan oleh nilai thitung

yang lebih besar dari nilai tabel 1,96.

Tabel 5.6 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Industri

Pendukung dan Terkait

Composite

Reliability AVE

C 0.746881 0.54119

C.1 0.954577 0.913102

C.2 0.916526 0.845915

C.3 0.955027 0.913928

Sumber: data diolah

Pada Tabel 5.6, nilai Composite Reliability untuk variabel laten

industri pendukung dan terkait sebesar 0.747, menunjukkan tingkat

kesesuaian indikator dalam membentuk konstruk variabel laten

industri pendukung dan terkait sebesar 0.747 dalam skala 0 – 1.

Kemudian nilai average variance extracted (AVE) sebesar 0.541

menunjukkan bahwa secara rata-rata 54.1% informasi yang terdapat

pada masing-masing indikator mencerminkan variabel laten industri

pendukung dan terkait.

70 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

5.2.4 Model Pengukuran Strategi Perusahaan, Struktur dan

Persaingan

Strategi perusahaan, struktur dan persaingan diukur

menggunakan 3 indikator. Melalui bobot faktor yang terdapat pada

outer loading yang terdapat pada Lampiran 2 dilihat pada first order

dimensi strategi merespon pelanggan, indikator kemudahan

melibatkan mitra perusahaan logistik untuk merespon perubahan

pasar memiliki bobot faktor paling besar (0.929646), menunjukkan

bahwa indikator tersebut paling kuat merefleksikan dimensi strategi

merespon pelanggan.

Pada second order, dimensi strategi merespon pelanggan

memiliki bobot faktor paling besar (0.935) yang menunjukkan bahwa

dimensi tersebut paling kuat merefleksikan variabel laten strategi

perusahaan, struktur dan persaingan. Hasil pengujian bobot faktor

masing-masing indikator beserta tingkat kesesuaian indikator dalam

membentuk dimensi disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.7 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Strategi

Perusahaan, Struktur, dan Persaingan

D D.1 D.2

D.1.1 12.80843 27.40846

D.1.2 57.07692 70.80401

D.2.2 9.639637

Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot

faktor (loading factor) untuk ketiga indikator yang diperoleh

menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur

variabel laten industri strategi perusahaan, struktur dan persaingan

sudah valid dan reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung

untuk masing-masing indikator lebih besar dari nilai tabel 1,96.

Artinya, pada first order, indikator yang digunakan tersebut secara

71 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

signifikan mampu merefleksikan setiap dimensi strategi perusahaan,

struktur dan persaingan. Demikian juga pada second order, konstruk

strategi perusahaan, struktur dan persaingan berpengaruh terhadap

seluruh indikator pada first order pembentuk dimensi industri

pendukung dan terkait, ditunjukkan oleh nilai thitung yang lebih besar

dari nilai tabel 1,96.

Tabel 5.8 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Strategi

Perusahaan, Struktur, dan Persaingan

Composite

Reliability AVE

D 0.852817 0.661041

D.1 0.915875 0.844823

D.2 1 1

Sumber: data diolah

Pada Tabel 5.8, nilai Composite Reliability untuk variabel laten

strategi perusahaan, struktur dan persaingan sebesar 0.853

menunjukkan tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk

konstruk variabel laten strategi perusahaan, struktur dan persaingan

sebesar 0.853 dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance

extracted (AVE) sebesar 0.661 menunjukkan bahwa secara rata-rata

66.1% informasi yang terdapat pada masing-masing indikator

mencerminkan variabel laten industri strategi perusahaan, struktur

dan persaingan.

5.2.5 Model Pengukuran Pemerintah

Pemerintah sebagai faktor yang diduga memengaruhi kinerja

pergudangan diukur menggunakan 4 indikator. Melalui bobot faktor

yang terdapat pada outer loading yang terdapat pada Lampiran 2

dapat dilihat pada first order dimensi regulasi, indikator dampak

kebijakan pengupahan memiliki bobot faktor paling besar (0.917625),

72 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat merefleksikan

dimensi regulasi.

Pada second order, dimensi regulasi memiliki bobot faktor

paling besar (0.989) yang menunjukkan bahwa dimensi tersebut

paling kuat merefleksikan variabel laten pemerintah. Selanjutnya

hasil pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta tingkat

kesesuaian indikator dalam membentuk variabel bisa diketahui

melalui nilai thitung masing-masing indikator tersebut.

Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai thitung

disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.9 Hasil Pengujian Bobot Faktor Variabel Pemerintah

E D.1 D.2

E.1 141.5489

E.2.1 77.620395 60.56739

E.2.2 58.361208 56.61717

E.2.4 11.561246 14.66579

Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot

faktor (loading factor) untuk keempat indikator yang diperoleh

menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur

variabel laten pemerinth sudah valid dan reliabel. Hal ini ditunjukkan

dengan nilai thitung untuk masing-masing indikator lebih besar dari

nilai tabel 1,96. Artinya, pada first order, indikator yang digunakan

tersebut secara signifikan mampu merefleksikan setiap dimensi

pemerintah. Demikian juga pada second order, konstruk pemerintah

berpengaruh terhadap seluruh indikator pada first order pembentuk

dimensi pemerintah, ditunjukkan oleh nilai thitung yang lebih besar

dari nilai tabel 1.96.

73 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Tabel 5.10 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel

Pemerintah

Composite

Reliability AVE

E 0.927148 0.764313

E.1 1 1

E.2 0.889438 0.730315

Sumber: data diolah

Pada Tabel 5.10, nilai Composite Reliability untuk variabel laten

pemerintah sebesar 0.927, menunjukkan tingkat kesesuaian indikator

dalam membentuk konstruk variabel laten pemerintah sebesar 0.927

dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance extracted (AVE)

sebesar 0.764 menunjukkan bahwa secara rata-rata 76.4% informasi

yang terdapat pada masing-masing indikator mencerminkan variabel

laten pemerintah.

5.2.6 Model Pengukuran Kinerja Industri Jasa Pergudangan

Kinerja industri jasa pergudangan diukur menggunakan 4

indikator. Melalui bobot faktor yang terdapat pada outer loading yang

terdapat pada Lampiran 2 dapat dilihat pada first order dimensi

sistem, indikator tingkat penggunaan IT memiliki bobot faktor paling

besar (0.905541), menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat

merefleksikan dimensi sistem.

Pada second order variabel laten kinerja industri jasa

pergudangan, dimensi sistem memiliki bobot faktor paling besar

(0.954) yang menunjukkan bahwa dimensi tersebut paling kuat dalam

merefleksikan variabel kinerja industri jasa pergudangan. Selanjutnya

hasil pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta tingkat

kesesuaian indikator dalam membentuk dimensi bisa diketahui

melalui nilai thitung masing-masing indikator tersebut.

Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai thitung

disajikan pada tabel berikut:

74 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Tabel 5.11 Hasil Pengujian Bobot Faktor Variabel Kinerja

Industri Jasa Pergudangan

F F.1 F.2 F.3

F.1.3 15.749576

F.2.1 67.862124 114.7718

F.2.3 12.505406 21.89495

F.3.2 32.502382

Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot

faktor (loading factor) untuk keempat indikator yang diperoleh

menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur

variabel laten kinerja industri jasa pergudangan sudah valid dan

reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing

indikator lebih besar dari nilai tabel 1,96. Artinya, pada first order,

indikator yang digunakan tersebut secara signifikan mampu

merefleksikan setiap dimensi kinerja industri jasa pergudangan.

Demikian juga pada second order, konstruk kinerja industri jasa

pergudangan berpengaruh terhadap seluruh indikator pada first order

pembentuk dimensi kinerja industri jasa pergudangan, ditunjukkan

oleh nilai thitung yang lebih besar dari nilai tabel 1,96.

Tabel 5.12 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Kinerja

Industri Jasa Pergudangan

Composite Reliability AVE

F 0.88126 0.653883

F.1 1 1

F.2 0.836749 0.720293

F.3 1 1 Sumber: data diolah

75 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Pada Tabel 5.12, nilai Composite Reliability untuk variabel laten

kinerja industri jasa pergudangan sebesar 0.881, menunjukkan

tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk konstruk variabel

laten kinerja industri jasa pergudangan sebesar 0.881 dalam skala 0

– 1. Kemudian nilai average variance extracted (AVE) sebesar 0.654

menunjukkan bahwa secara rata-rata 65.4% informasi yang terdapat

pada masing-masing indikator mencerminkan variabel laten kinerja

industri jasa pergudangan.

5.3 Pengujian Model Struktural (Inner Model)

Setelah evaluasi pengukuran dilakukan (outer model untuk

mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen), langkah selanjutnya

adalah pengujian model struktural (inner model). Diagram jalur yang

menggambarkan hubungan antar variabel laten terbentuk tercermin

dalam Gambar 5.1 pada bagian sebelumnya. Diagram jalur tersebut

sekaligus menggambarkan beberapa indikator pengukuran baik outer

model (hubungan setiap blok indikator dengan variabel latennya,

sebagaimana diuraikan dalam pengujian validitas dan reliabilitas

instrumen), maupun inner model (hubungan antar variabel laten),

yang akan diuraikan dalam penjelasan berikut.

Pengujian model struktural dilakukan untuk menilai hubungan

antar variabel laten dalam model, dengan melihat nilai R-square yang

sekaligus sebagai goodness fit (GoF) model. Nilai R-square yang

didapat dengan bantuan SmartPLS sebagaimana terlihat dalam

gambar full model adalah 0.827. Sesuai dengan kriteria pengukuran

model sebagaimana dikemukakan Chin (dalam Ghozali, 2011)

tentang baik, moderat atau lemahnya model, maka nilai R-square

sebesar 0.827 menunjukkan bahwa struktur yang terbangun dalam

penelitian ini adalah baik.

Nilai R-square tersebut dapat diinterpretasikan bahwa

variabilitas konstruk kinerja industri jasa pergudangan sebesar 82.7%

dapat dijelaskan oleh variabilitas konstruk kondisi faktor, kondisi

permintaan, industri pendukung dan terkait, strategi perusahaan,

76 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

struktur dan persaingan, dan pemerintah, sedangkan 17,3% sisanya

dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar kajian.

Berikut rangkuman nilai-nilai yang digunakan dalam pengujian

model struktural.

Tabel 5.13 Rangkuman Hasil Pengujian Model Struktural

Jalur Koefi

sien

thit

ung*

R-

Square

Kondisi faktor à Kinerja industri jasa

pergudangan

0.051 0.5

28

0.827

Kondisi permintaan à Kinerja

industri jasa pergudangan

-0.034 0.5

08

Industri pendukung dan terkait à

Kinerja industri jasa pergudangan

-0.547 3.8

13

Strategi perusahaan, struktur, dan

persaingan à Kinerja industri jasa

pergudangan

0.392 4.8

81

Pemerintah à Kinerja industri jasa

pergudangan

0.893 11.

219

*ttabel = 1,96

Sumber: data diolah

Untuk mengetahui bahwa model yang dibangun signifikan (yakni

kinerja industri jasa pergudangan dapat dijelaskan oleh variabilitas

kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait,

strategi perusahaan, struktur dan persaingan, dan pemerintah),

dilakukan melalui statistik uji F dengan ketentuan model signifikan

jika Fhitung lebih besar dari Ftabel, dan sebaliknya. Melalui nilai

koefisien determinasi (nilai R2) dapat dihitung nilai F dengan rumus

sebagai berikut.

dimana:

77 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

n = jumlah sampel

k = jumlah variable bebas

R2Y(X1, …, X5) = koefisien determinasi

Dengan sampel 72 dan variabel bebas sebanyak 5, maka nilai dapat

diperoleh sebagai berikut:

Dari tabel F untuk tingkat kesalahan 0,05 dan derajat bebas

(5;66) diperoleh nilai F tabel sebesar 2,354. Karena dari hasil kajian

diperoleh nilai Fhitung (38,071) yang lebih besar dibanding Ftabel

(2,354), maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kekeliruan

5% model signifikan. Atau, dengan tingkat kekeliruan 5%, kinerja

industri jasa pergudangan dapat dijelaskan oleh variabilitas elemen

daya saing (kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung

dan terkait, strategi perusahaan, struktur dan persaingan, dan

pemerintah).

Untuk mengetahui pengaruh setiap elemen daya saing terhadap

kinerja industri tersebut digunakan uji t. Pengujian ini mengacu pada

nilai rangkuman hasil pengujian model struktural pada Tabel 5.13

Kriteria pengujian adalah bahwa sebuah variabel (elemen daya

saing) berpengaruh signifikan terhadap kinerja industri jasa

pergudangan jika thitung lebih besar dari ttabel, dan sebaliknya.

Pada Tabel 5.13 tersebut, ada dua variabel yang tidak terlalu

signifikan yaitu kondisi faktor (nilai thitung = 0.528) dan kondisi

permintaan (nilai thitung = 0.508) karena nilai thitung kedua variabel

tersebut lebih kecil dibanding nilai ttabel pada tingkat kekeliruan 5%

(yakni 1.96). Untuk ketiga elemen daya saing lainnya, dengan nilai

thitung yang lebih besar daripada ttabel, berpengaruh signifikan

terhadap kinerja industri jasa pergudangan.

Diantara ketiga elemen daya saing yang berpengaruh signifikan

tersebut, pemerintah merupakan variabel yang berpengaruh paling

78 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

kuat terhadap kinerja industri jasa pergudangan. Hal ini tercermin

dari koefisien jalur yang terbentuk, yakni 0.893 dibanding dua

variabel lainnya. Bahkan, elemen industri pendukung dan terkait

memiliki hubungan kebalikan dengna kinerja industri jasa

pergudangan, ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai negatif.

79 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB VI

STRATEGI PENGEMBANGAN JASA PERGUDANGAN

6.1 Kebijakan Pergudangan Saat Ini

Terminologi logistik dan pergudangan sesungguhnya tidak

dapat disepadankan maknanya, mengingat pergudangan adalah

bagian dari sistem logistik. Namun keduanya dinyatakan secara

bersamaan untuk memberikan tekanan akan pentingnya

pergudangan untuk mendukung sistem logistik nasional yang efisien.

Seperti yang dijelaskan dalam Baijal (2014) bahwa kebijakan

pergudangan yang efektif dapat berkontribusi pada efisiensi sistem

logistik secara keseluruhan, seperti yang terjadi di Amerika dan

Tiongkok.

Sementara BKPM (2011) menjelaskan sebaliknya bahwa

konsep kebijakan sistem logistik akan berpengaruh pada kinerja

pergudangan. Hal ini dikarenakan infrastruktur logistik yang

membentuk jaringan keterpaduan dari organisasi dan fasilitas logistik

antara fasilitas Hub, Cross Docked Center (CDC), Regional

Distribution Center (RDC), Distribution Center (DC), dan fasilitas

sejenis. Konsep ini juga menggambarkan peran infrastruktur

transportasi dan pergudangan yang menonjol.

BKPM (2011) juga menjelaskan bahwa sistem jaringan logistik

juga dipengaruhi oleh karakteristik geografis dan geologi wilayah.

Terdapat dua sistem dalam konteks ini, yaitu Coastal Logistic

System dan Landlocked Logistic System. Bagi Indonesia sebagai

negara kepulauan dengan beberapa pulau besar, kedua konsep ini

dapat diterapkan bersama-sama. Konsekuensinya, Indonesia

membutuhkan beragam moda transportasi dengan jaringan Logistic

Hub di setiap wilayah dengan potensi ekspor impor yang tinggi dan

di pulau-pulau besar. Pelabuhan ekspor harus dikembangkan di

80 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

banyak wilayah, bersamaan dengan itu harus dibangun infrastruktur

transportasi darat yang memadai.

Terkait dengan kebijakan, terdapat hal yang perlu menjadi

perhatian, mengingat perkembangan sistem logistik yang modern

yang cepat juga menuntut sistem pergudangan yang efisien. Dalam

hal ini, terdapat trade off antara biaya pergudangan dan transportasi.

Beberapa pernyataan dari responden menyebutkan bahwa efisiensi

transportasi akan meningkatkan biaya pergudangan, sementara

efisiensi pergudangan akan menambah biaya transportasi. Namun

demikian, pengelolaan gudang akan mendorong peningkatan

produktivitas sektor manufaktur, karena adanya jaminan kelancaran

dan efisiensi arus barang dari bahan mentah sampai barang jadi.

Karena itu, pentingnya pergudangan tidak hanya terkait dengan

pembangunan fisik gudang, melainkan manajemen pergudangan

modern yang didukung teknologi informasi dan komunikasi.

Saat ini setidaknya terdapat beberapa landasan hukum yang

dijadikan dasar kebijakan pergudangan, antara lain:

a. Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

(Pasal 12, Pasal 15, dan Pasal 17) yang intinya

mengamanatkan pemerintah d an pemerintah daerah dalam

melakukan penataan dan pembinaan pergudangan, baik secara

sendiri atau bersama-sama.

b. Perpres No. 71 Tahun 2015 Tentang Penetapan dan

Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting

yang secara tidak langsung mendukung peran pergudangan

untuk menjamin kelancaran pengelolaan bahan pokok dan

barang penting .

c. Permendag No. 90 Tahun 2014 Tentang Penataan dan

Pembinaan Gudang yang mewajibkan pendaftaran gudang dan

pencatatan administrasi gudang.

d. Perpres No. 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha

Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan

81 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal yang mengatur

kepemilikan asing (foreign equity) pada sub sektor

pergudangan sebesar maksimum 67% untuk coldstorage di

wilayah Indonesia Timur dan maksimum 33% untuk jasa

pergudangan dan penyimpanan berpendingin (cold storage) di

wiayah barat Indonesia.

Adapun beberapa manfaat yang diharapkan dari penerapan

kebijakan antara lain:

a. Mempermudah Pemerintah dalam mengambil kebijakan yang

tepat dalam hal terjadi kelangkaan barang kebutuhan pokok

dan barang penting.

b. Meminimalisir terjadinya penimbunan barang kebutuhan pokok

dan barang penting oleh spekulan untuk tujuan mendapatkan

keuntungan sebesar-besarnya

c. Meningkatkan stabilitas stok dan harga barang kebutuhan

pokok dan barang penting

d. Menjamin kelancaran distribusi dan ketersediaan barang

kebutuhan pokok dan barang penting

e. Tersedianya data gudang

f. Tersedianya data stok barang terutama barang kebutuhan

pokok dan barang penting

g. Meningkatkan perlindungan konsumen

h. Meningkatkan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

6.2 Kebijakan Logistik dan Pergudangan di Beberapa Negara

Seperti pada publikasi Logistic Performance Index (LPI) tahun

2014 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, Indonesia masih berada

pada peringkat ke-53 berdasarkan persepsi pelaku usaha logistik

global. Terlepas dari persepsi yang ditampilkan, LPI tersebut dapat

memberi gambaran bahwa masih terdapat ruang perbaikan yang

perlu dilakukan oleh Indonesia dalam membenahi sektor logistiknya,

termasuk jasa pergudangan.

82 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu pertimbangan yang

dapat dilakukan adalah review kebijakan di beberapa negara sebagai

bahan perbandingan (benchmark) dalam formulasi kebijakan logistik

secara umum, dan pergudangan secara khusus. Dalam kajian ini,

review kebijakan dilakukan pada negara Australia, Tiongkok,

Malaysia, Thailand, dan India melalui telaah literatur. Adapun

Australia, Tiongkok, Malaysia, dan Thailand merupakan negara

dengan peringkat LPI yang relatif lebih tinggi dari Indonesia,

sementara India walaupun peringkat LPInya berada di bawah

Indonesia (ke-54), namun dari sisi biaya logistik terhadap PDB relatif

lebih rendah.

6.2.1 Australia

BKPM (2011) menjelaskan bahwa karakteristik

pengembangan logistik di Australia yang menyeluruh dan

sistematis, dengan penekanan pada peningkatan

profesionalitas perusahaan jasa logistik. Pengembangan

logistik Australia dimulai ketika dikeluarkannya kebijakan

pengembangan industri logistik tahun 2000 – 2001 tentang

Freight Transport Logistics Industry Action Agenda. Secara

umum, BKPM (2011) menjelaskan bahwa tujuan kebijakan

adalah membangun kemitraan strategis antara pelaku industri

dan pemerintah dalam rangka mendukung pertumbuhan

ekonomi berkelanjutan di tengah lingkungan global yang

dinamis. Dalam kebijakan tersebut terdapat 3 (tiga) sasaran

utama yang hendak dicapai, yaitu:

1) Meningkatkan kemitraan antara industri logistik dan

pemerintah.

2) Menyusun model pengembangan industri logistik untuk

mendukung pertumbuhan ekonomi.

3) Mengembangkan perusahaan-perusahaan logistik untuk

mampu bersaing secara internasional.

83 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Untuk mendukung tercapainya sasaran tersebut,

pemerintah membentuk dewan logistik (Australian Logistics

Council) yang bertugas menyusun kerangka kerja secara

menyeluruh, termasuk sistem koordinasi antara para

pemangku kepentingan, termasuk melakukan review dan

harmonisasi terhadap regulasi yang sudah ada, serta secara

khusus review terhadap kinerja ekspor dan kinerja sistem

logistik agar dapat bersaing secara internasional.

Kemitraan antara pemerintah dan swasta utamanya

ditujukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan logistik,

seraya mengembangkan infrastruktur transportasi dan sistem

informasi berbasis e-logistic. Australia memiliki sekitar 70

perusahaan freight logistics berkelas internasional pada 2001,

suatu capaian dari kebijakan kemitraan pemerintah swasta

dalam pengembangan industri logistik.

6.2.2 Tiongkok

Perkembangan sistem logistik di China tak terlepas dari

gerakan liberalisasi ekonomi sejak akhir 1970-an, dan menjadi

anggota penuh WTO pada 2001 yang menjadikan China

menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di

dunia (BKPM, 2011). Sejak saat itu, sistem logistik di Tiongkok

mengalami kemajuan yang cukup pesat sebagai konsekuensi

dari liberalisasi ekonomi.

Sistem urban logistic China dapat menjadi bahan

rujukan pengembangan sistem logistik nasional dengan

simpul-simpul kegiatan di perkotaan. Jaringan urban logistic

meliputi paling tidak empat simpul distribusi, yaitu: logistic hub,

central distribution center (CDC), regional distribution (RDC)

center dan distribution center (DC). Keempat simpul itu

terintegrasi, baik dalam hal infrastruktur fisik yang menjamin

lalu lintas barang berjalan dengan lancar, maupun sistem

informasi dan standar pelayanannya.

84 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Logistic Hub dapat diartikan sebagai central logistik,

yaitu simpul-pusat fasilitas logistik yang berperan melakukan

pemeriksaan dan pendistribusian barang dalam jumlah besar

(wholesale supply) dari dan menuju kegiatan transportasi laut,

udara, dan darat. Lokasi hub umumnya di pelabuhan atau

terminal kegiatan ekspor impor. Sedangkan Central

Distribution Center & Cross Docking Center (CDC) adalah

simpul yang memfasilitasi kegiatan pengklasifikasian dan

pengemasan barang yang berasal dari beberapa supplier. Di

tempat CDC ini barang dikelompokkan sesuai jenis dan moda

transportasi yang akan digunakan pada tahapan distribusi

selanjutnya.

Regional Distribution Center (RDC) adalah simpul

logistik wilayah yang berperan dalam kegiatan pengumpulan

dan pengelompokan barang (finished goods) untuk

didistribusikan melalui distribution center dari para importer,

dealer, atau pihak-pihak lain di dalam atau diluar wilayah.

Kegiatan ini difasilitasi adanya sistem informasi terpadu,

kegiatan pengemasan dan pelabelan, serta pendistribusian.

Barang-barang yang ditangani di RDC umumnya ukuran yang

kecil, jumlah jenis yang banyak, dan penanganan yang

khusus. Sedangkan Distribution Centers (DC), merupakan unit

terkecil dari jaringan urban logistics yang umumnya

menjalankan fungsi pergudangan. Gudang dibangun untuk

menampung barang dalam proses akhir distribusi sebelum

diredistribusi kepada pelaku usaha grosir atau peritel, lalu

kepada konsumen akhir dalam proses penjualan.

Studi Jiang & Chen (2009) terkait kapasitas urban

logistic di 30 kota besar di China menghasilkan struktur

jaringan sebagai berikut: (i) 2 kota berperan sebagai

Hub/CDC, yaitu Shanghai dan Guangzhou, (ii) 4 kota

berperan sebagai CDC/RDC, yaitu Beijing, Tianjing, Nanjing

85 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

dan Hangzhou, dan (iii) 24 kota berperan RDC/DC, termasuk

di antaranya Jinan, Hohhot, Harbin, Urumqi, dll. Fasilitas

Hub/CDC dan CDC/RDC ditempatkan di pelabuhan, seperti di

wilayah Bohai Bay (Beijing), Delta Sungai Yangtze (Shanghai,

Nanjing dan Hang-zhou) dan Delta Sungai Pearl

(Guangzhou). Sementara fasilitas RDC/DC dapat berlokasi di

semua kota.

6.2.3 India

India merupakan negara daratan (landlocked country)

yang membutuhkan jaringan logistik dengan infrastruktur yang

kuat. Namun, pengembangan inftrastruktur di India relatif

tertinggal dibanding China dan Australia (BKPM, 2011). Meski

logistik di India dinilai belum efisien, namun indikatornya

masih jauh lebih baik dibanding Indonesia. Biaya logistik di

India hanya sekitar 13% GDP dan biaya pergudangan hanya

sekitar 3% (Baijal, 2014), relatif lebih baik dibandingkan

dengan Indonesia.

India telah memiliki kebijakan National Integrated

Logistics Policy (NILP), dengan visi infrastruktur logistik 2020

yang menitikberatkan pada keseimbangan kapasitas moda

transportasi. Fokus pada perbaikan struktur dan kapasitas

infrastruktur transportasi dengan target tahun 2020: 47%

(pangsa moda jalan raya), 46% (pangsa moda kereta api),

dan 6% (pangsa moda angkutan laut). Sementara target

penurunan biaya logistik menjadi sekitar 4% pada tahun 2020.

Kebijakan ini juga menargetkan terbangunnya sekitar 15-20

pusat pergudangan di simpul-simpul logistik (BKPM, 2011).

Dalam rangka peningkatan daya saing pergudangan,

Pemerintah India telah menerapkan beberapa kebijakan,

antara lain:

a. Warehousing Development Regulation Act (WDRA) yang

berlaku sejak tahun 2007 yang mengatur tentang Sistem

86 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Resi Gudang dan standardisasi gudang dan jasa

pendukungnya. Kebijakan tersebut khusus diberlakukan

pada komoditas pangan.

b. Free Trade and Warehousing Zone yang berlaku pada

tahun 2004 dan terintegrasi dengan konsep Kawasan

Ekonomi Khusus (KEK). Kebijakan ini memberikan insentif

fiskal (pembebasan pajak dan cukai untuk pengelolaan

gudang ekspor-impor), penyediaan infrastruktur, dan

sistem administrasi yang efisien.

c. Goods and Services Tax yang direncanakan akan berlaku

pada bulan April tahun 2016 untuk menghindari double

taxation pengusahaan pergudangan di seluruh wilayah

India.

d. Pembangunan Multi Modal Logistic Hub, dengan lokasi

yang ditentukan oleh Pemerintah (Delhi-Mumbai) dan

akan dikelola oleh pihak swasta.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah India

fokus pada konsolidasi pergudangan dengan penciptaan iklim

yang kondusif dan infrastruktur yang memadai. Sementara

fungsi pengelolaan/manajemen pergudangan dan logistik

dilakukan oleh pihak swasta. Namun demikian, untuk

komoditas pangan, pemerintah mengatur rantai pasok hulu ke

hilir, termasuk jasa logistik dan pergudangannya.

6.2.4 Thailand

Thailand merupakan negara yang sedang

mengembangkan kebijakan logistiknya yang secara otomatis

didukung dengan kebijakan pergudangan. Sebagai targetnya,

Thailand menetapkan bahwa wilayahnya memiliki potensi

sebagai regional hub di kawasan ASEAN dengan beberapa

negara utama di kawasan Mekong yaitu Kamboja, Vietnam,

dan Laos.

87 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah

mendukung asosiasi (pelaku usaha) dalam penerapan

manajemen logistik yang efisien dengan perishable dan frozen

food sebagai produk penggerak. Adapun beberapa strategi

yang dilakukan antara lain:

a. Perbaikan bisnis logistik mendukung traceable supply

chain melalui standardisasi

b. Optimasi transportasi & jaringan logistik melalui

pengembangan infrastruktur, khususnya pelabuhan,

kawasan pergudangan, dan moda transportasi.

c. Internasionalisasi jasa logistik melalui pembinaan

penyedia jasa logistik Thailand agar tetap kompetitif

d. Penguatan fasilitas perdagangan melalui efisiensi

penanganan export dan impor. Pemerintah melalui

otoritas pelabuhan membangun gudang transit (in-transit

warehouse) khusus perdagangan dengan negara

Indochina; kawasan pergudangan di zona bebas (bonded

warehouse zone for free trade) untuk mendorong ekspor.

e. Pengembangan SDM logistik melalui kerjasama

pemerintah dengan institusi pendidikan untuk menentukan

standard bagi logistics professionals dan logistics labour

skills.

Selain itu, pemerintah membuka kesempatah asing

untuk mengembangkan subsektor pergudangan melalui

kebijakan investasi hingga 70% foreign equity (AFAS 2013, 9

package). Selain itu, kebijakan standard wajib/sukarela bagi

produk pertanian merupakan kebijakan utama yang

mendorong penerapan standard infrastruktur pendukungnya,

salah satunya adalah standard gudang dan penyedia gudang

(Ag Standard ACT 2008).

88 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

6.3 Strategi dan Kebijakan Pengembangan

Berdasarkan hasil analisis SWOT, jasa pergudangan di

Indonesia berada dalam tahap pengembangan yang berada di

Kuadran I dimana jasa pergudangan dipersepsikan memiliki

kekuatan yang memadai dan peluang yang potensial. Artinya,

berdasarkan persepsi responden, pengembangan jasa pergudangan

di Indonesia telah berada dalam arah yang tepat namun masih

memerlukan perbaikan terutama untuk mengoptimalkan

pemanfaatan peluang.

Sementara berdasarkan hasil analisis SEM dengan PLS,

beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menunjang kinerja jasa

pergudangan adalah biaya, modernisasi sistem informasi dan

tekhnologi pada pengelolaan gudang, standardiasi prosedur, dan

standardisasi teknis minimum yang mengacu pada SNI atau

standard lainnya. Dengan demikian, strategi dan kebijakan yang

dilakukan harus berpedoman pada efisiensi indicator kinerja

tersebut, walaupun dalam penelitian ini tidak disebutkan secara

spesifik proporsi yang ideal.

Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh

dalam menunjang kinerja jasa pergudangan antara lain: (i) kualifikasi

SDM (SDM pengalaman minimal 3 tahun dan bekerja pada

perusahaan yang sama selama 5 tahun); (ii) sumber pengetahuan di

perusahaan (keberadaan tim riset, implementasi hasil riset, dan

fasilitas pengembangan SDM); (iii) Infrastruktur perusahaan (akses

lahan, dukungan jalan, dan sarana penunjang); (iv) permintaan

(pertumbuhan jumlah pelanggan, jumlah item, dan nilai transaksi; (v)

keberadaan industry hulu, industry hilir, dan lembaga riset yang

melibatkan akademisi dan asosiasi/pemerintah; (vi) strategi

merespon pelanggan dan klasterisasi industry; (vii) dan kebijakan

pemerintah (pajak, investasi, upah, dan kebijakan terkait lainnya).

Secara sederhana, hubungan antara kinerja dengan variabel yang

berpengaruh dijelaskan pada Gambar 6.1 berikut.

89 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Gambar 6.1 Hubungan Variabel Terhadap Kinerja Jasa Pergudangan

Dari Gambar 6.1 dapat dijelaskan bahwa pada kondisi saat

ini, terdapat hubungan negatif antara kinerja jasa pergudangan

dengan variabel permintaan dan industri pendukung dan terkait.

Secara praktis, dapat dijelaskan bahwa jasa pergudangan akan

menghadapi tantangan kinerja, seperti biaya yang relatif tinggi,

modernisasi sitem yang rendah dan penerapan standard SNI/lainnya

yang belum memadai jika permintaan dan dukungan dari industry

terkait meningkat, ceteris paribus. Dengan kata lain, jasa

pergudangan di Indonesia mengalami “kelebihan permintaan”.

Berdasarkan hal tersebut, strategi dan kebijakan pemerintah

perlu fokus pada upaya meningkatkan kinerja jasa pergudangan

(biaya yang efisien, modernisasi sistem, dan penerapan standard)

dengan mengoptimalkan faktor-faktor yang berpengaruh. Dengan

menelaah orientasi kebijakan pemerintah, maka strategi dan

90 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

kebijakan pengembangan jasa pergudangan disajikan sebagai

berikut.

1. Pemerintah perlu menetapkan target kinerja jasa pergudangan

yang terdiri dari biaya, modernisasi sistem, dan penerapan

standard SNI/lainnya.

a) Untuk biaya, target pemerintah dalam menurunkan biaya

logistik terhadap PDB dapat diperinci hingga target biaya

pergudangan (inventory) yang kemudian dapat dijadikan

acuan bagi pelaku jasa pergudangan.

b) Untuk modernisasi sistem, pemerintah dapat menetapkan

target penerapan warehouse management system (WMS)

dalam pengelolaan gudang. Dalam hal ini, WMS meliputi

penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran.

Implementasinya dapat melibatkan asosiasi terkait dengan

mengoptimalkan Permendag No 90/2014.

c) Untuk penerapan standard, target adopsi standard minimal

perlu ditetapkan dimana untuk gudang produk pertanian

dapat mengacu pada SNI 7331:2007. Sementara untuk

gudang umum, pemerintah perlu menerapkan standard

minimal sebagai acuan bagi jasa pergudangan.

2. Terkait dengan faktor yang mempengaruhi kinerja, maka strategi

dan kebijakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

a) Melakukan pembinaan SDM pelaku usaha jasa pergudangan

untuk mendorong aktivitas pengembangan SDM dan

dukungan riset. Implementasinya dapat bekerjasama dengan

Asosiasi terkait dengan memanfaatkan Permendag No

90/2014 terutama untuk pembinaan pelaku usaha jasa

pergudangan.

b) Mendorong penggunaan mesin dalam melakukan aktivitas

gudang, seperti memberikan bantuan pada gudang-gudang

tertentu.

91 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

c) Konsolidasi unit riset dan pengembangan dalam

pelaksanaan riset yang efektif dan implementatif sehingga

dapat dimanfaatkan dalam peningkatan kinerja jasa

pergudangan.

d) Peraturan atau regulasi tentang produk atau komoditi,

seyogyanya dibuat komprehensif berbasis pada perspektif

supply chain-nya. Dengan demikian, kebijakan seperti

pengaturan distribusi harus memperhatikan karakteristik

rantai pasoknya (missal perlu gudang

penyimpanan/coldstorage). Hal ini untuk mendorong potensi

industry hulu dan hilir yang lebih tertata.

e) Untuk membantu strategi perusahaan, pemerintah perlu

mendorong fungsi pergudangan yang modern yang bukan

hanya sebagai sarana penyimpanan (storage), melainkan

sebagai sarana penciptaan nilai tambah. Untuk mencapai

tujuan tersebut, diperlukan standardisasi gudang baik fisik

maupun jasa pendukungnya. Implementasinya, pemerintah

dapat memanfaatkan BUMN untuk mengelola inventory

barang pokok/strategis misalnya.

f) Sementara untuk klasterisasi, pemerintah dapat

memanfaatkan skema public private partnership (ppp) untuk

mengoptimalkan kawasan khusus pergudangan.

g) Terkait kebijakan, pemerintah dapat mempertahankan

kebijakan upah minimum yang mendukung iklim investasi,

kebijakan investasi berdasarkan Daftar Negatif Investasi

(DNI), dan kebijakan pendukung seperti optimalisasi

pelabuhan dan dryport.

h) Untuk perpajakan, pemerintah perlu mempertimbangkan

terjadinya penghitungan ganda (double taxation). Namun

demikian, kebijakan ini sepertinya bersifat jangka panjang.

3. Dalam jangka panjang, strategi dan kebijakan tersebut perlu

didukung dengan pembangunan infrastruktur yang komprehensif

92 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

dimana pengembangan infrastruktur pergudangan perlu

mengarah dari yang hanya berupa gudang standard (godown)

sampai pada pembangunan yang mendukung multimodal logistic

hub, yaitu kawasan logistik dengan pergudangan yang

terintegrasi dan dapat diakses oleh lebih dari satu moda

transportasi yang secara konsep dapat digambarkan sebagai

berikut.

4.

Gambar 6.2 Arah Pembangunan Infrastruktur Pergudangan

Untuk pengembangan gudang primer ke warehouse, pemerintah

dapat mengoptimalkan pembinaan melalui kerjasama dengan

asosiasi. Sebagai contoh, pemerintah dapat memanfaatkan

Permendag Tanda Daftar Gudang (TDG) dan berkolaborasi

dengan Asosiasi terkait bahwa gudang yang telah mengikuti

aturan TDG akan memperoleh aplikasi WMS sehingga kegiatan

93 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

pergudangan telah mengadopsi sistem modern dan fungsi

gudang diarahkan tidak hanya sebagai penyimpan tetapi juga

nilai tambah. Sementara untuk integrated logistic park dan

multimodal logistic hub lebih mengedepankan PPP karena

bersifat infrastruktur fisik (hard infrastructure). Hal tersebut dapat

optimal jika pemerintah fokus pada Industrial Adjustment Policy

yang menentukan arah pengembangan sektor logistik

(perdagangan, industri, dan investasi, termasuk daerah sentra

logistiknya), sementara pelaku usaha (swasta) fokus pada

organic growth policy yang berorientasi pada pengembangan

daya saing perusahaan.

5. Belajar dari India, kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah

India fokus pada konsolidasi pergudangan dengan penciptaan

iklim yang kondusif dan infrastruktur yang memadai. Sementara

fungsi pengelolaan/manajemen pergudangan dan logistik

dilakukan oleh pihak swasta. Namun demikian, untuk komoditas

pangan, pemerintah mengatur rantai pasok hulu ke hilir,

termasuk jasa logistik dan pergudangannya.

6. Dalam kebijakan ke-depan, skema Public Private Partnership

(PPP) perlu menjadi prioritas dengan membagi peran antara

pemerintah dan swasta. Hal tersebut dapat optimal jika

pemerintah fokus pada Industrial Adjustment Policy yang

menentukan arah pengembangan sektor logistik (perdagangan,

industri, dan investasi), sementara pelaku usaha (swasta) fokus

pada organic growth policy yang berorientasi pada

pengembangan daya saing perusahaan.

94 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

BAB VII

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis, kesimpulan kajian adalah sebagai

berikut:

a) Jasa Pergudangan di Indonesia dipersepsikan Strength-and-

opportunity dominant (berada pada kuadran I). Untuk gudang

komoditas yang menyimpan bahan pangan (beras dan gula) dan

pupuk, aktivitas pergudangan seperti loading/unloading masih

didominasi tenaga manusia, adopsi teknologi pada proses

administrasi, dan standard penyimpanan belum seragam, kecuali

perusahaan skala besar. Sedangkan pada gudang umum,

loading/unloading umumnya menggunakan tenaga mesin, adopsi

teknologi pada storage, proses administrasi, throughput, dan standard

penyimpanan mengacu kepada principal. Selain itu, jenis jasa yang

ditawarkan selain pengelolaan gudang adalah transportasi dan nilai

tambah.

b) Kinerja Jasa Pergudangan yang menjadi acuan adalah biaya, sistem,

dan penerapan SNI/lainnya. Sementara faktor yang mempengaruhi

kinerja jasa pergudangan antara lain: Kondisi Faktor (SDM,

Knowledge Resource, Infrastruktur), Kondisi Permintaan, Industri

Terkait dan Pendukung (Industri Hulu, Industri Hilir,

Asosiasi/Pemerintah, dan Akademisi), dan Kebijakan (Perpajakan,

Upah, Investasi, dan Lainnya)

7.2 Rekomendasi Kebijakan

Sementara rekomendasi kebijakan pengembangan jasa

pergudangan di Indonesia berdasarkan analisis sintesa adalah sebagai

berikut:

95 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

a) Mendorong fungsi pergudangan yang modern yang bukan hanya

sebagai sarana penyimpanan (storage), melainkan sebagai sarana

penciptaan nilai tambah. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan

standardisasi gudang baik fisik maupun jasa pendukungnya.

b) Mendorong peraturan perdagangan produk/komoditas yang

komprehensif dan berbasis pada perspektif rantai pasok (supply

chain).

c) Mendorong pengembangan pergudangan dengan tahapan: (i)

pembangunan gudang distribusi di daerah perbatasan; (ii)

pembangunan pusat distribusi regional; (iii) pembangunan pusat

distribusi Propinsi; dan (iv) pembangunan pusat logistik berikat.

d) Mendorong skema Public Private Partnership (PPP) dengan membagi

peran antara pemerintah dan swasta. Hal tersebut dapat optimal jika

pemerintah fokus pada Industrial Adjustment Policy yang menentukan

arah pengembangan sektor logistik (perdagangan, industri, dan

investasi), sementara pelaku usaha (swasta) fokus pada organic

growth policy yang berorientasi pada pengembangan daya saing

perusahaan.

96 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

DAFTAR PUSTAKA

Aberdeen. (2006). The Warehouse Productivity Benchmark Report: A

Guide to Improved Warehouse and Distribution Center

Performance. The Warehouse Management Benchmark Report:

Massachusetts, USA.

Addy-Tayie, N. E. (2012). Improving Warehouse and Inventory

Management: Operational Efficiency and Transport Safety. [Thesis].

Programme in Logistic Engineering, Jamk University of Applied

Science.

Autry, Chad W., Stanley E. Griffis, Thomas J. Goldsby, dan L. Mechelle

Bobbit (2005). Warehouse Management Systems: Resource

Commitment, Capabilities, and Organizational Performance.

Journal of Business Logistics, Vol. 26 No. 2, pp. 165-183.

Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2011). Identifikasi Kebutuhan

Investasi: Perencanaan Pengembangan Investasi Terpadu Logistik

dan Pergudangan.

Baijal, S. (2014). A Definitive View on Mumbai and Pune Warehousing

Market. India Logistics & Warehousing Report. Mumbai: Knight

Frank India.

Bakan, I. & I. F. Dogan. (2012). Competitiveness of The Industries Based

On The Porter’s Diamond Model: An Empirical Study. International

Journal of Research and Reviews in Applied Sciences, Vol 11 (3),

pp. 441-455.

Bank Dunia. (2011). Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur:

Mengidentifikasi Hambatan-Hambatan Utama Pertumbuhan Yang

Inklusif di Propinsi Terbesar Kedua di Indonesia.

Boja, C. (2011). Clusters Models, Factors, and Characteristics.

International Journal of Economic Practices and Theories, Vol 1 (1),

pp. 34-43.

97 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Burange, L. G. & S. Yamini (2010). Competitiveness of The Firms in Indian

Iron and Steel Industry. [Working Paper]. Department of

Economics, University of Mumbai.

Chin, Wynne W. (1995). Partial Least Squares is to LISREL as Principal

Components Analysis is To Common Factor Analysis. Technology

Studies, Vol. 2, pp. 315-319.

Coyle, J. Joseph, Bardy, & J. Edward. (2003). The Management of

Business Logistics: A Supply Chain Perspective. 7th Edition. South-

Western/Thomson Learning, Mason, Ohio.

Fornell, Claes dan Fred L. Bookstein. 1982. Two Structural Equation

Models: LISREL and PLS Applied to Consumer Exit-Voice Theory.

Journal of Marketing Research, Vo. XIX, pp. 440-452

Faber, N., MBM, d. K., & Smidts, A. (2013). Organizing warehouse

management. International Journal of Operations & Production

Management, 33(9), 1230-1256. Retrieved from

http://search.proquest.com/docview/1430549919?accountid=25704

Filipe, L. (2012). Fact Based Policymaking: Developing and Consolidating

the Network of Logistic Observatories. The World Bank Logistic

Workshop Conference. ILOS: Rio de Janeiro, Brazil.

Gefen, D., D.W. Straub dan Marie-Claudia B. 2000. strucutral Equation

Modeling and Regression: Guidelines for Research Practice.

Communications of the Association for Information System, Vol. 4,

pp 1-68.

Goskoy, A., O. Vayvay, & E. Ergeneli. (2013). Gaining Competitive

Advantage through Innovation Strategies: An Application in

Warehouse Management Process. American Journal of Business

and Management, Vol 2 (4), pp. 304-321.

Kementerian Perdagangan. (2012). Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru

Pengembangan Sistem Logistik Nasional.

Kementerian Perdagangan. (2014). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014

tentang Perdagangan.

98 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Kementerian Perdagangan. (2014). Peraturan Menteri Perdagangan

Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 tentang Penataan dan Pembinaan

Pergudangan

Kot, S., K. Grondys, & R. Spoza. (2011). Theory of Inventory Management

Based on Demand Forecasting. Polish Journal of Management

Studies, Vol 3 (1), pp. 148-156.

Lau, Y. Y. (2009). An Application of Porter’s Diamond Framework: The

Case of Hong Kong Airfreight Industry. Proceedings: International

Forum on Shipping, Ports, and Airports, 24-27 May 2009,

Polytechnic University Hong Kong.

Mahajan, V., S. P. Singh, & S. K. Singh. (2013). Analysis of Indian

Warehousing Sector and Warehouse Optimization and

Modernization Techniques. International Journal on Advanced

Computer Theory and Engineering, Vol 2 (5), pp. 2319-2526.

Maryandani, A. (2013). Kinerja Industri Gula di Indonesia. [Skripsi]. Bogor:

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Nath, R. & D. S. Gandhi. (2011). Building warehousing competition.

Pricewaterhouse Coopers. India. Diakses dari www.pwc.com/india.

Pearce, John A. Dan Richard B. Robinson. 1997. Manajemen Strategik:

Formulasi, Implementasi dan Pengendalian. Jilid 1, Binarupa

Aksara Jakarta.

Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. New

York: Free Press.

Porter, M. E. (1998). The Competitive Advantage of Nations. New

York: Free Press.

Puspitasari, N. B., A. Arvianto, D. Tauhida, & A. Hendra. (2012). Strategi

Pengembangan Usaha Kerajinan Enceng Gondok Sebagai Produk

Unggulan Kabupaten Semarang Menggunakan Analisis Rantai

Nilai. Jurnal Teknik Industri Universitas Diponegoro, Vol 7 (2), pp

113-122.

99 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Rajuldevi, M. K., R. Veeramachaneni, & S. Kare. (2009). Warehousing in

Theory and Practice: A Case Study at Oob, Clas Ohlson, Stadium,

Ahlens. [Thesis]. School of Engineering, University of Boras.

Sankar, K., S. Kannan, & A. Muthukumaravel. (2014). E-Logistic for

Warehouse Management. Middle-East Journal of Specific

Research, Vol 20 (6), pp. 766-769.

Saptana. (2010). Tinjauan Konseptual Mikro-Makro Daya Saing dan

Strategi Pembangunan Pertanian. Jurnal Forum Penelitian Agro

Ekonomi, Vol 28 (1), pp. 1-18.

SOLI. (2013). State of Logistic in Indonesia. Jakarta

The World Bank. (2014). Connecting To Compete 2014: Trade Logistics In

The Global Economy. The Logistic Performance Index and Its

Indicators. Washington DC.

Tumengkol, W. L., S. W. Palar, & D. Rotinsulu. (2015). Kinerja dan Daya

Saing Ekspor Hasil Perikanan Laut Kota Bitung. Jurnal Berkala

Ilmiah Efisiensi, Vol 15 (1), pp. 1-16.

Vinzi, Vincenzo E., Laura Trinchera dan Silvano Amato. 2010. PLS Path

Modeling: From Foundations to Recent Developments and Open

Issues for Model Assessment and Improvement. Handbook of

Partial Least Square: Concepts, Methods and Applications.

Heidelber: Springer

Wu, D. (2006). Analyzing China’s Automobile Industry Competitiveness

Through Porter’s Diamond Model. [Thesis]. Faculty of Management,

University of Lethbridge: Canada.

Xianghui, L. (2012). The Impact of Logistics Costs on The Economic

Development: The Case of Thailand. Paper presented to First Thai-

Chinese Strategic Reseacrh Seminar, 24 – 26 August, Bangkok.

Yoyo, T., A. Daryanto, E. Gumbira, & M. F. Hasan. (2014).

Competitiveness Model and Gap Analysis of Indonesian Palm Oil-

Based Fatty Acid and Fatty Alcohol Industry. International Journal

of Economics and Finance, Vol 6 (2), pp. 218-225.

100 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

lampiran 1. Kuesioner Penelitian

101 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

102 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

103 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

lampiran 2. Hasil Estimasi Kedua Dengan SmartPLS

104 Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan