laporan akhir kajian pengawasan barang yang...

109
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014 LAPORAN AKHIR KAJIAN PENGAWASAN BARANG YANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN

Upload: lamcong

Post on 09-Mar-2019

263 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014

LAPORAN AKHIR

KAJIAN PENGAWASAN BARANG YANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, sehingga laporan Kajian Pengawasan Barang yang

Beredar di Daerah Perbatasan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang

sudah ditentukan. Perlindungan konsumen merupakan syarat pendukung dalam

mewujudkan perekonomian yang sehat melalui keseimbangan antara

perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Dalam upaya

melindungi konsumen, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri

Perdagangan RI Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata

cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. Upaya meningkatkan pengawasan

terhadap barang beredar pada dasarnya harus dilaksanakan di seluruh wilayah

Republik Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan. Kajian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan pengawasan barang dan sekaligus menganalisis kinerja

pengawasan khususnya di daerah perbatasan.

Dalam rangka mendukung peningkatan pengawasan barang beredar

khususnya di perbatasan, hasil kajian ini merekomendasikan perlu disusun

Standar Pelayanan Minimum (SPM), mengusulkan dana alokasi khusus (DAK)

dan dana dekonsentrasi, kerjasama dengan pihak kepabeanan, karantina, dan

keamanan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU), dan memajukan peran

Kementerian Perdagangan dalam menyediakan bahan kebutuhan pokok yang

lebih baik dan terjamin bagi masyarakat daerah perbatasan.

Disadari bahwa hasil Kajian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan

penyempurnaan lebih lanjut. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima

kasih kepada semua pihak, yang secara langsung maupun tidak langsung telah

membantu penyelesaian laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat.

Jakarta, September 2014

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan ii

ABSTRAK

Perlindungan konsumen adalah salah satu syarat pendukung dalam mewujudkan perekonomian yang sehat melalui perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Dalam upaya melindungi konsumen, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. Upaya meningkatkan pengawasan terhadap barang beredar sebagai upaya mewujudkan perlindungan konsumen yang optimal pada dasarnya harus dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk di wilayah perbatasan. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pengawasan barang dan sekaligus menganalisis kinerja pengawasan khususnya di daerah perbatasan. Dengan menggunakan Kerangka Input-Proses-Output, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan barang beredar di daerah perbatasan belum dilaksanakan secara optimal dan kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan belum berjalan dengan baik yang disebabkan Sumber daya manusia (SDM) pengawasan yang dimiliki daerah perbatasan masih terbatas atau hanya sebanyak 50% dari kebutuhan, proporsi anggaran untuk pengawasan masih relatif kecil yaitu rata-rata sebesar 9% dari total anggaran Dinas, dan minimnya sarana transportasi untuk mendukung pelaksanaan pengawasan.

Kata kunci: Pengawasan Barang Beredar, Permendag Nomor 20/M-

DAG/PER/5/2009, Kerangka Input-Proses-Output.

ABSTRACT

Consumer protection is a designated instrument to support the development of efficient and equitable economies that ensure the rights of consumers as well as entrepreneurs. In this regard, the Ministry of Trade has issued Minister Regulation of Trade Number 20/M-DAG/PER/5/2009 concerning Provisions and Procedure of Goods and/or Service Control. The implementation of that regulation is mandatory in Indonesian territory, including in the border area with neighboring countries. This research is aimed to describe the procedure of goods control as well as analyze its performance in border area. By performing the Input – Output Framework, the research result shows that the procedure of goods control in border area is not optimally implemented with poor performance. The main factors are the lack of human resources which only fulfill the half of the necessity, the small proportion of provincial budget off which only 9% is allocated for goods control purpose, and poor supporting facilities and infrastructures.

Kata kunci: Surveillance on circulated goods, Pengawasan Barang Beredar,

Minister Regulation of Trade Number 20/M-DAG/PER/5/2009, Input-Process-Output Framework.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

ABSTRAK ........................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 3 1.3. Tujuan ......................................................................................... 3 1.4. Keluaran ...................................................................................... 4 1.5. Dampak ....................................................................................... 4 1.6. Ruang Lingkup ............................................................................ 4 1.7. Sistematika Laporan .................................................................... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR ......................... 7 2.1. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 7 2.2. Kerangka Berpikir ...................................................................... 13

BAB III. METODE PENGKAJIAN .................................................................... 17 3.1. Metode Analisis ......................................................................... 17 3.2. Responden Kajian ..................................................................... 22 3.3. Lokasi Kajian ............................................................................. 22 3.4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ............................ 23

BAB IV. PROFIL PERDAGANGAN BARANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN ................................................................................... 24 4.1. Profil Perdagangan di Daerah Perbatasan ................................ 24 4.2. Profil Perdagangan Kabupaten Nunukan ................................... 26

4.2.1. Gambaran Perdagangan Kabupaten Nunukan ............. 29 4.2.2. Gambaran Barang Beredar di Kabupaten Nunukan ...... 31 4.2.3. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar .................. 34

4.3. Profil Perdagangan Kabupaten Malinau .................................... 39 4.3.1. Gambaran Perdagangan di Kabupaten Malinau............ 40 4.3.2. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar .................. 45

4.4. Profil Perdagangan Kabupaten Sanggau ................................... 47 4.4.1. Gambaran Perdagangan di Kabupaten Sanggau .......... 47 4.4.2. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar .................. 53

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iv

4.5. Profil Perdagangan Kabupaten Bengkayang ............................. 55 4.5.1. Gambaran perdagangan di Kabupaten Bengkayang ..... 56 4.5.2. Pelaksanaan pengawasan barang yang beredar .......... 63

BAB V. PELAKSANAAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN ................................................................... 65 5.1. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar di Daerah

Perbatasan ................................................................................ 65 5.1.1. Kabupaten Nunukan ..................................................... 67 5.1.2. Kabupaten Malinau ....................................................... 69 5.1.3. Kabupaten Sanggau ..................................................... 69 5.1.4. Kabupaten Bengkayang ................................................ 71 5.1.4. Provinsi Kalimantan Timur ............................................ 71

5.2. Kinerja Pengawasan Barang Beredar ........................................ 73 5.2.1. Proporsi Barang Sesuai Parameter ............................... 73 5.2.2. Sumberdaya Pengawasan Barang Beredar .................. 75 5.2.3. Hasil Analisis ANOVA ................................................... 78

BAB VI. UPAYA PENINGKATAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN .............................................................. 83 6.1. Permasalahan Dalam Pengawasan Barang Beredar Di

Daerah Perbatasan ................................................................... 83 6.1.1. Permasalahan Pelaksanaan ............................................ 89 6.1.2. Permasalahan Kinerja ..................................................... 91

6.2. Upaya Peningkatan Pengawasan .............................................. 91

BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................ 97 7.1. Kesimpulan................................................................................ 97 7.2. Rekomendasi Kebijakan ............................................................ 98

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 100

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan v

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Sumber informasi, jenis data, metode pengumpulan, dan alat analisis .......................................................................................... 21 Tabel 3.2. Responden/narasumber dan jumlah sampel ................................. 22 Tabel 4.1. Gambaran umum di daerah kajian ................................................ 25 Tabel 4.2. Populasi dan Ibukota Kabupaten di Kalimantan Utara ................... 27 Tabel 4.3. Profil Ringkas Kabupaten Nunukan Tahun 2013 ........................... 28 Tabel 4.4. Neraca Perdagangan Kabupaten Nunukan,Tahun 2010-2012 ...... 30 Tabel 4.5. Rekapitulasi Perdagangan Lintas Batas Kabupaten Nunukan

Tahun 2012 dan 2014 ................................................................... 31 Tabel 4.6. Barang Beredar dan Sumbernya (Bahan Pokok) ........................... 32 Tabel 4.7. Barang Beredar dan Sumbernya (Barang SNI) ............................. 33 Tabel 4.8. Perhitungan Kebutuhan Hari Pengawasan Minimal ....................... 50 Tabel 4.9. Bahan Pokok yang Beredar Berdasarkan Sumbernya (Malinau) ....................................................................................... 39 Tabel 4.10. Bahan Pokok yang Beredar Berdasarkan Sumbernya (Sanggau) ..................................................................................... 50 Tabel 4.11. Bahan bangunan dan elektronik yang beredar berdasarkan sumbernya ................................................................................... 52 Tabel 4.12. Barang Kebutuhan Pokok yang Beredar di Bengkayang dan Sumbernya ........................................................................... 58 Tabel 4.13. Bahan Bangunan yang Beredar di Kabupaten Bengkayang

dan Sumbernya ........................................................................... 60 Tabel 4.14. Barang Elektronik dan Alat Listrik yang Beredar di Kabupaten Bengkayang dan Sumbernya ........................................................ 62 Tabel 5.1. Gambaran sumberdaya pengawasan barang beredar ................... 65 Tabel 5.2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan barang di daerah survey ........................................................................................... 66 Tabel 5.3. Gambaran Rasio proporsi barang sesuai parameter di daerah perbatasan ..................................................................................... 74 Tabel 5.4. Gambaran sumberdaya pengawasan barang beredar .................... 76 Tabel 5.5. Gambaran SDM dan Anggaran Pengawasan Barang Di Daerah Survey ............................................................................................ 77 Tabel 5.6. Rekap Hasil Pengujian Beda Rata-Rata Anova .............................. 80 Tabel 5.7. Kesimpulan .................................................................................... 81

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1. Mekanisme pengawasan barang beredar dan jasa ..................... 15 Gambar 2. 2. Kerangka berpikir pelaksanaan kajian ......................................... 16 Gambar 3. 1. Pendekatan pelaksanaan kajian .................................................. 19 Gambar 4. 1. Peta Kalimantan Utara ................................................................ 26 Gambar 4. 2. Struktur perekonomian Kabupaten Nunukan Tahun 2013 ........... 29 Gambar 4. 3. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang ..................... 31 Gambar 4. 4. Nilai Barang Beredar (Bahan Pokok)........................................... 32 Gambar 4. 5. Nilai Barang Beredar (Barang SNI) ............................................. 33 Gambar 4. 6. Struktur Organisasi Disperindagkop UMKM Kab. Nunukan ......... 34 Gambar 4. 7. Alur Perdagangan Lintas Batas di Kecamatan Kayan Hulu ......... 41 Gambar 4. 8. Alur Perdagangan Barang Dari Perbatasan Ke Kabupaten Malinau ....................................................................................... 42 Gambar 4. 9. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang ..................... 44 Gambar 4.10. Nilai Bahan Pokok Yang Beredar ................................................ 45 Gambar 4.11. Peta Kabupaten Sanggau ........................................................... 47 Gambar 4.12. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang ..................... 49 Gambar 4.13. Nilai Bahan Pokok yang Beredar ................................................. 51 Gambar 4.14. Nilai Barang Elektronik yang Beredar .......................................... 53 Gambar 4.15. Proporsi Asal Barang yang Beredar ............................................ 57 Gambar 4.16. Nilai Barang Kebutuhan Pokok yang Beredar di Kecamatan Jagoi Babang Menurut Jumlah Total........................................... 59 Gambar 4.17. Nilai Bahan Bangunan dan Elektronik yang Beredar di Kecamatan Jagoi Babang Menurut Jumlah Total ........................ 61 Gambar 6.1. Urutan Barang Beredar Menurut Margin Penjualan di Nunukan dan Malinau ................................................................. 84 Gambar 6. 2. Cara Merembesnya Barang Negara Tetangga ke Wilayah Indonesia .................................................................................... 85 Gambar 6. 3. Jenis Barang Beredar di Perbatasan ........................................... 86 Gambar 6. 4. Cara Merembesnya Barang Negara Tetangga ke Wilayah Indonesia .................................................................................... 85 Gambar 6. 5. Area Pemerikasaan Barang Pelabuhan Tunon Taka Nunukan.... 85 Gambar 6. 6. Rangkaian Upaya Mendorong Peningkatan Pengawasan ........... 93

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perlindungan konsumen merupakan salah satu syarat pendukung

dalam mewujudkan perekonomian yang sehat melalui keseimbangan antara

perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Idealnya,

perlindungan konsumen yang diberikan kepada masyarakat haruslah bersifat

preventif, yaitu perlindungan sebelum konsumen mengalami kerugian akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang beredar di pasar baik dari yang

berasal dari dalam negeri maupun yang diimpor dari luar negeri. Dalam

upaya melindungi konsumen, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan,

telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-

DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang

dan/atau Jasa. Upaya meningkatkan pengawasan terhadap barang beredar

sebagai upaya mewujudkan perlindungan konsumen yang optimal seperti

tersebut diatas, pada dasarnya harus dilaksanakan di seluruh wilayah

Republik Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan.

Pengamatan terhadap permasalahan perdagangan di perbatasan1,

secara umum menunjukkan pentingnya peningkatan pemenuhan kebutuhan

bagi masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan dan indikasi perlunya

peningkatan pengawasan terhadap barang beredar di daerah perbatasan.

Berdasarkan laporan hasil pelaksanaan pengawasan daerah perbatasan di

Kabupaten Nunukan ditemukan produk-produk yang tidak memiliki SNI

seperti pupuk, garam, tepung terigu, dan ban sepeda motor, padahal produk-

produk tersebut sudah diberlakukan SNI wajib. Selain menemukan produk

yang tidak memenuhi SNI, juga ditemukan produk-produk yang tidak layak

1 Hasil kajian Pusat Kajian Perdagangan Luar Negeri (2012), dan Hasil paparan

Asisten Teritorial Kodam VII dan XII (2013).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2

untuk dijual karena kemasannya rusak, kadaluarsa, dan barang elektronik

yang tidak memiliki kartu garansi dan panduan manual dalam bahasa

Indonesia (Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Kementerian

Perdagangan, 2012). Pelanggaran lain yang terjadi di wilayah perbatasan

khususnya antara Indonesia dan Malaysia yaitu banyak ditemukannya tabung

elpiji yang digunakan di daerah perbatasan tidak sesuai dengan SNI karena

tabung elpiji tersebut berasal dari Malaysia (www.kompas.com, 2013). Selain

itu pada tahun 2013 terdapat 26 kasus pelanggaran ketentuan dalam

Undang-undang Perlindungan Konsumen pada komoditi gula yang beredar di

daerah perbatasan tidak memenuhi unsur keselamatan, keamanan,

kesehatan dan lingkungan (www.pontianak.tribunnews.com, 2013). Dengan

demikian upaya pengawasan barang beredar di daerah perbatasan

seharusnya dilakukan lebih ketat karena daerah perbatasan relatif lebih

terbuka terhadap lalu lintas barang dari negara tetangga, sehingga potensi

untuk menerima barang yang berkualitas buruk (tidak memenuhi standar),

merugikan konsumen (karena ketiadaan purna jual, ketidaktepatan

pengukuran), atau berbahaya menjadi lebih besar.

Permasalahan dalam pelaksanaan pengawasan barang beredar di

daerah perbatasan cukup kompleks antara lain: keterbatasan jumlah SDM

pengawas (PPBJ dan PPNS-PK), ketersediaan anggaran, dan kecukupan

sarana pengujian barang serta lemahnya koordinasi dari instansi/lembaga

terkait. Dalam kerangka daerah perbatasan, permasalahan ini diperluas

dengan masalah hambatan geografis, kedekatan dengan sumber barang dari

negara tetangga (kemungkinan penduduk perbatasan berbelanja ke negara

tetangga) yang mudah diakses oleh masyarakat baik dari sisi harga yang

lebih murah maupun dari sisi kualitas yang relatif lebih baik, dan kurangnya

tingkat pemenuhan barang kebutuhan masyarakat oleh pasar dalam negeri.

Keseluruhan hal tersebut diduga akan membuat ragam barang yang beredar

di daerah perbatasan relatif berbeda dengan yang beredar di daerah bukan

perbatasan. Hal ini akan berpotensi membahayakan konsumen karena jenis-

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3

jenis barang barang yang beredar tersebut dikhawatirkan tidak mengandung

unsur keamanan, kesehatan, keselamatan dan lingkungan (K3L) atau

banyaknya barang beredar di daerah tersebut mengidikasikan tidak

memenuhi ketentuan yang berlaku (standar, label dan Manual Kartu

Garansi/MKG).

Gambaran terhadap karakteristik dan permasalahan peredaran barang

di daerah perbatasan ini belum dipaparkan secara jelas. Selain itu juga hasil

kajian yang dapat dijadikan sebagai literatur belum menemukan kajian awal

mengenai pengawasan barang beredar di daerah perbatasan yang

mencukupi, padahal kajian-kajian ini penting sebagai sumber informasi untuk

menyusun upaya peningkatan pengawasan barang beredar dalam rangka

perlindungan konsumen yang lebih baik di daerah perbatasan. Berdasarkan

hal tersebut, maka dirasa perlu untuk melakukan kajian yang lebih mendalam

terhadap pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kajian pengawasan barang

yang beredar di daerah perbatasan penting untuk dilakukan guna menjawab

beberapa permasalahan terkait dengan aspek pengawasan yaitu

implementasi pengawasan terhadap barang beredar di daerah perbatasan

yang masih lemah, serta belum teridentifikasinya karakteristik dan

permasalahan dalam pelaksanaan pengawasan barang yang beredar di

daerah perbatasan.

1.3. Tujuan

Sejalan dengan permasalahan kajian tersebut diatas, maka tujuan

kajian ini adalah:

a. Mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan;

b. Menganalisis kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan; dan

c. Merumuskan usulan kebijakan pengawasan barang di daerah

perbatasan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4

1.4. Keluaran

a. Deskripsi pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan;

b. Hasil analisis kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan; dan

c. Rumusan usulan kebijakan pengawasan barang di daerah perbatasan.

1.5. Dampak

a. Pemerintah: Meningkatnya pengawasan barang beredar di daerah

perbatasan sebagai unsur perlindungan konsumen.

b. Pedagang: Terlindunginya pedagang dari persaingan dengan barang yang

tidak memenuhi standar/merugikan/berbahaya.

c. Masyarakat/Konsumen: Terlindunginya konsumen di kawasan perbatasan

dari barang-barang yang berpotensi melanggar unsur Keamanan,

Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan (K3L).

1.6. Ruang Lingkup

a. Kajian hanya membahas permasalahan pada barang beredar.

b. Barang yang menjadi objek kajian adalah kelompok jenis barang yang

beredar pada tingkat pengecer di kawasan perbatasan. Parameter

pengawasan dibatasi pada ketentuan penerapan SNI (wajib), label

berbahasa Indonesia dan Manual Kartu Garansi (MKG).

c. Aspek Kebijakan: Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-

DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang

dan/atau Jasa

d. Daerah Kajian: Kajian dilakukan di Kawasan perbatasan darat antara

Kalimantan dengan Malaysia, yaitu di Provinsi Kalimantan Barat (Kab.

Sanggau dan Kab. Bengkayang), Provinsi Kalimantan Utara (Kab.

Nunukan dan Kab. Malinau) dan Provinsi Kaimantan Timur. Pertimbangan

pemilihan daerah karena memiliki volume perdagangan lintas batas

melalui darat yang relatif lebih besar dibanding daerah perbatasan di

provinsi lain (Nusa Tenggara Timur dan Papua). Selain itu, beberapa

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5

daerah dikedua propinsi ini memiliki neraca perdagangan yang defisit

(impor lebih besar dari ekspor) (Puska PLN, 2012).

e. Responden Kajian: Responden kajian adalah Pedagang (pengecer),

Masyarakat/Pelintas Batas, dan narasumber dari Dinas Perdagangan

(Provinsi dan Kabupaten), Petugas Pengawas Barang Beredar, Direktorat

Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, serta instiansi lain yang

mendukung pelaksanaan pengawasan barang beredar.

1.7. Sistematika Laporan

Laporan kajian ini terdiri dari 7 (tujuh) Bab, sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, rumusan

masalah, tujuan, output, dampak dan ruang lingkup analisis yang

dilakukan.

BAB II : Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir. Bab ini menjelaskan

kerangka berpikir dalam pengkajian dan tinjauan literatur yang

akan digunakan sebagai referensi dalam kajian ini meliputi Definisi

daerah perbatasan, Pengawasan barang beredar di daerah

perbatasan, dan Permendag pengawasan.

BAB III : Metode Pengkajian. Bab ini menjelaskan metode yang digunakan

dalam kajian ini untuk memperoleh data dan informasi yang

dibutuhkan untuk menjawab tujuan kajian meliputi metode analisis,

lokasi penelitian dan responden, serta sumber data dan teknik

pengumpulan data.

BAB IV : Profil Perdagangan Barang yang Beredar Di Daerah

Perbatasan. Bab ini akan menggambarkan profil daerah

perbatasan yang ada di daerah kajian, serta informasi mengenai

jenis barang yang beredar, barang-barang yang dihasilkan, keluar

(diekspor), dan masuk (diimpor) ke daerah kajian.

BAB V : Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar di Daerah

Perbatasan. Pada bab ini akan digambarkan proses perencanaan,

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6

pelaksanaan, dan pelaporan hasil pengawasan barang di kawasan

perbatasan dan kesesuaiannya dengan mekanisme pengawasan

barang menurut Permendag 20/2009, sumber daya yang dimiliki

dan dibutuhkan untuk melakukan pengawasan tersebut, dan

gambaran sejauh mana pengawasan barang beredar telah

dilakukan serta hasilnya.

BAB VI : Upaya Peningkatan Pengawasan Barang Beredar di Daerah

Perbatasan. Pada bab ini akan dilakukan sintesis dari hasil-hasil

bab IV dan V, untuk menyusun rekomendasi strategi Peningkatan

Pengawasan Barang Beredar di Daerah Perbatasan darat.

BAB VII : Kesimpulan dan Rekomendasi. Bab ini memberikan kesimpulan

hasil pengkajian dan rekomendasi.

7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1. Tinjauan Pustaka

a. Kondisi Daerah Perbatasan

Daerah perbatasan, menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008

tentang Wilayah Negara, adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak

pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain,

dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di

kecamatan.

Kawasan/Daerah perbatasan Indonesia terdiri dari perbatasan darat

yang berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini

(PNG), dan Timor Leste serta perbatasan laut yang berbatasan dengan 10

negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina,

Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG).

Setiap kawasan perbatasan memiliki ciri khas masing-masing, dengan

potensi yang berbeda antara satu kawasan dan kawasan lainnya. Potensi

yang dimiliki oleh kawasan perbatasan yang bernilai ekonomis cukup besar

adalah potensi sumberdaya alam (hutan, tambang dan mineral, serta

perikanan dan kelautan) yang terbentang di sepanjang dan sekitar kawasan

perbatasan. Sebagian besar dari potensi sumberdaya alam tersebut belum

dikelola, dan sebagian lagi merupakan kawasan konservasi atau hutan

lindung yang memiliki nilai sebagai world heritage yang perlu dijaga dan

dilindungi (Ikhwan, 2009).

1). Kawasan Perbatasan Darat

Kawasan perbatasan darat Indonesia berada di 3 (tiga) pulau, yaitu

Pulau Kalimantan, Papua, dan Pulau Timor, serta tersebar di 4 (empat)

provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan NTT. Setiap

kawasan perbatasan memiliki kondisi yang berbeda satu sama lain. Kawasan

8

perbatasan di Kalimantan berbatasan dengan Negara Malaysia yang

masyarakatnya lebih sejahtera. Kawasan perbatasan di Papua

masyarakatnya relatif setara dengan masyarakat PNG, sementara dengan

Timor Leste kawasan perbatasan Indonesia masih relatif lebih baik dari segi

infrastruktur maupun tingkat kesejahteraan masyarakatnya.

2). Kawasan Perbatasan Darat di Kalimantan

Pulau Kalimantan memiliki kawasan perbatasan dengan Malaysia di 8

(delapan) kabupaten yang berada di wilayah Kalimantan Barat dan

Kalimantan Timur. Wilayah Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan

wilayah Sarawak sepanjang 847,3 yang melintasi 98 desa dalam 14

kecamatan di 5 kabupaten, yaitu Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu,

Sambas, Sintang, dan Kabupaten Bengkayang. Wilayah Kalimantan Utara

berbatasan langsung dengan wilayah Sabah sepanjang 1.035 kilometer

yang melintasi 256 desa dalam 9 kecamatan dan 3 kabupaten yaitu di

Nunukan, Kutai Barat, dan Kabupaten Malinau.

Dari kelima kabupaten di Kalimantan Barat dan tiga kabupaten di

KalimantanUtara, hanya terdapat 3 (tiga) pintu perbatasan (border gate)

resmi, yaitu di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Bengkayang di

Kalimantan Barat, serta Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur. Kabupaten

Sanggau dan Nunukan memiliki fasilitas Custom, Imigration, Quarantine, and

Security (CIQS) dengan kondisi yang relatif baik, sedangkan fasilitas CIQS di

tempat lainnya masih sederhana serta belum didukung oleh aksesibilitas

yang baik karena kondisi jalan yang buruk.

Kawasan perbatasan daerah lain seperti di Kabupaten Sintang,

Sambas, Kapuas Hulu, Malinau dan Kutai Barat masih belum memiliki pintu

perbatasan resmi dan masih dalam tahap pembangunan. Sesuai

kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo,

sebenarnya telah disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan secara

9

bertahap di beberapa kawasan perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu,

Sambas, Sintang dan Bengkayang.

Namun demikian, masyarakat di sekitar perbatasan sudah

menggunakan pintu-pintu perbatasan tidak resmi sejak lama sebagai jalur

hubungan tradisional dalam rangka kekeluargaan atau kekerabatan. Pos-pos

keamanan dan pertahanan yang tersedia di sepanjang jalur tradisional

tersebut masih sangat terbatas, demikian pula dengan kegiatan patroli

keamanan yang masih menghadapi kendala berupa minimnya sarana dan

prasarana transportasi.

Potensi sumberdaya alam kawasan perbatasan di Kalimantan cukup

besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi

(konversi), hutan lindung, dan danau alam yang dapat dikembangkan

menjadi daerah wisata alam (ekowisata) serta sumberdaya laut yang ada di

sepanjang perbatasan laut Kalimantan Timur maupun Kalimantan Barat.

Beberapa sumberdaya alam tersebut saat ini berstatus taman nasional dan

hutan lindung yang perlu dijaga kelestariannya seperti Cagar Alam Gunung

Nyiut, Taman Nasional Bentuang Kerimun, Suaka Margasatwa Danau

Sentarum di Kalimantan Barat, serta Taman Nasional Kayan Mentarang di

Kalimantan Timur.Saat ini beberapa areal hutan tertentu yang telah

dikonversi tersebut berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan yang

dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta nasional bekerjasama dengan

perkebunan Malaysia.

Seiring dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di

kawasan tersebut, maka berbagai kegiatan ilegal telah terjadi seperti

pencurian kayu atau penebangan kayu liar (illegal logging) yang dilakukan

oleh oknum-oknum di negara tetangga bekerjasama dengan masyarakat

Indonesia. Kegiatan penebangan kayu secara liar oleh orang-orang

Indonesia ini dipicu oleh kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan

masyarakat di sekitar perbatasan, serta lemahnya pengawasan dan

penegakan hukum di kawasan tersebut.

10

b. Kebijakan Pengawasan

Kewenangan pengawasan barang dan atau jasa yang beredar di pasar

dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen. Pengawasan tidak mengenal dimensi

tempat yang artinya pengawasan berlaku di seluruh wilayah Indonesia tanpa

terkecuali termasuk pengawasan perdagangan di wilayah perbatasan.

Perdagangan di perbatasan berrkan Undang-undang Perdagangan N0 7

tahun 2014 adalah Perdagangan yang dilakukan oleh warga negara

Indonesia yang bertempat tinggal di daerah perbatasan Indonesia dengan

penduduk negara tetangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk itu,

Pemerintah melalui kementerian teknis mempunyai kewenangan untuk

melakukan pengawasan perdagangan diperbatasan sesuai dengan tugas

dan fungsinya masing-masing. Kementerian Perdagangan melakukan

pengawasan barang beredar dan atau jasa yang beredar di pasar

berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-

DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang

dan/atau Jasa. Pengawasan barang beredar dan jasa selama ini dilakukan

oleh Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa. Pengawasan di

daerah perbatasan dilaksanakan dengan memperhatikan parameter

pengawasan khususnya: standar, label, dan Manual Kartu Garansi (MKG).

Pengawasan terhadap barang produksi dalam negeri dilaksanakan dengan

memperhatikan label berbahasa Indonesia yang diatur dalam Peraturan

Menteri Perdagangan RI Nomor 67/M-DAG/PER/11/2013 tentang Kewajiban

Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada Barang, dan memiliki

SPPT SNI (Sertifikasi Produk Pengguna Tanda SNI) dari lembaga sertifikasi

produk (LS Pro) serta Surat Pendaftaran Barang (SPB) dan Surat Nomor

Pendaftaran barang (NPB). Sedangkan untuk barang impor, selain

mencantumkan persyarat seperti yang diatur untuk produk dalam negeri juga

harus mencantumkan Nomor Registrasi produk (NPB). SPB (Surat

11

Pendaftaran Barang). Pengawasan tersebut mengacu pada Petraturan

Menteri Perdagangan RI Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 tentang

Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional

Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan,

serta Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 67/M-DAG/PER/11/2013

tentang Pencantuman Label Bahasa Indonesia Pada Barang.

Jenis pengawasan yang dilaksanakan terdiri dari tiga jenis, yaitu:

pengawasan berkala yang dilakukan oleh PBBJ dan/atau PPNS-PK,

pengawasan khusus yang dilaksanakan oleh PBBJ dan PPNS-PK

merupakan tindak lanjut dari pengawasan berkala atau adanya pengaduan

dari masyarakat atau dugaan adanya tindak pidana di bidang perlindungan

konsumen, dan pengawasan terpadu yang dilakukan secara koordinatif

dengan instansi/lembaga terkait melalui Tim Pengawasan Barang Beredar

(TPBB).

c. Permasalahan Umum Perdagangan di Daerah Perbatasan

Masalah-masalah yang terjadi terkait Perdagangan di daerah

perbatasan antara Indonesia dan Malaysia antara lain (Bappenas, 2009) :

1. Terbatasnya sarana dan prasarana pada Pos LIntas Batas (PLB) seperti

keamanan, bea cukai, karantina dan imigrasi, sehingga menyebabkan

belum optimalnya pelayanan public pada wilayah ini.

2. Terjadinya Perdagangan lintas batas yang illegal. Hal ini diduga terjadi

karena jalur ekonomi dan distribusi yang menuju ke wilayah perbatasan

terhambat oleh minimnya infrastruktur.

3. Minimnya aksesibilitas daerah perbatasan, yang menyababkan wilayah

tersebut sulit terjangkau oleh kendaraan berukuran besar khususnya

perbatasan darat

Selain itu, Warta Ekspor oleh Direktorat Jenderal Pengembangan

Ekspor Nasional (2012) juga melaporkan bahwa selama ini kerjasama

perdagangan dalam fora internasional, baik itu bilateral maupun regional

12

belum mengaitkan secara optimal mengenai Perdagangan di wilayah

perbatasan, sehingga peningkatan kerjasama dan investasi di wilayah

perbatasan masih belum ada peningkatan.

d. Hasil Penelitian Sebelumnya

Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri pada tahun 2012 melakukan

survey Perdagangan, khususnya ekspor impor di daerah perbatasan. Daerah

perbatasan dengan Malaysia yang menjadi daerah survey adalah Entikong,

Sambas, dan JagoiBabang di Kalimantan Barat, Nunukan, Sebatik Utara,

Sebatik Utara, Sebatik Tengah dan Krayan di Kalimantan Timur. Penelitian ini

mencatat berbagai aspek dalam transaksi ekspor impor yang dilakukan

masyarakat di daerah tersebut. Berikut adalah hasil survey, khususnya

barang-barang yang banyak diimpor dari Malaysia.

Tabel 2. 1. Barang yang diimpor dari masing-masing wilayah perbatasan

No. Pintu Perbatasan

Barang-barang utama yang diimpor

Volume (Kg)

Nilai (USD) Peranan (%)

1 Kec. Krayan, Nunukan

Bahan bakar mineral 53592 63191 31,60

Garam, belerang, kapur (Semen)

87240 25422 12,71

2 Kabupaten Nunukan

Susu, mentega, telur 560 1484 9,65

Pupuk 1670 878 5,71

3 Sebatik Tengah

Bahan bakar mineral 1040 602 39,32

Garam, belerang, tanah batu, kapur, semen

3900 231 15,09

4 Sebatik Utara Bahan bakar mineral 27923 16083 19,90

Gula dan kembang gula 26138 12737 15,76

5 Jagoi Babang, Kalbar

Gula dan kembang gula 53575 47713

Bahan bakar mineral 21036 18986

6 Kabupaten Sambas

Gula dan kembang gula 31870 41481

Lemak dan mintak hewan/nabati

7886 11305

7 Entikong Mesin/peralatan listrik 1487 13262

Daging hewan 1963 4818

Sumber: Puska Perdagangan Luar Negeri, 2012

13

Dari Tabel 2.1, dapat dilihat bahwa barang-barang yang dibeli oleh

masyarakat di daerah perbatasan dari Malaysia mayoritasnya adalah barang

kebutuhan sehari-hari seperti gula pasir, minyak nabati, bahan bakar, garam,

semen, pupuk, serta daging hewan. Hanya di Entikong yang masyarakatnya

mengimpor mesin dan peralatan listrik. Penyebab utama ketergantungan

masyarakat daerah perbatasan terhadap kebutuhan pokok dari Malaysia

adalah karena jalur distribusi ke daerah-daerah ini kondisinya kurang baik

sehingga menghambat pasokan barang-barang tersebut. Tidak seperti

daerah perbatasan yang lain, perdagangan di daerah pulau Sebatik

didominasi oleh moda transportasi air (sungai dan laut). Beberapa dermaga

tidak memiliki pos Bea dan Cukai dan kegiatan bongkar muatnya tergantung

pada waktu pasang surut air laut. Selanjutnya, di daerah Jagoi Babang yang

berbatasan langsung dengan Sarawak – Malaysia Timur, tidak terdapat

pengawasan dan pencatatan yang menyebabkan rawan terjadi kegiatan yang

ilegal.

2.2. Kerangka Berpikir

Pelaksanaan pengawasan barang beredar di daerah perbatasan secara

umum sama dengan pengawasan barang yang beredar di pasar (bukan

daerah perbatasan). Barang yang beredar di pasar dalam negeri dibentuk

oleh barang-barang yang dihasilkan oleh industri dalam negeri dan barang

yang berasal dari impor. Seperti telah disebutkan dalam latar belakang,

terhadap barang-barang ini, baik dari dalam negeri maupun impor, sebelum

memasuki pasar harus melewati tahap pra-pasar terlebih dahulu untuk

memastikan produk-produk tersebut layak dikonsumsi oleh masyarakat.

Bagi barang hasil produksi dalam negeri, tahap Pra-pasar meliputi

pengurusan SPPT SNI (Sertifikasi produk pengguna tanda SNI-jika telah ada

SNI-nya), NRP (Nomor Registrasi Perusahaan), sertifikat SKPLBI (Surat

Keterangan Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia) atau SPKPLBI

(Surat Pembebasan Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa

14

Indonesia). Sedangkan bagi barang impor, maka tahap pra-pasar dapat

diamankan pada pengurusan SPPT SNI, SPB (Surat Pendaftaran Barang),

NPB (Nomor Pendaftaran Barang), PIB (Pemberitahuan Impor Barang), dan

pengurusan sertifikat SKPLBI atau SPKPLBI. Pengawasan pada tahap

tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 14/M-

DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan

Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan

Jasa yang Diperdagangkan, serta Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor

67/M-DAG/PER/11/2013 tentang Pencantuman Label Bahasa Indonesia

Pada Barang.

Setelah barang beredar, pemerintah juga melakukan pengawasan

barang dan jasa beredar yang dilaksanakan oleh Pemerintah, masyarakat

dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

sesuai Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009

tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa.

Lingkup pengawasan barang beredar secara umum terutama meliputi: (1)

apakah barang memenuhi standar (terutama untuk barang yang telah

memiliki SNI wajib), (2) keberadaan buku petunjuk penggunaan dan kartu

jaminan/ garansi dalam bahasa Indonesia, serta (3) label dalam bahasa

Indonesia. Disamping itu pengawasan terhadap barang juga dilakukan untuk

menemukan kemungkinan beredarnya barang/jasa yang dilarang beredar di

pasar, barang/jasa yang diatur tata niaganya, perdagangan barang-barang

dalam pengawasan, dan barang yang diatur distribusinya.

15

Sumber: Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, 2012

Gambar 2. 1. Mekanisme pengawasan barang beredar dan jasa

Berdasarkan gambaran diatas, maka dengan mengacu pada kerangka

pengawasan barang beredar di pasar maka kerangka berpikir pengkajian ini

digambarkan dalam gambar 2.2. Pengamatan pada dasarnya menggunakan

pendekatan Input-Proses-Output. Pendekatan ini dinilai mencukupi

mengingat metodologi kajian secara umum bersifat deskriptif terhadap suatu

proses yang berjalan (pengawasan barang). Pandangan terhadap sebuah

proses, secara logis memerlukan juga pandangan terhadap sisi Input dan

Output-nya sebagai sebuah kesatuan alur kegiatan.

Sejalan dengan metodologi kajian yang bersifat deskriptif, maka seluruh

informasi yang dihasilkan dideskripsikan menggunakan alat-alat statistik

deskriptif agar dapat dengan mudah dipahami besaran dan perilakunya.

Hubungan antara aspek kinerja pengawasan dan variabel-variabel yang

berasal dari aspek input pengawasan, proses pengawasan, dan lingkungan

perdagangan, dianalisis menggunakan tabel kontijensi dan uji chi-square (jika

data bersifat nominal/ordinal), atau uji ANOVA (jika data bersifat interval).

Jika diperoleh kasus perbedaan ekstrim dan menarik, maka alat analisis

inferential lainnya dapat digunakan untuk melihat kemungkinan adanya

hubungan dan kausalitas lainnya.

16

Gambar 2. 2. Kerangka berpikir pelaksanaan kajian

Perencanaan, Pelaksanaan, Pelaporan Pengawasan Barang Beredar

Estimasi proporsi barang sesuai parameter pengawasan

Jangkauan dan Hasil pengawasan barang beredar

Sumberdaya: SDM; Sarana; Anggaran; Prosedur & standar; Koordinasi Instansi pendukung

PENGAWASAN BARANG BEREDAR

Daftar produk SNI wajib

Ketentuan label dan MKG

Jumlah usaha perdagangan

Jangkauan pengawasan barang

Gambaran Pelaksanaan pengawasan barang,

Permendag; pedoman prosedur pengawasan; SPM

PROFIL LINGKUNGAN PERDAGANGAN DAERAH PERBATASAN

Pasar Daerah Perbatasan

Analisis Deskriptif untuk memaparkan data Analisis ANOVA untuk menguji keragaman

Sintesis

Kesesuaian mekanisme pengawasan dengan mekanisme baku

Keadaan dan kebutuhan sumberdaya untuk pengawasan optimal

Kinerja pengawasan barang di kawasan perbatasan saat ini

Gambaran lingkungan perdagangan di Perbatasan

Rekomendasi Kebijakan Peningkatan pengawasan barang di daerah perbatasan

Pengamatan, wawancara

Identifikasi kelompok jenis barang beredar

Daftar kelompok jenis barang

Harga patokan

Gambaran barang dari negara tetangga

Gambaran ketersediaan dan harga

Gambaran sumberdaya pengawasan

Pasokan Dalam Negeri

Barang dari Negara Tetangga

Pengamatan, wawancara

PROFIL PELAKSANAAN & MEKANISME PENGAWASAN BARANG DAERAH PERBATASAN

Hambatan, kendala, pendukung mekanisme

Pengamatan, wawancara

Faktor Lingkungan

17

BAB III. METODE PENGKAJIAN

Memperhatikan tujuan kajian, maka secara umum metodologi kajian

bersifat deskriptif yaitu akan lebih banyak upaya pengolahan data menjadi

sesuatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat. Dalam keilmuan,

deskripsi diperlukan agar peneliti tidak melupakan pengalamannya dan agar

pengalaman tersebut dapat dibandingkan dengan pengalaman peneliti lain,

sehingga mudah untuk dilakukan pemeriksaan dan kontrol terhadap deskripsi

tersebut.

3.1. Metode Analisis

3.1.1. Pendekatan Pelaksanaan Kajian

Keluaran yang ingin diperoleh dari kajian adalah (1) Deskripsi

pelaksanaan pengawasan barang yang beredar di daerah perbatasan, (2)

Hasil analisis kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan, dan (3)

Rumusan usulan kebijakan pengawasan barang di daerah perbatasan.

Keluaran pertama secara umum diperoleh melalui wawancara kepada satuan

kerja yang bertanggung jawab terhadap pengawasan barang beredar di

Kabupaten dan di daerah perbatasan yang menjadi daerah kajian.

Pengenalan terhadap pelaksanaan pengawasan barang akan dilakukan

menggunakan kerangka Input-Proses-Output, dimana kajian akan

menggambarkan proses pengawasan barang yang dilaksanakan saat ini,

mengenali dan menggambarkan sumberdaya (SDM, anggaran, sarana,

lainnya) yang terlibat sebagai input, mengukur hasil (output: jumlah sampel,

laporan, publikasi, lainnya) dari proses tersebut, dan mengenali variabel

lingkungan yang mempengaruhi alur input-proses-output tersebut.

Keluaran kedua, pengukuran kinerja pengawasan barang beredar di

daerah perbatasan, sesungguhnya juga merupakan bagian dari output

proses pengawasan. Kinerja pengawasan (akibat pra-pasar dan ketika

18

barang telah beredar di pasar) seharusnya tercermin pada tidak beredarnya

barang yang tidak sesuai dengan parameter pengawasan barang di wilayah

pengawasan. Dengan demikian, keluaran direncanakan diukur melalui

estimasi proporsi jumlah barang beredar yang tidak sesuai dengan parameter

pengawasan barang beredar (secara kasat mata saja). Estimasi

direncanakan diperoleh dari sampel pedagang/pengecer yang ada di daerah

perbatasan. Hasil estimasi ini diharapkan memberikan gambaran patokan

awal (baseline) dari kinerja pengawasan barang beredar di daerah

perbatasan.

Berdampingan dengan dua upaya tersebut diatas, kajian juga

memerlukan gambaran profil perdagangan barang di daerah perbatasan.

Informasi ini dibutuhkan untuk memberikan latar informasi kondisi daerah dan

perilaku perdagangan di daerah perbatasan. Dalam profil ini ingin

digambarkan: gambaran kelompok jenis barang yang beredar, sumber

barang, gambaran cara masuknya barang dari negara tetangga, tingkat

ketersediaan, tingkat harga relatif, neraca perdagangan, dan preferensi

masyarakat (terbatas). Informasi-informasi ini diharapkan memperkaya

aspek lingkungan yang diperoleh dari keluaran pertama. Informasi

diharapkan diperoleh dari pengamatan kepada sebaran barang dan

wawancara dengan pedagang/pengecer, serta wawancara dengan

masyarakat/ pelintas batas.

Seluruh informasi hasil gambaran input-proses-output ini, kemudian

akan dibandingkan dengan beberapa acuan seperti (1) kesesuaian

mekanisme dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang, peraturan

menteri perdagangan, dan peraturan turunan lainnya, (2) Standar pelayanan

minimal yang seharusnya dicapai oleh satuan kerja dalam urusan

pengawasan barang beredar, atau (3) patokan lain yang dapat ditarik dari

praktik terbaik pengawasan barang yang ada didalam atau diluar negeri.

Beberapa variabel dari aspek input, proses, dan lingkungan yang menarik

kemudian dapat dianalisis hubungannya dengan kinerja pengawasan di

19

masing-masing daerah. Hasilnya diharapkan memberikan pengetahuan yang

lebih mendalam mengenai karakteristik barang dan pengawasan barang di

daerah perbatasan.

Hambatan-hambatan teridentifikasi dan informasi penting yang

diperoleh dari pelaksanaan pengawasan barang beredar di daerah

perbatasan, kemudian distrukturkan untuk memperoleh gambaran mengenai

akar masalah, dan program serta kebijakan yang dibutuhkan untuk

mengatasi akar masalah tersebut. Gambaran pendekatan pelaksanaan

kajian dapat dilihat dalam gambar 3.1.

Gambar 3. 1. Pendekatan pelaksanaan kajian

Rekomendasi Kebijakan Peningkatan pengawasan barang di daerah perbatasan

Narasumber,

Masyarakat,

Pelintas

Pedagang/Pengecer

Identifikasi

barang

beredar

Ketersediaan

barang

Pasar dalam

negeri

Negara tetangga

Harga

barang

Sumber

barangPreferensi

Hambatan

perdagangan

Hambatan

Logistik

Pengalaman

pengawasan

Cara masuk

Pelaku,

Motif/ Alasan,

Nilai rata-rata / tahun

Keberadaan pendaftaran

Keberadaan pengawasan

Pengamatan

pemenuhan parameter

pengawasan barang

beredar

Estimasi

proporsi

Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota

Penggambaran

mekanisme

perencanaan,

pelaksanaan,

pelaporan

Pengukuran output

Pengawasan barang

beredar

Identifikasi kapasitas

Sumber daya

SDM,

Anggaran,

Sarana

Koordinasi instansi pendukung

Lainnya

Jumlah

pelaksanaan

Jumlah sampel

Jangkauan

pengawasan

Identifikasi hambatan

dalam perencanaan,

pelaksanaan,

pelaporan

Wilayah

Jenis Barang

Waktu

Kinerja

pengawasan

SPM

Permendag

Best practice

Pencatatan Profil

perdagangan

daerah

2

5 3

1

4

6

20

3.1.2. Alat Analisis

Sesuai dengan tujuannya mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan

barang di daerah perbatasan dan menganalisis kinerja pengawasan barang

di daerah perbatasan, maka kajian banyak menggunakan alat-alat statistika

deskriptif seperti Tabel, Histogram, dan perhitungan Nilai Sentral (rata-rata,

deviasi). Tujuannya adalah agar karakteristik dan perbedaan nilai variabel

antar daerah dapat ditampilkan secara baik dan dengan segera dapat diamati

karakteristiknya.

Pandangan terhadap suatu Mekanisme, disamping dipaparkan dalam

narasi, digambarkan dalam bagan alir (flow chart) untuk menunjukkan

keterkaitan pelaku, kegiatan, dan keluaran yang dihasilkan.

Pada bagian tertentu, kinerja pengawasan dianalisis dalam kondisi

lingkungan, profil perdagangan, dan mekanisme pengawasan yang berbeda-

beda, langkah ini dilakukan agar kajian dapat mengidentifikasi variabel-

variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengawasan. Analisis

hubungan ini menggunakan uji ANOVA.

Uji ANOVA adalah alat analisis inferensial yang dapat digunakan untuk

menguji apakah dua atau lebih sampel memiliki mean yang sama atau tidak.

Dalam kajian ini, analisis ANOVA digunakan untuk mengidentifikasi variabel-

variabel mana yang secara signifikan memberikan hasil kinerja pengawasan

barang beredar yang berbeda pada kondisi yang berbeda, dan variabel-

variabel mana yang tidak. Variabel yang mampu membedakan kinerja dapat

dianggap sebagai memiliki “hubungan” dengan kinerja (yang harus

dijudgement kembali), sedangkan variabel yang tidak membedakan,

dianggap berperilaku sama pada semua keadaan.

Pada bagian terakhir, kajian menstrukturkan masukan hambatan yang

dihadapi menggunakan kerangka Project Cycle Management (PCM) untuk

mencari akar masalah, identifikasi program, dan identifikasi kebijakan yang

perlu dilaksanakan. Hal ini diperlukan agar kajian dapat menyusun

rekomendasi kebijakan yang memperhatikan seluruh masukan yang

21

diperoleh langsung dari pemangku kepentingan, atau tidak langsung dari

pemahaman terhadap karakteristik dan perilaku data dalam kondisi berbeda.

Hubungan antara data, keluaran, dan alat analisis disajikan dalam tabel 3.1.

Tabel 3. 1. Sumber informasi, jenis data, metode pengumpulan, dan alat analisis

Tujuan Sumber Informasi Jenis Data/ Metode

Keluaran Alat Analisis/ Alat Bantu

1. Mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan

Disperdag prov ; Disperdag kab/kota; PPBJ dan PPNS-PK;

Desk study Wawancara

1.1. Gambaran perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pengawasan barang di kawasan perbatasan, serta Kesesuaian dengan Permendag 20/2009

Kerangka Input-Proses-Output untuk mengenali komponen mekanisme.. Checklist kesesuaian mekanisme (checklist perbandingan kondisi yang ada dengan mekanisme sesuai peraturan)

2. Menganalisis Kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan

Disperdag prov ; Disperdag kab/kota; PPBJ dan PPNS-PK;

Wawancara Perhitungan

2.1. Gambaran sumber daya yang dimiliki (SDM, sarana, anggaran) untuk melakukan pengawasan, kecukupan, dan kebutuhannya

Alat statistika deskriptif (tabel, histogram, nilai sentral) untuk menyajikan data Estimasi sumberdaya dibutuhkan untuk pengawasan optimal

Disperdag prov ; Disperdag kab/kota; PPBJ dan PPNS-PK

Wawancara; Perhitungan rasio output pengawasan

2.2. Jangkauan pengawasan barang beredar yang telah dilakukan di daerah perbatasan

Penggambaran output pengawasan (jumlah hari, jumlah sampel) per tahun

Pedagang Wawancara; Pemeriksaan kasat mata sederhana Estimasi rentang

2.3. Hasil estimasi proporsi jumlah barang beredar sesuai parameter pengawasan barang beredar di daerah perbatasan

Estimasi proporsi jumlah barang beredar sesuai parameter pengawasan dari toko sampel

Disperdag prov ; Disperdag kab/kota; PPBJ dan PPNS-PK Instansi pendukung di perbatasan

Wawancara 2.4. Hambatan pengawasan barang di daerah perbatasan

Tabel dan paparan

3. Merumuskan usulan kebijakan pengawasan barang di daerah perbatasan

Hasil Tujuan 1dan 2 Desk Study, FGD

3.1. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Sintesa tujuan 1 dan 2

22

3.2. Responden Kajian

Responden kajian adalah Pedagang (pengecer), Masyarakat/Pelintas

Batas, dan narasumber dari Dinas Perdagangan (Provinsi dan Kabupaten),

Petugas Pengawas Barang Beredar, Direktorat Pengawasan Barang Beredar

dan Jasa, serta institusi lain yang mendukung/memiliki data sekunder yang

dibutuhkan.

Pemilihan responden dilakukan dengan mengikuti teknik purposive

sampling (metode pemilihan dengan cara sengaja memilih sampel-sampel

tertentu karena memilki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki sampel lainnya).

Jumlah sampel untuk masing-masing responden/narasumber dapat dilihat

dalam Tabel 3.2.

Tabel 3. 2. Responden/narasumber dan jumlah sampel

Responden/Narasumber

(Key Person)

Instrumen

Lokasi

Jumlah

Kalimantan Barat Kalimantan Utara

Kalimantan Timur

Pro

v. K

alb

ar

Kab. S

anggau

Kab.

Bengka

yang

Pro

v. K

alta

ra

Kab. M

alin

au

Kab. N

unuka

n

Dinas Perdagangan

Kuesioner-1: Dinas

1 1 1 1 1 1 2 8

Petugas PPBJ/ PPNS-PK

Kuesioner-2: Unit Pengawas

2 2 2 2 2 2 2 14

Pengecer barang

Kuesioner-3: Pengecer

16 16

16 16 4 68

Instansi terkait

Kuesioner-4:

2 2

2 2 2 10

3.3. Lokasi Kajian

Kab. Sanggau Kab Bengkayang Hulu

Kab. Malinau Kab. Nunukan

23

Untuk menggali data dan informasi pengawasan barang beredar di

daerah perbatasan dan perdagangan lintas batas dilakukan survey kepada

pelintas batas, pelaku usaha dan instansi yang terkait. Lokasi kajian

dilakukan di wilayah perbatasan darat antara Kalimantan dengan Malaysia.

Provinsi Kalimantan Barat terdapat 2 (dua) kabupaten (Kab. Sanggau,

Kapuas Hulu). Provinsi Kalimantan Utara 2 (dua) kabupaten (Kab. Nunukan,

dan Malinau), dan Provinsi Kalimantan Timur.

3.4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam analisis ini dilakukan dengan cara survey

dan observasi lapangan kepada responden di daerah kajian dengan

menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan serta melakukan

wawancara langsung secara mendalam (in depth). Pertanyaan

dikembangkan untuk mendalami berbagai hal yang belum tertangkap melalui

kuesioner. Selain survey, pengambilan data dan informasi juga akan

dilakukan melalui diskusi terbatas untuk menggali dan mencari solusi dari

permasalahan yang ada. Dalam diskusi terbatas ini akan diundang para

pemangku kepentingan yang terkait dengan pengawasan barang di daerah

perbatasan.

Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data primer dan

sekunder. Data primer yang diperoleh dari wawancara langsung dengan

responden yaitu pelaku usaha, pelintas batas/masyarakat dan instansi yang

terkait, serta data sekunder yang dikumpulkan adalah kebijakan terkait

pengawasan barang beredar, serta data perdagangan dan lingkungan daerah

perbatasan. Sumber data Sekunder tersebut diperoleh melalui pendekatan

Desk Study (review dokumenter) dan data dari instansi yang tugasnya terkait,

seperti Pusat Kajian Perdagangan Luar Negeri, Direktorat Pengawasan

Barang Beredar dan Jasa, Badan Pusat Statistik (Pusat dan Daerah), dan

lainnya.

24

25

BAB IV. PROFIL PERDAGANGAN BARANG BEREDAR DI DAERAH

PERBATASAN

4.1. Profil Perdagangan di Daerah Perbatasan

Sebagai halaman depan dari sebuah negara, daerah perbatasan

menjadi salah satu faktor pendukung dalam mempromosikan produk-produk

unggulan dalam negeri. Namun di sisi lain daerah perbatasan sangat rentan

terhadap masuknya barang-barang yang tidak sesuai ketentuan. Khususnya

untuk daerah perbatasan darat antara Indonesia-Malaysia masih banyak

memerlukan perhatian serius terutama dalam memenuhi kebutuhan pokok

masyarakat yang tinggal disana. Maraknya produk Malaysia yang beredar di

daerah perbatasan disebabkan karena kontinuitas pasokan produk dalam

negeri yang terbatas dan persaingan harga serta kualitas. Tentu saja barang

asal Malaysia yang beredar tersebut tidak semua memenuhi aturan yang

berlaku oleh karena itu diperlukan pengawasan secara ketat terhadap barang

beredar. Namun kondisi ini kurang mendapat respon yang baik yang

tercermin dari jumlah SDM Pengawasan, anggaran, dan infrastruktur dalam

pelaksanaan pengawasan barang beredar yang masih terbatas. Secara rinci,

profil perdagangan di daerah kajian dapat dilihat dalam tabel 4.1.

Secara umum, asal barang beredar di daerah kajian bercampur antara

barang lokal (yang datang dari Surabaya, Makassar, dan Pontianak), dengan

barang “tetangga”/”luar” yang datang dari Malaysia. Di daerah kajian, rata-

rata 30% barang berasal dari Malaysia. Namun jika komposisinya ditelaah

lebih dalam, maka tampak bahwa untuk bahan pokok, proporsi barang

tetangga dapat mencapai 53% (100%-47%). Sedangkan untuk barang-

barang elektronik, proporsi barang tetangga amat kecil. Untuk elektronik,

barang lokal masih menjadi “raja” di pasaran Indonesia. Hal ini terjadi karena

spesifikasi daya listrik yang berbeda antara perusahaan listrik Indonesia dan

Malaysia.

26

Neraca perdagangan daerah kajian tampak ada yang bernilai defisit,

dan ada yang surplus. Belum ada informasi yang dapat ditarik dari data ini,

namun pandangan pada sumbangan sektor perdagangan kepada PDRB

daerah menunjukkan bahwa daerah dengan neraca perdagangan yang

defisit, cenderung memiliki proporsi sumbangan sektor perdagangan yang

kecil kepada PDRB-nya .

Tabel 4. 1. Gambaran umum di daerah kajian

Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang Keterangan

Luas wilayah (Km2) 14.247,50 39.799,90 12.857,70 5.396,30

Jumlah pintu masuk resmi

1 (satu) buah

Tidak ada 1 (satu) buah

Sedang dibangun

Fasilitas pintu masuk CIQS - CIQS SI Custom, Imigration, Quarantine, and Security (CIQS)

Pintu masuk tidak resmi Ada Ada Ada Ada

Jumlah kecamatan 15 12 15 17

Jumlah kelurahan/desa 240 109 169 124

Populasi 146.286 62.423 372.448 214.785 (dalam jiwa)

Ekspor (2012) (juta Rp) 3.019.557 1.116.243 1.175.930 389.609 ADH berlaku

Impor (2012) (juta Rp) 4.270.380 1.203.677 993.110 138.393 ADH berlaku

Neraca Surplus (Defisit) (1.250.823) (87.434) 182.820 251.216 Ekspor-impor

Sumbangan Sektor Perdagangan (2012)

10,24% 9,47% 18,98% 24,55%

IPM (2011) 74,38 73,26 68,97 67,98

Proporsi barang Dalam Negeri (menurut nilai barang)

- Total 66,4% 66,4% 68,7% 79,7% Rata-rata; 70,3%

- Bahan pokok 35,2% 35,2% 56,4% 61,3% Rata-rata; 47,0%

- Barang elektronik 97,8% 100,0% 98,3% 100,0% Rata-rata; 99,0%

- Bahan bangunan 74,5% 74,5% 100,0% 100,0% Rata-rata; 87,3%

Jumlah pasar tradisional 18 8 15 3

Jumlah pedagang 2.822 1.028 445 261

Sumber: BPS, Kementerian perdagangan, Data hasil survey, diolah

27

4.2. Profil Perdagangan Kabupaten Nunukan

Profil Ringkas Kalimantan Utara

Kalimantan Utara adalah sebuah provinsi di Indonesia

yang terletak di bagian utara Pulau Kalimantan. Provinsi ini

berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara

Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur.

Saat ini, Kalimantan Utara merupakan provinsi termuda

Indonesia, resmi disahkan menjadi provinsi dalam rapat paripurna DPRpada

tanggal 25 Oktober 2012 berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun

2012.

Pada saat dibentuknya, wilayah Kalimantan Utara dibagi menjadi 5

(lima) wilayah administrasi, yang terdiri dari 1 (satu) kota dan 4 (empat)

kabupaten sebagai berikut:

1. Kota Tarakan

2. Kabupaten Bulungan

3. Kabupaten Malinau

4. Kabupaten Nunukan

5. Kabupaten Tana Tidung

Gambar 4. 1. Peta Kalimantan Utara

Kota Tarakan

Kab. Nunukan

Kab. Malinau

Kab. Bulungan

P. Nunukan

P. Sebatik

Kab. Tana Tidung

28

Seluruh wilayah ini sebelumnya merupakan bagian dari wilayah

Kalimantan Timur. Ibu kota provinsi ditempatkan di Tanjung Selor, di

Kabupaten Bulungan. Pejabat Gubernur saat ini adalah DR. Ir. H. Irianto

Lambrie, MM. Luas wilayah Provinsi Kalimantatan Utara adalah sebesar

Total 85.618 km2 (33,057 mil²), dengan jumlah penduduk (tahun 2010)

sebesar 524.656 orang. Secara keseluruhan, provinsi memiliki 4 (empat)

kabupaten, 1 (satu) kota, dan 47 kecamatan.

Tabel 4. 2. Populasi dan Ibukota Kabupaten di Kalimantan Utara

No. Kabupaten/Kota Populasi (orang)

Ibukota

1 Kota Tarakan 192.287 Tarakan

2 Kabupaten Nunukan 140.404 Nunukan

3 Kabupaten Bulungan 112.472 Tanjung Selor

4 Kabupaten Malinau 61.658 Malinau

5 Kabupaten Tana Tidung

15.202 Tideng Pale

Sumber: BPS, Sensus Penduduk 2010

(http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=337&wid=6400000000)

Profil Ringkas Kabupaten Nunukan

Kabupaten Nunukan adalah salah

satu kabupaten di Kalimantan Utara,

Indonesia. Ibu kota kabupaten ini

terletak di kota Nunukan. Kabupaten

ini memiliki luas wilayah 14.493 km²

dan berpenduduk sebanyak 146.286 jiwa (2013). Motto

Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun

Daerah" yang berasal dari bahasa Tidung. Nunukan juga adalah nama

sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara,

Indonesia.

29

Tabel 4. 3. Profil Ringkas Kabupaten Nunukan Tahun 2013

Bupati BASRI

Wakil Bupati Hj. ASMAH GANI

Luas Wilayah Daratan 14.247,50 Km2

Luas Pengelolaan laut 1.026,74 Km2

Kecamatan 15

Desa / Kelurahan 218

Jumlah Rumah Tangga 17.131

Jumlah Penduduk 146.286 jiwa

Kepadatan Penduduk 10,71 jiwa/km2

Angkatan Kerja 67.186 jiwa

Jumlah Penduduk Miskin 17.700 ribu jiwa

Pertumbuhan Ekonomi 6,72 %

PDRB ADH Berlaku Rp. 4.660.682.000.000,-

PDRB Per Kapita ADH Berlaku Rp. 31.860.071,-

Pendapatan Asli Daerah Rp. 34.871.929.384,98,-

APBD (2013) Rp. 1,6 Triliun

Sumber: Provinsi Kalimantan Timur

(http://www.kaltimprov.go.id/viewkota-10.html)

Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten

Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah,

peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah

dengan didasari Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Dengan dasar inilah dilakukan pemekaran pada

Kabupaten Bulungan menjadi 2 (dua) kabupaten baru lainnya, yaitu

Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Malinau.

Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47

Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau,

Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat dan Kota Bontang pada

tanggal 4 Oktober 1999.

30

4.2.1. Gambaran Perdagangan Kabupaten Nunukan

Sektor perdagangan, hotel, dan restoran menciptakan nilai tambah

bruto sebesar Rp 596 miliar dengan kontribusi terhadap PDRB adalah

10,24%. Nilai ini sedikit menurun sebesar 0,23% jika dibandingkan dengan

kontribusi tahun 2012. Walaupun nilai kontribusi ini relatif kecil dibandingkan

sektor pertambangan dan penggalian, namun untuk masa yang akan datang,

jika pemerintah dapat memberikan perhatian khusus dalam

pengembangannya, sektor ini dapat memiliki prospek bagus untuk

dikembangkan, terutama subsektor perdagangan, mengingat kondisi

geografis kabupaten Nunukan sebagai daerah perbatasan sangat strategis

sebagai lalu lintas perdagangan antar pulau maupun antar negara, ditunjang

dengan meningkatnya aktivitas di subsektor perkebunan, industri pengolahan

dan batubara. Tentunya jika diterapkan peraturan yang mendukung

lancarnya perdagangan antar daerah maupun ekspor impor ke luar negeri,

maka perkembangan sektor ini akan lebih baik. Misalnya, penerapan

kebijakan national single window dalam kebijakan ekspor impor.

Sumber: PDRB Kab. Nunukan Menurut Lapangan Usaha 2009-2013

Gambar 4. 2. Struktur perekonomian Kabupaten Nunukan Tahun

2013

Sektor Perdagangan

31

Secara umum, neraca ekspor-impor Kabupaten Nunukan bernilai Surplus

dan cenderung mencatat pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun. Nilai

ekspor amat ditentukan oleh komoditas minyak mentah, kayu log, buah

kelapa sawit, dan batubara. Meskipun pada jumlah ekspor minyak mentah

dan kayu cenderung menurun, namun komoditas batubara dan buah kelapa

sawit cenderung bertahan atau meningkat. Pertumbuhan impor cenderung

meningkat dari tahun ke tahun. Komoditas impor kebanyakan merupakan

minyak kelapa sawit, peralatan dapur, sayuran, mie, tepung, dan bahan

makanan.

Tabel 4. 4. Neraca Perdagangan Kabupaten Nunukan,Tahun 2010-2012

2010 2011 2012 Pertumbuhan

ADH Berlaku

Ekspor 2.004.481 2.501.076 3.019.557 22,7%

Impor 2.693.045 3.600.719 4.270.380 25,9%

Surplus (Defisit) (688.564) (1.099.643) (1.250.823) 34,8%

ADH Konstan

Ekspor 783.849 838.142 890.429 6,6%

Impor 791.489 884.575 950.876 9,6%

Surplus (Defisit) (7.640) (46.433) (60.447) 181,3%

Sumber: BPS Kabupaten Nunukan

Disamping impor yang dilakukan oleh perusahaan resmi, impor juga

dilakukan oleh pelintas batas. Dalam catatan dinas perdagangan kabupaten

Nunukan, barang yang kerap dimasukkan adalah: minyak kelapa sawit,

bubuk kakao, ikan basah dan ikan beku, mie kuning, buah-buahan, sayur-

sayuran, makanan dan minuman ringan, tepung terigu, bawang merah,

wortel, kentang, dan perangkat dapur. Nilai ekspor impor pelintas batas ini

tidaklah besar. Namun nilainya selalu defisit. Di tahun 2012 nilai defisit ini

berjumlah Rp 2,609 miliar, di tahun 2014 diperkirakan nilainya mencapai Rp

3,453 miliar.

32

Tabel 4. 5. Rekapitulasi Perdagangan Lintas Batas Kabupaten Nunukan Tahun 2012 dan 2014

2012 2014* Pertumbuhan

Ekspor 126.843.253 294.300.000 52,3%

Impor 2.736.512.231 3.747.852.960 17,0%

Surplus (defisit) (2.609.668.978

) (3.453.552.960) 15,0%

Keterangan: *) Angka dugaan Sumber: Dinas Perindagkop dan UMKM kabupaten Nunukan

4.2.2. Gambaran Barang Beredar di Kabupaten Nunukan

Sesuai dengan kondisi geografisnya sebagai daerah perbatasan, maka

di Nunukan juga beredar barang yang berasal dari negara tetangga.

Jumlahnya sekitar 33,6%. Pada toko bahan makanan, proporsi barang dari

dalam negeri berbanding dari luar negeri (DN:LN) mencapai 43,5% : 56,5%.

Sedangkan pada toko elektronik, proporsi DN:LN mencapai 88% : 12%

(Gambar 4.3).

Sumber: Data diolah

Gambar 4. 3. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang

Gambar 4.4 dan tabel 4.5, menunjukkan bahwa barang kebutuhan

pokok masyarakat lebih banyak diisi oleh barang dari Malaysia.

Toko bahan Makanan Keseluruhan Toko Elektronik

33

Tabel 4. 6. Barang Beredar dan Sumbernya (Bahan Pokok)

Barang Sumber

1 Beras Malaysia

2 Gula Pasir Malaysia

3 Minyak Goreng-botol Malaysia

6 Daging ayam boiler Malaysia

8 Telur ayam ras Indonesia & Malaysia

10 Susu kental manis Indonesia & Malaysia

11 Susu bubuk Indonesia & Malaysia

13 Garam Malaysia

14 Tepung Terigu Malaysia

16 Mie Instan Indonesia

20 Bawang merah Indonesia & Malaysia

21 Bawang putih Malaysia

23 Kacang hijau Indonesia

24 Kacang tanah Indonesia

3 Gas LPG Malaysia

Sumber: Data diolah

Sumber: Data diolah

Gambar 4.4. Nilai Barang Beredar (Bahan Pokok)

34

Tabel 4. 7. Barang Beredar dan Sumbernya (Barang SNI)

Barang Sumber

2 Air minum dalam kemasan Indonesia

7 Baja lembaran lapis seng Malaysia

32 Kabel fleksibel Indonesia

33 Kaca lembaran Indonesia

43 Korek api gas Malaysia

44 Kloset duduk Indonesia

47 Lampu swa-balast Indonesia

56 Peralatan audio, video Indonesia

57 Peralatan Pendingin Indonesia

58 Peralatan listrik rumah tangga Indonesia

59 Kotak Kontak Indonesia

60 Tusuk Kontak Indonesia

61 Mini Circuit Breaker – MCB Indonesia

62 Pompa Indonesia

63 setrika listrik Indonesia

64 mesin cuci Indonesia

74 Regulator tabung baja LPG Malaysia

75 Selang kompor gas LPG Malaysia

77 Semen Portland Indonesia

94 Ubin Keramik Indonesia

Sumber: Data diolah

Sumber: Data diolah Gambar 4.5. Nilai Barang Beredar (Barang SNI)

35

Sebesar 80% barang Elektronik dan bangunan yang ada di P. Sebatik

dan Nunukan berasal dari Indonesia. Besarnya proporsi barang elektronik

dari Indonesia disebabkan Spesifikasi barang elektronik asal Indonesia lebih

cocok dengan voltase listrik wilayah Indonesia. Barang elektronik asal

Malaysia memiliki kebutuhan voltase dan daya listrik yang berbeda, sehingga

tidak dapat digunakan di Indonesia. Sedangkan Baja lembaran Malaysia

lebih disukai karena lebih panjang.

4.2.3. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar

a. Profil SKPD Pelaksana Pengawasan

Urusan pelaksanaan pengawasan barang beredar berada di bawah

Seksi Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian Perdagangan

Koperasi dan UMKM kabupaten Nunukan. SKPD ini berkantor di gedung

Gabungan Dinas I, lantai 1, jalan Ahmad Yani Nunukan.

Gambar 4.6. Struktur Organisasi Disperindagkop UMKM Kab. Nunukan

Kepala Dinas

Sekertaris

Kasubag Peny. Program & Pelaporan

Kasubag Umum & Kepegawaian

Kasubag Keuangan

Kabid UMKM Kabid Koperasi Kabid Industri Kabid Perdagangan

Kasi Bina SDM

UMKM Kasi Bina SDM

Koperasi

Kasi Hil Kasi PLN

Kasi Bina Usaha & Kelembagaan

UMKM

Kasi Bina Usaha & Kelembagaan Kop

Kasi IKM Kasi PDN

Bendahara Pengelaran

Bendahara Penerimaan

Jabatan Fungsional

36

b. Mekanisme Pengawasan

Kendati urusan pengawasan barang ada dibawah Bidang Perdagangan

Dalam Negeri Dinas Perdagangan, namun pelaksanaan pengawasan

dilakukan bersama-sama dalam sebuah Tim Pengawasan Terpadu. Ada dua

jenis pengawasan barang di Kabupaten Nunukan, (1) Pengawasan rutin tri-

wulanan, dan (2) Pengawasan menjelang hari raya. Kedua jenis pengawasan

ini tidak hanya dilakukan oleh Bidang perdagangan saja, melainkan dibantu

oleh bidang atau SKPD lain yang berhubungan, seperti Dinas Kesehatan,

Satpol PP, dan aparat Polri.Dengan demikian dalam satu tahun ada sekitar 3

(tiga) kali kegiatan pengawasan di setiap kecamatan. Khusus untuk

kecamatan Nunukan, ada 5 (lima) kali kegiatan pengawasan. Pengawasan

terutama dilaksanakan di pasar tradisional.Dalam satu tahun, tidak seluruh

kecamatan mendapat pengawasan, kecamatan bergiliran mendapat

pengawasan. Untuk tahun 2014 misalnya, hanya dianggarkan untuk 8

(delapan) kecamatan. Setiap kecamatan mendapat jatah waktu pengawasan

selama 3 (tiga) hari.

Perencanaan kegiatan pengawasan dilakukan di tingkat Kepala Dinas

(Eselon II), sebagai bagian dari rencana kerja daerah dalam urusan

perdagangan, Pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah Kabupaten

dilakukan oleh tim gabungan dari beberapa SKPD terkait. Disamping karena

jumlah orang yang terbatas, juga karena urusan ini juga dinilai tersebar pada

SKPD-SKPD yang lain. SKPD yang terlibat dalam kegiatan pengawasan

barang adalah Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan Bidang-bidang lain dalam

Disperindagkop UMKM. Koordinasi pelaksanaan pengawasan dilakukan

dalam pertemuan SKPD yang biasanya dilakukan menjelang pengawasan

dilakukan. Tidak ada forum khusus untuk untuk melakukan koordinasi

pelaksanaan ini, hanya komunikasi langsung antar Kepala Dinas.

37

c. Sumberdaya Pengawasan

Jumlah PPBJ yang ada di Kabupaten Nunukan berjumlah 2 (dua) orang.

Kedua petugas ini berusia antara 25-40 tahun. Satu petugas berasal dari

Bidang perdagangan, sedangkan satu petugas berasal dari bidang

Perindustrian. Kedua petugas ini tidak khusus mengurusi pengawasan

barang saja, tetapi juga tugas administratif lain di bidang perdagangan dan

industri.

Kabupaten Nunukan secara rutin mengusulkan SDM untuk mengikuti

diklat PPBJ. Untuk tahun ini, sudah mengirimkan 3 (tiga) nama peserta,

tetapi belum mengetahui apakah akan dipanggil atau tidak. Permasalah

jumlah petugas pengawas ini kurang lebih sama dengan yang lain, yaitu

kemampuan daerah menjaga petugas yang ada. Hal ini karena mutasi yang

kerap terjadi di daerah.

Jika dihitung, kebutuhan petugas minimal adalah sebanyak 2 (dua)

orang. Dengan demikian, jumlah petugas yang ada saat ini dinilai sudah

mencukupi jika hanya khusus fokus mengurusi pengawasan barang

saja.Namun mempertimbangkan batas perjalanan dinas yang dibatasi

selama 3 (tiga) hari saja, dan sulitnya menjangkau daerah perbatasan,

seperti kecamatan Krayan dan Sebuku, maka jumlah ideal petugas

sebaiknya menjadi 4 (empat) orang. Kabupaten juga belum memiliki

Penyidik PPNS Perlindungan Konsumen (PPNS-PK).

38

Tabel 4. 8. Perhitungan Kebutuhan Hari Pengawasan Minimal

Jumlah kecamatan 16 kecamatan

Waktu kegiatan pengawasan 3 hari per kecamatan

Jumlah kali pengawasan per tahun 3 kali per tahun

Kebutuhan hari pengawasan 144 hari per pengawasan per tahun

Jumlah pasar tradisional 1) 18 pasar

Jumlah pedagang pasar tradisional 1) Sekitar 2.822 pedagang

Kebutuhan sampel minimal 2) 350 pedagang

Kebutuhan waktu pengawasan minimal setahun:

- Kapasitas 1 pedagang per hari 350 hari

- Kapasitas 2 pedagang per hari 175 hari

- Kapasitas 3 pedagang per hari 120 hari

Kebutuhan Petugas PPBJ 2 – 4 orang

Kebutuhan Petugas PPNS 1 – 2 orang

1) Kementerian Perdagangan 2) menggunakan rumus Slovin untuk taraf signifikansi 5%

Hingga saat ini, pelanggaran yang ditemui tidak pernah dilanjutkan ke

tahapan penyidikan, tindakan yang dilakukan lebih mengarah kepada

penyuluhan dan pembinaan, seperti teguran, membuat surat pernyataan, dan

menarik barang bermasalah secara sukarela. Pihak yang sudah melakukan

tindakan dan penyidikan adalah dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM) Provinsi Kalimantan Timur, namun terbatas hanya kepada makanan

dan obat-obatan (hingga saat ini Kabupaten Nunukan belum memiliki BPOM

Kabupaten).

Pengawasan dilakukan berdasarkan parameter yaitu SNI, Label

berbahasa Indonesia dan MKG. Pengawasan yang dilakukan secara kasat

mata. Pengawasan tidak pernah ke tahap pengujian laboratorium karena

tidak ada anggaran untuk membeli sampel barang dan belum ada fasilitas

laboratorium yang cukup di kabupaten. Pembelian sampel hanya dilakukan

jika ada pesanan dari PPBJ provinsi Kalimantan Timur atau titipan pesanan

39

dari Pusat. Namun kegiatan ini belum dilakukan sebanyak pengawasan oleh

BPOM. Menurut keterangan, dalam satu tahun minimal 1 (satu) kali

pembelian jenis barang yang berbeda-beda.

Kecukupan ketrampilan dan kompetensi petugas PPBJ yang ada saat

ini dinilai cukup, namun dinilai sering tertinggal informasi peraturan dan

informasi terbaru. Untuk itu petugas PPBJ kabupaten Nunukan

mengharapkan dapat lebih sering memperoleh sosialisasi jika ada peraturan/

informasi baru dan pelatihan dari pemerintah pusat.

Anggaran

Jumlah anggaran pengawasan tahun 2014 adalah sebesar Rp

223.192.000,- untuk melaksanakan pengawasan di 8 (delapan) kecamatan.

Anggaran pengawasan berasal dari dana Dekonsentrasi. Anggaran total

bidang perdagangan adalah sebesar Rp 4.104.000.000. Dengan demikian,

jumlah anggaran pengawasan hanya meliputi 5,4% dari anggaran bidang

perdagangan.

Sarana

Tidak ada sarana khusus yang dimiliki oleh bidang perdagangan dalam

negeri untuk pelaksanaan pengawasan barang ini. Untuk melaksanakan

tugas pengawasan, tim memang memiliki kesempatan untuk menggunakan

mobil operasional dinas yaitu satu buah mobil pick-up untuk mengangkut

barang.

d. Rasio Proporsi Barang Beredar Sesuai Parameter

Proprosi barang sesuai parameter digunakan untuk mencoba

menunjukkan “kinerja” pemerintah dalam menjaga pasar dari masuknya

barang yang tidak sesuai aturan. Rasio ini dihitung dari proposi jumlah

barang yang sesuai parameter pengawasan (yang disederhanakan, hanya

label dan SNI, serta kadaluarsa untuk bahan makanan).

40

Pengolahan data kabupaten Nunukan menunjukkan rasio sebesar 50%,

artinya baru sebesar 50% barang dari toko sampel yang diamati, relatif

sesuai dengan ketentuan/parameter yang ada.

e. Permasalahan Pengawasan

Untuk bahan kebutuhan pokok, produk dalam negeri tidak dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama dari segi jumlah ketersediaan

dan harga. Untuk sayur, buah, dan daging segar, produk dalam negeri

kebanyakan telah rusak dalam pengangkutan sehingga kualitasnya mejadi

lebih rendah.

f. Harapan Kepada Pemerintah Daerah

Dapat berkoordinasi dengan daerah lain untuk memperoleh barang

yang dibutuhkan masyarakat.

4.3. Profil Perdagangan Kabupaten Malinau

Kabupaten Malinau terletak antara 114°35'22" sampai dengan

116°50'55" Bujur Timur dan 1°21'36" sampai dengan 4°10'55” Lintang Utara.

Seluruh wilayah Kabupaten Malinau merupakan daratan dengan luas

39.766,33 Km2 sehingga menjadikan Malinau kabupaten terluas di Propinsi

Kalimantan Timur. Secara administrasi, Kabupaten Malinau merupakan salah

satu daerah hasil pemekaran wilayah Kabupaten Bulungan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 dimana wilayahnya terletak di bagian

utara Provinsi Kalimantan Timur yang juga berbatasan langsung dengan

Negara Bagian Serawak, Malaysia. Letak geografisnya yang berbatasan

dengan Malaysia merupakan salah satu pertimbangan sebagai daerah

survey untuk Kajian Pengawasan Barang Beredar di Daerah Perbatasan.

41

4.3.1. Gambaran Perdagangan di Kabupaten Malinau

Perdagangan pada daerah perbatasan di Kabupaten Malinau terdiri dari

dua cara, yaitu perdagangan lintas batas dari beberapa kecamatan yang

berbatasan langsung dengan Malaysia (seperti Kecamatan Kayan Hulu,

Kayan Hilir, Kayan Selatan, Bahau Hulu, dan Pujungan) dan perdagangan

melalui Kabupaten lain di Propinsi Kalimantan Utara. Ala et al (2013)

menggambarkan studi kasus perdagangan lintas batas di Kecamatan Kayan

Hulu yang berbatasan dengan Sawarak dimana lokasi perdagangan

berlangsung di Malaysia. Dalam pelaksanaannya, Pelintas2 di Kecamatan

Kayan Hulu melewati pemeriksaan yang terdapat di Desa Long Nawang

menuju Tapak Mega atau Kapit yang berlokasi di Sarawak. Beberapa hal

yang menjadi perhatian dalam perdagangan lintas batas antara lain:

Motivasi penduduk melakukan perdagangan lintas batas adalah untuk

memenuhi kebutuhan pokok.

Pelintas terdiri dari perorangan dan pedagang lokal.

Jenis barang yang diperdagangkan antara lain gula, minyak goreng, Gas

Elpiji, alat komunikasi dan elektronik, pakaian, dan BBM dengan volume

terbatas untuk keperluan sehari-hari.

Lokasi perdagangan berada di wilayah Malaysia yang berjarak sekitar 23

Km dari perbatasan.

Intensitas perdagangan didasari pada kedekatan hubungan pelintas

dengan pedagang di Malaysia.

Sementara perdagangan barang di luar wilayah perbatasan dilakukan

melalui jalur distribusi dari Kabupaten Nunukan. Dalam pelaksanaannya,

Pengecer atau Pelintas yang berada di Kabupaten Malinau (Kota) membeli

2penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara

serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang

melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui Pos Pengawas Lintas Batas

(Peraturan Menteri keuangan No 188/PMK.04/2010 Tentang Impor Barang Yang Dibawa

Oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman

42

barang dari Tawau (Malaysia) dan didistribusikan melalui Kecamatan Sebatik

(Kabupaten Nunukan) – Sungai Nyamuk – Kecamatan Sebuku (Kabupaten

Nunukan) – Kecamatan Mensalong (Kabupaten Nunukan) – Malinau Kota.

Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam perdagangan tersebut antara

lain:

Motivasi penduduk melakukan perdagangan lintas batas adalah untuk

memenuhi kebutuhan pokok dan mencari keuntungan melalui penjualan

grosir/eceran.

Pelintas terdiri dari perorangan dan pedagang.

Sarana transportasi yang digunakan adalah kapal angkut dan truk

Jenis barang yang diperdagangkan antara lain gula, minyak goreng,

terigu, Gas Elpiji, makanan ringan dan olahan, daging sapi, pakaian, dan

BBM dengan volume tertentu baik untuk keperluan sehari-hari maupun

penjualan grosir/eceran.

Intensitas perdagangan didasari pada kedekatan hubungan pelintas

dengan pedagang di Malaysia.

Gambar 4. 7. Alur Perdagangan Lintas Batas di Kecamatan Kayan Hulu

43

Perdagangan lintas batas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

(1) kedekatan geografis dan kondisi topografis wilayah; (2) aksesibilitas; (3)

kedekatan secara kultural dan emosional diantara kedua komunitas di

perbatasan tersebut. Namun demikian, terdapat manfaat dari kegiatan

perdagangan lintas batas antara lain terciptanya kemampuan masyarakat

untuk memenuhi kebutuhan dasar (pokok) dengan cara yang relatif lebih

mudah dengan biaya yang relatif lebih murah dan waktu yang lebih cepat.

Gambar 4. 8. Alur Perdagangan Barang Dari Perbatasan Ke Kabupaten Malinau

Tawau

(Malaysia)

Transportasi Laut

PERBATASAN

Sebatik

(Nunukan)

Transportasi Laut

Nunukan

(Kota)

Sungai

Nyamuk

Sebuku

(Nunukan)

Transportasi Laut

Mensalong

(Nunukan)

Transportasi

Darat

Kabupaten

Malinau

Transportasi

Darat

44

a. Perdagangan Barang Lintas Batas

Pemerintah Daerah melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan dan

Koperasi telah mengatur jenis barang yang dapat diperdagangkan melalui

perbatasan merupakan barang kebutuhan pokok. Peraturan tersebut

dikeluarkan oleh Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi

pada tanggal 19 Juli 2013 dengan beberapa ketentuan antara lain:

1) Barang kebutuhan pokok dapat diperdagangkan melalui perbatasan

dengan dasar untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

2) Barang yang dilarang peredarannya seperti minuman beralkohol, bahan

peledak, dan barang beracun yang tidak ditujukan untuk kegiatan

pertanian tidak termasuk dalam barang yang dapat diperdagangkan

melalui perbatasan.

3) Apabila pelaku usaha terbukti memperdagangkan barang yang dilarang

peredarannya, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

4) Pelaku usaha yang memasukkan barang kebutuhan pokok dari Malaysia

wajib menjual produk hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan dari

Malinau untuk diperdagangkan di Malaysia.

Berdasarkan ketentuan tersebut, perdagangan barang lintas batas

didominasi oleh barang kebutuhan pokok (Tabel 4.9) antara lain gula pasir,

minyak goreng, tepung terigu, daging ayam, daging sapi, produk susu

olahan, bawang putih, gas LPG, dan air minum dalam kemasan. Sementara

produk lainnya seperti elektronik tidak memiliki jumlah yang signifikan karena

pada umumnya tidak diperdagangkan.

45

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

Gambar 4. 9. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang

Tabel 4. 9. Bahan Pokok yang Beredar Berdasarkan Sumbernya (Malinau)

No Jenis Barang Sumber

1 Beras Indonesia

2 Gula Pasir Indonesia dan Malaysia

3 Minyak Goreng Indonesia

4 Daging Ayam Broiler Malaysia

5 Telur Ayam Ras Indonesia

6 Susu Kental Manis Indonesia

7 Susu Bubuk Malaysia

8 Garam Indonesia

9 Tepung Terigu Indonesia dan Malaysia

10 Mie Instan Indonesia

11 Bawang Merah Indonesia

12 Bawang Putih Malaysia

13 Kacang Hijau Indonesia

14 Kacang Tanah Indonesia

15 Gas LPG Malaysia

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

Dalam negeri, 35

.2%Luar negeri, 64

.8%

Makanan

Dalam negeri

Luar negeri Dalam negeri, 66

.4%

Luar negeri, 33

.6%

TotalMakanan Total

46

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

Gambar 4. 10. Nilai Bahan Pokok Yang Beredar

Seperti yang terlihat pada grafik 4.10, barang kebutuhan pokok

didominasi oleh barang yang berasal dari Malaysia. Beberapa

diantaranya adalah terigu, minyak goring, dan gula pasir. Barang

tersebut merupakan kebutuhan pokok yang memiliki nilai relatif besar

untuk diperdagangkan. Jika didasarkan pada nilai, beberapa barang

pokok seperti Mie Instan, gula, minyak goreng, beras, susu bubuk, dan

gas LPG juga merupakan barang yang sering diperdagangkan.

4.3.2. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar

Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan,

dan KoperasiKabupaten Malinauberupa pengawasan barang sesuai dengan

ketentuan seperti SNI Wajib, label berbahasa Indonesia, dan Manual Kartu

Garansi (MKG) yang dilakukan dua kali dalam setahun. Dalam hal ini,

47

pengawasan terhadap peredaran barang di perbatasan belum dilakukan

secara khusus dikarenakan beberapa hal, antara lain :

1) Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan barang beredar

sangat terbatas. Alokasi anggaran kegiatan pengawasan lebih difokuskan

pada aspek monitoring harga barang dan pelaksanaan ketentuan SNI

Wajib, MKG, dan label berbahasa Indonesia.

2) Belumtersedianya Petugas Pengawasan Barang Beredar dan Jasa

(PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS-PK) yang memadai.

3) Belum tersedianya sarana dan prasarana seperti mobil operasional

pengawasan.

4) Belum tersedianya Petunjuk Teknis (Juknis) pengawasan barang. Hal ini

menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan prosedur

pengawasan barang dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah

provinsi tidak tersampaikan ke dinas kabupaten.

5) Kondisi geografis yang sulit bagi kegiatan pengawasan serta minimnya

infrastruktur pada jalur perdagangan lintas batas.

Secara umum, beberapa barang yang diperdagangkan tidak memenuhi

ketentuan yang berlaku seperti:

1) Tidak terdapat label/ tanda SNI Wajib pada produk Air Minum Dalam

Kemasan (AMDK) yang diimpor dari Malaysia. Hal ini tidak sesuai dengan

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 49/M-IND/PER/3/2012 tentang

Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Air Minum Dalam

Kemasan (AMDK) Secara Wajib yang mengatur ketentuan label SNI

Wajib pada produk AMDK di pasar dalam negeri.

2) Produk gula pasir dan terigu yang diimpor dari Malaysia dijual pada

tingkat harga subsidi yang ditunjukkan dengan label “Produk Bersubsidi”

pada kemasan. Besaran subsidi adalah RM 1 untuk setiap produk.

48

4.4. Profil Perdagangan Kabupaten Sanggau

4.4.1. Gambaran Perdagangan di Kabupaten Sanggau

Dilihat dari letak geografisnya, Kabupaten Sanggau terletak diantara

1010’ Lintang Utara dan 0030’ Lintang selatan, serta diantara 109045’ dan

111011’ Bujur Timur atau berada pada bagian utara daerah Provinsi

Kalimantan Barat dengan luas daerah 12.857,70 km2 dan kepadatan

penduduk 33 jiwa per km2. Batas wilayah administratif Kabupaten Sanggau

adalah Utara berbatasan dengan Malaysia Timur (Sarawak), Selatan

berbatasan dengan Kabupaten Ketapang, Timur berbatasan dengan

Sekadau, dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Landak (Sanggau Dalam

Angka, 2013).

Sumber:http://informasi-kalbar.blogspot.com/2011/04/profil-kabupaten-

sanggau.html

Gambar 4.11. Peta Kabupaten Sanggau

49

Kabupaten Sanggau merupakan salah satu dari lima Kabupaten dari

total 14 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan

langsung dengan MalaysiaTimur (Sarawak) dengan panjang garis

perbatasan ± 129,50 Km. Di sepanjang perbatasan tersebut terdapat 1 Pos

Pemeriksaan Lintas Batas/PPLB (PPLB Entikong), 2 Pos Pelintas Batas/PLB

(PLB Bantan dan PLB Segumun), dan 11 pintu masuk tanpa pos

(Inventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kawasan Perbatasan, 2014).

Berdasarkan faktor geografis tersebut, pengembangan sektor perdagangan

merupakan salah satu langkah strategis dalam pembangunan Kabupaten

Sanggau. Akses langsung keluar negeri melalui PPLB Entikong mendorong

arus barang dan jasa dari Indonesia ke Malaysia maupun sebaliknya semakin

cepat.Pada dasarnya telah sejak lama terjalin hubungan perdagangan antara

kedua negara baik yang melalui PPLB, PLBmaupun jalan tikus. Seiring

dengan berkembangnya perekonomian daerah, perdagangan di daerah

perbatasan semakin kompleks dengan jenis produk, jumlah produk, jumlah

pelaku usaha, kebijakan atau regulasi, dan kendalanya. Oleh karena itu

pengawasan barang merupakan salah satu parameter yang memegang

peranan penting dalam perdagangan khususnya di daerah perbatasan.

a. Gambaran Perdagangan

Perdagangan lintasbatas melalui PPLB Entikong tidak hanya

memperdagangkan produk-produk yang ada di sekitar wilayah perbatasan

saja namun juga berbagai produk dari luar wilayah perbatasan. Sebagian

besar produk asal Indonesia yang diperdagangkan ke Malaysia adalah hasil

pertanian dari daerah sekitar perbatasan seperti lada, kakao, kacang tanah,

karet dan jagung serta produk dari daerah lain di Kalimantan Barat berupa

ikan, udang, lidah buaya. Sementara produk-produk seperti pakaian, kain,

kosmetik, rokok, mie instant, bahan bangunan dan elektronik berasal dari luar

provinsi Kalimantan Barat. Sedangkan produk asal Malaysia yang masuk ke

Indonesia adalah beras, gula, minyak goreng, tepung terigu, gas, makanan

50

Dalam negeri, 68.7%

Luar negeri, 31.3%

Total

Dalam negeri, 56.4%

Luar negeri, 43.6%

Makanan

Dalam negeri, 98.3%

Luar negeri,

1.7%

Elektronik

dan minuman, daging, susu bubuk,telur dan pupuk. Berdasarkan

pengamatan di lapangan diperoleh gambaan bahwa jumlah barang asal

dalam negeri yang beredar di daerah perbatasan sebanyak 68,7%

sedangkan sisanya sebesar 31,3 adalah barang yang berasal dari luar

negeri.

Pelaku usaha yang diperbolehkan untuk masuk dan bertransaksi di

pasar Serian adalah pelaku usaha yang memiliki Pass Lintas Batas.Pass

lintas batas dikeluarkan oleh Imigrasi untuk penduduk yang memiliki kartu

keluarga dan KTP Kecamatan Entikong dan Kecamatan Sekayam. Pass

tersebut berlaku 4 tahun dan harus melaporkan secara rutin setiap

bulan.Alasan pedagang dan konsumen memilih belanja bahan kebutuhan

pokok dari Malaysia karena kontinuitas persediaan dan harganya yang relatif

lebih murah jika dibandingkan dengan produk yang sama dari dalam Negeri.

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

Gambar 4. 12. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang

Khususnya untuk bahan kebutuhan pokok diduga masuk secara tidak

resmi karena semua bahan kebutuhan pokok tersebut merupakan subsidi

dari Pemerintah Malaysia. Para pelaku usaha membawa masuk ke Indonesia

dengan cara membayar kepada petugas baik petugas dari Indonesia maupun

51

Malaysia yang dalam istilah lokal dikenal dengan istilah “sopoy” atau

pungutan tidak resmi. Pada prinsipnya banyak dari pelaku usaha yang

mengeluhkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memasukkan

barang ke Indonesia. Oleh karena itu pelaku usaha meminta untuk

melegalkan bahan kebutuhan pokok tersebut dan bersedia untuk membayar

jika barang kebutuhan tersebut akan dikenakan bea masuk.

Tabel 4. 10. Bahan Pokok yang Beredar Berdasarkan Sumbernya (Sanggau)

No. Jenis Barang Sumber

1 Beras Indonesia & Malaysia

2 Gula Pasir Malaysia

3 Minyak Goreng-botol Malaysia

4 Daging ayam boiler Indonesia

5 Telur ayam ras Malaysia

6 Garam Indonesia

7 Tepung Terigu Malaysia

8 Mie Instan Indonesia

9 Bawang merah Indonesia

10 Bawang putih Indonesia

11 Ikan Asin Teri Indonesia

12 Kacang hijau Indonesia

13 Kacang tanah Indonesia

14 Gas LPG Malaysia

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

52

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

Gambar 4. 13. Nilai Bahan Pokok yang Beredar

Berdasarkan pengamatan dilapangan khususnya di Kecamatan

Entikong dan Kecamatan Sekayam dapat dilihat bahwa ketersediaan barang

terutama bahan pokok yang berasal dari dalam negeri sangat sedikit

sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah

perbatasan. Saat ini sekitar 43,6% bahan kebutuhan pokok yang banyak

beredar di daerah perbatasan dipasok dari Malaysia seperti beras, minyak

goreng, tepung terigu, gula, daging dan tabung gas LPG. Kebutuhan bahan

pokok yang dipasok dari Malaysia kedalam wilayah Indonesia melalui PPLB

Entikong. Bahan kebutuhan pokok tersebut masuk melalui pos pemeriksaan

lintas batas Entikong dibawa oleh pelaku usaha yang membeli bahan

kebutuhan pokok di pasar Serian (masuk wilayahMalaysia).

Sementara untuk barang elektronik sekitar 98,3% barang elektronik

yang beredar di daerah perbatasan adalah barang elektronik dari dalam

negeri seperti: TV, mesin cuci, lemari es, setrika, air conditioner, regulator

53

tabung gas, dan alat listrik.Banyaknya barang elektronik dari dalam negeri

yang beredar di daerah perbatasan disebabkan perbedaan voltase listrik

antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia menggunakan voltase 220

sementara Malaysia menggunakan voltase 240-260 sehingga barang

elektronik dari Malaysia tidak dapat digunakan secara optimal di daerah

perbatasan.Pasokan barang elektronik di daerah perbatasan berasal dari

Pontianak yang umumnya berasal dari Jawa.

Tabel 4. 11. Bahan bangunan dan elektronik yang beredar berdasarkan sumbernya

No

. Jenis Barang Sumber

1 Baja lembaran lapis seng (Bj LS) Indonesia

2 Kabel daya - Bag 1: Kabel untuk voltase pengenal 1 kV dan 3 kV

Indonesia

3 Kabel daya - Bag 2: Kabel untuk voltase pengenal 6 kV sd 30 kV

Indonesia

4 Kabel PVC dgn tegangan pengenal sd 450/750 V - Bagian 5: Kabel fleksibel

Indonesia

5 Kloset duduk Indonesia

6 Lampu pijar Indonesia

7 Peralatan audio, video dan elektronika sejenis

Indonesia

8 Peralatan Pendingin Indonesia

9 Kotak Kontak Indonesia

10 Tusuk Kontak Indonesia

11 Mini Circuit Breaker – MCB Indonesia

12 Pompa Indonesia

13 setrika listrik Indonesia

14 mesin cuci Indonesia

15 Regulator tekanan rendah untuk tabung baja LPG

Indonesia

16 Selang karet untuk kompor gas LPG Indonesia

17 Semen Portland Indonesia

18 Ubin Keramik Indonesia

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

54

Ketersediaan bahan bangunan di daerah perbatasan sudah mencukupi

dan pasokannya rutin dan belum ada kendala dalam perdagangan bahan

bangunan. Bahan bangunan yang beredar didaerah perbatasan dipasok dari

Pontianak. Sebagian besar bahan bangunan tersebut berasal dari Jawa.Jenis

bahan bangunan yang banyak beredar adalah semen, ubin keramik, dan

seng.

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

Gambar 4. 14. Nilai Barang Elektronik yang Beredar

4.4.2. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar

Dalam rangka kegiatan peningkatan pengawasan peredaran barang,

Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah

Kabupaten Sanggau melakukan kegiatan pengawasan barang beredar

55

secara rutin dan berkala pada 15 Kecamatan yang ada di seluruh Kabupaten

Sanggau termasuk kecamatan yang berada di daerah perbatasan.

Berdasarkan pengawasan tersebut didapatkan hasil-hasil sebagai berikut:

banyak jenis makanan dan minuman dari kaleng, botol serta dari kotak yang

tidak mencantumkan kode registrasi MD dan ML (tanpa ijin Dinas Kesehatan

dan BPOM), masih ditemukan lampu pijar yang tidak mencantumkan tanda

SNI, dan produk makanan atau minuman yang sudah kadaluarsa serta

kemasannya rusak atau cacat (Laporan Akhir Kegiatan Peningkatan

Pengawasan Peredaran Barang dan Jasa, 2014). Tindak lanjut dari hasil

pengawasan tersebut adalah meminta kepada pengecer untuk

mengembalikan barang-barang yang tidak sesuai dengan ketentuan atau

dimusnahkan demi keamanan dan keselamatan konsumen

a. Rasio Proporsi Barang Beredar sesuai parameter

Rasio barang sesuai parameter mencoba menunjukkan kinerja

pemerintah dalam menjaga pasar dari masuknya barang yang tidak sesuai

ketentuan. Rasio ini dihitung dari proposi jumlah barang yang sesuai

parameter pengawasan (yang disederhanakan, hanya label dan SNI, serta

kadaluarsa untuk bahan makanan).

Pengolahan data kabupaten Sanggau menunjukkan rasio sebesar 52%,

yang menunjukkan hanya sekitar 52% barang dari toko sampel yang diamati,

relatif sesuai dengan ketentuan yang ada.

b. Permasalahan Pengawasan

Keterbatasan jumlah pegawai dan anggaran menyebabkan

pengawasan tidak dapat dilakukan pada semua Kecamatan namun dilakukan

secara bergantian pada tiap-tiap Kecamatan yang telah ditetapkan sebagai

objek pengawasan setiap tahunnya. Kendala lain yang dihadapi dalam

pelaksanaan kegiatan pengawasan adalah tidak adanya Petugas

Pengawasan Barang Beredar dan Jasa (PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri

Sipil (PPNS-PK) yang disebabkan karena pegawai yang telah mendapatkan

56

pelatihan sebagai PBBJ atau PPNS-PK dipindahkan atau dipromosikan ke

unit lain diluar unit perdagangan dan atau telah memasuki masa pensiun.

c. Harapan Kepada Pemerintah Daerah

Untuk mengatasi permasalah perdagangan yang terjadi di daerah

perbatasan, Pemerintah dapat segera memberikan solusi antara lain:

Penyediaan bahan kebutuhan pokok di daerah perbatasan,

Fasilitasi penyediaan infrastruktur seperti jalan yang baik dan instrumen

pendukung lainya khususnya untuk meminimalisir peredaran barang

melalui jalur yang tidak resmi dan juga dapat menambah pemasukan

negara dari bea masuk barang,

Penambahan PPBJ dan PPNS-PK di daerah perbatasan melaui

pengadaan pegawai baru dan pelatihan,

Memberlakukan aturan atau kebijakan khusus bagi daerah perbatasan

dalam rangka pengadaan dan pengawasan barang mengingat kondisi

geografis dan pola perdagangan yang berbeda dengan daerah bukan

perbatasan, dan

Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam rangka

pengawasan barang beredar.

4.5. Profil Perdagangan Kabupaten Bengkayang

Kabupaten Bengkayang terletak di bagian utara provinsi Kalimantan

Barat. Secara administratif, Kabupaten Bengkayang berbatasan di sebelah

timur dengan Kabupaten Sambas dan Sarawak (Malaysia Timur), di sebelah

selatan dengan Kabupaten Pontianak, di sebelah timur dengan Kabupaten

Landak dan Kabupaten Sanggau, serta di sebelah barat dengan Kota

Singkawang dan Laut Natuna. Panjang perbatasan negara di Kabupaten

Bengkayang adalah 76,564 km.

Kabupaten Bengkayang memiliki 17 kecamatan, salah satunya adalah

kecamatan Jagoi Babang yang merupakan daerah perbatasan dengan

57

Malaysia. Pintu perbatasan Jagoi Babang dengan Malaysia belum dibuka

secara resmi, sehingga pemerintah setempat tidak mengeluarkan Pass

Lintas Batas (PLB) seperti di daerah perbatasan lain misalnya di Kabupaten

Sanggau (Entikong) untuk masyarakat melintasi perbatasan negara. Jika

masyarakat Bengkayang, khususnya penduduk Jagoi Babang, ingin ke

Malaysia terkait kegiatan perdagangan dan lain-lain, maka mereka

memerlukan surat keterangan dari kecamatan setempat. Berdasarkan

pengamatan di lapangan, pos penjagaan di perbatasan tidak dijaga secara

ketat. Sementara, pos penjagaan lintas batas di negara Malaysia lebih aktif

dalam hal pemeriksaan dan pendataan orang dan barang yang keluar masuk

dari dan ke Malaysia. Pemeriksaan dan pendataan tersebut termasuk

memeriksa apakah barang yang dibawa oleh pelintas batas merupakan

barang yang dikategorikan dilarang untuk diperjualbelikan, seperti Batik,

bahan peledak, senjata tajam, dan sebagainya. Selain itu, pos penjagaan

lintas batas Malaysia juga mencatat barang-barang apa saja yang masuk dan

keluar. Namun, nilai perdagangan barang-barang tidak dicatat.

4.5.1. Gambaran perdagangan di Kabupaten Bengkayang

Jenis barang yang beredar di kabupaten Bengkayang digolongkan

dalam 3 kategori, yaitu bahan kebutuhan pokok masyarakat, bahan

bangunan, dan barang eletronik dan alat listrik. Dari seluruh barang tersebut,

mayoritas berasal dari dalam negeri (Indonesia) yaitu sekitar 79,7%.

Sementara proporsi barang yang berasal dari luar negeri khususnya Malaysia

adalah sebesar 20,3%.

58

Gambar 4. 15. Proporsi Asal Barang yang Beredar

a. Barang kebutuhan pokok

Barang kebutuhan pokok masyarakat yang disurvey terdiri dari 30 jenis,

meliputi beras, gula pasir, minyak goreng, sumber protein hewani dan nabati,

serta sayur mayur. Berbagai jenis barang tersebut yang asalnya dari dalam

negeri adalah beras, cabe rawit, ikan asin dan tomat. Sementara yang

berasal dari Malaysia yaitu gula pasir, daging ayam, bawang merah dan

putih, serta sayuran seperti kol, kentang, wortel dan buncis. Kemudian,

beberapa barang yang berasal dari dalam maupun luar negeri seperti telur

ayam, minyak goreng, garam, tepung terigu, susu kental manis, dan mie

instan. Untuk bahan bakar gas (elpiji) yang digunakan rumah tangga,

berdasarkan pengamatan di lapangan hampir seluruhnya berasal dari

Malaysia.

59

Tabel 4. 12. Barang Kebutuhan Pokok yang Beredar di Bengkayang dan Sumbernya

Nama barang Asal Barang

Beras Indonesia

Gula Pasir Malaysia

Minyak Goreng-botol Indonesia, Malaysia

Minyak Goreng-curah Indonesia

Daging ayam boiler Malaysia

Telur ayam ras Indonesia, Malaysia

Susu kental manis Indonesia, Malaysia

Garam Indonesia, Malaysia

Tepung Terigu Indonesia, Malaysia

Mie Instan Indonesia, Malaysia

Cabe Rawit Indonesia

Bawang merah Malaysia

Bawang putih Malaysia

Ikan Asin Teri Indonesia

Kol/Kubis Malaysia

Kentang Malaysia

Tomat Indonesia

Wortel-Buncis Malaysia

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, barang-

barang kebutuhan pokok tidak dapat seluruhnya dipasok dari dalam negeri.

Hal ini dikarenakan distribusi barang tersebut ke daerah perbatasan,

khususnya Jagoi Babang, memerlukan biaya yang cukup besar. Seperti

misalnya gula pasir yang seluruhnya berasal dari Malaysia. Para pedagang

mengemukakan bahwa gula pasir yang berasal dari dalam negeri (dari pulau

Jawa) harganya lebih mahal daripada gula pasir yang berasal dari Malaysia.

Demikian halnya dengan daging ayam serta bawang merah dan putih.

Sementara untuk beberapa jenis sayuran seperti wortel dan buncis juga

dipasok dari Malaysia karena sayur tersebut tidak dapat ditanam dan

60

dihasilkan dari lahan pertanian setempat. Dari segi pasokan, selama ini tidak

ada hambatan pasokan yang signifikan. Arus barang dari Malaysia juga stabil

karena pedagang secara rutin membeli barang dari Malaysia dan sudah

memiliki pemasok tetap.

Gambar 4. 16. Nilai Barang Kebutuhan Pokok yang Beredar di

Kecamatan Jagoi Babang Menurut Jumlah Total

Sebagian bahan kebutuhan pokok yang beredar di kabupaten

Bengkayang berasal dari Malaysia. Untuk susu dan susu kental manis,

konsumen lebih menyukai yang berasal dari Malaysia karena rasanya dinilai

lebih enak dan cocok dengan selera. Sementara itu untuk beras, masyarakat

lebih menyukai beras yang berasal dari Indonesia karena lebih pulen.

61

b. Bahan bangunan

Bahan bangunan yang beredar di kabupaten Bengkayang seluruhnya

dipasok dari Pontianak. Sebagian besar bahan bangunan tersebut berasal

dari pulau Jawa. Jenis bahan bangunan yang banyak beredar adalah semen,

ubin keramik, seng, dan paku. Berdasarkan pengamatan secara kasat mata

diperoleh informasi bahwa bahan-bahan tersebut telah memenuhi SNI, Label,

dan MKG.

Bahan bangunan maupun elektronik di kabupaten Bengkayang tersedia

cukup dan tidak memiliki hambatan dalam pasokannya. Para pedagang yang

menjadi responden mengemukakan bahwa barang-barang yang telah

memenuhi SNI memiliki pangsa pasar yang cukup besar, terutama jika

konsumen membutuhkan barang dengan kualitas yang baik. Sementara

barang-barang yang belum memenuhi SNI umumnya dipilih karena harganya

yang kompetitif. Namun demikian, asal barang tidak terlalu menjadi masalah

bagi konsumen.

Tabel 4. 13. Bahan Bangunan yang Beredar di Kabupaten Bengkayang dan Sumbernya

Nama Barang Asal Barang

Kloset Indonesia

Ubin Keramik Indonesia

Semen Indonesia

Baja Tulang Beton Indonesia

Baja Lembaran Indonesia

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

62

Gambar 4. 17. Nilai Bahan Bangunan dan Elektronik yang Beredar di Kecamatan Jagoi Babang Menurut Jumlah Total

c. Barang elektronik dan alat listrik

Hampir sekitar 90% barang elektronik yang beredar di daerah

perbatasan adalah barang elektronik dari dalam negeri seperti televisi, mesin

cuci, kulkas, setrika, AC, regulator tabung gas, dan lain-lain. Pasokan barang

elektronik berasal dari Pontianak yang umumnya berasal dari Pulau Jawa.

63

Tabel 4. 14. Barang Elektronik dan Alat Listrik yang Beredar di Kabupaten Bengkayang dan Sumbernya

Nama Barang Asal Barang

Mesin cuci Indonesia

Peralatan Pendingin Indonesia

Setrika listrik Indonesia

Kompor gas bahan bakar LPG satu tungku Indonesia

Pompa Indonesia

Kabel daya - Bag 2: Kabel untuk voltase pengenal 6 kV sd 30 kV Indonesia

Regulator tekanan rendah untuk tabung baja LPG Indonesia

Kabel PVC dgn tegangan pengenal sd 450/750 V - Bagian 5: Kabel fleksibel Indonesia

Mini Circuit Breaker – MCB Indonesia

Kabel daya - Bag 1: Kabel untuk voltase pengenal 1 kV dan 3 kV Indonesia

Kloset duduk Indonesia

Kotak Kontak Indonesia

Air minum dalam kemasan Indonesia

Tusuk Kontak Indonesia

Lampu pijar Indonesia

Lampu swa-balast Indonesia

Ubin Keramik Indonesia

Semen masonry Indonesia

Baja tulangan beton Indonesia

Baja lembaran lapis seng (Bj LS) Indonesia

Sumber: Data Hasil Survey (diolah)

Banyaknya barang elektronik dalam negeri yang beredar di daerah

perbatasan disebabkan perbedaan voltase listrik antara Indonesia dan

Malaysia. Indonesia menggunakan voltase 220 sementara Malaysia

menggunakan voltase 240-260. Barang elektronik dari Malaysia tidak dapat

digunakan secara optimal di Indonesia, khususnya di daerah perbatasan.

Serupa dengan bahan bangunan, preferensi masyarakat untuk barang

elektronik dan alat listrik didasarkan pada harga dan kebutuhan. Khusus

64

untuk alat listrik yang digunakan dalam instalasi listrik oleh Perusahaan Listrik

Negara (PLN), masyarakat akan memilih alat dan perlengkapan listrik yang

sudah memenuhi SNI seperti yang disyaratkan oleh PLN.

4.5.2. Pelaksanaan pengawasan barang yang beredar

Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Bengkayang belum

pernah melakukan kegiatan pengawasan barang yang beredar. Hal ini

disebabkan antara lain :

a. Pada Dinas Perindag belum dibentuk bidang yang khusus menangani

perlindungan konsumen. Pengawasan barang beredar berada pada seksi

(eselon 4) yang salah satu tugas dan fungsinya melaksanankan

pengawasan barang beredar kabupaten Bengkayang termasuk daerah

perbatasan. SDM pengawas yang dimiliki sangat terbatas atau kurang

mencukupi untuk melakukan pengawasan yang dapat menjangkau 53

pasar. Saat ini, jumlah SDM pengawas yaitu Petugas Pengawasan

Barang Beredar dan Jasa (PBBJ) hanya dua orang, namun belum

memiliki petugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS-PK). Dengan

demikian apabila terjadi kasus pelanggaran, akan dilakukan secara damai

atau penarikan barang dari peredaran.

b. Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan barang beredar

tidak menjadi prioritas. Kegiatan yang rutin dilakukan oleh dinas adalah

monitoring harga barang-barang di pasar(di tingkat pengecer) terutama

untuk tujuan inflasi. Pelaksanaan pengawasan barang beredar dilakukan

secara koordinasi (Dinas Perindag. Balai POM, Dinas Kesehatan)pada

saat menjelang hari besar keagamaan yaitu Lebaran dan Natal-Tahun

Baru (satu tahun dua kali pengawasan). Terkait dengan hal tersebut,

Dinas Perindag. secara rutin melaksanakan pasar murah dan penyaluran

Raskin dalam rangka stabilisasi harga.

c. Dinas Perindag tidak memiliki Petunjuk Teknis (Juknis) pengawasan

barang. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan

65

prosedur pengawasan barang dari pemerintah pusat maupun dari

pemerintah provinsi tidak tersampaikan ke dinas kabupaten.

Pelaksanaan pengawasan barang beredar dilakukan oleh instansi

masing-masing sesuai tugas dan fungsinya. Untuk Dinas Perindag barang

yang diawasi adalah non pangan, Balai POM yaitu bahan makanan

sedangkan Dinas Kesehatanyaitu obat-obatan serta kosmetik.Parameter

pengawasan oleh Dinas Perindag berdasarkan SNI, Label dan MKG, untuk

Balai POM dan Dinas Kesehatan melakukan uji sampel di beberapa pasar

untuk mengecek tanggal kadaluarsa, kandungan bahan-bahan berbahaya

dan kode registrasi.

66

BAB V. PELAKSANAAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR

DI DAERAH PERBATASAN

5.1. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar di Daerah Perbatasan

Hasil survey ke daerah kajian menunjukkan bahwa belum seluruh

daerah melaksanakan pengawasan barang beredar. Kabupaten Bengkayang

misalnya, ternyata tidak pernah melakukan pengawasan barang beredar,

yang dilakukan selama ini hanyalah memfasilitasi kegiatan pemantauan

harga barang di tingkat kabupaten.

Secara umum, pelaksana pengawasan barang ditangani oleh petugas

PPBJ (staf) yang berada dibawah seksi Perdagangan Dalam Negeri. Seksi

ini dikendalikan oleh seorang kepala seksi yang berasal dari eselon IV (tabel

5.1). Penggabungan urusan didaerah dalam sebuah dinas, seperti Dinas

Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM, membuat urusan

pengawasan barang dan perlindungan konsumen dilaksanakan pada

tingkatan yang rendah.

Tabel 5.1. Gambaran sumberdaya pengawasan barang beredar

Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang

Kelembagaan pelaksana

Seksi Perdagangan Dalam Negeri

Seksi Perdagangan Dalam Negeri

Seksi Perdagangan Dalam Negeri

Seksi Distribusi, Perlindungan Konsumen, dan Metrologi

Eselon IV IV IV IV

frekwensi pengawasan per tahun

4 kali 2 kali 1 kali Tidak melakukan

Mekanisme

Dilaksanakan oleh Tim Terpadu (gabungan SKPD) Hanya kasat mata

Dilaksanakan oleh unit kerja perdagangan Hanya kasat mata

Dilaksanakan oleh unit kerja perdagangan Hanya kasat mata

Tidak melaksanakan

Sumber: Data diolah

67

Beberapa daerah tampak sudah lebih sungguh-sungguh dalam

pelaksanaan pengawasan barang beredar, seperti kabupaten Nunukan dan

Kabupaten Sanggau misalnya. Pelaksanaan pengawasan dilaksanakan oleh

Tim Terpadu, yang diikuti oleh lebih dari satu SKPD, sehingga koordinasi

pengawasan barang ada pada tingkatan yang lebih tinggi. Pelaksanaan

secara terpadu membuat frekwensi pengawasan menjadi lebih tinggi

dibandingkan daerah lain.

Tabel 5. 2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan barang di daerah survey

Tahap Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang

Perencanaan Ada Ada Ada Ada

Pelaksanaan Berkala Ada Ada Ada Tidak ada

- Pembelian sampel acak Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

- Pengamatan kasat mata Ada Ada Ada Tidak ada

- Uji laboratorium (jika perlu) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

- Berita acara pengawasan Ada Ada Ada Tidak ada

- Hasil pengamatan kasat mata Ada Ada Ada Tidak ada

- Tabulasi hasil uji laboratorium Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

- Rencana tindak lanjut hasil pengawasan Ada Tidak ada Ada Tidak ada

- Penerimaan pengaduan masyarakat Ada Tidak ada Ada Tidak ada

Pelaksanaan pengawasan khusus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Melaksanakan tindakan terhadap pelanggaran

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Pelaporan kepada Bupati Ada Ada Ada Tidak ada

Pelaporan kepada Gubernur Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Pelaporan kepada Menteri Perdagangan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Berdasarkan mekanisme pengawasan yang diatur dalam Peraturan

Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan

dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. Pelaksanaan

68

pengawasan barang beredar meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan,

pelaksanaan pengawasan (meliputi pembelian sampel acak, pengamatan

kasat mata, uji laboratorium (jika perlu), pembuatan berita acara

pengawasan, pembuatan hasil pengamatan kasat mata, tabulasi hasil uji

laboratorium, rencana tindak lanjut hasil pengawasan, penerimaan

pengaduan masyarakat, pelaksanaan pengawasan khusus), melaksanakan

tindakan terhadap pelanggaran, pelaporan kepada bupati, pelaporan kepada

gubernur, dan pelaporan kepada menteri perdagangan. Hasil pengamatan

terhadap pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan

menunjukkan belum seluruh tahapan tersebut dilaksanakan. Kegiatan

pengawasan yang umumnya dilaksanakan adalah perencanaan dan

pengamatan secara kasat mata. Sementara pembelian sampel dan uji

laboratorium belum dilakukan karena keterbatasan anggaran dan ketiadaan

lab penguji di daerah survey. Kegiatan lain yang tidak dilakukan adalah

pelaporan hasil pengawasan kepada Gubernur dan Menteri Perdagangan

melalui Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa. Berikut ini

gambaran pelaksanaan pengawasan barang di daerah kajian.

5.1.1. Kabupaten Nunukan

Kendati urusan pengawasan barang ada dibawah Bidang Perdagangan

Dalam Negeri Dinas Perdagangan, namun pelaksanaan pengawasan

dilakukan bersama-sama dalam sebuah Tim Pengawasan Terpadu. Ada dua

jenis pengawasan barang di Kabupaten Nunukan, (1) Pengawasan rutin tri-

wulanan, dan (2) Pengawasan menjelang hari raya. Kedua jenis

pengawasan ini tidak hanya dilakukan oleh Bidang perdagangan saja,

melainkan dibantu oleh bidang atau SKPD lain yang berhubungan, seperti

Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan aparat Polri. Dengan demikian dalam satu

tahun ada sekitar 3 (tiga) kali kegiatan pengawasan di setiap kecamatan.

Khusus untuk kecamatan Nunukan, ada 5 (lima) kali kegiatan pengawasan.

Pengawasan terutama dilaksanakan di pasar tradisional. Dalam satu tahun,

69

tidak seluruh kecamatan mendapat pengawasan, kecamatan bergiliran

mendapat pengawasan. Untuk tahun 2014 misalnya, hanya dianggarkan

untuk 8 (delapan) kecamatan. Setiap kecamatan mendapat jatah waktu

pengawasan selama 3 (tiga) hari.

Perencanaan kegiatan pengawasan dilakukan di tingkat Kepala Dinas

(Eselon II), sebagai bagian dari rencana kerja daerah dalam urusan

perdagangan. Pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah Kabupaten

dilakukan oleh tim gabungan dari beberapa SKPD. Disamping karena jumlah

orang yang terbatas, juga karena urusan ini juga dinilai tersebar pada SKPD-

SKPD yang lain. SKPD yang sudah pasti terlibat dalam kegiatan

pengawasan barang adalah Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan Bidang-bidang

lain dalam Disperindagkop UMKM. Koordinasi pelaksanaan pengawasan

dilakukan dalam pertemuan SKPD yang biasanya dilakukan menjelang

pengawasan dilakukan. Tidak ada forum khusus untuk untuk melakukan

koordinasi pelaksanaan ini, hanya komunikasi langsung antar Kepala Dinas.

Hingga saat ini, pelanggaran yang ditemui tidak pernah dilanjutkan ke

tahapan penyidikan, tindakan yang dilakukan lebih mengarah kepada

penyuluhan dan pembinaan, seperti teguran, membuat surat pernyataan, dan

menarik barang dari peredaran. Pihak yang sudah melakukan tindakan dan

penyidikan adalah dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

Provinsi Kalimantan Timur, namun terbatas hanya kepada makanan dan

obat-obatan (hingga saat ini Kabupaten Nunukan belum memiliki BPOM

Kabupaten).

Pengawasan parameter pengawasan barang lainnya dilakukan oleh

petugas PPBJ kabupaten Nunukan. Pengawasan yang dilakukan sebatas

pengawasan kasat mata. Pengawasan tidak pernah ke tahap analisis

laboratorium karena tidak ada anggaran untuk membeli sampel barang dan

belum ada fasilitas laboratorium yang cukup di kabupaten. Pembelian

sampel hanya dilakukan jika ada pesanan dari PPBJ provinsi Kalimantan

Timur atau titipan pesanan dari Pusat. Namun kegiatan ini belum dilakukan

70

sebanyak pengawasan oleh BPOM. Menurut keterangan, dalam satu tahun

paling tidak ada 1 (satu) kali pembelian titipan ini, pada jenis barang yang

berbeda-beda.

5.1.2. Kabupaten Malinau

Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan,

dan KoperasiKabupaten Malinauberupa pengawasan barang sesuai dengan

ketentuan seperti SNI Wajib, label berbahasa Indonesia, dan Manual Kartu

Garansi (MKG) yang dilakukan dua kali dalam setahun. Dalam hal ini,

pengawasan terhadap peredaran barang di perbatasan belum dilakukan

secara khusus dikarenakan beberapa hal, antara lain :

a. Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan barang beredar.

Alokasi anggaran kegiatan pengawasan lebih difokuskan pada aspek

monitoring harga barang dan pelaksanaan ketentuan SNI Wajib, MKG,

dan label berbahasa Indonesia.

b. Belumtersedianya Petugas Pengawasan Barang Beredar dan Jasa

(PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang memadai.

c. Belum tersedianya sarana dan prasarana seperti mobil operasional

pengawasan.

d. Belum dimilikinya Petunjuk Teknis (Juknis) pengawasan barang. Hal ini

menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan prosedur

pengawasan barang dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah

provinsi tidak tersampaikan ke dinas kabupaten.

e. Kondisi geografis yang sulit bagi kegiatan pengawasan serta minimnya

infrastruktur pada jalur perdagangan lintas batas.

5.1.3. Kabupaten Sanggau

Dalam rangka kegiatan peningkatan pengawasan peredaran barang,

Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah

Kabupaten Sanggau melakukan kegiatan pengawasan barang beredar

secara rutin setiap 4 bulan sekali dan berkala menjelang hari raya besar

71

keagamaan pada 15 Kecamatan yang ada di seluruh Kabupaten Sanggau

termasuk kecamatan yang berada di daerah perbatasan. Berdasarkan

pengawasan tersebut didapatkan hasil-hasil sebagai berikut: banyak jenis

makanan dan minuman dari kaleng, botol serta dari kotak yang tidak

mencantumkan kode registrasi MD dan ML (tanpa ijin Dinas Kesehatan dan

BPOM), masih ditemukan lampu pijar yang tidak mencantumkan tanda SNI,

dan produk makanan atau minuman yang sudah kadaluarsa serta

kemasannya rusak atau cacat (Laporan Akhir Kegiatan Peningkatan

Pengawasan Peredaran Barang dan Jasa, 2014). Tindak lanjut dari hasil

pengawasan tersebut adalah meminta kepada pengecer untuk

mengembalikan barang-barang yang tidak sesuai dengan ketentuan atau

dimusnahkan demi keamanan dan keselamatan konsumen. Keterbatasan

jumlah pegawai dan anggaran menyebabkan pengawasan tidak dapat

dilakukan pada semua Kecamatan namun dilakukan secara bergantian pada

tiap-tiap Kecamatan yang telah ditetapkan sebagai objek pengawasan setiap

tahunnya. Kendala lain yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan

pengawasan adalah tidak adanya Petugas Pengawasan Barang Beredar dan

Jasa (PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS-PK) yang disebabkan

karena pegawai yang telah mendapatkan pelatihan sebagai PBBJ atau

PPNS-PK dipindahkan atau dipromosikan ke unit lain diluar unit perdagangan

dan atau telah memasuki masa pensiun.

Untuk mengatasi permasalah perdagangan yang terjadi di daerah

perbatasan, Pemerintah dapat segera memberikan solusi khususnya

penyediaan bahan kebutuhan pokok di daerah perbatasan, memfasilitasi

penyediaan infrastruktur seperti jalan yang baik dan instrumen pendukung

lainya khususnya untuk meminimalisir peredaran barang melalui jalur yang

tidak resmi dan juga dapat menambah pemasukan negara dari bea masuk

barang, penambahan PPBJ dan PPNS-PK di daerah perbatasan melaui

pengadaan pegawai baru dan pelatihan, memberlakukan aturan atau

kebijakan khusus bagi daerah perbatasan dalam rangka pengadaan dan

72

pengawasan barang mengingat kondisi geografis dan pola perdagangan

yang berbeda dengan daerah bukan perbatasan, dan koordinasi dengan

pihak-pihak terkait dalam rangka pengawasan barang.

5.1.4. Kabupaten Bengkayang

Dinas perindustrian perdagangan kabupaten Bengkayang belum pernah

melakukan kegiatan pengawasan barang yang beredar. Hal ini disebabkan

antara lain:

a. Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan barang beredar

tidak menjadi prioritas. Kegiatan yang rutin dilakukan oleh dinas adalah

monitoring harga-harga barang di pasar, terutama menjelang hari besar

keagamaan. Terkait dengan hal tersebut, dinas perdagangan rutin

melaksanakan pasar murah dan penyaluran Raskin dalam rangka

stabilisasi harga.

b. Dinas setempat tidak memiliki Petunjuk Teknis (Juknis) pengawasan

barang. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan

prosedur pengawasan barang dari pemerintah pusat maupun dari

pemerintah provinsi tidak tersampaikan ke dinas kabupaten.

c. Sementara itu, pengawasan barang yaitu bahan makanan dan obat-obatan

serta kosmetik rutin dilakukan oleh Dinas Kesehatan, terutama menjelang

hari besar keagamaan. Mereka melakukan uji sampel di beberapa pasar

untuk mengecek tanggal kadaluarsa, kandungan bahan-bahan berbahaya

dan kode registrasi.

5.1.4. Provinsi Kalimantan Timur

Berdasarkan diskusi dengan pihak-pihak terkait diperoleh informasi

bahwa Kalimantan Utara (Kaltara) adalah Daerah Otonomi Baru yang

disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Oktober 2012 dan menjadi provinsi

ke-34 di Indonesia. Provinsi baru ini merupakan hasil pemekaran wilayah

Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Kalimantan Utara terdiri dari 1 kota

dan 4 kabupaten, yaitu: Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten

73

Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung. Alasan

pembentukan Provinsi Kaltara, yaitu kesejahteraan masyarakat di daerah-

daerah perbatasan kurang tersentuh. Ini disebabkan antara lain oleh

terhambatnya koordinasi pembangunan. Isu yang selalu mencuat seputar

perbatasan adalah pengamanan wilayah Indonesia sehingga

mengenyampingkan aspek lainnya. Harapan pemekaran wilayah baru ini

adalah fokus dan lancarnya pelayanan kepada masyarakat disekitar,

pembangunan wilayah berkarakter budaya setempat, dan kesejahteraan

yang nyata. Asumsi yang dibangun adalah; solusi kepada persoalan

kesejahteraan, peningkatan ekonomi, pembangunan struktur dan

infrastruktur akan tercapai maksimal bila daerah perbatasan dikelola oleh

suatu pemerintahan dalam bentuk provinsi.

Ketersediaan barang terutama bahan pokok yang berasal dari dalam

negeri sangat sedikit sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat di daerah perbatasan sudah lama terjadi sejak Kaltara masih

masuk dalam wilayah Kaltim. Hal ini seperti yang telah dijelaskan diatas

yaitu yang menjadi fokus utama di daerah perbatasan adalah isu

keamanan. Saat ini khususnya kebutuhan bahan pokok seperti gas juga

banyak ditemui beredar di wilayah Kaltim yang disinyalir dipasok dari

Malaysia masuk secara tidak resmi kedalam wilayah Indonesia.

Berdasarkan hasil survei dan diskusi dengan stakeholder terkait

dengan pengawasan barang yang beredar didaerah perbatasan, ada

beberapa masukan antara lain sebagai berikut:

1. Pemerintah pasca pemekaran wilayah dapat lebih fokus memberikan

solusi khususnya penyediaan bahan kebutuhan pokok di daerah

perbatasan

2. Memfasilitasi penyediaan infrastruktur seperti pelabuhan dan instrumen

pendukung lainya untuk meminimalisir peredaran barang melalui jalur

74

yang tidak resmi dan juga dapat menambah pemasukan negara dari

bea masuk barang.

3. Memberikan aturan atau kebijakan yang khusus bagi daerah perbatasan

dalam rangka pengadaan dan pengawasan barang mengingat kondisi

geografis dan pola perdagangan yang berbeda dengan daerah bukan

perbatasan.

4. Meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam rangka

pengawasan barang khususnya di daerah perbatasan.

5.2. Kinerja Pengawasan Barang Beredar

5.2.1. Proporsi Barang Sesuai Parameter

Dalam kajian ini, hasil mekanisme pengawasan setiap daerah akan

diukur menggunakan sebuah ukuran yang sama. Untuk itu kemudian

diturunkan sebuah rasio hasil pengawasan barang beredar yang merupakan

proporsi barang sesuai parameter di toko sampel. Idenya adalah, jika

pengawasan sungguh-sungguh dilakukan, maka seharusnya survey tidak

akan menemukan barang yang tidak sesuai parameter pengawasan barang

di setiap toko yang menjadi sampel. Jadi rasio hasil pengawasan adalah

rasio jumlah barang sesuai parameter, terhadap total jumlah barang yang

ada di toko tersebut.

Rasio proporsi barang sesuai parameter dapat dihitung dari “Jumlah

Jenis” barang atau dari “Nilai” Barang. Proporsi barang sesuai parameter

menurut jenis barang adalah perbandingan antara jumlah jenis barang yang

memenuhi parameter pengawasan (yang disederhanakan), dengan jumlah

total jenis barang yang menjadi sampel dari toko. Proporsi barang sesuai

parameter menurut nilai barang adalah perbandingan antara nilai barang

yang memenuhi parameter pengawasan (yang disederhanakan), dengan

jumlah total nilai barang yang menjadi sampel dari toko. Rasio ini dihitung

75

sebagai pendekatan untuk menunjukkan dampak pelaksanaan pengawasan

barang beredar di daerah kajian.

Tabel 5. 3. Gambaran Rasio proporsi barang sesuai parameter di daerah

perbatasan

Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang Rata-rata

Jumlah jenis

1)

Nilai 2)

Jumlah jenis

Nilai Jumlah jenis

Nilai Jumlah jenis

Nilai

Jumlah

jenis Nilai

Proporsi barang sesuai parameter Total 51,9% 78,6% 44,6% 33,0% 68,8% 76,0% 40,3%

35,5%

51,4%

55,8%

Proporsi barang sesuai parameter parsial: - Bahan pokok

41,7% 60,0%

47,8% 33,0%

43,4% 53,8%

13,9%

16,2%

36,7%

40,8%

- Barang elektronik 72,2% 87,6%

100,0%

100,0% 93,3% 97,9% 60,7%

55,8%

81,6%

85,3%

- Bahan bangunan 40,0% 65,5%

100,0%

100,0%

100,0%

100,0% 57,5%

59,3%

74,4%

81,2%

Sumber: Data diolah

Hasil survey menunjukkan bahwa proporsi barang sesuai parameter, di

daerah perbatasan, secara total, baru mencapai 51,4%, artinya, dari seluruh

barang yang beredar di daerah perbatasan, baru 51,4% -nya yang sesuai

dengan unsur/parameter pengawasan barang.

Secara umum, tampak bahwa di daerah perbatasan, bahan-bahan

kebutuhan pokok memiliki nilai yang paling rendah (36,7%), sedangkan

barang-barang elektronik dan bahan bangunan, memiliki nilai diatas 70%,

atau relatif lebih sesuai. Perlu diperhatikan bahwa nilai ini tidak hanya

mencerminkan kinerja pengawasan yang dilakukan oleh unit pelaksana,

tetapi juga mencerminkan hasil pengawasan yang dilaksanakan oleh

Pemerintah pusat melalui kegiatan pendaftaran barang, kewajiban

pemberitahuan impor barang, serta pengaturan lainnya yang sifatnya

terpusat dan nasional.

76

Jika diperhatikan kasus kabupaten Bengkayang yang tidak melakukan

kegiatan pengawasan, namun memiliki proporsi barang sesuai parameter

sebesar 40,3%. Nilai ini jelas bukan akibat kinerja pengawasan SKPD,

melainkan hasil yang diberikan oleh sistem pendaftaran, pengaturan, dan

pengawasan barang yang dilaksanakan pusat. Hal ini memberikan sebuah

pengetahuan bahwa: (a) 40,3% adalah nilai dasar dari sebuah upaya

pengawasan barang di daerah. Artinya, tanpa melakukan apapun, rasio hasil

pengawasan akan menunjukkan kinerja sebesar 40%; (b) Upaya

pengawasan oleh daerah baru bisa disebut memiliki dampak jika memberikan

hasil lebih besar dari 40%; (c) hal ini juga menunjukkan sistem pengawasan

barang yang diselenggarakan oleh Kementerian Perdagangan baru

memberikan hasil sebesar 40% pada tingkatan nasional.

5.2.2. Sumberdaya Pengawasan Barang Beredar

Kinerja pengawasan ditentukan oleh bauran faktor-faktor input yang

diberikan kepada mekanisme pengawasan tersebut. Faktor input yang

diamati adalah SDM, anggaran, dan sarana (Tabel 5.4 dan 5.5).

Hasil survey menunjukkan bahwa daerah relatif kekurangan Petugas

Pengawasan Barang dan Jasa (PPBJ). Rata-rata jumlah petugas baru

mencapai 50% dari kebutuhan. Seksi yang menangani pengawasan barang

menyatakan bahwa meskipun ada petugas namun pengetahuan petugas

terhadap informasi baru dibidang pengawasan kadang masih tertinggal.

Untuk itu kegiatan pengayaan dan pemutakhiran pengetahuan petugas PPBJ

perlu dilaksanakan secara berkelanjutan.

Jumlah anggaran untuk pengawasan rata-rata berkisar sebesar 9% dari

total anggaran Bidang Perdagangan. Jumlah ini, jika dilihat dari keterangan

yang diberikan, adalah meliputi pelaksanaan 50% jangkauan pengawasan

yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan belum

sepenuhnya dilaksanakan. Karena pengawasan yang dilakukan hanya

pengawasan kasat mata, maka sarana yang dibutuhkan relatif tidak besar.

77

Yang utama adalah sarana transportasi untuk menjangkau lokasi

pengawasan, terutama di kecamatan yang ada di wilayah perbatasan.

Jumlah kendaraan operasional ini relatif terbatas, karena digunakan oleh

dinas bersama-sama. Jika kendaraan operasional tidak dapat digunakan,

petugas memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Sarana yang dibutuhkan berikutnya, adalah komputer untuk menyusun

laporan dan petunjuk teknis untuk melaksanakan pengawasan dan

penindakannya. Komputer pada umumnya sudah dimiliki, namun petunjuk

pelaksanaan rata-rata tidak dimiliki.

Tabel 5.4. Gambaran sumberdaya pengawasan barang beredar

Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang Keterangan

Perhitungan kebutuhan SDM PPBJ dan PPNS-PK

Jumlah pedagang 2.822 1.028 445 261

sampel minimal pengawasan 350 287 210 157

Kebutuhan petugas pengawas (PPBJ) 4 orang 2 orang 2 orang 2 orang

Kebutuhan petugas PPNS-PK 2 orang 1 orang 1 orang 1 orang

bagian dari PPBJ

Jumlah SDM PPBJ saat ini 2 orang 1 orang

Tidak ada 2 orang

Jumlah SDM PPNS PK saat ini

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Anggaran pengawasan 223.192.000 200.000.000 NA 63.000.000

Anggaran total dinas 4.104.000.000 NA NA 500.000.000

persentase anggaran total 5,4% NA NA 12,6% Rata-rata: 9%

Sarana pengawasan

Kendaraan operasional milik dinas dan pribadi.

Komputer.

Kendaraan operasional milik dinas, dan pribadi.

Komputer.

Kendaraan operasional milik dinas, dan pribadi.

Komputer.

Kendaraan operasional milik dinas, dan pribadi.

Komputer.

Petunjuk Teknis Tidak dapat ditunjukkan

Tidak dapat ditunjukkan

Tidak dapat ditunjukkan

Tidak dapat ditunjukkan

Sumber: Data diolah

78

Tabel 5.5. Gambaran SDM dan Anggaran Pengawasan Barang Di Daerah Survey

Gambaran SDM Pengawas Barang

Malinau Sanggau Nunukan Bengkayang

2012 2013 cukup Butuh 2012 2013 cukup butuh 2012 2013 Cukup Butuh 2012 2013 cukup Butuh

SDM di seksi pengawasan barang:

Struktural

Fungsional

Staf

1 1 1

1 1 1

Tidak

- 3

1 - 2

1 - 2

tidak

2

1 2 2

1 2 2

Tidak cukup

1 4 2

1 2 2

Tidak cukup

- 6 -

SDM Pengawas

Pengawas (PPBJ)

Penyidik (PPNS-PK)

1 -

1 -

Tidak

2 1

2 -

- -

Tidak cukup, pindah ke bidang lain

2

2 -

2 -

Tidak cukup

4 2

4 -

2 -

Tidak cukup

4 2

Komposisi PPBJ dan PPNS-PK menurut umur

< 25 tahun

25-40 tahun

41- 55 tahun

>55 tahun

- - 3 -

- - 3

2

2

- 2 - -

- 2 - -

- - 4 -

- - 2 -

6 - - -

Gambaran Anggaran Pengawasan Barang

Malinau Sanggau Nunukan Bengkayang

2012 2013 cukup Butuh 2012 2013 cukup butuh 2012 2013 Cukup butuh 2012 2013 cukup butuh

Jumlah anggaran Dinas

Jumlah anggaran bidang/seksi pengawasan (Pengawasan berkala dan sosialisasi)

NA

200 jt

Tidak

NA 190 jt

4,1 M 223 jt

500 jt 63 jt

500 jt 63 jt

Tidak cukup

Frekwensi Pengawasan pertahun

1 kali 1 kali 15 kali 10 kali 4 kali 4 kali 4 kali (3 hari)

4 kali (3 hari)

1 kali menjelang lebaran dan tahun baru

1 kali menjelang lebaran dan tahun baru

Catatan : Pengawasan Barang beredar pada dinas di empat daerah survey berada pada Seksi (es IV). Rata-rata di setiap kabupaten hanya memiliki SDM 2 orang PPBJ dan pelaksanaan pengawasan barang hanya 1x setahun

79

5.2.3. Hasil Analisis ANOVA

Salah satu informasi yang dihasilkan oleh pengolahan data kajian

adalah “Rasio hasil pengawasan”. Dalam kajian ini, rasio ini digunakan

sebagai pendekatan terhadap output hasil pengawasan barang beredar yang

dilakukan oleh daerah. Rasio ini dihitung berdasarkan anggapan bahwa jika

pengawasan barang dilakukan secara baik, maka semestinya tidak ada

barang tidak sesuai parameter yang ditemukan di toko yang menjadi sampel

di daerah kajian. Nilai Rasio Hasil Pengawasan ini kemudian dianalisis

menggunakan uji beda rata-rata dengan metode Anova. Faktor

pembagi/pembeda yang dipilih adalah (1) jenis toko, (2) lokasi toko, dan (3)

daerah survey. Faktor “jenis toko” menguji perbedaan rata-rata rasio hasil

pengawasan antara toko yang menjual bahan pokok, bahan peralatan rumah

tangga, dan bahan bangunan/elektronik. Faktor “lokasi toko” menguji

perbedaan rata-rata hasil pengawasan antara toko yangberlokasi di daerah

perbatasan, dan toko yang berlokasi diluar daerah perbatasan. Faktor

“daerah survey” menguji perbedaan rata-rata hasil pengawasan antara toko

yang berada di daerah survey yang berbeda (Nunukan, Malinau, Sanggau,

Bengkayang). Pembagian menurut faktor-faktor tersebut diharapkan dapat

memberikan informasi/pengetahuan tentang perilaku kinerja pengawasan

berdasarkan perbedaan lokasi tersebut.

Sejauh ini dugaan yang diujikan adalah:

1. Pembagi jenis toko

H0 : Rasio hasil pengawasan relatif sama pada seluruh jenis barang yang

diamati

H1 : Rasio hasil pengawasan berbeda pada jenis barang yang berbeda

(rasio hasil pengawasan barang kebutuhan pokok lebih rendah

dibanding bahan bangunan dan elektronik)

80

2. Pembagi lokasi toko

H0 : Rasio hasil pengawasan sama saja pada toko di daerah perbatasan

dan toko diluar daerah perbatasan

H1 : Rasio hasil pengawasan berbeda antara toko di daerah perbatasan

dan toko diluar daerah perbatasan (Rasio hasil pengawasan di

daerah perbatasan diduga lebih rendah dibandingkan diluar daerah

perbatasan)

1. Pembagi Daerah survey

H0 : Rasio hasil pengawasan di semua daerah survey sama

H1 : ada perbedaan rasio hasil pengawasan antar daerah survey(rasio

hasil pengawasan di daerah perbatasan yang besar/relatif maju

(Nunukan dan Sanggau) diduga lebih baik)

Pengujian menunjukkan hasil sebagai berikut:

81

Tabel 5. 6. Rekap Hasil Pengujian Beda Rata-Rata Anova

Variabel Keterangan Hasil Pengujian Menurut Faktor Pembagi

Jenis Toko Lokasi Toko

Daerah

Jumlah Barang DN yg lulus

Menunjukkan jumlah barang sampel yg berasal dari DN yang lulus pengamatan

Signifikan

Jumlah Barang DN yg tidak lulus

Menunjukkan jumlah barang sampel yg berasal dari DN yang tidak lulus pengamatan

Signifikan

Kinerja pengasawan DN

Menunjukkan proporsi barang sampel DN yang lulus pengamatan

Signifikan Signifikan Signifikan

Jumlah barang LN yg lulus

Menunjukkan jumlah barang sampel yg berasal dari LN yang lulus pengamatan

Signifikan

Jumlah barang LN yg tidak lulus

Menunjukkan jumlah barang sampel yg berasal dari LN yang tidak lulus pengamatan

Signifikan

Kinerja pengawasan LN

Menunjukkan proporsi barang sampel LN yang lulus pengamatan

Signifikan Signifikan Signifikan

Kinerja pengawasan total –nilai

Menunjukkan proporsi barang sampel DN dan LN yang lulus pengamatan dari sisi nilai

Signifikan Signifikan

Proporsi barang DN-nilai

Menunjukkan proporsi barang DN, jika dihitung menurut nilai barang

Signifikan

Proporsi barang LN-nilai

Menunjukkan proporsi barang LN, jika dihitung menurut nilai barang

Signifikan

Proporsi barang DN-jumlah

Menunjukkan proporsi barang DN, jika dihitung menurut jumlah unit barang

Signifikan

Proporsi barang LN jumlah

Menunjukkan proporsi barang LN, jika dihitung menurut jumlah unit barang

Signifikan

Kinerja pengawasan-jumlah

Menunjukkan proporsi barang sampel DN dan LN yang lulus pengamatan dari sisi jumlah

Signifikan Signifikan

Sumber: Data Diolah

82

Jika hasil pengujian tersebut disimpulkan, maka tarikan kesimpulannya

akan tampak dalam tabel berikut ini.

Tabel 5. 7. Kesimpulan

Variabel Faktor Pembagi

Jenis Toko Lokasi Toko Daerah

Kinerja pengasawan DN

Sig 10% *

(proporsi barang DN yang lulus parameter paling tinggi adalah barang elektronik)

Sig 5% **

Sig 1% ***

Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) semakin baik kinerja pengawasan thd barang yg berasal dari DN

Kinerja pengawasan LN

Sig 1% ***

(proporsi barang LN yang lulus parameter paling tinggi adalah barang kelontong)

Sig 1% ***

Semakin jauh dari perbatasan semakin baik kinerja pengawasannya

Sig 1% ***

Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) semakin buruk kinerja pengawasan terhadap barang berasal dari LN.

Kinerja pengawasan total –nilai

Sig 1% ***

(proporsi barang DN dan LN yang lulus parameter paling tinggi adalah barang elektronik)

Sig 1% ***

Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) maka kinerja pengawasan totalnya semakin baik.

Kinerja pengawasan-jumlah

Sig 5% **

Kinerja paling tinggi ada pada barang elektronik & bahan bangunan, paling rendah pada bahan pokok

***

Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) maka kinerja pengawasan totalnya semakin baik.

Simpulan Umum

Bahan pokok paling banyak melanggar parameter

Semakin jauh dari perbatasan semakin baik proporsi barang sesuai parameter nya

Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) maka proporsi barang sesuai parameter totalnya semakin baik.

Sumber: Tabel 5.6

83

Hasil pengujian secara umum menunjukkan bahwa

1. Pembagi Jenis Toko: hasil pengujian mendukung dugaan alternatif, yaitu

Rasio hasil pengawasan berbeda pada jenis barang yang berbeda.

Pengamatan kepada perhitungan rata-ratanya mengkonfirmasikan bahwa

barang kebutuhan pokok memiliki nilai proporsi barang sesuai parameter

yang lebih rendah dibanding bahan bangunan dan elektronik.

2. Pembagi Lokasi Toko: Hasil pengujian mendukung dugaan alternatif yaitu

nilai proporsi barang sesuai parameter berbeda antara toko di daerah

perbatasan dan toko diluar daerah perbatasan. Pengamatan terhadap

nilai rata-ratanya menunjukkan rasio hasil pengawasan di daerah

perbatasan adalah lebih rendah dibandingkan diluar daerah perbatasan.

Hal ini mengkonfirmasi dugaan bahwa proporsi barang sesuai parameter

di daerah perbatasan lebih rendah dibanding daerah bukan perbatasan.

3. Pembagi Daerah Survey: Hasil pengujian mendukung dugaan alternatif

yaitu ada perbedaan proporsi barang sesuai parameter antar daerah

survey. Hal ini menunjukkan hasil pengawasan di daerah perbatasan

yang besar/relatif maju (seperti Nunukan dan Sanggau) adalah lebih baik

dibandingkan daerah perbatasan yang relatif tidak maju (Seperti Malinau

dan Bengkayang). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pengawasan

barang beredar tumbuh seiring dengan pertumbuhan daerah. Di daerah

perbatasan yang raltif belum maju, maka urusan pengawasan barang

beredar nampaknya belum menjadi prioritas.

84

BAB VI. UPAYA PENINGKATAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR

DI DAERAH PERBATASAN

6.1. Permasalahan Dalam Pengawasan Barang Beredar Di Daerah

Perbatasan

Dalam memahami permasalahan dalam pengawasan barang di daerah

perbatasan, perlu dipisahkan secara tegas antara isu Perdagangan Barang

Di Daerah Perbatasan yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan untuk

keperluan hidupnya, dengan isu Perdagangan yang Melalui Daerah

Perbatasan, yang dilakukan oleh pedagang yang menggunakan motif

keuntungan dengan memanfaatkan barang murah yang berasal dari barang

subsidi milik negara tetangga. Kedua jenis perdagangan ini memberikan

dampak pada pengawasan barang beredar.

Perdagangan Barang di Daerah Perbatasan diperkenankan sesuai

dengan ketentuan BTA (border trade agreement) dan Sosek Malino.

Masyarakat di daerah perbatasan secara budaya tidak dapat dipisahkan dari

masyarakat daerah perbatasan di negara tetangga. Hubungan kekerabatan

dan bisnis telah terjalin sejak lama, sehingga batas fisik perbatasan negara

acap kabur di daerah perbatasan. Pengamatan saat survey menunjukkan

bahwa masyarakat dapat berkali-kali tanpa sadar melintasi batas geografis

antara kedua negara. Karena kedekatan tersebut, adalah logis bagi

masyarakat perbatasan untuk diperkenakan berbelanja dan mengkonsumsi

barang yang dimiliki/disediakan oleh pedagang negara tetangga. Hal yang

sebaliknya pun terjadi pada masyarakat perbatasan negara tetangga. Tanpa

izin, masyarakat perbatasan akan kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya.

Undang-Undang Wilayah Negara (UU no 43 Tahun 2008 tentang Wilayah

Negara) menyatakan bahwa Daerah Perbatasan adalah bagian dari Wilayah

Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia

dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan

Perbatasan berada di kecamatan. Sebagai contoh, kabupaten Bengkayang

85

di Kalimantan Barat yang memiliki 17 kecamatan, namun yang dapat disebut

sebagai daerah perbatasan hanyalah 2 (dua) kecamatan, yaitu kecamatan

Jagoi Babang dan Siding.

Masalah sesungguhnya baru muncul ketika barang yang berasal dari

negara tetangga ini kemudian dipasarkan keluar daerah perbatasan (keluar

kecamatan perbatasan) dan merembes kedalam pasar dalam negeri yang

jauh dari daerah perbatasan. Pengolahan data volume penjualan, harga

barang, dan profit penjualan barang di daerah perbatasan menunjukkan

kemungkinan adanya motif mencari keuntungan yang melatari volume

perdagangan yang besar dari beberapa barang bersubsidi yang berasal dari

negara tetangga (gambar 6.1).

Gambar 6. 1. Urutan Barang Beredar Menurut Margin Penjualan di Nunukan dan Malinau

Sebagai contoh dapat dilihat data yang berasal dari Nunukan dan

Malinau. Dalam survey ke Kalimantan Utara, ditemukan bahwa barang yang

merembes dari Malaysia melalui Sei Nyamuk (daerah perbatasan), kemudian

dikirimkan ke Malinau (luar daerah perbatasan) melalui jalur sungai. Jika

diperhatikan data transaksi yang terjadi di kedua daerah, tampak bahwa

86

tepung terigu, minyak goreng, dan gula pasir adalah barang-barang yang

memberikan margin penjualan tertinggi, yang artinya dibeli dengan harga

murah dan dijual pada harga yang memberikan margin penjualan yang relatif

tinggi (sekitar 50%). Perlu diingat bahwa tepung terigu, gula, dan minyak

goreng yang beredar tersebut adalah barang-barang yang telah disubsidi

oleh Kerajaan Malaysia sehingga memang memiliki harga yang relatif lebih

murah (sekitar Rp. 1.000- Rp. 3.000,-) dibandingkan harga barang sejenis

dari dalam negeri. Hal ini menunjukkan adanya motif mengejar profit, dan

bukan semata-mata hanya masalah pemenuhan kebutuhan masyarakat di

daerah perbatasan. Hal ini menunjukkan masalah baru dalam pengawasan

barang beredar di daerah perbatasan, yaitu perdagangan barang negara

tetangga yang melalui daerah perbatasan untuk masuk ke dalam daerah

diluar daerah perbatasan.

Gambar 6. 2. Cara Merembesnya Barang Negara Tetangga ke Wilayah Indonesia

87

Pandangan terhadap barang beredar di perbatasan menunjukkan

setidaknya 6 (enam) jenis barang yang beredar di daerah perbatasan,

mereka adalah: (1) barang dalam negeri yang memenuhi ketentuan untuk

beredar, (2) barang dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan untuk

beredar (tidak memenuhi SNI, dll); (3) barang negara tetangga yang tidak

diperkenankan keluar oleh otoritas negara tetangga (minyak goreng, gula,

terigu, beras bersubsidi kerajaan/pemerintah negara tetangga); (4) barang

negara tetangga yang diperkenankan keluar oleh otoritas negara tetangga,

namun belum diperkenankan oleh Indonesia (seperti: biskuit, minuman, dll

yang belum didaftarkan oleh importir di Indonesia); (5) barang negara

tetangga yang diperkenankan keluar oleh otoritas negara tetangga dan sudah

diperkenankan beredar oleh Indonesia (seperti: biskuit, minuman yang sudah

terdaftar di Indonesia); (6) barang internasional yang tidak diperkenankan

beredar oleh otoritas internasional (seperti: narkoba, dan perdagangan

manusia). Lihat gambar.

Gambar 6. 3. Jenis Barang Beredar di Perbatasan

88

Tampak bahwa pengawasan barang beredar di perbatasan lebih

diperluas oleh 1 (satu) kategori barang, yaitu barang luar negeri, yang terdiri

dari 3 (tiga) sub kategori (barang tidak diperkenankan keluar, barang

diperkenankan keluar tapi belum terdaftar, dan barang sudah

diperkenankan), dimana jumlah jumlah barang dalam kategori ini relatif

besar. Hal ini menambah tantangan dalam melaksanakan pengawasan

barang di daerah perbatasan, karena masuknya barang-barang ini dapat

dianggap sebagai penyelundupan. Ketiga hal tersebut (batas wilayah

perbatasan, tambahan kategori barang, dan penyelundupan) memunculkan

kebutuhan sistem pemeriksaan, pendaftaran dan pendataan arus barang

yang cepat di perbatasan. Penerimaan parameter pengawasan dan

kerjasama pendaftaran barang dengan negara tetangga merupakan

tantangan dan jika tidak diatasi dengan baik akan memunculkan pembiaran

penyelundupan barang.

Sistem pemeriksaan dan pencatatan barang keluar/masuk ke wilayah

perbatasan Indonesia memang relatif longgar. Hal ini karena diasumsikan

barang-barang ini adalah barang untuk kebutuhan masyarakat di perbatasan.

Proses pemeriksaan barang di pos kepabeanan atau keamanan cenderung

singkat dan tidak melakukan pencatatan terhadap barang yang masuk

(Gambar 6.4). Pemeriksaan tampak lebih diarahkan pada kategori Barang

Internasional yang berbahaya, seperti narkoba dan kemungkinan human

trafficking, dan lebih diutamakan pemeriksaan pada kelengkapan administrasi

kependudukan (KTP/PLB/Paspor).

89

Gambar 6. 4. Jalur Masuk Barang Ke Wilayah Perbatasan Indonesia

Pengamatan terhadap pos pemeriksaan di daerah survey menunjukkan

“pintu masuk” barang cenderung terbuka (tidak steril, banyak jalan keluar

bagi orang dan barang dari area pemeriksaan tanpa dijaga).

Gambar 6. 5. Area Pemeriksaan Barang Pelabuhan Tunon Taka Nunukan

90

6.1.1. Permasalahan Pelaksanaan

Keterbatasan jangkauan kewenangan Unit Kerja pelaksana

pengawasan barang di daerah. Pengawasan Barang beredar pada dinas di

empat daerah survey berada pada Seksi (es IV). Seksi dibawah bidang

perdagangan (dalam negeri) ini tidak hanya menangani tugas pengawasan

saja tetapi juga yang terkait dengan perlindungan konsumen seperti

sosialisasi, pelatihan, dan pembinaan konsumen,

Keterbatasan frekwensi dan jangkauan wilayah pelaksanaan

pengawasan barang beredar di daerah perbatasan. Frekwensi

pelaksanaan pengawasan barang rata-rata hanya dilaksanakan 1(satu) kali

setahun (pada saat hari raya keagamaan), kecuali di Kabupaten Nunukan

dilakukan hingga 3 (tiga) kali setahun. Mengenai jangkauan wilayah, hasil

survey menunjukkan bahwa satu Kecamatan dalam sebuah kabupaten,

hanya akan memperoleh kunjungan pengawasan barang sebanyak 1 (satu)

kali setiap 3 (tiga) tahun. Keterbatasan frekwensi dan jangkauan ini

disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan kondisi geografis daerah

perbatasan. Hal ini menunjukkan kebutuhan akan pengawasan dan

pemeriksaan yang ketat di pintu masuk barang, baik pintu masuk barang dari

luar negeri (kepabeanan), maupun pintu masuk barang dari dalam negeri

(pelabuhan,

Keterbatasan ketersediaan Petunjuk Teknis pengawasan barang

dan ketiadaan Standar Pelayanan Minimal dalam bidang pengawaan

barang beredar. Kunjungan ke daerah belum memukan Petunjuk Teknis

(Juknis) pengawasan barang di unit kerja pelaksana pengawasan di daerah

survey menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan prosedur

pengawasan barang dari pemerintah pusat tidak tersampaikan ke dinas

kabupaten. Petunjuk teknis, juga baru dibuat untuk barang-barang yang

memiliki SNI wajib, dan jumlah juknis yang ada belum meliputi seluruh barang

yang telah memiliki SNI tersebut. Sedangkan Standar Pelayanan Minimum

91

(SPM) tampaknya memang belum dibentuk oleh Pemerintah Pusat untuk

mengawasi pelaksanaan pengawasan barang beredar yang dilaksanakan

oleh pemerintah daerah. Padahal sebuah urusan pemerintahan yang

diserahkan ke Daerah harus disertai dengan SPM sebagai panduan

pelaksanaan pelayanan minimal dan bagi pelaksanaan penilaian kinerja

Pemerintah Daerah dalam melaksanakan urusan bidang tersebut.

Keterbatasan tindak lanjut hasil pengawasan dan laporan

masyarakat dan penegakan hukum. Pengamatan menunjukkan tidak ada

penyidikan yang dilakukan jika ditemukan pelanggaran/indikasi pelanggaran.

Tindakan yang dilakukan lebih mengarah kepada penyuluhan dan

pembinaan, seperti teguran, membuat surat pernyataan, dan menarik barang.

Jenis barang yang umumnya banyak melanggar antara lain: makanan dan

minuman dari kaleng, botol serta dari kotak yang tidak mencantumkan kode

registrasi MD dan ML (tanpa ijin Dinas Kesehatan dan BPOM), masih

ditemukan lampu pijar yang tidak mencantumkan tanda SNI, dan produk

makanan atau minuman yang sudah kadaluarsa serta kemasannya rusak

atau cacat.

Meskipun tidak secara langsung, keterbatasan pasokan bahan pokok

dan energi di daerah perbatasan menjadi salah satu faktor pembentuk

keterbatasan pengawasan barang beredar di daerah perbatasan.

Pengamatan didaerah perbatasan menunjukkan kesulitan masyarakat untuk

memperoleh bahan kebutuhan pokok dan energi (BBM, listrik, dan gas) asal

dalam negeri baik dari segi jumlah, kualitas, ketepatan waktu, dan harga.

Produk bahan pokok dari dalam negeri kebanyakan telah rusak dalam

pengangkutan sehingga kualitasnya mejadi lebih rendah. Kesulitan ini

kemudian membuka lebih jauh perembesan barang dan, sesuai penjelasan

diatas, menimbulkan perdagangan melalui daerah perbatasan yang

memunculkan kategori barang baru. Pemenuhan kebutuhan bahan pokok

dan energi di daerah perbatasan mungkin tidak berada dalam lingkup kajian

ini, namun perlu disampaikan karena sifatnya yang memoderasi tantangan

92

pengawasan barang di daerah perbatasan. Ketidakmampuan menyediakan

kebutuhan pokok dan energi masyarakat (Keputusan Perusahaan Listrik

Negara (PLN) untuk meminta Malaysia melayani kebutuhan listrik masyarakat

di daerah perbatasan) menunjukkan lemahnya kemampuan kita dalam

melayani kebutuhan masyarakat sampai kepelosok khususnya daerah

perbatasan.

6.1.2. Permasalahan Kinerja

Kinerja pengawasan barang beredar di perbatasan yang dicerminkan

oleh frekwensi pelaksanaan pengawasan barang (satu – dua kali dalam

setahun), jangkauan wilayah pengawasan (satu kecamatan per tiga tahun),

dan nilai Jangkauan Pengawasan Barang (51,4% sampel belum memenuhi

parameter) menunjukkan masih lemahnya pengawasan barang beredar di

perbatasan. Permasalahan yang dihadapi berkisar pada : (1) Belum

memadainya jumlah dan kompetensi SDM pengawas yaitu Petugas

Pengawasan Barang Beredar dan Jasa (PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri

Sipil (PPNS-PK), (2) Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan

barang beredar sangat terbatas. Alokasi anggaran kegiatan pengawasan

lebih difokuskan pada aspek monitoring harga barang, (3) Belum tersedianya

sarana transportasi seperti mobil bagi kegiatan operasional pengawasan, dan

(4) Kurangnya pemahaman dan perhatian Kepala Daerah terhadap isu

Perlindungan Konsumen, terutama melalui Pengawasan Barang Beredar,

sebagai urusan pemerintahan yang sudah diambil dari tangan pusat dan

harus dilaksanakan secara baik, meskipun belum ada Standar Pelayanan

Minimal yang mengaturnya.

6.2. Upaya Peningkatan Pengawasan

Hasil analisis data menunjukkan daerah dengan kegiatan pengawasan

yang rendah (mendekati nol) ternyata tidak sertamerta memiliki nilai

jangkauan pengawasan barang yang nol pula. Kabupaten Bengkayang

misalnya, yang tidak melaksanakan pengawasan barang beredar, ternyata

93

masih memiliki nilai jangkauan pengawasan sebesar 40%. Hal ini

menunjukkan kinerja pengawasan di daerah dibentuk pula oleh kinerja

pengawasan oleh sistem Standarisasi dan Perlindungan Konsumen di tingkat

nasional, dan akumulasi dari hasil pelaksanaan dan pembinaan tahun-tahun

sebelumnya. Dengan demikian, tulang punggung utama perlindungan

konsumen melalui pengawasan barang beredar sesungguhnya berada di

tangan Pemerintah Pusat melalui pelaksanaan sistem Standarisasi dan

Perlindungan Konsumen di tingkat nasional (SNI, pendaftaran barang,

pendaftaran perusahaan, dll) kegiatan ini memberikan sumbangan sebesar

40% terhadap keberhasilan pengawasan barang di daerah perbatasan.

Sisanya tentu perlu diupayakan oleh Pemerintah Daerah yang menerima dan

melaksanakan urusan perdagangan ini, termasuk pengawasan barang

beredar (Gambar 6.6).

Pengamatan kepada daerah perbatasan yang relatif aktif melakukan

pengawasan, menunjukkan tambahan upaya pemerintah daerah hanyalah

sebesar 10-15% saja, mendorong nilai jangkauan pengawasan ke angka

antara 50%-55%. Untuk itu memang perlu dicari jalan agar dalam 3 (tiga)

hingga 5 (lima) tahun ke depan, nilai jangkauan pengawasan barang beredar

ini dapat meningkat secara bertahap ke tingkatan 75%-80% di daerah

perbatasan.

Peningkatan nilai rasio jangkauan pengawasan sebesar 20-25% dalam

5 (lima) tahun tidak dapat dilaksanakan oleh Pemerintah sendiri. Masyarakat

sebagai konsumen, juga memiliki peran yang sangat besar. Yaitu sebagai

pihak yang dengan cerdas menuntut pemerintah daerah untuk melaksanakan

perlindungan konsumen tersebut, meskipun kebutuhan akan perlindungan ini

(masalah safety needs) baru akan muncul di masyarakat setelah masalah

ketersediaan dasar terpenuhi (masalah basic needs).

94

Gambar 6. 6. Rangkaian Upaya Mendorong Peningkatan Pengawasan

Dalam rangka perlindungan konsumen khususnya peningkatan

pengawasan di daerah perbatasan perlu dilakukan antara lain:

a. Pemerintah Pusat

1) Menjalankan secara terus menerus dan memperkuat sistem

standarisasi dan perlindungan konsumen nasional.

2) Menyusun petunjuk teknis pelaksanaan pengawasan barang yang

dapat digunakan sebagai panduan oleh pemerintah daerah. Termasuk

kiat menyesuaikan parameter pengawasan, khusus untuk daerah

95

perbatasan. Menyusun Standar Pelayanan Minimum pengawasan

barang untuk daerah.

3) Menghubungkan penyaluran dana DAK dan Dekonsentrasi ke daerah

sesuai kinerja daerah dalam memenuhi Standar Pelayanan Minimum

pengawasan barang untuk daerah.

4) Menyalurkan dana alokasi khusus dan dekonsentrasi untuk menjamin

petugas PPBJ di daerah memperoleh anggaran operasional untuk

melaksanakan pengawasan, dan memastikan pemerintah daerah

dapat merekrut dan menjaga jumlah petugas PPBJ yang dibutuhkan.

5) Memastikan pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki

pemahaman mengenai pelaksanaan urusan Perdagangan, khususnya

mengenai urusan perlindungan konsumen melalui pengawasan barang

beredar di daerah dan keterkaitannya dengan sistem SPK di

pusat/nasional.

6) Memastikan pemerintah Provinsi memiliki kemampuan untuk

melakukan pengawasan barang melalui pengujian laboratorium (tidak

perlu memiliki lab sendiri, dapat bekerjasama dengan BPSMB dan

Barsitand), dan memiliki anggaran yang cukup untuk melaksanakan

pembelian sampel dan pengujian barang.

7) Mendorong koordinasi pengawasan antara unit kerja di provinsi, dan

kabupaten/kota, serta badan terkait di provinsi dan daerah (BPOM,

Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, Bea Cukai, TNI Pejaga

Perbatasan) dalam merencanakan dan melaksanakan pengawasan

barang di daerah.

8) Khusus untuk daerah perbatasan, pemerintah pusat perlu mencari

cara untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok dan energi (listrik, gas,

dan BBM) bagi masyarakat di daerah perbatasan dengan jumlah dan

harga yang sesuai. Daerah memprioritaskan ketersediaan bahan

pokok bagi masyarakatnya diatas pemenuhan ketentuan parameter

pengawasan barang beredar. Hal ini tercermin dari keputusan daerah

96

untuk tidak melakukan pengawasan barang beredar, atau tindak lanjut

pengawasan yang hanya pada tingkatan penyuluhan dan pembinaan.

b. Pemerintah Provinsi

1) Meningkatkan koordinasi pengawasan dengan unit kerja di

kabupaten/kota, dan badan terkait di provinsi serta kabupaten / kota

Tim PPBB dalam merencanakan dan melaksanakan pengawasan

barang di daerah.

2) Memfasilitasi kerjasama antar daerah untuk memenuhi kebutuhan

pokok dan energi masyarakat yang ada di wilayah kerja.

3) Memastikan Unit Kerja yang menangani pengawasan barang di tingkat

provinsi memiliki sumberdaya yang cukup untuk memfasilitasi uji

laboratorium yang dibutuhkan oleh unit kerja pengawasan barang di

kabupaten/kota.

4) Secara proaktif membantu pemerintah pusat melaksanakan sosialisasi

peraturan/ketentuan baru terkait pengawasan barang beredar, dan

upgrading kompetensi petugas PPBJ di kabupaten/kota.

5) Memfasilitasi penyediaan tenaga PPNS-PK dan masalah penegakan

aturan/ hukum perlindungan konsumen yang dihadapi oleh pemerintah

daerah.

c. Pemerintah Kabupaten/Kota

1) Melaksanakan urusan pengawasan barang beredar sebagai sebuah

kesatuan dalam upaya melaksanakan perlindungan konsumen, sesuai

petunjuk teknis dan standar pelayanan minimum yang ditetapkan.

2) Menjaga ketersediaan jumlah petugas PPBJ sesuai dengan

kebutuhan.

3) Membuka dan mensosialisasikan hotline pengaduan masyarakat.

4) Secara tertib dan disiplin membangun basis data perlindungan

konsumen, pengawasan barang, serta pelaporan kegiatan

pengawasan barang yang rutin dan berkala ke unit kerja terkait di

97

provinsi dan pusat,sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Republik

Indonesia Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 Tentang Ketentuan Dan Tata

Cara Pengawasan Barang Dan/Atau Jasa.

5) Bekerja sama dengan unit kerja pengawasan yang ada di provinsi

atapun pusat untuk menyusun strategi pengawasan barang yang lebih

optimal.

6) Bekerjasama dengan Pemerintah Pusat dan Provinsi melayani dan

menyediakan barang kebutuhan masyarakat.

d. Masyarakat dan LPKSM

Masyarakat dalam hal ini selain konsumen juga lembaga swadaya

masyarakat (LSM)/Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM), dan YKLI

1) Memahami hak dan kewajibannya sebagai konsumen (konsumen

cerdas-KONCER) untuk mengetahui parameter barang yang perlu

diamati untuk melindungi dirinya.

2) LPKSM mempunyai tugas antara lain menyebarluaskan informasi

dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban serta

kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

memberikan nasihat kepada konsumen sehubungan dengan pemilihan

barang dan jasa yang aman untuk dikonsumsi yang beredar di

masyarakat; bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya

mewujudkan perlindungan konsumen; membantu konsumen dalam

memperjuangkan hak-haknya; menerima keluhan dan pengaduan dari

konsumen dan melakukan pengawasan bersama pemerintah dan

masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen

98

BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

7.1. Kesimpulan

a. Pengawasan barang beredar di daerah perbatasan belum dilaksanakan

secara optimal. Umumnya pengawasan dilaksanakan secara kasat mata

dan belum dilakukan uji laboratorium. Selain itu, belum dibuat secara rutin

laporan dan tindak lanjut hasil pengawasan.

b. Tim Terpadu Pengawasan Barang Beredar (Tim TPBB) sudah dibentuk,

namun koordinasi antar instansi maupun lembaga terkait dalam

melaksanakan pengawasan belum efektif. Koordinasi dilakukan hanya

pada saat menjelang bulan puasa dan hari besar keagamaan sekaligus

untuk monitoring harga. Koordinasi dimaksud juga belum dilaksanakan

dengan melibatkan Kepabeanan, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan

(CIQS-custom, immigration, quarantine, and security).

c. Kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan belum berjalan dengan

baik. Hal ini diindikasikan dengan frekuensi pengawasan yang relatif

rendah yaitu rata-rata hanya dilaksanakan 1 (satu) kali dalam setahun.

Hal ini disebabkan:

1) Sumber daya manusia (SDM) pengawasan yang dimiliki daerah

perbatasan masih terbatas. Rata-rata jumlah petugas pengawas

berkisar antara 1 – 2 orang atau hanya sebanyak 50% dari kebutuhan

sehingga pengawasan tidak dapat dilakukan secara optimal. Selain itu

tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap bidang tugas

pengawasan juga masih rendah.

2) Proporsi anggaran untuk pengawasan masih relatif kecil yaitu rata-rata

sebesar 9% dari total anggaran Dinas.

3) Minimnya sarana transportasi untuk mendukung pelaksanaan

pengawasan barang yang memadai.

99

d. Ditemukan barang sampel yang tidak sesuai ketentuan parameter

pengawasan khususnya Label, Standar Nasional Indonesia (SNI), dan

Manual Kartu Garansi (MKG). Jenis barang yang tidak bertanda SNI

antara lain lampu pijar, regulator tabung gas, dan tusuk kontak, sedangkan

yang tidak menggunakan Label Bahasa Indonesia antara lain

biskuit/makanan ringan, bahan pokok, dan makanan minuman kaleng.

e. Gambaran umum proporsi barang yang beredar di daerah perbatasan

adalah 70% merupakan produk dalam negeri dan 30% berasal dari

Malaysia. Sementara barang yang telah memenuhi ketentuan parameter

pengawasan di daerah perbatasan mencapai 51,4% yang merupakan

produk dalam negeri, sehingga masih terdapat 18,6% produk dalam negeri

yang belum memenuhi ketentuan parameter pengawasan.

f. Berdasarkan kelompok barang yang beredar di daerah perbatasan maka

barang yang berasal dari Malaysia didominasi (53%) oleh bahan pokok,

biskuit/makanan ringan dan makanan minuman kalengan, sedangkan

barang-barang elektronik dan bahan bangunan didominasi oleh produk

dalam negeri masing-masing sebesar 99% dan 88,3%.

g. Dengan alasan untuk memenuhi kecukupan pasokan bahan pokok, Kepala

daerah/bupati yang memiliki daerah perbatasan, mengeluarkan surat

edaran yang memperbolehkan beredarnya barang pokok asal Malaysia

keluar dari daerah perbatasan (kecamatan) ke kecamatan lain di

kabupaten tersebut. Kebijakan ini berpotensi membuat barang asal

Malaysia merembes ke kabupaten lain bahkan ke provinsi lainnya.

7.2. Rekomendasi Kebijakan

a. Dalam rangka mendukung peningkatan pengawasan barang beredar

khususnya di perbatasan, perlu disusun Standar Pelayanan Minimum

(SPM) meliputi frekuensi pengawasan, jumlah barang yang diawasi, dan

lokasi pengawasan agar dapat dijadikan acuan dalam penilaian kinerja

unit kerja pengawasan barang beredar.

100

b. Menghimbau pemerintah daerah agar dapat merekrut petugas PPBJ dan

PPNS-PK sesuai kebutuhan dan mempertahankan keberadaan petugas

pengawas tersebut dengan mengusulkan menjadi fungsional.

c. Mengusulkan dana alokasi khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi untuk

mendukung pelaksanaan pengawasan di daerah perbatasan dengan

persyaratan adanya jumlah SDM Pengawas yang memadai, frekuensi

pelaksanaan pengawasan, dan jumlah laporan pengawasan barang di

daerah perbatasan.

d. Dalam rangka efektifitas pelaksanaan pengawasan barang di daerah

perbatasan, maka dapat dilakukan kerjasama dengan pihak kepabeanan,

karantina, dan keamanan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU).

e. Mensinkronisasikan peraturan daerah yang berpotensi menghambat

pencapaian tujuan pengawasan barang beredar, khususnya di daerah

perbatasan.

f. Memajukan peran Kementerian Perdagangan dalam menyediakan bahan

kebutuhan pokok yang lebih baik dan terjamin bagi masyarakat daerah

perbatasan.

101

DAFTAR PUSTAKA

Asisten Teritorial Kasdam VII Mulawarman, 2013, Bahan paparan: Permasalahan Perdagangan di Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia.

Asisten Teritorial Kodam XII Tanjungpura, 2013, Bahan paparan:

Permasalahan Menonjol Bidang Perdagangan di PErbatasan RI-Malaysia.

Bappenas, 2009, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan

Perbatasan Antar Negara di Indonesia. Diunduh dari: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCMQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.bappenas.go.id%2Findex.php%2Fdownload_file%2Fview%2F11630%2F3866%2F&ei=dVsVU_SNJcaErAesyID4DQ&usg=AFQjCNGOdEI4ibVz5ofsL0FfemfXqTfaVg&bvm=bv.62286460,d.bmk

Bappenas, 2010, Isu Strategis dan Mendesak Dalam Pembangunan

Kawasan Perbatasan Kabupaten Kalimantan Barat - Sarawak. Diunduh dari: http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/11640/3867/.Tanggal 19 Februari 2014

BPS Daerah Kabupaten Nunukan. Produk Domestik Regional Bruto Menurut

Penggunaan Kabupaten Nunukan Tahun 2008-2012. BPS Daerah Kabupaten Malinau. Produk Domestik Regional Bruto Menurut

Penggunaan Kabupaten Malinau Tahun 2008-2012. BPS Daerah Kabupaten Sanggau. Produk Domestik Regional Bruto Menurut

Penggunaan Kabupaten SanggauTahun 2008-2012. BPS Daerah Kabupaten Bengkayang. Produk Domestik Regional Bruto

Menurut Penggunaan Kabupaten Bengkayang Tahun 2008-2012. BPS Daerah Kabupaten Nunukan. Statistik Daerah Kabupaten Nunukan

2013. BPS Daerah Kabupaten Nunukan. Nunukan Dalam Angka 2013. Ditjen PEN, 2012, Mendorong Perdagangan Lintas Batas, Warta Ekspor,

Ditjen PEN/MJL/003/8/2012 Edisi Agustus

102

Haryanto, 2013, Tahun 2013 Kasus Gula Ilegal Meningkat 245 Persen, diunduh dari http://pontianak.tribunnews.com/2014/01/08/tahun-2013-kasus-gula-ilegal-meningkat-245-persen tanggal 14 Maret 2014.

Inventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kawasan Perbatasan. 2014.

Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Sanggau. Kementerian perdagangan, 2009, Peraturan Menteri Perdagangan RI

Nomor20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa.

_________________, 2007, Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor

14/M-DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangankan.

Laporan Akhir Kegiatan Peningkatan Pengawasan Peredaran Barang dan

Jasa. 2014. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Sanggau.

Pusat Kajian Strategis, 2009, Telaahan Isu Strategis Lainnya, Kementerian

Pekerjaan Umum Republik Indonesia Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, 2012, Evaluasi Perdagangan

Lintas Batas Indonesia Republik Indonesia, 2008, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang

Wilayah Negara. Sanggau Dalam Angka. 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau Suryowati, Estu, Tabung Elpiji di Perbatasan Tak Sesuai SNI, diunduh dari

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/31/2050378/Tabung.Elpiji.di.Perbatasan.Tak.Sesuai.SNI tanggal 14 Maret 2014

Wikipedia. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Nunukan