kajian usulan pengenaan bea keluar (bk) atas ekspor rumput...

64
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1 LAPORAN AKHIR Kajian Usulan Pengenaan Bea Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput Laut (Raw Material) PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014

Upload: vantruc

Post on 29-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1

LAPORAN AKHIR

Kajian Usulan Pengenaan Bea Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput Laut (Raw Material)

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2014

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR i ABSTRAK ii DAFTAR ISI iii BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan Penelitian 3

1.3. Ruang Lingkup Kajian

1.4. Sistematika Penulisan

3

4

BAB II.

PERKEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN DAN KINERJA PERDAGANGAN RUMPUT LAUT INDONESIA

6

2.1. Produksi Rumput Laut 6

2.2. Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam

Negeri

11

2.3. Kebutuhan Bahan Baku Industri Pengolahan

Rumput Laut dan Idle Capacity

16

BAB III

METODOLOGI KAJIAN 22

3.1. Jenis dan Sumber Data 22

3.2. Metode Analisis 19

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 30

4.1. Perkembangan Ekspor Bahan Baku Rumput

Laut ke Negara Tujuan Utama

30

4.2. Perkembangan Ekspor Produk Olahan

Rumput Laut ke Negara tujuan Utama

4.3. Perkembangan daya saing produk olahan

35

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3

rumput laut di Negara tujuan

4.4. Penetapan Bea Keluar Untuk Mengurangi

Ekspor Rumput Laut (Raw Material)

39

42

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN 54

5.1. Kesimpulan

5.2. Rekomendasi

54

55

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan kajian dengan judul “Kajian Usulan Pengenaan Bea

Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput Laut (Raw Material)” ini dengan baik

dan sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan.

Indonesia mempunyai potensi alam yang sangat baik untuk

pengembangan dan budidaya komoditas rumput laut. Karena kualitasnya

yang sangat bagus, rumput laut Indonesia telah menjadi primadona di

pasar internasional. Seiring dengan semakin bertambahnya permintaan

dunia, maka pemerintah kian gencar mendorong industrialisasi dan

budidaya rumput laut Indonesia. Namun pada kenyataannya, industri

pengolahan rumput laut dalam negeri mengalami beberapa kendala

antara lain tingginya harga dan turunnya kualitas bahan baku akibat

berkurangnya ketersediaan bahan baku dalam negeri. Hingga saat ini,

rumput laut (raw material) masih banyak yang diekspor untuk mendukung

industri pengolahan di negara lain.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, Pusat Kebijakan

Perdagangan Luar Negeri untuk melakukan kajian singkat mengenai

usulan pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor rumput laut dan produk

turunannya. Dalam kajian ini akan dilakukan analisis besaran BK yang

dapat diusulkan untuk dikenakan atas ekspor rumput laut (raw material).

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, diharapkan masukan dari semua pihak untuk tahap

pengembangan dan penyempurnaan kajian ini di masa akan datang.

Jakarta, September 2014

Tim Pengkaji

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5

ABSTRAK

Industri pengolahan rumput laut dalam negeri saat ini tengah menghadapi kendala berupa kurangnya ketersediaan bahan baku dalam negeri karena banyaknya ekspor. Oleh karena itu, tujuan kajian ini adalah menetapkan nilai bea keluar (BK) optimum rumput laut sebagai instrumen pengaturan ekspor untuk menutupi idle capacity industri pengolahan dalam negeri berdasarkan elastisitas harga model permintaan. Dari model permintaan diperoleh elastisitas permintaan ekspor terhadap harga sebesar -0,41%, yang artinya jika harga naik 10% maka permintaan ekspor akan berkurang sebesar 4,1%. Untuk menutupi idle capacity diperlukan pengurangan ekspor E. cottonii sebesar 8.730 ton, spinosum 2.126 ton dan Glacilaria 9.771 ton (total 20.627 ton). Besaran nilai BK optimum untuk mengurangi ekspor yang besarnya sesuai dengan idle capacity adalah 21% untuk E. cottonii, 12% untuk spinosum dan 44% untuk Glacilaria. Sedangkan, apabila BK dikenakan secara agregat, tanpa diskriminasi berdasarkan jenis, maka besaran BK optimum adalah 30%. Kata kunci: Rumput laut, Bea Keluar dan Model permintaan

ABSTRACT

Domestic seaweed processing industries are currently facing a problem of lacking the availability of raw materials in domestic market because they are exported. Therefore, the aim of this study is to establish the value of export duties as the optimum instrument in settings and control the seaweed for being exported in order to cover idle capacity of domestic processing industry based on the price elasticity of demand model.The result using demand model shows that the export demand elasticity to the price is -0.41%, which means that if the price goes up by 10% then export demand will be reduced by 4.1%. Meanwhile, in order to cover idle capacity, the reduction required for export are for E. cottonii sp. amounted to 8.730 tons, 2.126 tons of glacilaria and 9.771 tons of spinosum (total 20 627 tonnes). Therefore, the optimum export duties based on the simulation and demand model are 21% for E. cottonii, 12% for spinosum and 44% for Glacilaria. While, aggregately the amount of the export duties to be optimum in covering idle capacity for domestic processing industry without regard to the type of seaweed is 30%. Keywords: Seaweed, Duty and demand model

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai

ekonomis yang tinggi. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai lebih

dari 17 ribu pulau dan panjang garis pantai mencapai 81 ribu KM,

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan dan

budidaya komoditas rumput laut. Memiliki kondisi alam yang baik dan

cocok untuk pengembangan rumput laut menjadikan rumput laut

Indonesia memiliki kualitas yang baik sehingga permintaan dunia akan

rumput laut Indonesia baik berupa raw material maupun produk olahan

terus meningkat (Ditjen PEN, 2013). Seiring dengan semakin

bertambahnya permintaan dunia akan rumput laut Indonesia, pemerintah

kian gencar mendorong industrialisasi dan budidaya rumput laut

Indonesia.

Namun demikian, berdasarkan hasil rapat pembahasan mengenai

perkembangan rumput laut serta industri karaginan dan agar-agar

Indonesia yang telah dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 2014 bertempat di

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan,

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) didapatkan informasi terkait

permasalahan dan fakta-fakta yang dihadapi oleh industri karaginan dan

agar-agar Indonesia saat ini. Permasalahan utama yang dihadapi saat ini

adalah kurangnya ketersediaan bahan baku rumput laut bagi industri

dalam negeri. Akibatnya kapasitas terpakai (utilitas) industri pengolahan

rumput laut dalam negeri rata-rata hanya mencapai 60% dari kapasitas

terpasang. Kelangkaan bahan baku rumput laut bagi industri pengolahaan

dalam negeri, diduga akibat tingginya ekspor dalam bentuk bahan baku

(raw material). Menurut Anggadiredja (2011) sebanyak 80% produksi

rumput laut jenis cottonii sp. (Kappaphycus alvarezii) diekspor untuk

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7

bahan baku industri karagenan di luar negeri. Sedangkan rumput laut

jenis Gracilaria sp. yang merupakan bahan baku agar-agar, hampir 50%

digunakan sebagai bahan baku industri dalam negeri. Hampir 95% produk

karagenan dalam negeri diperuntukkan untuk ekspor, hanya 5% yang

diperuntukkan untuk pasar dalam negeri. Sebaliknya, untuk produk agar-

agar, sekitar 70% dipasarkan di dalam negeri.

Selain permasalahan kurangnya bahan baku, sebagian besar industri

pengolahan rumput laut yang ada di dalam negeri juga masih terbatas

pada tingkatan base product dan belum berkembang ke tingkatan end

product maupun produk formulasi (produk blended). Hal tersebut

mengakibatkan beberapa kerugian antara lain inefisiensi industri

pengolahan rumput laut (tingkat utilitas rata-rata 60% dari kapasitas

terpasang) akibat kurangnya bahan baku, hilangnya potensi nilai tambah,

lapangan kerja serta potensi penerimaan pajak. Oleh karena itu, ekspor

rumput laut dalam bentuk bahan baku perlu diatur untuk menjamin

ketersediaan bahan baku industri pengolahan rumput laut dalam negeri

yang menghasilkan end product maupun produk formulasi (produk-produk

hilir).

Usulan instrumen yang digunakan untuk mengatur ekspor rumput laut

raw material berdasarkan hasil pembahasan yang melibatkan seluruh

peserta rapat salah satunya adalah penerapan Bea Keluar (BK) atas

ekspor bahan baku rumput laut (disamping pengaturan mekanisme alur

distribusi rumput laut di dalam negeri untuk mencegah importir membeli

langsung rumput laut ke petani dengan menawarkan harga yang relatif

lebih tinggi dari harga pasar). Wacana penerapan BK terhadap rumput

laut pernah muncul dan dibahas pada tahun 2013, namun demikian

pengenaan BK tersebut belum ditetapkan karena masih perlu dilakukan

kajian yang mendalam oleh kementerian dan lembaga terkait tentang

potensi dan kelayakan pengenaan BK atas ekspor rumput laut. Lebih

lanjut, penetapan kebijakan BK tersebut juga hendaknya memenuhi tujuan

pengenaan BK sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 pada

Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8

Terhadap Barang Ekspor yaitu 1) menjamin terpenuhinya kebutuhan

dalam negeri, 2) melindungi kelestarian sumber daya alam, 3)

mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi tertentu di

pasaran internasional, atau 4) menjaga stabilitas harga komoditas di

dalam negeri. Selain itu, kebijakan BK atas ekspor rumput laut raw

material juga harus dapat mengakomodasi kepentingan petani rumput laut

serta implikasi dan multiplier effect sebagai dampak pemberlakuan

kebijakan tersebut.

Berdasarkan pokok-pokok hasil pembahasan rapat diatas, maka

Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri atas permintaan Direktur

Ekspor Produk Pertanian dan kehutananan Kementerian Perdagangan

merasa perlu untuk melakukan kajian singkat mengenai usulan

pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor rumput laut dan produk

turunannya. Dalam kajian ini akan dilakukan analisis besaran BK yang

dapat diusulkan untuk dikenakan atas ekspor rumput laut (raw material).

1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk melakukan analisis

terhadap usulan pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor rumput laut dan

produk turunannya. Tujuan kajian ini antara lain:

a. Menganalisis idle capacity industri pengolahan rumput laut dalam

negeri akibat kurangnya bahan baku.

b. Menganalisis perkembangan ekspor serta daya saing rumput laut

dan produk olahannya di negara tujuan.

c. Menyusun model permintaan ekspor bahan baku rumput laut di

negara tujuan utama.

d. Menetapkan nilai bea keluar (BK) optimum rumput laut untuk menutupi

idle capacity industri pengolahan dalam negeri berdasarkan elastisitas

harga model permintaan.

1.3. Ruang Lingkup Kajian

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9

Pelaksanaan kajian ini hanya dibatasi pada hal-hal yang terkait

dengan tugas dan fungsi pokok Kementerian Perdagangan dalam

melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Sementara itu,

hal-hal teknis lain terkait dengan roadmap pengembangan serta

pembinaan petani dan industri pengolahan rumput laut menjadi tanggung

jawab kementerian terkait yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan

(KKP) dan Kementerian Perindustrian sebagai sektor pembina. Kajian ini

difokuskan pada wacana pengenaan kebijakan Bea Keluar (BK) atas

ekspor rumput laut dan produk turunannya dan tidak membahas kebijakan

ekspor lain seperti kebijakan larangan ekspor dan tata niaga ekspor.

1.4. Sistematika Penulisan Kajian ini tersusun menjadi beberapa bab, antara lain: Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

1.2. Tujuan Penelitian

1.3. Ruang Lingkup Kajian

1.4. Sistematika Penulisan Bab II Perkembangan Industri Pengolahan dan Kinerja Perdagangan Rumput Laut Indonesia

2.1. Produksi rumput laut

2.2. Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam Negeri

2.3. Kebutuhan Bahan Baku Industri Pengolahan Rumput Laut dan Idle

Capacity

Bab III Metodologi Penelitian 3.1. Jenis dan Sumber Data

3.2. Metode Analisis Bab IV Hasil dan Pembahasan

4.1. Perkembangan Ekspor Bahan Baku Rumput Laut ke Negara

Tujuan Utama

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10

4.2. Perkembangan Ekspor Produk Olahan Rumput Laut ke Negara

Tujuan Utama

4.3. Perkembangan Daya Saing Produk Olahan Rumput Laut di Negara

Tujuan

4.4. Penetapan Bea Keluar Untuk Mengurangi Ekspor Bahan Baku

Rumput Laut Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1. Kesimpulan

5.2. Rekomendasi

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11

BAB II

PERKEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN DAN KINERJA PERDAGANGAN RUMPUT LAUT INDONESIA

2.1. Produksi Rumput Laut Indonesia berada pada kawasan the coral triangle yang merupakan wilayah

paling potensial untuk pengembangan rumput laut (Gambar 2.1). Selain itu, iklim

di Indonesia juga mendukung dalam pengembangan rumput laut karena

gangguan alam relatif sedikit dibandingkan dengan negara produsen rumput laut

lainnya, seperti Filipina, yang sering dilanda taifun. Demikian juga dengan negara

lain di Amerika Latin seperti Chile yang juga sering menghadapi hambatan

produksi rumput laut berupa El Nino.

Gambar 2.1. kawasan the coral triangle penghasil utama rumput laut

Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri (2014)

Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-

an untuk merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya

alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan (Ngangi, 2001). Sejak

tahun 2010, Indonesia merupakan negara produsen alga terbesar di dunia

setelah RRT (Tabel 2.1).

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12

Tabel 2.1. Produksi Hasil Budidaya Rumput Laut dan Alga Mikro di Beberapa

Produsen Besar Dunia

Sumber: FAO (2014)

Statistik FAO pada Tabel 2.1 tersebut memasukkan alga makro (rumput laut)

yang tumbuh di laut atau air payau dan alga mikro yang tumbuh di air laut, air

payau dan perairan darat. Beberapa tumbuhan air di danau air tawar yang

dibudidayakan, seperti water caltrop, water chesnut, dan teratai yang dapat

dimakan, tidak dimasukkan dalam statistik. Alga mikro yang termasuk dalam

statistik adalah Spirulina spp.

Jenis rumput laut bermacam-macam. Setidaknya ada 7 (tujuh) jenis rumput

laut yang sudah dimanfaatkan secara komersial di Indonesia baik untuk

kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor ke luar negeri (Asosiasi Industri

Rumput Laut Indonesia, 2014). Dari tujuh jenis rumput laut tersebut digolongkan

menjadi dua, yaitu rumput laut yang telah dibudidayakan dan rumput laut yang

tumbuh secara alami. Jenis-jenis rumput laut yang telah dibudidayakan adalah:

a. Euchema Cottoni (E.Cottoni)

b. Euchema Spinosum

c. Gracilaria Adapun jenis-jenis rumput laut yang tumbuh secara alami dan belum

dibudidayakan adalah:

a. Gelidium Capillacea “kades”

b. Gelidium Indonesianum “bludru”

1990 1995 2000 2005 2010 2012Dunia 3,765.33 6,849.22 9,306.04 13,518.95 19,009.67 23,776.45 100.00 RRT 1,470.23 4,162.62 6,938.10 9,494.59 11,092.27 12,832.06 53.97 Indonesia 100.00 102.00 205.23 910.64 3,915.02 6,514.85 27.40 Filipina 291.18 579.04 707.04 1,338.60 1,801.27 1,751.07 7.36 Korea Selatan 411.88 649.10 374.46 621.15 901.67 1,022.33 4.30 Jepang 565.39 569.49 528.88 507.74 432.80 440.75 1.85 Malaysia 16.13 40.00 207.89 331.49 1.39 Republik Tanzania 8.08 39.17 49.91 73.62 125.16 150.88 0.63 Kepulauan Solomon 3.26 8.00 13.00 0.05 Sub Total 2,846.76 6,101.41 8,819.74 12,989.60 18,484.08 23,056.43 96.97 Lainnya 918.57 747.80 486.30 529.35 525.59 720.02 3.03

Produksi (Ribu Ton)Produsen Pangsa 2012 (%)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13

c. Sargassum dan

d. Ulva Produksi rumput laut Indonesia semakin meningkat hingga tahun 2012

mencapai 6,5 juta ton basah (atau sekitar 6500 ton kering) dan diproyeksikan

mengalami peningkatan mencapai 53,5% di tahun 2014 menjadi 10 juta ton

(Gambar 2.2). Produksi di tahun 2012 terdiri dari rumput laut jenis Euchema dan

Gracilaria masing-masing sebesar 5,74 juta ton (pangsa: 88,1%) dan 0,78 juta

ton (pangsa:11,9%).

Gambar 2.2. Produksi Rumput Laut (basah) Indonesia dan Proyeksinya

Sumber : Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2014)

Ket. : * = proyeksi

Berdasarkan hasil survei, hingga saat ini belum ada industri pengolahan

rumput laut yang melakukan integrasi vertikal, dengan melakukan budidaya

rumput laut sendiri. Hal tersebut disebabkan mahalnya biaya pengawasan untuk

mencegah pencurian sebelum masa panen.

Perusahaan pengolahan rumput laut dalam negeri membeli bahan baku

rumput laut yang dibudidayakan oleh petani yang tersebar di seluruh Indonesia

antara lain: Madura, Bali, Lompok, Kupang, Ambon, dan daerah-daerah di

Sulawesi melalui pedagang pengumpul. Di tingkat pedagang pengumpul, industri

pengolahan dalam negeri harus bersaing dengan eksportir (yang berafiliasi

1,73 2,15

2,96 3,92

5,17 6,51

7,50

10,00

25,76 24,10

38,16

32,11 32,06

26,01

15,12

33,33

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

40,0

45,0

-

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013* 2014*

(%)Juta Ton Produksi Growth(%)- RHS

13,2% 12,2% 11,9%

86,8% 87,8% 88,1%

2010 2011 2012

Gracilaria Euchema

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14

dengan pedagang dari China) untuk mendapatkan bahan baku. Bahkan pada

kasus tertentu, persaingan untuk mendapatkan bahan baku tersebut sudah

dimulai sejak di tingkat petani.

Impor bahan baku rumput laut dari negara produsen rumput laut lain seperti

Filipina juga pernah dilakukan salah satu industri pengolahan rumput laut dalam

negeri untuk memenuhi kebutuhan industri. Namun demikian, impor bahan baku

tersebut tidak dilanjutkan karena harganya tidak kompetitif serta memiliki

kandungan garam tinggi. Meskipun rumput laut impor terlihat kering tetapi

kandungan airnya tinggi, sehingga rendemen rumput laut impor rendah. Oleh

karena itu, secara kualitas rumput laut dalam negeri lebih baik jika dibandingkan

dengan rumput laut impor. Berdasarkan hasilsurvei lapangan, saluran

pemasaran rumput laut ditunjukkan melalui Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3. Rantai Pemasaran Rumput Laut Dalam Negeri

Sumber: Hasil survei

Rata-rata skala produksi rumput laut petani sebesar 3 ton tiap sekali panen.

Sebesar besar hasil panen tersebut (90% dari keselurahan hasil panen) dibeli

oleh pedagang pengumpul untuk kemudian ditampung di gudang (untuk wilayah

Sulawesi, pusat gudang rumput laut berada di Makasar). Setelah berada di

gudang, pengumpul daerah memilih dan mengelompokkan rumput laut sesuai

dengan gradenya. Rumput laut yang memiliki kualitas bagus lebih banyak

diekspor, karena eksportir berani membeli dengan harga yang lebih tinggi dari

industri pengolahan dalam negeri. Keuntungan lain yang dirasakan petani atau

Petani rumput laut

Pengumpul lokal

Pedagang antar kota

Pengumpul Daerah

Industri pengolahan

Ekportir

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15

pedagang pengumpul, dengan menjual ke ekportir diantaranya: 1) pembayaran

cepat (dengan DP atau bahkan dibayar penuh dimuka); 2) harga relatif tinggi

dalam mata uang USD; dan 3) kemampuan membeli besar, berapapun jumlah

yang ditawarkan akan dibeli (kebutuhan eksportir sebanyak 1000 ton, sementara

permintaan industri pengolahan lokal rata-rata hanya 100 ton per hari).

Pembelian rumput laut oleh industri pengolahan dilakukan secara lepas

(tidak ada kontrak yang mengikat), sehingga harga bahan baku rumput laut

berfluktuasi. Pada tahun 2012 rata-rata harga rumput laut untuk jenis E. Cottoni

masih dibawah Rp 10.000/kg, kemudian terus meningkat mencapai kisaran

harga Rp 11.000/kg - Rp. 19.000/kg, sementara untuk jenis gracilaria berkisar

Rp. 10.000/Kg - 13.000/Kg pada pertengahan 2014. Fluktuasi harga rumput laut

kering disajikan pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2. Fluktusi Harga Rumput Laut

Perusahaan Harga pembelian rumput laut (Rp/kg)

Terendah Tertinggi* Saat survei Rata-rata

E. Cottonii 5.000 25.000 11.000-19.000 10.000

Glacilaria sp 7.000 15.000 10.000 9.500

Sumber: Hasil survey

Ket.: * = pada tahun 2008

Harga rumput laut tertinggi terjadi pada tahun 2008, hal tersebut disebabkan

gencarnya para pedagang China masuk untuk membeli rumput laut Indonesia.

Fenomena terjadinya serangan penyakit, cuaca buruk, dan bencana alam

(Taifun, El Nino) yang menyebabkan gagal panen di beberapa negara produsen

rumput laut lainnya juga mengakibatkan peningkatan harga yang cukup tinggi di

tahun 2008.

Secara periodik, produksi rumput laut pada musim hujan (antara bulan

Agustus sampai Oktober) cukup tinggi, namun karena proses pengeringan

terhambat mengakibatkan kualitasnya menjadi rendah (cenderung berjamur)

sehingga harga akan turun. Selain kenaikan harga, ketatnya persaingan dalam

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16

mendapatkan bahan baku dengan eksportir juga menyebabkan menurunnya

kualitas rumput laut yang didapatkan oleh industri pengolahan (banyak pasir,

sampah, kandungan air tinggi dan dipanen sebelum umurnya mencukupi).

2.2. Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam Negeri

Tingginya potensi produksi rumput laut Indonesia telah mendorong

pertumbuhan industri pengolahan rumput laut. Hasil pengolahan rumput laut dari

jenis rumput laut di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.4. Adapun Gambar

2.5 menunjukkan pohon industri rumput laut. Dari Gambar 2.5 dapat dilihat

bahwa hasil olahan rumput laut bermanfaaat dapat dimanfaatkan untuk berbagai

jenis industri.

Gambar 2.4. Spektrum Industrialisasi Rumput Laut

Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri (2014)

Eucheuma sp

Sargassum sp

Gracillaria sp

Karaginan

Alginat

Agar

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17

Gambar 2.5. Pohon Industri Bahan Baku Rumput Laut

Sumber: Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2014)

Pemanfaatan rumput laut dalam untuk berbagai produk yang ada dalam

Gambar 2.5 dapat dilihat pada Tabel 2.3 di bawah.

Tabel 2.3. Pemanfaatan Olahan Rumput Laut Pada Produk Industri

Sumber: Direktorat Usaha dan Investasi (2013)

Dikarenakan sumber daya rumput laut yang melimpah di Indonesia, industri

pengolahan rumput laut juga cukup berkembang di Indonesia. Berdasarkan data

Utilisasi Agar Karaginan AlginatPangan

Es Krim, Susu √ √ √Roti √ √ √Permen √ √Daging, ikan dalam Kaleng √ √ √Saus, Salad Dressing √ √

Industri Non PanganPakan ternak/ikan √ √Cat, Keramik √ √Tekstil, kertas √ √Farmasi, kosmetik √Pasta Gigi, Shampo, Obat Tablet √ √Bahan Cetak Gigi, Obat Salep √

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18

yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terdapat peningkatan

industri pengolahan rumput laut yang cukup pesat dari hanya 24 perusahaan di

tahun 2013 menjadi 37 perusahaan pengolah rumput laut di tahun 2014 (Gambar

2.6).

Gambar 2.6. Perkembangan Industri Pengolahan Rumput Laut Indonesia

Sumber: KKP, 2014

Ket.:ATC = Alkali Treated Carrageenan

SRC = Semi Refined Carrageenan

RC = Refined Carrageenan

Dari 5 perusahaan yang disurvei, 3 perusahaan mengolah rumput laut jenis

eucheuma sp dan 2 perusahaan menggunakan rumput laut jenis glacilaria sp.

Eucheuma sp diolah menjadi Semi Refined Carrageenan (SRC). Product SCR

ada yang langsung diekspor (dalam bentuk pure SCR atau blended), atau diolah

lebih lanjut menjadi Refined Carrageenan (RC) kemudian diekspor dalam bentuk

pure maupun produk blended dengan bahan lain (seperti conjac).

Produk blended biasanya dipesan oleh industri pangan tertentu baik industri

dari dalam negeri maupun luar negeri. Tiap industri pangan memerlukan blended

dengan campuran yang berbeda. Penggunaan blended RC pada industri pangan

adalah sebagai hydrocolloid. Sebagai contoh, industri pangan (warna transparan)

seperti jelly dan agar-agar menggunakan blended RC (RC berwarna putih),

sedangkan industri pangan yang tidak transparan (seperti sosis, bakso, nugget

dan susu) menggunakan blended SRC (SRC berwarna coklat). Diantara jenis

hydrocolloid yang ada (tara, gum, glutamid dan lain-lain), rumput laut merupakan

2011 2012 2013ATC 5 9 13SRC 6 6 7RC 0 1 5Formulasi 0 0 1Agar 6 8 11

0

2

4

6

8

10

12

14

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 19

hydrocolloid kualitas berbaik. Pasar dari produk olahan eucheuma cottoni seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Produk Olahan Rumput Laut E Cottoni Industri Dalam Negeri

Sumber: hasil survei

Lebih lanjut, sebagai hydrocolloid, keraginan berperan sebagai

stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental),

pembentuk gel, pengemulsi, koloid pelindung, penggumpal dan pencegah

kristalisasi. Sifat ini sangat bermanfaat dalam industri makanan, obat-

obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya. Pada industri

kue dan roti, kombinasi karaginan dengan garam natrium, karaginan

dengan lesitin akan dapat meningkatkan mutu adonan sehingga dihasilkan

kue dan roti bermutu tinggi. Bila dikombinasikan dengan garam kalium,

maka karaginan sangat efektif sebagai gel pengikat atau pelapis produk

daging. Dalam jumlah yang relatif kecil, karaginan juga dipergunakan

dalam produk makanan lainnya, misalnya macaroni, jam jelly, sari buah, bir

Rumput Laut Kering Euchema Sp

Pencucian dengan alkali

Alkali Treated Carageenan (ATC)

Semi Refined Carageenan (SRC)

Refined Carageenan (RC)

Blended RC

Industri Makanan

Dalam Negeri

E

K

S

P

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 20

dan lain-lain (Winarno, 1990). Selain sebagai pengemulsi dan penstabil,

karaginan pada industri di liar pangan juga berfungsi sebagai pembentuk

gel, pensuspensi, pengikat, protective (melindungi koloid), film former

(mengikat suatu bahan), syneresis inhibitor (menghalangi terjadinya

pelepasan air), dan Flocculating agent (pengkilat dan mengikat bahan-

bahan lain) (Anggadiredja, 1993). Produk olahan rumput laut E. cottoni dalam negeri didominasi oleh SRC.

Industri yang menghasilkan RC relatif sedikit, karena biaya investasinya relatif

besar. Produk olahan tersebut hanya 10% yang diserap oleh pasar domestik,

semntara 90% diekspor. Pasar tujuan utama ekspor adalah Filipina (untuk SRC),

Timur Tengah, Amerika Serikat, Jepang dan Eropa (untuk RC). RRT tidak

menjadi tujuan ekspor SCR/RC murni karena mengenakan PPN produk ekspor di

RRT sebesar antara 17% sampai 35% walaupun dengan bea masuk di RRT 0%.

Ekspor ke RRT hanya khusus produk blended RC dengan protein hewani/nabati.

Harga di pasar dunia relatif stabil, untuk SRC antara USD 8 sampai USD 12

tergantung kualitas. Pesaing utama Indonesia di pasar tujuan ekspor adalah

produk olahan dari RRT. Berikut adalah perbandingan antara harga produk RC

dan SRC antara Indonesia dan RRT.

Tabel 2.4. Harga Produk Industri Rumput Laut Indonesia dan RRT

Produk olahan Produk RRT (USD/kg)

Harga Produk Indonesia

Saat ini Minimum

Pure RC 12USD 21-22 USD 19 USD

Pure SRC 12 USD 8 USD

Agar-agar Jely strengh 700-900

19 USD 21-22 USD (20% lebih mahal dari RRT)

Sumber: hasil survei

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 21

Pedagang RRT tidak hanya menjadi pesaing dalam mendapatkan bahan

baku rumput laut, tetapi juga pesaing dalam penjualan produk olahan dipasar

dunia. Di pasar domestik harga jual RC produksi lokal (USD 14) lebih mahal 20%

dari RC impor dari RRT (Tabel 2.4), sehingga 80% dari kebutuhan RC industri

pangan lokal (seperti nestle) impor dari RRT. Industri pangan sisanya (20%)

yang tidak menggunakan RC (maupun SRC) impor dari RRT dengan alasan: (a)

RC impor dari RRT kualitasnya kurang bagus untuk produk RC blended; (b)

adanya kebijakan kuota impor SRC, menyebabkan produsen RC memilih untuk

menghasilkan SRC sendiri.

Murahnya harga produk olahan SRC dan RC dari RRT diungkapkan oleh

responden karena beberapa alasan.

1. Biaya tranport dan biaya produksi lebih murah. Biaya transpor bahan baku

rumput laut dari Makasar (pusat gudang pengumpul rumput laut) ke RRT lebih

murah (USD 500/container sekitar Rp 5,5 juta), dibandingkan dari Makasar ke

Surabaya (RP 15 jt/container). Kapal yang mengangkut rumput laut ke RRT

merupakan kapal kosong yang kembali ke RRT setelah mengangkut komoditi

ekspor dari RRT ke Indonesia. Sehingga transportasi rumput laut dari

Indonesia ke RRT tidak dikenai tarif komersial.

2. Biaya produksi lainnya di RRT lebih murah. Di Indonesia harga listrik 2 kali

lebih mahal dibandingkan di RRT, upah tenaga kerja di Indonesia 4 kali lebih

mahal, bahan kimia 4 kali lebih mahal (alkali, soda, kaporit, asam), dan biaya

pengolahan limbah di RRT hampir nol karena perusahaan tidak diwajibkan

mengolah limbah.

3. Industri pengolahan rumput laut RRT lebih efisien karena berproduksi pada

kapasitas maksimum dan sifatnya mass production.

4. Eksportir produk olahan rumput laut (SRC dan RC) dari RRT, memperoleh

refund tax (tax insentif) antara 13% sampai 17%. Insentif dari refund yang

cukup tinggi tersebut, mendorong eksportir untuk memaksimalkan ekspor,

yaitu melalui harga jual rendah.

Sementara itu, Glacilaria sp diolah menjadi tepung agar-agar untuk dijual

langsung (ekspor dan ke industri pengolahan dalam negeri), atau diolah lebih

lanjut menjadi blended agar-agar dengan bahan lain untuk memenuhi pesanan

industri pangan sebagai hydrocolloid (industi susu bubuk, mayonnaise, kecap,

ice cream, selai, sosis, bakso, nugget, jelly), baik yang ada di dalam negeri

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 22

maupun luar negeri. Alur industri pengolahan gracilaria sp, ditunjukkan pada

Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Produk Olahan Rumput Laut Glacilaria Sp Pada Industri Pengolahan Dalam Negeri

Sumber: hasil survei

2.3. Kebutuhan Bahan Baku Industri Pengolahan Rumput Laut dan Idle Capacity

Dari seluruh industri pengolahan rumput laut yang disurvei, sebanyak 60%

perusahaan responden mengolah E. cottonii menjadi produk semi refined

carrageenan (SRC), refined carrageenan (RC), atau blended RC hydroalkaloid

sedangkan 40% lainntya merupakan industri yang mengolah rumput laut jenis

glacilaria sp menjadi produk agar-agar atau blended agar-agar hydroalkaloid.

Kapasitas produksi industri pengolahan rumput laut berdasarkan hasil survei

ditampilkan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Kapasitas Produksi dan Gudang Industri Pengolahan Rumput

Laut

No.

Jenis bahan baku

Kapasitas Produksi Gudang rumput laut (Ton)

Terpasang (ton RL/th)

Terpakai (%)

Kapasitas

Ton

Stock saat ini

Ton Periode

Rumput laut kering

l il i

Tepung Agar-agar

Blended Tepung

Agar-agar

Pasar ekspor

dan Industri

makanan dalam

i

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 23

1 E. Cottonii 2500 95 1000 5 bulan

2 E. Cottonii 3600 100 1000 3 bulan

3 E.Cottonii 6000 (1000

ton)

40 1000 1 bulan

4 Glacilaria sp 5000 80 2000 300 2 bulan

5 Glacilaria sp Agar 60/mg,

30000RL/th

100 1000 600 1 bulan

Sumber: hasil survei

Ket.: RL = rumput laut

Data ASTRULI menyebutkan bahwa kapasitas produksi riil anggotanya rata-

rata 60%. Jika dikombinasikan antara data hasil survey (Table 2.5) dengan data

ASTRULI, maka diperoleh kapasitas produksi riil industri pengolahan rumput laut

masing-masing 74% untuk jenis E. cottonii dan 80% untuk glacilaria, atau

masing-masing memiliki idle capacity 26% dan 20%. Idle capacity industri

pengolahan diakibatkan oleh harga bahan baku rumput laut yang mahal dan

diikuti oleh kelangkaan barang. Idle capacity menyebabkan banyak kerugian

diantaranya seperti diuraikan yaitu:

a. Kerugian inefisiensi biaya pengolahan. Setiap pabrik harus mengeluarkan

biaya tetap untuk operasi pabrik yaitu depresiasi alat dan tenaga kerja tetap.

Modal investasi pabrik pengolahan minimal dengan kapasitas terpasang 1000

ton RC (atau 2-3 ton/hari) sekitar USD 4 juta (sekitar Rp 45 milyar) dengan

masa pakai (life time) 20 sampai 25 tahun. Beberapa alat (seperti tangki),

masa pakainya kurang dari 20 tahun, karena korosif oleh kandungan garam

rumput laut yang tinggi. Agar industri bisa survive, produksi RC minimal yang

dapat mencapai Break Even Point (BEP) adalah 700 ton/tahun Semakin

banyak yang diproduksi hingga mencapai kapasitas terpasang, maka biaya

tetap (biaya depresiasi serta biaya tenaga kerja tetap) semakin kecil untuk per

unit RC yang dihasilkan;

b. Kerugian hilang nilai tambah dari pengolahan rumput laut makin kecil;

c. Hilangnya kesempatan kerja pada industryi pengolahan.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 24

Bahan baku rumput laut semakin sulit didapatkan oleh industri pengolahan.

Dari hasil wawancara mendalam dengan pelaku usaha industri pengolahan

rumput laut pada saat survei diperoleh usulan terkait dengan rumput laut

Indonesia yaitu:

1. Pasar rumput laut Indonesia dinilai terlalu bebas berkompetisi dengan

eksportir. Pemerintah di Chile membatasi ekspor rumput laut hanya 20%

dari produksi.

2. Semua responden pengolahan rumput laut mendukung pengenaan bea

keluar (BK) ekspor rumput laut kering, meskipun beberapa industri

pengolahan tidak pernah kekurangan bahan baku dan berproduksi pada

optimum capacity (optimum capacity tidak selalu full capacity, karena selalu

ada mesin yang diservis). Sebagian responden berproduksi pada skala 40-

60% dari kapasitas terpasang, bahkan ada perusahaan yang tutup (PT

Seamatec), akibat kekurangan bahan baku rumput laut.

3. Adanya BK diharapkan harga bahan baku rumput laut kembali normal pada

kisaran setara harga beras (harga 1kg rumput laut kering = Rp 1kg beras) di

tingkat petani. Jika harga baku meningkat, maka harga produk SRC dan RS

di pasar dunia ikut meningkat. Dikhawatirkan jika harga RC dunia melebihi

batas psikologis (UDS 20/kg untuk RC atau USD 25/kg untuk agar-agar),

maka konsumen industri pengolahan pangan (jelly, sosis dll) akan

meninggalkan hydroalkaloid berbahan baku rumput laut, beralih pada bahan

substitusi yang lebih murah seperti kargan, gum (harga 10USD). Akibatnya

industri pengolahan akan bangkrut karena permintaan berkurang.

4. Dalam jangka pendek adanya BK akan meningkatkan harga ekspor,

selanjutnya menurunkan permintaan, dan terjadi over suplay dalam negeri

Namun, dalam jangka panjang akan mendorong pengembangkan industri

pengolahan dalam negeri (baik PMDM maupun PMA), sehingga harga akan

normal kembali. Nantinya ijin pendirian pabrik pengolahan baru perlu

disesuaikan dengan potensi bahan baku.

5. Pengenaan BK sebaiknya tidak disamaratakan untuk semua jenis rumput

laut.

- Alginat (sargassum sp): belum ada industri pengolahan Alginat

(sargassum sp)di dalam negeri, sehingga tetap harus bisa diekspor.

Pengenaan BK pada sargasum sp justru merugikan petani.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 25

- E Cottoni: kebutuhan industri pengolahan tinggi diikuti oleh ekspor yang

juga tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri, maka

e cottoni perlu BK yang relatif tinggi.

- Glaciarilla: ekspor relatif sedikit dibandingkan E cottonii sehingga BK

sebaiknya lebih rendah.

6. Besarnya BK bahan baku rumput laut yang diusulkan antara 7% sampai

15%. Nilai tersebut setara dengan perbedaan harga jual SRC dan RC dari

RTT yang lebih murah USD 2 (sekitar 15%-20% lebih murah) dibandingkan

harga jual produksi lokal. Sedangkan komponen biaya produksi SRC/RC,

bahan baku rumput laut berkontribusi 60% (sebelum listrik dan bahan kimia

naik, kontribusinya mencapai 65% sampai 75%)

7. Penetapan BK ekspor rumput laut dikhawatirkan berdampak pada

penurunan harga dan akan menekan harga rumput laut ditingkat petani.

Harga rumput laut basah di pantai saat ini Rp1400/kg. Pedagang perantara

mengambil margin antara 500-1000/kg. Kalau harga di pengumpul turun,

maka harga petani harus turun.

8. Jangka pendek penetapan BK tidak akan menurunkan permintaan rumput

laut oleh RRT. Investasi pabrik pengolahan yang telah ada di RRT harus

tetap beroperasi, sementara produksi rumput laut RRT dan kualitas makin

turun terutama RRT bagian utara makin dingin, basah dan polusi makin

tinggi. Sebaliknya, kebutuhan bahan baku industri pengolahan dalam negeri

bisa tercukupi sehingga berproduksi pada skala yang efisien untuk

berkompetisi dengan produk SRC/RC dari RRT akan sangat tepat.

9. Biaya BK rumput laut bisa dikompensasi dengan tax insentif yang diterima

pedagang RRT pada saat mengekspor produk olahannya. Eksportir SRC

dan RC dari RRT mendapat tax insentif (refund) antara 13-17%.

10. Penetapan BK rumput laut perlu memperhatikan harga negara pesaing. Chili

dulu mensuplai 80% kebutuhan rumput laut Jepang dan AS. Saat ini 30%

rumput laut RRT beli dari Tanzania.

Sementara dari hasil diskusi terbatas dengan Asosiasi Industri Rumput Laut

Indonesia diperoleh usulan terkait dengan pengembangan ekspor rumput laut

Indonesia yaitu:

1. Harus ada stimulus-stimulus perpajakan dari Pemerintah agar

merangsang industri rumput laut bersaing secara global contoh China

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 26

yang memberikan stimulus perpajakan berkenaan dengan impor

bahan baku.

2. Ekspor rumput laut mentah harus dibatasi tetapi tidak dihentikan.

Ekspor harus dilakukan setelah industri rumput laut nasional

menyerap kebutuhan produksinya dan kelebihannya baru diekspor,

maka ekspor sebaiknya hanya dapat dilakukan oleh pelaku industri

yang memang memiliki kelebihan bahan baku. Eksportir yang bukan

pelaku industri otomatis akan menjual rumput lautnya ke industri

dalam negeri.

3. Pemerintah harus membuat regulasi yang dapat merangsang

tumbuhnya iklim investasi oleh swasta pelaku bisnis rumput laut

(eksportir bahan baku).

4. Pemerintah menerapkan pengenaan bea keluar (BK) terhadap ekspor

bahan baku rumput laut. Namun, besaran tarif bea keluar sebaiknya

berbeda antara rumput laut budidaya dengan rumput laut alam. Selain

dari pada itu faktor daya serap industri dalam negeri terhadap jenis

rumput laut tertentu juga perlu dijadikan pertimbangan dalam

penetapan besarnya BK. Eucheuma cottonii : 20-25%

Eucheuma spinosum : 15-20%

Gracilaria : 30-40%

Gelidium capillacea “kades” : 50-60%

Gelidium indonesianum “bludru” : 80-100%

Sargassum : 20%

Ulva : 20%

Empat jenis “Rumput Laut Alam” (Gelidium capillacea “kades”, Gelidium

indonesianum “bludru”, Sargassum dan Ulva) perlu dilindungi demi

terjaganya lingkungan yang baik dan menjaga supaya tidak punah dari bumi

Indonesia. Khusus untuk jenis Gelidium “kades” dan “bludru”, disarankan

agar dilarang ekspor (dilindungi) atau setidaknya dikenakan BK yang jauh

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 27

lebih tinggi, agar tidak diambil secara sembarangan oleh pembeli dari luar

negeri yang sudah turun langsung ke lapangan. Kedua jenis Gelidium

tersebut sudah semakin berkurang dan sudah di indikasikan mulai ada

kerusakan lingkungan akibat pengambilan yang tidak teratur.

5. Pemerintah membuat tata niaga rumput laut yang menguntungkan

dan tidak saling merugikan bagi semua pelaku bisnis rumput laut di

Indonesia mulai dari petani, pedagang, eksportir dan industri.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 28

BAB III

METODOLOGI KAJIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam kajian terdiri dari data sekunder dan data

primer, baik dalam bentuk data kualitatif maupun data kuantitatif. Data

primer untuk menjawab tujuan pertama kajian yaitu Menganalisis idle

capacity industry pengolahan rumput laut dalam negeri akibat kurangnya

bahan baku. Data sekunder digunakan untuk menjawab tujuan kedua dan

ketiga kajian yaitu mengetahui perkembangan ekspor serta daya saing

rumput laut dan produk olahannya dan menyusun model permintaan

ekspor bahan baku rumput laut di negara tujuan utama. Sedangkan untuk

menetapkan nilai bea keluar (BK) optimum rumput laut yang merupakan

tujuan keempat digunakan kombinasi data primer dan sekunder. Data

primer yang diperlukan berupa kondisi internal dalam negeri yang terkait

dengan kapasitas terpasang industri pengolahan rumput laut, serta produk

olahan yang dihasilkan.

Data primer diperoleh dari survei lapang, wawancara dan FGD.

Survei lapang di Jawa Timur dan wawancara dengan para pelaku usaha

industri pengolahan rumput laut (sekaligus eksportir tepung agar-agar dan

karaginan) dilakukan pada bulan Agustus 2014. Focus Group Discussion

dilakukan pada bulan September 2014 dengan mengundang pengurus

dan anggota ASTRULI (Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia) dan

Kementerian birokrat dan akademisi. Data sekunder diperoleh dari BPS,

Word Bank, UN Comtrade, WITS, CEPii, serta sumber lain yang relevan.

3.2. Metode Analisis Analisis yang digunakan pada kajian ini adalah analisis deskriptif,

analisis daya saing dan analisis permintaan impor rumput laut

menggunakan gravity model.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 29

3.2.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif ditujukan untuk menjawab tujuan a (idle capacity)

dan tujuan b (perkembangan ekspor). Analisis deskriptif memaparkan

hasil temuan berupa data dan informasi produksi, ekspor dan industri

pengolahan rumput laut baik data kualitatif maupun data kuantitatif.

3.2.2. Analisis Daya Saing Perkembangan daya saing rumput laut dan produk olahannya di

negara tujuan (tujuan b), dianalisis menggunakan metode CMSA

(constant market share analysis). Metode CMSA menggunakan asumsi

bahwa pangsa pasar (market share) negara eksporir di pasar dunia, antar

waktu adalah konstan. Perbedaan pertumbuhan ekspor (perbedaan

antara pangsa pasar ekspor konstan dan pangsa pasar ekspor actual),

disebabkan oleh efek daya saing serta pertumbuhan aktual yang

bersumber dari efek komposisi produk yang diekspor, efek distribusi pasar

dan efek daya saing. Perubahan pangsa pasar ekspor merupakan salah

satu indikator daya saing yang dapat digunakan untuk mengukur

perubahan daya saing ekspor suatu negara di pasar dunia. Metode Analisis CMSA seperti yang dikembangkan oleh Learner dan Stern,

menggunakan tahapan berikut:

Vi = Nilai ekspor produk olahan rumput laut di periode 1

Vi’ = Nilai ekspor produk olahan rumput laut di periode 2

V.j = Nilai ekspor produk olahan rumput laut ke negara j di periode 1

V’.j = Nilai ekspor produk olahan rumput laut ke negara j di periode 2

Vij = Nilai ekspor produk olahan rumput laut ke negara j di periode 1

r = Persentase peningkatan total ekspor dari periode 1 ke periode 2

ri = Persentase peningkatan ekspor produk rumput laut olahan dari periode

1 ke periode 2

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 30

rij = Persentase peningkatan ekspor produk olahan rumput laut ke negara j

dari periode 1 ke periode 2

Nilai ekspor produk olahan rumput laut di periode 1, yaitu :

∑∑ ==i

jijij

ij VVVV .. (3.1)

Ekspor produk olahan rumput laut di periode 1 dengan persamaan :

... VvVVj

ji j i

iij === ∑∑∑ ∑ (3.2)

Pada tahap pertama analisis, ekspor dianggap sebagai barang tunggal untuk

pasar tunggal, yang menunjukkan bahwa jika negara A mempertahankan pangsa

ekspor di pasar dunia, maka ekspor akan meningkat sebesar rV.., sehingga,

persamaannya menjadi:

..)..'..(....'.. rVVVrVVV −−+=− (3.3)

Persamaan 3.3, menunjukan bahwa pertumbuhan ekspor dari periode 1 ke

periode 2 (V’..-V..) terdiri dari peningkatan secara umum ekspor dunia (rV..) dan

efek daya saing (V’..-V..-rV..).

Tahap kedua, ekspor diasumsikan terdiri dari bermacam-macam komoditi

dan pasar, dan diklasifikasikan berdasarkan komoditi. Untuk komoditi i, analogi

persamaan dari persamaan 3.3 adalah:

.)'(' .. iiiiiiii VrVVVrVV −−+=− (3.4)

apabila digabungkan secara keseluruhan, maka didapat:

..'.. VV − )'( ... iiij

ii

ii VrVVVr −−+= ∑∑

.)'()( .. iiii

ii

ii VrVVVrrr −−++−= ∑∑

= ..)'()()( .. iiii

iii

ii

i VrVVVrrrV −−+−+ ∑∑∑ (3.5)

(1) (2) (3)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 31

Persamaan 3.5 menunjukkan 2 tahapan analisis, dimana pertumbuhan

ekspor di negara A dibagi ke dalam komponen (1) pertumbuhan ekspor dunia, (2)

efek komposisi komoditas di negara A pada periode 1 dan (3) efek daya saing

yang mengindikasikan perbedaan antara peningkatan ekspor secara umum dan

peningkatan ekspor produk tertentu jika negara A mempertahankan pangsa

ekspornya untuk komoditi produk olahan rumput laut yang dianalisis

Dari persamaan 3.5, efek daya saing dirumuskan sebagai :

ii

i Vrr )( −∑ . (3.6)

Persamaan 3.6 menunjukkan bahwa jika ekspor produk olahan rumput

laut meningkat lebih besar dari peningkatan total ekspor, maka (ri-r) akan bernilai

positif. Persamaan 3.5 akan bernilai positif, jika negara A mengkonsentrasikan

ekspor komoditinya pada pasar yang mempunyai pertumbuhan relatif cepat dan

akan bernilai negatif jika negara A mengkonsentrasikan ekspor terhadap

komoditinya yang mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih lambat daripada

nilai pertumbuhan ekspor didunia.

Dari ketiga tahap analisis, ekspor diklasifikasikan berdasarkan negara

tujuan, menggunakan persamaan 3.3 dan 3.4 yaitu:

)'(' ijijijijijijijij VrVVVrVV −−+=− (3.7)

Jika semua persamaan digabungkan secara keseluruhan, maka menjadi :

..'.. VV − = )'( ijijiji j

ijiji j

ij VrVVVr −−+∑∑∑∑

= )'()( ijijiji j

ijijijii j

i VrVVVrrrrr −−++−+− ∑∑∑∑

)'()( ijijiji j

ijijijijiijiiji j

ij VrVVVrVrVrrVrV −−++−+−= ∑∑∑∑

= )'()()( ijiji j

ijijijii j

ijiji j

ii j

ij VrVVVrrVrrrV −−+−+−+ ∑∑∑∑∑∑∑∑

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 32

= )'()(.)(. ijijiji j

ijijii j

ijii

ii

i VrVVVrrVrrrV −−+−+−+ ∑∑∑∑∑∑

= (rV..)+ ijijiji j

ijijii j

ijii

i VrVVVrrVrr −−+−+− ∑∑∑∑∑ '()(.)( (3.8)

(1) (2) (3) (4)

Persamaan 3.8 menunjukan 3 tingkatan analisis dimana pertumbuhan

ekspor di negara A dibagi kedalam komponen: (1) pertumbuhan ekspor dunia, (2)

efek komposisi komoditas, (3) efek distribusi pasar dan (4) efek daya saing.

3.2.3. Analisis Permintaan Ekspor Analisis ini ditujukan untuk menjawab tujuan c (model permintaan

ekspor) serta tujuan d (simulasi model permintaan). Model permintaan

ekspor rumput laut merujuk pada teori mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi permintaan ekspor, diantaranya adalah harga barang,

pendapatan, nilai tukar dan biaya transport (Ito dan Umemoto, 2004;

Astiyah dan Setyawan, 2005; Panjaitan, 2011). Nilai tukar riil digunakan

sebagai proksi daya saing produk ekspor dengan mitra dagang.

Permintaan ekspor rumput laut dipengaruhi oleh harga serta faktor lain

yang relevan. Faktor lain yang relevan juga dimasukan dalam model.

Ekspor rumput laut merupakan perdagangan antar negara, sehingga GDP

negara tujuan, nilai tukar dan jarak ke negara tujuan ekspor diduga ikut

mempengaruhi permintaan, seperti yang telah dibuktikan oleh hasil

penelitian sebelumnya seperti Wirawan (2007) dan Rajagukguk (2009)

yang meneliti ekspor rumput laut ke Jepang; Risman (2007) yang

mengkaji ekspor rumput laut ke Hongkong dan Sitinjak (2012) yang

meneliti ekspor rumput laut ke lima negera tujuan utama.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 33

GDP (Gross Domestic Product) menggambarkan kemampuan

masyarakat suatu negara untuk membeli barang-barang impor. Besarnya

permintaan ekspor tergantung dari tingkat pendapatan negara. Wirawan

(2007) dan Rajagukguk (2009) dalam kajiannya tentang ekspor rumput

laut ke Jepang, serta Sitinjak (2012) membuktikan bahwa GDP

berpengaruh positif terhadap permintaan rumput laut. Semakin tinggi

tingkat GDP suatu negara maka permintaan akan impor rumput laut akan

semakin meningkat. Lebih lanjut, perdagangan antar negera (ekspor dan

impor) melibatkan mata uang yang berbeda. Menurut Mankiw (2003) nilai

tukar berpengaruh pada perdagangan antar negara. Beberapa penelitian

seperti Risman (2007), Rajagukguk (2009), Sitinjak (2012) dan Sulastry

(2011) mengungkapkan bahwa nilai tukar berpengaruh signifikan terhadap

ekspor rumput laut. Oleh karena itu faktor nilai tukar juga dimasukkan

dalam model penduga permintaan ekspor rumput laut.

Faktor jarak antar negara merefleksikan biaya transportasi yang

dibutuhkan dalam perdagangan antar negara. Makin jauh jarak antar

negara maka biaya transportasi akan semakin besar sehingga

meningkatkan harga CIF (Cost Insurance Freight) di Negara tujuan. Dalam

teori gravitasi, daya tarik antar dua benda berbanding terbalik dengan

jarak. Semakin dekat jarak kedua benda, maka daya tariknya semakin

kuat. Teori gravitasi tersebut diadopsi untuk menjelaskan intensitas

permintaan ekspor. Makin dekat jarak ke negara tujuan ekspor maka biaya

CIF makin kecil, sehingga semakin tinggi permintaan ekspor. Namun

faktor jarak perlu dibobot dengan menggunakan GDP, menjadi jarak

ekonomi (eco-distance) untuk mengakomodasi faktor daya daya beli

masyarakat yang juga mempengaruhi permintaan ekspor.

Berdasarkan teori dan mengacu pada penelitian-penelitian

sebeumnya maka model permintaan ekspor rumput laut adalah sebagai

berikut:

ln Xit = αo + α1 ln Pit + α2 ln GDPit + α3 ln ERit + α4 ln ECODjt + uj (3.9) dimana:

ijX = volume ekspor rumput laut ke negara j (kg)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 34

Pi = Harga ekspor rumput laut (Ribu US $/Kg)

jGDP = Tingkat perekonomian antar negara (PPP, US$)

jER = Nilai tukar mata uang negara mitra dagang (Mata Uang

Nasional/US$)

ijECOD = Jarak ekonomi antara kedua negara

iju = error term

Adapun rumus untuk jarak ekonomi adalah

ijECOD = ( )∑ kawasanj

ij

GDPGDPDIS

(3.10)

dimana:

ijDIS = Jarak ibu kota negara i dengan ibu kota negara j (km)

∑ kawasanGDP = Jumlah GDP kawasan pasar

Estimasi model permintaan menggunakan panel data karena dapat

memberikan informasi yang lebih akurat mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi permintaan. Terdapat dua pendekatan dalam metode data panel,

yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya

dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error

dengan peubah bebas. Misalkan:

it i it ity Xα β ε= + + (3.11)

Pada one way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:

it i ituε λ= + (3.12)

Untuk two way, komponen error dispesifikasi dalam bentuk:

it i i ituε λ µ= + + (3.13)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 35

Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen

error yang merupakan efek dari individu (λi). Pada two way telah memasukkan

efek dari waktu (μt) ke dalam komponen error. uit diasumsikan tidak berkorelasi

dangan Xit. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau

tidaknya korelasi antara λi dan μt dengan Xit.

FEM muncul ketika antara efek individu dan periode memiliki korelasi

dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat

komponen error dari efek individu dan waktu menjadi bagian dari intersep, yaitu:

Untuk one way komponen error: yit = αi + λi + Xit β + uit

Untuk two way error component: yit = αi + λi + μi + Xit β + uit

Penduga pada FEM dihitung dengan empat teknik sebagai berikut Pooled

Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variable (LSDV),

Two Way Error Components Fixed Effect Model.

REM muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi

dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen

error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error, dimana:

Untuk one way error component: yit = αi + Xit β + uit+ λi

Untuk two way error component: yit = αi + Xit β + uit+ λi + μi

Terdapat dua jenis pendekatan dalam REM, yaitu: Pendekatan Between

Estimator, dan Generalized Least Square (GLS).

Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu

dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik.

FIXED EFFECT

RANDOM

EFFECT

POOLED

LEAST

Hausman

LM Test

Chow Test

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 36

Gambar 3.1. Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel

Selanjutnya untuk menghasilkan model yang efisien, tidak bias, dan

konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran atau

gangguan asumsi dasar model ekonometrika, yang antara lain berupa gangguan

antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu atau dalam

kasus ini pasangan negara (cross sectional disturbance), dan gangguan akibat

keduanya. Pengevaluasian yang dilakukan menyangkut uji Multikolinearitas,

Autokorelasi, dan Heteroskedastisitas.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 37

Tabel 3.1. Metode Analisis, Data dan Sumber Data

No Tujuan kajian Metode analisis Data Sumber Output

1. Menganalisis idle capacity industry

pengolahan rumput laut dalam negeri

Deskriptif Data primer FGD, Survey

dan wawancara

Tambahan baku

rumput laut yang

dibutuhkan industri

2. Menganalisis perkembangan ekspor

serta daya saing rumput laut dan

produk olahannya di negara tujuan

Deskriptif

CMSA

Data sekunder BPS,

UNCOMTRADE

Produk-produk olahan

rumput laut yang

potensial di ekspor

3. Menyusun model permintaan ekspor

bahan baku rumput laut di negara

tujuan utama

Model permintaan

ekspor dengn

pendekatan gravity

Data sekunder UNComtrade

World Bank

Cepii

WITS

Elastisitas permintaan

rumput laut terhadap

harga ekspor

4. Menetapkan nilai bea keluar optimum Simulasi model

dengan shock harga

untuk mengurangi

ekspor

Data sekunder

dan primer

FGD, Survey

UNComtrade

BK rumput laut

optimum

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan Ekspor Bahan Baku Rumput Laut ke Negara Tujuan Utama

Indonesia merupakan eksportir rumput laut terbesar dunia. Pada tahun 2010,

rumput laut Indonesia menguasai 22,3% pasar dunia, dan tahun 2013 pangsanya

meningkat menjadi 23,5% (Gambar 4.1). Peningkatan pangsa pasar menunjukkan

bahwa semakin banyak bahan baku rumput laut yang diekspor, sehingga

mengurangi persediaan bahan baku untuk kebutuhan industri pengolahan dalam

negeri.

Gambar 4.1. Pangsa Pasar Negara Eksportir Rumput Laut Dunia

Sumber: WITS (2014), diolah

Untuk keperluan analisis, tim kajian membagi produk rumput laut ke dalam dua

kelompok produk, yaitu kelompok rumput laut yang masuk ke dalam kategori raw

material dengan kode HS: 1212201100; 121220900; 1212202000 dan 1212209000

dan produk rumput laut olahan dengan kode HS 1302310000 dan 1302391000.

Pengelompokan ini dibuat untuk memudahkan dalam menganalisis perkembangan

kinerja ekspor rumput laut (Tabel 4.1).

Indonesia22,3%

Chile11,7%

Korea Selatan15,9%

China23,3%

Peru2,4%

Lainnya24,3%

2010

Indonesia23,5%

Chile21%

Korea Selatan20%

China10%

Peru5%

Lainnya21%

2013

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 39

Tabel 4.1. Kode Tarif dan Uraian Barang Rumput Laut dan Olahannya

Sumber: Kementerian Keuangan, 2007

Jika dilihat dari nilainya, ekspor rumput laut Indonesia didominasi oleh ekspor

bahan baku rumput laut. Ekspor rumput laut dalam bentuk raw material selama

tahun 2013 mencapai USD 162,5 juta dengan pangsa 77,5% dari total ekspor

rumput laut Indonesia. Sementara itu, ekspor rumput laut olahan pada periode yang

sama hanya mencapai USD 47,1 juta dengan pangsa 22,5% dari total ekspor

rumput laut. Pada periode Januari-Juli 2014 ekspor rumput laut Indonesia mencapai

USD 119,2 juta, naik 44,9% YoY, sementara ekspor rumput laut olahan yang terdiri

dari agar-agar dan karaginan masing-masing mencapai USD 8.5 juta (naik 16,2%

YoY) dan USD 21,7 juta (naik 11,4% YoY). Ekspor bahan baku rumput laut

Indonesia selama periode 2009-2013 berfluktuasi antara USD 87,8 juta hingga USD

162,5 juta per tahun, meskipun secara keseluruhan tumbuh rata-rata 12,95% per

tahun. Pada tahun 2012 ekspor rumput laut mengalami penurunan sebesar 14,87%

dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Nilai Ekspor Rumput Laut dan Olahannya Tahun 2009-2014

KELOMPOK PRODUK HS URAIAN

1212201100Rumput laut & alga lainnya, segar, dingin/kering dari jenis yang digunakan utk farmasi

1212201900Rumput laut & alga lainnya, segar, dingin/kering, digunakan utk pencelupan, penyamakan, wewangian

1212202000Rumput laut & alga lainnya, segar, dingin/kering, tidak untuk konsumsi manusia

1212209000Rumput laut & alga lainnya, segar, dingin/kering, terutama untuk konsumsi manusia

1302310000 Agar-agar1302391000 Karaginan

Rumput Laut (Raw Material)

Olahan Rumput Laut

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 40

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014), diolah

Penurunan nilai ekspor rumput laut yang terjadi pada tahun 2012, disebabkan

oleh penurunan harga rumput laut. Meskipun volume ekspor meningkat, namun

harga mengalami penurunan sebesar 14,9% sehingga nilai ekspor mengalami

penurunan. Informasi yang diperoleh dari responden, harga rumput laut tahun 2012

mengalami penurunan hingga dibawah Rp 10.000,-/kg. Kemudian tahun 2013

sampai saat ini harga terus mengalami peningkatan. Hal tersebut terlihat dari

perkembangan unit nilai ekspor rumput laut selama 2009-2013 (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Unit Nilai Ekspor Rumput Laut 2009-2013

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014), diolah

Lebih lanjut, sepuluh negara tujuan utama ekspor bahan baku rumput laut

Indonesia adalah RRT, Filipina, Chili, Korea Selatan, Amerika Serikat, Hongkong,

Vietnam, Perancis, Denmark, Inggris dan Denmark. Nilai ekspor rumput laut ke 10

negara tujuan tersebut mencapai 96,5% dari total ekspor rumput laut Indonesia,

dimana 72,8% diantaranya ditujukan ke RRT (Tabel 4.3). Seperti dijelaskan pada

Bab 2, bahwa pelaku industri pengolahan rumput laut Indonesia berkompetisi

dengan pedagang eksportir ke China dalam mendapatkan bahan baku rumput laut.

Ekspor rumput laut dalam bentuk raw material ke RRT terus mengalami peningkatan

2013 2014 14/13 09-13 2013Total 104.8 155.4 182.3 177.9 209.5 109.0 149.4 37.01 16.44 100.0

Rumput laut 87.8 135.9 157.6 134.2 162.5 82.2 119.2 44.94 12.95 77.5 Agar-agar 10.3 10.7 12.6 12.9 13.1 7.3 8.5 16.19 6.84 6.2 Karaginan 6.7 8.7 12.1 30.9 34.0 19.5 21.7 11.39 57.13 16.2

URAIANNILAI : JUTA US$

Perub (%) Trend (%) Pangsa (%)2009 2010 2011 2012 2013

JAN-JUL

0.93

1.10

0.99

0.80

0.92

2009

2010

2011

2012

2013

USD/Kg

54.9

15.9

(14.9)

21.1

Pertumbuhan (%)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 41

seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3. Selama periode 2009-2013, ekspor rumput laut

ke China meningkat rata-rata 29,43% per tahun. Dari sepuluh negara tujuan ekspor

bahan baku, ada beberapa pasar tujuan ekspor yang peningkatan ekspornya tahun

2014 sangat besar dibandingkan tahun sebelumnya yaitu Korea Selatan (291,95%),

Amerika Serikat (245,86%), Vietnam (132,65%) dan Chile (55,56%).

Tabel 4.3. Nilai Ekspor Rumput Laut ke Negara Tujuan Ekspor Utama, Tahun

2009-2014

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014), diolah

Beberapa Negara importer rumput laut dari Indonesia, seperti Filipina dan Chile

juga merupakan produsen rumput laut dunia. Namun faktor alam seringkali

menyebabkan produksi rumput laut di negara-negara tersebut mengalami

kegagalan, sehingga harus mengimpor dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan

bahan baku industri pengolahan di negara tersebut. Badai Taifun di Filipina, atau El

Nino di Chili, merupakan contoh kasus gangguan alam yang menyebabkan gagal

panen rumput laut. Fenomena gagal panen ini juga yang menjadikan harga rumput

laut sering mengalami peningkatan tajam.

4.2. Perkembangan Ekspor Produk Olahan Rumput Laut ke Negara Tujuan Utama Indonesia menduduki peringkat ke-7 negara eksportir produk olahan rumput laut

dunia, sementara China menduduki urutan pertama sebagai eksportir produk olahan

rumput laut terbesar di dunia (Gambar 4.3). Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3,

China merupakan negara tujuan ekspor utama rumput laut (raw material) dari

Indonesia, dan Indonesia merupakan eksportir rumput laut raw material terbesar

2013 2014 14/13 09-13TOTAL 87.8 135.9 157.6 134.2 162.5 82.2 119.2 44.94 12.95

RRT 39.0 70.3 86.4 90.4 125.0 61.8 86.7 40.34 29.43Pilipina 7.7 16.7 12.3 12.3 10.9 6.1 7.3 19.51 3.79Chili 2.7 6.1 5.4 5.8 7.6 4.2 6.5 55.56 22.26Korea Selatan 5.6 4.0 9.3 5.6 4.0 1.2 4.6 291.95 -3.49Amerika Serikat 3.0 4.5 4.6 2.5 1.6 0.8 2.7 245.86 -17.34Hongkong 0.8 2.0 2.8 2.2 2.8 1.9 2.1 10.03 28.81Vietnam 7.1 10.5 12.3 5.0 1.2 0.7 1.7 132.65 -34.56Perancis 3.0 2.6 3.3 1.0 2.3 1.1 1.7 48.11 -13.50Inggris 5.6 4.3 2.7 2.1 1.0 0.7 1.0 46.87 -33.90Denmark 0.4 1.4 0.4 0.7 1.6 1.0 0.7 -23.26 21.32

Lainnya 12.6 13.6 18.2 6.5 4.5 2.8 4.1 49.04 -24.49

RUMPUT LAUT

2012 2013JAN-JUL

2009 2010 2011

NILAI : JUTA US$Perub (%) Trend (%)

NEGARA TUJUANURAIAN

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 42

dunia (Gambar 4.1). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa nilai tambah

pengolahan rumput laut di Indonesia masih relatif kecil, kekayaan alam Indonesia

yang dapat menghasilkan rumput laut dengan kualitas yang baik dan jumlah yang

banyak sebagian besar justru dinikmati oleh negara lain. Indonesia mengimpor

sebanyak 170 ribu ton carrageenan dari China dan impor agar-agar masing-masing

sebesar 186,2 ribu ton dan 139,8 ribu ton agar-agar pada tahun 2013 dari Malaysia

dan China. Indonesia yang merupakan salah satu produsen rumput laut dunia,

justru harus mengimpor rumput laut dalam bentuk olahan untuk memenuhi

kebutuhan domestik. Oleh karena itu, Indonesia seharusnya melihat peluang untuk

mengembangkan industri pengolahan rumput laut nasional sehingga nilai tambah

dapat dinikmati di dalam negeri.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 43

2010 2013

Gambar 4.3. Negara Eksportir produk olahan rumput laut dunia

Produk olahan rumput laut utama yang diekspor Indonesia adalah tepung agar-

agar (HS 130231) dari bahan baku rumput laut Glacilaria sp., dan tepung

carrageenan (HS 130239) dari bahan baku rumput laut E. Cottonii. Produk olahan

tersebut diekspor dalam bentuk murni maupun produk blended/formulasi untuk

kebutuhan industri tertentu. Pada Gambar 4.4 ditunjukkan bahwa dalam lima tahun

terakhir (2009-2013), ekspor tepung agar-agar selalu meningkat dengan

peningkatan rata-rata 6,8% per tahun. Pada tahun 2013, ekspor tepung agar

Indonesia mencapai USD 13,1 juta, naik 1,7% YoY. Sementara itu, selama Januari-

Juli 2014, ekspor tepung agar mencapai USD 8,5 juta, naik 16,2% YoY.

Gambar 4.4. Perkembangan ekspor tepung agar-agar (HS 130231)

29.2%; China

10.5%; Chile

7.7%; Spain

8.5%; France

8.6%; US

7.6%; Germany

2.3%; Indonesia

3.7%; Korea

4.9%; Belgium

3.0%; UK13.8%; Others 36.7%;

China

9.9%; Chile

8.0%; Spain

7.5%; France

7.4%;US

7.0%; Germany

4.1%; Indonesia

3.6%; Korea

3.4%; Belgium

2.7%; UK 9.7%; Others

10.3 10.7

12.6 12.9 13.1

7.3 8.5

1.8 1.7 1.9 1.3 1.1 0.6 0.6

5.76.2

6.7

10.0 12.4

12.2

15.3

-

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

-

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

2009 2010 2011 2012 2013 Jan-Jul 2013 Jan-Jul 2014

Ribu TonUSD JutaNilai Volume Unit Value (USD/Kg)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 44

Tabel 4.4 menunjukkan negara tujuan utama ekspor utama tepung agar

Indonesia. Italia, Amerika Serikat dan Jepang merupakan negara tujuan ekspor

utama ekspor tepung agar-agar Indonesia. Salah satu penyebab tingginya ekspor

tepung agar-agar ke Italia, adalah banyaknya investasi asing terutama dari Italia

yang mendirikan pabrik-pabrik untuk industri pengolahan rumput laut menjadi tepung

agar di Indonesia.

Tabel 4.4. Negara Tujuan Ekspor Tepung Tepung Agar-Agar (HS 130231)

Periode 2013-2014 (Jan-Jul)

Sumber : BPS (diolah)

Nilai ekspor carrageenan hampir tiga kali lebih besar dibandingkan dengan

ekspor agar-agar (Gambar 4.5). Ekspor carrageenan selama 5 tahun terakhir (2009-

2013) menunjukkan peningkatan yang cepat yaitu sebesar 57,1% per tahun, relatif

lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan eskpor tepung agar.

Peningkatan nilai ekspor signifikan terjadi pada tahun 2012 yang dipicu oleh

peningkatan volume ekspor yang cukup signifikan sebesar 266,7% YoY. Selama

2013, ekspor carrageenan mencapai USD 34,0 juta, naik 10,0% YoY, sementara

nilai ekspornya pada periode Januari-Juli 2014 mencapai USD 21,7 juta, naik 11,4%

YoY.

2013 2014 14/13 09-13 2013 2014 14/13 09-13

Total 13.1 7.3 8.5 16.2 6.8 1.1 0.6 0.6 (7.0) (12.6) 1 Italia 4.7 2.2 2.7 22.8 63.1 0.2 0.1 0.1 6.0 37.3 2 Jepang 2.2 1.6 1.8 16.7 7.3 0.1 0.1 0.1 (16.8) 6.0 3 USA 2.4 1.5 1.4 (6.2) 10.3 0.1 0.1 0.1 (29.2) (6.3) 4 Spanyol 0.5 0.3 0.7 188.9 30.6 0.0 0.0 0.0 119.6 10.0 5 Belgium 0.3 0.3 0.7 166.0 - 0.0 0.0 0.0 100.1 - 6 Malaysia 0.4 0.2 0.3 23.9 11.9 0.1 0.0 0.0 75.4 (3.6) 7 Russia Federation 0.6 0.3 0.2 (38.6) - 0.0 0.0 0.0 (45.5) - 8 UK - - 0.1 - - - - 0.0 - - 9 Singapura 0.2 0.1 0.1 (3.8) 0.8 0.1 0.1 0.1 (19.3) (11.4) 10 Jerman 0.3 0.1 0.1 (18.2) (18.8) 0.0 0.0 0.0 (43.0) (32.7)

Lainnya 1.4 0.7 0.3 (58.4) (21.1) 0.2 0.1 0.1 (25.8) (27.2)

Perub (%) Trend (%)2013

JAN-JULNo. NEGARA TUJUANNILAI (USD Juta)

Perub (%) Trend (%)BERAT (Ribu Ton)

2013JAN-JUL

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 45

Gambar 4.5. Perkembangan ekspor tepung carageenan (HS 130239)

Negara tujuan utama ekspor carrageenan adalah negara-negara di kawasan

Eropa seperti Jerman, Denmark dan Inggris dengan pangsa masing-masing sebesar

26,4%; 18,1% dan 9,9%. Negara-negara yang merupakan pasar tradisional ekspor

Indonesia seperti Amerika Serikat dan Jepang juga menjadi negara tujuan ekspor

utama carrageenan Indonesia dengan pangsa masing-masing sebesar 12,9% dan

7,5% (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Negara Tujuan Ekspor Tepung Carrageenan (HS 130239) Periode

2013-2014 (Jan-Jul)

Sumber : BPS (diolah) Banyaknya ekspor produk carrageenan Indonesia ke negara-negara maju

kawasan Eropa menunjukkan bahwa kualitas produk Indonesia memiliki kualitas

6.7 8.7

12.1

30.9 34.0

19.5 21.7

0.8 0.9 1.2

4.4 4.8

2.8 2.7

8.7

9.310.0

7.0

7.1

6.98.2

-

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

-

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

2009 2010 2011 2012 2013 Jan-Jul 2013 Jan-Jul 2014

Ribu TonUSD JutaNilai Volume Unit Value (USD/Kg)

2013 2014 14/13 09-13 2013 2014 14/13 09-13Total 34.0 19.5 21.7 11.4 57.1 4.8 2.8 2.7 (5.5) 68.3

1 GERMANY 9.0 5.5 6.8 22.6 - 1.5 0.9 0.9 (1.8) - 2 UNITED STATES 4.4 2.3 3.4 44.8 119.7 0.7 0.4 0.4 12.8 130.8 3 DENMARK 6.2 3.7 3.1 (15.7) 15.7 0.7 0.4 0.3 (27.1) 10.2 4 UNITED KINGDOM 3.4 1.2 1.8 46.8 - 0.5 0.2 0.3 23.3 - 5 JAPAN 2.6 1.4 1.8 23.1 18.9 0.2 0.1 0.1 24.9 19.8 6 FRANCE 3.0 2.1 1.4 (31.9) - 0.5 0.3 0.2 (43.9) - 7 BRAZIL 1.5 0.8 1.0 19.2 103.1 0.2 0.1 0.1 (8.9) 112.6 8 RUSSIAN 0.9 0.4 0.5 29.1 66.8 0.1 0.1 0.1 1.5 71.0 9 ITALY 0.7 0.3 0.4 24.4 47.5 0.1 0.0 0.0 5.5 40.4

10 THAILAND 0.2 0.1 0.3 125.4 - 0.0 0.0 0.0 95.0 - Lainnya 2.3 1.5 1.3 (14.1) - 0.3 0.2 0.2 (9.6) -

Perub (%) Trend (%)2013

JAN-JULNo NEGARA TUJUANNILAI (USD Juta) Perub (%) Trend (%) BERAT (Ribu Ton)

2013JAN-JUL

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 46

yang baik. Kualitas produk carrageenan Indonesia yang baik juga diakui oleh industri

pengolahan dalam negeri yang melakukan blended (formulasi). Responden dari

beberapa perusahaan pengolahan carrageenan yang melakukan blended, pernah

menguji kualitas carrageenan dalam negeri dengan membandingkannya dengan

produk impor dan hasilnya produk dalam negeri lebih baik jika dibandingkan dengan

produk impor sebagai contoh produk impor dari China. Namun demikian dari sisi

harga, produk carrageenan dalam negeri masih belum mampu bersaing dari harga

produk impor yang harganya jauh lebih murah.

4.3. Perkembangan Daya Saing Produk Olahan Rumput Laut Di Negara Tujuan Perkembangan daya saing ekspor produk olahan di Negara tujuan, diukur dengan

metode Constant Market Share Analysis (CMSA). Disamping daya saing, dari perhitungan

dengan metode CMSA, juga diperoleh informasi mengenai kontribusi komposisi komoditi

ekspor dan pertumbuhan ekspor. Dari sisi permintaan dihitung efek pangsa makro

(pertumbuhan impor) dan pangsa mikro (efek komposisi komoditi), sedangkan dari sisi

suplai ditunjukkan efek daya saing.

Produk olahan rumput laut yang dianalisis adalah produk olahan utama yang diekspor

yaitu tepung agar-agar (HS 130231) dan carrageenan (HS 130239). Sedangkan negara

tujuan ekspor yang dipilih adalah negara-negara yang mewakili 5 negara terbesar tujuan

ekspor Indonesia, dan 5 negara terbesar importir utama dunia masing-masing untuk

komoditi tepung agar-agar dan tepung carrageenan (Table 4.6). Namun demikian, untuk

negara Italia tidak dapat dihitung dan dianaliis daya saingnya karena tidak tersedia data

impor Italia dari dunia, meskipun Italia masuk dalam 5 besar negara tujuan ekspor agar-agar

Indonesia.

Tabel 4.6. Lima Negara Tujuan Ekspor Utama dan Importir Utama Produk

Rumput Laut Olahan Dunia

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 47

Ket: *) 5 terbesar di masing-masing kolom Sumber : BPS (diolah) Periode analisis dibagi menjadi dua periode, yaitu periode tahun 2009-2011 dan periode

2011-2013. Pembagian dua periode ini untuk melihat perkembangan daya saing dari satu

periode ke periode berikutnya. Tahun 2011 dipilih menjadi tahun transisi, dengan harapan

dapat menangkap dan menggambarkan perubahan yang terjadi pasca perlambatan

ekonomi dunia di tahun 2012. Dugaan sementara yang digunakan adalah perlambatan

ekonomi dunia berpengaruh pada perkembangan ekspor. Perlambatan ekonomi dunia

akibat krisis akan menurunkan permintaan negara importir yang selanjutnya akan

menurunkan ekspor Indonesia.

Secara keseluruhan, ekspor carrageenan dan agar-agar ke negara tujuan utama,

memiliki total perubahan ekspor yang positif, baik pada periode analisis 2009-2011 maupun

periode 2011-2013. Namun perubahan ekspor yang positif ini lebih dominan disebabkan

oleh efek perdagangan dunia yang seluruhnya juga bernilai positif. Jika dirinci berdasarkan

indikator CMSA, tiap komoditi di masing-masing pasar memiliki efek pertumbuhan impor,

efek komposisi komoditi dan efek daya saing yang berbeda-beda. Pada periode 2009-2011

peningkatan ekspor carrageenan dan agar-agar ke semua pasar disebabkan oleh efek

perdagangan dunia. Pada periode tersebut hanya efek distribusi pasar Jepang yang

menyumbang peningkatan ekspor carrageenan. Sedangkan daya saing di semua pasar

pada periode 2009-2011 semuanya menunjukkan nilai negatif yang memiliki arti bahwa daya

saing menurun. Sementara itu, pada periode 2011-2013, daya saing produk carrageenan

Indonesia meningkat hampir di semua pasar, kecuali di Denmark (Tabel 7). Pesaing utama

produk carrageenan Indonesia dipasar dunia adalah China. Namun berdasarkan hasil

indepth interview didaptkan informasi bahwa produk carrageenan dari Indonesia kualitasnya

lebih baik dibandingkan dengan China, walaupun masih kalah bersaing dari segi harga.

Ekspor Indonesia

Impor dari dunia

Ekspor Indonesia

Impor dari dunia

Italia 4716* Nn Tidak dianalisis

Jepang 2,180* 46,674* 2,941* 27,537Amerika Serikat 2,413* 32'112* 4,386* 99,280*Germany 13,672* 8,979* 115,296*Belgium 259* 2,834 54,185*Spanyol 527* 11,786*Denmark 6,164* 58,096*United Kingdom 3,367* 37,410Mexico 47,692*

Thailand 169 10,119* Nn 24,174 Tidak dianalisis

Nama Perusahaan

Agar-agar (USD Ribu) Carageenan (USD Ribu)Ket.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 48

Disamping itu, kemampuan industri pengolahan dalam membuat produk-produk formulasi

(blended) untuk memenuhi kebutuhan atau pemesanan tertentu tidak kalah jika

dibandingkan dengan China dan menjadi keunggulan dari produk carrageenan Indonesia

(Tabel 4.7).

Tabel 4.7. CMSA Carrageenan

Sumber : Hasil Analisis

Sementara itu, daya saing produk agar-agar pada periode 2009-2011 juga

menunjukkan nilai yang negatif sama halnya dengan daya saing produk carrageenan.

Peningkatan daya saing terjadi pada periode 2011-2013, di pasar Jerman dan Belgia (Tabel

4.8). Peningkatan daya saing agar-agar terebut juga didukung oleh kemampuan industri

untuk membuat formulasi melakukan blended untuk kebutuhan industri tertentu.

Tabel 4. 8. CMSA Agar-agar

Efek Perdagangan

Dunia

Efek Komposisi Komoditas

Efek Distribusi

Pasar

Efek Daya Saing

E1 E2 E3 E4

Jepang 135,399.0 (5,140.0) 52,763.0 (78,881.0) 104,142.0 Amerika Serikat 135,399.0 (419.0) (485.0) (1,806.0) 132,690.0 Jerman 135,399.0 (507.0) 212.0 (3,158.0) 131,946.0 Belgia 135,399.0 (724.0) (231.0) (3,975.0) 130,469.0 Spanyol 135,399.0 (648.0) (727.0) (3,035.0) 130,989.0 Denmark 135,399.0 (9,033.0) (12,928.0) (34,406.0) 79,032.0 Inggris 135,399.0 - - - 135,399.0 Meksiko 135,399.0 - - - 135,399.0

Jepang 143,014.0 (3,017.0) (100,923.0) 60,931.0 100,006.0 Amerika Serikat 143,014.0 (113.0) (1,698.0) 4,472.0 145,676.0 Jerman 143,014.0 - - 8,979.0 151,993.0 Belgia 143,014.0 - - - 143,014.0 Spanyol 143,014.0 - - - 143,014.0 Denmark 143,014.0 (4,142.0) 17,797.0 (70,576.0) 86,093.0 Inggris 143,014.0 - - 3,367.0 146,381.0 Meksiko 143,014.0 - - 93.0 143,107.0

Karagenan Total Perubahan

2009-2011

2011-2013

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 49

Sumber : Hasil Analisis

4.4. Penetapan Bea Keluar Untuk Mengurangi Ekspor Rumput Laut (Raw

material) 4.4.1. Karakteristik Ekonomi Negara Tujuan Ekspor Bahan Baku Rumput Laut

Karakteristik ekonomi Negara tujuan ekspor rumput laut yang akan dibahas

adalah meliputi karakteristik ekonomi yang digunakan dalam model permintaan

ekspor yaitu GDP, nilai tukar dan jarak ekonomi. Negara tujuan ekspor yang

dibahas adalah 10 negara tujuan utama ekspor rumput laut pada tahun 2013

(keseluruhan jenis rumput laut yang banyak diperdagangkan glacilaria, E. cottoni,

dan E. spinosum) yaitu China, Filipina, Chili, Korea Selatan, Hongkong, Perancis,

Denmark, USA, Vietnam dan Spanyol.

Tabel 4. 9. Gross Domestic Product (GDP) Negara Tujuan Ekspor Rumput laut (Raw

material)

Efek Perdagangan

Dunia

Efek Komposisi Komoditas

Efek Distribusi

Pasar

Efek Daya Saing

E1 E2 E3 E4

Jepang 204,148.0 36,139.0 (34,251.0) (42,910.0) 163,127.0 Amerika Serikat 204,148.0 30,709.0 (36,611.0) (26,587.0) 171,659.0 Jerman 204,148.0 15,591.0 36,887.0 (69,136.0) 187,490.0 Belgia 204,148.0 5,273.0 (2,670.0) (8,864.0) 197,887.0 Spanyol 204,148.0 3,188.0 9,228.0 (15,970.0) 200,595.0 Denmark 204,148.0 - - - 204,148.0 Inggris 204,148.0 15,258.0 1,330.0 (34,034.0) 186,702.0 Meksiko 204,148.0 - - - 204,148.0

Jepang 142,924.0 7,455.0 3,773.0 (32,343.0) 121,809.0 Amerika Serikat 142,924.0 15,671.0 (24,969.0) (37,257.0) 96,369.0 Jerman 142,924.0 7,313.0 (77,552.0) 47,687.0 120,371.0 Belgia 142,924.0 - - 259.0 143,183.0 Spanyol 142,924.0 915.0 12,586.0 (15,831.0) 140,593.0 Denmark 142,924.0 - - - 142,924.0 Inggris 142,924.0 2,645.0 12,488.0 (23,399.0) 134,658.0 Meksiko 142,924.0 - - - 142,924.0

Agar-Agar Total Perubahan

2009-2011

2011-2013

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 50

Sumber : IMF (2014) GDP suatu negara mencerminkan daya beli negara tersebut terhadap produk

impor. AS merupakan negara dengan GDP tertinggi diantara 10 negara tujuan

utama, disusul China dan Perancis (Tabel 4.9). Negara dengan GDP kurang dari

USD 200 juta pada tahun 2013 hanya Vietnam. GDP seluruh negara tujuan utama

ekspor rumput laut mengalami peningkatan selama periode 2009-2013, kecuali

Spanyol, Perancis dan Denmark. GDP Spanyol dan Perancis mengalami penurunan

pada tahun 2010 dan 2012, sementara Denmark hanya mengalami penurunan pada

tahun 2012. Penurunan tersebut diduga akibat krisis ekonomi yang melanda benua

Eropa. Namun demikian, penurunan GDP Perancis dan Denmark bisa dikompensasi

oleh pertumbuhan GDP tahun-tahun berikutnya, sehingga secara keseluruhan

pertumbuhan GDP kedua negara tersebut selama periode 2009-2013 masih

menunjukkan tren positif (Tabel 4.9).

Sebagai negara dengan GDP tinggi, Amerika Serikat merupakan importir rumput

laut ketiga terbesar dunia dengan pangsa 12%, sementara China dan Jepang

berada pada urutan pertama dan kedua dengan pangsa masing-masing sebesar

34,2% dan 22,5% dari total impor dunia. AS juga sebagai importir produk olahan

rumput laut terbesar dunia dengan pangsa 12,3%, Jerman dan Jepang menduduki

peringkat kedua dan ketiga dengan pangsa 12,1% dan 6,9% (Gambar 4.6).

2010 2013

Trend (%)2009 2010 2011 2012 2013 09-13

China 4,991.0 5,930.0 7,322.0 8,229.0 9,181.0 16.6 Filipina 168.0 200.0 224.0 250.0 272.0 12.8 Chili 172.0 217.0 251.0 266.0 277.0 13.0 Korea Selatan 834.0 1,015.0 1,114.0 1,130.0 1,222.0 10.3 Hongkong 214.0 229.0 249.0 263.0 274.0 6.4 Perancis 2,626.0 2,570.0 2,785.0 2,613.0 2,737.0 1.2 Denmark 311.0 313.0 334.0 315.0 331.0 1.7 USA 14,418.0 14,958.0 15,534.0 16,245.0 16,800.0 3.9 Vietnam 102.0 113.0 135.0 156.0 171.0 13.9 Spanyol 1,458.0 1,387.0 1,456.0 1 323 1,359.0 (1.6)

Negara Tujuan GDP (USD juta)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 51

Gambar 4.6. Importir Rumput Laut (Raw material) Dunia

Sumber: WITS (diolah)

Nilai tukar berpengaruh pada harga rumput laut di pasar dunia. Apabila nilai

tukar IDR mengalami depresiasi, maka importir rumput laut Indonesia di pasar luar

negeri akan menganggap harga rumput laut menjadi murah sehingga permintaan

impor akan meningkat dengan kata lain ekspor rumput laut Indonesia akan semakin

meningkat. Oleh karena itu, nilai tukar memiliki hubungan yang positif terhadap

kinerja ekspor.

Tabel 4.10. Nilai Tukar IDR Terhadap Mata Uang Negara Tujuan

China21.9%

Japan25.4%

United States11.2%

Chile1.5%

Thailand3.0%

Lainnya37.0%

China34.2%

Japan22.5%

United States12.0%

Chile4.6%

Thailand4.0%

Lainnya22.6%

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 52

Sumber : IMF (2014)

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa selama periode 2009-2013 nilai tukar rupiah

mengalami depresiasi sebesar 3,6% sampai 9,6% per tahun. Nilai tukar yang

semakin terdepresiasi mendorong pedagang pengepul rumput laut dalam negeri

untuk menjual kepada eksportir dengan menggunakan mata uang asing

dibandingkan dengan menjual ke industri pengolahan domestik dengan

menggunakan mata uang rupiah. Depresiasi Rupiah terhadap Won Korea dan Yuan

China menunjukkan nilai yang tinggi. Oleh karena itu, ekspor yang ditujukan ke

negara Korea dan China menjadi semakin menguntungkan.

Jarak ekonomi juga diduga sebagai salah satu faktor penentu permintaan

rumput laut, karena jarak berpengaruh terhadap biaya transportasi, yang selanjutnya

mempengaruhi harga CIF di negara tujuan ekspor. Untuk data panel yang

melibatkan data time series, jarak geografi tidak bisa dianalisis menggunakan FEM

(fixed effect model) sehingga harus dibobot dengan GDp menjadi jarak ekonomi.

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa negara tujuan ekspor di kawasan Asia memiliki

jarak ekonomi yang semakin pendek (tren negatif). Sementara negara tujuan ekspor

di kawasan Eropa memiliki jarak yang semakin panjang. Jarak yang semakin pendek

cenderung meningkatkan permintaan ekspor rumput laut.

Tabel 4.11. Jarak Ekonomi Negara Tujuan Utama Ekspor Rumput Laut

Trend (%)

2009 2010 2011 2012 2013 09-13

China 293.1 301.7 299.1 331.8 406.6 8.9 Filipina 203.9 205.5 207.2 235.2 273.5 7.9 Chili 18.8 19.0 17.5 20.2 22.8 5.4 Korea Selatan 8.1 7.9 7.9 9.0 11.4 9.6 Hongkong 1,212.0 1,155.0 1,167.0 1,160.0 1,571.9 7.8 Perancis 13,510.0 11,956.0 11,739.0 11,853.0 16,821.4 7.4 Denmark 13,510.0 11,956.0 11,739.0 11,853.0 16,821.4 7.4 USA 9,400.0 8,991.0 9,068.0 9,000.0 12,189.0 7.8 Vietnam 0.5 0.5 0.4 0.5 0.6 3.6 Spanyol 13,510.0 11,956.0 11,739.0 11,853.0 16,821.4 7.4

Negara TujuanNilai Tukar IDR Terhadap Mata Uang Asing

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 53

Sumber : Hasil analisis

4.4.2. Model Permintaan Ekspor Rumput Laut (Raw material) Indonesia Model permintaan ekspor rumput laut (raw material) dibangun dengan

menggunakan data panel dan data cross section dari 10 negara tujuan utama

selama periode 2009-2013. Berdasarkan uji Hausman didapatkan nilai chi-square

statistic sebesar 19,26 dan probabilitas 0,0007 yang berarti bahwa model yang

sesuai untuk menduga koefisien mode permintaan ekspor adalah fixed effect model

(FEM). Dengan menggunakan FEM, koefisien masing-masing faktor penduga

disajikan pada Tabel 4.12.

Dari empat faktor penduga yang digunakan dalam model, tiga diantaranya

memiliki nilai probabilitas kurang dari 0,01 yaitu harga, GDP, dan nilai tukar. Dapat

dikatakan bahwa faktor-faktor tersebut berpengaruh signikan terhadap permintaan

ekspor rumput laut. Nilai R-square yang tinggi sebesar 0,9955 mengandung makna

bahwa 99,55% permintaan ekspor rumput laut (raw material) Indonesia dapat

dijelaskan oleh variabel-variabel penduga yang digunakan dalam model meliputi

faktor harga, GDP, nilai tukar dan jarak ekonomi, sementara sisanya sebesar 0,45%

dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Tabel 4.12. Koefisien Penduga Faktor Permintaan Ekspor Rumput Laut

Trend (%)

2009 2010 2011 2012 2013 09-13China 2,646.0 2,371.0 2,097.0 1,953.0 1,855.0 (8.5) Filipina 41,916.0 37,675.0 36,634.0 34,362.0 33,485.0 (5.4) Chili 229,451.0 193,517.0 183,060.0 180,553.0 183,911.0 (5.1) Korea Selatan 16,048.0 14,043.0 13,961.0 14,423.0 14,129.0 (3.0) Hongkong 38,549.0 38,426.0 38,596.0 38,242.0 38,889.0 0.2 Perancis 11,156.0 12,140.0 12,231.0 13,652.0 13,806.0 5.6 Denmark 88,306.0 93,302.0 95,515.0 105,915.0 106,868.0 5.0 USA 2,872.0 2,948.0 3,099.0 3,103.0 3,179.0 2.6 Vietnam 75,242.0 72,203.0 66,044.0 59,837.0 57,825.0 (6.3) Spanyol 21,143.0 23,659.0 24,615.0 28,360.0 29,265.0 8.6

Negara TujuanJarak Ekonomi (Km)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 54

Sumber: Hasil analisis Koefisien faktor harga (LnHarga) bertanda negatif yang berarti jika harga rumput

laut naik maka volume ekspor akan berkurang. Hasil tersebut sesuai dengan teori

permintaan dan hasil kajian terdahulu seperti Wirawan (2007), Risman (2007) dan

Sitinjak (2012). Koefisien faktor penduga harga nilainya sebesar -0,410544, jika

harga naik 1% maka permintaan ekspor akan berkurang sebesar 0,410544%.

Faktor GDP negara tujuan ekspor memiliki koefisien dengan tanda negatif. Jika

GDP meningkat maka permintaan rumput laut akan menurun. Hasil ini berbeda

dengan hasil kajian sebelumnya (Wirawan, 2007; Rajagukguk, 2009; dan Sitinjak,

2012) yang menujukkan hubungan positif antara GDP dengan ekspor rumput laut.

Secara teori hubungan yang negatif antara pendapatan dengan permintaan

menunjukkan bahwa rumput laut (raw material) termasuk golongan barang inferior.

Akan tetapi, sifat inferior tersebut belum tentu berlaku untuk produk olahan rumput

laut seperti tepung agar-agar dan carrageenan. Nilai tukar memiliki koefisien

bertanda positif. Nilai tersebut sesuai dengan teori perdagangan internasional dan

juga hasil penelitian sebelumnya (Risman, 2007, Rajagukguk, 2009, Sulastry, 2011

dan Sitinjak, 2012). Sementara itu, jarak ekonomi (eco distance) tidak berpengaruh

signifikan terhadap permintaan ekspor rumput laut. Berdasarkan hasil indepth

interview diperoleh bahwa biaya transportasi tidak selalu ditentukan oleh jarak. Biaya

transportasi rumput laut dari Makasar (pusat gudang rumput laut dari hasil budidaya

Faktor Koef. Std. Error t-Statistic Probabilitas

LnHarga (0.4105) 0.1023 (4.0130) 0.0005 LnGDP (10.9606) 2.4976 (4.3884) 0.0002 LnER 13.1552 2.4184 5.4397 -

LnEco_distance (0.0156) 0.2213 (0.0705) 0.9444 C (44.0096) 7.0158 (6.2729) -

R-squared 0.9955 12.1071 Adjusted R- 0.9934 9.3909

SE. of regression 0.2826 1.9174

F-statistic 478.7831 2.2713 Prob(F-statistic) -

R-squared 0.9764 8.0257 Sum squared 2.0715 1.7536

Weighted Statistics

Mean dependent var

Unweighted Statistics

Mean dependent var

SD dependent var

Sum squared resid

Durbin-Watson stat

Durbin-Watson stat

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 55

di kawasan timur berada di Makasar) per kontainer ke Surabaya lebih mahal

dibandingkan dengan biaya transportasi dari Makasar ke China. Hal tersebut

disebabkan kapal pengangkut rumput laut ke China memanfaatkan ruang kosong

pada saat kembali ke China setelah mengakut barang dagangan dari China ke

Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan biaya angkut rumput laut ke China tidak

memperhitungkan seluruh biaya operasional kapal (gabungan biaya tetap dan biaya

variabel) tetapi hanya menghitung biaya variabel. Sementara itu, biaya angkut ke

Surabaya harus menutupi biaya tetap dan biaya variabel. Berdasarkan hasil survey

diperoleh informasi bahwa biaya transportasi per kontainer ke Surabaya sebesar Rp

15 juta, sedangkan ke China sekitar USD 500 (sekitar Rp 5,5 juta).

4.4.3. Bea Keluar Optimum untuk Menjamin Ketersediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rumput Laut

Bea keluar optimum yang dimaksud dalam kajian ini adalah besarnya BK yang

dapat mengurangi ekspor rumput laut sebesar idle capacity industri pengolahan

rumput laut dalam negeri. Diharapkan dengan pengurangan ekspor rumput laut,

kebutuhan bahan baku industri dalam negeri bisa terpenuhi, dan industri bisa

beroperasi pada skala produksi yang optimum sehingga dapat meningkatkan strata

pengolahan dari base product, belum berkembang menjadi strata end product.

Apabila industri pengolahan dapat berproduksi secara optimum, maka biaya

produksi dapat ditekan sehingga harga dapat bersaing dengan produk sejenis dari

negara lain di pasar dunia.

Industri yang beroperasi dibawah skala ekonomis, biaya produksinya menjadi

relatif tinggi, terutama untuk biaya tetap (fixed cost), seperti biaya depresiasi alat,

biaya modal, dan tenaga kerja tetap. Industri pengolahan rumput laut, menghadapi

pasar bersaing dimana harga jual produk ditentukan oleh supply dan demand di

pasar. Oleh karena itu, industri yang beroperasi dibawah skala ekonomis,

berdasarkan harga pasar hanya bisa menutupi biaya variabel (biaya bahan baku,

listrik, tenaga kerja harian). Dari segi daya saing, industri yang tidak beroperasi

secara optimum atau mungkin full capacity tidak bisa menjual dengan harga murah

karena biaya produksi relatif tinggi.

Pengenaan BK akan menyebabkan harga ekspor rumput laut semakin mahal

sehingga volume ekspor akan berkurang. Berkurangnya volume ekspor diharapkan

dapat meningkatkan ketersediaan bahan baku rumput laut dalam negeri.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 56

Ketersediaan bahan baku yang cukup, memberikan kesempatan bagi industri

pengolahan rumput laut dalam negeri untuk berproduksi pada skala optimum atau

mungkin full capacity. Berdasarkan data dari ASTRULI (Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia), kapasitas

terpasang yang dimiliki oleh anggota ASTRULI seluruhnya berjumlah 61,200 ton per tahun

(Tabel 4.13). Terdapat tiga jenis rumput laut yang dibutuhkan sebagai bahan baku industri

yang ada saat ini. Secara berurutan dimulai dari yang paling banyak dibutuhkan yaitu

Glacilaria untuk industri agar-agar, E. Cottonii untuk industri carrageenan, dan E. Spinosum

untuk industri alginat.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 57

Tabel 4.13. Komposisi Kebutuhan Bahan Baku Rumput Laut Anggota ASTRULI

Sumber: Hasil FGD

Kapasitas terpasang seluruh industri pengolahan rumput laut yang tergabung

tergabung dalam ASTRULI sekitar 70% dari kapasitas nasional. Industri pengolahan

yang bukan anggota memiliki kapasitas terpasang sekitar 30%. Sehingga jika

digabung seluruh industri pengolahan baik yang menjadi anggota ASTRULI maupun

yang non anggota, maka kapasitas terpasang seluruhnya menjadi 87 429 ton per

tahun.

Data ekspor rumput laut yang diperoleh dari WITS merupakan agregasi dari

cottonii, spinosum dan glacilaria. Data WITS tersebut harus didesagregasi untuk

menetapkan BK masing-masing jenis rumput laut. Proses disagregasi mulai dari

penggunaan masing-masing jenis rumput laut oleh anggota ASTRULI

dikombinasikan dengan kapasitas produksi riil yang diperoleh dari survey.

Berdasarkan hasil survey diperoleh data bahwa kapasitas produksi riil tertinggi

adalah 100% dan terendah 50% (Tabel 2.3. Bab 2), dan data dari ASTRULI

menyebutkan kapasitas produksi riil anggotanya adalah 60%. Kombinasi data

kapasitas produksi riil hasil survey dan data ASTRULI, digunakan untuk menghitung

tariff BK yaitu masing-masing 66% untuk cottonii dan 76% untuk glacilaria.

Sedangkan untuk spinosum kapasitas produksi riil menggunakan data ASTRULI

yaitu 60% (Tabel 4.13).

Anggota ASTRULI

Non anggota ASTRULI Total

Cottonii 23,280.00 9,977.00 33,257.00 38.04Spinosum 3,720.00 1,594.00 5,314.00 6.08Gracilaria 34,200.00 14,657.00 48,857.00 55.88Total 61,200.00 26,229.00 87,429.00 100.00

Komposisi per jenis rumput

laut (%)

Jenis rumput laut

Kapasitas Terpasang (Ton)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 58

Tabel 4.14. Kapasitas Produksi Riil Industri Pengolahan Dan Permintaan Ekspor

Rumput Laut

*)total ekspor dikurangi ekspor Cottoni dan ekspor Glacilaria

Sumber: Hasil FGD

Disagregasi volume ekspor masing-masing jenis rumput laut dihitung

berdasarkan proporsi. Proporsi rumput laut raw material yang diekspor sebanyak

80% dari total produksi E.Cottonii dan 50% dari total produksi Glacilaria dalam

negeri (Anggadiredja, 2011). Total permintaan ekspor rumput laut didekati dengan

menggunakan data impor rumput laut dari 10 negara tujuan utama rumput laut raw

material Indonesia pada tahun 2013 yaitu sebesar 163,516 ton (WITS, 2014 diolah).

Tingginya ekspor bahan baku menyebabkan industri pengolahan rumput laut dalam

negeri kekurangan bahan baku, sehingga mengalami idle capacity. Data idle

capacity tiap jenis rumput laut berguna untuk menghitung BK optimum untuk tiap-

tiap jenis rumput laut. Kapasitas idle tertinggi terjadi pada industri pengolahaan

glacilaria untuk tepung agar dan yang terendah industri pengolahan spinosum untuk

industri alginat (Tabel 4.15).

Tabel 4.15. Idle capacity berdasarkan jenis rumput laut

Jenis Rumput Laut

Kapasitas (Ton) Idle capacity (Ton) Terpasang Terpakai

Cottonii 33,257 2,4527 8,730

Spinosum 5,314 3,189 2,126

ASTRULI Non ASTRULI Total Persentase dari

Total Produksi RiilVolume (Ton)

Cottonii 74 17,169.0 7,358.0 24,527.0 80 98,109

Spinosum 60 2,232.0 957.0 3,189.0 NN 263,22*

Gracilaria 80 27,360.0 11,726.0 39,086.0 50 39,086

163,516Total Ekspor 2013

Jenis rumput laut

Kapasitas riil (Persentase dari

kapasitas terpasang)

Kapasitas produksi riil (Ton) Permintaan ekspor rumput laut

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 59

Gracilaria 48,857 39,086 9,771

Total 87,429 66,801 20,627

Sumber: Hasil Survey & FGD

Dengan menggunakan model permintaan, didapatkan koefisien untuk faktor harga

adalah -0,4105 (Tabel 4.12). Target penetapan BK adalah untuk mengurangi permintaan

ekspor rumput laut raw material tiap-tiap jenis yang disajikan pada Tabel 4.13 sebesar idle

capacity industri pengolahan rumput laut dalam negeri saat ini yang disajikan pada Tabel

4.14. Berdasarkan hasil simulasi, BK optimum ditampilkan pada Tabel 4.15 berikut.

Tabel 4.16. Bea Keluar Rumput Laut Optimal

Sumber: Hasil Analisis

Permintaan ekspor rumput laut Indonesia yang digunakan dalam analisis model

permintaan ekspor didekati dengan menggunakan data dari WITS, sehingga harga ekspor

rumput laut merupakan harga cif di masing-masing negara tujuan. BK tertinggi dikenakan

pada jenis rumput laut Glacilaria (44%), kemudian E. Cottonii (21%), dan yang terendah

untuk E.Spinosum (12%). Nilai BK hasil simulasi mendekati kisaran nilai BK yang diusulkan

oleh ASTRULI yaitu 30-40%, 20-25% dan 15-20% masing-masing untuk Glacilaria, E.

Cottonii dan E. Spinosum.

Jika tarif diberlakukan sama (agregasi), maka nilai BK optimal sebesar 30% dengan

penurunan volume ekspor sebesar 20,129 ton. Namun nilai BK agregasi tidak disarankan

karena tingkat idle capacity industri pengolahan berbeda untuk tiap jenis rumput laut.

Penerapan tarif agregasi dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan ekspor jenis rumput

laut tertentu lebih besar dari idle capacity sehingga menyebabkan over supply yang

mendorong turunnya harga rumput laut. Penurunan harga rumput laut yang berlebihan

dapat menjadi disinsentif bagi petani untuk menanam rumput laut sehingga produksi rumput

laut jadi menurun.

Awal Setelah BKCottonii 21.0 1.3 1.6 11,174.0 Spinosum 12.0 0.7 0.8 1,978.0 Gracilaria 44.0 1.4 2.0 9,628.0 Agregat 30.0 1.3 1.7 20,129.0 Total 22,780.0

Jenis rumput laut BK (%)

Harga rata-rata ekspor cif (USD/kg)

Penurunan ekspor (Ton)

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 60

Penetapan BK diharapkan tidak berdampak negatif terhadap produksi rumput laut

sehingga ketersediaan bahan baku rumput laut bisa tetap sustain. Dalam jangka panjang,

penetapan BK diharapkan akan mendorong tumbuhnya industri pengolahan rumput laut

dalam negeri. Berkembangnya industri akan meningkatkan permintaan bahan baku rumput

laut dari petani, yang selanjutnya mendorong petani untuk meningkatkan produksi rumput

lautnya.

Selain untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri, penetapan BK juga

menambah penerimaan negara. Tabel 4.16 berikut menunjukkan simulasi potensi

penerimaan negara setelah BK diterapkan.

Tabel 4.17. Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar (BK) Rumput Laut

Sumber: Hasil Analisis

Apabila menggunakan data ekspor rumput laut tahun 2013 yang didekati dengan impor

negara tujuan utama sebelum diterapkan kebijakan BK sebesar 163,517 Ton. Apabila BK

yang diterapkan adalah BK agregasi (menyamaratakan tarif BK untuk semua jenis), maka

volume ekspor akan turun menjadi 140,716 ton. Sehingga pada harga agregat yaitu sebesar

USD 0,99/Kg, maka potensi penerimaan BK sebesar USD 41, 9 juta. Sementara itu, apabila

diterapkan BK yang berbeda untuk tiap jenis, maka volume ekspor akan turun menjadi

140,737 ton. Pada harga ekspor dan tarif BK masing-masing jenis rumput laut maka potensi

besarnya penerimaan negara dari BK sekitar USD 43,6 juta, lebih tinggi jika dibandingkan

dengan BK secara agregat (Tabel 4.16). Penerimaan pemerintah ini dapat digunakan untuk

membina petani-petani rumput laut dalam meningkatkan produksinya baik dari segi kualitas

maupun kuantitas.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Jenis Rumput LautVolume Ekspor

(Ton)Penurunan Ekspor Setelah BK (Ton)

Volume Ekspor Setelah

BK (Ton)

Tarif BK (%)

Unit Value/harga

(USD/kg)

Potensi Penerimaan Negara (USD

Ribu)Cottonii 98,109.0 11,174.0 86,935.0 21.0 1.30 23,733.3

Spinosum 26,322.0 1,978.0 24,344.0 12.0 0.72 2,103.3

Gracilaria 39,086.0 9,628.0 29,458.0 44.0 1.37 17,757.3

Total 163,517.0 22,780.0 140,737.0 30.0 43,593.9

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 61

5.1. Kesimpulan Industri pengolahan rumput laut yang sudah berkembang di Indonesia

menggunakan bahan baku jenis E. Cottonii untuk karaginan, Glacilaria untuk agar-

agar dan E. Spinosum untuk alginat. Berdasarkan hasil survey dan FGD, kapasitas

terpasang industri pengolahan rumput laut dalam negeri sebesar 87,429 Ton bahan

baku rumput laut kering yang terdiri dari 38% jenis E. cottonii, 56% Glacilaria dan

6% Spinosum. Produksi riil saat ini berada dibawah kapasitas terpasang dengan

idle capacity rata-rata 26% untuk jenis E. cottonii, 20% untuk Glacilaria, dan 40%

untuk spinosum. Penyebab terjadinya idle capacity adalah salah satunya karena

persaingan mendapatkan bahan baku rumput laut dengan pedagang eksportir.

Salah satu langkah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri

adalah mengurangi ekspor raw material dengan mengenakan BK. Pengenaan BK

akan meningkatkan harga ekspor. Dengan model permintaan diperoleh elastisitas

permintaan ekspor terhadap harga sebesar -0,4105%, yang artinya jika harga naik

10% maka permintaan ekspor akan berkurang sebesar 4,1%. Untuk menutupi idle

capacity diperlukan pengurangan ekspor E. cottonii sebesar 8.730 Ton, E. Spinosum

2.126 Ton dan Glacilaria 9.771 ton (Total 20.627 Ton).

Besaran nilai BK optimum untuk mengurangi ekspor yang besarnya sesuai

dengan idle capacity adalah 21% untuk E. cottonii, 12% untuk spinosum dan 44%

untuk Glacilaria. Apabila BK dikenakan secara agregat, tanpa diskriminasi

berdasarkan jenis, maka besaran BK adalah 30%. Industri yang berproduksi dalam

skala optimum/ meminimalisir idle capacity, akan menghasilkan produk olahan yang

efisien dan berdaya saing di pasar dunia.

5.2. Rekomendasi Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan bagian dari kawasan “the coral

triangle” yang sangat baik untuk pertumbuhan rumput laut. Namun produksi rumput

laut Indonesia lebih banyak digunakan untuk mendukung industri pengolahan di luar

negeri, bahan baku E. Cottonii dan Glacilaria untuk mendukung industri pengolahan

di China sedangkan E. Spinosum untuk mendukung industri pengolahan di Filipina.

Pengembangan industri pengolahan rumput laut di dalam negeri, selain

meningkatkan nilai tambah produk dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, juga

menghasilkan limbah yang bisa digunakan untuk pakan ternak.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 62

Penetapan BK merupakan salah satu insentif untuk mendorong pengembangkan

industri pengolahan dalam negeri. Kebijakan tersebut perlu dilakukan untuk

mengimbangi industri kompetitor dari negara lain yang lebih dulu memperoleh

insentif. Sebagai contoh pemberian rebate dari pemerintah China antara 13%

sampai 17% bagi eksportir karaginan (semi refined dan refined carrageenan) dan

pembatasan ekspor rumput laut oleh pemerintah Chili sebesar 20% dari total

produksi. Namun demikian, penetapan BK perlu diikuti dengan pengawasan harga

rumput laut di tingkat petani untuk mencegah perilaku cartel, karena struktur industri

rumput laut yang oligopsoni. Perilaku cartel cenderung menetapkan harga beli yang

relatif rendah di tingkat petani, yang bisa menjadi disinsentif bagi petani untuk

meningkatkan produksinya.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, S. 2011. Analisis Faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor Rumput Laut Indonesia. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Ekonomi, FEM IPB. Bogor.

Anggadireja J.T. 1993. Potensi Makro Rumput laute Laut (Seaweed) sebagai Pangan dan Nilai Gizi Berbeda Jenis. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi V. LIPI. Jakarta 20-22 April 1993.

Anggadiredja JT. 2011. Laporan forum rumput laut. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Astiyah dan Setyawan. 2005. Nilai Tukar dan Trade Flows. Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Vol. 8, No. 3, pp. 373-399.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 63

Balassa, B. 1965, Trade Liberalization and ‘Revealed’ Comparative Advantage, Manchester School. Vol.33.

Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia. (2014). Bahan Masukan Pengaturan Tata Niaga Bahan Baku dan Industrialisasi Rumput Laut Indonesia. Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia. Jakarta. Dipresentasikan pada tanggal 12 September 2014.

Ditjen PEN. (2013). Rumput Laut Indonesia. Warta Ekspor. Edisi September 2013. Kementerian Perdagangan. Jakarta. 3-11.

Direktorat Pemasaran Luar Negeri, 2014. Pertemuan Peningkatan Nilai Tambah Rumput Laut. Direktorat Pemasaran Luar Negeri. Dirjen Pengolahandan Pemasaran Hasil Perikanan. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta 9 Juni 2014.

Direktorat Usaha dan Investasi. (2013). Buku Saku Informasi Rumput Laut. Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. (2014). Indonesia Beyonds the Land of Cottoni and Gracilaria. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dipresentasikan pada tanggal 27 Mei 2014.

Ito, K., dan M. Umemoto. 2004. Intra-Industry Trade in the ASEAN Region:The Case of the Automotive Industry. ASEAN Auto Project, 04-8: 1-38.

Layard P.R.G. dan A.A. Walters. 1987. The Optimum Tariff: World Price Variabel, Microeconomic Theory. Mc. Graw Hill Book Co. New York

Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta

Ngangi ELA. 2001. Kajian intensifikasi dan analisis finansial usaha budidaya rumput laut Kapaphycus alvarezii di Desa Bentenan-Tumbak Kecamatan Belang Provinsi Sulawesi Utara. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Panjaitan, D.V. 2011. Pengaruh Nilai Tukar terhadap Inpayments Indonesia dengan Negara Mitra Dagang Utama. Thesis. Pascasarjanan IPB. Bogor.

Rajagukguk, M. 2009. Analisis Daya Saing Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional, AGB FEM Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Risman, A. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Rumput Laut Indonesia. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sitinjak, A.R. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Rumput Laut Indonesia Ke China Hongkong Jepang dan Amerika Serikat Periode 2001-2010. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sulaeman, S. 2006. Pengembangan Agribisnis Komoditi Rumput Laut Melalui Model Klaster Bisnis, Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Jakarta

Sulastry. 2011. Analisis Faktor- Faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor Rumput Laut Indonesia ke China(periode 1993-2010). [Skripsi]. Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 64

Tambunan, Tulus. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran-Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Winarno. FG. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Wirawan, A. 2007. Model Permintaan Rumput Laut Indonesia di Pasar Jepang. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yusuf, R. 2006. Analisis Potensi Pasar Rumput Laut di Indonesia. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No. 1, p: 101-110