karya ilmiah perubahan paradigma pembangunan

21
1 KARYA ILMIAH PERUBAHAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN VERONICE,SP,MSI 19820807 200604 2 001 POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH 2015

Upload: tranxuyen

Post on 14-Jan-2017

253 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

1

KARYA ILMIAH

PERUBAHAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DALAM

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

VERONICE,SP,MSI

19820807 200604 2 001

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI

PAYAKUMBUH

2015

2

DAFTAR ISI

Halaman

Kata pengantar ....................................................................... i

Daftar isi ............................................................................... ii

Bab I Pendahuluan

A. Latar belakang ............................................................ 1

B. Rumusan masalah ........................................................ 2

C. Tujuan ......................................................................... 3

Bab II Pembahasan

A. Pengertian kelembagaan .............................................. 4

B. Kapital sosial .............................................................. 6

C. Kerangka teoritis .......................................................... 8

Bab III Penutup

A. Kesimpulan ................................................................. 12

Daftar pustaka

3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat allah swt karena berkat limpahan

rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada

waktunya. Makalah ini membahas tentang paradigm pembangunan berkelanjutan ,

penyebab perubahan sosial dan dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan

hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi.

Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya

mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan baik

dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat

penulis harapkan untuk penyempurnaan karya ilmiah selanjutnya.

Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada kita

semua.

Tanjung pati, januari 2015

Penulis

4

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Komoditas kelapa sawit memegang peran yang cukup strategis dalam

perekenomian di Indonesia karena komoditas ini mempunyai prospek yang cukup cerah

sebagai sumber devisa. Disamping itu minyak sawit merupakan bahan baku utama

minyak goreng yang banyak dipakai diseluruh dunia, sehingga secara terus menerus

mampu menjaga stabilitas harga minyak sawit. Komoditas ini mampu pula menciptakan

kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah

Indonesia dewasa ini telah bertekad untuk menjadikan komoditas kelapa sawit sebagai

salah satu industri non migas yang handal.

Bagi Pemerintah daerah komoditas kelapa sawit memegang peran yang cukup

penting sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain itu membuka peluang

kerja yang besar bagi masyarakat setempat yang berada disekitar lokasi perkebunan yang

dengan sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pesatnya perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit menjadi peluang

ekonomi yang menjanjikan bagi pihak-pihak tertentu. Investor asing yang kini

dipermudah dengan adanya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing

semakin memperlebar kesempatan untuk mendirikan usaha di Indonesia. Penyediaan

modal bagi Indonesia akan membuka lapangan kerja, yang pada akhirnya diharapkan

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan perkebunan kelapa sawit

mendapat prioritas utama karena pemerintah berupaya memperkuat basis perekonomian

nasional melalui penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam secara maksimal. Maka

tak heran bila saat ini pemerintah Indonesia telah menetapkan target pertumbuhan

ekonomi sebanyak 7,9% hingga tahun 2009 (Jurnal Hukum Bisnis vol. 26,2007).

Namun untuk mendapatkan keuntungan yang begitu besar, bangsa ini ternyata

juga harus menanggung kerugian yang setimpal. Di tengah maraknya pembukaan lahan

untuk perkebunan kelapa sawit, beberapa pihak berteriak dan menyuarakan protes.

Diperluasnya usaha kelapa sawit ke hutan dan lahan gambut merupakan ancaman serius

5

bagi iklim global dan hutan di Indonesia. Permintaan global terhadap ketersediaan

minyak sawit telah menyebabkan deforestasi, maraknya konversi terhadap lahan gambut

dan wilayah konservasi, serta berimbas pada perubahan iklim secara global. Perubahan

ini telah menurunkan keanekaragaman hayati, meningkatkan kerentanan pada bahaya

kebakaran serta penghancuran terhadap budaya dan masyarakat adat.

Kebakaran atau lebih tepatnya pembakaran lahan dan hutan terus berlangsung

setiap tahun tanpa dapat ditanggulangi dengan serius oleh pemerintah. Perusahaan

perkebunan seperti kelapa sawit meraup keuntungan dengan menghemat biaya Land

Clearing dan menggantikannya dengan cara membakar yang biayanya lebih murah 80%

dibandingkan dengan land clearing konvensional. “Akan tetapi, para pengusaha

pemegang konsesi perkebunan kelapa sawit berdalih bahwa penyebab kebakaran

disebabkan oleh masyarakat peladang yang umumnya membuka ladang dengan cara

membakar.

Tidak hanya hutan yang terancam ekspansi kebun kelapa sawit. Pada umumnya,

pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar akan menggusur dan merusak

ekosistem hutan-hutan masyarakat adat. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan

perkebunan skala besar di Indonesia menyebabkan kekayaan masyarakat adat tidak

diakui. Secara umum diskriminasi terhadap masyarakat adat sangat jamak terjadi dalam

pengelolaan sumber daya hutan dan lahan hutan di Indonesia. Selama ini hutan lindung,

hutan konservasi dan kawasan tambang ditetapkan oleh pemerintah sendiri tanpa

melibatkan komunitas masyarakat adat. Padahal faktanya, masyarakat adat adalah pihak

yang sesungguhnya telah menempati, memanfaatkan, berhubungan dengan dan

bergantung pada hutan serta sumber daya alam tersebut sejak dahulu kala.

Hal inilah yang terjadi di Propinsi Kalimantan Barat dimana wilayahnya terdiri

dari 65% hutan tropis. Kawasan hutan ini kaya akan berbagai jenis kayu, termasuk yang

spesifik seperti ramin dan belian. Selain itu, hutannya menyimpan 1.216 jenis flora, antara

lain anggrek hutan, pinang merah dan berbagai tanaman hias, serta beberapa fauna

terkenal dan dilindungi, antara lain orang utan, kukang, kelempiau, bekantan, rusa,

burung enggang, burung ruai, trenggiling, burung dara laut, bangau tongtong, harimau

dahan, beruang madu dan kancil.

6

Menurut Hasil penelitian Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun

2002 bahwa tak lama lagi keanekaragaman hayati dan kekayaan sumber daya alam

Kalimantan Barat akan punah oleh berbagai kebijakan yang mengeksploitasi sumber daya

alam secara destruktif. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya proses alih fungsi lahan

untuk logging consesion, converse for palm oil plantation, pertambangan dan lainnya.

”Apabila tidak ada perubahan kebijakan yang radikal terutama dalam penerbitan ijin

HPH, HPHH, HTI, pembukaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, maka

sudah dipastikan kota Pontianak akan tenggelam .

b. Perumusan Masalah

Secara politis, perkebunan kelapa sawit menghilangkan eksistensi masyarakat adat

terutama masyarakat Dayak karena pembukaan perkebunan kelapa sawit selalu disertai

masuknya transmigran dan karyawan perusahaan yang mayoritas didatangkan dari luar

Kalimantan Barat. Setiap tahunnya di Kalimantan Barat didatangkan 7.000 transmigran

dari Pulau Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Dampak yang paling buruk adalah

terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan kelapa sawit. Karena sangat

buruknya dampak perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat adat, maka Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), gabungan aliansi masyarakat adat dari 30 provinsi

di Indonesia, dalam kongres nasional ke-3 Maret 2007 di Pontianak, menuntut agar hak-

hak masyarakat atas sumber daya alam yang dirampas dan dibeli secara paksa oleh

perusahaan perkebunan kelapa sawit dikembalikan. Masyarakat adat menolak

perkebunan kelapa sawit karena menghilangkan budaya, identitas dan eksistensi mereka.

Bagi masyarakat adat, hutan, tanah dan segala isinya adalah pembentuk kebudayaan dan

peradaban mereka.

Setiap tahun panen bencana asap akibat ulah perkebunan berskala besar

mengancam ekosistem Provinsi Kalimantan Barat, wilayah yang perannya begitu strategis

ini sedang mengalami ancaman yang sangat serius bagi kemanusiaan dan lingkungan.

Berbagai permasalahan yang terjadi di Kalimantan Barat menjadi permasalahan

yang serius baik di dalam negeri bahkan di dunia karena akibat dari aktivitas konversi

hutan dengan penebangan hutan dan pembakaran-pembakaran hutan ini menjadi salah

7

satu pemicu terbesar terjadinya global warming yang efeknya dirasakan di seluruh dunia.

Permasalahan yang terjadi akibat pembangunan yang tidak mengindahkan prinsip

pembangunan berkelanjutan yang menganut tiga aspek utama yakni ekonomi, sosial dan

lingkungan, yang dikejar hanya aspek ekonomi, tanpa memperhatikan aspek sosial dan

lingkungan yang mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibanding keuntungan yang

diperoleh dari sisi ekonomi.

c. Tujuan

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini

adalah untuk mengkaji bagaimana pembangunan perkebunan Kelapa Sawit yang

dilaksanakan di Kalimantan Barat dihubungkan dengan perencanaan pembangunan

berkelanjutan dan partisipatif.

BAB II

PEMBAHASAN

8

a. Perubahan paradigma pembangunan

Pada masa lalu (ekonomi klasik) paradigma pembangunan menekankan

pertumbuhan dan melihat pembangunan sebagai pembangunan ekonomi sehingga

ukuran keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan produksi barang dan jasa secara

nasional /GNP dimana makin tinggi pertumbuhannya makin berhasil pembangunan

suatu negara (Kelompok ekonomi aliran Keynesian). Paradigma ini juga menekankan

perlunya kebebasan, pemupukan modal dan pembagian kerja/spesialisasi (Rostow,

1960). Pada era ini, negara-negara berkembang umumnya pembangunan lebih bertumpu

pada pembangunan ekonomi dan fisik yang disebut production-centered development.

Production-centered development dilakukan dalam upaya mengatasi keterbelakangan

dunia ketiga, termasuk Indonesia dengan mengejar pertumbuhan ekonomi karena

diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi sangat penting bagi kemajuan bangsa. Oleh

karena itu tidak mengherankan jika paradigma pembangunan saat itu didominasi oleh

pemikiran pentingnya pertumbuhan ekonomi dalam mengejar ketertinggalan suatu

bangsa.

Pembangunan pada masa lampau yang lebih menekankan pada pertumbuhan

ekonomi tersebut telah menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya

alam dan lingkungan.

Pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya

perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komperhensif

mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya (Misra R.P, ”Regional

Development”,1982). Banyak cara untuk mengembangkan wilayah mulai dari

penggunaan konsep (alat) pembangunan sektoral, ”bassic need approach”, ”development poles”

(poles de croissance) yang digagas oleh F. Perroux (1955), ”growth center” yang digagas oleh

Friedman (1969) sampai kepada pengaturan ruang secara terpadu melalui proses

pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) secara sinergi dengan pengembangan

sumberdaya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang

berkelanjutan.

Untuk menjaga keberlanjutan pembangunan di masa mendatang, diperlukan

reorientasi paradigma pembangunan, baik dari segi arah, strategi maupun kebijakan.

9

Paradigma pembangunan berkelanjutan dapat menjadi solusi alternatif dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa mengabaikan kelestarian sumber daya alam dan

lingkungan. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan

adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip

“memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi

masa depan”.

Pembangunan berkelanjutan akan optimal jika disinergikan dengan komitmen

untuk membangun kemitraan di antara pelaku yakni antara masyarakat, pemerintah dan

privat sector. Pembangunan berkelanjutan dapat menjamin terciptanya efisiensi dan

pertumbuhan, keadilan dan pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Untuk

mendukung upaya ini diperlukan konsolidasi kelembagaan yang mantap, baik di tingkat

masyarakat, pihak swasta maupun pemerintah.

Cara pandang pembangunan yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi

yang didominasi oleh peranan pemerintah (top down) telah bergeser ke arah pemikiran

pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol

keadaannya dan lingkungannya. Paradigma baru yang berkembang adalah lebih

menekankan pada proses-proses partisipatif dan kolaboratif yang ditujukan untuk

meningkatkan kesejahteraan sosial termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi

pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta keberhasilan dan kemandirian.

Jadi jelaslah untuk melaksanakan pembangunan daerah sesuai kerangka pengembangan

wilayah, diperlukan adanya partisipasi masyarakat melalui pengembangan masyarakat

yakni mewujudkan masyarakat mandiri yang dapat memenuhi dan mengupayakan

pemenuhan kebutuhannya sendiri seiring dengan proses pembelajaran berpartisipasi yang

terkandung dalam pendekatan peran serta masyarakat dalam pengembangan wilayah. .

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang

merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan,

yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995

dalam Kartasasmita, 1996). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi

kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses

pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak

10

dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan

dimasa yang lalu.

Pemberdayaan merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang

menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan

kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh

ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber–sumber power.

Dengan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pengembangan wilayah

maka good governance dapat diwujudkan yang pada akhirnya semakin meningkatkan

efesiensi dan efektifitas pembangunan wilayah. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan

pembangunan akan lebih bisa dilakukan secara transparan, akuntabel, bermoral dan

beretika yang berorientasi pada rakyat.

Dengan konsep di atas, maka masyarakat merupakan obyek dan subyek dari

pembangunan. Masyarakat berperan serta aktif dalam pembangunan, baik dalam proses

perencanaan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi pembangunan. Kombinasi

pendekatan top down dan bottom up menjadi landasan dalam konsep ini. Jadi perencanaan

yang dilakukan merupakan perencanaan yang dilaksanakan bersama masyarakat dengan

melibatkan pemerintah, pihak swasta dan pihak lainnya seperti masyarakat dengan

berbasis pada masyarakat.

b. Perencanaan partisipatif

Bila dikaitkan dengan perencanaan partisipatif, maka perencanaan partisipatif

memerlukan adanya pengembangan masyarakat yang dapat menciptakan ruang bagi

masyarakat untuk berpartisipasi. Partisipasi masyarakat tersebut didasarkan pada basic

need dari masyarakat dan memerlukan adanya kelembagaan yang berkelanjutan (konsep

pembangunan berkelanjutan). Masyarakat dapat berpartisipasi jika masyarakat juga dapat

berdaya. Oleh karena itu perlu adanya proses pemberdayaan masyarakat. Perencanaan

partisipatif akan terjadi jika proses mengalirnya kekuasaan adalah dengan positive sum.

Perencanaan partisipatif dalam kerangka pengembangan masyarakat dan

pengembangan wilayah memiliki hubungan dalam kelembagaan. Salah satu basis

perencanaan partisipatif adalah pada kelembagaan lokal dan kapital sosial. Kita sering

11

hanya mengenal bahwa yang disebut sebagai kapital atau modal hanyalah kapital

ekonomi seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan faktor-faktor produksi

lainnya. Kapital lain yang berperan penting adalah kapital sosial. Perencanaan

partisipatif dilakuan dengan bertumpu pada kekuatan-kekuatan kelembagaan lokal,

transformasi modal sosial dan jejaring sebagai nilai tambah modal sosial.

Dalam rangka pengembangan wilayah berbasis pengembangan masyarakat yang

perlu dilakukan adalah bagaimana menata kembali modal sosial yang telah dimiliki dan

memperkuat keberadaan kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada.

Berbagai studi yang diungkapkan oleh Dasgupta (1997) memberikan bukti bahwa

kapital sosial mempunyai peran dalam pembangunan ekonomi. Bahkan Colleta (2000)

memberikan penjelasan tentang pentingnya kapital sosial dalam mengatasi konflik serta

mengelola pembangunan pasca konflik. Pengembangan kelembagaan serta penguatan

kapital sosial mampu menjadi motor penggerak dalam pembangunan.

Pengembangan kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari kapital sosial yang ada.

Kepercayaan, hubungan sosial dan norma merupakan tiga komponen penting yang

mampu menjadi perekat elemen masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan

baik maka kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan

efisien dalam melaksanakan pembangunan wilayah berbasis pengembangan masyarakat

yang partisipatif.

Berikut kerangka pemikiran pembanguan perkebunan kelapa sawit

berkelanjutan dan partisipatif :

12

ANALISIS KASUS

PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

DI KALIMANTAN BARAT

PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN

DAMPAK NEGATIF PEMBANGUNAN

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

BOTTOM UP

PEMBERDAYAAN

PARTISIPATIF

ARAS MIKRO

INSTITUSIONAL CAPASITY

TOP DOWN ARAS MAKRO

INSTITUSIONAL INSENTIF

KEBIJAKAN

FASILITATOR

PATISIPATIF

PATISIPATIF

PATISIPATIF

PATISIPATIF

KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PENGEMBANGAN MASYARAKAT

PENGEMBANGAN WILAYAH

MODAL SOSIAL

PRIVAT SECTOR

P

E

M

E

R

I

N

T

A

H

K

E

L

E

M

B

A

G

A

A

N

L

O

K

A

L

ORIENTASI

EKONOMI

Bagan 1 . Kerangka Pemikiran Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Partisipatif

13

Kalimantan Barat dengan luas 146.807 km2 merupakan provinsi terbesar keempat

setelah Papua atau Irian Jaya, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Provinsi ini

sekarang terdiri dari 12 wilayah kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Ketapang, Kabupaten

Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sanggau, Kabupaten

Sekadau, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Sambas, Kabupaten

Bengkayang, Kota Pontianak dan Kota Singkawang.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, proyeksi

pertumbuhan kelapa sawit Kalimantan Barat tahun 2005-2008 mencapai 4 % per tahun

dan proyeksi produksinya mencapai 15% per tahun. Sementara proyeksi pertumbuhan

komoditas karet hanya 1% dan proyeksi produksinya hanya 2%. Proyeksi ini tidak akan

jauh berbeda dari realisasinya bahkan bisa lebih dahsyat. Misalnya, tahun 2005

pemerintah mencanangkan 1,5 juta hektar sawit, ternyata di lapangan sudah lebih dari 3

juta hektar izin diberikan.

Di Kalimantan Barat, telah diterbitkan izin seluas 1,5 juta hektar lahan bagi

perkebunan kelapa sawit dengan realisasi 382.000 hektar. Sedangkan di Kalimantan

diterbitkan izin seluas 5,8 juta hektar, tetapi baru ditanami, 4,3 juta hektar. Tanah di

Kalimantan ditelantarkan (Kompas, 7 Oktober 2005, hal 24).

Penerbitan Izin untuk perkebunan kelapa sawit tersebut untuk mencapai tujuan

pemerintah yakni percepatan peningkatan perekonomian wilayah dimana secara sepihak

dilaksanakan karena sesuai dengan peraturan penerbitan Izin Lokasi sesuai dengan

Peraturan Menteri Agraria nomor 2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi dan Peraturan

Menteri Pertanian nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan

Usaha Perkebunan dinyatakan bahwa pemberian izin lokasi dan izin usaha perkebunan

merupakan kewenangan dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk wilayahnya. Hal

ini jelas memberi hak otonomi bagi pemerintah daerah untuk membuat perencanaan

pembangunan secara top down dalam pemberian izin tersebut karena tidak ada kewajiban

untuk berkordinasi dengan/pelibatan masyarakat masyarakat sebagai pihak yang terkena

dampak pemberian izin tersebut. Dalam peraturan tersebut hanya disyaratkan kewajiban

perusahaan besar sebagai pemegang izin untuk membangun areal kelapa sawit untuk

masyarakat seluas 20% dari luas areal yang akan dia kelola.

14

Dalam Rustiadi et all, 2009 diungkapkan bahwa terdapat efek atau dampak atau

Efek dari pelaksanaan proses perencanaan dengan sistem TOP DOWN yakni (1) Posisi

tawar masyarakat (social bargaining) dan inisiatif masyarakat lokal jadi lemah dan mudah

terjadi perampasan hak-hak yang mengarah kepada proses terjadinya pemiskinan

masyarakat di daerah, perdesaan dan lokal (seperti dalam pelaksanaan UU No. 5 tahun

1979 ); (2) Masyarakat tidak dapat menolak kebijakan pemerintah yang bersifat urban

biased, dalam eksploitasi SDA perdesaan yang merampas hak-hak masyarakat adat lokal

dengan memberikan hak-hak (konsesi) pada pihak-pihak yang kuat (konglomerat),

akibatnya terjadi net transfer nilai tambah sumberdaya lokal ke pusat-pusat perkotaan

(backwash process) ; (3) Rusaknya tatanan sosial masyarakat (social capital break down) di

daerah-daerah dan tingkat masyarakat komunal lokal : Tercermin dari berubahnya

perilaku individual yang tadinya memiliki perasaan kebersamaan jadi cenderung bersifat

rakus (hedonistik), individualistik dan bersikap saling curiga mencurigai satu dengan

lainnya (mistrust each other) dan mementingkan diri sendiri (selfish).

Hal inilah yang terjadi di Kalimantan Barat dimana kebijakan pemerintah dalam

investasi kelapa sawit di Kalimantan Barat, termasuk di kawasan perbatasan Indonesia

dan Malaysia, mendapat penolakan dari berbagai kalangan terutama LSM, karena

menurut mereka, sawit merupakan tanaman yang merusak lingkungan (mengganggu

ekosistem); rakus air, menyebabkan pendangkalan di sungai dan menurunkan

produktivitas tanah, menimbulkan economic loss yang jauh lebih besar dibandingkan

pendapatan yang diperoleh dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

menggeser tatanan budaya lokal karena terkikis oleh arus modernisasi sarana pertanian

dengan teknik yang serba canggih. Sementara itu kesejahteraan hanya dinikmati oleh

karyawan dan pengusahanya saja. Selain itu dikemukakan ada indikasi pembukaan kelapa

sawit hanya ulah investor untuk memperoleh kayu di hutan dan kebun sawit tidak sesuai

ditanam di Kalimantan (Kompas, 25 & 26 Januari 2006).

Secara politis, perkebunan kelapa sawit menghilangkan eksistensi masyarakat adat

terutama masyarakat Dayak karena pembukaan perkebunan kelapa sawit selalu disertai

masuknya transmigran dan karyawan perusahaan yang mayoritas didatangkan dari luar

Kalimantan Barat. Setiap tahunnya di Kalimantan Barat didatangkan 7.000 transmigran

15

dari Pulau Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Jumlah transmigran yang besar tersebut

sangat berpengaruh secara politis terhadap pembuatan keputusan politik pemerintah.

Misalnya, pemerintah selalu menyediakan sekolah, sarana pengobatan, jalan raya, rumah

ibadah dan prasarana sosial lainnya di lokasi perkebunan kelapa sawit. Sedangkan di

kampung-kampung Dayak tidak dibangun prasarana sosial seperti itu karena

komunitasnya lebih sedikit dibandingkan transmigran.

Dampak perkebunan kelapa sawit yang paling buruk adalah terjadinya konflik

antara masyarakat adat dengan perusahaan kelapa sawit. Di Kabupaten Bengkayang,

konflik terjadi antara masyarakat adat Dayak dengan PT. CP dan PT. MISP sejak tahun

1988 hingga 2004. Tahun 2000, base camp PT. MISP dibakar massa dan merampas alat

berat milik perusahaan. Konflik terjadi karena perusahaan tidak memberikan kebun

sawit, padahal masyarakat Dayak Bakati' di sana telah menyerahkan tanah.

Karena sangat buruknya dampak perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat adat,

maka Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), gabungan aliansi masyarakat adat

dari 30 provinsi di Indonesia, dalam kongres nasional ke-3 Maret 2007 di Pontianak,

menuntut agar hak-hak masyarakat atas sumber daya alam yang dirampas dan dibeli

secara paksa oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dikembalikan. Masyarakat adat

menolak perkebunan kelapa sawit karena menghilangkan budaya, identitas dan eksistensi

mereka. Bagi masyarakat adat, hutan, tanah dan segala isinya adalah pembentuk

kebudayaan dan peradaban mereka.

Hal ini terjadi karena pemerintah dalam perencanaan pembangunan

perkebunansawit di Kalimantan Barat tersebut tidak pernah mempertimbangkan prinsip

pembangunan berkelanjutan, hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dengan

melihat keuntung hanya dari sisi keuntungan ekonomi saja. Dari sisi sosial misalnya

pemerintah tidak pernah memperhitungkan keberadaan masyarakat sebagai pihak yang

seharusnya ikut terlibat pada pengambilan keputusan tersebut, apalagi masyarakat

merupakan pihak yang terkena dampak akibat pembukaan lahan yang akan terjadi setelah

pemberian izin tersebut. Pemerintah hanya memandang masyarakat sebagai objek bukan

sebagai subjek. Padahal masyarakatlah yang lebih tahu tentang lahan yang telah mereka

miliki dan usahai selama bertahun-tahun bagaimana situasi dan kondisinya, terutama

16

masyarakat adat yang telah mengelola hutan secara lestari yang kemudian tanpa

pemberitahuan kepada masyarakat akan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit

tersebut, karena biasanya sosialisasi akan dilakukan setelah izin diberikan kepada

investor.

Pemberian izin juga seringkali dilakukan oleh pemerintah tanpa

mempertimbangkan aspek lingkungan yang menjadi dampak pelaksanaan konversi hutan

menjadi perkebunan kelapa sawit. Di Kalimantan Barat sebagai akibatnya kebakaran

hutan dan lahan hampir setiap tahun terjadi di Indonesia terutama di wilayah Provinsi

Kalimantan Barat. Tahun 1997-1998, kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana

nasional. Diperkirakan Indonesia mengalami kerugian US$10 miliar karena kerusakan

sekitar 10 juta hektar lahan. Setelah 1997-1998, kebakaran hutan masih terjadi hingga

November 2006, dan kerugian demi kerugian terus diperoleh.

Kebijakan konversi hutan dan pengembangan perkebunan besar tidak akan lepas

dari kerangka perencanaan pemerintah pusat, baik berupa produk peraturan

perundangan-undangan dan kebijakan, maupun perangkat kelembagaan dari tingkat

pusat sampai daerah, dan investor PMDN maupun PMA yang selama ini telah berperan

sebagai pelaku usaha. Kondisi perekonomian nasional sendiri bersifat terbuka, dimana

arus modal/investasi internasional dapat masuk dalam usaha perkebunan besar kelapa

sawit. Fenomena tentang besarnya pengaruh tekanan dari pihak berkepentingan, berupa

masukan, tuntutan atau dukungan, dalam pembuatan kebijakan yang mengakibatkan

kebijakan tersebut tidak rasional dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam

pelaksanaan.

Di sisi lain, kondisi internal yang ada pada wilayah yang areal hutannya dikonversi

untuk pengembangan perkebunan besar terdapat masyarakat yang telah mengelola

potensi sumber daya alam dengan kekuatan kearifan tradisional secara turun temurun.

Disamping itu, terdapat institusi atau kelembagaan perekonomian lokal, sumber daya

manusia dan kesesuaian teknologi yang telah dikembangkan oleh masyarakat lokal.

Kehadiran perkebunan besar yang mengubah bentang alam secara mendasar tersebut

akan berdampak serius pada perubahan ekosistem dan eksistensi pengelolaan sumber

daya alam oleh masyarakat setempat.

17

Ada tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah yang dapat dilihat sebagai

kesuksesan pembangunan daerah. Indikator pertama adalah produktivitas, yang dapat

diukur dari perkembangan kinerja suatu institusi beserta aparatnya. Indikatorkedua

adalah efisiensi, yang terkait dengan meningkatnya kemampuantekhnologi/sistem dan

kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaanpembangunan. Terakhir adalah

partisipasi masyarakat, yang dapat menjaminkesinambungan pelaksanaan suatu

program di suatu wilayah. Ketiga indikator keberhasilan tersebut terkait erat dengan

faktor-faktor yang menjadi ciri suatu wilayah dan membedakannya dengan wilayah

lainnya seperti kondisi politikdan sosial, struktur kelembagaan, komitmen aparat dan

masyarakat, dan tingkat kemampuan/pendidikan aparat dan masyarakat. Pada akhirnya,

keberhasilan pengembangan suatu wilayah bergantung pula pada kemampuan

berkoordinasi, mengakomodasikan dan memfasilitasi semua kepentingan, serta

kreativitas yang inovatif untuk terlaksananya pembangunan yang aspiratif dan

berkelanjutan.

BAB 3

KESIMPULAN

18

Dilihat dari pertimbangan dan pokok-pokok yang diatur dalam kebijakan

pelepasan kawasan hutan dan perkebunan besar kelapa sawit, maka kepentingan

pemerintah atas kebijakan tersebut adalah untuk pengembangan ekonomi nasional yang

berorientasi pertumbuhan ekonomi, terutama peningkatan devisa, dan kesejahteraan

rakyat terutama penyerapan tenaga kerja yang bahkan disebutkan sebagai instrumen

pemerataan dan pengembangan ekonomi rakyat. Dalam kebijakan tersebut juga

dinyatakan bahwa konversi hutan untuk perkebunan besar tidak boleh merusak dan

mengganggu lingkungan hutan dan kelestarian hutan sehingga harus memperhatikan

asas-asas konservasi lahan. Tiga hal tersebut; yakni kepentingan ekonomi nasional,

kepentingan kesejahteraan rakyat dan kepentingan pelestarian lingkungan, merupakan

nilai-nilai mendasar yang melandasi perumusan kebijakan dan penerapannya. Namun

nilai-nilai kebijakan tersebut masih belum mampu membuat kebijakan dilaksanakan

dengan baik karena ternyata kepentingan para pengusaha lebih dominan dan menguasai

pengembangan usaha perkebunan besar kelapa sawit.

Kebutuhan lahan hutan untuk pengembangan perkebunan membuat laju

konversi hutan menjadi lahan non hutan berjalan cepat. Walaupun kebutuhan lahan

untuk pengembangan perkebunan dibenarkan, tetapi proses konversi hutan yang

dilakukan tidak didasarkan akan kaidah ekologi, ekonomi dan sosial. Untuk itu perlu

dipikirkan, apakah saat ini masih perlu konversi hutan, ataukah lebih baik merencanakan

penggunaan sumber daya hutan yang lebih mendatangkan keuntungan bagi masyarakat.

Jika memang diperlukan konversi hutan, maka berapa luas, bagaimana proses

konversinya, untuk apa dan bagaimana pola tata guna lahan. Jika konversi hutan tidak

mensejahterakan rakyat, maka tidak perlu lebih banyak lagi hutan yang akan dikonversi.

Selain itu, dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional, selama ini hutan dilihat

sebagai aset ekonomi yang dikelola berdasarkan „pengelolaan pohon‟ bukan „pengelolaan

ekosistem‟. Keberlanjutan sumber daya hutan menghendaki pengelolaan ekosistem hutan

secara bijaksana.

Hal yang penting untuk perbaikan penerapan kebijakan di masa mendatang,

kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan harus memiliki daya penegakan

19

untuk dapat diterapkan secara tegas dan mempersempit ruang bagi terjadinya perilaku

penyimpangan kebijakan. Selama ini dalam sejarah penegakan kebijakan dan hukum

lingkungan di Indonesia, sangat sulit untuk mengangkat masalah lingkungan hidup

terutama di pengadilan dan menuntut pelaku yang melanggar kebijakan sehingga

merusak lingkungan untuk bertanggung jawab. Kondisi ini sangat berkaitan dengan

lemahnya daya penegakan kebijakan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam pelaksanaan

kebijakan yang berkitan dengan konversi hutan untuk pengembangan perkebunan besar,

pemerintah diharapkan secara konsisten dan terus menerus meningkatkan penguatan

penerapan hukum dan sekaligus mengurangi ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan

yang bersumber pada ketidakjujuran dan akuntabilitas aparat birokrasi.

Di saat arus demokratisasi menjadi arah sistem politik di Indonesia dan tekanan

kuat pemberlakuan otonomi daerah, maka disamping daya penegakan dalam setiap

penerapan kebijakan harus mencerminkan transparansi, partisipasi semua pihak secara

adil, menggunakan pendekatan bawah-atas, akuntabilitas pada publik dan dimaksudkan

bagi kebaikan publik, khususnya manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat sekitar

kawasan hutan. Jika ini menjadi prinsip dalam penerapan kebijakan maka tidak akan

terdapat perbedaan yang mendasar antara nilai-nilai kebijakan yang tercermin dalam

rumusan kebijakan dengan penerapan kebijakan sehingga praktek penyimpangan dapat

dihindari.

20

Daftar Pustaka

Arturo Israel (1990) “Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia.”

Jakarta: LP3ES

Colletta, Nat J. and Michelle L. Cullen. 2000. Violent Conflict and the Transformation of

Social Capital, Lesson from Cambodia, Ruanda, Guetamala, and Somalia. Washington:

The World Bank

David C Korten dan Sjahrir (Penyunting). 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Diana Conyers. 1994. Perencanaan Sosial Di Dunia Ketiga Suatu Pengantar. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Diane Warburton (Ed). 1998. Community and Sustainable Development Participation in the

Future. London: Earthscan Publications Ltd.

Ernan Rustiadi et.al. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Harry Hikmat. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama

Press.

John Friedman. 1993. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge

Mass: Blackwell Book. (Pp:14-36)

Janting, Pangau, 2007. Fenomena Sawit dan Kabut Asap di Kalimantan Barat. Kalimantan

Review. 25 Mei 2007.

Norman Uphoff. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with Cases.

Connecticut: Kumarian Press, Inc.

Norman Long (1987) “Sosiologi Pembangunan Pedesaan.” Jakarta: PT. Bina Aksara

Norman Uphoff. 2000. Understanding Social Capital: Learning from the Analysisi and

Experience of Participation in.Social Capital A Multifaceted Perspective by Partha Dasgupta

& Ismail Seregeldin. Washington: The World Bank.

Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusumah. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah Strategi

Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia

Pustaka Utama