kajian industri peter nakan mend ukung...
TRANSCRIPT
SWKAJIA
WASEM
PUSBAD
PR
AN INDMBADA
SAT SOSIADAN PENE
ROPOSAL
USTRI DAGIN
T
AL EKONOELITIAN D
KEMENT
L PENELIT
PETERNG: Kom
Tim Pene
Saptan
OMI DANDAN PENGTERIAN P
2014
TIAN TA.2
RNAKANmoditas
liti:
a
N KEBIJAKGEMBANGPERTANIA
2015
N MENDs Sapi d
KAN PERTGAN PERTAN
DUKUNGdan Ker
TANIAN TANIAN
1
G rbau
2
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setelah Indonesia masuki perdagangan bebas di kawasan AFTA pada tahun
2003, perdagangan bebas kawasan APEC 2010, pemberlakuan perjanjian
perdagangan bebas antara ASEAN-6 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,
Thailand, dan Brunai Darussalam) dengan Cina (AC-FTA) yang dimulai pada 1 Januari
2010, menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, kemudian secara internassional
Indonesia akan memasuki perdagangan bebas secara terbuka pada tahun 2020.
Industri peternakan merupakan sektor ekonomi yang sangat penting bagi
manusia sebagai penyedia sumber protein hewani. Daging termasuk salah satu
sembilan bahan pokok bagi masyarakat sehingga memiliki posisi yang strategis dalam
perekonomian nasional. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan daging nasional
menjadi salah satu prioritas utama yang tercantum dalam Renstra Kemeterian
Pertanian 2009-2014 dengan menargetkan terwujudnya swasembada daging pada
tahun 2014. Pada masa mendatang upaya peningkatan produksi daging sapi dan
ayam tetap menjadi prioritas pembangunan pertanian nasional untuk dapat memenuhi
kebutuhan pangan hewani. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Seiring bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dan membaiknya tingkat
pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di angka 6% per tahun, trend
konsumsi daging dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sumber-sumber
pertumbuhan daging sapi potong dan daging ayam (broiler) ke depan dari sisi
permintaan ditentukan oleh faktor jumlah penduduk dan pertumbuhannya, tingkat
pendapatan, fenomena urbanisasi dan segmentasi pasar, serta preferensi konsumen.
Data statistik Peternakan dan Keswan (2013) mencatat bahwa secara
keseluruhan konsumsi daging per kapita mengalami kenaikan sebesar 9,49% pada
rentang 2008-2012. Konsumsi daging per kapita pada tahun 2008 sebesar 6,43
Kg/Kapita/Tahun meningkat menjadi 7,04 Kg/Kapita/Tahun pada tahun 2012. Namun,
konsumsi daging sapi mengalami penurunan sebesar 2,53% selama lima tahun
terakhir. Tingkat konsumsi daging per kapita di Indonesia lebih rendah dibandingkan
rata-rata konsumsi daging di negara maju sebesar 79 kg perkapita/tahun maupun
negara berkembang sebesar 32,7 kg perkapita/tahun.
Pada sisi penawaran faktor-faktor yang berpengaruh adalah produksi,
produktivitas dan daya saing produk daging sapi dan daging kerbau. Hal ini sangat
3
terkait erat dengan ketersediaan dan harga bibit, ketersediaan dan harga pakan
ternak tercakup hijauan makanan ternak (HMT), perubahan tekonologi (genetika,
pakan dan logistik), ketersediaan air bersih, ketersediaan dan harga energi, dan
lingkungan kebijakan yang kondusif (kerangka insentif, regulasi pasar, kebijakan
kredit, sanitary standards, kebijakan pertanahan, ketenagakerjaaan dan lingkungan).
Produksi daging secara nasional tahun 2013 bersumber dari ternak unggas mencapai
1.880, 27 ton (66,5%), sapi 545,62 ton (19,3%), babi 245,60 ton (8,7%), dan sisanya
dari ternak lainnya 156,23 ton (5,5%).
Dalam perekonomian modern, secara garis besar pemerintah paling tidak
memiliki tiga fungsi sentral, yaitu : (1) meningkatkan efisiensi; (2) menciptakan
pemerataan atau keadilan, serta (3) memacu pertumbuhan ekonomi secara makro
dan menjaga stabilitasnya (samuelson dan Nordhaus, 1993). Pemerintah dewasa ini
telah menetapkan program pembangunan dengan menggunakan strategi tiga jalur
(triple tracks strategy) yakni berasaskan pro-growth, pro-employment, dan pro-poor.
Pembangunan peternakan dalam arti luas dengan pendekatan agribisnis dan
agroindustri dipandang sebagai pilihan yang strategis. Meskipun banyak kemajuan
yang telah dicapai sampai saat ini, perkembangan industri peternakan belum
berkembang seperti yang diharapkan. Terjadi dualisme ekonomi dalam perkembangan
industri peternakan nasional, yaitu tumbuhnya perusahaan-perusahaan besar yang
melakukan integrasi secara vertikal dan peternakan rakyat yang melakukan usaha
secara mandiri atau menjalin kemitraan usaha. Namun demikian kemitraan usaha
yang terbangun belum bersifat saling membutuhkan, memperkuat, dan
menguntungkan. Perlu adanya kajian tentang industri peternakan secara holistik
dalam mendukung swasembada daging dan memperkuat peternakan rakyat.
Dalam kontek fungsi yang dijalankan pemerintah serta program pembangunan
melalui strategi tiga jalur di atas, kajian industri peternakan secara holistik dalam
rangka mendukung swasembada daging sapi dan memperkuat peternakan rakyat
dipandang sangat relefan. Pengembangan industri peternakan menghadapi
permasalahan-permasalahan pokok baik mencakup aspek teknis, ekonomi,
kelembagaan, dan aspek kebijakan. Pada masa depan sejalan dengan pertumbuhan
jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, preferensi masyarakat, berkembangnya
pasar modern disamping pasar tradisional, serta berkembangnya industri kuliner maka
permintaan produk-produk berbasis peternakan semakin meningkat.
Beberapa permasalahan utama dalam pengembangan industri peternakan
adalah: (1) Adanya dualisme dalam industri peternakan antara perusahaan peternakan
4
skala besar dan peternakan rakyat, menempatkan peternak rakyat semakin sulit; (2)
Masalah penyediaan bahan baku pakan industri peternakan, baik ternak komersial
maupun ternak lokal menghadapi keterbatasan bahan pakan, sebagian besar bahan
baku pakan ternak penting harus diimpor, impor jagung mencapai 40-50 persen;
bungkil kedelai 95 persen; tepung ikan 90-92 persen; serta semakin terbatasnya
ketersediaan hijauan pakan ternak dari alam; (3) Adanya indikasi terjadinya
ketimpangan struktur pasar baik pada pasar input maupun output pada industri
peternakan; (4) Belum terjadinya proses hilirisasi industri peternakan berbasis hasil
ternak sapi dan kerbau, sehingga nilai tambah yang tercipta masih terbatas; (5)
Sistem distribusi dan rantai pasok yang efisien, sehingga belum keterpaduan produk
maupun koordinasi antar pelaku usaha; (6) Industri peternakan sangat rentan
terhadap gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi, wabah penyakit ternak dan krisis
global dewasa ini; serta (7) Isu-isu lingkungan terhadap usaha industri peternakan,
sehingga memerlukan pendekatan baru dalam pengembangannya.
1.2. Perumusan Masalah
Kondisi ketergantungan terhadap produk pangan hewani impor yang semakin
besar terutama daging sapi memicu terjadinya gejolak harga. Harga produk pangan
hewani memiliki trend yang terus meningkat dan sering berfluktuasi pada tingkat
harga yang tinggi. Gejolak dan fluktuasi harga yang tidak terkendali menyebabkan
ketidakpastian pelaku usaha dan meresahkan masyarakat konsumen. Sebagai barang
konsumsi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, gejolak harga daging yang
terjadi berpotensi menimbulkan dampak ekonomi, sosial, dan politik, secara nasional.
Oleh sebab itu, daging menjadi salah satu komoditas yang penting untuk dikendalikan
pemerintah diantaranya melalui pengaturan pasokan dan stabilisasi harga.
Terkait dengan posisi strategis industri peternakan, maka penting untuk
menfokuskan kebijakan holistik pada keseluruhan rantai pasok industri peternakan
berbasis sapi dan kerbau. Koordinasi dan keterhubungan antar bagian dalam
keseluruhan rantai pasok produk daging perlu mendapat perhatian dalam rangka
meningkatkan keterpaduan proses produksi dan keterpaduan antar pelaku usaha.
Keterhubungan tersebut merupakan mekanisme organisasional yang memungkinkan
masing-masing subsistem usaha pada keseluruhan rantai pasok mendapatkan insentif
dan bekerja sinergis, sehingga menghasilkan kinerja sistem yang memberi manfaat
bagi semua pelaku usaha yang ada dalam sistem agribisnis daging.
5
Beberapa permasalahan pokok dalam industri peternakan adalah: (a) Masalah
ketergantungan terhadap bahan baku pakan impor dan keterbatasan ketersediaan
hijauan makanan ternak (HMT); (b) Adanya indikasi terjadinya ketimpangan struktur
pasar pada pasar daging sapi dan daging kerbau, dimana yang menempatkan
peternak kecil dalam posisi lemah; (c) Manajemen rantai pasok pada daging sapi dan
daging kerbau yang belum berjalan secara optimal, sehingga koordinasi produk
maupun koordinasi antar pelaku belum berjalan secara terpadu; dan (e) Rantai pasok
daging sapi dan daging kerbau rentan terhadap gejolak eksternal (krisis ekonomi,
krisis finansial global dan wabah penyakit ternak).
Berdasarkan konteks itulah diperlukan informasi ekonomi yang terkait dengan
kinerja industri peternakan komoditas daging sapi dan daging kerbau. Informasi
ekonomi tersebut antara lain peran industri peternakan, kelayakan usaha, kinerja
rantai pasok, dan analisis rantai nilai, nilai tambah. Informasi tentang kinerja industri
peternakan merupakan menjadi input penting bagi perumusan kebijakan yang efektif
dan relevan. Dengan demikian sangat penting dilakukan analisis kelayakan usaha,
kinerja rantai pasok, dan analisis rantai nilai pada komoditas daging sapi dan daging
kerbau. Kajian ini akan memberi landasan tentang perlu tidaknya opsi baru bagi
kebijakan industri peternakan untuk mengatasi permasalahan yang ada dengan
merubah kebijakan yang telah ada. Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan yang
akan dijawab dalam kajian ini adalah bagaimanakah kinerja industri petrenakan
berbasis daging sapi dan daging kerbau di di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut, secara umum kegiatan penelitian ini adalah
mengetahui kinerja dan strategi pengembangan industri peternakan. Secara terperinci
tujuan penelitian ini adalah:
1. Peran industri peternakan dalam pembangunan ekonomi
2. Mengkaji struktur industri sapi dan kerbau
3. Menganalisis kelayakan usahaternak sapi dan kerbau
4. Menganalisis manajemen rantai pasok produk daging sapi dan kerbau
5. Tantangan dan peluang pengembangan industri peternakan berbasis sapi dan
kerbau.
6
1.4. Keluaran
Luaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah:
1. Teridentifikasinya peran industri peternakan dalam pembangunan ekonomi
2. Teridentifikasinya struktur industri peternakan sapi dan kerbau
3. Hasil analisis kelayakan usahaternak sapi dan kerbabau
4. Hasil analisis rantai pasok produk daging sapi dan kerbau
5. Teridentifikasinya tantangan dan peluang pengembangan industri peternakan.
1.5. Penerima Manfaat
Penerima manfaat dari kegiatan ini adalah Kementerian Pertanian sebagai
kementerian yang mempunyai tugas meningkatkan produksi peternakan,
Kementerian Perdagangan yang menangani perdagangan komoditas, dan Kementerian
Perindustrian yang menagangani pengolahan hasil, peternak, dan masyarakat
peternakan.
Luaran kegiatan ini sangat berguna bagi Kementerian Pertanian khususnya
Direktorat Jenderal Peternakan merumuskan kebijakan kegiatan aksi dalam melakukan
pengembangan industri peternakan secara holistik. Bagi Kementerian Perdagangan,
luaran kegiatan ini dapat dijadikan rujukan dalam meningkatkan kelancaran distribusi
dan pemasaran produk daging sapi dan kerbau, sehingga mampu mendukung
swasembada daging dan ketahanan pangan hewani. Bagi Kementerian Perindustrian,
luaran ini dapat dijadikan rujukan dalam menjamin ketersediaan bahan baku industri
berbasis hasil daging sapi dan kerbau.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Industri Peternakan
Berdasarkan data FAO, produksi daging dunia bersumber dari 14 jenis binatang
yang telah didomestikasi (FAO, 2009). Di Indonesia, data yang ada hanya berasal dari
delapan jenis binatang yang telah didomestikasi, termasuk sapi dan kerbau (Statistik
Peternakan dan keswan, 2010). Berdasarkan struktur perkembangan peran daging di
Indonesia dan dunia merefleksikan beberapa hal pokok (Statistik peternakan, 2010) :
(1) Struktur daging Idonesia dan dunia menunjukkan menurunnya peran produksi
ruminansia besar (Sapi dan Kerbau), relatif stabilnya peran ruminansia kecil (babi) dan
ternak lainnya (kambing dan domba), serta meningkatnya peran daging unggas; (2)
7
Peran daging unggas Indonesia semakin meningkat bersifat sejalan dengan yang
terjadi di dunia, bahkan berjalan jauh lebih cepat dibandingkan peran unggas di dunia.
Perubahan struktur tersebut disebabkan semakin tingginya produksi daging ayam
sejalan dengan meningkatnya industri perunggasan nasional. Sementara itu, industri
sapi potong yang masih mengandalkan industri peternakan rakyat dengan dukungan
pihak industri (feedlotter) belum mampu mengimbangi permintaan daging sapi
domestik.
Data global menunjukkan produksi daging dunia masih terus meningkat (FAO,
beberapa tahun dan Index Mundi, 2004-2012). Fenomena yang terjadi adalah laju
peningkatan daging unggas lebih tinggi dbandingkan laju peningkatan produksi daging
sapi. Mulai tahun 2001 produksi daging unggas dunia bahkan melampaui produksi
daging sapi yang selama ini mendominasi produksi daging dunia (Bappenas, 2006).
Artinya dengan makin meningkatnya teknologi pada industri perunggasan (genetika,
budidaya, panen dan pasca panen, sistem transportasi, serta pengolahan hasil produk
unggas) terjadi transformasi produksi dari dominasi sapi ke dominasi unggas.
Pentingnya pengembangan industri peternakan berbasis sapi dan kerbau.
2.2. Kelayakan Usaha
Untuk memberikan keuntungan yang lebih baik, pengembangan sistem
usahaternak sapi dan kerbau perlu diimbangi dengan peningkatan mamajemen
dengan upaya pemanfaatan semua produk pertanian sehingga tercapai pola zero
waste atau tidak ada bagian yang terbuang dan tersedianya sumber pakan dengan
biaya minim (zero cost). Pemanfaatan limbah untuk pakan ternak dengan
ketersediaan yang cukup (in-situ situation) akan menghidupi ternak tanpa perlu
mendatangkan pakan dari luar (ex-situ situation) (Djajanegara., et. al., 2005). Namun
dalam implementasinya tidaklah mudah, karena sebagian besar peternak sapi dan
kerbau menggunakan pakan dari luar dengan cara mencari dialam bebas rumput alam
maupun membeli dedak/bekatul, singkong, ampas tahu, dan hasil samping lainnya
untuk pakan komboran.
Hasil kajian kelayakan usahaternak sapi memberikan keuntungan. Hasil kajian
Diwyanto et al., (2004) sistem integrasi tanaman ternak di lahan perkebunan sawit,
dengan menggunakan sapi sebagai tenaga kerja di perkebunan sawit berakibat pada
peningkatan pendapatan pemanen sekitar 50% melalui penerimaan upah panen,
dimana tenaga seekor sapi dapat digunakan kegiatan memanen 15 ha kebun sawit
secara bergilir. Pada usahatani integrasi sapi-tebu, pupuk kandang yang dihasilkan
8
dari tiga ekor sapi dewasa selama setahun dapat menghemat 50 persen aplikasi pupuk
organik pada tanaman tebu. Pendapatan usaha penggemukan sapi menggunakan
limbah kulit kopi memberikan peningkatan sebesar 41,9% bila hanya memberikan
hijauan saja (Parwati et al. 2009).
Hasil penelitian Diwyanto dan Haryanto (2001) menunjukkan bahwa integrasi
ternak dengan padi pola tanam IP 300 yang dilakukan di Yogyakarta dan di
Sukamandi mampu meningkatkan pengasilan petani hingga seratus persen apabila
dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa ternak. Sekitar empat puluh persen hasil
tersebut berasal dari nilai tambah pupuk organik yang diperoleh dari ternak sapi.
Sementara hasil penelitian Zurriyati, (2008) menunjukkan bahwa peningkatan
pendapatan petani dapat dilakukan dengan sistem usahatani terpadu/terintegrasi
antara tanaman dan ternak sapi potong. Pembuatan dari kotoran sapi merupakan
salah satu peluang tambahan pendapatan petani dari kegiatan usahatani tersebut.
Tambahan pendapatan petani kasus di Desa Masda Makmur kabupaten Rokan Hulu-
Riau, dari hasil kompos pendapatan petani mampu meningkat antara 30 persen
sampai dengan seratus persen.
Model usahatani petani yang mengintegrasikan tanaman pangan dengan ternak
sapi, kambing dan ayam, di Batumarta, Sumatera Selatan merupakan model integrasi
multi-komoditas yang paling efisien dan berkelanjutan (Anwarhan dan Supriadi, 1994).
Sukses pengembangan model usahatani tanaman ternak di Batumarta didukung oleh
sistem modal bergulir yang merupakan faktor kunci keberhasilan adopsi teknologi
dalam pengembangan integrasi tanaman ternak (Anwarhan dan Supriadi, 1994).
Integrasi tanaman dan ternak dengan penggunaan varitas unggul yang diikuti
dengan introduksi teknologi pada tanaman padi gogo dan kacang tanah, perbaikan
pakan dan pemanfaatan sumber daya lokal dapat menekan biaya dan meningkatkan
produksi yang akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan petani (Subiharta,
et al., 2006).
2.4. Kinerja Rantai Pasok
Manajemen rantai pasok (SCM) merujuk pada manajemen keseluruhan proses
produksi, distribusi dan pemasaran di mana konsumen dihadapkan pada produk-
produk yang sesuai dengan keinginannya dan produsen dapat memproduksi produk-
produknya dengan jumlah, kualitas, waktu dan lokasi yang tepat (Daryanto, 2008).
Minat untuk mempelajari SCM, baik secara akademis dan bisnis praktis, mulai muncul
sejak awal 1990-an di Eropa dan Amerika Serikat. Paradigma yang melandasi konsep
9
SCM adalah ‘bekerja bersama lebih menguntungkan daripada bekerja sendiri-sendiri’
atau dari pola kerja yang bersifat individualis, mandiri, dan oportunistik ke arah pola
kerja yang bersifat kolaborasi, transparansi (terbuka), komitmen, saling percaya, serta
berbagi informasi dan nilai tambah (Poerwanto, 2013). Konsep dan aplikasi SCM telah
menjadi salah satu area kunci dalam riset dan bisnis praktis di bidang agribisnis di
negara-negara maju selama 20 tahun terakhir ini. Sayangnya, penggunaan SCM bagi
perusahaan-perusahaan di bidang pertanian khususnya di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, saat ini masih terbatas.
Rantai pasok berupaya menganalisis interaksi vertikal antar pelaku yang
terlibat dalam keseluruhan rantai pasok. Manajemen kinerja dan perbaikan
berkelanjutan merupakan salah satu aspek penting yang perlu dikaji dari rantai pasok.
Dengan demikian diperlukan adanya sistem pengukuran untuk melihat kinerja rantai
pasok secara holistik.
2.5. Analisis Rantai Nilai
Menurut Kaplinsky dan Morris (2001), analisis rantai nilai adalah kegiatan
lengkap yang diawali dari konsep, fase produksi (termasuk di dalamnya kombinasi
transformasi fisik dan bermacam pasokan input), mengirimkan ke pelanggan melalui
pedagang, pengolah dan distributor; hingga ke konsumen akhir, sehingga perusahaan
memiliki keunggulan kompetitif. Terdapat tiga tahapan dalam analisis rantai nilai: (a)
Mengidentifikasi aktivitas rantai nilai, perusahaan mengidentifikasi aktivitas rantai nilai
yang harus dilakukan perusahaan, mungkin hanya terlibat dalam aktivitas tunggal atau
sebagian dari aktivitas keseluruhan; (b) Mengidentifikasi faktor kunci sukses (key
success factor) pada setiap aktivitas nilai yang akan menjadi penentu dalam proses
rantai nilai tersebut; dan (c) Mengembangkan keunggulan kompetitif dengan
upgrading, baik dalam bentuk process up grading, functional up grading, dan chain up
grading.
Pengembangan sistem agribisnis berbegai komoditas komersial bernilai ekonomi
tinggi, tercakup daging sapi dan broiler dari hulu sampai ke hilir dalam kenyataannya
lebih banyak digerakkan oleh pelaku usaha swasta, sebagai akibat tarikan pasar
(demand driven) (Saptana dan Daryanto, 2013). Sebagai implikasinya di bagian hilir,
peranan pasar modern seperti supermarket dan hypermarket, konsumen institusi
(hotel, restauran), dan industri pengolahan yang mengandalkan manajemen rantai
pasok (supply chain management/SCM) yang baik merupakan suatu keniscayaan.
Standar kualitas yang ditetapkan sering kali mempersulit para petani dan usaha kecil
10
yang bertindak sendiri-sendiri untuk mengambil bagian di pasar ini, sehingga perlu
adanya mediasi kelembagaan kemitraan usaha agribisnis dalam berbagai pola
kemitraan dan tindakan kolektif melaui konsolidasi kelembagaan petani.
Kinerja pasar produk-produk peternakan sering kali terganggu karena
mekanisme pasar yang tidak berjalan secara baik karena struktur pasar yang timpang,
kondisi infrastruktur pertanian yang kurang mendukung, jasa pendukung yang tidak
memadai, dan konsolidasi kelembagaan peternak yang lemah sehingga meningkatkan
biaya transaksi ekonomi dan volatilitas harga dari produk-produk peternakan. Oleh
karena itu, peran serta peternak rakyat sangat tergantung dari berfungsi atau tidaknya
pasar produk-produk peternakan tersebut secara efisien dan kinerja manajemen rantai
pasok dari hulu hingga hilir.
Rantai nilai adalah bagaimana mengorganisasikan keterkaitan antara
kelompok-kelompok produsen, para pedagang pada berbagai tingkatan, industri
pengolah, dan penyedia jasa-jasa penunjang dimana mereka bergabung bersama
dalam upaya meningkatkan produktivitas dan nilai tambah pada aktivitas usaha yang
mereka jalankan (Saptana dan Daryanto, 2013). Terdapat dua tipe aktivitas value
chain, yaitu : (1) aktivitas utama meliputi logistik masuk, operasional, logistik keluar,
pemasaran, serta penjualan dan pelayanan; dan (2) aktivitas pendukung meliputi
dukungan infrastruktur, manajemen SDM, pengembangan teknologi, dan persediaan.
Aktivitas pendukung merupakan fungsi-fungsi yang terintegrasi yang berlangsung
pada setiap aktivitas utama.
Rantai nilai (value chain) tidak sama dengan rantai pasok (supply chain).
Rantai nilai adalah tentang keterkaitan yang menghasilkan nilai bagi para pelanggan
atau konsumen dengan cara menghasilkan kinerja yang lebih efisien dan produk lebih
unik dibandingkan pesaingnya. Sementara itu, rantai pasok (supply chain) adalah
tentang proses bagaimana menggerakkan dan mengubah komoditas menjadi produk
dari produsen ke konsumen.
Konsep-konsep penting dalam analisis rantai nilai meliputi mencakup (Goletti,
2004) : (1) Rantai nilai mengorganisir hubungan bisnis antar pelaku untuk bekerja
sama; (2) Pelaku yang berbeda dalam rantai nilai untuk dapat saling bekerja sama
membutuhkan koordinasi yang efektif dalam pengambilan keputusan dan melakukan
pertukaran; (3) Aturan yang mengatur sistem koordinasi dalam rantai nilai merupakan
pengelolaan rantai; (4) Untuk meningkatkan nilai, rantai nilai harus dapat memenuhi
permintaan konsumen; (5) Untuk memenuhi permintaan konsumen, para pelaku
dalam rantai nilai harus dapat memenuhi permintaan konsumen lebih baik dari
11
kompetitornya; (6) Dalam rangka menjaga daya saing, dalam rantai nilai perlu
melakukan inovasi secara terus-menerus untuk meningkatkan daya saing produk; (7)
Agar dalam rantai terbangun hubungan yang efektif antar pelaku, maka adanya
distribusi manfaat secara adil dan memberikan insentif kepada para pelakunya.
Karakteristik rantai nilai yang efektif menurut ADB (2000) adalah : (1)
Menghasilkan produk yang terdeferensiasi; (2) Inovasi yang terus-menerus, melalui
pengembangan produk, perubahan tekhnologi, managemen yang baik, sistem
distribusi dan efisisien; (3) Menciptakan nilai yang lebih tinggi; (4) Menggunakan
berbagai mekanisme organisasi untuk mencapai efisiensi; (5) Membentuk aliansi untuk
mencapai koordinasi yang efektif; (6) Melalui transaksi pasar spot, kesepakatan
melalui kontrak, integrasi vertikal, dan jaringan rantai pasokan; dan (7)
Mengintroduksikan praktik-praktik bisnis yang memperhatikan aspek sosial dan
lingkungan.
Pengelolaan rantai nilai (global commodity chain), yang menunjukkan adanya
keterkaitan secara langsung antara konsep rantai nilai tambah (value-added chain)
dengan organisasi industri global (Gereffi et., al., 2005). Selanjutnya dengan
menggunakan terminologi “buyer-driven global commodity chain” yang meliputi
bagaimana pembeli-pembeli global menggunakan koordinasi secara eksplisit untuk
membantu menciptakan pasokan berkompetensi tinggi, didasarkan pada produksi
skala global dan sistem distribusi dapat dibangun tanpa kepemilikan secara langsung.
Pengelolaan rantai nilai mengacu pada hubungan antara pembeli, penjual,
penyedia layanan dan institusi regulasi yang beroperasi pada berbagai kegiatan yang
dibutuhkan untuk membawa produk atau jasa dari awal sampai pengguna akhir
(Gereffi, et al., 2005). Paling tidak dapat diidentifikasi lima tipe dasar dari value chain
governance, yaitu : (1) Keterkaitan pasar, keterkaitan ini tidak memiliki sistem
pengangkutan yang lengkap (completely transitory), seperti tipikal pada pasar valuta
asing (spot market). Keterkaitan jenis ini biaya-biaya pergantian untuk rekanan
(partner) baru adalah rendah; (2) Modular value chains, pada keterkaitan jenis ini
pemasok mengambil tanggung jawab secara penuh untuk kompetensi yang mencakup
keseluruhan proses teknologi, investasi yang spesifik, serta penggunaan modal untuk
komponen untuk bahan baku dan bahan penolong untuk memberikan kepuasan
kepada konsumen; (3) Relational value chains, jaringan kerja ini merupakan interaksi
yang komplek di antara pembeli dan penjual, dengan menciptakan ketergantungan
yang saling menguntungkan dan memiliki aset spesifik bertingkat tinggi. Pengelolaan
dilakukan dengan menjaga reputasi, ikatan keluarga atau ikatan etnik; (4) Captive
val
ket
jum
(ca
sec
dal
pad
2.6
um
sec
kel
ma
disa
ters
unt
puc
kan
lue chains,
tergantunga
mlahnya. K
aptive); dan
cara vertika
am sistem
da Gambar
Gam
Sumb
6. Tantang
Pengem
mum peterna
cara optim
embagaan
asih banyak
arankan ag
sebut perlu
tuk dimanfa
cuk tebu
ndungan N
, di dalam
an dalam
Keterkaitan
n (5) Hierar
al. Hal terp
pengambil
1 berikut.
mbar 1. Tip
ber: Gereffi
gan Penge
mbangan s
ak sumber
mal, disam
(Prawiradip
k limbah t
ar limbah te
u diolah leb
aatkan pad
dengan ta
dan C/N.
m jaringan
transaksi
ini memerlu
rchy, bentu
penting dala
lan keputus
pe-Tipe da
(2005)
embangan
sapi dan ke
daya khusu
ping masi
putra, 2009
anaman te
ebu yang d
ih lanjut un
da saat kek
mbahan u
kerja ini,
dengan p
ukan biaya
uk pengelola
am integras
san. Infor
ari Struktu
Sapi dan
erbau masi
usnya lahan
ih adanya
9). Menuru
ebu yang b
ihasilkan da
ntuk dapat
kurangan p
rea dan m
, pemasok
pembeli-pem
pergantian
aan ini dika
si vertikal a
masi secar
ur Pengelo
Kerbau
ih menghad
, modal dan
kendala
ut Romli et
belum dima
alam jumlah
diawetkan
akan (Purb
molases be
-pemasok
mbeli besa
, sehingga
arakteristikk
adalah adan
a keseluruh
laan Ranta
dapi kenda
n tenaga ke
teknologi,
t al., (2012
anfaatkan.
h banyak pa
dan ditingk
ba, 2013). P
erpengaruh
kecil men
ar yang b
bersifat te
kan oleh in
nya satu-ke
han dapat
ai Nilai
ala pokok,
erja dimanf
, informas
2), di Jawa
Oleh kare
ada waktu s
katkan kuali
Pembuatan
nyata ter
12
galami
banyak
ertutup
tegrasi
satuan
dilihat
secara
faatkan
si dan
Timur
ena itu
singkat
itasnya
silase
rhadap
13
Kendala pemanfaatan bagas untuk pakan ternak adalah sifatnya yang kamba
(bulky), sehingga memerlukan biaya transportasi dan penggudangan yang mahal.
Pada saat penggudangan bagas mudah terserang jamur dan serangga karena
kandungan gula yang tersisa (Purba, 2013). Proses pengolahan limbah perlu dilakukan
untuk meningkatkan nilai nutrisi dan daya cerna pakan limbah tebu (Khuluq, 2012).
Pengolahan ampas tebu dengan cara fermentasi menggunakan Phanerochaete
chrysosporium (jamur pelapuk) 15 gram/Kg ampas tebu berpengaruh nyata (P> 0,05)
meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organic pakan (Rayhan et al.,
2013).
Secara empiris dalam struktur pendapatan rumah tangga petani di lahan kering
usahaternak sapi merupakan penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah
tangga (Kariyasa dan Pasandaran, 2005). Walaupun kontribusi pendapatan dari ternak
besar, belum tentu usahaternak sapi dan kerbau belum dilakukan secara efisien.
Perbaikan aspek teknis dan manajemen usahaternak sapi dan kerbau diharapkan
mampu meningkatkan pendapatan petani, serta meningkatan kuantitas dan kualitas
daging sapi dan kerbau secara nasional.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Usahaternak sapi dan kerbau sesungguhnya telah mengakar pada pola
pertanian rakyat sejak lama dan menjadi bagian dari budaya bertani yang dilakukan
petani. Dalam sistem usaha tani tradisonal, ternak sapi dan kerbau merupakan unsur
penunjang yang diperlakukan sebagai ternak kerja dan tabungan. Distorsi terhadap
sistem usahatani tradisional mulai terjadi seiring dengan meningkatnya populasi
penduduk dan menyempitnya lahan pertanian, serta meningkatnya budaya bisnis
industrial.
Banyak lahan persawahan dan lahan kering dataran tinggi dewasa ini
dikategorikan sebagai lahan sakit yang antara lain dicirikan oleh produktivitas
pertanian khususnya padi yang melandai dan tidak dapat lagi meningkat walaupun
upaya intensifikasi dengan pemberian pupuk kimiawi dilakukan secara maksimal. Salah
satu cara terbaik untuk memperbaiki kondisi lahan tersebut adalah dengan
menggalakkan kembali penggunaan bahan-bahan organik termasuk pupuk kandang
dan mengintensifkan pengembangan usahaternak sapi dan kerbau. Ternak dapat
14
memperbaiki kualitas dan meningkatkan produktivitas lahan melaui intensifikasi daur
ulang unsur hara dan energi (Pasandaran et al., 2005). Kajian tentang analisis
kelayakan usahaternak pada sapi dan kerbau perlu dilakukan berdasarkan potensi
sumberdaya alamnya.
Indrajid dan Djokopranoto (2002) mendefinisikan rantai pasokan (supply
chain) sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan
jasanya kepada palanggannya. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai
organisasi yang saling berhubungan yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik
mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang tersebut.
Managemen rantai pasok merupakan sekelompok alat bantu pendekatan untuk
mengintegrasikan efisiensi pemasok (supplier), perusahaan, distributor, pengecer atau
ritel, sehingga dapat menghasilkan dan menyalurkan produk dengan jumlah, lokasi
dan waktu yang tepat, agar dapat mengurangi biaya keseluruhan sistem rantai pasok
sebagai syarat memberikan tingkat kepuasan dalam pelayanan kepada pelanggan
(Levi et al., 2000 dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2002).
Managemen rantai pasok menurut (Heizer & Rander, 2004) merupakan
kegiatan pengelolaan dalam rangka memperoleh bahan mentah tersebut melalui
proses pengolahan menjadi barang setengah jadi dan barang jadi kemudian
mengirimkan produk tersebut ke konsumen melalui sistem distribusi. Manajemen
rantai pasok (Supply Chains Management) daging sapi dan kerbau secara operasional
adalah pengelolaan arus dan penyimpanan (penampungan) komoditas sapi dan
kerbau serta alur informasi yang dibutuhkan dari hilir ke hulu yang ditujukan untuk
memuaskan (memenuhi) kebutuhan pelanggan/konsumen. Chopra dan Meidl (2007)
mengemukakan bahwa rantai pasokan (supply chain) mencakup seluruh pelaku yang
terkait dalam sistem produksi serta distribusi dan pemasaran untuk memenuhi
permintaan pelanggan.
Menurut Marimin et al (2013) manajemen rantai pasok merupakan satu
kesatuan sistem pemasaran terpadu yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku
guna memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dengan demikian manajemen rantai
pasok produk daging sapi dan daging kerbau mewakili manajemen keseluruhan proses
produksi secara keseluruhan dari kegiatan usahaternak, pengolahan, distribusi,
pemasaran hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen. Hubungan
antar bagian dalam manajemen rantai pasok berperan terhadap efisiensi produksi dan
distribusi produk berbasis daging sapi dan daging kerbau. Hubungan yang tidak
15
berjalan dengan baik akan mengganggu keefektifan keseluruhan rantai pasok (Janvier,
2012).
Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai
pasok produk manufaktur karena : (1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2)
proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musik,
(3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian
bersifat kamba sehingga sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994) dalam
Marimin dan Maghfiroh (2010).
Konsep manajemen rantai pasok berbeda dengan konsep logistik secara
tradisional. Logistik mengacu pada aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam sebuah
organisasi, sedangkan rantai pasok mengacu pada jaringann beberapa organisasi yang
saling bekerja sama dan berkoordinasi untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Sistem pengukuran kinerja rantai pasok diperlukan untuk melakukan
monitoring dan pengendalian, mengkomunikasikan tujuan organisasi ke fungsi-fungsi
pada rantai pasok. Pengukuran kinerja memungkinkan perbaikan kinerja rantai pasok
dari waktu ke waktu sehingga rantai pasok dapat dioperasikan dengan baik, efektif
dan efisien. Menurut Pujawan (2005) sistem pengukuran kinerja diperlukan untuk : (1)
melakukan monitoring dan pengendalian, (2) mengkomunikasikan tujuan organisasi ke
fungsi-fungsi pada rantai pasok, (3) mengetahui dimana posisi suatu organisasi relatif
terhadap pesaing maupun terhadap tujuan yang ingin dicapai, dan (4) menentukan
arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan dalam bersaing.
Menurut Gunasekaran et al (2001) pengukuran kinerja pada rantai pasok
bertujuan untuk mendukung tujuan, evaluasi, kinerja, dan penentuan aksi di masa
depan pada strategi, taktik dan tingkat operasional. Diperlukan beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam kinerja manajemen rantai pasok, yaitu: (1) Fleksibilitas
rantai pasok, perusahaan harus mampu beradaptasi sehingga mampu merespon
perubahan yang terjadi; (2) Kualitas kemitraan, memiliki partner kerja yang dapat
diandalkan dan memberikan yang terbaik; (3) Integrasi rantai pasok, keseluruhan
aktifitas baik keorganisasian, pemasok, produksi dan konsumen harus baik; dan (4)
Kecepatan perusahaan dalam merespon permintaan konsumen dan pasar.
Tujuan manajemen rantai pasok bagi kerjasama antar perusahaan di dalam
rantai pasok suatu komoditas atau produk adalah: (1) Mengurangi resiko pasar; (2)
Meningkatkan nilai tambah, efisiensi dan keunggulan kompetitif; dan (3) Berguna
dalam menyusun strategi pengembangan produk; serta (4) Strategi untuk memasuki
pasar baru. Sementara itu bagi pedagang pengecer SCM diharapkan dapat menekan
16
biaya operasi, pengadaan, pemasaran, dan biaya distribusi. Kemampuan untuk
menghasilkan produk yang standar dan sistem distribusi yang efisien akan
meningkatkan dayasaing suatu produk di pasar dan dapat menghambat masuknya
pelaku baru di pasar.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka pentingnya dibangun
manajemen rantai pasok daging sapi dan daging kerbau yang dapat menjamin sistem
pemasaran pada berbagai pola secara efisien. Bila SCM komoditas atau produk daging
sapi dan kerbau dapat berjalan dengan baik minimal terdapat empat keuntungan yang
dapat diraih, antara lain adalah: (1) Adanya penambahan nilai yang antara lain
meliputi kesesuaian dengan pesanan, ketetapan dalam distribusi, dan kesesuaian
dalam pembebanan biaya produksi; (2) Pengurangan biaya transaksi yang berdampak
pada timbulnya respon terhadap pasar yang lebih berorientasi pada kepentingan
pedagang pengecer (ritel); (3) Pengurangan resiko bisnis daging sapi dan daging
kerbau, yaitu memberikan jaminan pemasaran produk daging sapi dan daging kerbau,
serta pengembangan modal yang disesuaikan dengan adopsi teknologi serta
peningkatan efisiensi maupun penambahan nilai produk daging sapi dan daging
kerbau yang dihasilkan; dan (4) SCM dalam industri peternakan sapi dan kerbau dapat
dijadikan sarana alih teknologi dari perusahaan-perusahaan, pusat pembibitan, dan
industri kuliner yang menguasai teknologi modern kepada peternak-peternak kecil
sebagai jaringan rantai pasoknya. Secara ringkas kerangka pemikiran dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
17
Gambar 2. Kerangka Pikir Pengembangan Industri Peternakan Melalui Manajemen Rantai Pasok pada Komoditas Sapi dan K b
Aspek Distribusi dan PemasaranAspek Produksi
Analisis manajemen rantai pasok dan rantai nilai : 1. Menganalisis kelayakan
usahaternak sapi dan kerbau; 2. Deskripsi peta pelaku rantai
pasok produk daging sapi dan kerbau
3. Melakukan analisis manajemen rantai pasok produk daging sapi dan kerbau;
4. Melakukan analisis rantai nilai produk daging sapi dan kerbau;
5. Identifikasi tantangan dan peluang pengembangan industri peternakan;
6. Kebijakan pengembangan industri peternakan berbasis komoditas sapi dan kerbau secara terpadu dan berdaya saing.
Pedagang Pengumpul/Blantik, Pedagang Besar Pasar (Broker), Perusahaan Mitra, Pemasok (supplier) industri pengolahan dan kuliner, Industri Kuliner Ritel, Pedagang Pengecer Pasar, Pengecer Ritel Modern
Permasalahan Aspek Distribusi dan Pemasaran : Karakteristik pasar modern dan
tradisional belum dipahami Rantai pasok belum efisien Koordinasi berdasarkan harga belum
berdasarkan antar pelaku Sistem informasi rantai pasok belum
mendukung Belum mampu mengembangkan rantai
pasok menurut segmen pasar. Nilai tambah belum terdistribusi secara
adil
Manajemen rantai pasok produk daging sapi dan kerbau secara terpadu dan berdayasaing : sistem usahaternak sapi dan kerbau intensif, komersial, terintegrasi dengan hulu dan hilir, jangka panjang, berkelanjutan.
Tantangan Aspek Produksi : Sistem usahaternak tradisional Skala usahaternak kecil Adopsi teknologi rendah Sistem seleksi bibit dan GAP Efisiensi dan Produktivitas
rendah Kuantitas, kualitas, dan
kontinuitas pasokan belum terjamin
Rendahnya konsolidasi kelembagaan peternak
Kurangnya informasi dan akses pasar
Pelaku usaha rantai pasok daging sapi dan kerbau yang mampu : 1. Meningkatkan kualitas
pelaku usaha 2. Memperkuat usaha secara
berkelompok 3. Memanfaatkan peluang
pasar 4. Meningkatkan skala dan
intensifikasi usaha 5. Meningkatkan
keterpaduan antar pelaku Produk daging sapi dan kerbau : 1. Produktivitas tinggi 2. Berkualitas 3. Nilai tambah Manajemen Rantai Pasok: 1. Efektif 2. Efisien 3. Berkelanjutan
Penyempurnaan pengembangan model kelembagaan rantai pasok yang berdayasaing: Berbasis permintaan pasar Berbasis pengaturan produksi Berbasis kelembagaan kemitraan
rantai pasok bersifat spesifik
Kelembagaan di tingkat peternak : Kelembagaan Kelompok
Ternak Assosiasi Peternak Kelembagaan Pendukung Kelembagaan Penyuluhan Kelembagaan sapronak
Manajemen rantai pasok komoditas sapi dan kerbau pada daerah-daerah sentra produksi yang bersifat ekstensif tradisional hingga semi intensif, parsial, jangka pendek, tidak berkelanjutan.
Infrastruktur Pasca Panen dan pemasaran: Pasar hewan sapi, pasar tradisional,
pasar modern Usaha penaganan pasca panen belum
optimal Rendahnya kualitas produk shg belum
mampu memenuhi dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen
Sarana transportasi belum mendukung Standarisasi dan managemen mutu
belum mendukung
Sumberdaya : Kondisi Agroekosistem Sumberdaya genetik Sarana dan prasarana
pendukung SDM Pelaku Usaha
18
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Penelitian ini mencakup empat hal pokok yaitu mengkaji peran industri peternakan
terhadap ekonomi, analisis kelayakan usahaternak sapi dan kerbau, deskripsi rantai pasok
daging sapi dan daging kerbau, menganalisis manajemen rantai pasok daging sapi dan
daging kerbau, menganalisis rantai nilai daging sapi dan daging kerbau, mengidentifikasi
tantangan dan peluang pengembangan industri peternakan berbasis sapi dan kerbau, serta
merumuskan kebijakan pengembangan industri peternakan secara terpadu.
3.3. Lokasi Penelitian dan Responden
3.3.1. Dasar Pertimbangan
Justifikasi untuk pertimbangan pemilihan lokasi berbeda untuk kedua jenis komoditas
yang diteliti karena perbedaan lokasi sentra produksi, pusat-pusat pengembangan, sifat
penyebaran dalam satu wilayah, serta tujuan pasarnya. Bisa terkonsentrasi dalam satu
wilayah maupun menyebar hampir merata di berbagai wilayah. Berikut adalah justifikasi
pemilihan lokasi penelitian untuk setiap komoditas yang diteliti.
Dasar Pertimbangan Pemilihan Lokasi Penelitian Sapi
Pertimbangan pertama dalam pemilihan lokasi adalah bahwa sapi mempunyai daya
adaptasi yang tinggi dalam berbagai bentuk agroekosistem sehingga populasi sapi menyebar
di seluruh provinsi dan wilayah dari provinsi sampai ke perdesaan. Namun dari data yang
tersedia terlihat bahwa sapi lebih banyak berkembang pada agroekosistem lahan kering
dataran tinggi. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa peternak pada
agroeksosistem lahan kering dataran tinggi tersebut memelihara sapi dengan sistem
tradisional, semi intensif dan intensif. Pertimbangan terakhir adalah unit lokasi penelitian
analisis untuk ternak sapi yang bersifat semi intensif adalah sebuah desa. Atas dasar itu
ditetapkan ketentuan pemilihan lokasi yang memenuhi syarat-syarat sebagai:
1. Wilayah sentra populasi dan produksi serta eksistensi program berbagai program
pengembangan sapi.
2. Wilayah sentra produksi hijauan pakan ternak alam dan hasil samping hasil pertanian,
serta limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak sapi.
3. Wilayah yang mempunyai fasilitas transportasi yang mudah ke wilayah konsumsi atau
wilayah yang mempunyai kelembagaan pasar yang relatif maju.
4. Terdapat kelembagaan kelompok ternak sapi potong dan atau kemitraan usaha sapi
dengan dengan pelaku usaha lain (pedagang/supplier, pengusaha ekspor-impor, dan
industri pengolah).
19
Dasar Pertimbangan Pemilihan Lokasi Penelitian Kerbau
Pemilihan lokasi penelitian kerbau yang diusahakan secara tradisional dan semi
intensif mengikuti prosedur yang sama dengan sapi tetapi tidak sampai kepada unit lokasi
desa, mengingat pemeliharaan kerbau tidak terpusat dalam suatu wilayah sehingga lokasi
akan mengikuti sebaran responden. Demikian juga dengan pemilihan lokasi penelitian untuk
kerbau intensif jika ada akan sangat ditentukan oleh sebaran responden yang dapat bersifat
lintas desa, kecamatan, dan bahkan kabupaten.
Dasar Pertimbangan Pemilihan Responden
Pada dasarnya penelitian ini mencakup masalah pengembangan industri peternakan
berbasis sapi dan kerbau yang sebagian besar diusahakan oleh masyarakat di perdesaan,
karena itu jenis responden penelitian ini akan mencakup individu responden dan responden
institusi. Informasi tentang distribusi jumlah contoh menurut kategori responden untuk
kegiatan analisis manajemen rantai pasokan komoditas sapi dan kerbau disajikan pada
Tabel 1.
3.3.2. Lokasi dan Responden
Untuk Desa Sapi (Semi Intensif). Langkah pertama dalam setiap provinsi adalah
mengelompokkan kabupaten dalam dua zone yakni zone lahan kering dataran tinggi dan
lahan kering dataran rendah. Dari setiap zone dipilih sebuah kabupaten yang merupakan
daerah sentra produksi sapi. Dalam setiap kabupaten terpilih desa sentra produksi sapi.
Kemudian dari setiap desa akan dipilih 10 orang peternak yang memelihara sapi dengan
skala 2-10 ekor.
Untuk Usaha Sapi Intensif. Pemilihan lokasi mengikuti pola pemilihan untuk sapi
semi intensif. Namun demikian, kemungkinan lokasi tidak menentukan karena jumlah usaha
sapi intensif yang sedikit dan tersebar di seluruh provinsi atau sebagian tersebar dalam
jumlah banyak dalam satu kabupaten. Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan sebaran
jumlah usaha sapi dan jumlah responden yang dibutuhkan. Jumlah responden minimal 5
usaha ternak sapi dalam satu provinsi yang dibedakan berdasarkan kategori skala usaha
dan jenis kelembagaan (mandiri dan kemitraan).
Untuk kerbau tradisional. Pemilihan lokasi cukup menentukan karena jumlah usaha
kerbau tradisional cukup memadai dan relatif terkonsentrasi pada provinsi dan kabupaten
tertentu. Pemilihan lokasi sedapat mungkin dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat
berdasarkan daerah sentra produksi, ketersediaan jumlah peternak kerbau tradisional secara
memadai, dan pelaku usaha lain dalam rantai pasok daging kerbau.
20
Untuk kerbau semi intensif. Pemilihan lokasi cukup menentukan karena jumlah
usaha kerbau semi intensif cukup terbatas dan relatif terkonsentrasi pada provinsi dan
kabupaten tertentu. Pemilihan lokasi sedapat mungkin dilakukan dengan memenuhi syarat-
syarat berdasarkan daerah sentra produksi, ketersediaan jumlah peternak kerbau semi
intensif secara memadai, dan pelaku usaha lain dalam rantai pasok.
Tabel 1. Distribusi Jumlah Contoh Menurut Kategori Responden
Uraian Komoditas Sapi Kerbau Total
Jawa NTB Banten Kalsel Total
1. Peternak sapi 10 10 - - 20 2. Peternak kerbau - - 10 10 20 3. Kelompok pembibitan sapi 2 2 - - 4 4. Kelompok pembibit kerbau - - 2 2 4 5. Kelompok ternak/koperasi ternak
sapi 3 3 - -
6 6. Kelompok ternak/koperasi
kerbau kerbau - - 3 3 6
7. Organisasi/assosiasi peternak sapi/kerbau
2 2 2 2 8
8. Pedagang Pengumpul/Pedagang Besar di daerah sentra produksi
3 3 3 3 12
9. Pedagang Besar /Supplier di daerah sentra konsumsi
2 2 2 2 8
10. Retail Outlet (Supermarket/ hyper market, pengecer pasar)
2 2 2 2 8
11. Pengusaha pasca panen (RPH/TPH)
1 1 1 1 4
12. Industri Kuliner (Restaurant/ Rumah Makan)
2 2 2 2 8
13. BPS Pusat/Provinsi/Kabupaten 3 3 3 3 7 14. Ditjen Peternakan (Pembibitan,
Produksi, Pemasaran, Keswan), Ditjen P2HP, dan PD Pasar Jaya Rawamangun
- - - 3 3
15. Dinas Peternakan Provinsi/Kabupaten
2 2 2 2 8
16. Dinas Pasar 1 1 1 1 4 Total 33 33 33 37 136
21
3.4. Data dan Metode Analisis
3.4.1. Jenis dan Sumber Data
Sumber data dapat dikelompokkan menjadi sumber data primer (primary data
sources) dan sumber data sekunder (secondary data sources). Data primer dikumpulkan
dengan menggunakan prosedur pengambilan contoh (sampling) dalam suatu survey
penelitian. Dalam penelitian ini selain dikumpulkan dengan metode survey yang berkaitan
dengan kelembagaan manajemen rantai pasok sapi dan kerbau.
Sumber data sekunder (secondary data sources) adalah data yang sudah
dipublikasikan dan dikumpulkan untuk “tujuan yang lain” daripada tujuan penelitian yang
sedang dilakukan. Secara terperinci data sekunder dan data primer yang dibutuhkan dapat
disimak pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Jenis Data Sekunder dan Sumber Data Sekunder No. Jenis data sekunder Sumber data sekunder 1. Data dan informasi tentang kebijakan
swasembada daging sapi dan kerbau Ditjen Bina Produksi Peternakan, Biro Perencanaan Deptan, Sekjen Deptan.
2. Pedum, Juklak dan Juknis tentang program pengembangan swasembada daging sapi dan kerbau
Ditjen Peternakan dan Keswan, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, Kabupaten, BPTP.
3. Data dan informasi tentang inventarisasi program swasembada daging sapi dan kerbau
Ditjen peternakan dan keswan, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, BPTP.
4. Data perusahaan peternakan (perusahaan pembibitan, perusahaan peternakan, pedagang, industri pengolah) komoditas sapi dan kerbau
Ditjen Peternakan, BPS, Dinas perindustrian perdagangan dan koperasi, Dinas Peternakan, dan BPTP
5. Data petani/kelompok tani peternakan sapi dan kerbau
Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, BPTP
6. Data kapasitas sumberdaya peternakan (sumberdaya genetik) sapi dan kerbau
Dinas Peternakan, BPS/Kantos Statistik
8. Perkembangan populasi dan produksi komoditas sapi dan kerbau
Ditjen Peternakan, BPS, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten
9. Kelembagaan pasar input, pasar output, serta kelembagaan penunjang (layanan informasi, teknologi, dan permodalan)
Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, BPP/KCD/PPL
10. Data informasi tentang pelaksanaan program/proyek pengembangan swasembada daging sapi dan kerbau
Ditjen Peternakan, Pultitbangnak, Balitnak Ciawi, Dinas Peternakan Provinsi, dan Dinas Peternakan Kabupaten
11. Perkembangan harga bulanan di tingkat produsen, perdagangan besar dan konsumen untuk komoditas sapi dan kerbau
BPS, Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, Dinas Perdagangan
22
12. Perkembangan perdagangan antar wilayah, ekspor dan impor komoditas sapi dan kerbau
BPS, Ditjen Peternakan, dan organisasi/assosiasi pelaku agribisnis peternakan sapi dan kerbau
13. Data dan informasi sebaran kelembagaan peternakan, kelembagaan pasar, dan jumlah pedagang hasil sapi dan kerbau
BPS, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, assosiasi pelaku agribisnis sapi dan kerbau
14. Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan manajemen rantai pasok komoditas sapi dan kerbau
Puslitbangnak, Balitnak, Perguruan Tinggi, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten
15. Berbagai bahan atau studi yang berkaitan pengembangan manajemen rantai pasok sapi dan kerbau lokal di lokasi penelitian
Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten,
Tabel 3. Jenis Data Primer dan Sumber Data Primer No. Jenis data primer Sumber data primer 1. Karakteristik rumah tangga peternak Peternak sapi dan kerbau 2. Penguasaan sumberdaya lahan dan
ternak sapi dan kerbau Peternak, pamong desa, PPL/KCD/BPP, ketua kelompok peternak
3. Pola dan Siklus Usahaternak Peternak, kelompok ternak 4. Sistem usahaternak dan tingkat adopsi
teknologi usahaternak sapi dan kerbau Peternak, Kelompok peternak, BPP/KCD/PPL
5. Struktur input dan output usahaternak sapi dan kerbau
Peternak, kelompok ternak
6. Biaya dan keuntungan usahaternak sapi dan kerbau
Peternak dan kelompok ternak
7. Persepsi peternak tentang proses managemen dan manfaat manajemen rantai pasok Peternakan sapi dan kerbau
Peternak, Kelompok ternak
8. Persepsi pelaku usaha rantai pasok tentang proses managemen dan manfaat melakukan kelembagaan manajemen rantai pasok sapi dan kerbau
Perusahaan peternakan, pedagang, assosiasi peternakan, Pasar Hewan, Koperasi, TPA/RPA/RPU dan informan kunci lainnya
9. Karakteristik pasar modern dan tradisional, industri kuliner
Kelembagaan pasar modern (supermarket, perusahaan pengolah), pedagang pasar, dan industri kuliner
10. Pola-Pola kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas sapi dan kerbau
Ditjen Peternakan, Perusahaan Inti, Dinas Peternakan, BPP/KCD/PPL, Kelompok peternak
11. Pola interaksi dan aturan main (rules of the game) dalam kelembagaan manajemen rantai pasok sapi dan kerbau
Kelompok ternak sapi dan kerbau, Perusahaan mitra, Dinas Peternakan, BPP/KCD/PPL
12. Kinerja manajemen rantai pasok sapi dan kerbau
Kelompok ternak sapi dan kerbau, Perusahaan Mitra, Dinas Peternakan,
23
Pedagang/Industri Pemasok kuliner, Industri Kuliner
13. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manajemen rantai pasok sapi dan kerbau
Peternak, Kelompok Ternak, Dinas peternakan, BPP/KCD/PPL, Pelaku tataniaga, Supermarket, Perusahaan mitra/inti, Industri pemasok kuliner, Industri kuliner
14. Data dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian yang dilaksanakan
Dinas Peternakan Provinsi, Dinas Peternakan Kabupaten, dan instansi terkait lain
3.4.2. Metode Analisis
Pengumpulan data dilakukan melalui metode survey dan studi kasus. Metode survey
ditujukan untuk pengumpulan data di tingkat peternak. Studi kasus ditujukan untuk
pengumpulan data pada berbagai alternatif kelembagaan manajemen rantai pasok
komoditas sapi dan kerbau.
Data kuantitatif terkait dengan aspek supply chain management (SCM) akan
dianalisis dengan menggunakan alat analisis statistik dan ekonometrik, sedangkan data
kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan kelembagaan akan dianalisis secara deskriptif.
Alur kelembagaan rantai pasok, ditelusuri pada seluruh pelaku rantai pasok mulai dari
peternak sapi dan kerbau hingga berbagai tujuan pasar. Di samping itu dilihat juga rantai
pasok penyedia sarana produksi peternakan terutama benih/bibit, pakan, pembiayaan serta
sistem penunjang lainnya seperti kebijakan pemerintah daerah, penelitian dan
pengembangan, serta penyuluhan peternakan.
Penelitian ini merupakan kajian terhadap kelembagaan manajemen rantai pasok
sehingga analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan manajemen rantai pasok dan
analisis pemasaran pada setiap mata rantai pasok komoditas sapi dan kerbau. Analisis
kelembagaan manajemen rantai pasok ditujukan untuk melihat pola interaksi antar pelaku
dan kinerja manajemen rantai pasok, sedangkan analisis pemasaran untuk melihat
keterpaduan komoditas atau produk daging sapi dan kerbau. Pendekatan penelitian untuk
kelembagaan manajemen rantai pasok dilakukan melalui studi kasus dengan fokus kajian
untuk tujuan pasar modern dan tradisional. Aliran komoditas atau produk diikuti dengan
pendekatan snowbolling untuk setiap rantai pasok.
24
Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok
Deskripsi Rantai Pasok Komoditas Sapi dan Kerbau dari Hulu hingga Hilir
Para perancang kegiatan kelembagaan kemitraan rantai pasok (supply chain
management) komoditas sapi dan kerbau harus memahami bahwa banyak pelaku yang
terlibat dan memiliki kepentingan yang berbeda dalam pengembangan agribisnis sapi dan
kerbau. Tahap awal yang perlu dilakukan dalam mengkaji kelembagaan manajemen rantai
pasok komoditas sapi dan kerbau yang efektif dan efisien adalah dengan menetapkan siapa
saja pelaku yang berkepentingan dan memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan
pengembangan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas sapi dan kerbau.
Tahapan identifikasi pelaku ini dapat dilakukan dengan menggunakan konsep analisis
pelaku. Melalui metode ini penjaringan seluruh pelaku yang berpengaruh dan
berkepentingan memungkinkan untuk dapat dilakukan. Penjaringan dari sekian banyak
pelaku sehingga menghasilkan beberapa pihak yang benar-benar memiliki derajad
kepentingan dan pengaruh cukup tinggi sampai tinggi. Analisis ini dipergunakan untuk
mengkaji seberapa besar tingkat pengaruh dan tingkat kepentingan dari setiap pelaku
terhadap kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas sapi dan kerbau di lokasi
penelitian. Tahapan dalam analisis pelaku adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi
pelaku kunci dalam keseluruhan rantai pasok; (2) Menganalisis kepentingan (interest) dan
dampak potensial pada pelaku-pelaku usaha; (3) Menganalisis tingkat pengaruh (influence)
dan tingkat kepentingan (importance) pada masing-masing pelaku.
Analisis Manajemen Rantai Pasok Sapi dan Kerbau
Untuk mendorong penguatan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas sapi
dan kerbau, maka terdapat beberapa pelaku ekonomi yang tercakup yaitu kelembagaan
pada sub sistem pengadaan sapronak, usaha produksi (kelompok ternak), kelembagaan
penaganan pasca panen dan industri pengolahan, dan kelembagaan distribusi dan
pemasaran.
Analisis managemen difokuskan pada lima komponen manajemen pada masing-
masing pelaku rantai pasok komoditas sapi dan kerbau, yaitu perencanaan (planning),
sumber barang (sourching), pengolahan (manufacturing), pengiriman (delivery), dan
penerimaan barang (receiving) pada masing-masing rantai pasok. Manajemen perencanaan
di arahkan untuk pengembangan sebuah strategi untuk mengatur seluruh sumberdaya yang
dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang dapat memberikan kepuasan kepada
konsumen.
25
Manajemen perolehan komoditas sapi dan kerbau (sourcing) merupakan proses
memilih pemasok (supplier) yang mengirim komoditas sapi dan kerbau yang dibutuhkan
sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Analisis manajemen sourcing mencakup juga
masalah penentuan harga, pengiriman dan proses pembayaran dengan supplier dan
bagaimana menjaga dan meningkatkan hubungan baik.
Manajemen pengolahan (manufacturing) mencakup kegiatan produksi, tes produk,
pengemasan dan persiapan untuk pengiriman. Tolok ukur terpenting yang menjadi bagian
insentif supply chain adalah tingkat kualitas dan hasil produksi.
Pengiriman (delivery), sering kali disebut juga logistik merupakan sebuah proses
bisnis yang melibatkan pergerakan fisik dari komoditas sapi dan kerbau yang berada dalam
satu jalur supply chain. Dalam analisis supply chain management seringkali muncul seperti
bahan mentah telah berubah menjadi produk setengah jadi atau produk jadi dan
selanjutnya bergerak ke arah konsumen. Beberapa penyedia jasa logistik memberi
tambahan service seperti pergudangan, persiapan untuk promosi produk, dan pengepakan
kembali.
Analisis Rantai Nilai
Konsep Value Chain Analysis (VCA) adalah bagaimana mengkoordinasikan semua
pihak yang terlibat dalam suatu rantai nilai dan membagi informasi secara transparan di
dalam rantai untuk memperoleh efisiensi proses aliran produk dan keuntungan yang adil
bagi setiap pelakunya (Andri dan Stringer, 2010). Pemikiran rantai nilai belum lebih
memfokuskan kepada bagaimana menghasilkan lebih banyak keuntungan dengan
meningkatkan nilai tambah. Peningkatan biaya produksi, biaya prosesing atau biaya
pengepakan bukan merupakan permasalahan utama sepanjang konsumen dapat
memberikan nilai dengan kemauan untuk membayarnya. Penambahan nilai suatu produk
adalah semua aktivitas yang dilakukan tentang bagaimana menghasilkan keuntungan lebih
dari produk yang dihasilkan.
Rantai nilai dapat dianalisis dari sudut pandang pelaku yang terlibat di dalamnya.
Analisis rantai nilai dapat membantu merancang program untuk memberikan dukungan
terhadap suatu rantai nilai tertentu, untuk dapat mencapai hasil pembangunan yang
diharapkan (ACIAR, 2012). Beberapa contoh hasil pembangunan yang diharapkan
mencakup: (1) Dapat mengakses pasar modern; (2) Dapat mengakses pasar ekspor; (3)
Penciptaan lapangan kerja untuk petani kecil; (4) Pemberian manfaat bagi kelompok
masyarakat miskin; (5) Memprioritaskan penggunaan bahan baku lokal; (6) Pemusatan
manfaat pembangunan di daerah yang masih tertinggal.
26
Analisis rantai nilai dapat diarahkan untuk membangun rantai nilai yang lebih
berpihak pada kaum miskin. Berbagai alat yang digunakan dalam analisis diarahkan pada
upaya menganalisis rantai nilai dari sudut pandang kaum miskin. Terdapat dua tujuan akhir
peningkatan rantai nilai untuk kaum miskin. Pertama, meningkatkan keseluruhan jumlah dan
nilai produk yang dijual kaum miskin di dalam rantai nilai. Hal ini akan mengakibatkan
diperolehnya pendapatan absolut yang lebih tinggi bagi kaum miskin serta bagi para pelaku
lainnya dalam rantai nilai. Kedua, mempertahankan bagian kaum miskin dalam sektor usaha
tertentu atau meningkatkan margin persatuan output sehingga kaum miskin tidak hanya
memperoleh pendapatan absolut namun sekaligus pendapatan relatif dapat ditingkatkan.
Kaplinsky dan Morris (2001) mengemukakan terdapat empat aspek analisis rantai
nilai di sektor pertanian yang dianggap penting. Pertama, di tingkat paling bawah, suatu
analisis rantai nilai secara sistematis memetakan para pelaku yang berpartisipasi dalam
produksi, distribusi, pemasaran, dan penjualan suatu produk tertentu. Pemetaan ditujukan
untuk mengkaji karakteristik berbagai pelaku, struktur usaha, aliran produk sepanjang
rantai, karakteristik tenaga kerja, serta tujuan dan volume penjualan domestik dan ekspor.
Kedua, analisis rantai nilai dapat memainkan peran penting dalam mengidentifikasi
distribusi manfaat bagi para pelaku dalam rantai nilai. Melalui analisis margin dan
keuntungan, di dalam rantai nilai, dapat dilihat siapa saja yang memperoleh manfaat dari
partisipasi dalam rantai nilai dan pelaku mana yang dapat memperoleh manfaat dari
dukungan atau pengorganisasian yang lebih baik. Hal ini khususnya penting dalam konteks
sektor peternakan tradisonal di perdesaan, mengingat bahwa kaum miskin rentan terhadap
proses globalisasi (Kaplinsky dan Morris 2001).
Ketiga, analisis rantai nilai dapat digunakan untuk mengkaji peran peningkatan
(upgrading) dalam rantai nilai. Peningkatan dapat mencakup peningkatan dalam hal kualitas
produk, desain produk, diversifikasi produk dalam lini produk yang dilayani, yang
memungkinkan produsen mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi. Analisis terhadap
proses peningkatan mencakup adanya kajian atas seberapa besar keuntungan yang dapat
diperoleh para pelaku di dalam rantai nilai dan informasi tentang keterbatasan yang ada.
Selain itu, struktur regulasi, hambatan untuk masuk, pembatasan perdagangan, dan
berbagai jenis standar yang harus dipenuhi juga dapat membentuk dan mempengaruhi
lingkungan tempat terjadinya peningkatan.
Terakhir, analisis rantai nilai menggaris bawahi peran tata kelola dalam rantai nilai,
yang dapat bersifat internal maupun eksternal. Tata kelola dalam suatu rantai nilai mengacu
pada struktur hubungan dan mekanisme koordinasi yang terjadi antara para pelaku dalam
rantai nilai. Tata kelola merupakan konsep yang luas yang pada dasarnya memastikan
27
bahwa interaksi antara para peserta di dalam rantai nilai telah terorganisir dengan baik.
Umumnya, tata kelola dalam rantai nilai terjadi ketika beberapa pelaku dalam rantai nilai
bekerja dengan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh pelaku lainnya dalam rantai nilai
tersebut, misalnya standar mutu atau ketepatan waktu pengiriman dan volume yang
ditetapkan oleh industri pengolahan. Aturan-aturan komersial yang mengatur hubungan
bisnis dalam rantai nilai global ataupun lokal dapat membatasi atau menghambat peran
kaum miskin, namun dapat pula menciptakan pembelajaran yang penting serta peluang
peningkatan kinerja usaha yang digelutinya. Dari sudut pandang kebijakan, tata kelola
eksternal merupakan hal penting, dengan mengidentifikasi pengaturan kelembagaan yang
mungkin diperlukan untuk meningkatkan kemampuan di dalam rantai nilai, misalnya
penelitian dan pengembangan, memperbaiki bekerjanya mekanisme pasar, menghapuskan
distorsi pasar, menghapuskan gangguan distribusi, dan meningkatkan nilai tambah. Dengan
pemahaman secara sistematis atas keterkaitan dalam rantai tersebut, kita dapat
menguraikan rekomendasi kebijakan dengan lebih baik.
Beberapa tahapan dalam pelaksanaan VCA adalah: (1) Mengindentifikasi
permasalahan dan peluang pengembangan komoditas atau produk dalam rantai pasok; (2)
Mengetahui keinginan pasar, menentukan tujuan yang ingin dicapai, sebagai contoh: (a)
membantu produsen/petani untuk masuk pasar modern, (b) memahami kondisi/kebijakan
distribusi, peran pelaku dalam rantai, peluang kerja, kompetisi pasar, (c) memahami peran
perusahaan agribisnis/agroindustri, serta (d) memahami bentuk partisipasi dari pelaku rantai
pasok terkait dengan ukuran, standar, kualitas; (3) Pemahaman preferensi pelaku pengguna
kunci/pengguna komoditas unggulan terpilih. Beberapa sumber informasi yang dapat
digunakan antara lain: (a) petani/kelompok tani, (b) perusahaan pengolahan/agroindustri,
(c) pedagang pengumpul, (d) pedagang besar/supplier, (e) pedagang besar pasar induk, (f)
pedagang pengecer pasar tradisional, (g) ritel pasar modern (super market/hypermarket).
Analisis Pemasaran Rantai Pasok Komoditas Sapi dan Kerbau
Analisis pemasaran akan dilakukan pada setiap rantai pasok (supply chain) dengan
menfokuskan pada structure, performance, and conduct dari sistem pemasaran. Analisis ini
mencakup analisis saluran atau rantai pemasaran, struktur dan perilaku pasar, serta analisis
keragaan dan margin pemasaran dengan fokus untuk tujuan pasar modern, pasar
tradisional, dan industri kuliner.
28
Analisis Saluran Pemasaran
Kegiatan pemasaran komoditas atau produk daging sapi dan kerbau merupakan
jembatan antara petani produsen dengan berbagai tingkat pelaku tataniaga (pedagang
pengumpul, bandar/pedagang besar kecamatan, pedagang besar kabupaten, pedagang
besar propinsi, supplier dan pedagang pengecer-supermarket, dan industri kuliner) hingga
sampai ke konsumen akhir. Hubungan antara produsen dengan pelaku tataniaga hingga
konsumen bisa dipandang sebagai suatu aliran komoditas, sehingga dapat dilihat
permasalahan yang menyebabkan lemahnya keterkaitan antara pasar modern dan pasar
tradisional.
Analisis Struktur dan Perilaku Pasar
Struktur dan perilaku pasar akan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Beberapa indikator digunakan untuk menentukan struktur pasar komoditas sapi dan kerbau
yang terbentuk: (1) jumlah dan skala dari pelaku tataniaga atau perusahaan yang ada di
pasar, (2) bagaimana sistem jaringan kerja antar pelaku, (3) bagaimana tingkat konsentrasi
pasar, (4) tingkat defferensiasi produk, (5) tingkat integrasi antar pelaku baik secara vertikal
maupun secara horisontal; (6) ada tidaknya hambatan masuk dan keluar pasar; dan (7)
cakupan dan skala ekonomi.
Perilaku pasar (market conduct) mencakup perilaku persaingan dan perilaku
kerjasama antar pelaku dalam kelembagaan manajemen rantai pasok untuk tujuan pasar
modern, pasar tradisional, dan industri kuliner. Perilaku dalam persaingan dapat
direfleksikan dalam kebijakan penetapan harga, tingkat output yang dihasilkan dan
dipasarkan, pengembangan produk, promosi produk, dan volume penjualan. Perilaku dalam
kemitraan direfleksikan oleh pola interaksi dan koordinasi antar pelaku.
Keragaan Pasar dan Analisis marjin Pemasaran
Keragaan pasar (market performance) mencakup tingkat efisiensi teknis (processes)
dan efisiensi alokatif (inputs, resource use), margin pemasaran, kapasitas penggunaan atau
pemanfaatan, proses inovasi dan insentif (dalam mengurangi biaya, peningkatan produk,
dan kepuasan konsumen). Dahl dan Hamond (1977) menyatakan bahwa marjin pemasaran
menggambarkan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga-harga yang
diterima produsen. Termasuk dalam marjin pemaasaran adalah seluruh biaya pemasaran
yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga (marketing cost) dan keuntungan yang diterima
pelaku tataniaga (marketing profit) mulai dari pintu gerbang produsen ke konsumen akhir.
Secara matematis digunakan rumus sebagai berikut:
29
M =
m
i
n
j
jCi1 1
Dimana : M = marjin pemasaran
Ci = biaya pemasaran I (I = 1,2,3, … , m)
M = jumlah jenis pembiayaan
j = keuntungan yang diperoleh lembaga niaga j (j = 1,2,3, …,;n
n = jumlah lembaga niaga yang ikut ambil bagian dalam proses pemasaran tersebut.
Marjin pemasaran dihitung dengan menggunakan persamaan di atas, di mana rata-
rata Ci dan j dikumpulkan melalui survey. Pangsa yang diterima peternak produsen dari
harga pedagang besar atau pengecer baik untuk tujuan pasar modern maupun pasar
tradisional dapat ditentukan.
Hasil analisis diatas dijadikan dasar untuk merumuskan beberapa alternatif kebijakan
pengembangan kelembagaan manajemen rantai pasok komoditas sapi dan kerbau lokal
secara terpadu dan berdayasaing.
3.5. Analisis Risiko Dan Solusinya
Tabel 4. Daftar Risiko, Penyebab dan Dampak
No Risiko Penyebab Dampak 1 Rendahnya keterbukaan
informasi pedagang dan pengusaha/industri
Rasa kekhawatiran dari informasi yang diberikan tersebut berdampak kurang baik terhadap usahanya
Data kurang lengkap, akurat, dan rinci
2 Tugas-tugas kantor untuk kegiatan non penelitian bersifat dadakan dan sporadis
Tuntutan pekerjaan dari atas yang kurang terjadwal dengan baik
Mengganggu pelaksanaan kegiatan penelitian
3 Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian
Perubahan lingkungan yang mengharuskan dilaksanakan justifikasi perubahan anggaran
Ketepatan perencanaan dan pelaksanaan terganggu sehingga dapat memperlambat pelaksanaan
4 Perkembangan agribisnis sapi dan kerbau belum meluas
Pengembangan agribisnis sapi dan kerbau masih terbatas
Kesulitan mencari lokasi untuk bench marking studi manajemen rantai pasok
5 Serangan penyakit atau wabah pada sapi dan kerbau
Pengusahaan dilaksanakan secara tradisional dan menyebar
Banyak sapi dan kerbau di daerah sentra produksi mati secara masal sehingga pengumpulan data terganggu
30
Tabel 5. Daftar Penanganan Risiko
No Risiko Penanganan 1 Rendahnya keterbukaan informasi
pedagang dan pengusaha/industri Melakukan teknik wawancara secara baik dan benar, melalui pendampingan petugas instansi terkait dan memberikan penjelasan urgensi penelitian ini bagi responden
2 Tugas-tugas kantor yang sporadis Mengatur pembagian tugas dan tanggungjawab diantara tim pelaksana penelitian
3 Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian
Membuat perencanaan penelitian dengan strategi Plan-A dan Plan-B, sehingga jika terjadi perubahan anggaran tinggal dilaksanakan salah satu dari plan tersebut
4 Pengembangan agribisnis sapi dan kerbau masih terbatas
Akan diusahakan pemilihan lokasi yang telah melaksanakan SCM produk daging sapi dan kerbau secara terpadu
5 Serangan penyakit hewan pada sapi dan kerbau
Pengambilan lokasi pada daerah sentra produksi yang tidak terserang wabah penyakit
3.6. Kurun Waktu Pencapaian Keluaran
Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan berdasarkan tahun kalender dari Januari
sampai dengan Desember tahun 2015 dengan rincian jadual sebagai berikut:
Jenis Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Pembuatan proposal
Seminar proposal
Perbaikan proposal
Studi literatur
Penyusunan kuesioner
Pra survei dan pretest kuesioner
Survey utama
Pengolahan dan analisis data
Penulisan laporan kemajuan
Penulisan draft laporan akhir
Seminar hasil peneltitian
Perbaikan laporan akhir
Penggandaan laporan akhir
31
DAFTAR PUSTAKA
ACIAR. 2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak Pada Kaum Miskin. Australian Centre for International Agricultural Research. Diterjemahkan oleh Mia Hapsari Kusumawardani. Tabros, Indonesia.
Anwarhan, H., and H. Supriadi. 1994. Crop-animal interactions in rubber-based farming sistems in upland transmigration areas. In: Sustainable animal production and the environment. Proceedings of the 7 th AAAP Animal Science Congress, held in Bali, Indonesia, July 11-16, 1994.
Andri, K.B. dan R. Stringer. 2010. Panduan Pedoman Pelaksanaan Penerapan VCA (Analisa Rantai Nilai) untuk Staf Peneliti BPTP dan BBP2TP. Badan Litbang Pertanian, Kementrian Pertanian. Bogor.
Bappenas. 2006. Strategi Peningkatan Pertumbuhan Subsektor Peternakan Mendukung Peningkatan Pendapatan dan Diversifikasi (Draft). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Chopra, S. dan P. Meindl. 2007. Supply Chain Management : Strategi Planning and Operation. Third Edition. Pearson Prentice Hall, Singapore.
Dahl, D. dan J. W. Hamond. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. Mc. Graw Hill Book Company. USA.
Daryanto, A. 2008. Peningkatan Nilai Tambah Perunggasan Melalui Supply Chain Management. Direktur Program Pasca Sarjana Manajemen dan Bisnis IPB. Institut Pertanian Bogor.
Daryanto, Arief. 2011. Nilai Tambah Peternakan Melalui Agroindustri. TROBOS. No. 137 Februari 2011 Tahun XII.
Djajanegara, Ismail dan Kartaatmadja. 2005. Teknologi dan Manajemen Usaha Berbasis Ekositem., Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Diwyanto., Sitompul., Manti., Mathius dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-sapi. Pros. Lokakarya Nasional. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu 9 – 10 Sept. 2003. Departemen Pertanian dengan PT Agricinal, Bogor.
Diwyanto dan Haryanto. 2001. Importance of integration in sustainable farming sistem. In: Integration of Agricultural and Environmental Policies in an Environmental Age. Dalam Diwyanto, Prawiradiputra dan Darwinsyah Lubis. Integrasi Tanaman Ternak Dalam Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya Saing Berkelanjutan dan Berkerakyatan WARTAZOA , 12 (1): 1-7.
FAO. 2009. Agiculture for Development : Toward a New Padigm and Guidlines for Success A sequel to the World Development Report 2008. Forum on How to Feed the World in 2050, FAO, Rome Oct. 2009.
Gereffi, G., J. Humphrey dan T. Sturgeon, 2005. The Governance of Global Value Chains. Review of Political Economy 13 :1 February 2005 : 78-104. Tylor and Francis Ltd.
Index Mundi. 2004-2012. Agricultural Statistics. United State Agency for international Development.
Ilham, Nyak. 2006. Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi Pencapaian Swasembada Daging 2010. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 4 Nomor 2, Hal: 131-145.
32
Indrajid, R. E. dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Managemen Suplply Chain: Cara Baru Memandang Rantai Penyediaan Barang. Grasindo, Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Janvier, Assey Mbang. 2012. A New Introduction to Supply Chains and Supply Chain Management: Definitions and Theories Perspective. International Business Research Vol. 5, No. 1; January 2012
Kaplinsky, R. 1999. “Globalization and Unequalization: What Can Be Learned from Value Chain Analysis.” Journal of Development Studies 37(2): 117-146.
Kaplinsky, R. and M. Morris. 2001. A Handbook for Value Chain Research. Brighton, United Kingdom, Institute of Development Studies, University of Sussex.
Kariyasa dan Pasandaran. 2005. Struktur Usaha dan Pendapatan Integrasi Tanaman-ternak Berbasis Agroekosistem. Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.
Marimin et al. 2013. Teknik dan Analisis Pengambilan Keputusan Fuzzy Dalam Manajemen Rantai Pasok. IPB Press. Bogor
Marimin et al. 2011. Studi Peningkatan Kinerja Manajemen Rantai Pasok Sayuran Dataran Tinggi Di Jawa Barat. Agritech, Vol. 31, No. 1, Februari 2011
Pasandaran E., Djajanegara A., Kariyasa K., dan Kasryno F. 2005. Kerangka Konseptual Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Parwati, I.M. Rai Yasa dan S. Guntoro. 2009. Tingkat Pendapatan Petani Ternak Dengan Pemberian Limbah Kulit Kopi Pada Ternak Sapi. Prosiding Loka Karya : SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK. Pengembangan Jejaring Penelitian dan Pengkajian; Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Poerwanto, R. 2013. Membangun Sistem Baru Agribisnis Hortikultura Indonesia pada Era Pasar Global. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Hortikultura Bogor, 10 Oktober 2013.
Prawiradiputra, B. R. 2009. Masih Adakah Peluang Pengembangan Integrasi Tanaman dengan Ternak di Indonesia. Wartazoa, 19 (3): 143-149.
Purba, F.H.K. 2013. Potensi Ampas Tebu dalam Peluang Usaha dan Pemanfaatan Komersial. http://heropurba.blogspot.com/2013/03/potensi-ampas-tebu-dalam-peluang-usaha.html. Diunduh 12 Februari 2014.
Rayhan, M., W. Suryapratama, dan T.R. Sutardi. 2013. Fermentasi Ampas Tebu (Bagasse)
Menggunakan Phanerochaete chrysosporium sebagai Upaya Meningkatkan Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik secara in vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan, 1 (2): 585-589
Romli, M., T. Basuki, J. Hartono, Sudjindro dan Nurindah. 2012. Sistem Pertanian Terpadu Tebu-Ternak Mendukung Swasembada Gula dan Daging. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Samuelson P.A. dan W.D. Nordhaus. 1993. Mikro-Ekonomi Edisi Ke Empat Belas. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Subiharta, B. Hartoyo dan H. Anwar. 2006. Teknologi sistem usahatani integrasi tanaman dan ternak berbasis tanaman pangan di lahan kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah.
Saptana dan Arief Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan Usaha Agribisnis Berdayasaing dan Berkelanjutan. Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Taha, A. F. 2003. The Poultry Sector in Middle-Income Countries and Its Feed Requirement: The Case of Egypt. Agriculture and Trade Report WRS-03-02. United State Department of Agriculture. Hal: 1-42.
33
Tomeck, W.G. and Kenneth L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices. Cornell University Press. Ithaca and London. Third Edition.
Zurriyati. 2008. Peningkatan Pendapatan Petani Desa Masda Makmur, Rambah Samo-Riau Dari Pembuatan Kompos Asal Kotoran Sapi Pada Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Prosiding. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.