review dan perumusan indikator kesejahteraan...

53
Laporan Akhir Kajian Isu-Isu Aktual Kebijakan Pembangunan Pertanian T. A. 2016 REVIEW DAN PERUMUSAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI Tim Pantjar Simatupang Muchjidin Rahmat Supriyati Mohamad Maulana PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BOGOR 2016

Upload: truongnhu

Post on 22-May-2019

223 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Laporan Akhir

Kajian Isu-Isu Aktual Kebijakan Pembangunan Pertanian T. A. 2016

REVIEW DAN PERUMUSAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN

PETANI

Tim

Pantjar Simatupang Muchjidin Rahmat

Supriyati Mohamad Maulana

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

BOGOR 2016

i

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Daftar Tabel

Daftar Gambar

Policy Brief

I. Pendahuluan….………………………………………………………………………………………………………. 1

1.1. Latar Belakang………….……………………………………………………………………………………….. 1

1.2. Tujuan…………………..…………………………………………………………………………………………. 2

1.3. Keluaran dan Manfaat.…………………………………………………………………………………………... 3

II. Metodologi…………….......……………………………………………………………………………………………. 3

2.1. Metode Analisa.……....…………………………………………………………………………………………... 3

2.2. Data dan Lokasi…………………………………..………………………………………………………………. 5

III Review Indikator-Indikator Kesejahteraan…………………………………………………………………………… 5

3.1. Nilai Tukar Petani……………………………………………………………………………………….....……… 5

3.1.1. Keunggulan Nilai Tukar Petani…………………………………………………………………………. 7

3.1.2. Kelemahan Nilai Tukar Petani………………………………………………………………………….. 9

3.1.3. Peluang Nilai Tukar Petani Sebagai Indikator Kesejahteraan Petani……...……………………….. 11

3.2. Produk Domestik Bruto per Kapita…………………..…………………………………………………………. 12

3.2.1. Produk Domestik Bruto dan Perhitungannya…………………………………………………………. 12

3.2.2. Perhitungan Disposable Income………………………………………………………….……………. 17

3.2.3. Validitas Produk Domestik Bruto Sebagai Indikator Kesejahteraan Petani……..…………………. 19

3.3.. Prevalensi Kemiskinan Pendapatan…….…………..…………………………………………………………. 22

3.3.1. Konsepsi Kemiskinan dan Indikator Kemiskinan…………………………………..…………………. 22

3.3.2. Perhitungan Garis Kemiskinan…………………..…………………………………..…………………. 25

3.4. Indeks Pembangunan Manusia………….…………..…………………………………………………………. 30

3.5. Persepsi Perubahan Kondisi Ekonomi dan Kecukupan Pendapatan Rumah Tangga……..………………. 34

3.6.. Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia……...…..…………………………………………………………. 35

3.7.. Indeks Kemiskinan (Kesejahteraan) Multidimensi….…………………………………………………………. 39

IV Pertimbangan Kebijakan…………………………………..………………………………………………………….. 41

4.1. Manfaat dan Urgensi Pengukuran Kesejahteraan Petani……..………………………………………………. 41

4.2. Alternatif Metode Pengukuran Kesejahteraan Petani…...….…………………………………………………. 42

4.3. Opsi Tindak Lanjut……………………………………..…...….…………………………………………………. 46

V Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan..………………………………………………………………………….. 47

5.1. Kesimpulan…………..….……………………………….………………………………………………………... 47

ii

5.2. Rekomendasi Kebijakan.……………………………….………………………………………………………... 48

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………………………………. 48

iii

DAFTAR TABEL

No. Judul Tabel Hal

3.1. Nilai Tukar Petani Nasional dan menurut provinsi, Januari–Desember 2012......................... 8

3.2. Nilai Tukar Petani Nasional dan menurut sub sektor, Januari – Mei 2013............................... 10

3.3. Lapangan usaha atau kategori dalam perhitungan PDB, 2016……………..………………….. 14

3.4. Produk Domestik Bruto Triwulanan, 2015-2016...................................……………………….. 15

3.5. Perkembangan jumlah tenaga kerja pertanian, 2011-2015 (orang).................................….. 19

3.6. Perkembangan pendapatan petani per sub sektor pertanian sempit (harga konstan 2010),

2011-2015 (Rp per petani per tahun)...............................…………………............................. 20

3.7. Garis Kemiskinan menurut provinsi (Rupiah/kapita/tahun)..................................................... 29

3.8. Hasil perhiyungan Indeks Pembangunan Manusia dengan metode baru, 2010 – 2015.......... 33

3.9. Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia, Jawa Barat dan Sumatera Utara, 2014............. 37

3.10. Persentase RTUP menurut kategori kemiskinan multidimensi dan sumber pendapatan

utama, 2013……………………………………………….………………………………………... 40

4.1. Rangkuman deskripsi indikator-indikator kesejahteraan yang pernah digunakanBPS.....….. 44

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Meningkatkan kesejahteran petani dan rakyat Indonesia secara umum merupakan

salah satu tujuan utama pembangunan pertanian. Peningkatan kesejahteraan rakyat

yang adil dan merata adalah amanat konstitusi sehingga sudah semestinya menjadi

tujuan akhir pembangunan pertanian sepanjang masa. Tidak saja sebagai tujuan akhir,

peningkatan kesejahteraan petani adalah juga bagian dari instrumen pembangunan

pertanian. Petani yang lebih sejahtera, lebih memiliki kapabilitas dalam melaksanakan

pembangunan pertanian. Dipandang demikian, maka kesejahteraan memiliki nilai

intrinsik dan nilai instrumental sehingga sudah semestinya dijadikan sebagai prioritas

utama tujuan pembangunan pertanian.

Oleh karena fungsi sentralnya sebagai tujuan dan instrumen pembangunan

pertanian, maka sudah semestinya pula kesejahteraan petani dimonitor dan dievaluasi

secara berkala dan teratur sebagai bahan manajemen operasional maupun evaluasi

kinerja pembangunan pertanian. Kesejahteraan petani adalah konsep yang subyektif,

abstrak dan kompleks. Kesejahteraan biasanya diukur dengan indikator tertentu. Makna

kesejahteraan manusia terus berkembang menurut zaman sehingga metode

pengukurannya pun banyak ragam dan terus berkembang seiring dengan kemajuan

zaman. Terkait dengan itu, pertanyaan yang segera muncul ialah bagaimanakah

mengukur kesejahteraan yang disatu sisi sah secara konseptual dan valid secara empiris,

sementara disisi lain mudah dilakukan dan murah dilaksanakan.

Salah satu indikator kesejahteraan yang paling popular dan hingga kini diterima

secara luas di Indonesia ialah indeks Nilai Tukar Petani (NTP). Kementerian Pertanian

juga menggunakan NTP sebagai indikator kesejahteraan petani setidaknya hingga tahun

2015 sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014

(Kementan, 2011). Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan perkembangan indeks NTP

setiap bulan. Kiranya dimaklumi bahwa sesungguhnya sudah cukup lama penelitian

menunjukkan bahwa indeks NTP sudah tidak valid sebagai indikator kesejahteraan

petani Indonesia (Simatupang dan Maulana, 2006; Simatupang dan Maulana, 2007;

Rachmat 2013). Badan Pusat Statistik pun telah menyadari hal itu, dan oleh karena itu

kini tidak lagi menafsirkan indeks NTP sebagai penanda kesejahteraan petani, dan

sejalan dengan itu BPS menyediakan indikator baru yaitu indeks Nilai Tukar Usaha

Pertanian (NTUP), walau juga bukanlah indikator valid kesejahteraan petani.

Dokumen Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 menyatakan

bahwa kesejahteraan petani diukur dengan PDB pertanian per kapita dan prevalensi

kemiskinan petani (Kementan, 2016). Jelas kiranya bahwa Kementerian Pertanian kini

2

sudah tidak lagi menggunakan NTP sebagai indikator kesejahteraan petani. Namun

banyak pengamat hingga kini masih tetap saja menggunakan NTP sebagai indikator

kesejahteraan petani. Bahkan beberapa pejabat atau lembaga tinggi pemerintahan

seperti Bappenas masih tetap memandang NTP sebagai salah satu indikator

kesejahteraan petani (Rusono et al, 2013). Oleh karena itu, salah satu agenda penelitian

yang perlu segera dilaksanakan ialah mengkaji ulang makna NTP dan validitasnya

sebagai indikator kesejahteraan petani.

Kalau sekiranya NTP tidak valid maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah

yang mestinya dipakai sebagai indikator kesejahteraan petani? Apakah PDB pertanian

per kapita dan prevalensi kemiskinan petani sebagaimana disebut dalam dokumen

Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 valid sebagai indikator

kesejahteraan petani? Adakah alternatif indikator kesejahteraan petani yang tidak saja

cukup (lebih) valid secara teoritis dan empiris, tetapi juga cukup praktis dan murah

pelaksanaannya? Semua ini adalah permasalahan yang perlu dijawab melalui suatu

penelitian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian tentang indikator kesejahteraan secara umum

sudah cukup banyak. Untuk Indonesia misalnya, BPS sudah menghitung dan

mempublikasikan sejumlah indikator terkait kesejahteraan rakyat secara umum seperti

prevalensi kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), indeks kemiskinan multi

dimensi, dan indeks kebahagiaan. Namun demikian, indikator-indikator serupa yang

khusus untuk kesejahteraan petani belum tersedia. Dalam kaitan ini, pertanyaan

kemudian ialah apakahindikator-indikator kesejahteraan umum tersebut dapat diterapkan

khusus untuk keluarga petani dan disediakan regular dengan biaya wajar?

1.2. Tujuan

Berdasarkan uraian diatas, pada intinya, tujuan kajian ini ialah merumuskan

alternatif indikator kesejahteraan petani yang tidak saja cukup (lebih) valid secara teoritis

dan empiris, tetapi juga cukup praktis dan murah pelaksanaannya sehingga dapat dipakai

sebagai instrumen monitoring dan evaluasi kinerja pembangunan pertanian secara

reguler.

Dengan lebih rinci, tujuan kajian ini ialah:

1. Mengkaji ulang validitas NTP sebagai indikator kesejahteraan petani Indonesia.

2. Mengkaji ulang validitas PDB pertanian per kapita dan prevalensi kemiskinan petani

sebagai indikator kesejahteraan petani Indonesia.

3. Mengeksplorasi alternatif indikator kesejahteraan petani Indonesia.

3

4. Merumuskan rekomendasi alternatif indikator kesejahteraan petani yang sebaiknya

digunakan sebagai instrumen monitoring dan evaluasi kinerja pembangunan

pertanian oleh Kementerian Pertanian.

1.3. Keluaran dan Manfaat

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti diuraikan diatas tidak saja

penting dari segi ilmiah tetapi juga urgent dari segi kebijakan bagi Kementerian Pertanian.

Diharapkan kajian ini akan menghasilkan penjelasan teoritis dan empiris tentang makna

NTP, khususnya validitasnya sebagai indikator kesejahteraan petani. Penjelasan ini

sangat penting untuk menjernihkan perdebatan dan menghindari kesalahan penggunaan

NTP yang sudah berlangsung cukup lama. Penelitian ini juga diharapkan menghasilkan

rekomendasi alternatif indikator kesejahteraan petani yang tidak saja cukup (lebih) valid

secara teoritis dan empiris, tetapi juga cukup praktis dan murah pelaksanaannya

sehingga dapat dipakai sebagai indikator dalam monitoring dan evaluasi kinerja

pembangunan pertanian secara regular.

II. METODOLOGI

2.1. Metode Analisa

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa kata “sejahtera” adalah

ajektif yang berarti aman, sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam

gangguan), sedangkan kesejahteraan adalah kata benda yang menyatakan hal atau

keadaan sejahtera. Sentosa adalah bebas dari segala kesukaran dan bencana; aman

dan tenteram (KBBI, 2016). Padanan kesejahteraan dalam bahasa Inggris ialah “welfare”

yang berarti “the state of doing well especially in respect to good fortune, happiness, well-

being, or prosperity” (Webster Dictionary, 2016).

Dalam Undang Undang nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,

kesejahteraan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual,

dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri

sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dengan demikian, secara semantik,

kesejahteraan adalah hal atau keadaan sehat, damai, sejahtera, bahagia. Sejahtera

berarti terpenuhinya segala kebutuhan biologis, psikologis, sosiologis dan sipiritual.

Kebutuhan biologis mungkin dapat diukur berdasarkan kemampuan untuk memperoleh

segala kebutuhan material agar dapat hidup sehat dan produktif. Kebutuhan psikologis,

sosiologis dan sipiritual, berkaitan dengan relasi sesama manusia dan Tuhan, bersifat

subyektif dan tidak dapat dipenuhi dengan barang material semata. Dengan pengertian

demikian, kesejahteraan berkenaan dengan perasaan tentang status kebaikan,

4

kebahagiaan atau kepuasan hidup yang bersifat dan subyektif dan kualitatif, tidak dapat

diukur langsung. Oleh karena itu, kesejahteraan biasanya diukur dengan indikator atau

penanda yang berkorelasi erat dengan kebaikan, kebahagiaan atau kepuasan hidup.

Metode pengukuran kesejahteraan terus berkembang seiring dengan kemajuan

peradaban dan ilmu pengetahuan. Perubahan peradaban berpengaruh terhadap

perubahan perubahan nilai-nilai kehidupan, termasuk pandangan tentang kebaikan dan

keburukan serta orientasi hidup manusia, yang berariti pula perubahan determinan utama

kesejahteraan. Kemajuan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap pemahaman tentang

hakekat kesejahteraan bagi manusia dan metode pengukurannya. Secara evolutif,

pengukuran indikator kesejahteraan dapat dibedakan menjadi empat pendekatan:

materialisme (monetarisme), eudamonisme (pencapaian alami), faham pembangunan

manusia, dan post materialisme.

Pendekatan materialisme (moneterisme) mengukur kesejahteraan berdasarkan

pada kekayaan material diukur dalam nilai moneter. Indikator yang paling umum

digunakan ialah pendapatan per kapita, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar

(bebas kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi) dan pemilikan aset. Pendekatan ini

cukup praktis dan paling luas digunakan hingga kini. Namun demikian, selain karena

masalah teknis dalam perhitungannya, pendekatan ini dipandang kurang memadai

karena tidak memperhitungkan dimensi psikologis, spiritual, sosial, dan politik.Badan

Pusat Statistik menghitung dan menerbitkan PDB Pertanian tiap kuartal dan tingkat

kemiskinan dua kali tiap tahun.

Pendekatan eudemonisme berpandangan bahwa kesejahteraan setiap orang

ditentukan oleh capaian tertinggi yang mungkin diraih dengan anugrah potensi alami

insaninya. Pencapaian ini ditentukan oleh kesehatan biologis, kesehatan relasi sosial dan

kesehatan psikologis. Oleh karena itu, kesejahteraan hendaklah diukur secara subyektif,

berdasarkan pengakuan tentang aspek kesehatan yang mencakup ketiga dimensi

potensi alami insani tersebut. Pengukuran kesejahteraan dengan indikator kebahagiaan

dapat dimasukkan ke dalam pendekatan ini. Indikator ini biasanya dihitung dalam suatu

indeks komposit berdasarkan hasil survei.

Pendekatan pembangunan manusia berpandangan bahwa kesejahteraan

tercermin dalam pencapaian diri dengan memanfaatkan penuh potensi, kapasitas dan

inteligensia atau sumberdaya manusia tiap insan, Oleh karena itu, kesejahteraan diukur

dengan indikator indeks pembangunan manusia (human development index)

berdasarkan variabel pendapatan per kapita, tingkat pendidikan dan tingkat harapan

hidup. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu indikator

kesejahteraan yang digunakan secara luas hingga kini. Konsep dan cara perhitungan

IPM dipelopori oleh UNDP. Untuk Indonesia, BPS menghitung dan mempublikasikannya

secara teratur tiap tahun.

5

Pendekatan post matererialisme berkembang seiring dengan meningkatnya

kesadaran akan relasi sosial-politik dan kesehatan lingkungan sebagai bagian dari

penentu kesejahteraan manusia. Aliran ini berpandangan bahwa kesejahteraan manusia

ditentukan oleh tiga pilar: kesejahteraan ekonomi, keadilan dan partisipasi sosial politik,

dan kelestarian kesehatan lingkungan hidup. Kesejahteraan diukur dengan indikator

indeks komposit dari berbagai variabel yang mewakili ketiga pilar tersebut atau yang lebih

dikenal dengan indeks kesejahteraan multidimensi. Banyak negara telah menyusun

konsep perhitungan indeks kesejahteraan multidimensi yang khas untuk negara masing

masing. Untuk Indonesia, BPS telah menghitung dan mempublikasikan indeks

kemiskinan multi dimensi.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa BPS telah menghitung dan

mempublikasikan sejumlah indikator kesejahteraan rakyat. Namun demikian, dari sekian

banyak indikator yang ada hanya NTP yang khusus dimaksudkan sebagai pengukur

kesejahteraan petani. Indikator-indikator lainnya dimaksudkan sebagai pengukur

kesejahteraan rakyat secara umum. Kalau pun ada disagregasi, pemilahan pada

umumnya dilakukan secara spasial, penduduk desa dan kota, sehingga tidak dapat

mengindikasikan status kesejahteraan petani.

Oleh karena itu, dalam kajian ini akan direview berbagai indikator-indikator yang

telah dihitung dan dipublikasikan oleh BPS selama ini dengan maksud untuk mengetahui

kemungkinan penggunaannya sebagai indikator kesejahteraan petani, mengevaluasi

kekurangan atau kelemahannya, serta merumuskan langkah-langkah penyesuaian yang

diperlukan agar hal itu valid secara teoritis dan layak secara praktek.

2.2. Data dan Lokasi

Kajian ini menggunakan data sekunder. Survei lapang dilakukan ke wilayah Jawa

Barat dan Sumatera Utara untuk memperoleh data dan informasi di tingkat provinsi dan

kabupaten serta melakukan verifikasi data dan metodologi pengumpulan data indikator

kesejahteraan dan analisis yang dilakukan pada tingkat provinsi dan kabupaten.

III. REVIEW INDIKATOR-INDIKATOR KESEJAHTERAAN

3.1. Nilai Tukar Petani

Secara konsepsi NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang

dihasilkan petani terhadap produk yang dibeli petani (untuk keperluan konsumsi dan

keperluan dalam memproduksi usahatani). Nilai tukar petani didefinisikan sebagai rasio

6

antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB).

Pengukuran NTP dinyatakan dalam bentuk indeks sebagai berikut:

𝐼𝑁𝑇𝑃 = 𝐼𝑇𝐼𝐵⁄

dimana:

INTP = Indeks Nilai Tukar Petani,

IT = Indeks harga yang diterima petani,

IB = Indeks harga yang dibayar petani.

Indeks tersebut merupakan nilai tertimbang terhadap kuantitas pada tahun dasar

tertentu. Pergerakan nilai tukar akan ditentukan oleh penentuan tahun dasar karena

perbedaan tahun dasar akan menghasilkan keragaan perkembangan indeks yang

berbeda. Formulasi indeks yang digunakan adalah Indeks Laspeyres.

𝐼 = ∑ 𝑄0 ∗ 𝑃𝑖

∑ 𝑄0 ∗ 𝑃0

dimana:

I = Indeks Laspeyres, Qo = Kuantitas pada tahun dasar tertentu (tahun 0), P0 = Harga pada tahun dasar tertentu (tahun 0), Pi = Harga pada tahun ke i.

Harga yang diterima petani merupakan harga tertimbang dari harga setiap

komoditas pertanian yang diproduksi/dijual petani. Penimbang yang digunakan adalah

nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas. Harga komoditas pertanian

merupakan harga rataan yang diterima petani atau "Farm Gate". Petani yang dimaksud

dalam konsep NTP dari BPS adalah petani yang berusaha di sub sektor tanaman

pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, serta petani ikan budidaya dan

nelayan. Petani sub sektor tanaman pangan mencakup petani yang berusaha pada

usahatani padi dan palawija; petani sub sektor hortikultura mencakup petani sayur-

sayuran dan buah-buahan; petani perkebunan rakyat terdiri usahatani komoditas

perdagangan rakyat; petani peternak yang bergerak dalam usaha ternak besar, ternak

kecil, unggas, dan hasil peternakan; serta petani nelayan yang mencakup petani

budidaya ikan dan nelayan penangkapan. Harga dari setiap sub sektor merupakan harga

tertimbang dari harga setiap komoditas penyusunnya.

Harga yang dibayar petani merupakan harga tertimbang dari harga/biaya

konsumsi makanan, konsumsi non makanan dan biaya produksi dan penambahan

7

barang modal dari barang yang dikonsumsi atau dibeli petani. Komoditas yang dihasilkan

sendiri tidak masuk dalam perhitungan harga yang dibayar petani. Harga yang dimaksud

adalah harga eceran barang dan jasa yang di pasar pedesaan. Harga yang dibayar petani

(HB) dirumuskan berikut:

𝐻𝐵 = ∑ 𝑏 ∗ 𝑃𝐵𝑖

dimana: HB = Harga yang dibayar petani,

Pbi = Harga kelompok produk ke i yangdibeli petani,

b = Pembobot dari komoditas ke i,

I = Kelompok produk konsumsi pangan, non pangan (perumahan, pakaian, aneka

barang dan jasa), dan sarana produksi (faktor produksi, non, barang modal).

NTP dihitung dari rasio harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang

dibayar petani (HB). Dengan demikian NTP menggambarkan daya tukar / daya beli dari

barang barang yang dijual petani terhadap barang yang dibeli. Kenaikan HT dengan laju

yang lebih besar akan menghasilkan kenaikan NTP dan sebaliknya. HT sebagai indikator

penerimaan petani mempunyai arah positif terhadap NTP dan HB sebagai mempunyai

arah negatif terhadap NTP.

3.1.1. Keunggulan Nilai Tukar Petani.

Perhitungan NTP relatif mudah karena dan data tersedia tiap bulan. Indikator NTP

yang dibangun BPS mempunyai unit analisa nasional dan regional (provinsi). NTP

nasional merupakan agregasi dari NTP regional, sehingga disamping analisa yang

bersifat nasional, NTP dapat didisagregasi menjadi unit NTP regional provinsi (Tabel

3.1.).

NTP juga disusun mencakup komponen sub sektor, yaitu sub sektor tanaman

pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, dan sub

sektor perikanan, dengan demikian juga dapat pula NTP komponen penyusunnya, yaitu

NTP tanaman pangan, NTP hortikultura, NTP perkebunan, NTP peternakan, dan NTP

perikanan. Dengan metoda disagregasi juga dapat diturunkan NTP dari komponen/unsur

dari sisi pembentuknya dari masing masing sub sektor. Dari NTP sub sektor tanaman

pangan dapat dirunkan NTP padi dan NTP kelompok palawija, dan dari NTP palawija

juga dapat diturunkan NTP jagung, kedelai, dan seterusnya (Tabel 3.2.).

8

Tabel 3.1. Nilai Tukar Petani Nasional dan menurut provinsi, Januari – Desember 2012.

Prop Jan-12 Feb-12 Mar-12 Apr-12 Mei-12 Jun-12 Jul-12 Agust-12 Sep-12 Okt-12 Nop-12 Des-12

Aceh 105,01 105,08 104,52 104,26 104,07 104,02 104,06 103,90 103,56 103,78 103,57 103,81

Sumut 102,60 102,00 101,79 101,90 102,03 101,97 101,81 101,66 101,05 101,04 101,17 101,51

Sumbar 107,02 106,42 105,97 105,53 104,47 103,91 104,03 104,15 104,51 104,75 104,67 104,90

Riau 104,96 105,33 105,91 105,38 104,75 104,20 104,17 103,73 103,61 103,79 102,89 102,54

Jambi 94,38 93,79 92,99 92,68 92,39 91,94 91,83 91,73 90,96 91,54 91,06 90,64

Sumsel 109,15 110,38 110,38 110,42 109,81 109,79 110,08 110,23 109,99 110,40 110,66 110,22

Bengkulu 102,88 103,12 103,35 103,43 102,44 103,13 102,68 102,14 101,79 101,68 101,45 100,97

Lampung 124,58 124,69 124,34 124,92 125,06 125,25 125,55 125,82 126,34 126,23 126,11 126,04

Babel 99,70 99,54 99,15 99,06 99,28 98,77 98,46 98,45 99,12 99,45 99,48 99,56

Kepri 103,95 104,27 105,18 105,14 105,19 105,18 104,80 104,88 104,24 103,95 104,25 104,84

Jabar 108,51 108,03 107,87 107,23 107,33 108,36 108,83 109,05 109,41 110,26 110,73 111,55

Jateng 106,56 105,42 104,51 104,51 104,40 104,54 104,88 105,45 105,57 106,15 105,78 106,37

Yogya 116,50 115,93 115,43 115,65 115,30 115,78 116,08 116,71 117,30 117,89 117,26 117,59

Jatim 102,80 101,37 100,57 101,24 101,76 101,56 101,71 102,42 102,80 103,14 103,25 103,28

Banten 107,66 108,61 107,69 107,25 107,03 107,66 107,53 108,61 108,81 109,51 109,83 111,07

Bali 108,00 108,04 107,52 107,54 107,97 108,56 108,80 108,79 108,46 108,93 108,28 108,39

NTB 95,90 95,83 95,22 95,53 95,69 95,20 94,78 95,09 95,22 95,45 95,13 95,32

NTT 103,50 102,44 102,05 101,48 101,84 102,31 101,55 101,32 101,46 101,26 101,41 101,08

Kalbar 101,05 101,01 102,14 102,26 101,48 100,86 100,09 100,24 100,31 100,79 100,97 99,88

Kalteng 99,44 99,75 99,85 99,74 99,58 99,26 99,04 98,66 98,95 98,95 99,09 98,66

Kalsel 108,90 108,26 108,24 108,27 108,29 107,78 107,67 107,30 107,57 107,35 107,55 107,00

Kaltim 98,34 98,04 98,53 98,46 98,20 98,21 98,14 98,09 98,02 97,68 97,63 97,14

Sulut 103,26 102,71 102,21 101,70 101,24 100,97 100,36 100,38 101,14 101,28 101,31 101,04

Sulteng 99,04 98,15 97,86 97,48 97,69 97,73 97,52 97,68 97,80 98,05 97,36 97,16

Sulsel 107,86 107,26 107,22 107,40 107,81 108,31 108,46 108,63 108,59 108,58 108,37 108,11

Sultra 106,71 106,11 106,51 106,30 106,67 106,83 106,43 106,70 106,15 106,51 106,27 106,23

Gorontalo 103,72 103,21 102,34 102,36 102,12 102,57 101,91 102,22 102,26 102,50 101,46 101,34

Sulbar 103,55 103,52 104,11 104,17 104,35 104,30 104,18 104,44 104,99 105,03 105,31 104,87

Maluku 104,47 104,36 104,04 104,02 104,32 104,14 104,45 104,89 104,92 105,26 105,80 105,70

Malut 100,89 100,82 100,39 100,24 100,47 100,60 100,19 100,15 100,39 101,21 101,02 101,55

Papua Barat 102,92 102,76 102,84 102,37 101,78 101,74 101,22 100,81 100,64 101,01 100,68 100,79

Papua 103,16 103,22 103,22 102,90 103,08 102,68 103,08 102,73 102,45 102,21 101,87 101,76

Indonesia 105,73 105,10 104,68 104,71 104,77 104,88 104,96 105,26 105,41 105,76 105,72 105,87

Sumber, BPS.

9

Demikian pula dari sisi pengeluaran, NTP juga dapat diturunkan NTP terhadap

konsumsi), NTP terhadap sarana produksi, dan seterusnya disagragasi lebih rinci seperti

NT Padi terhadap pupuk, NTP sayuran terhadap sewa lahan, NTP unggas terhadap

upah, dan sebagainya.

Disamping sebagai komponen penyusun NTP, nilai tukar komponen penyusun

NTP itu sendiri merupakan parameter penting kebijakan pembangunan pertanian.

Contohnya, Nilai Tukar Padi terhadap Pupuk (NTPADI-PUPUK) yang didefinisikan

sebagai rasio antara harga padi terhadap harga pupuk, atau yang dikenal sebagai Rumus

Tani merupakan parameter yang digunakan dalam kebijakan harga pangan. Penurunan

NTPADI-PUPUK berarti penurunan daya beli padi terhadap pupuk. Setiap nilai tukar

komponen NTP tersebut masing-masing dapat dipelajari pembentukan dan perilakunya.

Contoh lain adalah NT Padi terhadap Sandang yang merupakan rasio antara harga padi

terhadap harga sandang menggambarkan perkembangan daya beli petani padi terhadap

sandang. Dengan kemungkinan dilakukan agregasi dan disagregasi NTP tersebut

menjadi keunggulan dan konsep pembentukan NTP.

3.1.2. Kelemahan Nilai Tukar Petani

Namun penyusunan NTP tersebut juga masih memiliki kekurangan dan kelemahan.

Dalam pengukuran NTP yang dibangun oleh BPS, definisi/cakupan petani belum

sepenuhnya memasukkan seluruh komoditi yang menjadi kewenangan masing masing

sub sektor. Definisi "petani" dalam NTP hanya mencakup petani tanaman pangan, petani

hortikultura, petani pekebun, petani ternak, dan petani ikan dan nelayan perikanan,

namun belum termasuk petani yang bergerak di usaha kehutanan. Di masing-masing sub

sektor itu sendiri, belum semua komoditas tercakup dalam penghitungan NTP seperti: (a)

belum memasukkan usaha tanaman obat dan tanaman hias pada sub sektor hortikultura,

dan (b) penyusun sub sektor perkebunan rakyat perlu lebih dirinci, misalnya dalam

kelompok komoditas tanaman tahunan dan tanaman semusim.

Penghitungan NTP dinyatakan dalam bentuk indeks, dan menggunakan indeks

Laspeyres. Asumsi utama dari penghitungan indeks metoda Laspeyres adalah tidak ada

perubahan kuantitas dalam periode pengukuran. Kuantitas selalu tertimbang pada awal

titik pengamatan (Qo), sehingga perubahan dan perkembangan nilai indeks bertumpu

pada perubahan harga-harga. Kenaikan harga akan meningkatkan nilai indeks dan

sebaliknya.

10

Tabel 3.2. Nilai Tukar Petani Nasional dan menurut Sub sektor, Januari – Mei 2013.

Rincian Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Perikanan Petani Nasional

Jan-10 97,19 105,05 104,77 104,63 105,05 101,19

Feb-10 97,12 104,99 104,48 104,33 105,30 101,09

Mar-10 97,03 105,45 104,67 104,70 105,42 101,20

Apr-10 96,77 106,14 104,49 104,52 105,50 101,15

Mei-10 96,69 106,57 104,54 104,34 105,46 101,16

Jun-10 97,27 106,99 104,22 103,84 105,31 101,39

Jul-10 97,23 110,97 103,03 103,45 105,03 101,77

Agust-10 97,66 109,61 102,90 103,78 105,43 101,82

Sep-10 98,14 109,31 103,13 104,42 106,26 102,19

Okt-10 99,16 108,34 104,05 104,13 106,25 102,61

Nop-10 99,52 108,84 104,33 104,26 105,95 102,89

Des-10 99,63 108,98 104,25 102,80 105,69 102,75

Jan-11 100,04 109,85 104,64 101,70 105,59 103,01

Feb-11 100,37 109,90 105,79 101,60 105,63 103,33

Mar-11 100,29 109,68 106,23 101,47 105,86 103,32

Apr-11 101,09 109,45 107,61 101,40 106,43 103,91

Mei-11 102,26 109,24 108,10 101,19 106,63 104,50

Jun-11 103,01 108,53 108,30 101,19 106,81 104,79

Jul-11 103,40 108,39 107,82 101,13 106,67 104,87

Agust-11 104,01 108,18 107,98 100,93 106,50 105,11

Sep-11 104,20 108,02 108,10 100,71 106,47 105,17

Okt-11 104,73 108,47 108,12 100,97 106,28 105,51

Nop-11 105,03 108,70 107,55 101,29 106,14 105,64

Des-11 105,39 109,01 107,20 101,02 105,89 105,75

Jan-12 105,76 108,31 106,61 101,20 105,55 105,73

Feb-12 104,69 108,07 106,44 101,11 105,14 105,10

Mar-12 103,60 108,60 106,49 101,16 105,22 104,68

Apr-12 103,59 108,91 106,37 101,14 105,26 104,71

Mei-12 103,62 109,14 106,29 101,20 105,37 104,77

Jun-12 103,96 109,47 105,72 101,13 105,20 104,88

Jul-12 104,10 109,74 105,25 101,33 105,22 104,96

Agust-12 104,59 109,73 105,39 101,39 105,66 105,26

Sep-12 105,02 109,34 105,52 101,40 105,54 105,41

Okt-12 105,37 109,62 106,03 101,91 105,51 105,76

Nop-12 105,87 108,83 105,58 101,40 105,28 105,72

Des-12 106,27 108,57 105,19 101,61 105,49 105,87

Jan-13 106,12 107,98 105,12 101,30 105,67 105,67

Feb-13 105,24 107,90 105,08 101,24 105,39 105,19

Mar-13 104,01 107,94 105,07 100,82 105,19 104,53

Apr-13 103,84 108,27 105,17 101,15 105,10 104,55

Mei-13 104,23 108,98 105,41 101,50 105,34 104,95

Sumber, BPS.

11

Dengan perhitungan seperti saat ini, maka indeks NTP tidak dapat mengambarkan

kesejahteraan petani, karena:

1) Alat ukur kesejahteraan yang dinilai mendekati adalah indicator tingkat pendapatan.

Konsep penghitungan NTP yang selama ini dilakukan tidak berkaitan dengan

menghitung pendapatan rumathangga petani.

2) Penghitungan NTP juga tidak menghitung pendapatan usahatani, karena dengan

penggunaan indeks Laspeyres yang menggunakan asumsi kuantitas yang tetap,

sehingga pengukuran HT dan HB tidak mencerminkan peneriman dan pengeluaran

riil petani,

3) Pendapatan usahatani akan meningkat apabila harga produksi naik dan atau tingkat

produksi meningkat. Penggunaan asumsi kuantitas tetap pada indeks Laspeyres

tidak memperhitungkan peningkatan produktivitas dan kemajuan pembangunan

secara umum.

4) Pada pasar komoditas pertanian yang kompetitif, harga ditentukan oleh kekuatan

penawaran dan permintaan. Kenaikan harga terjadi karena kekurangan pasokan

dibanding permintaan. Penurunan pasokan dapat terjadi karena penurunan produksi

atau permintaan naik lebih tinggi dibandingkan penawaran (produksi). Dengan

demikian pada skala nasional atau regional, kenaikan harga produk yang berakibat

meningkatkan NTP justru mengindikasikan kekurangan/ kelangkaan pasokan atau

produksi.

5) Sistem produksi pertanian umumnya bersifat musiman (masa panen, panen raya,

paceklik) sehingga kenaikan indeks HT belum tentu mencerminkan kenaikan

sebenarnya dari harga yang diterima petani.

6) Konsep NTP hanya mengukur daya beli dari usaha budidaya single komoditi,

sementara sumber pendapatan petani beragam baik di usahatani (on-farm),

keragaman sumber di off-farm dan pendapatan dari sumber di non pertanian.

3.1.3. Peluang Nilai Tukar Petani Sebagai Indikator Kesejahteraan Petani.

Pada dasarnya penghitungan NTP oleh BPS selama ini tidak ditujukan untuk

menghitung tingkat kesejahteraan petani tetapi hanya untuk mengukur tingkat daya beli

dari produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap barang yang dibeli petani baik

barang konsumsi maupun penambahan barang modal termasuk input produksi. Namun

demikian dengan kelebihan yang dimiliki NTP dapat dimanfaatkan untuk menghitung

indeks kesejahteraan petani secara terbatas dengan cara memperbaiki cara perhitungan

dan menambahkan beberapa variabel yang dapat dengan mudah dibangun. Beberapa

langkah dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Dengan beberapa kekurangan NTP sebagai alat analisa indikator kesejehteraan

petani selama ini, terutama agar lebih mendekati pengukuran kesejahteraan dan

12

memperhatikan dampak pembangunan. Pengukuran NTP perlu disempurnakan

dengan memasukkan unsur kuantitas (produktivitas) dalam penghitungannya, baik

dari unsur penerimaan maupun unsur pengeluaran, sehingga NTP didefinisikan

sebagai indeks nilai produksi terhadap indeks nilai pengeluaran.

𝑁𝑇𝑃 =𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑛𝑖

𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑏𝑎𝑦𝑎𝑟 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑛𝑖 𝑥 100

Perhitungan nilai tukar petani yang didasarkan kepada perhitungan indeks nilai

dirumuskan sebagai berikut:

𝐼𝑁𝑇𝑃 = ∑ 𝑄𝑖 ∗ 𝑃𝑖

∑ 𝑄0 ∗ 𝑃0

dimana:

I = Indeks Nilai, Qo = Kuantitas pada awal pengamatan, Qi = Kuantitas pada saat ini, P0 = Harga pada pada awal pengamatan, Pi = Harga pada saat ini.

2) Dalam kaitan dengan tujuan monitoring dan evaluasi pembangunan pertanian, maka

penghitungan NTP sebagai indikator kesejahteraan petani dibatasi kepada nilai tukar

usaha pertanian dari komoditi yang diusahakan (dalam konsep nilai). Dengan

demikian dalam perhitungannya komponen harga yang dibayar perani (HB) hanya

mencakup unsur penambahan barang modal termasuk penggunaan input produksi,

tidak menyertakan unsur konsumsi rumahtangga.

3) Dalam kaitan penyempurnaan perhitungan NTP sebagai alat analisa indeks

kesejehteraan petani, diperlukan penyusunan data indeks produksi pertanian dan

indeks penggunaan input produksi menurut wilayah dan berkala (bulanan/ musiman)

sesuai dengan kebutuhan unit analisa.

3.2. Produk Domestik Bruto per Kapita

3.2.1. Produk Domestik Bruto dan Perhitungannya

Produk Domestik merupakan jumlah total barang dan jasa yang berasal dari

kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik tanpa memperhatikan

apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut,

13

dapat dikatakan sebagai produk domestik daerah yang bersangkutan. Pendapatan dari

kegiatan produksi tersebut merupakan pendapatan domestik. Namun, sebagian dari

faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi di suatu daerah dapat berasal

dari daerah lain atau bahkan dari luar negeri, dan juga sebaliknya, faktor produksi yang

dimilki oleh penduduk daerah tersebut ikut serta dalam proses produksi di daerah lain

atau di luar negeri. Hal ini menyebabkan nilai produk domestik yang timbul di suatu

daerah tidak sama dengan pendapatan yang diterima penduduk daerah tersebut.

Dengan adanya arus pendapatan yang mengalir antar daerah ini (termasuk juga dari

dalam ke luar negeri) yang pada umumnya berupa upah/gaji, bunga, deviden dan

keuntungan, maka timbul perbedaan antara definisi produk domestik dan produk

regional.

Selain PDB, berdasarkan pengumpulan data dan cakupan wilayahnya, ada istilah

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Cara perhitungan PDB dan PDRB adalah

sama. Yang berbeda adalah cakupan wilayahnya, yaitu jika PDB cakupan wilayahnya

adalah agregat nasional, sementara PDRB perhitungannya dilakukan ditingkat provinsi

dan kabupaten. Selain itu, penerbitan PDRB oleh BPS dilakukan per tiga bulan untuk

tingkat provinsi dan tahunan untuk tingkat kabupaten. Sementara PDB diterbitkan setiap

3 bulan.

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah salah satu indikator penting untuk

mengetahui keadaan ekonomi suatu negara dalam periode tertentu. Produk Domestik

Bruto merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu

negara. Produk Domestik Bruto juga didefinisikan sebagai jumlah nilai barang dan jasa

akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha ekonomi dalam suatu negara tertentu (BPS,

2016).

Produk Domestik Bruto dapat dihitung atas dasar harga berlaku (PDB harga

berlaku) dan atas dasar harga konstan (PDB harga konstan). PDB harga berlaku

menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang

berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai

tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada

satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku digunakan untuk

melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang PDB harga konstan digunakan untuk

mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (BPS, 2016).

Produk Domestik Bruto per kapita dihitung sebagai perhitungan total PDB seperti

telah dijelaskan sebelumnya dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDB

per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDB per satu orang penduduk.

PDB per kapita atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan

nyata ekonomi per kapita penduduk suatu negara. Terdapat tiga pendekatan yang

digunakan untuk menghitung PDB, yaitu: (1) menggunakan pendekatan produksi; (2)

14

menurut pendekatan pendapatan; dan (3) melalui pendekatan pengeluaran. Dengan

menggunakan pendekatan produksi, PDB dihitung sebagai jumlah nilai tambah atas

barang dan jasa dari unit-unit produksi yang dikelompokkan menjadi 17 lapangan usaha

atau kategori yang ditunjukkan dengan tiap-tiap huruf yang mewakili satu kategori (Tabel

3.3. dan Tabel 3.4.)

Perhitungan PDB melalui pendekatan pendapatan dilakukan dengan

menjumlahkan balas jasa yang diterima oleh rumah tangga konsumsi di suatu negara

dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), sebagai imbalan atas faktor-faktor

produksi yang digunakan dalam proses produksi. Balas jasa faktor produksi yang

dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya

sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDB

mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi

subsidi).

Tabel 3.3. Lapangan usaha atau kategori dalam perhitungan PDB, 2016.

Ketegori Uraian Kategori atau Lapangan Usaha

A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

B Pertambangan dan Penggalian

C Industri Pengolahan

D Pengadaan Listrik dan Gas

E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang

F Konstruksi

G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

H Transportasi dan Pergudangan

I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum

J Informasi dan Komunikasi

K Jasa Keuangan dan Asuransi

L Real Estate

M, N Jasa Perusahaan

O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib

P Jasa Pendidikan

Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial

R, S, T, U Jasa Lainnya.

Sumber : BPS.

15

Tabel 3.4. Produk Domestik Bruto Triwulanan, 2015-2016.

KATEGORI LAPANGAN USAHA 2015** 2016***

I II III IV Jumlah I A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

282,703.2 311,896.9 328,234.6 251,622.1 1,174,456.8 287,925.9

1 Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian

220,544.8 245,548.5 261,699.8 181,777.7 909,570.8 222,037.0 a. Tanaman Pangan 82,730.4 78,064.0 78,027.1 38,951.6 277,773.1 78,347.4 b. Tanaman Hortikultura 30,184.7 34,450.2 34,641.4 28,124.8 127,401.1 30,379.7 c. Tanaman Perkebunan 69,862.4 94,733.9 109,352.7 76,541.3 350,490.3 74,012.8 d. Peternakan 33,319.3 33,694.5 34,739.4 34,559.4 136,312.6 34,800.7 e. Jasa Pertanian dan Perburuan 4,448.0 4,605.9 4,939.2 3,600.6 17,593.7 4,496.4 2 Kehutanan dan Penebangan Kayu 13,390.0 16,391.2 15,057.8 15,127.2 59,966.2 13,280.7 3 Perikanan 48,768.4 49,957.2 51,477.0 54,717.2 204,919.8 52,608.2 B Pertambangan dan Penggalian 190,252.6 186,558.3 189,929.7 189,498.6 756,239.2 188,993.0 1 Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi 75,058.1 76,313.9 77,498.5 78,388.9 307,259.4 79,747.9 2 Pertambangan Batubara dan Lignit 55,575.4 46,762.5 46,735.8 47,490.1 196,563.8 47,423.4 3 Pertambangan Bijih Logam 21,470.7 24,597.4 24,516.3 24,507.4 95,091.8 21,106.3 4 Pertambangan dan Penggalian Lainnya 38,148.4 38,884.5 41,179.1 39,112.2 157,324.2 40,715.4 C Industri Pengolahan 468,060.6 484,535.3 488,891.8 490,969.7 1,932,457.4 489,539.6 1 Industri Batubara dan Pengilangan Migas 52,043.3 52,097.3 53,761.1 54,473.5 212,375.2 54,954.9 2 Industri Makanan dan Minuman 126,979.1 138,564.1 138,510.1 136,720.6 540,773.9 136,570.8 3 Industri Pengolahan Tembakau 19,428.9 20,616.7 21,519.0 22,388.8 83,953.4 20,361.9 4 Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 28,394.7 28,335.3 27,773.9 27,575.2 112,079.1 27,952.0 5 Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 5,747.1 5,986.2 5,857.6 6,291.1 23,882.0 6,276.6 6 Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus

dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya

15,337.6 15,263.2 14,800.8 15,207.6 60,609.2 15,754.0 7 Industri Kertas dan Barang dari Kertas;

Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 17,510.2 17,657.8 17,919.5 17,501.6 70,589.1 17,093.3

8 Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional 41,904.8 40,578.7 41,478.2 40,502.5 164,464.2 41,140.8 9 Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik 18,290.6 19,749.9 19,433.9 18,977.1 76,451.5 17,535.9 10 Industri Barang Galian bukan Logam 15,830.7 16,619.5 16,653.9 17,477.4 66,581.5 17,058.3 11 Industri Logam Dasar 18,687.1 19,301.0 19,107.4 19,633.2 76,728.7 20,367.6 12 Industri Barang Logam; Komputer, Barang

Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik 46,207.6 48,145.2 48,081.2 50,090.1 192,524.1 50,081.6

13 Industri Mesin dan Perlengkapan 6,417.4 6,867.5 7,467.5 7,474.2 28,226.6 7,402.6 14 Industri Alat Angkutan 45,275.8 44,247.7 46,138.1 46,514.7 182,176.3 46,945.8 15 Industri Furnitur 5,946.5 6,275.3 6,131.1 5,985.0 24,337.9 5,979.9 16 Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi

dan Pemasangan Mesin dan Peralatan 4,059.2 4,229.9 4,258.5 4,157.1 16,704.7 4,063.6

D Pengadaan Listrik dan Gas 22,721.0 23,728.1 23,525.9 24,919.8 94,894.8 24,425.6 1 Ketenagalistrikan 19,430.3 20,440.4 20,193.0 21,343.3 81,407.0 21,093.7 2 Pengadaan Gas dan Produksi Es 3,290.7 3,287.7 3,332.9 3,576.5 13,487.8 3,331.9 E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 1,788.4 1,850.4 1,888.3 1,893.1 7,420.2 1,875.0

F Konstruksi 206,755.0 213,247.1 223,649.5 237,932.3 881,583.9 223,019.4 G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil

dan Sepeda Motor 291,613.5 302,687.0 308,127.7 303,646.5 1,206,074.7 303,401.9

1 Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya

57,190.4 56,305.7 58,054.7 58,756.0 230,306.8 59,113.1 2 Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan

Mobil dan Sepeda Motor 234,423.1 246,381.3 250,073.0 244,890.5 975,767.9 244,288.8

H Transportasi dan Pergudangan 82,906.6 85,847.6 89,347.0 90,674.4 348,775.6 89,314.8 1 Angkutan Rel 683.2 718.7 764.2 784.3 2,950.4 737.1 2 Angkutan Darat 46,718.5 47,303.6 49,433.8 49,801.1 193,257.0 50,254.3 3 Angkutan Laut 7,028.2 7,474.2 7,691.2 7,980.1 30,173.7 7,288.1 4 Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan 2,462.3 2,477.4 2,645.5 2,637.0 10,222.2 2,498.7 5 Angkutan Udara 13,216.2 14,265.1 14,702.7 15,004.9 57,188.9 14,725.6 6 Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan;

Pos dan Kurir 12,798.2 13,608.6 14,109.6 14,467.0 54,983.4 13,811.0

I Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 65,513.3 66,669.9 67,740.9 69,130.4 269,054.5 69,197.1 1 Penyediaan Akomodasi 12,905.6 13,498.6 13,836.9 14,399.8 54,640.9 13,993.0 2 Penyediaan Makan Minum 52,607.7 53,171.3 53,904.0 54,730.6 214,413.6 55,204.1 J Informasi dan Komunikasi 102,000.1 104,192.5 107,514.2 109,356.7 423,063.5 110,445.0 K Jasa Keuangan dan Asuransi 84,212.0 82,667.2 88,521.5 91,695.0 347,095.7 91,878.1 1 Jasa Perantara Keuangan 52,307.9 50,260.8 55,623.2 58,439.3 216,631.2 58,128.6 2 Asuransi dan Dana Pensiun 18,173.7 18,453.7 18,724.8 19,045.9 74,398.1 19,281.2 3 Jasa Keuangan Lainnya 11,682.6 11,887.8 12,100.6 12,129.9 47,800.9 12,373.7 4 Jasa Penunjang Keuangan 2,047.8 2,064.9 2,072.9 2,079.9 8,265.5 2,094.6 L Real Estate 66,142.0 66,853.3 67,660.8 68,155.3 268,811.4 69,360.8

M,N Jasa Perusahaan 36,061.5 36,703.2 37,491.4 38,139.4 148,395.5 38,997.4 O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sosial Wajib 74,361.2 74,777.3 76,470.8 84,784.6 310,393.9 78,032.7

P Jasa Pendidikan 65,421.0 69,616.0 70,901.1 77,601.9 283,540.0 68,865.3 Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 23,011.8 23,752.5 24,643.5 26,433.0 97,840.8 24,973.4

R,S,T,U Jasa lainnya 35,139.4 35,842.3 36,596.9 37,323.8 144,902.4 37,921.2 A NILAI TAMBAH BRUTO ATAS HARGA DASAR 2,098,663.2 2,171,424.9 2,231,135.6 2,193,776.6 8,695,000.3 2,198,166.2 B PAJAK DIKURANG SUBSIDI ATAS PRODUK 57,805.9 65,988.4 81,556.9 76,580.0 281,931.2 64,473.3 C PRODUK DOMESTIK BRUTO 2,156,469.1 2,237,413.3 2,312,692.5 2,270,356.6 8,976,931.5 2,262,639.5

16

Berdasarkan pendekatan pengeluaran, PDB dihitung dengan menjumlahkan

seluruh pengeluaran untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara

selama satu periode tertentu. Perhitungan PDB melalui pendekatan ini dilakukan dengan

menghitung pengeluaran dari sumber-sumber berikut: (1) pengeluaran konsumsi rumah

tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2) pengeluaran konsumsi pemerintah, (3)

pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan inventori, dan (5) ekspor neto,

yang merupakan ekspor dikurangi impor.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) dihitung dengan menggunakan data

Susenas, namun, karena nilainya cenderung under-estimate, maka dilakukan

penyesuaian yaitu dengan mengganti hasil SUSENAS dengan hasil perhitungan data

sekunder atas komoditas, kelompok komoditas, atau jenis pengeluaran tertentu.

Pengeluaran konsumsi pemerintah dihitung atas dasar harga berlaku (ADHB) dan

atas dasar harga konstan (ADHK). Pengeluaran Konsumsi Pemerintah atas dasar harga

berlaku (ADHB) dihitung dengan menjumlahkan output-penjualan barang dan jasa dan

social transfer in kind purchased market production. Output non pasar dihitung melalui

pendekatan biaya-biaya yang dikeluarkan, seperti belanja pegawai, belanja barang,

belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah atas

dasar harga konstan diperoleh dengan menggunakan Metode Deflasi dan Ekstrapolasi.

Estimasi nilai Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dapat dilakukan melalui

metode langsung maupun tidak langsung. Pendekatan "langsung" adalah dengan cara

menghitung pembentukan modal (harta tetap) yang dilakukan oleh berbagai sektor

ekonomi produksi (produsen) secara langsung. Sedangkan pendekatan "tidak langsung"

adalah dengan menghitung berdasarkan alokasi dari total penyediaan produk (barang

dan jasa) yang menjadi barang modal pada berbagai sektor produksi, atau disebut juga

sebagai pendekatan "arus komoditi". Penyediaan atau "supply" barang modal tersebut

bisa berasal dari produk dalam negeri maupun produk luar negeri (impor).

Penghitungan pembentukan modal dengan cara tidak langsung disebut juga

sebagai pendekatan melalui arus komoditas (commodity flow approach). Pendekatannya

adalah dengan menghitung nilai produk barang yang dihasilkan oleh berbagai sektor

ekonomi (supply) yang kemudian dialokasikan sebagian menjadi barang modal. Estimasi

penghitungan PMTB berupa bangunan dilakukan dengan menggunakan rasio tertentu

dari nilai output sektor konstruksi, baik atas dasar harga berlaku maupun konstan.

Untuk perhitungan ekspor neto, langkah awal yang harus dilakukan dalam

penghitungan ekspor-impor PDRB Provinsi adalah rekonsiliasi sumber data utama

ekspor-impor kepabeanan bersama Provinsi lainnya dibawah koordinasi Bidang Neraca

dan Distribusi BPS Provinsi. Dari rekonsiliasi tersebut diharapkan diperoleh nilai bulanan

ekspor (fob) dan impor (cif) dalam USD menurut Provinsi asal (ekspor) dan Provinsi

17

tujuan (impor). Khusus impor, tidak mencakup data dari Kawasan Berikat Nasional

(KBN).

Selanjutnya, dilakukan agregasi data kepabeanan ke dalam klasfikasi 18

kelompok komoditas barang Tabel Supply & Use atau SUT (triwulanan) menggunakan

tabel konversi HS ke Tabel SUT. Untuk melengkapi cakupan, nilai ekspor-impor perlu

ditambahkan besaran Direct Purchase dan rasio undocumented transactions

berdasarkan rasio yang telah disepakati. Khusus untuk impor perlu dikurangkan besaran

insurance imports berdasarkan rasio yang juga telah ditentukan. Dengan demikian, telah

diperoleh nilai ekspor-impor triwulanan atas dasar harga berlaku dalam satuan USD yang

telah sesuai dengan cakupan PDRB. Untuk mendapatkan nilai ekspor-impor triwulanan

atas dasar harga berlaku dalam satuan rupiah, dapat digunakan kurs tertimbang triwulan

ekspor-impor.

Penghitungan ekspor-impor barang luar negeri atas dasar harga konstan dengan

tahun dasar 2010, menggunakan pendekatan deflator. Deflator yang digunakan adalah

Indeks Harga per Unit (2010=100) yang digerakkan dengan laju "IHPB tertimbang

Ekspor-Impor (2010=100)" per kelompok komoditas barang dalam Tabel SUT

Perhitungan PDB dengan tiga konsep tersebut akan menghasilkan angka yang

sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang

dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi.

3.2.2. Perhitungan Disposable Income

Setelah memperoleh nilai PDB berdasarkan perhitungan seperti telah dijelaskan

pada bagian sebelumnya, bagian ini menjelaskan perhitungan dari PDB hingga

memperoleh Disposible Income. Berturut-turut dijelaskan perhitungan Produk Nasional

Bruto, Produk Nasional Neto, Pendapatan Nasional Neto, Personal Income dan

Disposable Income.

Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product adalah jumlah barang

dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara baik yang tinggal

di dalam negeri maupun di luar negeri, tetapi tidak termasuk warga negara asing yang

tinggal di negara tersebut, atau dengan kata lain PNB adalah jumlah Produk Domestik

Bruto ditambah dengan pendapatan neto dari luar negeri (penghasilan neto).

Penghasilan Neto adalah penghasilan dari warga negara yang bekerja di luar negeri

dikurangi penghasilan warga negara lain yang bekerja di dalam negeri). Perhitungan PNB

dirumuskan sebagai berikut.

𝑃𝑁𝐵 = 𝑃𝐷𝐵 + 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑁𝑒𝑡𝑜 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝐿𝑢𝑎𝑟 𝑁𝑒𝑔𝑒𝑟𝑖

18

Dimana: PNB = Produk Nasional Bruto PDB = Produk Domestik Bruto Pendapatan Neto = Pendapatan dari warga negara yang tinggal di luar negeri dikurangi pendapatan warga negara asing yang bekerja di dalam negeri.

Produk Nasional Neto (PNN) atau Net National Product atas dasar harga pasar yaitu PNB

dikurangi depresiasi/penyusutan atas barang modal dalam proses produksi selama satu

tahun. Persamaannya:

𝑃𝑁𝑁 = 𝑃𝑁𝐵 − 𝐷𝑒𝑝𝑟𝑒𝑠𝑖𝑎𝑠𝑖 Dimana: PNN = Produk Nasional Neto Pendapatan Nasional Neto atau Net National Product atas dasar biaya faktor produks

atau Net National Income (NNI) adalah PNN dikurangi pajak tidak langsung yang

dipungut pemerintah.

𝑁𝑁𝐼 = 𝑃𝑁𝑁 − 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝐿𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔

Dimana: NN = Pendapatan Nasional Neto

Personal Income adalah pendapatan yang diterima oleh setiap lapisan

masyarakat dalam satu tahun. Pendapatan nasional tidak semuanya diterima oleh

pemilik faktor produksi karena ada sebagian pendapatan yang tidak dibagikan antara lain:

laba yang ditahan, pajak perseorangan, iuran jaminan sosial dan transfer

payment/bantuan sosial (misalnya untuk masyarakat miskin, penyandang cacat, veteran,

dan lain-lain). Rumusan untuk menghitung PI adalah:

𝑃𝐼 = 𝑁𝑁𝐼 − (𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑃𝑒𝑟𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 + 𝐼𝑢𝑟𝑎𝑛 𝐽𝑎𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 + 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐷𝑖𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛 + 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟 𝑃𝑎𝑦𝑚𝑒𝑛𝑡

Disposable Income (DI) adalah Personal Income setelah dikurangi pajak langsung

(misalnya pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor dan sebagainya).

Disposable Income merupakan pendapatan yang siap digunakan, baik untuk keperluan

konsumsi maupun ditabung. Rumusan untuk menghitung DI adalah:

𝐷𝐼 = 𝑃𝐼 − 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐿𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔

19

3.2.3. Validitas Produk Domestik Bruto sebagai Indikator Kesejahteraan Petani

Kementerian Pertanian dalam laporan tahunannya menggunakan indikator

pendapatan petani sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani. Pendapatan petani

didefinisikan sebagai pendapatan yang diterima setiap petani dalam satu tahun dengan

satuan pendapatan per petani per tahun, dan dihitung dengan cara membagi Produk

Domestik Bruto (PDB) total pertanian sempit dan PDB masing-masing sub sektornya,

dengan jumlah orang yang bekerja di sektor pertanian (petani) dan sub sektornya. Produk

Domestik Bruto yang digunakan dalam perhitungan ini adalah PDB nominal dan PDB

berdasar harga konstan 2010. Perhitungan pendapatan petani dengan PDB nominal

digunakan untuk membandingkan pendapatan petani hasil perhitungan dan target

pendapatan petani Kementerian Pertanian. Sementara perhitungan pendapatan petani

dengan menggunakan data PDB harga konstan 2010 dilakukan untuk mengetahui

perkembangan pendapatan petani antar tahun, misalnya pada periode 2010-2015.

Secara operasional, PDB Total Pertanian dalam arti sempit (tanaman pangan,

hortikultura, perkebunan dan peternakan) diterbitkan BPS per triwulan setiap tahunnya

seperti yang disajikan contohnya pada Tabel 2, baik atas dasar harga berlaku atau harga

konstan. Selanjutnya, data PDB Pertanian persub sektor tersebut dibagi dengan data

jumlah tenaga kerja pertanian pada masing-masing sub sektor, yang datanya berasal dari

PUSDATIN Kementan (Tabel 3.5.). Hasil yang diperoleh dianggap sebagai pendapatan

per tenaga kerja pertanian (Tabel 3.6.).

Tabel 3.5. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Pertanian, 2011-2015 (orang).

Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Tanaman Pangan 21,383,915 18,731,817 18,129,054 18,213,509 17,715,086 16,851,270

Tanaman Hortikultura 2,842,179 3,438,748 3,025,490 2,989,073 3,175,094 4,284,271

Tanaman Perkebunan 10,863,607 11,323,226 12,070,001 11,649,678 12,029,575 11,348,878

Peternakan 4,264,958 4,415,838 4,106,526 4,490,804 4,179,642 3,826,401

Sumber: Data PDB Pertanian Sempit berasal dari BPS, data tenaga kerja pertanian dari Pusdatin Kementan.

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persen peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, dan dihitung dengan rumus = data tahun sekarang, dikurangi data tahun sebelumnya, dibagi data tahun sebelumnya, dibuat dalam persen. Tidak termasuk sub sektor Jasa Pertanian dan Perburuan, namun pendapatan untuk total pertanian sempit tetap memperhitungkan sub sektor Jasa Pertanian dan Perburuan.

Namun, berdasarkan pengertian PDB yang demikian luas dan uraian perhitungan

hingga mencapai pendapatan siap dibelanjakan oleh rumahtangga tani atau disposable

20

income, maka penggunaan PDB pertanian tidak dapat menggambarkan tingkat

kesejahteraan petani, karena:

Pertama, data lebih rinci yang diperlukan untuk menguraikan PDB hingga menjadi

Disposable Income (DI) seperti dijelaskan dalam uraian perhitungan DI diatas (bagian

3.2.2.) tidak tersedia. Salah satunya sebagai contoh adalah transfer payment yang

dilakukan perorangan ke dalam dan ke luar wilayah tidak tercatat, sehingga tidak dapat

digunakan untuk merinci data PDB hingga memperoleh DI.

Tabel 3.6. Perkembangan pendapatan petani per sub sektor pertanian sempit (harga

konstan 2010), 2011-2015 (Rp per petani per tahun).

Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Tanaman Pangan

11,846,595 13,388,311 14,511,303 14,729,078 15,152,446 16,483,808 (13.01) (8.39) (1.50) (2.87) (8.79)

Tanaman Hortikultura

38,841,783 34,919,487 38,811,729 39,546,615 39,148,730 29,736,941 (-10.10) (11.15) (1.89) (-1.01) (-24.04)

Tanaman Perkebunan

24,688,605 24,857,316 24,939,477 27,428,450 28,139,166 30,883,256 (0.68) (0.33) (9.98) (2.59) (9.75)

Peternakan

25,416,405 25,726,328 29,039,095 27,901,974 31,634,555 35,624,237 (1.22) (12.88) (-3.92) (13.38) (12.61)

Total Pertanian Sempit 19,170,142 20,590,576 21,866,621 22,702,039 23,730,561 25,049,581

(7.41) (6.20) (3.82) (4.53) (5.56)

Sumber: Data PDB Pertanian Sempit berasal dari BPS, data tenaga kerja pertanian dari Pusdatin Kementan.

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persen peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, dan dihitung dengan rumus = data tahun sekarang, dikurangi data tahun sebelumnya, dibagi data tahun sebelumnya, dibuat dalam persen. Tidak termasuk sub sektor Jasa Pertanian dan Perburuan, namun pendapatan untuk total pertanian sempit tetap memperhitungkan sub sektor Jasa Pertanian dan Perburuan.

Namun, berdasarkan pengertian PDB yang demikian luas dan uraian perhitungan

hingga mencapai pendapatan siap dibelanjakan oleh rumahtangga tani atau disposable

income, maka penggunaan PDB pertanian tidak dapat menggambarkan tingkat

kesejahteraan petani, karena:

Pertama, data lebih rinci yang diperlukan untuk menguraikan PDB hingga menjadi

Disposable Income (DI) seperti dijelaskan dalam uraian perhitungan DI diatas (bagian

3.2.2.) tidak tersedia. Salah satunya sebagai contoh adalah transfer payment yang

dilakukan perorangan ke dalam dan ke luar wilayah tidak tercatat, sehingga tidak dapat

digunakan untuk merinci data PDB hingga memperoleh DI.

21

Kemungkinan menggunakan sumber data lain yang juga dikumpulkan oleh BPS

secara berkala untuk menghitung disposable income yaitu data SUSENAS juga tidak

dapat dilakukan karena jumlah sampel rumah tangga petani yang relatif sedikit jumlahnya

dari total sampel rumah tangga SUSENAS, sehingga tidak memungkinkan bagi BPS

untuk menerbitkan data tersebut.

Kedua, PDB tidak dapat menjadi ukuran keseluruhan standar hidup atau

kesejahteraan suatu negara atau wilayah karena walaupun perubahan-perubahan output

barang dan jasa-jasa per orang (PDB per kapita) seringkali digunakan sebagai ukuran

apakah rata-rata keadaan masyarakat pada suatu negara atau wilayah tersebut semakin

baik atau semakin buruk, hal tersebut tidak mempresentasikan hal-hal yang benar-benar

penting untuk mengukur kesejahteraan secara umum. Sebagai contohnya adalah

peningkatan output yang mungkin telah memperhitungkan biaya-biaya kerusakan

lingkungan atau biaya-biaya eksternal lainnya seperti polusi suara dan lain sebagainya,

atau telah memasukan hilangnya sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, tetapi

kualitas hidup juga tergantung pada distribusi PDB diantara anggota masyarakat dalam

suatu wilayah atau negara, bukan hanya pada level umum. Artinya, PDB merupakan

ukuran agregat aktivitas ekonomi di suatu wilayah dan PDB tidak dapat diukur pada

tingkat individu.

Ketiga, dalam pengukurannya PDB hanya mempertimbangkan faktor ekonomi dan

pasar dan cenderung melupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi kualitas hidup

seperti cinta, pengembangan diri dan pemaknaan dalam hidup. Dengan demikian,

kesejahteraan petani seharusnya tidak saja diukur berdasarkan faktor atau indikator

ekonomi yang termasuk didalamnya PDB, tetapi juga memperhitungkan dan

mempertimbangkan dimensi sosial dan lingkungan.

Keempat, pada kenyataannya hampir 86 persen PDB disumbangkan oleh sektor

industri dan jasa, sedangkan sektor pertanian hanya 14 persen. Kemudian hanya 55

persen PDB berasal dari konsumsi rumahtangga, sementara dari konsumsi pemerintah

dan investasi sudah mencapai 45 persen. Selain itu, sekitar 40 persen penduduk

Indonesia bekerja di sektor pertanian, bahkan mengalahkan jumlah pekerja di sektor

industri. Namun, ternyata laju pertumbuhan PDB Indonesia saat ini ternyata lebih besar

disumbangkan oleh sektor industri dan jasa, bahkan komposisi konsumsi pemerintah dan

investasi cenderung semakin besar. Oleh sebab itu, pertumbuhan tersebut hanya akan

berpengaruh sedikit bagi penyediaan angkatan kerja dan peningkatan pendapatan

masyarakat (terutama di sektor pertanian). Persepsi yang salah tersebut dapat

menyebabkan pengambilan kebijakan dan keputusan yang salah pula, sehingga

berdampak pada hasil pembangunan.

22

3.3. Prevalensi Kemiskinan Pendapatan.

3.3.1. Konsepsi Kemiskinan dan Indikator Kemiskinan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa kata “miskin” adalah ajektif

tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah), sedangkan

kemiskinan adalah kata benda yang menyatakan hal atau keadaan miskin. Dikaitkan

dengan arti sejahtera yang telah diuraikan sebelumnya, miskin merupakan lawan kata

sejahtera. Dengan demikian, indikator-indikator dalam penentuan kemiskinan dapat

digunakan juga sebagai indicator kesejahteraan dengan posisi yang berlawanan. Konsep

tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi

kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan

berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.

Beberapa institusi yang membuat indicator kemiskinan, antara lain BPS, Bappenas,

BKKBN, Kemensos.

Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan

persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu penghitungan jumlah dan

persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data

modul konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Sejak tahun 1984, setiap

tiga tahun sekali BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk

miskin. Sampai dengan tahun 1987, informasi mengenai jumlah dan persentase

penduduk miskin hanya disajikan untuk tingkat nasional yang dipisahkan menurut daerah

perkotaan dan perdesaan. Pada tahun 1990, informasi mengenai penduduk miskin sudah

dapat disajikan sampai tingkat provinsi meskipun beberapa provinsi masih digabung.

Provinsi-provinsi gabungan tersebut antara lain: Provinsi Jambi, Bengkulu, Timor Timur,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku

dan Papua.

Selanjutnya sejak tahun 1993, informasi mengenai jumlah dan persentase

penduduk miskin sudah dapat disajikan untuk seluruh provinsi. Selanjutnya, BPS

menyajikan data dan informasi kemiskinan untuk tingkat kabupaten/kota dengan

menggunakan data Susenas Kor (tahun 2008 menggunakan susenas modul konsumsi).

Mulai tahun 2011, Susenas modul konsumsi dilakukan setiap triwulan dengan jumlah

sampel sekitar 75.000 rumah tangga per triwulannya.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2004 dalam

menentukan kriteria kesejahteraan keluarga untuk mengukur kemiskinan. Lima

pengelompokkan tahapan keluarga sejahtera menurut BKKBN adalah sebagai berikut:

1) Keluarga Pra Sejahtera. Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan

dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan,

sandang, papan dan kesehatan.

23

2) Keluarga Sejahtera I. Keluarga sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat

mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang

digunakan, yaitu: a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang

dianut. b) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.

c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,

bekerja/sekolah dan bepergian. d) Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

e) Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/ petugas

kesehatan.

3) Keluarga Sejahtera II. Keluarga selain dapat memenuhi kebutuhan dasar

minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum

dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang digunakan terdiri

dari lima indikator pada Keluarga Sejahtera I ditambah dengan sembilan indikator

sebagai berikut: a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut

agama yang dianut masing-masing. b) Sekurang-kurangnya sekali seminggu

keluarga menyediakan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk. c) Seluruh

anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir.

d) Luas lantai rumah paling kurang 8,0 m2 untuk tiap penghuni rumah. e) Seluruh

anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir berada dalam keadaan sehat sehingga

dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing. f) Paling kurang satu orang

anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap. g)

Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin. h)

Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah. i) Bila anak

hidup dua orang atau lebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai

kontrasepsi (kecuali bila sedang hamil).

4) Keluarga Sejahtera III. Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum

dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan

pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan

desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan indikator pada Keluarga

Sejahtera I dan II serta memenuhi syarat indikator sebagai berikut : a) Mempunyai

upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. b) Sebagian dari penghasilan

keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga. c) Biasanya makan bersama

paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi

antar-anggota keluarga. d) Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan

tempat tinggalnya. e) Mengadakan rekreasi bersama di luar rumahpaling kurang

sekali dalam enam bulan. f) Memperoleh berita dengan membaca surat kabar,

majalah, mendengarkan radio atau menonton televisi. g) Anggota keluarga mampu

mempergunakan sarana transportasi.

5) Keluarga Sejahtera III Plus. Keluarga selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar

minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan

pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan

24

sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-

keluarga tersebut memenuhi syarat-syarat indikator pada Keluarga Sejahtera I

sampai III dan ditambah dua syarat berikut: a) Keluarga atau anggota keluarga

secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam

bentuk materi. b) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus

perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.

Metode yang digunakan oleh BKKBN ini sudah sangat sering diperdebatkan di

berbagai kalangan karena selain rumit, keluarga-keluarga yang didata belum tentu

memberikan keterangan yang sebenarnya dalam proses pendataan. Salah satu indikator

yang mungkin tidak dijawab secara obyektif oleh responden adalah indikator yang

berkaitan dengan agama karena masyarakat umumnya malu mengakui apabila kurang

aktif atau taat dalam melakukan ibadah. Kesulitan untuk menerapkan indikator dari

BKKBN dalam mengukur kemiskinan juga ditemui di daerah perdesaan. Rumah di

perdesaan yang letaknya jauh dari pusat kota umumnya berlantai tanah oleh karena itu

bentuk dan bahan bangunan rumah tidak dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan

tanpa mempertimbangkan beberapa indikator lainnya. Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa banyak penduduk desa yang memiliki lahan garapan dan ternak

yang bila dihitung dengan nilai rupiah bahkan melebihi kekayaan yang dimiliki oleh orang-

orang yang tidak miskin.

BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang

atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak

dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan,

kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam

dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan

hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun

laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS

menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar

(basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan

kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and

subjective.

Empat belas kriteria miskin menurut standar BPS, yang terakhir dimodifikasi pada

Agustus 2014 adalah sebagai berikut:

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok

tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

25

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah 8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan

500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD. 14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,-

seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga miskin.

3.3.2. Perhitungan Garis Kemiskinan

Secara formal instansi yang berhak untuk menetapkan garis kemiskinan di

Indonesia adalah BPS. Untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, BPS

menyediakan 2 jenis data yaitu data kemiskinan makro dan mikro (BPS, 2011). Untuk

mengukur kemiskinan makro, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi

kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang

sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan

dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah

penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis

kemiskinan. Pengukuran kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan

memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) tidak hanya digunakan oleh BPS

tetapi juga oleh negara-negara lain, seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh,

Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia. Atau dengan kata lain, Penduduk Sejahtera adalah

penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di atas garis

kemiskinan. Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.

Berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro yang menggunakan

konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, pengumpulan data kemiskinan mikro

didasarkan pada ciri‐ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa dilakukan secara

cepat dan hemat biaya. Ciri-ciri rumah tangga miskin mengacu pada indicator kemiskinan

yang dikeluarkan oleh Bappenas.

26

BPS (2011) mengekukakan bahwa upaya pengumpulan data kemiskinan mikro ini

telah dilakukan BPS dua kali yaitu pada bulan Oktober 2005 dan September 2008. Data

yang diperoleh disebut data Rumah Tangga Sasaran (RTS), yang mencakup bukan

hanya rumah tangga (RT) miskin, tetapi juga RT hampir miskin, yaitu RT yang hidup

sedikit di atas garis kemiskinan. Jumlah RTS hasil pendataan bulan September 2008

adalah 17,5 juta rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga sebesar 60,4 juta

jiwa. Namun, sebagian besar publik menggunakan angka 70 juta jiwa, dengan

mengasumsikan besarnya rata‐rata anggota rumah tangga adalah 4 orang.

Masih dari sumber yang sama, Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan

dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).

Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis

Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan

minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket

komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-

umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak

dan lemak, dll).

Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk

perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non

makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

Rumus Penghitungan :

GK = GKM + GKNM Dimana: GK = Garis Kemiskinan GKM = Garis Kemiskinan Makanan GKNM = Garis Kemiskinan Non Makanan

Teknik penghitungan GK adalah sebagai berikut:

1) Tahap pertama adalah menentukan kelompok referensi (reference populaion) yaitu

20 persen penduduk yang berada diatas Garis Kemiskinan Sementara (GKS).

Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marginal. GKS dihitung

berdasar GK periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari

penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan

Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

27

2) Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi

dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan

dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya

Pangan dan Gizi 1978. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan

dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut.

Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah :

Dimana : GKMj = Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100 kilokalori). Pjk = Harga komoditi k di daerah j. Qjk = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j. Vjk = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j. j = Daerah (perkotaan atau pedesaan) Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100

terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi,

sehingga:

Dimana : Kjk = Kalori dari komoditi k di daerah j HKj = Harga rata-rata kalori di daerah j

28

Dimana : Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori/kapita/hari.

3) Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan

minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan,

sandang, pendidikan dsan kesehatan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan

mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan

dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993

terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di pedesaan. Sejak tahun 1998

terdiri dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47

jenis komoditi) di pedesaan. Nilai kebutuhan minimum perkomoditi /sub-kelompok

non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/sub-

kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang tercatat

dalam data Susenas modul konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket

Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKP 2004), yang dilakukan untuk

mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga per komoditi non-makanan

yang lebih rinci dibanding data Susenas Modul Konsumsi. Nilai kebutuhan minimum

non makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut :

Dimana: NFp = Pengeluaran minimun non-makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp). Vi = Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah p (dari Susenas modul konsumsi). ri = Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan menurut daerah (hasil SPPKD 2004). I = Jenis komoditi non-makanan terpilih di daerah p. p = Daerah (perkotaan atau pedesaan).

Berdasarkan konsep perhitungan di atas, pada Tabel 3.7. ditampilkan GK menurut

provinsi 2013-2015. Terlihat bahwa GK bervariasi antar provinsi dan antar tahun. Angka

GK cenderung meningkat setiap tahunnya.

29

Tabel 3.7. Garis Kemiskinan menurut provinsi (Rupiah/kapita/tahun).

Provinsi 2013 2014 2015

Perkotaan Perdesaan Perkotaan Perdesaan Perkotaan Perdesaan

Aceh 374,261 337,962 396,939 369,232 420,324 394,419

Sumatera Utara 330,517 292,186 349,372 312,493 379,898 352,637

Sumatera Barat 360,768 321,252 390,862 349,824 423,339 391,178

Riau 366,057 339,829 386,606 374,466 417,768 416,780

Jambi 369,835 280,660 390,931 302,162 423,855 329,895

Sumatera Selatan 328,335 270,166 346,238 285,791 378,739 319,994

Bengkulu 358,294 313,265 378,881 346,395 425,642 404,179

Lampung 326,468 284,504 350,024 307,818 386,728 346,088

Kep. Bangka Belitung 416,935 436,899 458,055 481,226 516,835 542,732

Kep. Riau 405,578 364,773 431,127 399,063 485,496 456,933

Dki Jakarta 434,322 - 459,560 - 503,038 -

Jawa Barat 281,189 268,251 294,700 285,076 318,297 319,228

Jawa Tengah 268,397 256,368 286,014 277,802 308,163 310,295

Di Yogyakarta 317,925 275,786 333,561 296,429 359,470 324,386

Jawa Timur 278,653 269,294 293,391 286,798 314,320 318,443

Banten 300,109 264,632 324,902 296,241 365,672 336,592

Bali 298,449 261,613 316,235 279,140 341,554 314,218

Nusa Tenggara Barat 299,886 263,107 315,470 285,205 335,284 313,466

Nusa Tenggara Timur 321,163 234,141 340,459 251,040 374,355 290,363

Kalimantan Barat 280,423 265,898 307,789 294,044 347,516 337,288

Kalimantan Tengah 299,970 311,647 316,683 338,130 339,239 374,938

Kalimantan Selatan 313,691 290,576 336,782 313,954 371,793 352,972

Kalimantan Timur 435,313 389,784 459,004 420,427 504,551 476,614

Kalimantan Utara - - - - 505,262 477,645

Sulawesi Utara 255,566 245,872 269,212 264,321 302,378 311,068

Sulawesi Tengah 324,072 293,567 349,978 321,009 376,496 353,080

Sulawesi Selatan 235,488 207,023 246,416 219,109 274,140 254,524

Sulawesi Tenggara 240,089 221,905 254,015 238,745 282,230 264,371

Gorontalo 237,600 232,048 250,157 246,290 274,581 275,163

Sulawesi Barat 230,973 228,346 245,959 246,695 269,080 279,594

Maluku 358,068 339,466 369,738 355,478 404,929 405,502

Maluku Utara 317,176 281,482 339,561 307,374 378,538 356,325

Papua Barat 414,900 389,163 440,241 423,701 478,699 457,222

Papua 387,789 322,079 408,419 340,846 445,057 392,446

Indonesia 275,779 275,779 326,853 296,681 356,378 333,034

Sumber: BPS

Data penyusun yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan/penduduk

miskin bersumber data Susenas. Data Susenas sifatnya umum, yang dapat dihitung

adalah garis kemikinan untuk penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Apabila hal ini

dilakukan, jumlah sampel Susenas belum tentu dapat menggambarkan data petani.

30

3.4. Indeks Pembangunan Manusia

Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya sehingga tujuan akhir

pembangunan harus difokuskan pada manusia. Kondisi ini akan menciptakan

lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk dapat menikmati umur panjang,

sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif. Konsep ini menjadi cikal bakal

munculnya Indeks. Dalam sistem pengukuran dan monitoring pembangunan

manusia,idealnya mencakup banyak variabel untuk mendapatkan gambaran yang

komprehensif. Namun, terlalu banyak indikator akan memberikan gambaran yang

membingungkan. Isu ini menjadi perhatian penting dalam pengukuran pembangunan

manusia.

Pengukuran pembangunan manusia pertama kali diperkenalkan oleh UNDP pada

tahun 1990. UNDP memperkenalkan sebuah gagasan baru dalam pengukuran

pembangunan manusia yang disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

IPM dibentuk dari empat indikator yang merefleksikan dimensi umur panjang dan hidup

sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak. Keempat indikator tersebut adalah angka

harapan hidup saat lahir, angka melek huruf, gabungan angka partisipasi kasar, dan

Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Sejak saat itu, IPM secara berkala

dipublikasikan setiap tahun dalam suatu Laporan Pembangunan Manusia (Human

Development Report). Sejak saat itu, IPM dipublikasikan secara berkala dalam laporan

tahunan Human Development Report (HDR). IPM menjelaskan bagaimana penduduk

dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan,

pendidikan, dan sebagainya.

Menurut UNDP, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengukur capaian

pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai

ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi

tersebut mencakup: (1) umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life); (2)

pengetahuan (knowledge); dan (3) standar hidup layak (decent standard of living). Ketiga

dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Pada

laporan pertamanya, UNDP mengukur dimensi kesehatan dengan menggunakan angka

harapan hidup waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan

digunakan angka melek huruf. Adapun untuk mengukur dimensi standar hidup layak

digunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita.

Sejak pertama kali diperkenalkan, IPM terus menjadi indikator penting dalam

mengukur kemajuan pembangunan manusia. Berbagai negara mengadopsi konsep

pembangunan manusia yang digagas UNDP dan tidak sedikit yang mencoba

mengaplikasikan penghitungan IPM di negaranya. Indonesia turut ambil bagian dalam

mengaplikasikan konsep pembangunan manusia yang dinilai lebih relevan dibanding

31

konsep pembangunan konvensional. Indonesia pertama kali menghitung IPM pada tahun

1996. Sejak saat itu, IPM dihitung secara berkala setiap tiga tahun.

Angka IPM disajikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Penyajian IPM menurut daerah memungkinkan setiap provinsi dan kabupaten/kota

mengetahui peta pembangunan manusia baik pencapaian, posisi, maupun disparitas

antar daerah.

Pada tahun 2010, UNDP secara resmi memperkenalkan penghitungan IPM

dengan metode yang baru. Metode ini menggunakan indikator baru dalam penghitungan

IPM. Indikator angka melek huruf dan gabungan angka partisipasi kasar diganti dengan

indikator harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah. Indikator PDB per kapita

juga diganti dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. Selain itu, penghitungan

rata-rata indeks juga dirubah dari rata-rata aritmatik menjadi rata-rata geometrik.

Berdasarkan metode baru yang dikembangkan UNDP, IPM disusun sebagai

berikur : (1) dimensi umur panjang dan hidup sehat, diukur dengan Angka Harapan Hidup

saat lahir (AHH), (2) dimensi pengetahuan, diukur dengan kombinasi antara Harapan

Lama Sekolah (HLS) dan Rata rata Lama Sekolah (RLS) dan (3) dimensi standar hidup

layak, diukur dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. Untuk tingkat provinsi

dan kabupaten, PNB per kapita tidak tersedia sehingga diproksi dengan pengeluaran

per kapita disesuaikan menggunakan data SUSENAS.

Rumus perhitungan IPM digunakan rata geometrik yaitu perhitungan rata-rata yang

diperoleh dengan mengalikan semua data dalam suatu kelompok sampel, kemudian

diakarpangkatkan dengan jumlah data sampel tersebut :

Di mana:

X(1) = dimensi umur panjang dan hidup sehat,

X(2) = dimensi pengetahuan

X(3) = dimensi standar hidup layak

Indonesia mulai mengaplikasikan penghitungan IPM dengan metode baru tahun

2014. Sejak saat itu, Indonesia telah meninggalkan penghitungan IPM dengan metode

yang lama. Indikator yang digunakan di Indonesia sama dengan UNDP, kecuali PNB per

kapita. Indikator ini diproksi dengan pengeluaran per kapita. Untuk menjaga

kesinambungan penghitungan,IPM metode baru dihitung dari tahun 2010 hingga 2014

32

dan dihitung hingga tingkat kabupaten/kota. Metode baru penghitungan IPM ternyata

membawa dampak yang harus dicermati agar tidak terjadi salah penafsiran. Metode ini

menyebabkan level IPM menjadi lebih rendah dibanding metode lama. Selain itu, metode

ini menyebabkan perubahan peringkat di beberapa daerah. Namun, peringkat yang

dihasilkan metode baru tidak dapat dibandingkan dengan metode lama karena

perbedaan secara metodologi.

Metode baru memberikan protret pembangunan manusia lebih utuh.

Pembangunan manusia Indonesia terus mengalami kemajuan dari tahun ke tahun.

Selama periode 2010-2014, IPM Indonesia telah meningkat 3,02 poin, yaitu dari 66,53

menjadi 69,55. Dalam kurun waktu itu, IPM Indonesia tumbuh 0,91 persen per tahun.

Kemajuan ini masih menempatkan Indonesia pada level pembangunan manusia

“sedang”. Kemajuan pembangunan manusia di Indonesia didorong oleh kemajuan

indikator yang membentuk IPM. Angka harapan hidup saat lahir (AHH) di Indonesia

tahun 2014 telah mencapai lebih dari 70 tahun, sementara secara ratarata penduduk

usia 25 tahun ke atas telah mengenyam pendidikan setara dengan kelas 2 SMP (belum

tamat) dan penduduk usia 7 tahun ke atas berpeluang menempuh pendidikan hingga

Diploma I (belum tamat). Ekonomi Indonesia yang semakin membaik turut mendorong

pengeluaran per kapita per tahun penduduk Indonesia (Tabel 3.8.).

Sejak 2004 IPM dihitung setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan Kementerian

Keuangan dalam menghitung Dana AlokasiUmum (DAU). Indikator yang digunakan di

Indonesia dalam menghitung IPM adalah angka harapan hidup saat lahir, angka melek

huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran per kapita.Selama hampir dua

dasawarsa, IPM terus digunakan dalam berbagai perencanaan pembangunan. Seiring

dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta tantangan

pembangunan, UNDP mengembangkan gagasan baru dalam penghitungan

pembangunan.

Indeks Pembangunan Manusia menjadi salah satu indikator yang penting dalam

melihat sisi lain dari pembangunan. Manfaat penting IPM antara lain sebagai beriku: (1)

IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya

membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk), (2) IPM dapat menentukan

peringkat atau level pembangunan suatu wilayah/negara, dan (3) Bagi Indonesia, IPM

merupakan data strategis karena selain sebagai ukuran kinerja Pemerintah, IPM juga

digunakan sebagai salah satu alokator penentuan Dana Alokasi Umum (DAU).

33

Tabel. 3.8. Hasil perhitungan Indeks Pembangunan Manusia dengan metode baru, 2010

– 2015.

Provinsi Indeks Pembangunan Manusia

2010 2011 2012 2013 2014 2015

ACEH 67.09 67.45 67.81 68.30 68.81 69.45

SUMATERA UTARA 67.09 67.34 67.74 68.36 68.87 69.51

SUMATERA BARAT 67.25 67.81 68.36 68.91 69.36 69.98

RIAU 68.65 68.90 69.15 69.91 70.33 70.84

JAMBI 65.39 66.14 66.94 67.76 68.24 68.89

SUMATERA SELATAN 64.44 65.12 65.79 66.16 66.75 67.46

BENGKULU 65.35 65.96 66.61 67.50 68.06 68.59

LAMPUNG 63.71 64.20 64.87 65.73 66.42 66.95

KEP. BANGKA BELITUNG 66.02 66.59 67.21 67.92 68.27 69.05

KEP. RIAU 71.13 71.61 72.36 73.02 73.40 73.75

DKI JAKARTA 76.31 76.98 77.53 78.08 78.39 78.99

JAWA BARAT 66.15 66.67 67.32 68.25 68.80 69.50

JAWA TENGAH 66.08 66.64 67.21 68.02 68.78 69.49

DI YOGYAKARTA 75.37 75.93 76.15 76.44 76.81 77.59

JAWA TIMUR 65.36 66.06 66.74 67.55 68.14 68.95

BANTEN 67.54 68.22 68.92 69.47 69.89 70.27

BALI 70.10 70.87 71.62 72.09 72.48 73.27

NUSA TENGGARA BARAT 61.16 62.14 62.98 63.76 64.31 65.19

NUSA TENGGARA TIMUR 59.21 60.24 60.81 61.68 62.26 62.67

KALIMANTAN BARAT 61.97 62.35 63.41 64.30 64.89 65.59

KALIMANTAN TENGAH 65.96 66.38 66.66 67.41 67.77 68.53

KALIMANTAN SELATAN 65.20 65.89 66.68 67.17 67.63 68.38

KALIMANTAN TIMUR 71.31 72.02 72.62 73.21 73.82 74.17

KALIMANTAN UTARA - - - 67.99 68.64 68.76

SULAWESI UTARA 67.83 68.31 69.04 69.49 69.96 70.39

SULAWESI TENGAH 63.29 64.27 65 65.79 66.43 66.76

SULAWESI SELATAN 66 66.65 67.26 67.92 68.49 69.15

SULAWESI TENGGARA 65.99 66.52 67.07 67.55 68.07 68.75

GORONTALO 62.65 63.48 64.16 64.70 65.17 65.86

SULAWESI BARAT 59.74 60.63 61.01 61.53 62.24 62.96

MALUKU 64.27 64.75 65.43 66.09 66.74 67.05

MALUKU UTARA 62.79 63.19 63.93 64.78 65.18 65.91

PAPUA BARAT 59.60 59.90 60.30 60.91 61.28 61.73

PAPUA 54.45 55.01 55.55 56.25 56.75 57.25

INDONESIA 66.53 67.09 67.70 68.31 68.90 69.55

Sumber: BPS

Namun demikian IPM tidak bisa dijadikan indikator kesejahteraan petani karena

data yang dikumpulkan dan digunakan tidak secara spesifik terpilah menurut sub sektor

terutama sektor pertanian dan petani.

34

3.5. Persepsi Perubahan Kondisi Ekonomi dan Kecukupan Pendapatan Rumah

Tangga.

Pada kajian kesejahteraan petani menggunakan data Sensus Pertanian 2013,

BPS (2014a) menggunakan dua ukuran kesejahteran petani yang dinyatakan sebagai

pembanding NTP, yaitu:

1. Persepsi perubahan kondisi ekonomi RTUP.

Dalam hal ini, responden ditanyai persepsi perubahan keadaan ekonomi RTUP apakah

mengalami peningkatan, tetap atau menurun selama kurun waktu tertentu (dalam hal ini

dalam periode 2003-2013). Bila responden mengatakan kondisi ekonomi rumah

tangganya mengalami peningkatan, tetap atau menurun maka dikatakan kesejahteraan

ekonomi RTUP bersangkutan mengalami peningkatan, tetap atau penurunan. Secara

agregat, bila jumlah RTUP yang menyatakan pendapatannya mengalami peningkatan

bertambah banyak dalam suatu periode maka disimpulkan bahwa kesejahteraan petani

mengalami peningkatan selama periode tersebut.

2. Persepsi kecukupan pendapatan.

Dalam hal ini, responden ditanyai persepsi tentang kecukupan pendapatan yang didapat

RTUP apakah lebih dari cukup, cukup, atau kurang selama kurun waktu tertentu (dalam

hal ini dalam periode 2003-2013). Bila responden mengatakan pendapatan rumah

tangganyalebih dari cukup, cukup atau kurang maka disimpulkan kesejahteraan RTUP

bersangkutan sejahtera, paspasan, atau tidak sejahtera secara ekonomi. Secara

agregat, bila jumlah RTUP yang menyatakan pendapatannya lebih dari cukup bertambah

banyak dalam suatu periode maka disimpulkan bahwa kesejahteraan petani mengalami

peningkatan selama periode tersebut.

Dengan menggunakan data Sensus Pertanian 2003 dan 2013 BPS (2014a)

menemukan bahwa secara nasional RTUP yang pendapatannya meningkat tahun 2013

lebih banyak dibandungkan dengan tahun 2003. Begitu pula jumlah RTUP dengan tingkat

pendapatan lebih dari cukup mengalami peningkatan pada periode 2003-2003. Kajian

menyimpulkan bahwa persepsi terhadap perubahan keadaan ekonomi dan kecukupan

pendapatan rumah tangga tani hasil Sensus Pertanian 2013 dapat digunakan sebagai

alternatif proksi kesejahteraan petani. Walau bersifat persepsi, ternyata kedua indikator

berkorelasi kuat satu sama lain namun tidak berkorelasi signifikan dengan NTP yang

selama ini banyak digunakan tetapi juga banyak dikritisi kemampuannya dalam

menggambarkan kesejahteraan petani. Kedua indikator dipengaruhi signifikan oleh

banyak variabel yang secara teoretis memengaruhi pendapatan, sedangka NTP hanya

dipengaruhi signifikan oleh pendidikantingkat menengah. Walaupun tidak eksplisit atau

tegas, terdapat kesan kuat bahwa dengan kesimpulan ini BPS hendak menyarankan

penggunaan persepsi terhadap perubahan keadaan ekonomi dan kecukupan

35

pendapatan sebagai sebagai alternatif proksi kesejahteraan petani menggantikan NTP

yang banyak digunakan dan banyak pula dikritisi selama ini.

Tidak dapat dimungkiri, metode persepsi terhadap perubahan keadaan ekonomi

dan kecukupan pendapatan dalam mengukur kesejahteraan petani sangat sederhana

dan mungkin metode paling murah pelaksanaannya.Jika ditinjau secara kritis, metode ini

mengandung sejumlah kelemahan mendasar. Pertama, kedua indikator hanya mengukur

aspek ekonomi, pada hal kesejahteraan tidak hanya ditentukan oleh keadaan dan

kecukupan ekonomi. Kedua, walaupun secara empiris ditemukan saling berkorekasi

positif signifikan namun tidak ada penjelasan teoritis adanya relasi perubahan keadaan

ekonomi dan kecukupan pendapatan. Kondisi keadaan ekonomi bisa saja meningkat,

tetap atau turun tetapi pendapatan bisa saja tetap tidak cukup, cukup atau kurang.Ketiga,

konsep keadaan ekonomi dan kecukupan pendapatan sangat umum sehingga dapat

diartikan amat berbeda antar responden.Bahkan, keadaan ekonomi bisa saja diartikan

sebagai kecukupan pendapatan sehingga kedua indikator identik. Bagi seseorang

keadaan ekonomi dapat diartikan sebagai tingkat kecukupan pendapatan namun bagi

orang lain siartikan sebagai perubahan tingkat pendapatan. Perbedaan pemaknaan

konsep dapat membuat kedua indikator tidak valid dijumlahkan menurut responden.

Dengan demikian, kedua indikator tidak valid dijadikan sebagai indikator kesejahteraan

petani.

3.6. Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia

Kebahagiaan adalah konsep abstrak subyektif, merupakan refleksi derajat

kepuasan hidup seseorang secara individu. Kepuasan hidup merupakan ungkapan rasa

psiklogis seseorang yang tidak dapat diamati dan diukur secara langsung.Kepuasan

bersifat relatif dalam arti hanya berlaku bagi diri seseoran yang determinannya berbeda

antar tiap orang.Kepuasan hidup tidak saja ditentukan oleh kesejahteraan material, tetapi

juga oleh kesehatan psikologis, sosial dan spiritual. Dengan demikian,konsep

kebahagiaan termasuk pengukuran kesejahteraan hidup manusia pada tataran yang

lebih tinggi karena bersifat multi-dimensi.Sebagai konsep subyektif, status kebahagiaan

haruslah ditanyakan langsung kepada individu bersangkutan, tidak berdasarkan

pengukuran tidak langsung.

Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia (IKPI) terbitan BPS dihitung sebagai

indeks komposit dari tingkat kepuasan seseorang terhadap 10 aspek kehidupan yang

dipandang esensial bagi kehidupan manusia sehingga secara substansi dan bersama-

sama merefleksikan tingkat kebahagiaan setiap insan. Kesepuluh aspek itu ialah: 1)

kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan

keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset,

9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan. Nilai indeks komposit maupun

36

tingkat kepuasan untuk setiap aspek penentunua ditetapkan dalam skor 1-100. IKPI

dihitung untuk tingkat nasional dan provinsi dengan rumus sebagai berikut:

Unit analisisnya adalah rumah tangga.Informasi diperoleh melalui survei dengan

mewawancarai kepala rumah tangga terpilih atau pasangannya. Dengan demikian,

informasi yang diperoleh mencermikan tingkat kepuasan hidup subyektif individu

responden. Hasil perhitungan indeks komposit agregat dapat dipandang sebagai

penanda derajat kebahagiaan kelompok penduduk yang tercakup dalam agregasi

perhitungan.Semakin tinggi indeks komposit semakin tinggi tingkat kebahagiaan

kelompok penduduk tersebut.

BPS pertama kali menerbitkan IKPI pada 2015 untuk status pada 2014.Hingga

pertengahan 2016 BPS belum mengeluarkan angka perhitungan IKPI baru.Perhitungan

IKPI disajikan dengan rincian menurut wilayah Desa dan Kota, serta menurut beberapa

indicator demografi dan ekonomi seperti jenis kelamin, status perkawinan, kelompok

umur, status dalam keluarga (kepala rumah tangan, pasangan kepala rumah tangga),

banyaknya anggota rumah tangga, tingkat pendidikan dan pendapatan rumah tangga

(Tabel 3.9.).

37

Tabel 3.9. Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia, Jawa Barat dan Sumatera Utara, 2014.

No Karakteristik demografi dan ekonomi Indonesia Jawa Barat Sumatera Utara

1 Klasifikasi wilayah

a Kota 69,62 68,54 69,95

b Desa 66,95 66,04 65,50

2 Jenis kelamin

a Laki-laki 67,94 67,13 67,04

b Perempuan 68,61 68,10 68,21

3 Status perkawinan

a Belum menikah 68,77 67,68 67,59

b Menikah 68,74 68,21 68,12

c Cerai hidup 65,04 65,11 63,09

d Cerai mati 65,80 64,44 65,59

4 Kelompok umur (tahun)

a 17-24 68,73 67,87 68,63

b 25-40 68,76 68,49 67,85

c 41-64 68,37 67,72 67,91

d 65 atau lebih 66,24 64,46 65,25

5 Kedudukan dalam rumah tangga

a Kepala rumah tangga 67,57 66,67 66,70

b Pasangan kepala rumah tangga 69,45 69,04 69,17

6 Banyaknya anggota rumah tangga

a 1 orang 65,59 63,82 65,26

b 2 orang 67,52 66,04 67,90

c 3 orang 68,44 67,92 67,35

d 4 orang 68,97 68,82 68,51

e 5 orang 68,89 68,60 68,15

f 6 orang 68,19 67,17 67,27

g 7 orang 67,85 68.01 66,40

7 Pendidikan tertinggi ditamatkan

a Tidak atau belum pernah sekolah 62,96 60,36 58,22

b Tidak tamat SD/sederajat 65,30 63,92 63,04

c SD atau sederajat 67,03 66,42 65,38

d SMP atau sederajat 68,48 68,68 67,31

e SMA atau sederajat 71,04 71,18 70,03

f Diploma I-III 73,86 73,33 74,00

g Diploma IV/S1 76,47 75,44 75,99

h S2-S3 79,47 77,94 76,66

8 Pendapatan Rumah Tangga

a Hingga Rp 1.800.000 64,58 63,87 62,97

b Rp 1.800.001-3.000.000 68,76 68,56 68,29

c Rp 3.000.001-4.800.000 71,86 71, 67 72,63

d Rp 4.800.001-7.200.000 74,64 74,21 75,33

e Lebih dari Rp 7.200.000 76,34 75,42 74,81

Indeks komposit 68,26 67.66 67,65 Sumber: BPS

38

Ada beberapa hal yang menarik dari data yang ditampilkan pada (Tabel 3.9.).

Pertama, derajat kepuasan penduduk perdesaan lebih rendah dari penduduk

perkotaan.Bila dapat dikatakan bahwa penduduk perdesaan sebagian besar adalah

petani maka dapat dikatakan bahwa derajat kebahagiaan keluarga pertanian lebih

rendah dari keluarga non-pertanian.Ini menunjukkan pentingnya meningkatkan

kesejahteraan keluarga pertanian sebagai bagian dari perbaikan pemerataan

kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, variabel yang perbedaan nilainya berpengaruh besar terhadap derajat

kepasan hidup ialah tingkat pendapatan rumah tangga.Terlihat pula bahwa relasi tingkat

pendapatan dengan derajat kepuasan berbentuk parabolik, mula-mula berhubungan

positif hingga tingkat tertentu lalu kemudian berbalik menjadi berhubungan negatif.Ini

membuktikan bahwa pendapatan merupakan salah satu factor kunci, namun bukan satu-

satunya, penentu kesejahteraan.Peningkatan pendapatan petani haruslah senantiasa

dijadikan sebagai bagian dari tujuan utama pembangunan pertanian.

Ketiga, variabel pendidikan juga menjadi pembeda utama kepuasan.Tampak pula

bahwa kepuasan marjinal menurun dengan pertambahan tingkat pendidikan.Dengan

demikan, peningkatan tingkat pendidikan petani, hingga serendah-rendahnya lulus SMA

dapat meningkatkan secara nyata kebahagiaan petani.Hal ini menunjukkan bahwa status

kualitas SDM petani menjadi bagian dari faktor kunci kebahagiaan petani.

Keempat, tingkat kepuasan dari variabel dengan derajat sama tidak bervariasi

nyata menurut provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa variasi perubahan terutama

ditentukan oleh variasi derajat (nilai) variabel, bukan karena perbedaan daerah atau

individu.Dengan demikian, agregasi melalui indeks komposit valid dilakukan. Dengan

perkataan lain, indeks komposit merupakan cermin derajad kepuasan yang dapat

diperbandingkan antar waktu atau antar daerah.

Dalam konteks pengukuran kesejahteraan petani yang menjadi fokus kajian ini,

pembelajaran yang dapat diambil dari perhitungan IKPI ini ialah bahwa, pertama,

kebahagiaan penduduk Indonesia, termasuk petani, bersifat multidimensi. Kedua, tingkat

pendapatan dan derajad pendidikan merupakan dua variabel kunci penentu kebahagiaan

penduduk secara umum, yang berarti pula kesejahteraan petani.Ketiga, bila dirancang

dengan baik, kesejahteraan petani dapat diukur dengan suatu indeks komposit yang

merupakan agregasi nilai variabel-variabel dari berbagai aspek determinan

kesejahteraan.Keempat, basis data yang dikumpulkan BPS untuk perhitungan IKPI

agregat tidak memadai untuk menghitung Indeks Kesejahteraan Petani Indonesia. Oleh

karena itu, bila dikehendaki, Indeks Kesejahteraan Petani Indonesia mestilah dihitung

khusus dan berbeda dari Indeks Kesejahteraan Penduduk Indonesia. Kelima,

perhitungan IKPI nampaknya bukan prioritas BPS sehingga tidak ada kepastian apakan

39

akan dilanjutkan di masa datang, sehingga sangat sulit mengharapkan BPS akan

melakukan perhitungan Indeks Kesejahteraan Petani Indonesia.

3.7. Indeks Kemiskinan (Kesejahteraan) Multidimensi

BPS juga menggunakan Indeks Kemiskinan Multidimesi (IKM) untuk mengukur

tingkat kemiskinan RTUP berdasarkan data Sensus Pertanian 2013 (BPS, 2014b).

Konsep yang dipergunakan BPS mengacu pada metodologi yang diperkenalkan oleh

United Nation Development Program (UNDP) dan Oxford Human Development Initiative

(OPHI) yang dikenal dengan nama Multidimentional Poverty Index (MPI). Dengan konsep

ini, kesejahteraan dipandang tidak semata-mata ditentukan oleh pendapatan atau

kepemikan barang sebagimana digunakan pada pendekatan kesejahteraan

ekonomi.Kesejahteraan juga tidak semata-mata ditentukan oleh capaian keberfungsian

fisikis dan psikologis isani, seperti status kesehatan fisik dan psikologis

seseorang.Perhitungan IKM didasarkan pada ukuran kapabilitas, yaitu penggunaan riil

himpunan kesempatan dari sejumlah keberfungsian. Kesempatan yang riil digunakan itu

diindikasikan oleh pengalaman pengguanaan akses terhadap pendidikan, kesehatan

dan kualitas hidup (BPS b, 2014).

Dalam pengukuran kemiskinan petani, IKM setiap rumahtangga dihitung menurut

skor kekurangan dalam tiga dimensi, yaitu dimensi pendidikan (2 indikator), kesehatan (2

indikator) dan standar hidup (6 indikator). Secara keseluruhan, IKM dihitung berdasarkan

10 indikitator, yaitu RTUP yang:

1. Tidak memiliki anggota rumah tangga yang telah menyelesaikan pendidikan 9 tahun

(SMP)

2. Memiliki minimal satu anak usia sekolah (sampai kelas 9) yang putus sekolah

3. Memiliki setidaknya satu anggota keluarga yang kekurangan gizi

4. Memiliki satu atau lebih anak yang meninggal dunia

5. Tidak memiliki listrik

6. Tidak memiliki akses air minum bersih

7. Tidak memiliki akses ke sanitasi yang memadai

8. Menggunakan arang, batu bara atau kayu bakarsebagai bahan bakar untuk

memasak

9. Memiliki rumah dengan lantai tanah

10. Tidak memiliki kenderaan bermotor dan hanya memiliki salah satu dari barang

berikut: sepeda, sepeda motor, radio, kulkas, telepon, atau televise.

IKM dihitung dengan menjumlahkan seluruh skor dari 10 indikator tersebut. Titik

pemisah atau cut off point (C) yang membedakan RTUP miskin dan tidak miskin

ditetapkan sebesar 33,3 %. RTUP dengan skor kekurangan akses sebesar 30 % atau

40

lebih dinggap mengalami kemiskinan multidimensi. Berdasarkan skor kekurangan akses

tersebut RTUP juga dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu:

1. C < 20 %: RTUP dan seluruh anggota dianggap tidak miskin multidimensional

2. 20 ≤ C < 33,3 %: RTUP dan seluruh anggota dianggap rentan miskin multidimensional

3. 33,3≤ C < 50 %: RTUP dan seluruh anggota dianggap miskin multidimensional

4. C ≥ 50 % :20 < C < 30 %: RTUP dan seluruh anggota dianggap sangat miskin

multidimensional.

Kategori itu digunakan untuk jumlah RTUP miskin, jumlah penduduk pertanian

miskin (head count), dan intensitas kemiskinan.Penduduk pertanian adalah jumlah dari

seluruh anggota rumantangga RTUP. Intensitas kemiskinan adalah rasio jumlah

indikator yang tidak mencapai cut of point kemiskinan multidimensi.

Berdasarkan data Survei Pendapatan RTUP 2013 ditemukan bahwa secara

nasional jumlah RTUP miskin sebesar 21,12% dan jumlah penduduk pertanian miskin

sebesar 18,21% dari masing-masing populasi. Prevalensi RTUP miskin lebih tinggi dari

prevalensi penduduk pertanian miskin. Hasil perhitungan menunjukkan intensitas

kemiskinan bernilai 39,12%, yang berarti bahwa secara rata-rata RTUP miskin

kekurangan akses terhadap kebutuhan dasar sebanyak 39,12% atau sekitar 4 dari 10

indikator. Besaran skor IKM adalah 7,12%, yang berarti kekurangan yang dialami oleh

seluruh RTUP mencapai 7% dari 10 indikator yang ada, atau sekitar satu indikator saja.

Kajian BPS (2014b) juga menyajikan rincian perhitungan IKM menurut kategori

kemiskinan dan lapangan kerja pertanian-non pertanian (Tabel 3.10). Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa RTUP yang mantap tidak miskin multidimensi hanya sekitar

separuh populasi (49,95%) untuk yang pendapatan utamanya dari pertanian, sementara

yang pendapatan utamanya non-pertanian mencapai lebih dari dua pertiga populasi

(68,91%). Dengan demikian, RTUP yang mengandalkan pendapatan dari non usaha

pertanian lebih sejahtera dari pada yang mengandalkan pendapatan dari usaha

pertanian.Kesempatan kerja di luar pertanian menjadi jalan keluar dari kemiskinan.

Tabel 3.10. Persentase RTUP menurut kategori kemiskinan multidimensi dan sumber

pendapatan utama, 2013.

Sumber pendapatan utama

Kategori kemiskinan multidimensi

Tidak miskin Rentan miskin Miskin Sangat miskin

Pertanian 49,97 25,13 22,47 2,44

Non pertanian 68,91 19,05 11,25 0,8

Sumber: BPS (2014b).

41

Kiranya dicatat bahwa definisi pertanian dalam kajian ini ialah dalam arti luas,

mencakup subsektor Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, Peternakan,

Perikanan, Kehutanan, dan Jasa Pertanian. Kajian juga menghitung tingkat kemiskinan

multidimensi untuk setiap subsektor tersebut. Prevalensi kemiskinan multidimensi

tertinggi ialah pada subsektor Kehutanan (35,74%), yang selanjutnya diikuti oleh

subsector Tanaman Pangan (27,41 %), Peternakan (26,77%), Jasa Pertanian (24,43%),

Perkebunan (21,54%), Hortikultura (20,76%), Perikanan (17,18%), dan Nonpertanian

(15,29%). Untuk kelompok sektor pertanian sempit, prevalensi kemiskinan multidimensi

tertinggi adalah untuk subsektor Tanaman Pangan, lalu diikuti oleh Peternakan,

Perkebunan dan Hortikultura. Temuan ini menunjukkan pentingnya diversifikasi

usahatani dari komoditas tanaman pangan dan peternakan bernilai rendah ke komoditas

hortikultura dan perkebunan bernilai tinggi.

Dalam konteks pengkajian perumusan metode pengukuran kesejahteraan petani,

kiranya dapat dikatakan bahwa IKM merupakan salah satu alternatif pilihan yang tidak

saja memiliki landasan teori yang cukup kuat tetapi juga telah terbukti dapat

dilaksanakan. Data dasar yang diperlukan ialah pendapatan dan karakteristik RTUP yang

dapat dikumpulkan melalui survey. Survei Pendapatan RTUP 2013 dapat dipakai acuan

dan dasar dalam pelaksanaan survey tersebut.

IV. PERTIMBANGAN KEBIJAKAN

4.1. Manfaat dan urgensi pengukuran kesejahteraan petani

Pengukuran kesejahteraan petanii dapat dimanfaatkan untuk: 1) Monitoring dan

evaluasi kinerja pembangunan, khususnya pembangunan pertanian; 2) Data pendukung

analisis profil, determinan, dan paket kebijakan peingkatan kesejahteraan petan; 3)

Memprakirakan prevalensi kemiskinan petani dan faktor-faktor pendorong, dan opsi

kebijakan penanggulangannya dimasa datang. Pada intinya, ketiga kegunaan

pengukuran kesejahteraan petani itu adalah bagian dari analisis kebijakan pembangunan

pertanian yang menjadi tugas pokok Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian (PSEKP).

Pengukuran kesejahteraan petani itu sangat mendesak dilakukan oleh PSEKP

karena salah satu tujuan utama pembangunan pertanian ialah meningkatkan

kesejahterraan petani. Setiap Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian selalu

menyebut peningkatan pendapatan petani sebagai salah satu misi atau tujuan utamanya.

Bahkan dalam Renstra 2015-2019 Kementerian Pertanian menetapkan visi

“Terwujudnya Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani”. Sehubungan dengan itu,

pengukuran kesejahteraan petani diperlukan untuk memonitor dan mengevaluasi kinerja

42

utama Kementerian Pertanian. Selain untuk monitoring dan evaluasi kineja

pembangunan, tersedianya kesejateraan petani akan memungkinkan palaksanaan

analisis kebijakan terkait. Masalahnya ialah, seperti yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya, NTP dan PDB sektor Pertanian per kapita yang selama ini dijadikan sebagai

indikator kesejahteraan petani ternyata tidak valid.

Oleh karena itu perlu dirumuskan alternatif indikator kesejahteraan petani yang

dapat diukur secara teratur dengan ongkos wajar. Pemilihan metode pengukuran

mempertimbangkan tiga aspek berikut: 1) Validitas dan akurasi hasil pengukuran; 2)

Kelayakan teknis pelaksanaan; dan 3) Beban anggaran pelaksanaan. Evaluasi validitas

dan akurasi didasarkan pada tinjauan teoritis dan literatur empiris sebagaimana telah

dilakukan pada Bab 3. Alternatif metode evaluasi kelayakan teknis didasarkan

pertimbangan kemudahan dalam pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan data.

Evaluasi beban anggaran didasarkan pada perkiraan ongkos yang dibutuhkan dalam

keseluruhan pelaksanaan pengukuran tingkat kesejahteraan petani tersebut. Untuk butir

2) dan 3) prioritas pilihan jatuh pada metode yang menggunakan data yang selama ini

dikumpulkan oleh BPS secara rutin.

4.2. Alternatif metode pengukuran kesejahteraan petani

Pilihan alternatif metode pengukuran kesejahteraan petani didasarkan pada stock

taking metode-metode relevan yang selama ini telah dilaksanakan BPS dan Kementerian

Pertanian, sebagimana diulas pada Bab 3. Metode-metode tersebut dirangkum dalam

Tabel 4.1. Terdapat empat metode yang kerap atau pernah digunakan untuk mengukur

kesejahteraan petani, yaitu 1) Nilai Tukar Petani (NTP), 2) PDB sektor pertanian per

kapita, Indeks Kesejahteraan (Kemiskinan) Multidimensi (IKM), dan 4) Persepsi keadaan

dan kecukupan pendapatan. Walau tidak dikhususkan untuk mengukur kesejahteraan,

indikator - indikator lainnya turut dipertimbangkan dengan pertimbangan kemungkinan

penggunaannya untuk mengukur kesejahteraan petani dengan penyesuaian-

penyesuaian tertentu. Indikator-indikator potensial itu ialah: 1) Prevalensi kemiskinan

berdasarkan batas garis kemiskinan pendapatan; 2) Indeks Pembangunan Manusia

(IPM), dan 3) Indeks Kebahagiaan Penduduk.

NTP yang paling banyak dan lama digunakan memang mudah dihitung dan

datanya disediakan BPS dalam bulanan secara regular. Masalahnya ialah NTP dinilai

parsial karena hanya melihat kesejahteraan dari aspek ekonomi melalui daya beli

pendapatan usaha pertanian serta pengukurannya tidak valid karena relasinya dengan

daya pendapatan bersih usaha pertanian berhubungan tidak langsung. Relasi NTP

dengan laba usaha tani dapat ditingkatkan melalui indikator Nilai Tukar Faktorial (NTF).

NTF dapat dihitung bila data Total Faktor Productivity (TFP) sektor pertanian tersedia.

Namun demikian, perbaikan melalui NTF tidak lantas menghilangkan kelemahan

43

pokoknya yang terbatas pada aspek ekonomi dan semata-mata komponen pendapatan

usahatani. Telah diuraikan bahwa RTUP yang mengandalkan pendapatan dari usahatani

padi lebih banyak yang lebih miskin daripada yang mengandalkan pendapatan dari non

pertanian. Pendapatan non-pertanian dapat berkontribusi lebih besar daripada

pendapatan pertanian sehingga konsep NTP tidak valid. Lagi pula, hingga kini, BPS

belum menyediakan data yang memungkinkan perhitungan TFP pertanian. Hasil diskusi

dengan BPS menyimpulkan bahwa perhitungan NTF tidak mungkin dilakukan dalam

waktu dekat ini.

PDB sektor pertanian per kapita juga termasuk yang banyak dan lama digunakan

sebagai penanda kesejahteraan petani Indonesia. Data PDB sektor pertanian disediakan

BPS terbuka dalam kuartalan. Sama seperti NTP, PDB per kapita terbatas pada ukuran

kesejahteraan dari aspek ekonomi. Masalah pokok lainnya ialah bahwa PDB per kapita

mengandung komponen pendapatan penduduk asing dan pajak sehingga tidak

menggambarkan pendapatan rumah tangga yang tersedia untuk dibelanjakan. Indikator

yang lebih akurat untuk mengukur pendapatan yang siap dibelanjakan ialah Pendapatan

Personal Disposibel (Disposible Personal Income=DPI) yang sudah tidak mengandung

transfer luar negeri dan pajak namun sudah memperhitungkan penerimaan transfer

dalam negeri). Sayangnya, data yang tersedia dalam perhitungan PDB yang dilakukan

oleh BPS selama ini tidak memungkinkan perhitungan DPI sektor pertanian. Hal ini juga

konsisten dengan hasil diskusi PSEKP - BPS.

Indeks Kesejahteraan Multidimensi (IKM) memiliki landasan teori yang amat kuat

terutama karena mengukur kesejahteraan dari banyak dimensi, tidak hanya dari aspek

ekonomi. Konsep IKM telah dipergunakan BPS untuk menghitung tingkat kemiskinan

petani dengan 3 dimensi (pendidikan, kesehatan, standar hidup) mencakup 10 variabel

berdasarkan data Survei Pendapatan Petani sebagai bagian dari Sensus Pertanian 2013.

IKM mungkin menjadi salah satu pilihan terbaik untuk mengukur kesejahteraan petani

bila data tersedia. Masalahnya ialah bahwa basis data yang selama ini dipergunakan

untuk menghitung IPM tidak dirancang untuik keluarga tani sehingga tidak valid

dipergunakan untuk menghitung IPM rumah tangga tani.

Persepsi keadaan dan kecukupan pendapatan petani dipergunakan BPS dalam

menganalisis hasil Sensus Pertanian 2013. Konsep ini terbatas pada aspek

kesejahteraan petani dan bersifat subyektif. Indikator ini amat sederhana dan mudah

dihitung. Bahkan dapat dikatakan bahwa konsep ini terlalu menyederhanakan isu

kesejahteraan sehingga tidak disarankan sebagai bagian dari pilihan indikator

kesejahteraan petani.

44

Tabel 4.1. Rangkuman deskripsi indikator-indikator kesejahteraan yang pernah

digunakan BPS.

No Penggunaan

dan indikator Kekuatan Kelemahan Opini

A

Ukuran kesejahteraan petani

1 Nilai Tukar

Petani

Mudah dihitung

Data bulanan

disediakan BPS

Hanya menyangkut

kesejahteraan ekonomi

Validitas rendah

Dapat diperbaiki dengan

nilai tukar faktorial (NTF) namun tetap kurang

valid Tidak disarankan

digunakan

2 PDB sektor

pertanian per

kapita

Mudah dihitung

Data triwulanan

disediakan BPS

Hanya menyangkut

kesejahteraan

ekonomi Validitas rendah

Disubstitusi dengan

pendapatan rumah

tangga disposibel (DPI) per kapita

DPI dapat digunakan

sebagai indikator

tambahan Perlu data khusus

3 Indeks

Kesejahteraan

Multidimensi

Konsept amat

kuat

Validitas tinggi

Data tidak tersedia

teratur di BPS

Pilihan terbaik bila

mungkin dilaksanakan

Perlu data khusus

4 Persepsi

keadaan dan

kecukupan

pendapatan

Mudah di hitung

Hanya menyangkut

kesejahteraan ekonomi

Validitas rendah

Data tidak tersedia

teratur di BPS

Terlalu

menyederhanakan issu kesejahteraan yang

realitasnya kompleks Tidak disarankan

digunakan

B

Kesejahteraan seluruh penduduk

1 Prevalensi

kemiskinan

Mudah dihitung

Data disediakan

teratur BPS tiap tahun

Hanya menyangkut

kesejahteraan ekonomi

Tidak dirancang

khusus mengukur kesejahteraan

Dapat dijadikan indikator

pendukung Perlu data khusus

2 Indeks

Pembangunan

Manusia

Konseptual kuat

Validitas tinggi

Data disediakan

BPS teratur tiap

tahun

Tidak

memperhitungkan

akses fungsional Tidak dirancang

khusus mengukur

kesejahteraan

Dapat dijadikan indikator

pendukung

Perlu data khususus

3 Indeks

Kebahagiaan

Penduduk

Mudah di hitung

Multi dimensi

Validitas rendah

Data tidak tersedia

teratur di BPS

Tidak disarankan

digunakan

45

Prevalensi kemiskinan berdasarkan batas pendapatan rumah tangga adalah

indikator kesejahteraan umum yang paling banyak dan lama digunakan di Indonesia

maupun di negara - negara lain sedang berkembang. Data tingkat kemiskinan nasional

dan daerah disediakan BPS secara terbuka tiap tahun. Cara perhitungannya amat

sederhana: seseoran atau keluarga dikatakan miskin bila pendatannya kurang dari garis

kemiskinan, yakni batas pendapatan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar

bersangkuta. Indikator prevalensi kemiskinan melihat kesejahteraan dari aspek ekonomi

saja. Namun demikian, prevalensi kemiskinan ekonomi ini dapat digunakan sebagai

salah satu indikator kesejahteraan petani karena kemampuan memenuhi kebutuhan

dasar adalah salah satu prasyarat meraih kesejahteraan petani. Masalahnya, BPS tidak

selalu menyediakan tingkat kemiskinan keluarga tani, apalagi dirinci menurut daerah.

Hasil diskusi dengan BPS menyimpulkan bahwa data SUSENAS yang selama ini dipakai

sebagai basis perhitungan kemiskinan dinilai tidak valid dijadikan untuk menghitung

tingkat kemiskinan rumah tanagga tani. Perhitungan tingkat kemiskinan petani harus

dirancang tersendiri.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga termasuk indikator kesejahteraan

umum yang paling banyak dan lama digunakan di Indonesia maupun di negara-negara

lain sedang berkembang. Data IPM nasional dan daerah juga disediakan BPS secara

terbuka tiap tahun. Indikator ini dipandang sebagai perbaikan nyata atas indikator PDB

dan prevalensi kemiskinan ekonomi. IPM dapat dijadikan salah satu indikator

kesejahteraan petani. Sayangnya, data perhitungan IPM tidak tersedia untuk sektor

pertanian.

Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia (IKPI) bersifat multidimensi dan

perhitungannya pun mudah. IKPI dapat diperimbangkan sebagai salah satu indikator

kesejahteraan petani. Sayangnya, data yang dikumpulkan BPS memadai untuk

menghitung Indeks Kesejahteraan Petani Indonesia. Oleh karena itu, bila dikehendaki,

Indeks Kesejahteraan Petani Indonesia mestilah dihitung khusus dan berbeda dari Indeks

Kesejahteraan Penduduk Indonesia. Selain itu, IKPI nampaknya bukan prioritas BPS

sehingga tidak ada kepastian apakan akan dilanjutkan di masa datang, sehingga sangat

sulit mengharapkan BPS akan melakukan perhitungan Indeks Kesejahteraan Petani

Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa indikator-indikar terkait

kesejahteraan yang selama ini dipergunakan oleh BPS tidak ada yang langsung dapat

dipergunakan untuk mengukur kesejahteraan rumah tangga tani. Ada dua alasan pokok

kenapa demikan: (1) Indikator-indikator yang ada secara teoritis memang tidak valid

untuk mengukur kesejahteraan petani; (2) Data tidak tersedia untuk melakukan

perhitungan indikator khusus bagi rumah tangga tani.

46

4.3. Opsi tindak lanjut

Diskusi Tim Peneliti dengan BPS menyimpulkan bahwa indikator-indikator yang

ada memang dapat disesuaikan atau dirancang ulang sehingga lebih valid secara teoritis

untuk mengukur kesejahteraan rumah tangga tani. Persoalannya ialah, perhitungan

indikator kesejahteraan khusus untuk rumah tangga tani dan atau penyesuaian indikator-

indikator yang ada membutuhkan data yang khusus dikumpulkan untuk itu. BPS dengan

terus terang menyatakan bahwa hal itu membutuhkan dukungan sumberdaya dan

menyita waktu yang cukup besar sehingga tak mungkin dilakukan oleh BPS dalam waktu

dekat ini. Namun demikian, sikap itu hendaklah dipandang sebagai pandangan sementra

karena disampaikan oleh staf yang bukan pengambil keputusan akhir, masih mungkin

berbeda bila ada pembicaraan tingkat tinggi diantara pimpinan BPS dan Kementerian

Pertanian. Peluang yang nampaknya paling mungkin ialah bekerjasama dalam

menyesuaikan indikator-indikator yang ada dengan memanfaatkan basis data yang

selama ini dikumpulkan BPS secara regular. Dengan demikian, pilihan tindak lanjut bagi

Kementerian Pertanian:

1. Terpaksa tetap mempergunakan indikator-indikator yang ada dengan segala

kekurangannya.

2. Bekerjasama dengan BPS dalam menyesuaikan dan melengkapi indikator dan dapa

pendukung yang sudah ada atau diadakan selama ini.

3. Melakukan perhitungan indikator baru dan khusus kesejahteraan petani oleh

Kementerian Pertanian sendiri (bila BPS tidak bersedia bekerjasama).

Opsi pertama jelas kurang baik karena hal itu sama saja tidak dapat memperoleh

data valid dan akurat tentang perkembangan status kesejahteraan petani yang

merupakan salah sautu indikator keberhasilan pembangunan pertanian. Pemantauan

perkembangan kesejahteraan petani berdasarkan suatu indikator yang valid dan akurat

merupakan kebutuhan esensial bagi Kementerian Pertanian.

Opsi kedua dapat dilakukan misalnya untuk perbaikan NTP yakni, menambah

perhitungan Nilai Tukar Faktorial (NTF). Perhitungan NTF hanya membutuhkan total

faktor produksi (TFP) sebagai tambahan data. Hal ini mestinya tidak terlalu memberatkan

bagi BPS karena TFP dapat dihitung dari data struktur ongkos yang selama ini (atau

dahulu?) dikumpulkan BPS secara regular. Kiranya dicatat pula, data struktur ongkos

tidak saja bermanfaat untuk perhitungan NTF tetapi juga untuk berbagai keperluan

penting lainnya seperti analisis profitabilitas usahatani sebagai dasar dalam pengkajian

harga referensi komoditas pertanian maupun harga input bersubsidi, dsb. Sudah barang

tentu, opsi dua ini dapat diwujudkan melalui kerjasama Kementerian Pertanian dengan

BPS. Kementerian Pertanian dapat memberikan dukungan pembiayaan, sementara BPS

47

bertindak sebagai pelaksana oprasional. NTF dapat dipakai sebagai bahan monitoring

perkembangan jangka pendek (tahunan) kesejahteraan petani.

Opsi ketiga berkaitan dengan pengembangan indikator baru dan khusus.

Indikator yang disarankan ialah Indeks Kebahagiaan Petani Indonesia (IKPI) bersifat

multidimensi. Oleh karena merupakan suatu pekerjaan besar yang membutuhkan

tanaga, waktu dan dana yang cukup besar maka disarankan agar perhitungan IKPI cukup

dilakukan sekali dalam lima tahun, yakni pada tahun akhir/awal siklus kabinet. Dengan

begitu, IKPI dapat dipergunakan sebagai bahan evaluasi kinerja akhir kabinet lama dan

sekaligus sebagai bahan dasar penyusunan rencana kerja kabinet baru. Dengan lebih

spesifik, pengukuran IKPI pertama kali dapat dilaksanakan untuk status kesejahteraan

petani pada 2018 yang diterbitkan pada semester pertama 2019. Bila BPS tidak bersedia

bekerjasama maka pengukuran IKPI dapat dilaksanakan sendiri oleh Kementerian

Pertanian.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan

Nilai Tukar Petani (NTP) dan PDB sektor pertanian per kapita, dua indikator

kesejahteraan petani yang paling banyak dan lama digunakan di Indonesia tidak valid

menggambarkan realitas kesejahteraan petani. Nilai Tukar Faktorial (NTF) dapat

memperbaiki validitas NTP konvensional namun tetap saja kurang valid sebagai indikator

kesejahteraan petani. Pendapatan Personal Disposibel (Disposable Personal

Income=DPI) dapat lebih valid dari PDB per kapita dalam merefleksikan kesejahteraan

petani namun data perhitungan PDB yang dilakukan BPS tidak memungkinkan

perhitungan DPI. Oleh karena itu perlu dirumuskan metode baru untuk menghitung

kesejahteraan petani.

Oleh karena kesejahteraan petani amat kompleks yang tidak mungkin dapat diukur

dengan satu indikator maka idealnya monitoring dan evaluasi kesejahteraan petani

dilaksanakan dengan pendekatan dash board, yaitu beberapa indikator dipergunakan

sekaligus. Indikator-indikator yang disarankan ialah: 1) Pendapatan Personal Disposabel

(DPI) Rumah Tangga Pertanian; 2) Prevalensi kemiskinan Rumah Tangga Pertanian, 3)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Rumah Tangga Pertanian, 4) Indeks

Kesejahteraan Multidimensi (IKM) Rumah Tangga Pertanian, dan 5) Indeks Kebahagiaan

Petani Indonesia (IKPI). Indikator-indikator serupa atau bahan dasar untuk perhitungan

indikator-indikator tersebut mestinya tersedia atau dapat disediakan oleh BPS.

48

Namun demikian, hasil diskusi dengan staf BPS menyimpulkan bahwa indikator-

indikator khusus kesejahteraan petani tidak dapat dihitung oleh BPS sehubungan dengan

kendala tanaga, waktu dan anggaran. Bahkan mereka juga mengatakan bahawa

perhitungan NTF (penyesesuain NTP) dan GDI (turunan GDP) pertanian tidak mungkin

dilakukan oleh BPS dalam waktu dekat ini.

5.2. Rekomendasi Kebijakan

Hasil diskusi Tim Peneliti dengan Staf BPS mengenai kemungkinan penyusunan

indikator kesejahteraan khusus bagi petani hendaklah dipandang sebagai pandangan

sementara karena disampaikan oleh staf yang bukan pengambil keputusan akhir, masih

mungkin berbeda bila ada pembicaaraan tingkat tinggi diantara pimpinan BPS dan

Kementerian Pertanian. Peluang yang nampaknya paling mungkin ialah bekerjasama

dalam menyesuaikan indikator-indikator yang ada dengan memanfaatkan basis data

yang selama ini dikumpulkan BPS secara regular. Dengan demikian, pilihan tindak lanjut

bagi Kementerian Pertanian:

1. Menjalin kerjasama dengan BPS dalam menyesuaikan dan melengkapi NTP dengan

perhitungan NTF. Data tambahan yang diperlukan hanyalah strukturtur ongkos yang

selama ini biasa dikumpulkan oleh BPS. NTF cukup dihitung tiap tahun. Untuk itu,

Pimpinan Kementerian Pertanian disarankan untuk segera menjalin kerjasama

dengan Pimpinan BPS.

2. Mengembangkan indikator Indeks Kebahagiaan Petani Indonesia (IKPI) yang bersifat

multidimensi bekerjasama BPS atau oleh Kementerian Pertanian sendiri. IKPI diukur

dan diterbitkan cukup sekali dalam lima tahun yaitu menjelang tahun terakhir masa

kerja kabinet lama/awal tahun kerja kabinet baru. IKPI dapat dihitung untuk pertama

kali pada tahun 2018 (diterbitkan pada semester pertama 2019).

DAFTAR PUSTAKA

KBBI. 2016. Sejahtera. Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://kbbi.web.id/sejahtera.

Di unduh pada 7 Juni 2016. Kementerian Pertanian, 2011. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014.

Kementerian Pertanian, Jakarta. Kementerian Pertanian, 2016. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019.

Kementerian Pertanian, Jakarta.

49

Rachmat, M. 2013. Nilai Tukar Petani : Konsep, Pengukuran Dan Relevansinya Sebagai Indikator Kesejahteraan Petani. Forum Agro Ekonomi 31 (2): 111-122.

Rusono, N., A. Sunari, A. Candradijaya, I. Martino, dan Tejaningsih. 2013. Analisis Nilai

Tukar Petani (NTP) sebagai Bahan Penyusunan RJMN Tahun 2015-2019. Badan Perancang dan Pembangunan Nasional, Jakarta.

Simatupang, P. dan M. Maulana. 2006. Kritik Terhadap KonsepNilai Tukar Petani: Kasus

Perkembangan Tahun 2003-2006. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan 14 (2): 2187-246.

Simatupang, P. dan M. Maulana. 2007. Kaji Ulang Konsep dan Perkembangan Nilai

Tukar Petani Tahun 2003-2006. Jakarta: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.

Undang Undang nomor 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967 Webster Dictionary. 2016. Welfare. Webster Dictionalry. http://www.merriam-

webster.com/dictionary/welfare. Di unduh pada 7 Juni 2016.