laporan akhir analisis kebijakanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan...

94
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN ANALISIS KINERJA DAN KENDALA PENYEBARLUASAN SISTEM RESI GUDANG DI INDONESIA Oleh Erwidodo Erma Suryani Iwan Setiajie Anugerah PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

Upload: phungkien

Post on 08-Apr-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN

ANALISIS KINERJA DAN KENDALA PENYEBARLUASAN SISTEM RESI GUDANG

DI INDONESIA

Oleh

Erwidodo Erma Suryani

Iwan Setiajie Anugerah

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

2014

Page 2: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

x

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN EKSEKUTIF i

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang......................................................................................... 1

1.2. Tujuan...................................................................................................... 3

II. METODE PENELITIAN 4

III. SISTEM RESI GUDANG: LANDASAN TEORITIS DAN FAKTA

EMPIRIS

5

3.1. Pengertian Sistem Resi Gudang .............................................................. 5

3.2. Kelembagaan Sistem Resi Gudang ......................................................... 5

3.3. Proses Penerbitan Resi Gudang ............................................................... 7

3.4. Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang ................................................ 8

3.5. Infrastruktur Pendukung Sistem Resi Gudang ........................................ 9

IV. UNDANG-UNDANG RESI GUDANG NO.9/2006 DAN ATURAN

PELAKSANAAN

13

V. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI INDONESIA 2008-2014 15

VI. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN CONTOH 18

6.1. Kinerja SRG di Kabupaten Indramayu ................................................... 18

6.1.1. Proses Penerbitan Resi Gudang .................................................... 19

6.1.2. Analisis Biaya Resi Gudang ......................................................... 20

6.1.3. Resi Gudang sebagai Alternatif Pembiayaan ............................... 22

6.2. Kinerja SRG di Kabupaten Subang ......................................................... 23

6.2.1. Potensi dan Pelaku Usaha Komoditas Padi ........................................... 23

6.2.2. Kinerja KSU Annisa sebagai Pengelola SRG .............................. 24

6.2.3. Proses Penerbitan Resi Gudang di KSU Annisa .......................... 26

6.2.4. Proses Penaksiran Harga .............................................................. 28

6.2.5. Kinerja Pengguna SRG ................................................................. 30

6.2.6. Prospek dan Perkiraan Keuntungan Penyelenggaraan SRG ......... 31

6.2.7. Kebijakan Pemerintah Daerah ...................................................... 33

VII. KENDALA DAN PELUANG PENYEBARLUASAN SRG 36

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 42

8.1. Kesimpulan .............................................................................................. 42

8.2. Implikasi Kebijakan................................................................................. 43

IX. DAFTAR PUSTAKA 45

Page 3: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

xi

LAMPIRAN 50

Lampiran 1. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Indramayu.................... 50

Lampiran 2. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Subang......................... 65

Page 4: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

5.1. Perkembangan Penerbitan dan Nilai RG serta Nilai Pembiayaan 2008-

2014.................................................................................................................

15

5.2. Nilai RG Berdasaran Jenis Komoditas Utama, 2014 ..................................... 16

6.1. Analisis Biaya Sistem Resi Gudang Gabah di Indramayu, 2014.................... 21

6.2. Analisa Simulasi Potensi Keuntungan Penyelenggaraan SRG di Kabupaten

Subang.............................................................................................................

31

6.3. Analisa Simulasi Keuntungan pada Proses Penyelenggaraan SRG di

Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang......................................................

32

6.4. Analisa Simulasi Biaya Petani Pengguna SRG di KSU Annisa, di Kabupaten

Subang 2014....................................................................................................

33

Page 5: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

3.1. Keterkaitan Lembaga Penyelenggara Sistem Resi Gudang............................ 6

3.2. Alur Penerbitan Resi Gudang.......................................................................... 7

3.3. Sistem Informasi Harga Komoditas................................................................ 10

6.1. Skema Alur Penerbitan Resi Gudang di Gudang PT. Pertani, Kabupaten

Indramayu...............................................................................................................

20

6.2. Bagan Alir Sistem Resi Gudang di KSU Annisa, Kabupaten Subang............ 27

6.3. Proses Penaksiran Harga Gabah Ketan di Pengelola Gudang KSU Annisa

KabupatenSubang............................................................................................

29

Page 6: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Indramayu......................................... 50

2. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Subang............................................... 65

Page 7: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permasalahan utama dalam perdagangan komoditas pertanian adalah fenomena

ketidakstabilan harga. Pada saat panen raya dengan pasokan barang melimpah, umumnya

harga akan anjlok dan sebaliknya saat musim paceklik, secara perlahan suplai barang di

pasaran berkurang, harga mulai merangkak naik. Kondisi tersebut tentu tidak

menguntungkan petani sebagai produsen, terutama petani yang berlahan sempit, karena

jika hasil panennya dijual saat panen raya, maka harga yang diterima petani cenderung

rendah. Kondisi tersebut membuat petani tidak memperoleh keuntungan maksimal.

Ketidakstabilan harga khususnya untuk gabah sebagai komoditas pangan utama,

mendorong pemerintah melakukan upaya stabilisasi harga dengan mengeluarkan kebijakan

penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah yang bertujuan melindungi petani

dari anjloknya harga pada saat panen raya. Bulog ditunjuk sebagai lembaga yang diberi

wewenang untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga tersebut. Konsekuensi

kebijakan tersebut, petani akan memperoleh harga gabah minimal sebesar HPP. Jika harga

gabah di pasaran berada di bawah HPP, maka kewajiban Bulog untuk membeli gabah

petani dengan harga HPP. Sebaliknya jika harga gabah di pasaran lebih tinggi dari HPP,

maka petani bebas menjual hasil panen gabahnya ke calon pembeli selain Bulog.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani umumnya menjual gabahnya pada saat

panen. Kondisi ini dimanfaatkan para pedagang untuk membeli gabah petani dengan harga

sesuai HPP. Selanjutnya pedagang dapat menjual gabah tersebut saat musim pasokan

gabah di pasaran mulai berkurang dengan harga lebih tinggi. Strategi pedagang untuk

menunda jual gabah mampu memberikan margin keuntungan. Harapan pemerintah, margin

keuntungan tersebut dapat dinikmati sebagian besar petani. Oleh karena itu, pemerintah

merancang sistem yang dapat membantu petani untuk melakukan tunda jual hasil panennya

dalam bentuk Sistem Resi Gudang (SRG).

Fenomena fluktuasi harga pada perdagangan komoditas pertanian juga dialami di

negara lain, terutama di negara-negara berkembang. Untuk melindungi petani dari

instabilitas harga dan sekaligus memberikan alternatif pembiayaan untuk kegiatan

produktif, negara lain sudah lama menerapkan pola SRG. Berdasarkan data dari konferensi

Warehouse Receipt System (WRS) di Amsterdam pada tanggal 9-11 Juli 2001 maka

negara-negara berkembang yang tercatat cukup berhasil menerapkan sistim resi gudang ini

Page 8: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

2

adalah: : Rumania, Hungaria, Afrika Selatan, Zambia, Ghana, Rusia, Slovakia, Bulgaria,

Cesnia, Polandia, Kazakstan, Turki, dan Mexico. Secara umum penerapan SRG mampu

meningkatkan pendapatan rumahtangga, meningkatkan bargaining position petani,

memotivasi petani untuk berproduksi lebih tinggi dan menjaga kualitas, meningkatkan

akses pembiayaan ke lembaga keuangan, membuka wawasan dan keterampilan petani

terkait teknologi informasi, dan mengurangi intervensi pemerintah dalam mengatur

perdagangan komoditas pertanian (Onumah, 2002; IFAD, 2012; Wikipedia, 2014).

Undang-Undang SRG No. 9 Tahun 2006 mengatur dan melaksanakan SRG di

Indonesia. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa SRG merupakan kegiatan yang berkaitan

dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Resi

gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang

diterbitkan oleh pengelola gudang. Sesuai amanat UU, sebagai Penanggungjawab kegiatan

SRG adalah Kementerian Perdagangan dan sebagai pengguna SRG adalah Kementerian

Pertanian. Dalam pelaksanaan SRG, selanjutnya Kementerian Perdagangan membentuk

Badan Pengawas SRG yang selanjutnya disebut Badan Pengawas yaitu unit organisasi di

bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan

pengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian

Perdagangan selanjutnya mengeluarkan Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 yang

mengatur jenis barang yang dapat memanfaatkan SRG. Diterbitkannya UU SRG dan

peraturan pendukungnya diharapkan seluruh pelaku SRG tidak ragu melakukan kegiatan

SRG.

Secara konsepsi, SRG dapat diimplementasikan di lapangan dan berpotensi

memberikan keuntungan pada semua pelaku SRG, khususnya sasaran akhir yaitu petani.

Namun, hasil penelusuran data sekunder ditemukan bahwa pelaksanaan SRG berjalan

relatif lambat, terlihat dari perkembangan jumlah dan nilai resi gudang yang diterbitkan

oleh Pengelola Gudang selama periode 2008 – 2014. Pada awal beroperasinya SRG tahun

2008, jumlah dan nilai resi gudang (RG) masing-masing sebesar 16 RG dan Rp 1,43

miliar, sedangkan pada tahun 2014 jumlah dan nilai RG masing-masing sebesar 596 RG

dan Rp 124,97 miliar (Bappebti, 2014). Jumlah dan nilai RG tersebut relatif kecil jika

dikaitkan dengan jumlah produksi komoditas pertanian. Selain itu, jenis komoditas yang

digudangkan relatif terbatas pada komoditas gabah, beras, jagung, dan kopi meskipun

menurut UU SRG dimungkinkan untuk menyimpan beragam jenis komoditas.

Page 9: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

3

Pertanyaannya, mengapa pelaksanaan SRG berjalan relatif lambat, tidak sesuai yang

diharapkan pemerintah ?

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui penyebab lambatnya implementasi dan penyebarluasan SRG, tujuan

penelitian difokuskan untuk (1) mengetahui pelaksanaan SRG, khususnya di wilayah

sentra padi, mengingat padi merupakan komoditas dominan SRG, dan (2) menggali

permasalahan yang terjadi di lapangan serta memberikan alternatif pemecahannya.

Page 10: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

4

II. METODE PENELITIAN

Aspek pokok yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini ada tiga bagian.

Pertama, terkit potensi keuntungan dan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan SRG

yang mengacu pada dasar hukum Resi Gudang. Kedua, menyajikan fakta terkait kinerja

penyelenggaraan SRG. Ketiga, memaparkan permasalahan dalam implementasi SRG dan

alternatif pemecahannya sehingga SRG dapat berkembang dan menyebar secara luas.

Aspek pertama dijabarkan dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian/kajian

sebelumnya. Aspek kedua, selain menganalisis data sekunder, juga dilakukan survey ke

lokasi contoh (Kabupaten Indramayu dan Subang). Kegiatan survey difokuskan pada

penggalian informasi terkait permasalahan penyelenggaraan SRG. Pemilihan kabupaten

Indramayu ditujukan untuk melihat kinerja SRG yang melibatkan gudang milik BUMN

(PT. Pertani), sedangkan di Kabupaten Subang untuk melihat kinerja SRG yang

melibatkan gudang milik swasta (koperasi). Aspek ketiga difokuskan pada pembahasan

terkait permasalahan implementasi SRG dan alternatif pemecahannya.

Pengumpulan data primer dilakukan secara berjenjang dengan metode wawancara

yang melibatkan seluruh stakeholder, yaitu Dinas Perdagangan, Dinas Pertanian, Bank

yang ditunjuk untuk memfasilitasi SRG, Pengelola Gudang, dan Kelompok Tani/Petani.

Data dan informasi dari berbagai sumber tersebut diharapkan memberikan informasi

pelaksanaan SRG, permasalahan yang dihadapi, dan harapan keberlanjutan dan

pengembangan SRG kedepan.

Page 11: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

5

III. SISTEM RESI GUDANG: LANDASAN TEORITIS DAN FAKTA EMPIRIS

3.1. Pengertian Sistem Resi Gudang

Sistim Resi Gudang (SRG) merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan,

pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang (RG). Sejak tahun 2006,

pemerintah mengeluarkan kebijakan SRG yang didasarkan pada Undang-Undang No.9

Tahun 2006, tentang SRG yang dikembangkan untuk membantu mengatasi persoalan

petani padi musim panen (Erawan, 2008). Dalam UU SRG No 9/2006 dinyatakan bahwa

RG merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang

diterbitkan oleh pengelola gudang. Ada dua macam RG, yaitu (1) RG yang dapat

diperdagangkan ("negotiable warehouse receipt") yaitu suatu resi gudang yang memuat

perintah penyerahan barang kepada siapa saja yang memegang resi gudang tersebut atau

atas suatu perintah pihak tertentu; dan (2) RG yang tidak dapat diperdagangkan ("non-

negotiable warehouse receipt") yaitu resi gudang yang memuat ketentuan bahwa barang

yang dimaksud hanya dapat diserahkan kepada pihak yang namanya telah ditetapkan.

Selain RG, juga bisa diterbitkan derivatif RG berupa warkat yang keduanya dapat

diperdagangkan di bursa komoditi (Wikipedia, 2014).

3.2. Kelembagaan Sistem Resi Gudang

Dalam UU No.9/2006 dinyatakan bahwa Kebijakan umum terkait SRG ditangani

oleh Menteri Perdagangan. Dalam operasionalnya, penyelenggaraan SRG dijalankan oleh

beberapa lembaga, yaitu : (1) Badan Pengawas, (2) Pengelola Gudang, (3) Lembaga

Penilaian Kesesuaian, dan (4) Pusat Registrasi. Keterkaitan antar lembaga tersebut dapat

dilihat pada Gambar 3.1.

Badan Pengawas SRG ditangani oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka

Komoditi (Bappebti), unit Eselon-1 Kementerian Perdagangan, yang bertanggungjawab

langsung ke Menteri Perdagangan. Tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga sudah

tertuang dalam UU No.9/2006 dan penjelasan secara rinci dapat ditelusuri pada beberapa

sumber, seperti Putri (2010), Riana (2010), Bappebti (2011), dan Ashari (2011).

Pengelola Gudang memegang peranan penting dalam penyelenggaran SRG, karena

lembaga tersebut secara langsung berhubungan dengan pemilik barang dan menerbitkan

dokumen resi gudang. Pengelola Gudang memiliki tanggung jawab atas pemeliharaan

barang yang disimpan dalam gudang dan menanggung risiko jika terjadi kerusakan barang.

Page 12: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

6

Oleh karena itu, untuk menjaga kualitas barang, Pengelola Gudang mensyaratkan standar

mutu barang yang akan dimasukkan dalam gudang.

Dalam operasionalnya, Pengelola Gudang bekerjasama dengan lembaga uji mutu

barang dan lembaga penjamin barang. Besarnya tugas dan tanggung jawab Pengelola

Gudang, sesuai dengan UU No.9/2006, Pengelola Gudang harus badan usaha berbadan

hukum dan telah mendapat persetujuan Bappebti. Persyaratan menjadi Pengelola Gudang

diatur dalam Peraturan Kepala Bappebti No. 01/Bappebti/Per-SRG/7/2007 dan

No.11/Bappebti/Per-SRG/5/2009 (Bappebti, 2011).

Sumber : Bappebti, 2011

Gambar 3.1. Keterkaitan Lembaga Penyelenggara Sistem Resi Gudang

Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) merupakan salah satu lembaga dalam SRG

yang bertanggung jawab atas keterangan yang tercantum dalam sertifikat untuk barang.

LPK tidak bertanggung jawab atas perubahan mutu barang yang diakibatkan oleh kelalaian

Pengelola Gudang. Seluruh data yang dikeluarkan LPK selanjutnya oleh Pengelola Gudang

akan dikirimkan ke Bappebti. Lebih lanjut data tersebut akan dikirimkan ke Pusat

Registrasi untuk diberikan kode registrasi. Kode registrasi tersebut selanjutnya akan

diberikan ke Pengelola Gudang.

Keberadaan Pusat Registrasi dalam SRG sangat penting, karena lembaga ini

bertanggung jawab dalam penyimpanan data-data seluruh barang yang diresigudangkan

dan selanjutnya dapat diakses oleh lembaga perbankan dan asuransi untuk kepentingan

pemberian kredit dan penjaminan barang.

Page 13: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

7

3.3. Proses Penerbitan Resi Gudang

Berdasarkan Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, jenis komoditas yang dapat

diresigudangkan diutamakan barang untuk ekspor dan untuk ketahanan pangan.

Persyaratan komoditas SRG, yaitu (1) mempunyai usia simpan yang cukup lama, minimal

3 bulan, (2) harga berfluktuasi, (3) mempunyai standar-mutu tertentu, (4) mempunyai pasar

dan informasi harga yang jelas, dan (5) komoditi potensial dan sangat berperan dalam

perekonomian daerah setempat dan nasional. Jenis komoditas SRG mencakup gabah,

beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, dan rumput laut, dan tahun 2011 ditambah rotan

dan garam. Selain komoditas tersebut, dapat juga disimpan di gudang dengan

mempertimbangkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah, instansi terkait, atau asosiasi

komoditas dengan tetap memperhatikan persyaratan komoditas yang diatur dalam

Permendag.

Penerbitan RG memiliki beberapa tahapan yang prosedurnya telah diatur oleh

Bappebti. Alur penerbitan RG disajikan pada Gambar 3.2. Prinsipnya, barang yang akan

diresigudangkan harus memenuhi standar yang ditetapkan Pengelola Gudang. Oleh karena

itu, seluruh barang harus melewati tahap uji mutu dan penjaminan barang. Dokumen RG

akan diterbitkan Pengelola Gudang setelah seluruh persyaratan terpenuhi. Seluruh data

yang terkait dengan penerbitan RG akan masuk ke sistem informasi RG di Pusat

Registrasi.

Sumber : Bappebti (2011)

Pemilik Barang

Gudang

Uji Mutu Asuransi

Dokumen

Resi Gudang

Sistem Informasi Resi Gudang

PUSAT REGISTRASI

Agunan

ke Bank/LKNB

Jual-Beli

Pasar Lelang

Jual langsung

Disimpan/ tanda

kepemilikan barang

Gambar 3.2. Alur Penerbitan Resi Gudang

Page 14: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

8

3.4. Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang

Dalam UU No.9/2006 telah dinyatakan bahwa dokumen RG dapat dijadikan agunan

ke bank atau Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) untuk memperoleh kredit. Ada dua

jenis kredit yang bisa diakses pemilik RG, yaitu kredit komersial dan kredit subsidi.

Pengertian kredit komersial dengan jaminan RG adalah pemberian kredit kepada

pemegang RG yang merupakan pemilik barang atau pihak yang menerima pengalihan dari

pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut. Sedangkan kredit

modal kerja skema subsidi resi gudang (S-SRG) adalah kredit yang mendapat subsidi

bunga dari Pemerintah dengan jaminan Resi Gudang yang diberikan Bank kepada petani,

kelompok tani, gapoktan dan koperasi.

BRI (2011) memaparkan skim S-SRG meliputi : (1) kredit diperuntukan bagi Petani,

Kelompok Tani, Gapoktan dan Koperasi, (2) pola kredit executing, sumber pendanaan

100% dana masyarakat, (3) peserta tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program dari

pemerintah, (4) RG tercatat di Pusat Registrasi, (5) jenis komoditas mencakup gabah,

beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet dan rumput laut, (6) plafon kredit sebesar 70% dari

nilai RG, maksimal Rp 75 juta per petani, (7) jangka waktu kredit maksimum 6 bulan dan

tidak dapat diperpanjang, (8) suku bunga kredit 6 %, selisih tingkat bunga S-SRG dengan

beban bunga peserta S-SRG merupakan subsidi Pemerintah, dan (9) provisi dan biaya

komitmen tidak dikenakan. Dasar hukum skema S-SRG adalah UU No.9/2006, PP

No.36/2007, Peraturan Menteri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 dan pelaksanaannya

mengacu pada Permendag No. 66/M-DAG/PER/12/2009 (BRI, 2011). Sebagai penyalur

kredit bersubsidi (S-SRG) tidak hanya bank pemerintah, tetapi bank swasta, LPDB

Kementerian Koperasi dan UKM, serta PKBL PT Kliring Berjangka Indonesia juga

dilibatkan. Dasar hukum skema S-SRG adalah UU No.9/2006, PP No.36/2007, Peraturan

Menteri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 dan pelaksanaannya mengacu pada Permendag

No. 66/M-DAG/PER/12/2009 (BRI, 2011).

Pengalaman negara India untuk akses pembiayaan yang berbasis pergudangan,

dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu (1) Public Warehousing, (2) Private

Warehousing, dan (3) Farmer focused approaches. Ketiga pendekatan tersebut memiliki

sasaran yang berbeda, namun tujuannya akhirnya memberi keuntungan kepada seluruh

pelaku SRG (Mahanta, 2012).

Page 15: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

9

3.5. Infrastruktur Pendukung Sistem Resi Gudang

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan SRG, koneksi antar lembaga difasilitasi

dengan jaringan beberapa sistem untuk mempermudah aktifitas masing-masing lembaga

yang terlibat SRG. Beberapa sistem tersebut, yaitu (1) Sistem Informasi Resi Gudang (Is-

Ware) dari Pusat Registrasi, (2) Sistem prosedur pengelolaan gudang SRG dari Pengelola

Gudang, (3) Sistem Pelayanan dari lembaga SRG lainnya seperti LPK, Asuransi, Lembaga

Keuangan (Bank/Non Bank), (4) Sistem tarif/biaya SRG yang wajar & kompetitif di setiap

tahapan proses SRG, dan (5) Sistem informasi harga dari Bappebti.

IS-WARE merupakan aplikasi sistem informasi di Pusat Registrasi yang dibangun

untuk mempermudah akses data-data terkait SRG yang dibutuhkan oleh pengguna, seperti

lembaga perbankan atau lembaga penjamin untuk melakukan verifikasi atau konfirmasi

data. Sistem prosedur dibangun untuk memfasilitasi Pengelola Gudang untuk

memperlancar kegiatan manajemen barang yang akan masuk-keluar gudang. Selain itu

infrastruktur lain yang disediakan adalah sistem pelayanan yang memberikan akses

lembaga SRG seperti LPK, Asuransi, Lembaga Keuangan (Bank/Non Bank). Sistem

tarif/biaya SRG juga telah dibangun, agar tarif yang dikenakan ke pengguna memiliki

standar tertentu. Contoh, untuk tarif sewa gudang, meskipun besarannya berbeda antar

pemilik gudang, namun komponennya harus sudah memperhitungkan biaya survey

gudang, biaya asuransi gudang, biaya kantor (tagihan PLN, PAM, akses internet), biaya

kebersihan/sanitasi gudang, biaya keamanan gudang, biaya perawatan gudang, dan jasa

pemilik gudang (iPasar, 2011). Sistem lainnya yang tidak kalah penting adalah sistem

informasi harga yang dibangun Bappebti (Gambar 3.3).

Melalui sistem informasi harga, pengguna dapat mengakses data harga komoditas

yang diperdagangkan, tetapi masih terbatas pada komoditas yang ditentukan melalui

Permendag. Tersedianya infrastruktur pendukung terkait berbagai sistem secara online

diharapkan dapat mempermudah kegiatan SRG yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

yang terlibat dalam penyelenggaraan SRG. Secara konsepsi, rancangan SRG cukup

memadai untuk membantu petani pada saat menghadapi fluktuasi harga komoditas

pertanian. Selain itu melalui SRG petani dapat memperoleh alternatif pembiayaan untuk

kegiatan produksi lebih lanjut.

Operasionalisasi SRG di Indonesia dimulai sejak tahun 2008, namun sebelum

muncul Undang-Undang No.9/2006 Tentang SRG, berbagai macam terobosan telah

Page 16: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

10

Informasi harga komoditas

ditempuh baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam sistem tata niaga komoditi

pertanian. Beberapa diantaranya yang hampir mirip dengan SRG adalah sistem tunda jual,

gadai gabah, dan yang terakhir adalah CMA (Collateral Management Agrement) seperti

yang dikemukakan Putri (2012).

Sumber : Bappebti (2011)

Gambar 3.3. Sistem Informasi Harga Komoditas

Ditinjau dari kelengkapan infrastrukur sistem dan keamanannya, SRG merupakan

sistem yang paling aman dan “canggih” jika dibandingkan dengan beberapa sistem yang

pernah ada di Indonesia. Dalam SRG terdapat jaminan keamanan bagi perbankan karena

semua data penatausahaan RG terpusat di Pusat Registrasi dan diawasi oleh BAPPEBTI.

Selain itu terdapat kepastian mutu bagi pemilik barang maupun calon pemilik barang

karena barang yang disimpan dikelola dengan baik oleh Pengelola Gudang dan diuji mutu

sebelumnya oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian independen yang telah mendapat

sertifikasi dari KAN dan disetujui oleh BAPPEBTI (Putri, 2012).

Bappebti bekerja sama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) sejak tahun 2009.

Hingga tahun 2013 telah dibangun 98 gudang SRG di 78 kabupaten di 21 provinsi. Khusus

di Provinsi Jawa Barat, telah dibangun 11 gudang SRG yang tersebar di 10 kabupaten.

Pada tahun 2014, Bappebti dibawah koordinasi Kementerian Perdagangan bersama dengan

Pemda kembali melakukan pembangunan fasilitas gudang sebanyak 19 unit dan dilengkapi

dengan mesin pengering (dryer) di 19 kabupaten (Bappepti, 2008 dan 2014).

Indramayu

Jombang

Surabaya

Banyumas

Makasar

Babel

Lampung

Beras & Gabah

Gabah

Beras &

Gabah

Kakao &

Jagung

Lada

Kopi

Kedelai

SMS

Gateway

Email & Fax

(Mingguan) : Bank, Pengelola Gudang,

Prosesor & Buyer

http : //infoharga.bappebti.go.id

SMS request :

0813-1430-2222

Kontributor : Petani/Kelompok Tani

Page 17: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

11

Pembahasan tentang konsep dan pendekatan SRG telah banyak dikemukakan

dalam berbagai tulisan, sebagaimana yang disampaikan oleh Ashari (2007, 2010, 2012),

Yulistiyono (2014), Wahyudin (2011), Sunarto (2012), Sanuri (2008), Putri (2012),

Prayitno (2011), Noviyanto (2011), Herlindah (2013), Haryotejo (2013), Devita (2012),

Boen (2007), Erawan (2008) serta berbagai informasi terkait SRG dari media.

Beberapa pendekatan konseptual yang terkait peserta S-SRG disebutkan bahwa :

(1) Petani adalah perorangan warga negara Indonesia yang mengelola usaha di bidang

pertanian/perkebunan/budidaya perikanan; (2) Kelompok Tani adalah kumpulan Petani/

pekebun/pembudidaya perikanan yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan,

kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya, tempat) dan keakraban untuk

meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota; (3) Gabungan Kelompok Tani adalah

kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan

skala ekonomi dan efisiensi usaha dan (4) Koperasi adalah koperasi primer sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang

anggotanya terdiri dari Petani/pekebun/pembudidaya perikanan.

Persyaratan komoditas pertanian yang dapat diresigudangkan, sebagaimana diatur

dalam Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, yaitu: (1) memiliki daya simpan paling

sedikit tiga bulan, (2) memenuhi standar mutu tertentu, dan (3) jumlah minimum barang

yang disimpan. Sedangkan jika dilihat dari ketentuan perdagangan berjangka komoditas,

persyaratan komoditas yang dapat diperdagangkan berjangka adalah: (1) memiliki harga

yang berfluktuasi, (2) tidak ada intervensi pemerintah, semata-mata atas dasar permintaan

dan pasokan, dan (3) tersedia dalam jumlah yang cukup, bersifat homogen, dan tidak

dimonopoli oleh kelompok tertentu, serta (4) merupakan komoditas potensial dan sangat

berperan dalam perekonomian daerah setempat dan nasional karena menyangkut ketahanan

pangan dan ekspor.

Konsep tentang infrastruktur penyelenggaraan SRG, meliputi : (1) Gudang, adalah

semua ruangan yang tidak bergerak dan tidak dapat dipindah-pindahkan dengan tujuan

tidak dikunjungi oleh umum, tetapi untuk dipakai khusus sebagai tempat penyimpanan

barang yang dapat diperdagangkan secara umum dan memenuhi syarat-syarat lain yang

ditetapkan oleh Menteri; (2) Barang, adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan

dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum; (3) Barang Bercampur,

adalah barang-barang yang secara alami atau kebiasaan dalam praktik perdagangan

dianggap setara serta sama satuan unitnya dan dapat disimpan secara bercampur. Dalam

Page 18: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

12

manajemen SRG dikemukakan bahwa Pemegang RG adalah pemilik barang atau pihak

yang menerima pengalihan dari pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan

lebih lanjut. Hak Jaminan atas RG, yang selanjutnya disebut Hak Jaminan, adalah hak

jaminan yang dibebankan pada RG untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan

untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain.

Pengaturan tugas dan peran lembaga penentu kebijakan yang terkait dengan SRG,

disebutkan bahwa urusan Pemerintah Pusat di bidang pembinaan SRG meliputi: (1)

penyusunan kebijakan nasional untuk mempercepat pengembangan SRG; (2)

pengkoordinasian antar sektor pertanian, keuangan, perbankan, dan sektor terkait lainnya

untuk pengembangan SRG; (3) pengoordinasian antara SRG dan Perdagangan Berjangka

Komoditi; (4) pengembangan standardisasi komoditas dan pengembangan infrastruktur

teknologi informasi; (5) pemberian kemudahan bagi sektor koperasi, usaha kecil dan

menengah, serta kelompok tani di bidang SRG; dan (6) penguatan kelembagaan SRG dan

infrastruktur pendukungnya, khususnya sektor keuangan dan pasar lelang komoditas.

Urusan Pemerintah Pusat di bidang pembinaan SRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Menteri.

Terkait dengan peran dan fungsi Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa urusan

Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG meliputi: (1) pembuatan kebijakan daerah

untuk mempercepat pelaksanaan SRG; (2) pengembangan komoditas unggulan di daerah;

(3) penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan

SRG; dan (4) pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas. Urusan Pemerintah

Daerah di bidang pembinaan SRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan

dengan Badan Pengawas.

Page 19: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

13

IV. UNDANG-UNDANG RESI GUDANG NO.9/2006

DAN ATURAN PELAKSANAAN

Dasar hukum pelaksanaan SRG di Indonesia diatur dalam UU No.9/2006.

Pelaksanaan amanat UU No.9/2006 selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 36

Tahun 2007. Pasal-pasal dan ayat yang termuat dalam PP No.36/2007 lebih mengarah pada

penjelasan teknis sehingga diharapkan dapat mempermudah pengoperasian SRG di

lapangan.

Beberapa peraturan pendukung UU No.9/2006, antara lain Peraturan Menteri

Perdagangan (Permendag) No. 26/M-DAG/PER/6/2007 yang menjelaskan jenis komoditas

yang dapat disimpan di gudang SRG, yaitu gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet,

dan rumput laut. Pada tahun 2011, Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 dinyatakan

tidak berlaku ketika diterbitkan Permendag No.37/M-DAG/Per/11/2011 yang

menambahkan komoditas rotan dapat disimpan di gudang SRG, selain 8 jenis komoditas

yang diatur sebelumnya.

Untuk pengaturan teknis penyelenggaraan SRG selanjutnya diatur oleh Peraturan

Kepala Bappebti. Pada tahun 2007 telah dikeluarkan 4 peraturan Bappebti No. 03, 04, 05,

06/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 yang mengatur (i) Persyaratan umum dan persyaratan

teknis gudang, (ii) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh persetujuan sebagai

lembaga penilaian kesesuaian dalam SRG, (iii) Persyaratan dan tata cara untuk

memperoleh persetujuan sebagai Pusat Registrasi, dan (iv) Penetapan hari dalam SRG.

Pada tahun 2008 dikeluarkan 3 peraturan Bappebti No. 08, 09, 10/ BAPPEBTI/PER-

SRG/7/2008 yang mengatur tentang (i) Pedoman teknis pengalihan RG, (ii) Pedoman

teknis penjaminan RG, dan (iii) Pedoman teknis penyelesaian transaksi RG. Pada tahun

2009, telah dikeluarkan 3 peraturan Bappebti No. 11, 12, 13/ BAPPEBTI/PER-

SRG/5/2009 yang mengatur tentang (i) Persyaratan keuangan bagi pengelola gudang, (ii)

Tata cara penyampaian laporan pengelola gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian dan

Pusat Registrasi, dan (3) Tata cara pemeriksaan teknis kelembagaan dalam SRG.

Untuk penilaian kualitas aktiva bank umum berdasarkan peraturan Bank Indonesia

No. 9/6/PBI/2007. Dalam perjalanannya UU No.9 Tahun 2006 mengalami beberapa

perubahan pada beberapa pasal dan ayat, selanjutnya dilakukan amandemen dengan UU

No.9/2011. Beberapa pasal dan ayat yang diubah dalam amandemen, antara lain mencakup

Lembaga Jaminan RG dan hak penerima jaminan (Pasal 1), terkait hal-hal yang harus

dimuat dalam Resi Gudang (Pasal 5), terkait wewenang Badan Pengawas (Pasal 21),

Page 20: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

14

terkait sertifikat RG (Pasal 29), dan beberapa pasal terjadi penambahan ayat untuk

penjelas. Dasar hukum SRG secara rinci telah dibahas oleh Herlindah (2013) dan Ashari

(2011).

Page 21: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

15

V. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI INDONESIA 2008-2014

Data Bappebti (2008) dan kajian Putri (2012) menunjukkan bahwa sejak SRG

diinisiasikan pada tahun 2008 dan perkembangannya hingga tahun 2010, secara nasional

jumlah penerbitan RG mencapai 85 RG dengan volume 2.971,88 ton atau nilai setara Rp

10,45 miliar. Dari nilai RG yang diterbitkan, pengguna dapat mengajukan pembiayaan

kepada lembaga keuangan Bank dan non Bank dengan jaminan kepemilikan RG. Nilai

pembiayaan yang diterima dari lembaga keuangan sebesar Rp 4,47 miliar atau 42,8 persen

dari nilai RG yang diterbitkan.

Data resmi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti)

Kementerian Perdagangan memperlihatkan bahwa pelaksanaan SRG masih terbatas,

meskipun terjadi peningkatan cukup nyata dalam penerbitan resi gudang selama tiga tahun

terakhir (Tabel 5.1). Sejak 2008 - Desember 2014, dilaporkan 1.812 resi gudang telah

diterbitkan dengan total nilai Rp 362 miliar. Dari total RG yang telah diterbitkan, sebanyak

1.544 pemilik RG memperoleh kredit dari lembaga keuangan/perbankan dengan total nilai

kredit Rp 226 miliar. Dari perkembangan jumlah RG selama periode tahun 2008-2014,

terlihat pada tahun 2011 terjadi lonjakan jumlah RG sekitar lima kali lipat dibandingkan

tahun sebelumnya. Lonjakan jumlah RG diduga karena adanya penambahan pembangunan

gudang SRG di lima provinsi melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu di Provinsi

Sumatera Utara (2 kabupaten), Lampung (5 kabupaten), Jawa Timur (2 kabupaten), Jawa

Tengah (5 kabupaten) dan Gorontalo (1 kabupaten). Penambahan gudang SRG melalui

DAK dilanjutkan pada tahun 2012 di 11 provinsi yang tersebar di 14 kabupaten (Bappebti,

2011). Penambahan jumlah gudang SRG berpengaruh pada peningkatan jumlah RG yang

diterbitkan.

Tabel 5.1. Perkembangan Penerbitan dan Nilai RG serta Nilai Pembiayaan 2008-2014

Tahun Penerbitan Pembiayaan

Jumlah RG Nilai (Rp Juta ) Jumlah RG Nilai (Rp juta)

2008 16 1.432 6 313

2009 13 553 5 136

2010 57 8.679 35 4.216

2011 271 40.068 218 24.050

2012 379 93.183 334 58.654

2013 480 93.210 377 53.363

2014 596 124.966 569 84.780

Total 1.812 362.090 1.544 225.513

Sumber: Bappebti, Kementerian Perdagangan (2014)

Page 22: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

16

Berdasarkan jenis komoditas, jumlah dan nilai RG masih didominasi komoditas

gabah. Jumlah RG untuk komoditas lain seperti beras, jagung, dan kopi terlihat relatif

rendah. Dari total RG, 90,4 persen RG diterbitkan untuk komoditas gabah, 5,1 persen

untuk komoditas beras, 3,7 persen untuk komoditas jagung, dan 0,4 persen untuk

komoditas kopi. Akumulasi persentase jumlah penerbitan dan pembiayaan RG hingga

Desember 2014 berdasarkan jenis komoditas utama disajikan dalam Tabel 5.2 (Erwidodo,

2014).

Tabel 5.2. Nilai RG Berdasaran Jenis Komoditas Utama, 2014

Penerbitan Pembiayaan

Komoditas Jumlah RG Nilai

(Rp miliar) Jumlah RG

Nilai

(Rp miliar)

Gabah 1.636 306,291 1.407 192,614

Beras 93 38,322 83 23,666

Jagung 66 15,034 44 9,082

Kopi 15 1,111 10 151 Sumber: Bappebti, Kementerian Perdagangan (2014)

Menurut Menteri Perdagangan (2013), baru ada 81 unit gudang dan hanya mampu

menampung 5 persen kebutuhan pangan (beras) nasional. Kondisi ini sangat merugikan

petani, yang sulit mendapatkan kepercayaan kredit dari bank, karena tidak ada bukti

kepemilikan hasil produksi yang dapat dijadikan jaminan (agunan) untuk memperoleh

kredit perbankan. Terbatasnya ketersediaan gudang akan sangat menghambat

pengembangan SRG.

Berdasarkan informasi dari Bappebti, beberapa gudang yang berpotensi untuk

dijadikan gudang SRG, antara lain PT. Pertani memiliki 404 unit gudang yang tersebar di

Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTB, dan NTT. Sementara untuk PT. Bhanda Ghara Reksa

(BGR) memiliki 99 unit gudang yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, NTB, dan

Sulawesi, gudang PT. PPI sebanyak 108 unit. Selain itu, gudang milik Koperasi/KUD dan

gudang swasta lainnya juga berpotensi untuk dijadikan gudang SRG.

Sebagaimana UU RG No.9/2006, penyelenggara SRG dapat dilakukan oleh BUMN,

BUMD, perusahaan swasta dan koperasi. Namun data Bappebti memperlihatkan masih

sangat terbatasnya jumlah penyelenggara jasa RG. Pada akhir tahun 2014, Bappebti

melaporkan lima besar penyelenggara RG menurut nilai RG yang diterbitkan, yakni PT

Pertani (Rp 315 miliar), Koperasi Niaga Mukti (Rp 16,9 miliar), Koperasi Serba Usaha

(KSU) Annisa (Rp 16,8 miliar), PT Bhanda Ghara Reksa (Rp 6,6 miliar), dan PT Food

Station Cipinang Jaya (Rp 2,2 miliar). Atas dasar data tersebut, dipilih penyelenggaraan

Page 23: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

17

SRG oleh PT Pertani di Kabupaten Indramayu dan SRG di Subang oleh KSU Annisa untuk

mengetahui lebih rinci operasionalisasi SRG di lapangan.

Page 24: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

18

VI. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN CONTOH

6.1. Kinerja SRG di Kabupaten Indramayu

Hasil survey di Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa penyelenggaraan SRG

belum maksimal, terlihat dari sebagian besar petani yang masih enggan memanfaatkan

SRG untuk mengatasi fluktuasi harga dan sekaligus sebagai alternatif pembiayaan.

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian, dan

Perdagangan Kabupaten Indramayu, antara lain : (1) petani keberatan pembebanan ongkos

untuk hal-hal yang berkaitan pengemasan, karena biaya tersebut tidak diperhitungkan pada

saat penentuan harga jual gabah; (2) Biaya transportasi atau angkutan dari tempat panen ke

lokasi Gudang SRG yang dibebankan ke petani, dirasakan sangat memberatkan dan

semakin jauh jarak lokasi panen ke gudang SRG akan semakin mahal ongkos angkutnya;

dan (3) Kurangnya pemahaman petani tentang SRG, khususnya petani berlahan sempit

(kurang 0.5 hektar). Petani yang berlahan sempit umumnya berpikir praktis, ketika saat

panen tiba menginginkan segera menjual hasil panennya dan memperoleh uang tunai.

Kebutuhan dana tunai yang ingin segera diperoleh petani berlahan sempit dan banyaknya

pedagang yang menawarkan sistem tebasan mendorong petani yang berpikir praktis akan

segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan tersebut.

Berkembangnya sistem tebasan dianggap menguntungkan bagi petani berlahan

sempit, karena petani akan langsung mendapat uang tunai dan tidak dibebani biaya panen,

ongkos angkut, dan ongkos pengemasan. Sistem tebasan di Kabupaten Indramayu selama 3

tahun terakhir menawarkan harga relatif bagus, setara HPP gabah, artinya dari sisi

perhitungan finansial petani masih memperoleh keuntungan yang memadai, sedangkan

penebas (pedagang) berpeluang memperoleh keuntungan dengan cara tunda jual melalui

pemanfaatan SRG. Terciptanya harga tebasan relatif bagus, akibat persaingan penebas

yang datang tidak hanya dari Jakarta dan Bandung, tetapi juga dari Jawa Timur dan Jawa

Tengah. Banyaknya jumlah penebas, menyebabkan bargaining position petani cukup kuat.

Kondisi tersebut mendorong para petani berlahan sempit yang berpikir praktis memilih

segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan daripada menggunakan SRG.

Lambatnya penyebarluasan SRG di Kabupaten Indramayu, salah satunya karena

ketersediaan gudang SRG relatif terbatas. Hal ini menyulitkan petani yang memiliki lahan

sawah relatif jauh dari gudang, karena makin jauh jarak sawah ke gudang, beban biaya

transportasi makin mahal. Gudang SRG yang tersedia di Kabupaten Indramayu masih

terbatas pada gudang PT.Pertani yang berlokasi di Kecamatan Haurgeulis. Kapasitas

Page 25: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

19

gudang Haurgeulis mampu menampung dan menyimpan gabah sebanyak 1876 ton gabah.

Namun, kapasitas terpasang gudang tidak berhasil digunakan sepenuhnya (full capacity)

karena belum tersedianya alat pengangkat untuk menumpuk karungan gabah yang

tingginya lebih dari 10 meter.

Pengguna jasa RG baik di Indramayu tidak hanya petani perorangan, tetapi juga

Kelompok Tani (KT), Gapoktan, koperasi SBU, pedagang, dan perusahaan huller (RMU).

Dari 78 RG yang dikeluarkan pengelola gudang di Indramayu, sekitar 10 persen (8 RG)

diantaranya atas nama KSU. PT Pertani, sebagai Pengelola Gudang, menerbitkan RG

dengan volume (nilai) yang berbeda untuk masing-masing RG, disesuaikan jenis varietas

gabah dan status kepemilikan, yaitu: (i) 20 ton/RG untuk varietas IR, (ii) 16-17 ton/RG

untuk varietas Pandan Wangi, (iii) 200 ton/RG untuk varietas IR bagi Gapoktan, dan (iv)

400 ton/RG bagi KSU Bina Hasil Tani. Untuk kasus di Subang, kemasan minimum

ditetapkan 10 ton/RG. Sistem pengemasan masih diserahkan ke petani/pemilik barang,

namun kedepan pengelola gudang SRG di Indramayu dan Subang akan memberlakukan

karung kemasan yang seragam.

SRG di Indramayu umumnya dimanfaatkan petani/pedagang/kelompok pada saat

musim panen raya, yaitu sekitar bulan April-Mei. Jangka waktu RG atau lama

penyimpanan yang berlaku adalah tiga bulan. Jangka waktu ini disesuaikan dengan jangka

waktu tibanya musim panen berikutnya. Ketentuan ini bertujuan agar gudang RG sudah

kosong saat musim berikutnya panen tiba. Disamping itu, untuk menghindari

kerusakan/penyusutan serta turunnya harga jual gabah yang disimpan di gudang.

6.1.1. Proses Penerbitan Resi Gudang

Pada proses penerbitan dokumen RG, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan

calon pengguna RG. Alur penerbitan dokumen RG di Indramayu dapat dilihat pada

Gambar 6.1. Pada prinsipnya sebelum barang masuk gudang penyimpanan, kualitas barang

harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan pengelola gudang. Selanjutnya gabah yang

sudah kering, dikemas dalam karung sebanyak 50 kg GKG/kemasan dan dijahit secara

mekanis.

Sebelum masuk gudang, dilakukan uji mutu oleh lembaga uji mutu dengan beberapa

kriteria, salah satunya kadar air tidak boleh lebih dari 14 persen, karena kandungan kadar

air berpengaruh pada kualitas gabah. Pada proses persiapan ini, ketersediaan alat pengering

(dryer) sangat vital. Ketersediaan dryer yang dimiliki gudang PT. Pertani masih dirasakan

Page 26: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

20

kurang memadai untuk menampung gabah yang akan diresigudangkan. Untuk gudang

KSU Annisa, belum dilengkapi dryer hingga akhir 2014. Informasi yang diperoleh dari

pengelola gudang, pengadaan dryer masih dalam proses.

Sebelum barang masuk gudang, terlebih dahulu dilakukan proses uji mutu barang

oleh Ujatasma (anak perusahaan Bulog), penaksiran nilai barang, asuransi, dan registrasi.

Taksiran harga didasarkan pada harga pasar di wilayah tersebut. Setelah kelengkapan

dokumen administrasi terpenuhi, selanjutnya barang diangkut ke gudang pengelola RG.

Proses dari barang masuk gudang hingga penerbitan RG membutuhkan waktu kurang lebih

3 hari. Selanjutnya RG tersebut dapat digunakan sebagai agunan untuk memperoleh kredit

dari bank, dalam hal ini bank yang ditunjuk menjadi rekanan untuk pengelolaan RG adalah

Bank BJB KCP Haurgeulis.

Sumber : Gudang Pengelola SRG PT.Pertani Kabupaten Indramayu (2014)

Gambar 6.1. Skema Alur Penerbitan Resi Gudang di Gudang PT. Pertani, Kabupaten Indramayu

6.1.2. Analisis Biaya Resi Gudang

Biaya penyimpanan barang di gudang SRG bervariasi tergantung lamanya waktu

simpan. Untuk gudang PT.Pertani di Indramayu biaya gudang ditetapkan : Rp 75/kg untuk

Gabah Basah/Kering Panen milik

petani, kelompok, pedagang,

pengepul, penggilingan padi

GKG milik Perorangan/

Kelompok

Masuk Gudang PT.Pertani

- Lulus uji mutu

- Registrasi

- Penaksiran harga

- Asuransi

Penerbitan Resi Gudang

Persyaratan permohonan

RG terpenuhi

Jaminan Kredit

Bank BJB

Pengeringan dan Pengemasan

Page 27: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

21

3 bulan, Rp 90/kg untuk 4 bulan, Rp 105/kg untuk 5 bulan, dan Rp 120/kg untuk 6 bulan

(maksimum). Biaya gudang mencakup empat komponen, yaitu (1) biaya bongkar sebesar

Rp 10/kg, (2) biaya uji mutu sebesar Rp 5/kg, (3) biaya psrg & asuransi sebesar Rp 10/kg,

dan (4) biaya perawatan sebesar Rp 10/kg. Namun sebelum barang digudangkan, proses

pengeringan hingga pengemasan memakan biaya Rp 200/kg gabah basah atau Rp 250/kg

GKG.

Untuk memperoleh gambaran tentang perhitungan resi gudang, berikut dijelaskan

analisis biaya RG kasus penyimpanan barang sebanyak 20 ton GKG varietas Ciherang

dengan lama penyimpanan 3 bulan di Gudang PT. Pertani, Indramayu. Rincian

perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Analisis Biaya Sistem Resi Gudang Gabah di Indramayu, 2014

No. Uraian Nilai (Rp) Pangsa thd. Nilai

Barang (%)

1. Nilai taksiran barang (Rp 5.000/kg x 20 ton) 100.000.000 100,00

2. Biaya :

a. Biaya pra-gudang (pengeringan, pengemasan

dengan karung, jahit karung dengan mesin)

(Rp 250/kg GKG x 20 ton)

b. Biaya gudang

- Biaya bongkar (Rp 10/kg x 20 ton)

- Biaya uji mutu (Rp 5/kg x 20 ton)

- Biaya registrasi & asuransi

(Rp 10/kg x 20 ton)

- Biaya perawatan (Rp 10/kg x 20 ton)

c. Jasa sewa gudang (Rp 40/kg x 20 ton)

d. Total biaya (2a + 2b)

5.000.000

200.000

100.000

200.000

200.000

800.000

6.500.000

5,00

0,20

0,10

0,20

0,20

0,80

6,50

Sumber : Gudang PT.Pertani Kabupaten Indramayu (2014)

Berdasarkan Tabel 6.1, pangsa biaya pra-gudang ternyata lebih besar (5 %)

dibandingkan biaya gudang sebesar 1,5 persen. Komponen terbesar dari biaya pra-gudang

terletak pada biaya pengeringan dari gabah basah ke gabah kering. Proses pengeringan

tidak diharuskan di dryer milik PT.Pertani, petani boleh melakukan pengeringan sendiri

asal memenuhi standar mutu gudang (kadar air 14 %). Pengelola gudang hanya

mewajibkan petani untuk menjahit karung kemasannya di PT.Pertani, karena harus

menggunakan jahit mesin agar kemasan kuat dan tidak mudah rusak. Biaya pra-gudang

belum memperhitungkan ongkos angkut dari sawah petani ke gudang PT.Pertani.

Untuk biaya gudang, terdapat beberapa komponen yang harus dibayar pemilik

barang. Bongkar barang ditangani langsung oleh tenaga kerja PT.Pertani. Uji mutu barang

dilakukan lembaga di luar PT.Pertani dengan biaya Rp 5/kg GKG. Untuk barang yang

Page 28: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

22

akan diresigudangkan, barang harus diregistrasi ke Kliring Berjangka Indonesia (KBI) dan

diasuransikan, dalam hal ini PT.Pertani menggunakan rekanan PT.Sinar Mas sebagai

penjamin risiko barang. Kegiatan registrasi dan asuransi tersebut dikenakan biaya sebesar

Rp 5/kg. Biaya sewa gudang merupakan penerimaan PT.Pertani atas jasa penyewaan

gudang. Biaya keseluruhan dari pra-gudang hingga diterbitkannya RG, seluruhnya sebesar

6,5 persen dari nilai RG, dengan catatan biaya angkut gabah dari sawah ke lokasi gudang

belum diperhitungkan. Biaya angkut gabah berbanding lurus dengan jarak, makin jauh

jarak sawah ke gudang PT.Pertani, maka ongkos angkut makin mahal. Oleh karena itu,

PT.Pertani akan membatasi barang yang masuk ke gudang maksimal jarak dari lokasi

sawah ke gudang sekitar 40 km. Jika jaraknya lebih dari 40 km, maka disarankan untuk

memanfaatkan gudang PT.Pertani lainnya yang jaraknya dari lokasi sawah relatif lebih

dekat. Proses penerbitan resi gudang rata-rata memakan waktu sekitar 3 hari.

6.1.3. Resi Gudang sebagai Alternatif Pembiayaan

Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh Pengelola Gudang yang telah memperoleh

persetujuan Bappebti. Resi gudang yang telah diperoleh, selanjutnya dapat dijadikan

agunan untuk memperoleh pinjaman dari bank, dalam hal ini Bank BJB Indramayu.

Sebelum kredit dicairkan, akan dilakukan survey dengan cara mengecek kondisi barang di

gudang PT.Pertani. Secara paralel seorang Analis akan melakukan pengecekan dokumen

RG ke kantor Kliring Berjangka Indonesia (KBI) melalui sistem online (IS-WARE).

Melalui sistem online ini juga RG yang akan dijaminkan didaftarkan ke KBI sebagai resi

yang mengajukan permohonan kredit.

Menurut informasi dari Bank BJB Indramayu, pemberian kredit kepada pemilik resi

gudang atas nama kelompok maksimum 70 persen dari nilai RG. Jika pemilik resi gudang

atas nama perorangan, nilai kredit yang diberikan maksimum Rp 75 juta. Bank tidak

mengenakan biaya administrasi untuk setiap permohonan pinjaman melalui agunan RG.

Bahkan pemilik RG akan memperoleh subsidi bunga dari pemerintah, sehingga tingkat

bunga yang dibebankan pemilik RG relatif kecil. Tingkat suku bunga SRG ditetapkan

sebesar tingkat bunga pasar yang berlaku dengan ketentuan paling tinggi sebesar suku

bunga penjaminan simpanan pada bank umum yang ditetapkan oleh lembaga penjaminan

simpanan ditambah 6,75 %. Beban bunga kepada peserta SRG ditetapkan sebesar 6%.

Selisih tingkat bunga SRG dengan beban bunga peserta SRG merupakan subsidi

pemerintah. Jika diasumsikan nilai RG sebesar Rp 100 juta (mengacu pada Tabel 6.1) dan

barang disimpan selama 2 bulan dengan tingkat bunga 6 %/thn, maka biaya bank yang

Page 29: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

23

harus ditanggung pengguna sebesar Rp 700 ribu atau 0,7 persen dari nilai RG. Penyaluran

kredit resi gudang selama periode tahun 2010-2012 berjalan lancar, namun pada tahun

2013-2014 sedikit ada masalah.

6.2. Kinerja SRG di Kabupaten Subang

6.2.1. Potensi dan pelaku usaha komoditas padi

Kabupaten Subang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat

setelah Indramayu dan Karawang, sekaligus menjadi penyumbang/kontributor produksi

padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Potensi lahan sawah pada tahun 2013 mencapai luasan

84.928 hektar atau 41,39 persen dari total luas wilayah Kabupaten Subang dan sebagian

besar lahan sawah berpengairan teknis. Dari luasan sawah tersebut potensi produksi padi

sawah di Kabupaten Subang pada tahun 2013 mencapai 1,2 juta ton, dengan luas panen

177,5 ribu hektar dan rata-rata produksi mencapai 6,79 ton per hektar. Potensi produksi

padi sawah paling besar tercatat di Kecamatan Ciasem (99.843 ton), Patokbeusi (84.297

ton), Tambakdahan (77.623 ton), serta Kecamatan Blanakan (68.692 ton) (BPS Kabupaten

Subang, 2014).

Berdasarkan produksi padi yang dihasilkan dari 30 wilayah kecamatan yang ada di

Kabupaten Subang (1,2 juta ton), diperkirakan baru sebagian kecil produksi yang telah

diikutsertakan dalam program SRG. Selain penyelenggaraan SRG masih terkonsentrasi

pada beberapa kecamatan juga spesifikasi jenis padi yang ditangani masih terfokus pada

padi ketan sebagai komoditas yang dikelola oleh SRG. Dengan mengacu pada jumlah

produksi padi yang dihasilkan dari setiap wilayah produksi tersebut, maka potensi

pengembangan program SRG, khususnya untuk komoditas gabah dan beras masih sangat

prospektif dilaksanakan di wilayah Kabupaten Subang.

Disisi lain data pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Subang pada tahun 2013

(BPS Kabupaten Subang, 2014), menunjukkan bahwa jumlah petani penggarap mencapai

461.634 orang, terdiri atas pemilik sawah 33,08 persen dan sebagian besar (66,92 %)

sebagai penggarap bukan pemilik sawah. Jika dikaitkan dengan luas areal sawah yang ada

di Kabupaten Subang pada tahun 2013, maka rata-rata lahan yang digarap oleh petani

pemilik dan bukan pemilik, menunjukkan rata-rata pengusahaan lahan hanya 0,184 hektar

per penggarap serta hasil produksi yang diperoleh rata-rata hanya mencapai 2,61 ton untuk

setiap petani penggarap.

Page 30: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

24

Besarnya persentase petani penggarap yang bukan pemilik lahan garapan, baik itu

dilakukan dengan sistim sewa, maro, bagi hasil dan pola penggarapan lainnya akan sangat

menentukan pada proses pengambilan keputusan dalam penjualan hasil panen (jual

langsung atau tunda-jual). Kelembagaan lain terkait usahatani di kabupaten Subang seperti

bawon, borongan dan lainnya turut mewarnai keputusan yang akan diambil terkait

pemasaran hasil panen terutama yang mengarah pada penerapan SRG.

6.2.2. Kinerja KSU Annisa sebagai Pengelola SRG

Penyelenggaraan Skim SRG di Kabupaten Subang dilaksanakan melalui model

kegiatan usaha yang dikelola oleh Koperasi. Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa yang

berlokasi di Kecamatan Binong, memulai usahanya pada tahun 2008 dengan mengelola

komoditas khusus (gabah dan beras ketan) yang diprogramkan oleh Ditjen P2HP

Kementerian Pertanian di wilayah Kecamatan Binong dan kecamatan sekitarnya di

Kabupaten Subang. Pelaksanaan program tersebut ditujukan untuk mengurangi substitusi

impor sebesar 10 persen.

Dalam percepatan penyelenggaraan SRG di wilayah kerjayanya, KSU Annisa pada

tahun 2010 memperoleh kesempatan untuk menggunakan/mengelola fasilitas gudang milik

Bappebti yang ada di Kecamatan Binong. Jenis komoditas yang diusahakan dalam

penyelenggaraan SRG, difokuskan pada komoditas gabah ketan varietas Derti dan Gebro

yang banyak ditanam masyarakat di sekitarnya. Penanaman beras ketan di Kabupaten

Subang secara intensif dilakukan sejak tahun 2002 di Desa Citra Kecamatan Binong,

Subang, Jawa Barat. Pola tanam padi ketan dilakukan petani dua kali setahun. Musim

panen raya biasanya terjadi pada bulan April dan Agustus. Rata-rata produksi pada bulan

April mencapai 7,5 ton/hektar, sedangkan pada bulan Agustus rata-rata 6 ton/hektar.

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen P2HP) telah

menggalang kemitraan antara petani beras ketan dengan penggilingan dan importir melalui

program substitusi beras ketan impor di Subang Jawa Barat. Selama periode tahun 2010-

2011, luas areal ketan mencapai ± 7.250 ha yang tersebar di 8 kecamatan dan 30 desa.

Kebijakan substitusi impor sebesar 75 persen yang diprogramkan Ditjen P2HP berdampak

pada penyerapan beras ketan lokal. Program ini cukup berhasil, terlihat dari minat petani

untuk tetap memilih komoditas gabah ketan sebagai komoditas usahataninya.

Meningkatnya produksi gabah ketan dan tidak adanya kebijakan HPP untuk gabah ketan,

mendorong harga gabah ketan berfluktuasi di pasaran (Sinar Tani, 2011). Untuk

Page 31: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

25

melindungi petani dari ketidakstabilan harga tersebut, instrumen SRG yang dikelola KSU

Annisa diharapkan mampu menjadi solusi pengguna.

Pada akhir tahun 2014, Bappebti melaporkan lima besar penyelenggara RG

menurut nilai RG yang diterbitkan. KSU Annisa merupakan salahsatu penyelenggara SRG

yang termasuk berhasil berdasarkan jumlah RG yang diterbitkan. Jumlah RG yang

diterbitkan oleh pengelola SRG KSU Annisa mencapai 173 dengan nilai Rp 16,85 miliar.

Dari jumlah RG yang diterbitkan, sebanyak 170 RG (98,27 %) diajukan menjadi sumber

pembiayaan dengan nilai kredit sebesar Rp 11,56 miliar melalui Bank BJB (Bank Jabar-

Banten) Cabang Kabupaten Subang. Hanya 1,73 persen RG yang disimpan sebagai tanda

bukti kepemilikan barang di gudang SRG dan tidak diajukan untuk jaminan kredit.

Pelaksanaan SRG oleh KSU Annisa terus berkembang, sejalan dengan program

pengembangan komoditas padi ketan yang diintroduksikan. Pengelolaan gudang SRG yang

semula hanya 1 unit tidak mampu menampung produksi gabah ketan petani yang terus

bertambah. Meningkatnya jumlah petani yang menjadi pengguna SRG, KSU Annisa

memutuskan untuk menambah gudang melalui sistem sewa. Berdasarkan informasi

pengelola gudang, biaya sewa gudang mencapai Rp 11.500/m2 per 5 bulan atau Rp

27.600/m2

per tahun. Hingga akhir 2014, gudang SRG yang dikelola KSU Annisa

seluruhnya menjadi 4 unit gudang SRG dimana, 3 unit dalam bentuk sewa dan 1 unit

melalui pinjam pakai milik Bappebti. Lokasi gudang berada di Kecamatan Binong (3 desa)

dan di Kecamatan Compreng (1 desa). Luas keempat gudang mencapai 2.180 m2 dengan

daya tampung sebanyak 2.790 ton. Kondisi pada bulan Desember 2014, pengisian gudang

baru mencapai 2.636,5 ton (94,5 %), artinya gudang masih memiliki kapasitas simpan

sebesar 5,5 persen, jika terjadi penambahan barang dari pengguna.

Salah satu gudang yang disewa KSU Annisa pada dasarnya merupakan milik

pengurus kelompok tani yang juga menjadi anggota KSU Annisa dan pengelola SRG. Hal

ini dilakukan karena jumlah dan ketersediaan gudang yang ada di wilayahnya juga

terbatas. Lokasi gudang tersebut berada diantara lahan usahatani yang dikelola petani yang

menjadi anggota kelompok. Pemanfaatan gudang tersebut dapat mengurangi beban biaya

transportasi, khususnya untuk ongkos angkut yang harus dikeluarkan petani pada saat

membawa gabah hasil panen atau beras yang akan disimpan ke gudang SRG KSU Annisa.

Gudang SRG umumnya menerima banyak gabah pada bulan April – Mei serta pada

bulan Oktober - Desember dan mulai terjual pada bulan Januari - Februari. Jangka waktu

penyimpanan gabah ketan di gudang tergantung kualitas gabah yang ditentukan dari kadar

Page 32: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

26

airnya. Proses pengeringan gabah yang dilakukan sangat memegang peranan penting,

terkait dengan proses penyimpanan dan kualitas gabah yang dihasilkan. Penanganan

maupun sarana pengeringan akan menentukan kandungan kadar air dan kualitas gabah

yang selanjutnya akan berpengaruh pada masa penyimpanan. Pengeringan gabah dengan

dryer dapat menghasilkan gabah dengan kadar air 14 persen, sedangkan pengeringan

dengan panas matahari menghasilkan gabah dengan kadar air lebih dari 14 persen. Gabah

dengan kadar air hingga 14 persen dapat disimpan di gudang selama 3-6 bulan, sebaliknya

jika kadar air lebih dari 14 persen, maka gabah hanya tahan disimpan selama 2-3 bulan.

6.2.3. Proses penerbitan Resi Gudang di KSU Annisa

Penerbitan RG diawali dengan proses permohonan yang dilakukan pemilik barang

baik atas nama individu atau kolektif. Setiap pemohon resi gudang harus mengikuti aturan

yang ditetapkan pengelola gudang, sesuai ketentuan yang sudah dipersyaratkan dalam

peraturan Menteri Perdagangan. Proses penerbitan resi gudang yang dilakukan di KSU

Annisa dapat dilihat pada Gambar 6.2.

Dalam permohonan penerbitan RG, pengelola gudang mensyaratkan bahwa untuk

mendapatkan satu sertifikat RG atau untuk satu nama (pemohon) kepemilikan RG,

pengajuan barang (gabah) minimal 10 ton gabah yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, jika

volume barang yang dimiliki petani kurang dari 5 ton atau dari jumlah yang ditetapkan,

maka petani tersebut harus bergabung dengan petani lain atau kelompok tani, hingga

mencapai volume minimal yang disyaratkan pengelola gudang.

Berdasarkan pengalaman pengelola gudang, proses pengusulan untuk permohonan

RG melalui satu nama yang tergabung dalam Gapoktan ataupun Koptan, akan sangat

memudahkan dalam pengaturan administrasi pengelola gudang. Namun keinginan

pengelola gudang ini perlu mempertimbangkan kepentingan dan fleksibilitas pemilik

barang untuk sewaktu-waktu menarik dan menjual barangnya untuk memenuhi kebutuhan

keluarganya. Bagi pengelola gudang menerbitkan RG dalam volume besar mungkin lebih

efisien karena mengurangi waktu pengurusan dan proses administrasi penerbitan RG.

Sebaliknya, bagi pemilik barang, RG dalam pecahan volume kecil akan memberikan

flexilibitas bagi pemilik dalam melakukan strategi pemasaran untuk memperoleh

keuntungan maksimum, sebagaimana ungkapan ”do not put your eggs in one basket”.

Kegiatan pra-gudang untuk gabah yang akan diresigudangkan di KSU Annisa,

seluruhnya dilakukan pemilik barang. Hal ini mengingat sejak beroperasi hingga Desember

Page 33: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

27

2014, KSU Annisa belum memiliki fasilitas untuk kegiatan pra-gudang, seperti

pengeringan, pengemasan, dan proses penjahitan karung. Secara teknis, pengelola gudang

menerima barang yang sudah dikemas oleh pemilik barang. Namun demikian sebelum

barang diterima untuk masuk ke gudang, pengelola terlebih dahulu melakukan pengecekan

atas ketersediaan tempat di gudang dan uji mutu barang melalui Ujastasma Bulog Subdrive

Kabupaten Subang sebagai lembaga kompeten yang ditunjuk untuk melakukan hal

tersebut.

Sumber : KSU Annisa (diolah)

Gambar 6.2. Bagan Alir Sistem Resi Gudang di KSU Annisa, Kabupaten Subang

Permohonan Simpan

Barang

Ruang Tersedia Mutu Barang

Sesuai?

Pembongkaran,

penimbangan dan

penumpukkan barang

Asuransi barang

Penerbitan Resi

Gudang

Penyimpanan dan Perawatan

Barang

Penyelesaian

Transaksi

Penjaminan

Resi Gudang

Pengalihan

Resi Gudang

Perubahan pembebanan hak

jaminan

Penghapusan pembebanan hak

jaminan

Cidera janji?

Penyerahan obyek hak jaminan

STOP

RG

dijaminkan

tidak tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

tidak

tidak

tidak

Page 34: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

28

Setiap barang yang akan diresigudangkan harus memenuhi standar mutu yang

ditetapkan pengelola gudang. Standar mutu ditetapkan menurut jenis komoditas yang

dikelola oleh SRG. Standar mutu beras giling yang ditetapkan gudang KSU Annisa sesuai

SNI 01-6128-1999. Standar yang sudah ditetapkan untuk mutu beras giling, meliputi

derajat sosoh, kadar air maksimum, persentase beras kepala dan keutuhan butiran, benda

asing serta tingkat kebersihan dalam proses pengilingan gabah menjadi beras. Sementara

untuk penetapan mutu gabah sesuai SNI 01-0224-1987. Standar mutu gabah yang

dipersyaratkan meliputi, persentase jumlah kadar air, gabah hampa, kwalitas butiran gabah,

benda asing maupun jenis varietas gabah yang akan disimpan di gudang SRG.

Pada saat proses barang sudah lolos uji mutu dan tempat di gudang masih tersedia,

maka pengelola gudang akan menerima barang tersebut untuk diproses masuk

penyimpanan di gudang. Sebelum RG diterbitkan, pengelola gudang juga harus mengurus

asuransi sebagai penjamin risiko kerusakan atau kehilangan barang selama disimpan di

gudang. Dalam dokumen Resi Gudang tercantum bahwa barang yang disimpan di gudang

SRG diasuransikan terhadap resiko kebakaran, melalui perusahaan Asuransi Central Asia.

Setelah seluruh tahapan dalam proses SRG dilakukan, pengelola gudang akan segera

menerbitkan RG. Selanjutnya RG tersebut dapat dijadikan sebagai agunan untuk

mengajukan kredit di bank BJB cabang Kabupaten Subang. Proses permohonan kredit di

Bank BJB Kabupaten Subang relatif sama dengan proses permohonan kredit di Bank BJB

lainnya yang memberikan fasilitas kredit melalui kegiatan SRG. Hal ini karena kebijakan

perbankan BJB dalam proses kredit untuk kegiatan SRG telah ditentukan melalui standar

ketentuan secara terpusat. Besaran skim kredit melalui instrumen RG ditetapkan 70 persen

dari nilai RG atau maksimum sebesar Rp. 75 juta untuk perorangan/individu.

6.2.4. Proses penaksiran harga

Proses penaksiran harga pada komoditas gabah ketan yang diresigudangkan di KSU

Annisa, dilakukan pengelola gudang dengan beberapa tahapan. Tahapan yang dilakukan,

yaitu; (1) melakukan survey harga pasar; (2) memperkirakan biaya angkut gabah dari

lokasi sawah ke gudang; dan (3) memperhitungkan biaya penyusutan barang pada proses

pengeringan. Sebagai ilustrasi, dengan menggunakan harga pasar gabah dan komponen

biaya 2014, tahapan penaksiran harga gabah ketan yang akan diresigudangkan disajikan

pada Gambar 6.3.

Page 35: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

29

Sumber : Informasi dari KSU Annisa, 2014 (diolah)

Gambar 6.3. Proses Penaksiran Harga Gabah Ketan di Pengelola Gudang KSU Annisa KabupatenSubang

SURVEY HARGA PASAR

- Gabah ketan kualitas rendah Rp 5500/kg

- Gabah ketan kualitas sedang Rp 5800/kg

- Gabah ketan kualitas tinggi Rp 6100-6200/kg

Biaya angkutan dari

sawah ke gudang

Pada tahap awal, survey harga pasar dilakukan dengan cara melihat harga pasaran

gabah ketan dengan beragam kualitas di beberapa bakul, Penggilingan Beras (PB) dan

calo-calonya serta berdasarkan harga standar musim sebelumnya. Setelah diperoleh harga

rata-rata, selanjutnya memperhitungkan biaya angkutan dari sawah ke gudang SRG, dan

biaya penyusutan gabah setelah proses pengeringan.

Proses penaksiran harga harus didasarkan pada harga yang terjadi di pasaran. Jika

taksiran harga lebih tinggi dari pasaran (over-estimate), akan berpotensi menimbulkan

masalah ketika RG dijaminkan ke bank untuk memperoleh kredit. Taksiran harga yang

cenderung tinggi, berpeluang barang sulit terjual hingga batas jatuh tempo dan pada

akhirnya muncul NPL (Non-Performing Loan) atau kredit macet. Pada umumnya pembeli

gabah dari gudang KSU Annisa adalah unit Penggilingan Beras. Jika pembelinya

penggilingan beras, maka yang dijadikan patokan harga untuk pembelian gabah adalah

konversi harga eceran beras ketan.

Dalam proses penggilingan gabah ke beras rata-rata rendemennya sebesar 54

persen. Sebagai gambaran jika gabah yang digiling sebanyak 10 ton, maka akan diperoleh

beras ketan sebanyak 5,4 ton. Pembeli (PB) akan memperoleh keuntungan dari produk

sampingan hasil pengolahan gabah ke beras, berupa menir sebesar 10 persen dan dedak 1

persen dari total volume gabah yang digiling. Menir dan dedak sebagai hasil sampingan

pada saat penggilingan gabah, mempunyai nilai jual masing-masing Rp. 8.500/kg dan Rp.

2.300/kg.

Harga Rata-rata

Rp. 6.000/kg

Rp 580/kg

Harga taksiran gabah ketan

Rp 7.000/kg

Biaya penyusutan

pada proses

pengeringan sekitar

15-20 %

Page 36: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

30

6.2.5. Kinerja Pengguna SRG

Pengguna SRG yang dikelola KSU Annisa, baru mencapai 200 orang petani, baik

secara individu maupun tergabung dalam kelompok tani dan Gapoktan “Tani Sejahtera”.

Selain petani dan kelompok tani, pengguna SRG juga terdiri atas 6 orang pedagang yang

sekaligus merupakan anggota kelompok tani yang secara bersama-sama memanfaatkan 4

gudang yang disediakan oleh pengelola. Jumlah anggota gapoktan seluruhnya mencapai

426 orang yang terdiri atas 8 kelompok tani, dan 6 kelompok diantaranya yang telah aktif

memanfaatkan SRG. Total luas sawah dari seluruh anggota gapoktan (420 petani)

mencapai 517 hektar. Dengan demikian tidak seluruh anggota gapoktan memafaatkan SRG

sebagai sarana untuk memasarkan hasil panennya.

Bagi petani yang tidak memanfaatkan SRG, hasil panen langsung dijual lepas ke

kelompok tani dan langsung mendapat uang tunai. Petani tidak bisa menahan gabah hingga

kering karena tidak memiliki tempat penyimpanan maupun tempat jemur. Dorongan

kebutuhan untuk pemenuhan konsumsi dan keperluan uang tunai untuk memenuhi

kebutuhan rumah tangga menjadi alternatif para petani, khususnya petani berlahan sempit

harus segera menjual gabah. Sebagian petani dengan terpaksa menjual gabah ke tengkulak

dengan konsekuensi memperoleh harga rendah (Bappepti, 2008).

Sebagian besar petani yang berlahan terbatas, umumnya menjual hasil panennya

secara tebasan. Kecenderungan menggunakan sistem tebasan karena : (1) pertimbangan

perhitungan biaya panen dan proses penanganan hasil yang harus dikeluarkan; (2) adanya

kebutuhan dana tunai yang mendesak, (3) tidak mau menjalani proses SRG yang dianggap

rumit; (4) kurangnya pemahaman SRG, dan (5) berkaitan dengan kurangnya sosialisasi

awal dan para petani belum merasakan manfaat SRG.

Dalam memanfaatkan SRG, Gapoktan juga tidak hanya mengandalkan pembelian

gabah dari anggotanya. Secara aktif gapoktan melakukan pembelian gabah dari luar

anggota gapoktan. Pemahaman pengurus tentang konsep SRG, mendorong pengurus

gapoktan lebih aktif melakukan pembelian gabah untuk diresigudangkan, sekaligus

melakukan sosialisasi SRG kepada para petani. Dalam aktivitas ini, pengurus tidak hanya

berperan sebagai petani atau ketua kelompok, tetapi juga berperan sebagai pedagang.

Pemanfaatan SRG dilakukan melalui kelompok secara intensif pada tahun 2011.

Pada tahun 2014, jumlah gabah yang diikutsertakan dalam kegiatan SRG mencapai 2.800

ton. Proses pengajuan RG pada tahap I dilakukan atas nama Gapoktan yang mewakili 426

anggota. Pada tahap II pengurusan RG menggunakan atas nama perorangan. Berdasarkan

Page 37: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

31

pengalaman kelompok, pengajuan secara perorangan dirasakan lebih rumit dibandingkan

dengan sistem gabungan kelompok tani (gapoktan). Pengajuan melalui gapoktan dianggap

lebih efisien, sederhana dan lebih nyaman dalam proses pengajuan di Bank, karena proses

kelengkapan dokumen yang harus disiapkan secara kelompok lebih mudah.

Meskipun masih banyak petani yang enggan mengimplementasikan SRG, KSU

Annisa dianggap cukup sukses mengelola gudang SRG, terlihat dari ekspansi pengadaan

gudang yang tersebar di beberapa desa di Kecamatan Binong. Keberhasilan ini tidak

terlepas dari hasil sosialisasi secara gencar yang dilakukan selama tahun 2012-2013,

hingga petani mendapat informasi tentang manfaat adanya SRG. Proses sosialisasi

dilakukan dari anggaran pemanfaatan RG. Pada periode selanjutnya, intensitas pertemuan

petani untuk kegiatan sosialisasi dilakukan di gapoktan. Kegiatan sosialisasi juga

dilakukan di kabupaten dengan penyuluh swadaya, dan kemudian dengan RMU.

6.2.6. Prospek dan perkiraan keuntungan penyelenggaraan SRG

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Bappebti dan Putri (2012), tentang

manfaat penerapan SRG bagi pengelola maupun pengguna khususnya yang dilaksanakan

di KSU Annisa pada bulan Oktober, secara finansial menguntungkan (Tabel 6.2). Asumsi

yang digunakan pada Tabel 6.2, berdasarkan volume gabah ketan yang disimpan sebanyak

60 ton dengan harga pasar Rp. 5.000/kg. Biaya penyimpanan yang dibayarkan kepada PT.

Pertani selaku Pengelola Gudang di Kabupaten Subang adalah sebesar Rp. 4,5 juta. Pada

bulan Desember gabah ketan yang disimpan selama 2 bulan dibeli dengan harga Rp

5.900/kg. Dalam selang waktu 2 bulan KSU Annisa memperoleh selisih harga sebesar Rp

900/kg.

Tabel 6.2. Analisa Simulasi Potensi Keuntungan Penyelenggaraan SRG di Kabupaten

Subang

Uraian Rincian Nilai (Rp 000)

Gabah dijual langsung 60 ton x Rp. 5.000/kg 300.000

Biaya penyimpanan 2 bln 4.500

Biaya bunga bank 6 % x 2/12 x Rp 189 juta 1.890

Harga jual setelah simpan 2 bln 60 ton x Rp 5.900/kg 354.000

Keuntungan *)

47.610 Sumber : Putri (2012)

Keterangan : *) Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya

penyimpanan + biaya bunga)

Analog dengan simulasi perhitungan Tabel 6.2, jika digunakan untuk kondisi data

yang diperoleh dari hasil penelitian Analisis Kebijakan pada Desember 2014, dengan

Page 38: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

32

volume gabah yang disimpan di 4 lokasi Gudang KSU Annisa mencapai 2.636,5 ton gabah

ketan. Biaya sewa gudang sebesar Rp 11.500/m2/ 5 bulan dengan luas/kapasias total 3 unit

gudang (sewa) mencapai 1.480 m2. Harga pembelian gabah ketan Rp 6.000/kg GKG.

Harga jual setelah masa simpan 2 bulan diproyeksikan dengan harga Rp 7.000/kg. Analisa

keuntungan pada proses pengelolaan gudang SRG di KSU Annisa dapat dilihat pada Tabel

6.3.

Tabel 6.3. Analisa Simulasi Keuntungan pada Proses Penyelenggaraan SRG di Gudang

KSU Annisa, Kabupaten Subang

Uraian Rincian Nilai (Rp 000)

Gabah dijual langsung 2.636,5 ton x Rp 6.000/kg 15.819.000

Biaya sewa gudang 2 bln 6.808*

Biaya bunga Bank 6 % x 2/12 x Rp 11.563 juta** 115.630

Harga jual setelah disimpan 2 bln 2.636,5 ton x Rp 7.000/kg 18.455.500

Keuntungan ***

2.514.062 Keterangan : * = Penggunaan gudang milik Bappepti (700 m²) tidak dikenakan biaya sewa

** = Data terakhir Bappepti 2014 : Asumsi dari 170 RG yang diajukan KSU Anisa dengan nilai kredit

Rp 11,563 miliar, melalui Bank BJB Cabang Kabupaten Subang

*** = Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya penyimpanan + biaya bunga)

Sementara untuk biaya operasional gudang dan lainnya, secara tidak langsung

ditanggung oleh pemilik barang (pengguna), melalui jasa penyimpanan gabah

petani/pengguna di gudang sebesar Rp 100/kg untuk perhitungan biaya penyimpanan

maksimal gabah selama 4 bulan atau Rp 50/kg per 2 bulan. Biaya penyimpanan tersebut,

meliputi; biaya uji mutu, asuransi, tagihan KBI, perawatan dan fumigasi, gaji karyawan

dan biaya lain.

Biaya-biaya pra-gudang yang dibayar/dikeluarkan oleh petani/pengguna, meliputi ;

biaya pengeringan, karung dan bongkar-muat, diperhitungkan mencapai rata-rata Rp 275

per kg dan untuk proses penyimpanan gabah di Gudang SRG Rp100/kg. Jumlah biaya

keseluruhan yang dibayar petani/pengguna, mencapai Rp 375 per kg atau setara dengan

5,36 persen dari taksiran nilai gabah jenis ketan (Rp 7.000/kg), dimana rata-rata harga

penjualannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis gabah dari varietas padi

lainnya (Tabel 6.4).

Berdasarkan analisis simulasi data pada Tabel 6.2 dan 6.3, pengelolaan SRG untuk

komoditas gabah ketan menunjukkan potensi keuntungan dan cukup propektif, sekalipun

dalam tulisan ini nilai atau hasil keuntungan akhir yang diperoleh pengelola maupun

pengguna sebagai pendapatan riel, belum diperhitungkan dengan pengurangan seluruh

biaya manajemen usaha pengelola maupun biaya usahatani yang dikeluarkan petani

Page 39: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

33

sebagai pengguna. Namun demikian diperoleh gambaran awal bahwa jika kapasitas dan

volume gabah ketan yang tersimpan melalui pengelola SRG dalam jumlah cukup banyak,

maka kegiatan pengelolaan SRG sebagai pendekatan bisnis, sangat memungkinkan

menjadi peluang bagi para pelaku usaha lain, melakukan investasi dalam pengelolaan jasa

SRG, serta usaha jasa pendukung lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan program

SRG di Kabupaten Subang. RG juga akan menjadi peluang bisnis bagi kalangan perbankan

dan pengembangan layanan jasa kredit bagi para nasabahnya (Erawan, 2008).

Tabel 6.4. Analisa Simulasi Biaya Petani Pengguna SRG di KSU Annisa, di Kabupaten

Subang 2014

No Uraian

Ketentuan

Pengelola

Gudang

Harga dan

Biaya

(Rp/kg)

Nilai

(Rp 000)

Pangsa Thd

Nilai Barang

(%)

1 Nilai Taksiran Barang (10 Ton) GKG 7000 70.000 100,00

2. Biaya-Biaya

a. Biaya Pra Gudang

- Biaya Pengeringan (10 Ton) 200-240/kg 200 2.000 2,86

- Biaya Karung (10 Ton) 4.000/kw 40 400 0,57

- Biaya Angkut (10 Ton) 50.000/ton 5 50 0,07

- Biaya Bongkar-Muat (10 Ton) 3.000/kw 30 300 0,43

Biaya Total Pra-Gudang 2.750 3,93

b. Biaya Penyimpanan/Gudang (Biaya

Uji Mutu, Asuransi, Tagihan KBI,

Perawatan/Fumigasi, Gaji Karyawan

dan Biaya lain) (10 ton)

100/kg*

100

1.000

1,43

3. Biaya Total Gudang 1.000 1,43

4. Total Biaya 3.750 5,36 Sumber data : KSU Annisa, Desember 2014 (diolah)

Keterangan : * Perhitungan biaya untuk penyimpanan selama 4 bulan

6.2.7. Kebijakan Pemerintah Daerah

Keterkaitan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang dengan Pemda, sebagaimana

ditetapkan dalam ketentuan UU No.9/2006 dan perubahannya, menegaskan bahwa urusan

Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG, meliputi : pembuatan kebijakan daerah

untuk mempercepat pelaksanaan SRG; pengembangan komoditas unggulan di daerah;

penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan

SRG; dan pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas. Semua urusan

Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG ini dilakukan melalui koordinasi dengan

Badan Pengawas.

Dalam implementasi kegiatan SRG di Kabupaten Subang, peran serta dan kebijakan

Pemerintah Daerah belum sepenuhnya memfasilitasi pelaku usaha yang mengembangkan

kegiatan SRG maupun kepada pengguna. Begitu pula dalam melakukan fungsi Pemerintah

Page 40: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

34

Daerah, dalam hal : percepatan pengembangan pelaksanaan SRG di wilayah potensial dan

untuk komoditas lainnya; pengembangan komoditas unggulan yang bisa disinergiskan

dengan SRG; penguatan kebijakan bagi pelaku usaha dan pengguna yang mengembangkan

SRG, maupun fasilitasi pengembangan usaha-usaha yang terintegrasi dengan

pengembangan SRG belum menjadi prioritas nyata dalam implementasinya. Peran serta

yang telah dilakukan oleh pemda setempat selama ini, adalah dengan kegiatan sosialisasi

terbatas melalui dinas instansi terkait yang disesuaikan dengan tupoksi SKPD.

Peran institusi melalui dinas/instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan SRG

berdasarkan kompetensinya, melibatkan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian serta

Dinas Koperasi. Peran Dinas Pertanian dalam kaitan SRG, secara tidak langsung hanya

terkait dalam sosialisasi di tingkat petani dan kelompok tani, sesuai dengan kegiatan teknis

yang selama ini dilaksanakan. Peran serta dinas terkait dalam penyelenggaraan kegiatan

SRG juga dilakukan Dinas Perdagangan maupun Dinas Koperasi, hanya saja masih

tergantung pada kegiatan berdasarkan struktur organisasi diatasnya. Aktivitas pembinaan

dalam kaitan SRG selama ini belum optimal, terbatas pada kegiatan sosialisasi pada

sasaran yang masih terbatas.

Dinas Pertanian selama ini melaksanakan program lebih kearah pembinaan petani

dan kelompok tani dari aspek teknis usahatani dan penerapan teknologi pertanian.

Keterkaitan secara institusional juga masih terbatas atau hanya pada kegiatan yang bersifat

koordinasi dan belum pada proses kebijakan “aksi” yang terkait dengan implementasi

SRG. Kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan di tingkat Pemda belum terintegrasi

dengan berbagai pemangku kepentingan/stakeholders dalam satu tujuan untuk percepatan

pengembangan SRG.

Peran Pemda dalam fasilitasi penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang

dibutuhkan, sangat dinantikan oleh penyelenggara maupun pengguna (kebutuhan petani

secara umum). Upaya yang dilakukan melalui fasilitasi kerjasama penguatan modal,

penyediaan sarana prasarana SRG serta mendorong peran serta lembaga kuangan bank/non

bank, melalui skim yang dibuat dengan melibatkan kebijakan Pemda untuk pembiayaan

pengembangan SRG, belum banyak dilakukan. Koordinasi kebijakan secara vertikal

dengan beberapa lembaga dan Kementerian yang terkait penyelenggaraan SRG, masih

sangat diperlukan untuk mensinergikan ketentuan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah

dan wewenang Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan SRG. Kekhawatiran pengelola

yang selama ini sudah menyelenggarakan SRG, menjadi masukan buat Pemda setempat

Page 41: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

35

maupun pengambil kebijakan di Pusat, terutama tentang konsep pewilayahan usaha yang

akan menjadi wilayah kerja pengelola SRG dibeberapa lokasi potensi produksi lainnya,

agar antar pengelola SRG tidak terkonsentrasi pada satu wilayah dan saling tumpang

tindih, termasuk untuk membuka peluang pengembangan penyelenggaraan SRG untuk

komoditas potensial lainnya selain gabah dan beras yang selama ini juga mengalami

fluktuasi harga.

Page 42: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

36

VII. KENDALA DAN PELUANG PENYEBARLUASAN SRG

Beberapa permasalahan yang menyebabkan lambannya penerapan SRG dapat dilihat

dari hasil kajian SRG di beberapa wilayah di Indonesia. Ashari (2010 dan 2011) telah

menjelaskan berbagai kendala penerapan SRG yang didasarkan dari hasil kajian Ariyani

(2008), BRI (2008), Riana (2010), dan Sadaristuwati (2008). Selain itu temuan Sanur

(2008) dalam melakukan kajian SRG di Cirebon, Jawa Barat turut menambah masukan

terkait permasalahan penerapan SRG di Indonesia. Secara ringkas, permasalahan

penyelenggaraan SRG dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek.

(1) Pemahaman SRG Masih Terbatas

Beberapa hasil kajian menyatakan bahwa lambatnya pengembangan SRG di daerah

disebabkan kurangnya kegiatan sosialisasi pada stakeholder (Riana, 2010; Listiani dan

Haryotejo, 2013; iPasar, 2011). Informasi yang diperoleh dari responden petani di Subang,

kegiatan sosialisasi SRG kurang menekankan manfaat finansial yang akan diperoleh

petani, sosialisasi lebih menekankan pada penjelasan prosedur dan tata cara SRG.

Atas dasar permasalahan tersebut, gerakan sosialisasi SRG harus menjadi program

prioritas Dinas Perdagangan di daerah. Kegiatan sosialisasi seyogyanya tidak hanya

memberi pemahaman tata cara penyelenggaraan SRG, tetapi lebih ditekankan pada potensi

keuntungan finansial yang akan diperoleh petani/kelompok tani/gapoktan.

Bagi petani berlahan sempit (kurang 0.5 ha) dan adanya persyaratan pengelola

gudang untuk volume minimal per kemasan (10-20 ton/ha), telah mendorong petani untuk

berkelompok. Hal ini cukup merepotkan, apalagi masih dibebani berbagai biaya untuk

memperoleh RG dan harus menunggu beberapa waktu untuk memperoleh kebutuhan uang

tunai. Selain itu, pada beberapa kasus petani seringkali terjerat pada pinjaman rentenir

untuk kebutuhan dana, baik untuk produksi maupun konsumsi, sehingga petani berlahan

sempit umumnya ingin segera memperoleh uang tunai segera setelah panen. Oleh karena

itu, sistem jual lepas/tebasan ke pedagang/kelompok tani dengan harga sesuai HPP

dianggap paling praktis dan rasional.

Perubahan pola perdagangan dari jual langsung ke sistem tunda jual membawa

konsekuensi perubahan mindset petani. Perubahan ini membutuhkan waktu, tidak semudah

membalik telapak tangan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, langkah awal

pemerintah seyogyanya melakukan pendampingan dan pengawalan hingga petani siap

menerapkan SRG. Disisi lain, perlu dilakukan penguatan modal kelompok tani untuk

Page 43: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

37

menampung hasil panen petani yang masih berkeinginan jual lepas ke kelompok tani.

Sampai saat ini, kelompok tani yang berperan aktif memanfaatkan SRG. Dengan

berjalannya waktu diharapkan petani akan tertarik mengadopsi SRG dalam pemasaran

hasil panennya.

Penguasaan informasi mengenai harga spot produk hasil panen petani masih rendah,

apalagi terhadap harga prediksi dimasa mendatang (futures). Kondisi asymmetric

information ini mengakibatkan petani dalam posisi yang tidak diuntungkan. Kondisi ini

disebabkan akses informasi harga yang masih terbatas dan kenyataan tingkat pendidikan

sebagian besar petani relatif rendah. Untuk mengatasi permasalahan terkait penguasaan

teknologi informasi, diharapkan penyuluh lapangan dapat berperan aktif membantu petani

memberi pemahaman terkait teknologi informasi.

(2) Sarana dan Prasarana

Prasarana jalan yang buruk menjadi kendala petani untuk mengangkut hasil

panennya ke gudang SRG, karena berpengaruh pada biaya transportasi. Makin buruk

kondisi jalan, maka biaya transportasi makin mahal, hal ini terjadi di kabupaten

Tasikmalaya. Ketersediaan gudang SRG yang terbatas, juga menyulitkan petani jika akan

memanfaatkan SRG. Jauhnya jarak dari sawah petani ke lokasi gudang SRG membawa

konsekuensi mahalnya biaya transportasi, hal ini secara langsung akan membebani petani

dalam pengurusan RG. Untuk mengatasi masalah infrastruktur jalan dan transportasi,

Pemerintah diharapkan meningkatkan alokasi anggaran pembangunan/rehabilitasi jalan

dan transportasi, khususnya di wilayah-wilayah sentra produksi agar distribusi barang

berjalan lancar baik menuju gudang SRG maupun ke pusat-pusat pasar.

Kondisi pergudangan (warehousing) yang tersedia, secara umum kurang memadai

termasuk di Indramayu dan Subang. Kondisi ini menjadi kendala petani dalam

menyimpan hasil panennya, sebagai upaya tetap menjaga kondisi hasil penennya tetap baik

sambil menunggu harga yang diinginkan. Dibanyak lokasi pertanian (farm area) terlihat

gabah hasil panen hanya ditutup dengan terpal seadanya didalam lumbung yang sudah

rusak, hal ini tentunya menyebabkan kualitas produk hasil panen menjadi rusak. Pada

aspek ini juga termasuk didalamnya kendala transportasi dan sarana jalan raya yang kurang

baik.

Terbatas dan buruknya kondisi gudang tidak terlepas dari aspek investasi

pembangunan gudang SRG yang relatif mahal. Belum meluasnya petani untuk

Page 44: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

38

memanfaatkan SRG, membuat investor belum berani berinvestasi membangun gudang. Di

Indramayu, sejauh ini, baru PT Pertani yang mempunyai gudang yang memenuhi syarat

dan fasilitas yang memadai untuk menyelenggarakan jasa SRG. Pada kasus di Subang,

pengelola gudang KSU Annisa menggunakan gudang yang dibangun oleh Bappebti.

Karena melihat besarnya potensi keuntungan dalam menyelenggaran jasa SRG, KSU

Annisa berani berinvestasi dengan menambah gudang SRG dengan cara sewa.

Pada kasus di Surakarta, SRG tidak menguntungkan karena tidak seimbang antara

besarnya investasi yang dikeluarkan, sementara biaya yang dibebankan ke petani relatif

kecil. Jenis komoditas yang potensial diresigudangkan adalah padi, jagung, kedelai, dan

ketela pohon (Primartantyo, 2012).

Mengingat investasi pembangunan gudang dianggap relatif mahal, untuk menambah

jumlah gudang SRG, ada beberapa alternatif, yaitu (1) Kementerian Perdagangan melalui

Bappebti meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangunan gudang SRG di wilayah

sentra produksi; (2) pemerintah dapat memanfaatkan gudang-gudang milik BUMN yang

ada di daerah, (3) pemerintah memberikan subsidi kredit pembangungan gudang dan jasa

pergudangan, (4) pembangunan gudang SRG hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga

satu gudang menjangkau wilayah dengan radius tertentu, sehingga menekan biaya

transportasi dari sawah ke gudang pengelola yang umumnya ditanggung petani; (5)

melanjutkan program pemanfaatan DAK untuk membangun gudang SRG seperti yang

dilakukan di beberapa provinsi pada tahun 2011 dan 2012. Pembangunan gudang untuk

SRG sebaiknya dilengkapi dengan sarana pendukung, misalnya dryer dengan kapasitas

yang memadai untuk gudang gabah. Dryer ini sangat dibutuhkan, karena gabah yang akan

diresigudangkan harus memenuhi standar mutu yang disyaratkan pengelola gudang SRG,

salah satunya kadar air maksimal 14 persen.

Ketersediaan teknologi penyimpanan di gudang pengelola juga masih terbatas. Jenis

teknologi penyimpanan erat kaitannya dengan jenis barang yang akan diresigudangkan.

Mengingat teknologi penyimpanan gabah/beras relatif lebih sederhana dan murah, oleh

karena itu komoditas yg memanfaatkan SRG sebagian besar masih terbatas gabah/beras,

meskipun dalam Permendag dimungkinkan menyimpan komoditas selain gabah/beras.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kedepan pemerintah perlu memfasilitasi

pengelola gudang terkait peningkatan kemampuan untuk menguasai teknologi

penyimpanan barang non gabah/beras. Kegiatan pelatihan ke pengelola gudang dan

Page 45: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

39

stakeholder terkait merupakan strategi alternatif untuk meningkatkan kemampuan para

pelaku SRG.

(3) Kelembagaan SRG dan Koordinasi antar Instansi

Keterlibatan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian baru sebatas kegiatan

sosialisasi. Pemerintah daerah belum sepenuhnya memahami manfaat SRG yang

berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani. Alokasi anggaran daerah untuk mengawal

kegiatan SRG belum terlihat, bahkan kasus di Subang, gapoktan atau pengelola gudang

merasa „putus asa‟ saat melakukan usulan-usulan untuk kelancaran penerapan SRG,

kurang mendapat respon positif.

LPK/Petugas uji mutu barang belum tersedia di seluruh daerah (Riani, 2010). Jumlah

bank yang terlibat dalam pelaksanaan SRG masih terbatas. Tidak seluruh bank bersedia

menjadi stakeholder SRG untuk memberikan fasilitas kredit. Untuk kasus di Indramayu

dan Subang, bank yang bersedia menyalurkan kredit untuk SRG hanya Bank BJB. Kondisi

ini membuat tidak adanya kompetisi antar bank dalam memberikan layanan kepada

pemiliki RG. Bagi pemilik RG, hal ini kurang menguntungkan, karena tidak ada pilihan

untuk mengajukan kredit. Petani „terpaksa‟ menerima semua aturan yang diberikan bank

terkait.

Permasalahan lain yang terkait perbankan adalah terjadinya Non Performing Loan

(NPL) dan potensi NPL ketika barang di gudang belum terjual saat jatuh tempo. Kasus ini

terjadi pada musim panen terakhir (MK 2014) dimana beberapa RG di gudang Haurgeulis,

Indramayu belum terjual padahal sudah melewati waktu jatuh tempo, sehingga urusan

kredit Bank BJB belum selesai. Hal ini terjadi karena adanya „over-estimasi‟ nilai RG

gabah yang disimpan setelah memperhitungkan harga pasaran gabah, biaya pengeringan,

harga pengemasan dan harga transportasi.

Banyaknya lembaga yang terlibat dalam penerapan SRG, seperti lembaga uji mutu,

asuransi, pusat registrasi, pengelola gudang, dan perbankan, hal ini membuat rumit urusan

birokrasi. Rantai birokrasi yang relatif panjang, tidak semua petani memahaminya yang

notabene sebagian besar tingkat pendidikannya lulus SD. Umumnya pedagang lebih punya

akses memanfaatkan SRG, karena mampu melihat „peluang‟ untuk memperoleh

keuntungan. Jika demikian halnya, maka tujuan SRG belum mencapai sasaran yang

diharapkan.

Page 46: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

40

Agar implementasi SRG dapat berjalan lancar dan cepat meluas penyebarannya,

maka seluruh lembaga yang berpartisipasi harus bersinergi menjalankan tugas masing-

masing sesuai fungsinya. Menanggapi permasalahan penyediaan LPK yang tidak merata di

daerah potensial SRG, pemerintah melalui Bappebti, Kementerian Perdagangan

seyogyanya membantu dalam penyediaan LPK. Jumlah petugas LPK harus proporsional di

setiap wilayah SRG.

Terkait perbankan, untuk penyelenggaraan SRG umumnya telah ditetapkan bank

yang akan mendukung pembiayaan melalui jaminan RG. Seyogyanya jumlah bank yang

berpartisipasi dalam penerapan SRG tidak terbatas hanya satu bank dalam satu wilayah

SRG, sehingga petani mempunyai pilihan dalam mengajukan permohonan kreditnya.

Disisi lain, kompetisi antar bank dalam memberikan layanan ke pemilik RG akan

mendorong kinerja perbankan lebih optimal.

(4) Kebijakan Pemerintah Daerah

Untuk kasus di Kabupaten Subang, secara umum permasalahannya hampir sama,

yaitu mencakup infrastruktur pergudangan termasuk peralatan kelengkapannya.

Permasalahan yang terlihat spesifik yang dihadapi KSU Annisa yaitu adanya

kekhawatiran pengelola SRG terhadap munculnya persaingan tidak seimbang dengan

BUMN. Kekhawatiran ini muncul seiring adanya rencana pemerintah daerah untuk

memberikan ijin pengelolaan SRG untuk gudang-gudang BUMN. Masuknya pemain baru,

baik BUMN maupun swasta dan KSU lain, akan menurunkan tingkat keuntungan KSU

Annisa. Hal ini menjadi kecemasan bagi pihak pelaku yang selama ini telah

mengembangkan SRG diluar BUMN, sekaligus mempertanyakan tentang perlindungan

daerah terhadap kegiatan SRG yang sudah jalan/dilakukan perusahaan

pribadi/petani/koperasi/CV yang ada di daerah dalam pergudangan SRG ke depan.

Eksistensi pengelola juga dihadapkan pada keterbatasan dukungan pihak Pemda

dalam memfasilitasi kinerja pengelolaan SRG untuk percepatan implementasi SRG di

wilayah Kabupaten Subang lainnya. Sinergisitas antar institusi SKPD terkait dengan

pelaksanaan SRG di Kabupaten Subang, belum terbangun dalam satu kepentingan untuk

peningkatan kinerja SRG dari berbagai aspek.

Alternatif pemecahan masalah tersebut, Pemerintah Daerah bisa saja menghimbau

pusat (BUMN) atau membuat aturan untuk membatasi ruang usaha BUMN dan BUMD

(pembagian wilayah), tetapi tidak bisa membatasi KSU lain dan swasta untuk

menyelenggarakan SRG. Pembagian wilayah usaha yang terkait dengan SRG menjadi

Page 47: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

41

bahan pemikiran kebijakan ke depan. Pengaturan kebijakan dalam pewilayahan kegiatan

dan komoditas yang di SRG-kan, menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dalam menjaga

iklim usaha dan pelaksanaan SRG sesuai ketetapan dalam undang-undang, sehingga tidak

overlapping dengan usaha yang sudah ada saat ini. Pemda juga harus melakukan pemetaan

terlebih dahulu terhadap potensi dan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh pihak swasta

serta pihak lain yang membuka usaha SRG di daerah, sehingga pengembangan SRG dapat

mempercepat perekonomian wilayah tanpa terpusat pada satu wilayah usaha. Perhatian

kepada pelaku di tingkat daerah terutama bagi kelompok tani atau gapoktan yang

berpotensi didorong menjadi pengelola SRG baik berdasarkan kemampuan sendiri ataupun

secara bermitra, sehingga bisa menjadi dasar untuk membantu peningkatan harga di tingkat

petani serta memperluas pelaksanaan SRG.

Koordinasi seluruh stakeholder SRG harus ditingkatkan kedepan agar masing-

masing stakeholder memahami peran masing-masing dalam SRG. Pemerintah Daerah

seyogyanya memberi dukungan penuh terhadap penyelenggaran SRG melalui kebijakan

yang tidak menimbulkan potensi konflik pada para pengelola SRG.

Page 48: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

42

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

8.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, sebagai kesimpulan dapat

dikemukakan, sebagai berikut :

(1) Penyelenggaraan SRG di Indonesia selama 6 tahun, ternyata belum mampu menarik

minat bagi sebagian besar petani untuk memanfaatkan SRG sebagai alternatif

pemasaran hasil panen dan pembiayaan kegiatan usaha taninya sesuai amanat UU

No.9/2006. Hal ini menyebabkan perkembangan SRG relatif masih lambat, dilihat dari

perkembangan jumlah dan nilai RG dibandingkan potensinya.

(2) Secara konseptual, SRG tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan petani,

tetapi juga dapat meningkatkan perekonomian wilayah secara luas. SRG akan

membiasakan dan mendorong petani serta pelaku lain untuk menghasilkan produk

yang memenuhi standar mutu. Namun secara operasional, masih banyak ditemukan

kendala dan permasalahan, tidak hanya pada keterbatasan pemahaman tentang SRG,

tetapi juga sarana dan prasarana, lemahnya koordinasi dan sinergitas antar

kementerian, serta masalah kelembagaan lainnya. Kendala dan permasalahan tersebut

mengakibatkan tujuan pemerintah untuk mempercepat penyebarluasan

penyelenggaraan SRG belum tercapai.

(3) SRG di Kabupaten Indramayu dan Subang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh

pengguna dalam hal ini para petani, terkait dengan berbagai kendala dan permasalahan

dalam proses pemasaran produk yang dihasilkan. Selain terbatasnya sosialisasi tentang

SRG, peran pengelola SRG juga masih terbatas dalam penyediaan fasilitas pendukung

kegiatan SRG, khususnya sarana pergudangan, pengiringan, pengemasan dan

penggilingan. Dalam kegiatan sosialisasi kurang menekankan penjelasan terkait

manfaat dan potensi keuntungan SRG, sehingga tidak seluruh petani antusias

berpartisipasi dalam penyelenggaraan SRG.

(4) Untuk mengatasi permasalahan dalam penyelenggaraan SRG, perlu segera dirumuskan

alternatif pemecahan sesuai permasalahan yang dihadapi. Agar permasalahan tidak

berkelanjutan, kegiatan pengawasan secara periodik perlu ditingkatkan dengan

melibatkan Dinas Perdagangan setempat sebagai instansi yang memperoleh mandat

dalam penyelenggaran SRG di Daerah. Selain itu perlindungan usaha melalui

kebijakan dan pengaturan sistem yang menjadi kewenangan Pemda setempat juga

Page 49: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

43

sangat diperlukan, agar usaha yang dilakukan pengelola tetap menjadi prioritas Pemda

dalam pembinaannya.

8.2. Implikasi Kebijakan

(1) Untuk mempercepat implementasi SRG, pemerintah agar lebih serius mendorong dan

memfasilitasi penyebarluasan SRG, terutama di wilayah-wilayah potensial. Tidak

hanya meningkatkan gerakan sosialisasi ke seluruh pelaku SRG, tetapi juga

melakukan pembenahan kelembagaan dan kebijakan tata kelola SRG serta mendorong

dan memfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana penyelenggaraan SRG,

misalnya melalui subsidi bunga untuk pembangunan sarana pergudangan. Selain itu,

juga perlu dilakukan penyempurnaan sistem online untuk memperlancar akses data

dan informasi antar lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan SRG.

(2) Mengingat besarnya potensi dan manfaat penyelenggaraan SRG, pemerintah perlu

lebih serius untuk mempercepat perkembangan SRG ke seluruh wilayah dengan

cakupan komoditas yang lebih luas. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, perlu disusun

peta-jalan (road map) untuk masing-masing komoditas yang memuat langkah strategis

dan taktis dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Konsekuensinya, pemerintah seyogyanya meningkatkan alokasi anggaran untuk

pembenahan dan penyempurnaan fasilitas SRG agar biaya SRG yang ditanggung

petani dapat ditekan serendah mungkin. Kondisi ini diharapkan dapat menarik minat

petani untuk memanfaatkan SRG.

(3) Pengguna SRG umumnya adalah petani dan pedagang, baik secara perorangan

maupun secara kolektif melalui kelompok tani dan gabungan kelompok tani

(gapoktan). Oleh karena itu seyogyanya urusan penyelenggaraan SRG seperti

pembinaan dan penyuluhan kepada petani/kelompok tani, penyediaan sarana dan

prasarana pergudangan, kelembagaan, dan permodalan, tidak hanya dibebankan pada

Kementerian Perdagangan sebagai penerima mandat penyelenggaran SRG sesuai UU

No.9/2006, tetapi juga melibatkan Kementerian Pertanian, khususnya unit kerja yang

menangani aspek yang bersentuhan dengan kegiatan SRG, misalnya Ditjen P2HP

dapat membantu dalam penanganan pasca panen, peningkatan standar mutu dan

penyediaan sistem informasi harga komoditas pertanian, Direktorat Pembiayaan dapat

menjadi fasilitator untuk penguatan modal kelompok tani dan gapoktan dalam

memanfaatkan kredit perbankan dan institusi keuangan lainnya, Badan SDM dapat

Page 50: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

44

membantu kegiatan sosialisasi SRG melalui tenaga-tenaga lapangan dan penyuluh

yang dikelolanya. Untuk mensukseskan kegiatan-kegiatan tersebut, harus dilakukan

koordinasi secara efektif dengan seluruh pemangku kepentingan baik di pusat maupun

di daerah dimana SRG diimplementasikan.

(4) Komitmen dan langkah Kementerian Perdagangan, untuk mempercepat

penyebarluasan SRG merupakan langkah tepat dan perlu didukung oleh kementerian

terkait dan pihak-pihak lainnya. Koordinasi dan sinergi antara Kementerian

Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian

Koperasi mutlak diperlukan untuk mempercepat penyebarluasan SRG di sektor

pertanian, terutama dalam memfasilitasi dan mendorong pembangunan sarana dan

prasarana pergudangan yang memenuhi persyaratan. Keterlibatan dan dukungan

kongkrit Pemerintah Daerah Kabupaten Subang dalam penciptaan iklim usaha yang

kondusif menjadi kunci sukses dalam penyelenggaraan dan penyebar-luasan SRG di

wilayah Kabupaten Subang.

Page 51: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

45

IX. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga. http://www.

hukumonline.com/berita/baca/hol17277/analisa-resi-gudang-sebagai-surat-berharga:

diunduh tanggal 11/12/ 2014, jam 16.31.

Anonim. 2010, Kemitraan Untuk Mengurangi Impor Beras Ketan (10 Agustus 2010) :

admin. http://118.97.186.221/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/472 :

diunduh tanggal 28/01/2015, jam 14.21.

Anonim. 2011. Kajian Atas Hak Jaminan Resi Gudang. http://hukumindonesiakita.

blogspot. com/2011/02/kajian-atas-hak-jaminan-resi-gudang.html: diunduh tanggal

11/12/2014, jam 16.34.

Ariyani, RR. 2008. Sistem Resi Gudang akan Diberlakukan Nasional.

http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/04/16/brk.20080416-121425.id.

html/.

Ashari. 2007. Resi Gudang : Alternatif Model Pemasaran Komoditas Pertanian.

WartaPenelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 29 No 4, 2007. Bogor.

Ashari. 2010. Prospek Sistem Resi Gudan (SRG) Sebagai Alternatif Pembiayaan Sektor

Pertanian. ICASEPS Working Paper No. 102. Januari 2010. Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Ashari. 2011. Potensi dan Kendala Sistem Resi Gudang (SRG) Untuk Mendukung

Pembiayaan Usaha Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.29

No.2 : 129-143.

Bappepti. 2011. Sistem Resi Gudang Sebagai Instrumen Pembiayaan. Makalah

disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam

Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel &

Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta.

Berita. 2013. Resi Gudang, Tingkatkan Kesejahteraan Petani. http://www.blitarkab.

go.id/2013/04/6465.html. Diakses 12/12/2014.

BRI. 2008. Sistem Resi Gudang : Peluang, Tantangan, dan Hambatan, Makalah

disampaikan pada Seminar Nasional „Sistem Resi Gudang, Pengembangan Alternatif

Pembiayaan Melalui Sistem Resi Gudang‟ pada tanggal 4 November 2008, Jakarta.

____. 2011. Penjaminan Resi Gudang ke Bank Sebagai Alternatif Pembiayaan. Makalah

disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam

Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel &

Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Subang dalam Angka 2014. BPS Kabupaten

Subang.

Page 52: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

46

Bappepti. 2008. Sistem Resi Gudang Memberdayakan Bangsa. Bappepti-Departemen

Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta.

Bappebti. 2008. Bappebti Kaji Lembaga Jaminan Sistem Resi Gudang.

https://www.ipotnews.com/index.php?jdl=Bappebti_kaji_lembaga_jaminan_sistem

_resi_gudang&level2=newsandopinion&level3=&level4=politics&id=615993#.VIo

QZskxF1Y: diunduh tanggal 12/12/ 2014, jam 16.46.

Bappebti. 2014. Kemendag Sosialisasi Sistem Resi Gudang kepada Civitas Akademika

Universitas Padjajaran. http://www.bappebti.go.id/id/news/press_release/detail/3390

.html: Bandung 26 Juni 2014. Diunduh tanggal 19/01/ 2015, jam 10.30.

Bappebti. 2014. Bappebti kaji lembaga jaminan sistem resi gudang. https://www. Ipotnews

.com/index.php?jdl=Bappebti_kaji_lembaga_jaminan_sistem_resi_gudang&level2=n

ewsandopinion&level3=&level4=politics&id=615993#.VIoQZskxF1Y: diunduh

tanggal 12/12 /2014, jam 16.46.

Boen, HS. 2007. Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga. http://www.hukumonline.

com/berita/baca/hol17277/analisa-resi-gudang-sebagai-surat-berharga: diunduh

tanggal 11/12/ 2014, jam 16.31.

Coleman, A. and L.M. Valeri. 2006. Storage and Warehouse Receipts as Financing

Instruments. http://www.eea-esem.com/files/papers/EEA-ESEM/2006/2046/WR_

malaguzzivaleri.pdf.

Devita, I. 2012. Sistem Resi Gudang sebagai Alternatif Hak Jaminan.

irmadevita.com/2012/ sistem-resi-gudang-sebagai-alternatif-hak-jaminan : diunduh

tanggal 11/12/2014, jam 16.29.

Erawan, B. 2008. Prinsip Hak Jaminan Resi Gudang dalam Perspektif Perbankan : Kajian

Normatif Pemberdayaan Petani Gabah pada Musim Panen. Jurnal Argumentum

Volume 8 Nomor 1, Desember 2008. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal

Sudirman. Lumajang.

Erwidodo, 2013(a). Kebijakan Perdagangan Mendukung Upaya Peningkatan Daya-Saing

Komoditas Pangan di Era MEA 2015. Prosiding, Seminar Nasional Hari Pangan

Sedunia (HPS) ke-33 “Optimalisasi Sumberdaya Loka Melalui Diversifikasi Pangan

Menuju Kemandirian Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Menyonsong MEA

2015”, Padang, Sumatera Barat, 21-22 Oktober 2013.

Erwidodo, 2013(b). Kebijakan Perdagangan mendukung Kemandirian dan Ketahanan

Pangan Nasional. Dalam : Ariani, M dkk 2013 (eds). Diversifikasi Pangan dan

Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press, Jakarta.

Page 53: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

47

Erwidodo. 2014. Materi Pembahas tentang : 15 Tahun Dinamika Ketahanan Pangan

Indonesia. Disampaikan dalam acara Diskusi Panel ‟15 Tahun Dinamika Ketahanan

Pangan Indonesia yang diselenggarakan PERHEPI di Gedung Bulog, 2 Oktober

2014, Jakarta. http://www.perhepi.org/wp-content/uploads/2014/10/Erwidodo-

tanggapan-thd-presentasi-Dr-Achmad-Suryana.pdf. Diunduh tanggal 28/02/2015,

jam 18.29.

Haryotejo, B. 2013. Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem

Resi Gudang (SRG) di Daerah. Jurnal Bina Praja, Volume 5 Nomor 2, Juni 2013.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Bidang Pemerintahanan Dalam Negeri. Badan

Litbang Kementerian Dalam Negeri. Jakarta.

Herlindah. 2013. Hukum Jaminan ”Resi Gudang”. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,

Malang. http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id.

IFAD. 2012. Warehouse Receipts for Smallholders to Access Credit and Increase

Incomes. http://www.ifad.org/operations/projects/regions/pf/seeds/5.htm.

iPasar. 2011. Implementasi Pelaksanaan Pasar Lelang Dalam Mendukung Sistim Resi

Gudang. Makalah disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem

Resi Gudang dalam Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western

Mangga Dua Hotel & Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta.

Listiani, N. dan B. Haryotejo. 2013. Implementasi Sistem Resi Gudang pada Komoditi

Jagung: Studi Kasus di Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Buletin Ilmiah

Litbang Perdagangan, VOL.7 No.2, Desember 2013.

Mahanta, D. 2012. Review of Warehouse Receipt As an Instrument for Financing in India.

International Journal of Scientific & Technology Research, Volume 1, Issue 9,

October 2012. www.ijstr.org.

Menteri Perdagangan. 2009. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor :

66/M-DAG/PER/12/2009, Tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang.

Noviyanto. 2011. Penerbitan Resi Gudang Capai 84 Resi Gudang : Pentingnya Peran SRG

bagi Komoditi Berjangka Seperti Petani. http://www.lensaindonesia.com

/2011/11/24/pentingnya-peran-srg-bagi-komoditi-berjangka-seperti-petani.html.

diunduh tanggal 12/12/2014 jam 17.48.

Onumah, J.C.G. 2002. The Role of Warehouse Receipt Systems in Enhanced Commodity

Marketing and Rural Livelihoods in Africa. Food Policy 27 (2002) 319–337.

Pemda Blitar. 2013. Resi Gudang, Tingkatkan Kesejahteraan Petani. Berita

http://www.blitarkab.go.id/2013/04/6465.html: diunduh tanggal 12/12/2014 jam

16.56.

Peraturan Menteri Perdagangan RI, Nomor : 26/M-DAG/PER/6/2007 Tentang Barang

yang Dapat Disimpan di Gudang Dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang.

Sekretariat Jenderal Departemen Perdagangan.

Page 54: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

48

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 36 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang. Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4735.

Pio. 2013. Resi Gudang Permudah Pelaku Usaha Dapat Pinjaman Bank. in TREN

UKMLeave a comment. http://blog.indotrading.com/resi-gudang-permudah-pelaku-

usaha-dapat-pinjaman-bank/: diunduh tanggal 19/01/2015, jam 10.27.

Prayitno, B. 2011. Resi Gudang. http://prayitnobambang.blogspot.com/2011_11_01_

archive.html. (diakses 12/12/2014).

Primartantyo, U. 2012. Penerapan Resi Gudang di Solo Tak Menguntungkan. http://www.

tempo.co/read/news/2012/12/19/090449267/Penerapan-Resi-Gudang-di-Solo-Tak-

Me-nguntungkan (diakses 20/1/ 2015).

Putri, N.P. 2010. Sistem Resi Gudang Solusi Bagi Petani. Badan Pengawas Perdagangan

Berjangka Komoditi. http://www.bappebti.go.id/id/edu/articles/detail/1044.html.

Putri NP. 2012. Sistem Resi Gudang Solusi bagi Petani. (Bappepti_2012_Sistem_Resi_

Gudang_Solusi_Bagi_Petani.pdf).

http://www.bappebti.go.id/id/topdf/create/1044.html: diunduh tanggal 26/01/2015,

jam 17.25

Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 Tentang

Sistem Resi Gudang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 59.

Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi

Gudang. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5231.

Riana, D. 2010. Penggunaan Sistem Resi Gudang Sebagai Jaminan Bagi Perbankan di

Indonesia. Tesis Program Magister, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sadarestuwati. 2008. Pentingnya Sistem Resi Gudang bagi Petani. Makalah disampaikan

pada Seminar Nasional „Sistem Resi Gudang, Pengembangan Alternatif Pembiayaan

Melalui Sistem Resi Gudang‟ pada tanggal 4 November 2008, Jakarta.

Sanur, A. S. 2008. Strategi Pengembangan Sistem Resi Gudang. https://cireboninstitute.

wordpress.com/2008/12/15/strategi-pengembang-an-sistem-resi-gudang/diunduh.

Sanuri, AS. 2008. Strategi Pengembangan Sistem Resi Gudang. https://cireboninstitute.

wordpress.com/2008/12/15/strategi-pengembangan-sistem-resi-gudang/:diunduh

tanggal 12/12/2014 jam 16.59.

Sunarto, H. 2012. Merancang Put Option dalam Sistem Resi Gudang sebagai Elemen Pasar

Lelang Forward Agro. Proceeding for call paper : Pekan Ilmiah Dosen FEB,

UKSW-14 Desember 2012.

Page 55: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

49

Sinar Tani. 2011. Kemitraan untuk Mengurangi Impor Beras Ketan. http://118.97.186

.221/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/472/2704. diunduh tanggal

26/01/ 2015, jam 17.15.

Varangis, P. and D. Larson. How Warehouse Receipts Help Commodity Trading and

Financing. https://agriskmanagementforum.org/sites/agriskmanagementforum.

org/files/Documents/How%20warehouse%20receipts%20help%20commodity%20

trading%20and%20finance.pdf.

Wahyudin. 2011. Resi Gudang sebagai Alternatif Pembiayaan bagi Koperasi dan UKM.

Jurnal Ilmiah Ekonomi, Koperasi dan Kewirausahaan, ”Co-Value” Volume II,

Nomor I/April/Tahun 2011. IKOPIN. Jatinangor.

Wikipedia. 2014. Resi Gudang. http://id.wikipedia.org/wiki/Resi_gudang (diakses 3/12/

2014).

Yulistiyono, H. 2014. Penerapan Sistem Resi Gudang dalam Perspektif Peningkatan

Pendapatan Asli Daerah : http://asp.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads /2014/02/

Penerapan-Sistem-Resi-Gudang-Dalam-Perspektif-Peningkatan-Pendapatan-Asli-

Daerah.pdf

Page 56: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

50

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kinerja Penerapan Sistem Resi Gudang di Kabupaten Indramayu

Pendahuluan

Undang-Undang Resi Gudang telah diterbitkan pada tahun 2006. Undang-Undang ini

diterbitkan dalam rangka melindungi petani ketika dihadapkan pada fluktuasi harga

komoditas. Fenomena yang umum terjadi adalah harga anjlok pada saat panen raya dan

harga melonjak pada masa paceklik. Diterbitkannya kebijakan tentang sistem resi gudang

diharapkan para petani produsen dapat menunda penjualan komoditi hasil produksinya

dengan cara menyimpan di gudang dan kemudian dapat menjual ke pasar pada saat harga

cukup baik.

Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa SRG merupakan kegiatan yang berkaitan

dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Resi

gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang

diterbitkan oleh pengelola gudang.

Dalam UU disebutkan bahwa Penanggungjawab kegiatan SRG adalah Kementerian

Perdagangan dan sebagai pengguna SRG adalah Kementerian Pertanian. Dalam

pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan membentuk Badan Pengawas SRG yang

selanjutnya disebut Badan Pengawas yaitu unit organisasi di bawah Menteri yang diberi

wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan SRG.

Hasil penelusuran data sekunder ditemukan bahwa pelaksanaan SRG berjalan

lambat, hal ini terlihat dari perkembangan jumlah dan nilai resi gudang yang diterbitkan

oleh Pengelola Gudang selama periode 2008 – 2014. Selain itu, jenis komoditas yang

digudangkan relatif terbatas, meskipun dalam UU dimungkinkan untuk menyimpan

beragam jenis komoditas. Pertanyaannya, mengapa SRG berjalan relatif lambat ?

Untuk mengetahui permasalahannya, maka diperlukan survey ke lapangan (lokasi

sampel di Kabupaten Indramayu) untuk melihat secara langsung implementasi SRG.

Kegiatan ini difokuskan untuk menggali informasi dari berbagai institusi dan kelembagaan,

serta pemangku kepentingan yang terkait dengan Sistem Resi Gudang (SRG) yang

dijalankan oleh PT Pertani (Persero), sebagai salahsatu responden Pengelola Resi Gudang

yang mewakili Badan Usaha Milik Negara. Kegiatan lapangan dilakukan dengan metode

penggalian informasi sejalan dengan alur informasi yang diperoleh secara berjenjang.

Page 57: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

51

Peran Instansi Pemerintah dalam Pelaksanaan Sistem Resi Gudang

1. Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan

Hasil wawancara dengan Kepala Dinas telah diperoleh informasi bahwa SRG telah

dilaksanakan dengan melibatkan gudang milik BUMN (PT.Pertani). Gudang PT. Pertani

sebagai pengelola SRG yang berada di Kabupaten Indramayu ada dua, yaitu (1) Gudang

Indramayu Losarang yang berlokasi di Jalan Komplek Perberasan Desa Muntur,

Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, dan (2) Gudang Indramayu yang berlokasi di

Jl. Jend. Sudirman No. 17 RT. 01, RW. 02 Desa Cipancuh, Kecamatan Haurgeulis

Kabupaten Indramayu.

Untuk saat ini komoditas yang diresigudangkan masih terbatas komoditas padi

(gabah), sedangkan komoditas hortikultura (buah mangga) belum memanfaatkan SRG. Hal

ini diduga belum tersedianya gudang-gudang yang dilengkapi teknologi penyimpanan

komoditas hortikultura. Komoditas padi masih menjadi komoditas dominan, terlihat dari

dari target produksi Jawa Barat sebesar 16 ribu ton, 250 ton khususnya dihasilkan daerah

Kabupaten Indramayu. Sebagai daerah sentra padi, tentu produksi padi akan melimpah

pada saat panen raya, hal ini berpotensi harga padi akan anjlok. Untuk mengatasi agar

petani produsen tidak menerima harga rendah di musim panen raya, SRG merupakan

alternatif solusi yang ditawarkan pemerintah, dimana petani dapat menunda penjualan hasil

panennya dengan cara menitipkan ke gudang SRG dalam jangka waktu tertentu dan akan

menjualnya pada saat harga lebih tinggi.

Dalam pelaksanaan SRG, peran Diskoperindag tidak secara langsung mengawasi

teknis pengelolaan SRG, baru sebatas pelaksanaan sosialisasi dan fasilitasi pertemuan para

pelaku yang terkait dengan seluruh aspek kegiatan SRG serta kegiatan koordinasi dengan

pengelola SRG di Indramayu. Pihak pengelola resi gudang tidak diwajibkan

menyampaikan laporan tertulis secara rutin ke pemerintah daerah. Oleh karena itu

pemerintah daerah tidak dapat memonitor perkembangan kinerja pengelola gudang secara

kontinyu.

Hasil pengamatan Diskoperindag tentang pelaksanaan SRG di Kabupaten

Indramayu, terdapat beberapa keluhan petani di wilayah ini. Keluhan para petani tersebut

dikemukakan Kepala Dinas bahwa :

(1) Ongkos untuk hal-hal yang berkaitan pengemasan, seperti penggunaan karung sesuai

standar yang ditetapkan gudang SRG, termasuk untuk biaya pengemasan dan menjahit

Page 58: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

52

karung. Sementara pada proses penjualan gabah, biaya-biaya tersebut belum

diperhitungkan atau tidak termasuk dalam komponen harga.

(2) Biaya transportasi atau angkutan dari tempat panen ke lokasi Gudang SRG yang

dibebankan petani, dirasakan sangat memberatkan. Makin jauh jarak lokasi panen ke

gudang SRG, maka akan semakin mahal ongkos angkutnya.

(3) Pemahaman para petani tentang SRG, khususnya petani berlahan sempit (kurang 0.5

hektar). Petani yang berlahan sempit umumnya berpikir praktis, ketika saat panen tiba

menginginkan segera menjual hasil panennya dan memperoleh uang tunai. Banyaknya

pedagang yang menawarkan sistem tebasan, memungkinkan para petani yang berpikir

praktis akan segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan tersebut.

Keuntungan dengan sistem tebasan, petani akan langsung mendapat uang tunai dan

tidak dibebani biaya panen, ongkos angkut, dan ongkos pengemasan. Sistem tebasan

di Kabupaten Indramayu selama 3 tahun terakhir menawarkan harga relatif bagus,

artinya dari sisi perhitungan finansial, petani masih memperoleh keuntungan yang

memadai, sedangkan penebas (pedagang) berpeluang memperoleh keuntungan dg

melakukan dengan cara tunda jual mealui pemanfaatan SRG. Terciptanya harga

tebasan relatif bagus, karena terjadi persaingan penebas yang datang tidak hanya dari

Jakarta dan Bandung, tetapi juga dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Banyaknya

jumlah penebas, menyebabkan bargaining position petani cukup kuat. Kondisi

tersebut mendorong para petani berlahan sempit yang berpikir praktis memilih segera

menjual hasil panennya dengan sistem tebasan daripada menggunakan SRG.

Keterkaitan pedagang/Penebas, Petani, SRG, dan Pembeli dapat dilihat pada Gambar

1.

Pembeli 1

Pembeli 2

Pembeli 3

SRG

Penebas

Lokal

Petani

Gabah

Petani

Pembeli

Luar

Daerah

Gambar 1. Keterkaitan Pedagang, Petani, SRG dan pembeli di Indramayu

Harga Dasar

Page 59: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

53

2. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu

Peran aktif Dinas Pertanian dalam kegiatan SRG saat ini, masih terfokus pada

kegiatan pembinaan aktivitas di tingkat petani dan kelompok tani serta terkait dengan

dinamika mereka dalam kegiatan usahatani dan produksi padi maupun tanaman lainnya

yang diusahakan oleh para petani di wilayah setempat. Kegiatan sosialisasi tentang SRG

juga menjadi bagian kegiatan Dinas untuk memotivasi masyarakat petani memanfaatkan

SRG pada saat harga produk tidak menentu ataupun memberikan pilihan dan alternatif

pembiayaan petani dengan SRG dalam konteks meningkatkan harga produk dengan sistim

menunda penjualan saat harga sedang dibawah harga rata-rata pasar.

Fasilitasi Dinas melalui Pemkab setempat maupun provinsi dan Pusat, dalam kaitan

dengan komoditas utama yang diusahakan para petani dan Rice Centre yang

didirikan/sudah ditetapkan di Losarang. Membangun keterkaitan antara program Rice

Center dengan para pedagang, petani melalui Resi Gudang maupun pasar lelang. Gambar

2. Menyajikan pola keterkaitan Program Rice Center, SRG, pengolahan beras dan pasar

lelang. Pola pemanfaatan SRG melalui kelompok tani, seperti yang sudah dilakukan oleh

Kelompok Tani Jayatani di Desa Mangunjaya Kecamatan Anjatan yang senatiasa

mendapat pendampingan hingga pembinaan kerjasama dalam kaitan penjualan produk

petani dengan pola SRG. Sehingga diharapkan bahwa SRG ke depan harus disemua

kelompok tani yang ada dan tidak hanya di satu kelompok saja, seperti yang dilaksanakan

pada saat sekarang.

Gambar 2. Pola Keterkaitan Program Rice Center, SRG, Pengolahan Beras dan

PasarLelang

Gabah

Petani

Rice Centre Beras

Pasar

Lelang

Pasar

Umum

SRG

diolah

Pembeli

Page 60: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

54

Implementasi Pengelolaan Gudang dengan Sistem Resi Gudang

1. Profil Gudang PT. Pertani sebagai Pengelola Resi Gudang

Gudang Haurgeulis dibawah pengelolaan PT Pertani (Persero) berlokasi di Jln. Jend.

Sudirman, Desa Cipancuh, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu. Gudang tersebut

ditangani oleh seorang Manager Gudang dibantu 6 orang tenaga tetap dan puluhan buruh

gudang lepas. Gudang Haurgeulis mulai beroperasi tahun 2008, sempat terhenti dan

kemudian beroperasi kembali tahun 2010 sampai saat ini (2014), dengan kapasitas gudang

2500 ton. Gudang Haurgeulis memiliki 4 unit gudang, 2 unit gudang digunakan untuk stok

pengadaan gabah PT Pertani, 1 unit gudang untuk lokasi jasa pengeringan dengan fasilitas

4 mesin dryer skala besar dan dilengkapi dengan proses penyosohan, 1 unit gudang

digunakan untuk kegiatan SRG.

Gudang Haurgeulis dilengkapi dengan gudang peralatan dan mesin pertanian (mesin

pengiringan dan pengarungan), gudang dan mesin penggilingan gabah, dan Gudang untuk

Resi Gudang (RG). Komoditas utama yang masuk gudang berupa Gabah Kering Giling

(GKG) dengan beberapa varietas, yaitu Ciherang, Pandan Wangi (PW), IR-64, Muncul,

dan Ketan. Pengelolaan jasa gudang melalui SRG di gudang ini tidak dilakukan untuk

produk beras, dengan alasan bahwa penyimpanan untuk komoditas beras banyak

mengandung resiko disamping biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan

yang diterima sehingga tidak dapat menutupi biaya operasional SRG dibandingkan dengan

jasa penyimpanan dalam bentuk gabah.

Wawancara difokuskan kepada pelaksanaan SRG untuk musim panen MH 2014,

dimana Gudang Haurgeulis berhasil menampung dan menyimpan gabah sebanyak 1876

ton gabah. Gabah yang akan disimpan harus dikemas dengan volume 50 kg/kemasan.

Untuk tahun 2014 kapasitas gudang terisi gabah yang dititip jual petani hasil panen musim

gadu dan rendeng tahun 2013 dan satu musim panen tahun 2014. Kapasitas terpasang

gudang tidak berhasil digunakan sepenuhnya (full capacity) karena belum tersedianya alat

„lifter‟ untuk menumpuk karungan gabah yang tingginya lebih dari 10 meter. Tumpukan

gabah tidak bisa dimaksimalkan, karena petugas kesulitan untuk mengangkat karung gabah

pada tumpukan yang terlalu tinggi. Menurut Manajer gudang, alat lifter tersebut sedang

dibeli sehingga kedepan kapasitas terpasang gudang dapat sepenuhnya dimanfaatkan.

Page 61: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

55

2. Pengguna Resi Gudang

Jumlah RG yang diterbitkan pada periode 2014 sebanyak 78 RG, dengan pengguna

jasa mulai dari petani perorangan, Kelompok Tani (KT), Gapoktan, koperasi SBU,

pedagang, dan perusahaan huller (RMU). Dari 78 RG yang dikeluarkan, sekitar 10 persen

(8 RG) diantaranya atas nama KSU. Pengelola Gudang menerbitkan RG dengan volume

(nilai) yang berbeda untuk masing-masing RG, yaitu (1) 20 ton/RG untuk varietas IR, (2)

16-17 ton/RG untuk varietas Pandan Wangi, (3) 200 ton/RG untuk varietas IR bagi

Gapoktan, bahkan untuk KSU Bina Hasil Tani jumlah penitipan barang melalui SRG bisa

mencapai 400 ton/RG.

SRG umumnya dimanfaatkan petani/pedang/kelompok pada saat musim panen raya,

yaitu sekitar bulan April-Mei. Jangka waktu RG atau lama penyimpanan yang berlaku

adalah 3 bulan. Jangka waktu ini disesuaikan dengan jangka waktu tibanya musim panen

berikutnya. Ketentuan ini bertujuan agar gudang RG sudah kosong saat musim berikutnya

panen tiba. Disamping itu, untuk menghindari kerusakan/penyusutan serta turunnya harga

jual gabah yang disimpan di gudang. Pada tahun 2014 pemilik barang menyimpan rata-rata

2 bulan.

3. Proses Penerbitan Resi Gudang

Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan calon pengguna RG untuk memperoleh

RG. Secara ringkas, tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Sebelum barang masuk

gudang penyimpanan, barang harus dipersiapkan sesuai standar yag ditetapkan pengelola

gudang. PT. Pertani tidak selalu menerima barang yang siap masuk gudang sesuai standar

pengemasan PT.Pertani, tetapi bisa pula menerima gabah basah. Untuk penyimpanan ke

gudang, gabah basah harus melalui proses pengeringan hingga mencapai kadar air + 14 %.

Selanjutnya gabah yang sudah kering, dikemas dalam karung sebanyak 50 kg

GKG/kemasan dan dijahit secara mekanis. Untuk sementara ini, karung yang digunakan

masih milik petani dan penyediaannya dilakukan oleh pemilik barang masing-masing,

sehingga karung yang digunakan tidak seragam. Gabah yang sudah dikemas selanjutnya

dilakukan uji mutu dengan beberapa kriteria, salah satunya kadar air tidak boleh lebih dari

14 persen, karena kandungan kadar air berpengaruh pada kualitas gabah.

Jasa pengeringan (dryer) merupakan kunci dalam proses awal mendapatkan RG dari

pihak pengelola SRG. Manajemen usaha jasa dryer terpisah dari SRG, sehingga

pembayaran jasa dryer langsung kepada pihak pengelola jasa dryer, secara langsung atau

Page 62: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

56

secara diperhitungkan. Kapasitas mesin dryer yang dimiliki PT Pertani gudang Haurgeulis

mencapai 30 ton. Jasa dryer yang disediakan pengelola SRG dibayar oleh pengguna

setelah dilakukan pengeringan (gabah kering simpan di karung). Besarnya biaya untuk

proses dryer dari gabah basah (petani) hingga menjadi gabah kering simpan sebesar Rp.

200 per kilogram. Dalam proses pengeringan umumnya terjadi penyusutan sebesar 20

persen.

Gambar 3. Skema Alur Penerbitan Resi Gudang

Sebelum barang masuk gudang, terlebih dahulu dilakukan proses uji mutu barang

oleh Ujatasma (anak perusahaan Bulog), penaksiran nilai barang, asuransi, dan registrasi.

Taksiran harga didasarkan pada harga pasar di wilayah tersebut. Harga yang berlaku untuk

menaksir nilai barang, Pengelola Gudang melakukan kegiatan suvey harga secara internal

yang dilakukan oleh para petugas dari PT. Pertani di masing-masing gudang. Hal ini

karena PT Pertani juga melakukan tugas pengadaan gabah untuk stok kebutuhan dan

stabilisasi ketersediaan pangan daerah disamping usaha komersil dalam proses mencari

GKG milik Perorangan/

Kelompok

Masuk Gudang

PT.Pertani

- Lulus uji mutu

- Registrasi

- Penaksiran harga

- Asuransi

Penerbitan Resi Gudang

Persyaratan permohonan

resi terpenuhi

Jaminan Kredit Bank BJB KCP Haurgeulis

Gabah Basah/Kering Panen milik

petani, kelompok, pedagang,

pengepul, penggilingan padi

Pengeringan dan Pengemasan

Page 63: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

57

keuntungan usaha perusahaan (PT Pertani). Menurut informasi pengelola bahwa pada

tahun 2013, SRG yang dijalankan cukup sukses setelah dua tahun sebelumnya tidak terlalu

memberikan banyak keuntungan. Hasil survey harga diperoleh harga Rp 5000/kg – Rp

5500/kg untuk varietas Ciherang, IR-64, Muncul, dan Ketan, sedangkan untuk varietas

Pandan Wangi ditetapkan Rp 6.500/kg.

Setelah kelengkapan dokumen administrasi terpenuhi, selanjutnya barang diangkut

ke gudang pengelola RG. Untuk kelengkapan administrasi penerbitan RG, calon pengguna

RG diwajibkan melengkapi beberapa dokumen, yaitu : (1) fotocopy KTP, (2) fotocopy

surat nikah, (3) surat keterangkan petani/usaha dari desa setempat, dan (4) membuka

rekening Bank BJB. Proses dari barang masuk gudang hingga penerbitan RG

membutuhkan waktu kurang lebih 3 hari. Selanjutnya RG tersebut dapat digunakan sebagai

agunan untuk memperoleh kredit dari bank, dalam hal ini bank yang ditunjuk menjadi

rekanan untuk pengelolaan RG adalah Bank BJB KCP Haurgeulis.

4. Pembiayaan Resi Gudang

Biaya penyimpanan barang di gudang SRG bervariasi tergantung lamanya waktu

simpan, dengan rincian sebagai berikut : Rp 75/kg untuk 3 bulan, Rp 90/kg untuk 4 bulan,

Rp 105/kg untuk 5 bulan, dan Rp 120/kg untuk 6 bulan (maksimum). Biaya gudang

mencakup empat komponen, yaitu (1) biaya bongkar sebesar Rp 10/kg, (2) biaya uji mutu

sebesar Rp 5/kg, (3) biaya psrg & asuransi sebesar Rp 10/kg, dan (4) biaya perawatan

sebesar Rp 10/kg. Namun sebelum barang digudangkan, proses pengeringan hingga

pengemasan memakan biaya Rp 200/kg gabah basah atau Rp 250/kg GKG.

Untuk memperoleh gambaran tentang perhitungan resi gudang, berikut dijelaskan

analisis biaya RG kasus penyimpanan barang sebanyak 20 ton GKG varietas Ciherang

dengan lama penyimpanan 3 bulan. Rincian perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1, pangsa biaya pra-gudang ternyata lebih besar (5 %)

dibandingkan biaya gudang sebesar 1.5 persen. Biaya pra-gudang belum memperhitungkan

ongkos angkut dari sawah petani ke gudang PT.Pertani. Proses pengeringan tidak

diharuskan di dryer milik PT.Pertani, petani boleh melakukan pengeringan sendiri asal

memenuhi standar mutu gudang (kadar air 14 %). Pengelola gudang hanya mewajibkan

petani untuk menjahit karung kemasannya di PT.Pertani, karena harus menggunakan jahit

mesin agar kemasan kuat dan tidak mudah rusak. Karung kemasan selam ini masih

menggunakan karung milik petani pemilik gabah. Rencana PT.Pertani akan melakukan

Page 64: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

58

penyeragaman karung kemasan pada tahun 2015, dan akan dikenakan biaya tambahan

untuk karung kemasan.

Tabel 1. Analisis Biaya Sistem Resi Gudang Gabah di Indramayu, 2014

No. Uraian Nilai (Rp) Pangsa thd. Nilai

Barang (%)

1. Nilai taksiran barang (Rp 5000/kg x 20 ton) 100.000.000 100,00

2. Biaya :

e. Biaya pra-gudang (pengeringan, pengemasan

dengan karung, jahit karung dengan mesin)

(Rp 250/kg GKG x 20 ton)

f. Biaya gudang

- Biaya bongkar (Rp 10/kg x 20 ton)

- Biaya uji mutu (Rp 5/kg x 20 ton)

- Biaya registrasi & asuransi

(Rp 10/kg x 20 ton)

- Biaya perawatan (Rp 10/kg x 20 ton)

g. Jasa sewa gudang (Rp 40/kg x 20 ton)

h. Total biaya (2a + 2b)

5.000.000

200.000

100.000

200.000

200.000

800.000

6.500.000

5,00

0,20

0,10

0,20

0,20

0,80

6,50

Untuk biaya gudang, terdapat beberapa komponen yang harus dibayar pemilik

barang. Bongkar barang ditangani langsung oleh tenaga kerja PT.Pertani. Uji mutu barang

dilakukan lembaga di luar PT.Pertani dengan biaya Rp 5/kg GKG. Untuk barang yang

akan diresigudangkan, barang harus diregistrasi ke Kliring Berjangka Indonesia (KBI) dan

diasuransikan, dalam hal ini PT.Pertani menggunakan rekanan PT.Sinar Mas sebagai

penjamin risiko barang. Kegiatan registrasi dan asuransi tersebut dikenakan biaya sebesar

Rp 5/kg. Biaya sewa gudang merupakan penerimaan PT.Pertani atas jasa penyewaan

gudang. Biaya keseluruhan dari pra-gudang hingga diterbitkannya RG, seluruhnya sebesar

6.5 persen dari nilai RG, dengan catatan biaya angkut gabah dari sawah ke lokasi gudang

belum diperhitungkan. Biaya angkut gabah berbanding lurus dengan jarak, makin jauh

jarak sawah ke gudang PT.Pertani, maka ongkos angkut makin mahal. Oleh karena itu,

PT.Pertani akan membatasi barang yang masuk ke gudang maksimal jarak dari lokasi

sawah ke gudang sekitar 40 km. Jika jaraknya lebih dari 40 km, maka disarankan untuk

memanfaatkan gudang PT.Pertani lainnya yang jaraknya dari lokasi sawah relatif lebih

dekat. Proses penerbitan resi gudang rata-rata memakan waktu sekitar 3 hari.

5. Penataan Barang dalam Gudang

Menurut Undang-Undang Resi Gudang Pasal 25 disebutkan bahwa Pengelola

Gudang, berdasarkan kesepakatan, dapat mencampur barang yang jenis, standar mutu, dan

unit satuannya setara atau menurut kebiasaan praktik perdagangan. Dalam prakteknya,

sistem penyimpanan gabah yang di SRG kan, secara teknis telah diatur berdasarkan barang

Page 65: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

59

pada slop-slop penyimpanan yang sudah ditata berdasarkan pembagian tempat yang sudah

disediakan untuk masing-masing penyimpan, selanjutnya diberi nama pemilik barang dan

keterangan identitas lain tentang penjelasan yang terkait dengan status barang titipan yang

digudangkan. Dengan cara ini akan lebih memudahkan sekaligus membantu pengelola

gudang dan pemilik untuk melakunan pengaturan pengontrolan maupun mekanisme dalam

manajemen SRG yang dilaksanakan. Sesuai prosedur, kepemilikan satu resi gudang hanya

diberikan untuk satu nama dari sejumlah barang tunda jual yang dititipkan pemiliknya

kepada pengelola SRG. Sebagai gambaran, penataan barang dalam gudang dapat dilihat

pada Gambar 4.

Gambar 4. Penataan Barang di Gudang PT. Pertani Haurgeulis, Indramayu

Peran Perbankan dalam Pelaksanaan Resi Gudang

Dalam UU Resi Gudang No.9 Tahun 2006 Pasal 4 dinyatakan bahwa :

(1) Resi Gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau digunakan sebagai

dokumen penyerahan barang.

(2) Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan dapat dijadikan jaminan utang

sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya.

Bank BJB Indramayu adalah lembaga keuangan yang ditunjuk untuk pemberi pinjaman

kepada pemilik RG. Kredit RG yang disalurkan melalui kelompok tani yang sudah di

tetapkan adalah Kelompok Tani di Indramayu dan satu kelompok tani di Subang. Sebagai

bank pelaksana SRG, Bank BJB melakukan koordinasi dengan BI Cirebon di Haurgeulis.

Kegiatan koordinasi juga dilakukan melalui Seminar dan Lokakarya. Alur proses

pemberian fasilitas kredit resi gudang dapat dilihat pada Gambar 5. Pihak yang dapat

menerima kredit SRG adalah : (1) Petani, (2) Kelompok tani, (3) Gabungan Kelompok

Tani (Gapoktan), dan (4) Koperasi.

Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh Pengelola Gudang yang telah

memperoleh persetujuan Badan Pengawas. Resi gudang yang telah diperoleh, selanjutnya

Page 66: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

60

dapat dijadikan agunan untuk memperoleh pinjaman dari bank, dalam hal ini Bank BJB

Indramayu. Sebelum kredit dicairkan, akan dilakukan survey dengan cara mengecek

kondisi barang di gudang PT.Pertani.

Gambar 5. Alur Proses Pemberian Fasilitas Kredit Resi Gudang

Secara paralel seorang Analis akan melakukan pengecekan dokumen RG ke kantor

Kliring Berjangka Indonesia (KBI) melalui sistem online yang diberi nama System is

Ware. Melalui sistem online ini juga RG yang akan dijaminkan didaftarkan ke KBI sebagai

resi yang mengajukan permohonan kredit. Pengecekan dokumen RG ke KBI, meliputi : (1)

Legalitas Pengelola Gudang; (2) Keabsahan pihak pemberi hak jaminan; (3) Keabsahan

PETANI,

GAPOKTAN

PENGELOLA

GUDANG

BAPPEBTI

(No. Resi)

PETANI,

GAPOKTAN

BANK BJB

(Pemberi Kredit)

SURVEY SYSTEM IS WARE

(didaftarkan sebagai

jaminan)

Keputusan Kredit

(komite kredit)

PETANI, GAPOKTAN

(pencairan fasilitas kredit

dipindahbukukan ke rekening

petani, gapoktan masuk ke

tabungan Petani, gapoktan)

PELUNASAN

KREDIT

1 2

BARANG DI

GUDANG

3

PENGAJUAN KREDIT 4

5

6

7

8

Page 67: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

61

resi gudang; (4) Jangka waktu Resi Gudang; (5) Nilai Resi Gudang pada saat diterbitkan;

(6) Nama pemegang terakhir Resi Gudang; (7) Status Resi Gudang (terikat Hak Jaminan

atau tidak) dari Pusat Registrasi Resi Gudang, dan (8) Bukti pelunasan biaya pengelolaan

yang dikeluarkan oleh Pengelola Gudang.

Menurut informasi dari staf Bank BJB Indramayu, bahwa Bank BJB tidak

mengenakan biaya administrasi untuk setiap permohonan pinjaman melalui agunan RG.

Bahkan pemilik RG yang mengajukan pinjaman akan memperoleh subsidi bunga dari

pemerintah, sehingga tingkat bunga yang dibebankan pemilik RG relatif kecil. Tingkat

suku bunga SRG ditetapkan sebesar tingkat bunga pasar yang berlaku dengan ketentuan

paling tinggi sebesar suku bunga penjaminan simpanan pada bank Umum yang ditetapkan

oleh lembaga penjaminan simpanan ditambah 6.75 %. Beban Bunga kepada peserta SRG

ditetapkan sebesar 6%. Selisih tingkat bunga SRG dengan beban bunga peserta SRG

merupakan subsidi pemerintah.

Pemberian kredit kepada pemilik resi gudang atas nama kelompok maksimum 70

persen dari nilai RG. Jika pemilik resi gudang atas nama perorangan, nilai kredit yang

diberikan maksimum Rp 75 juta. Penyaluran kredit resi gudang selama periode tahun

2010-2012 berjalan lancar, namun pada tahun 2013-2014 sedikit ada masalah.

Beberapa permasalahan yang dihadapi bank terkait pelaksanaan SRG, sebagai

berikut :

(1) Nilai taksiran barang yang tertulis di resi gudang terlalu tinggi dan nilai barang turun

ketika jatuh tempo pinjaman. Secara penghitungan finansial, pemilik resi gudang akan

rugi.

(2) Terkait pemberian pinjaman, bank umumnya memberikan pinjaman dalam jangka

waktu rata-rata 3 bulan. Permasalahan akan muncul jika mendekati jatuh tempo

belum ditemukan calon pembeli RG. Jika sampai jatuh tempo tidak ada pembeli RG,

maka pelunasan kredit akan tertunda, kondisi ini berdampak pada kinerja bank.

Proses pembelian gabah yang dilakukan oleh Pembeli (bisa pemilik RMU atau

pembeli lain) dilakukan setelah menghubungi pengelola gudang untuk mengecek fisik

gabah yang ada di gudang termasuk kualitas barang yang akan dijual dan kepemilikannya.

Setelah proses tersebut, selanjutnya dilakukan transaksi dan diteruskan ke BJB untuk

verifikasi data SRG, sekaligus verifikasi jumlah transaksi yang harus dibayarkan melalui

BJB sebelum RG diserahkan kepada pembeli. Verifikasi di BJB juga dengan

memperhitungkan jumlah plafon kredit petani atau kelompok tani sebagai pemilik barang

Page 68: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

62

atas pinjaman kredit ke Bank BJB. Bank menerima pembayarannya berdasarkan resi

gudang oleh pembeli termasuk untuk pelunasan biaya ke Bank. Pembeli melakukan

pembayaran ke rekening pemilik barang melalui Bank BJB dan melunasi kewajiban

pemilik barang ke bank. Proses tersebut selesai, kemudian uang hasil transaksi dan

pengurangan pihak Bank BJB diserahkan kepada para petani atau kelompok tani pemilik

barang dan RG dibawa oleh pembeli dan pemilik barang kepada pengelola SRG untuk

pengambilan barang di gudang. Pihak pengelola gudang kemudian melakukan verifikasi

tentang jumlah biaya yang harus diselesaikan oleh pemilik barang dengan pengelola

gudang. Setelah proses tersebut selesai, maka dibuat berita acara penyerahan barang dan

barang baru bisa dikeluarkan dari gudang setelah seluruh tahapan proses diselesaikan.

Permasalahan Implementasi dan Pengembangan SRG

Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa penerapan SRG masih menghadapi

beberapa kendala sebagai berikut:

(1) Belum meluasnya pemahaman manfaat SRG, baik oleh petani maupun pengurus

kelompok tani/gapoktan. Petani berlahan sempit, pada umumnya langsung menjual

gabahnya kepada pedagang karena mereka memerlukan uang tunai dalam waktu

cepat. Mereka menjual gabahnya kepada pengumpul yang juga petani anggota

KT/Gapoktan yang sama. Selanjutnya Gapoktan memproses gabahnya untuk

memenuhi standar dan ketentuan kemasan/pengantongan SRG untuk memperoleh

resi gudang.

(2) Petani perorangan masih menilai pengurusan SRG, proses untuk memanfaatkan jasa

SRG termasuk pemenuhan standar mutu gabah/beras dan estimasi nilai gabah/beras

ribet dan memakan waktu. Disamping itu petani juga menganggap biaya

pengarungan, biaya transportasi dan biaya jasa RG cukup mahal dan tidak ada

kepastian harga jual gabahnya 2-3 bulan kemudian sehingga tidak ada kepastian

apakah mereka untung untuk menyimpan di gudang RG. Bagi mereka lebih menjual

secara cepat dengan harga layak, yakni harga „HPP‟ dianggap lebih menguntungkan

dibandingkan kalau harus mengikuti seluruh prosedur „tunda jual‟ dari SRG, karena

memerlukan waktu untuk memperoleh „uang tunai‟ dan/atau „kredit pembiayaan‟

dari Bank terkait.

(3) Masih banyaknya praktek tebasan, dimana petani menjual padinya disawah

menjelang musim panen. Pembelinya adalah penebas baik pedagang di dalam

maupun dari luar desa/kabupaten Indramayu. Sebagian pedagang/penebas

Page 69: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

63

selanjutnya memanfaatkan SRG baik langsung berhubungan ke Pengelola Gudang

atau ada yang melewati kelompok Gapoktan, karena sebagian pedagang yang

bertindak sebagai penebas bagian juga petani. Dengan demikian pedagang yang lebih

banyak menanfaatkan sistem resi gudang untuk komoditas gabah dan beras.

(4) Pada musim panen terakhir (MK 2014) telah terjadi NPL atau potensial NPL, karena

beberapa RG di gudang Haurgeulis belum terjual padahal sudah melewati waktu

jatuh tempo, sehingga urusan kredit pembiayaan Bank BJB belum selesai. Hal ini

terjadi karena adanya „over-estimasi‟ nilai RG gabah yang disimpan setelah

memperhitungkan harga pasaran gabah, biaya pengeringan, harga pengemasan dan

harga transportasi. Untuk mengatasi masalah yang berpotensi NPL, seminggu

sebelum RG jatuh tempo, Bank akan mengingatkan pengelola gudang dan pemilik

RG tentang waktu jatuh temponya. Selanjutnya Pengelola gudang turut mencarikan

pembeli yang menawarkan harga terbaik bagi pemilik resi sehingga tidak mengalami

kerugian.

(5) Keberadaan HPP gabah/beras dihipotesakan akan menjadi salah satu penyebab SRG

tidak berkembang meluas, karena berbenturan dengan kebijakan stabilisasi harga dan

pengelolaan stok penyangga (Public Stock Holding-PSH) yang dilakukan Perum

BULOG. Secara potensial SRG akan menghadapi NPL mengingat pemerintah lewat

operasi pasar Perum BULOG tidak akan membiarkan harga gabah kelewat tinggi

yang pada gilirannya menyebabkan harga beras terlalu tinggi dan membebani

konsumen. Sementara, dengan penaksiran nilai RG yang kelewat tinggi karena

mengacu kepada HPP ditambah biaya RG dan biaya pembiayaan dari Bank, akan

memaksa pemilik RG untuk menjual/melepas gabah/berasnya dari gudang bila harga

jualnya melebihi nilai RG. Hal ini secara potensial akan menyebabkan NPL yang

tentu saja tidak dikehendaki oleh Bank pendukung.

(6) Teknis pengemasan gabah terutama volume gabah untuk setiap karung tidak

seragam, dengan menggunakan jahitan karung secara manual menggunakan tali

rapia, sedangkan dalam proses yang ditangani SRG pengepakan diseragamkan

dengan volume karung ukuran 50 kg dan jahitan karung sudah menggunakan alat

penjahit mekanis. Penyeragaman ini masih menjadi kendala bagi petani atau pemilik

barang terutama jika menjadi beban tambahan biaya yang harus dibayar oleh petani

atau pemilik barang, sehingga sebagian petani masih menolak persyaratan ini. Untuk

sementara proses pengarungan masih diserahkan kepada petani dan pemilik barang,

Page 70: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

64

dan pada proses ke depan akan diseragamkan oleh fihak pengelola SRG. Kendala

lain pada proses uji mutu yang dilakukan oleh Bulog dan biaya asuransi dianggap

cukup besar. Untuk keseragaman pengemasan, PT.Pertani berencana melakukan

pengemasan dengan karung yang seragam dan akan dimulai pada tahun 2015.

Kendala lainnya terkait dengan masalah pergudangan, terutama untuk pemeliharaan

gudang.

Page 71: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

65

Lampiran 2. Kinerja Penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang

Pendahuluan

Fluktuasi harga yang terjadi pada komoditas pertanian khususnya untuk gabah dan

beras serta kebutuhan modal untuk pembiayaan usahatani seringkali menjadi permasalahan

yang harus dihadapi oleh para petani dalam proses pelaksanaan kegiatan usahatani.

Terjadinya penurunan harga produk pertanian hingga titik terendah pada saat terjadinya

panen raya, tidak sedikit menyebabkan para petani harus menerima kerugian. Sehingga

hasil penjualan produk tidak bisa digunakan untuk sumber pembiayaan kegiatan usahatani

pada musim tanam berikutnya. Mengingat sebagian besar petani mengandalkan modal

usahatani (modal sendiri) dari perputaran pendapatan berdasarkan hasil penjualan produk

pertanian yang diusahakannya.

Sebaliknya, pada saat harga komoditas melambung tinggi akibat produksi komoditas

pertanian yang terbatas di pasaran, juga tidak serta merta dapat dinikmati oleh para petani

yang mengusahakannya. Karena harga pasar sudah terdistorsi oleh peran kelembagaan lain

yang terlibat dalam proses panen, pasca panen maupun pemasaran hasil. Situasi dan

kondisi seperti ini, seakan terus berlangsung pada berbagai jenis produk komoditas

pertanian, tanpa ada solusi dan pemecahan masalah yang lebih komprehenship

menanganinya, dalam satu sistem yang lebih holistik dan terintegrasi satu sama lain.

Langkah dan tindakan komprehensip dalam satu sistem, menuntut semua pihak terkait ikut

memikirkan satu upaya agar para petani tetap dapat menikmati hasil usahatani, melalui

nilai keuntungan dari komoditas pertanian yang diusahakannya.

Sistem tunda jual yang diimplementasikan melalui kegiatan Sistem Resi Gudang

(SRG), diharapkan oleh para petani maupun kelompok tani menjadi salahsatu upaya yang

dilakukan pemerintah untuk menjembatani persoalan yang selama ini dihadapi dalam

proses usahatani hingga pemasaran hasil, atau dengan kata lain antara produk yang

dihasilkan oleh para petani dengan pasar atau pembeli, pada saat tingkat harga tertinggi

yang bisa diterima oleh petani. Sistem tunda jual ditengarai juga dapat memberikan

peluang pada peningkatan kwalitas produk hasil pertanian, sehingga mendorong pada nilai

jual komoditas petani kearah yang lebih kompetitif.

Namun demikian, dalam pelaksanaan sistem tunda jual melalui kegiatan SRG yang

diinisiasikan khususnya di Kabupaten Subang, belum digunakan secara optimal oleh para

petani dan pelaku lainnya, sebagai sarana yang dapat memfasilitasi proses transaksi produk

Page 72: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

66

pada tingkat harga yang cukup tinggi. Dengan gambaran ini maka perkembangan

aktivitas/kegiatan penyelenggaraan SRG relatif masih terbatas, baik dari jumlah produk

maupun jangkauan kemampuan kegiatannya, bahkan memberikan indikasi bahwa proses

percepatan penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang berjalan secara lambat, jika

dibandingkan dengan potensi produksi padi (gabah dan beras) yang dihasilkan di

Kabupaten Subang.

Potensi dan Pelaku Usaha Komoditas Padi

Kabupaten Subang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah

Indramayu dan Karawang. Kabupaten Subang juga sekaligus merupakan penyumbang/

kontributor produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Data luas lahan sawah pada tahun

2012 tercatat 84.929 hektar atau sekitar 41,39 persen dari total luas wilayah Kabupaten

Subang. Sementara jumlah potensi produksi padi sawah dan padi ladang di Kabupaten

Subang pada tahun 2012 mencapai 1.184.010 ton. Data pada tahun 2013, luas sawah di

Kabupaten Subang mencapai 84.928 hektar dengan luas panen 177.547 hektar dan jumlah

potensi produksi padi mencapai 1.204.829 ton dan rata-rata produksi mencapai 67,86

kwintal/hektar (BPS Kabupaten Subang, 2014).

Tabel 1. Luas Sawah, Luas Panen, Hasil dan Produksi Padi di Kabupaten Subang 2009-

2013

Tahun Luas Sawah (Ha) Luas Panen (Ha) Hasil

(Ku/ha)

Produksi

(Ton)

2013 84.928 177.547 67,86 1.204.829

2012 84.928 171.102 67,16 1.149.147

2011 84.928 178.541 66,12 1.180.594

2010 84.929 171.559 55,32 949.210

2009 85.362 182.912 61,32 1.121.600

Sumber : Subang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang 2014

Lebih lanjut, memperhatikan data produksi per kecamatan sesuai dengan areal

sawahnya, sebagian besar berpengairan teknis. Produksi padi (sawah dan ladang) terbesar

masih dihasilkan dari kecamatan Ciasem yang mencapai produksi sebesar 99.924 ton pada

tahun 2012. Khusus padi ladang produksi tertinggi pada tahun 2012 terdapat di Kecamatan

Pabuaran dengan angka produksi 1.326 ton. Berdasarkan data tahun 2013 menunjukkan

bahwa potensi produksi padi sawah, tercatat di Kecamatan Ciasem (99.843 ton);

Patokbeusi (84.297 ton); Tambakdahan (77.623 ton) serta Kecamatan Blanakan (68.692

ton). Jumlah produksi yang dihasilkan dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten

Subang, baru sebagian kecil yang telah diikutsertakan dalam program SRG. Dengan

Page 73: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

67

gambaran data pada Tabel 2 dibawah ini maka dengan mengacu pada jumlah produksi padi

yang dihasilkan dari setiap wilayah, potensi pengembangan program SRG masih sangat

prospektif dilaksanakan di Kabupaten Subang.

Tabel 2. Luas Panen, Hasil Per Hektar dan Produksi Padi Sawah Menurut Kecamatan di

Kabupaten Subang Tahun 2013

No. Kecamatan Luas Penen

(Ha)

Hasil

(Kuintal/ha)

Produksi

(Ton)

1 2 3 4 5

1. Sagalaherang 2.900 53,59 15.541

2. Serang Panjang 2.640 54,98 14.516

3. Jalan Cagak 2.338 58,12 13.589

4. Ciater 1.962 63,54 12.467

5. Cisalak 3.577 60,24 21.546

6. Kasomalang 1.910 56,96 10.879

7. Tanjungsiang 3.376 62,62 21.139

8. Cijambe 4.809 60,97 29.320

9. Cibogo 4.779 68,44 32.709

10. Subang 3.656 54,34 19.867

11 Kalijati 2.092 55,53 11.617

12 Dawuan 5.289 62,78 33.205

13 Cipeundeuy 3.170 62,85 19.323

14 Pabuaran 8.728 67,54 58.949

15 Patokbeusi 11.653 72,34 84.297

16 Puwadadi 3.072 61,28 18.824

17 Cikaum 4.417 67,59 29.856

18 Pagaden 5.732 62,74 35.963

19 Pagaden Barat 9.198 65,79 60.510

20 Cipunagara 11.228 63,98 71.835

21 Compreng 10.252 40,51 41.532

22 Binong 7.596 82,59 62.737

23 Tambakdahan 9.490 82,32 77.623

24 Ciasem 12.753 78,29 99.843

25 Pamanukan 3.824 71,65 27.399

26 Sukasari 7.338 78,56 57.651

27 Pusakanagara 6.301 77,45 48.800

28 Pusaka Jaya 7.889 81,90 64.608

29 Legon Kulon 5.295 74,39 39.392

30 Blanakan 10.343 66,41 68.692

Jumlah 177.547 67,86 1.204.829

Sumber : Subang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang, 2014

Berdasarkan data pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Subang pada tahun

2013, menunjukkan bahwa jumlah petani penggarap mencapai 461.634 orang. Jika

Page 74: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

68

dikaitkan dengan luas areal sawah yang ada di kabupaten Subang pada tahun 2013, lahan

yang digarap oleh petani pemilik dan bukan pemilik, menunjukkan rata-rata penguasaan

hanya 0,184 hektar per penggarap serta hasil produksi yang diperoleh rata-rata hanya

mencapai 2,61 ton untuk setiap petani penggarap. Besarnya prosentasi petani penggarap

yang bukan pemilik lahan garapan, baik itu dilakukan dengan sistim sewa, maro, bagi hasil

dan pola penggarapan lainnya akan sangat menentukan pada proses pengambilan

keputusan, apakah produksi padi akan dijual langsung atau diikutsertakan pada program

SRG, jika pada saat panen raya didapati harga pembelian yang sangat rendah.

Disisi lain dalam proses pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Subang, juga

masih akan terkait dengan pola bawon, borongan maupun pola lainnya yang diterapkan,

sehingga jumlah produksi kotor masih harus dikurangi dengan biaya-biaya yang harus

dikeluarkan serta menjadi tanggungjawab penggarap. Dengan demikian bagi para

penggarap yang bukan pemilik lahan sawah, serta luas garapan yang relatif terbatas, proses

penjualan tebasan merupakan alternatif yang menguntungkan jika dibandingkan dengan

pola SRG yang ditawarkan.

Tabel 3. Jumlah Petani Penggarap menurut Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten

Subang Tahun 2009-2013

Tahun

Petani Penggarap Jumlah

Pemilik (%) Bukan

Pemilik (%) (orang) (%)

2013 152.715 33,08 308.919 66,92 461634 100,00

2012 163.404 33,11 330.094 66,89 493498 100,00

2011 161.079 33,39 321.390 66,61 482469 100,00

2010 150.116 55,20 121.849 44,80 271965 100,00

2009 161.743 59.74 109.005 40,26 270748 100,00

Sumber : Subang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang 2014

Proses Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang : Kasus KSU Annisa

Penyelenggaraan Skim SRG di Kabupaten Subang, dilaksanakan melalui model

kegiatan usaha yang dikelola oleh Koperasi. Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa

ditetapkan Bappepti menjadi pengelola SRG tahun 2008, sebagai pengembangan unit

usaha KSU yang secara khusus membidangi kegiatan SRG untuk komoditas padi dan

beras. Wilayah produksi padi yang dikelola SRG ini meliputi beberapa kecamatan yang

ada di Kabupaten Subang. Usaha awal dilakukan pada tahun 2008 dan kemudian

mengembangkan usaha SRG yang dilakukan dengan pengelolaan sarana gudang pada

tahun 2010. Usaha SRG dilakukan terhadap penanganan komoditas khusus yang

Page 75: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

69

diprogramkan oleh Dirjen P2HP Kementerian Pertanian di Wilayah Kecamatan Binong

dan Kecamatan sekitarnya di Kabupaten Subang. Komoditas khusus dimaksud adalah padi

jenis ketan dan kemudian dikelola dalam bentuk gabah dan beras ketan yang diproyeksikan

untuk mengurangi substitusi impor sebesar 10 persen.

Penanaman beras ketan di Kabupaten Subang secara intensif mulai dilakukan tahun

2002 di Desa Citra Kecamatan Binong, Subang, Jawa Barat. Namun dihadapkan dengan

beberapa kendala, diantaranya: adanya fluktuasi harga gabah/teras ketan yang tinggi

sehingga sulit diprediksi dan menimbulkan ketidakpastian harga. Budidaya tanaman ketan

relatif lebih rentan terhadap hama karena perhatian baik dari pemerintah maupun petugas

masih kurang. Kemudian benih masih menjadi masalah utama karena masih terbatasnya

penangkar benih yang bergerak di varietas ketan sehingga pengadaan benih dilaksanakan

oleh petani sendiri.

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen P2HP)

menggalang kemitraan antara petani beras ketan dengan penggilingan dan importirnya

melalui program substitusi beras ketan impor di Subang Jawa Barat. Di kabupaten Subang

pada perkembangan tahun 2010-2011 luas areal ketan mencapai ± 7.250 ha tersebar di 8

kecamatan dan 30 desa, meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan

substitusi impor sebesar 75 persen posisi Mei 2011 telah berdampak kepada penyerapan

beras ketan lokal sebesar 5.437,5 ton dari kuota impor yang sudah dikeluarkan 72.500 ton

dan terbagi kepada 2 kabupaten yaitu Kabupaten Subang Jawa Barat dan Kabupaten

Lumajang Jawa Timur. Program ini dinilai berhasil dan akan dikembangkan ke daerah

Indramayu dan lokasi lainnya di Jawa Barat.

Pada akhir tahun 2014, Bappebti melaporkan 5 (lima) besar penyelenggara RG

menurut nilai RG yang diterbitkan Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa (Rp 16.8 milyar).

Jumlah RG yang diterbitkan oleh pengelola SRG KSU Annisa mencapai 173 dengan nilai

Rp 16 851 Milyar. Dari jumlah RG yang diterbitkan tadi, sejumlah 170 RG yang kemudian

diajukan menjadi sumber pembiayaan dengan nilai kredit sebesar Rp 11.563 milyar,

melalui Bank BJB Cabang Kabupaten Subang.

Pelaksanaan SRG yang dikelola melalui unit usaha KSU ini terus berkembang,

sejalan dengan program pengembangan komoditas padi ketan yang diintroduksikan,

sehingga memerlukan tambahan fasilitas untuk gudang penyimpanan hasil produksi yang

diikutsertakan dalam kegiatan usaha SRG yang dikelola oleh KSU Annisa. KSU Annisa

kemudian memanfaatkan 4 gudang untuk mendukung kegiatan SRG. Status gudang

Page 76: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

70

tersebut, meliputi 3 unit dalam bentuk sewa dan 1 unit melalui pinjam pakai milik

Bappepti. Kapasitas Gudang I milik Bappepti yang berada di lokasi Gudang Binong

mencapai 1000 ton dan saat penelitian ini dilakukan, gudang I terisi gabah jenis ketan

sebanyak 1089 ton. Gudang II di lokasi Sri Ampeli dengan kapasitas 840 ton dan terisi

gabah ketan 632,15 ton. Gudang III di Blok Jungklang Desa Mulyasari Kecamatan Binong,

dengan kapasitas 250 ton dan terisi gabah ketan 244,850 ton, serta Gudang IV yang berada

di desa Jatimulyo Kecamatan Compreng mempunyai kapasitas 700 ton, tetapi baru terisi

gabah ketan 670,5 ton. (Tabel 4).

Tabel 4. Alamat, Luas, Kapasitas, dan Isi Gudang per Desember 2014

Gudang Alamat Luas

(m2)

Kapasitas

(ton)

Isi

(ton)

Gudang I (milik Bappepti) Desa Binong, Kecamatan.

Binong

700 1000 1 089

Gudang II (sewa) Desa Sri Ampeli Kec. Binong 700 840 632.15

Gudang III (sewa) Desa Mulyasari, Kec. Binong 180 250 244.85

Gudang IV (sewa) Desa Jatimulyo, Kec.

Compreng

600 700 670.50

Total 2180 2790 2636,50

Sumber : KSU Annisa, (2014)

Sampai saat ini banyak petani yang berminat untuk masuk menjadi peserta SRG,

tetapi pihak pengelola masih terkendala dengan masalah ketersediaan jumlah gudang yang

memadai untuk kegiatan SRG. Biaya sewa/kontrak gudang, seperti yang dilakukan pada

gudang II hingga gudang IV dihitung per meter persegi senilai Rp 11.500 per lima bulan

atau Rp 27.600 per m2

per tahun. Luas areal gudang I dan II masing-masing 700 meter

persegi; gudang III 180 meter persegi; dan gudang IV luasnya mencapai 600 meter

persegi.

Gudang yang disewa KSU Annisa pada dasarnya merupakan milik pengurus

kelompok tani yang juga menjadi anggota KSU Annisa dan pengelola SRG. Hal ini

dilakukan karena jumlah dan ketersediaan gudang yang ada di wilayahnya juga terbatas.

Lokasi gudang tersebut berada diantara lahan usahatani yang dikelola oleh para petani

yang menjadi anggota kelompok. Sehingga pemanfaatan gudang tersebut dapat

mengurangi beban biaya transpotasi, khususnya untuk ongkos angkut yang harus

dikeluarkan oleh para petani pada saat membawa gabah hasil panen atau beras yang akan

disimpan ke gudang SRG yang dikelola KSU Annisa.

Page 77: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

71

Gambar 1. Mekanisme Penyerahan Gabah Petani Ke Gudang SRG CV Annisa

Para pelaku yang memanfaatkan 4 gudang tersebut adalah sejumlah 200 orang petani

baik secara individu maupun tergabung dalam kelompok, disamping ada 6 orang

pedagang. Jenis gabah yang dikelola melalui kegiatan SRG adalah Gabah Ketan yang

sebagian besar merupakan hasil panen para petani yang ada di wilayah Kecamatan Binong.

Jenis padi ketan yang ditanam oleh para petani di wilayah ini pada umumnya padi jenis

ketan dari varietas Derti dan Gebrug. Namun dalam kegiatan SRG dua varietas ini dapat

dilakukan pencampuran pada saat proses pengarungan ulang di gudang SRG. Gabah masuk

ke gudang biasanya pada bulan 4 (April) – 5 (Mei) serta pada bulan Oktober, November

hingga bulan Desember dan dikeluarkan pada bulan 1 (Januari) - 2 (Februari). Jangka

waktu penyimpanan gabah di gudang ditetapkan paling lama 2 bulan (jatuh tempo),

sementara untuk perhitungan petani, penyimpanan dapat dilakukan hingga 4 bulan.

Proses Penerbitan Resi Gudang

Permohonan RG dapat dilakukan pemilik barang baik atas nama individu atau

kolektif. Setiap pemohon resi gudang harus mengikuti aturan yang ditetapkan pengelola

gudang. Dalam permohonan penerbitan RG, pengelola gudang mensyaratkan minimal

volume barang 10 ton/nama pemohon. Oleh karena itu, jika volume barang yang dimiliki

petani kurang dari 5 ton, atau batas yang dipersyaratkan pengelola maka petani tersebut

harus bergabung untuk mencapai volume minimal yang sudah ditentukan oleh pengelola

gudang. Pengelola gudang dapat melakukan pencampuran barang dengan jenis, varietas,

dan kualitas yang yang sama pada saat dilakukan pengemasan ulang untuk penyeragaman

jenis dan ukuran karung, melakukan pelabelan serta dalam satuan/volume yang sama,

misalnya untuk satu karung rata-rata berat gabah simpan dibuat seragam menjadi 50 atau

Petani Kelompok Tani

Koperasi CV Annisa

Gudang SRG

Proses Pengeringan

Proses Uji Mutu

Page 78: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

72

100 kg, sehingga akan lebih memudahkan pengontrolan dan perhitungan pengelola gudang

pada saat mencek tonase gabah yang disimpan di gudang.

Kegiatan pra-gudang untuk barang yang akan diresigudangkan seluruhnya dilakukan

pemilik barang, karena sejak beroperasi hingga saat ini (Desember 2014) KSU Annisa

belum memiliki fasilitas kegiatan pra-gudang, seperti pengeringan, pengemasan, dan

fasilitas jahit karung. Gudang menerima barang yang sudah dikemas oleh pemilik barang

Permohonan Simpan Barang

Ruang

Tersedia ?

Mutu Barang

Sesuai ?

Pembongkaran, Penimbangan, dan

Penumpukan Barang

Asuransi Barang

Pengalihan Resi Gudang

Penerbitan

Resi Gudang

Penjaminan

Resi Gudang

Penyimpanan & Perawatan

Barang

Perubahan Pembebanan Hak Jaminan

Penyelesaian

Transaksi

Penghapusan

Pembebanan

Hak Jaminan

RG

Dijaminkan ? Cidera Janji ?

Penjualan Objek Hak Jaminan

STOP

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak Tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

Sumber : KSU Annisa, 2014

Gambar 2. Bagan Alir Sistem Resi Gudang di Gudang Pengelola KSU Annisa, Kabupaten

Subang

Page 79: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

73

dengan karung dan bobot tonase yang beragam. Sebelum barang diterima masuk ke

gudang, terlebih dahulu pengelola akan mengecek ketersediaan tempat di gudang dan mutu

barang. Proses penerbitan resi gudang di KSU Annisa dapat dilihat pada Gambar 2.

Setiap barang yang akan diresigudangkan harus memenuhi standar mutu yang

ditetapkan pengelola gudang. Standar mutu ditetapkan menurut jenis komoditas. Standar

mutu untuk gabah dan beras giling dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Standar mutu beras

giling yang ditetapkan gudang KSU Annisa sesuai SNI 01-6128-1999. Sementara untuk

standar mutu gabah sesuai SNI 01-0224-1987.

Tabel 5. Standar Mutu Beras Giling di Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang

No. Komponen Mutu Satuan Mutu

I

Mutu

II

Mutu

III

Mutu

IV

Mutu

V

1. Derajat sosoh (%) 100 100 100 95min 85min

2. Kadar air (maksimum) (%) 14 14 14 14 15

3. Beras kepala

Butir utuh (min) (%)

100

60

95min

50

84min

40

73min

35

60min

35

4. Butir patah (maksimal) (%) 0 5 15 25 35

5. Butir menir (maksimal) (%) 0 0 1 2 5

6. Butir merah (maksimal) (%) 0 0 1 3 3

7. Butir kuning/rusak (maksimal) (%) 0 0 1 3 5

8. Butir mengapur (maksimal) (%) 0 0 1 3 5

9. Benda asing (maksimal) (%) 0 0 0.02 0.05 0.2

10. Butir gabah (maksimal) (butir/100 g) 0 0 1 2 3

11. Campuran varietas lain

(maksimal)

(%) 5 5 5 10 10

Sumber : KSU Annisa, 2014

Dalam proses ini, kadar air akan sangat berpengaruh pada masa penyimpanan.

Pengeringan gabah dengan dryer dapat menghasilkan gabah dengan kadar air 14 persen,

sedangkan pengeringan dengan panas matahari menghasilkan gabah dengan kadar air lebih

dari 14 persen. Gabah dengan kadar air hingga 14 persen dapat disimpan di gudang 3-6

bulan, jika kadar air gabah lebih dari 14 persen (mutu V), maka gabah hanya dapat

disimpan 2-3 bulan.

Jika barang sudah lolos uji mutu dan tempat di gudang masih tersedia, maka

pengelola gudang akan menerima barang tersebut untuk diproses masuk gudang. Sebelum

diterbitkan RG, pengelola gudang harus mengurus asuransi sebagai penjamin risiko

kerusakan atau kehilangan barang selama di gudang. Setelah seluruh tahapan dalam proses

SRG dilakukan, maka pengelola gudang akan segera menerbitkan RG. Selanjutnya RG

tersebut dapat dijadikan sebagai agunan untuk melakukan kredit di bank BJB cabang

Page 80: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

74

Kabupaten Subang. Proses permohonan kredit di Bank BJB Kabupaten Subang relatif

sama dengan proses permohonan kredit di Bank BJB Kabupaten Indramayu, karena

kebijakan perbankan ditentukan secara terpusat.

Tabel 6. Standar Mutu Gabah di Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang

No. Komponen Mutu Satuan Mutu

I

Mutu

II

Mutu

III

1. Kadar air (% maksimum) (%) 14.0 14.0 14.0

2. Gabah hampa (% maksimum) (%) 1.0 2.0 3.0

3. Butir rusak dan butir kuning (% maksimum) (%) 2.0 5.0 7.0

4. Butir mengapur + gabah muda (% maksimum) (%) 1.0 5.0 10.0

5. Butir merah (% maksimum) (%) 1.0 2.0 4.0

6. Benda asing (% maksimum) (%) - 0.5 1.0

7. Gabah varietas lain (% maksimum) (%) 2.0 5.0 10.0 Sumber : KSU Annisa, 2014

Proses Penaksiran Harga

Proses penaksiran harga difokuskan pada komoditas yang diresigudangkan di KSU

Annisa, yaitu gabah ketan. Langkah awal yang dilakukan pengelola gudang adalah

melakukan beberapa tahapan, yaitu (1) melakukan survey harga pasar; (2) memperkirakan

biaya angkut gabah dari lokasi sawah ke gudang; (3) memperhitungkan biaya penyusutan

barang pada proses pengeringan yang berkisar antara 15-20 persen.

Informasi awal tentang penetapan harga gabah yang akan masuk ke SRG dilakukan

berdasarkan hasil taksiran harga pasar pada batas maksimal Rp 6.000/kg, dan harga PB

(Penggilingan Beras) Rp 5.500, dengan standar barang sudah baik dan bersih sesuai

standar untuk bibit petani. Sementara itu harga pasar tercatat pada posisi Rp 5.200 – Rp

5.500 per kg dalam bentuk Gabah Basah. Dengan taksiran harga gabah kering Rp

6.000/kg, sudah memperhitungkan penyusutan dari Gabah Basah ke Gabah Kering sebesar

20 persen. Kondisi barang dari petani, biasanya banyak hampa. Tetapi barang yang akan

masuk gudang sudah harus mendekati untuk standar benih, yaitu sudah bersih dan tidak

ada yang hampa. Harga untuk benih mencapai Rp 9.000/kg, sementara harga beli PB hanya

RP 5.500. Berdasarkan perhitungan gudang harga dasar gabah Rp 58.000/kw dari harga

taksiran Rp 60.000/kw untuk SRG termasuk biaya angkut sampai dengan gudang.

Mekanisme dan proses penentuan harga taksiran oleh pihak SRG, sebagai berikut :

melakukan atau melihat pasaran dari tiap bakul-bakul, PB dan calo-calonya berdasarkan

harga standar musim sebelumnya. Taksiran plafon Rp 7.000, harga pasar Rp 6.000, Rp

6.100 - Rp6.200, Rp 5.800, Rp 5.500. Dirata-ratakan Rp 6.000. Dengan demikian harga

Page 81: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

75

pembelian rata-rata Rp 6.000/kg. Biaya-biaya angkut dan sebagainya Rp 580/kg. Jatuh

perhitungan Rp 6.000+ Rp 580 sehingga menjadi Rp 6.580 s/d Rp 6.600/kg. Plafon

diajukan Rp 7.000/kg. Harga pembelian Rp 6.600 dalam kondisi Gabah Basah. Konversi

gabah basah menjadi gabah kering mengalami penyusutan antara 15-20 persen, dari 1 ton

GKP menjadi 8 kw GKG. Dibayar oleh Bank sebesar 70 persen pada harga Rp 7.000.

Perhitungannya Rp, 7.000 x 70% = Rp 4.900/kg atau sekitar Rp 5.000/kg.

Dengan perhitungan Gudang nantinya PB yang membeli dari gudang, dengan harga

Rp 6.500/kg gabah. Kemudian diolah menjadi beras dengan harga jual Rp 11.700/kg. Jenis

gabah yang ditangani oleh gudang adalah jenis gabah ketan dan diolah menjadi beras

ketan. Dengan begitu maka harga BP dari SRG Rp 7.500/kg. Biaya registrasi dicover oleh

pemerintah, biaya donggle untuk menerbitkan resi dan biaya penerbitan, pembayarannya

menjadi beban gudang. Tugas yang dilakukan oleh KSU senantiasa diawasi oleh Bappepti,

termasuk untuk pembuatan gudang. Tahapan penaksiran harga gabah ketan yang akan

diresigudangkan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Proses Penaksiran Harga Gabah Ketan di Gudang Pengelola KSU Annisa, Kabupaten

Subang

Pada saat harga taksiran mencapai Rp 7.000/kg, maka secara rasional petani akan

menjual gabahnya jika harga yang ditawarkan calon pembeli lebih dari Rp 7.000/kg.

Umumnya pembeli gabah dari gudang KSU Annisa adalah unit penggiling beras. Jika

pembelinya penggilingan beras, yang dijadikan patokan untuk pembelian gabah adalah

harga eceran beras ketan. Menurut informasi pegelola gudang, jika harga beras ketan di

pasaran mencapai Rp 12.500/kg, maka pembeli akan memperoleh keuntungan dari produk

sampingan pengolahan gabah ke beras, berupa menir yang mencapai 10 persen dan dedak

sebanyak 1 persen dari total volume gabah yang digiling. Dalam proses penggilingan

SURVEY HARGA PASAR

- Gabah ketan kualitas rendah Rp 5.500/kg

- Gabah ketan kualitas sedang Rp 5.800/kg

- Gabah ketan kualitas tinggi Rp 6.100-6.200/kg

Harga Rata-rata Rp 6.000/kg

Biaya angkutan dari

sawah ke gudang

Rp 580/kg

Biaya penyusutan

pada proses

pengeringan sekitar

15-20 %

Harga taksiran gabah ketan

Rp 7.000/kg

Page 82: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

76

gabah ke beras rata-rata rendemennya sebesar 54 persen, sebagai gambaran jika gabah

yang digiling sebanyak 10 ton, maka akan diperoleh beras ketan sebanyak 5,4 ton. Menir

dan dedak sebagai hasil sampingan saat penggilingan gabah mempunyai nilai jual, masing-

masing Rp 8.500/kg dan Rp 2.300/kg.

Pemanfaatan Sistem Resi Gudang oleh Petani, Kelompok Tani dan Gapoktan

Pemanfaatan SRG yang dikelola oleh KSU Annisa, baru mencapai 200 orang petani,

baik secara individu maupun tergabung dalam kelompok. Selain petani dan kelompok tani,

pengguna SRG juga terdiri atas 6 orang pedagang yang sekaligus merupakan anggota

kelompok tani yang secara bersama-sama memanfaatkan 4 gudang yang disediakan oleh

pengelola yang tergabung dalam Gapoktan Tani Sejahtera. Jumlah anggota gapoktan

secara keseluruhan mencapai 426 anggota yang terdiri atas 8 kelompok tani, dan 6

kelompok diantaranya yang telah aktif memanfaatkan SRG. Total luas sawah dari seluruh

anggota gapoktan (420 petani) mencapai 517 hektar. Dengan demikian tidak seluruh

anggota gapoktan memafaatkan SRG sebagai sarana untuk memasarkan hasil panennya.

Petani Panen Pemilihan

masuk ke RG

Dikasih ketentuan yang ada

1. Gabah harus kering; 2. Berdasarkan hasil uji

mutu Kering oven = < 14 % (bisa 3-6 bulan simpan) Matahari > 14-15 % (2-3 bulan simpan)

Taksir untuk harga

Asuransi oleh SRG

Keluar

Sertifikat SRG Keluar Resi

(RG)

Ke petani /kelompok tani (pemilik barang)

Ke Bank Ke petani

/kelompok tani (pemilik barang)

SRG/Pengelola Gudang

Barang Keluar Penggilingan

Beras (PB)

Gambar 4. Proses Pelaksanaan SRG di KSU Annisa Kabupaten Subang

Page 83: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

77

Bagi petani yang tidak memanfaatkan SRG, umumnya hasil panen langsung dijual

lepas ke kelompok tani dan langsung mendapat uang tunai. Petani tidak bisa menahan

gabah hingga kering karena tidak punya tempat penyimpanan maupun tempat jemur.

Dorongan kebutuhan untuk pemenuhan konsumsi dan keperluan uang tunai untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga, menjadi alternatif para petani harus segera menjual

gabah. Sebagian petani dengan terpaksa menjual gabah ke tengkulak dengan konsekuensi

harga menjadi rendah. Kondisi ini seperti dikemukakan Bappepti (2008), bahwa disaat

panen para petani dihadapkan pada situasi tanpa pilihan, kecuali menjual komoditi hasil

panennya segera setelah panen kepada para pedagang/tengkulak, saat dimana harga hasil

komoditi terkait cenderung turun. Harga dasar yang ditetapkan pemerintah atas suatu

komoditi, dalam prakteknya terdistorsi di tingkat pasar dan tidak optimal memberikan

manfaat kepada para petani. Nilai yang diterima atas hasil penjualan komoditi seringkali

tidak memadai, baik untuk mendukung kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya

atau lebih jauh lagi bagi modal produksi/pertanaman musim berikutnya (Bappepti, 2008).

Gapoktan juga melakukan pembelian gabah di dalam kelompok tani pada saat petani

sudah menjual awal tanamannnya melalui sistem tebasan, sehingga kegiatan panen

dilakukan sekaligus oleh gapoktan. Sebagian besar petani yang menjual secara tebasan,

adalah para petani yang mempunyai luasan lahan usahatani terbatas. Secara umum perilaku

petani melakukan tindakan tersebut, diduga karena (1) kurangnya pemahaman SRG; (2)

adanya kebutuhan dana tunai yang mendesak; (3) tidak mau menjalani proses SRG yang

dianggap rumit dan (4) berkaitan dengan kurangnya sosialisasi awal dan para petani belum

merasakan manfaat SRG.

Dalam memanfaatkan SRG, Gapoktan juga tidak hanya mengandalkan pembelian

gabah dari anggotanya. Secara aktif gapoktan melakukan pembelian gabah dari luar

anggota gapoktan. Pemahaman pengurus tentang konsep SRG, mendorong pengurus

gapoktan lebih aktif melakukan pembelian gabah untuk diresigudangkan, sekaligus

melakukan sosialisasi SRG kepada para petani. Dalam aktivitas ini, pengurus tidak hanya

berperan sebagai petani atau ketua kelompok, tetapi juga berperan sebagai pedagang.

Pemanfaatan SRG dilakukan melalui kelompok secara intensif pada tahun 2011.

Pada tahun 2012-2013 berhenti dan pada tahun 2014 aktif kembali, dengan jumlah gabah

yang diikutsertakan dalam kegiatan SRG mencapai 2.800 ton. Proses pengajuan RG pada

tahap I, dilakukan atas nama Gapoktan 50 % x 517 ha, meliputi 426 anggota; Kemudian

tahap II tidak atas nama gapoktan tetapi atas nama perorangan. Berdasarkan pengalaman

Page 84: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

78

kelompok, pengajuan secara perorangan dirasakan lebih rumit dibandingkan dengan sistem

gabungan kelompok tani (gapoktan). Sehingga pengajuan melalui gapoktan dianggap lebih

efisien, sederhana dan lebih nyaman dalam proses pengajuan di Bank.

Adanya peningkatan respon petani terhadap kegiatan SRG ini, merupakan hasil

sosialisasi secara gencar dilakukan selama tahun 2012-2013, hingga petani mendapat

informasi tentang manfaat adanya SRG. Proses sosialisasi 50 persen dilakukan dari

anggaran pemanfaatan RG. Pada periode selanjutnya, intensitas pertemuan petani untuk

kegiatan sosialisasi dilakukan di gapoktan. Kegiatan sosialisasi juga dilakukan di

kabupaten dengan penyuluh swadaya, dan kemudian dengan RMU.

Terjadinya peningkatan respon petani yang cukup besar berakibat pada kebutuhan

sarana gudang penyimpanan. Untuk pemenuhan gudang, KSU Annisa melakukan

penambahan jumlah gudang dengan sistim penyewaan gudang milik swasta dan pengurus

kelompok tani serta pendampingan dari PT Pertani. Ketersediaan gudang yang ada,

disiapkan untuk penyimpanan gabah yang meliputi luas areal tanam di 6 kecamatan.

Komoditas yang diusahakan oleh para petani yang terkait dengan SRG adalah padi

ketan dengan pola tanam padi-padi 2 kali dalam setahun. Jenis komoditas padi ini dalam

penentuan harga pasar tertinggi, diperkirakan belum termasuk dalam ketentuan HPP

seperti pada jenis gabah lainnya. Jenis padi ketan yang ditanam pada umumnya adalah

varietas Derti. Berdasarkan pola tanam dan musim tanam yang dilakukan, musim panen

raya biasanya terjadi pada bulan 4 dan bulan 8, dengan rata-rata produksi 7,5 ton per hektar

pada bulan 4, dan 6 ton per hektar pada panen raya bulan 8.

Prospek dan Perkiraan Keuntungan bagi Pengelola SRG

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Bappepti dan Putri (2012), tentang

manfaat penggunaan SRG bagi pengelola maupun pengguna, khususnya yang dilaksanakan

di KSU Annisa pada bulan Oktober, disimulasikan sebagai berikut: Melalui SRG,

menyimpan gabah sebanyak 60 ton gabah ketan. Pada saat itu harga pasar untuk gabah

ketan adalah Rp 5.000,-/kg. Biaya penyimpanan yang dibayarkan kepada PT. Pertani

selaku Pengelola Gudang di kabupaten Subang adalah sebesar Rp 4.500.000,-. Pada bulan

Desember gabah ketan yang disimpan dibeli dengan harga Rp 5.900,-/kg. dalam selang

waktu 2 bulan KSU Annisa dapat memperoleh selisih harga sebesar Rp 900,-/kg, maka

perhitungan keuntungannya adalah sebagai berikut:

Page 85: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

79

Jika Simulasi yang sama digunakan pada kondisi data yang diperoleh dari hasil

penelitian analisis kebijakan pada Desember 2014, dengan volume gabah yang disimpan di

4 lokasi Gudang yang dikelola oleh KSU Annisa mencapai 2.636,5 ton. Biaya sewa

gudang Rp 11.500 per meter persegi selama 5 bulan, dengan luas total 3 gudang (sewa)

mencapai 1.480 m persegi. Harga pembelian Rp 6.000 per kg GKG. Harga jual setelah

disimpan 2 bulan diproyeksikan dengan harga Rp 7.000 per kg, maka :

Keterangan : * penggunaan gudang milik Bappepti (700 m²) tidak dikenakan biaya sewa

** Data terakhir Bappepti 2014 (Erwidodo, dkk. 2015)

Beberapa konsekuensi yang harus menjadi pembiayaan petani dalam kaitan

penyelenggaraan SRG termasuk untuk biaya operasional gudang dan lainnya, secara tidak

langsung ditanggung oleh pemilik barang (pengguna), melalui jasa penyimpanan gabah

petani/pengguna di gudang sebesar Rp 100/kg untuk perhitungan biaya penyimpanan

maksimal gabah selama 4 bulan atau Rp 50/kg per 2 bulan. Biaya penyimpanan tersebut,

meliputi; biaya uji mutu, asuransi, tagihan KBI, perawatan dan fumigasi, gaji karyawan

dan biaya lain.

Biaya-biaya pra-gudang yang dibayar/dikeluarkan oleh petani/pengguna, meliputi ;

biaya pengeringan, karung dan bongkar-muat, diperhitungkan mencapai rata-rata Rp 275

Jika dijual langsung: 60.000 x Rp. 5.000/kg = Rp 300.000.000

Dengan disimpan 2 bulan:

Biaya Penyimpanan Rp 4.500.000

Bunga Bank 6% X 2/12 X Rp. 189.000.000 = Rp 1.890.000

Harga Jual setelah disimpan 2 bulan = 60.000 x Rp 5.900/kg

= Rp 354.000.000,-

Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya

penyimpanan + biaya bunga)

= Rp 354.000.000– (Rp 300.000.000 + Rp 4.500.000 + Rp 1.890.000)

= Rp 354.000.000– Rp 306.390.000

= Rp 47.610.000

Jika dijual langsung : 2.636,5 ton x Rp 6.000/kg = Rp 15.819.000.000

Dengan disimpan selama 2 Bulan :

Biaya Penyimpanan (Sewa Gudang) = Rp 6.808.000*

Bunga Bank = 6% x 2/12 x Rp 11.563.000.000**,- = Rp 115.630.000

Harga jual setelah disimpan 2 bulan = 2.636,5 ton x Rp 7.000/kg = Rp 18.455.500.000

Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya

penyimpanan + biaya bunga)

= Rp 18.455.500.000 – (Rp 15.819.000.000 + Rp 6.808.000 + Rp 115.630.000)

= Rp 18.455.500.000 – Rp 15.941.438.000

= Rp 2.514.062.000

Page 86: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

80

per kg dan untuk proses penyimpanan gabah di Gudang SRG Rp 100/kg. Jumlah biaya

keseluruhan yang dibayar petani/pengguna, mencapai Rp 375 per kg atau setara dengan

5,36 persen dari taksiran nilai gabah jenis ketan (Rp 7.000/kg), dimana rata-rata harga

penjualannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis gabah dari varietas padi

lainnya. Ketentuan biaya yang terkait dengan penyelenggaraan SRG yang harus

dikeluarkan petani (individu) di Kabupaten Subang, meliputi biaya pengeringan Rp 200-

240 per kg; biaya karung Rp 4.000 per kw; biaya angkut Rp 50.000 per ton, biaya bongkar-

muat Rp 3.000 per kw; serta biaya penyimpanan di gudang Rp 100 per kg untuk 4 bulan

(Tabel 7).

Tabel 7. Analisa Simulasi Biaya Petani Pengguna SRG di KSU Annisa, di Kabupaten

Subang 2014

No Uraian

Ketentuan

Pengelola

Gudang

Harga dan

Biaya

(Rp/kg)

Nilai

(Rp 000)

Pangsa Thd

Nilai

Barang (%)

1. Nilai Taksiran Barang (10 Ton) GKG 7000 70.000 100.00

2. Biaya-Biaya

a. Biaya Pra Gudang

- Biaya Pengeringan (10 Ton) 200-240/kg 200 2.000 2.86

- Biaya Karung (10 Ton) 4.000/kw 40 400 0.57

- Biaya Angkut (10 Ton) 50.000/ton 5 50 0.07

- Biaya Bongkar-Muat (10 Ton) 3.000/kw 30 300 0.43

Biaya Total Pra-Gudang 2.750 3.93

b. Biaya Penyimpanan/Gudang

(Biaya Uji Mutu, Asuransi,

Tagihan KBI,

Perawatan/Fumigasi, Gaji

Karyawan dan Biaya lain)

(10 ton)

100/kg*

100

1.000

1.43

3. Biaya Total Gudang 1.000 1.43

4. c. Total Biaya 3.750 5.36 Sumber data : KSU Annisa, Desember 2014 (diolah)

Keterangan : * Perhitungan biaya untuk penyimpanan selama 4 bulan

Biaya lain yang belum diperhitungkan sebagai pengurang pendapatan pengelola

dalam penyelenggaraan SRG adalah biaya-biaya operasional dalam manajemen

pengelolaan SRG, seperti biaya perijinan, sertifikasi kelayakan gudang serta biaya

administrasi lainnya yang harus dikeluarkan oleh Pengelola SRG dan pengeluaran lainnya.

Sementara biaya lain sebagai pengurang keuntungan petani atas penyelenggaraan SRG,

meliputi biaya sewa lahan yang cukup tinggi, mencapai Rp 12,5 juta per hektar untuk satu

kali musim tanam serta biaya usahatani padi per hektar per musim tanam, dimana besarnya

Page 87: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

81

mencapai Rp 10 juta. Sehingga biaya total usahatani per hektar per satu kali musim tanam

dengan sistem sewa lahan mencapai Rp 22,5 juta.

Walaupun demikian dengan gambaran perhitungan data diatas, pengelolaan SRG

untuk komoditas gabah ketan menunjukkan potensi keuntungan yang cukup propektif,

terutama jika kapasitas dan volume gabah ketan yang tersimpan melalui pengelola SRG

dalam jumlah yang cukup banyak. Kegiatan pengelolaan SRG sebagai pendekatan bisnis,

memungkinkan akan menjadi harapan bagi para pelaku lain yang akan melakukan investasi

dalam pengelolaan jasa SRG, sekaligus menjadi kompetitor baru bagi KSU Annisa yang

sudah lebih dulu melakukan usaha pengelolaan SRG di daerahnya. Keterbatasan pengelola

dalam hal pemilikan gudang dan fasilitas pendukung untuk pengembangan SRG menjadi

pembatas peningkatan kapasitas volume gabah ketan yang diikutsertakan dalam SRG,

sekaligus menjadi kendala, pada saat respon para petani yang berminat memanfaatkan

SRG juga meningkat. Disisi lain keterbatasan fasilitas juga menjadi peluang usaha dan

investasi untuk penyedia jasa pergudangan maupun pengeringan dalam mendukung

pengembangan SRG dan potensi daerah melalui kebijakan Pemerintah Daerah setempat.

Permasalahan dan Kendala Penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang

Masalah dan kendala yang dihadapi dalam proses penyelenggaraan SRG di

Kabupaten Subang realtif hampir sama dengan penyelenggaraan SRG di tempat lain,

meliputi permasalahan dan kendala di tingkat pengelola SRG dan kendala yang dihadapi

oleh petani sebagai pengguna SRG. Ketersediaan gudang yang memenuhi persyaratan,

ketersediaan alat pengering dan alat pengemasan merupakan kendala penyelenggaraan

SRG. Tingginya bunga bank untuk investasi pergudangan, ketidak-pastian iklim usaha dan

kebijakan pemerintah merupakan beberapa penyebab rendahnya minat penyelenggara

SRG.

Sementara itu, kekurang-pahaman petani dan pengguna jasa RG, terbatasnya lahan

usaha petani dan kecilnya volume produksi yang dihasilkan, persyaratan standar

mutu/kualitas, serta desakan kebutuhan dana tunai saat panen merupakan kendala petani

untuk memanfaatkan jasa SRG. Informasi tentang kendala dan permasalahan tersebut juga

penulis peroleh saat kunjungan lapang dan wawancara dengan petani, kelompok tani, KSU

Annisa, dan responden lainnya. Dalam uraian dibawah ini penulis hanya akan menguraikan

kendala dan permasalahan terkait ketersediaan gudang, ketersediaan alat pengering dan

pengemas, masih berlangsungnya sistem tebasan dan potensi munculnya persaingan tidak

Page 88: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

82

seimbang dengan BUMN menjadi satu kecemasan bagi pihak pelaku yang selama ini telah

mengembangkan SRG diluar BUMN, sekaligus mempertanyakan tentang perlindungan

daerah terhadap kegiatan SRG yang sudah jalan/dilakukan perusahaan pribadi/petani/

koperasi/CV yang ada di daerah dalam pergudangan SRG ke depan.

Kekhawatiran ini mengingat dalam kasus kegiatan SRG diluar BUMN tidak

dipandang setara dengan pihak BUMN, khususnya untuk mendapatkan ijin pengelolaan

SRG. Masuknya pemain baru, baik BUMN maupun swasta dan KSU lain, akan

menurunkan tingkat keuntungan KSU Annisa tetapi tidak harus membuat KSU Annisa rugi

dan bangkrut. Pemerintah Daerah bisa saja menghimbau pusat (BUMN) atau membuat

aturan untuk membatasi ruang usaha BUMN dan BUMD (pembagian wilayah), tetapi tidak

bisa membatasi KSU lain dan swasta untuk menyelenggarakan SRG.

Pembagian wilayah usaha yang terkait dengan SRG menjadi bahan pemikiran

kebijakan ke depan. Daerah juga harus melakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap

potensi dan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh pihak swasta serta pihak lain yang

membuka usaha SRG di daerah, sehingga pengembangan SRG dapat mempecepat

perekonomian wilayah tanpa terpusat pada satu wilayah potensial. Perhatian kepada pelaku

di tingkat daerah terutama bagi kelompok tani atau gapoktan yang berpotensi didorong

menjadi pengelola SRG baik berdasarkan kemampuan sendiri ataupun secara bermitra,

sehingga bisa menjadi dasar untuk membantu peningkatan harga di tingkat petani.

Pengaturan kebijakan dalam pewilayahan kegiatan dan komoditas yang di SRG-kan,

menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dalam menjaga iklim usaha dan pelaksanaan

ketetapan dalam undang-undang SRG, sehingga tidak overlapping dengan usaha yang

sudah ada saat ini.

Berdasarkan kinerja yang dilakukan oleh pengelola, keterbatasan sarana

prasarana yang terkait dengan SRG menjadi kendala untuk mengembangkan kapasitas

daya tampung gabah ketan dan kemungkinan produk pertanian lain yang akan di SRG-kan.

Eksistensi pengelola juga dihadapkan pada keterbatsan dukungan pihak Pemerintah Daerah

dalam memfasilitasi kinerja pengelolaan SRG untuk percepatan implementasi SRG di

wilayah Kabupaten Subang lainnya. Sinergisitas antar institusi SKPD terkait dengan

pelaksanaan SRG di Kabupaten Subang, belum terbangun dalam satu kepentingan untuk

peningkatan kinerja SRG dari berbagai aspek.

Dari sisi teknis produksi, kendala usahatani di tingkat petani, karena sebagian

luas areal yang diusahakan hanya setara 0,5 ha dengan rata-rata produksi 2-3 ton, termasuk

Page 89: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

83

didalamnya ada sistem sewa, maro dan buruh tani. Selain petani tidak mau ”repot-repot”

juga faktor utama yang menjadi kendala dalam proses penanganan gabah di tingkat petani

adalah dalam kegiatan pengeringan gabah, apalagi pada saat musim hujan. Hal ini karena

hampir sebagian besar petani tidak mempunyai lantai jemur maupun dryer. Jumlah

kepemilikan dryer di tingkat gapoktan juga terbatas sehingga tidak memadai dengan

kebutuhan untuk pengeringan gabah pada musim panen. Permasalahan lain adalah sistem

pengairan yang tidak terstruktur dalam pelaksanaan pengaturannya sehingga berpengaruh

pada pelaksanaan musim tanam yang sudah dijadwalkan.

Secara umum prospek SRG masih cukup bagus, namun gapoktan dan KSU

Annisa sebagai penyelenggara RG mengharapkan adanya intervensi pemerintah daerah

(Pemda) dalam bentuk penetapan HMK (Harga Mimimal Kabupaten); Sistem Resi

Gudang mestinya per desa satu dan dikelola oleh kelompok tani, apalagi oleh kelompok-

kelompok yang sudah mempunyai fasilitas RMU, dryer dsb.; menyelesaikan harga dengan

menentukan harga di tingkat petani dengan dana talangan pada saat pemasaran produk

gabah kepada gapoktan, kelompok tani atau koperasi. Pemasaran pupuk juga bisa menjadi

alternatif dibeli pada saat pembelian oleh petani dalam proses pemasaran hasil gabah

kepada kelompok, gapoktan serta koperasi.

Ketersediaan alat pengering (dryer) dan jasa pengeringan merupakan kendala

penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang. Sampai saat ini KSU Annisa belum

mempunyai dryer dengan kapasitas besar untuk melayani permintaan jasa pengeringan

yang sekaligus terintegrasi dengan penyelenggaraan RG. Situasi ini berbeda dengan

penyelenggaraan RG di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, dimana PT Pertani

sebagai penyelenggara RG telah melengkapi gudangnya dengan alat pengeringan dan

penggilingan dengan kapasitas yang cukup besar, sehingga dapat melayani permintaan jasa

pengeringan dan penggilingan terintegrasi dengan jasa RG.

Terkait dengan fasilitas pendukung, kendala di musim hujan tidak memilik dryer

dan yang ada di gapoktan juga terbatas sehingga tidak tertampung karena tidak terlayani

dengan jumlah dryer yang ada. Kemudian biaya resi gudang dibiayai gratis oleh Pemda

(seperti kasus di Baritokuala). Hal ini sudah beberapa kali disampaikan oleh pengurus

kepada Pemda, tetapi tidak direspon. Begitu pula untuk pembiayaan pengelolaan gudang

tidak didukung oleh fasilitas Pemda terutama untuk Pemeliharaan Gudang. Gudang-

gudang yang ada di desa-desa pada dasarnya dapat difasilitasi untuk meringankan biaya-

biaya dari petani ke lokasi gapoktan. Adanya permasalahan keterlambatan pencairan

Page 90: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

84

kepada petani peserta SRG pada tahun 2014, menjadi kendala bagi gapoktan untuk proses

pengelolaan RG selanjutnya.

Permasalahan dalam kebijakan pengaturan wilayah usaha dengan BUMN

menjadi kekhawatiran KSU Annisa dalam melaksanakan fungsi usaha dalam kegiatan

SRG. BUMN dengan segala kemampuan dan kelengkapan fasilitasnya, dan pendekatan

dengan Bappepti dikhawatirkan akan melakukan kegiatan SRG yang sama di wilayah kerja

yang selama ini menjadi mitra usaha KSU Annisa dalam kegiatan SRG. Respon Pemda

setempat atas kekhawatiran pelaku usaha untuk pengembangan kegiatan SRG di

wilayahnya juga tidak memberikan keyakinan dan kepercayaan pelaku, jika suatu saat

peran usaha yang dilakukan dapat diambilalih oleh BUMN di wilayahnya.

Begitu pula halnya dengan kebijakan pengaturan yang seharusnya dilakukan oleh

Kementerian BUMN, Kementerian Koperasi, Kementerian Pertanian hingga Kementerian

Perdagangan, untuk memberikan peluang usaha yang lebih besar kepada pelaku SRG di

luar BUMN, sejajar dengan usaha yang sama dilakukan oleh BUMN di lokasi sekitar

wilayah kerja KSU Annisa.

Upaya dan Langkah Kebijakan

Upaya yang dilakukan dalam kegiatan SRG oleh KSU Anissa dalam pengembangan

usahanya adalah dengan melakukan penambahan gudang simpan melalui sistem sewa

pakai. Kemudian melakukan pendekatan sistematis terhadap Pemda setempat agar

kebijakan pengembangan SRG menjadi bagian dari kegiatan Pemda dalam membantu

program pemasaran produk petani, dan sosialisasi program SRG agar lebih diketahui

secara lebih luas oleh masyarakat khususnya para petani, untuk melakukan pemasaran hasil

melalui kegiatan SRG.

Upaya mendorong Pemda untuk mengambil kebijakan dalam implementasi kegiatan

ini, tiada lain untuk memberikan dorongan terhadap usaha-usaha yang dilakukan

masyarakat terutama KSU Anissa menjadi satu institusi yang dapat memberikan peluang

kepada para petani dan kelompok tani dalam mendapatkan hasil dari usahataninya, melalui

peran SRG yang diusahakan oleh KSU Annisa selama ini.

Upaya lain yang terkait dengan kebijakan Bappepti, dalam hal kebijakan

pengembangan SRG kepada pelaku diluar BUMN, seharusnya menjadi salahsatu peluang

untuk segera melaksanakan kegiatan SRG melalui seluruh persyaratan yang sudah

dipenuhi sebelumnya. Namun demikian, peluang untuk pengembangan kegiatan SRG

melalui pelaku di luar BUMN nampaknya tidak sepenuhnya menjadi prioritas Bappepti,

Page 91: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

85

yang cenderung lebih membuka peluang usaha kepada BUMN yang selama ini sudah

bergerak dalam usaha SRG. Kemungkinan untuk melakukan pembagian wilayah usaha dan

komoditas serta kapasistas usaha, menjadi prioritas pengaturan oleh Bappepti dan Pemda

setempat agar pelaku di luar kriteria BUMN, seperti yang dilakukan oleh KSU Annisa juga

bisa berkembang menjadi pelaku sejajar dengan pihak BUMN yang juga melakukan usaha

dalam SRG di daerahnya.

Pembinaan, pengawasan dan dukungan pembiayaan dalam kaitan dengan penguatan

modal usaha untuk pengembangan SRG sebagai salahsatu usahanya, menjadi penting

artinya bagi pelaku usaha setingkat KSU Annisa dalam pengembangan usaha SRG yang

dikelolanya. Permasalahannya adalah terkait dengan kepemilikan sarana prasarana yang

diperlukan dalam mendukung kegiatan SRG di tingkat pengelola KSU Annisa,

dibandingkan dengan kemampuan kepemilikkan asset yang digunakan dalam usaha yang

sama oleh BUMN.

Keberpihakan dari institusi terkait, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian

Koperasi maupun dari Kementerian Pertanian terhadap upaya dan keikutsertaan pelaku

setingkat koperasi sebagaimana yang dilakukan oleh KSU Annisa, juga mendapat prioritas

dan perhatian yang lebih intensif dalam penguatan modal, tambahan sarana prasarana

kelengkapan serta iklim dan kebijakan terhadap pengembagan usaha yang dilakukan terkait

dengan SRG, termasuk juga dari kebijakan Pemda Kabupaten Subang dalam memperkuat

usaha para pelaku yang sama, diluar kekuatan BUMN yang selama ini mendapat perhatian

dan dukungan permodalan swakelola BUMN yang relatif cukup besar dibandingkan

dengan pelaku lain diluar BUMN.

Harapan tentang keberpihakan dan adanya kebijakan yang mengatur kegiatan usaha

dalam pengembangan SRG di daerah, pembagian wilayah usaha dan kewenangan Pemda

sangat dibutuhkan oleh pelaku setingkat KSU Annisa untuk menjamin kegiatan usaha SRG

yang sedang dilakukan, tidak dialihkan atau diberikan pengelolaannya kepada BUMN

yang selama ini juga tertarik untuk melakukan usaha yang sama di wilayah yang sedang

ditangani oleh KSU Annisa di wilayah kerja dan komoditas yang diusahakan selama ini.

Dalam kegiatan pelaksanaan SRG khususnya yang dilakukan oleh KSU Annisa,

keterkaitan antara petani, produksi gabah, kelompok tani, jasa pengeringan dan RMU

sangat penting dilakukan dalam satu sistem usaha yang terintegrasi. Hal ini mengacu pada

fungsi masing-masing kegiatan tersebut, agar semua proses bisa berjalan dan saling

mendukung pelaksanaan kegiatan SRG. Integrasi peran dalam proses tersebut akan lebih

Page 92: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

86

teroganisir jika dilakukan dalam satu usaha kelompok tani atau dalam satu wadah

gabungan kelompok tani, sehingga proses usaha yang dilakukan antar sub sistem berada

dalam satu pengelolaan dan memungkinkan lebih terorganisir.

Sebagaimana disampaikan pada bahasan sebelumnya, beberapa masukan yang terkait

dengan kegiatan Gapoktan untuk mendukung pelaksanaan SRG di Kabupaten Subang,

diantaranya: (1) penetapan harga gabah hendaknya ditetapkan berdasarkan Harga

Minimum Kabupaten (HMK), bukan pada HPP yang berlaku secara nasional; (2) gudang

pengelola RG hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga tersedia 1 gudang pada setiap

desa dan dilengkapi dengan dryer dan Rice Milling Unit (RMU); (3) perlu ada penambahan

jumlah dryer, khususnya pada saat panen raya. Dryer yang tersedia umumnya tidak

mampu menampung hasil panen yang melimpah. Hal ini mengakibatkan munculnya

kekuatiran terhadap turunnya kualitas gabah jika tidak segera dikeringkan, sehingga

pemilik gabah cenderung segera menjual lepas ke pedagang; (4) Pemda diharapkan lebih

serius mendukung kegiatan SRG, terutama dalam mencarikan solusi permasalahan petani.

Selama ini pemerintah daerah dianggap kurang serius dalam menangani permasalahan

petani.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH

Keterkaitan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang dengan Pemda, sebagaimana

ditetapkan dalam ketentuan UU dan perubahannya, bahwa urusan Pemerintah Daerah di

bidang pembinaan SRG meliputi: (a) pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat

pelaksanaan SRG; (b) pengembangan komoditas unggulan di daerah; (c) penguatan peran

pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan SRG; dan (d)

pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas. Urusan Pemerintah Daerah di

bidang pembinaan SRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan

Badan Pengawas.

Dalam implementasi kegiatan SRG di Kabupaten Subang, peran serta dan kebijakan

Pemerintah Daerah belum secara nyata dirasakan oleh pelaku usaha yang mengembangkan

kegiatan SRG. Begitu pula dalam melakukan fungsi Pemerintah Daerah untuk percepatan

pengembangan pelaksanaan SRG, pengembangan komoditas unggulan, penguatan bagi

pelaku usaha yang mengembangkan SRG, maupun fasilitasi pengembangan pasar lelang

yang terintegrasi dengan pengembangan SRG. Peran serta yang telah dilakukan oleh

pemda setempat terkait dengan kegiatan sosialisasi terbatas melalui dinas instansi terkait

Page 93: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

87

yang dianggap kompeten sesuai tupoksi SKPD dengan kegiatan pengelolaan SRG dan

komoditas yang ditangani dalam kegiatan SRG tersebut.

Peran institusi melalui dinas/instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan SRG

berdasarkan kompetensinya, melibatkan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian, Dinas

Koperasi. Peran Dinas Pertanian dalam kaitan SRG, secara tidak langsung hanya terkait

dalam sosialisasi di tingkat petani dan kelompok tani, sesuai dengan kegiatan yang selama

ini dilaksanakan. Peran serta dinas terkait dalam kegiatan percepatan SRG juga seharusnya

lebih banyak dilakukan Dinas Perdagangan dan Dinas Koperasi berdasarkan struktur

organisasi diatasnya. Aktivitas Dinas Perdagangan dalam kaitan program Resi Gudang

selama ini juga terbatas pada kegiatan soisialisasi tentang SRG.

Sementara Dinas Pertanian lebih kearah pembinaan petani dan kelompok tani dari

aspek teknis usahatani dan penerapan teknologi pertanian. Secara umum, keterkaitan

secara institusional juga terbatas hanya pada kegiatan yang bersifat koordinasi dan belum

pada proses kebijakan yang terkait dengan pengembangan SRG. Kebijakan yang terkait

dengan pelaksanaan di tingkat Pemda belum secara langsung terlibat, terutama peran dinas

untuk masuk menjadi bagian dari kelembagaan SRG. Pemantauan dan monitoring juga

hanya sebatas koordinasi informasi dari pihak pengelola gudang dan pelaku SRG.

KESIMPULAN

SRG merupakan satu langkah nyata dalam menciptakan pasar komoditas yang

didukung oleh penetapan harga pemasaran tertinggi untuk petani. Kegiatan usaha SRG

yang dilakukan oleh pengelola telah berkembang menjadi satu unit usaha produktif dalam

mendukung usaha pertanian kelompok, sekaligus pemasaran hasil produksi para petani

yang menjadi anggotanya. Usaha SRG dipandang sangat prospektif, sehingga

memungkinkan banyak pelaku usaha yang juga akan tertarik untuk melakukan usaha

tersebut. Sehingga kegiatan SRG yang dilakukan oleh pengelola dimasa datang akan

menghadapi persaingan usaha di bidang yang sama, termasuk aktivitas yang selama ini

diusahakan oleh BUMN di bidang SRG di tempat lain. Untuk mempertahankan usaha yang

dilakukan oleh pengelola, selain meningkatkan kinerja dan pelayanan juga kepercayaan

dari pihak pengelola terhadap berbagai institusi terkait. Dukungan dan peran aktif

Pemerintah Daerah dalam kebijakan pengembangan usaha SRG, sekaligus perlindungan

usaha melalui kebijakan dan pengaturan sistem yang menjadi kewenangan Pemda setempat

Page 94: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan

88

juga sangat diperlukan, agar usaha yang dilakukan pengelola tetap menjadi prioritas Pemda

dalam pembinaannya.

SRG di Kabupaten Subang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pengguna, dalam

hal ini para petani dalam kaitan pemasaran komoditas yang dihasilkan. Selain tingkat

sosialisasi tentang SRG yang masih terbatas, juga peran pengelola SRG masih terbatas

dalam penyediaan fasilitas pendukung kegiatan SRG itu sendiri. Para petani yang selama

ini belum terlibat langsung dalam kegiatan usaha SRG, pada dasarnya masih menunggu

pembuktian tentang manfaat langsung dari pelaksanaan SRG hingga dengan sendirinya

memperoleh pengalaman dalam keikutsertaannya. Dengan demikian maka jika SRG ini

sudah diketahui secara luas tentang manfaat dan peranannya, dengan sendirinya para petani

akan memanfaatkan SRG menjadi sarana pemasaran komoditas, terutama pada saat

terjadinya fluktuasi harga komoditas yang diusahakannya.

Pola usaha SRG sebaiknya juga diusahakan dengan melibatkan para pelaku usaha

setempat yang dianggap mampu untuk disorong menjadi pengelola atau secara bermitra,

terutama untuk komoditas pertanian selain padi (gabah dan beras). Hal ini agar

keikutsertaan usaha para pelaku di daerah sekaligus menjadi penggerak perekonomian

lokal/daerah setempat. Peran dan kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengaturan dan

penetapan iklim usaha yang terkait dengan SRG tetap berpihak pada pengembangan usaha-

usaha ekonomi daerah, kecuali pada usaha-usaha ekonomi padat modal yang memerlukan

dukungan pihak investor luar dalam pelaksanaannya.

Kegiatan usaha SRG yang dikelola oleh KSU Annisa masih perlu dukungan

Pemerintah Daerah maupun pengelolanya dalam hal fasilitas pendukung dan sarana yang

terkait dengan SRG. Sarana dimaksud adalah yang terkait dengan pergudangan, sarana

pengeringan dan perlindungan usaha dalam hal prioritas pengelolaan SRG untuk

komoditas padi ketan dan produknya, baik dari Kementerian Perdagangan melalui

Bappepti, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi juga dari Pemerintah Daerah

setempat, agar usaha yang sudah dilakukan saat ini tetap berjalan dan lebih berkembang,

menjadi penggerak perekonomian daerah setempat.