laporan akhir analisis kebijakanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_08.pdfpengawasan...
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
ANALISIS KINERJA DAN KENDALA PENYEBARLUASAN SISTEM RESI GUDANG
DI INDONESIA
Oleh
Erwidodo Erma Suryani
Iwan Setiajie Anugerah
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2014
x
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN EKSEKUTIF i
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2. Tujuan...................................................................................................... 3
II. METODE PENELITIAN 4
III. SISTEM RESI GUDANG: LANDASAN TEORITIS DAN FAKTA
EMPIRIS
5
3.1. Pengertian Sistem Resi Gudang .............................................................. 5
3.2. Kelembagaan Sistem Resi Gudang ......................................................... 5
3.3. Proses Penerbitan Resi Gudang ............................................................... 7
3.4. Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang ................................................ 8
3.5. Infrastruktur Pendukung Sistem Resi Gudang ........................................ 9
IV. UNDANG-UNDANG RESI GUDANG NO.9/2006 DAN ATURAN
PELAKSANAAN
13
V. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI INDONESIA 2008-2014 15
VI. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN CONTOH 18
6.1. Kinerja SRG di Kabupaten Indramayu ................................................... 18
6.1.1. Proses Penerbitan Resi Gudang .................................................... 19
6.1.2. Analisis Biaya Resi Gudang ......................................................... 20
6.1.3. Resi Gudang sebagai Alternatif Pembiayaan ............................... 22
6.2. Kinerja SRG di Kabupaten Subang ......................................................... 23
6.2.1. Potensi dan Pelaku Usaha Komoditas Padi ........................................... 23
6.2.2. Kinerja KSU Annisa sebagai Pengelola SRG .............................. 24
6.2.3. Proses Penerbitan Resi Gudang di KSU Annisa .......................... 26
6.2.4. Proses Penaksiran Harga .............................................................. 28
6.2.5. Kinerja Pengguna SRG ................................................................. 30
6.2.6. Prospek dan Perkiraan Keuntungan Penyelenggaraan SRG ......... 31
6.2.7. Kebijakan Pemerintah Daerah ...................................................... 33
VII. KENDALA DAN PELUANG PENYEBARLUASAN SRG 36
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 42
8.1. Kesimpulan .............................................................................................. 42
8.2. Implikasi Kebijakan................................................................................. 43
IX. DAFTAR PUSTAKA 45
xi
LAMPIRAN 50
Lampiran 1. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Indramayu.................... 50
Lampiran 2. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Subang......................... 65
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
5.1. Perkembangan Penerbitan dan Nilai RG serta Nilai Pembiayaan 2008-
2014.................................................................................................................
15
5.2. Nilai RG Berdasaran Jenis Komoditas Utama, 2014 ..................................... 16
6.1. Analisis Biaya Sistem Resi Gudang Gabah di Indramayu, 2014.................... 21
6.2. Analisa Simulasi Potensi Keuntungan Penyelenggaraan SRG di Kabupaten
Subang.............................................................................................................
31
6.3. Analisa Simulasi Keuntungan pada Proses Penyelenggaraan SRG di
Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang......................................................
32
6.4. Analisa Simulasi Biaya Petani Pengguna SRG di KSU Annisa, di Kabupaten
Subang 2014....................................................................................................
33
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
3.1. Keterkaitan Lembaga Penyelenggara Sistem Resi Gudang............................ 6
3.2. Alur Penerbitan Resi Gudang.......................................................................... 7
3.3. Sistem Informasi Harga Komoditas................................................................ 10
6.1. Skema Alur Penerbitan Resi Gudang di Gudang PT. Pertani, Kabupaten
Indramayu...............................................................................................................
20
6.2. Bagan Alir Sistem Resi Gudang di KSU Annisa, Kabupaten Subang............ 27
6.3. Proses Penaksiran Harga Gabah Ketan di Pengelola Gudang KSU Annisa
KabupatenSubang............................................................................................
29
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Indramayu......................................... 50
2. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Subang............................................... 65
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Permasalahan utama dalam perdagangan komoditas pertanian adalah fenomena
ketidakstabilan harga. Pada saat panen raya dengan pasokan barang melimpah, umumnya
harga akan anjlok dan sebaliknya saat musim paceklik, secara perlahan suplai barang di
pasaran berkurang, harga mulai merangkak naik. Kondisi tersebut tentu tidak
menguntungkan petani sebagai produsen, terutama petani yang berlahan sempit, karena
jika hasil panennya dijual saat panen raya, maka harga yang diterima petani cenderung
rendah. Kondisi tersebut membuat petani tidak memperoleh keuntungan maksimal.
Ketidakstabilan harga khususnya untuk gabah sebagai komoditas pangan utama,
mendorong pemerintah melakukan upaya stabilisasi harga dengan mengeluarkan kebijakan
penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah yang bertujuan melindungi petani
dari anjloknya harga pada saat panen raya. Bulog ditunjuk sebagai lembaga yang diberi
wewenang untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga tersebut. Konsekuensi
kebijakan tersebut, petani akan memperoleh harga gabah minimal sebesar HPP. Jika harga
gabah di pasaran berada di bawah HPP, maka kewajiban Bulog untuk membeli gabah
petani dengan harga HPP. Sebaliknya jika harga gabah di pasaran lebih tinggi dari HPP,
maka petani bebas menjual hasil panen gabahnya ke calon pembeli selain Bulog.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani umumnya menjual gabahnya pada saat
panen. Kondisi ini dimanfaatkan para pedagang untuk membeli gabah petani dengan harga
sesuai HPP. Selanjutnya pedagang dapat menjual gabah tersebut saat musim pasokan
gabah di pasaran mulai berkurang dengan harga lebih tinggi. Strategi pedagang untuk
menunda jual gabah mampu memberikan margin keuntungan. Harapan pemerintah, margin
keuntungan tersebut dapat dinikmati sebagian besar petani. Oleh karena itu, pemerintah
merancang sistem yang dapat membantu petani untuk melakukan tunda jual hasil panennya
dalam bentuk Sistem Resi Gudang (SRG).
Fenomena fluktuasi harga pada perdagangan komoditas pertanian juga dialami di
negara lain, terutama di negara-negara berkembang. Untuk melindungi petani dari
instabilitas harga dan sekaligus memberikan alternatif pembiayaan untuk kegiatan
produktif, negara lain sudah lama menerapkan pola SRG. Berdasarkan data dari konferensi
Warehouse Receipt System (WRS) di Amsterdam pada tanggal 9-11 Juli 2001 maka
negara-negara berkembang yang tercatat cukup berhasil menerapkan sistim resi gudang ini
2
adalah: : Rumania, Hungaria, Afrika Selatan, Zambia, Ghana, Rusia, Slovakia, Bulgaria,
Cesnia, Polandia, Kazakstan, Turki, dan Mexico. Secara umum penerapan SRG mampu
meningkatkan pendapatan rumahtangga, meningkatkan bargaining position petani,
memotivasi petani untuk berproduksi lebih tinggi dan menjaga kualitas, meningkatkan
akses pembiayaan ke lembaga keuangan, membuka wawasan dan keterampilan petani
terkait teknologi informasi, dan mengurangi intervensi pemerintah dalam mengatur
perdagangan komoditas pertanian (Onumah, 2002; IFAD, 2012; Wikipedia, 2014).
Undang-Undang SRG No. 9 Tahun 2006 mengatur dan melaksanakan SRG di
Indonesia. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa SRG merupakan kegiatan yang berkaitan
dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Resi
gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang
diterbitkan oleh pengelola gudang. Sesuai amanat UU, sebagai Penanggungjawab kegiatan
SRG adalah Kementerian Perdagangan dan sebagai pengguna SRG adalah Kementerian
Pertanian. Dalam pelaksanaan SRG, selanjutnya Kementerian Perdagangan membentuk
Badan Pengawas SRG yang selanjutnya disebut Badan Pengawas yaitu unit organisasi di
bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian
Perdagangan selanjutnya mengeluarkan Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 yang
mengatur jenis barang yang dapat memanfaatkan SRG. Diterbitkannya UU SRG dan
peraturan pendukungnya diharapkan seluruh pelaku SRG tidak ragu melakukan kegiatan
SRG.
Secara konsepsi, SRG dapat diimplementasikan di lapangan dan berpotensi
memberikan keuntungan pada semua pelaku SRG, khususnya sasaran akhir yaitu petani.
Namun, hasil penelusuran data sekunder ditemukan bahwa pelaksanaan SRG berjalan
relatif lambat, terlihat dari perkembangan jumlah dan nilai resi gudang yang diterbitkan
oleh Pengelola Gudang selama periode 2008 – 2014. Pada awal beroperasinya SRG tahun
2008, jumlah dan nilai resi gudang (RG) masing-masing sebesar 16 RG dan Rp 1,43
miliar, sedangkan pada tahun 2014 jumlah dan nilai RG masing-masing sebesar 596 RG
dan Rp 124,97 miliar (Bappebti, 2014). Jumlah dan nilai RG tersebut relatif kecil jika
dikaitkan dengan jumlah produksi komoditas pertanian. Selain itu, jenis komoditas yang
digudangkan relatif terbatas pada komoditas gabah, beras, jagung, dan kopi meskipun
menurut UU SRG dimungkinkan untuk menyimpan beragam jenis komoditas.
3
Pertanyaannya, mengapa pelaksanaan SRG berjalan relatif lambat, tidak sesuai yang
diharapkan pemerintah ?
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui penyebab lambatnya implementasi dan penyebarluasan SRG, tujuan
penelitian difokuskan untuk (1) mengetahui pelaksanaan SRG, khususnya di wilayah
sentra padi, mengingat padi merupakan komoditas dominan SRG, dan (2) menggali
permasalahan yang terjadi di lapangan serta memberikan alternatif pemecahannya.
4
II. METODE PENELITIAN
Aspek pokok yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini ada tiga bagian.
Pertama, terkit potensi keuntungan dan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan SRG
yang mengacu pada dasar hukum Resi Gudang. Kedua, menyajikan fakta terkait kinerja
penyelenggaraan SRG. Ketiga, memaparkan permasalahan dalam implementasi SRG dan
alternatif pemecahannya sehingga SRG dapat berkembang dan menyebar secara luas.
Aspek pertama dijabarkan dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian/kajian
sebelumnya. Aspek kedua, selain menganalisis data sekunder, juga dilakukan survey ke
lokasi contoh (Kabupaten Indramayu dan Subang). Kegiatan survey difokuskan pada
penggalian informasi terkait permasalahan penyelenggaraan SRG. Pemilihan kabupaten
Indramayu ditujukan untuk melihat kinerja SRG yang melibatkan gudang milik BUMN
(PT. Pertani), sedangkan di Kabupaten Subang untuk melihat kinerja SRG yang
melibatkan gudang milik swasta (koperasi). Aspek ketiga difokuskan pada pembahasan
terkait permasalahan implementasi SRG dan alternatif pemecahannya.
Pengumpulan data primer dilakukan secara berjenjang dengan metode wawancara
yang melibatkan seluruh stakeholder, yaitu Dinas Perdagangan, Dinas Pertanian, Bank
yang ditunjuk untuk memfasilitasi SRG, Pengelola Gudang, dan Kelompok Tani/Petani.
Data dan informasi dari berbagai sumber tersebut diharapkan memberikan informasi
pelaksanaan SRG, permasalahan yang dihadapi, dan harapan keberlanjutan dan
pengembangan SRG kedepan.
5
III. SISTEM RESI GUDANG: LANDASAN TEORITIS DAN FAKTA EMPIRIS
3.1. Pengertian Sistem Resi Gudang
Sistim Resi Gudang (SRG) merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan,
pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang (RG). Sejak tahun 2006,
pemerintah mengeluarkan kebijakan SRG yang didasarkan pada Undang-Undang No.9
Tahun 2006, tentang SRG yang dikembangkan untuk membantu mengatasi persoalan
petani padi musim panen (Erawan, 2008). Dalam UU SRG No 9/2006 dinyatakan bahwa
RG merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang
diterbitkan oleh pengelola gudang. Ada dua macam RG, yaitu (1) RG yang dapat
diperdagangkan ("negotiable warehouse receipt") yaitu suatu resi gudang yang memuat
perintah penyerahan barang kepada siapa saja yang memegang resi gudang tersebut atau
atas suatu perintah pihak tertentu; dan (2) RG yang tidak dapat diperdagangkan ("non-
negotiable warehouse receipt") yaitu resi gudang yang memuat ketentuan bahwa barang
yang dimaksud hanya dapat diserahkan kepada pihak yang namanya telah ditetapkan.
Selain RG, juga bisa diterbitkan derivatif RG berupa warkat yang keduanya dapat
diperdagangkan di bursa komoditi (Wikipedia, 2014).
3.2. Kelembagaan Sistem Resi Gudang
Dalam UU No.9/2006 dinyatakan bahwa Kebijakan umum terkait SRG ditangani
oleh Menteri Perdagangan. Dalam operasionalnya, penyelenggaraan SRG dijalankan oleh
beberapa lembaga, yaitu : (1) Badan Pengawas, (2) Pengelola Gudang, (3) Lembaga
Penilaian Kesesuaian, dan (4) Pusat Registrasi. Keterkaitan antar lembaga tersebut dapat
dilihat pada Gambar 3.1.
Badan Pengawas SRG ditangani oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi (Bappebti), unit Eselon-1 Kementerian Perdagangan, yang bertanggungjawab
langsung ke Menteri Perdagangan. Tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga sudah
tertuang dalam UU No.9/2006 dan penjelasan secara rinci dapat ditelusuri pada beberapa
sumber, seperti Putri (2010), Riana (2010), Bappebti (2011), dan Ashari (2011).
Pengelola Gudang memegang peranan penting dalam penyelenggaran SRG, karena
lembaga tersebut secara langsung berhubungan dengan pemilik barang dan menerbitkan
dokumen resi gudang. Pengelola Gudang memiliki tanggung jawab atas pemeliharaan
barang yang disimpan dalam gudang dan menanggung risiko jika terjadi kerusakan barang.
6
Oleh karena itu, untuk menjaga kualitas barang, Pengelola Gudang mensyaratkan standar
mutu barang yang akan dimasukkan dalam gudang.
Dalam operasionalnya, Pengelola Gudang bekerjasama dengan lembaga uji mutu
barang dan lembaga penjamin barang. Besarnya tugas dan tanggung jawab Pengelola
Gudang, sesuai dengan UU No.9/2006, Pengelola Gudang harus badan usaha berbadan
hukum dan telah mendapat persetujuan Bappebti. Persyaratan menjadi Pengelola Gudang
diatur dalam Peraturan Kepala Bappebti No. 01/Bappebti/Per-SRG/7/2007 dan
No.11/Bappebti/Per-SRG/5/2009 (Bappebti, 2011).
Sumber : Bappebti, 2011
Gambar 3.1. Keterkaitan Lembaga Penyelenggara Sistem Resi Gudang
Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) merupakan salah satu lembaga dalam SRG
yang bertanggung jawab atas keterangan yang tercantum dalam sertifikat untuk barang.
LPK tidak bertanggung jawab atas perubahan mutu barang yang diakibatkan oleh kelalaian
Pengelola Gudang. Seluruh data yang dikeluarkan LPK selanjutnya oleh Pengelola Gudang
akan dikirimkan ke Bappebti. Lebih lanjut data tersebut akan dikirimkan ke Pusat
Registrasi untuk diberikan kode registrasi. Kode registrasi tersebut selanjutnya akan
diberikan ke Pengelola Gudang.
Keberadaan Pusat Registrasi dalam SRG sangat penting, karena lembaga ini
bertanggung jawab dalam penyimpanan data-data seluruh barang yang diresigudangkan
dan selanjutnya dapat diakses oleh lembaga perbankan dan asuransi untuk kepentingan
pemberian kredit dan penjaminan barang.
7
3.3. Proses Penerbitan Resi Gudang
Berdasarkan Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, jenis komoditas yang dapat
diresigudangkan diutamakan barang untuk ekspor dan untuk ketahanan pangan.
Persyaratan komoditas SRG, yaitu (1) mempunyai usia simpan yang cukup lama, minimal
3 bulan, (2) harga berfluktuasi, (3) mempunyai standar-mutu tertentu, (4) mempunyai pasar
dan informasi harga yang jelas, dan (5) komoditi potensial dan sangat berperan dalam
perekonomian daerah setempat dan nasional. Jenis komoditas SRG mencakup gabah,
beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, dan rumput laut, dan tahun 2011 ditambah rotan
dan garam. Selain komoditas tersebut, dapat juga disimpan di gudang dengan
mempertimbangkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah, instansi terkait, atau asosiasi
komoditas dengan tetap memperhatikan persyaratan komoditas yang diatur dalam
Permendag.
Penerbitan RG memiliki beberapa tahapan yang prosedurnya telah diatur oleh
Bappebti. Alur penerbitan RG disajikan pada Gambar 3.2. Prinsipnya, barang yang akan
diresigudangkan harus memenuhi standar yang ditetapkan Pengelola Gudang. Oleh karena
itu, seluruh barang harus melewati tahap uji mutu dan penjaminan barang. Dokumen RG
akan diterbitkan Pengelola Gudang setelah seluruh persyaratan terpenuhi. Seluruh data
yang terkait dengan penerbitan RG akan masuk ke sistem informasi RG di Pusat
Registrasi.
Sumber : Bappebti (2011)
Pemilik Barang
Gudang
Uji Mutu Asuransi
Dokumen
Resi Gudang
Sistem Informasi Resi Gudang
PUSAT REGISTRASI
Agunan
ke Bank/LKNB
Jual-Beli
Pasar Lelang
Jual langsung
Disimpan/ tanda
kepemilikan barang
Gambar 3.2. Alur Penerbitan Resi Gudang
8
3.4. Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang
Dalam UU No.9/2006 telah dinyatakan bahwa dokumen RG dapat dijadikan agunan
ke bank atau Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) untuk memperoleh kredit. Ada dua
jenis kredit yang bisa diakses pemilik RG, yaitu kredit komersial dan kredit subsidi.
Pengertian kredit komersial dengan jaminan RG adalah pemberian kredit kepada
pemegang RG yang merupakan pemilik barang atau pihak yang menerima pengalihan dari
pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut. Sedangkan kredit
modal kerja skema subsidi resi gudang (S-SRG) adalah kredit yang mendapat subsidi
bunga dari Pemerintah dengan jaminan Resi Gudang yang diberikan Bank kepada petani,
kelompok tani, gapoktan dan koperasi.
BRI (2011) memaparkan skim S-SRG meliputi : (1) kredit diperuntukan bagi Petani,
Kelompok Tani, Gapoktan dan Koperasi, (2) pola kredit executing, sumber pendanaan
100% dana masyarakat, (3) peserta tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program dari
pemerintah, (4) RG tercatat di Pusat Registrasi, (5) jenis komoditas mencakup gabah,
beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet dan rumput laut, (6) plafon kredit sebesar 70% dari
nilai RG, maksimal Rp 75 juta per petani, (7) jangka waktu kredit maksimum 6 bulan dan
tidak dapat diperpanjang, (8) suku bunga kredit 6 %, selisih tingkat bunga S-SRG dengan
beban bunga peserta S-SRG merupakan subsidi Pemerintah, dan (9) provisi dan biaya
komitmen tidak dikenakan. Dasar hukum skema S-SRG adalah UU No.9/2006, PP
No.36/2007, Peraturan Menteri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 dan pelaksanaannya
mengacu pada Permendag No. 66/M-DAG/PER/12/2009 (BRI, 2011). Sebagai penyalur
kredit bersubsidi (S-SRG) tidak hanya bank pemerintah, tetapi bank swasta, LPDB
Kementerian Koperasi dan UKM, serta PKBL PT Kliring Berjangka Indonesia juga
dilibatkan. Dasar hukum skema S-SRG adalah UU No.9/2006, PP No.36/2007, Peraturan
Menteri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 dan pelaksanaannya mengacu pada Permendag
No. 66/M-DAG/PER/12/2009 (BRI, 2011).
Pengalaman negara India untuk akses pembiayaan yang berbasis pergudangan,
dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu (1) Public Warehousing, (2) Private
Warehousing, dan (3) Farmer focused approaches. Ketiga pendekatan tersebut memiliki
sasaran yang berbeda, namun tujuannya akhirnya memberi keuntungan kepada seluruh
pelaku SRG (Mahanta, 2012).
9
3.5. Infrastruktur Pendukung Sistem Resi Gudang
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan SRG, koneksi antar lembaga difasilitasi
dengan jaringan beberapa sistem untuk mempermudah aktifitas masing-masing lembaga
yang terlibat SRG. Beberapa sistem tersebut, yaitu (1) Sistem Informasi Resi Gudang (Is-
Ware) dari Pusat Registrasi, (2) Sistem prosedur pengelolaan gudang SRG dari Pengelola
Gudang, (3) Sistem Pelayanan dari lembaga SRG lainnya seperti LPK, Asuransi, Lembaga
Keuangan (Bank/Non Bank), (4) Sistem tarif/biaya SRG yang wajar & kompetitif di setiap
tahapan proses SRG, dan (5) Sistem informasi harga dari Bappebti.
IS-WARE merupakan aplikasi sistem informasi di Pusat Registrasi yang dibangun
untuk mempermudah akses data-data terkait SRG yang dibutuhkan oleh pengguna, seperti
lembaga perbankan atau lembaga penjamin untuk melakukan verifikasi atau konfirmasi
data. Sistem prosedur dibangun untuk memfasilitasi Pengelola Gudang untuk
memperlancar kegiatan manajemen barang yang akan masuk-keluar gudang. Selain itu
infrastruktur lain yang disediakan adalah sistem pelayanan yang memberikan akses
lembaga SRG seperti LPK, Asuransi, Lembaga Keuangan (Bank/Non Bank). Sistem
tarif/biaya SRG juga telah dibangun, agar tarif yang dikenakan ke pengguna memiliki
standar tertentu. Contoh, untuk tarif sewa gudang, meskipun besarannya berbeda antar
pemilik gudang, namun komponennya harus sudah memperhitungkan biaya survey
gudang, biaya asuransi gudang, biaya kantor (tagihan PLN, PAM, akses internet), biaya
kebersihan/sanitasi gudang, biaya keamanan gudang, biaya perawatan gudang, dan jasa
pemilik gudang (iPasar, 2011). Sistem lainnya yang tidak kalah penting adalah sistem
informasi harga yang dibangun Bappebti (Gambar 3.3).
Melalui sistem informasi harga, pengguna dapat mengakses data harga komoditas
yang diperdagangkan, tetapi masih terbatas pada komoditas yang ditentukan melalui
Permendag. Tersedianya infrastruktur pendukung terkait berbagai sistem secara online
diharapkan dapat mempermudah kegiatan SRG yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
yang terlibat dalam penyelenggaraan SRG. Secara konsepsi, rancangan SRG cukup
memadai untuk membantu petani pada saat menghadapi fluktuasi harga komoditas
pertanian. Selain itu melalui SRG petani dapat memperoleh alternatif pembiayaan untuk
kegiatan produksi lebih lanjut.
Operasionalisasi SRG di Indonesia dimulai sejak tahun 2008, namun sebelum
muncul Undang-Undang No.9/2006 Tentang SRG, berbagai macam terobosan telah
10
Informasi harga komoditas
ditempuh baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam sistem tata niaga komoditi
pertanian. Beberapa diantaranya yang hampir mirip dengan SRG adalah sistem tunda jual,
gadai gabah, dan yang terakhir adalah CMA (Collateral Management Agrement) seperti
yang dikemukakan Putri (2012).
Sumber : Bappebti (2011)
Gambar 3.3. Sistem Informasi Harga Komoditas
Ditinjau dari kelengkapan infrastrukur sistem dan keamanannya, SRG merupakan
sistem yang paling aman dan “canggih” jika dibandingkan dengan beberapa sistem yang
pernah ada di Indonesia. Dalam SRG terdapat jaminan keamanan bagi perbankan karena
semua data penatausahaan RG terpusat di Pusat Registrasi dan diawasi oleh BAPPEBTI.
Selain itu terdapat kepastian mutu bagi pemilik barang maupun calon pemilik barang
karena barang yang disimpan dikelola dengan baik oleh Pengelola Gudang dan diuji mutu
sebelumnya oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian independen yang telah mendapat
sertifikasi dari KAN dan disetujui oleh BAPPEBTI (Putri, 2012).
Bappebti bekerja sama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) sejak tahun 2009.
Hingga tahun 2013 telah dibangun 98 gudang SRG di 78 kabupaten di 21 provinsi. Khusus
di Provinsi Jawa Barat, telah dibangun 11 gudang SRG yang tersebar di 10 kabupaten.
Pada tahun 2014, Bappebti dibawah koordinasi Kementerian Perdagangan bersama dengan
Pemda kembali melakukan pembangunan fasilitas gudang sebanyak 19 unit dan dilengkapi
dengan mesin pengering (dryer) di 19 kabupaten (Bappepti, 2008 dan 2014).
Indramayu
Jombang
Surabaya
Banyumas
Makasar
Babel
Lampung
Beras & Gabah
Gabah
Beras &
Gabah
Kakao &
Jagung
Lada
Kopi
Kedelai
SMS
Gateway
Email & Fax
(Mingguan) : Bank, Pengelola Gudang,
Prosesor & Buyer
http : //infoharga.bappebti.go.id
SMS request :
0813-1430-2222
Kontributor : Petani/Kelompok Tani
11
Pembahasan tentang konsep dan pendekatan SRG telah banyak dikemukakan
dalam berbagai tulisan, sebagaimana yang disampaikan oleh Ashari (2007, 2010, 2012),
Yulistiyono (2014), Wahyudin (2011), Sunarto (2012), Sanuri (2008), Putri (2012),
Prayitno (2011), Noviyanto (2011), Herlindah (2013), Haryotejo (2013), Devita (2012),
Boen (2007), Erawan (2008) serta berbagai informasi terkait SRG dari media.
Beberapa pendekatan konseptual yang terkait peserta S-SRG disebutkan bahwa :
(1) Petani adalah perorangan warga negara Indonesia yang mengelola usaha di bidang
pertanian/perkebunan/budidaya perikanan; (2) Kelompok Tani adalah kumpulan Petani/
pekebun/pembudidaya perikanan yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan,
kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya, tempat) dan keakraban untuk
meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota; (3) Gabungan Kelompok Tani adalah
kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan
skala ekonomi dan efisiensi usaha dan (4) Koperasi adalah koperasi primer sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang
anggotanya terdiri dari Petani/pekebun/pembudidaya perikanan.
Persyaratan komoditas pertanian yang dapat diresigudangkan, sebagaimana diatur
dalam Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, yaitu: (1) memiliki daya simpan paling
sedikit tiga bulan, (2) memenuhi standar mutu tertentu, dan (3) jumlah minimum barang
yang disimpan. Sedangkan jika dilihat dari ketentuan perdagangan berjangka komoditas,
persyaratan komoditas yang dapat diperdagangkan berjangka adalah: (1) memiliki harga
yang berfluktuasi, (2) tidak ada intervensi pemerintah, semata-mata atas dasar permintaan
dan pasokan, dan (3) tersedia dalam jumlah yang cukup, bersifat homogen, dan tidak
dimonopoli oleh kelompok tertentu, serta (4) merupakan komoditas potensial dan sangat
berperan dalam perekonomian daerah setempat dan nasional karena menyangkut ketahanan
pangan dan ekspor.
Konsep tentang infrastruktur penyelenggaraan SRG, meliputi : (1) Gudang, adalah
semua ruangan yang tidak bergerak dan tidak dapat dipindah-pindahkan dengan tujuan
tidak dikunjungi oleh umum, tetapi untuk dipakai khusus sebagai tempat penyimpanan
barang yang dapat diperdagangkan secara umum dan memenuhi syarat-syarat lain yang
ditetapkan oleh Menteri; (2) Barang, adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan
dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum; (3) Barang Bercampur,
adalah barang-barang yang secara alami atau kebiasaan dalam praktik perdagangan
dianggap setara serta sama satuan unitnya dan dapat disimpan secara bercampur. Dalam
12
manajemen SRG dikemukakan bahwa Pemegang RG adalah pemilik barang atau pihak
yang menerima pengalihan dari pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan
lebih lanjut. Hak Jaminan atas RG, yang selanjutnya disebut Hak Jaminan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada RG untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan
untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain.
Pengaturan tugas dan peran lembaga penentu kebijakan yang terkait dengan SRG,
disebutkan bahwa urusan Pemerintah Pusat di bidang pembinaan SRG meliputi: (1)
penyusunan kebijakan nasional untuk mempercepat pengembangan SRG; (2)
pengkoordinasian antar sektor pertanian, keuangan, perbankan, dan sektor terkait lainnya
untuk pengembangan SRG; (3) pengoordinasian antara SRG dan Perdagangan Berjangka
Komoditi; (4) pengembangan standardisasi komoditas dan pengembangan infrastruktur
teknologi informasi; (5) pemberian kemudahan bagi sektor koperasi, usaha kecil dan
menengah, serta kelompok tani di bidang SRG; dan (6) penguatan kelembagaan SRG dan
infrastruktur pendukungnya, khususnya sektor keuangan dan pasar lelang komoditas.
Urusan Pemerintah Pusat di bidang pembinaan SRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Menteri.
Terkait dengan peran dan fungsi Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa urusan
Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG meliputi: (1) pembuatan kebijakan daerah
untuk mempercepat pelaksanaan SRG; (2) pengembangan komoditas unggulan di daerah;
(3) penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan
SRG; dan (4) pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas. Urusan Pemerintah
Daerah di bidang pembinaan SRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan
dengan Badan Pengawas.
13
IV. UNDANG-UNDANG RESI GUDANG NO.9/2006
DAN ATURAN PELAKSANAAN
Dasar hukum pelaksanaan SRG di Indonesia diatur dalam UU No.9/2006.
Pelaksanaan amanat UU No.9/2006 selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 36
Tahun 2007. Pasal-pasal dan ayat yang termuat dalam PP No.36/2007 lebih mengarah pada
penjelasan teknis sehingga diharapkan dapat mempermudah pengoperasian SRG di
lapangan.
Beberapa peraturan pendukung UU No.9/2006, antara lain Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) No. 26/M-DAG/PER/6/2007 yang menjelaskan jenis komoditas
yang dapat disimpan di gudang SRG, yaitu gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet,
dan rumput laut. Pada tahun 2011, Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 dinyatakan
tidak berlaku ketika diterbitkan Permendag No.37/M-DAG/Per/11/2011 yang
menambahkan komoditas rotan dapat disimpan di gudang SRG, selain 8 jenis komoditas
yang diatur sebelumnya.
Untuk pengaturan teknis penyelenggaraan SRG selanjutnya diatur oleh Peraturan
Kepala Bappebti. Pada tahun 2007 telah dikeluarkan 4 peraturan Bappebti No. 03, 04, 05,
06/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 yang mengatur (i) Persyaratan umum dan persyaratan
teknis gudang, (ii) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh persetujuan sebagai
lembaga penilaian kesesuaian dalam SRG, (iii) Persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh persetujuan sebagai Pusat Registrasi, dan (iv) Penetapan hari dalam SRG.
Pada tahun 2008 dikeluarkan 3 peraturan Bappebti No. 08, 09, 10/ BAPPEBTI/PER-
SRG/7/2008 yang mengatur tentang (i) Pedoman teknis pengalihan RG, (ii) Pedoman
teknis penjaminan RG, dan (iii) Pedoman teknis penyelesaian transaksi RG. Pada tahun
2009, telah dikeluarkan 3 peraturan Bappebti No. 11, 12, 13/ BAPPEBTI/PER-
SRG/5/2009 yang mengatur tentang (i) Persyaratan keuangan bagi pengelola gudang, (ii)
Tata cara penyampaian laporan pengelola gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian dan
Pusat Registrasi, dan (3) Tata cara pemeriksaan teknis kelembagaan dalam SRG.
Untuk penilaian kualitas aktiva bank umum berdasarkan peraturan Bank Indonesia
No. 9/6/PBI/2007. Dalam perjalanannya UU No.9 Tahun 2006 mengalami beberapa
perubahan pada beberapa pasal dan ayat, selanjutnya dilakukan amandemen dengan UU
No.9/2011. Beberapa pasal dan ayat yang diubah dalam amandemen, antara lain mencakup
Lembaga Jaminan RG dan hak penerima jaminan (Pasal 1), terkait hal-hal yang harus
dimuat dalam Resi Gudang (Pasal 5), terkait wewenang Badan Pengawas (Pasal 21),
14
terkait sertifikat RG (Pasal 29), dan beberapa pasal terjadi penambahan ayat untuk
penjelas. Dasar hukum SRG secara rinci telah dibahas oleh Herlindah (2013) dan Ashari
(2011).
15
V. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI INDONESIA 2008-2014
Data Bappebti (2008) dan kajian Putri (2012) menunjukkan bahwa sejak SRG
diinisiasikan pada tahun 2008 dan perkembangannya hingga tahun 2010, secara nasional
jumlah penerbitan RG mencapai 85 RG dengan volume 2.971,88 ton atau nilai setara Rp
10,45 miliar. Dari nilai RG yang diterbitkan, pengguna dapat mengajukan pembiayaan
kepada lembaga keuangan Bank dan non Bank dengan jaminan kepemilikan RG. Nilai
pembiayaan yang diterima dari lembaga keuangan sebesar Rp 4,47 miliar atau 42,8 persen
dari nilai RG yang diterbitkan.
Data resmi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti)
Kementerian Perdagangan memperlihatkan bahwa pelaksanaan SRG masih terbatas,
meskipun terjadi peningkatan cukup nyata dalam penerbitan resi gudang selama tiga tahun
terakhir (Tabel 5.1). Sejak 2008 - Desember 2014, dilaporkan 1.812 resi gudang telah
diterbitkan dengan total nilai Rp 362 miliar. Dari total RG yang telah diterbitkan, sebanyak
1.544 pemilik RG memperoleh kredit dari lembaga keuangan/perbankan dengan total nilai
kredit Rp 226 miliar. Dari perkembangan jumlah RG selama periode tahun 2008-2014,
terlihat pada tahun 2011 terjadi lonjakan jumlah RG sekitar lima kali lipat dibandingkan
tahun sebelumnya. Lonjakan jumlah RG diduga karena adanya penambahan pembangunan
gudang SRG di lima provinsi melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu di Provinsi
Sumatera Utara (2 kabupaten), Lampung (5 kabupaten), Jawa Timur (2 kabupaten), Jawa
Tengah (5 kabupaten) dan Gorontalo (1 kabupaten). Penambahan gudang SRG melalui
DAK dilanjutkan pada tahun 2012 di 11 provinsi yang tersebar di 14 kabupaten (Bappebti,
2011). Penambahan jumlah gudang SRG berpengaruh pada peningkatan jumlah RG yang
diterbitkan.
Tabel 5.1. Perkembangan Penerbitan dan Nilai RG serta Nilai Pembiayaan 2008-2014
Tahun Penerbitan Pembiayaan
Jumlah RG Nilai (Rp Juta ) Jumlah RG Nilai (Rp juta)
2008 16 1.432 6 313
2009 13 553 5 136
2010 57 8.679 35 4.216
2011 271 40.068 218 24.050
2012 379 93.183 334 58.654
2013 480 93.210 377 53.363
2014 596 124.966 569 84.780
Total 1.812 362.090 1.544 225.513
Sumber: Bappebti, Kementerian Perdagangan (2014)
16
Berdasarkan jenis komoditas, jumlah dan nilai RG masih didominasi komoditas
gabah. Jumlah RG untuk komoditas lain seperti beras, jagung, dan kopi terlihat relatif
rendah. Dari total RG, 90,4 persen RG diterbitkan untuk komoditas gabah, 5,1 persen
untuk komoditas beras, 3,7 persen untuk komoditas jagung, dan 0,4 persen untuk
komoditas kopi. Akumulasi persentase jumlah penerbitan dan pembiayaan RG hingga
Desember 2014 berdasarkan jenis komoditas utama disajikan dalam Tabel 5.2 (Erwidodo,
2014).
Tabel 5.2. Nilai RG Berdasaran Jenis Komoditas Utama, 2014
Penerbitan Pembiayaan
Komoditas Jumlah RG Nilai
(Rp miliar) Jumlah RG
Nilai
(Rp miliar)
Gabah 1.636 306,291 1.407 192,614
Beras 93 38,322 83 23,666
Jagung 66 15,034 44 9,082
Kopi 15 1,111 10 151 Sumber: Bappebti, Kementerian Perdagangan (2014)
Menurut Menteri Perdagangan (2013), baru ada 81 unit gudang dan hanya mampu
menampung 5 persen kebutuhan pangan (beras) nasional. Kondisi ini sangat merugikan
petani, yang sulit mendapatkan kepercayaan kredit dari bank, karena tidak ada bukti
kepemilikan hasil produksi yang dapat dijadikan jaminan (agunan) untuk memperoleh
kredit perbankan. Terbatasnya ketersediaan gudang akan sangat menghambat
pengembangan SRG.
Berdasarkan informasi dari Bappebti, beberapa gudang yang berpotensi untuk
dijadikan gudang SRG, antara lain PT. Pertani memiliki 404 unit gudang yang tersebar di
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTB, dan NTT. Sementara untuk PT. Bhanda Ghara Reksa
(BGR) memiliki 99 unit gudang yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, NTB, dan
Sulawesi, gudang PT. PPI sebanyak 108 unit. Selain itu, gudang milik Koperasi/KUD dan
gudang swasta lainnya juga berpotensi untuk dijadikan gudang SRG.
Sebagaimana UU RG No.9/2006, penyelenggara SRG dapat dilakukan oleh BUMN,
BUMD, perusahaan swasta dan koperasi. Namun data Bappebti memperlihatkan masih
sangat terbatasnya jumlah penyelenggara jasa RG. Pada akhir tahun 2014, Bappebti
melaporkan lima besar penyelenggara RG menurut nilai RG yang diterbitkan, yakni PT
Pertani (Rp 315 miliar), Koperasi Niaga Mukti (Rp 16,9 miliar), Koperasi Serba Usaha
(KSU) Annisa (Rp 16,8 miliar), PT Bhanda Ghara Reksa (Rp 6,6 miliar), dan PT Food
Station Cipinang Jaya (Rp 2,2 miliar). Atas dasar data tersebut, dipilih penyelenggaraan
17
SRG oleh PT Pertani di Kabupaten Indramayu dan SRG di Subang oleh KSU Annisa untuk
mengetahui lebih rinci operasionalisasi SRG di lapangan.
18
VI. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN CONTOH
6.1. Kinerja SRG di Kabupaten Indramayu
Hasil survey di Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa penyelenggaraan SRG
belum maksimal, terlihat dari sebagian besar petani yang masih enggan memanfaatkan
SRG untuk mengatasi fluktuasi harga dan sekaligus sebagai alternatif pembiayaan.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian, dan
Perdagangan Kabupaten Indramayu, antara lain : (1) petani keberatan pembebanan ongkos
untuk hal-hal yang berkaitan pengemasan, karena biaya tersebut tidak diperhitungkan pada
saat penentuan harga jual gabah; (2) Biaya transportasi atau angkutan dari tempat panen ke
lokasi Gudang SRG yang dibebankan ke petani, dirasakan sangat memberatkan dan
semakin jauh jarak lokasi panen ke gudang SRG akan semakin mahal ongkos angkutnya;
dan (3) Kurangnya pemahaman petani tentang SRG, khususnya petani berlahan sempit
(kurang 0.5 hektar). Petani yang berlahan sempit umumnya berpikir praktis, ketika saat
panen tiba menginginkan segera menjual hasil panennya dan memperoleh uang tunai.
Kebutuhan dana tunai yang ingin segera diperoleh petani berlahan sempit dan banyaknya
pedagang yang menawarkan sistem tebasan mendorong petani yang berpikir praktis akan
segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan tersebut.
Berkembangnya sistem tebasan dianggap menguntungkan bagi petani berlahan
sempit, karena petani akan langsung mendapat uang tunai dan tidak dibebani biaya panen,
ongkos angkut, dan ongkos pengemasan. Sistem tebasan di Kabupaten Indramayu selama 3
tahun terakhir menawarkan harga relatif bagus, setara HPP gabah, artinya dari sisi
perhitungan finansial petani masih memperoleh keuntungan yang memadai, sedangkan
penebas (pedagang) berpeluang memperoleh keuntungan dengan cara tunda jual melalui
pemanfaatan SRG. Terciptanya harga tebasan relatif bagus, akibat persaingan penebas
yang datang tidak hanya dari Jakarta dan Bandung, tetapi juga dari Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Banyaknya jumlah penebas, menyebabkan bargaining position petani cukup kuat.
Kondisi tersebut mendorong para petani berlahan sempit yang berpikir praktis memilih
segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan daripada menggunakan SRG.
Lambatnya penyebarluasan SRG di Kabupaten Indramayu, salah satunya karena
ketersediaan gudang SRG relatif terbatas. Hal ini menyulitkan petani yang memiliki lahan
sawah relatif jauh dari gudang, karena makin jauh jarak sawah ke gudang, beban biaya
transportasi makin mahal. Gudang SRG yang tersedia di Kabupaten Indramayu masih
terbatas pada gudang PT.Pertani yang berlokasi di Kecamatan Haurgeulis. Kapasitas
19
gudang Haurgeulis mampu menampung dan menyimpan gabah sebanyak 1876 ton gabah.
Namun, kapasitas terpasang gudang tidak berhasil digunakan sepenuhnya (full capacity)
karena belum tersedianya alat pengangkat untuk menumpuk karungan gabah yang
tingginya lebih dari 10 meter.
Pengguna jasa RG baik di Indramayu tidak hanya petani perorangan, tetapi juga
Kelompok Tani (KT), Gapoktan, koperasi SBU, pedagang, dan perusahaan huller (RMU).
Dari 78 RG yang dikeluarkan pengelola gudang di Indramayu, sekitar 10 persen (8 RG)
diantaranya atas nama KSU. PT Pertani, sebagai Pengelola Gudang, menerbitkan RG
dengan volume (nilai) yang berbeda untuk masing-masing RG, disesuaikan jenis varietas
gabah dan status kepemilikan, yaitu: (i) 20 ton/RG untuk varietas IR, (ii) 16-17 ton/RG
untuk varietas Pandan Wangi, (iii) 200 ton/RG untuk varietas IR bagi Gapoktan, dan (iv)
400 ton/RG bagi KSU Bina Hasil Tani. Untuk kasus di Subang, kemasan minimum
ditetapkan 10 ton/RG. Sistem pengemasan masih diserahkan ke petani/pemilik barang,
namun kedepan pengelola gudang SRG di Indramayu dan Subang akan memberlakukan
karung kemasan yang seragam.
SRG di Indramayu umumnya dimanfaatkan petani/pedagang/kelompok pada saat
musim panen raya, yaitu sekitar bulan April-Mei. Jangka waktu RG atau lama
penyimpanan yang berlaku adalah tiga bulan. Jangka waktu ini disesuaikan dengan jangka
waktu tibanya musim panen berikutnya. Ketentuan ini bertujuan agar gudang RG sudah
kosong saat musim berikutnya panen tiba. Disamping itu, untuk menghindari
kerusakan/penyusutan serta turunnya harga jual gabah yang disimpan di gudang.
6.1.1. Proses Penerbitan Resi Gudang
Pada proses penerbitan dokumen RG, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan
calon pengguna RG. Alur penerbitan dokumen RG di Indramayu dapat dilihat pada
Gambar 6.1. Pada prinsipnya sebelum barang masuk gudang penyimpanan, kualitas barang
harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan pengelola gudang. Selanjutnya gabah yang
sudah kering, dikemas dalam karung sebanyak 50 kg GKG/kemasan dan dijahit secara
mekanis.
Sebelum masuk gudang, dilakukan uji mutu oleh lembaga uji mutu dengan beberapa
kriteria, salah satunya kadar air tidak boleh lebih dari 14 persen, karena kandungan kadar
air berpengaruh pada kualitas gabah. Pada proses persiapan ini, ketersediaan alat pengering
(dryer) sangat vital. Ketersediaan dryer yang dimiliki gudang PT. Pertani masih dirasakan
20
kurang memadai untuk menampung gabah yang akan diresigudangkan. Untuk gudang
KSU Annisa, belum dilengkapi dryer hingga akhir 2014. Informasi yang diperoleh dari
pengelola gudang, pengadaan dryer masih dalam proses.
Sebelum barang masuk gudang, terlebih dahulu dilakukan proses uji mutu barang
oleh Ujatasma (anak perusahaan Bulog), penaksiran nilai barang, asuransi, dan registrasi.
Taksiran harga didasarkan pada harga pasar di wilayah tersebut. Setelah kelengkapan
dokumen administrasi terpenuhi, selanjutnya barang diangkut ke gudang pengelola RG.
Proses dari barang masuk gudang hingga penerbitan RG membutuhkan waktu kurang lebih
3 hari. Selanjutnya RG tersebut dapat digunakan sebagai agunan untuk memperoleh kredit
dari bank, dalam hal ini bank yang ditunjuk menjadi rekanan untuk pengelolaan RG adalah
Bank BJB KCP Haurgeulis.
Sumber : Gudang Pengelola SRG PT.Pertani Kabupaten Indramayu (2014)
Gambar 6.1. Skema Alur Penerbitan Resi Gudang di Gudang PT. Pertani, Kabupaten Indramayu
6.1.2. Analisis Biaya Resi Gudang
Biaya penyimpanan barang di gudang SRG bervariasi tergantung lamanya waktu
simpan. Untuk gudang PT.Pertani di Indramayu biaya gudang ditetapkan : Rp 75/kg untuk
Gabah Basah/Kering Panen milik
petani, kelompok, pedagang,
pengepul, penggilingan padi
GKG milik Perorangan/
Kelompok
Masuk Gudang PT.Pertani
- Lulus uji mutu
- Registrasi
- Penaksiran harga
- Asuransi
Penerbitan Resi Gudang
Persyaratan permohonan
RG terpenuhi
Jaminan Kredit
Bank BJB
Pengeringan dan Pengemasan
21
3 bulan, Rp 90/kg untuk 4 bulan, Rp 105/kg untuk 5 bulan, dan Rp 120/kg untuk 6 bulan
(maksimum). Biaya gudang mencakup empat komponen, yaitu (1) biaya bongkar sebesar
Rp 10/kg, (2) biaya uji mutu sebesar Rp 5/kg, (3) biaya psrg & asuransi sebesar Rp 10/kg,
dan (4) biaya perawatan sebesar Rp 10/kg. Namun sebelum barang digudangkan, proses
pengeringan hingga pengemasan memakan biaya Rp 200/kg gabah basah atau Rp 250/kg
GKG.
Untuk memperoleh gambaran tentang perhitungan resi gudang, berikut dijelaskan
analisis biaya RG kasus penyimpanan barang sebanyak 20 ton GKG varietas Ciherang
dengan lama penyimpanan 3 bulan di Gudang PT. Pertani, Indramayu. Rincian
perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Analisis Biaya Sistem Resi Gudang Gabah di Indramayu, 2014
No. Uraian Nilai (Rp) Pangsa thd. Nilai
Barang (%)
1. Nilai taksiran barang (Rp 5.000/kg x 20 ton) 100.000.000 100,00
2. Biaya :
a. Biaya pra-gudang (pengeringan, pengemasan
dengan karung, jahit karung dengan mesin)
(Rp 250/kg GKG x 20 ton)
b. Biaya gudang
- Biaya bongkar (Rp 10/kg x 20 ton)
- Biaya uji mutu (Rp 5/kg x 20 ton)
- Biaya registrasi & asuransi
(Rp 10/kg x 20 ton)
- Biaya perawatan (Rp 10/kg x 20 ton)
c. Jasa sewa gudang (Rp 40/kg x 20 ton)
d. Total biaya (2a + 2b)
5.000.000
200.000
100.000
200.000
200.000
800.000
6.500.000
5,00
0,20
0,10
0,20
0,20
0,80
6,50
Sumber : Gudang PT.Pertani Kabupaten Indramayu (2014)
Berdasarkan Tabel 6.1, pangsa biaya pra-gudang ternyata lebih besar (5 %)
dibandingkan biaya gudang sebesar 1,5 persen. Komponen terbesar dari biaya pra-gudang
terletak pada biaya pengeringan dari gabah basah ke gabah kering. Proses pengeringan
tidak diharuskan di dryer milik PT.Pertani, petani boleh melakukan pengeringan sendiri
asal memenuhi standar mutu gudang (kadar air 14 %). Pengelola gudang hanya
mewajibkan petani untuk menjahit karung kemasannya di PT.Pertani, karena harus
menggunakan jahit mesin agar kemasan kuat dan tidak mudah rusak. Biaya pra-gudang
belum memperhitungkan ongkos angkut dari sawah petani ke gudang PT.Pertani.
Untuk biaya gudang, terdapat beberapa komponen yang harus dibayar pemilik
barang. Bongkar barang ditangani langsung oleh tenaga kerja PT.Pertani. Uji mutu barang
dilakukan lembaga di luar PT.Pertani dengan biaya Rp 5/kg GKG. Untuk barang yang
22
akan diresigudangkan, barang harus diregistrasi ke Kliring Berjangka Indonesia (KBI) dan
diasuransikan, dalam hal ini PT.Pertani menggunakan rekanan PT.Sinar Mas sebagai
penjamin risiko barang. Kegiatan registrasi dan asuransi tersebut dikenakan biaya sebesar
Rp 5/kg. Biaya sewa gudang merupakan penerimaan PT.Pertani atas jasa penyewaan
gudang. Biaya keseluruhan dari pra-gudang hingga diterbitkannya RG, seluruhnya sebesar
6,5 persen dari nilai RG, dengan catatan biaya angkut gabah dari sawah ke lokasi gudang
belum diperhitungkan. Biaya angkut gabah berbanding lurus dengan jarak, makin jauh
jarak sawah ke gudang PT.Pertani, maka ongkos angkut makin mahal. Oleh karena itu,
PT.Pertani akan membatasi barang yang masuk ke gudang maksimal jarak dari lokasi
sawah ke gudang sekitar 40 km. Jika jaraknya lebih dari 40 km, maka disarankan untuk
memanfaatkan gudang PT.Pertani lainnya yang jaraknya dari lokasi sawah relatif lebih
dekat. Proses penerbitan resi gudang rata-rata memakan waktu sekitar 3 hari.
6.1.3. Resi Gudang sebagai Alternatif Pembiayaan
Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh Pengelola Gudang yang telah memperoleh
persetujuan Bappebti. Resi gudang yang telah diperoleh, selanjutnya dapat dijadikan
agunan untuk memperoleh pinjaman dari bank, dalam hal ini Bank BJB Indramayu.
Sebelum kredit dicairkan, akan dilakukan survey dengan cara mengecek kondisi barang di
gudang PT.Pertani. Secara paralel seorang Analis akan melakukan pengecekan dokumen
RG ke kantor Kliring Berjangka Indonesia (KBI) melalui sistem online (IS-WARE).
Melalui sistem online ini juga RG yang akan dijaminkan didaftarkan ke KBI sebagai resi
yang mengajukan permohonan kredit.
Menurut informasi dari Bank BJB Indramayu, pemberian kredit kepada pemilik resi
gudang atas nama kelompok maksimum 70 persen dari nilai RG. Jika pemilik resi gudang
atas nama perorangan, nilai kredit yang diberikan maksimum Rp 75 juta. Bank tidak
mengenakan biaya administrasi untuk setiap permohonan pinjaman melalui agunan RG.
Bahkan pemilik RG akan memperoleh subsidi bunga dari pemerintah, sehingga tingkat
bunga yang dibebankan pemilik RG relatif kecil. Tingkat suku bunga SRG ditetapkan
sebesar tingkat bunga pasar yang berlaku dengan ketentuan paling tinggi sebesar suku
bunga penjaminan simpanan pada bank umum yang ditetapkan oleh lembaga penjaminan
simpanan ditambah 6,75 %. Beban bunga kepada peserta SRG ditetapkan sebesar 6%.
Selisih tingkat bunga SRG dengan beban bunga peserta SRG merupakan subsidi
pemerintah. Jika diasumsikan nilai RG sebesar Rp 100 juta (mengacu pada Tabel 6.1) dan
barang disimpan selama 2 bulan dengan tingkat bunga 6 %/thn, maka biaya bank yang
23
harus ditanggung pengguna sebesar Rp 700 ribu atau 0,7 persen dari nilai RG. Penyaluran
kredit resi gudang selama periode tahun 2010-2012 berjalan lancar, namun pada tahun
2013-2014 sedikit ada masalah.
6.2. Kinerja SRG di Kabupaten Subang
6.2.1. Potensi dan pelaku usaha komoditas padi
Kabupaten Subang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat
setelah Indramayu dan Karawang, sekaligus menjadi penyumbang/kontributor produksi
padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Potensi lahan sawah pada tahun 2013 mencapai luasan
84.928 hektar atau 41,39 persen dari total luas wilayah Kabupaten Subang dan sebagian
besar lahan sawah berpengairan teknis. Dari luasan sawah tersebut potensi produksi padi
sawah di Kabupaten Subang pada tahun 2013 mencapai 1,2 juta ton, dengan luas panen
177,5 ribu hektar dan rata-rata produksi mencapai 6,79 ton per hektar. Potensi produksi
padi sawah paling besar tercatat di Kecamatan Ciasem (99.843 ton), Patokbeusi (84.297
ton), Tambakdahan (77.623 ton), serta Kecamatan Blanakan (68.692 ton) (BPS Kabupaten
Subang, 2014).
Berdasarkan produksi padi yang dihasilkan dari 30 wilayah kecamatan yang ada di
Kabupaten Subang (1,2 juta ton), diperkirakan baru sebagian kecil produksi yang telah
diikutsertakan dalam program SRG. Selain penyelenggaraan SRG masih terkonsentrasi
pada beberapa kecamatan juga spesifikasi jenis padi yang ditangani masih terfokus pada
padi ketan sebagai komoditas yang dikelola oleh SRG. Dengan mengacu pada jumlah
produksi padi yang dihasilkan dari setiap wilayah produksi tersebut, maka potensi
pengembangan program SRG, khususnya untuk komoditas gabah dan beras masih sangat
prospektif dilaksanakan di wilayah Kabupaten Subang.
Disisi lain data pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Subang pada tahun 2013
(BPS Kabupaten Subang, 2014), menunjukkan bahwa jumlah petani penggarap mencapai
461.634 orang, terdiri atas pemilik sawah 33,08 persen dan sebagian besar (66,92 %)
sebagai penggarap bukan pemilik sawah. Jika dikaitkan dengan luas areal sawah yang ada
di Kabupaten Subang pada tahun 2013, maka rata-rata lahan yang digarap oleh petani
pemilik dan bukan pemilik, menunjukkan rata-rata pengusahaan lahan hanya 0,184 hektar
per penggarap serta hasil produksi yang diperoleh rata-rata hanya mencapai 2,61 ton untuk
setiap petani penggarap.
24
Besarnya persentase petani penggarap yang bukan pemilik lahan garapan, baik itu
dilakukan dengan sistim sewa, maro, bagi hasil dan pola penggarapan lainnya akan sangat
menentukan pada proses pengambilan keputusan dalam penjualan hasil panen (jual
langsung atau tunda-jual). Kelembagaan lain terkait usahatani di kabupaten Subang seperti
bawon, borongan dan lainnya turut mewarnai keputusan yang akan diambil terkait
pemasaran hasil panen terutama yang mengarah pada penerapan SRG.
6.2.2. Kinerja KSU Annisa sebagai Pengelola SRG
Penyelenggaraan Skim SRG di Kabupaten Subang dilaksanakan melalui model
kegiatan usaha yang dikelola oleh Koperasi. Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa yang
berlokasi di Kecamatan Binong, memulai usahanya pada tahun 2008 dengan mengelola
komoditas khusus (gabah dan beras ketan) yang diprogramkan oleh Ditjen P2HP
Kementerian Pertanian di wilayah Kecamatan Binong dan kecamatan sekitarnya di
Kabupaten Subang. Pelaksanaan program tersebut ditujukan untuk mengurangi substitusi
impor sebesar 10 persen.
Dalam percepatan penyelenggaraan SRG di wilayah kerjayanya, KSU Annisa pada
tahun 2010 memperoleh kesempatan untuk menggunakan/mengelola fasilitas gudang milik
Bappebti yang ada di Kecamatan Binong. Jenis komoditas yang diusahakan dalam
penyelenggaraan SRG, difokuskan pada komoditas gabah ketan varietas Derti dan Gebro
yang banyak ditanam masyarakat di sekitarnya. Penanaman beras ketan di Kabupaten
Subang secara intensif dilakukan sejak tahun 2002 di Desa Citra Kecamatan Binong,
Subang, Jawa Barat. Pola tanam padi ketan dilakukan petani dua kali setahun. Musim
panen raya biasanya terjadi pada bulan April dan Agustus. Rata-rata produksi pada bulan
April mencapai 7,5 ton/hektar, sedangkan pada bulan Agustus rata-rata 6 ton/hektar.
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen P2HP) telah
menggalang kemitraan antara petani beras ketan dengan penggilingan dan importir melalui
program substitusi beras ketan impor di Subang Jawa Barat. Selama periode tahun 2010-
2011, luas areal ketan mencapai ± 7.250 ha yang tersebar di 8 kecamatan dan 30 desa.
Kebijakan substitusi impor sebesar 75 persen yang diprogramkan Ditjen P2HP berdampak
pada penyerapan beras ketan lokal. Program ini cukup berhasil, terlihat dari minat petani
untuk tetap memilih komoditas gabah ketan sebagai komoditas usahataninya.
Meningkatnya produksi gabah ketan dan tidak adanya kebijakan HPP untuk gabah ketan,
mendorong harga gabah ketan berfluktuasi di pasaran (Sinar Tani, 2011). Untuk
25
melindungi petani dari ketidakstabilan harga tersebut, instrumen SRG yang dikelola KSU
Annisa diharapkan mampu menjadi solusi pengguna.
Pada akhir tahun 2014, Bappebti melaporkan lima besar penyelenggara RG
menurut nilai RG yang diterbitkan. KSU Annisa merupakan salahsatu penyelenggara SRG
yang termasuk berhasil berdasarkan jumlah RG yang diterbitkan. Jumlah RG yang
diterbitkan oleh pengelola SRG KSU Annisa mencapai 173 dengan nilai Rp 16,85 miliar.
Dari jumlah RG yang diterbitkan, sebanyak 170 RG (98,27 %) diajukan menjadi sumber
pembiayaan dengan nilai kredit sebesar Rp 11,56 miliar melalui Bank BJB (Bank Jabar-
Banten) Cabang Kabupaten Subang. Hanya 1,73 persen RG yang disimpan sebagai tanda
bukti kepemilikan barang di gudang SRG dan tidak diajukan untuk jaminan kredit.
Pelaksanaan SRG oleh KSU Annisa terus berkembang, sejalan dengan program
pengembangan komoditas padi ketan yang diintroduksikan. Pengelolaan gudang SRG yang
semula hanya 1 unit tidak mampu menampung produksi gabah ketan petani yang terus
bertambah. Meningkatnya jumlah petani yang menjadi pengguna SRG, KSU Annisa
memutuskan untuk menambah gudang melalui sistem sewa. Berdasarkan informasi
pengelola gudang, biaya sewa gudang mencapai Rp 11.500/m2 per 5 bulan atau Rp
27.600/m2
per tahun. Hingga akhir 2014, gudang SRG yang dikelola KSU Annisa
seluruhnya menjadi 4 unit gudang SRG dimana, 3 unit dalam bentuk sewa dan 1 unit
melalui pinjam pakai milik Bappebti. Lokasi gudang berada di Kecamatan Binong (3 desa)
dan di Kecamatan Compreng (1 desa). Luas keempat gudang mencapai 2.180 m2 dengan
daya tampung sebanyak 2.790 ton. Kondisi pada bulan Desember 2014, pengisian gudang
baru mencapai 2.636,5 ton (94,5 %), artinya gudang masih memiliki kapasitas simpan
sebesar 5,5 persen, jika terjadi penambahan barang dari pengguna.
Salah satu gudang yang disewa KSU Annisa pada dasarnya merupakan milik
pengurus kelompok tani yang juga menjadi anggota KSU Annisa dan pengelola SRG. Hal
ini dilakukan karena jumlah dan ketersediaan gudang yang ada di wilayahnya juga
terbatas. Lokasi gudang tersebut berada diantara lahan usahatani yang dikelola petani yang
menjadi anggota kelompok. Pemanfaatan gudang tersebut dapat mengurangi beban biaya
transportasi, khususnya untuk ongkos angkut yang harus dikeluarkan petani pada saat
membawa gabah hasil panen atau beras yang akan disimpan ke gudang SRG KSU Annisa.
Gudang SRG umumnya menerima banyak gabah pada bulan April – Mei serta pada
bulan Oktober - Desember dan mulai terjual pada bulan Januari - Februari. Jangka waktu
penyimpanan gabah ketan di gudang tergantung kualitas gabah yang ditentukan dari kadar
26
airnya. Proses pengeringan gabah yang dilakukan sangat memegang peranan penting,
terkait dengan proses penyimpanan dan kualitas gabah yang dihasilkan. Penanganan
maupun sarana pengeringan akan menentukan kandungan kadar air dan kualitas gabah
yang selanjutnya akan berpengaruh pada masa penyimpanan. Pengeringan gabah dengan
dryer dapat menghasilkan gabah dengan kadar air 14 persen, sedangkan pengeringan
dengan panas matahari menghasilkan gabah dengan kadar air lebih dari 14 persen. Gabah
dengan kadar air hingga 14 persen dapat disimpan di gudang selama 3-6 bulan, sebaliknya
jika kadar air lebih dari 14 persen, maka gabah hanya tahan disimpan selama 2-3 bulan.
6.2.3. Proses penerbitan Resi Gudang di KSU Annisa
Penerbitan RG diawali dengan proses permohonan yang dilakukan pemilik barang
baik atas nama individu atau kolektif. Setiap pemohon resi gudang harus mengikuti aturan
yang ditetapkan pengelola gudang, sesuai ketentuan yang sudah dipersyaratkan dalam
peraturan Menteri Perdagangan. Proses penerbitan resi gudang yang dilakukan di KSU
Annisa dapat dilihat pada Gambar 6.2.
Dalam permohonan penerbitan RG, pengelola gudang mensyaratkan bahwa untuk
mendapatkan satu sertifikat RG atau untuk satu nama (pemohon) kepemilikan RG,
pengajuan barang (gabah) minimal 10 ton gabah yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, jika
volume barang yang dimiliki petani kurang dari 5 ton atau dari jumlah yang ditetapkan,
maka petani tersebut harus bergabung dengan petani lain atau kelompok tani, hingga
mencapai volume minimal yang disyaratkan pengelola gudang.
Berdasarkan pengalaman pengelola gudang, proses pengusulan untuk permohonan
RG melalui satu nama yang tergabung dalam Gapoktan ataupun Koptan, akan sangat
memudahkan dalam pengaturan administrasi pengelola gudang. Namun keinginan
pengelola gudang ini perlu mempertimbangkan kepentingan dan fleksibilitas pemilik
barang untuk sewaktu-waktu menarik dan menjual barangnya untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Bagi pengelola gudang menerbitkan RG dalam volume besar mungkin lebih
efisien karena mengurangi waktu pengurusan dan proses administrasi penerbitan RG.
Sebaliknya, bagi pemilik barang, RG dalam pecahan volume kecil akan memberikan
flexilibitas bagi pemilik dalam melakukan strategi pemasaran untuk memperoleh
keuntungan maksimum, sebagaimana ungkapan ”do not put your eggs in one basket”.
Kegiatan pra-gudang untuk gabah yang akan diresigudangkan di KSU Annisa,
seluruhnya dilakukan pemilik barang. Hal ini mengingat sejak beroperasi hingga Desember
27
2014, KSU Annisa belum memiliki fasilitas untuk kegiatan pra-gudang, seperti
pengeringan, pengemasan, dan proses penjahitan karung. Secara teknis, pengelola gudang
menerima barang yang sudah dikemas oleh pemilik barang. Namun demikian sebelum
barang diterima untuk masuk ke gudang, pengelola terlebih dahulu melakukan pengecekan
atas ketersediaan tempat di gudang dan uji mutu barang melalui Ujastasma Bulog Subdrive
Kabupaten Subang sebagai lembaga kompeten yang ditunjuk untuk melakukan hal
tersebut.
Sumber : KSU Annisa (diolah)
Gambar 6.2. Bagan Alir Sistem Resi Gudang di KSU Annisa, Kabupaten Subang
Permohonan Simpan
Barang
Ruang Tersedia Mutu Barang
Sesuai?
Pembongkaran,
penimbangan dan
penumpukkan barang
Asuransi barang
Penerbitan Resi
Gudang
Penyimpanan dan Perawatan
Barang
Penyelesaian
Transaksi
Penjaminan
Resi Gudang
Pengalihan
Resi Gudang
Perubahan pembebanan hak
jaminan
Penghapusan pembebanan hak
jaminan
Cidera janji?
Penyerahan obyek hak jaminan
STOP
RG
dijaminkan
tidak tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
tidak
tidak
tidak
28
Setiap barang yang akan diresigudangkan harus memenuhi standar mutu yang
ditetapkan pengelola gudang. Standar mutu ditetapkan menurut jenis komoditas yang
dikelola oleh SRG. Standar mutu beras giling yang ditetapkan gudang KSU Annisa sesuai
SNI 01-6128-1999. Standar yang sudah ditetapkan untuk mutu beras giling, meliputi
derajat sosoh, kadar air maksimum, persentase beras kepala dan keutuhan butiran, benda
asing serta tingkat kebersihan dalam proses pengilingan gabah menjadi beras. Sementara
untuk penetapan mutu gabah sesuai SNI 01-0224-1987. Standar mutu gabah yang
dipersyaratkan meliputi, persentase jumlah kadar air, gabah hampa, kwalitas butiran gabah,
benda asing maupun jenis varietas gabah yang akan disimpan di gudang SRG.
Pada saat proses barang sudah lolos uji mutu dan tempat di gudang masih tersedia,
maka pengelola gudang akan menerima barang tersebut untuk diproses masuk
penyimpanan di gudang. Sebelum RG diterbitkan, pengelola gudang juga harus mengurus
asuransi sebagai penjamin risiko kerusakan atau kehilangan barang selama disimpan di
gudang. Dalam dokumen Resi Gudang tercantum bahwa barang yang disimpan di gudang
SRG diasuransikan terhadap resiko kebakaran, melalui perusahaan Asuransi Central Asia.
Setelah seluruh tahapan dalam proses SRG dilakukan, pengelola gudang akan segera
menerbitkan RG. Selanjutnya RG tersebut dapat dijadikan sebagai agunan untuk
mengajukan kredit di bank BJB cabang Kabupaten Subang. Proses permohonan kredit di
Bank BJB Kabupaten Subang relatif sama dengan proses permohonan kredit di Bank BJB
lainnya yang memberikan fasilitas kredit melalui kegiatan SRG. Hal ini karena kebijakan
perbankan BJB dalam proses kredit untuk kegiatan SRG telah ditentukan melalui standar
ketentuan secara terpusat. Besaran skim kredit melalui instrumen RG ditetapkan 70 persen
dari nilai RG atau maksimum sebesar Rp. 75 juta untuk perorangan/individu.
6.2.4. Proses penaksiran harga
Proses penaksiran harga pada komoditas gabah ketan yang diresigudangkan di KSU
Annisa, dilakukan pengelola gudang dengan beberapa tahapan. Tahapan yang dilakukan,
yaitu; (1) melakukan survey harga pasar; (2) memperkirakan biaya angkut gabah dari
lokasi sawah ke gudang; dan (3) memperhitungkan biaya penyusutan barang pada proses
pengeringan. Sebagai ilustrasi, dengan menggunakan harga pasar gabah dan komponen
biaya 2014, tahapan penaksiran harga gabah ketan yang akan diresigudangkan disajikan
pada Gambar 6.3.
29
Sumber : Informasi dari KSU Annisa, 2014 (diolah)
Gambar 6.3. Proses Penaksiran Harga Gabah Ketan di Pengelola Gudang KSU Annisa KabupatenSubang
SURVEY HARGA PASAR
- Gabah ketan kualitas rendah Rp 5500/kg
- Gabah ketan kualitas sedang Rp 5800/kg
- Gabah ketan kualitas tinggi Rp 6100-6200/kg
Biaya angkutan dari
sawah ke gudang
Pada tahap awal, survey harga pasar dilakukan dengan cara melihat harga pasaran
gabah ketan dengan beragam kualitas di beberapa bakul, Penggilingan Beras (PB) dan
calo-calonya serta berdasarkan harga standar musim sebelumnya. Setelah diperoleh harga
rata-rata, selanjutnya memperhitungkan biaya angkutan dari sawah ke gudang SRG, dan
biaya penyusutan gabah setelah proses pengeringan.
Proses penaksiran harga harus didasarkan pada harga yang terjadi di pasaran. Jika
taksiran harga lebih tinggi dari pasaran (over-estimate), akan berpotensi menimbulkan
masalah ketika RG dijaminkan ke bank untuk memperoleh kredit. Taksiran harga yang
cenderung tinggi, berpeluang barang sulit terjual hingga batas jatuh tempo dan pada
akhirnya muncul NPL (Non-Performing Loan) atau kredit macet. Pada umumnya pembeli
gabah dari gudang KSU Annisa adalah unit Penggilingan Beras. Jika pembelinya
penggilingan beras, maka yang dijadikan patokan harga untuk pembelian gabah adalah
konversi harga eceran beras ketan.
Dalam proses penggilingan gabah ke beras rata-rata rendemennya sebesar 54
persen. Sebagai gambaran jika gabah yang digiling sebanyak 10 ton, maka akan diperoleh
beras ketan sebanyak 5,4 ton. Pembeli (PB) akan memperoleh keuntungan dari produk
sampingan hasil pengolahan gabah ke beras, berupa menir sebesar 10 persen dan dedak 1
persen dari total volume gabah yang digiling. Menir dan dedak sebagai hasil sampingan
pada saat penggilingan gabah, mempunyai nilai jual masing-masing Rp. 8.500/kg dan Rp.
2.300/kg.
Harga Rata-rata
Rp. 6.000/kg
Rp 580/kg
Harga taksiran gabah ketan
Rp 7.000/kg
Biaya penyusutan
pada proses
pengeringan sekitar
15-20 %
30
6.2.5. Kinerja Pengguna SRG
Pengguna SRG yang dikelola KSU Annisa, baru mencapai 200 orang petani, baik
secara individu maupun tergabung dalam kelompok tani dan Gapoktan “Tani Sejahtera”.
Selain petani dan kelompok tani, pengguna SRG juga terdiri atas 6 orang pedagang yang
sekaligus merupakan anggota kelompok tani yang secara bersama-sama memanfaatkan 4
gudang yang disediakan oleh pengelola. Jumlah anggota gapoktan seluruhnya mencapai
426 orang yang terdiri atas 8 kelompok tani, dan 6 kelompok diantaranya yang telah aktif
memanfaatkan SRG. Total luas sawah dari seluruh anggota gapoktan (420 petani)
mencapai 517 hektar. Dengan demikian tidak seluruh anggota gapoktan memafaatkan SRG
sebagai sarana untuk memasarkan hasil panennya.
Bagi petani yang tidak memanfaatkan SRG, hasil panen langsung dijual lepas ke
kelompok tani dan langsung mendapat uang tunai. Petani tidak bisa menahan gabah hingga
kering karena tidak memiliki tempat penyimpanan maupun tempat jemur. Dorongan
kebutuhan untuk pemenuhan konsumsi dan keperluan uang tunai untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga menjadi alternatif para petani, khususnya petani berlahan sempit
harus segera menjual gabah. Sebagian petani dengan terpaksa menjual gabah ke tengkulak
dengan konsekuensi memperoleh harga rendah (Bappepti, 2008).
Sebagian besar petani yang berlahan terbatas, umumnya menjual hasil panennya
secara tebasan. Kecenderungan menggunakan sistem tebasan karena : (1) pertimbangan
perhitungan biaya panen dan proses penanganan hasil yang harus dikeluarkan; (2) adanya
kebutuhan dana tunai yang mendesak, (3) tidak mau menjalani proses SRG yang dianggap
rumit; (4) kurangnya pemahaman SRG, dan (5) berkaitan dengan kurangnya sosialisasi
awal dan para petani belum merasakan manfaat SRG.
Dalam memanfaatkan SRG, Gapoktan juga tidak hanya mengandalkan pembelian
gabah dari anggotanya. Secara aktif gapoktan melakukan pembelian gabah dari luar
anggota gapoktan. Pemahaman pengurus tentang konsep SRG, mendorong pengurus
gapoktan lebih aktif melakukan pembelian gabah untuk diresigudangkan, sekaligus
melakukan sosialisasi SRG kepada para petani. Dalam aktivitas ini, pengurus tidak hanya
berperan sebagai petani atau ketua kelompok, tetapi juga berperan sebagai pedagang.
Pemanfaatan SRG dilakukan melalui kelompok secara intensif pada tahun 2011.
Pada tahun 2014, jumlah gabah yang diikutsertakan dalam kegiatan SRG mencapai 2.800
ton. Proses pengajuan RG pada tahap I dilakukan atas nama Gapoktan yang mewakili 426
anggota. Pada tahap II pengurusan RG menggunakan atas nama perorangan. Berdasarkan
31
pengalaman kelompok, pengajuan secara perorangan dirasakan lebih rumit dibandingkan
dengan sistem gabungan kelompok tani (gapoktan). Pengajuan melalui gapoktan dianggap
lebih efisien, sederhana dan lebih nyaman dalam proses pengajuan di Bank, karena proses
kelengkapan dokumen yang harus disiapkan secara kelompok lebih mudah.
Meskipun masih banyak petani yang enggan mengimplementasikan SRG, KSU
Annisa dianggap cukup sukses mengelola gudang SRG, terlihat dari ekspansi pengadaan
gudang yang tersebar di beberapa desa di Kecamatan Binong. Keberhasilan ini tidak
terlepas dari hasil sosialisasi secara gencar yang dilakukan selama tahun 2012-2013,
hingga petani mendapat informasi tentang manfaat adanya SRG. Proses sosialisasi
dilakukan dari anggaran pemanfaatan RG. Pada periode selanjutnya, intensitas pertemuan
petani untuk kegiatan sosialisasi dilakukan di gapoktan. Kegiatan sosialisasi juga
dilakukan di kabupaten dengan penyuluh swadaya, dan kemudian dengan RMU.
6.2.6. Prospek dan perkiraan keuntungan penyelenggaraan SRG
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Bappebti dan Putri (2012), tentang
manfaat penerapan SRG bagi pengelola maupun pengguna khususnya yang dilaksanakan
di KSU Annisa pada bulan Oktober, secara finansial menguntungkan (Tabel 6.2). Asumsi
yang digunakan pada Tabel 6.2, berdasarkan volume gabah ketan yang disimpan sebanyak
60 ton dengan harga pasar Rp. 5.000/kg. Biaya penyimpanan yang dibayarkan kepada PT.
Pertani selaku Pengelola Gudang di Kabupaten Subang adalah sebesar Rp. 4,5 juta. Pada
bulan Desember gabah ketan yang disimpan selama 2 bulan dibeli dengan harga Rp
5.900/kg. Dalam selang waktu 2 bulan KSU Annisa memperoleh selisih harga sebesar Rp
900/kg.
Tabel 6.2. Analisa Simulasi Potensi Keuntungan Penyelenggaraan SRG di Kabupaten
Subang
Uraian Rincian Nilai (Rp 000)
Gabah dijual langsung 60 ton x Rp. 5.000/kg 300.000
Biaya penyimpanan 2 bln 4.500
Biaya bunga bank 6 % x 2/12 x Rp 189 juta 1.890
Harga jual setelah simpan 2 bln 60 ton x Rp 5.900/kg 354.000
Keuntungan *)
47.610 Sumber : Putri (2012)
Keterangan : *) Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya
penyimpanan + biaya bunga)
Analog dengan simulasi perhitungan Tabel 6.2, jika digunakan untuk kondisi data
yang diperoleh dari hasil penelitian Analisis Kebijakan pada Desember 2014, dengan
32
volume gabah yang disimpan di 4 lokasi Gudang KSU Annisa mencapai 2.636,5 ton gabah
ketan. Biaya sewa gudang sebesar Rp 11.500/m2/ 5 bulan dengan luas/kapasias total 3 unit
gudang (sewa) mencapai 1.480 m2. Harga pembelian gabah ketan Rp 6.000/kg GKG.
Harga jual setelah masa simpan 2 bulan diproyeksikan dengan harga Rp 7.000/kg. Analisa
keuntungan pada proses pengelolaan gudang SRG di KSU Annisa dapat dilihat pada Tabel
6.3.
Tabel 6.3. Analisa Simulasi Keuntungan pada Proses Penyelenggaraan SRG di Gudang
KSU Annisa, Kabupaten Subang
Uraian Rincian Nilai (Rp 000)
Gabah dijual langsung 2.636,5 ton x Rp 6.000/kg 15.819.000
Biaya sewa gudang 2 bln 6.808*
Biaya bunga Bank 6 % x 2/12 x Rp 11.563 juta** 115.630
Harga jual setelah disimpan 2 bln 2.636,5 ton x Rp 7.000/kg 18.455.500
Keuntungan ***
2.514.062 Keterangan : * = Penggunaan gudang milik Bappepti (700 m²) tidak dikenakan biaya sewa
** = Data terakhir Bappepti 2014 : Asumsi dari 170 RG yang diajukan KSU Anisa dengan nilai kredit
Rp 11,563 miliar, melalui Bank BJB Cabang Kabupaten Subang
*** = Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya penyimpanan + biaya bunga)
Sementara untuk biaya operasional gudang dan lainnya, secara tidak langsung
ditanggung oleh pemilik barang (pengguna), melalui jasa penyimpanan gabah
petani/pengguna di gudang sebesar Rp 100/kg untuk perhitungan biaya penyimpanan
maksimal gabah selama 4 bulan atau Rp 50/kg per 2 bulan. Biaya penyimpanan tersebut,
meliputi; biaya uji mutu, asuransi, tagihan KBI, perawatan dan fumigasi, gaji karyawan
dan biaya lain.
Biaya-biaya pra-gudang yang dibayar/dikeluarkan oleh petani/pengguna, meliputi ;
biaya pengeringan, karung dan bongkar-muat, diperhitungkan mencapai rata-rata Rp 275
per kg dan untuk proses penyimpanan gabah di Gudang SRG Rp100/kg. Jumlah biaya
keseluruhan yang dibayar petani/pengguna, mencapai Rp 375 per kg atau setara dengan
5,36 persen dari taksiran nilai gabah jenis ketan (Rp 7.000/kg), dimana rata-rata harga
penjualannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis gabah dari varietas padi
lainnya (Tabel 6.4).
Berdasarkan analisis simulasi data pada Tabel 6.2 dan 6.3, pengelolaan SRG untuk
komoditas gabah ketan menunjukkan potensi keuntungan dan cukup propektif, sekalipun
dalam tulisan ini nilai atau hasil keuntungan akhir yang diperoleh pengelola maupun
pengguna sebagai pendapatan riel, belum diperhitungkan dengan pengurangan seluruh
biaya manajemen usaha pengelola maupun biaya usahatani yang dikeluarkan petani
33
sebagai pengguna. Namun demikian diperoleh gambaran awal bahwa jika kapasitas dan
volume gabah ketan yang tersimpan melalui pengelola SRG dalam jumlah cukup banyak,
maka kegiatan pengelolaan SRG sebagai pendekatan bisnis, sangat memungkinkan
menjadi peluang bagi para pelaku usaha lain, melakukan investasi dalam pengelolaan jasa
SRG, serta usaha jasa pendukung lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan program
SRG di Kabupaten Subang. RG juga akan menjadi peluang bisnis bagi kalangan perbankan
dan pengembangan layanan jasa kredit bagi para nasabahnya (Erawan, 2008).
Tabel 6.4. Analisa Simulasi Biaya Petani Pengguna SRG di KSU Annisa, di Kabupaten
Subang 2014
No Uraian
Ketentuan
Pengelola
Gudang
Harga dan
Biaya
(Rp/kg)
Nilai
(Rp 000)
Pangsa Thd
Nilai Barang
(%)
1 Nilai Taksiran Barang (10 Ton) GKG 7000 70.000 100,00
2. Biaya-Biaya
a. Biaya Pra Gudang
- Biaya Pengeringan (10 Ton) 200-240/kg 200 2.000 2,86
- Biaya Karung (10 Ton) 4.000/kw 40 400 0,57
- Biaya Angkut (10 Ton) 50.000/ton 5 50 0,07
- Biaya Bongkar-Muat (10 Ton) 3.000/kw 30 300 0,43
Biaya Total Pra-Gudang 2.750 3,93
b. Biaya Penyimpanan/Gudang (Biaya
Uji Mutu, Asuransi, Tagihan KBI,
Perawatan/Fumigasi, Gaji Karyawan
dan Biaya lain) (10 ton)
100/kg*
100
1.000
1,43
3. Biaya Total Gudang 1.000 1,43
4. Total Biaya 3.750 5,36 Sumber data : KSU Annisa, Desember 2014 (diolah)
Keterangan : * Perhitungan biaya untuk penyimpanan selama 4 bulan
6.2.7. Kebijakan Pemerintah Daerah
Keterkaitan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang dengan Pemda, sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan UU No.9/2006 dan perubahannya, menegaskan bahwa urusan
Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG, meliputi : pembuatan kebijakan daerah
untuk mempercepat pelaksanaan SRG; pengembangan komoditas unggulan di daerah;
penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan
SRG; dan pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas. Semua urusan
Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG ini dilakukan melalui koordinasi dengan
Badan Pengawas.
Dalam implementasi kegiatan SRG di Kabupaten Subang, peran serta dan kebijakan
Pemerintah Daerah belum sepenuhnya memfasilitasi pelaku usaha yang mengembangkan
kegiatan SRG maupun kepada pengguna. Begitu pula dalam melakukan fungsi Pemerintah
34
Daerah, dalam hal : percepatan pengembangan pelaksanaan SRG di wilayah potensial dan
untuk komoditas lainnya; pengembangan komoditas unggulan yang bisa disinergiskan
dengan SRG; penguatan kebijakan bagi pelaku usaha dan pengguna yang mengembangkan
SRG, maupun fasilitasi pengembangan usaha-usaha yang terintegrasi dengan
pengembangan SRG belum menjadi prioritas nyata dalam implementasinya. Peran serta
yang telah dilakukan oleh pemda setempat selama ini, adalah dengan kegiatan sosialisasi
terbatas melalui dinas instansi terkait yang disesuaikan dengan tupoksi SKPD.
Peran institusi melalui dinas/instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan SRG
berdasarkan kompetensinya, melibatkan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian serta
Dinas Koperasi. Peran Dinas Pertanian dalam kaitan SRG, secara tidak langsung hanya
terkait dalam sosialisasi di tingkat petani dan kelompok tani, sesuai dengan kegiatan teknis
yang selama ini dilaksanakan. Peran serta dinas terkait dalam penyelenggaraan kegiatan
SRG juga dilakukan Dinas Perdagangan maupun Dinas Koperasi, hanya saja masih
tergantung pada kegiatan berdasarkan struktur organisasi diatasnya. Aktivitas pembinaan
dalam kaitan SRG selama ini belum optimal, terbatas pada kegiatan sosialisasi pada
sasaran yang masih terbatas.
Dinas Pertanian selama ini melaksanakan program lebih kearah pembinaan petani
dan kelompok tani dari aspek teknis usahatani dan penerapan teknologi pertanian.
Keterkaitan secara institusional juga masih terbatas atau hanya pada kegiatan yang bersifat
koordinasi dan belum pada proses kebijakan “aksi” yang terkait dengan implementasi
SRG. Kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan di tingkat Pemda belum terintegrasi
dengan berbagai pemangku kepentingan/stakeholders dalam satu tujuan untuk percepatan
pengembangan SRG.
Peran Pemda dalam fasilitasi penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang
dibutuhkan, sangat dinantikan oleh penyelenggara maupun pengguna (kebutuhan petani
secara umum). Upaya yang dilakukan melalui fasilitasi kerjasama penguatan modal,
penyediaan sarana prasarana SRG serta mendorong peran serta lembaga kuangan bank/non
bank, melalui skim yang dibuat dengan melibatkan kebijakan Pemda untuk pembiayaan
pengembangan SRG, belum banyak dilakukan. Koordinasi kebijakan secara vertikal
dengan beberapa lembaga dan Kementerian yang terkait penyelenggaraan SRG, masih
sangat diperlukan untuk mensinergikan ketentuan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah
dan wewenang Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan SRG. Kekhawatiran pengelola
yang selama ini sudah menyelenggarakan SRG, menjadi masukan buat Pemda setempat
35
maupun pengambil kebijakan di Pusat, terutama tentang konsep pewilayahan usaha yang
akan menjadi wilayah kerja pengelola SRG dibeberapa lokasi potensi produksi lainnya,
agar antar pengelola SRG tidak terkonsentrasi pada satu wilayah dan saling tumpang
tindih, termasuk untuk membuka peluang pengembangan penyelenggaraan SRG untuk
komoditas potensial lainnya selain gabah dan beras yang selama ini juga mengalami
fluktuasi harga.
36
VII. KENDALA DAN PELUANG PENYEBARLUASAN SRG
Beberapa permasalahan yang menyebabkan lambannya penerapan SRG dapat dilihat
dari hasil kajian SRG di beberapa wilayah di Indonesia. Ashari (2010 dan 2011) telah
menjelaskan berbagai kendala penerapan SRG yang didasarkan dari hasil kajian Ariyani
(2008), BRI (2008), Riana (2010), dan Sadaristuwati (2008). Selain itu temuan Sanur
(2008) dalam melakukan kajian SRG di Cirebon, Jawa Barat turut menambah masukan
terkait permasalahan penerapan SRG di Indonesia. Secara ringkas, permasalahan
penyelenggaraan SRG dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek.
(1) Pemahaman SRG Masih Terbatas
Beberapa hasil kajian menyatakan bahwa lambatnya pengembangan SRG di daerah
disebabkan kurangnya kegiatan sosialisasi pada stakeholder (Riana, 2010; Listiani dan
Haryotejo, 2013; iPasar, 2011). Informasi yang diperoleh dari responden petani di Subang,
kegiatan sosialisasi SRG kurang menekankan manfaat finansial yang akan diperoleh
petani, sosialisasi lebih menekankan pada penjelasan prosedur dan tata cara SRG.
Atas dasar permasalahan tersebut, gerakan sosialisasi SRG harus menjadi program
prioritas Dinas Perdagangan di daerah. Kegiatan sosialisasi seyogyanya tidak hanya
memberi pemahaman tata cara penyelenggaraan SRG, tetapi lebih ditekankan pada potensi
keuntungan finansial yang akan diperoleh petani/kelompok tani/gapoktan.
Bagi petani berlahan sempit (kurang 0.5 ha) dan adanya persyaratan pengelola
gudang untuk volume minimal per kemasan (10-20 ton/ha), telah mendorong petani untuk
berkelompok. Hal ini cukup merepotkan, apalagi masih dibebani berbagai biaya untuk
memperoleh RG dan harus menunggu beberapa waktu untuk memperoleh kebutuhan uang
tunai. Selain itu, pada beberapa kasus petani seringkali terjerat pada pinjaman rentenir
untuk kebutuhan dana, baik untuk produksi maupun konsumsi, sehingga petani berlahan
sempit umumnya ingin segera memperoleh uang tunai segera setelah panen. Oleh karena
itu, sistem jual lepas/tebasan ke pedagang/kelompok tani dengan harga sesuai HPP
dianggap paling praktis dan rasional.
Perubahan pola perdagangan dari jual langsung ke sistem tunda jual membawa
konsekuensi perubahan mindset petani. Perubahan ini membutuhkan waktu, tidak semudah
membalik telapak tangan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, langkah awal
pemerintah seyogyanya melakukan pendampingan dan pengawalan hingga petani siap
menerapkan SRG. Disisi lain, perlu dilakukan penguatan modal kelompok tani untuk
37
menampung hasil panen petani yang masih berkeinginan jual lepas ke kelompok tani.
Sampai saat ini, kelompok tani yang berperan aktif memanfaatkan SRG. Dengan
berjalannya waktu diharapkan petani akan tertarik mengadopsi SRG dalam pemasaran
hasil panennya.
Penguasaan informasi mengenai harga spot produk hasil panen petani masih rendah,
apalagi terhadap harga prediksi dimasa mendatang (futures). Kondisi asymmetric
information ini mengakibatkan petani dalam posisi yang tidak diuntungkan. Kondisi ini
disebabkan akses informasi harga yang masih terbatas dan kenyataan tingkat pendidikan
sebagian besar petani relatif rendah. Untuk mengatasi permasalahan terkait penguasaan
teknologi informasi, diharapkan penyuluh lapangan dapat berperan aktif membantu petani
memberi pemahaman terkait teknologi informasi.
(2) Sarana dan Prasarana
Prasarana jalan yang buruk menjadi kendala petani untuk mengangkut hasil
panennya ke gudang SRG, karena berpengaruh pada biaya transportasi. Makin buruk
kondisi jalan, maka biaya transportasi makin mahal, hal ini terjadi di kabupaten
Tasikmalaya. Ketersediaan gudang SRG yang terbatas, juga menyulitkan petani jika akan
memanfaatkan SRG. Jauhnya jarak dari sawah petani ke lokasi gudang SRG membawa
konsekuensi mahalnya biaya transportasi, hal ini secara langsung akan membebani petani
dalam pengurusan RG. Untuk mengatasi masalah infrastruktur jalan dan transportasi,
Pemerintah diharapkan meningkatkan alokasi anggaran pembangunan/rehabilitasi jalan
dan transportasi, khususnya di wilayah-wilayah sentra produksi agar distribusi barang
berjalan lancar baik menuju gudang SRG maupun ke pusat-pusat pasar.
Kondisi pergudangan (warehousing) yang tersedia, secara umum kurang memadai
termasuk di Indramayu dan Subang. Kondisi ini menjadi kendala petani dalam
menyimpan hasil panennya, sebagai upaya tetap menjaga kondisi hasil penennya tetap baik
sambil menunggu harga yang diinginkan. Dibanyak lokasi pertanian (farm area) terlihat
gabah hasil panen hanya ditutup dengan terpal seadanya didalam lumbung yang sudah
rusak, hal ini tentunya menyebabkan kualitas produk hasil panen menjadi rusak. Pada
aspek ini juga termasuk didalamnya kendala transportasi dan sarana jalan raya yang kurang
baik.
Terbatas dan buruknya kondisi gudang tidak terlepas dari aspek investasi
pembangunan gudang SRG yang relatif mahal. Belum meluasnya petani untuk
38
memanfaatkan SRG, membuat investor belum berani berinvestasi membangun gudang. Di
Indramayu, sejauh ini, baru PT Pertani yang mempunyai gudang yang memenuhi syarat
dan fasilitas yang memadai untuk menyelenggarakan jasa SRG. Pada kasus di Subang,
pengelola gudang KSU Annisa menggunakan gudang yang dibangun oleh Bappebti.
Karena melihat besarnya potensi keuntungan dalam menyelenggaran jasa SRG, KSU
Annisa berani berinvestasi dengan menambah gudang SRG dengan cara sewa.
Pada kasus di Surakarta, SRG tidak menguntungkan karena tidak seimbang antara
besarnya investasi yang dikeluarkan, sementara biaya yang dibebankan ke petani relatif
kecil. Jenis komoditas yang potensial diresigudangkan adalah padi, jagung, kedelai, dan
ketela pohon (Primartantyo, 2012).
Mengingat investasi pembangunan gudang dianggap relatif mahal, untuk menambah
jumlah gudang SRG, ada beberapa alternatif, yaitu (1) Kementerian Perdagangan melalui
Bappebti meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangunan gudang SRG di wilayah
sentra produksi; (2) pemerintah dapat memanfaatkan gudang-gudang milik BUMN yang
ada di daerah, (3) pemerintah memberikan subsidi kredit pembangungan gudang dan jasa
pergudangan, (4) pembangunan gudang SRG hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga
satu gudang menjangkau wilayah dengan radius tertentu, sehingga menekan biaya
transportasi dari sawah ke gudang pengelola yang umumnya ditanggung petani; (5)
melanjutkan program pemanfaatan DAK untuk membangun gudang SRG seperti yang
dilakukan di beberapa provinsi pada tahun 2011 dan 2012. Pembangunan gudang untuk
SRG sebaiknya dilengkapi dengan sarana pendukung, misalnya dryer dengan kapasitas
yang memadai untuk gudang gabah. Dryer ini sangat dibutuhkan, karena gabah yang akan
diresigudangkan harus memenuhi standar mutu yang disyaratkan pengelola gudang SRG,
salah satunya kadar air maksimal 14 persen.
Ketersediaan teknologi penyimpanan di gudang pengelola juga masih terbatas. Jenis
teknologi penyimpanan erat kaitannya dengan jenis barang yang akan diresigudangkan.
Mengingat teknologi penyimpanan gabah/beras relatif lebih sederhana dan murah, oleh
karena itu komoditas yg memanfaatkan SRG sebagian besar masih terbatas gabah/beras,
meskipun dalam Permendag dimungkinkan menyimpan komoditas selain gabah/beras.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kedepan pemerintah perlu memfasilitasi
pengelola gudang terkait peningkatan kemampuan untuk menguasai teknologi
penyimpanan barang non gabah/beras. Kegiatan pelatihan ke pengelola gudang dan
39
stakeholder terkait merupakan strategi alternatif untuk meningkatkan kemampuan para
pelaku SRG.
(3) Kelembagaan SRG dan Koordinasi antar Instansi
Keterlibatan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian baru sebatas kegiatan
sosialisasi. Pemerintah daerah belum sepenuhnya memahami manfaat SRG yang
berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani. Alokasi anggaran daerah untuk mengawal
kegiatan SRG belum terlihat, bahkan kasus di Subang, gapoktan atau pengelola gudang
merasa „putus asa‟ saat melakukan usulan-usulan untuk kelancaran penerapan SRG,
kurang mendapat respon positif.
LPK/Petugas uji mutu barang belum tersedia di seluruh daerah (Riani, 2010). Jumlah
bank yang terlibat dalam pelaksanaan SRG masih terbatas. Tidak seluruh bank bersedia
menjadi stakeholder SRG untuk memberikan fasilitas kredit. Untuk kasus di Indramayu
dan Subang, bank yang bersedia menyalurkan kredit untuk SRG hanya Bank BJB. Kondisi
ini membuat tidak adanya kompetisi antar bank dalam memberikan layanan kepada
pemiliki RG. Bagi pemilik RG, hal ini kurang menguntungkan, karena tidak ada pilihan
untuk mengajukan kredit. Petani „terpaksa‟ menerima semua aturan yang diberikan bank
terkait.
Permasalahan lain yang terkait perbankan adalah terjadinya Non Performing Loan
(NPL) dan potensi NPL ketika barang di gudang belum terjual saat jatuh tempo. Kasus ini
terjadi pada musim panen terakhir (MK 2014) dimana beberapa RG di gudang Haurgeulis,
Indramayu belum terjual padahal sudah melewati waktu jatuh tempo, sehingga urusan
kredit Bank BJB belum selesai. Hal ini terjadi karena adanya „over-estimasi‟ nilai RG
gabah yang disimpan setelah memperhitungkan harga pasaran gabah, biaya pengeringan,
harga pengemasan dan harga transportasi.
Banyaknya lembaga yang terlibat dalam penerapan SRG, seperti lembaga uji mutu,
asuransi, pusat registrasi, pengelola gudang, dan perbankan, hal ini membuat rumit urusan
birokrasi. Rantai birokrasi yang relatif panjang, tidak semua petani memahaminya yang
notabene sebagian besar tingkat pendidikannya lulus SD. Umumnya pedagang lebih punya
akses memanfaatkan SRG, karena mampu melihat „peluang‟ untuk memperoleh
keuntungan. Jika demikian halnya, maka tujuan SRG belum mencapai sasaran yang
diharapkan.
40
Agar implementasi SRG dapat berjalan lancar dan cepat meluas penyebarannya,
maka seluruh lembaga yang berpartisipasi harus bersinergi menjalankan tugas masing-
masing sesuai fungsinya. Menanggapi permasalahan penyediaan LPK yang tidak merata di
daerah potensial SRG, pemerintah melalui Bappebti, Kementerian Perdagangan
seyogyanya membantu dalam penyediaan LPK. Jumlah petugas LPK harus proporsional di
setiap wilayah SRG.
Terkait perbankan, untuk penyelenggaraan SRG umumnya telah ditetapkan bank
yang akan mendukung pembiayaan melalui jaminan RG. Seyogyanya jumlah bank yang
berpartisipasi dalam penerapan SRG tidak terbatas hanya satu bank dalam satu wilayah
SRG, sehingga petani mempunyai pilihan dalam mengajukan permohonan kreditnya.
Disisi lain, kompetisi antar bank dalam memberikan layanan ke pemilik RG akan
mendorong kinerja perbankan lebih optimal.
(4) Kebijakan Pemerintah Daerah
Untuk kasus di Kabupaten Subang, secara umum permasalahannya hampir sama,
yaitu mencakup infrastruktur pergudangan termasuk peralatan kelengkapannya.
Permasalahan yang terlihat spesifik yang dihadapi KSU Annisa yaitu adanya
kekhawatiran pengelola SRG terhadap munculnya persaingan tidak seimbang dengan
BUMN. Kekhawatiran ini muncul seiring adanya rencana pemerintah daerah untuk
memberikan ijin pengelolaan SRG untuk gudang-gudang BUMN. Masuknya pemain baru,
baik BUMN maupun swasta dan KSU lain, akan menurunkan tingkat keuntungan KSU
Annisa. Hal ini menjadi kecemasan bagi pihak pelaku yang selama ini telah
mengembangkan SRG diluar BUMN, sekaligus mempertanyakan tentang perlindungan
daerah terhadap kegiatan SRG yang sudah jalan/dilakukan perusahaan
pribadi/petani/koperasi/CV yang ada di daerah dalam pergudangan SRG ke depan.
Eksistensi pengelola juga dihadapkan pada keterbatasan dukungan pihak Pemda
dalam memfasilitasi kinerja pengelolaan SRG untuk percepatan implementasi SRG di
wilayah Kabupaten Subang lainnya. Sinergisitas antar institusi SKPD terkait dengan
pelaksanaan SRG di Kabupaten Subang, belum terbangun dalam satu kepentingan untuk
peningkatan kinerja SRG dari berbagai aspek.
Alternatif pemecahan masalah tersebut, Pemerintah Daerah bisa saja menghimbau
pusat (BUMN) atau membuat aturan untuk membatasi ruang usaha BUMN dan BUMD
(pembagian wilayah), tetapi tidak bisa membatasi KSU lain dan swasta untuk
menyelenggarakan SRG. Pembagian wilayah usaha yang terkait dengan SRG menjadi
41
bahan pemikiran kebijakan ke depan. Pengaturan kebijakan dalam pewilayahan kegiatan
dan komoditas yang di SRG-kan, menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dalam menjaga
iklim usaha dan pelaksanaan SRG sesuai ketetapan dalam undang-undang, sehingga tidak
overlapping dengan usaha yang sudah ada saat ini. Pemda juga harus melakukan pemetaan
terlebih dahulu terhadap potensi dan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh pihak swasta
serta pihak lain yang membuka usaha SRG di daerah, sehingga pengembangan SRG dapat
mempercepat perekonomian wilayah tanpa terpusat pada satu wilayah usaha. Perhatian
kepada pelaku di tingkat daerah terutama bagi kelompok tani atau gapoktan yang
berpotensi didorong menjadi pengelola SRG baik berdasarkan kemampuan sendiri ataupun
secara bermitra, sehingga bisa menjadi dasar untuk membantu peningkatan harga di tingkat
petani serta memperluas pelaksanaan SRG.
Koordinasi seluruh stakeholder SRG harus ditingkatkan kedepan agar masing-
masing stakeholder memahami peran masing-masing dalam SRG. Pemerintah Daerah
seyogyanya memberi dukungan penuh terhadap penyelenggaran SRG melalui kebijakan
yang tidak menimbulkan potensi konflik pada para pengelola SRG.
42
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, sebagai kesimpulan dapat
dikemukakan, sebagai berikut :
(1) Penyelenggaraan SRG di Indonesia selama 6 tahun, ternyata belum mampu menarik
minat bagi sebagian besar petani untuk memanfaatkan SRG sebagai alternatif
pemasaran hasil panen dan pembiayaan kegiatan usaha taninya sesuai amanat UU
No.9/2006. Hal ini menyebabkan perkembangan SRG relatif masih lambat, dilihat dari
perkembangan jumlah dan nilai RG dibandingkan potensinya.
(2) Secara konseptual, SRG tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan petani,
tetapi juga dapat meningkatkan perekonomian wilayah secara luas. SRG akan
membiasakan dan mendorong petani serta pelaku lain untuk menghasilkan produk
yang memenuhi standar mutu. Namun secara operasional, masih banyak ditemukan
kendala dan permasalahan, tidak hanya pada keterbatasan pemahaman tentang SRG,
tetapi juga sarana dan prasarana, lemahnya koordinasi dan sinergitas antar
kementerian, serta masalah kelembagaan lainnya. Kendala dan permasalahan tersebut
mengakibatkan tujuan pemerintah untuk mempercepat penyebarluasan
penyelenggaraan SRG belum tercapai.
(3) SRG di Kabupaten Indramayu dan Subang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh
pengguna dalam hal ini para petani, terkait dengan berbagai kendala dan permasalahan
dalam proses pemasaran produk yang dihasilkan. Selain terbatasnya sosialisasi tentang
SRG, peran pengelola SRG juga masih terbatas dalam penyediaan fasilitas pendukung
kegiatan SRG, khususnya sarana pergudangan, pengiringan, pengemasan dan
penggilingan. Dalam kegiatan sosialisasi kurang menekankan penjelasan terkait
manfaat dan potensi keuntungan SRG, sehingga tidak seluruh petani antusias
berpartisipasi dalam penyelenggaraan SRG.
(4) Untuk mengatasi permasalahan dalam penyelenggaraan SRG, perlu segera dirumuskan
alternatif pemecahan sesuai permasalahan yang dihadapi. Agar permasalahan tidak
berkelanjutan, kegiatan pengawasan secara periodik perlu ditingkatkan dengan
melibatkan Dinas Perdagangan setempat sebagai instansi yang memperoleh mandat
dalam penyelenggaran SRG di Daerah. Selain itu perlindungan usaha melalui
kebijakan dan pengaturan sistem yang menjadi kewenangan Pemda setempat juga
43
sangat diperlukan, agar usaha yang dilakukan pengelola tetap menjadi prioritas Pemda
dalam pembinaannya.
8.2. Implikasi Kebijakan
(1) Untuk mempercepat implementasi SRG, pemerintah agar lebih serius mendorong dan
memfasilitasi penyebarluasan SRG, terutama di wilayah-wilayah potensial. Tidak
hanya meningkatkan gerakan sosialisasi ke seluruh pelaku SRG, tetapi juga
melakukan pembenahan kelembagaan dan kebijakan tata kelola SRG serta mendorong
dan memfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana penyelenggaraan SRG,
misalnya melalui subsidi bunga untuk pembangunan sarana pergudangan. Selain itu,
juga perlu dilakukan penyempurnaan sistem online untuk memperlancar akses data
dan informasi antar lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan SRG.
(2) Mengingat besarnya potensi dan manfaat penyelenggaraan SRG, pemerintah perlu
lebih serius untuk mempercepat perkembangan SRG ke seluruh wilayah dengan
cakupan komoditas yang lebih luas. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, perlu disusun
peta-jalan (road map) untuk masing-masing komoditas yang memuat langkah strategis
dan taktis dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Konsekuensinya, pemerintah seyogyanya meningkatkan alokasi anggaran untuk
pembenahan dan penyempurnaan fasilitas SRG agar biaya SRG yang ditanggung
petani dapat ditekan serendah mungkin. Kondisi ini diharapkan dapat menarik minat
petani untuk memanfaatkan SRG.
(3) Pengguna SRG umumnya adalah petani dan pedagang, baik secara perorangan
maupun secara kolektif melalui kelompok tani dan gabungan kelompok tani
(gapoktan). Oleh karena itu seyogyanya urusan penyelenggaraan SRG seperti
pembinaan dan penyuluhan kepada petani/kelompok tani, penyediaan sarana dan
prasarana pergudangan, kelembagaan, dan permodalan, tidak hanya dibebankan pada
Kementerian Perdagangan sebagai penerima mandat penyelenggaran SRG sesuai UU
No.9/2006, tetapi juga melibatkan Kementerian Pertanian, khususnya unit kerja yang
menangani aspek yang bersentuhan dengan kegiatan SRG, misalnya Ditjen P2HP
dapat membantu dalam penanganan pasca panen, peningkatan standar mutu dan
penyediaan sistem informasi harga komoditas pertanian, Direktorat Pembiayaan dapat
menjadi fasilitator untuk penguatan modal kelompok tani dan gapoktan dalam
memanfaatkan kredit perbankan dan institusi keuangan lainnya, Badan SDM dapat
44
membantu kegiatan sosialisasi SRG melalui tenaga-tenaga lapangan dan penyuluh
yang dikelolanya. Untuk mensukseskan kegiatan-kegiatan tersebut, harus dilakukan
koordinasi secara efektif dengan seluruh pemangku kepentingan baik di pusat maupun
di daerah dimana SRG diimplementasikan.
(4) Komitmen dan langkah Kementerian Perdagangan, untuk mempercepat
penyebarluasan SRG merupakan langkah tepat dan perlu didukung oleh kementerian
terkait dan pihak-pihak lainnya. Koordinasi dan sinergi antara Kementerian
Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian
Koperasi mutlak diperlukan untuk mempercepat penyebarluasan SRG di sektor
pertanian, terutama dalam memfasilitasi dan mendorong pembangunan sarana dan
prasarana pergudangan yang memenuhi persyaratan. Keterlibatan dan dukungan
kongkrit Pemerintah Daerah Kabupaten Subang dalam penciptaan iklim usaha yang
kondusif menjadi kunci sukses dalam penyelenggaraan dan penyebar-luasan SRG di
wilayah Kabupaten Subang.
45
IX. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga. http://www.
hukumonline.com/berita/baca/hol17277/analisa-resi-gudang-sebagai-surat-berharga:
diunduh tanggal 11/12/ 2014, jam 16.31.
Anonim. 2010, Kemitraan Untuk Mengurangi Impor Beras Ketan (10 Agustus 2010) :
admin. http://118.97.186.221/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/472 :
diunduh tanggal 28/01/2015, jam 14.21.
Anonim. 2011. Kajian Atas Hak Jaminan Resi Gudang. http://hukumindonesiakita.
blogspot. com/2011/02/kajian-atas-hak-jaminan-resi-gudang.html: diunduh tanggal
11/12/2014, jam 16.34.
Ariyani, RR. 2008. Sistem Resi Gudang akan Diberlakukan Nasional.
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/04/16/brk.20080416-121425.id.
html/.
Ashari. 2007. Resi Gudang : Alternatif Model Pemasaran Komoditas Pertanian.
WartaPenelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 29 No 4, 2007. Bogor.
Ashari. 2010. Prospek Sistem Resi Gudan (SRG) Sebagai Alternatif Pembiayaan Sektor
Pertanian. ICASEPS Working Paper No. 102. Januari 2010. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Ashari. 2011. Potensi dan Kendala Sistem Resi Gudang (SRG) Untuk Mendukung
Pembiayaan Usaha Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.29
No.2 : 129-143.
Bappepti. 2011. Sistem Resi Gudang Sebagai Instrumen Pembiayaan. Makalah
disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam
Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel &
Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta.
Berita. 2013. Resi Gudang, Tingkatkan Kesejahteraan Petani. http://www.blitarkab.
go.id/2013/04/6465.html. Diakses 12/12/2014.
BRI. 2008. Sistem Resi Gudang : Peluang, Tantangan, dan Hambatan, Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional „Sistem Resi Gudang, Pengembangan Alternatif
Pembiayaan Melalui Sistem Resi Gudang‟ pada tanggal 4 November 2008, Jakarta.
____. 2011. Penjaminan Resi Gudang ke Bank Sebagai Alternatif Pembiayaan. Makalah
disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam
Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel &
Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Subang dalam Angka 2014. BPS Kabupaten
Subang.
46
Bappepti. 2008. Sistem Resi Gudang Memberdayakan Bangsa. Bappepti-Departemen
Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta.
Bappebti. 2008. Bappebti Kaji Lembaga Jaminan Sistem Resi Gudang.
https://www.ipotnews.com/index.php?jdl=Bappebti_kaji_lembaga_jaminan_sistem
_resi_gudang&level2=newsandopinion&level3=&level4=politics&id=615993#.VIo
QZskxF1Y: diunduh tanggal 12/12/ 2014, jam 16.46.
Bappebti. 2014. Kemendag Sosialisasi Sistem Resi Gudang kepada Civitas Akademika
Universitas Padjajaran. http://www.bappebti.go.id/id/news/press_release/detail/3390
.html: Bandung 26 Juni 2014. Diunduh tanggal 19/01/ 2015, jam 10.30.
Bappebti. 2014. Bappebti kaji lembaga jaminan sistem resi gudang. https://www. Ipotnews
.com/index.php?jdl=Bappebti_kaji_lembaga_jaminan_sistem_resi_gudang&level2=n
ewsandopinion&level3=&level4=politics&id=615993#.VIoQZskxF1Y: diunduh
tanggal 12/12 /2014, jam 16.46.
Boen, HS. 2007. Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga. http://www.hukumonline.
com/berita/baca/hol17277/analisa-resi-gudang-sebagai-surat-berharga: diunduh
tanggal 11/12/ 2014, jam 16.31.
Coleman, A. and L.M. Valeri. 2006. Storage and Warehouse Receipts as Financing
Instruments. http://www.eea-esem.com/files/papers/EEA-ESEM/2006/2046/WR_
malaguzzivaleri.pdf.
Devita, I. 2012. Sistem Resi Gudang sebagai Alternatif Hak Jaminan.
irmadevita.com/2012/ sistem-resi-gudang-sebagai-alternatif-hak-jaminan : diunduh
tanggal 11/12/2014, jam 16.29.
Erawan, B. 2008. Prinsip Hak Jaminan Resi Gudang dalam Perspektif Perbankan : Kajian
Normatif Pemberdayaan Petani Gabah pada Musim Panen. Jurnal Argumentum
Volume 8 Nomor 1, Desember 2008. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal
Sudirman. Lumajang.
Erwidodo, 2013(a). Kebijakan Perdagangan Mendukung Upaya Peningkatan Daya-Saing
Komoditas Pangan di Era MEA 2015. Prosiding, Seminar Nasional Hari Pangan
Sedunia (HPS) ke-33 “Optimalisasi Sumberdaya Loka Melalui Diversifikasi Pangan
Menuju Kemandirian Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Menyonsong MEA
2015”, Padang, Sumatera Barat, 21-22 Oktober 2013.
Erwidodo, 2013(b). Kebijakan Perdagangan mendukung Kemandirian dan Ketahanan
Pangan Nasional. Dalam : Ariani, M dkk 2013 (eds). Diversifikasi Pangan dan
Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press, Jakarta.
47
Erwidodo. 2014. Materi Pembahas tentang : 15 Tahun Dinamika Ketahanan Pangan
Indonesia. Disampaikan dalam acara Diskusi Panel ‟15 Tahun Dinamika Ketahanan
Pangan Indonesia yang diselenggarakan PERHEPI di Gedung Bulog, 2 Oktober
2014, Jakarta. http://www.perhepi.org/wp-content/uploads/2014/10/Erwidodo-
tanggapan-thd-presentasi-Dr-Achmad-Suryana.pdf. Diunduh tanggal 28/02/2015,
jam 18.29.
Haryotejo, B. 2013. Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem
Resi Gudang (SRG) di Daerah. Jurnal Bina Praja, Volume 5 Nomor 2, Juni 2013.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Bidang Pemerintahanan Dalam Negeri. Badan
Litbang Kementerian Dalam Negeri. Jakarta.
Herlindah. 2013. Hukum Jaminan ”Resi Gudang”. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Malang. http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id.
IFAD. 2012. Warehouse Receipts for Smallholders to Access Credit and Increase
Incomes. http://www.ifad.org/operations/projects/regions/pf/seeds/5.htm.
iPasar. 2011. Implementasi Pelaksanaan Pasar Lelang Dalam Mendukung Sistim Resi
Gudang. Makalah disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem
Resi Gudang dalam Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western
Mangga Dua Hotel & Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta.
Listiani, N. dan B. Haryotejo. 2013. Implementasi Sistem Resi Gudang pada Komoditi
Jagung: Studi Kasus di Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Buletin Ilmiah
Litbang Perdagangan, VOL.7 No.2, Desember 2013.
Mahanta, D. 2012. Review of Warehouse Receipt As an Instrument for Financing in India.
International Journal of Scientific & Technology Research, Volume 1, Issue 9,
October 2012. www.ijstr.org.
Menteri Perdagangan. 2009. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor :
66/M-DAG/PER/12/2009, Tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang.
Noviyanto. 2011. Penerbitan Resi Gudang Capai 84 Resi Gudang : Pentingnya Peran SRG
bagi Komoditi Berjangka Seperti Petani. http://www.lensaindonesia.com
/2011/11/24/pentingnya-peran-srg-bagi-komoditi-berjangka-seperti-petani.html.
diunduh tanggal 12/12/2014 jam 17.48.
Onumah, J.C.G. 2002. The Role of Warehouse Receipt Systems in Enhanced Commodity
Marketing and Rural Livelihoods in Africa. Food Policy 27 (2002) 319–337.
Pemda Blitar. 2013. Resi Gudang, Tingkatkan Kesejahteraan Petani. Berita
http://www.blitarkab.go.id/2013/04/6465.html: diunduh tanggal 12/12/2014 jam
16.56.
Peraturan Menteri Perdagangan RI, Nomor : 26/M-DAG/PER/6/2007 Tentang Barang
yang Dapat Disimpan di Gudang Dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang.
Sekretariat Jenderal Departemen Perdagangan.
48
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 36 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4735.
Pio. 2013. Resi Gudang Permudah Pelaku Usaha Dapat Pinjaman Bank. in TREN
UKMLeave a comment. http://blog.indotrading.com/resi-gudang-permudah-pelaku-
usaha-dapat-pinjaman-bank/: diunduh tanggal 19/01/2015, jam 10.27.
Prayitno, B. 2011. Resi Gudang. http://prayitnobambang.blogspot.com/2011_11_01_
archive.html. (diakses 12/12/2014).
Primartantyo, U. 2012. Penerapan Resi Gudang di Solo Tak Menguntungkan. http://www.
tempo.co/read/news/2012/12/19/090449267/Penerapan-Resi-Gudang-di-Solo-Tak-
Me-nguntungkan (diakses 20/1/ 2015).
Putri, N.P. 2010. Sistem Resi Gudang Solusi Bagi Petani. Badan Pengawas Perdagangan
Berjangka Komoditi. http://www.bappebti.go.id/id/edu/articles/detail/1044.html.
Putri NP. 2012. Sistem Resi Gudang Solusi bagi Petani. (Bappepti_2012_Sistem_Resi_
Gudang_Solusi_Bagi_Petani.pdf).
http://www.bappebti.go.id/id/topdf/create/1044.html: diunduh tanggal 26/01/2015,
jam 17.25
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 Tentang
Sistem Resi Gudang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 59.
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi
Gudang. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5231.
Riana, D. 2010. Penggunaan Sistem Resi Gudang Sebagai Jaminan Bagi Perbankan di
Indonesia. Tesis Program Magister, Universitas Indonesia, Jakarta.
Sadarestuwati. 2008. Pentingnya Sistem Resi Gudang bagi Petani. Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional „Sistem Resi Gudang, Pengembangan Alternatif Pembiayaan
Melalui Sistem Resi Gudang‟ pada tanggal 4 November 2008, Jakarta.
Sanur, A. S. 2008. Strategi Pengembangan Sistem Resi Gudang. https://cireboninstitute.
wordpress.com/2008/12/15/strategi-pengembang-an-sistem-resi-gudang/diunduh.
Sanuri, AS. 2008. Strategi Pengembangan Sistem Resi Gudang. https://cireboninstitute.
wordpress.com/2008/12/15/strategi-pengembangan-sistem-resi-gudang/:diunduh
tanggal 12/12/2014 jam 16.59.
Sunarto, H. 2012. Merancang Put Option dalam Sistem Resi Gudang sebagai Elemen Pasar
Lelang Forward Agro. Proceeding for call paper : Pekan Ilmiah Dosen FEB,
UKSW-14 Desember 2012.
49
Sinar Tani. 2011. Kemitraan untuk Mengurangi Impor Beras Ketan. http://118.97.186
.221/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/472/2704. diunduh tanggal
26/01/ 2015, jam 17.15.
Varangis, P. and D. Larson. How Warehouse Receipts Help Commodity Trading and
Financing. https://agriskmanagementforum.org/sites/agriskmanagementforum.
org/files/Documents/How%20warehouse%20receipts%20help%20commodity%20
trading%20and%20finance.pdf.
Wahyudin. 2011. Resi Gudang sebagai Alternatif Pembiayaan bagi Koperasi dan UKM.
Jurnal Ilmiah Ekonomi, Koperasi dan Kewirausahaan, ”Co-Value” Volume II,
Nomor I/April/Tahun 2011. IKOPIN. Jatinangor.
Wikipedia. 2014. Resi Gudang. http://id.wikipedia.org/wiki/Resi_gudang (diakses 3/12/
2014).
Yulistiyono, H. 2014. Penerapan Sistem Resi Gudang dalam Perspektif Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah : http://asp.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads /2014/02/
Penerapan-Sistem-Resi-Gudang-Dalam-Perspektif-Peningkatan-Pendapatan-Asli-
Daerah.pdf
50
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kinerja Penerapan Sistem Resi Gudang di Kabupaten Indramayu
Pendahuluan
Undang-Undang Resi Gudang telah diterbitkan pada tahun 2006. Undang-Undang ini
diterbitkan dalam rangka melindungi petani ketika dihadapkan pada fluktuasi harga
komoditas. Fenomena yang umum terjadi adalah harga anjlok pada saat panen raya dan
harga melonjak pada masa paceklik. Diterbitkannya kebijakan tentang sistem resi gudang
diharapkan para petani produsen dapat menunda penjualan komoditi hasil produksinya
dengan cara menyimpan di gudang dan kemudian dapat menjual ke pasar pada saat harga
cukup baik.
Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa SRG merupakan kegiatan yang berkaitan
dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Resi
gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang
diterbitkan oleh pengelola gudang.
Dalam UU disebutkan bahwa Penanggungjawab kegiatan SRG adalah Kementerian
Perdagangan dan sebagai pengguna SRG adalah Kementerian Pertanian. Dalam
pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan membentuk Badan Pengawas SRG yang
selanjutnya disebut Badan Pengawas yaitu unit organisasi di bawah Menteri yang diberi
wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan SRG.
Hasil penelusuran data sekunder ditemukan bahwa pelaksanaan SRG berjalan
lambat, hal ini terlihat dari perkembangan jumlah dan nilai resi gudang yang diterbitkan
oleh Pengelola Gudang selama periode 2008 – 2014. Selain itu, jenis komoditas yang
digudangkan relatif terbatas, meskipun dalam UU dimungkinkan untuk menyimpan
beragam jenis komoditas. Pertanyaannya, mengapa SRG berjalan relatif lambat ?
Untuk mengetahui permasalahannya, maka diperlukan survey ke lapangan (lokasi
sampel di Kabupaten Indramayu) untuk melihat secara langsung implementasi SRG.
Kegiatan ini difokuskan untuk menggali informasi dari berbagai institusi dan kelembagaan,
serta pemangku kepentingan yang terkait dengan Sistem Resi Gudang (SRG) yang
dijalankan oleh PT Pertani (Persero), sebagai salahsatu responden Pengelola Resi Gudang
yang mewakili Badan Usaha Milik Negara. Kegiatan lapangan dilakukan dengan metode
penggalian informasi sejalan dengan alur informasi yang diperoleh secara berjenjang.
51
Peran Instansi Pemerintah dalam Pelaksanaan Sistem Resi Gudang
1. Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan
Hasil wawancara dengan Kepala Dinas telah diperoleh informasi bahwa SRG telah
dilaksanakan dengan melibatkan gudang milik BUMN (PT.Pertani). Gudang PT. Pertani
sebagai pengelola SRG yang berada di Kabupaten Indramayu ada dua, yaitu (1) Gudang
Indramayu Losarang yang berlokasi di Jalan Komplek Perberasan Desa Muntur,
Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, dan (2) Gudang Indramayu yang berlokasi di
Jl. Jend. Sudirman No. 17 RT. 01, RW. 02 Desa Cipancuh, Kecamatan Haurgeulis
Kabupaten Indramayu.
Untuk saat ini komoditas yang diresigudangkan masih terbatas komoditas padi
(gabah), sedangkan komoditas hortikultura (buah mangga) belum memanfaatkan SRG. Hal
ini diduga belum tersedianya gudang-gudang yang dilengkapi teknologi penyimpanan
komoditas hortikultura. Komoditas padi masih menjadi komoditas dominan, terlihat dari
dari target produksi Jawa Barat sebesar 16 ribu ton, 250 ton khususnya dihasilkan daerah
Kabupaten Indramayu. Sebagai daerah sentra padi, tentu produksi padi akan melimpah
pada saat panen raya, hal ini berpotensi harga padi akan anjlok. Untuk mengatasi agar
petani produsen tidak menerima harga rendah di musim panen raya, SRG merupakan
alternatif solusi yang ditawarkan pemerintah, dimana petani dapat menunda penjualan hasil
panennya dengan cara menitipkan ke gudang SRG dalam jangka waktu tertentu dan akan
menjualnya pada saat harga lebih tinggi.
Dalam pelaksanaan SRG, peran Diskoperindag tidak secara langsung mengawasi
teknis pengelolaan SRG, baru sebatas pelaksanaan sosialisasi dan fasilitasi pertemuan para
pelaku yang terkait dengan seluruh aspek kegiatan SRG serta kegiatan koordinasi dengan
pengelola SRG di Indramayu. Pihak pengelola resi gudang tidak diwajibkan
menyampaikan laporan tertulis secara rutin ke pemerintah daerah. Oleh karena itu
pemerintah daerah tidak dapat memonitor perkembangan kinerja pengelola gudang secara
kontinyu.
Hasil pengamatan Diskoperindag tentang pelaksanaan SRG di Kabupaten
Indramayu, terdapat beberapa keluhan petani di wilayah ini. Keluhan para petani tersebut
dikemukakan Kepala Dinas bahwa :
(1) Ongkos untuk hal-hal yang berkaitan pengemasan, seperti penggunaan karung sesuai
standar yang ditetapkan gudang SRG, termasuk untuk biaya pengemasan dan menjahit
52
karung. Sementara pada proses penjualan gabah, biaya-biaya tersebut belum
diperhitungkan atau tidak termasuk dalam komponen harga.
(2) Biaya transportasi atau angkutan dari tempat panen ke lokasi Gudang SRG yang
dibebankan petani, dirasakan sangat memberatkan. Makin jauh jarak lokasi panen ke
gudang SRG, maka akan semakin mahal ongkos angkutnya.
(3) Pemahaman para petani tentang SRG, khususnya petani berlahan sempit (kurang 0.5
hektar). Petani yang berlahan sempit umumnya berpikir praktis, ketika saat panen tiba
menginginkan segera menjual hasil panennya dan memperoleh uang tunai. Banyaknya
pedagang yang menawarkan sistem tebasan, memungkinkan para petani yang berpikir
praktis akan segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan tersebut.
Keuntungan dengan sistem tebasan, petani akan langsung mendapat uang tunai dan
tidak dibebani biaya panen, ongkos angkut, dan ongkos pengemasan. Sistem tebasan
di Kabupaten Indramayu selama 3 tahun terakhir menawarkan harga relatif bagus,
artinya dari sisi perhitungan finansial, petani masih memperoleh keuntungan yang
memadai, sedangkan penebas (pedagang) berpeluang memperoleh keuntungan dg
melakukan dengan cara tunda jual mealui pemanfaatan SRG. Terciptanya harga
tebasan relatif bagus, karena terjadi persaingan penebas yang datang tidak hanya dari
Jakarta dan Bandung, tetapi juga dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Banyaknya
jumlah penebas, menyebabkan bargaining position petani cukup kuat. Kondisi
tersebut mendorong para petani berlahan sempit yang berpikir praktis memilih segera
menjual hasil panennya dengan sistem tebasan daripada menggunakan SRG.
Keterkaitan pedagang/Penebas, Petani, SRG, dan Pembeli dapat dilihat pada Gambar
1.
Pembeli 1
Pembeli 2
Pembeli 3
SRG
Penebas
Lokal
Petani
Gabah
Petani
Pembeli
Luar
Daerah
Gambar 1. Keterkaitan Pedagang, Petani, SRG dan pembeli di Indramayu
Harga Dasar
53
2. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu
Peran aktif Dinas Pertanian dalam kegiatan SRG saat ini, masih terfokus pada
kegiatan pembinaan aktivitas di tingkat petani dan kelompok tani serta terkait dengan
dinamika mereka dalam kegiatan usahatani dan produksi padi maupun tanaman lainnya
yang diusahakan oleh para petani di wilayah setempat. Kegiatan sosialisasi tentang SRG
juga menjadi bagian kegiatan Dinas untuk memotivasi masyarakat petani memanfaatkan
SRG pada saat harga produk tidak menentu ataupun memberikan pilihan dan alternatif
pembiayaan petani dengan SRG dalam konteks meningkatkan harga produk dengan sistim
menunda penjualan saat harga sedang dibawah harga rata-rata pasar.
Fasilitasi Dinas melalui Pemkab setempat maupun provinsi dan Pusat, dalam kaitan
dengan komoditas utama yang diusahakan para petani dan Rice Centre yang
didirikan/sudah ditetapkan di Losarang. Membangun keterkaitan antara program Rice
Center dengan para pedagang, petani melalui Resi Gudang maupun pasar lelang. Gambar
2. Menyajikan pola keterkaitan Program Rice Center, SRG, pengolahan beras dan pasar
lelang. Pola pemanfaatan SRG melalui kelompok tani, seperti yang sudah dilakukan oleh
Kelompok Tani Jayatani di Desa Mangunjaya Kecamatan Anjatan yang senatiasa
mendapat pendampingan hingga pembinaan kerjasama dalam kaitan penjualan produk
petani dengan pola SRG. Sehingga diharapkan bahwa SRG ke depan harus disemua
kelompok tani yang ada dan tidak hanya di satu kelompok saja, seperti yang dilaksanakan
pada saat sekarang.
Gambar 2. Pola Keterkaitan Program Rice Center, SRG, Pengolahan Beras dan
PasarLelang
Gabah
Petani
Rice Centre Beras
Pasar
Lelang
Pasar
Umum
SRG
diolah
Pembeli
54
Implementasi Pengelolaan Gudang dengan Sistem Resi Gudang
1. Profil Gudang PT. Pertani sebagai Pengelola Resi Gudang
Gudang Haurgeulis dibawah pengelolaan PT Pertani (Persero) berlokasi di Jln. Jend.
Sudirman, Desa Cipancuh, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu. Gudang tersebut
ditangani oleh seorang Manager Gudang dibantu 6 orang tenaga tetap dan puluhan buruh
gudang lepas. Gudang Haurgeulis mulai beroperasi tahun 2008, sempat terhenti dan
kemudian beroperasi kembali tahun 2010 sampai saat ini (2014), dengan kapasitas gudang
2500 ton. Gudang Haurgeulis memiliki 4 unit gudang, 2 unit gudang digunakan untuk stok
pengadaan gabah PT Pertani, 1 unit gudang untuk lokasi jasa pengeringan dengan fasilitas
4 mesin dryer skala besar dan dilengkapi dengan proses penyosohan, 1 unit gudang
digunakan untuk kegiatan SRG.
Gudang Haurgeulis dilengkapi dengan gudang peralatan dan mesin pertanian (mesin
pengiringan dan pengarungan), gudang dan mesin penggilingan gabah, dan Gudang untuk
Resi Gudang (RG). Komoditas utama yang masuk gudang berupa Gabah Kering Giling
(GKG) dengan beberapa varietas, yaitu Ciherang, Pandan Wangi (PW), IR-64, Muncul,
dan Ketan. Pengelolaan jasa gudang melalui SRG di gudang ini tidak dilakukan untuk
produk beras, dengan alasan bahwa penyimpanan untuk komoditas beras banyak
mengandung resiko disamping biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan
yang diterima sehingga tidak dapat menutupi biaya operasional SRG dibandingkan dengan
jasa penyimpanan dalam bentuk gabah.
Wawancara difokuskan kepada pelaksanaan SRG untuk musim panen MH 2014,
dimana Gudang Haurgeulis berhasil menampung dan menyimpan gabah sebanyak 1876
ton gabah. Gabah yang akan disimpan harus dikemas dengan volume 50 kg/kemasan.
Untuk tahun 2014 kapasitas gudang terisi gabah yang dititip jual petani hasil panen musim
gadu dan rendeng tahun 2013 dan satu musim panen tahun 2014. Kapasitas terpasang
gudang tidak berhasil digunakan sepenuhnya (full capacity) karena belum tersedianya alat
„lifter‟ untuk menumpuk karungan gabah yang tingginya lebih dari 10 meter. Tumpukan
gabah tidak bisa dimaksimalkan, karena petugas kesulitan untuk mengangkat karung gabah
pada tumpukan yang terlalu tinggi. Menurut Manajer gudang, alat lifter tersebut sedang
dibeli sehingga kedepan kapasitas terpasang gudang dapat sepenuhnya dimanfaatkan.
55
2. Pengguna Resi Gudang
Jumlah RG yang diterbitkan pada periode 2014 sebanyak 78 RG, dengan pengguna
jasa mulai dari petani perorangan, Kelompok Tani (KT), Gapoktan, koperasi SBU,
pedagang, dan perusahaan huller (RMU). Dari 78 RG yang dikeluarkan, sekitar 10 persen
(8 RG) diantaranya atas nama KSU. Pengelola Gudang menerbitkan RG dengan volume
(nilai) yang berbeda untuk masing-masing RG, yaitu (1) 20 ton/RG untuk varietas IR, (2)
16-17 ton/RG untuk varietas Pandan Wangi, (3) 200 ton/RG untuk varietas IR bagi
Gapoktan, bahkan untuk KSU Bina Hasil Tani jumlah penitipan barang melalui SRG bisa
mencapai 400 ton/RG.
SRG umumnya dimanfaatkan petani/pedang/kelompok pada saat musim panen raya,
yaitu sekitar bulan April-Mei. Jangka waktu RG atau lama penyimpanan yang berlaku
adalah 3 bulan. Jangka waktu ini disesuaikan dengan jangka waktu tibanya musim panen
berikutnya. Ketentuan ini bertujuan agar gudang RG sudah kosong saat musim berikutnya
panen tiba. Disamping itu, untuk menghindari kerusakan/penyusutan serta turunnya harga
jual gabah yang disimpan di gudang. Pada tahun 2014 pemilik barang menyimpan rata-rata
2 bulan.
3. Proses Penerbitan Resi Gudang
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan calon pengguna RG untuk memperoleh
RG. Secara ringkas, tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Sebelum barang masuk
gudang penyimpanan, barang harus dipersiapkan sesuai standar yag ditetapkan pengelola
gudang. PT. Pertani tidak selalu menerima barang yang siap masuk gudang sesuai standar
pengemasan PT.Pertani, tetapi bisa pula menerima gabah basah. Untuk penyimpanan ke
gudang, gabah basah harus melalui proses pengeringan hingga mencapai kadar air + 14 %.
Selanjutnya gabah yang sudah kering, dikemas dalam karung sebanyak 50 kg
GKG/kemasan dan dijahit secara mekanis. Untuk sementara ini, karung yang digunakan
masih milik petani dan penyediaannya dilakukan oleh pemilik barang masing-masing,
sehingga karung yang digunakan tidak seragam. Gabah yang sudah dikemas selanjutnya
dilakukan uji mutu dengan beberapa kriteria, salah satunya kadar air tidak boleh lebih dari
14 persen, karena kandungan kadar air berpengaruh pada kualitas gabah.
Jasa pengeringan (dryer) merupakan kunci dalam proses awal mendapatkan RG dari
pihak pengelola SRG. Manajemen usaha jasa dryer terpisah dari SRG, sehingga
pembayaran jasa dryer langsung kepada pihak pengelola jasa dryer, secara langsung atau
56
secara diperhitungkan. Kapasitas mesin dryer yang dimiliki PT Pertani gudang Haurgeulis
mencapai 30 ton. Jasa dryer yang disediakan pengelola SRG dibayar oleh pengguna
setelah dilakukan pengeringan (gabah kering simpan di karung). Besarnya biaya untuk
proses dryer dari gabah basah (petani) hingga menjadi gabah kering simpan sebesar Rp.
200 per kilogram. Dalam proses pengeringan umumnya terjadi penyusutan sebesar 20
persen.
Gambar 3. Skema Alur Penerbitan Resi Gudang
Sebelum barang masuk gudang, terlebih dahulu dilakukan proses uji mutu barang
oleh Ujatasma (anak perusahaan Bulog), penaksiran nilai barang, asuransi, dan registrasi.
Taksiran harga didasarkan pada harga pasar di wilayah tersebut. Harga yang berlaku untuk
menaksir nilai barang, Pengelola Gudang melakukan kegiatan suvey harga secara internal
yang dilakukan oleh para petugas dari PT. Pertani di masing-masing gudang. Hal ini
karena PT Pertani juga melakukan tugas pengadaan gabah untuk stok kebutuhan dan
stabilisasi ketersediaan pangan daerah disamping usaha komersil dalam proses mencari
GKG milik Perorangan/
Kelompok
Masuk Gudang
PT.Pertani
- Lulus uji mutu
- Registrasi
- Penaksiran harga
- Asuransi
Penerbitan Resi Gudang
Persyaratan permohonan
resi terpenuhi
Jaminan Kredit Bank BJB KCP Haurgeulis
Gabah Basah/Kering Panen milik
petani, kelompok, pedagang,
pengepul, penggilingan padi
Pengeringan dan Pengemasan
57
keuntungan usaha perusahaan (PT Pertani). Menurut informasi pengelola bahwa pada
tahun 2013, SRG yang dijalankan cukup sukses setelah dua tahun sebelumnya tidak terlalu
memberikan banyak keuntungan. Hasil survey harga diperoleh harga Rp 5000/kg – Rp
5500/kg untuk varietas Ciherang, IR-64, Muncul, dan Ketan, sedangkan untuk varietas
Pandan Wangi ditetapkan Rp 6.500/kg.
Setelah kelengkapan dokumen administrasi terpenuhi, selanjutnya barang diangkut
ke gudang pengelola RG. Untuk kelengkapan administrasi penerbitan RG, calon pengguna
RG diwajibkan melengkapi beberapa dokumen, yaitu : (1) fotocopy KTP, (2) fotocopy
surat nikah, (3) surat keterangkan petani/usaha dari desa setempat, dan (4) membuka
rekening Bank BJB. Proses dari barang masuk gudang hingga penerbitan RG
membutuhkan waktu kurang lebih 3 hari. Selanjutnya RG tersebut dapat digunakan sebagai
agunan untuk memperoleh kredit dari bank, dalam hal ini bank yang ditunjuk menjadi
rekanan untuk pengelolaan RG adalah Bank BJB KCP Haurgeulis.
4. Pembiayaan Resi Gudang
Biaya penyimpanan barang di gudang SRG bervariasi tergantung lamanya waktu
simpan, dengan rincian sebagai berikut : Rp 75/kg untuk 3 bulan, Rp 90/kg untuk 4 bulan,
Rp 105/kg untuk 5 bulan, dan Rp 120/kg untuk 6 bulan (maksimum). Biaya gudang
mencakup empat komponen, yaitu (1) biaya bongkar sebesar Rp 10/kg, (2) biaya uji mutu
sebesar Rp 5/kg, (3) biaya psrg & asuransi sebesar Rp 10/kg, dan (4) biaya perawatan
sebesar Rp 10/kg. Namun sebelum barang digudangkan, proses pengeringan hingga
pengemasan memakan biaya Rp 200/kg gabah basah atau Rp 250/kg GKG.
Untuk memperoleh gambaran tentang perhitungan resi gudang, berikut dijelaskan
analisis biaya RG kasus penyimpanan barang sebanyak 20 ton GKG varietas Ciherang
dengan lama penyimpanan 3 bulan. Rincian perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, pangsa biaya pra-gudang ternyata lebih besar (5 %)
dibandingkan biaya gudang sebesar 1.5 persen. Biaya pra-gudang belum memperhitungkan
ongkos angkut dari sawah petani ke gudang PT.Pertani. Proses pengeringan tidak
diharuskan di dryer milik PT.Pertani, petani boleh melakukan pengeringan sendiri asal
memenuhi standar mutu gudang (kadar air 14 %). Pengelola gudang hanya mewajibkan
petani untuk menjahit karung kemasannya di PT.Pertani, karena harus menggunakan jahit
mesin agar kemasan kuat dan tidak mudah rusak. Karung kemasan selam ini masih
menggunakan karung milik petani pemilik gabah. Rencana PT.Pertani akan melakukan
58
penyeragaman karung kemasan pada tahun 2015, dan akan dikenakan biaya tambahan
untuk karung kemasan.
Tabel 1. Analisis Biaya Sistem Resi Gudang Gabah di Indramayu, 2014
No. Uraian Nilai (Rp) Pangsa thd. Nilai
Barang (%)
1. Nilai taksiran barang (Rp 5000/kg x 20 ton) 100.000.000 100,00
2. Biaya :
e. Biaya pra-gudang (pengeringan, pengemasan
dengan karung, jahit karung dengan mesin)
(Rp 250/kg GKG x 20 ton)
f. Biaya gudang
- Biaya bongkar (Rp 10/kg x 20 ton)
- Biaya uji mutu (Rp 5/kg x 20 ton)
- Biaya registrasi & asuransi
(Rp 10/kg x 20 ton)
- Biaya perawatan (Rp 10/kg x 20 ton)
g. Jasa sewa gudang (Rp 40/kg x 20 ton)
h. Total biaya (2a + 2b)
5.000.000
200.000
100.000
200.000
200.000
800.000
6.500.000
5,00
0,20
0,10
0,20
0,20
0,80
6,50
Untuk biaya gudang, terdapat beberapa komponen yang harus dibayar pemilik
barang. Bongkar barang ditangani langsung oleh tenaga kerja PT.Pertani. Uji mutu barang
dilakukan lembaga di luar PT.Pertani dengan biaya Rp 5/kg GKG. Untuk barang yang
akan diresigudangkan, barang harus diregistrasi ke Kliring Berjangka Indonesia (KBI) dan
diasuransikan, dalam hal ini PT.Pertani menggunakan rekanan PT.Sinar Mas sebagai
penjamin risiko barang. Kegiatan registrasi dan asuransi tersebut dikenakan biaya sebesar
Rp 5/kg. Biaya sewa gudang merupakan penerimaan PT.Pertani atas jasa penyewaan
gudang. Biaya keseluruhan dari pra-gudang hingga diterbitkannya RG, seluruhnya sebesar
6.5 persen dari nilai RG, dengan catatan biaya angkut gabah dari sawah ke lokasi gudang
belum diperhitungkan. Biaya angkut gabah berbanding lurus dengan jarak, makin jauh
jarak sawah ke gudang PT.Pertani, maka ongkos angkut makin mahal. Oleh karena itu,
PT.Pertani akan membatasi barang yang masuk ke gudang maksimal jarak dari lokasi
sawah ke gudang sekitar 40 km. Jika jaraknya lebih dari 40 km, maka disarankan untuk
memanfaatkan gudang PT.Pertani lainnya yang jaraknya dari lokasi sawah relatif lebih
dekat. Proses penerbitan resi gudang rata-rata memakan waktu sekitar 3 hari.
5. Penataan Barang dalam Gudang
Menurut Undang-Undang Resi Gudang Pasal 25 disebutkan bahwa Pengelola
Gudang, berdasarkan kesepakatan, dapat mencampur barang yang jenis, standar mutu, dan
unit satuannya setara atau menurut kebiasaan praktik perdagangan. Dalam prakteknya,
sistem penyimpanan gabah yang di SRG kan, secara teknis telah diatur berdasarkan barang
59
pada slop-slop penyimpanan yang sudah ditata berdasarkan pembagian tempat yang sudah
disediakan untuk masing-masing penyimpan, selanjutnya diberi nama pemilik barang dan
keterangan identitas lain tentang penjelasan yang terkait dengan status barang titipan yang
digudangkan. Dengan cara ini akan lebih memudahkan sekaligus membantu pengelola
gudang dan pemilik untuk melakunan pengaturan pengontrolan maupun mekanisme dalam
manajemen SRG yang dilaksanakan. Sesuai prosedur, kepemilikan satu resi gudang hanya
diberikan untuk satu nama dari sejumlah barang tunda jual yang dititipkan pemiliknya
kepada pengelola SRG. Sebagai gambaran, penataan barang dalam gudang dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4. Penataan Barang di Gudang PT. Pertani Haurgeulis, Indramayu
Peran Perbankan dalam Pelaksanaan Resi Gudang
Dalam UU Resi Gudang No.9 Tahun 2006 Pasal 4 dinyatakan bahwa :
(1) Resi Gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau digunakan sebagai
dokumen penyerahan barang.
(2) Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan dapat dijadikan jaminan utang
sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya.
Bank BJB Indramayu adalah lembaga keuangan yang ditunjuk untuk pemberi pinjaman
kepada pemilik RG. Kredit RG yang disalurkan melalui kelompok tani yang sudah di
tetapkan adalah Kelompok Tani di Indramayu dan satu kelompok tani di Subang. Sebagai
bank pelaksana SRG, Bank BJB melakukan koordinasi dengan BI Cirebon di Haurgeulis.
Kegiatan koordinasi juga dilakukan melalui Seminar dan Lokakarya. Alur proses
pemberian fasilitas kredit resi gudang dapat dilihat pada Gambar 5. Pihak yang dapat
menerima kredit SRG adalah : (1) Petani, (2) Kelompok tani, (3) Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan), dan (4) Koperasi.
Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh Pengelola Gudang yang telah
memperoleh persetujuan Badan Pengawas. Resi gudang yang telah diperoleh, selanjutnya
60
dapat dijadikan agunan untuk memperoleh pinjaman dari bank, dalam hal ini Bank BJB
Indramayu. Sebelum kredit dicairkan, akan dilakukan survey dengan cara mengecek
kondisi barang di gudang PT.Pertani.
Gambar 5. Alur Proses Pemberian Fasilitas Kredit Resi Gudang
Secara paralel seorang Analis akan melakukan pengecekan dokumen RG ke kantor
Kliring Berjangka Indonesia (KBI) melalui sistem online yang diberi nama System is
Ware. Melalui sistem online ini juga RG yang akan dijaminkan didaftarkan ke KBI sebagai
resi yang mengajukan permohonan kredit. Pengecekan dokumen RG ke KBI, meliputi : (1)
Legalitas Pengelola Gudang; (2) Keabsahan pihak pemberi hak jaminan; (3) Keabsahan
PETANI,
GAPOKTAN
PENGELOLA
GUDANG
BAPPEBTI
(No. Resi)
PETANI,
GAPOKTAN
BANK BJB
(Pemberi Kredit)
SURVEY SYSTEM IS WARE
(didaftarkan sebagai
jaminan)
Keputusan Kredit
(komite kredit)
PETANI, GAPOKTAN
(pencairan fasilitas kredit
dipindahbukukan ke rekening
petani, gapoktan masuk ke
tabungan Petani, gapoktan)
PELUNASAN
KREDIT
1 2
BARANG DI
GUDANG
3
PENGAJUAN KREDIT 4
5
6
7
8
61
resi gudang; (4) Jangka waktu Resi Gudang; (5) Nilai Resi Gudang pada saat diterbitkan;
(6) Nama pemegang terakhir Resi Gudang; (7) Status Resi Gudang (terikat Hak Jaminan
atau tidak) dari Pusat Registrasi Resi Gudang, dan (8) Bukti pelunasan biaya pengelolaan
yang dikeluarkan oleh Pengelola Gudang.
Menurut informasi dari staf Bank BJB Indramayu, bahwa Bank BJB tidak
mengenakan biaya administrasi untuk setiap permohonan pinjaman melalui agunan RG.
Bahkan pemilik RG yang mengajukan pinjaman akan memperoleh subsidi bunga dari
pemerintah, sehingga tingkat bunga yang dibebankan pemilik RG relatif kecil. Tingkat
suku bunga SRG ditetapkan sebesar tingkat bunga pasar yang berlaku dengan ketentuan
paling tinggi sebesar suku bunga penjaminan simpanan pada bank Umum yang ditetapkan
oleh lembaga penjaminan simpanan ditambah 6.75 %. Beban Bunga kepada peserta SRG
ditetapkan sebesar 6%. Selisih tingkat bunga SRG dengan beban bunga peserta SRG
merupakan subsidi pemerintah.
Pemberian kredit kepada pemilik resi gudang atas nama kelompok maksimum 70
persen dari nilai RG. Jika pemilik resi gudang atas nama perorangan, nilai kredit yang
diberikan maksimum Rp 75 juta. Penyaluran kredit resi gudang selama periode tahun
2010-2012 berjalan lancar, namun pada tahun 2013-2014 sedikit ada masalah.
Beberapa permasalahan yang dihadapi bank terkait pelaksanaan SRG, sebagai
berikut :
(1) Nilai taksiran barang yang tertulis di resi gudang terlalu tinggi dan nilai barang turun
ketika jatuh tempo pinjaman. Secara penghitungan finansial, pemilik resi gudang akan
rugi.
(2) Terkait pemberian pinjaman, bank umumnya memberikan pinjaman dalam jangka
waktu rata-rata 3 bulan. Permasalahan akan muncul jika mendekati jatuh tempo
belum ditemukan calon pembeli RG. Jika sampai jatuh tempo tidak ada pembeli RG,
maka pelunasan kredit akan tertunda, kondisi ini berdampak pada kinerja bank.
Proses pembelian gabah yang dilakukan oleh Pembeli (bisa pemilik RMU atau
pembeli lain) dilakukan setelah menghubungi pengelola gudang untuk mengecek fisik
gabah yang ada di gudang termasuk kualitas barang yang akan dijual dan kepemilikannya.
Setelah proses tersebut, selanjutnya dilakukan transaksi dan diteruskan ke BJB untuk
verifikasi data SRG, sekaligus verifikasi jumlah transaksi yang harus dibayarkan melalui
BJB sebelum RG diserahkan kepada pembeli. Verifikasi di BJB juga dengan
memperhitungkan jumlah plafon kredit petani atau kelompok tani sebagai pemilik barang
62
atas pinjaman kredit ke Bank BJB. Bank menerima pembayarannya berdasarkan resi
gudang oleh pembeli termasuk untuk pelunasan biaya ke Bank. Pembeli melakukan
pembayaran ke rekening pemilik barang melalui Bank BJB dan melunasi kewajiban
pemilik barang ke bank. Proses tersebut selesai, kemudian uang hasil transaksi dan
pengurangan pihak Bank BJB diserahkan kepada para petani atau kelompok tani pemilik
barang dan RG dibawa oleh pembeli dan pemilik barang kepada pengelola SRG untuk
pengambilan barang di gudang. Pihak pengelola gudang kemudian melakukan verifikasi
tentang jumlah biaya yang harus diselesaikan oleh pemilik barang dengan pengelola
gudang. Setelah proses tersebut selesai, maka dibuat berita acara penyerahan barang dan
barang baru bisa dikeluarkan dari gudang setelah seluruh tahapan proses diselesaikan.
Permasalahan Implementasi dan Pengembangan SRG
Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa penerapan SRG masih menghadapi
beberapa kendala sebagai berikut:
(1) Belum meluasnya pemahaman manfaat SRG, baik oleh petani maupun pengurus
kelompok tani/gapoktan. Petani berlahan sempit, pada umumnya langsung menjual
gabahnya kepada pedagang karena mereka memerlukan uang tunai dalam waktu
cepat. Mereka menjual gabahnya kepada pengumpul yang juga petani anggota
KT/Gapoktan yang sama. Selanjutnya Gapoktan memproses gabahnya untuk
memenuhi standar dan ketentuan kemasan/pengantongan SRG untuk memperoleh
resi gudang.
(2) Petani perorangan masih menilai pengurusan SRG, proses untuk memanfaatkan jasa
SRG termasuk pemenuhan standar mutu gabah/beras dan estimasi nilai gabah/beras
ribet dan memakan waktu. Disamping itu petani juga menganggap biaya
pengarungan, biaya transportasi dan biaya jasa RG cukup mahal dan tidak ada
kepastian harga jual gabahnya 2-3 bulan kemudian sehingga tidak ada kepastian
apakah mereka untung untuk menyimpan di gudang RG. Bagi mereka lebih menjual
secara cepat dengan harga layak, yakni harga „HPP‟ dianggap lebih menguntungkan
dibandingkan kalau harus mengikuti seluruh prosedur „tunda jual‟ dari SRG, karena
memerlukan waktu untuk memperoleh „uang tunai‟ dan/atau „kredit pembiayaan‟
dari Bank terkait.
(3) Masih banyaknya praktek tebasan, dimana petani menjual padinya disawah
menjelang musim panen. Pembelinya adalah penebas baik pedagang di dalam
maupun dari luar desa/kabupaten Indramayu. Sebagian pedagang/penebas
63
selanjutnya memanfaatkan SRG baik langsung berhubungan ke Pengelola Gudang
atau ada yang melewati kelompok Gapoktan, karena sebagian pedagang yang
bertindak sebagai penebas bagian juga petani. Dengan demikian pedagang yang lebih
banyak menanfaatkan sistem resi gudang untuk komoditas gabah dan beras.
(4) Pada musim panen terakhir (MK 2014) telah terjadi NPL atau potensial NPL, karena
beberapa RG di gudang Haurgeulis belum terjual padahal sudah melewati waktu
jatuh tempo, sehingga urusan kredit pembiayaan Bank BJB belum selesai. Hal ini
terjadi karena adanya „over-estimasi‟ nilai RG gabah yang disimpan setelah
memperhitungkan harga pasaran gabah, biaya pengeringan, harga pengemasan dan
harga transportasi. Untuk mengatasi masalah yang berpotensi NPL, seminggu
sebelum RG jatuh tempo, Bank akan mengingatkan pengelola gudang dan pemilik
RG tentang waktu jatuh temponya. Selanjutnya Pengelola gudang turut mencarikan
pembeli yang menawarkan harga terbaik bagi pemilik resi sehingga tidak mengalami
kerugian.
(5) Keberadaan HPP gabah/beras dihipotesakan akan menjadi salah satu penyebab SRG
tidak berkembang meluas, karena berbenturan dengan kebijakan stabilisasi harga dan
pengelolaan stok penyangga (Public Stock Holding-PSH) yang dilakukan Perum
BULOG. Secara potensial SRG akan menghadapi NPL mengingat pemerintah lewat
operasi pasar Perum BULOG tidak akan membiarkan harga gabah kelewat tinggi
yang pada gilirannya menyebabkan harga beras terlalu tinggi dan membebani
konsumen. Sementara, dengan penaksiran nilai RG yang kelewat tinggi karena
mengacu kepada HPP ditambah biaya RG dan biaya pembiayaan dari Bank, akan
memaksa pemilik RG untuk menjual/melepas gabah/berasnya dari gudang bila harga
jualnya melebihi nilai RG. Hal ini secara potensial akan menyebabkan NPL yang
tentu saja tidak dikehendaki oleh Bank pendukung.
(6) Teknis pengemasan gabah terutama volume gabah untuk setiap karung tidak
seragam, dengan menggunakan jahitan karung secara manual menggunakan tali
rapia, sedangkan dalam proses yang ditangani SRG pengepakan diseragamkan
dengan volume karung ukuran 50 kg dan jahitan karung sudah menggunakan alat
penjahit mekanis. Penyeragaman ini masih menjadi kendala bagi petani atau pemilik
barang terutama jika menjadi beban tambahan biaya yang harus dibayar oleh petani
atau pemilik barang, sehingga sebagian petani masih menolak persyaratan ini. Untuk
sementara proses pengarungan masih diserahkan kepada petani dan pemilik barang,
64
dan pada proses ke depan akan diseragamkan oleh fihak pengelola SRG. Kendala
lain pada proses uji mutu yang dilakukan oleh Bulog dan biaya asuransi dianggap
cukup besar. Untuk keseragaman pengemasan, PT.Pertani berencana melakukan
pengemasan dengan karung yang seragam dan akan dimulai pada tahun 2015.
Kendala lainnya terkait dengan masalah pergudangan, terutama untuk pemeliharaan
gudang.
65
Lampiran 2. Kinerja Penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang
Pendahuluan
Fluktuasi harga yang terjadi pada komoditas pertanian khususnya untuk gabah dan
beras serta kebutuhan modal untuk pembiayaan usahatani seringkali menjadi permasalahan
yang harus dihadapi oleh para petani dalam proses pelaksanaan kegiatan usahatani.
Terjadinya penurunan harga produk pertanian hingga titik terendah pada saat terjadinya
panen raya, tidak sedikit menyebabkan para petani harus menerima kerugian. Sehingga
hasil penjualan produk tidak bisa digunakan untuk sumber pembiayaan kegiatan usahatani
pada musim tanam berikutnya. Mengingat sebagian besar petani mengandalkan modal
usahatani (modal sendiri) dari perputaran pendapatan berdasarkan hasil penjualan produk
pertanian yang diusahakannya.
Sebaliknya, pada saat harga komoditas melambung tinggi akibat produksi komoditas
pertanian yang terbatas di pasaran, juga tidak serta merta dapat dinikmati oleh para petani
yang mengusahakannya. Karena harga pasar sudah terdistorsi oleh peran kelembagaan lain
yang terlibat dalam proses panen, pasca panen maupun pemasaran hasil. Situasi dan
kondisi seperti ini, seakan terus berlangsung pada berbagai jenis produk komoditas
pertanian, tanpa ada solusi dan pemecahan masalah yang lebih komprehenship
menanganinya, dalam satu sistem yang lebih holistik dan terintegrasi satu sama lain.
Langkah dan tindakan komprehensip dalam satu sistem, menuntut semua pihak terkait ikut
memikirkan satu upaya agar para petani tetap dapat menikmati hasil usahatani, melalui
nilai keuntungan dari komoditas pertanian yang diusahakannya.
Sistem tunda jual yang diimplementasikan melalui kegiatan Sistem Resi Gudang
(SRG), diharapkan oleh para petani maupun kelompok tani menjadi salahsatu upaya yang
dilakukan pemerintah untuk menjembatani persoalan yang selama ini dihadapi dalam
proses usahatani hingga pemasaran hasil, atau dengan kata lain antara produk yang
dihasilkan oleh para petani dengan pasar atau pembeli, pada saat tingkat harga tertinggi
yang bisa diterima oleh petani. Sistem tunda jual ditengarai juga dapat memberikan
peluang pada peningkatan kwalitas produk hasil pertanian, sehingga mendorong pada nilai
jual komoditas petani kearah yang lebih kompetitif.
Namun demikian, dalam pelaksanaan sistem tunda jual melalui kegiatan SRG yang
diinisiasikan khususnya di Kabupaten Subang, belum digunakan secara optimal oleh para
petani dan pelaku lainnya, sebagai sarana yang dapat memfasilitasi proses transaksi produk
66
pada tingkat harga yang cukup tinggi. Dengan gambaran ini maka perkembangan
aktivitas/kegiatan penyelenggaraan SRG relatif masih terbatas, baik dari jumlah produk
maupun jangkauan kemampuan kegiatannya, bahkan memberikan indikasi bahwa proses
percepatan penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang berjalan secara lambat, jika
dibandingkan dengan potensi produksi padi (gabah dan beras) yang dihasilkan di
Kabupaten Subang.
Potensi dan Pelaku Usaha Komoditas Padi
Kabupaten Subang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah
Indramayu dan Karawang. Kabupaten Subang juga sekaligus merupakan penyumbang/
kontributor produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Data luas lahan sawah pada tahun
2012 tercatat 84.929 hektar atau sekitar 41,39 persen dari total luas wilayah Kabupaten
Subang. Sementara jumlah potensi produksi padi sawah dan padi ladang di Kabupaten
Subang pada tahun 2012 mencapai 1.184.010 ton. Data pada tahun 2013, luas sawah di
Kabupaten Subang mencapai 84.928 hektar dengan luas panen 177.547 hektar dan jumlah
potensi produksi padi mencapai 1.204.829 ton dan rata-rata produksi mencapai 67,86
kwintal/hektar (BPS Kabupaten Subang, 2014).
Tabel 1. Luas Sawah, Luas Panen, Hasil dan Produksi Padi di Kabupaten Subang 2009-
2013
Tahun Luas Sawah (Ha) Luas Panen (Ha) Hasil
(Ku/ha)
Produksi
(Ton)
2013 84.928 177.547 67,86 1.204.829
2012 84.928 171.102 67,16 1.149.147
2011 84.928 178.541 66,12 1.180.594
2010 84.929 171.559 55,32 949.210
2009 85.362 182.912 61,32 1.121.600
Sumber : Subang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang 2014
Lebih lanjut, memperhatikan data produksi per kecamatan sesuai dengan areal
sawahnya, sebagian besar berpengairan teknis. Produksi padi (sawah dan ladang) terbesar
masih dihasilkan dari kecamatan Ciasem yang mencapai produksi sebesar 99.924 ton pada
tahun 2012. Khusus padi ladang produksi tertinggi pada tahun 2012 terdapat di Kecamatan
Pabuaran dengan angka produksi 1.326 ton. Berdasarkan data tahun 2013 menunjukkan
bahwa potensi produksi padi sawah, tercatat di Kecamatan Ciasem (99.843 ton);
Patokbeusi (84.297 ton); Tambakdahan (77.623 ton) serta Kecamatan Blanakan (68.692
ton). Jumlah produksi yang dihasilkan dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten
Subang, baru sebagian kecil yang telah diikutsertakan dalam program SRG. Dengan
67
gambaran data pada Tabel 2 dibawah ini maka dengan mengacu pada jumlah produksi padi
yang dihasilkan dari setiap wilayah, potensi pengembangan program SRG masih sangat
prospektif dilaksanakan di Kabupaten Subang.
Tabel 2. Luas Panen, Hasil Per Hektar dan Produksi Padi Sawah Menurut Kecamatan di
Kabupaten Subang Tahun 2013
No. Kecamatan Luas Penen
(Ha)
Hasil
(Kuintal/ha)
Produksi
(Ton)
1 2 3 4 5
1. Sagalaherang 2.900 53,59 15.541
2. Serang Panjang 2.640 54,98 14.516
3. Jalan Cagak 2.338 58,12 13.589
4. Ciater 1.962 63,54 12.467
5. Cisalak 3.577 60,24 21.546
6. Kasomalang 1.910 56,96 10.879
7. Tanjungsiang 3.376 62,62 21.139
8. Cijambe 4.809 60,97 29.320
9. Cibogo 4.779 68,44 32.709
10. Subang 3.656 54,34 19.867
11 Kalijati 2.092 55,53 11.617
12 Dawuan 5.289 62,78 33.205
13 Cipeundeuy 3.170 62,85 19.323
14 Pabuaran 8.728 67,54 58.949
15 Patokbeusi 11.653 72,34 84.297
16 Puwadadi 3.072 61,28 18.824
17 Cikaum 4.417 67,59 29.856
18 Pagaden 5.732 62,74 35.963
19 Pagaden Barat 9.198 65,79 60.510
20 Cipunagara 11.228 63,98 71.835
21 Compreng 10.252 40,51 41.532
22 Binong 7.596 82,59 62.737
23 Tambakdahan 9.490 82,32 77.623
24 Ciasem 12.753 78,29 99.843
25 Pamanukan 3.824 71,65 27.399
26 Sukasari 7.338 78,56 57.651
27 Pusakanagara 6.301 77,45 48.800
28 Pusaka Jaya 7.889 81,90 64.608
29 Legon Kulon 5.295 74,39 39.392
30 Blanakan 10.343 66,41 68.692
Jumlah 177.547 67,86 1.204.829
Sumber : Subang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang, 2014
Berdasarkan data pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Subang pada tahun
2013, menunjukkan bahwa jumlah petani penggarap mencapai 461.634 orang. Jika
68
dikaitkan dengan luas areal sawah yang ada di kabupaten Subang pada tahun 2013, lahan
yang digarap oleh petani pemilik dan bukan pemilik, menunjukkan rata-rata penguasaan
hanya 0,184 hektar per penggarap serta hasil produksi yang diperoleh rata-rata hanya
mencapai 2,61 ton untuk setiap petani penggarap. Besarnya prosentasi petani penggarap
yang bukan pemilik lahan garapan, baik itu dilakukan dengan sistim sewa, maro, bagi hasil
dan pola penggarapan lainnya akan sangat menentukan pada proses pengambilan
keputusan, apakah produksi padi akan dijual langsung atau diikutsertakan pada program
SRG, jika pada saat panen raya didapati harga pembelian yang sangat rendah.
Disisi lain dalam proses pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Subang, juga
masih akan terkait dengan pola bawon, borongan maupun pola lainnya yang diterapkan,
sehingga jumlah produksi kotor masih harus dikurangi dengan biaya-biaya yang harus
dikeluarkan serta menjadi tanggungjawab penggarap. Dengan demikian bagi para
penggarap yang bukan pemilik lahan sawah, serta luas garapan yang relatif terbatas, proses
penjualan tebasan merupakan alternatif yang menguntungkan jika dibandingkan dengan
pola SRG yang ditawarkan.
Tabel 3. Jumlah Petani Penggarap menurut Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten
Subang Tahun 2009-2013
Tahun
Petani Penggarap Jumlah
Pemilik (%) Bukan
Pemilik (%) (orang) (%)
2013 152.715 33,08 308.919 66,92 461634 100,00
2012 163.404 33,11 330.094 66,89 493498 100,00
2011 161.079 33,39 321.390 66,61 482469 100,00
2010 150.116 55,20 121.849 44,80 271965 100,00
2009 161.743 59.74 109.005 40,26 270748 100,00
Sumber : Subang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang 2014
Proses Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang : Kasus KSU Annisa
Penyelenggaraan Skim SRG di Kabupaten Subang, dilaksanakan melalui model
kegiatan usaha yang dikelola oleh Koperasi. Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa
ditetapkan Bappepti menjadi pengelola SRG tahun 2008, sebagai pengembangan unit
usaha KSU yang secara khusus membidangi kegiatan SRG untuk komoditas padi dan
beras. Wilayah produksi padi yang dikelola SRG ini meliputi beberapa kecamatan yang
ada di Kabupaten Subang. Usaha awal dilakukan pada tahun 2008 dan kemudian
mengembangkan usaha SRG yang dilakukan dengan pengelolaan sarana gudang pada
tahun 2010. Usaha SRG dilakukan terhadap penanganan komoditas khusus yang
69
diprogramkan oleh Dirjen P2HP Kementerian Pertanian di Wilayah Kecamatan Binong
dan Kecamatan sekitarnya di Kabupaten Subang. Komoditas khusus dimaksud adalah padi
jenis ketan dan kemudian dikelola dalam bentuk gabah dan beras ketan yang diproyeksikan
untuk mengurangi substitusi impor sebesar 10 persen.
Penanaman beras ketan di Kabupaten Subang secara intensif mulai dilakukan tahun
2002 di Desa Citra Kecamatan Binong, Subang, Jawa Barat. Namun dihadapkan dengan
beberapa kendala, diantaranya: adanya fluktuasi harga gabah/teras ketan yang tinggi
sehingga sulit diprediksi dan menimbulkan ketidakpastian harga. Budidaya tanaman ketan
relatif lebih rentan terhadap hama karena perhatian baik dari pemerintah maupun petugas
masih kurang. Kemudian benih masih menjadi masalah utama karena masih terbatasnya
penangkar benih yang bergerak di varietas ketan sehingga pengadaan benih dilaksanakan
oleh petani sendiri.
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen P2HP)
menggalang kemitraan antara petani beras ketan dengan penggilingan dan importirnya
melalui program substitusi beras ketan impor di Subang Jawa Barat. Di kabupaten Subang
pada perkembangan tahun 2010-2011 luas areal ketan mencapai ± 7.250 ha tersebar di 8
kecamatan dan 30 desa, meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan
substitusi impor sebesar 75 persen posisi Mei 2011 telah berdampak kepada penyerapan
beras ketan lokal sebesar 5.437,5 ton dari kuota impor yang sudah dikeluarkan 72.500 ton
dan terbagi kepada 2 kabupaten yaitu Kabupaten Subang Jawa Barat dan Kabupaten
Lumajang Jawa Timur. Program ini dinilai berhasil dan akan dikembangkan ke daerah
Indramayu dan lokasi lainnya di Jawa Barat.
Pada akhir tahun 2014, Bappebti melaporkan 5 (lima) besar penyelenggara RG
menurut nilai RG yang diterbitkan Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa (Rp 16.8 milyar).
Jumlah RG yang diterbitkan oleh pengelola SRG KSU Annisa mencapai 173 dengan nilai
Rp 16 851 Milyar. Dari jumlah RG yang diterbitkan tadi, sejumlah 170 RG yang kemudian
diajukan menjadi sumber pembiayaan dengan nilai kredit sebesar Rp 11.563 milyar,
melalui Bank BJB Cabang Kabupaten Subang.
Pelaksanaan SRG yang dikelola melalui unit usaha KSU ini terus berkembang,
sejalan dengan program pengembangan komoditas padi ketan yang diintroduksikan,
sehingga memerlukan tambahan fasilitas untuk gudang penyimpanan hasil produksi yang
diikutsertakan dalam kegiatan usaha SRG yang dikelola oleh KSU Annisa. KSU Annisa
kemudian memanfaatkan 4 gudang untuk mendukung kegiatan SRG. Status gudang
70
tersebut, meliputi 3 unit dalam bentuk sewa dan 1 unit melalui pinjam pakai milik
Bappepti. Kapasitas Gudang I milik Bappepti yang berada di lokasi Gudang Binong
mencapai 1000 ton dan saat penelitian ini dilakukan, gudang I terisi gabah jenis ketan
sebanyak 1089 ton. Gudang II di lokasi Sri Ampeli dengan kapasitas 840 ton dan terisi
gabah ketan 632,15 ton. Gudang III di Blok Jungklang Desa Mulyasari Kecamatan Binong,
dengan kapasitas 250 ton dan terisi gabah ketan 244,850 ton, serta Gudang IV yang berada
di desa Jatimulyo Kecamatan Compreng mempunyai kapasitas 700 ton, tetapi baru terisi
gabah ketan 670,5 ton. (Tabel 4).
Tabel 4. Alamat, Luas, Kapasitas, dan Isi Gudang per Desember 2014
Gudang Alamat Luas
(m2)
Kapasitas
(ton)
Isi
(ton)
Gudang I (milik Bappepti) Desa Binong, Kecamatan.
Binong
700 1000 1 089
Gudang II (sewa) Desa Sri Ampeli Kec. Binong 700 840 632.15
Gudang III (sewa) Desa Mulyasari, Kec. Binong 180 250 244.85
Gudang IV (sewa) Desa Jatimulyo, Kec.
Compreng
600 700 670.50
Total 2180 2790 2636,50
Sumber : KSU Annisa, (2014)
Sampai saat ini banyak petani yang berminat untuk masuk menjadi peserta SRG,
tetapi pihak pengelola masih terkendala dengan masalah ketersediaan jumlah gudang yang
memadai untuk kegiatan SRG. Biaya sewa/kontrak gudang, seperti yang dilakukan pada
gudang II hingga gudang IV dihitung per meter persegi senilai Rp 11.500 per lima bulan
atau Rp 27.600 per m2
per tahun. Luas areal gudang I dan II masing-masing 700 meter
persegi; gudang III 180 meter persegi; dan gudang IV luasnya mencapai 600 meter
persegi.
Gudang yang disewa KSU Annisa pada dasarnya merupakan milik pengurus
kelompok tani yang juga menjadi anggota KSU Annisa dan pengelola SRG. Hal ini
dilakukan karena jumlah dan ketersediaan gudang yang ada di wilayahnya juga terbatas.
Lokasi gudang tersebut berada diantara lahan usahatani yang dikelola oleh para petani
yang menjadi anggota kelompok. Sehingga pemanfaatan gudang tersebut dapat
mengurangi beban biaya transpotasi, khususnya untuk ongkos angkut yang harus
dikeluarkan oleh para petani pada saat membawa gabah hasil panen atau beras yang akan
disimpan ke gudang SRG yang dikelola KSU Annisa.
71
Gambar 1. Mekanisme Penyerahan Gabah Petani Ke Gudang SRG CV Annisa
Para pelaku yang memanfaatkan 4 gudang tersebut adalah sejumlah 200 orang petani
baik secara individu maupun tergabung dalam kelompok, disamping ada 6 orang
pedagang. Jenis gabah yang dikelola melalui kegiatan SRG adalah Gabah Ketan yang
sebagian besar merupakan hasil panen para petani yang ada di wilayah Kecamatan Binong.
Jenis padi ketan yang ditanam oleh para petani di wilayah ini pada umumnya padi jenis
ketan dari varietas Derti dan Gebrug. Namun dalam kegiatan SRG dua varietas ini dapat
dilakukan pencampuran pada saat proses pengarungan ulang di gudang SRG. Gabah masuk
ke gudang biasanya pada bulan 4 (April) – 5 (Mei) serta pada bulan Oktober, November
hingga bulan Desember dan dikeluarkan pada bulan 1 (Januari) - 2 (Februari). Jangka
waktu penyimpanan gabah di gudang ditetapkan paling lama 2 bulan (jatuh tempo),
sementara untuk perhitungan petani, penyimpanan dapat dilakukan hingga 4 bulan.
Proses Penerbitan Resi Gudang
Permohonan RG dapat dilakukan pemilik barang baik atas nama individu atau
kolektif. Setiap pemohon resi gudang harus mengikuti aturan yang ditetapkan pengelola
gudang. Dalam permohonan penerbitan RG, pengelola gudang mensyaratkan minimal
volume barang 10 ton/nama pemohon. Oleh karena itu, jika volume barang yang dimiliki
petani kurang dari 5 ton, atau batas yang dipersyaratkan pengelola maka petani tersebut
harus bergabung untuk mencapai volume minimal yang sudah ditentukan oleh pengelola
gudang. Pengelola gudang dapat melakukan pencampuran barang dengan jenis, varietas,
dan kualitas yang yang sama pada saat dilakukan pengemasan ulang untuk penyeragaman
jenis dan ukuran karung, melakukan pelabelan serta dalam satuan/volume yang sama,
misalnya untuk satu karung rata-rata berat gabah simpan dibuat seragam menjadi 50 atau
Petani Kelompok Tani
Koperasi CV Annisa
Gudang SRG
Proses Pengeringan
Proses Uji Mutu
72
100 kg, sehingga akan lebih memudahkan pengontrolan dan perhitungan pengelola gudang
pada saat mencek tonase gabah yang disimpan di gudang.
Kegiatan pra-gudang untuk barang yang akan diresigudangkan seluruhnya dilakukan
pemilik barang, karena sejak beroperasi hingga saat ini (Desember 2014) KSU Annisa
belum memiliki fasilitas kegiatan pra-gudang, seperti pengeringan, pengemasan, dan
fasilitas jahit karung. Gudang menerima barang yang sudah dikemas oleh pemilik barang
Permohonan Simpan Barang
Ruang
Tersedia ?
Mutu Barang
Sesuai ?
Pembongkaran, Penimbangan, dan
Penumpukan Barang
Asuransi Barang
Pengalihan Resi Gudang
Penerbitan
Resi Gudang
Penjaminan
Resi Gudang
Penyimpanan & Perawatan
Barang
Perubahan Pembebanan Hak Jaminan
Penyelesaian
Transaksi
Penghapusan
Pembebanan
Hak Jaminan
RG
Dijaminkan ? Cidera Janji ?
Penjualan Objek Hak Jaminan
STOP
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Sumber : KSU Annisa, 2014
Gambar 2. Bagan Alir Sistem Resi Gudang di Gudang Pengelola KSU Annisa, Kabupaten
Subang
73
dengan karung dan bobot tonase yang beragam. Sebelum barang diterima masuk ke
gudang, terlebih dahulu pengelola akan mengecek ketersediaan tempat di gudang dan mutu
barang. Proses penerbitan resi gudang di KSU Annisa dapat dilihat pada Gambar 2.
Setiap barang yang akan diresigudangkan harus memenuhi standar mutu yang
ditetapkan pengelola gudang. Standar mutu ditetapkan menurut jenis komoditas. Standar
mutu untuk gabah dan beras giling dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Standar mutu beras
giling yang ditetapkan gudang KSU Annisa sesuai SNI 01-6128-1999. Sementara untuk
standar mutu gabah sesuai SNI 01-0224-1987.
Tabel 5. Standar Mutu Beras Giling di Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang
No. Komponen Mutu Satuan Mutu
I
Mutu
II
Mutu
III
Mutu
IV
Mutu
V
1. Derajat sosoh (%) 100 100 100 95min 85min
2. Kadar air (maksimum) (%) 14 14 14 14 15
3. Beras kepala
Butir utuh (min) (%)
100
60
95min
50
84min
40
73min
35
60min
35
4. Butir patah (maksimal) (%) 0 5 15 25 35
5. Butir menir (maksimal) (%) 0 0 1 2 5
6. Butir merah (maksimal) (%) 0 0 1 3 3
7. Butir kuning/rusak (maksimal) (%) 0 0 1 3 5
8. Butir mengapur (maksimal) (%) 0 0 1 3 5
9. Benda asing (maksimal) (%) 0 0 0.02 0.05 0.2
10. Butir gabah (maksimal) (butir/100 g) 0 0 1 2 3
11. Campuran varietas lain
(maksimal)
(%) 5 5 5 10 10
Sumber : KSU Annisa, 2014
Dalam proses ini, kadar air akan sangat berpengaruh pada masa penyimpanan.
Pengeringan gabah dengan dryer dapat menghasilkan gabah dengan kadar air 14 persen,
sedangkan pengeringan dengan panas matahari menghasilkan gabah dengan kadar air lebih
dari 14 persen. Gabah dengan kadar air hingga 14 persen dapat disimpan di gudang 3-6
bulan, jika kadar air gabah lebih dari 14 persen (mutu V), maka gabah hanya dapat
disimpan 2-3 bulan.
Jika barang sudah lolos uji mutu dan tempat di gudang masih tersedia, maka
pengelola gudang akan menerima barang tersebut untuk diproses masuk gudang. Sebelum
diterbitkan RG, pengelola gudang harus mengurus asuransi sebagai penjamin risiko
kerusakan atau kehilangan barang selama di gudang. Setelah seluruh tahapan dalam proses
SRG dilakukan, maka pengelola gudang akan segera menerbitkan RG. Selanjutnya RG
tersebut dapat dijadikan sebagai agunan untuk melakukan kredit di bank BJB cabang
74
Kabupaten Subang. Proses permohonan kredit di Bank BJB Kabupaten Subang relatif
sama dengan proses permohonan kredit di Bank BJB Kabupaten Indramayu, karena
kebijakan perbankan ditentukan secara terpusat.
Tabel 6. Standar Mutu Gabah di Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang
No. Komponen Mutu Satuan Mutu
I
Mutu
II
Mutu
III
1. Kadar air (% maksimum) (%) 14.0 14.0 14.0
2. Gabah hampa (% maksimum) (%) 1.0 2.0 3.0
3. Butir rusak dan butir kuning (% maksimum) (%) 2.0 5.0 7.0
4. Butir mengapur + gabah muda (% maksimum) (%) 1.0 5.0 10.0
5. Butir merah (% maksimum) (%) 1.0 2.0 4.0
6. Benda asing (% maksimum) (%) - 0.5 1.0
7. Gabah varietas lain (% maksimum) (%) 2.0 5.0 10.0 Sumber : KSU Annisa, 2014
Proses Penaksiran Harga
Proses penaksiran harga difokuskan pada komoditas yang diresigudangkan di KSU
Annisa, yaitu gabah ketan. Langkah awal yang dilakukan pengelola gudang adalah
melakukan beberapa tahapan, yaitu (1) melakukan survey harga pasar; (2) memperkirakan
biaya angkut gabah dari lokasi sawah ke gudang; (3) memperhitungkan biaya penyusutan
barang pada proses pengeringan yang berkisar antara 15-20 persen.
Informasi awal tentang penetapan harga gabah yang akan masuk ke SRG dilakukan
berdasarkan hasil taksiran harga pasar pada batas maksimal Rp 6.000/kg, dan harga PB
(Penggilingan Beras) Rp 5.500, dengan standar barang sudah baik dan bersih sesuai
standar untuk bibit petani. Sementara itu harga pasar tercatat pada posisi Rp 5.200 – Rp
5.500 per kg dalam bentuk Gabah Basah. Dengan taksiran harga gabah kering Rp
6.000/kg, sudah memperhitungkan penyusutan dari Gabah Basah ke Gabah Kering sebesar
20 persen. Kondisi barang dari petani, biasanya banyak hampa. Tetapi barang yang akan
masuk gudang sudah harus mendekati untuk standar benih, yaitu sudah bersih dan tidak
ada yang hampa. Harga untuk benih mencapai Rp 9.000/kg, sementara harga beli PB hanya
RP 5.500. Berdasarkan perhitungan gudang harga dasar gabah Rp 58.000/kw dari harga
taksiran Rp 60.000/kw untuk SRG termasuk biaya angkut sampai dengan gudang.
Mekanisme dan proses penentuan harga taksiran oleh pihak SRG, sebagai berikut :
melakukan atau melihat pasaran dari tiap bakul-bakul, PB dan calo-calonya berdasarkan
harga standar musim sebelumnya. Taksiran plafon Rp 7.000, harga pasar Rp 6.000, Rp
6.100 - Rp6.200, Rp 5.800, Rp 5.500. Dirata-ratakan Rp 6.000. Dengan demikian harga
75
pembelian rata-rata Rp 6.000/kg. Biaya-biaya angkut dan sebagainya Rp 580/kg. Jatuh
perhitungan Rp 6.000+ Rp 580 sehingga menjadi Rp 6.580 s/d Rp 6.600/kg. Plafon
diajukan Rp 7.000/kg. Harga pembelian Rp 6.600 dalam kondisi Gabah Basah. Konversi
gabah basah menjadi gabah kering mengalami penyusutan antara 15-20 persen, dari 1 ton
GKP menjadi 8 kw GKG. Dibayar oleh Bank sebesar 70 persen pada harga Rp 7.000.
Perhitungannya Rp, 7.000 x 70% = Rp 4.900/kg atau sekitar Rp 5.000/kg.
Dengan perhitungan Gudang nantinya PB yang membeli dari gudang, dengan harga
Rp 6.500/kg gabah. Kemudian diolah menjadi beras dengan harga jual Rp 11.700/kg. Jenis
gabah yang ditangani oleh gudang adalah jenis gabah ketan dan diolah menjadi beras
ketan. Dengan begitu maka harga BP dari SRG Rp 7.500/kg. Biaya registrasi dicover oleh
pemerintah, biaya donggle untuk menerbitkan resi dan biaya penerbitan, pembayarannya
menjadi beban gudang. Tugas yang dilakukan oleh KSU senantiasa diawasi oleh Bappepti,
termasuk untuk pembuatan gudang. Tahapan penaksiran harga gabah ketan yang akan
diresigudangkan disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses Penaksiran Harga Gabah Ketan di Gudang Pengelola KSU Annisa, Kabupaten
Subang
Pada saat harga taksiran mencapai Rp 7.000/kg, maka secara rasional petani akan
menjual gabahnya jika harga yang ditawarkan calon pembeli lebih dari Rp 7.000/kg.
Umumnya pembeli gabah dari gudang KSU Annisa adalah unit penggiling beras. Jika
pembelinya penggilingan beras, yang dijadikan patokan untuk pembelian gabah adalah
harga eceran beras ketan. Menurut informasi pegelola gudang, jika harga beras ketan di
pasaran mencapai Rp 12.500/kg, maka pembeli akan memperoleh keuntungan dari produk
sampingan pengolahan gabah ke beras, berupa menir yang mencapai 10 persen dan dedak
sebanyak 1 persen dari total volume gabah yang digiling. Dalam proses penggilingan
SURVEY HARGA PASAR
- Gabah ketan kualitas rendah Rp 5.500/kg
- Gabah ketan kualitas sedang Rp 5.800/kg
- Gabah ketan kualitas tinggi Rp 6.100-6.200/kg
Harga Rata-rata Rp 6.000/kg
Biaya angkutan dari
sawah ke gudang
Rp 580/kg
Biaya penyusutan
pada proses
pengeringan sekitar
15-20 %
Harga taksiran gabah ketan
Rp 7.000/kg
76
gabah ke beras rata-rata rendemennya sebesar 54 persen, sebagai gambaran jika gabah
yang digiling sebanyak 10 ton, maka akan diperoleh beras ketan sebanyak 5,4 ton. Menir
dan dedak sebagai hasil sampingan saat penggilingan gabah mempunyai nilai jual, masing-
masing Rp 8.500/kg dan Rp 2.300/kg.
Pemanfaatan Sistem Resi Gudang oleh Petani, Kelompok Tani dan Gapoktan
Pemanfaatan SRG yang dikelola oleh KSU Annisa, baru mencapai 200 orang petani,
baik secara individu maupun tergabung dalam kelompok. Selain petani dan kelompok tani,
pengguna SRG juga terdiri atas 6 orang pedagang yang sekaligus merupakan anggota
kelompok tani yang secara bersama-sama memanfaatkan 4 gudang yang disediakan oleh
pengelola yang tergabung dalam Gapoktan Tani Sejahtera. Jumlah anggota gapoktan
secara keseluruhan mencapai 426 anggota yang terdiri atas 8 kelompok tani, dan 6
kelompok diantaranya yang telah aktif memanfaatkan SRG. Total luas sawah dari seluruh
anggota gapoktan (420 petani) mencapai 517 hektar. Dengan demikian tidak seluruh
anggota gapoktan memafaatkan SRG sebagai sarana untuk memasarkan hasil panennya.
Petani Panen Pemilihan
masuk ke RG
Dikasih ketentuan yang ada
1. Gabah harus kering; 2. Berdasarkan hasil uji
mutu Kering oven = < 14 % (bisa 3-6 bulan simpan) Matahari > 14-15 % (2-3 bulan simpan)
Taksir untuk harga
Asuransi oleh SRG
Keluar
Sertifikat SRG Keluar Resi
(RG)
Ke petani /kelompok tani (pemilik barang)
Ke Bank Ke petani
/kelompok tani (pemilik barang)
SRG/Pengelola Gudang
Barang Keluar Penggilingan
Beras (PB)
Gambar 4. Proses Pelaksanaan SRG di KSU Annisa Kabupaten Subang
77
Bagi petani yang tidak memanfaatkan SRG, umumnya hasil panen langsung dijual
lepas ke kelompok tani dan langsung mendapat uang tunai. Petani tidak bisa menahan
gabah hingga kering karena tidak punya tempat penyimpanan maupun tempat jemur.
Dorongan kebutuhan untuk pemenuhan konsumsi dan keperluan uang tunai untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga, menjadi alternatif para petani harus segera menjual
gabah. Sebagian petani dengan terpaksa menjual gabah ke tengkulak dengan konsekuensi
harga menjadi rendah. Kondisi ini seperti dikemukakan Bappepti (2008), bahwa disaat
panen para petani dihadapkan pada situasi tanpa pilihan, kecuali menjual komoditi hasil
panennya segera setelah panen kepada para pedagang/tengkulak, saat dimana harga hasil
komoditi terkait cenderung turun. Harga dasar yang ditetapkan pemerintah atas suatu
komoditi, dalam prakteknya terdistorsi di tingkat pasar dan tidak optimal memberikan
manfaat kepada para petani. Nilai yang diterima atas hasil penjualan komoditi seringkali
tidak memadai, baik untuk mendukung kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya
atau lebih jauh lagi bagi modal produksi/pertanaman musim berikutnya (Bappepti, 2008).
Gapoktan juga melakukan pembelian gabah di dalam kelompok tani pada saat petani
sudah menjual awal tanamannnya melalui sistem tebasan, sehingga kegiatan panen
dilakukan sekaligus oleh gapoktan. Sebagian besar petani yang menjual secara tebasan,
adalah para petani yang mempunyai luasan lahan usahatani terbatas. Secara umum perilaku
petani melakukan tindakan tersebut, diduga karena (1) kurangnya pemahaman SRG; (2)
adanya kebutuhan dana tunai yang mendesak; (3) tidak mau menjalani proses SRG yang
dianggap rumit dan (4) berkaitan dengan kurangnya sosialisasi awal dan para petani belum
merasakan manfaat SRG.
Dalam memanfaatkan SRG, Gapoktan juga tidak hanya mengandalkan pembelian
gabah dari anggotanya. Secara aktif gapoktan melakukan pembelian gabah dari luar
anggota gapoktan. Pemahaman pengurus tentang konsep SRG, mendorong pengurus
gapoktan lebih aktif melakukan pembelian gabah untuk diresigudangkan, sekaligus
melakukan sosialisasi SRG kepada para petani. Dalam aktivitas ini, pengurus tidak hanya
berperan sebagai petani atau ketua kelompok, tetapi juga berperan sebagai pedagang.
Pemanfaatan SRG dilakukan melalui kelompok secara intensif pada tahun 2011.
Pada tahun 2012-2013 berhenti dan pada tahun 2014 aktif kembali, dengan jumlah gabah
yang diikutsertakan dalam kegiatan SRG mencapai 2.800 ton. Proses pengajuan RG pada
tahap I, dilakukan atas nama Gapoktan 50 % x 517 ha, meliputi 426 anggota; Kemudian
tahap II tidak atas nama gapoktan tetapi atas nama perorangan. Berdasarkan pengalaman
78
kelompok, pengajuan secara perorangan dirasakan lebih rumit dibandingkan dengan sistem
gabungan kelompok tani (gapoktan). Sehingga pengajuan melalui gapoktan dianggap lebih
efisien, sederhana dan lebih nyaman dalam proses pengajuan di Bank.
Adanya peningkatan respon petani terhadap kegiatan SRG ini, merupakan hasil
sosialisasi secara gencar dilakukan selama tahun 2012-2013, hingga petani mendapat
informasi tentang manfaat adanya SRG. Proses sosialisasi 50 persen dilakukan dari
anggaran pemanfaatan RG. Pada periode selanjutnya, intensitas pertemuan petani untuk
kegiatan sosialisasi dilakukan di gapoktan. Kegiatan sosialisasi juga dilakukan di
kabupaten dengan penyuluh swadaya, dan kemudian dengan RMU.
Terjadinya peningkatan respon petani yang cukup besar berakibat pada kebutuhan
sarana gudang penyimpanan. Untuk pemenuhan gudang, KSU Annisa melakukan
penambahan jumlah gudang dengan sistim penyewaan gudang milik swasta dan pengurus
kelompok tani serta pendampingan dari PT Pertani. Ketersediaan gudang yang ada,
disiapkan untuk penyimpanan gabah yang meliputi luas areal tanam di 6 kecamatan.
Komoditas yang diusahakan oleh para petani yang terkait dengan SRG adalah padi
ketan dengan pola tanam padi-padi 2 kali dalam setahun. Jenis komoditas padi ini dalam
penentuan harga pasar tertinggi, diperkirakan belum termasuk dalam ketentuan HPP
seperti pada jenis gabah lainnya. Jenis padi ketan yang ditanam pada umumnya adalah
varietas Derti. Berdasarkan pola tanam dan musim tanam yang dilakukan, musim panen
raya biasanya terjadi pada bulan 4 dan bulan 8, dengan rata-rata produksi 7,5 ton per hektar
pada bulan 4, dan 6 ton per hektar pada panen raya bulan 8.
Prospek dan Perkiraan Keuntungan bagi Pengelola SRG
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Bappepti dan Putri (2012), tentang
manfaat penggunaan SRG bagi pengelola maupun pengguna, khususnya yang dilaksanakan
di KSU Annisa pada bulan Oktober, disimulasikan sebagai berikut: Melalui SRG,
menyimpan gabah sebanyak 60 ton gabah ketan. Pada saat itu harga pasar untuk gabah
ketan adalah Rp 5.000,-/kg. Biaya penyimpanan yang dibayarkan kepada PT. Pertani
selaku Pengelola Gudang di kabupaten Subang adalah sebesar Rp 4.500.000,-. Pada bulan
Desember gabah ketan yang disimpan dibeli dengan harga Rp 5.900,-/kg. dalam selang
waktu 2 bulan KSU Annisa dapat memperoleh selisih harga sebesar Rp 900,-/kg, maka
perhitungan keuntungannya adalah sebagai berikut:
79
Jika Simulasi yang sama digunakan pada kondisi data yang diperoleh dari hasil
penelitian analisis kebijakan pada Desember 2014, dengan volume gabah yang disimpan di
4 lokasi Gudang yang dikelola oleh KSU Annisa mencapai 2.636,5 ton. Biaya sewa
gudang Rp 11.500 per meter persegi selama 5 bulan, dengan luas total 3 gudang (sewa)
mencapai 1.480 m persegi. Harga pembelian Rp 6.000 per kg GKG. Harga jual setelah
disimpan 2 bulan diproyeksikan dengan harga Rp 7.000 per kg, maka :
Keterangan : * penggunaan gudang milik Bappepti (700 m²) tidak dikenakan biaya sewa
** Data terakhir Bappepti 2014 (Erwidodo, dkk. 2015)
Beberapa konsekuensi yang harus menjadi pembiayaan petani dalam kaitan
penyelenggaraan SRG termasuk untuk biaya operasional gudang dan lainnya, secara tidak
langsung ditanggung oleh pemilik barang (pengguna), melalui jasa penyimpanan gabah
petani/pengguna di gudang sebesar Rp 100/kg untuk perhitungan biaya penyimpanan
maksimal gabah selama 4 bulan atau Rp 50/kg per 2 bulan. Biaya penyimpanan tersebut,
meliputi; biaya uji mutu, asuransi, tagihan KBI, perawatan dan fumigasi, gaji karyawan
dan biaya lain.
Biaya-biaya pra-gudang yang dibayar/dikeluarkan oleh petani/pengguna, meliputi ;
biaya pengeringan, karung dan bongkar-muat, diperhitungkan mencapai rata-rata Rp 275
Jika dijual langsung: 60.000 x Rp. 5.000/kg = Rp 300.000.000
Dengan disimpan 2 bulan:
Biaya Penyimpanan Rp 4.500.000
Bunga Bank 6% X 2/12 X Rp. 189.000.000 = Rp 1.890.000
Harga Jual setelah disimpan 2 bulan = 60.000 x Rp 5.900/kg
= Rp 354.000.000,-
Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya
penyimpanan + biaya bunga)
= Rp 354.000.000– (Rp 300.000.000 + Rp 4.500.000 + Rp 1.890.000)
= Rp 354.000.000– Rp 306.390.000
= Rp 47.610.000
Jika dijual langsung : 2.636,5 ton x Rp 6.000/kg = Rp 15.819.000.000
Dengan disimpan selama 2 Bulan :
Biaya Penyimpanan (Sewa Gudang) = Rp 6.808.000*
Bunga Bank = 6% x 2/12 x Rp 11.563.000.000**,- = Rp 115.630.000
Harga jual setelah disimpan 2 bulan = 2.636,5 ton x Rp 7.000/kg = Rp 18.455.500.000
Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya
penyimpanan + biaya bunga)
= Rp 18.455.500.000 – (Rp 15.819.000.000 + Rp 6.808.000 + Rp 115.630.000)
= Rp 18.455.500.000 – Rp 15.941.438.000
= Rp 2.514.062.000
80
per kg dan untuk proses penyimpanan gabah di Gudang SRG Rp 100/kg. Jumlah biaya
keseluruhan yang dibayar petani/pengguna, mencapai Rp 375 per kg atau setara dengan
5,36 persen dari taksiran nilai gabah jenis ketan (Rp 7.000/kg), dimana rata-rata harga
penjualannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis gabah dari varietas padi
lainnya. Ketentuan biaya yang terkait dengan penyelenggaraan SRG yang harus
dikeluarkan petani (individu) di Kabupaten Subang, meliputi biaya pengeringan Rp 200-
240 per kg; biaya karung Rp 4.000 per kw; biaya angkut Rp 50.000 per ton, biaya bongkar-
muat Rp 3.000 per kw; serta biaya penyimpanan di gudang Rp 100 per kg untuk 4 bulan
(Tabel 7).
Tabel 7. Analisa Simulasi Biaya Petani Pengguna SRG di KSU Annisa, di Kabupaten
Subang 2014
No Uraian
Ketentuan
Pengelola
Gudang
Harga dan
Biaya
(Rp/kg)
Nilai
(Rp 000)
Pangsa Thd
Nilai
Barang (%)
1. Nilai Taksiran Barang (10 Ton) GKG 7000 70.000 100.00
2. Biaya-Biaya
a. Biaya Pra Gudang
- Biaya Pengeringan (10 Ton) 200-240/kg 200 2.000 2.86
- Biaya Karung (10 Ton) 4.000/kw 40 400 0.57
- Biaya Angkut (10 Ton) 50.000/ton 5 50 0.07
- Biaya Bongkar-Muat (10 Ton) 3.000/kw 30 300 0.43
Biaya Total Pra-Gudang 2.750 3.93
b. Biaya Penyimpanan/Gudang
(Biaya Uji Mutu, Asuransi,
Tagihan KBI,
Perawatan/Fumigasi, Gaji
Karyawan dan Biaya lain)
(10 ton)
100/kg*
100
1.000
1.43
3. Biaya Total Gudang 1.000 1.43
4. c. Total Biaya 3.750 5.36 Sumber data : KSU Annisa, Desember 2014 (diolah)
Keterangan : * Perhitungan biaya untuk penyimpanan selama 4 bulan
Biaya lain yang belum diperhitungkan sebagai pengurang pendapatan pengelola
dalam penyelenggaraan SRG adalah biaya-biaya operasional dalam manajemen
pengelolaan SRG, seperti biaya perijinan, sertifikasi kelayakan gudang serta biaya
administrasi lainnya yang harus dikeluarkan oleh Pengelola SRG dan pengeluaran lainnya.
Sementara biaya lain sebagai pengurang keuntungan petani atas penyelenggaraan SRG,
meliputi biaya sewa lahan yang cukup tinggi, mencapai Rp 12,5 juta per hektar untuk satu
kali musim tanam serta biaya usahatani padi per hektar per musim tanam, dimana besarnya
81
mencapai Rp 10 juta. Sehingga biaya total usahatani per hektar per satu kali musim tanam
dengan sistem sewa lahan mencapai Rp 22,5 juta.
Walaupun demikian dengan gambaran perhitungan data diatas, pengelolaan SRG
untuk komoditas gabah ketan menunjukkan potensi keuntungan yang cukup propektif,
terutama jika kapasitas dan volume gabah ketan yang tersimpan melalui pengelola SRG
dalam jumlah yang cukup banyak. Kegiatan pengelolaan SRG sebagai pendekatan bisnis,
memungkinkan akan menjadi harapan bagi para pelaku lain yang akan melakukan investasi
dalam pengelolaan jasa SRG, sekaligus menjadi kompetitor baru bagi KSU Annisa yang
sudah lebih dulu melakukan usaha pengelolaan SRG di daerahnya. Keterbatasan pengelola
dalam hal pemilikan gudang dan fasilitas pendukung untuk pengembangan SRG menjadi
pembatas peningkatan kapasitas volume gabah ketan yang diikutsertakan dalam SRG,
sekaligus menjadi kendala, pada saat respon para petani yang berminat memanfaatkan
SRG juga meningkat. Disisi lain keterbatasan fasilitas juga menjadi peluang usaha dan
investasi untuk penyedia jasa pergudangan maupun pengeringan dalam mendukung
pengembangan SRG dan potensi daerah melalui kebijakan Pemerintah Daerah setempat.
Permasalahan dan Kendala Penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang
Masalah dan kendala yang dihadapi dalam proses penyelenggaraan SRG di
Kabupaten Subang realtif hampir sama dengan penyelenggaraan SRG di tempat lain,
meliputi permasalahan dan kendala di tingkat pengelola SRG dan kendala yang dihadapi
oleh petani sebagai pengguna SRG. Ketersediaan gudang yang memenuhi persyaratan,
ketersediaan alat pengering dan alat pengemasan merupakan kendala penyelenggaraan
SRG. Tingginya bunga bank untuk investasi pergudangan, ketidak-pastian iklim usaha dan
kebijakan pemerintah merupakan beberapa penyebab rendahnya minat penyelenggara
SRG.
Sementara itu, kekurang-pahaman petani dan pengguna jasa RG, terbatasnya lahan
usaha petani dan kecilnya volume produksi yang dihasilkan, persyaratan standar
mutu/kualitas, serta desakan kebutuhan dana tunai saat panen merupakan kendala petani
untuk memanfaatkan jasa SRG. Informasi tentang kendala dan permasalahan tersebut juga
penulis peroleh saat kunjungan lapang dan wawancara dengan petani, kelompok tani, KSU
Annisa, dan responden lainnya. Dalam uraian dibawah ini penulis hanya akan menguraikan
kendala dan permasalahan terkait ketersediaan gudang, ketersediaan alat pengering dan
pengemas, masih berlangsungnya sistem tebasan dan potensi munculnya persaingan tidak
82
seimbang dengan BUMN menjadi satu kecemasan bagi pihak pelaku yang selama ini telah
mengembangkan SRG diluar BUMN, sekaligus mempertanyakan tentang perlindungan
daerah terhadap kegiatan SRG yang sudah jalan/dilakukan perusahaan pribadi/petani/
koperasi/CV yang ada di daerah dalam pergudangan SRG ke depan.
Kekhawatiran ini mengingat dalam kasus kegiatan SRG diluar BUMN tidak
dipandang setara dengan pihak BUMN, khususnya untuk mendapatkan ijin pengelolaan
SRG. Masuknya pemain baru, baik BUMN maupun swasta dan KSU lain, akan
menurunkan tingkat keuntungan KSU Annisa tetapi tidak harus membuat KSU Annisa rugi
dan bangkrut. Pemerintah Daerah bisa saja menghimbau pusat (BUMN) atau membuat
aturan untuk membatasi ruang usaha BUMN dan BUMD (pembagian wilayah), tetapi tidak
bisa membatasi KSU lain dan swasta untuk menyelenggarakan SRG.
Pembagian wilayah usaha yang terkait dengan SRG menjadi bahan pemikiran
kebijakan ke depan. Daerah juga harus melakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap
potensi dan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh pihak swasta serta pihak lain yang
membuka usaha SRG di daerah, sehingga pengembangan SRG dapat mempecepat
perekonomian wilayah tanpa terpusat pada satu wilayah potensial. Perhatian kepada pelaku
di tingkat daerah terutama bagi kelompok tani atau gapoktan yang berpotensi didorong
menjadi pengelola SRG baik berdasarkan kemampuan sendiri ataupun secara bermitra,
sehingga bisa menjadi dasar untuk membantu peningkatan harga di tingkat petani.
Pengaturan kebijakan dalam pewilayahan kegiatan dan komoditas yang di SRG-kan,
menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dalam menjaga iklim usaha dan pelaksanaan
ketetapan dalam undang-undang SRG, sehingga tidak overlapping dengan usaha yang
sudah ada saat ini.
Berdasarkan kinerja yang dilakukan oleh pengelola, keterbatasan sarana
prasarana yang terkait dengan SRG menjadi kendala untuk mengembangkan kapasitas
daya tampung gabah ketan dan kemungkinan produk pertanian lain yang akan di SRG-kan.
Eksistensi pengelola juga dihadapkan pada keterbatsan dukungan pihak Pemerintah Daerah
dalam memfasilitasi kinerja pengelolaan SRG untuk percepatan implementasi SRG di
wilayah Kabupaten Subang lainnya. Sinergisitas antar institusi SKPD terkait dengan
pelaksanaan SRG di Kabupaten Subang, belum terbangun dalam satu kepentingan untuk
peningkatan kinerja SRG dari berbagai aspek.
Dari sisi teknis produksi, kendala usahatani di tingkat petani, karena sebagian
luas areal yang diusahakan hanya setara 0,5 ha dengan rata-rata produksi 2-3 ton, termasuk
83
didalamnya ada sistem sewa, maro dan buruh tani. Selain petani tidak mau ”repot-repot”
juga faktor utama yang menjadi kendala dalam proses penanganan gabah di tingkat petani
adalah dalam kegiatan pengeringan gabah, apalagi pada saat musim hujan. Hal ini karena
hampir sebagian besar petani tidak mempunyai lantai jemur maupun dryer. Jumlah
kepemilikan dryer di tingkat gapoktan juga terbatas sehingga tidak memadai dengan
kebutuhan untuk pengeringan gabah pada musim panen. Permasalahan lain adalah sistem
pengairan yang tidak terstruktur dalam pelaksanaan pengaturannya sehingga berpengaruh
pada pelaksanaan musim tanam yang sudah dijadwalkan.
Secara umum prospek SRG masih cukup bagus, namun gapoktan dan KSU
Annisa sebagai penyelenggara RG mengharapkan adanya intervensi pemerintah daerah
(Pemda) dalam bentuk penetapan HMK (Harga Mimimal Kabupaten); Sistem Resi
Gudang mestinya per desa satu dan dikelola oleh kelompok tani, apalagi oleh kelompok-
kelompok yang sudah mempunyai fasilitas RMU, dryer dsb.; menyelesaikan harga dengan
menentukan harga di tingkat petani dengan dana talangan pada saat pemasaran produk
gabah kepada gapoktan, kelompok tani atau koperasi. Pemasaran pupuk juga bisa menjadi
alternatif dibeli pada saat pembelian oleh petani dalam proses pemasaran hasil gabah
kepada kelompok, gapoktan serta koperasi.
Ketersediaan alat pengering (dryer) dan jasa pengeringan merupakan kendala
penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang. Sampai saat ini KSU Annisa belum
mempunyai dryer dengan kapasitas besar untuk melayani permintaan jasa pengeringan
yang sekaligus terintegrasi dengan penyelenggaraan RG. Situasi ini berbeda dengan
penyelenggaraan RG di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, dimana PT Pertani
sebagai penyelenggara RG telah melengkapi gudangnya dengan alat pengeringan dan
penggilingan dengan kapasitas yang cukup besar, sehingga dapat melayani permintaan jasa
pengeringan dan penggilingan terintegrasi dengan jasa RG.
Terkait dengan fasilitas pendukung, kendala di musim hujan tidak memilik dryer
dan yang ada di gapoktan juga terbatas sehingga tidak tertampung karena tidak terlayani
dengan jumlah dryer yang ada. Kemudian biaya resi gudang dibiayai gratis oleh Pemda
(seperti kasus di Baritokuala). Hal ini sudah beberapa kali disampaikan oleh pengurus
kepada Pemda, tetapi tidak direspon. Begitu pula untuk pembiayaan pengelolaan gudang
tidak didukung oleh fasilitas Pemda terutama untuk Pemeliharaan Gudang. Gudang-
gudang yang ada di desa-desa pada dasarnya dapat difasilitasi untuk meringankan biaya-
biaya dari petani ke lokasi gapoktan. Adanya permasalahan keterlambatan pencairan
84
kepada petani peserta SRG pada tahun 2014, menjadi kendala bagi gapoktan untuk proses
pengelolaan RG selanjutnya.
Permasalahan dalam kebijakan pengaturan wilayah usaha dengan BUMN
menjadi kekhawatiran KSU Annisa dalam melaksanakan fungsi usaha dalam kegiatan
SRG. BUMN dengan segala kemampuan dan kelengkapan fasilitasnya, dan pendekatan
dengan Bappepti dikhawatirkan akan melakukan kegiatan SRG yang sama di wilayah kerja
yang selama ini menjadi mitra usaha KSU Annisa dalam kegiatan SRG. Respon Pemda
setempat atas kekhawatiran pelaku usaha untuk pengembangan kegiatan SRG di
wilayahnya juga tidak memberikan keyakinan dan kepercayaan pelaku, jika suatu saat
peran usaha yang dilakukan dapat diambilalih oleh BUMN di wilayahnya.
Begitu pula halnya dengan kebijakan pengaturan yang seharusnya dilakukan oleh
Kementerian BUMN, Kementerian Koperasi, Kementerian Pertanian hingga Kementerian
Perdagangan, untuk memberikan peluang usaha yang lebih besar kepada pelaku SRG di
luar BUMN, sejajar dengan usaha yang sama dilakukan oleh BUMN di lokasi sekitar
wilayah kerja KSU Annisa.
Upaya dan Langkah Kebijakan
Upaya yang dilakukan dalam kegiatan SRG oleh KSU Anissa dalam pengembangan
usahanya adalah dengan melakukan penambahan gudang simpan melalui sistem sewa
pakai. Kemudian melakukan pendekatan sistematis terhadap Pemda setempat agar
kebijakan pengembangan SRG menjadi bagian dari kegiatan Pemda dalam membantu
program pemasaran produk petani, dan sosialisasi program SRG agar lebih diketahui
secara lebih luas oleh masyarakat khususnya para petani, untuk melakukan pemasaran hasil
melalui kegiatan SRG.
Upaya mendorong Pemda untuk mengambil kebijakan dalam implementasi kegiatan
ini, tiada lain untuk memberikan dorongan terhadap usaha-usaha yang dilakukan
masyarakat terutama KSU Anissa menjadi satu institusi yang dapat memberikan peluang
kepada para petani dan kelompok tani dalam mendapatkan hasil dari usahataninya, melalui
peran SRG yang diusahakan oleh KSU Annisa selama ini.
Upaya lain yang terkait dengan kebijakan Bappepti, dalam hal kebijakan
pengembangan SRG kepada pelaku diluar BUMN, seharusnya menjadi salahsatu peluang
untuk segera melaksanakan kegiatan SRG melalui seluruh persyaratan yang sudah
dipenuhi sebelumnya. Namun demikian, peluang untuk pengembangan kegiatan SRG
melalui pelaku di luar BUMN nampaknya tidak sepenuhnya menjadi prioritas Bappepti,
85
yang cenderung lebih membuka peluang usaha kepada BUMN yang selama ini sudah
bergerak dalam usaha SRG. Kemungkinan untuk melakukan pembagian wilayah usaha dan
komoditas serta kapasistas usaha, menjadi prioritas pengaturan oleh Bappepti dan Pemda
setempat agar pelaku di luar kriteria BUMN, seperti yang dilakukan oleh KSU Annisa juga
bisa berkembang menjadi pelaku sejajar dengan pihak BUMN yang juga melakukan usaha
dalam SRG di daerahnya.
Pembinaan, pengawasan dan dukungan pembiayaan dalam kaitan dengan penguatan
modal usaha untuk pengembangan SRG sebagai salahsatu usahanya, menjadi penting
artinya bagi pelaku usaha setingkat KSU Annisa dalam pengembangan usaha SRG yang
dikelolanya. Permasalahannya adalah terkait dengan kepemilikan sarana prasarana yang
diperlukan dalam mendukung kegiatan SRG di tingkat pengelola KSU Annisa,
dibandingkan dengan kemampuan kepemilikkan asset yang digunakan dalam usaha yang
sama oleh BUMN.
Keberpihakan dari institusi terkait, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian
Koperasi maupun dari Kementerian Pertanian terhadap upaya dan keikutsertaan pelaku
setingkat koperasi sebagaimana yang dilakukan oleh KSU Annisa, juga mendapat prioritas
dan perhatian yang lebih intensif dalam penguatan modal, tambahan sarana prasarana
kelengkapan serta iklim dan kebijakan terhadap pengembagan usaha yang dilakukan terkait
dengan SRG, termasuk juga dari kebijakan Pemda Kabupaten Subang dalam memperkuat
usaha para pelaku yang sama, diluar kekuatan BUMN yang selama ini mendapat perhatian
dan dukungan permodalan swakelola BUMN yang relatif cukup besar dibandingkan
dengan pelaku lain diluar BUMN.
Harapan tentang keberpihakan dan adanya kebijakan yang mengatur kegiatan usaha
dalam pengembangan SRG di daerah, pembagian wilayah usaha dan kewenangan Pemda
sangat dibutuhkan oleh pelaku setingkat KSU Annisa untuk menjamin kegiatan usaha SRG
yang sedang dilakukan, tidak dialihkan atau diberikan pengelolaannya kepada BUMN
yang selama ini juga tertarik untuk melakukan usaha yang sama di wilayah yang sedang
ditangani oleh KSU Annisa di wilayah kerja dan komoditas yang diusahakan selama ini.
Dalam kegiatan pelaksanaan SRG khususnya yang dilakukan oleh KSU Annisa,
keterkaitan antara petani, produksi gabah, kelompok tani, jasa pengeringan dan RMU
sangat penting dilakukan dalam satu sistem usaha yang terintegrasi. Hal ini mengacu pada
fungsi masing-masing kegiatan tersebut, agar semua proses bisa berjalan dan saling
mendukung pelaksanaan kegiatan SRG. Integrasi peran dalam proses tersebut akan lebih
86
teroganisir jika dilakukan dalam satu usaha kelompok tani atau dalam satu wadah
gabungan kelompok tani, sehingga proses usaha yang dilakukan antar sub sistem berada
dalam satu pengelolaan dan memungkinkan lebih terorganisir.
Sebagaimana disampaikan pada bahasan sebelumnya, beberapa masukan yang terkait
dengan kegiatan Gapoktan untuk mendukung pelaksanaan SRG di Kabupaten Subang,
diantaranya: (1) penetapan harga gabah hendaknya ditetapkan berdasarkan Harga
Minimum Kabupaten (HMK), bukan pada HPP yang berlaku secara nasional; (2) gudang
pengelola RG hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga tersedia 1 gudang pada setiap
desa dan dilengkapi dengan dryer dan Rice Milling Unit (RMU); (3) perlu ada penambahan
jumlah dryer, khususnya pada saat panen raya. Dryer yang tersedia umumnya tidak
mampu menampung hasil panen yang melimpah. Hal ini mengakibatkan munculnya
kekuatiran terhadap turunnya kualitas gabah jika tidak segera dikeringkan, sehingga
pemilik gabah cenderung segera menjual lepas ke pedagang; (4) Pemda diharapkan lebih
serius mendukung kegiatan SRG, terutama dalam mencarikan solusi permasalahan petani.
Selama ini pemerintah daerah dianggap kurang serius dalam menangani permasalahan
petani.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH
Keterkaitan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang dengan Pemda, sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan UU dan perubahannya, bahwa urusan Pemerintah Daerah di
bidang pembinaan SRG meliputi: (a) pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat
pelaksanaan SRG; (b) pengembangan komoditas unggulan di daerah; (c) penguatan peran
pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan SRG; dan (d)
pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas. Urusan Pemerintah Daerah di
bidang pembinaan SRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan
Badan Pengawas.
Dalam implementasi kegiatan SRG di Kabupaten Subang, peran serta dan kebijakan
Pemerintah Daerah belum secara nyata dirasakan oleh pelaku usaha yang mengembangkan
kegiatan SRG. Begitu pula dalam melakukan fungsi Pemerintah Daerah untuk percepatan
pengembangan pelaksanaan SRG, pengembangan komoditas unggulan, penguatan bagi
pelaku usaha yang mengembangkan SRG, maupun fasilitasi pengembangan pasar lelang
yang terintegrasi dengan pengembangan SRG. Peran serta yang telah dilakukan oleh
pemda setempat terkait dengan kegiatan sosialisasi terbatas melalui dinas instansi terkait
87
yang dianggap kompeten sesuai tupoksi SKPD dengan kegiatan pengelolaan SRG dan
komoditas yang ditangani dalam kegiatan SRG tersebut.
Peran institusi melalui dinas/instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan SRG
berdasarkan kompetensinya, melibatkan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian, Dinas
Koperasi. Peran Dinas Pertanian dalam kaitan SRG, secara tidak langsung hanya terkait
dalam sosialisasi di tingkat petani dan kelompok tani, sesuai dengan kegiatan yang selama
ini dilaksanakan. Peran serta dinas terkait dalam kegiatan percepatan SRG juga seharusnya
lebih banyak dilakukan Dinas Perdagangan dan Dinas Koperasi berdasarkan struktur
organisasi diatasnya. Aktivitas Dinas Perdagangan dalam kaitan program Resi Gudang
selama ini juga terbatas pada kegiatan soisialisasi tentang SRG.
Sementara Dinas Pertanian lebih kearah pembinaan petani dan kelompok tani dari
aspek teknis usahatani dan penerapan teknologi pertanian. Secara umum, keterkaitan
secara institusional juga terbatas hanya pada kegiatan yang bersifat koordinasi dan belum
pada proses kebijakan yang terkait dengan pengembangan SRG. Kebijakan yang terkait
dengan pelaksanaan di tingkat Pemda belum secara langsung terlibat, terutama peran dinas
untuk masuk menjadi bagian dari kelembagaan SRG. Pemantauan dan monitoring juga
hanya sebatas koordinasi informasi dari pihak pengelola gudang dan pelaku SRG.
KESIMPULAN
SRG merupakan satu langkah nyata dalam menciptakan pasar komoditas yang
didukung oleh penetapan harga pemasaran tertinggi untuk petani. Kegiatan usaha SRG
yang dilakukan oleh pengelola telah berkembang menjadi satu unit usaha produktif dalam
mendukung usaha pertanian kelompok, sekaligus pemasaran hasil produksi para petani
yang menjadi anggotanya. Usaha SRG dipandang sangat prospektif, sehingga
memungkinkan banyak pelaku usaha yang juga akan tertarik untuk melakukan usaha
tersebut. Sehingga kegiatan SRG yang dilakukan oleh pengelola dimasa datang akan
menghadapi persaingan usaha di bidang yang sama, termasuk aktivitas yang selama ini
diusahakan oleh BUMN di bidang SRG di tempat lain. Untuk mempertahankan usaha yang
dilakukan oleh pengelola, selain meningkatkan kinerja dan pelayanan juga kepercayaan
dari pihak pengelola terhadap berbagai institusi terkait. Dukungan dan peran aktif
Pemerintah Daerah dalam kebijakan pengembangan usaha SRG, sekaligus perlindungan
usaha melalui kebijakan dan pengaturan sistem yang menjadi kewenangan Pemda setempat
88
juga sangat diperlukan, agar usaha yang dilakukan pengelola tetap menjadi prioritas Pemda
dalam pembinaannya.
SRG di Kabupaten Subang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pengguna, dalam
hal ini para petani dalam kaitan pemasaran komoditas yang dihasilkan. Selain tingkat
sosialisasi tentang SRG yang masih terbatas, juga peran pengelola SRG masih terbatas
dalam penyediaan fasilitas pendukung kegiatan SRG itu sendiri. Para petani yang selama
ini belum terlibat langsung dalam kegiatan usaha SRG, pada dasarnya masih menunggu
pembuktian tentang manfaat langsung dari pelaksanaan SRG hingga dengan sendirinya
memperoleh pengalaman dalam keikutsertaannya. Dengan demikian maka jika SRG ini
sudah diketahui secara luas tentang manfaat dan peranannya, dengan sendirinya para petani
akan memanfaatkan SRG menjadi sarana pemasaran komoditas, terutama pada saat
terjadinya fluktuasi harga komoditas yang diusahakannya.
Pola usaha SRG sebaiknya juga diusahakan dengan melibatkan para pelaku usaha
setempat yang dianggap mampu untuk disorong menjadi pengelola atau secara bermitra,
terutama untuk komoditas pertanian selain padi (gabah dan beras). Hal ini agar
keikutsertaan usaha para pelaku di daerah sekaligus menjadi penggerak perekonomian
lokal/daerah setempat. Peran dan kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengaturan dan
penetapan iklim usaha yang terkait dengan SRG tetap berpihak pada pengembangan usaha-
usaha ekonomi daerah, kecuali pada usaha-usaha ekonomi padat modal yang memerlukan
dukungan pihak investor luar dalam pelaksanaannya.
Kegiatan usaha SRG yang dikelola oleh KSU Annisa masih perlu dukungan
Pemerintah Daerah maupun pengelolanya dalam hal fasilitas pendukung dan sarana yang
terkait dengan SRG. Sarana dimaksud adalah yang terkait dengan pergudangan, sarana
pengeringan dan perlindungan usaha dalam hal prioritas pengelolaan SRG untuk
komoditas padi ketan dan produknya, baik dari Kementerian Perdagangan melalui
Bappepti, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi juga dari Pemerintah Daerah
setempat, agar usaha yang sudah dilakukan saat ini tetap berjalan dan lebih berkembang,
menjadi penggerak perekonomian daerah setempat.