pemetaan aspek sosial ekonomi rumah tangga di...

11
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI WILAYAH PENGEMBANGAN MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) Oleh : Gelar S. Budhi Budiman F. Hutabarat Hermanto rudy S. Rivai Supadi Deri Hidayat Sunarsih Juni Hestina Andi F. Suddin Yonas H. Saputra PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2011

Upload: lamkhanh

Post on 05-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

LAPORAN AKHIRPENELITIAN TA 2011

PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGADI WILAYAH PENGEMBANGAN MODEL KAWASAN

RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL)

Oleh :Gelar S. Budhi

Budiman F. HutabaratHermanto

rudy S. RivaiSupadi

Deri HidayatSunarsih

Juni HestinaAndi F. Suddin

Yonas H. Saputra

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN2011

Page 2: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

x

RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Latar Belakang

1. Kemandirian pangan dan diversifikasi pangan merupakan dua hal prinsip yang erat kaitannya dalam mewujudkan ketahanan pangan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyediakan pangan secara mandiri adalah dengan meningkatkan kemampuan produksi, dengan mengerahkan sumberdaya alam dan manusia yang ada, yang dapat dimulai dari rumah tangga dengan meningkatkan pemanafaatan lahan pekarangan.

2. Dalam upaya menciptakan kemandirian pangan pada tingkat rumah tangga dan diversifikasi konsumsi, Kementerian Pertanian menyusun suatu konsep yang disebut dengan “Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL), yang merupakan himpunan dari Rumah Pangan Lestari (RPL), yaitu rumah tangga dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraaan masyarakat.

3. Program yang baru diluncurkan ini memerlukan kajian-kajian lengkap, antara lain aspek sosial ekonomi rumah tangga, untuk menambah peluang keberhasilan dalam pelaksanaannya di lapangan. Sosial ekonomi merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya dibanding aspek teknis, karena berkaitan dengan orientasi masyarakat dan ketersediaan sumberdaya manusia yang sesuai.

Tujuan Penelitian 4. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis pola

pengeluaran pangan dan hubungannya dengan pendapatan rumah tangga di perdesaan dan perkotaan, terutama di provinsi yang terkait dengan M-KRPL; (2) Mendeskripsikan dan menganalisis pola konsumsi pangan rumah tangga perdesaan dan perkotaan, terutama yang terkait dengan provinsi lokasi M-KRPL; (3) Menganalisis penguasaan lahan usahatani dan lahan pekarangan, terutama di provinsi-provinsi yang terkait dengan program M-KRPL; (4) Menganalisis profil pengusahaan lahan pekarangan di perdesaan dan perkotaan (pinggiran).

Metode Penelitian 5. Pemetaan sosial ekonomi yang dimaksudkan untuk memberi informasi

mengenai variabel-variabel dan hubungan antar variabel aspek sosial ekonomi, yang dapat dimanfaatkan untuk menilai kondisi wilayahperdesaan dan perkotaan. Dengan memanfaatkan informasi tersebut dapat merancang serta mengantisipasi pengembangan program KRPLagar dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan dalam jangka relatif panjang atau lestari.

6. Dalam kegiatan penelitian pemetaan sosial ekonomi rumah tangga aspek-aspek yang dibahas mencakup informasi mengenai pola pengeluaran pangan dan hubungannya dengan pendapatan, pola konsumsi, penguasaan dan pengusahaan lahan pekarangan. Identifikasi luas penguasaan lahan selain

Page 3: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

xi

untuk mengetahui kondisi di luar kegiatan di lahan pekarangan, juga dapat dikaitkan dengan peluang pengembangan pekarangan itu sendiri.

7. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan tujuan untuk mendapatkan desa atau kelurahan yang cukup intensif dalam pengembangan pekarangan, dengan maksud untuk mendapatkan gambaran mengenai pemanfaatan pekarangan. Gambaran (lesson learnt) pengembangan pekarangan di desa/kelurahan tersebut dapat dijadikan acuan untuk pengembangan desa/kelurahan lainnya.

8. Responden dalam penelitian ini adalah rumah tangga di perdesaan dan perkotaan. Penentuan responden ditentukan beberapa tahapan: 1) menentukan desa/kelurahan dilakukan dengan dua cara, yaitu secara purposive untuk desa yang diusulkan BPTP, dan secara acak untuk desa yang tidak diusulkan BPTP; 2) menentukan kawasan yang digambarkan dalam sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam satu dusun. Bila tidak ada kelompok rumah tangga dipilih salah satu dusun di setiap desa akan dipilih secara acak; 3) kemudian menentukan responden rumah tangga di dalam satu dusun, yang dipilih secara acak.

9. Setiap dusun diambil 15 rumah tangga sebagai sampel yang diwawancarai dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Secara keseluruhan terdapat 180 responden yang tersebar di empat provinsi pada 12 desa. Selain itu, di tiap desa juga dilakukan Forum Grup Diskusi (FGD) untuk mendapat gambaran umum tentang pengusahaan dan pemanfatan lahan pekarangan dan semua aspek yang berhubungan dengan hal itu. Termasuk perolehan informasi tentang berbagai program berbasis pekarangan.

10. Terdapat dua jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan adalah data Susenas 2008 sebagai bahan analisis pola pengeluaran pangan dan hubungannya dengan pendapatan (tujuan 1), dan pola konsumsi rumah tangga (tujuan 2). Data primer digunakan untuk bahan analisis luas penguasaan lahan (tujuan 3) dan pengusahaan lahan pekarangan (tujuan 4). Untuk melihat fakta saat ini di lapangan, tujuan 1 maupun 2 dilengkapi juga dengan data primer, sebagai informasi tambahan.

11. Data diolah menggunakan uji statistik nonparametrik untuk menjawab tujuan 1 dan 2, yang di analisis secara nasional dan per propinsi contoh. Sedangkan untuk menjawab tujuan 3 dan 4 data disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL PENELITIAN Pola pengeluaran pangan dan hubungannya dengan pendapatan rumah tangga

12. Secara agregat, pada kelompok padi-padian tingkat partisipasi konsumsi beras di Indonesia dan empat Provinsi terpilih termasuk dalam kategori tinggi, yaitu Indonesia mencapai 83,49 persen, Lampung 83,73 persen, Jawa Barat 86,34 persen, DI Yogyakarta 69,56 persen dan Sulawesi Selatan 60,52 persen. Hal ini menunjukkan bahwa beras sampai saat ini masih menjadi sumber utama karbohidrat hampir seluruh penduduk Indonesia. Sementara untuk tepung beras tingkat partisipasi konsumsi Indonesia mencapai 4,69 persen, sementara di Provinsi Lampung, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Sulawesi Selatan tingkat partisipasi konsumsinya adalah 0. Rendahnya tingkat partisipasi konsumsi tepung beras dikarenakan di keempat Provinsi tersebut lebih banyak mengkonsumsi umbi-umbian, seperti di Provinsi Lampung konsumsi ketela

Page 4: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

xii

pohon 7,04 persen, sedangkan di tiga Provinsi lainnya Jawa Barat, Di Yogyakarta dan Sulawesi Selatan jenis komoditas umbi-umbian yang dikonsumsi adalah talas dengan tingkat partisipasi masing-masing adalah 0,43 persen, 0,09 persen dan 0,69 persen.

13. Kelompok pangan daging terdiri dari empat komoditas terpilih, yaitu daging sapi, daging ayam kampung, daging kambing dan tetelan. Tingkat partisipasi konsumsi pangan daging sapi Indonesia adalah 4,91 persen, diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta sebesar 3,33 persen, sedangkan di Provinsi Lampung tingkat partisipasi konsumsi daging diwakili oleh ayam kampung sebesar 2 persen, Jawa Barat daging kambing 0,43 persen dan Sulawesi Selatan tetelan 0.05 persen, masih rendahnya tingkat partisipasi konsumsi pada kelompok pangan daging ini dikarenakan, (1) masih rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga sehingga mempengaruhi terhadap daya beli dan konsumsi daging dan (2) daging (terutama daging merah/ruminansia) masih digolongkan kedalam jenis makanan mewah, sehingga bagi banyak penduduk hanya bisa dinikmati pada kesempatan-kesempatan tertentu.

14. Kelompok sayur-sayuran yang dikonsumsi di Indonesia dan empat Provinsi lainnya adalah bayam, kangkung dan petai. Bayam lebih disukai untuk dikonsumsi, hal ini terlihat dari tingkat partisipasi konsumsinya di Indonesia sebesar 39,07 persen diikuti oleh Provinsi Jawa Barat 33,77 persen, dan Sulawesi Selatan 32,46 persen. Berbeda di Provinsi DI Yogyakarta konsumsi sayuran dominan adalah kangkung dengan tingkat partisipasinya sebesar 20,53 persen, dan Lampung adalah petai dengan tingkat partisipasi konsumsi 11,32 persen. Tingkat partisipasi konsumsi sayuran di masing-masing provinsi cukup baik, hal ini disebabkan (1) bahwa kebiasaan konsumsi rumah tangga terpola dengan slogan empat sehat lima sempurna yang salah satu komponen makanannya adalah sayur, jadi dalam konsumsi sehari-hari rumah tangga sayuran meruapakan pelengkap makanan dan tambahan gizi keluarga, (2) daya beli masyarakat cukup baik sehingga sangat murah dan mudah untuk diperoleh dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

15. Kacang-kacangan merupakan pangan sumber protein nabati yang utama. Dalam kelompok ini terdapat komoditas kacang tanah tanpa kulit, kacang hijau, oncom dan kacang kedele. Tingkat konsumsi kacang hijau tertinggi sebesar 14,08 persen (di Sulawesi Selatan), sementara tingkat konsumsi kacang tanah tanpa kulit adalah 7,98 persen di Indonesia dan Jawa Barat 8,18 persen. Untuk komoditas oncom tingkat partisipasi konsumsinya di Provinsi Lampung adalah 6,28 persen dan terendah adalah kedele, yaitu 0,88 persen (DI Yogyakarta). Secara umum tingkat partisipasi konsumsi kacang-kacangan termasuk rendah terutama kedele, hal ini diakibatkan karena kacang-kacangan merupakan bahan makanan pelengkap dan bukan utama dan dikonsumsi pada waktu tertentu saja.

16. Konsumsi buah-buahan dominan Wilayah Indonesia dan DI Yogyakarta adalah jeruk dengan masing-masing tingkat partisipasi 21,76 persen dan 13,69 persen. Tingkat partisipasi konsumsi rambutan di Provinsi Sulawesi Selatan adalah 20,41 persen, sementara konsumsi buah-buahan di Lampung adalah durian dengan tingkat partisipasi 4,09 persen dan tingkat partisispasi terendah adalah mangga, yaitu 0,88 persen (Jawa Barat). Di Provinsi Sulawesi Selatan tingkat partisipasi konsumsi buah-buahan khusus jeruk dan rambutan adalah barang normal dan dapat terjangkau oleh pendapatan rumah tangga seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya arti gizi yang dikonsumsi. Sementara untuk komoditas durian dan mangga tingkat partisipasi konsumsinya sangat rendah disebabkan oleh durian dan mangga adalah komoditas musiman sehingga masyarakat hanya

Page 5: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

xiii

mengkonsumsi pada musim tertentu saja. Selain itu daya beli atas komoditas mangga dan durian lebih rendah untuk jenis tertentu seperti mangga gincu atau gedong dan durian monthong yang sebagian besar adalah impor sehingga hanya terjangaku pada pendapatan kelas menengah.

17. Tingkat partisipasi konsumsi minyak dan lemak adalah dari jenis produk olahan minyak kelapa dan minyak goreng. Konsumsi minyak goreng tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta, dengan tingkat partisipasi sebesar 84,40 persen, dan Sulawesi Selatan 36,36 persen. Tingkat partisipasi konsumsi minyak kelapa di Indonesia adalah 21,12 persen, Lampung 36,68 persen dan Jawa Barat 11,21 persen. Secara nasional, tingkat partisipasi konsumsi minyak goreng dan minyak kelapa cukup tinggi karena beberapa hal, yaitu (1) merupakan bagian dari kebutuhan konsumsi rumah tangga; (2) cukup tersedia dan terjangkau oleh seluruh golongan pendapatan, dan daya beli masyarakat terhadap produk tersebut sangat tinggi.

18. Konsumsi pangan yang dihasilkan dari produksi sendiri pada rumah tangga di Perkotaan Provinsi Lampung adalah: pepaya muda, nangka, nenas, jambu, alpukat, danging unggas lainnya (bebek, itik dll), daun ketela pohon, mangga, nagka muda, tepung gaplek (tiwul).

19. Di perkotaan Provinsi Jawa Barat, sebanyak11 jenis komoditas diproduksi RT sendiri untuk kebutuhan konsumsi mereka, 10 diantaranya termasuk dalam kelompok: umbi-umbian (tepung gaplek, talas/keladi, ketela pohon); kelompok buah-buahan (belimbing, nangka, papaya muda, pisang); sayur-sayuran (daun ketela pohon); dan padi-padian (jagung basah, jagung pipil).

20. Berdasarkan data SUSENAS 2008, komoditas utama yang dikonsumsi dari hasil produksi sendiri di rumah tangga perkotaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah nangka, papaya, pisang lainnya, kedondong, alpukat, papaya, daun ketela pohon, gaplek, jagung pipil, telur ayam. Komoditas hasil identifikasi dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan KRPL di daerah perkotaan Provinsi DI Yogyakarta.

21. Di perdesaan DI Yogyakarta terdapat 37 jenis komoditas yang dikonsumsi, 10 diantaranya adalah termasuk dalam kelompok persentase konsumsi tertinggi, yaitu: talas/keladi, gaplek, jambu, papaya muda, jagung pipil, jagung basah, kacang kedelai, kacang tanah. Komoditas hasil identifikasi tersebut dapat dikembangkan pada KRPL di daerah Perdesaan DI Yogyakarta.

22. Terdapat 15 komoditas yang dikonsumsi rumah tangga perkotaan Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu buah-buahan (jambu, sawo, nangka); sayur-sayuran (jamur); produk ternak (telur ayam kampong), daging (daging babi, daging kerbau, daging kambing, daging lainnya). Komoditas tersebut dapat dikembangkan pada program KRPL di Perkotaan Provinsi Sulawesi Selatan.

23. Terdapat 60 komoditas yang konsumsi dari produksi sendiri di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan, di mana 10 kelompok memiliki sumbangan paling besar dalam konsumsi rumah tangga, yaitu buah-buahan (belimbing, nangka, papaya muda, papaya) sayur-sayuran (daun ketela pohon, jamur); produk ternak (daging kerbau, daging kambing, daging babi,abon).

Pola konsumsi pangan rumah tangga

24. Perilaku rumahtangga dalam konsumsi pangan dianalisis berdasarkan jumlah gabungan faktor psikologis, budaya, sosial dan ekonomi, yang dalam penelitian ini diwakili wilayah konsumen, yakni perdesaan dan perkotaan, dan kelompok pendapatan. Selain itu analisis juga dibagi atas nasional dan propinsi contoh.

Page 6: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

xiv

Oleh karena itu, rumahtangga konsumsi pangan merupakan yag terbesar dari masing-masing kelompok jenis pangan (padi-padian, umbi-umbian, daging, sayuran, buah-buahan, minyak dan lemak, serta kelompok kacang-kacangan). Pada analisis ini, rumahtangga di kelompokkan menjadi 15 kelas pendapatan.

25. Secara nasional jumlah beras yang dikonsumsi per kapita per tahun menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan. Pola ini sangat jelas terlihat pada semua kelas pendapatan, kecuali pada kelas pendapatan 10.Walaupun tidak pada semua lokasi contoh, jumlah tepung beras yang dikonsumsi cenderung meningkat sering dengan meningkatnya kelas pendapatan.Berbeda dengan daging sapi, dimana jumlah yang dikonsumsi meningkat pada kelas pendapatan 2.Namun, jumlah konsumsi ini semakin berkurang pada kelas pendapatan 3 dan 4. Untuk sayur bayam konsumsinya cenderung meningkat pada kelas pendapatan 1, 2, 3, dan 11, tetapi semakin berkurang pada kelas 4, 5 dan 7.

26. Pola konsumsi pangan lain, seperti jeruk meningkat pada rumahtangga dengan kelas pendapatan yang lebih tinggi (kelas 1, 2, 3, 4 dan 5). Namun, konsumsi tersebut semakin berkurang pada kelas pendapatan 6 dan 7.Selanjutnya, konsumsi jeruk semakin besar pada kelas pendapatan 10, bahkan terbesar dibanding dengan kelas pendapatan lainnya.Demikian pula jumlah kacang tanah yang dikonsumsi, meningkat pada kelas pendapatan 2, 7 dan 11, namun menurun pada kelas pendapatan 3 dan 4. Ssementara itu, konsumsi minyak kelapa cenderung menurun pada kelas pendapatan 2, 3, 4 dan 5. Namun, konsumsi ini meningkat pada kelas pendapatan 7 dan 11.

27. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia berbeda antar kelas pendapatan. Hal ini antara lain disebabkan karena faktor sosial ekonomi dan budaya. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga cenderung tidak menambah konsumsi. Kemungkinan disebabkan karena tambahan pendapatan dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pangan, untuk meningkatkan gizi keluarga atau bahkan mungkin akan membeli makanan lain yang lebih berkualitas.

28. Hasil analisis konsumsi di Provinsi Lampung memperlihatkan bahwa beberapa jenis pangan yang dikonsumsi rumahtangga, seperti beras, ketela pohon, daging ayam kampung, sayur petai, durian, dan minyak kelapa, tidak menunjukkan pola yang jelas dalam hubungannya dengan kelas pendapatan. Peningkatan kelas pendapatan tidak selalu menyebabkan penurunan konsumsi. Bahkan pada kelas pendapatan tertentu, konsumsi pangan tersebut semakin meningkat dengan semakin tingginya kelas pendapatan.

29. Hasil analisis pola konsumsi di Provinsi Jabar memperlihatkan bahwa beberapa jenis pangan yang dikonsumsi rumahtangga, seperti beras, talas, daging kambing, sayur bayam, mangga, kacang tanah dan minyak kelapa, menunjukkan pola konsumsi yang berbeda. Konsumsi beras cenderung semakin menurun dengan meningkatnya kelas pendapatan. Sebaliknya, konsumsi talas dan daging kambing cenderung meningkat dengan meningkatnya kelas pendapatan.Kondisi ini berbeda dengan bayam yang konsumsinya cenderung meningkat pada beberapa kelas pendapatan. Pola konsumsi pangan lain seperti mangga dan kacang tanah, konsumsinya cenderung meningkat dengan semakin tinggi kelas pendapatan. Keadaan ini juga berlaku untuk konsumsi minyak kelapa.

30. Secara umum, konsumsi beras per kapita per tahun di DI Yogjakarta cenderung menurun dengan meningkatnya kelas pendapatan. Konsumsi beras di provinsi DIY tergolong rendah, dibandingkan dengan rata-rata konsumsi

Page 7: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

xv

beras penduduk Indonesia saat (107.8 kg/kapita/tahun). Konsumsi daging sapi, pada semua tingkat pendapatan relatif rendah.

31. Konsumsi beras perkapita per tahun di Sulawesi Selatan, cenderung meningkat pada kelas pendapatan 1 sampai 3, dan kelas pendapatan di atasnya cenderung berfluktuatif. Konsumsi beras pada kelas pendapatan 2 dan 3 relatif lebih besar dibanding rata-rata konsumsi beras penduduk Indonesia. Pola yang hampir sama terjadi pada konsumsi umbi-umbian dan daging tetelan, yaitu meningkat terus sampai kelas pendapatan 3, dan menurun pada kelas pendapatan 4. Berbeda dengan sayuran khususnya bayam, konsumsinya cenderung meningkat pada kelas pendapatan 2, 3 dan 4. Konsumsinya menurun pada kelas pendapatan 5, 6 dan 7, namun pada kelas pendapatan 8 naik secara signifikan. Dengan demikian, pola konsumsi pangan utama di Sulawesi Selatan tidak menunjukkan pola yang jelas, karena peningkatan pendapatan tidak selalu menyebabkan penurunan konsumsi pangan utama.

Penguasaan lahan usahatani dan lahan pekarangan

32. Rata-rata luas penguasaan lahan usahatani (sawah, lahan kering, kebun dan kolam) per KK di wilayah perdesaan berkisar antara 0,3 – 2,16 hektar, sedangkan di wilayah perkotaan antara 0,23 – 2,19 hektar. Penguasaan lahan sawah menyebar di seluruh lokasi penelitian, dengan rata-rata penguasaan di wilayah perdesaan berkisar antara 0,10 – 0,83 hektar, dan di perkotaan antara 0,14 – 0,70 hektar.

33. Rata-rata luas pemilikan lahan pekarangan di wilayah perdesaan dan perkotaan cukup bervariasi dengan kisaran 0,012 - 0,270 hektar. Rata-rata pemilikan pekarangan terluas adalah di perdesaan dan perkotaan Provinsi DIY, yaitu 0,037 – 0,27 hektar. Sedangkan pemilikan pekarangan yang paling sempit terdapat di lokasi contoh Jawa Barat dengan kisaran 0.006 -0,07 hektar.

34. Tidak semua lahan usahatani yang digarap merupakan milik sendiri, berbeda dengan lahan pekarangan yang hampir seluruhnya merupakan milik sendiri. Dengan status penguasaan seperti ini, pengusahaan lahan usahatani tidak sepenuhnya menjadi wewenang penggarap, sedangkan pengusahaan lahan pekarangan sepenuhnya merupakan hak pemilik.

35. Pemilikan lahan pekarangan tidak selalu berbanding lurus dengan pemilikan lahan usahatani, dan tidak terdapat pola tertentu mengenai keduanya. Kondisi ini terjadi pada lokasi desa maupun kota di seluruh propinsi contoh.

36. Responden di Jawa Barat dan DI Yogja yang berprofesi sebagai petani sawah berkisar 43 – 100 persen, sedangkan di Lampung dan Sulawesi Selatan berkisar antara 45 – 86 persen. Hampir seluruh responden memiliki sumber mata pencaharian ganda, yaitu berusaha di sektor pertanian dan juga di sektor nonpertanian.

37. Pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan dan perkotaan cukup bervariasi yang berkisar antara Rp 851 ribu dan Rp 5,7 juta per bulan, kontribusi usaha pertanian memiliki kisaran 25 - 66% dari total pendapatan rumah tangga. Sedangkan kontribusi pendapatan dari lahan pekarangan terhadap pendapatan total rumahtangga relatif kecil, berkisar antara 0,2 – 0,6 persen.

38. Terdapat kecenderungan bahwa fungsi habitat dan sosial budaya merupakan fungsi yang paling utama dalam pemanfaatan lahan pekarangan. Secara umum dapat dilihat bahwa pengembangan pekarangan dilakukan pada saat

Page 8: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

xvi

fungsi pekarangan sebagai habitat telah terjamin.Hal ini ada kaitannya dengan karakteristik sosial budaya dan kebiasaanh masayarakat setempat.

39. Tidak dijumpai satu rumah tangga pun yang memanfaatkan lahan pekarangannya untuk usaha monokultur, yang mendominasi seluruh lahan pekarangan. Warga lebih memilih menanam/mengusahakan lahan pekarangan secara polikultur dengan berbagai jenis tanaman sayuran, umbi-umbian, buah-buahan dan sedikit yang mengusahakan tanaman rempah dan obat.

40. Tiga jenis usaha dominan yang dikembangkan responden pada lahan pekarangan adalah menanam tanaman buah tahunan, aneka sayuran, dan memelihara ternak unggas. Ketiga jenis usaha tersebut memiliki ciri sebagai berikut: (1) dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga secara langsung, sekaligus bisa dengan mudah dijual jika produksi berlebih; (2) Tidak menyita waktu dan tenaga kerja untuk pemeliharaannya; (3) Mudah dikelola dan tidak memerlukan keterampilan khusus untuk pemeliharaannya.

41. Jenis tanaman yang hampir sama sekali tidak ditanam pada lahan pekarangan adalah tanaman penghasil biji-bijian (padi, jagung). Tanaman ini hanya ditanam pada lahan usahatani yang luasnya relatif lebih besar, sehingga menghasilkan dalam jumlah banyak. Sebagai tanaman bahan pangan pokok, produksinya diperlukan dalam jumlah yang banyak,

42. Jenis usaha pekarangan yang mendatangkan pendapatan rumahtangga tertinggi adalah usaha ternak ruminasia besar yang banyak diusahakan oleh responden di perdesaan, baik yang berlahan sempit, maupun luas. Kemudian usaha ikan di kolam dan tanaman bambu/kayu di pekarangan terutama pada lahan pekarangan perkotaan dilahan sempit. Pada rumah tangga berlahan pekarangan luas, jenis usaha yang memiliki nilai produksi tinggi adalah usaha penanaman tanaman penghasil minyak (kelapa), usaha pupuk kandang, dan usaha pemeliharan ikan di kolam.

43. Rata-rata nilai produksi pada usaha di lahan pekarangan desa terlihat jauh lebih besar dibandingkan dengan di kota, baik pada kelas lahan berpekarangan sempit maupun luas. Namun nilai produksi pada lahan pekarangan sempit tidak selalu lebih kecil dibandingkan nilai produksi pada usaha pada lahan pekarangan luas. Perbedaan tersebut terkait dengan tingkat pemanfaatan lahan pekarangan (partisipasi, pemilihan komodtas) dan sumber nafkah yang berbeda antara rumah tangga di desa dan kota.

44. Tujuan produksi tanaman/usaha dari lahan pekarangan umumnya tidak sepenuhnya untuk tujuan komersial, tetapi lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Apabila hasilnya berlebih, maka sebagian diberikan kepada tetangga atau kerabat, baru sisanya dijual. Namun ada juga hasil pekarangan yang dijual, yaitu produk yang relatif memiliki nilai cukup tinggi, dan bukan merupakan komoditas yang dikonsumsi secara harian misalnya unggas dan ternak ruminansia besar, buah-buahan dan kayu-kayuan.

45. Pemasaran hasil usaha pekarangan dominan di beli oleh pedagang pengumpul desa yang datang ketempat responden. Pembelian tanaman buah-buahan bisa dengan cara ijon (sebelum panen dan dengan uang muka) ataupun hasil panen (setelah matang), sedangkan panen umunya dilakukan oleh pedagang pengumpul. Harga jual dengan penjualan secara pasif ini cenderung lebih rendah dibanding dijual langsung ke pasar, tetapi dengan cara ini, responden lebih terbantu dalam pemasaran hasil pekarangan.

46. Pengusahaan lahan pekarangan berlangsung secara dinamis, dan sekitar 50-100% responden berencana mengubah pemanfataan lahan pekarangannya dalam kurun lima tahun ke depan. Responden di Provinsi Jawa Barat memiliki

Page 9: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

xvii

keinginan lebih besar untuk mengubah pemanfaatan lahan pekarangannya (berkisar 83-100%), dibandingkan tiga provinsi lainnya.

47. Tiga faktor utama terjadinya perubahan pengusahaan/pemanfataan lahan pekarangan yaitu, pertambahan jumlah anggota keluarga, pertambahan jumlah rumahtangga dan perubahan orientasi dalam pemanfaatan lahan pekarangan tersebut. Perubahan orientasi dalam pengusahaan lahan pekarangan dilandasi oleh kebutuhan konsumsi secara langsung, kebutuhan untuk memperoleh (tambahan) pendapatan, kebutuhan tempat tinggal baru atau tempat tinggal yang lebih luas. Bahkan sebagian responden menyatakan rela mengorbankan fungsi-fungsi sosial dan estetika pekarangan, karena pemenuhan kebutuhan akan fungsi ekonomi pekarangan jauh lebih mendesak.

48. Rencana peruntukkan lahan pekarangan cukup beragam, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu, untuk usaha pertanian, usaha nonpertanian, dibagikan pada anak, dijual atau mendirikan bangunan. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk usaha pertanian menjadi pilihan dominan responden di empat provinsi yang menjadi lokasi contoh penelitian.

49. Dalam pedum kebun bibit hanya dibahas secara sekilas (satu paragraf) saja, sehingga belum jelas aplikasinya di lapangan, padahal konsep kebun bibit ini merupakan inovasi yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan lestari suatu kawasan dalam program KRPL. Oleh karena itu, sebaiknya pedum diperbaiki dan dilengkapi dengan juklak dan juknis yang terkait dengan hal tersebut, karena di beberapa lokasi program ini sudah mulai diterapkan.

50. Program yang berbasis pada pemanfataan lahan pekarangan yang sudah dikembangkan, antara lain (1) Program Percepatan Keanekaragaman Pangan (P2KP), (2) Peningkatan Peran Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), (3) Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Bidang Pertanian (BPEMP) Percontohan Horti dan Palawija dan diwilayah perkotaan: Gerakan Perempuan Optimalisasi Pekarangan (GPOP) dan Pengembangan Tanaman Hortikultura dengan Sistim Tanam Vertikultur. Masing-masing program mempunyai paket bantuan dan bimbingan yang berbeda untuk peserta program.

51. Kendala dalam pengembangan pemanfataan lahan pekarangan, secara berurutan, adalah pengadaan benih/bibit, keterbatasan dalam penguasaan aspek teknis, keterbatasan modal, keterbatasan air di musim kemarau, tingkat kesuburan lahan yang rendah, gangguan hama dan ternak, keterbatasan lahan (untuk lahan sempit), dan keterbatasan tenaga kerja (untuk lahan luas).

52. Untuk mengatasi permasalahan yang dijumpai, melalui focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan masyarakat pelaksana pengembangan pemanfaatan lahan pekarangan, diperoleh usulan dari masyarakat sebagai berikut: (1) Penyediaan atau peningkatan kegiatan penyuluhan dan bimbingan, (2) Pelatihan budidaya dan pasca panen (termasuk pemasaran hasil), (3) Pengembangan tanaman pekarangan melalui bantuan bibit dalam polybag, dan pupuk organik, (4) Pengembangan sumber air di musim kemarau dan (5) penerapan Peraturan Daerah pemeliharaan hewan ternak. Melalui lima program tersebut, diharapkan dapat meningkatkan motivasi masyarakat untuk mengembangkan pemanfaatan lahan pekarangan, penganekaragaman konsumsi rumah tangga, serta menambah pendapatan keluarga.

Page 10: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

xviii

IMPLIKASI KEBIJAKAN 53. Kenyataan pemanfaatan lahan pekarangan untuk berbagai komoditas pangan

sudah banyak berkembang di berbagai daerah, baik yang melalui program nasional, program daerah maupun swadaya masayarakat/kelompok masyarakat secara mandiri. Untuk Pengembangan kawasan rumah pangan lestari/KRPL di Indonesia perlu mempertimbangkan ciri khas komoditas tertentu yang akan dikembangkan. Salah satu pertimbangan utama adalah sifat korelasinya dengan pendapatan yang harus nyata secara statistik, karena dengan koefisien korelasi nyata positif kita dapat berharap bahwa potensi permintaan di perdesaan atau perkotaan dapat semakin berkembang seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat.

54. Dengan jumlah dan jenis pangan yang masih banyak dibeli tiap rumah tangga di perdesaan lebih lagi di perkotaan, dapat menjadi faktor penyebab utama sebagian besar rumahtangga di perdesaan belum memiliki ketahanan pangan yang memadai. Oleh karena itu, kesinambungan pemanfaatan lahan pekarangan dengan mengembangkan berbagai tanaman yang masih banyak dibeli tiap rumahtangga merupakan salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan ketersediaan dan cadangan pangan di tingkat rumahtangga secara berkelanjutan. Di samping itu, pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan antisipatif di sektor pertanian tanaman pangan terutama lahan-lahan pertanian yang selama ini memproduksi pangan harus tetap dijaga, dipertahankan bahkan dikembangkan. Program KRPL merupakan salah satu usaha yang dapat meningkatkan produksi dan sekaligus mendistribusikan pangan kepada rumahtangga sasaran, baik di perdesaan, maupun diperkotaan.

55. Kontribusi produksi pangan pada lahan pekarangan sangat sedikit bagi pendapatan rumah tangga baik di perkotaan maupun diperdesaan, oleh karena itu pengembangan KRPL sebaiknya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, kecuali pada lahan pekarangan yang relatif luas memungkinkan pengusahaan lahan pekarangan untuk meningkatkan produksi yang dapat sekaligus meningkatkan pendapatan rumah tangga. Dengan demikian model KRPL dapat didesain untuk memenuhi kebutuhan pangan, atau peningkatan pendapatan rumah tangga atau keduanya sekaligus. Untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat adalah menanam tanaman buah tahunan, aneka sayuran, umbi-umbian dan memelihara ikan serta ternak unggas. Sedangkan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga, usaha pekarangan yang sudah biasa dilakukan masyarakat adalah : penggemukan sapi potong, pemeliharaan ikan, kebun kelapa dan usaha pupuk kandang.

56. Sebagian besar masyarakat/rumah tangga perdesaan maupun perkotaan setuju memanfaatkan lahan pekarangan untuk berbagai usaha pengembangan pangan, baik ditujukan untuk memenuhi konsumsi keluarga, maupun untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Terutama bagi rumah tangga yang belum memanfaatkan pekarangannya, bahkan bagi rumah tangga yang sudah memanfaatkan lahan pekarangan tapi belum optimalpun berkeinginan kuat untuk mengembangkan lahan pekarangan sebagaimana yang sudah diprogramkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, seperti P2KP, P2WKSS, BPEMP, dan GPOP. Oleh karena itu mereka sangat berkeinginan agar model KRPL dapat diusahakan diwilayanya.

57. Menghadapi permasalahan dan kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan, masyarakat mengusulkan adanya: (1) penyuluhan dan bimbingan, (2) pelatihan budidaya dan pascapanen (termasuk pemasaran

Page 11: PEMETAAN ASPEK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA DI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2011_GELAR.pdf · sebuah kelompok rumah tangga yang relatif berdekatan, kebanyakan dalam

xix

hasil), (3) Pengembangan tanaman pekarangan melalui bantuan bibit polybag, dan pupuk organik, (4) pengembangan sumber air di musim kemarau dan (5) penerapan Perda pemeliharaan khewan ternak. Melalui ke lima program tersebut, diharapkan dapat meningkatkan motivasi masyarakat untuk mengembangkan pemanfaatan lahan pekarangan, menganekaragaman konsumsi rumah tangga, serta menambah pendapatan keluarga sebagaiman yang diharapkan oleh Program KRPL.