ii. kajian pustaka a. sumber pustaka · dengan rujukan skripsi di atas, konsep kekerasan anak yang...
TRANSCRIPT
6
II. KAJIAN PUSTAKA
A. Sumber Pustaka
1. Rujukan Konsepsi
Penanganan masalah kekerasan terhadap anak merupakan pekerjaan
rumah bagi seluruh masyarakat luas yang tiap harinya terus bertambah
jumlahnya. Sejauh ini banyak pihak yang telah melakukan berbagai langkah
untuk mengatasi masalah ini. Untuk itu, ide mengenai kasus kekerasan anak ini
diimplementasikan ke dalam karya seni. Melalui karya seni, diharapkan pesan
dari seniman dapat tersampaikan kepada masyarakat luas yaitu untuk lebih
peduli pada anak korban tindak kekerasan. Oleh karena itu, dalam proses
implementasi tersebut memerlukan peninjauan terkait isu kekerasan anak, yaitu
tidak terlepas dari kajian serupa yang pernah diteliti sebelumnya.
Salah satu kajian terdahulu yang membahas masalah kekerasan anak
dibuat oleh Sigit Tri Purnomo dalam proyek tugas akhirnya. Ia
mengkampanyekan iklan “Stop Kekerasan Terhadap Anak-Anak” melalui
media komunikasi audio visual. Fokus utama dalam karya iklan ini adalah tema
kekerasan anak yang traumanya terbawa sampai masa tua, di mana tindakan
kekerasan yang dialami seorang anak akan mempengaruhi kondisi psikisnya
hingga dewasa. Melalui karya iklan ini, diharapkan dapat menyadarkan
masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam melindungi anak-anak, khususnya
menyadarkan orang tua untuk tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak.
7
Gambar 1. Karya iklan layanan masyarakat “Stop Kekerasan Terhadap Anak-Anak”
oleh Sigit Tri Purnomo yang dibuat dalam media poster, dimensi 31x42 cm
(Sumber: Screenshot Pengantar TA Sigit Tri Purnomo, 2016)
Konsep serupa mengenai sisi lain kehidupan anak-anak juga diangkat
oleh Findri Ary Hartanto pada tahun 2009. Ia mengangkat isu tentang
kehidupan anak-anak marginal di perkotaan. Perasaannya yang sedih dan
prihatin melihat kerasnya kehidupan yang dialami anak-anak tersebut,
mendorongnya untuk memvisualisasikannya ke dalam suatu karya seni.
Melalui karya yang dibuat, ia mengajak orang lain untuk lebih peduli pada
keadaan anak-anak marginal di perkotaan. Karya yang dibuatnya adalah dalam
bentuk digital print di atas kertas. Di dalam karyanya menampilkan suasana
kehidupan anak yang suram, figur-figur anak dengan simbol-simbol
pendukungnya.
8
Gambar 2. Karya Findri Ary Hartanto berjudul “Terpenjara”, ukuran 80x50 cm, digital
print di atas kertas, 2008
(Sumber: Screenshot Pengantar TA Findri Ary Hartanto, 2016)
Selain konsep kekerasan yang diangkat sebagai karya seni, terdapat juga
penelitian mengenai kekerasan anak lainnya. Salah satunya adalah karya
skripsi oleh Yustina Saptarini berjudul “Kekerasan dalam Lembaga Pendidikan
Formal (Studi Mengenai Kekerasan oleh Guru Terhadap Siswa Sekolah Dasar
di Surakarta). Ia mengangkat topik kekerasan anak yang ada di lingkungan
sekolah. Subjek utama dalam tindak kekerasan di sekolah adalah oknum guru
(pelaku) dan siswa (korban). Berdasarkan hasil penelitiannya, latar belakang
oknum guru melakukan tindak kekerasan dipengaruhi oleh kondisi eksternal
dari sistem pendidikan yang ada. Kekerasan jenis ini adalah kekerasan
personal, di mana masalah pribadi merupakan pemicu tindak kekerasan yang
pada akhirnya dilampiaskan terhadap siswa.
Konsep serupa mengenai potret buram kehidupan anak-anak juga
diangkat ke dalam suatu karya seni lukis. Banyak perbedaan dari tiga konsep di
9
atas jika dikomparasikan dengan konsep penulis. Jika dibandingkan
berdasarkan perwujudan ke dalam karya seni, penggunaan medianya jelas
berbeda. Jika penulis mewujudkannya ke dalam karya seni lukis, kedua
rujukan tugas akhir tersebut masing-masing menggunakan audio visual dan
digital print sebagai medianya. Walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu
menampilkan kehidupan suram anak-anak, masing-masing mempunyai cara
sendiri dalam memvisualisasikan tema tersebut. Sedangkan bila dibandingkan
dengan rujukan skripsi di atas, konsep kekerasan anak yang disajikan jelas
berbeda. Sumber rujukan memfokuskan jenis kekerasan anak yang berada di
lingkungan sekolah, latar belakang tindak kekerasan yang dilakukan, dan
contoh praktik tindak kekerasan yang terjadi di sekolah. Sementara itu, konsep
penulis adalah kekerasan anak secara luas, baik itu subjek tindak kekerasan,
faktor-faktor yang mempengaruhi, jenis-jenis tindak kekerasan, serta
implementasinya ke dalam suatu karya seni.
Perwujudan konsep kekerasan terhadap anak ke dalam karya seni ini
merupakan hal yang baru baik secara visual maupun tulisan sebagai konsep
pengantarnya. Selain itu, hasil yang disajikan bersifat baru dan berbeda dari
konsep visual dan penelitian-penelitian sebelumnya. Dapat dikatakan baru dan
berbeda dikarenakan hasil dari penelitian dan perwujudan karya merupakan ide
asli dari penulis. Sementara itu, penelitian dan konsep karya serupa hanyalah
bersifat sebagai sumber referensi. Sumber yang telah dipaparkan di atas hanya
bersifat rujukan dan sebagai pembanding, sehingga dapat diketahui unsur
novelti di dalam karya yang dibuat.
10
2. Referensi Teoritik
a. Dunia Anak
Anak-anak adalah bagian kecil dari suatu keluarga. Keberadaan anak
sebagai seseorang yang baru hadir dan paling kecil, masih dianggap sebagai
manusia kecil yang lugu dan polos. Oleh karena kepolosan anak itu,
tentunya orang tua dan orang-orang di sekitar harus turut menjaga dan
mengajarinya agar ia tumbuh dan berkembang dengan baik. Masa kanak-
kanak adalah masa yang berharga bagi anak untuk tumbuh. Masa ini juga
turut menentukan sikap dan perilaku anak kelak ketika dewasa. Oleh karena
itu, agar anak mempunyai karakter yang baik kelak, maka sejak dini harus
didukung dengan lingkungan yang baik pula.
Menurut Hurlock, masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa
bayi yang penuh dengan ketergantungan, yakni kira-kira usia dua tahun
sampai saat matang secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14
tahun untuk pria. Para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanak-
kanak sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat di mana
dianggap cukup tua, baik secara fisik dan mental, untuk menghadapi tugas-
tugas pada saat mereka mengikuti pendidikan formal (Hurlock, 1999: 108-
109).
Di dalam psikologi perkembangan banyak dibicarakan bahwa dasar
kepribadian seseorang terbentuk pada masa anak-anak. Proses-proses
perkembangan yang terjadi dalam diri seorang anak ditambah dengan apa
yang dialami dan diterima selama masa anak-anaknya secara sedikit demi
sedikit memungkinkan ia tumbuh dan berkembang menjadi manusia
11
dewasa. Pada akhir abad ke 17, seorang filsuf Inggris bernama John Locke
(1632-1704) mengemukakan, bahwa pengalaman dan pendidikan
merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan
kepribadian anak (Gunarsa, 2008: 3-17).
b. Anak Rawan Tindak Kekerasan
Anak bermasalah sosial biasa disebut anak rawan, tingkat kerawanan
anak bisa dapat dipahami sebagai suatu situasi, kondisi, dan tekanan-
tekanan kultur maupun struktur yang menyebabkan mereka belum atau tidak
terpenuhi hak-haknya dan sering kali dilanggar hak-haknya. Hal itu
menyebabkan menjadikan mereka tersisih dari kehidupan normal dan
terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar. Kehidupan mereka
sering menjadi korban situasi sosial, tereksploitasi, dan mengalami
diskriminasi, serta perlakuan salah dari lingkungannya.
Gambaran mengenai persoalan sosial anak antara lain kekerasan
terhadap anak, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum, dan masalah
sosial lainnya. Anak-anak yang kategori rawan ini biasanya memang tidak
kelihatan dan suaranya pun nyaris tidak terdengar. Mereka tersembunyi di
kolong jembatan, hidup di rumah petak yang dihimpit gedung bertingkat,
ditampung di camp-camp pengungsian, dan berserakan di wilayah pedesaan
yang terisolir. Sehingga bila dibandingkan hiruk pikuk persoalan politik,
sepertinya persoalan anak rawan sama sekali tidak penting. Padahal di saat
yang sama, ketika eneergi dan perhatian elit politik telah terkuras habis
untuk berebut kekuasaan, maka tanpa dapat dicegah lagi setiap hari, atau
12
bahkan setiap jam, jumlah anak-anak yang membutuhkan perlindungan
khusus terus bertambah (Suyanto, 2013: 2).
Sebagai sebuah permasalahan sosial, disadari bahwa dalam menyikapi
persoalan anak rawan pemerintah bukan hanya dituntut untuk meningkatkan
perlindungan sosial dan santunan sosial seperti beasiswa bagi siswa miskin,
pelatihan program kejar paket A dan B bagi buruh anak yang terlanjur DO
(drop-out), atau upaya lain yang sifatnya karitatif semata. Lebih dari itu,
yang dibutuhkan anak-anak rawan itu sesungguhnya adalah sebuah
komitmen yang benar-benar serius, tidak hanya menjadi slogan politik
ketika Pemilu berlangsung, yang kemudian dioperasionalkan dalam bentuk
program aksi bersama yang konkret dan kontekstual, sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar yang tercantum dalam KHA (konvensi hak anak) (Suyanto,
2013: 6).
Pemahaman mengenai anak rawan tindak kekerasan tidak terbatas
pada kekerasan yang terjadi dalam keluarga. Bisa saja faktor dari luar
keluarga menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan. Faktanya, tindak
kekerasan yang terjadi pada anak, kebanyakan dilakukan oleh pelaku yang
merupakan orang lain selain keluarga. Untuk itu, orang tua harus lebih
berhati-hati pada kemungkinan tindak kekerasan yang terjadi, serta
menghindari lingkungan yang rawan kekerasan pula.
c. Kekerasan Terhadap Anak
Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan, atau
sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan
13
besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis,
kelainan perkembangan atau perampasan hak. Sedangkan menurut Thomas
Santoso dalam bukunya, Teori-Teori Kekerasan, kekerasan sendiri adalah
istilah untuk menggambarkan perilaku, baik terbuka maupun tertutup, dan
baik yang bersifat menyerang atau bertahan, yang disertai penggunaan
kekuatan kepada orang lain (Santoso: 2002).
Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak (child abuse)
berasal dan mulai dikenal dunia kedokteran. Sekitar 1946, Caffey, seorang
radiologist, melaporkan kasus cedera yang berupa gejala klinik seperti patah
tulang panjang yang majemuk pada anak atau bayi tanpa diketahui
sebabnya. Kasus yang ditemukan Caffey ini makin menarik perhatian publik
ketika Henry Kempe menulis masalah ini di Journal of the American
Medical Association, dan melaporkan bahwa dari 71 rumah sakit yang ia
teliti, terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, di mana 33
anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, serta 85
anak mengalami kerusakan otak yang permanen. Kemudian oleh Henry
Kempe, kasus penelantaran dan penganiayaan terhadap anak ini disebut
Battered Child Syndrome. Di sini yang diartikan sebagai tindak kekerasan
terhadap anak tidak hanya luka berat saja, termasuk luka memar atau
pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang
baik secara fisik maupun intelektual.
Menurut para ahli, tindak kekerasan atau pelanggaran hak-hak anak
diklasifikasikan setidaknya dalam empat bentuk:
14
1. Kekerasan fisik
Bentuk kekerasan ini adalah yang paling mudah dikenali. Tindakan
yang dikategorikan kekerasan fisik yaitu menampar, menendang,
memukul/meninju, mencekik, mendorong, menggigit, membenturkan,
mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya. Biasanya tampak
langsung pada fisik korban.
2. Kekerasan psikis
Kekerasan jenis ini tidak mudah dikenali. Dampak kekerasan ini
akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman,
menurunnya harga diri dan martabat korban. Wujud konkret kekerasan
psikis seperti penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan,
mempermalukan orang lain di depan umum, melontarkan ancaman
dengan kata-kata, dan sebagainya. Akibat dari adanya perilaku tersebut
biasanya korban akan merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga,
dan lemah dalam membuat keputusan.
3. Kekerasan seksual
Termasuk tindak kekerasan seksual yaitu segala tindakan yang
muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan
hubungan seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta
meninggalkan seseorang setelah melakukan hubungan seksualitas
(termasuk mereka yang masih berusia anak-anak).
4. Kekerasan ekonomi
Kekerasan jenis ini sering terjadi dalam lingkungan keluarga. Pada
anak-anak, kekerasan ini sering terjadi ketika orang tua memaksa anak di
15
bawah umur untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga,
sehingga fenomena penjual koran, pengamen jalanan, pengemis anak,
dan lain-lain kian banyak terutama di perkotaan (Suyanto, 2013: 27-30).
Fenomena kekerasan anak banyak terjadi di Indonesia. Di wilayah
Surakarta sendiri, cukup banyak contoh kasus kekerasan anak yang terjadi.
Dikutip dari m.okezone.com, pada tahun 2015 lalu di Wonogiri terdapat
kasus penganiayaan oleh ibu terhadap anak kandungnya. Ibu berinisial SR
ini telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku penganiayaan anak oleh Polres
Wonogiri setelah melakukan pemukulan yang mengakibatkan luka lebam di
wajah anaknya dan nyaris membuatnya kehilangan penglihatan akibat
pukulan di mata. Selain itu terdapat bekas luka di bagian belakang tubuh
yang diduga luka cubitan. Tindak kekerasan ini sudah dilakukannya dalam
tiga bulan terakhir, alasannya adalah karena korban tidak mau menuruti
kata-katanya dan selalu membantah. Selain itu, korban merupakan
pelampiasan dari amarah pelaku terhadap suaminya yang dianggap tidak
bertanggung jawab.
Maraknya kasus kekerasan yang terjadi di Surakarta, banyak dari
pemerintah dan lembaga-lembaga perlindungan anak melakukan program
penanggulangan kekerasan anak. Dikutip dari majalahkartini.co.id pada
September 2015 lalu, Pemkot Surakarta akan mengkampanyekan program
“Keluarga Ramah Anak” yang direncanakan diluncurkan pada tahun 2016
ini. Program tersebut didasari pada keprihatinan atas meningkatnya kasus
kekerasan anak di keluarga. Program ini disosialisasikan melalui kelurahan
dan Posyandu, sehingga diharapkan masyarakat luas, khususnya keluarga,
16
dapat lebih memperhatikan hak-hak anak. Berbagai penyuluhan dilakukan
untuk mewujudkan kota di Solo Raya sebagai kota ramah anak dan kota
layak anak.
d. Seni Lukis
Menurut Ki Hajar Dewantara, seni yaitu segala perbuatan manusia
yang timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah sehingga dapat
menggerakkan jiwa perasaan manusia. Sedangkan pengertian seni menurut
Ahdiat K. Miharja yaitu bahwa seni adalah kegiatan rohani manusia yang
merefleksikan kenyataan dalam karya berkat bentuk maupun isinya
mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam
rohani si penerimanya. Berbeda dengan pendapat Sudarso S.P., menurutnya
seni adalah hasil karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-
pengalaman batinnya, pengalaman batin tersebut disajikan secara indah dan
menarik sehingga memberikan rangsangan timbulnya pengalaman batin
pula kepada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong
hasrat memenuhi kebutuhan manusia yang pokok, melainkan merupakan
usaha manusia untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat
kemanusiaan atau untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat spiritual
(Mulyadi, 1995: 5-6).
Menurut Edy Tri Sulistyo, pengertian umum tentang seni lukis adalah
seni lukis merupakan salah satu hasil karya seni rupa dwimatra, di samping
seni grafis ilustrasi, desain komunikasi visual, gambar dan sketsa. Seni
gambar dan sketsa permasalahanya hampir sama dengan seni lukis,
meskipun demikian kedua karya tersebut dapat dirinci pengertiannya dan
17
memiliki kekhususan yang berbeda. Lukisan, kadang kala disebut gambar,
karena di dalam lukisan kadang terdapat gambar. Sketsa, juga memiliki
permasalahan yang sama dengan lukisan, karena di dalam karya sketsa
unsur ekspresi sangat dominan. Perbedaan yang mencolok untuk keduanya
sebagai berikut, sketsa pada umumnya mengunakan media tinta di atas
kertas dan karenanya hanya terlihat hitam dan putih, sedangkan lukisan
umumnya menggunakan cat warna misalnya cat minyak di atas kain kanvas
atau cat air di atas kertas. Selain itu di dalam seni lukis tidak terlepas dari
komponen seni, antra lain: tema (subject matter), bentuk (form), dan isi
(content) (Sulistyo, 2005: 1).
1. Subject Matter
Subject matter dalam karya seni adalah suatu persoalan yang
diungkapkan dalam suatu karya, karena itu sering kali juga disebut pokok
soal atau tema. (Mulyadi, 1995: 15). Sedangkan menurut The Liang Gie
dalam buku Garis Besar Estetika mengemukakan bahwa tema adalah
suatu dalil atau ide pokok yang hendak dijadikan dasar dari suatu karya
seni (Gie, 1976: 68).
2. Bentuk
Bentuk ialah satu kesatuan hubungan antara unsur-unsur yang
dipilih seniman. Bentuk merupakan hubungan nilai-nilai feeling unsur
pendukungnya, atau kesatuan hubungan nilai-nilai feeling garis, warna,
tekstur, shape, dan value. Kesatuan itu secara teoritis bersifat konkrit
tetapi juga bersifat abstrak. Bersifat konkrit apabila kesatuan hubungan
18
itu ada pada bentuk fisikal karya, sedangkan bersifat abstrak apabila
kesatuan hubungan itu ada pada imajinasi (Suradjijo, 1996: 32-36).
3. Isi
Isi yaitu kualitas atau arti yang ada dalam suatu karya seni. Isi juga
disebut sebagai final statement, mood, atau pengalaman penghayat. Isi
merupakan arti yang esensial daripada bentuk, dan seringkali dinyatakan
sebagai sejenis emosi, aktivitas intelektual atau sosialisasi yang kita
lakukan terhadap suatu karya seni (Mulyadi, 1995: 16)
Di dalam seni rupa terdapat elemen seni rupa yang terdiri dari unsur-
unsur seperti garis, warna, tekstur, ruang, dan volume. Di dalam buku Kritik
Seni (Bahari, 98-103), setiap unsurnya dijelaskan sebagaimana berikut.
1. Garis
Garis mempunyai dimensi ukuran dan arah tertentu. Garis bisa
pendek, panjang, halus, lurus, melengkung, dan sifat lainnya. Garis dapat
melahirkan bentuk sekaligus tekstur, nada, nuansa, ruang, dan volume
tertentu, sehingga dapat melahirkan karakter khusus atau perwatakan dari
seseorang.
2. Bidang
Bidang (shape) adalah suatu bentuk yang sekelilingnya dibatasi
oleh garis. Secara umum dikenal dalam dua jenis bidang, yaitu bidang
geometris dan organis.
3. Warna
Warna adalah gelombang cahaya dengan frekuensi yang dapat
memengaruhi penglihatan kita. Secara garis besar fungsi warna dapat
19
dibagi menjadi tiga macam. Pertama, dalam ilmu semiotik, warna bisa
berfungsi sebagai tanda berdasarkan sifatnya. Kedua, sebagai lambang
atau simbol kesepakatan bersama. Ketiga, warna juga bisa dijadikan ikon
sesuatu.
4. Tekstur
Tekstur adalah kesan halus dan kasarnya suatu permukaan suatu
lukisan atau gambar. Tekstur juga merupakan rona visual yang
menegaskan karakter suatu benda yang dilukis atau digambar. Tekstur
terbagi menjadi tekstur nyata dan semu.
5. Ruang dan Volume
Dalam seni lukis, ruang dan volume dimanfaatkan secara ilusif
karena tehnik penggarisan yang perspektifis atau adanya tone (nada)
dalam pewarnaan yang bertingkat dan berbeda-beda.
6. Cahaya dan Bayang-bayang
Citra cahaya dalam karya dua dimensional yaitu ilusi terang yang
diakibatkan oleh pembubuhan warna terang pada bagian tertentu dari
subyek gambar atau lukisan yang membedakannya dengan warna gelap
pada bagian lain secara bergradasi.
B. Sumber Ide
Di dalam pengolahan konsep kekerasan terhadap anak, penulis terinspirasi
dari beberapa seniman, di antaranya Mark Ryden, Made Supena, dan Seth
Globepainter. Pemilihan ketiga seniman sebagai sumber inspirasi didasarkan pada
konsep berkarya masing-masing seniman yang sesuai dengan konsep kekerasan
terhadap anak. Ketiga seniman ini mempunyai karakteristik yang berbeda dalam
20
menampilkan karya dengan tema dunia anak. Penulis terinspirasi baik dari segi
konsep maupun bentuk visual karya.
1. Mark Ryden
Mark Ryden adalah seorang pelukis asal Amerika. Ia adalah salah satu
seniman yang berperan penting dalam gerakan Lowbrow Art (Pop Surealis).
Hasil dari proses kreatifnya terinspirasi dari apapun yang bersifat atau
memunculkan hal-hal misteri seperti mainan usang, model anatomi, hewan
yang berdempet-dempet, rangka tubuh, dan barang-barang lain yang biasanya
ditemukan di pasar barang bekas.
Ryden menjalani proses kreatif dengan berbagai fase berbeda. Debutnya
di Pasadena pada tahun 1998 menampilkan “daging” sebagai temanya dalam
berkarya. Ia mengamati tentang tidak adanya hubungan di dalam budaya
kontemporer antara daging yang kita gunakan untuk makan dan hidup, dengan
makhluk hidup dari mana daging itu berasal. Menurutnya, daging adalah materi
fisik yang membuat manusia hidup. Kita semua menggunakan tubuh kita,
layaknya pakaian yang terbuat dari daging. Pada tahun 2007, Ryden
mengeksplorasi tentang pengalaman manusia modern mengenai alam. Ia
menjelaskan, sebagian manusia menggunakan alam sebagai media spiritual,
seperti pohon. Tetapi manusia lain hanya menganggapnya sebagai pohon biasa
untuk ditebang dan menjualnya saja. Kemudian pada tahun 2009, karya-
karyanya lebih ke arah suasana tenang, sunyi, damai, dan mengarah ke
introspeksi diri.
Mark Ryden dijadikan sebagai salah satu sumber referensi dalam
berkarya. Aspek yang dapat diambil dari proses kreatif Ryden yaitu konsepnya
21
mengenai permasalahan sosial yang terjadi pada manusia, banyak figur anak-
anak dan simbol-simbol tentang dunia anak yang ditampilkan dalam karya-
karyanya. Selain itu, pemilihan warna yang digunakan dalam berkarya, serta
tehnik menggambarnya yang sangat halus merupakan sumber referensi dalam
berkarya (https://en.wikipedia.org/wiki/Mark_Ryden).
Gambar 3. Karya Mark Ryden “The Magic Circus”, ukuran 40” x 60”, oil on canvas,
tahun 2001
(Sumber: markryden.com)
22
Gambar 4. Karya Mark Ryden “Rosies Tea Party”, ukuran 28” x 30”, oil on canvas,
tahun 2005
(Sumber: markryden.com)
23
Gambar 5. Karya Mark Ryden “Cloven Bunny”, ukuran 4.25 “x3.5”, tahun 2003, oil
on panel
(Sumber: markryden.com)
Mark Ryden merupakan salah satu seniman yang menjadi sumber
inspirasi penulis. Dari beberapa fase berkarya Mark Ryden, kebanyakan
menampilkan dunia anak-anak. Penulis terinspirasi pada bagian karya Mark
Ryden, dimana ia memadukan dunia anak-anak yang cenderung ceria, dengan
hal-hal yang agak mengerikan seperti mainan usang, boneka yang rusak dan
berdarah, dan lainnya. Penulis juga memunculkan paduan tersebut dalam
beberapa karya yang dibuat.
2. Made Supena
I Made Supena adalah salah satu seniman asal Bali. Konsep karyanya
secara keseluruhan adalah menggali persoalan alam dan kehidupan untuk
24
direpresentasikan secara formalistik. Proses kreatifnya adalah menggali
persoalan alam dan permasalahan sosial untuk diwujudkan dalam karya seni
rupa. Selain melukis, ia juga mengembangkan gagasannya dalam bentuk
patung, instalasi, dan performance art.
Dari sekian banyak konsep yang diangkat, ia mengangkat tema tindak
kekerasan terhadap anak. Konsep tersebut disalurkannya dalam media patung
yang ia buat dari tahun 2005 sampai 2010. Karya patungnya ini adalah sebagai
bentuk keprihatinannya pada kasus tindak kekerasan pada anak. Sebagian besar
wajah patung itu terlihat sedih. Tema patung ini sebagai representasi
menggantung harapan untuk anak-anak dan generasi muda. Anak-anak
mempunyai mimpi dan masa depan, tapi di tengah jalan ada riak-riak seperti
kasus kekerasan, dan lain sebagainya.
Gambar 6. Karya instalasi patung Made Supena
(Sumber: indonesiaartnews.or.id)
25
Gambar 7. Karya Made Supena “Menggantung Harapan”, ukuran 185x200 cm
acrylic on canvas, 2008-2010
(Sumber: www.jakartaartawards.com)
Proses mematung terus ia lakukan dengan pengaruh dari kehidupan Bali
dan fenomena anak yang bunuh diri atau terbunuh dengan alasan yang
sederhana tapi berprinsip, khususnya pada anak-anak tingkat sekolah. Bentuk
visual yang ditampilkan seperti tidak punya seragam, sepatu, dan fasilitas
lainnya sehingga menyebabkan bunuh diri. Selain itu, sekarang ini banyak anak
menjadi korban kekerasan hingga meninggal karena perbuatan orang lain. Hal
ini menjadi catatan serius bagi Made Supena, sebagai seniman dan manusia
untuk prihatin terhadap masalah ini.
26
3. Seth Globepainter (Julian Malland)
Seniman jalanan Perancis Julien Malland atau lebih dikenal dengan nama
Seth Globepainter, menjadi dikenal dunia dengan karya muralnya tentang
manusia, lebih sering mengenai anak-anak, yang menampilkan warna-warni
pelangi. Ia aktif sebagai ahli graffiti pemandangan Paris sejak tahun 1990-an.
Berbagai koleksi karya muralnya akhir-akhir ini dibuat di Kanada, Puerto Rico,
dan Paris. Seth juga membuka pameran di Itinerrance Gallery, Paris (Sumber:
http://www.boredpanda.com/street-art-julien-malland-seth-globepainter/).
Gambar 8. Karya mural Seth Globepainter “Escape”, di Festival Seni Kontemporer
Icastica, Arezzo, Italia
(Sumber: @seth_globepainter)
27
Gambar 9. Karya Seth “Gemili”, spray on canvas, Roma (Sumber: @seth_globepainter)
Seth adalah seorang seniman besar yang cukup dikenal di dalam dunia
street art. Suatu keunikan bahwa ia kerap kali menggunakan media yang besar
sebagai kanvasnya, seperti tembok-tembok gedung dan media di jalanan yang
lain. Tehnik spray yang digunakannya pun sangat baik. Dari karya- karya yang
dibuat Seth, penulis cukup banyak terinspirasi darinya, mulai dari segi visual,
maupun beberapa makna karya. Latar belakang penulis memilihnya sebagai
salah satu sumber referensi yaitu karena figur yang ditampilkannya biasanya
adalah anak-anak, dan biasanya ia mengangkat permasalahan anak yang berada
di daerah kunjungannya di setiap belahan dunia. Permasalahan anak-anak yang
28
tertindas, anak-anak terlantar, dan imajinasi anak-anak pun sering ia tampilkan.
Selain itu objek-objek dan simbol-simbol kekerasan pun muncul dalam
beberapa karyanya.