sub kultur fix

44
LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN Acara III (Sub Kultur) Oleh: Yanuar Saputra (130210103001) Karimatul Aini (130210103012) Maulidiana Dwi Arini (130210103001) Wahyul Inayah (130210103049) Indah Suciati (130210103051) Khusnul Khotimah (130210103053) Sylvia Anggaeni (130210103054) Zhahro Arifa W. (130210103062) Diana Widyaningtyas (130210103067) Asrinindias (130210103092) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

Upload: sylvia-anggraeni

Post on 08-Jul-2016

260 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

teknik kultur jaringan sub kultur

TRANSCRIPT

Page 1: Sub Kultur FIX

LAPORAN

PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

Acara III

(Sub Kultur)

Oleh:

Yanuar Saputra (130210103001)

Karimatul Aini (130210103012)

Maulidiana Dwi Arini (130210103001)

Wahyul Inayah (130210103049)

Indah Suciati (130210103051)

Khusnul Khotimah (130210103053)

Sylvia Anggaeni (130210103054)

Zhahro Arifa W. (130210103062)

Diana Widyaningtyas (130210103067)

Asrinindias (130210103092)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2016

Page 2: Sub Kultur FIX

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara

memperbanyak jaringan makro tanaman yang akan di tumbuhkan secara in vitro

menjadi tanaman yang sempurna dalam jumlah yang banyak atau tidak terbatas.

Sedangkan sub kultur adalah pemindahan tanaman kultur tanaman dari media

yang lama ke media yang baru setelah selesai di kulturkan untuk memperoleh

pertumbuhan yang baru yang diinginkan dan dalam jumlah banyak. Sehingga

untuk melanjutkan pertumbuhan tanaman kultur jaringan maka perlu dilakukan

pemindahan dari keadaan in vitro ke in vivo untuk perkembangan dan

pertumbuhan tanaman selanjutnya.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam subkultur ini tidak jauh berbeda

dengan saat melakukan kultur jaringan yaitu sub kultur ini harus di lakukan secara

aseptik sehingga saat pemotongan bahan tanam dilakukan di dalam laminar air

flow untuk mencegah kontaminasi pada bahan tanam yang akan kita tanam.

Kegiatan sub kultur ini dilakukan sesuai dengan jenis tanaman yang di kulturkan

dan dalam tahapannya juga diperhatikan beberapa langkah untuk mendukung

keberhasilan adaptasi tanaman dari heterotrof ke autotrof. Dalam laporan ini akan

dijelaskan tahap sub kultur dari awal pemindahan, penanaman hingga hasil

pertumbuhannya dan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tersebut.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukan praktikum ini untuk mengetahui pertumbuhan kultur baru

setelah dilakukan sub kultur dengan media yang berbeda.

Page 3: Sub Kultur FIX

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum, produksi bibit melalui metode kultur jaringan memerlukan

beberapa tahap, yaitu (1) penyediaan bahan tanaman (eksplan) dari induk terpilih,

(2) sterilisasi eksplan yang akan ditanam pada media inisiasi, (3) penanaman pada

media untuk penggandaan atau multiplikasi tunas,(4) penanaman pada media

untuk perakaran atau pembentukan planlet, dan (5) aklimatisasi. Penyediaan bibit

dengan teknik kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman yang seragam,baik

dari bentuk maupun umur tanaman, juga dapat dihasilkan bibit yang bebas

pathogen (Lingga, 2007).

Pengembangan teknik kultur jaringan atau teknik in vitro bagi

perbanyakan tanaman setelah berhasil dilakukan melalui kultur tunas pucuk.

Penguasaan teknik tersebut, selain bermanfaat bagi penyediaan bibit unggul

diharapkan dapat dijadikan langkah awal bagi perbaikan mutu genetikiles-iles

baik melalui poliploidisasi, induksi mutasi maupun hibridisasi somatik.

Penggunaan tangkai daun (petiole) sebagai sumber eksplan sudah banyak

diterapkan pada kultur jaringan tanaman hias. Eksplan batang, akar dan daun

menghasilkan kalus yang heterogen dengan berbagai macam sel. Kadang-kadang

jaringan yang kelihatannya seragam histologinya, ternyata menghasilkan kalus

dengan sel yang mempunyai DNA yang berbeda yang mencerminkan level ploidi

yang berbeda. Begitupun pada kultur akar kalus yang dihasilkan dapat berupa

campuran sel dengan tingkat ploidi yang berbeda. Sel-sel yang heterogen dari

jaringan yang komplek menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. Dengan

mengubah komposisi media, terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai sifatk husus.

Hal ini berarti bahwa media tumbuh menentukan komposisi kalus. Sel yang

jumlahnya paling banyak merupakan sel-sel yang paling cepat membelah dan sel

yang paling sedikit adalah sel yang paling lambat pertumbuhannya (Yuliarti,

2010).

Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat

penting adalah sitokinin dan auksin. NAA (Naftaleine Asetat Acid) adalah zat

pengatur tumbuh yang tergolong auksin. Pengaruh auksin terhadap perkembangan

Page 4: Sub Kultur FIX

sel menunjukkan bahwa auksin dapat meningkatkan sintesa protein. Dengan

adanya kenaikan sintesa protein, maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga

dalam pertumbuhan. Adapun kinetin (6-furfury amino purine) tergolong zat

pengatur tumbuh dalam kelompok sitokinin. Kinetin adalah kelompok sitokinin

yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Dalam

pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan

pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan (Lingga, 2007).

Teknik kultur jaringandenganadanya zat pengatur tumbuh sangat nyata

pengaruhnya. Sangat sulit untuk menerapkan teknik kultur jaringan pada upaya

perbanyakan tanaman tanpa melibatkan zat pengatur tumbuhnya. Hendaryono

(1994) menyatakan bahwa pada hasil percobaan pada tanaman tembakau ternyata

kalus tidak tumbuh pada media dengan auksin saja, tetapi untuk pertumbuhan

kalus memerlukan penambahan sitokinin. Auksin dan sitokinin merupakan zat

pengatur tumbuh yang dibutuhkan dalam media budidaya jaringandan diberikan

dalam konsentrasi yangsesuai dengan pertumbuhan yang diinginkan (Hendrayono

dan Wijayani, 1994).

Massa kultur yang ditumbuhkan terlalu lama dalam media yang tetap,

akan menyebabkan terjadinya kehabisan hara dan air. Kehabisan hara dan air

dapat terjadi karena selain terhisap untuk pertumbuhan juga karena media

menguapkan air dari masa kemasa. Kalus tersebut kecuali kehabisan unsur hara,

kalus juga mengeluarkan persenyawaan-persenyawaan hasil metabolisme yang

menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri. Untuk menjaga kehidupan dan

perbanyakan yang berkesinambungan, kalus yang dihasilkan perlu

disubkulturkan. Massa sel yang dipindahkan pada subkultur harus cukup banyak

antara 5-10 mm atau seberat 20-100 mg, supaya ada pertumbuhan yang cepat

dalam media baru. Subkultur sebaiknya dilakukan 28 hari sekali (4-6 minggu

sekali). Namun waktu yang tepat untuk memindahkan kultur, tergantung dari

kecepatan pertumbuhan kalus. Massa kalus ada 2 macam yaitu massa yang remah

(friable) dan kompak. Bila massa kalus remah maka pemindahan kalus cukup

dilakukan dengan menyendok kalus dengan spatula atau skapel langsung

disubkultur ke media baru. Namun bila kalus kompak mesti dipindah ke petridish

Page 5: Sub Kultur FIX

steril untuk dipotong-potong dengan skapel baru disubkultur ke media baru. Kalus

yang sudah mengalami nekrosis (pencoklatan) sebaiknya tidak ikut disubkultur

karena tidak akan tumbuh dengan baik (Lingga, 2007).

The shoot cultures were further multiplied by two approaches (i) repeated

transfer of mother explants and (ii) subculture of in vitro produced shoots. The

original explants were repeatedly transferred (after harvesting shoots) to fresh MS

medium supplemented with 3.0 mgl-1 BAP and 0.5 mgl-1 IAA to yield more

shoots up to five passages. After 2-3 weeks regenerated shoots isolated from

explants were cut into segments with 1-2 nodes (1.0-2.0 cm in length) and

subculture on MS agar gelled as well as liquid medium containing different

concentrations of BAP (0.1-3.0 mgl-1). These experimental sets were maintained

for three subcultures, with each passage of 3-4 week intervals. Rooting of in vitro

produced shoots Rooting of shoots was attempted on agar-gelled medium. The

healthy shoots were excised, separated and transferred individually to full, half,

one-third and one-fourth strength of MS medium + 0.1% activated charcoal with

3% sucrose and various concentrations (0.5-5.0 mgl-1) of IBA or IAA. (Kannan,

2012).

In plant tissue culture, the selection of suitable types and sources of

explants are critical factors for obtaining a successful culture [1, 2].

Conventionally, wounding the surface of explants can initiate callus tissues or

direct regeneration through organogenesis or embryogenesis in in vitro culture [1,

3]. However, the browning or blackening of cultures is an obstacle in the

establishment of explants, chiefly because of the phenol-like or oxidized

compounds that are secreted from wounded tissues [4, 5]. Tissue darkening is a

major problem in orchid tissue culture, despite treatments such as the addition of

adsorbents and antioxidants, selection of explant types, and shortening of

subculture periods [1, 6, 7], which inhibit callus formation or regeneration from

explants in several types of orchids [6–13]. In the previous works on Phalaenopsis

orchids, light induced explants to secrete toxic substances and gave an almost

complete inhibition on direct embryo induction. (Feng, 2014)

Page 6: Sub Kultur FIX

The callus formation affect of TDZ addition [24]. Other factors, including

number of subcultures and environmental conditions, were also considered in

regeneration of Dieffenbachia in vitro. Subcultures found to be essential to

increase the number of shoots. Voyiatzi and Voyiatzis [49] demonstrate that

successive recultures of the basal clump of tissue remaining after the first culture,

resulted in an increase in the number of new shoots. Mogollon [27] noticed

significant differences in the in the number of shoots, length of shoots and roots

between two subcultures. The highest values were obtained at second subculture.

The effects of temperature [49] and light quality [50] on aseptically growth of

Dieffenbachia were regarded to lesser extent. (Elsheikh, 2013)

Page 7: Sub Kultur FIX

BAB III. METODE PELAKSANAAN

3.1 Waktu dan tempat

Waktu : 07.00 – 09.30

Tempat : Laboraturium Bioteknologi, Fakultas Pertanian UNEJ

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Media tanam

Aquadest

Kentang

Tembakau

Air

Alkohol 70%

Botol aqua

Akar pakis

3.2.2 Alat

Beaker glass

Scalpel

Laminar air flow

Bunsen

Petridish

Pinset

3.3 Prosedur Kerja

Menyiapkan kultur tembakau yang sudah siap disub kultur dan media kosong

Page 8: Sub Kultur FIX

3.4 Parameter Pengamatan

Menentukan faktor yang menyebabkan keberhasilan sub kultur dengan ada

tidaknya kematian dan penyebabnya.

Mengamati hasil subkultur dengan parameter jumlah tunas, panjang tunas

dan jumlah akar.

Mengeluarkan tanaman tembakau dari botol kultur dan meletakkan di petridist steril

Memisahkan satu persatu tanaman yang tumbuh menggerombol menggunakan pinset dan pisau steril

Membuang daun tembakau dan memotong tembakau secara horizontal pada bagian nodus

Menanam satu persatu tembakau kedalam media kosong

Page 9: Sub Kultur FIX

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

U

L

A

N

G

A

N

KENTANG TEMBAKAU

Hari ke 4 Hari ke 5 Hari ke 4 Hari ke 5

P.

tunas

akar

tunas

P.

tunas

akar

tunas

P.

tunas

akar

tunas

P.

tunas

akar

tunas

A1 0 2 0 1.4 2 2 0 0 0 0 0 0

A2 1.75 0 3 0 0 0 0.25 0 0.5 0.75 0 0.5

B1 0.3 1 1 0.4 1 2 0 0 0 0 0 0

B2 1.5 0 2 0 0 0 0.75 2 1 3.2 2 2.5

C1 0 4 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0

C2 1.25 0 2 0 0 0 0.25 0 0.5 0.5 0 1

D1 0.2 0 1 0.3 2 1 0 0 0 0 0 0

D2 1.75 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Keterangan :

A = 2.4D 0,5 ppm

B = BAP 0,5 ppm

C = IAA 0,5 ppm

D = BAP 1 ppm + IBA 0,5 ppm

∑ = Jumlah

P . = Panjang dalam satuan cm

4.2 Pembahasan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan ada beberapa perlakuaan pada

media yang digunakan. Praktikum Subkultur tembakau dan kentang ini

Page 10: Sub Kultur FIX

menggunakan medium tanam dengan berbagai variasi komposisi media yaitu

ulangan 1 (A1 dan A2) menggunakan media MS perlakuan 2,4 D 0,5 ppm , untuk

ulangan 2 (B1 dan B2) menggunakan media MS perlakuan BAP 0,5 ppm,

Ulangan ketiga (C1 dan C2) dengan perlakuan IAA 0,5 ppm, untuk ulangan

keempat menggunakan media MS perlakuan dan BAP 1,0 ppm + IBA 0,5 ppm.

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada botol A1

menggunakan media MS perlakuan 2,4 D 0,5 ppm, dengan tumbuhan kentang

pada botol satu tidak terdapat tunas dan jumlah akar sebanyak 2 pada hari

keempat, pada hari kelima panjang tunas 1,4 cm, jumlah tunas adalah 2 dan

jumlah akar adalah 2. Pada botol A2 tumbuhan kentang pada botol satu memiliki

panjang tunas 1,75 cm dan jumlah akar nol pada hari keempat. Pada hari kelima

panjang tunas 0, jumlah tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk

kelompok menggunakan tembakau pada botol A1, tidak terdapat tunas dan

jumlah akar sebanyak 0 pada hari keempat. Pada hari kelima panjang 0, jumlah

tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk tembakau pada botol A2, jumlah

tunas adalah 0,25, jumlah akar nol, panjang tunas 0,5 cm pada hari keempat. Pada

hari kelima panjang tunas 0,25 cm, jumlah tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah

0,5. Menurut (Rai et.,al, 2014). 2- 4, D (asam 2,4-Dichlorophenxyacetic)

digunakan untuk induksi kalus dan peningkatan perakaran. Dari empat auksin

sintetik ini, 2,4-D telah banyak digunakan sebagai pengatur pertumbuhan dalam

kultur sel tanaman dan ada laporan bahwa konsentrasi tinggi 2,4-D penyebab

epigenetik dan variasi genetik dalam beberapa tanaman 14 di bawah in-vitro

kondisi. Terlihat pada data kelompok satu sesuai dengan teori karena yang

mengalami respon adalah akarnya bukan tunas, Karen 2,4-D ini merupakan auksin

sintetik.

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada botol B1

menggunakan media MS perlakuan BAP 0,5 ppm. dengan tumbuhan kentang

pada botol B1 panjang tunas adalah 0,3 cm, jumlah tunas adalah 2 cm dan jumlah

akar sebanyak 1 pada hari keempat, pada hari kelima panjang tunas 0,4 cm,

jumlah tunas adalah 2 dan jumlah akar adalah 1. Pada botol B2 tumbuhan

kentang pada botol satu memiliki panjang tunas 1,5 cm, jumlah tunas adalah 2 dan

Page 11: Sub Kultur FIX

jumlah akar nol pada hari keempat pada hari kelima panjang tunas 0, jumlah

tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk kelompok menggunakan

tembakau pada botol B1, botol satu tidak terdapat tunas dan jumlah akar

sebanyak 0 pada hari keempat,, pada hari kelima panjang 0, jumlah tunas adalah 0

dan jumlah akar adalah 0. Untuk tembakau pada botol B2, botol satu panjang

tunas adalah 0,75 cm, jumlah akar 2, jumlah tunas 1 cm pada hari keempat,, pada

hari kelima panjang tunas 3,5 cm, jumlah tunas adalah 2,5 dan jumlah akar adalah

2. Menurut (Ferdaus, et.,al, 2015) BAP dengan konsentrasi 0.5 mg/l dan

konsentrasi IBA of 0.3 mg/l merupakan konsentrasi yang paling baik untuk

proliferasi tunas (perbanyakan sel tunas) dan pemanjangan akar. Jadi tumbuhan

pada media ini yang berkembang adalah tunasnya.

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada botol C1

menggunakan media MS perlakuan perlakuan IAA 0,5 ppm, dengan tumbuhan

kentang pada botol C1 panjang tunas adalah 0 cm, jumlah tunas adalah 0 dan

jumlah akar sebanyak 4 pada hari keempat, pada hari kelima panjang tunas 0 cm,

jumlah tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 5. Pada botol C2 tumbuhan

kentang pada botol satu memiliki panjang tunas 1,25 cm, jumlah tunas adalah 2

dan jumlah akar nol pada hari keempat pada hari kelima panjang tunas 0, jumlah

tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk kelompok menggunakan

tembakau pada botol C1, botol satu tidak terdapat tunas dan jumlah akar

sebanyak 0 pada hari keempat,, pada hari kelima panjang 0, jumlah tunas adalah 0

dan jumlah akar adalah 0. Untuk tembakau pada botol C2, botol satu panjang

tunas adalah 0,25 cm, jumlah akar 0, jumlah tunas 0.5 cm pada hari keempat, pada

hari kelima panjang tunas 0,5 cm, jumlah tunas adalah 1 dan jumlah akar adalah 0.

Terlihat pada hasil pengamtan kelompok 1 menggunkan media dengan perlakuan

IAA 0,5 ppm pada tumbuhan kentang jumlah akarnya banyak kerena menurut

(Ngomuo,2013) auksin yang menginisiasi pembentukan akar pada keadaan in

vitro, jadi pada medium ketiga ini ditambah zat pengatur tumbuh yang berperan

untuk pembentukan akar. Terlihat bahwa medium ke tingga dengan IAA 0,5 ppm

jumlah akar lebih banyak dibadingkan medium C2. Jadi yang diindukasi pada

botol dengan perlakuan IAA 0,5 ppm adalah akarnya, terlihat juga juga pada

Page 12: Sub Kultur FIX

kentang tidak terbentuk tunas. Pada kelompok 3 dan 4 menggunkan kentang dan

tembakau akar tidak tumbuh malah tunas tumbuh hal ini terjadi karena tumbuhan

mati lalu sisa potongan diatas dikira tunas padahal bukan.

Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada botol D

menggunakan media MS perlakuan perlakuan BAP 1,0 ppm + IBA 0,5 ppm.

Dengan tumbuhan kentang pada botol D1 panjang tunas adalah 0,2 cm, jumlah

tunas adalah 2 dan jumlah akar sebanyak 0 pada hari keempat, pada hari kelima

panjang tunas 0,3 cm, jumlah tunas adalah 1 dan jumlah akar adalah 1. Pada botol

D2 tumbuhan kentang pada botol satu memiliki panjang tunas 1,75 cm, jumlah

tunas adalah 2 dan jumlah akar nol pada hari keempat pada hari kelima panjang

tunas 0, jumlah tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk kelompok

menggunakan tembakau pada botol D1, botol satu tidak terdapat tunas dan

jumlah akar sebanyak 0 pada hari keempat,, pada hari kelima panjang 0, jumlah

tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk tembakau pada botol D2, botol

satu panjang tunas adalah 0 cm, jumlah akar 0, jumlah tunas 0.5 cm pada hari

keempat, pada hari kelima panjang tunas 0 cm, jumlah tunas adalah 0 dan jumlah

akar adalah 0. Menurut (Ferdaus, et.,al, 2015) BAP dengan konsentrasi 0.5 mg/l

dan konsentrasi IBA of 0.3 mg/l merupakan konsentrasi yang paling baik untuk

proliferasi tunas (perbanyakan sel tunas) dan pemanjangan akar. BAP disini

berperan perkembangan tunas sedangkan IBA untuk pemanjangan akar, sehingga

media yang ditambahi BAP dan IBA maka pertumbuhannya akan seimbang

karena tunas maupun akarnya ada yang membantu untuk berkembang atau

tumbuh yakni BAP dan IBA. Terlihat pada data pertumbuhan antara akar dan

tunas tidak berbeda jauh atau seimbang.

Subkultur merupakan salah satu tahap metode dalam kultur jaringan, yaitu

suatu teknik yang dilakukan di antara tahapan kultur. Subkultur atau overplanting

adalah pemindahan planlet yang masih sangat kecil (planlet muda) dari medium

lama ke dalam medium baru yang dilakukan secara aseptis yang dilakukan di

dalam Laminar Air Flow (LAF). Pada dasarnya subkultur merupakan teknik

memisahkan, memotong, membelah dan menanam kembali eksplan yang telah

Page 13: Sub Kultur FIX

tumbuh sehingga jumlah tanaman akan bertambah banyak dengan tujuan tertentu

di dalam suatu kegiatan kultur jaringan (Hendaryono, 1994).

Dilakukannya suatu teknik subkultur (overplanting) ketika terjadi suatu

keadaan-keadaan atau kondisi tertentu yang mengharuskan suatu kultur jaringan

untuk dilakukan suatu subkultur, antara lain yaitu, pertama unsur hara dalam

media sudah banyak berkurang, hal ini terjadi disebabkan semakin besar eksplan

dan semakin banyaknya jumlah eksplan di dalam kultur menyebabkan jumlah

nutrisi di dalam media akan banyak berkurang, sebaiknya tumbuhan didalam

kultur jaringan cepat di subkulturkan kedalam media baru, agar pertumbuhan dan

perkembangannya tidak terganggu (Suliansyah, 2013).

Kondisi Kedua, yaitu pertumbuhan tanaman sudah memenuhi botol atau

tabung sehingga berdesakan dan memungkinkan terjadi perebutan nutrisi pada

tanaman di dalam kultur jaringan, jika tidak dilakukan subkultur makan akan

terjadi kompetisi perebutan nutrisi di dalam suatu media kultur jaringan, dan dapat

menyebabkan tanaman pertumbuhan dan perkembangannya menjadi lambat

karena nutrisi yang didapatkan dari media kultur jaringan yang terbatas. Kondisi

ketiga, yaitu sudah saatnya dipindah untuk diperbanyak atau diakarkan. Kondisi

ini bertujuan untuk memperbanyak populasi dari tanaman yang akan dikulturkan

sehingga dari satu tanaman dapat dihasilkan banyak tanaman dengan sifat yang

sama (Suliansyah, 2013).

Kondisi Keempat, terjadi pencoklatan pada media sehingga bila dibiarkan

akan mematikan jaringan. Kecoklatan pada media disebabkan karena adanya

senyawa fenol pada tanaman yang dikultur, yang dapat mengganggu pertumbuhan

dan perkembangan tanaman yang akan dikulturkan. Kondisi kelima, eksplan

memerlukan komposisi media baru untuk membentuk organ atau struktur baru.

Dan kondisi keenam yang terakhir adalah terjadinya perubahan pada media

menjadi cair karena penurunan pH oleh tanaman (Suliansyah, 2013).

Menurut Wattimena, et al dalam Kasli (2011) menyatakan bahwa ada

beberapa faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis

tanaman dalam sub kultur yang dapat digolongkan menjadi 4, yaitu: (1) genotipe

Page 14: Sub Kultur FIX

sumber bahan tanaman yang digunakan, (2) media yang mencakup komponen

penyusunnya, (3) lingkungan tumbuh yaitu keadaan fisik tempat kultur

ditumbuhkan, dan (4) fisiologi jaringan tanaman.

Dimana dari faktor-faktor yang yang disebutkan di atas berarti faktor

genotip sumber bahan tanam yang digunakan sangat penting untuk tumbuh dan

berkembangnya tanaman setelah di subkultur dimana jika sumber tanaman yang

didapatkan dari tanaman yang kurang sehat dan kurang baik, maka kemungkinan

besar tumbuhan yang di subkultur akan mati. Kemudian media yang digunakan

sesuai atau tidak untuk pertumbuhan tanaman yang di subkultur, karena jika

media yang digunakan tidak sesuai maka kemungkinan tanaman yang akan di

subkultur tidak akan bisa berkembang dan akhirnya akan mati. Selain itu factor

lingkungan juga sangat penting untuk pertumbuhan tanaman yang di subkultur.

Jika factor lingkungan yang digunakan untuk subkultur itu kurang bersih maka

akan banyak kemingkinan terjadi kontaminan, dan kontamian tersebut bisa berupa

jamur atau bakteri yang tumbuh di media subkultur ataupun timbuh di tanaman

yang di subkkultur. Sehingga tanaman yang di subkultur tidak dapat berkembang

bahkan mati. Fisiologi jaringan tanaman juga sangat penting dalam tumbuh atau

tidaknya tanaman, Karena jika jaringan dalam tanaman sudah rusak, maka

tanaman tidak akan dapat tumbuh atau mati.

Menurut Jumroh (2014), bahwa organ propagul yang digunakan dalam

subkultur dipisahkan dari tunas-tunas yang 100% tumbuh dengan baik, agar nanti

setelah di subkultur dapat tumbuh dengan baik. Selain itu, isolasi bahan tanaman

yang dilakukan sewaktu sub kultur eksplan yang digunakan dapat dipertahankan

dalam kondisi yang steril dan tidak rusak akibat kerusakan mekanis selama

pengkulturan dan ruang kultur yang digunakan dapat dipertahankan secara

konsisten suhu, cahaya, dan kelembaban. Suatu eksplan/propagul dapat tumbuh

apabila eksplan yang digunakan adalah organ jaringan yang sehat dan sesuai

dengan lingkungan tumbuhnya. Ada 4 faktor lingkungan yang harus tetap

terkontrol untuk keberhasilan tujuan kultur jaringan, yaitu keasaman, kelembaban,

cahaya, dan temperature. Apabila semua factor dan langkah-langkah tersebut

Page 15: Sub Kultur FIX

sudah dilakukan dengan baik maka tanaman yang disubkultur akan tumbuh

dengan baik. Tetapi jika cara melakukan subkultur itu tidak benar dan lingkungan

yang digunakan untuk subkultur tidak sesuai maka kemungkinan tanaman yang

disubkultur akan layu dan mati.

Adanya sifat totipotensi pada sel tumbuhan, menyebabkan eksplan

tumbuhan yang dikulturkan pada media agar yang mengandung nutrisi untuk

pertumbuhan tanaman serta telah diberikan zat pengatur tumbuh (ZPT), akan

mengalami pembelahan dan pemanjangn sel – sel sehingga berkembang menjadi

akar, yang dipengaruhi oleh hormon auksin yang merangsang pembentukan akar

lateral. Umumnya eksplan akan membentuk akar pada minggu awal pertumbuhan,

kemudian dilanjutkan dengan pertumbuhan tunas-tunas. Tunas dapat terbentuk

karena konsentrasi hormon sitokinin lebih besar daripada konsentrasi hormon

auksin. Tetapi jika konsentrasi hormon auksin lebih besar daripada konsentrasi

hormon sitokinin, maka yang terbentuk adalah kalus yaitu sekumpulan sel

amorphous (tidak berbentuk atau belum terdiferensiasi) yang terbentuk dari sel-sel

yang membelah terus menerus secara in vitro atau di dalam tabung.

Inisiasi perakaran dapat dirangsang dengan auksin (IAA, NAA dan IBA).

IBA merupakan jenis auksin yang paling sering digunakan dalam menginduksi

akar dibandingkan jenis auksin lainnya, karena memiliki kemampuan yang tinggi

dalam mengendalikan inisiasi akar. Disamping itu, IBA juga lebih stabil dan

tingkat toksisitas yang rendah dibandingkan NAA dan IAA. Widiastoety dan

Soebijanto (1988) menggunakan IBA untuk menginduksi akar pada stek bunga

sepatu dengan persentase keberhasilan lebih dari 96%. Pemberian IBA pada

tanaman pule pandak, memberikan pengaruh yang nyata pada jumlah akar,

panjang akar maupun waktu inisiasi akar. Konsentrasi IBA 3 ppm adalah paling

efektif pada tanaman pule pandak dengan rata-rata persentase keberhasilan

pertumbuhan akar 70%.

Setelah tahap perakaran, maka fase selanjutnya yang harus dilakukan

adalah aklimatisasi tanaman di rumah kaca. Keberhasilan aklimatisasi selain

dipengaruhi faktor perakaran tanaman, juga kemampuan mengendalikan kondisi

Page 16: Sub Kultur FIX

lingkungan, dan media tumbuh di rumah kaca. Menurut Imelda et al. (2007),

keberhasilan aklimatisasi planlet sungkai dipengaruhi oleh cara penanganan saat

pengeluaran plantlet dari botol kultur, media tumbuh saat di rumah kaca (harus

steril) dan lingkungan mikro plantlet (disungkup selama 2 minggu sampai muncul

daun baru) (Kristina.2012).

Hal ini sesuai dengan teori, menurut Aladele, et. all (2012), Di antara

semua hormon pertumbuhan yang digunakan, IBA ( 0.05 mg / l ) + BAP ( 0.01

mg / l ) kombinasi memberikan hasil terbaik untuk kedua perakaran dan panah

sementara terbanyak node ditemukan di BAP ( 0.05 mg / l ) + NAA ( 0.01 mg / l).

Penerapan kinetin baik dalam kombinasi dengan naa dan sendirian mengakibatkan

prematur penuaan dengan nomor node lebih rendah. Hal ini merupakan sebuah

ketentuan untuk 27 hasil yang menunjukkan bahwa kinetin bukan penyimpan

hormon untuk regenerasi sel, terutama jika itu akan tetap ditumbuhkan secara in

vitro untuk waktu yang lama. Namun BAP ( 0.05 mg / l ) + IAA( 0.01 mg / l )

adalah kombinasi yang memunculkan paling sedikit node dan kallus yang

dihaslkan tanpa regenerasi menjadi plantlet. Hasil menunjukkan bahwa

pertumbuhan T. occidentalis secara in vitro dipengaruhi oleh hormon yang

spesifik. Karena faktor perbedaan jenis tanaman yaitu kentang dan tembakau,

maka munculnya akar dan tunas dari masing-masing eksplan berbeda.

Pemanjangan organ merupakan proses akhir dalam diferensiasi. Setiap

bagian akan terorganisir menjadi calon plumula batang dan calon akar (Goerge

Shanington, 1984). Masalah perkembangan embrio somatik tidak hanya pada

ketersediaan jenis hormone sitokinin, tetapi dan konsentrasi juga pencoklatan

yang terjadi pada bahan tanam. Pada kadar tertentu, senyawa phenol penyebab

pencoklatan tersebut dapat menghambat metabolism sel daerah dalam dan

masalah jaringan (Carimi dan Pasquale, 2000 dalam Rossa 2011). Salah satu

upaya untuk menekan masalah pencoklatan adalah dengan menambahkan asam

askorbat pada media subkultur sebagai antioksidan. Diferensiasi diawali dengan

inisiasi embrio, yang ditandai oleh pertambahan ukuran embrio, pemanjangan

Page 17: Sub Kultur FIX

bentuk serta perubahan warna sel bagian luar (Rangaswami, 1982 dalam Rossa,

2011).

Media yang banyak digunakan untuk subkultur sampai saat ini adalah

media MS. Untuk mengarahkan biakan pada organogenesis yang diinginkan, ke

dalam media ditambahkan zat pengatur tumbuh, zat pengartur tumbuh yang

digunakan dalam praktikum kali ini adalah 2,4 D 0,5 ppm, BAP 0,5 ppm, IAA 0,5

ppm, dan kombinasi antara BAP 1,0 ppm dan IBA 0,5 ppm, dan jika dilihat dari

hasil pengamatan untuk pengaruh hormone yang pertama yaitu pada medium A1

2,4 D 0,5 ppm, lebih menginisiasi pertumbuhan akar, dibandingkan pertumbuhan

tunas. Hal ini sesuai dengan teori, yang menyebutkan, peran auksin adalah

merangsang pembelahan dan perbesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman

dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Penambahan auksin dalam

jumlah yang lebih besar, atau penambahan auksin yang lebih stabil, seperti asam

2,4-D cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan

menghambat regenerasi pucuk tanaman (Yusnita, 2003). Hal ini dikarenakan asam

2,4-D yang merupakan salah satu zat pengatur tumbuh golongan auksin sintetik

dan kinetin merupakan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin sintetik yang

menyebabkan peningkatan pembelahan sel. Namun, pada medium A2 hormon ini,

menunjukkan induksi yang berbeda, yakni lebih menginduksi pertumbuhan tunas

dibandingkan pertumbuhan akar. Hal ini dikarenakan factor dari hormone itu

sendiri yang juga mengandung sitokinin, tipe kinetin, yang dapat meningkatkan

pertumbuhan dan pembelahan sel yang lebih menginduksi pertumbuhan tunas,

factor lain yang mempengaruhi adalah factor cahaya, dimana menurut (Katuk,

1989). Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan. secara umum

intensitas cahaya yang optimum untuk tanaman pada tahap inisiasi kultur adalah 0

- 1000 Lux, jadi dapat dimungkinkan intensitas cahaya yang didapatkan kultur

pada medium A1 dan A2 berbeda, sehingga kerja dari hormone 2,4 D yang

didapatkan pun berbeda.

Dan hormone yang kedua adalah BAP 0,5 ppm, pada medium B1 dan B2

dari hasil pengamatan menunjukkan pada kedua medium tersebut, BAP lebih

Page 18: Sub Kultur FIX

menginduksi pertumbuhan tunas dibandingkan pertumbuhan akar, hal ini sesuai

dengan teori yang menyebutkan bahwa perlakuan tanpa BAP (0,5 ppm) ternyata

memberikan jumlah akar banyak dan kecenderungan jumlah akar menurun dengan

meningkatnya konsentrasi BAP. Keadaan ini membuktikan bahwa BAP mampu

menekan pertumbuhan akar. Kemampuan menghambat pertumbuhan akar ini

sangat penting dalam penggandaan tunas atau (multiplikasi) (Maryani, 2005).

Jadi, dengan kandungan BAP 0,5 ppm, dapat menginduksi petumbuhan tunas dan

juga akar, namun cenderung menginduksi pertumbuhan tunas dari eksplan.

Sedangkan untuk medium C yang terisi oleh IAA 0,5 ppm didapatkan

hasil bahwa pada C ulangan 1 memiliki panjang tunas yang semakin bertambah

setiap pengamatan. Hal ini diarenakan medium C merupakan medium yang

mengandung hormon auksin sehingga memiliki tingkat pertambahan panjang akar

yang relatif tinggi. Adanya pertambahan panjang tunas ini sesuai teori karena

IAA merupakan hormon yang mengatur induksi pertumbuhan akar (Darwesh,

Bazaid, dan Samra, 2014). Namun, untuk medium C ulangan 2 terdapat perbedaan

hasil dimana tidak nampak pertumbuhan akar, tetapi lebih berpengaruh pada

pemanjangan tunas. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa selain berfungsi

sebagai pemanjangan akar, hormon auksin juga dapat menginduksi proses

pemanjangan tunas (Patel dan Krishnamurthy, 2013). Tunas yang dihasilkan

bukan berasal dari titik tumbuh aksilar atau terminal tetapi berasal dari jaringan

tanaman seperti daun, petiole, tangkai bunga atau yang lainnya, tetapi melalui

tahap pembentukan kalus disebut dengan tunas adventif. Kemampuan kalus

beregenerasi membentuk tunas selain dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh dan

media tumbuh, dipengaruhi pula oleh ukuran  atau umur kalus. Kalus  yang baru

terbentuk dengan ukuran berkisar antara 2-5 mm dan umur kurang dari 4 minggu,

mempunyai peluang  lebih besar untuk diregenerasikan menjadi tunas

dibandingkan yang sudah disubkultur beberapa kali.  Kalus yang masih muda,

daya mersitematis, kandungan zat pengatur tumbuh dan asam amino seperti prolin

atau senyawa lain seperti spermin atau spermidin masih tinggi (Khadimi et al.,.

2014).

Page 19: Sub Kultur FIX

Untuk medium yang terakhir (D) yang merupakan perpaduan antara BAP

1,0 ppm dan IBA 0,5 ppm pada ulangan pertama didapatkan hasil bahwa ada

pertumbuhan akar maupun tunas, hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan

bahwa penggunaan sitokinin dan auksin dalam satu media dapat  memacu

proliferasi  tunas maupun pemanjangan akar tanaman karena ada pengaruh

sinergisme antara zat pengatur tumbuh tersebut (Darwesh, Bazaid, dan Samra,

2014). Namun hal ini tidak berlaku bagi medium D ulangan ke 2, dari hasil yang

diperoleh hanya pada hari ke 4 eksplan menunjukkan pertumbuhan tunas dan

akar, dan pada hari selanjutnya tidak menunjukkan adanya pertumbuhan akar

maupun tunas. Hal ini bisa terjadi karena dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya

ialah cahaya maupun lama penyinaran, dimana faktor-faktor luar tersebut juga

bisa mempegaruhi pertumbuhan eksplan (Yusnita, 2003). Pada perbanyakan

tanaman secara invitro, kultur umumnya diinkubasikan pada ruang penyimpanan

dengan penyinaran. Tunas-tunas umumnya dirangsang pertumbuhannya dengan

penyinaran, kecuali pada teknik perbanyakan yang diawali dengan pertumbuhan

kalus. Sumber cahaya pada ruang kultur ini umumnya adalah lampu flourescent

(TL). Hal ini disebabkan karena lampu TL menghasilkan cahaya warna putih,

selain itu sinar lampu TL tidak meningkatkan suhu ruang kultur secara drastis

(hanya meningkat sedikit). Intensitas cahaya yang digunakan pada ruang kultur

umumnya jauh lebih rendah (1/10) dari intensitas cahaya yang dibutuhkan

tanaman dalam keadaan normal. Intensitas cahaya dalam ruang kultur untuk

pertumbuhan tunas umumnya berkisar antara 600-1000 lux. Perkecambahan dan

inisiasi akar umumnya dilakukan pada intensitas cahaya lebih rendah (Khadimi et

al.,. 2014).

Ogero et al. (2012) juga menyatakan bahwa selain intensitas cahaya, lama

penyinaran atau photoperiodisitas juga mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang

dikulturkan. Lama penyinaran umumnya diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman

sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode terang dan gelap umumnya diatur pada

kisaran 8-16 jam terang dan 16-8 jam gelap tergantung varietas tanaman dan

eksplan yang dikulturkan. Periode siang/malam (terang/gelap) ini diatur secara

otomatis menggunakan timer yang ditempatkan pada saklar lampu pada ruang

Page 20: Sub Kultur FIX

kultur. Dengan teknik ini penyinaran dapat diatur konstan sesuai kebutuhan

tanaman.

Page 21: Sub Kultur FIX

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari pengamatan yang kami lakukan setelah melakukan subkultur dengan

media yang berbeda dan tanaman yang bebeda, bahwa untuk media pertama yang

menggunakan 2,4-D, terlihat pada data kelompok satu sesuai dengan teori karena

yang mengalami respon adalah akarnya bukan tunas, Karena 2,4-D ini merupakan

auksin sintetik. Tetapi ada juga tanaman yang tidak tumbuh karena adanya

kontaminan dan kesalahan saat melakukan subkultur. Untuk media yang kedua

menggunakan BAP dengan konsentrasi 0.5 mg/l dan konsentrasi IBA of 0.3 mg/l

merupakan konsentrasi yang paling baik untuk proliferasi tunas (perbanyakan sel

tunas) dan pemanjangan akar. Jadi tumbuhan pada media ini yang berkembang

adalah tunasnya. Dimana hasil yang didapatkan ada beberapa tanaman yang

belum tumbuh tunasnya. Selanjutnya media yang ketiga yaitu IAA 0,5ppm,

dimana yang diindukasi pada botol dengan perlakuan IAA 0,5 ppm adalah

akarnya, terlihat juga juga pada kentang tidak terbentuk tunas. Pada kelompok 3

dan 4 menggunkan kentang dan tembakau akar tidak tumbuh malah tunas tumbuh

hal ini terjadi karena tumbuhan mati lalu sisa potongan diatas dikira tunas padahal

bukan. Media yang terakhir BAP dan IBA, dimana BAP disini berperan

perkembangan tunas sedangkan IBA untuk pemanjangan akar, sehingga media

yang ditambahi BAP dan IBA maka pertumbuhannya akan seimbang karena tunas

maupun akarnya ada yang membantu untuk berkembang atau tumbuh yakni BAP

dan IBA. Terlihat pada data pertumbuhan antara akar dan tunas tidak berbeda jauh

atau seimbang.

5.2 Saran

Sebaiknya pada penanaman tanaman yang disubkultur harus lebih hati-hati dan menjaga agar tidak terjadi kontaminan. Sehingga jika media dan tanaman yang digunakan dalam subkultur tidak terjadi kontaminan maka tanaman akan dapat tumbuh dengan baik.

Page 22: Sub Kultur FIX

DAFTAR PUSTAKA

Darwesh, Hadeer Y., S.A. Bazaid dan B.N.A. Samra. 2014. In Vitro Propagation

Method of Ficus carica at Taif Governorate Using Tissue Culture

Technique. International Journal of Advanced Research. Vol 2(6). Hal:

756-761

Ferdaus, et.,al. 2015. BAP and IBA pulsing for in vitro multiplication of banana

cultivars through shoot-tip culture. Journal of Bioscience and Agriculture

Researc. Vol. 03, Issue 02: 87-95

Hendaryono, D.P.S, dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius

Jumroh, Putri Hasanah, dkk. 2014. Pertumbuhan Dan Perkembangan Tunas Puar

Tenangau (Elettariopsis sp.) Akibat Perbedaan Periode Sub Kultur. Jurnal Online

Agroekoteknologi. ISSN No. 2337- 6597. Vol.2, No.3 : 1010 - 1014 , Juni 2014

1010

Kasli. 2011. Upaya Perbanyakan Tanaman Krisan (Chrysathemum sp) Secara In Vitro.

Jerami. ISSN 1979-0228. Volume 2 No. 3, September - Desember 2011 122.

Padang: Universitas Andalas

Katuuk, J. R. P. 1989. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman.

Jakarta: Departemen P dan K.

Khadimi, et al. Tissue culture and some of the factors affecting them and the

micropropagation of strawberry. Life Science Journal 2014. Vol 11(8).

Kristina, Natalini, N. 2012. Induksi Perakaran Dan Aklimatisasi Tanaman Tabat

Barito Setelah Konservasi In Vitro Jangka Panjang. Bogor. Bul. Littro. Vol

23 No 1 : 11-20

Maryani, Y dan Zamroni. 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur

Jaringan. http://agrisci.ugm.ac.id/vol12_1/6.krisan_yekti.pdf. (Diakses 7

juni 2016)

Ngomuo, E. Mneney, P. Ndakidemi. 2013. The Effects of Auxins and Cytokinin

on Growth and Development of (Musa sp.) Var. “Yangambi” Explants in

Tissue Culture. American Journal of Plant Sciences, 2013, 4, 2174-2180

Page 23: Sub Kultur FIX

Ogero et al. 2012. In vitro Micropropagation of Cassava Through Low Cost

Tissue Culture. Asian Journal of Agricultural Sciences. Vol 4(3). Hal: 205-

209. ISSN: 2041-3890.

Patel, Heena dan R. Krishnamurthy. 2013. Elicitors in Plant Tissue Culture. IC

Journal. No: 8192 Volume 2 Issue 2. ISSN 2278- 4136.

Rai, et.,al. 2014. EFFECT OF 2,4-D ON PHENOLICS PRODUCTION AND

DETECTION OF INVITRO CULTURE-INDUCED VARIATION

THROUGH INTER-SIMPLE SEQUENCE REPEAT AND RAPD

ANALYSIS IN ARTEMISIA ANNUA L. International Journal of Pharma

and Bio Sciences. 5 (2) : (B) 181 – 193 ISSN 0975-6299

Rossa Yunita, Endang dan Gati Lestarai. 2011. Perbanyakan Tanaman Pulai

Pandak (Rauwolfia serpentina L.) dengan Teknik Kultur Jaringan. Jurnal

Natur Indonesia 14(1): 68-72 ISSN 1410-9379, Keputusan Akreditasi No

65a/DIKTI/Kep./2008.

Suliansyah, Irvan. 2013. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Leutikaprio

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan : Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.

Jakarta: Agromedia Pustaka.

Page 24: Sub Kultur FIX

LAMPIRAN SUBKULTUR

a. Pengamatan subkultur hari ke-4

No. Gambar Keterangan1. Tidak terjadi

pertumbuhan tanaman karena kontaminasi jamur.

2. Tidak terjadi pertumbuhan tanaman karena kontaminasi jamur.

3. Tidak terjadi pertumbuhan tanaman karena kontaminasi jamur.

Page 25: Sub Kultur FIX

4. Tidak terjadi pertumbuhan tanaman karena kontaminasi jamur.

b. Pengamatan subkuktur hari ke-5

No. Gambar Keterangan1. Tidak terjadi

pertumbuhan tanaman karena kontaminasi jamur.

2. Tidak terjadi pertumbuhan tanaman karena kontaminasi jamur.

Page 26: Sub Kultur FIX

3. Tidak terjadi pertumbuhan tanaman karena kontaminasi jamur.

4. Tidak terjadi pertumbuhan tanaman karena kontaminasi jamur.

Page 27: Sub Kultur FIX

LANGKAH KERJA

Page 28: Sub Kultur FIX

Menyemprot tangan dengan alkohol

Menyiapkan kultur kentang dan media kosong

Menyalakan bunsen

Membuka kultur kentang dan mengambilnya

Memotong planlet dengan pisau steril

Menyeterilkan media kosong

Menanam planlet pada media kosong tadi

Menutup dengan plastik dan menyimpannya

Hasil Pengamatan

Kelompok 1 (Kentang)

Page 29: Sub Kultur FIX

- Hasil Pengamatan Hari ke-4

- Hasil Pengamatan Hari ke-5

A1B1 C1 D1

Page 30: Sub Kultur FIX

Kelompok 2 (Tembakau)

- Hasil Pengamatan Hari ke-4

- Hasil Pengamatan Hari ke-5

Kelompok 3 (Kentang)

A1 B1 C1

C1

C1A1 B1

D1

D1

D1A1 B1

Page 31: Sub Kultur FIX

- Hasil Pengamatan Hari ke-4

- Hasil Pengamatan Hari ke-5

Kelompok 4 (Tembakau)

- Hasil Pengamatan Hari ke-4

C2 D2A2 B2

C2 D2A2 B2

Page 32: Sub Kultur FIX

- Hasil Pengamatan Hari ke-5

A2 B2 C2

A2 B2 C2

D2

D2