halaqah tadabbur qur`an 23 (qs al-baqarah 146-153)

12
236 Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153) Dr. Saiful Bahri, MA # ﻟﺤﻤﺪﻟﺬ # ﻟﺤﻤﺪ ﺑﺎﻟﻟﺨﻠﻖ ﺳﺎء ﻋﻠﻰ ﻓﻀﻠﻨﺎ ﻟﻨﻌﻢ ﺑﺎﻧﻮءﻧﻌﻤﻨﺎ ﻟﺒ ﻟﻌﻠﻢ ﺜﻌﻠ. ﻟﻠ ﺑﺎ ﺳﻠﻢ ﻠﻰ ﻋﻠﻰﻻﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪﺪﻧﺎ ﺳﻠﻢ ﻋﻠ ﺻﻞ ﺑﻌﺪAlhamdulillah, puji syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, pada pagi hari ini Allah memberikan kenikmatan yang sangat besar, kenikmatan yang patut kita syukuri, karena di pagi hari ini Allah tetapkan iman kita, wa bil khusus di waktu yang Allah bersumpah dengan waktu itu dengan redaksi yang berbeda-beda. Di dalam Al Qur`an Allah bersumpah secara khusus. Ada wal fajri dan ada wash shubhi, dua-duanya adalah waktu yang Allah muliakan, dan sebelumnya Allah dahului dengan waktu sahur, yang Allah angkat derajat orang-orang yang dekat dengan itu. Mudah-mudahan Allah jadikan kita di antara hamba-hamba-Nya yang diangkat derajatnya di dunia dan di akhirat, Allahumma amin. Kita akan melanjutkan halaqah kita pada kesempatan kali ini, yaitu ayat 146 dan nanti insya Allah kita akhiri di ayat 153. Di halaqah yang ke-23 ini masih ada kaitannya dengan tahwil qiblah, perpindahan arah kiblat bagi umat Islam setelah enam belas bulan lamanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap As Shakhrah di Masjidil Aqsha di Palestina. Nanti kita akan lanjutkan, kenapa mereka bisa begitu dengki, kemudian apa yang harus kita lakukan, dan ini masih ada lanjutannya dengan uslub talqin yang tempo hari kita pelajari bersama. Kalau persiapan menghadapi orang-orang yahudi atau orang-orang bani Israil secara umum, yahudi dan nasrani, itu ada uslub talqin. Qul dan qulu, katakan Muhammad, kepada pimpinan, dan qulu, itu langsung Allah mengkhithab masing-masing kita. Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. Orang-orang yang diberikan kitab. Di sini atainahum, nanti insya Allah saya akan sedikit menjelaskan apa perbedaan ketika Allah menggunakan kata-kata na, nahnu, Kami. Dalam bahasa kita seolah-olah ada dua kemungkinan: Kami ini untuk memuliakan, bahwa ini adalah orang penting yang berbicara, atau na di situ ada keterlibatan orang lain.

Upload: halaqahtafsir

Post on 30-Jul-2016

296 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Transcribed by Adhe Purwanto

TRANSCRIPT

Page 1: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  236  

Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153) Dr. Saiful Bahri, MA

لى وو سلم وو باررككااللهھم ص . ثعليیم االعلم وواالبيیانن اانعمنا بانوء االنعم وو فضلنا على ساءرر االخلق بالاالحمد # االذيي لحمد # ٬، اا بعد ووصل هللا عليیهھ وو سلم سيیدنا محمد سيید ااالنامم على

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, pada pagi hari ini Allah memberikan kenikmatan yang sangat besar, kenikmatan yang patut kita syukuri, karena di pagi hari ini Allah tetapkan iman kita, wa bil khusus di waktu yang Allah bersumpah dengan waktu itu dengan redaksi yang berbeda-beda. Di dalam Al Qur`an Allah bersumpah secara khusus. Ada wal fajri dan ada wash shubhi, dua-duanya adalah waktu yang Allah muliakan, dan sebelumnya Allah dahului dengan waktu sahur, yang Allah angkat derajat orang-orang yang dekat dengan itu. Mudah-mudahan Allah jadikan kita di antara hamba-hamba-Nya yang diangkat derajatnya di dunia dan di akhirat, Allahumma amin. Kita akan melanjutkan halaqah kita pada kesempatan kali ini, yaitu ayat 146 dan nanti insya Allah kita akhiri di ayat 153. Di halaqah yang ke-23 ini masih ada kaitannya dengan tahwil qiblah, perpindahan arah kiblat bagi umat Islam setelah enam belas bulan lamanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap As Shakhrah di Masjidil Aqsha di Palestina. Nanti kita akan lanjutkan, kenapa mereka bisa begitu dengki, kemudian apa yang harus kita lakukan, dan ini masih ada lanjutannya dengan uslub talqin yang tempo hari kita pelajari bersama. Kalau persiapan menghadapi orang-orang yahudi atau orang-orang bani Israil secara umum, yahudi dan nasrani, itu ada uslub talqin. Qul dan qulu, katakan Muhammad, kepada pimpinan, dan qulu, itu langsung Allah mengkhithab masing-masing kita.

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. Orang-orang yang diberikan kitab. Di sini atainahum, nanti insya Allah saya akan sedikit menjelaskan apa perbedaan ketika Allah menggunakan kata-kata na, nahnu, Kami. Dalam bahasa kita seolah-olah ada dua kemungkinan: Kami ini untuk memuliakan, bahwa ini adalah orang penting yang berbicara, atau na di situ ada keterlibatan orang lain.

Page 2: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  237  

Ya’rifunahu kama ya’rifuna abna`ahum. Mereka itu orang-orang yang diberikan al kitab baik yahudi maupun nasrani. Selain bani Israil, istilah yang dipakai di dalam Al Qur`an utul kitab, atau ahlul kitab, nah ini sekarang ada atainahumul kitab. Jadi Allah sudah betul-betul mengkonfirmasi bahwa al kitab itu sampai ke mereka. Ditambah lagi ya’rifunahu, mereka tahu dan terus tahu. Bukan tahu kemudian lupa. Allah tidak mengatakan ‘arafu. Kalau ‘arafu itu sudah tahu kemudian bisa jadi lupa. Tapi di sini yang Allah pakai adalah continuous, jadi terus tahu dan tidak mungkin lupa. Kama ya’rifuna abna`ahum, sebagaimana mereka mengenal anak mereka sendiri. Sebanyak apapun anak, dia tahu bahwa itu anaknya. Nah, pengetahuan mereka tentang Nabi Muhammad sama dengan pengetahuan seorang ayah kepada anaknya. Wa inna fariqan minhum, sesungguhnya sebagian dari mereka, layaqtumunal haqqa wa hum ya’lamun. Kenapa Allah katakan fariq? Karena ternyata tidak semua dari mereka itu menyembunyikan kebenaran. Tapi yang menarik bahwa kenapa Allah tidak mengatakan wa inna minhum, langsung, tapi Allah justru katakan wa inna fariqan. Fariqan di sini beda dengan tha`ifah tapi hampir sama. Fariqan itu berarti mereka menyusun kekuatan. Dan itu yang terlihat. Allah tidak membicarakan apakah mereka sedikit, apakah mereka banyak. Fariq itu kalau dalam arti letterlijk adalah klub atau kelompok. Tapi fariq itu menghadirkan ancaman kekuatan yang bisa menggerakkan sebaliknya. Jadi wa inna fariqan minhum, itu mereka kalaupun satu orang, akan berusaha mencari kawannya, supaya terbentuk satu kelompok. Mereka bersekongkol untuk sama-sama pura-pura tidak tahu, padahal aslinya mereka tahu.

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Maka pesan Allah kepada Nabi Muhammad al haqqu min rabbik, sesungguhnya kebenaran adalah dari Tuhanmu. Fa la takunanna minal mumtarin, dan jangan pernah ragu. Ini yang menarik, kenapa Allah sampai keluarkan ayat ini? Itu sama halnya kata-kata firman Allah dalam berbagai surah, di antaranya surah Al Anfal, wa athi’ullaha wa rasulahu in kuntum mu`minin. Taatlah kepada Allah jika kalian beriman. Itu bukan berarti sahabat diragukan keimanannya, tetapi ini menunjukkan perhatian Allah kepada sahabat.

Page 3: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  238  

Sama halnya seorang bapak kepada anaknya, “kalau kamu seorang mahasiswa, harusnya bisa membuat ini.” Ternyata anaknya tidak bisa, bukan berarti status mahasiswanya hilang. Itu untuk mendorong membuktikan bahwa dia itu mahasiswa. Maka ketika Allah mengatakan fa la takunanna minal mumtarin sesungguhnya Allah memberikan penghormatan, memberikan inayah, perhatian, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu sama sekali tidak pernah ragu.

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Wa li kulli wijhatun huwa muwalliha, maka di manapun arah yang kita tuju menghadap itu, fastabiqul khairat, maka berlomba-lombalah di dalam kebaikan. Ini hubungannya antara kita menghadap kiblat, dan ini juga Imam Syafi’i menjadikan dalil bahwa shalat itu sebaiknya di awal waktu. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, agak diberi waktu. Perbedaannya, kalau Imam Syafi’i, telat, masih bisa ada jamaah masbuq. Tapi kalau Imam Abu Hanifah, begitu selesai jamaah utama tidak ada lagi jamaah masbuq, jadi shalat sendiri-sendiri. Kata-kata fastabiqul khairat juga di dalam Al Qur`an, yang menarik, semua anjuran dan perintah kebaikan di dalam Al Qur`an itu selalu dengan kata-kata bersegera, atau berlomba-lomba. Tidak ada istilah berbuat baik kalau sempat, berbuat baik santai saja, berbuat baik tidak usah ngoyo, tapi fastabiqul khairat. Itu mengindikasikan berlomba-lombalah dalam kebaikan. Karena tujuan akhir kita itu seperti doa yang dibaca oleh ‘ibadurrahman dalam surah Al Furqan: rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun waj’alna lil muttaqina imama, Ya Allah jadikan kami pemimpin orang-orang yang baik, yang bertaqwa. Jadi yang terbaik di antara yang baik, bukan terbaik di antara yang buruk. Maka fastabiqul khairat itu semangatnya adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Al faqir berikan padanannya dalam surah Ali Imran ada wa sari’u, bersegeralah. Nanti di ayat lain ada fa firru ilallah, berlarilah menuju Allah. Fal yatanafasil mutanafisun itu berlomba-lomba juga. Tanafus itu bersaing, tapi dalam masalah akhirat, dalam masalah kebaikan.

Page 4: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  239  

Al khairat meskipun pakai alif lam, tapi kebaikan di sini dimulainya dari shalat, karena pembicaraannya shalat. Maka berlomba-lomba itu di antara para Imam ada yang menjadikan dalil. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan al itsaru fil ‘ibadah makruh, itsar dalam ibadah hukumya makruh. Misalkan ada kesempatan kita masuk di shaf pertama, kita persilakan orang lain, itu makruh hukumnya. Fastabiqul khairat. Ada shaf pertama, kita maju, karena ini masalah ibadah. Tapi bukan rebutan. Sama dengan di hari Jum’at. Harusnya di shaf pertama kita penuhi dulu, kecuali yang sudah kita ketahui, tempatnya khatib, tempatnya imam, tempatnya panitia. Tapi di luar itu, kita lihat kenapa shaf pertama itu berlubang, harusnya kita yang maju, karena fastabiqul khairat itu. Semangat ini yang sementara ini belum dipahami oleh sebagian umat Islam, terutama kita di sini. Aina ma takunu ya`ti bikumullahu jami’an. Di manapun kita berada di dunia ini, mau jadi orang Indonesia, mau jadi orang mana saja, ya`ti bikumullah, Allah akan mendatangkan kalian. Di hari kiamat itu, ketika Allah bersumpah wa idzan nufusu zuwwijat, ketika jiwa-jiwa dipertemukan kembali dengan raganya, dikumpulkan. Atau wa idzal quburu bu’tsirat, ketika kuburan dibongkar. Kalau orang yang tidak punya kuburan? Bukan itu. Itu adalah simbol saja. Sesungguhnya yang mengerikan di hari kiamat itu bukan hancurnya dunia, bukan ketika gunung-gunung diterbangkan. Itu seram, betul. Tetapi sesungguhnya yang paling menyeramkan dan mengerikan itu ketika wa idzan nufusu zuwwijat. Ketika dikatakan di sini ya`ti bikumullah itu yang paling mengerikan. Ketika seseorang dibangkitkan kembali. Makanya, hari akhir itu namanya macam-macam, tetapi kenapa identiknya selalu disebut dengan hari kiamat? Karena hari kiamat itu qiyam dari kubur. Bangkit dari kubur. Dan itu yang paling mengerikan. Karena begitu bangkit, kita akan ingat dosa-dosa kita. Kita akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan. Ini sebenarnya bentuk dari ancaman secara tidak langsung, tetapi kenapa ditujukan kepada umat Islam? Karena di sini khithabnya adalah aina ma takunu, dan setelah fastabiqul khairat, ya`ti bikumullahu jami’an. Itu artinya bahwa orang-orang yang berlomba di dalam kebaikan, dan dipadu dengan sebelumnya perintah tidak boleh ragu, kalau seandainya kita yakin motivasi kita, akan diberikan Allah. Maka bahasanya ya`ti bikum. Ada di dalam Al Qur`an surah Al Hasyr (Dikumpulkan), ada macam-macam, tapi ya`ti bikum itu ada kesan, kita didatangkan. Beda dengan yang Allah mendatangi kita langsung dalam surah Al Fajr, wa ja`a rabbuka wal malaku shaffan shaffa, itu kesannya kesan yang mengancam: Allah datang di hari kiamat, menginspeksi langsung, menata barisan malaikat. Itu kan orang belum diadili sudah gemetaran. Dilihat di situ Allah membariskan malaikat adzab. Malaikat adzab pun berpeleton-peleton. Di sebelah sana Allah

Page 5: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  240  

bariskan orang-orang yang suka puasa, suka sedekah, jujur, sederhana, atau orang kaya yang dermawan, dan sebagainya. Jadi ini memberikan kesan Allah sangat menyayangi kita. Aina ma takunu ya`ti bikumullah. Meskipun ini ayat ancaman. Tetapi kata-kata al ityan memberikan kesan kita didatangkan semuanya utuh dan bulat, jiwa dan raga plus amal-amal kita. Innallaha ‘ala kulli syai`in qadir.

Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Kapan saja, di mana saja kita keluar, keluar dari rumah, keluar dari aktivitas satu ke yang lainnya, maka fa walli wajhaka syathral masjidil haram. Dan ini adalah salah satu kekhususan umat Nabi Muhammad, dijadikan untuk kita semua bumi, tentunya yang suci, sebagai masjid. Ju`ilat liyal ardhu masjida. Kalau di zaman sebelum Nabi Muhammad, masjid itu definitif. Mau shalat, dia harus definitif, tempat shalatnya sudah dibuat. Kalau kita sekarang bisa shalat di atas pesawat, di atas bus, di atas kapal. Bisa shalat di mushalla pom bensin, bisa shalat di swalayan, atau bahkan bisa shalat di padang rumput yang itu aslinya bukan tempat shalat. Makanya kata-kata kharaja memberikan indikasi itu juga. Jadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam umatnya diberikan keistimewaan boleh shalat di mana saja. Shalat di rumah juga bisa, meskipun dianjurkannya untuk shalat sunnah, bagi laki-laki khususnya. Meskipun secara mendasar tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan, tetapi laki-laki sangat dianjurkan untuk shalat berjamaah untuk shalat wajib. Allah katakan fa walli wajhaka syathral masjidil haram. Kemarin sudah kita bahas makna syathrah. Syathrah itu arah. Jadi kita tidak saklek. Kalau saklek sulit sekali, kita akan menyalahkan seluruh orang di Indonesia. Karena arah kiblatnya rata-rata menghadap barat secara langsung, kalau ditarik garis lurus sampai afrika tengah. Jadi yang disebut syathrah itu arah perkiraan. Kita tidak perlu mendebatkan, apalagi nanti kita cenderung berpolemik, “wah masjid ini salah,” padahal sudah seratus tahun di situ

Page 6: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  241  

menghadapnya seperti itu, kurang berapa derajat. Kalau bagi kita kurang mantap ya tinggal geser sedikit saja. Bahkan seandainya dalam suatu tempat kita tidak mengetahui arah kiblat, ya sudah. Ini kan bahasanya wa haitsu ma kuntum fa wallu wujuhakum nanti di ayat berikutnya. Jadi di manapun kita berada, arahnya yang penting kita meniatkan bahwa itu arah kiblat. Dan itu shalatnya sah. Kemarin kita sudah membahas, kalau ada orang shalat, kiblatnya salah, orang yang mengetahuinya berkewajiban membenarkan. Jadi tinggal geser saja shalatnya. Kalau shalatnya sudah selesai ternyata kiblatnya salah, itu ada beberapa pendapat. Bisa diulang, bisa juga tidak perlu diulang. Tapi lebih afdhal kalau kita mengulangnya, karena kita sudah tahu arah kiblat kita ternyata salah.

Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan ni'mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. Wa haitsu ma kuntum fa wallu wujuhakum syathrah. Di manapun kita berada, sebisa mungkin, tapi tidak jadi patokan. Kalau kita di atas pesawat, kiblatnya tidak mungkin. Pesawatnya menuju Indonesia, kiblatnya ke belakang. Susah. Atau naik bus, agak sulit. Meskipun sebenarnya dianjurkan minimal ketika takbiratul ihram. Tapi itulah hikmahnya Allah memberikan kemudahan kita dalam shalat, sekaligus mengingatkan kita, shalat ini satu-satunya ibadah yang hampir dikatakan tidak ada dispensasi untuk meninggalkannya. Yang tidak bisa shalat berdiri, bukan berarti gugur kewajibannya, tapi disuruh duduk. Tidak bisa duduk disuruh berbaring. Tidak bisa berbaring disuruh dengan isyarat. Tidak bisa dengan isyarat, dishalatkan.

Page 7: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  242  

Ketika kita mukim di satu tempat, shalat wajib. Musafir, wajib. Ketika dalam keadaan aman, shalat wajib. Dalam keadaan perang, shalat wajib. Jadi ini luar biasa. Ternyata shalat itu satu-satunya dari di antara sekian yang diperintah Allah yang tidak boleh kita meninggalkannya. Kecuali lupa, perempuan yang berhalangan, anak-anak kita yang belum baligh. Itu shalat tidak diwajibkan. Tapi begitu kita diwajibkan, tidak diizinkan kita meninggalkannya. Musafir shalat, boleh jamak, boleh qashar. Allah memberikan keringanan dalam melakukan, tapi tidak ada keringanan meninggalkan shalat. Bahkan, “Saya tidak shalat dulu deh, saya ganti besok.” Kalau puasa, boleh. Shalat tidak ada cerita itu. ”Sekarang berhubung saya sedang rapat, saya rapel deh shalatnya besok,” itu tidak ada. Dispensasi menjalankan shalat ada, tapi dispensasi meninggalkan shalat tidak ada. Maka ini luar biasa spiritnya. Ketika setelah menjalankan ini, Allah tambah li alla yakuna lin nasi ‘alaikum hujjah. Al faqir sempat bertanya-tanya, apa supaya tidak ada lagi alasan bagi orang-orang zhalim itu. Illalladzina zhalamu minhum. Ternyata ini yang menarik dalam beberapa tafsir silakan Bapak-bapak dan Ibu-ibu buka, orang-orang Yahudi maupun orang-orang Nasrani itu tahu bahwa nabi yang akan diutus kepada mereka, itu nanti memiliki kiblat yang lain. Jadi nabi yang akan diutus nanti di akhir zaman itu kiblatnya tidak seperti mereka. Mereka kiblatnya menghadap ash shakhrah yang ada di al-Aqsha. Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kiblatnya itu ke shakhrah Masjidil Aqsha, di antara mereka ada yang bilang “Ini bukan nabi yang diutus untuk kita. Bukan nabi ini,” Padahal orang-orang yang pintar di antara mereka itu tahu itu nabi. Nah itu digunakan untuk menyihir orang yang punya ilmu tapi sedikit: “Oh ya di Taurat itu ada begini-begini, di Injil ada begini-begini.” Akhirnya termakanlah bahwa Nabi Muhammad itu bukan termasuk nabi yang dijanjikan kepada mereka. Apalagi ketika Nabi Muhammad berpindah ke Ka’bah. Harusnya ketika Nabi Muhammad berpindah ke Ka’bah, mereka langsung ingat, “oh ternyata ini salah satu tanda nabi akhir zaman yang dijanjikan kepada kita.” Harusnya mereka beriman. Tetapi kenapa? Karena kedengkian meraka. Tempo hari kita sudah membahas mereka sampai membenci Jibril, sementara mereka mencintai dan menghormati Mikail. Kenapa? Itu sudah kita bahas. Nah ini sama juga. Ketika mereka punya tanda-tanda itu, harusnya ketika pindah ke Ka’bah, tidak ada lagi alasan orang-orang zhalim itu. Tapi nyatanya apa? Mereka tetap tidak beriman. Padahal ini tanda-tandanya jelas. Satu-satunya nabi akhir zaman yang diberikan Allah kepada mereka itu ciri-cirinya adalah ketika nanti mereka shalatnya menghadap ke Ka’bah, bukan lagi ke shakhrah. Jadi di sini sangat ideologis. Maka al faqir berulang kali dalam berbagai kesempatan, meskipun tidak tepat kalau kita katakan konflik, masalah yang terjadi dialami saudara kita di Palestina itu murni masalah kemanusiaan, tidak. Murni masalah kekuasaan, juga tidak. Ada unsur ideologis yang kemarin sudah kita bahas. Meskipun nanti unsur ideologis akan bercampur dengan unsur ekonomi, unsur politiknya, itu sudah kita bahas kemarin. Adanya ekspor impor berhala dari Cina. Jadi ada bagian tertentu yang diterima oleh orang-orang pejabat-pejabat Quraisy, sehingga ketika berhala itu diganggu, berarti bukan hanya

Page 8: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  243  

mengganggu ideologis tapi juga mengganggu kepentingan politik dan kepentingan ekonomi dari hasil ekspor impor berhala. Maka Allah mengatakan fa la takhsyauhum wakhsyauni. Ini yang tadi ingin al faqir jelaskan. Fa la takhsyauhum wakhsyauni, jangan takut kepada mereka, tapi takutlah kepada Aku. Ini yang menarik. Tadi kita mulai alladzina atainahum. Di dalam Al Quran kalau ada kata-kata ataina, razaqnahum, arsalna, auhaina, khalaqnakum bahkan dalam masalah mencipta, itu kenapa ada na. Tapi dalam masalah takut, ibadah, itu kita tidak boleh ada kata-kata na. Di situ tidak ada wakhsyauna, takutlah kepada Kami. Ibadah, takut, mengeluh atau kita merasa mengagungkan itu harus satu, kepada Allah. Makanya rata-rata, khususnya ibadah, itu tidak ada ibadah kepada Kami, ibadah itu kepada-Ku. Fa iyyaya fa’budun, hanya kepada-Ku menyembah. Iyyaka na’bud. Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduni. Tapi kalau ataina, arsalna, Kami utus, Kami beri, Kami beri rezeki, Kami ciptakan, itu selain menunjukkan keagungan Allah, itu menunjukkan adanya keterlibatan orang lain. Khalaqnakum, mencipta, ada keterlibatan orang lain? Ya. Karena yang diciptakan Allah secara langsung cuma nabi Adam dan istrinya. Tetapi yang lainnya ada keterlibatan orangtua. Makanya kita ini diciptakan Allah bahasanya khalaqnakum, karena tidak langsung diciptakan, tapi melalui proses, bapak dan ibu kita terlibat. Allah memberikan rezeki kepada kita, juga ada orang terlibat. Kalau yang pegawai digaji di perusahaan, kalau dia jasa juga dikasih, kalau guru juga dikasih dari hasil mengajarnya, kalau dia buruh dikasih dari upah buruhnya, dan sebagainya. Jadi ada keterlibatan orang lain dalam rezeki itu. Allah tidak langsung memberi kita begitu saja. Kalau itu kan berarti langsung. Dalam mengutus nabi, kenapa Allah tidak memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad langsung saja? Seperti ketika dipanggil menghadap ke sidratul muntaha, Allah sanggup. Kenapa? Karena Allah melibatkan malaikat Jibril. Berarti apakah ini kelemahan Allah? Tidak. Justru menunjukkan luar biasa amanah yang diemban malaikat Jibril. Jibril tidak mengurangi sama sekali pesan dari Allah, dan Nabi Muhammad sama sekali tidak mengurangi pesan dari Allah yang disampaikan Jibril, sehingga mushaf yang kita pegang ini, yang di dalamnya terdapat kalam Allah, Al Qur`an, itulah amanah Allah yang disampaikan kepada kita. Itu makanya kemarin kita membahas ada qul dan ada qulu, dua uslub talqin yang Allah ingin tegaskan. Ternyata itu hikmah ada keterlibatan orang lain di dalam proses kebaikan yang ada di dunia ini. Kalau beribadah, takut, hanya kepada Allah. Itu adalah makna memurnikan tauhid, tidak ada keterlibatan pihak lain. Makanya iyyaka na’bud wa iyyaka nasta’in. Kenapa tidak na’buduka, karena hanya kepada-Mu, diclosing objeknya. Hanya kepada-Mu menyembah, dan seterusnya. Menyembah, mengeluh, menangis, takut, tapi objeknya jelas satu, Allah, tidak ada yang lain. Tapi kalau na’buduka, kami menyembah Engkau, dikhawatirkan menyembah

Page 9: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  244  

Engkau menyembah uang juga, menyembah jabatan, dan sebagainya. Tapi kalau sudah diclosing objeknya, diclosing bahwa kita hanya takut kepada Allah, setelahnya tidak apa-apa, tapi objeknya jelas hanya kepada Allah. Wa li utimma ni’mati ‘alaikum wa la’allakum tahtadun, dan Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kalian orang-orang beriman, supaya kalian sampai mendapatkan hidayah. Tahtadun, yang paling klimaksnya adalah dipersilakan masuk surga dan berjumpa Allah langsung. Kalau kita: bertamu, dipersilakan duduk, dan dijamu langsung oleh shahibul bait. Itu nikmat yang tertinggi. Kita tidak membandingkan. Tapi nikmat tertinggi kita ketika radhiyatan mardhiyyah. Bertemu Allah dan dipersilakan secara langsung.

Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Sudah ada sedikit perbedaan tema, atau penjelasan dari tema sebelumnya. Di antara nikmat Allah itu adalah Allah utus kepada kita seorang rasul dari kita. Bahasa-Nya adalah minkum, berarti ada sifat-sifat dasar yang sama dengan kita. Ketika ada utusan Romawi yang takut, gemetar, Rasulullah tersenyum. Saya ini hanya seorang anak laki-laki dari seorang perempuan yang terbiasa makan dendeng. Jadi biasa, menunjukkan kemanusiaannya. Rasulullah juga sakit, meskipun seumur hidup cuma dua kali. Menandakan beliau sangat sehat. Rasulullah juga menyantuni, Rasulullah juga menangis, Rasulullah juga bersedih. Banyak, sisi-sisi manusia. Minkum. Bahkan Rasulullah memiliki ‘kelemahan’ yang mendasar yaitu ummiy, tidak bisa baca dan tidak bisa tulis. Tetapi orang yang tidak bisa baca dan tulis ini memimpin peradaban. Bukan berarti ini menggerus orang yang belajar tinggi-tinggi. Bukan itu tujuannya. Tujuannya, ini anak yatim, yang tidak bisa baca dan tidak bisa tulis, tapi dengan hidayah Islam memimpin dunia. Ini juga memberikan harapan, pada budak itu diberikan harapan hidup, bahwa kehidupan itu nikmat yang sangat mahal, sehingga orang yang sanggup melampaui kelemahan-kelemahan, biasanya dia orang yang hebat. Tapi orang yang tenggelam dalam kelemahan, dia tidak akan pernah lagi disebut oleh sejarah.

Page 10: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  245  

Apa misinya? Yatlu ‘alaikum ayatina wa yuzakkikum wa yu’allimukumul kitaba wal hikmah. Ada tiga. Membacakan ayat-ayat Allah baik yang secara langsung berbentuk ayat Al Qur`an. Nabi Muhammad membacakan, dan Nabi Muhammad mendengar bacaan. Bukan hanya Jibril. Jadi Nabi Muhammad kadang suka mendengar bacaan para sahabatnya. Ibnu Mas’ud itu di antara orang yang banyak didengar bacaannya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal Ibnu Mas’ud itu memiliki kelemahan kakinya kecil, tapi bacaannya luar biasa. Jadi banyak para sahabat itu memiliki kelebihan yang Rasulullah tunjukkan bacaannya. Rasulullah menangis ketika Ibnu Mas’ud membaca di dalam surah An Nisa. Membaca, membacakan, dan mendengarkan bacaan. Tapi yang pertama, yatlu ‘alaikum. Itu obsesi tertinggi. Maka dalam haditsnya itu khairukum man ta’allamal qur`an wa ‘allamahu. Jangan sampai pada saat kita seperti pagi hari ini, menikmati Al Qur`an, lalu berhenti. Yang terbaik itu bukan yang belajar Qur`an saja, tapi yang mengajarkan. Orientasinya itu selalu kemanfaatan. Kunu rabbaniyyina, jadilah orang-orang yang rabbani, bi ma kuntum tu’allimunal kitab wa bi ma kuntum tadrusun. Jadi jangka panjangnya itu selalu memberi. Mengajarkan dan memberi. Jadi yatlu ‘alaikum, itu mengajarkan kita. Membacakan Al Qur`an, menadabburi Al Qur`an, mengajak bersama, itu adalah misi Rasul dan misi dai setelahnya. Lalu setelah itu wa yuzakkikum. Yuzakkikum itu memberikan penyucian jiwa, mengajak orang untuk membersihkan jiwa. Wa yu’allimukumul kitab. Ini dikonfirmasi lagi. Kalau yang pertama yatlu ‘alaikum membacakan, ini yu’allimukumul kitab mengajarkan. Wal hikmah, hikmah kitab dan hikmah nubuwwah. Wa yu’allimukum ma lam takunu ta’lamun, dan mengajarkan kalian apa yang kalian tidak ketahui.

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)-Ku. Fadzkuruni adzkurkum, ingatlah Aku maka Aku akan ingat engkau. Maka dzikir tidak boleh kita sepelekan di dalam Al Qur`an. Dzikir tidak boleh sedikit, yang dzikirnya sedikit itu orang munafiq. La yadzkurunallaha illa qalila. Na’udzu billah. Apalagi orang yang tidak berdzikir. Maka berdzikir itu ada kekuatan yang sangat dahsyat di dalamnya. Kita shalat, berapa kali dalam sehari kita mengagungkan Allah, itu harusnya ada spirit Allah Maha Besar dalam hidup kita. Kita bertasbih di dalam shalat saja banyak. Setelah shalat kita bertasbih, maka kita harus memberikan penyucian jiwa ita melalui dzikir. Wasykuru li wa la takfurun. Dan syukur kepada Allah itu di antaranya adalah dengan dzikir.

Page 11: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  246  

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Diclosing, Allah memberikan pesan, kalau kita bertemu orang-orang yang seperti tadi disebut di atas, orang yang hakikatnya dia sudah tahu. Di suatu hal, kita dituduh bersalah padahal kita tidak salah. Tenang. Ya ayyuhalladzina amanu ista’inu bish shabri wash shalah. Dua itu berkaitan. Hanya orang yang sabar yang sanggup shalat dengan benar. Dan hanya orang yang shalatnya benar yang bisa bersabar. Ini dua sangat berkaitan. Dahsyatnya sabar dan dahsyatnya shalat itu punya kaitan yang sangat erat. Kenapa Allah tidak mengatakan innallaha ma’al mushallin, tapi innallaha ma’ash shabirin? “Oh berarti saya sabar saja cukup, tidak usah shalat, karena Allah bersama orang-orang sabar,” tidak mengerti bahasa Arab ini orang. Jadi ash shabirin yang menjadi sifat di situ beda dengan sabar yang di depan. Yang di depan itu wasilah, caranya, yang di kedua itu menjadi orang sabar. Jadi untuk menjadi orang sabar, salah satu latihannya adalah shalat. Shalat itu tidak mudah untuk sabar. Baru Al Fatihah di rakaat kedua, “oh ternyata kuncinya saya taruh di atas lemari.” Kita dituntut untuk sabar. Ada kesabaran juga ketika shalat berjamaah, kesabaran kita mengikuti perjalanan shalat. Bukan hanya seperti naik bis AC, Allahu Akbar lalu pasrah sama imamnya mau dibawa ke mana saja, tahu-tahu salam, “eh bangun, bisnya sudah sampai.” Tidak bisa juga kita shalat seperti itu. Kita harus mengikuti, takbiratul ihram, bacaan shalatnya ketika ruku’, seperti kita shalat sendiri. Meskipun shalat berjamaah, kita dihisab didatangkan bersama-sama, tapi kita dihisab tetap sendiri-sendiri. Imam dihisab, makmum dihisab. Shaf pertama dihisab, shaf kedua dihisab. Tidak ada yang tidak dihisab. “Imamnya bagus, yang lain ikut saja,” tidak ada cerita itu. Shalat meskipun berjamaah, dihisabnya tetap sendiri-sendiri. Ini termasuk ketahanan dan kekuatan kita. Kalau kita fa la takunanna minal mumtarin, jangan ragu terhadap kebaikan, maka harusnya kita ikuti dengan sabar dan shalat, sehingga apapun yang terjadi, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani atau siapapun karena umat Islam itu berada di lima perangkap setidaknya:

Page 12: Halaqah Tadabbur Qur`an 23 (QS Al-Baqarah 146-153)

  247  

musuh yang membenci, orang munafiq, sesama muslim yang hasad atau iri. Kalau ini semuanya kita rangkai dengan sabar dan shalat, itu tidak akan mengganggu kita. Mau dipuji, mau dicaci, mau tidak dianggap, tidak ada masalah. Innallaha ma’ash shabirin. Kebersamaan dengan Allah itu sudah cukup. Kebersamaan dengan Allah itu yang membuat kita bisa kontinu dan membuat kita bisa eksis. Al isti’anah, kita punya modal. Modalnya sabar dan shalat. Dalam berbuat kita memiliki modal sekecil apapun. Sekecil tongkat Musa yang dipukulkan ke laut itu adalah sekecil modal ikhtiar, sisanya adalah tawakkal kepada Allah. Maryam, modal mendapatkan rezeki adalah menggoyang pohon kurma. Allah tidak langsung berikan begitu saja rezeki dari langit, tetapi itu adalah modalnya. Ini yang bisa al faqir sampaikan. Kita akan akhiri tadabbur kita. Mudah-mudahan kita bisa mengamalkan yang kita pelajari, diberikan kenikmatan Allah dalam berinteraksi dengan Al Qur`an. Spirit kita adalah spirit lailatul qadar, menjadi orang yang lebih baik dari seribu komunitas. Karena satu malam yang bersentuhan dengan Al Qur`an itu lebih baik dari seribu bulan. Allah tidak mengatakan satu malam lebih baik dari seribu malam. Artinya kalau kita berinterkasi dengan Al Qur`an, semangatnya fastabiqul khairat, tidak mustahil orang yang memiliki kemampuan atau kemauan atau mendapat kenikmatan itu akan lebih baik dari seribu komunitas lain yang tidak bersentuhan dengan Al Qur`an. Mudah-mudahan Allah jadikan kita termasuk ahlul Qur`an, dan insya Allah kita masih diberikan kesempatan bertemu, kita akan lanjutkan di ayat 154 di pertemuan yang akan datang. Terimakasihd dan mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang.**