gambaran patologi trakea pada ayam petelur … · gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang...
TRANSCRIPT
GAMBARAN PATOLOGI TRAKEA PADA AYAM PETELUR YANG
TERSERANG CORYZA SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG
PUTIH (Allium sativum linn).
SKRIPSI
ANDI FUTRI FEBRIANI
O 111 11 263
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
i
GAMBARAN PATOLOGI TRAKEA PADA AYAM PETELUR YANG
TERSERANG CORYZA SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK BAWANG
PUTIH (Allium sativum linn).
ANDI FUTRI FEBRIANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Andi Futri Febriani
NIM : O111 11 263
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Karya skripsi saya adalah asli.
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil
dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan
dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, 25 November 2015
Andi Futri Febriani
iv
Abstrak
ANDI FUTRI FEBRIANI (O111 11 263) Gambaran Patologi Trakea Ayam
Petelur yang Terserang Coryza Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih
(Allium Sativum Linn). Di bawah bimbingan drh. A.Magfirah Satya Apada dan
Dr. drh. Dwi Kesuma Sari.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran patologi secara
makroskopik pada trakea ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian
ekstrak bawang putih. Dua puluh lima ekor ayam petelur yang terserang coryza
dibagi dalam lima kelompok, yaitu kelompok kontrol positif menggunakan
antibiotik (Enrofloxacin) atau kelompok X0, kelompok kontrol negatif
menggunakan NaCMC atau kelompok X1, kelompok perlakuan ekstrak bawang
putih 2,5% (X2), ekstrak bawang putih 5% (X3), dan ekstrak bawang putih 7,5%
(X4). Pemberian ekstak bawang putih 2,5%, 5% dan 7,5% dosis 1 ml per ekor
diberikan secara oral menggunakan spoit selama 2 minggu pada ayam petelur
yang terserang coryza. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran
patologi makroskopik trakea ayam kelompok X0, X1, X2, X3 dan X4 berupa
hemorragi dan tidak ditemukan adanya eksudat serous. Kelompok X1
menunjukkan gambaran patologi terburuk dari kelompok lainnya berupa
hemorragi yang terlihat jelas dan mencolok. Berdasarkan analisis skoring
(kuantitatif), menunjukkan bahwa X1 berbeda dibandingkan dengan X0, maupun
dengan X4. Kelompok X0 tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan X4,
begitupun kelompok X1 tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kelompok
X2 dan berbeda jika dibandingkan dengan kelompok X3. Kesimpulan dari
penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak bawang putih pada ayam
petelur yang terserang coryza mampu mengurangi kerusakan organ trakea akibat
bakteri Avibacterium paragallinarum (Apg). Dosis ekstrak bawang putih yang
efektif dan memberikan hasil yang lebih baik adalah dosis 7,5%.
Kata kunci : ayam petelur, coryza, patologi, dan bawang putih.
v
Abstract
ANDI FUTRI FEBRIANI (O111 11 263) Overview Of Laying Hens
Tracheal Pathology Attacked by Coryza After Giving The Extract of Garlic
(Allium Sativum Linn). Under the guidance of drh. A. Magfirah Satya Apada
dan Dr. drh. Dwi Kesuma Sari. This study aims to describe macroscopic pathology on laying hens trachea
attacked coryza after giving the extract of garlic. Twenty-five laying hens were
attacked by coryza divided into five groups, namely the positive control using
antibiotics (Enrofloxacin) or X0 group, negative control group using NaCMC or
X1 group, the treatment group garlic extract 2.5% (X2 ), garlic extract 5% (X3),
and garlic extract 7.5% (X4). Giving ekstrak garlic 2.5%, 5% and 7.5% dose of 1
ml per cow given orally using spoit for 2 weeks in laying hens were attacked
coryza. The results showed that macroscopic pathology of laying hens trachea
X0, X1, X2, X3 and X4 groups in the form of Hemorrhagic and there were no
serous exudate. Patolohi X1 group showed a picture of the worst of other groups
such as hemorragi obvious and striking. Based on the scoring analysis
(quantitative), shows that different than X0 X1, or with X4. X0 groups were not
significantly different when compared to X4, as well as X1 groups was not
significantly different when compared with a different group of X2 and X3 when
compared with the group. The conclusion from this study showed that the extract
of garlic in laying hens were attacked coryza can reduce tracheal organ damage
due to bacteria Avibacterium paragallinarum. The dose of garlic extract which
effectively uses and provides better results is 7.5%.
Keywords: laying hens, coryza, pathology, and garlic.
vi
Kata Pengantar
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi
Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Patologi Trakea ayam
Petelur yang Terserang Coryza Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium
Sativum Linn)” ini. Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah proses dan
perjalanan panjang yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. drh. A. Magfirah Satya Apada dan Dr. drh. Dwi Kesuma Sari selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan nasihat penuh
kesabaran dan rasa semangat selama penelitian penyusunan skripsi ini.
2. Ayahanda Andi Rizal Wawo, ibunda Lismayani, nenek saya Marwah dan
alm. Sri Wahyuningsih, adik saya Andi Rico Febrian Saputra. dan Andi
Nadia Pratiwi yang selalu memberikan dukungan moril, doa, kasih sayang,
dan tentunya material sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.
3. drh. Farida Nur Yuliati, M.Si. dan drh. Muhammad Fadhlullah Mursalim,
M.Kes sebagai dosen pembahas dan penguji dalam seminar proposal dan
hasil yang telah memberikan masukan-masukan dan penjelasan untuk
perbaikan penulisan ini.
4. drh I Gede yang telah membantu menyediakan sampel ayam petelur yang
terserang coryza atau snot dan membantu saat proses nekropsi.
5. Teman tim penelitian Nurwahidah Adnin dan Nursyamsi Asheri yang
telah membantu dalam pembuatan ekstrak bawang putih, mencari sampel
yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan membantu saat proses
penelitian.
6. Seluruh staf Dosen dan Pegawai di PSKH FK UNHAS yang telah
membantu dalam melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.
7. Ardhy yang telah memberikan semangat dan membantu selama proses
penyusunan hingga skripsi ini selesai.
8. My Lovely Sista ( Andi Rafika Angreni, Sherlyana Sultan, Hastuti Lohe,
Fitra Utami Ismail, Kiki Amalia, Andi Anita Arfial, dan Evi Amilia) yang
selalu ada menemani, memberi dukungan, dan kesegaran di waktu
senggang.
9. Teman Seangkatan 2011, “Clavata”, terutama kepada Bahenil team
(Nursyamsi asheri, Nurwahidah Adnin, Asnelly Asri dan Umikalsum
Yakub) yang selalu menemani selama kuliah di PSKH UNHAS dan
menghadirkan canda tawa setiap harinya serta semangat saat penyusunan
skripsi ini.
10. Kakak-kakak angkatan 2010 “V-Gen” yang selalu memberi masukan-
masukan berharga, terkhusus buat kak Aswan yang telah memberi nasihat,
masukan dan semangat selama proses penyusunan skripsi ini.
11. Adik-adik angkatan 2012 ‘Akestor AnWelf’ dan angkatan 2013 O-Brev
yang telah memberikan penulis kesempatan untuk belajar kembali materi
sebelumnya sebagai asisten Fisiologi Veteriner.
vii
Penulis sadar tulisan ini jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap tulisan
ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Makassar, November 2015
Andi Futri Febriani
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ......................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ............................................................................................... ii
Pernyataan Keaslian .............................................................................................. iii
Abstrak .................................................................................................................. iv
Kata Pengantar ...................................................................................................... vi
Daftar Isi .............................................................................................................. viii
Daftar Gambar .......................................................................................................... x
Daftar Tabel ........................................................................................................... xi
Daftar Lampiran .................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 I.1 Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
I.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 2
I.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 2
I.5 Manfaat Penelitian ........................................................................... 3
1.6 Hipotesis ........................................................................................... 3
1.7 Keaslian Penelitian ........................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4
2.1 Ayam Petelur .................................................................................... 4
2.2 Penyakit Coryza ............................................................................... 5
2.2.1 Etiologi Coryza ................................................................................ 5
2.2.2 Isolasi dan Identifikasi ..................................................................... 5
2.2.3 Sifat Biokimia .................................................................................. 6
2.2.4 Gejala klinis Coryza .......................................................................... 6
2.2.5 Perubahan Patologi Organ................................................................ 7
2.3 Sistem Pernapasan Unggas .............................................................. 8
2.4 Trakea ............................................................................................... 9
2.5 Bawang Putih ................................................................................. 10
2.5.1 Kandungan Bawang Putih .............................................................. 10
2.5.2 Manfaat Bawang Putih ................................................................... 11
2.5.3 Mekanisme Kandungan Bawang Putih Sebagai Antibiotik ........... 12
BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 13
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 13
3.2 Materi Penelitian ............................................................................ 13
3.2.1 Populasi dan Sampel ...................................................................... 13
A. Populasi Penelitian ................................................................... 13
B. Sampel Penelitian .................................................................... 13
3.2.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 13
A. Persiapan Kandang dan Perawatan Selama Penelitian ............. 13
B. Perlakuan .................................................................................. 13
C. Nekropsi ................................................................................... 13
D. Pembuatan Preparat Patologi ................................................... 13
3.3 Metode Penelitian........................................................................... 14
3.3.1 Desain Penelitian ............................................................................... 14
3.3.2 Variabel Penelitian ............................................................................ 15
A. Variabel Dependen ................................................................... 15
B. Variabel Independen ................................................................ 15
ix
3.3.3 Jumlah Sampel ............................................................................. 15
3.3.4 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih ................................................. 15
3.3.5 Perlakuan ....................................................................................... 15
3.3.6 Euthanasia ...................................................................................... 16
3.3.7 Nekropsi ........................................................................................ 16
3.3.8 Parameter Penelitian ...................................................................... 16
A. Makroskopik ............................................................................ 16
B. Mikroskopik ............................................................................. 16
3.4 Hasil Pengamatan ................................................................................. 16
3.5 Alur Penelitian ..................................................................................... 17
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 19
4.1 Hasil .................................................................................................... 19
4.1.1 Kondisi hewan Sebelum Penelitian .................................................. 19
4.1.2 Gejala klinis ....................................................................................... 20
4.1.3 Pengamatan Gambaran Patologi Trakea .......................................... 23
4.4 Pembahasan ......................................................................................... 26
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 31
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 31
5.2 Saran .................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32
x
Daftar Gambar
Gambar 1 Bakteri Avibacterium paragallinarum .................................................... 6
Gambar 2 Trakea yang Hemorragi ........................................................................... 7
Gambar 3 Paru-paru yang Hemorragi ...................................................................... 7
Gambar 4 Sel-sel mengalami acanthosis, parakeratosis, dan inflamasi pada
hidung ...................................................................................................................... 8
Gambar 5 Sel hyperplasia dan obstruksi kelenjar mukosa pada hidung ............... 8
Gambar 6 Sistem Pernapasan Unggas...................................................................... 9
Gambar 7 Bawang Putih ........................................................................................ 11
Gambar 8 Kontrol Positif antibiotik ...................................................................... 24
Gambar 9 Kontrol Negatif NaCMC ...................................................................... 25
Gambar 10 Ekstrak Bawang Putih 2,5% ................................................................ 25
Gambar 11 Ekstrak Bawang Putih 5% ................................................................... 26
Gambar 12 Ekstrak Bawang Putih 7,5% ................................................................ 26
xi
Daftar Tabel
Tabel 1. Kondisi hewan sebelum dilakukan perlakuan .......................................... 19
Tabel 2. Kontrol Positif antibiotik (enrofloxacin) ................................................. 20
Tabel 3. Kontrol Negatif (NaCMC 0,5%) .............................................................. 20
Tabel 4. Kelompok perlakuan ekstrak bawang putih 2,5% ................................... 21
Tabel 5. Kelompok perlakuan ekstrak bawang putih 5% ...................................... 22
Tabel 6. Kelompok perlakuan ekstrak bawang putih 7,5% .................................. 22
Tabel 7. Gambaran patologi trakea ayam petelur yang terserang coryza .............. 24
Tabel 8. Kriteria Skoring Lesio Patologi Organ Trakea ........................................ 24
Tabel 9. Hasil Skoring Lesio Patologi Organ Trakea ............................................ 24
xii
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Penentuan Sampel Ayam Petelur yang Terserang Coryza ................. 37
Lampiran 2 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih ...................................................... 38
Lampiran 3 Kultur Bakteri Avibacterium Paragallinarum .................................... 39
Lampiran 4 Pemberian Perlakuan Ekstrak Bawang Putih ..................................... 40
Lampiran 5 Euthanasia ........................................................................................... 41
Lampiran 6 Proses Nekropsi .................................................................................. 42
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ayam petelur dijadikan pilihan dalam beternak karena mampu
menghasilkan telur dalam jumlah yang cukup dengan waktu yang cepat.
Pengembangan usaha ternak unggas jenis ras layer (ayam petelur) di Indonesia
masih memiliki prospek yang bagus, terlebih lagi konsumsi protein hewani masih
kecil. Hal ini dikaitkan dengan perkembangan jumlah penduduk yang selalu
meningkat dari tahun ke tahun terus diimbangi dengan kesadaran akan arti penting
peningkatan gizi dalam kehidupan, sehingga berimplikasi pada pola konsumsi
makanan yang juga akan terus meningkat. Usaha peternakan ayam petelur
merupakan usaha yang dapat menghasilkan perputaran modal yang cepat dan
harga telurnya yang relatif murah sehingga mudah terjangkau oleh lapisan
masyarakat (Kusnadi et al., 2001).
Infeksius Coryza merupakan suatu penyakit saluran pernapasan pada
ayam, yang disebabkan oleh bakteri dan dapat berlangsung akut sampai kronis.
Secara umum Coryza dikenal sebagai penyakit yang menyebabkan kematian
rendah tetapi morbiditasnya tinggi, penyakit ini bersifat sangat infeksius dan
terutama menyerang saluran pernapasan (Tabbu, 2000). Kejadian penyakit
pernapasan pada peternakan ayam broiler dan layer terjadi di lima wilayah yaitu,
di Jabar, Jabotabek, D I di Yogyakarta, Jateng dan Jatim. Hasil pengamatan pada
30 peternakan ayam broiler (selama tiga periode pemeliharaan) ditemukan lima
jenis penyakit pernapasan yaitu Chronic Respiratory Disease (CRD), Coryza,
Swollen Head Syndrome (SHS), Newcastle Disease (ND) dan Kolera unggas.
Kejadian Coryza juga telah menyerang beberapa peternakan ayam di Kabupaten
Pinrang provinsi Sulawesi Selatan. Tingkat kejadian penyakit coryza lebih tinggi
pada ayam petelur dibandingkan pada ayam broiler, penyakit ini menimbulkan
kerugian bagi peternak karena dapat menurunkan produksi telur dan bersifat
sangat infeksius. Penetapan jenis penyakit pernapasan tersebut dilakukan dengan
pendekatan patologi diagnostik (Tabbu, 1996).
Infeksius Coryza merupakan penyakit yang mempunyai dampak ekonomik
yang merugikan industri perunggasan, sehubungan dengan peningkatan jumlah
ayam yang diafkir, penurunan berat badan, penurunan produksi telur (10%-40%),
dan peningkatan biaya pengobatan (Tabbu, 2000).
Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri didukung oleh penelitian
Yamada dan Azama (1977) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri,
bawang putih juga bersifat antijamur. Kemampuan bawang putih ini berasal dari
zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut adalah
Allicin. Allicin berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai
pertumbuhan jamur dan bakteri (Anonim, 2004). Kandungan Allicin yang terdapat
pada bawang putih, bila bergabung dengan enzim allinase akan bereaksi sebagai
antibakteri. Dilaporkan bahwa bawang putih lebih efektif daripada penisilin
terhadap penyakit tipes (demam thypimurium) dan mempunyai efek yang baik
terhadap Streptococcus, Staphylococcus, dan mikroorganisme yang berpengaruh
dalam menyebabkan penyakit kolera, disentri dan enteritis (Anonim, 2004).
Coryza merupakan penyakit saluran pernapasan pada ayam yang
disebabkan oleh bakteri Avibacterium paragallinarum, trakea merupakan organ
respirasi bagian atas dan organ target dari penyakit coryza. Pendekatan patologi
2
diagnostik merupakan suatu tindakan yang umum dilakukan dalam manajemen
kesehatan hewan, dengan pemeriksaan bedah bangkai (nekropsi), maka diagnosa
penyakit (tentatif) dapat ditetapkan. Lesi yang menciri (patognomonis) pada
organ/jaringan tubuh akibat penyakit tertentu memiliki tingkat ketepatan diagnosa
yang tinggi, dengan melihat gambaran patologi, maka dapat membuktikan adanya
perubahan kondisi jaringan pada hewan yang terserang coryza setelah pemberian
ekstrak bawang putih.
Berdasarkan latar belakang tersebut dan belum pernahnya dilakukan
survey atau penelitian tentang Gambaran Patologi Trakea Pada Ayam Petelur
yang Terserang Coryza Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih”. Oleh karena
itu diperlukan penelitian tentang “ Gambaran Patologi Trakea Pada Ayam Petelur
yang Terserang Coryza Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium
Sativum Linn)”.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan penelitian ini, antara lain:
1.2.1 Bagaimana gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang terserang
penyakit coryza.
1.2.2 Bagaimana gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang terserang
penyakit coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang
terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih.
1.3.2 Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang
terserang coryza.
- Untuk mengetahui gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang
terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
- Hasil penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang
patologi kedokteran hewan.
- Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dalam penelitian
selanjutnya, dan dapat mengetahui dosis ekstrak bawang putih yang efisien
terhadap perubahan gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang
terserang coryza.
1.4.2 Manfaat aplikasi
Hasil penelitian ini sebagai masukan bagi para mahasiswa/mahasiswi
kedokteran hewan dan juga para tenaga veteriner dan masyarakat agar memiliki
pengetahuan yang lebih baik terhadap pemanfaatan bawang putih sebagai
alternatif pengganti obat antibiotik pada ayam petelur yang terserang coryza.
1.5 Hipotesis Penelitian
Terdapat perubahan gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang
terserang coryza setelah pemberian ekstrak bawang putih (Allium Sativum Linn).
3
1.6 Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul “Gambaran Patologi Trakea Pada Ayam Petelur
yang Terserang Coryza Setelah Pemberian Ekstrak Bawang Putih” belum pernah
dilakukan sebelumnya. Penelitian yang serupa pernah dilakukan pada ayam
petelur yang terserang coryza, tapi dengan perlakuan yang berbeda yaitu
pemberian kaldu, dengan judul “Pathogenesis Of infectiuos Coryza In chicken
(Gallus gallus) by Avibacterium Paragallinarumn Isolate of Bangladesh pada
tahun 2013. Dan telah dilakukan juga penelitian yang serupa menggunakan
Ekstrak Bawang Putih pada ayam petelur, tapi pada penyakit yang berbeda yaitu
aflatoksikosis, dengan judul “ Efektivitas Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum
Linn) dalam Penanggulangan Aflatoksikosis Pada Ayam Petelur tahun 2013.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Petelur
Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus
untuk diambil telurnya. Ayam ini tubuhnya relatif lebih kecil, produksi telurnya
antara 250 sampai 280 butir per tahun. Telur pertama dihasilkan pada saat
berumur 5 bulan dan akan terus menghasilkan telur sampai umurnya mencapai
umur 2 tahun, produksi telur yang terbaik akan diperoleh pada tahun pertama
ayam mulai bertelur (Anonim, 1982). Pemeliharaan ayam petelur membutuhkan
penanganan khusus dan sangat penting untuk diperhatikan, karena dengan
pemeliharaan yang baik akan menghasilkan pertumbuhan ayam yang baik, kondisi
ayam yang sehat dan tingkat mortalitas yang rendah, pada akhirnya akan
menghasilkan ayam petelur dengan produksi telur yang tinggi (Zulfikar, 2009).
Menurut Charlton et al. (2000), pemeliharaan ayam terutama layer dapat
dikelompokkan dalam empat periode umur, yaitu periode anak (0-2 minggu),
pertumbuhan (2-8 minggu), pullet (8-20 minggu) dan periode bertelur (>20
minggu), setiap periode bisa muncul gangguan/penyakit pernapasan yang sama
atau berbeda. Jenis-jenis ayam petelur dibagi menjadi dua tipe: 1) Tipe Ayam
Petelur Ringan, tipe ayam ini disebut dengan ayam petelur putih. Ayam petelur
ringan ini mempunyai badan yang ramping/kurus/kecil dan mata bersinar.
Bulunya berwarna putih bersih dan berjengger merah. Ayam ini berasal dari galur
murni white leghorn. Ayam galur ini sulit dicari, tapi ayam petelur ringan
komersial banyak dijual di Indonesia dengan berbagai nama. Ayam ini mampu
bertelur lebih dari 260 telur per tahun. Ayam tipe ini memang khusus untuk
bertelur saja sehingga semua kemampuan diarahkan pada kemampuan bertelur,
karena dagingnya hanya sedikit. Ayam petelur ringan ini sensitif terhadap cuaca
panas dan keributan, dan ayam ini mudah kaget dan bila kaget produksinya akan
cepat turun, begitu juga bila kepanasan. 2) Tipe Ayam Petelur Medium, bobot
tubuh ayam ini cukup berat, meskipun itu, beratnya masih berada di antara berat
ayam petelur ringan dan ayam broiler, oleh karena itu ayam ini disebut tipe ayam
petelur medium.
Menurut Rasyaf (2008), nilai konversi pakan yang baik untuk ayam
petelur adalah kurang 1, pada nilai tersebut pakan dapat digunakan sebaik-baiknya
dan konversi lebih dari satu artinya konversi buruk. Tingkat konversi pakan pada
ayam petelur berbeda-beda tergantung dari kadar protein dan energi metabolisme
pakan, suhu lingkungan, umur ayam, kondisi kesehatan dan komposisi pakan,
apabila nilai konversi pakan semakin kecil maka konversi pakan baik, artinya
ayam petelur dapat menggunakan pakan dengan baik dan dapat menghasilkan
produksi telur dengan baik. Kandungan dalam pakan ayam terdiri dari 40 senyawa
kimia essensial, ayam membutuhkan senyawa kimia tersebut dan harus dalam
jumlah yang cukup untuk perbandingan optimum satu dengan yang lainnya serta
dalam bentuk yang mudah di dapat untuk merangsang pertumbuhan laju
maksimum produksi telur, apabila hal tersebut kurang di perhatikan maka
pertumbuhan ayam, produksi telur akan turun dan ayam akan mudah terserang
penyakit (Anggrodi, 1985).
5
2.2 Coryza
2.2.1 Etiologi Coryza
Tahun 1930 sampai tahun 1960, agen penyebab coryza disebabkan oleh
bakteri Haemophillus gallinarum, organisme tersebut membutuhkan faktor x
(haemin) dan faktor v (nicotinamide adenin dinucleotide (NAD)) untuk
pertumbuhan secara in vitro. Tahun 1960 sampai 1980 semua isolat agen penyakit
yang ditemukan hanya membutuhkan faktor v untuk pertumbuhan yang disebut
dengan Avibacterium paragallinarum. Isolate Avibacterium paragallinarum
hanya membutuhkan faktor v juga telah dilaporkan dikedua negara yaitu Afrika
dan Mexiko. Taksonomi bakteri tersebut adalah spesies Haemophillus
paragallinarum, famili pasteurellaceae, genus Haemophillus, dan merupakan
genus baru dari avibacterium. Famili lainnya adalah A.v gallinarum, A.v avium
dan A.v volantium. Maka agen penyebab infeksius coryza adalah Avibacterium
paragallinarum yang memerlukan faktor v atau NAD untuk pertumbuhan
(Alexander, 2008).
Penyebab penyakit coryza pada ayam adalah Avibacterium
paragallinarum (Apg) yang secara in vitro memerlukan faktor x atau Hemin dan
faktor v atau NAD. Pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa yang menyebabkan
coryza pada ayam hanya yang memerlukan NAD pada kultur in vitro, dan
dinamakan Avibacterium paragallinarum (Blackall et al., 1997). Tahun 1989, di
Afrika telah ditemukan yang tidak memerlukan faktor NAD. Mouahid et al.
(1992) melaporkan bahwa bakteri penyebab coryza yaitu Apg yang terdiri dari 2
jenis yaitu, Apg yang pertumbuhannya tergantung NAD dan Apg yang tidak
tergantung NAD.
2.2.2 Isolasi dan Identifikasi.
Poernomo et al. (1997a) mengisolasi dan mengidentifikasi Avibacterium
paragallinarum dari isolat-isolat yang diasingkan dari ayam penderita Infeksius
Coryza pada tahun 1987-1989, yang berasal dari Kabupaten Bogor, Kabupaten
Sukabumi, Kodya Jakarta Selatan dan isolat-isolat yang diasingkan pada tahun
1991-1994 dari Kabupaten Bogor, Ciamis, Karang Anyar, dan Lampung. Isolat
dari Ciamis diasingkan dari ayam Kampung/buras, dan terbukti bahwa Infeksius
Coryza dapat menyerang berbagai jenis ayam. Hasil survai Infeksius Coryza pada
ayam yang dilakukan oleh Takagi et al. (1991) pada beberapa lokasi di Jawa Barat
telah ditemukan 2 serotipe Avibacterium paragallinarum yaitu A dan C. Serotipe
A pada ayam petelur lebih banyak yang bereaksi positif pada test HI.
Medium yang digunakan untuk isolasi bakteri Avibacterium
paragallinarum (Apg) dari eksudat ayam yang menderita coryza memakai agar
darah dengan Staphylococcus hycus sebagai feeder culture. Biakan pada medium
cair (TM/SN tanpa agar), disimpan secara aerobik, sedangkan medium padatnya
(agar) disimpan dengan kondisi CO, yang dinaikkan -+ 5% (Blackall, 1983 ;
1988). Hasil isolasi bakteri Apg setelah diinkubasi selama 24 jam menunjukkan
koloni pada agar darah berwarna coklat, bersifat non-hemolisis dan tidak
ditemukan adanya pertumbuhan koloni pada media McConkey. Pewarnaan Gram
menunjukkan bakteri Apg merupakan bakteri Gram negatif, coccobacil, nonmotil,
fakultatif anaerob, dan tidak membentuk spora (Kerala, 2012).
6
Gambar 1 Avibacterium paragallinarum, Bakteri
Gram negatif berbentuk batang, basil. Sumber: Islam, 2007
2.2.3 Sifat Biokimia Uji biokimiawi bakteri Avibacterium paragallinarum (Apg) menggunakan
medium yang mengandung karbohidrat kemudian disimpan pada suhu 37°C
selama 48 jam. Hasil uji biokimiawi adanya pembentukan asam yang ditunjukkan
oleh zona warna kuning disekeliling dan dibawah pertumbuhan bakteri Apg.
Karbohidrat yang diuji adalah galaktosa, sorbitol, sukrosa, glukosa, laktosa,
maltosa, mannitol, sukrosa, trehalosa dan xilosa. Uji biokimiawi Apg
menunjukkan katalase negatif, oksidase negatif, H2S negatif, dan fermentasi
glukosa menunjukkan laktosa, sukrosa, mannitol posItif dan galaktosa negatif
(Kerala, 2012).
Haemophillus avium mempunyai sifat-sifat biokimiawi yang heterogen,
maka perlu diteliti lebih lanjut tentang sifat-sifat fisiologik termasuk
biokimiawinya (dengan karbohidrat yang lain) dari 21 isolat yang katalase-positif,
sehingga dapat dikonfirmasikan secara pasti pada klasifikasi Haemophilus dari
ayam. Menurut peneliti di luar negeri Haemophilus spp. yang katalase-positif
tidak patogenik, sedangkan 21 isolat Haemophilus spp. yang katalase positif
dalam penelitian ini diasingkan dari ayam sakit, karena itu perlu dilakukan uji
patogenisitas. Menurut Blackall (1983) uji biokimiawi dengan metode medium
padat lebih akurat bila dibandingkan dengan menggunakan medium cair yang
biasa dilakukan sebelumnya, apalagi jika bakteri yang diuji jumlahnya besar,
karena dapat memakai aplikator. (Blackall, 1988).
2.2.4 Gejala Klinis Gejala-gejala klinis secara umum dari penyakit Coryza, yaitu terjadi
penurunan nafsu makan dan diare, sehingga pertumbuhan ayam menjadi
terhambat dan kerdil (Anonim, 1980; Hardjoutomo, 1985; Gordon dan Jordan,
1982; Blackall et al., 1997), adanya eksudat yang keluar dari hidung yang lama
kelamaan menjadi kuning kental, muka dan pialnya bengkak, kesulitan bernafas
(Dharma dan Putra, 1997). Bagian paruh di sekitar hidung tampak kotor atau
berkerak karena sisa pakan yang menempel pada eksudat. Sinus infraorbitalis
membengkak, yang ditandai dengan pembengkakan sekitar mata dan wajah,
kadang-kadang suara ngorok terdengar dan ayam penderita agak sulit bernapas.
Gejala khas dari penyakit coryza yaitu, cairan mukoid dari rongga hidung
yang berbau busuk dan sedikit berbusa, kadang-kadang cairan hidung yang
7
mengering terlihat di sekitar rongga hidung sampai di bagian atas paruh (Tabbu,
2000).
2.2.5 Perubahan Patologi
Perubahan makroskopik akibat penyakit coryza yaitu adanya sinusitis,
tracheitis, akumulasi darah pada trakea dan paru-paru, obstruksi paru-paru,
eksudat pada kantong udara, dan trakea, keradangan catharralis acute membrana
mucosa cavum nasi dan sinus, conjunctivitis catharralis dan edema subcutan
pada daerah facialis dan pial. Tanda-tanda lain yang terlihat yaitu pembengkakan
sinus, edema pada wajah dan pial serta penurunan produksi telur (Saravanabava,
2008).
Gambar 2. Trakea mengalami hemorragi. Sumber: Islam, 2007
Gambar 3. Paru-paru mengalami hemorragi. Sumber: Islam, 2007
Perubahan mikroskopik akibat coryza yaitu, pada bagian hidung, sinus
infraorbital dan trakea terdapat eksudasi mucopurulen, terdapat decilliasi dan sel
epitel menjadi bengkak, vacuola, edema pada lamina propria, kelenjar mucosa
hiperplasia dengan lendir juga jelas. Cellulitis fibrinopurulent diamati pada
kelopak mata, peradangan pada dermis dan subcutis infiltrasi fibrin dan
heterophilic yang paling banyak pada subcutis, kemudian eksudat dan massa
cassousa yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa, kantung udara menunjukkan
penebalan, edema, hiperplasia mesothelial, deposisi fibrin dan infiltrasi
heterophilic di stroma, kadang-kadang eksudat fibrinopurulent dapat menumpuk
pada permukaan kantung udara, dan lesi kantung udara terlihat di sekitar 25%
kasus. (Droual, R. et al, 1990, Avian Dis, 34:. 1009).
8
Gambar 4. Sel-sel mengalami acanthosis, parakeratosis,
dan inflamasi pada hidung, Islam, 2007
Gambar 5. Sel hiperplasia dan obstruksi kelenjar mukosa
pada hidung, Islam, 2007
2.3 Sistem Pernapasan Pada Unggas
Sistem pernapasan pada unggas berfungsi sebagai tempat pertukaran
antara oksigen masuk kedalam tubuh dan karbondioksida yang dikeluarkan dari
tubuh unggas, serta berfungsi untuk mengatur suhu tubuh. Anatomi pernapasan
pada unggas terdiri dari rongga hidung atau sinus, trakea, bronkus, paru dan
kantong udara. Unggas menghirup udara masuk ke paru-paru, diteruskan ke dalam
kantong udara. Perubahan tekanan dalam kantong udara menyebabkan udara
dapat keluar masuk paru-paru. Tempat berdifusinya gas pernapasan pada unggas
hanya terjadi di paru-paru. Paru-paru unggas berjumlah sepasang dan terletak
dalam rongga dada yang dilindungi oleh tulang rusuk. Dalam Rongga hidung
udara masuk kemudian diteruskan pada faring yang menghubungkan ke trakea.
Bentuk trakea unggas panjang berupa pipa bertulang rawan yang berbentuk
cincin, dan bagian akhir trakea bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus
kanan dan bronkus kiri. Bronkus pada pangkal trakea terdapat sirink bagian
dalamnya terdapat lipatan-lipatan berupa selaput yang dapat bergetar. Selaput
tersebut menimbulkan suara. Bronkus bercabang menjadi mesobronkus yang
merupakan bronkus sekunder dan dapat dibedakan menjadi ventrobronkus (di
bagian ventral) dan dorsobronkus (di bagian dorsal) (Franson, 1993).
9
Ressang (1984) menyebutkan bahwa alat pernapasan merupakan organ
tubuh yang mudah terserang penyakit, karena adanya hubungan langsung antara
lubang/rongga hidung dengan alveoli di dalam paru-paru. Unggas memerlukan
energi yang sangat banyak untuk terbang, maka unggas memiliki sistem respirasi
yang memungkinkan untuk berlangsungnya pertukaran oksigen yang sangat besar
per unit hewan. Anatomi dan fisiologi sistem respirasi unggas sangat berbeda
dengan mammalia. Perbedaan utama adalah fungsi paru-paru, pada mammalia,
otot diafragma berfungsi mengontrol ekspansi dan kontraksi paru-paru, dan pada
unggas tidak memiliki diafragma sehingga paru-paru tidak mengembang dan
kontraksi selama ekspirasi dan inspirasi. Paru-paru hanya sebagai tempat
berlangsungnya pertukaran gas di dalam darah (Sembiring, 2009).
Gambar 6. Sistem Pernapasan Unggas. Sumber: Setijanto, 1998.
2.4 Trakea
Menurut Setijanto (1998), trachea unggas disusun oleh cincin cartilago
yang sempurna dan ditautkan oleh ligament yang rapat dan sempit. Jumlah cincin
cartilago sangat bervariasi pada jenis unggas. Menurut Myers (1917) dalam
penelitiannya menemukan bahwa empat cincin cartilago trachea pertama
menyatu dengan sempurna untuk membentuk tympanum. Bagian caudal setelah
tympanum terdapat empat cartilago syrinx intermediet yang melekat secara
ventral pada pessulus dan secara dorsal tidak melekat. Cartilago pertama dari
bronchi berukuran besar dan melekat pada pessulus secara ventral maupun dorsal.
Pessulus merupakan bagian terbesar dari sturktur skeletal pada organ syrinx.
Pessulus terletak di percabangan bronchi secara dorsovental. Trakea merupakan
tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago, melingkar berbentuk O
yang mencegah collaps dari tekanan negatif paru-paru (McLelland, 1990). Sistem
pertahanan yang terdapat pada sistem pernapasan ayam adalah adanya cilia pada
permukaan dalam trachea. Cilia mampu menangkap partikel tertentu yang
terdapat di dalam udara, selain itu ada mucus yang diproduksi oleh epitel
respiratorius di trachea. Sekresi mucus dan aktivitas cilia sangat berkembang
pada ayam. Keduanya saling bekerja sama dalam menangkap partikel berbahaya
10
yang terdapat di udara yang dihirup. Sekresi mucus yang terlalu encer,
menyebabkan cilia tidak dapat berfungsi dengan baik (Jacob dan Pescatore.
[tahun tidak diketahui]).
Perubahan patologi anatomi pada penyakit coryza dapat dilihat dari muka
asimetris serta sinus infraorbital dan trakea terdapat hemorragi dan eksudat
serous (Prasetyo, 2014). Perubahan mikroskopik pada trakea meliputi
deskuamasi, desintegrasi dan hiperplasia lapisan mukosa dan glandularis, edema,
hipermia, infiltrasi heterofil, mast cell dan makrofag di daerah tunika propria.
2.5 Bawang Putih
2.5.1 Kandungan Bawang Putih
Bawang putih merupakan genus allium yang mempunyai karakteristik
utama, yaitu memiliki metabolit sekunder yang berupa senyawa organosulfur
yang tinggi. Senyawa organosulfur mengandung belerang yang menyebabkan
rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang putih (Wargovich, 1994). Bawang
putih mengandung lebih dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat
berguna (Challem, 1995). Senyawa ini mengandung belerang yang berfungsi
memberi rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang putih (Ellmore dan
Fekldberg, 1994). Dua senyawa organosulfur paling penting dalam umbi bawang
putih, yaitu asam amino non-volatil γ-glutamil-Salk(en) il-L-sistein dan minyak
atsiri S-alk(en) iL-sistein sulfoksida atau alliin. Dua senyawa di atas menjadi
prekursor sebagian besar senyawa organosulfur lainnya. Kadar senyawa dapat
mencapai 82% dari keseluruhan senyawa organosulfur di dalam umbi (Zhang,
1999). Senyawa γ-glutamil-S-alk(en) il-L-sistein merupakan senyawa
intermediet biosintesis pembentukan senyawa organosulfur lainnya, termasuk
alliin. Senyawa ini dibentuk dari jalur biosintesis asam amino.
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar,
umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen. Alkaloid seringkali beracun dan sering digunakan secara luas
dalam bidang pengobatan. Tanin bereaksi dengan protein membentuk kopolimer
yang tidak larut dalam air. Tannin dalam sel mengganggu penyerapan protein oleh
cairan tubuh karena menghambat proteolitik menguraikan protein menjadi asam
amino. Saponin adalah zat yang dapat membentuk busa dari suatu ekstrak tumbuhan.
Kadar saponin yang tinggi dalam tumbuhan membuat ekstrak alkohol-air sukar pekat.
Saponin mampu menghemolisis sel darah (Harborne, 1996).
11
Gambar 7. Bawang Putih di Dataran Tinggi Bandung. Sumber :Hilman Yusdar,
Hidayat Achmat, Suwandi.1997.
2.5.2 Manfaat Bawang Putih
Ekstrak segar umbi bawang putih dapat disimpan lama dalam ethanol 15–
20%. Penyimpanan selama 20 bulan pada suhu kamar akan menghasilkan AGE
(aged garlic extract). Kandungan allisin selama penyimpanan akan menurun dan
sebaliknya diikuti naiknya konsentrasi senyawa-senyawa baru. Senyawa yang
banyak terkandung adalah S-alil sistein dan S-allilmerkaptosistein (SAMC)
(Banerjee dan Maulik, 2002; Amagase et al., 2001). Umbi bawang putih
berpotensi sebagai agen anti-mikrobia. Kemampuan menghambat pertumbuhan
mikrobia sangat luas, mencakup virus, bakteri, protozoa, dan jamur (Nok et al.,
1996; Zhang, 1999; Ohta et al., 1999; Pizorno dan Murray, 2000; Yin et al.,
2002). Ajoene yang terdapat dalam ekstrak maserasi bawang putih, mempunyai
aktivitas antivirus paling tinggi dibandingkan senyawa lain, seperti allisin, allil
metil tiosulfinat, dan metil allil tiosulfinat. Ajoene juga menghambat pertumbuhan
bakteri gram negatif dan positif, serta khamir Naganawa, et al., 1996).
Penghambatan ini sangat efektif pada mutasi tipe transisi (Agarwal, 1996).
Bawang putih dimanfaatkan sebagai bumbu masakan dan zat antibakteri.
Allicin merupakan senyawa derivat sulfur, memberikan aroma yang khas pada
bawang putih dan bermanfaat melawan mikroba dan serangga (Maidment, et al
2001). Tanaman yang memiliki potensi sebagai tanaman obat salah satunya
adalah bawang putih yang memiliki nama ilmiah Allium Sativum Linn. Bawang
putih mempunyai berbagai macam efek antioksidan yaitu kandungan asam
sulfenat dibentuk dari dekomposisi allicin yang terdapat didalam bawang putih,
selain sebagai antioksidan bawang putih juga mempunyai sifat antibakteri yang
berasal dari kandungan senyawa sulfur organik yaitu alliin (S-allyl-cysteine
sulphoxide) yang disintesis dari asam amino sistein (Kemper, 2000; Milner 2001).
Ekstrak bawang putih yang telah diuji dengan menggunakan tes difusi
agar, mampu menghambat pertumbuhan 7 macam bakteri patogen. Bakteri
tersebut antara lain E. Coli 0124, E. Coli 0111, S. Typhimurium, S. Havana, S.
Para A, Shigella flexneri dan Shigella dysentriae. Kadar MIC ekstrak bawang
12
putih yang digunakan untuk melawan bakteri patogen adalah 11.25-360 ug/ml
dimana bakteri tersebut merupakan bakteri yang resisten pada kebanyakan
antibiotik. Daya hambat ekstrak bawang putih berkurang seiring dengan waktu
(Mehrabian, 1992).
2.5.3 Mekanisme kandungan bawang putih sebagai antibiotik
Bawang putih setelah diiris-iris dan dihaluskan dalam proses pembuatan
ekstrak atau bumbu masakan, enzim allinase menjadi aktif dan menghidrolisis
alliin menghasilkan senyawa intermediet asam allil sulfenat. Kondensasi asam
tersebut menghasilkan allisin, asam piruvat, dan ion NH4+. Satu miligram alliin
ekuivalen dengan 0,45 mg allisin. Pemanasan dapat menghambat aktivitas enzim
allinase. Suhu di atas 60oC menyebabkan enzim ini inaktif (Song dan Milner,
2001). Asam amino alliin akan segera berubah menjadi allisin begitu umbi
diremas. Allisin bersifat tidak stabil, sehingga mudah mengalami reaksi lanjut,
tergantung kondisi pengolahan atau faktor eksternal lain seperti penyimpanan,
suhu, dan lain-lain. Ekstraksi umbi bawang putih dengan etanol pada suhu di
bawah 0oC, akan menghasilkan alliin. Ekstraksi dengan etanol dan air pada suhu
25oC akan menghasilkan allisin dan tidak menghasilkan Alliin, sedangkan
ekstraksi dengan metode distilasi uap (100oC) menyebabkan seluruh kandungan
alliin berubah menjadi senyawa allil sulfida. Pengolahan ekstrak dengan
microwave selama 1 menit menyebabkan hilangnya 90% kinerja enzim allinase.
Pemanasan dapat menyebabkan reaksi pembentukan senyawa allil-sulfur terhenti
(Song dan Milner, 2001).
Allicin merupakan prekursor pembentukan allil sulfida, misalnya diallil
disulfida (DADS), diallil trisulfida (DATS), diallil sulfida (DAS), metallil sulfida,
dipropil sulfida, dipropil disulfida, allil merkaptan, dan allil metil sulfida.
Kelompok alllil sulfida memiliki sifat dapat larut dalam minyak. Oleh karena itu,
untuk mengekstraknya digunakan pelarut non-polar (Gupta dan Porter, 2001).
Allicin adalah komponen sulfur teroksigenasi, terbentuk ketika siung bawang
putih dihancurkan. Alliin adalah prekursor stabil dari allicin dan tersimpan dalam
ruangan pada tanaman yang memisahkannya dari enzim alliinase (juga
dinamakan alliin lyase), ketika dihancurkan kemudian bercampur dan alliin
diubah dengan cepat menjadi allicin oleh aktivitas dari enzim ini. Aktivitas
antibakteri dari allicin telah dikemukakan oleh Ankri dan Mirelman pada 1999.
13
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015, di Kecamatan
Wattangsawitto, Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Nekropsi dan pembuatan
preparat patologi dilakukan di Laboratorium Bedah dan Radiologi Dinas
Peternakan Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Populasi dan Sampel
A. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ayam petelur yang terserang
coryza di Kecamatan Wattangsawitto Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan .
B. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi yaitu sebagian
dari ayam petelur yang terserang coryza pada Kecamatan Wattangsawitto,
Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Dengan jumlah sampel 25 ekor ayam
petelur yang terserang coryza .
3.2.2 Alat dan Bahan
A. Persiapan Kandang dan Perawatan Selama Penelitian:
Alat dan bahan yang digunakan untuk persiapan kandang dan perawatan
selama penelitian adalah 25 buah kandang baterai, tempat pakan, tempat minum,
kabel, lampu, air, dan pakan.
B. Perlakuan :
Alat dan bahan yang digunakan selama perlakuan adalah ekstrak bawang
putih dengan dosis 2,5%, 5%, dan 7,5%, wadah pencampur, dan spoit.
C. Nekropsi
Alat dan bahan yang digunakan selama nekropsi adalah satu spuit
berukuran 10 ml untuk proses euthanasia; satu set alat bedah nekropsi yaitu,
gunting, scalpel, penggaris, pinset anatomis, dan pinset chirurgis; ketamin,
D. Pembuatan Preparat Patologi
Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat Patologi adalah
gunting, scalpel, dan pinset anatomis.
14
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Desain penelitian
Keterangan :
X = Subjek penelitian
X0 = Kelompok kontrol positif pemberian antibiotik enrofloxacin
X1 = Kelompok kontrol negatif (tanpa ekstrak bawang putih, hanya pemberian
NaCMC 0,5%)
X2 = Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak bawang putih dosis 2,5%.
X3 = Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak bawang putih dosis 5%.
X4 = Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak bawang putih dosis 7,5%.
Y0 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok kontrol positif
Y1 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok kontrol negatif
Y2 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok perlakuan dosis 2,5%
.
Y3 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok perlakuan dosis 5%.
Y4 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok perlakuan dosis 7,5%
Desain penelitian yang dilakukan adalah Experimental, yaitu satu kelompok
kontrol positif dengan pemberian antibiotik enrofloxacin, satu kelompok sebagai
kelompok kontrol negatif tanpa pemberian ekstrak bawang putih, dan tiga
kelompok sebagai kelompok perlakuan diberikan ekstrak bawang putih, kemudian
akan dilihat perubahan patologi yang terjadi.
X
Xo X1
X3 X2
Yo
Y1 Y2
Y3
Mengamati perubahan yang terjadi
X4
Y4
15
3.3.2 Variabel Penelitian
A. Variabel dependen: Gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang
terserang coryza.
B. Variabel Independen : Pemberian ekstrak bawang putih (Allium Sativum
Linn).
3.3.3 Jumlah sampel
Penelitian ini menggunakan uji coba dengan metode pemberian ekstrak
bawang putih kepada ayam petelur yang terinfeksi coryza, maka jumlah sampel
dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor ayam petelur. Jumlah sampel ditentukan
dengan menggunakan rumus federer yaitu: (n-1)(t-1) > 15. Dalam penelitian ini
terdapat 1 kelompok kontrol positif, 1 kelompok kontrol negatif dan 3 kelompok
perlakuan. Bila dimasukkan dalam rumus federer maka dapat ditentukan besar
pengulangan per kelompok yaitu :
(n-1)(t-1) > 15
(n-1)(5-1) > 15
(n-1)(4) > 15
(n-1) > 15 : 4
(n-1) > 4
n > 4+1
n > 5
Keterangan: n= jumlah sampel
t= jumlah kelompok
Maka jumlah sampel per kelompok minimal 5 ekor ayam petelur yang
terserang coryza. Sehingga dalam penelitian ini dipakai 25 ekor ayam petelur
yang terserang coryza.
3.3.4 Pembuatan Ekstrak Bawang Putih
Bawang putih yang telah dirajang kemudian ditimbang sebanyak 1 kg, lalu
dikeringkan dengan menggunakan herbs dryer setelah dikeringkan kemudian
dimaserasi dalam ethanol 70% dengan menggunakan alat sonikator selama 60
menit. Dalam sonikator, dimasukkan satu bagian bawang putih yang telah
dirajang dan sepuluh bagian ethanol 70%, maserat dipisahkan kemudian diulangi
dengan proses dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan
dimasukkan ke dalam rotari evopator dengan suhu 500C dan kecepatan 30 rpm
untuk menguapkan ethanol. Selanjutnya, filtrat yang tersisa diuapkan
menggunakan cawan penguap didalam waterbath pada suhu 500C hingga
diperoleh ekstrak kental.
3.3.5 Perlakuan
Terdapat 3 kelompok perlakuan dengan dosis yang berbeda yaitu 2,5%,
5%, dan 7,5%. Pemberian ekstrak bawang putih dengan cara dicekokkan pada
ayam yang terserang coryza. Berdasarkan referensi, penggunaan ekstrak bawang
putih dengan taraf 2,5%, 5%, dan 7,5% memiliki tingkat kerusakan yang
berbeda-beda sesuai dengan taraf pemberian bubuk bawang putih, semakin tinggi
taraf yang diberikan maka semakin rendah tingkat kerusakan (Hastuti, 2008).
Perlakuan diberikan selama 7 hari (Hossain, 2013). Perlakuan tersebut yaitu:
X0= Kelompok kontrol positif dengan pemberian antibiotik enrofloxacin
X1= Kelompok kontrol negatif (tanpa pemberian ekstrak bawang putih, hanya
Na CMC 0,5%).
X2= 2,5% Ekstrak bawang putih
16
X3= 5% Ekstrak bawang putih
X4= 7,5% Ekstrak bawang putih
3.3.6 Euthanasia
Ayam di euthanasia dengan menginjeksikan ketamine dengan dosis 67,9
mg/kg BB secara intravena (McGrath et al,. 1984). Metode euthanasia pada
hewan dengan injeksi agen kimiawi tidak boleh dilakukan melalui intramuscular
berdasarkan American Veterinary Medical association (AVMA) Guidelines on
Euthanasia (2007).
3.3.7 Nekropsi
Setelah ayam di euthanasia, rongga dada kemudian dibuka dengan hati-
hati, mulut dibuka kemudian trakea dipisahkan dari tubuh untuk pengamatan.
Pengamatan dilakukan pada organ trakea yang menempel pada tubuh.
Pengambilan gambar dilakukan dengan menggunakan kamera digital dari
berbagai sudut yaitu ventral dan lateral. Trakea hingga bronkus beserta otot yang
melekat kemudian diangkat dan dipisahkan dari tubuh secara hati-hati
menggunakan pisau bedah.
3.3.8 Parameter Penelitian
Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap ayam petelur yang
terserang coryza dan mengamati pengaruh pemberian ekstrak bawang putih dari 3
perlakuan pemberian dosis yang berbeda dan 2 perlakuan kontrol. Parameter yang
diamati adalah perubahan patologi trakea pada ayam petelur yang terserang
coryza.
A. Makroskopik
Perubahan patologi anatomi pada penyakit coryza dapat dilihat dari
muka asimetris serta sinus infraorbital, dilakukan penciuman pada bau eksudat
(sangat busuk, busuk dan agak busuk) dan trakea terdapat hemorragi dan eksudat
serous (Prasetyo, 2014).
3.4 Hasil Pengamatan Hasil pengamatan dilakukan dengan deskriptif kualitatif berdasarkan foto
hasil pengamatan perubahan patologi dan kuantitatif berdasarkan hasil skoring
perubahan patologi trakea ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian
ekstrak bawang putih.
17
3.5 Alur Penelitian
Populasi
Sampel
Kultur bakteri
Kelompok kontrol negatif
(dengan pemberian Na
CMC)
Kelompok perlakuan
dengan pemberian ekstrak
bawang putih
2,5% 5% 7,5%
Euthanasia
Nekropsi
Perubahan gambaran
patologi trakea
Hasil Pengamatan
Perlakuan
Pembuatan preparat patologi
trakea
Kelompok kontrol positif
dengan pemberian antibiotik
18
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
Penelitian menggunakan ekstrak bawang putih dilakukan untuk
menentukan aktivitasnya sebagai obat antibiotik. Bawang putih mengandung
minyak atsiri dan allisin yang diduga mempunyai kemampuan sebagai antibakteri
dan antiseptik. Allicin merusak protein bakteri penyakit dalam tubuh, sehingga
bakteri penyakit tersebut mati. Allicin merupakan zat aktif yang mempunyai daya
antibiotika yang cukup ampuh (Amiruddin, 2014). Ekstrak bawang putih secara
maserasi dengan pelarut polar etanol 96% merupakan cara yang paling efektif
karena senyawa allisin yang terdapat dalam bawang putih yang bersifat sebagai
antibiotik larut dalam beberapa pelarut organik yang bersifat polar salah satunya
adalah pelarut etanol. Konsentrasi 2,5%, 5%, dan 7,5% dengan setiap dosis
emulsi yang dibuat, diberikan secara oral bertujuan untuk melihat pengaruh
ekstrak bawang putih terhadap gambaran patologi trakea ayam petelur yang
terserang coryza. Penelitian ini menggunakan Na CMC 0,5% sebagai pembawa
ekstrak bawang putih. Ekstrak bawang putih yang diberikan dalam bentuk larutan.
Efek antibiotik diwujudkan oleh tingkat hemorragi pada ayam yang terserang
coryza.
Hewan coba yang digunakan memiliki keseragaman jenis kelamin
(betina), keseragaman berat badan (1,8 kg), umur (1,5 tahun), dan kandang yang
sama. Hal ini bertujuan untuk memperkecil variasi biologis antar hewan coba
yang digunakan sehingga dapat memberikan respon relatif seragam (Tuhu, 2008).
Parameter penilaian gambaran patologi trakea antara lain perubahan patologi
anatomi dapat dilihat dari pembengkakan daerah wajah, eksudat pada sinus
infraorbital dan eksudat serous serta hemorragi pada trakea (Prasetyo, 2014).
4.1.1 Kondisi Hewan Sebelum Perlakuan
Tabel 1. Kondisi hewan sebelum dilakukan perlakuan
Kelompok
Ayam
Bau
Eksudat
Air Mata Pembengkakan Leleran dari
hidung
Kontrol Positif
(Enrofloxacin)
+++ ++
Kontrol Negatif
(NaCMC)
+++ ++
Perlakuan
(2,5%)
+++ ++
Perlakuan (5%) +++ ++
Perlakuan
(7,5%)
+++ ++
Keterangan : Bau eksudat : +++ (sangat bau), ++ (bau), + (sedikit bau)
Pembengkakan: ++ (bengkak), + (sedikit bengkak).
Pemeriksaan kondisi ayam yang dilakukan sebelum penelitian
memberikan hasil yang hampir sama untuk setiap ekor ayam petelur yaitu bau
eksudat +++ (sangat bau), air mata selalu keluar sehingga daerah sekitar mata
menjadi lembab, tingkat pembengkakan dibagian wajah ++ (bengkak) dan hidung
terlihat lembab akibat leleran yang keluar.
19
4.1.2 Gejala Klinis
Tabel 2. Kontrol Positif antibiotik (Enrofloxacin)
Kelompok Hari-ke Eksudat Produksi
Telur
Pembengkakan Air mata Leleran
hidung
X0 1 +++ N=2 ++
2 +++ N=2 ++
3 +++ N=3 ++
4 +++ N=3 ++
5 +++ N=2 ++
6 +++ N=3 ++
7 +++ N=3 ++
8 ++ N=4 ++
9 ++ N=4 ++
10 ++ N=3 ++
11 ++ N=3 ++
12 + N=3 +
13 + N=4 +
14 + N=4 +
Keterangan : Bau eksudat : +++ (sangat bau), ++ (bau), + (sedikit bau)
Pembengkakan: ++ (bengkak), + (sedikit bengkak)
N= produksi telur tiap ekor/hari
Gejala klinis ayam kelompok kontrol positif atau kelompok X0 yaitu: bau
eksudat daerah pembengkakan yaitu +++ (sangat bau), saat dilakukan penciuman
pada hari pertama sampai hari ke-7 yang berasal dari perkejuan berisi nanah. Hari
ke-8 sampai hari ke-11 menurun hingga ++ (bau) dan hari ke-12 sampai hari ke-14
hanya + (sedikit bau). Produksi telur tiap ekor ayam setiap harinya tidak menentu,
peningkatan terlihat pada hari ke-8, 9, 13 dan 14. Pembengkakan hari pertama
sampai hari ke-11 ++ (bengkak) dan pada hari ke-12 yaitu + (sedikit bengkak). Air
mata selalu keluar sehingga menyebabkan daerah sekitar mata lembab. Leleran
hidung selalu keluar sehingga hidung terlihat lembab.
Tabel 3. Kontrol Negatif (NaCMC 0,5%)
Kelompok Hari-
ke
Eksudat Produksi
Telur
Pembengkakan Air mata Leleran
hidung
X1 1 +++ N=2 ++
2 +++ N=2 ++
3 +++ N=2 ++
4 +++ N=2 ++
5 +++ N=2 ++
6 +++ N=2 ++
7 +++ N=2 ++
8 +++ N=3 ++
9 +++ N=2 ++
10 +++ N=3 ++
11 +++ N=2 ++
12 +++ N=2 ++
13 +++ N=3 ++
14 +++ N=3 +
20
Keterangan : Bau eksudat : +++ (sangat bau), ++ (bau), + (sedikit bau)
Pembengkakan: ++ (bengkak), + (sedikit bengkak)
N= produksi telur tiap ekor/hari
Gejala klinis ayam kelompok kontrol negatif (NaCMC 0,5%) atau
kelompok X1 yaitu: bau eksudat hari pertama sampai hari ke-14 memiliki bau yang
sama yaitu +++ (sangat bau) yang berasal dari perkejuan berisi nanah, tidak ada
perubahan yang signifikan pada bau eksudat tersebut. Produksi telur tidak
mengalami peningkatan selama 14 hari pengamatan. Pembengkakan hari pertama
sampai hari ke-13 ++ (bengkak) dan pada hari ke-14 menurun hingga + (sedikit
bengkak). Air mata selalu keluar sehingga menyebabkan daerah sekitar mata
lembab. Leleran hidung selalu keluar sehingga hidung terlihat lembab.
Tabel 4. Kelompok perlakuan ekstrak bawang putih 2,5%
Kelompok Hari-
ke
Eksudat Produksi
Telur
Pembengkakan Air mata Leleran
hidung
X2 1 +++ N=2 ++
2 +++ N=2 ++
3 +++ N=2 ++
4 +++ N=2 ++
5 +++ N=2 ++
6 +++ N=3 ++
7 +++ N=3 ++
8 +++ N=3 ++
9 +++ N=2 ++
10 ++ N=3 ++
11 ++ N=3 ++
12 ++ N=2 ++
13 ++ N=3 +
14 ++ N=3 +
Keterangan : Bau eksudat : +++ (sangat bau), ++ (bau), + (sedikit bau)
Pembengkakan: ++ (bengkak), + (sedikit bengkak)
N= produksi telur tiap ekor/hari.
Gejala klinis ayam kelompok perlakuan (2,5%) atau kelompok X2 yaitu: bau
eksudat hari pertama sampai hari ke-9 yaitu +++ (sangat bau) yang berasal dari
perkejuan berisi nanah. Hari ke-10 sampai hari ke-14 mengalami penurunan yaitu ++
(bau), ekstrak bawang putih pada dosis 2,5% dapat menurunkan bau, nanah berasal dari
bakteri dan leukosit. Produksi telur tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Pembengkakan hari pertama sampai hari ke-12 yaitu ++ (bengkak) dan hari ke-13
sampai ke-14 menurun hingga + (sedikit bengkak). Air mata selalu keluar sehingga
menyebabkan daerah sekitar mata lembab. Leleran hidung selalu keluar sehingga
hidung terlihat lembab.
21
Tabel 5. Kelompok perlakuan ekstrak bawang putih 5%
Kelompok Hari-
ke
Eksudat Produksi
Telur
Pembengkakan Air mata Leleran
hidung
X3 1 +++ N=2 ++
2 +++ N=2 ++
3 +++ N=3 ++
4 +++ N=2 ++
5 +++ N=2 ++
6 +++ N=3 ++
7 +++ N=3 ++
8 +++ N=3 ++
9 ++ N=3 ++
10 ++ N=3 ++
11 ++ N=3 ++
12 ++ N=3 ++
13 + N=3 +
14 + N=3 +
Keterangan : Bau eksudat : +++ (sangat bau), ++ (bau), + (sedikit bau)
Pembengkakan: ++ (bengkak), + (sedikit bengkak)
N= produksi telur tiap ekor/hari
Gejala klinis ayam kelompok perlakuan (5%) atau kelompok X3 yaitu: bau
eksudat hari pertama sampai hari ke-8 yaitu +++ (sangat bau) yang berasal dari
perkejuan nanah. Hari ke-9 sampai hari ke-12 mengalami penurunan yaitu ++ (bau),
hari ke-13 dan hari ke-14 hanya + (sedikit bau), ekstrak bawang putih pada dosis 5%
lebih efektif daripada dosis 2,5% karena dapat menurunkan bau eksudat. Produksi telur
mengalami peningkatan dibandingkan dosis 2,5%, peningkatan terjadi pada hari ke-6
sampai hari ke-14 pengamatan. Pembengkakan hari pertama sampai hari ke-12 yaitu ++
(bengkak) dan pada hari ke-13 menurun hingga + (sedikit bengkak). Air mata selalu
keluar sehingga menyebabkan daerah sekitar mata lembab. Leleran hidung selalu keluar
sehingga hidung terlihat lembab.
Tabel. 6 Kelompok perlakuan ekstrak bawang putih 7,5%
Kelompok Hari-
ke
Eksudat Produksi
Telur
Pembengkakan Air mata Leleran
hidung
X4 1 +++ N=2 ++
2 +++ N=2 ++
3 +++ N=3 ++
4 +++ N=2 ++
5 +++ N=2 ++
6 +++ N=3 ++
7 +++ N=3 ++
8 +++ N=3 ++
9 ++ N=3 ++
10 ++ N=3 ++
11 + N=4 ++
12 + N=4 +
13 + N=4 +
14 + N=4 +
22
Keterangan : Bau eksudat : +++ (sangat bau), ++ (bau), + (sedikit bau)
Pembengkakan: ++ (bengkak), + (sedikit bengkak)
N= produksi telur tiap ekor/hari
Gejala klinis ayam kelompok perlakuan (7,5%) atau kelompok X4 yaitu: bau
eksudat hari pertama sampai hari ke-8 yaitu +++ (sangat bau) yang berasal dari
perkejuan berisi nanah. Hari ke-9 dan hari ke-10 mengalami penurunan ++ (bau). Hari
ke-11 sampai hari ke-14 hanya + (sedikit bau), ekstrak bawang putih pada dosis 7,5%
lebih efektif daripada dosis 5% karena dapat menurunkan bau eksudat. Semakin tinggi
dosis ekstrak bawang putih yang diberikan, semakin banyak zat aktif antibakteri yang
terkandung. Produksi telur mengalami peningkatan yang signifikan pada hari ke-11
sampai hari ke-14. Pembengkakan hari pertama sampai hari ke-11 yaitu ++ (bengkak)
dan pada hari ke-12 menurun hingga (sedikit bengkak). Air mata selalu keluar sehingga
menyebabkan daerah sekitar mata lembab. Leleran hidung selalu keluar sehingga
hidung terlihat lembab.
4.1.3 Gambaran Patologi Trakea Ayam Petelur yang Terserang Coryza Setelah
Pemberian Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum linn). A. Pengamatan Makroskopik
Pengamatan makroskopik bertujuan untuk melihat perubahan yang terjadi pada
trakea setelah pemberian antibiotik golongan Enrofloxacin , NaCMC 0,5% dan
ekstrak bawang putih dosis 2,5%, 5% dan 7,5%. Pengamatan makroskopik berupa
hemorragi dan eksudat serous pada trakea.
23
Tabel 7. Gambaran patologi trakea ayam petelur yang terserang coryza
Kelompok Ayam Nekropsi
hari-ke
Hemorragi Eksudat
serous
Kontrol Positif (Enrofloxacin) 1 Hari ke-8 -
2 Hari ke-8 -
3 Hari ke-11 -
4 Hari ke-14 -
5 Hari ke-14 -
Kontrol Negatif (NaCMC 0,5%) 1 Hari ke-8 -
2 Hari ke-8 -
3 Hari ke-11 -
4 Hari ke-14 -
5 Hari ke-14 -
Perlakuan (2,5%) 1 Hari ke-8 -
2 Hari ke-8 -
3 Hari ke-11 -
4 Hari ke-14 -
5 Hari ke-14 -
Perlakuan (5%) 1 Hari ke-8 -
2 Hari ke-8 -
3 Hari ke-11 -
4 Hari ke-14 -
5 Hari ke-14 -
Perlakuan (7,5%) 1 Hari ke-8 -
2 Hari ke-8 -
3 Hari ke-11 -
4 Hari ke-14 -
5 Hari ke-14 -
Tabel 8. Kriteria Skoring Lesio Patologi Organ Trakea
Skor Keterangan
0 Normal
1 Sebagian Hemorragi
2 Seluruh Bagian Hemorragi
3 Eksudat Serous dan Hemorragi
Tabel 9. Hasil Skoring Lesio Patologi Organ Trakea
Kelompok Keterangan Skoring
Xo Pemberian Enrofloxacin 1
X1 Pemberian NaCMC 0,5% 2
X2 Pemberian Ekstrak
Bawang Putih 2,5%
2
X3 Pemberian Ekstrak
Bawang putih 5%
2
X4 Pemberian Ekstrak
Bawang Putih 7,5%
1
24
Berdasarkan hasil pengamatan patologi, bahwa hasil skoring patologi
trakea kelompok ayam yang tidak diberi ekstrak bawang putih tapi diberikan
antibiotik enrofloxacin tidak berbeda nyata dengan kelompok ayam yang diberi
ekstrak bawang putih 7,5%. Hasil pengamatan patologi trakea ayam kelompok Xo
memperlihatkan adanya hemorragi pada trakea bagian bawah, bentuk hemorragi
mengikuti bentuk cincin cartilago trakea dan tidak terdapat eksudat serous
(Gambar 8). Perubahan patologis yang terjadi pada trakea kelompok Xo
dikarenakan trakea merupakan salah satu organ target penyakit Coryza (Tabbu,
2000). Berbeda dengan kelompok Xo, gambaran patologi pada kelompok X1
secara umum memperlihatkan kerusakan yang parah pada trakea, berupa
hemorragi pada seluruh bagian cincin cartilago trakea bagian atas dan bagian
bawah serta tidak ditemukan adanya eksudat serous (Gambar 9). NaCMC
merupakan cairan pembawa untuk membuat ekstrak dan tidak mengandung zat
kimia yang berfungsi sebagai antibiotik.
Gambar 8. Kontrol positif antibiotik Enrofloxacin
Gambar 9. Kontrol negatif Na CMC
Gambaran patologi trakea kelompok ayam yang diberi ekstrak bawang
putih 2,5% atau disebut kelompok X2 (Gambar 10 ), menunjukkan kerusakan
berupa hemorragi pada seluruh bagian trakea, hemorragi mengikuti bentuk cincin
cartilago trakea. Skoring patologi trakea ayam kelompok X2 tidak berbeda nyata
dengan kelompok X1. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan yang diakibatkan
oleh bakteri Avibacterium paragallinarum setelah diberi ekstrak bawang putih
2,5% tidak memberikan perubahan yang besar dalam mengurangi hemorragi yang
25
timbul akibat bakteri Apg, dikarenakan dosis ekstrak bawang putih yang rendah
tapi hemorragi pada kelompok X2 lebih rendah dibandingkan kelompok X1.
Gambar 10. Ekstrak Bawang Putih 2,5%
Gambaran Patologi trakea kelompok ayam yang diberi ekstrak bawang
putih dosis 5% atau disebut dengan kelompok X3 (Gambar 11) memberikan
perbedaan jika dibandingkan dengan kelompok X2, tapi perbedaan yang nyata
dan jelas terlihat jika dibandingkan dengan kelompok X1. Kelompok X3
mempunyai gambaran patologi yang lebih baik berupa hemorragi yang hanya
terjadi pada ½ bagian trakea dan jelas terlihat pada trakea bagian bawah, bentuk
hemorragi mengikuti bentuk cincin cartilago trakea, namun kondisi kelompok ini
tidak mampu menyamai kondisi kelompok X0, hal ini dikarenakan ekstrak
bawang putih mampu memberikan perubahan pada gambaran patologi trakea
ayam yang terserang coryza, bawang putih mengandung senyawa yang bersifat
antibakteri dan antioksidan ,senyawa tersebut adalah allicin dan asam sulfenat.
Gambar 11. Ekstrak Bawang Putih 5%
Gambaran patologi trakea ayam kelompok yang diberikan ekstrak bawang
putih 7,5% atau disebut dengan kelompok X4 (Gambar 12) memberikan
perbedaan jika dibandingkan dengan kelompok X3. Kelompok X4 mempunyai
gambaran patologi yang lebih baik dibandingkan X3 berupa hemorragi yang
terjadi hanya pada trakea bagian bawah, bentuk hemorragi mengikuti bentuk
cincin cartilago trakea, kondisi kelompok ini mampu menyamai kondisi
kelompok X0 dan tidak memberikan perubahan yang nyata terhadap kelompok
X0. Perubahan gambaran patologi yang lebih baik disebabkan oleh ekstrak
26
bawang putih yang diberikan mengandung senyawa kimia yang bersifat sebagai
antibakteri, semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin banyak allicin
sebagai senyawa antibiotik yang terkandung, sehingga gambaran patologi akan
lebih baik.
Gambar 12. Ekstrak Bawang putih 7,5%
4.2 Pembahasan
Gambaran patologi trakea ayam petelur yang terserang coryza belum
banyak dideskripsikan. Penelitian ini menunjukkan perubahan patologi yang
terjadi pada trakea ayam petelur yang terserang coryza setelah pemberian ekstrak
bawang putih. Trakea merupakan salah satu organ target bakteri Avibacterium
paragallinarum. Sistem pertahanan yang terdapat pada sistem pernapasan ayam
adalah adanya cilia pada permukaan dalam trachea. Cilia mampu menangkap
partikel tertentu yang terdapat di dalam udara, selain itu ada mucus yang
diproduksi oleh epitel respiratorius di trachea. Sekresi mucus dan aktivitas cilia
sangat berkembang pada ayam. Keduanya saling bekerja sama dalam menangkap
partikel berbahaya yang terdapat di udara yang dihirup. Sekresi mucus yang
terlalu encer, menyebabkan cilia tidak dapat berfungsi dengan baik (Jacob dan
Pescatore. [tahun tidak diketahui]).
Wibawan et al. (2009), menyatakan bahwa ayam memiliki sistem
pertahanan atau sistem imunitas yang cukup berkembang, sehingga sangat
responsif terhadap antigen yang memaparnya. Harada et al. (1999) menjelaskan
bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel kekurangan
oksigen dan zat-zat makanan. Carlander, 2002, menyatakan ayam memiliki
sensitifitas tinggi terhadap protein asing, sehingga dengan jumlah sedikit dapat
memberikan respon pembentukan antibodi, setelah bakteri masuk ke dalam tubuh
maka terjadi reaksi homeostasis tubuh untuk mengeluarkan dan memusnahkan
benda asing yang masuk.
Coryza merupakan penyakit saluran pernapasan pada unggas yang
disebabkan oleh bakteri Avibacterium paragallinarum (Apg) (Eliot dan Lewis,
1994). Penyakit coryza dapat menyebabkan muka dan pial bengkak, kesulitan
bernafas, adanya eksudat yang keluar dari hidung yang lama kelamaan menjadi
kuning kental (Dharma dan Putra, 1997). Tabbu (2000), menyatakan bahwa
infeksius coryza biasanya menyebabkan morbiditas tinggi, tetapi mortalitas
rendah, walaupun demikian, beberapa strain Apg yang sangat virulen telah
dilaporkan menyebabkan mortalitas yang tinggi. Berbagai faktor tertentu,
27
misalnya sistem perkandangan yang kurang memadai, dan keadaan nutrisi yang
kurang baik akan meningkatkan derajat keparahan dan lamanya proses penyakit.
Ayam yang sembuh dari infeksi akan mempunyai kekebalan tertentu terhadap
infeksi ulangan Apg. Pullet yang telah terinfeksi dengan bakteri tersebut selama
periode grower akan mempunyai antibodi tehadap Apg yang dapat mencegah
penurunan produksi telur.
Berdasarkan gambaran klinis semua kelompok, kelompok kontrol postitif
tampak bahwa pemberian antibiotik jenis enrofloxacin dapat menurunkan bau
eksudat dan pembengkakan, air mata dan leleran hidung selalu keluar.
Enrofloxacin adalah obat antibakteri derivat Fluoroquinolon yang bekerja luas
membasmi bakteri (Takagi, et al 1991). Kelompok kontrol negatif pemberian
NaCMC tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap gejala klinis, bau
eksudat dan pembengkakan tidak menurun, air mata dan leleran hidung selalu
keluar. Na CMC tidak berfungsi sebagai obat, tetapi merupakan zat dengan warna
putih atau sedikit kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa, berbentuk granula
yang halus atau bubuk yang bersifat higroskopis dan berfungsi sebagai pengental,
stabilisator, pembentuk gel dan sebagai pengemulsi (Potter, 1996). Kelompok
perlakuan ekstrak bawang putih 2,5%, 5% dan 7,5% memberikan perubahan
terhadap gejala klinis yaitu menurunkan bau eksudat dan pembengkakan, air mata
dan leleran hidung selalu keluar. Dosis ekstrak bawang putih yang baik dan lebih
cepat memberikan perubahan yang signifikan adalah dosis 7,5%, karena lebih
banyak mengandung zat antibakteri yang dapat menghancurkan protein bakteri.
Berdasarkan Gambaran patologi semua kelompok, kelompok kontrol
postitif tampak bahwa pemberian antibiotik golongan enrofloxacin dapat
menurunkan tingkat hemorragi pada trakea. Kelompok kontrol negatif tampak
bahwa pemberian Na CMC 0,5% tidak menurunkan tingkat hemorragi pada
trakea. Kelompok perlakuan ekstrak bawang putih 2,5% atau X2, dapat
menurunkan tingkat hemorragi pada trakea meskipun perubahan tidak terlalu
signifikan dibandingkan dengan kelompok X1. Kelompok perlakuan X3
pemberian ekstrak bawang putih 5% dapat menurunkan tingkat hemorragi pada
trakea, perubahan jelas terlihat dibandingkan dengan kelompok X1 dan X2.
Kelompok perlakuan X4 pemberian ekstrak bawang putih 7,5% memberikan
perubahan yang signifikan terhadap gambaran patologi trakea yaitu menurunkan
tingkat hemorragi pada trakea dibandingkan dengan kelompok X1, X2, X3 dan
tidak berbeda nyata dengan kelompok X0. Hal ini dibuktikan oleh Ramadanti
(2008), menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih memiliki aktivitas antibakteri
terhadap E coli, yaitu sebagai pembunuh pertumbuhan bakteri (bakterisidal), hal
ini dapat dijelaskan dari sisi bakteri dan zat aktif yang terkandung dalam bawang
putih. Ekstrak bawang putih mengandung allicin sebagai zat aktif yang bersifat
antibakteri dan dapat merusak protein bakteri di dalam tubuh, sehingga bakteri
tersebut mati (Amiruddin, 2014). Allicin merupakan zat aktif yang mempunyai
daya antibiotika yang cukup ampuh. Semakin tinggi dosis ekstrak bawang putih,
semakin banyak zat antibakteri dan antioksidan yang terkandung didalamnya dan
gambaran patologi yang terlihat semakin membaik.
Gambaran patologi trakea ayam pada semua kelompok, baik kelompok
kontrol maupun kelompok perlakuan, menunjukkan adanya hemorragi. Hemorragi
yang terjadi dimungkinkan karena konsentrasi protein plasma lebih rendah,
tegangan permukaan alveolar yang tinggi, kerusakan pada trakea akibat bakteri
28
Avibacterium paragallinarum yang bereplikasi di trakea, dan hypervolemia
(Loacimescu, 2008). Tabbu (2000) menyatakan bahwa perubahan makroskopik
biasanya terbatas pada saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini akan
menyebabkan keradangan kataralis akut pada membrana mukosa kavum nasi dan
sinus. Kerapkali akan ditemukan adanya konjungtivitis kataralis dan edema
subkutan pada daerah fasialis dan pial, serta terjadi hemorragi pada trakea. Pada
penyakit ini, jarang ditemukan adanya keradangan pada paru dan kantong udara
Gambaran patologi trakea kelompok X4 menunjukkan hasil yang hampir
sama dengan kelompok X0, hal ini merupakan pengaruh efektifitas dari tanaman
ekstrak bawang putih 7,5% yang diberikan. Menurut Tsao et al., (2001)
menyebutkan bahwa allisin yang terkandung dalam bawang putih adalah senyawa
yang memiliki aktifitas antibakteri, allisin adalah produk dari aktifitas enzim
allisinase (sistein sulfoksida liase) setelah penggerusan bawang putih. Rustama et
al (2005) telah membuktikan bahwa bawang putih sangat potensial sebagai
antibakteri baik terhadap bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif.
Kelompok X0 menggunakan antibiotik enrofloxacin yang sering digunakan oleh
peternak sebagai obat penyakit coryza, hasil gambaran patologi trakea tidak
berbeda nyata dengan kelompok X4, hal ini dikarenakan enrofloxacin adalah obat
antibakteri derivat Fluoroquinolon yang bekerja luas membasmi bakteri. Daya
kerjanya berdasarkan hambatan terhadap enzim DNA gyrase yang diperlukan
untuk pembelahan inti sel bakteri. Enrofloxacin efektif membasmi Mycoplasma
sp., Escherichia coli, Avibacterium paragallinarum (Apg) dan Pasteurella
multocida. Intensifnya pemakaian antibiotika untuk pencegahan dan pengobatan
penyakit, telah dilaporkan adanya bakteri Apg yang resisten terhadap beberapa
antibiotika dan preparat sulfa secara in vitro (Poernomo et al., 1997b; Takagi et
al., 1991). Pemberian ekstrak bawang putih dan enrofloxacin masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Ekstrak bawang putih dapat diberikan dalam
jangka waktu yang lama karena terdiri dari bahan alami dan tidak menimbulkan
efek resistensi karena belum banyak digunakan sehingga tubuh belum dapat
mendeteksi zat aktif tersebut, namun efek yang diberikan tidak secepat obat
antibiotik. Enrofloxacin hanya dapat diberikan maksimal 5 hari pemberian karena
dapat menimbulkan resistensi jika pemberiannya dalam jangka waktu yang lama,
namun efek yang diberikan lebih cepat.
Penelitian tentang pemanfaatan ekstrak bawang putih pernah dilakukan
oleh Suharti (2004) menunjukkan bahwa bawang putih dengan konsentrasi 2.5 %,
5 %, 7.5 %, dan 10 % mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. typhimurium
dengan zona hambat masing-masing sebesar 4.0 mm, 6.0 mm, 7.0 mm, 7.5 mm,
dan 8.0 mm. Rani Pudjiastuti melakukan penelitian tentang pengaruh ekstrak
bawang putih terhadap performa ayam yang diinfeksi ascaridia galli, dosis yang
diberikan 2,5%, 5% dan 7,5% selama 14 hari menunjukkan hasil ekstrak bawang
putih dapat meningkatkan konsumsi pakan ayam yang terinfeksi cacing ascaridia
galli. Penelitian yang dilakukan oleh Islam, 2007 menggunakan 100 ekor ayam
petelur kemudian dipelihara dan diinfeksikan bakteri Avibacterium
paragallinarum, sampel yang digunakan sebanyak 24 ekor ayam. Hari ke-3
setelah infeksi diberikan kaldu selama 7 hari kemudian di nekropsi pada hari ke 3,
5 dan 7 untuk melihat gambaran patologi. Hasil gambaran patologi pada
kelompok kontrol (tanpa infeksi Avibacterium paragallinarum) hari ke-3, 5 dan 7
menunjukkan hasil yang sama yaitu bagian hidung dan organ dalam ± (hampir
29
tidak ada lesi inflamasi). Kelompok perlakuan (Inokulasi Avibacterium
paragallinarum) hari ke-3 yaitu eksudat mucous pada hidung + (lesi inflamasi
ringan), hari ke-5 eksudat mucous pada hidung + (lesi inflamasi ringan) dan
hemorragi pada trakea + (lesi ringan). Hari ke-7 eksudat mucous pada hidung ++ (
lesi inflamasi moderate), conjunctivitis ++ (lesi moderate), pembengkakan pada
sinus dan wajah ++ (lesi moderate), kongesti dan pneumonia pada paru-paru ++
(lesi moderate). Hasil penelitian menggunakan ekstrak bawang putih jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Islam (2007) menggunakan
kaldu, tampak bahwa perubahan patologi yang terjadi lebih rendah yaitu setiap
kelompok hanya mengalami pembengkakan, bau eksudat dan hemorragi pada
trakea, hal tersebut bisa dikarenakan bawang putih mengandung allicin sebagai
zat aktif yang bersifat antibakteri dan dapat merusak protein bakteri di dalam
tubuh, sehingga bakteri tersebut mati (Amiruddin, 2014). Waktu pemberian juga
dapat mempengaruhi gambaran patologi, perlakuan pada penelitian ini selama 14
hari dan penelitian yang dilakukan oleh Islam selama 7 hari. Semakin lama
pemberian perlakuan semakin banyak zat antibakteri yang dikonsumsi, sehingga
gambaran patologi semakin membaik.
Ressang (1984) menyatakan bahwa alat pernapasan merupakan organ
tubuh yang mudah terserang penyakit, karena adanya hubungan langsung antara
lubang/rongga hidung dengan alveoli di dalam paru-paru. Infeksius coryza
merupakan penyakit pernapasan bagian atas pada unggas, terutama ayam, yang
bersifat akut. Penyakit ini telah menyebar luas di seluruh dunia, dan kejadiannya
sering pada musim dingin atau udara jelek. Penyebaran penyakit dalam kandang
sangat cepat, baik secara kontak langsung dengan ayam-ayam sakit, maupun tidak
langsung melalui air minum, udara, dan peralatan yang tercemar (Hinz, 1991).
Lingkungan dan cara pemeliharaan juga diduga memberikan pengaruh terhadap
ketahanan tubuh ayam pada serangan bakteri Avibacterium paragallinarum, selain
dipengaruhi oleh efektifitas ekstrak bawang putih. Gejala yang ditimbulkan akibat
infeksi bakteri Apg sangat bervariasi, hal tersebut tergantung pada bakteri,
spesies, umur, intercurrent infeksi, lingkungan, dan status imun inang (Easterday
dan Hinshaw 1991). Ketepatan dosis pemberian ekstrak bawang putih untuk
menanggulangi infeksi bakteri Apg juga mempengaruhi kinerja ekstrak tanaman
ini. Menurut Maksum (2006), aktivitas bakteri mendapatkan perlawanan dari sel
pertahanan tubuh, baik yang spesifik maupun non spesifik, maka pengaruh bakteri
dalam tubuh ditentukan oleh kekebalan tubuh inangnya.
30
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Gambaran patologi trakea ayam petelur yang terserang coryza setelah
pemberian ekstrak bawang putih dosis 2,5%, 5% dan 7,5% lebih efektif
dan memberikan perubahan terhadap gambaran patologi trakea pada dosis
7,5% yang diberikan selama 14 hari, tingkat hemorragi yang terjadi pada
trakea lebih rendah dibandingkan dosis 2,5% dan 5%.
b. Pemberian NaCMC 0,5% sebagai kontrol negatif selama 14 hari pada
ayam petelur yang terserang coryza tidak memberikan perubahan terhadap
gambaran patologi trakea ayam petelur yang terserang coryza.
c. Pemberian antibiotik golongan enrofloxacin sebagai kontrol positif
sebanyak 0,1ml perekor yang diamati pada hari ke-8, 11 dan 14, saat
dilakukan nekropsi pada hari ke-14 terjadi perubahan terhadap gambaran
patologi trakea ayam petelur yang terserang coryza, tingkat hemorragi
lebih rendah dibandingkan hari ke-8 dan 11.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diambil adalah
sebagai berikut :
a. Dapat dilakukan penelitian sejenis dengan meningkatkan dosis ekstrak
bawang putih yang digunakan untuk ayam petelur yang terserang coryza.
b. Dapat dilakukan penelitian sejenis dengan pemberian obat antibiotik
golongan lain untuk pengobatan coryza.
31
Daftar Pustaka
Amagase, H., B.L. dkk. 2001. Intake of garlic and bioactive components. Journal
of Nutrition 131 (3): 955S– 962S.
Agarwal, K.C. 1996. Therapeutic actions of garlic constituents. Med. Res. Rev.
16: 111 – 114.
Alexander, Dennis J. Dkk, 2008. Poultri disease. Penerbit Sanders Elsevier
Anonim. 1982. Pedoman Beternak Ayam Negeri. Yogyakarta: Kanisius
Anonim. 2004. Garlic (Allium sativum). Diakses dari http://www.
Dietsite.com/dt/alternativenutrition/Herbs/garlic.asp. Tanggal 24
Desember 2004. .
Ankri Serge, Mirelman David. 1999. Antimicrobial Properties Of Allicin From
Garlic.Departemen of Biological Chemistry. Israel.
Anggrodi, R., 1985. Kemajuan Mutahir Dalam Ilmu Makanan Ternak Indonesia.
UUI Pres. Jakarta.
Blackall, P . J . and G. G. Reid. 1982. Further characterization of Haemophilus
paragallinarum and Haemophilus avium. Vet. Microbiol. 7: 359-366.
Blackall, P.J. 1988. Biochemical properties of catalasepositive avian Haemophili.
J. Gen. Microbiol. 134: 2801-2805
Blackall, P.J. 1990 . Queensland Department of Primary Industries, Animal
Research Institute, Yeerongpilly 4105, Australia (Komunikasi pribadi) .
Blackall, P.J., J.M. Matsumoto and R. Yamamoto, 1997. Infectious coryza. In:
Diseases of poultry. 10th Edition. Calnek B.W. et al. (Eds). Iowa State
University Press. pp. 179 – 90.
Carlander D. 2002. Avian IgY Antibody In Vitro and In Vivo. Comprehensive
Summaries of Uppsala Dissertations from Faculty of Medicine 119.
ACTA Universitatis Uppsala, Center Texas A & M University
Kingsville.
Charlton, B.R ., A.B. Bermudez, M. Boulianne, D.A . Halvorson, J.S .Jeffrey, L.J.
Newman, J .E . Sander and P.S. Wakenell. 2000 . Avian Disease Manual.
Fifth Edition. American Association of Avian Pathologists. Pennsylvania.
USA. pp . 204-231.
Challem, J. 1995. The Wonders of Garlic. http://www.jrthorns. com/
Challem/garlic.html.
Dreidger, S. 1996. Ode to garlic: The stinky rose can be good for you. Maclean 's
109: 62-64.
Dharma, DMN dan Putra, AA.G. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. Penerbit CV
Bali Media Adhikarsa. Denpasar. Bali. Hal 218.
Droual, R., A.A. Bickford, B.R. Chariton, G.L. Cooper and S.E. Channing. 1990.
Infection coryza in meat chickens in the San Joaquin Valley of
California. Avian Dis. 34: 1009 – 1016.
Eliot, C.P. and M.R. Lewis. 1994. A Haemophilic bacterium as the cause of
Infectious coryza in the fowl. J. Am. Vet. Med. Ass. 84: 878-888.
El Houadfi, M. and J. Vanmarcke, 1991. Evaluation of the efficacy of avian
coryza vaccine (Haemovax) in a layer flock in Morocco. Maghreb
Veterinaire, 5: 17- 20.
Ellmore, G. and R. Feldberg. 1994. Alliin lyase localization in bundle sheaths of
garlic clove (Allium sativum). American Journal of Botany 81: 89-95.
32
Endoh, E.K.M dkk, 2013. Analisis titk impas usaha ternak ayam ras petelur
“Dharma Gunawan’ di Kelurahan Paniki bawah Kecamatan Mapanget
Kota Manado. Fakultas peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Jurnal Zootek (“Zootek”Journal), Vol.33 No.1 : 11–20 (Juli 2013) ISSN
0852-2626 11
Easterday BC and VS Hinshaw. 1991. Avian influenza In: Disease of Poultry 9th
ed. B. Calnek, H. Barnes, C. Beard, W. Reid and H. Yoder (Jr) (Eds.).
Iowa State University Press, Ames. pp. 532-551.
Franson , R.D . 1993 . “Anatomi dan Fisiologi Ternak” . Gadjah Mada University
press: Yogyakarta.
Gupta, N. and T.D. Porter. 2001. Garlic and garlic-derived compounds inhibit
human squalene monooxygenase. Journal of Nutrition 131: 1662–1667.
Gore Ann R, Hodgin E Clay, Donald G dan Simmons, 1980. Altered immune
function in turkey poults infected with alcaligenes faecalis, the etiologic
agents of turkey rhinotracheitis (coryza). Avian Disease Vol 2 No 3.
Gordon, R.F. and F.T.W. Jordan (ed.).1992. Infectious coryza (Haemophilus
gallinarum; H. paragallinarum). In: Poultry Disease. 2th. ed. Bailliere
Tindal. London. 48-50.
Glisson, John R, 2002. Bacterial Respiratory Diseases of Poultry. Department of
Avian Medicine, University of Georgia, Athens, Georgia 30602-
4875199.
Harborne. 1996. Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan Kedua.
Terjemahan : K. Padmawinata dan I. Soediro. Bandung : Penerbit ITB
Harada T, Akiko E, Gary AB, Robert M.1999. Liver and Gallbladder. Di dalam :
Maronpot RR, editor. Pathology of the Mouse : Reference and Atlas.
United States of America: Cache River Press.
Hilman Yusdar, Hidayat Achmat, Suwandi. 1997. Budidaya Bawang Putih di
Dataran Tinggi. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Hortikultura. Bandung.
Hinz, K.H. 1981. Serological differentiation of Haemophilus paragallinarum
strains by their heat stable antigens. In: Haemophilus, Pasteurella and
Actinobacillus. M. Kilian, W. Fredicksen and E.L. Biberstein (ed.).
Academic Press. London. 1-10.
Hofstad, M.S'., H.J . Barnes, B.W. Calnek, W.M. Reid, and H.W. Yoder JR . 1984
. Diseases of Poultry. 8th Ed. Iowa State Univ. Press, Ames, Iowa, USA.
Hossain, M.M, Ali M, Hossain M.S, Akter S, dan Khan M.A.H.N.A, 2013
Pathogenesis of Infectious Coryza in Chickens (Gallus gallus) by
Avibacterium paragallinarumn Isolate of Bangladesh
Hughes, B.G. and L.D. Lawson. 1991. Antimicrobial Effects of Allim sativum L.
(garlic), Allium ampeloprasum L. (elephant garlic), and Allium cepa L.
(onion), Garlic Compounds and Commercial Garlic Supplement
Products. Phytother. Res. 5: 154 –158.
Inayah Tsaqif, Rahmaniah Eka, dan Nur Fakhrizal A. Pengaruh Ekstrak Bawang
Putih Dengan Dosis Yang Berbeda Terhadap Mortalitas Kutu Ikan
(Argulus sp) Yang Menginfeksi Ikan Mas Koki (Carassium Auratus
Linn). Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Islam M.S, Rahman M.M dan Rahman A.Z, 2007. Bacterial Disease Of Poultry
Prevailing In Bangladesh. Journal of Poultry Science, Vol; 1; No; 1-6.
33
Ishikawa, K., R. Naganawa, H. Yoshida, N. Iwata, H. Fukuda, T. Fujino, and A.
Suzuki. 1996. Anitmutagenic effects of ajoene, an organosulfur
compound derived from garlic. Bioscience, Biotechnology, and
Biochemisry 60: 2086-2088.
Jacob J and Pescatore T. [tahun tidak diketahui]. Avian Respiratory System.
University of Kentucky
Kemper,K.J. 2000. Garlic (Allium sativum). Longwood Herbal Task Force.
(Diakses pada tanggal 19 November 2013).
Kerala, 2012. Isolation and identification of avibacterium paragallinarum from
ornamental birds in trissur. Journal of life sciences vol.1 no. 3 pp 87-88.
Kurniasih, Utami M.M.D, Agus Ali, Wihandoyo, 2007. Studi Efektivitas Bawang
Putih Terhadap Hambat Aflatoksin B1 Pada Pertumbuhan Koloni
Bacillus Megaterium. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Yogjakarta.
Kusnadi, U., A. Gozali, H. Resnawati, S.N. Jarmani, dan S. Iskandar. 2001.
Evaluasi potensi sumber pakan lokal dan sistim kelembagaan dalam
mendukung keberlangsungan usaha ayam buras. Prosiding Hasil
Penelitian Bagian Proyek “Rekayasa Teknologi Peternakan/ARMP
II”. Puslitbang Peternakan. Bogor.
Loachimescu, O. C.; Stoller, J. K. 2008. "Diffuse alveolar hemorrhage:
Diagnosing it and finding the cause". Cleveland Clinic journal of
medicine 75 (4): 258, 260, 264–5 passim.
Maidment, D.C.J.Z. Dembny and D.I. Watz, 2001. The antibacterial activity of 12
allium against eschericia coli. Nutrit and food sci. 31 (S); 238-241
Maksum R. 2006. Avian Influenza A (H5N1) : Patogenesis, Pencegahan, dan
Penyebaran pada Manusia dalam Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III,
No.2 : 55 – 65.
McGrath CJ, Lee JC, and Campbell VL. 1984. Dose-response Anesthetic Effects
of Ketamine in the Chicken. Am J Vet Res Mar 45 (3): 531-534.
McLelland J.1990. A Colour Atlas of Avian Anatomy. Wolfe Publisihing,
England.
Mehrabian S. and H. Larry-Yazdy. 1992. Antimicrobial activity of Allium sativum,
Allium cepa, Allium porrum, (Liliaceae) against enteric pathogens
(Enterobacteriacea). ISHS Acta Holticulturae 319: International
Symposium on Transplant Production System.
Miharja, Maryam Romsyah, Sani Yulvian, Juariah Siti, Firmansyah Rahmat,
2003. Efektivitas Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum Linn) dalam
Penanggulangan Aflatoksikosis pada Ayam Petelur. Balai Penelitian
Veteriner Bogor, PO Box 151, Bogor 16114 (Diterima dewan redaksi 12
September 2003). .
Mouahid, M., M. Bisgard, A.J. Morley, R. Mutters and W. Mannheim. 1992.
Occurance V-factor (NAD) independent strains of Haemophilus
paragallinarum. Avian Dis. 31: 363 – 368.
Myers JA. 1997. Studies on The Syrinx of Gallus Domesticus. Journal of
Morphologi (1924): 165-216.
Naganawa, R., N. dkk. 1996. Inhibition of microbial growth by ajoene, a sulfur-
containing compound derived from garlic. Applied and Environmental
Microbiology 62: 4238-4243.
34
Nelson John B, 1939. Growth Of Tissue Fowl Coryza Bodies In Tissue Culture
And In Blood Agar. Rocketfeller University Press. Vol 69 No; 2 199-209.
Page, L.A. 1962 . Haemophilus infection in chickens. 1. Characteristics of 12
Haemophilus isolates recovered from diseased chickens . Am. J. Vet.
Res. 85-95.
Poernomo Sri dan Kusumaningsih Anni. Infeksius Coryza atau Snot Pada Ayam
di Indoneisa. Balai Penelitian Veteriner Bogor.
Poernomo, S. 1975. Haemophilus gallinarum pada ayam. I. Isolasi Haemophilus
gallinarum pada ayam. Bull. LPPH. 8 – 9: 11 – 13.
Poernomo, S. 1975. Haemophilus paragallinarum pada ayam di Indonesia. I.
Isolasi Haemophilus paragallinarum dari ayam. Bulletin Lembaga
Penelitian Penyakit Hewan. 8-9: 13-23.
Poernomo, S., Sutarma, dan Y. Nazarudin. 1997a. Haemophilus paragallinarum
pada ayam di Indonesia. II. Sifat-sifat fisiologik dan biokimia isolat
Haemophilus spp. Dari ayam sakit. J. Ilmu Ternak Veteriner. 2(4): 263-
266.
Purwaningsih, eko. (tahun belum dipublikasikan). Bawang Putih. Bekasi: Ganeca.
Ramadanti, Irmudita Ari, 2008. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Bawang putih
(allium sativum linn) Terhadap Bakteri eschericia voli InVitro. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.
Reece, R.L.V.D. Beddome and D.A. Barr, 1986. Diseases diagnosed in
replacement layer and breeder chicken flocks in Victoria, Australia, 1977
to 1985. Vet. Record. 119: 471-475.
Reid, G.G. and P .J . Blackall . 1984 . Pathogeniciyt of Australian isolates of
Haemophilus paragallinarum and Haemophilus avium in chickens . Vet.
Biol. 9:77-82.
Rehman H, Hasan S, Ahmad K, Fawad N, dan Siddique B, 2007. Current
Respiratory Disease Problem And The Probes In Chicken. Poultry
Research Institute, Murre road, Rawalpindi.
Ressang, A.A. 1984 . Patologi Khusus Veteriner. IFAD Project : BCDIU,
Denpasar, Bali.
Rustama, Mia Miranti dan Lingga Martha Erselina. Uji Aktivitas Antibakteri dari
Ekstrak Air dan Ethanol Bawang Putih (Allium Sativum l.) Terhadap
Bakteri Gram positif dan Gram Negatif yang Diisolasi dari Udang Dogol
(Metapenaus monoceros). Udang Lobster (Panulirus sp), dan Udang
Rebon (Mysis dan Acetes). Fakultas MIPA Universitas Padjajaran,
Sumedang.
Rustama MM, Sri RR, Joko K, Ratu S. 2005. Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak
air dan etanol bawang putih (Allium sativum L.) terhadap bakteri Gram
negatif dan Gram positif. Biotika. 2: 1- 8.
Saravanabava, Kulandaivelu, dkk. 2008 Pathogenic bacteria related to
respiratory diseases in poultry with reference to Ornithobacterium
rhinotracheale isolated in India. Veterinararski Arhiv 78 (2), 1310140.
Sartika Tike, Iskandar Sofian, Sopiyana Soni, dan Susanti Triana, 2007. Pengaruh
Pemberian Bawang Putih (Allium Sativum Linn) Dalam Ransum Pada
Produksi dan Kualitas Telur Ayam Wareng-Tangerang. Balai Penelitian
Veteriner, Bogor.
35
Sembiring, P. 2009. Buku Ajar dan Penuntun Dasar Ternak Unggas. USU
press, Medan.
Setijanto H. 1998. Anatomi Unggas. IPB Press, Bogor.
Sigit, S.H dan Hadi U.K, 2009. Analisis faktor-faktor resiko infeksi cacing pita
pada ayam ras petelur komersial di Bogor. Jurnal Veteriner September
2009 Vol. 10 No. 3 : 165-172.
Schalm, O.W. and J.R. Beach. 1936 . Cultural requirements ofthe fowl coryza
bacillus . J. Bact . 31 :161-169..
Silawatriz S.A.D, Poernomo Sri, dan Sutarmai, 1997. Haemophilus
Paragallinarum Pada Ayam di Indoneisa III. Uji Sensivitas
Haemophillus Paragallinarum Dari Ayam Penderita Snot Terhadap
Obat Antimikroba. Balai Penelitian Veteriner, Fakultas Biologi,
Universitas Nasional, Jakarta, Indonesia (Diterima dewan redaksi 2
Maret 1997).
Soedibyo, B.M. 1992. Pendayagunaan Tanaman Obat. Prosiding Forum
Komunikasi Ilmiah. Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan Budidaya
Tanaman Obat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
Bogor.
Song, K. and J. A. Milner. 2001. The influence of heating on the anticancer
properties of garlic. Journal of Nutrition 131: 1054S–1057S
Supar, dan Ariyanti Tati, 2007. Pengendalian Coryza Infeksius Pada ayam.
Wartazoa Vol. 17 No. 4 Th. 2007 185.
Suharti S. 2004. Kajian antibakteri temulawak, jahe, bawang putih terhadap
bakteri Salmonella typhimurium serta pengaruh bawang putih terhadap
performans dan respon imun ayam pedaging [tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tabbu, C .R. 1996. Dampak ekonomis dari penyakit unggas . Pros. Temu Ilmiah
Hasil-Hasil Penelitian Peternakan . Ciawi-Bogor, 9-Il Januari 1996 .
Puslitbangnak . Badan Litbang Pertanian. him. 49-58.
Tabbu, 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius
Yogjakarta.
Takagi, M., T. Takahashi, N. Hirayana, Istianingsih, S. Mariana, K. Zarkasie,
Sumadi, M. Ogata, and S. Ohta. 1991. Survey of Infectious coryza of
chicken in Indonesia. J. Vet. Med. Sci. 53(4): 637-642.
Tardmiji, Penyakit Pernafasan Pada Ayam, Ditinjau Dari Aspek Klinik Dan
Patologik Serta Kejadiannya Di Indoneseia. Balai Penelitian Veteriner.
Tilman et al. (1998) menyatakan bahwa konsumsi ransum yang rendah bisa
menyebabkan berkurangnya bobot badan ternak.
Tsao, SM, Yin MC. In vitro antimicrobial activity of four diallyl sulfhides
occuring naturally in garlic and chinese leek oil. J Med Microbiol. 2001;
50: 646-649.
Wibawan I, Murtini S, Soejoedono RD, Mahardika I. 2009. Produksi IgY
Antivirus Avian Influenza H5N1dan Prospek Pemanfaatannya dalam
Pengebalan Pasif. J. Veteriner September 2009 Vol. 10 No. 3 : 118- 124
ISSN : 1411 – 8327.
Yamada, Y and K.Azama. 1977. Antimicrobe. Agents Chemotheraphy., 743 : 1.
Diakses dari
36
Younus, A.W., Nasir, M.K. Faroq, V. AND Bhum, J., 2008. Prevalence of poultry
diseases and their interaction with mycotoxicosis in District Chakwal:
effects of age and flock size J. Anim. PI. Sci.,18 (4):107-113.
Zhang, X. 1999. WHO Monographs on Selected Medicinal Plants: Bulbus Allii
Sativii. Geneva: World Health Organization.
37
Foto Lampiran 1
Penentuan sampel ayam petelur yang terserang coryza
a. Sampel ayam dalam satu kandang
b. Gejala klinis muka bengkak
c. Penciuman bau eksudat
38
Foto Lampiran 2
Pembuatan ekstrak bawang putih
a. Maserasi dengan alat sonikator
b. Maserasi dengan ethanol
c. Proses penyaringan
39
Foto Lampiran 3
Kultur Bakteri Avibacterium Paragallinarum
a. Apg dengan staphylococcus aureus sebagai feeder culture.
b. Pewarnaan Bakteri Avibacterium paragallinarum
c. Bakteri Avibacterium paragallinarum berbentuk batang, basil
40
Foto Lampiran 4
Pemberian Perlakuan Ekstrak Bawang Putih
a. Ekstrak bawang putih 2,5%
b. Ekstrak bawang putih 5%
c. Ekstrak bawang putih 7,5%
41
Foto Lampiran 5
Euthanasia
a. Menggunakan ketamine
b. Persiapan penyuntikan
c. Penyuntikan secara intravena
42
Foto Lampiran 6
Proses nekropsi
a. Bagian rongga dada
\
b. Bagian kepala
c. Pemisahan organ trakea
43
Riwayat Hidup
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Februari 1993
di Sidrap, Sulawesi Selatan, dari ayahanda Andi
Rizal Wawo dan ibunda Lismayani. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Neg 3
Panca Rijang pada tahun 2005, kemudian penulis
melanjutkan pendidikan ke SMP Neg 1 Panca
Rijang dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2011
penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Neg 1
Panca Rijang. Penulis diterima di Program Studi
Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Hasanuddin pada tahun 2011 melalui
ujian lokal.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu
Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH menjabat
sebagai anggota divisi Pendidikan dan Penelitian pada periode 2012-2013. Selain
itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh
Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH dan telah
menjadi asisten pada mata kuliah Fisiologi Veteriner selama 2 tahun