esaimen gpi

64
Jabatan adalah Amanah dan Pengabdian Bukan untuk Mencari Ketenaran serta Menumpuk Kekayaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah : هاْ يَ ل َ تْ ل كُ وٍ ةَ لَ َ اْ سَ مْ نَ ع اَ هَ يْ ي طْ عُ ْ ن َ ا وَ هْ يَ لَ عَ تْ " ن عُ ٍ ةَ لَ اْ سَ م رْ يَ " غْ نَ ع هاَ يْ ي طْ عُ ْ ن َ كَ ّ " ن اَ " فَ ةَ ارَ م ل ل اْ سَ تَ لَ ةَ رُ مَ س ن8 ب ن مْ حَ ّ ر ل َ دْ 8 بَ ع اَ ي“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong). ” Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan judul “Siapa yang tidak meminta jawatan, Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jawatan, akan diserahkan padanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam menunaikan tugasnya)”. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi “Bab Larangan meminta jawatan dan berambisi untuk mendapatkannya”. Masih berkaitan dengan permasalahan diatas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda: هاْ يِ " ف ةْ يَ لَ ع ي " دَ ّ ل يَ ّ دَ َ ها و ّ قَ ح 8 ب هاَ " دَ " خَ ن مَ ّ ل ٌ ةَ م دَ " يَ وٌ يْ " ز " خ ةَ امَ ب قْ ل َ مْ وَ ي هاَ ّ " ن َ وٌ ةَ " انَ مَ هاَ ّ " ن َ وٌ " فْ ي عَ " ضَ كَ ّ " ن ٍ ّ رَ " ا دَ 8 يَ اَ ي“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut. ” (Shahih, HR. Muslim no. 1825) Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Upload: rafiuddin96

Post on 07-Apr-2016

277 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

HHHHHHHHHHH

TRANSCRIPT

Page 1: Esaimen GPI

Jabatan adalah Amanah dan Pengabdian Bukan untuk Mencari Ketenaran serta Menumpuk Kekayaan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah :

عن �عطيتها أ إن و عليها �عنت أ مسألة غير عن �عطيتها أ إن ك فإن اإلمارة تسأل ال سم�رة بن حمن الر عبد ياإليها و�كلت مسألة

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong). ”

Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan judul “Siapa yang tidak meminta jawatan, Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jawatan, akan diserahkan padanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam menunaikan tugasnya)”.

Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi “Bab Larangan meminta jawatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.

Masih berkaitan dengan permasalahan diatas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda:

فيها عليه الذي أدى و بحقها أخذها من إال ندامة و خزي القيامة يوم ها إن و أمانة ها إن و ضعيف ك إن ذر أبا يا“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut. ” (Shahih, HR. Muslim no. 1825)

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يتيم مال ين تول ال و اثنين تأمرن ال لنفسي �حب أ ما لك �حب أ ي إن و ضعيفا أراك ي إن ذر أبا يا“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim. ” (Shahih, HR. Muslim no. 1826)

Al-Imam An-Nawawi membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.

Page 2: Esaimen GPI

Kepemimpinan Yang Diimpikan Dan Diperebutkan

Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah.kebanyakn orang menjadikannya sebagai medan perebutan, khususnya jabatan yang menjanjikan kesenangan, kemewahan dan kesenangan dunia lainnya.

Sungguh benar sabda Rasulullah ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

�م ك القيامة ستحرص�ون إن يوم ندامة �ون� ستك و اإلمارة علي“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berebutan terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan. ” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7148)

Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopularan, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai kekayaan, kemewahan serta kemegahan.

Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ‘calon pemimpin’ dibidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekadar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye, dan sebagainya. Bahkan ada yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas-alullah as-salamah wal ‘afiyah.

Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi. ”

Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah berfirman:

قين للم�ت والعاقبة� فسادا وال األرض في �وا ع�ل �ريد�ون ي ال ذين لل �ها نجعل األخرة� الدار� تلك“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa. ” (Al-Qashash:83)

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Allah mengkhabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka. ” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan. ” (Syarh Riyadhdus Shalihin, 2/469)

Page 3: Esaimen GPI

Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zhalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut.

Hal ini sesuai dengan pepatah ‘musang berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.

Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:

لدينه رف الش و المال على المرء حرص من لها بأفسد غنم في �رسال أ جائعان ذئبان ما

“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah segerombolan kambing lebih merusak dari pada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi. ” (HR. Tirmidzi no. 2482, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/178)

Sifat Seorang Pemimpin

Ditengah gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar di atas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu Dzar yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mulia jika ingin menjadi pemimpin. Rasulullah berkata kepada Abu Dzar: “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah”. Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya.

Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat padanya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang kuat. Dan sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan suatu nasehat. Dan tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasehat bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Makna ucapan Nabi kepada Abu Dzar adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa baginya kehormatan di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikitpun. Akan tetapi bila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui batasan-batasannya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki. ” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/472)

Page 4: Esaimen GPI

Rasulullah juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan dalil:

األمين� القوي ت استئجر من خير إن“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. ” (Al-Qashash: 26)

Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf ‘Alaihissalam:

أمين مكين لدينا اليوم ك إن“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami. ” (Yusuf: 54)

Allah menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:

. . أمين ثم م�طاع مكين العرش ذى عند ق�وة ذى كريم ول رس� لقول� ه� .إن

“Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang memiliki ‘Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat lagi dipercaya. ” (At-Takwir: 19-21)

Beliau rahimahullah berkata: “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah berfirman:

ه�م� �ولئك الله فأ أنزل بمآ �م يحك م ل ومن قليال ثمنا الله بئايات وا تشتر� واخشون وال اس الن تخشو�ا فالون الكافر�“Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir. ” (Al-Maidah: 44)(As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 12-13)

Al-Imam Al-Qurthubi menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat:

عهدى ينال� ال قال تى ذ�ري ومن قال إماما اس للن �ك جاعل ى إن قال فأتمه�ن بكلمات ه� رب إبراهم ابتلى وإذالظالمين“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam (pemimpin) bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim’. ” (Al-Baqarah: 124)

Beliau berkata: “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk menyatakan seorang imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang adil, memiliki kebaikan dan keutamaan juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut. ” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/74)

Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa kami paparkan.

Page 5: Esaimen GPI

Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/kepemimpinan

Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah juga bersabda:

: : . اعة الس فانتظر أهلها غير إلى األمر� د و�س إذا قال ؟ �ها إضاعت كيف قال اعة الس فانتظر األمانة� عت ض�ي إذا“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah? Beliau menjawab: ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”. ” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 59)

HOLD

Abu Sa’iid mempunyai syawaahid dari :

1. Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy[4] dalam Al-Kaamil 7/437, Ath-Thabaraaniy[5] dalam Al-Ausath no. 2743, Ibnul-A’raabiy[6] dalam Mu’jam-nya no. 1067, dan Al-Qadlaa’iy[7] dalam Musnad Asy-Syihaab no. 767; semuanya dari jalan Abu Hilaal, dari Qataadah, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

منه�م األحدث �وا �ل فاقت لخليفتين �ويع ب إذا“Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling baru baiatnya di antara mereka”.

Sanad riwayat ini lemah, karena Abu Hilaal[8]. Periwayatan Abu Hilaal dari Qataadah dilemahkan Ahmad dan Ibnu Ma’iin.

Abu Hilaal dalam riwayat maushul ini diselesihi oleh Hammaam yang meriwayatkan dari Ibnul-Musayyib secara mursal.

عن : : ، ه�ريرة أبي عن ، سعيد عن ، قتادة عن ، هالل أبي عن أتحفظ� ه الل عبد ألبي ق�لت� األثرم� قاللخليفتين : " �ويع ب إذا م وسل عليه ه� الل صلى بي ."الن

م : وسل عليه ه� الل صلى بي الن عن ، ب الم�سي بن سعيد عن ، م�رسل هذا .قال

م وسل عليه ه� الل صلى بي الن عن ، ب الم�سي بن سعيد عن ، قتادة عن ، همام عن ، عفان� .حدثنا

قتادة عن ، الحديث م�ضطرب� هالل �و وأبAl-Atsram berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah : ‘Apakah engkau menghapal hadits dari Abu Hilaal, dari Qataadah, dari Sa’iid, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila dua orang khalifah dibaiat’ ?’. Ia berkata : ‘Hadits ini mursal dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan, dari Hammaam, dari Qataadah, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hilaal adalah

Page 6: Esaimen GPI

mudltharibul-hadiits (haditsnya goncang) dalam periwayatan dari Qataadah” [Al-Muntakhab minal-‘Ilal, hal. 166 no. 87].

‘Affaan mempunyai mutaba’ah dari Abul-Waliid Hisyaam bin ‘Abdillah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy[9] dalam Al-Kaamil 7/436-437.

Al-Bazzaar berkata : “Abu Hilaal menyendiri dalam periwayatan marfuu’ ini, sedangkan selain dirinya meng-irsal-kannya” [Kasyful-Astaar no. 1594].

Kedudukan Hammaam[10] lebih tinggi daripada Abu Hilaal, sehingga riwayat mursal inilah yang mahfuudh.

Selain Ahmad, Ad-Daraquthniy juga menguatkan riwayat mursal ini.

Hizbub tahrir??????????

منه�ما اآلخر �وا �ل فاقت لخليفتين �ويع ب إذاJika dibaiat dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya

(HR Muslim, Ahmad dan Abu ‘Awanah).

Makna hadis ini menjelaskan tidak boleh adanya dua orang khalifah. Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, “Hadis ini dibawa pengertiannya: jika tidak tercegah kecuali dengan membunuhnya. Di sini tidak boleh diakadkan baiat untuk dua orang khalifah. Telah dijelaskan adanya ijmak tentangnya.”

Ibn al-Jawzi di dalam Kasyf al-Musykal ‘an Hadits Shahihayn menjelaskan, “Jika telah tetap perkara khalifah dan terakadkan ijmak atas dia, lalu dibaiat yang lain dengan suatu jenis penakwilan, maka ia membangkang dan para pendukungnya adalah bughat; mereka diperangi dengan perang terhadap bughat. Sabda Nabi saw. “maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya,” maksudnya bukan dikedepankan lalu membunuhnya, tetapi maksudnya: perangilah dia dan jika perkaranya mengantarkan sampai membunuhnya maka boleh.”

Imam as-Suyuthi dalam Ad-Dibâj ‘alâ Muslim menjelaskan, “Ini juga merupakan perintah untuk memeranginya meski mengantarkan pada pembunuhannya.”

Page 7: Esaimen GPI

AMANAH KEPADA SIAPA ??

Amanah adalah sifat mulia. Sehingga amat disayangkan jika kaum Muslimin kehilangan sifat mulia ini. Padahal Allah dan RasulNya telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk menunaikan amanah, menjelaskan akibat buruk mengabaikan dan melalaikan amanah. Penyebab utama seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan ini adalah karena kejahilan (kebodohan).[1]

Kebodohan seorang muslim terhadap pentingnya masalah amanah, telah membuatnya meninggalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat agung ini, sekaligus telah bermaksiat. Dan bahkan dapat menjadi dosa besar, jika seseorang yang telah mengetahui hukumnya, tetapi justru menyia-nyiakan amanah.

Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita senantiasa berusaha keras dan sungguh-sungguh membebaskan diri dari kejahilan, yakni dengan menuntut ilmu syar’i secara umum, dan memahami urgensi amanah ini secara khusus, lalu mengamalkannya. Serta tetap terus memohon dan berdoa kepada Allah Subhanahun wa Ta'ala agar kita senantisa diberi taufiq, hidayah, dan segala kemudahan dalam menuntut ilmu syar’i, memahaminya, serta merealisasikan syariat Islam yang sempurna dan mulia ini dalam keseharian.

MAKNA AMANAH

Al Imam Ibnu al Atsir rahimahullah berkata, amanah bisa bermakna ketaatan, ibadah, titipan, kepercayaan, dan jaminan keamanan [2]. Begitu juga al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan beberapa perkataan dari sahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini. Ketika menafsirkan surat al Ahzab ayat 72, al Hafizh Ibnu Katsir membawakan beberapa perkataan sahabat dan tabi'in tentang makna amanah dengan menyatakan, makna amanah adalah ketaatan, kewajiban-kewajiban, (perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.[3]

Asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata,"(Amanah) adalah segala sesuatu yang mewajibkan engkau untuk menunaikannya” [4]. Adapun menurut asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah-amanah adalah, kepercayaan orang berupa barang-barang titipan, dan perintah Allah berupa shalat, puasa, zakat dan semisalnya, menjaga kemaluan dari hal-hal haram, dan menjaga seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan dosa. [5]

Sedangkan asy Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali -hafizhahullah- menjelaskan, amanah adalah sebuah perintah menyeluruh dan mencakup segala hal berkaitan dengan perkara-perkara, yang dengannya, seseorang terbebani untuk menunaikannya, atau ia dipercaya dengannya. Sehingga amanah ini mencakup seluruh hak-hak Allah atas seseorang, seperti perintah-perintahNya yang wajib. Juga meliputi hak-hak orang lain, seperti barang-barang titipan (yang harus ditunaikan dan disampaikan

Page 8: Esaimen GPI

kepada si pemiliknya, Pen). Sehingga, sudah semestinya seseorang yang dibebani amanah, ia menunaikannya dengan sebaik-baiknya dengan menyampaikan kepada pemiliknya. Ia tidak boleh menyembunyikan, mengingkari, atau bahkan menggunakannya tanpa izin yang syar’i.[6]

Asy Syaikh Husain bin Abdul Aziz Alu asy Syaikh -hafizhahullah- juga menjelaskan : “Para ulama telah berkata, hal-hal yang termasuk amanah sangatlah banyak. Kaidah dan dasar hukumnya adalah segala sesuatu yang seseorang terbebani dengannya, dan hak-hak yang telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia memelihara dan menunaikannya, baik berkaitan dengan agama, jiwa manusia, akal, harta, dan kehormatan harga diri". [7]

DI ANTARA DALIL-DALIL AL QUR`AN YANG MENJELASKAN TENTANG AMANAH

1. Surat an Nisaa/4 ayat 58 :

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…"

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (2/338-339) berkata : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabarkan bahwa sesungguhnya Ia memerintahkan (kepada kita) untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya. Dalam sebuah hadits dari al Hasan, dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خانك من تخ�ن وال ائـتمنك، من إلى األمانة أد"Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu". [Diriwayatkan oleh al Imam Ahmad dan Ahlus Sunan].[8]

Ini mencakup seluruh jenis amanah yang wajib ditunaikan oleh seseorang yang dibebani dengannya. Baik (amanah itu) berupa hak-hak Allah atas hambanya, seperti (menunaikan) shalat, zakat, kaffarat, nadzar, puasa, dan lain-lainnya yang ia terbebani dengannya dan tidak terlihat oleh hamba-hamba Allah lainnya. Ataupun berupa hak-hak sesama manusia, seperti barang-barang titipan, dan yang semisalnya, yang mereka saling mempercayai satu orang dengan yang lainnya tanpa ada bukti atasnya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkannya untuk menunaikannya. Barangsiapa yang tidak menunaikannya, akan diambil darinya pada hari Kiamat kelak.[9]

2. Surat al Anfal/8 ayat 27 :

تعلم�ون �م وأنت �م أماناتك �وا وتخ�ون ول س� والر الله �وا تخ�ون ال �وا آمن الذين ها أي يا

Page 9: Esaimen GPI

"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"… Dan khianat, mencakup seluruh perbuatan dosa, baik yang kecil maupun yang besar, baik (dosanya) terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. 'Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, (tentang firmanNya) م� أماناتك �وا amanah adalah , وتخ�ونseluruh perbuatan yang telah Allah bebankan kepada hamba-hambaNya (agar mereka menunaikannya, Pen), yaitu (berupa) kewajiban-kewajiban. Dan maksud "janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat” adalah, janganlah kamu menggugurkannya. Dalam sebuah riwayat, ‘Ibnu Abbas menjelaskan maksud firmanNya: ول س� والر الله �وا تخ�ون janganlah kamu mengkhianati) , الAllah dan Rasul), dengan cara meninggalkan sunnah Nabi dan melakukan maksiat kepada Nabi" [10]

3. Surat al Ahzab/33 ayat 72 :

"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh".

Al Hafizh Ibnu Katsir t , setelah membawakan beberapa perkataan dari shahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini, beliau berkata: “Seluruh perkataan ini, tidak ada pertentangan sesamanya. Bahkan seluruhnya bermakna sama dan kembali kepada satu makna, (yaitu) pembebanan, penerimaan perintah-perintah dan larangan-larangan dengan syarat-syaratnya. Dan hal ini, jika seseorang menunaikannya, maka ia akan diberi pahala. Namun, jika ia menyia-nyiakannya, maka ia pun akan disiksa. Akhirnya, manusialah yang menerima amanah ini, padahal ia lemah, bodoh, lagi berbuat zhalim. Kecuali orang yang diberi taufiq oleh Allah, dan Allah-lah tempat memohon pertolongan”.[11]

4. Surat al Mu’minun/23 ayat 8, atau surat al Ma’arij/70 ayat 32:

"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya".

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (8/227) berkata: "Maksudnya, apabila mereka dipercaya (dalam suatu urusan), mereka tidak berkhianat. Dan apabila mereka mengadakan perjanjian, mereka tidak menyelisihinya. Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Dan kebalikan dari ini, adalah sifat orang-orang munafik. Sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, tanda orang munafiq ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat. Dalam sebuah riwayat, apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila bertengkar ia berbuat curang.[12]

5. Surat al Baqarah/2 ayat 283:

Page 10: Esaimen GPI

"…Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya…".

DI ANTARA DALIL-DALIL AS SUNNAH YANG BERKAITAN DENGAN AMANAH DAN KETERANGAN WAJIBNYA MENUNAIKAN AMANAH, SERTA AKIBAT BURUK MENYIA-NYIAKAN DAN

MELALAIKANNYA

1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, yang menjelaskan wajibnya menunaikan amanah kepada pemiliknya, ia berkata:

: خانك من تـخ�ن وال ائـتمنك، من إلى األمانـة أد م وسل عليه الله� صلى الله ول� رس� . قال

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu". [13]

Berkaitan dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini, asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata : "Perintah (di dalam hadits ini) menunjukkan wajibnya hal tersebut” [14]. Yakni, seseorang wajib menunaikan amanah. Sehingga Imam adz Dzahabi rahimahullah telah mengkategorikan perbuatan khianat ini ke dalam perbuatan dosa besar. Beliau berkata,"Khianat sangat buruk dalam segala hal, sebagiannya lebih buruk dari sebagian yang lainnya. Tidaklah orang yang mengkhianatimu dengan sedikit uang, seperti orang yang mengkhianatimu pada keluargamu, hartamu, dan ia pun melakukan dosa-dosa besar (lainnya)”.[15]

2. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, yang menjelaskan salah satu tanda hari Kiamat adalah apabila amanah telah disia-siakan, ia berkata:

: فمضى اعة�؟ الس متى فقال ، أعرابي جاءه� القوم، �حدث� ي مجلس في م وسل عليه الله� صلى بي ـ الن بينما : : بل بعض�ه�م وقال قال، ما فكره قال ما سمع القوم بعض� فقال ، �حدث� ي م وسل عليه الله� صلى الله ول� رس�

: : - - : قال الله، ول رس� يا أنا ها قال ، اعة؟ الس عن ائل� الس �راه� أ أين قال حديـثه�، قضى إذا ى حت يسمع، لم : : فانـتظر أهله، غير إلى األمر� د و�س إذا قال �ها؟ إضاعت كيف قال ، اعة الس فانـتظر األمانـة�، عت ض�ـي فإذااعة . الس

"Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada dalam sebuah majelis (dan) berbicara dengan sekelompok orang, datanglah kepadanya seorang sahabat (dari sebuah perkampungan) dan berkata, “Kapankah hari kiamat?”. Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap melanjutkan pembicaraannya, maka sebagian orang ada yang berkata, “Ia (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ) mendengar ucapannya, namun ia tidak menyukainya”. Dan sebagian yang lain berkata: “Bahkan beliau tidak mendengarnya,” hingga akhirnya Rasulullah selesai dari pembicaraannya, dan beliau pun bersabda, “Mana orang yang (tadi) bertanya?” Orang itu berkata,"Inilah saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda,"Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!” Orang itu

Page 11: Esaimen GPI

kembali bertanya,"Bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?" Rasulullah bersabda,"Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat!" [16]

3. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anha , yang menerangkan khianat adalah salah satu tanda-tanda orang munafik, ia berkata:

: من ـ� اؤت وإذا أخـلف؛ وعد وإذا كذب؛ حدث إذا ثالث، الم�ـنافق آيـة� قال م، وسل عليه الله� صلى بي الن عن . خان

"Dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga : apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat” [17].

4. Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, yang menjelaskan amanah dan menepati janji merupakan salah satu sifat orang beriman, ia berkata:

: لـه� عهد ال لمن ديـن وال له�، أمانـة ال لمن إيـمان ال قال إال م، وسل عليه الله� صلى الله نبي خطبنا . ما

"Tidaklah Nabiyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami, melainkan beliau bersabda: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya”. [18]

Berkaitan dengan hadits ini, asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- berkata, “Maksud sabda beliau ( إيـمان dikatakan oleh as Sindi, ada yang mengatakan bahwa maksud dari ,(الkedua penafian (peniadaan) dalam hadits ini adalah nafyul kamal (peniadaan kesempurnaan iman dan agama). Ada yang mengatakan pula, maksudnya adalah, sama sekali tidak beriman orang yang menganggap halal meninggalkan amanah, dan sama sekali tidak beragama seseorang yang menganggap halal melanggar janjinya. Dan maksud dari sabda beliau ( لـه� عهد ال لمن ديـن ,adalah (الbarangsiapa yang mengadakan sebuah perjanjian dengan orang lain, lalu ia sendiri yang melanggar dan tidak menepati janjinya tanpa ada ‘udzur (alasan) yang syar’i, maka agamanya kurang. Adapun jika dengan ‘udzur (alasan yang syar’i) -seperti seorang Imam (pemimpin) yang membatalkan perjanjian dengan seorang harbi (orang kafir yang diperangi), jika ia melihat ada kemaslahatan padanya-, maka hal ini boleh. Wallahu Ta’ala a’lam”.[19]

5. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu 'anhuma , yang menerangkan salah satu tanda hari kiamat adalah datangnya sebuah zaman, yang pada saat itu, orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan pengkhianat dianggap orang yang amanah (jujur). Dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Page 12: Esaimen GPI

األمـين� خون ـ� ي ى حت اعة� الس تـق�وم� ال بـيده، م�حمد نفس� ذي وال فحش، ـ والت الف�حش بغض� ـ� ي الله إنالجوار وء� وس� األرحام وقطـيعة� فحش� ـ والت الف�حش� يظهر ى حت ، الخائن� �ؤتـمن . ...وي

"Sesungguhnya Allah membenci (sifat) keji dan kekejian. Dan demi (Dzat) yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak akan terjadi hari kiamat sampai orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan seorang pengkhianat dipercaya, sampai muncul (sifat) keji dan kekejian, pemutusan hubungan silaturahim (kerabat), dan buruk dalam bertetangga…".[20]

SIAPAKAH YANG LAYAK DIBERI AMANAH?

Judul di atas memberikan pemahaman, tidak semua orang bisa diberi amanah kepercayan. Maksudnya, ada orang yang memiliki sifat-sifat tertentu, yang dengannya ia sebagai orang yang paling tepat dan paling berhak untuk dibebani amanah atau kepercayaan.

Asy Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr -hafizhahullah- menjelaskan permasalahan ini dan berkata:

Dasar untuk memilih seorang pegawai atau pekerja adalah ia seorang yang kuat dan amanah (terpercaya). Karena dengan kekuatannya, ia mampu melakukan pekerjaan dengan baik. Dan dengan sifat amanahnya, ia akan menempatkan pada tempatnya semua perkara yang berkaitan dengan tugasnya. Dengan kekuatannya pula, ia sanggup menunaikan kewajiban yang telah dibebani atasnya.

Allah telah mengkhabarkan tentang salah satu dari kedua anak perempuan seorang penduduk Madyan, ia berkata kepada ayahnya tatkala Nabi Musa Alaihissallam mengambilkan minum untuk hewan ternak kedua wanita tersebut:

"… Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". [al Qashash/28 : 26].

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah mengkhabarkan tentang ‘Ifrit dari golongan jin, yang memperlihatkan kesanggupannya kepada Nabi Sulaiman Alaihissallam untuk membawa singgasana Balqis:

"…Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". [an Naml/27 : 39].

Page 13: Esaimen GPI

Maknanya, ia memiliki kemampuan untuk membawa dan mendatangkannya, sekaligus menjaga apa yang terdapat di dalamnya.

Allah juga mengkhabarkan tentang Nabi Yusuf Alaihissallam , tatkala ia berkata kepada sang raja:

"… Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yusuf/12 : 55].

Kemudian, lawan dari sifat kuat dan amanah adalah lemah dan khianat. Sehingga, inipun menjadi dasar atas diri seseorang untuk tidak dipilih dan dibebani kepercayaan atau pekerjaan. Bahkan, mengharuskan untuk menjauhkannya dari kepercayaan atau pekerjaan.

Tatkala Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu sebagai gubernur di Kufah, dan kemudian orang-orang dungu di Kufah mencelanya dan membicarakan buruk padanya, maka Umar Radhiyallahu 'anhu melihat adanya kemaslahatan untuk menghentikan (Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu) dari jabatan tersebut untuk menghindari fitnah. Selain itu juga, agar tidak ada orang yang berani berbuat macam-macam padanya. Kendatipun demikian, Umar Radhiyallahu 'anhu, menjelang wafatnya memilih enam orang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar salah satu dari mereka dijadikan sebagai khalifah sepeninggalnya. Salah satu dari mereka adalah Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu. Hal ini, karena Umar Radhiyallahu 'anhu khawatir timbul prasangka, bahwa penghentiannya atas Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu -dari jabatan Gubernur- disebabkan ketidakmampuannya dalam memimpin sebuah wilayah. Dan Umar Radhiyallahu 'anhu ingin menghilangkan anggapan itu dengan berkata:

خيانة وال عجـز عن أعـزله� لم ي فإن �مـر، أ ما �م ك ـ أي به فلـيسـتعن وإال ذاك، فه�و سعدا اإلمـرة� أصابت فإن"Jika kekuasaan ini terjatuh pada Sa’ad, maka itu memang haknya. Dan jika tidak, maka hendaknya salah seorang dari kalian meminta bantuannya, kerena sesungguhnya aku tidak menghentikannya dengan sebab kelemahan dan pengkhianatan". [Diriwayatkan al Bukhari, 3700].

Dan terdapat di dalam Shahih Muslim (1825) dari Abu Dzar z , ia berkata:

: : ضـعيف،: ك ـ إن ، ذر أبا يا قال �م ث منكبي، على بيده فضرب قال �ني؟ تسـتـعمل أال الله، ول رس� يا ق�لت�فيها علـيه ذي ال وأدى بحـقها، أخذها من إال وندامة، خزي القـيامة يوم ها ـ وإن أمانـة، ها ـ . وإن

Page 14: Esaimen GPI

"Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda,"Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, dan ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)".

Terdapat pula di dalam Shahih Muslim, 1826, dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مال ين ـ تول وال اثـنـين، على تـأمـرن ال لـنـفسي، �حب أ ما لك �حب أ ي وإن ضـعـيفا، أراك ي إن ، ذر أبا يا . يـتـيم

"Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya aku memandangmu orang yang lemah, sedangkan aku mencintai untukmu seperti aku mencintai untuk diriku. Janganlah kamu menjadi pemimpin (walaupun terhadap) dua orang (saja), dan janganlah kamu mengatur harta (anak) yatim".[21]

Mudah-mudahan Allah l senantiasa menjadikan kita sebagai orang-orang yang jujur, amanah, dan menjauhkan kita semua dari kelemahan, kedustaan, dan khianat. Hanya Allah sajalah Maha Pemberi taufiq. Wallahu a’lam bish shawab.

Maraji’ & Mashadir:

1. Al Qur`an dan Terjemahnya, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.

2. Shahih al Bukhari, tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.

3. Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.

4. Sunan Abi Daud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.

5. Jami’ at Tirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dkk, Daar Ihya at Turats, Beirut.

6. Musnad al Imam Ahmad, Mu’assasah Qurthubah, Mesir.

7. An Nihayah Fi Gharib al Hadits wa al Atsar karya Ibnu al Atsir (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th 1422 H/ 2001 M.

8. Al Kaba-ir, karya adz Dzahabi (673-748 H), tahqiq Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Maktabah al Furqan, ‘Ajman, Uni Emirat Arab, Cet. II, Th. 1424 H/ 2003 M.

9. Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan, karya Ibnul (691-751 H), takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.

10. Fawa-id al Fawa-id, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), tartib dan takhrij Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. V, Th. 1422 H.

Page 15: Esaimen GPI

11. Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al Arna’uth dan Abdul Qadir Al Arna’uth, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, cet III, th 1423 H/2002 M.

12. Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al ‘Azhim), karya Ibnu Katsir (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Daar ath Thayibah, Riyadh, Cet. I, Th. 1422 H/ 2002 M.

13. Jami’ al Ulum wa al Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami’ al Kalim, karya Ibnu Rajab al Hanbali (736-795 H), tahqiq Syu’aib Al Arna-uth dan Ibrahim Bajis, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, Cet. VII, Th. 1422 H/ 2001 M.

14. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi, karya al Mubarakfuri (1283-1353 H), Daar al Kutub al Ilmiah, Beirut.

15. Shahih Sunan Abi Daud, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah Al Ma’arif, Riyadh.

16. Shahih Sunan at Tirmidzi, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.

17. Shahih al Jami’ ash Shaghir, karya al Albani (1332-1420 H), Al Maktab al Islami.

18. As Silsilah as Shahihah, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.

19. Irwa-ul Ghalil fi Takhriji Ahaditsi Manar as Sabil, karya al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. II, Th. 1405 H/ 1985 M.

20. Shahih at Targhib wa at Tarhib, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, Cet. I, Th. 1421 H/ 2000 M.

21. Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr, ad Daar al Haditsah, Mesir, Cet. I. Th. 1425 H/ 2004 M.

22. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash Shalihin, Salim bin ‘Id al Hilali, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. VI, Th. 1422 H

______________________________________________________________________

TEGUR PEMIMPIN

Baru-baru ini penulis diberikan sebuah artikel melalui e-mail bertajuk “Fakta Benar Perlukan Kesimpulan Betul” tulisan Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin. Artikel tersebut turut tersiar dalam salah sebuah akhbar perdana, Sinar Harian bertarikh 22/07/2011.

Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin menyatakan dalam artikel tersebut:

“Lebih hodoh lagi, sang wira ini telah mengharamkan mengkritik kerajaan secara terbuka. Dia gagal membeza antara mengkritik urusan peribadi pemerintah dan mengkritik tindakan pemerintah yang membabitkan kepentingan awam. Jika fatwa ini digunapakai, maka setiap tokoh agama, atau politik

Page 16: Esaimen GPI

yang ditanya pendapat mereka oleh media tentu tiada ruang bersuara yang berbeza dengan kerajaan.

Misalnya, ada kerajaan yang ingin melanjutkan pusat hiburan sehingga pukul 3 pagi. Saya percaya, jika tokoh ulama ini ditanya oleh awam, atau media, atau jika dia menjadi ahli Parlimen pasti dia akan berkata: “Saya tidak boleh mengkritik atau membantah ulul amri di khalayak ramai kerana itu haram”. Maka mandullah negara, rosaklah rakyat. Sedangkan para sahabat seperti Salman al-Farisi bangun membantah tindakan Amirul Mukminin ‘Umar al-Khattab dalam majlis terbuka. Demikian juga sahabat yang lain. Betapa banyak riwayat para sahabah dan ulama salaf bangun memberikan kritikan terhadap keputusan para penguasa di depan khalayak ramai.” (Akhbar Sinar Harian bertarikh 22/07/2011)

“Itu generasi salaf. Itu khalifah di zaman salaf. Bagaimana pula dikatakan mazhab salaf melarang sama sekali menegur pemerintah di khalayak rakyat?! Ya, adapun soal maksiat peribadi, seperti akhlak buruk pemerintah, atau keluarga mereka yang tidak membabitkan kepentingan negara, maka di situ kita dilarang mendedahkan atau menceritakan keaiban orang lain di khalayak ramai. Islam menyuruh kita menutup aib orang, apatah lagi mereka yang mempunyai peranan yang besar seperti itu. Di sini Nabi s.a.w bersabda:

“Sesiapa yang ingin menasihati orang yang memiliki kuasa, janganlah dia menampakkannya secara terang-terangan. Sebaliknya hendaklah dia mengambil tangannya (orang yang memiliki kuasa) dan bersendirian dengannya (menasihatinya dengan tidak didedahkan aib secara terbuka). Jika dia terima maka dia berjaya, jika tidak dia (orang yang menasihati) telah menunaikan kewajipannya”. (Riwayat Ibn Abi ‘Asim dalam al-Sunnah 507. Sanadnya sahih seperti yang dinyatakan oleh al-Albani)

Apa yang dibuat oleh sesetengah pihak dengan menceritakan aib peribadi pemimpin di khalayak ramai adalah menyanggahi syarak. Namun, itu bukan alasan untuk kita mengharamkan mengkritik pemimpin dalam perkara yang membabitkan soal kemaslahatan umum rakyat. Fatwa mengharamkan mengkritik kerajaan secara terbuka adalah sikap mengampu yang berlebih. Maka, amatlah penting untuk membuat kesimpulan yang betul atas fakta yang dilihat. Jangan, lain fakta, lain kesimpulannya. Fahami teks dan konteks, nas dan realiti.” (Akhbar Sinar Harian bertarikh 22/07/2011)

Dapat difahami dari teks tersebut, Dr. Mohd. Asri menjelaskan kepada kita bahawa dibolehkan menegur dan mengkritik pemerintah (atau kerajaan) secara terbuka dalam hal-hal yang melibatkan kemaslahatan negara. Sebaliknya hadis-hadis berkaitan perintah menegur pemerintah secara tertutup adalah merujuk kepada persoalan individu lagi peribadi.

Persoalannya benarkah begitu? Maka, berikut adalah jawabannya dalam bentuk fakta demi fakta.

Page 17: Esaimen GPI

1 – Jawabannya tidak benar. Kerana telah jelas dalam banyak nash-nash hadis bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersama-sama para sahabatnya telah menyampaikan kepada kita asal hukum menegur pemerintah itu adalah secara tertutup.

Selain sebagai komitmen mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya serta dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, di antara hikmah garis panduan menegur pemerintah tersebut adalah supaya teguran akan lebih mudah diterima, aib lebih terjaga, mengelakkan tercabarnya ego, dan menolak fitnah yang lebih besar lagi.

Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan kepada kita melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, dalam masa yang sama Allah dan Rasul-Nya juga tidak terlupa untuk memberitahu bagaimana tatacara amar ma’ruf nahi mungkar perlu dilaksanakan. Terutamanya berkaitan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pemerintah sebagaimana yang disentuh oleh Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin.

Kita akan melihat sejauh mana kebenaran dakwaan Dr. Mohd. Asri bahawa mereka yang melarang mengkritik pemerintah secara terbuka adalah mengampu!

Kita juga akan melihat siapa sebenarnya yang salah dalam mengambil nash dan menggunakan nash tidak pada tempatnya! Sepatutnya kita tidak boleh hanya mengambil satu dua nash dan mengabaikan sekian banyak nash-nash lainnya. Kemudian memahaminya secara literal dan mengabaikan sekian banyak syarahan ulama berkenaan dengannya. Tidak semudah itu untuk kita membuat kesimpulan dalam hal ini.

Lebih ironinya sehingga menuduh orang lain sebagai mengampu dan cuba menjadi wira jadi-jadian?! (Rujuk Artikel penuh Dr. Mohd. Asri)

Saya menganggap perkataan Dr. Mohd. Asri tersebut sebagai penuh prasangka, keterlaluan, dan melampau.

2 - Lebih-lebih lagi apabila menuduh dengan kepastian bahawa mereka yang melarang menegur dan mengkritik pemerintah secara terbuka akan menyebabkan mandulnya negara.

Sebaliknya apa yang dapat kita lihat hari ini hasil kritikan dan teguran terbuka tanpa berpandukan kaedah yang benar lebih merosakkan dan memburukkan kestabilan perjalanan politik negara. Tindak-balas hasil teguran dan kritikan terbuka di sana sini selama lebih 50 tahun negara kita merdeka hanya melahirkan masyarakat berfikiran suka membangkang dan memprotes. Melahirkan golongan pembangkang yang amat memalukan negara. Hampir semua perkara mahu dikritik, sehingga rahsia-rahsia yang sepatutnya tidak didedahkan pun mereka bongkarkan ke serata ceruk

Page 18: Esaimen GPI

negara dan dunia. Kebencian terhadap pemerintah tampak semakin parah. Ini kelak akan membantutkan lagi maslahah dan pembinaan negara.

3 – Apakah landasan fakta Dr. Mohd. Asri apabila secara serampangan menuduh dengan kata:

“Saya percaya, jika tokoh ulama ini ditanya oleh awam, atau media, atau jika dia menjadi ahli Parlimen pasti dia akan berkata: “Saya tidak boleh mengkritik atau membantah ulul amri di khalayak ramai kerana itu haram”. Maka mandullah negara, rosaklah rakyat.”

Ya, umat Islam memang dibebankan dengan tanggungjawab amar ma’ruf nahi mungkar sesama umat Islam termasuk kepada pemerintah dan rakyat. Tetapi setiap tanggungjawab tersebut bukan hanya datang semata-mata dengan perintah, sebaliknya ia datang dengan kaedah dan tatacara.

Selain melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, apakah menjadi tugas kita untuk memastikan setiap amar ma'ruf nahi mungkar yang dilaksanakan itu wajib berjaya dan meraih hasilnya? Bukankah lebih baik kita mengharapkan kejayaan daripda Allah lantaran amar ma'ruf nahi mungkar itu sendiri kita laksanakan demi mencari wajah Allah. Bukan mencari redhanya makhluk.

Di mana pula letaknya ketentuan dan hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap usaha yang kita laksanakan? Maka, pohonkanlah kepada Allah dengan sabar. Usah tergesa-gesa... Simpankanlah jiwa yang suka memberontak itu.

Kemudiannya, adakah teguran dan nasihat terbuka yang berlangsung selama lebih 50 tahun selama ini terutamanya dari kalangan kumpulan pembangkang telah memberikan hasil yang baik dan memberikan kredit terhadap pembinaan aqidah mahupun agama? Atau sebaliknya kini telah mula menunjukkan bibit-bibit pemberontakan, pertembungan, dan kebencian sesama sendiri? Kebaikan lebih besar atau mudharat yang lebih besar?

Oleh kerana itulah agama ini menganjurkan nasihat itu dilaksanakan dengan adab dan tatacaranya. Setiap apa yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala itu pasti memiliki alasan di sisi-Nya. Usah semberono.

Barangkali juga orang yang diberikan nasihat itu memiliki kekangan-kekangan tertentu yang sukar untuk dia hadapi. Itulah pentingnya nasihat dilaksanakan secara berhadapan dan perbincangan. Lebih-lebih lagi dia adalah seorang pemimpin masyarakat. Lebih perlu diperhatikan lagi adalah apabila ketetapan cara itu Allah dan Rasul-Nya yang menetapkan. Apakah kita mahu menukar dengan sesuatu yang lain yang kita sendiri menganggapnya bagus dan baik, sedangkan Islam berlepas diri dari segala bentuk andaian-andaian "baik" tersebut.

Page 19: Esaimen GPI

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (691H-751H) berkata, “Nasihat adalah sifat ihsan yang lahir dari perasaan belas-kasihan semata-mata kerana Allah, dan bersedia untuk menanggung sebarang akibatnya, seperti cacian yang buruk daripada orang yang dinasihati setelah dilakukan dengan lemah lembut. Jika nasihat untuk meyakinkannya tidak diterima, maka orang yang memberi nasihat tersebut tidak dikira melampaui batas dan dia akan menerima balasan atas usahanya tersebut daripada Allah, di samping merahsiakan (menutup aib) orang yang dinasihatinya dan sentiasa mendoakannya (dengan kebaikan).” (Dr. Khalid al-Anbari, Fiqh as-Siyasah asy-Syar’iyah fii Dhaw al-Qur’an wa as-Sunnah wa Aqaul Salaf al-A’immah, m/s. 208)

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengingatkan kepada kita semua:

“Dan (Rasulullah) juga memerintahkan supaya melaksanakan amar ma’ruf serta nahi mungkar kepada mereka (pemerintah) dan kepada selain mereka dengan cara yang disyari’atkan, termasuk dalam perkara ini adalah menyampaikan risalah Allah kepada mereka.

Ianya hendaklah tidak ditinggalkan kerana sebab takut, kedekut dan malu (atau segan) kepada mereka, serta tidak demi menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, tidak pula dilaksanakan supaya dapat meraih kuasa ke atas mereka atau umat Islam secara umum, bukan pula kerana hasad (atau dengki), sombong, dan riya’ kepada mereka dan masyarakat awam (umat Islam secara umumnya).

Dan kemungkaran tidaklah dihilangkan dengan kemungkaran yang lebih mungkar. Iaitu seperti dalam bentuk keluar memberontak ke atas mereka dengan kekerasan (atau senjata), dan fitnah-fitnah yang menimbulkan perselisihan sebagaimana ia telah diketahui dari prinsip dasar ahlus sunnah wal-jama’ah dan sebagaimana perkara tersebut ditunjukkan oleh nash-nash nabawiyah kerana perbuatan tersebut menimbulkan keburukan yang lebih besar berbanding keburukan kerana kezaliman mereka...” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, 35/20-21)

4 – Baiklah, berikut adalah di antara hadis-hadis yang dimaksudkan bahawa agama Islam melarang mengkritik pemerintah secara terbuka sama ada bagi urusan peribadi ataupun urusan umum:

[Hadis Pertama] Hadis yang sama digunakan oleh Dr. Mohd. Asri, iaitu hadis daripada ‘Iyadh B. Ghunm:

صلى ه الل ول رس� تسمع أولم رأيت ما ورأينا سمعت ما سمعنا قد حكيم بن هشام� يا غنم بن� عياض� فقالفإن به �و فيخل بيده ذ ليأخ� ولكن عالنية له� �بد ي فال بأمر لطان لس� ينصح أن أراد من يق�ول� م وسل عليه ه� الل

له� عليه ذي ال أدى قد كان وإال فذاك منه� قبل

قتيل �ون فتك ، لطان� الس �لك يقت أن خشيت فهال الله، لطان س� على تجترئ� إذ الجريء�، ألنت هشام� يا ك وإنوتعالى تبارك الله لطان س�

Page 20: Esaimen GPI

Berkata ‘Iyadh B. Ghunm, “Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang engkau dengar dan kami melihat apa yang engkau lihat, adakah engkau tidak (belum) mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesiapa yang mahu menasihati sultan (pemimpin) di dalam sesuatu urusan, janganlah dia melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah dia memegang tangan pemerintah tersebut dan ajaklah (nasihatilah) dia secara rahsia. Jika dia (pemimpin) menerima (nasihat) maka itulah yang diharapkan. Sekiranya dia tidak menerima (nasihat) maka sesungguhnya dia (pemberi nasihat) telah melaksanakan tanggungjawabnya.”

Dan bahawasanya engkau wahai Hisyam, adalah orang yang lancang ketika berhadapan dengan pemimpin Allah, tetapi tidakkah engkau takut sekiranya pemimpin itu membunuhmu lalu engkau menjadi mayat yang dibunuh oleh penguasa Allah Tabaraka wa Ta’ala?” (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, 24/48-49, no. 14792. Ibnu Abi ‘Ashim, 3/102, no. 910. Dinilai sahih oleh al-Albani, Dzilal al-Jannah, no. 1096. Begitu juga dalam Mu’aamalatul Hukkam fii Dhau’il Kitabi wa as-Sunnah, Syaikh ‘Abdus Salam B. Barjas turut menjelaskan kesahihan hadis ini dengan membawakan beberapa jalan periwayatan dan penguat serta turut menukilkan pensahihan oleh al-Haitsami - katanya, “Yang sahih adalah pada hujung hadis Hisyam.” Kemudian katanya lagi, “Perawinya tsiqah dan sanadnya bersambung.” (Majma’ az-Zawa’id, 5/412-413) Syaikh ‘Abdus Salam Barjas menyatakan, hadis ini sahih dan bukannya hasan mahupun dhaif. Manakala Syu’aib al-Arnauth menyatakan, lafaz tersebut “Hasan lighairihi.”)

Dalam Kitab Dzilal al-Jannah (Takhrij as-Sunnah Ibn Abi ‘Ashim), hadis ini diletakkan di dalam bab:

للوالة الرعية نصيحة كيف باب

Bab: Bagaimana rakyat menasihati penguasa. (Ini adalah bab sebagaimana dalam as-Sunnah oleh Ibnu Abi ‘Ashim)

Syu’aib al-Arnauth menyebutkan perkataan as-Sindi setelah mengulas status hadis tersebut:

ر الس في تكون أن ينبغي السلطان نصيحة أي

“Maksudnya, menasihati sultan (pemimpin) perlu dilaksanakan dalam keadaan tertutup (sirr).” (Tahqiq Musnad Ahmad, 24/50)

Kemudian Syu’aib al-Arnauth menyatakan:

Page 21: Esaimen GPI

: " لألمر: " السلطان قتيل اإلنسان فكون وإال نصحه، في منك أدب لسوء أي ، سلطان قتيل فتكون قولهأعلم تعالى والله شر، ال خير بالمعروف

Perkataan beliau (milik ‘Iyadh B. Ghunm), “lalu engkau menjadi mayat yang dibunuh oleh penguasa...” Maksudnya, ia adalah disebabkan adab yang buruk (tercela) daripada engkau ketika memberikan nasihat. Melainkan apabila seseorang telah menyampaikan (nasihat) dengan ma’ruf (cara yang baik) dan bukan dengan cara yang buruk, tetapi tetap dibunuh oleh pemerintah. Wallahu Ta’ala A’lam.” (Tahqiq Musnad Ahmad, 24/50)

Wallahu a’lam, setakat bacaan dan penelitian penulis, tidak ditemui ulasan mana-mana ulama salaf (ahlus sunnah-wal-jama’ah) menyatakan bahawa kaedah teguran (secara rahsia) yang ditunjukkan melalui hadis ini hanya merujuk kepada kesalahan peribadi pemerintah semata-mata dan tidak terpakai untuk kesalahan pemerintah yang melibatkan kemaslahatan umum (atau negara).

Berikut penulis bawakan penjelasan Imam asy-Syaukani rahimahullah:

رؤوس على عليه الشناعة يظهر وال يناصحه أن المسائل بعض في اإلمام غلط له ظهر لمن ينبغي ولكنهقدمنا وقد الله سلطان يذل وال النصيحة له ويبذل به ويخلو بيده يأخذ أنه الحديث في ورد كما بل األشهاد

الصالة أقاموا ما مبلغ أي الظلم في بغوا وإن األئمة على الخروج يجوز ال أنه هذا السير كتاب أول فييطيع أن المأموم على ولكن متواترة المعنى هذا في الواردة واألحاديث البواح الكفر منهم يظهر ولم

الخالق معصية في لمخلوق طاعة ال فإنه الله معصية في ويعصيه الله طاعة في اإلمام

“Akan tetapi, sesiapa yang mengetahui kesalahan seseorang imam (pemimpin) di dalam sebahagian urusan, hendaklah menasihati tanpa memalukannya di hadapan khalayak umum. Caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan melalui sebuah hadis:

“Hendaklah ia memegang tangan penguasa tersebut dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan sultan (pemerintah) Allah.”

Telah kami paparkan di awal buku as-Siyar bahawa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) umat Islam walaupun mereka melakukan kezaliman apa pun selagi mereka masih tetap menegakkan solat dan tidak menzahirkan kekufuran yang nyata dari diri mereka. Hadis-hadis yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati pemerintah dalam ketaatan kepada Allah dan mengingkarinya apabila ia mengajak (memerintahkan) melakukan maksiat kepada Allah. Kerana tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam urusan maksiat kepada al-Khaliq.” (asy-Syaukani, as-Sailul Jarrar al-Mutadafiq ‘Ala Hada’iqil Azhar, 1/965 – Maktabah Syamilah)

‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada rakyatnya:

Page 22: Esaimen GPI

الخير على والمعاونة بالغيب، النصيحة حقا عليكم لنا إن الرعية أيتها

“Wahai seluruh rakyat, bahawasanya kami memiliki hak ke atas kamu, iaitu diberi nasihat secara diam-diam, dan galakkan supaya melaksanakan kebaikan...” (Atsar Riwayat Hannad as-Sari, az-Zuhd, 2/602 – Mu’aamalatul Hukkam fii Dhau’il Kitabi wa as-Sunnah)

Untuk penjelasan panjang lebar lagi, sila rujuk (klik) artikel khusus milik penulis berjudul “Bagaimana Ahlus Sunnah wal-Jama’ah Menasihati Pemerintah.”

[Hadis kedua] Hadis Daripada Usamah B. Zaid:

ه والل �م �سمع�ك أ إال م�ه� �كل أ ال ي أن أترون فقال مه� �كل فت ع�ثمان على تدخ�ل� أال له� قيل قال زيد بن �سامة أ عنفتحه� من أول �ون أك أن �حب أ ال أمرا أفتتح أن د�ون ما وبينه� بيني فيما �ه� مت كل لقد

Daripada Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata - Seseorang berkata kepadanya, “Adakah engkau tidak menemui ‘Utsman dan menasihatinya?” Maka Usamah menjawab:

“Adakah engkau menganggap bahawa aku tidak menasihatinya melainkan aku perlu memperdengarkannya (memberitahu) kepadamu? Demi Allah, aku telah menasihatinya dengan empat mata (antara aku dengannya). Aku tidak akan membuka perkara (fitnah) di mana aku tidak menyukai sekiranya aku adalah orang pertama yang membukanya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 11/46, no. 3027. Muslim, 14/261, no. 5305. Lafaz ini dari Shahih Muslim)

Badruddin al-‘Aini al-Hanafi rahimahullah (Wafat: 855H) menjelaskan perkataan Usamah B. Zaid radhiyallahu ‘anhuma:

“Demi Allah, aku telah menasihatinya dengan empat mata (antara aku dengannya).”

Maknanya, “Aku menasihati penguasa secara senyap-senyap (rahsia), sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah.” Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan dan adab, bukan untuk menghasut supaya fitnah (pergolakkan) muncul, kerana cara mencegah kemungkaran para pemerintah dengan terang-terangan memiliki unsur-unsur penentangan terhadapnya. Kerana pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang membuka ruang kepada rosaknya kalimat (perpaduan umat Islam) dan berpecah-belahnya al-jama’ah (kesatuan).” (al-‘Aini, Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, 23/33)

Page 23: Esaimen GPI

Imam Abu al-‘Abbas al-Qurthubi rahimahullah (datuk dan guru kepada pemilik tafsir al-Qurthubi) menjelaskan:

والرؤساء، الكبراء يعاتب أن يجب وهكذا به، خال إذا ويكلمه الناس، بحضرة كالمه يجتنب كان أنه يعنينصحهم من يجب لما أداء الخالء في وينصحون لحرمتهم، إبقاء المأل، في يعظمون

" عن: " يكون ما أتقى ألنه لطيف؛ كالم مشافهة، كلمه أنه يعني وبينه بيني فيما كلمته لقد وقولهوالمفاسد الفتن من ذلك بسبب يطرأ ما لعظيم األئمة، على والقيام باإلنكار المجاهرة

(Dari hadis Usamah tadi) “Maksudnya adalah beliau menghindarkan diri dari memperkatakan kemungkaran pemimpin di hadapan orang ramai dan apabila tiada orang barulah dia membuka bicara menegur pemimpin tersebut (secara rahsia). Dan menegur kesalahan pemimpin ini adalah kewajiban tetapi hendaklah memuliakan mereka di hadapan umum (dengan cara yang ma’ruf) bagi menghomati mereka. Dan menasihati mereka adalah kewajiban yang perlu dilaksanakan.

Dan perkataan, “Sesungguhnya aku telah menasihatinya dengan empat mata (antara aku dengannya),” maksudnya adalah bahawa Usamah radhiyallahu ‘anhu menasihati pemimpin secara lisan dengan perkataan yang lembut disebabkan bimbang akan membawa fitnah dan kerosakan yang besar sekiranya teguran atau nasihat tersebut dilakukan secara terbuka.” (al-Qurthubi, al-Mufham Lima Usykila min Talkhish Kitab Muslim, 21/143-144)

Untuk penjelasan panjang lebar lagi, sila rujuk (klik) artikel khusus milik penulis berjudul “Bagaimana Ahlus Sunnah wal-Jama’ah Menasihati Pemerintah.”

[Hadis Ketiga]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

خرج : أو جنازة، مع خرج أو مريضا، عاد من ، وجل عز الله، على ضامنا كان منه�ن واحدة فعل من خمساس الن من وسلم منه� اس� الن فسلم بيته في قعد أو وتوقيره�، تعزيره� �ريد� ي إمام على دخل أو غازيا،

“Ada lima perkara yang sesiapa melakukan salah satu di antaranya maka ia mendapat jaminan daripada Allah ‘Azza wa Jalla. Iaitu:

Orang yang menjenguk orang sakit, atau orang yang menghantarkan jenazah, atau orang yang pergi berperang, atau orang yang menemui pemimpinnya dengan tujuan untuk memuliakannya dan menghormatinya, atau mengunjungi rumahnya sehingga manusia selamat dari keburukannya dan ia

Page 24: Esaimen GPI

pun selamat dari keburukan mereka.” (Hadis Riwayat Ahmad, 36/412, no. 22093. Dinilai hasan oleh Syu’aib al-Arnauth. Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar, dan ath-Thabrani dalam al-Kabir dan al-Ausath. Para perawi Ahmad adalah perawi kitab Shahih, manakala Ibnu Lahi’ah hadisnya hasan kerana ada kelemahan padanya.” Manakala al-Albani menilai hadis ini sahih, begitu juga sebagaimana kata ‘Abdus Salam Barjas dalam Mu’aamalatul Hukkam)

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berikut, “... mengunjungi rumahnya sehingga manusia selamat dari keburukannya dan ia pun selamat dari keburukan mereka” juga menunjukkan maksud supaya memberi nasihat kepada para pemimpin secara tertutup dan bukan dihebohkan secara terbuka di khalayak umum.

Perkataan Rasulullah, “sehingga manusia selamat dari keburukannya...” ini menunjukkan bahawa nasihat tersebut merujuk nasihat berkaitan kemaslahatan umum, untuk masyarakat, dan negara. Bukan semata-mata persoalan isu peribadi dan individu.

Adakah perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam supaya menasihati pemerintah secara tertutup ini membawa maksud mengampu sebagaimana kata Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin?

Untuk penjelasan panjang lebar lagi, sila rujuk (klik) artikel khusus milik penulis berjudul “Bagaimana Ahlus Sunnah wal-Jama’ah Menasihati Pemerintah.”

[Hadis Keempat] Fatwa Sahabat, 'Abdullah B. Abi Aufa radhiyallahu 'anhu:

من لي قال عليه مت� فسل البصر محج�وب� وه�و أوفى أبي بن ه الل عبد لقيت� قال مهان ج� بن� سعيد� عنلعن األزارقة ه� الل لعن قال األزارقة� قتلته� ق�لت� قال والد�ك فعل فما قال مهان ج� بن� سعيد� أنا فق�لت� أنتأم وحده�م األزارقة� ق�لت� قال ار الن كالب� ه�م أن م وسل عليه ه� الل صلى ه الل رس�ول� حدثنا األزارقة ه� الليدي فتناول قال بهم ويفعل� اس الن يظلم� لطان الس فإن ق�لت� قال ها �ل ك الخوارج� بلى قال ها �ل ك الخوارج�إن األعظم واد بالس عليك األعظم واد بالس عليك مهان ج� ابن يا ويحك قال �م ث شديدة غمزة بيده فغمزها

منه� بأعلم لست ك فإن فدعه� وإال منك قبل فإن تعلم� بما فأخبره� بيته في فأته منك يسمع� لطان� الس كان

Daripada Sa’id B. Jumhan, beliau berkata, “Aku menemui ‘Abdullah B. Abi Aufa, ketika itu beliau tidak dapat melihat (buta). Kemudian aku mengucapkan salam kepadanya.

Beliau bertanya, “Siapakah engkau?” Aku menjawab, “Aku adalah Sa’id B. Jumhan.”

Beliau bertanya lagi, “Apakah yang dilakukan oleh ayahmu?” Aku menjawab, “Beliau telah dibunuh oleh (kaum) al-Azariqah.” Beliau pun berkata, “Semoga Allah melaknat kelompok al-Azariqah.

Page 25: Esaimen GPI

Semoga Allah melaknat kelompok al-Azariqah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menceritakan kepada kami, bahawa mereka adalah anjing-anjing neraka.”

Aku bertanya, “Adakah hanya kelompok al-Azariqah sahaja, atau merujuk kepada semua kaum Khawarij?” Beliau menjawab, “Ya, benar. Semua kaum Khawarij.”

Aku pun berkata (cuba menjelaskan), “Sesungguhnya para pemimpin sedang menzalimi rakyat dan berbuat tidak adil kepada mereka.” Akhirnya Abdullah bin Abi Aufa memegang tanganku dan menggenggamnya dengan sangat erat, lalu beliau berkata, “Duhai celaka kamu wahai Ibnu Jumhan. Hendaklah kamu sentiasa bersama as-Sawadul A’dzam, hendaklah kamu sentiasa bersama as-Sawadul A’dzam. Sekiranya engkau mahu pemerintah tersebut mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah kepadanya apa-apa yang engkau ketahui sehingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, kerana kamu tidak lebih tahu daripada dia.” (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, 32/157, no. 19415. Lihat tahqiq Syu’aib al-Arnauth. Dalam Majmu’ az-Zawa’id, 5/414, no. 9163 - al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani, dan para perawi Ahmad adalah perawi tsiqah.” Dinilai hasan oleh al-Albani, Dzilal al-Jannah, 2/143, no. 905 dan Abdus Salam Barjas dalam Mu’aamalatul Hukkam)

Hadis ini menunjukkan suatu peristiwa atau zaman di era para sahabat. Di mana pada ketika itu kezaliman pemerintah begitu berleluasa sehingga munculnya ramai golongan pemberontak dan manusia yang terbunuh.

Tetapi apa perintah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi bernama ‘Abdullah B. Abi Aufa tersebut?

Begitu jelas sekali bahawa beliau telah memerintahkan dengan perintah berikut:

“Sekiranya engkau mahu pemerintah tersebut mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah kepadanya apa-apa yang engkau ketahui sehingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, kerana kamu tidak lebih tahu daripada dia.”

Bukankah hadis ini juga turut menjelaskan perintah (atau kaedah yang benar) dalam menasihati pemerintah berkaitan urusan kemaslahatan umum (masyarakat) adalah secara tertutup? Hadis ini sedikitpun tidak merujuk nasihat bagi urusan peribadi Sa’id B. Jumhan, sebaliknya berkaitan masalah masyarakat secara umum ketika itu.

Untuk penjelasan panjang lebar lagi, sila rujuk (klik) artikel khusus milik penulis berjudul “Bagaimana Ahlus Sunnah wal-Jama’ah Menasihati Pemerintah.”

Page 26: Esaimen GPI

5 – Saya percaya bahawa tidak ada manusia yang suka dirinya dikritik secara terbuka, termasuk Dr. Asri Zainul Abidin sendiri. Oleh itu, apatah lagi seorang pemimpin yang dirinya menjadi perhatian ramai dan memegang kredibiliti tersendiri sebagai seorang pemimpin. Sudah tentu egonya lebih tinggi berbanding manusia lain secara umum.

6 - Hadis-hadis dalam hal ini sedikit pun tidak dihadkan atau dikhususkan kepada mana-mana zaman tertentu sama ada zaman Khulafa’ur Rashidin, kerajaan Bani Umayyah, Kerajaan Bani Abbasiyah atau selainnya termasuk kerajaan Malaysia hari ini. Bahkan hadis-hadis ini bersifat umum untuk setiap zaman selagi mana ada pemimpin Islam yang menegakkan solat.

Sebuah Penjelasan Bolehkah Mengkritik Pemerintah Secara Terbuka?

Rentetan dari tuduhan Dr. Mohd. Asri tersebut, benarkah para ulama salaf (ahlus sunnah wal-jama’ah) melarang sama sekali teguran terhadap pemerintah dilakukan secara terbuka? Jadi berikut penulis utarakan beberapa dalil berkaitan menegur pemerintah yang dianggap oleh sebahagian pihak termasuk Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin tentang bolehnya mengkritik pemerintah secara terbuka.

Dalil-dalil ini sering sekali digunakan oleh pihak tidak bertanggungjawab sebagai dalil bolehnya mengkritik serta mencanang kesalahan para pemimpin secara terbuka lagi bebas tanpa melihat perincian dan pendetailannya. Maka di sini penulis berusaha menjelaskan perinciannya bagi mengelakkan beberapa bentuk salah faham akibat syubhat yang dimainkan golongan tidak bertanggungjawab tersebut.

[Dalil Pertama] Hadis Abu Sa’id al-Khudri Menegur Khalifah Marwan B. al-Hakam

: � فيبدأ الفطر ويوم األضحى يوم ج� يخر� كان م وسل عليه ه� الل صلى ه الل ول رس� أن الخ�دري سعيد أبي عنببعث حاجة له� كان فإن ه�م م�صال في ج�ل�وس وه�م اس الن على فأقبل قام م وسل صالته� صلى فإذا بالصالةمن أكثر وكان تصدق�وا تصدق�وا تصدق�وا يق�ول� وكان بها أمره�م ذلك بغير حاجة له� كانت أو اس للن ذكره�

. أتينا ى حت مروان م�خاصرا فخرجت� الحكم بن� مروان� كان ى حت كذلك يزل فلم ينصرف� �م ث ساء� الن يتصدق�المنبر نحو ني يج�ر ه� كأن يده� �نازع�ني ي مروان� فإذا ولبن طين من منبرا بنى قد الصلت بن� كثير� فإذا الم�صلى

تعلم� ما �رك ت قد سعيد أبا يا ال فقال بالصالة االبتداء� أين ق�لت� منه� ذلك رأيت� فلما الصالة نحو ه� أج�ر وأناانصرف �م ث مرار ثالث أعلم� مما بخير �ون تأت ال بيده نفسي والذي كال ق�لت�

Daripada Abu Sa’id al-Khudri, (beliau menjelaskan), “Bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar pada hari ‘Iedul Adha dan ‘Iedul Fitri, lalu beliau memulakannya dengan solat. Ketika beliau telah menyelesaikan solatnya dan mengucapkan salam, beliau bangkit berdiri dan menghadap kepada manusia (orang ramai yang hadir) sementara orang ramai tersebut dalam keadaan duduk di tempat solat masing-masing. Sekiranya beliau memiliki keperluan untuk mengirim (pasukan), maka beliau mengingatkan orang ramai tentang itu, atau sekiranya beliau memiliki keperluan lain, maka beliau memerintahkan mereka untuk melakukannya. Beliau bersabda, “Bersedekahlah kamu,

Page 27: Esaimen GPI

bersedekahlah kamu semua.” Orang yang paling banyak bersedekah adalah kaum wanita, kemudian beliau berganjak dari tempatnya. Perbuatan seperti ini sentiasa dilakukan sehingga pada zaman pemerintahan Marwan B. Al-Hakam. Aku keluar sambil memegang tangan Marwan sehinggalah sampai ke Mushalla (tempat solat). Di sana nampaknya Katsir B. Ash-Shalt telah membuat mimbar dari tanah liat dan batu bata. Tiba-tiba Marwan menarik tangannya sambil seakan-akan ia menarikku sama ke arah mimbar. Manakala aku pula menariknya untuk melaksanakan solat. Ketika aku melihat situasi ini berlaku, aku pun mengatakan,

“Kenapa tidak dimulakan dengan perlaksanaan solat terlebih dahulu?” Maka beliau pun menjawab, “Tidak, wahai Abu Sa’id. Sesungguhnya perbuatan tersebut telah ditinggalkan tanpa pengetahuanmu.” Aku katakan, “Sekali-kali bukan demikian sepatutnya. Demi jiwaku yang berada di Tangan-Nya, kamu tidak melakukan kebaikan dari apa yang telah aku ketahui.” Beliau mengucapkan tiga kali, kemudian pergi.” (Hadis Riwayat Muslim, 4/403, Bab Solat al-‘Iedain, no. 1472. Syarah Shahih Muslim, 6/178)

Penjelasan Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) berkenaan teguran Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu kepada Marwan B. Al-Hakam tersebut:

وفيه واليا عليه المنكر كان وان المنكر عن والنهي بالمعروف األمر وفيه الصالة بعد للعيد الخطبة أن فيهاليد امكان مع اللسان اليد عن يجزئ وال أمكنه لمن باليد يكون عليه االنكار أن

1. (Dapat difahami bahawa) Khutbah hari raya dilaksanakan setelah solat.

2. Amar ma’ruf nahi mungkar perlu dilaksanakan walaupun yang ditegah adalah seorang pemimpin.

3. Mencegah kemungkaran adalah dengan tangan bagi sesiapa yang mampu, dan dengan lisan sekiranya tidak dapat dengan tangan sebagai pengganti sekiranya seseorang mampu melaksanakannya. (Syarah Shahih Muslim, 6/177-178)

Di antara syarat-syarat mampu (secara ringkas) adalah:

1. Memiliki ilmu dan kelayakan (autoriti).

2. Terdapat maslahah.

3. Tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar berbanding yang sedia ada.

Page 28: Esaimen GPI

4. Berdasarkan pertimbangan masa dan tempat yang sesuai sebagaimana garis panduan dalam memberikan sebuah teguran dan nasihat.

Kemudian beliau (an-Nawawi rahimahullah) menyatakan:

وكيف سلم و عليه الله صلى النبي طريق هو يعلم الذي ألن قال كما هو أعلم مما بخير تأتون ال قولهأنه معناه وليس الصالة جهة إلى المنبر جهة عن القاضي قال انصرف ثم قوله منه خيرا غيره يكونالصالة بعد ذلك في وكلمه معه صلى أنه البخاري رواية في بل معه الصالة وترك المصلى من انصرفلو أنه على أصحابنا واتفق معه صالها لما كذلك صحتها ولوال الخطبة بعد الصالة صحة على يدل وهذا

للفضيلة مفوتا للسنة تاركا يكون ولكنه صحت الصالة على قدمها

Perkataan Abu Sa’id al-Khudri, “kamu tidak melakukan kebaikan dari apa yang telah aku ketahui.” Inilah yang beliau nyatakan dan ketahui berdasarkan apa yang dilaksanakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Jadi, bagaimana mungkin ada cara lain lagi yang lebih baik (daripada cara Nabi)?

Perkataan beliau, “Kemudian beliau pun pergi,” al-Qadhi berkata, “(Maksudnya) beliau pergi dari arah mimbar untuk melaksanakan solat (mengambil tempat), bukan pergi dari tempat solat tersebut sehingga tidak solat bersamanya (bersama Marwan B. Al-Hakam). Malah, dalam riwayat al-Bukhari disebutkan bahawasanya Abu Sa’id tetap solat bersama Marwan, dan kemudiannya berbicara berkaitan persoalan tersebut setelah solat. Ini menunjukkan sahnya solat setelah khutbah. Sekiranya tidak sah, nescaya Abu Sa’id tidak solat bersamanya. Sahabat-sahabat kami sepakat bahawa sekiranya khutbah didahulukan ke atas solat, maka tetap sah, tetapi perbuatan tersebut (mendahulukan khutbah sebelum solat ‘Ied), ianya termasuk meninggalkan sunnah dan tidak memiliki keutamaan (hilang fadhilat)...” (Syarah Shahih Muslim, 6/178)

Setelah meneliti Syarah an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) berkaitan hadis Abu Sa'id al-Khudri dan tindakannya tersebut - Sama ada ia boleh digunakan sebagai dalil untuk menegur pemerintah secara terbuka atau tidak. Maka, berikut perincian dan pencerahannya secara ringkas:

1 - Hadis tersebut adalah berkaitan teguran yang dilakukan ketika ibadah solat yang hendak dilakukan. Di mana pada ketika itu, berlaku kesalahan apabila khutbah 'Ied didahulukan sebelum solat. Dalam soal praktik ibadah, memang dibenarkan tegur secara langsung, supaya praktik ibadah sentiasa berada dalam keadaan sempurna. Sebagaimana biasa juga tentang persoalan tersalah menghadap kiblat, tersalah bacaan dalam solat, atau kesalahan-kesalahan lainnya berkaitan solat (atau praktik ibadah), ia boleh ditegur secara langsung pada waktu tersebut bagi memperbaiki keadaan.

2 - Apa yang dapat kita lihat adalah, Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu telah melaksanakan teguran secara langsung dan berdepan. Beliau menjelaskan dengan hujjah yang jelas berdasarkan apa yang beliau ketahui dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Page 29: Esaimen GPI

3 - Walau bagaimanapun, dapat kita perhatikan bahawa nasihat Abu Sa'id al-Khudri tersebut tidak diterima oleh Marwan B. Al-Hakam. Dan beliau tetap meneruskan khutbahnya sebelum solat dengan alasan supaya lebih ramai yg akan mendengar khutbahnya.

4 - Walaupun demikian, apa tindakan Abu Sa'id al-Khudri seterusnya? Yang jelas, Abu Sa'id tidak memberontak atau menjadikan suasana tegang sehingga mencanangkan keburukan tersebut. Abu Sa’id bertindak meninggalkan mimbar (dari tempat dia ditarik tersebut), dan kembali mengambil tempat sambil menunggu untuk solat. Lebih manis, Abu Sa'id tetap melaksanakan solat bersama-sama Marwan B. Al-Hakam tersebut.

5 - Apa yang dilakukan oleh Abu Sa'id seterusnya adalah beliau menunggu sehingga tamatnya solat 'Ied, kemudian beliau pergi menemui Marwan B. Al-Hakam secara berduaan dan beliau mengadakan perbincangan dan nasihat secara langsung.

6 – Bahkan sebenarnya hadis ini menunjukkan hujjah menegur pemimpin adalah secara tertutup dan bukan terbuka di khalayak ramai, apatah lagi mencanangkannya.

Tujuan dan hikmah dalam soal ini antaranya adalah dalam rangka menjaga ‘aib dan kredibiliti seseorang pemimpin, di samping agar sesebuah nasihat itu lebih mudah diterima, meraih maslahah, dan mengelakkan pelbagai mudharat lainnya yang lebih besar.

Sila buat rujukan pada Syarah Shahih Muslim, 6/478 berkaitan hadis tersebut dalam bab Solat 'Iedain dan juga dalam bab Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Sebahagian Dari Iman.

[Dalil Kedua] Hadis Khalifah ‘Umar al-Khaththab ditegur Dalam Isu Penetapan Mahar.

Sebahagian pihak dan kelompok pergerakan dakwah politik tertentu menggunakan antaranya hadis berikut ini untuk menghalalkan tindakan mereka mengkritik dan mencela pemerintah secara terbuka di media-media dan pentas-pentas ceramah. Oleh itu, berikut adalah perinciannya.

Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat yang dimaksudkan tersebut dalam tafsirnya:

: : ص�د�ق في إكثاركم ما الناس، أيها قال ثم الله رسول منبر الخطاب بن عمر ركب قال مسروق، عنفما درهم أربعمائة بينهم فيما الصدقات وإنما وأصحابه وسلم عليه الله صلى الله رسول كان وقد النساء . . في رجل زاد ما أعرفن فال إليها تسبقوهم لم كرامة أو الله عند تقوى ذلك في اإلكثار كان ولو ذلك دون

درهم أربعمائة على امرأة .صداق

Page 30: Esaimen GPI

: النساء: يزيدوا أن الناس نهيت المؤمنين، أمير يا فقالت قريش من امرأة فاعترضته نزل ثم قال : : . : ذلك؟ وأي قال القرآن؟ في الله أنزل ما سمعت أما فقالت نعم قال درهم؟ أربعمائة على صداقهم

[ : م�بينا: وإثما �هتانا ب أتأخ�ذ�ونه� شيئا منه� تأخ�ذ�وا فال قنطارا إحداه�ن �م وآتيت يقول الله سمعت أما فقالت

: . : تزيدوا: أن نهيتكم كنت إني فقال المنبر فركب رجع ثم عمر من أفقه الناس �ل ك غفرا، اللهم فقال قالأحب ما ماله من يعطي أن شاء فمن درهم، أربعمائة على صداقهن في .النساء

: : فليفعل نفسه طابت فمن قال وأظنه يعلى أبو .قال

Diriwayatkan daripada Masruq, beliau berkata, “‘Umar B. al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menaiki mimbar Rasulullah lalu berkata (berkhutbah), “Wahai sekalian manusia, mengapa kamu terlalu meninggikan mahar wanita. Sesungguhnya dahulu Rasulullah dan para sahabat, jumlah mahar di antara mereka hanyalah empat ratus dirham dan kurang dari itu. Jika meninggikan mahar adalah tanda ketaqwaan kepada Allah atau sebuah kemuliaan, tentulah kamu tidak akan mampu mendahului mereka dalam perkara tersebut. Jangan sampai aku ketahui ada orang yang meninggikan mahar lebih dari empat ratus dirham.”

Masruq berkata, “Kemudian beliau pun turun dari mimbar. Beliau (‘Umar) kemudiannya ditahan oleh seorang wanita Quraisy dan berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah melarang manusia menetapkan mahar bagi wanita lebih dari empat ratus dirham.”

‘Umar menjawab, “Ya!” Wanita tersebut pun berkata lagi, “Tidakkah engkau mendengar Allah berfirman dalam kitab-Nya, “... Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya walaupun sedikit. Adakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (an-Nisaa’, 4: 20)

‘Umar pun berkata, “Ya Allah, berilah keampunan kepadaku. Semua orang lebih faqih (memahami) daripada ‘Umar.”

Kemudian beliau pun kembali menaiki mimbar dan berkata, “Sesungguhnya tadi aku telah melarang kamu menetapkan mahar wanita lebih dari empat ratus dirham. (Tetapi) sekarang, siapapun boleh memberikan hartanya berdasarkan yang ia suka (sebagai mahar).”

Abu Ya’la berkata, “Aku kira ia mengatakan, “Sesiapa yang dengan rela hatinya, maka silalah untuk memberi mahar berdasarkan kesanggupannya (kehendaknya).” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 2/244. Ibnu Katsir menyatakan, sanadnya baik dan kuat. Dinilai dhaif oleh al-Haitsami, Majma’ az-

Page 31: Esaimen GPI

Zawa’id, 4/521. Juga dinilai dhaif oleh al-Albani dalam al-Irwa’ al-Ghalil kerana bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunan)

Setelah diteliti, hadis ini dapat difahami sebagaimana berikut:

1 - Tindakan wanita tersebut bukan untuk membangkang. Sebaliknya adalah untuk mendapatkan lebih penjelasan kerana fakta yang baru diterimanya tersebut bertentangan dengan apa yang ia fahami. Ibarat seorang murid bertanya kepada seorang guru.

2 - Begitu juga mungkin seperti ketika dalam kelas matematik, mungkin guru kita tersilap, maka kita pun bangun dan bertanya sehingga kesalahan itu disedari oleh guru lalu segera memperbetulkannya. Bangunnya si pelajar tersebut bukanlah untuk melucutkan jawatan guru atau mengkritiknya. Sebaliknya adalah mencari kepastian apabila ilmu yang difahami sebelum itu bertentangan dengan ilmu yang sedang dipelajari.

3 - Pertanyaan oleh wanita Quraisy tersebut dilakukan setelah ‘Umar turun dari mimbar khutbah. Dilakukan pula secara berhadapan dan langsung. Bukan ketika di atas mimbar sehingga menampakkan kepada orang ramai.

4 - Wanita Quraisy tersebut tidak juga bertindak mencanang kesilapan ‘Umar tersebut.

5 – Selain itu, menggunakan hadis ini sebagai hujjah akan mengarahkan kita kepada beberapa sisi kritis:

[1] Pertamanya, hadis ini diperselisihkan status kesahihannya sehingga kita perlu mengutamakan hadis-hadis yang telah pasti kesahihannya.

[2] Sekiranya hadis ini sahih, ia secara terang telah menjelaskan bahawa adab “menegur pemimpin” itu wajib dilakukan secara langsung dan berhadapan sehingga mata bertemu mata.

[3] Sekiranya hadis ini sahih, dengan jelas telah menunjukkan bahawa wanita itu bukan bertujuan membantah dan membangkang, apatah lagi mempertikaikan kedudukan ‘Umar (selaku khalifah), sebaliknya sekadar bertanya meminta penjelasan lanjut tentang ijtihad khalifah ‘Umar.

Dari itu, telah jelaslah bahawa hadis ini sedikit pun tidak dapat dikaitkan untuk menghalalkan perbuatan menegur pemerintah secara terbuka dari sisi manapun. Apatah lagi untuk menghalalkan perbuatan tercela seperti mengumpat, membuka ‘aib, mengkritik, dan mencaci-maki pemerintah

Page 32: Esaimen GPI

sama ada secara langsung di hadapannya atau di belakangnya (tanpa pengetahuan pemerintah tersebut) seperti di pentas-pentas pidato, akhbar, media-media massa, dan sebagainya. Wallahu a’lam.

[Dalil Ketiga] Mu’awiyah Ditegur Ketika Berkhutbah.

Dalil yang dimaksudkan ini adalah dalil yang sama dibawa oleh Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin dalam artikel yang sama. (Rujuk Akhbar Sinar Harian bertarikh 22/07/2011)

Berikut adalah dalil yang dimaksudkan:

خطبته عند فقال الجمعة يوم المنبر صعد أنه سفيان أبي بن معاوية عن قبيل أبي :وعن

الجمعة في كان فلما أحد يجبه فلم منعناه شئنا ومن أعطيناه شئنا فمن فيئنا والفيء مالنا المال إنماممن رجل إليه فقام مقالته مثل قال الثالثة الجمعة في كان فلما أحد يجبه فلم ذلك مثل قال الثانيةبأسيافنا : الله إلى حاكمناه وبينه بيننا حال فمن فيئنا والفيء مالنا المال إنما كال فقال المسجد حضر : معه الرجل فوجدوا الناس دخل ثم الرجل هلك القوم فقال فأدخله الرجل إلى فأرسل معاوية فنزل

للناس معاوية فقال السرير :على

يقول سلم و عليه الله صلى الله رسول سمعت الله أحياه أحياني هذا :إن

القردة تتقاحم كما النار في يتقاحمون عليهم يرد وال يقولون أمراء بعدي سيكونيرد فلم الثانية الجمعة في تكلمت ثم منهم أكون أن فخشيت أحد علي يرد فلم جمعة أول تكلمت وإني : فأحياني علي فرد الرجل هذا فقام الثالثة الجمعة في تكلمت ثم القوم من إني نفسي في فقلت أحد

الله أحياه

Daripada Abu Qobail, daripada Mu’awiyah bahawasanya beliau (Muawiyah B. Abi Sufyan) menaiki mimbar pada hari Jumaat, dia berkata dalam khutbahnya:

“Harta ini (harta kerajaan) adalah harta kami, dan harta fa’i (harta rampasan perang) juga harta kami. Kami beri kepada sesiapa yang kami mahu, dan kami tidak berikan kepada sesiapa yang kami mahu.”

Tiada seorang pun yang menjawabnya (atau membantah beliau).

Page 33: Esaimen GPI

Apabila tiba jumaat yang kedua, dia mengucapkan perkara yang sama. Tiada siapa pun yang tampil menjawabnya. Pada jumaat yang ketiga dia berkata perkara yang sama, lalu seorang lelaki yang hadir dalam masjid itu pun bangun dan berkata:

“Sama sekali tidak! Sesungguhnya harta tersebut adalah harta kami (rakyat) dan fa’i ini adalah fa’i kami (rakyat). Sesiapa yang menghalang kami dari harta tersebut, kami akan berhukum dengan hukum Allah menggunakan pedang-pedang kami.”

Lalu Mu'awiyah radhiyallahu ‘anhu pun turun dari mimbar dan mengutus seseorang untuk memanggil lelaki itu.

Orang ramai berkata, “Habislah dia.”

Kemudian orang ramai masuk dan mendapati dia sedang duduk bersama Mu’awiyah di atas tempat duduknya (tempat tidur). Mu’awiyah berkata kepada orang ramai:

“Dia ini telah menghidupkanku, semoga Allah menghidupkannya. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Akan ada pemimpin-pemimpin selepasku (yang melakukan kesalahan), mereka itu bercakap tiada siapa pun yang menjawab (menegur) mereka. Mereka itu terjun ke dalam neraka seperti kera terjun.”

(Kata Muawiyah lagi):

“Aku bercakap pada jumaat pertama, tiada siapa pun menjawabku, maka aku takut aku termasuk dalam kalangan mereka. Kemudian pada jumaat yang kedua, tiada siapapun menjawabku, maka aku pun berkata, “Aku termasuk dalam kalangan mereka (pemimpin yang dimaksudkan Rasulullah).” Aku bercakap pada jumaat ketiga, lelaki ini bangun menjawabku. Dia telah menghidupkanku (menyelamatkan aku), semoga Allah menghidupkannya.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, 19/393, no. 925. al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir, al-Ausath, dan Abu Ya'la. Para perawinya tsiqah.” Majma’ az-Zawa’id, 5/425, no. 9199. Dinilai hasan oleh al-Albani, as-Silsilah ash-Shahihah, 4/398, no. 1790)

Setelah diteliti, hadis ini dapat difahami bahawa:

1 – Mu’awiyah B. Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu sebenarnya bertujuan menguji rakyatnya dalam rangka memastikan dirinya bukan termasuk dalam kalangan pemimpin yang dimaksudkan oleh hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berikut, “Akan ada pemimpin-pemimpin selepasku (yang

Page 34: Esaimen GPI

melakukan kesalahan), mereka itu bercakap tiada siapa pun yang menjawab (menegur) mereka. Mereka itu terjun ke dalam neraka seperti kera terjun.”

Ini dapat difahami apabila Mu’awiyah menyatakan kerisauannya dengan katanya, “Aku bercakap pada jumaat pertama, tiada siapa pun menjawabku, maka aku takut aku termasuk dalam kalangan mereka.”

Oleh sebab itulah Mu’awiyah membuat pengumuman bahawa harta mal (kerajaan) dan harta fa’i (rampasan perang) adalah milik beliau dengan tujuan mahu melihat sama ada akan ada orang yang menegurnya atau tidak.

Inilah sebab utama berlakunya kisah sebagaimana riwayat tersebut. Iaitu bertujuan memastikan dirinya bukan dari kalangan pemimpin yang dimaksudkan oleh hadis Nabi tersebut.

2 – Dalam masa yang sama, Mu’awiyah tidak membiarkan orang yang menegur beliau tersebut dengan begitu sahaja terus mengkritik (atau menegur) di khalayak ramai. Sebaliknya beliau turun dari mimbar dan mengutuskan orang lain agar memanggil si penegur tersebut bertemu dengannya.

Ini menunjukkan adanya perbincangan secara tertutup berlangsung di antara mereka berdua (di antara Mu’awiyah dengan orang yang menegurnya).

3 – Mu’awiyah menjelaskan rasa lega dan gembiranya apabila beliau bukanlah pemimpin yang termasuk dalam hadis Nabi yang dimaksudkan. Ini kerana masih ada orang yang sanggup menegur beliau apabila melakukan kesalahan. Sebab itulah beliau (Mu’awiyah) mengatakan:

“Aku bercakap pada jumaat ketiga, lelaki ini bangun menjawabku. Dia telah menghidupkanku (menyelamatkan aku), semoga Allah menghidupkannya.”

4 – Konteks hadis ini dan cara memahaminya sebenarnya tidak jauh bezanya dengan dua hadis yang dibentangkan sebelumnya. Sekaligus bukanlah dalil yang valid digunakan bagi mengkritik pemerintah secara terbuka di serata ceruk dan tempat.

Sebaliknya, apa yang dapat difahami adalah bolehnya menegur pemerintah secara berdepan dan langsung sebaik mengetahui pemerintah tersebut sedang melakukan kesalahan. Tujuan dan bentuk teguran seperti ini adalah bagi mengelakkan fakta dan kesalahan yang sedang berlaku dari diikuti atau disalah-fahami oleh orang ramai yang hadir ketika itu. Maka dibolehkan untuk memperbaiki atau membetulkan keadaan secara langsung (atau serta-merta) supaya kesalahan yang sedang berlaku tidak berpanjangan atau dianggap sebagai suatu kebenaran.

Page 35: Esaimen GPI

Ini boleh disamakan keadaannya dalam sebuah pengajian atau kelas apabila seorang guru yang sedang mengajar di hadapan tiba-tiba melakukan kesilapan dan ianya disedari oleh sebahagian pelajarnya. Maka pelajar yang mengetahui pada masa itu berhak untuk bangun atau segera menegurnya dengan baik supaya kesalahan yang dilakukan oleh guru tersebut tidak diikuti oleh para pelajar lain lalu menganggapnya sebagai suatu kebenaran atau ilmu.

Maka, tindakan pelajar yang segera menegur itu adalah benar. Atau sekiranya guru tersebut telah keluar dan teguran tidak sempat dibuat ketika dalam kelas, maka para pelajar perlu menemui guru tersebut dan memohon penjelasan. Ini sebagaimana hadis seorang wanita menegur ‘Umar al-Khaththab di atas tadi.

Sebaliknya sekiranya guru tersebut telah beredar keluar baru para pelajar tersebut kecoh, memburuk-burukkan guru, atau melakukan umpatan sesama sendiri berkaitan kesalahan guru tadi, maka itu adalah tindakan yang salah atau kurang tepat. Lebih biadap lagi apabila para pelajar tadi mencanangkan kesalahan guru tersebut ke serata tempat tanpa sedikitpun mengambil inisiatif membetulkan keadaan dengan berbincang menemui guru tersebut.

5 – Bahkan dalam hal ini jika kita melihat kisah Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu sendiri sebagai khalifah di zamannya, kita akan mendapati bahawa beliau sendiri pernah bertindak menahan dan menghukum bunuh seorang bernama Hujr B. Adi al-Kindi dengan sebab Hujr telah mencerca, membangkitkan provokasi, dan menunjukkan sikap kepembangkangan secara terbuka kepada gabernor Mu’awiyah di Kuffah yang sedang berkhutbah. Sedangkan Hujr B. Adi al-Kindi adalah termasuk daripada kalangan sahabat (sahabat kecil), dan sebahagian ulama menyatakan beliau adalah tabi’in.

Tindakan Mu’awiyah tersebut tidak mendapat bantahan daripada kalangan sahabat yang lain, sebaliknya ia termasuk sebahagian kebenaran dan menjadi hak bagi seseorang pemimpin untuk mengelakkan fitnah dan huru-hara (bibit-bibit pemberontakan). (Rujuk penjelasannya dalam al-Awashim min al-Qowashin oleh Imam al-Qadhi Abu Bakr Ibnu al-Arabi. Tahqiq: Muhibbudin al-Khatib, Mahmud al-Istanbuli, dan al-Maktab as-Salafi)

Kesimpulan:

Maka dari sini telah kita fahami beberapa bentuk perincian terhadap beberapa dalil yang sering digunakan oleh golongan tertentu sebagai syubhat menghalalkan teguran dan kritikan terhadap pemerintah secara terbuka di atas. Bahkan sebahagian besar dari mereka menggunakannya sebagai dalil untuk mencanang kesalahan pemerintah sekaligus berhasrat pemerintah sedia ada dapat dijatuhkan melalui provokasi-provokasi yang mereka canangkan.

Page 36: Esaimen GPI

Maka setelah hasil penelitian dan perincian tersebut dibuat, dapat kita ambil kefahaman bahawa:

1 – Asal hukum menegur pemerintah adalah secara tertutup.

2 – Dibolehkan menegur atau memperbetulkan kesalahan pemerintah secara terbuka pada keadaan yang benar-benar kritikal dan memaksa sebagaimana dijelaskan agar maslahah dapat ditegakkan. Iaitu dilakukan secara berdepan di ketika kita sedar bahawa pemerintah sedang melakukan kesalahan. Maka pada ketika itu, kita dibolehkan menegur pemerintah tersebut serta-merta secara langsung agar kesalahan dapat diperbetulkan dan tidak berlarutan.

3 – Sekiranya kesalahan tidak dapat diperbetulkan dan pemerintah tetap terus dengan pendiriannya (yang salah tersebut), maka dakwah secara hikmah dan teguran secara tertutup tetap perlu diteruskan demi mencari maslahah dan redha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Keadaan ini pun dikembalikan kepada kaedah dan hukum asal menegur pemerintah iaitu dilakukan secara tertutup agar jauh dari fitnah.

Sahabat Nabi, ‘Abdullah B. Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Sa’id B. Jumhan di ketika rakyat dizalimi oleh pemerintah (pada zamannya), “Sekiranya engkau mahu pemerintah tersebut mendengar nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan beritahulah kepadanya apa-apa yang engkau ketahui sehingga ia menerimanya. Jika tidak, maka tinggalkanlah, kerana kamu tidak lebih tahu daripada dia.” (Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, 32/157, no. 19415. Dinilai hasan oleh al-Albani, Dzilal al-Jannah, 2/143, no. 905)

Perlu ditegaskan di sini bahawa prinsip-prinsip yang ditegaskan ini adalah prinsip-prinsip yang digariskan dan dibina oleh para ulama ahlus sunnah wal-jama’ah sejak zaman berzaman. Sebuah prinsip yang konsisten berdasarkan dalil-dalil yang autentik dan tafsiran yang jelas oleh para ulama ahlus sunnah wal-jama’ah generasi sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta para ulama setelah mereka yang meniti di atas manhaj mereka dengan baik sehinggalah ke zaman ini. Bukan tafsiran yang dibina semata-mata dengan ideologi liberal, mazhab zahiri (literal), bertujuan mengampu, mahupun semata-mata dengan akal (ra’yi) dan hawa nafsu yang meninggalkan prinsip-prinsip salaf.

Untuk penjelasan panjang lebar lagi, sila rujuk (klik) artikel khusus milik penulis berjudul “Bagaimana Ahlus Sunnah wal-Jama’ah Menasihati Pemerintah.”

____________________________________________________________

Page 37: Esaimen GPI

"CIRI SEORANG PEMIMPIN ISLAM" (Menurut Al-Qur'an & Hadis)

May 8, 2013 at 9:58pm

"CIRI SEORANG PEMIMPIN ISLAM"

(Menurut Al-Qur'an & Hadis)

1)Taat Kepada Allah & RasulNya;

Firman Allah Ta'ala:

اليحبالكافرون الله تولوافان فان والرسول اطيعواالله قل

"Katakanlah:Taatilah Allah dan RasulNya jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".(Ali-Imran:32)

مؤمنين كنتم ان ورسوله واطيعواالله

"Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kamu adalah orang-orang yang beriman".

(Maksud)

"Sesungguhnya jawapan orang-orang Mukmin apabila mereka diajak kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menghukum di antara mereka ialah ucapanسمعناواطعنا:"Kami dengar dan kami patuh".(An-Nur:51)

Page 38: Esaimen GPI

2)Beriman Dan Beramal Sholih;

Firman Allah Ta'ala:

خيرالبرية هم اولئك امنواوعملواالصالحات الذين ان"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih,mereka itulah sebaik-baik makhluk".(Al-Bayyinah:7)

(Maksud)

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya,kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada Allah,mereka itulah orang-orang yang benar".(Al-Hujurat:15)

(Maksud)

"Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholih dan nasihat-menasihati dengan kebenaran dan nasihat-menasihati dengan kesabaran".(Al-Ashr:1-3)

3)(Di Lihat)Bersholat;

(Maksud)Sabda Nabi s.a.w:

"Kelak akan memerintah pembesar-pembesar yang kebijaksanaannya ada yang kamu kenal baik dan tak baik.Maka siapa membenci yang tidak baik lepaslah dia daripada dosa,bahkan sesiapa mengingkarinya selamatlah dia.Tetapi sesiapa yang rela bahkan mengikuti yang tidak baik maka berdosalah ia".Sahabat bertanya bolehkah membunuhnya?Nabi jawab:"Tidak,selagi bersholat".(HR.Muslim 4/1820)

4)Takut Kepada Allah S.W.T;

Firman Allah Ta'ala:

مايؤمرون ويفعلون فوقهم من ربهم يخافون"Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan".(An-Nur:50)

Page 39: Esaimen GPI

5)Memimpin Dengan Kitabullah Dan Sunnah Nabi s.a.w;

وأطيعوا اسمعواله الله بكتاب عبديقودكم عليكم ولواستعمل

"Sekalipun hanya seorang hamba yang dijadikan pemimpin yang memerintah kamu tetapi sesuai dengan kitabullah maka hendaklah kamu dengar dan mentaatinya".(HR Muslim no.1838)

الكافرون هم فاولئك الله بماانزل يحكم لم ومن

"Dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah,maka mereka itulah orang-orang kafir".(QS.Al-Maidah:44)

الفايقون هم فاولئك الله بماانزل يحكم لم ومن

"Sesiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itulah orang yang fasik".(Al-Maidah:47)

Rasulullah s.a.w mendoakan Kaab b. Ujrah:"semoga Allah memelihara kamu dari era pemerintahan yang bodoh".Kaab bertanya apakah pemerintahan bodoh itu?Nabi jawab:"Mereka ialah pemerintah yang datang selepasku tetapi tidak mengikut jejak dan tidak mengikut sunnahku.Sesiapa yang membenarkan penipuan mereka,mendokong kezaliman mereka maka mereka itu bukan daripada kalanganku dan aku juga bukan daripada kalangan mereka dan mereka tidak menemuiku di telaga Kautsar.Sesiapa yang tidak terpengaruh dengan penipuan mereka dan tidak menyokong kejahatan mereka maka mereka termasuk daripada kalanganku dan aku juga daripada kalangan mereka dan mereka ini akan menemuiku di telaga Kautsar.(HR.Ahmad,Ibnu Hibban:1723,shahih oleh Al-Albani,Tarhghib wa Tarhib:2242)

6)Adil;

Firman Allah Ta'ala:

واالحسان يأمربالعدل الله ان"Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan".(An-Nur:90)

(Maksud)Sabda Nabi s.a.w:

"Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil akan berada di atas panggung cahaya di sebelah kanan Allah azza wa jalla,kedua-dua sisi itu baik keadaan dan kedudukannya,iaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum,adil pada keluarga dan adil dalam tugas yang dikuasakan kepada mereka.(HR.Muslim 4/1794)

Page 40: Esaimen GPI

7)Memerintah Kepada Ketaatan Dan Kebaikan;

Sabda Nabi s.a.w:

المعروف انماالطاعةفي"Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah pada sesuatu yang makruf(perkara yang baik pada syara')(HR.Muttafaq 'alaih)

والطاعة فإذاأمربمعصيةفالسمع"Maka jika diperintahkan berbuat maksiat,maka ia tidak wajib dengar dan taat".(HR.Muttafaq 'alaih)

(Maksud)Rasulullah s.a.w bersabda:

"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi dan tidak juga mengangkat seorang Khalifah melainkan ada dua orang kepercayaan yang dekat dengannya.Orang pertama menyuruh untuk berbuat baik dan mendorong untuk melakukannya,dan orang kedua menyuruh berbuat jahat dan mendorong untuk melakukannya".(HR.Bukhori 1/501)

8)Tidak Mengkhianati(Amanah);

Firman Allah Ta'ala:

تعلمون وانتم وتخونوااماناتكم والرسول امنواالتخونواالله ياايهاالذين"Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kamu sedang kamu mengetahuinya".(Al-Anfal:27)

9)Menipu/Membohong;

Firman Allah Ta'ala:

اثيم افاك لكل ويل

"Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang berdusta lagi banyak berdosa".(Al-Jaatiyah:7)

Sabda Nabi s.a.w(maksud):

Page 41: Esaimen GPI

"Tidak ada seseorang hamba yang dipercayai Allah kepadanya memimpin rakyatnya kemudian dia mati sedangkan pada hari kematiannya dia menipu rakyat,nescaya Allah mengharamkan Syurga kepadanya".(HR.Muslim 4/1797)

10)Benar;

Firman Allah Ta'ala:

الصادقين وكونوامع امنوااتقواالله ياايهاالذين"Hai orang-orang yang beriman,bertaqwalah kepada Allah,dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar".(At-Taubah:119)

باالسحار والمستغفرين والمنفقين والقانتين والصادقين الصابرين"(Iaitu) Orang-orang yang sabar dan yang benar dan yang taat dan yang menafkahkan hartanya dan yang memohon ampun di waktu sahur".(Ali-Imran:17)

11)Berilmu;

Firman Allah Ta'ala:

بغيرعلم ظلموااهواءهم الذين اتبع بل"Akan tetapi orang-orang zalim mengikut hawanafsu tanpa ilmu".(Ar-Rum:29)

Sabda Nabi s.a.w:

فانتظرالساعة غيرأهله إذاوسداألمرإلى"Apabila urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka tunggulah terjadinya qiamat".(HR.Bukhori no.6496)

12)Tidak Zalim;

Firman Allah Ta'ala:

لهم قيلل ظلمواقوالغيرالذى الذين فبدل

Page 42: Esaimen GPI

"Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan yang tidak diperintahkan kepada mereka".(QS.Al-Baqarah:59)

الظالمون هم فاولئك يتعدحدودالله ومن

"Sesiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka mereka itulah orang yang zalim".(Al-Baqarah:229)

الظالمون هم فاولئك الله بماانزل يحكم لم ومن

"Sesiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itulah orang yang zalim".(Al-Maidah:45)

النار ظلموافتمسكم الذين والتركنواالى

"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api Neraka".(QS.Hud:113

Sabda Nabi s.a.w:

منهم كون أن شرالرعاءالحطمةفإياك ان"Sesungguhnya sejahat-jahat pemimpin adalah pemimpin yang zalim.Maka janganlah kamu termasuk daripada golongan mereka".(HR.Muttafaq'alaih)

13)Tidak Melampau Batas;

Firman Allah Ta'ala:

والتطيعواامرالمسرقين

"Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melampau batas".(Asy-Syu'ara:151)

14)Tidak Menyesatkan;

Firman Allah Ta'ala:

لعناكبيرا والمنهم العذاب من ضعفين وقالواربناانااطعناسادتناوكبراءنافاضلوناالسبيالذ،ربنااتهم

"Dan mereka berkata:'Ya Tuhan kami,sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dari jalan(yang benar).Ya Tuhan

Page 43: Esaimen GPI

kami,timpakanlah azab kepada mereka azab dua kali ganda dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar".(Al-Ahzab:67-68)

15)Mengutamakan(agama) Keimanan;

Firman Allah Ta'ala:

فاولئك منكم يتولهم ومن االيمان استحبواالكفرعلى اولياءان واخوانكم امنواالتتخذوااباءكم ياايهاالذينالظالمون هم

"Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu jadikan bapa-bapa kamu dan dan saudara-saudara kamu sebagai pemimpin-pemimpin(pelindung) sekiranya mereka mengutamakan kekafiran atas keimanan dan sesiapa yang menjadikan mereka pemimpin kamu maka mereka itu adalah orang yang zalim.(At-Taubah:23)

16)Tidak Mengutamakan Kenikmatan Dunia;

Firman Allah Ta'la:

وكانوامجرمين ظلموامااترفوافيه الذين واتبع

"Dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka dan mereka itu adalah orang-orang yang berdosa".(Hud:116)

17)Tidak Mementingkan Diri Sendiri(Mementingkan Rakyat);

Sabda Nabi s.a.w:

اثرةوامورتنكرونها بعدى انهاستكون"Sepeninggalanku nanti akan ada pembesar-pembesar negara yang mementingkan diri sendiri dan bertindak dengan tindakkan yang tidak kamu sukai".(HR.Muslim 4/1811)

18)Berjasa Kepada Manusia;

Sabda Nabi s.a.w:

الناس الى االخروليأت واليوم بالله وهويؤمن منيته الجنةفلتأته النارويدخل عن يزحزح ان احب ومناليه يؤتى ان يحب الذى

Page 44: Esaimen GPI

"Sesiapa yang ingin bebas daripada Neraka dan mahu masuk ke Syurga,maka hendaklah ia menemui kematiannya dalam beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah ia berjasa kepada umat manusia sesuai dengan yang diinginkan oleh mayarakat itu.(HR.Muslim 4/1812)

19)Tidak Mempersulitkan;

Dari Aisyah r.a berkata:Aku mendengar Rasulullah s.a.w berdoa di rumahku,katanya:

بهم شيئافرفق امرامتى من ولى ومن عليه فاشقق عليهم شيئافشق امرامتي من ولى من اللهم فارفقبه"Ya Allah,sesiapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku lalu dia mempersulitkan urusan mereka maka persulitkanlah pula dia,dan sesiapa yang menjabat suatu jabatan lalu dia berusaha menolong mereka maka tolonglah dia".(HR.Muslim 4/1795)

20)Sombong;

Firman Allah Ta'ala:

ظلماوعلوا وجحدواستيقنتهاانفسهم

"Dan mereka mengingkarinya kerana kezaliman dan kesombongan(mereka) padahal hati mereka meyakini(kebenaran)nya".(An-Naml:14)

مختاالفخور كان اليحبومن الله ان"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri".(An-Nisa':36)

21)Tidak Mengharap Dan Meminta-Minta Jawatan(Pemimpin);

Sabda Nabi s.a.w;

عليه والاحداحرص احداساله علهذاالعمل على النولى اناوالله"Demi Allah,aku tidak akan mengangkat seseorang untuk memangku pekerjaan ini(jawatan) kepada seseorang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang mengharapkannya".(Muttafaq 'alaih)

Page 45: Esaimen GPI

(Maksud)

Sedangkan pekerjaan itu(jawatan) adalah amanah yang pada hari qiamat kelak dipertanggungjawabkan dengan risiko yang penuh kehinaan dan penyesalan,kecuali bagi orang yang memenuhi syarat dan dapat melaksanakan tugas yang dibebani kepadanya dengan baik".(HR.Muslim 4/1793)

22)Tidak Rasuah Dan Menerima Hadiah(Untuk kepentingan/balasan);

Sabda Nabi s.a.w:

والمرتشي الراشي لعن وسلم عليه الله صلى النبي"Nabi melaknat pemberi rasuah dan penerima rasuah".(HR.Abu Daud(3580),Tirmidzi(1337),Ibnu Majah(2313),juga diriwayatkan oleh Ahmad,IbnuHibban dan Al-Hakim)

: يهدى فنظرهل وامه ابيه بيت وهذااهدلى،افالقعدفى عملكم هذامن فيأتينافيقول نستعمله العامل فمابالامال له

"Mengapakah seseorang pegawai yang kami angkat menjalani seseuatu pekerjaan,kemudian dia datang kepada kami lalu berkata:'Ini daripada hasil pekerjaan yang tuan serahkan kepada saya dan ini orang hadiahkan kepada saya'.Mengapa dia tidak duduk sahaja di rumah orang tuanya dan dia tunggu(saja) apakah ada orang(datang) memberi hadiah kepadanya atau tidak?"

(HR.Muttafaq 'alaih,Al-Lu'lu-u Wal Marjan 2:286)

23)Tidak Menggelapkan Harta/Wang Rakyat(Negara);

Sabda Nabi s.a.w:

القيامة يوم به غلواليأتى كان فكتمنامخيطافافوقه عمل على منكم استعملناه من

"Barangsiapa yang kami angkat di antara kamu memangku suatu jabatan lalu disembunyikannya terhadap kami sebuah jarum atau yang lebih kecil daripada itu,maka perbuatannya itu adalah penggelapan.Dia akan datang pada hari kiamat membawa barang yang digelapkannya itu".(HR.Muslim 4/1801)

24)Memakmurkan Rakyat/Negara;

Sabda Nabi s.a.w:

الجنة معهم يدخل االلم وينصح اليبهدلهم ثم امرامسلمين اميريلى مامن

Page 46: Esaimen GPI

"Tidak seorang pun Amir yang menguasai atau memerintah kaum Muslimin,tetapi dia tidak berjuang dengan sungguh-sungguh dan tidak memberikan pengarahan untuk kemakmuran(kecukupan/keperluan) mereka,nescaya Allah tidak membolehkannya bersama-sama mereka ke Syurga".(HR.Muslim 4/1798)

25)Tidak Mengikut Hawa Nafsu;

Firman Allah Ta'ala:

فرطا امره وكان هوىه ذكرناواتبع عن اغفلناقلبه من والتطع

"Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan daripada mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya serta urusannya itu melampau batas".(Al-Kahfi:28)

يلهث اوتتركه يلهث عليه تحمل الكلب،ان كمثل هوىه،فمثله واتبع االض اخلدالى ولكنه

"Dan tetapi dia cenderung kepada hawa nafsunya yang rendah,maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dihulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menghulurkan lidahnya(juga)".(Sl-A'araf:176)

[Rujukan:Al-Qur'an&Terjemahan,Shohih Muslim(Ringkasan) dan Riyadhus Sholihin(Terjemahan).]

Daftar Kepustakaan

S.L Poerdisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu & Peradaban Dunia, (Jakarta: P3M, 1986.

Zainul Arifiin, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang,Tantangan dan Prospek, Alvabet,

Jakarta, Desember 1999.

Crombie, Medieval and Early Modern Science, Vol 1 dan 11. Harvard University Press,

Cambridge, 1963.

Sharif (ed), A History of Muslim Philosophy, Vol 2, Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1966.

Page 47: Esaimen GPI

George Makdisi, Madrasa and Universitv in the Middle Age” Studi (Islamica 32. 1970.

Will Durant, The Age of Faith, Simon and Schuster. New York, 1950. Encyclopedia of l.slam,

New Edition.

Durant, De Lacy, Arabic Thought and Its Pulce in History, Routledge and Kegan Paul Ltd,

London, 1992;

Wolfson A, Studies in the History of Philosophy and Religion, vol I, Isadore Twersky and

George William (ed), Harvard University Press, 1973;

Subhi Labib, Capitalism in Medieval Islam, Journal of Economic History, Vo1.29, 1969

Sharif, bicf, Giullaume, The Legacy of lslam, London, 1952

Hammond, The Philosophy of Al Farabi and Its Influence on Medieval Thought, New York,

1974

A1 Izzah Anis Muda, Ahmad, The Development of Figh Schools of Thought, makalah dalam

Short Course on Figh for Economics, International Islamic University, Petaling Jaya, 30 Mei-

Juni 1994

Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (terjemahan), Dana Bhakti

Wakaf Yogyakarta, 1993

Footnote.

Page 48: Esaimen GPI

[1[ QS. Al-Rum, 30: 39

[2[ Q.S al-Nisa (4) : 161

[3[ QS. Ali Imran, 3: 130

[4[ Al-Qur’an nul Karim di surat al-Baqarah (2) : 275, 276, 278.

[5[ Al-Qur’an nul Karim di surat ;Al-Baqarah ayat 278

[6[ Qur’an nul Karim surat An Nisa ayat 12 yang berbunyi ;

[7[ Al-Qur’an nul Karim di surat Shaad ayat 24

[8[ Al-Qur’an nul Karim di surat Jumuah ayat 10

[9[ Al-Qur’an nul Karim di Surat Al-Baqarah ayat 198

[10[ Qur’an nul Karim di surat AI Muzammil ayat 20

[11[ Al-Qur’an nul Karim di surat al Jumu’ah ayat 10

Page 49: Esaimen GPI