efektivitas antibakteri ekstrak daun · pdf file4.6.2 alat dan bahan uji identifikasi...
TRANSCRIPT
i
EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH
(Averrhoa bilimbi L) TERHADAP BAKTERI MIX SALURAN AKAR GIGI
NI PUTU IGA SAVITRI
NPM : 10.8.03.81.41.1.5.055
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
2014
ii
Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)
Terhadap Bakteri Mix Saluran Akar Gigi
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar
Oleh :
NI PUTU IGA SAVITRI
NPM : 10.8.03.81.41.1.5.055
Menyetujui
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
drg. Putu Rusmiany, M.Biomed drg. Kadek Lusi Ernawati
NPK. 82 6795 206 NPK. 826 595 309
iii
Lembar Pengesahan Penguji dan Pengesahan Dekan
Tim penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar telah meneliti dan mengetahui cara
pembuatan skripsi dengan judul : “Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Terhadap Bakteri Mix Saluran Akar
Gigi” yang telah dipertanggung jawabkan oleh calon sarjana yang bersangkutan
pada tanggal 25 Februari 2014.
Maka atas nama Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar dapat mengesahkan.
Denpasar 25 Februari 2014
Tim Penguji Skripsi
FKG Universitas Mahasaraswati Denpasar
Ketua,
drg. Putu Rusmiany, M.Biomed
NPK. 82 6795 206
Anggota : Tanda Tangan :
1. drg. Kadek Lusi Ernawati
NPK. 82 7610 309
2. drg.IGAA Hartini, M.Biomed
NPK. 826395207
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar
drg. P.A. Mahendri Kusumawati, M.Kes., FISID
NIP. 19590512 198903 2001
iv
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH
(Averrhoa bilimbi L) TERHADAP BAKTERI MIX SALURAN AKAR GIGI” ini
tepat pada waktunya.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi (SKG) pada Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada :
1. Drg. Putu Rusmiany, M.Biomed selaku dosen pembimbing I yang
senantiasa meluangkan waktu dalam mengarahkan, membimbing dan
memberikan petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
2. Drg. Kadek Lusi Ernawati selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bantuan dalam membimbing sehingga skripsi ini
terselesaikan.
3. Drg. I Gusti Agung Ayu Hartini, M.Biomed selaku dosen penguji yang
telah bersedia menguji serta memberikan koreksi dan masukan kepada
penulis.
v
4. Ibu Amy Lelly Kusumawati S.Km selaku analis Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas segala
dukungan, bimbingan dan bantuan yang telah diberikan
5. Drg. Putu Ayu Mahendri, M.Kes, FISID Selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
6. Ibu Tjok. Istri Sri Ramaswati, SH, M.M, selaku Rektor Univeristas
Mahasaraswati Denpasar.
7. Keluarga tercinta ayah I Made Suwitra SKM, Msi dan ibu Ni Luh
Widarini, ST, serta adik I Kadek Sakawesi Vidya dan I Komang Aebel
Trisila Vidantra atas dukungan moral dan motivasi serta kasih sayang yang
tak terhingga yang diberikan kepada si penulis sampai hari ini.
8. Bayu Kandel Arbawa, Kak Anggi dan sahabat-sahabatku tercinta
Primadewi Candrawaty, Mita Antari, Ria Artayanti, Ovie kristina,
Chintya, Silvia, Ophie, Dek Ari dan seluruh teman-teman angkatan cranter
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu oleh penulis, atas bantuan dan
motivasinya baik secara langsung maupun tidak langsung selama
penyusunan skripsi ini hingga selesai.
vi
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
bagi seluruh pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan ilmu bagi pengemban
ilmu dan masyarakat
Denpasar, 25 Februari 2014
Penulis
vii
Efektivitas antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh(Averrhoa bilimbi L)
terhadap bakteri mix saluran akar gigi.
Abstrak
Perawatan Saluran Akar merupakan salah satu jenis perawatan yang
bertujuan mempertahankan gigi agar tetap dapat berfungsi. Sterilisasi merupakan
bagian dari perawatan saluran akar yang merupakan proses pemusnahan semua
mikroorganisme. Ekstrak daun belimbing wuluh digunakan sebagai alternatif
bahan medikamen saluran akar karena telah terbukti memiliki efek antibakteri.
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental laboratorium dengan
rancangan penelitian Post test only control group design. Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui efek antibakteri daun belimbing wuluh terhadap bakteri mix
saluran akar gigi.
Ekstrak daun belimbing wuluh diencerkan dalam tabung glass dengan
metode dilusi, diperoleh konsentrasi 10,5%, 11%, 12% yang masing-masing
terdiri dari 4 sampel. Pada penelitian ini menunjukkan ekstrak dengan konsentrasi
10,5%, 11%, 12% tidak terdapat pertumbuhan bakteri. Ekstrak daun belimbing
wuluh memiliki daya antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri mix saluran akar
gigi.
Kata Kunci : Ekstrak daun belimbing (Averrhoa bilimbi L), sterilisasi saluran
akar, bakteri mix saluran akar gigi.
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ....................................................................................................... i
Halaman Persetujuan Pembimbing ........................................................................ ii
Halaman Persetujuan Penguji dan Pengesahan Dekan .......................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroorganisme Saluran Akar ................................................................... 7
2.1.1 Jenis-Jenis Bakteri Saluran Akar ...................................................... 9
2.1.1.1 Bakteri Anaerob Gram Negatif .............................................. 10
2.1.1.2 Bakteri Anaerob Gram Positif ............................................... 11
2.1.2 Resistensi Bakteri Terhadap Obat...................................................... 12
2.2 Sterilisasi Saluran Akar ............................................................................... 14
2.2.1 Medikamen Saluran Akar .................................................................. 15
2.3 Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) ...................................................... 16
2.3.1 Komponen Kimia Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) ..... 18
2.3.2 Manfaat Daun Belimbing Wuluh(Averrhoa bilimbi L) ..................... 19
ix
2.4 Tannin ....................................................................................................... 19
2.4.1 Sifat-sifat Tannin ............................................................................... 19
2.4.2 Manfaat Tannin .................................................................................. 21
2.5 Flavonoid ....................................................................................................... 21
2.5.1 Sifat-sifat Flavonoid .......................................................................... 21
2.5.2 Manfaat Flavonoid ............................................................................. 22
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep........................................................................................ 23
3.2 Hipotesis Penelitian .................................................................................... 24
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian ........................................................................................... 25
Rancangan Penelitian.................................................................................. 25
4.2 Sampel Penelitian ....................................................................................... 26
4.3 Besar Sampel ............................................................................................. 26
4.4 Identifikasi Variabel ................................................................................... 27
4.5 Definisi Operasional .................................................................................. 27
4.6 Bahan dan Alat Penelitian .......................................................................... 28
4.6.1 Alat dan Bahan Pembuatan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh ............ 28
4.6.2 Alat dan Bahan Uji Identifikasi Fitokimia ......................................... 29
4.6.3 Alat dan Bahan Uji Efektivitas Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
Terhadap Bakteri Mix Saluran Akar Gigi ......................................... 30
4.7 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 31
4.7.1 Tempat Penelitian ............................................................................... 31
4.7.2 Waktu Penelitian ............................................................................... 32
4.8 Alur Penelitian ........................................................................................... 32
4.9 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 32
4.9.1 Pembuatan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh ...................................... 32
x
4.9.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Buah Mahkota Dewa .............................. 33
4.9.3 Pembiakan Spesimen ......................................................................... 37
4.10 Penentuan MIC dan MBC Bahan Coba ...................................................... 37
4.11 Analisis Data ............................................................................................... 39
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Ekstrak Daun Belimbing Wuluh ................................................................. 40
5.2 Uji Identifikasi Fitokimia ........................................................................... 40
5.3 Uji Efektivitas Antibakteri .......................................................................... 41
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................... 45
BAB VII SIMPULAN dan SARAN
7.1 Simpulan ..................................................................................................... 48
7.2 Saran .......................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Perhitungan jumlah bakteri untuk bahan coba ekstrak daun
Belimbing wuluh .............................................................................. 43
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Staphylococcus Aureus .................................................................. 5
Gambar 2.1 Daun Belimbing Wuluh ................................................................... 18
Gambar 4.1 Alat pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh ........................... 28
Gambar 4.2 Alat uji efektivitas antibakteri ........................................................ 31
Gambar 4.3 Larutan Flavonoid ......................................................................... 34
Gambar 4.4 Larutan Saponin ............................................................................. 35
Gambar 4.5 Larutan Fenol ................................................................................ 36
Gambar 4.6 Larutan Tannin ................................................................................ 36
Gambar 4.7 Larutan Glikosida ............................................................................ 37
Gambar 5.1 Ekstrak kental daun belimbing wuluh .............................................. 40
Gambar 5.7 SuspensiBakteri Mix SaluranAkar Gigi Setelah Berkontak
Dengan Bahan Coba Pada Berbagai Konsentrasi .......................... 41
Gambar 5.8 Hasil Biakan Mulai Tampak Jernih Bila Dibandingkan
Dengan Kontrol Positif .................................................................. 42
Gambar 5.9 Hasil Pengujian Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
10,5%, 11%, 12% Pada Media Blood Agar .................................... 42
xiii
DAFTAR SINGKATAN
MFC : Minimal Fungicidal Concentration ............................................ 5
TSB : Trypic Soy Broth ........................................................................ 31
MIC : Minimum Inhibitory Concentration ........................................... 35
MBC : Minimum Bactericidal Concentration ....................................... 37
CFU : Colony Forming Unit ................................................................. 38
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia tingkat kesadaran masyarakat mengenai kesehatan gigi dan
mulut masih belum memuaskan. Kesehatan gigi dan mulut tidak hanya sebatas
memiliki gigi yang utuh saja melainkan bebas dari seluruh penyakit mulut
termasuk kondisi di rongga mulut. Dan salah satu penyakit gigi dan mulut yang
banyak dijumpai pada masyarakat adalah karies.
Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan
cementum. Karies gigi disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu gigi,
saliva, mikroorganisme, dan diet, sedangkan faktor tambahannya adalah waktu.
Peran mikroorganisme sangat penting terhadap proses terjadinya karies gigi yang
juga didukung oleh faktor lainnya. Awal terjadinya proses karies gigi ditandai
dengan adanya peningkatan aktivitas mikroorganisme di dalam rongga mulut
(Poetry Oktanauly dkk. 2011). Mikroorganisme yang terdapat dalam karies
merupakan sumber utama iritasi terhadap jaringan pulpa dan periradikuler.
Banyak cara bakteri untuk masuk ke pulpa, namun masuknya bakteri ke pulpa
paling sering disebabkan oleh proses lanjut dari karies. Saat ini mayoritas bakteri
yang diisolasi dari infeksi saluran akar adalah anaerob (Nevi Yanti dan Fadhlina
Irham, 2009). Bila karies telah menyebabkan terbukanya pulpa vital, jaringan
pulpa harus di buang atau mungkin giginya bisa dicabut. Jika gigi ini ingin
diselamatkan, maka di perlukan perawatan saluran akar yang bertujuan
mempertahankan gigi agar tetap dapat berfungsi (Edwina A.M. Kidd dkk. 1992).
2
Keberhasilan perawatan endodonti secara langsung dipengaruhi oleh
kemampuan untuk mengeliminasi mikroorganisme yang terdapat pada saluran
akar yang terinfeksi. Bakteri yang biasa dapat bertahan dalam saluran akar adalah
golongan bakteri anaerob seperti Porphyromonas, Bacterioides gingivalis,
Phorphyromonas bacteriodes endodontalis, dan Prevotella bacterioides buccae
yang dinamakan Bacterioides spesies. Tahapan penting dalam perawatan saluran
akar gigi yang terinfeksi adalah preparasi, sterilisasi dan pengisian. Preparasi
saluran akar gigi akan menunjang proses sterilisasi dengan bahan irigasi saluran
akar untuk menghasilkan pengisian yang baik , sehingga mendapatkan hasil yang
maksimal (Agustin, 2005).
Preparasi biomekanikal dan irigasi saluran akar sangat penting untuk
mengurangi jumlah bakteri selama perawatan endodonti. Hal ini juga perlu
ditunjang dengan pemberian bahan medikamen saluran akar karena akan sangat
membantu untuk mengeleminasi bakteri yang masih tertinggal setelah dilakukan
preparasi atau setidaknya menghambat infeksi berulang saluran akar diantara
kunjungan. Penggunaan bahan medikamen saluran akar selama perawatan
endodonti harus dapat mensterilisasi atau mengurangi jumlah mikroorganisme
patogen dalam saluran akar (Rosa dkk. 2002).
Bahan medikamen yang paling umum digunakan saat ini adalah kalsium
hidroksida (Ca(OH)2). Bahan ini digunakan sebagai medikamen selama
kunjungan terapi endodonti dan mempunyai sifat antibakterial yang baik. Sifat
antibakteri kalsium hidroksida ini disebabkan oleh penguraian ion-ion Ca2+
dan
OH-6
. Mekanisme antimikroba kalsium hidroksida terjadi dengan pemisahan ion
kalsium dan hidroksil ke dalam reaksi enzimatik pada bakteri dan jaringan,
3
menginhibisi replikasi DNA serta bertindak sebagai barrier dalam mencegah
masuknya bakteri ke dalam saluran akar (Athanassiadis 2007, Estrela 2008).
Secara klinis, kalsium hidroksida merupakan bahan medikamen memiliki
kemampuan menginaktifasi endotoksin bakteri serta dapat diterima baik sebagai
bahan medikamen saluran akar. Akan tetapi, penelitian terdahulu menyatakan
bahwa kalsium hidroksida dapat bekerja aktif terbatas pada beberapa hari. Hal ini
mungkin dikarenakan saluran akar yang merupakan jaringan kompleks bahan
organik dan anorganik. Kalsium hidroksida juga memiliki kelemahan, yaitu
kekuatan kompresif yang rendah sehingga dapat berpengaruh pada kestabilan
kalsium hidroksida terhadap cairan di dalam saluran akar yang akhirnya dapat
melarutkan bahan medikamen saluran akar (Leswari, 1997).
Pada penelitian sebelumnya melaporkan bahwa dentin dapat menginaktifkan
aktifitas antibakteri kalsium hidroksida dan menunjukkan jumlah saluran akar
yang positif mengandung bakteri meningkat setelah perawatan saluran akar
dengan kalsium hidroksida (Kudiyirickal, 2008). Oleh karena itu, sangat
diharapkan berkembangnya aplikasi bahan medikamen saluran akar yang berasal
dari alam dan lebih kompatibel terhadap jaringan, namun tetap memiliki
kemampuan antibakteri yang sama dengan bahan non-biologi.
Kecenderungan masyarakat kembali memakai bahan alami dikenal sebagai
New Green Wafe, dimana gerakan ini berupaya kembali menggunakan obat-
obatan tradosional yang ramuannya dari bahan alami yang didapat dari alam
(biofarmaka). Sumber bahan baku obat (medicine) hingga saat ini masih berasal
dari alam, baik nabati maupun asal hewan (Ristek, 2009). Tanaman berkhasiat
obat mempunyai nilai lebih ekonomis dan efek samping lebih kecil dibandingkan
4
dengan obat-obat sintesis, karena itu penggunaan tumbuhan obat dengan
formulasi yang tepat sangat penting dan tentunya lebih aman dan efektif
(Wasitaatmadja, 1997).
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) merupakan salah satu jenis tanaman
yang sering digunakan sebagai obat tradisional. Tanaman ini banyak
dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai penyakit seperti batuk, diabetes, rematik,
gondongan, sariawan, sakit gigi, gusi berdarah, jerawat, diare sampai tekanan
darah tinggi (Wijayakusuma, 2006) bagian tanaman yang sering digunakan
sebagai obat adalah buah dan daunnya.
Daun belimbing wuluh dijadikan obat tradisional karena di dalam daun
belimbing wuluh terdapat zat-zat aktif yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri yang sering disebut zat antiseptik. Zat-zat aktif yang terkandung dalam
daun belimbing wuluh adalah tanin, sulfur, asam format, dan flavonoid
(Wijayakusuma, 2006). Senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan misalkan
flavonoid, tanin, dan saponin berdasarkan beberapa hasil penelitian mempunyai
kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri, di dalam daun belimbing
wuluh mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid dan tanin
sehingga senyawa aktif tersebut dapat digunakan sebagai antibakteri.
Kadar senyawa aktif tertinggi terdapat pada bagian daun (Leinmuler dkk. 1991
cit. Abdurohman 1998). Warna hijau pada daun berasal dari kandungan klorofil
daun, sedangkan daun tua kehilangan klorofil sehingga warnanya berubah
menjadi kuning atau merah (Anonymous, 2009). Ekstrak chloroform daun
belimbing wuluh mengandung senyawa flavonoid membunuh bakteri
Staphylococcus aureus (Hernani dkk. 2009)
5
Menurut penelitian Winarti (2005), konsentrasi daun belimbing wuluh yang
diuji mulai dari konsentrasi 0%, 1%, 1,5%, 3,5%, 6%, 7,5%, 9%, dan 10,5%.
Penetapan rentang konsentrasi ditetapkan berdasarkan penelitian sebelumnya
dimana telah diketahui nilai MFC (Minimal Fungicidal Contentration) dari daun
belimbing wulih terhadap Staphylococcus aureus adalah 10,5%.
Gambar 1 Bentuk mikroskopis S. aureus (Wikipedia, 2006)
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa sudah ada penelitian untuk mengetahui
efek antibakteri daun belimbing wuluh terhadap bakteri Staphylococcus aureus,
namun belum ada penelitian efek antibakteri daun belimbing wuluh terhadap
bakteri mix dari saluran akar gigi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian efek
antibakteri daun belimbing wuluh terhadap bakteri saluran akar gigi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka timbul permasalahan sebagai berikut :
Apakah daun belimbing wuluh dengan konsentrasi 10,5%, 11%, 12% memiliki
efek antibakteri terhadap bakteri mix saluran akar?
6
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui efek antibakteri daun belimbing
wuluh dalam berbagai konsentrasi terhadap bakteri mix saluran akar.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Dapat menjadi wawasan dan pengetahuan serta memberikan pengalaman
langsung pada peneliti dalam melakukan penelitian.
2. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat mengembangkan potensi
pendayagunaan tanaman obat berkhasiat yang ada di Indonesia.
3. Sebagai acuan untuk dilakukan penelitian selanjutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroba Saluran Akar
Masuknya bakteri dalam sistem saluran akar merupakan penyebab utama
penyakit pulpa. Sebagian besar penyakit jaringan pulpa dan periradikuler secara
langsung atau tidak langsung terkait dengan mikroorganisme (Walton dan
Torabinejad, 2002). Menurut Grossman pada tahun 1995, bakteri dapat masuk ke
dalam pulpa melalui tiga cara yaitu invasi langsung melalui dentin, seperti karies,
fraktur mahkota atau akar, terbukanya pulpa pada waktu preparasi kavitas, atrisi,
abrasi, erosi, atau retak pada mahkota, invasi melalui pembuluh darah atau
limfatik terbuka, yang ada hubungannya dengan penyakit periodontal, suatu kanal
aksesori pada daerah furkasi, infeksi gusi dan invasi melalui pembuluh darah ,
misalnya selama penyakit infeksius atau bakteremia transien. Banyak cara bakteri
untuk masuk ke pulpa, namun masuknya bakteri ke pulpa paling sering
disebabkan oleh proses lanjut dari karies (Nevi Yanti dan Fadhlina Irham, 2009).
Menurut Kidd dan Bechal pada tahun 1992, karies gigi merupakan suatu
penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum, yang disebabkan
oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan.
Tandanya adalah adanya demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti
oleh kerusakan bahan organiknya. Akibatnya, terjadi invasi bakteri dan kematian
pulpa serta penyebaran infeksinya ke jaringan periapeks yang dapat menyebabkan
nyeri.
8
Mikroorganisme yang terdapat dalam karies merupakan sumber utama iritasi
terhadap jaringan pulpa dan periradikuler (Walton dan Torabinejad, 2002).
Dengan berlanjutnya proses karies walaupun pulpa belum terkena, sel-sel
peradangan akan mengadakan penetrasi ke pulpa melalui tubulus dentin yang
terbuka sehingga jika karies sudah meluas mengenai pulpa, itu berarti telah terjadi
peradangan kronis dan cepat atau lambat pulpa akan menjadi nekrosis. Nekrosis
pulpa adalah kematian yang merupakan proses lanjutan dari radang pulpa akut
maupun kronis atau terhentinya sirkulasi darah secara tiba-tiba akibat trauma
(Tarigan, 2013).
Jika telah menjadi nekrosis, jaringan pulpa akan menjadi reservoir bagi
mikroorganisme, produk samping bakteri, dan produk-produk pemecahan
mikroorganisme. Setelah pulpa terbuka karena karies, berbagai spesies bakteri
yang oportunis dari floral oral akan berkoloni pada pulpa yang terbuka. Dari
sekitar 500 spesies bakteri yang dikenal sebagai flora normal rongga mulut hanya
relatif sedikit saja kelompok yang dapat diisolasi dari ruang pulpa yang terinfeksi.
Yang dominan adalah bakteri anaerob obligat dan bakteri anaerob fakultatif jenis
gram negatif dan gram positif (Walton dan Torabinejad, 2002). Bakteri anaerob
meliputi 90% dari bakteri penyebab infeksi saluran akar. Berdasarkan temuan
tersebut tidak hanya satu macam bakteri tetapi berbagai macam bakteri
(Agustin,2005).
Bakteri anaerob adalah bakteri yang tidak membutuhkan oksigen untuk
pertumbuhan dan metabolisme tetapi mendapatkan reaksinya dari fermentasi.
Definisi fungsional anaerob adalah bakteri yang memerlukan tekanan oksigen
yang rendah untuk tumbuh dan tidak dapat tumbuh pada permukaan perbenihan
9
padat dalam udara yang mengandung CO2 (Jawetz dkk. 2008). Menurut
Baumgartner dkk. 1991, suatu penelitian yang dilakukan telah mengisolasi dan
mengidentifikasi bakteri dari saluran akar yang terinfeksi 5 mm daerah apeks pada
gigi yang pulpanya terbuka dan disertai lesi periradikuler yang diakibatkannya.
Ternyata bahwa sebagian besar 68% isolatnya adalah anaerob obligat.
Mendominasinya anaerob obligat ini mungkin disebabkan adanya proses yang
selektif yang hanya menguntungkan bakteri anaerob. Proporsi relatif dari bakteri
anaerob obligat terhadap anaerob fakultatif makin lama akan makin meningkat,
seperti juga halnya dengan jumlah bakteri totalnya (Walton dan Torabinejad,
2002).
2.1.1 Jenis-Jenis Bakteri Saluran Akar
Infeksi yang penting secara medis akibat bakteri anaerob sering terjadi.
Infeksinya sering bersifat polimikroba yaitu, bakteri anaerob ditemukan pada
infeksi campuran dengan bakteri anaerob lainnya, fakultatif anaerob dan aerob.
Bakteri anaerob ditemukan di semua bagian tubuh manusia baik di kulit, di
permukaan mukosa, dan di mulut serta saluran cerna dengan konsentrasi tinggi
sebagai bagian dari flora normal. Infeksi terjadi ketika bakteri anaerob dan bakteri
flora normal lainnya mengontaminasi bagian tubuh yang secara normal steril
(Jawez dkk. 2008). Baik mikroorganisme aerob dan anaerob, dan juga
mikroorganisme fakultatif dapat ditemukan di dalam saluran akar. Menurut
Jawetz tahun 2008, bakteri anaerob terbagi menjadi dua yaitu bakteri anaerob
gram negatif dan bakteri anaerob gram positif. Berikut beberapa spesies bakteri
anaerob yang paling sering ditemukan pada saluran akar.
10
2.1.1.1 Bakteri Anaerob Gram Negatif
A. Bacteroides
Spesies Bacteroides adalah anaerob yang sangat penting yang menyebabkan
infeksi pada manusia. Spesies ini adalah kelompok besar basillus gram negatif dan
dapat tampak seperti batang yang tipis atau kokobasillus (Jawetz dkk. 2008).
Genus anaerob Bacteroides telah banyak mengalami revisi taksonomi yang
mengubah nomenklatur bakteri berpigmen hitam yang terkait dengan infeksi
saluran akar (Walton dan Torabinejad, 2002).
B. Prevotella
Spesies Prevotella adalah bakteri basillus gram-negatif dan dapat nampak
seperti batang yang tipis atau kokobasillus. Prevotella meliputi spesises yang baru
diberi nama dan spesies yang dulu diklasifikasikan ke dalam spesies bakteroides
(Jawetz dkk. 2008). Spesies yang diisolasi di saluran akar adalah Prevotella
intermedia dan Prevotella nigrecens. Prevotella nigrecens paling banyak
ditemukan dalam infeksi saluran akar (Walton dan Torabinejad, 2002).
C. Porphyromonas
Spesies Porphyromonas merupakan basillus gram-negatif yang merupakan
bagian dari flora normal mulut dan juga terdapat pada bagian tubuh yang lain.
Genus porphyromonas meliputi spesies yang baru diberi nama dan dahulu
dimasukkan ke dalam genus bacteroides (Jawetz dkk. 2008). Bakteri
porphyromonas yang diisolasi di dalam saluran akar adalah Porphyromonas
gingivalis dan Porphyromonas endodontalis yang biasanya terdapat pada infeksi
akut (Walton dan Torabinejad, 2002).
11
D. Fusobacterium
Spesies Fusobacterium adalah bakteri batang pleomorfik gram-negatif.
Kelompok Fusobacterium meliputi beberapa spesies yang sering diisolasi dari
infeksi bakteri campuran yang disebabkan oleh flora normal mukosa (Jawetz dkk.
2008).
E. Veillonella
Spesies Veillonella adalah kelompok kokus kecil, anaerob, gram-negatif yang
merupakan bagian dari flora normal mulut, nasofaring. Meskipun kadang-kadang
spesies ini diisolasi pada infeksi polimikroba anaerob, spesies ini jarang menjadi
satu-satunya penyebab suatu infeksi (Jawetz dkk. 2008).
2.1.1.2 Bakteri Anaerob Gram Positif
A. Actinomyces
Kelompok actinomyces merupakan jenis bakteri yang paling banyak
menyebabkan aktinomikosis. Pada pewarnaan gram, kelompok ini sangat
bervariasi panjangnya, dapat berukuran pendek dan panjang, tipis filament
bermanik-manik, dapat bercabang atau tidak bercabang (Jawetz dkk. 2008).
B. Propionibacterium
Pada pewarnaan gram, spesies ini sangat pleomorfik, menunjukkan ujung
yang berbentuk lengkung, seperti gada atau titik, bentuk panjang dengan
pewarnaan seperti manik-manik dan tidak rata, serta kadang-kadang berbentuk
kokus (Jawetz dkk. 2008). Spesies Actinomyces dan Propionibacterium mampu
untuk menetap di jaringan periradikuler jika ada jaringan yang terinflamasi kronis.
Hampir semua infeksi ini tampaknya mengadakan respons terhadap perawatan
12
saluran akar konvensional walaupun kadang-kadang pembedahan dan antibiotik
mungkin diperlukan untuk mengatasi infeksi ini (Walton dan Torabinejad, 2002).
C. Eubacterium
Spesies Eubacterium adalah jenis bakteri anaerob, pleomorfik, batang gram-
positif. Bakteri ini kerap diasosiasikan dengan gejala dan tanda klinis pada
penyakit periradikuler (Walton dan Torabinejad, 2002).
D. Peptostreptococcus
Spesies Peptostreptococcus adalah spesies kokus gram-positif dengan ukuran
dan bentuk yang bervariasi yang ditemukan pada kulit dan merupakan bagian dari
flora normal membrane mukosa. Spesies ini sering ditemukan pada infeksi
campuran akibat flora normal (Jawetz dkk. 2008). Bakteri ini juga kerap
diasosiasikan dengan gejala dan tanda klinis pada penyakit periradikuler (Walton
dan Torabinejad, 2002).
2.1.2 Resistensi Bakteri Terhadap Obat
Mikroorganisme yang terdapat di dalam saluran akar dapat menyerbu jaringan
periapikal dan tidak saja menimbulkan rasa sakit, tetapi juga menghancurkan
periodonsium termasuk tulang. Flora mikroba saluran akar terdiri dari organisme
yang dapat hidup pada jaringan pulpa mati, yaitu saprofit, yang dapat tumbuh
pada suatu lingkungan dengan tegangan oksigen rendah, dan yang dapat bertahan
dalam lingkungan dengan makanan terbatas. Organisme yang mencapai saluran
akar berasal dari rongga mulut dan mempunyai kesempatan untuk masuk jaringan
pulpa dan hanya yang paling cocok dapat bertahan. Salah satu masalah
endodontik adalah menghilangkan organisme gram-positif, karena organisme ini
adalah yang paling berlimpah. Selain itu, sejumlah kecil organisme gram-negatif
13
dan jamur dapat diisolasi dari saluran akar namun resisten terhadap obat-obatan
antimikroba yang digunakan pada sterilisasi saluran akar (Grossman, 1995).
Resistensi mikroorganisme adalah suatu sifat terganggunya kehidupan
mikroorganisme oleh antimikroba. Resistensi terjadi ketika bakteri atau
mikroorganisme berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau
hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan
untuk mencegah atau mengobati infeksi. Antimikroba adalah obat yang digunakan
untuk memberantas infeksi mikroba pada manusia (Eka Rahayu Utami, 2012).
Terdapat beberapa mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat
resisten terhadap obat, yaitu mikroorganisme menghasilkan enzim yang
menghancurkan obat aktif, mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap
obat, mikroorganisme menyebabkan perubahan target struktural untuk obat,
mikroorganisme menyebabkan perubahan jalur metabolik yang melintasi reaksi
yang dihambat oleh obat, mikroorganisme menyebabkan perubahan enzim yang
masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tetapi kurang dipengaruhi oleh obat
(Jawetz dkk. 2008).
Selain itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan gigi rentan terhadap infeksi
atau menyebabkan kegagalan pada proses disinfeksi saluran akar. Apakah dari
suatu luka ataukah dari saluran akar gigi tanpa pulpa. Faktor-faktor tersebut
adalah trauma, jika gigi ingin dirawat gigi tersebut harus diasah. Selanjutnya
jaringan didevitalisasi, bila terdapat pada saluran akar atau jaringan periapikal,
akan mengganggu disinfeksi atau perbaikan. Untuk efek maksimum, medikamen
harus berkontak dengan mikro-organisme dalam saluran akar, dan adanya
akumulasi eksudat (Grossman, 1995).
14
2.2 Sterilisasi Saluran Akar
Perawatan saluran akar merupakan salah satu jenis perawatan yang bertujuan
mempertahankan gigi agar tetap dapat berfungsi. Tahap perawatan saluran akar
adalah preparasi saluran akar, sterilisasi dan pengisian saluran akar. Keberhasilan
perawatan saluran ini dipengaruhi oleh preparasi dan pengisian saluran akar yang
baik (Patrick Soedjono dkk. 2009).
Sterilisasi adalah proses pemusnahan semua mikroorganisme. Disinfeksi
adalah menghilangkan organisme vegetatif yang menyebabkan penyakit (Tarigan,
2006). Sterilisasi saluran akar adalah pembinasaan mikroorganisme patogenik,
dengan syarat pengambilan jaringan pulpa dan debris yang memadai, pembersihan
dan pelebaran saluran akar dengan cara biokimiawi, pelebaran saluran dengan
cara biokimiawi dan pembersihannya dengan cara irigasi. Sterilisasi saluran akar
bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan flora mikrobial di dalam saluran
akar. Menurut studi Bystom dan Sundqvist tahun 1985, apabila tidak dilakukan
sterilisasi saluran akar pada setiap kali melakukan perawatan maka jumlah
mikroorganisme akan meningkat jumlahnya. Perlunya sterilisasi saluran akar
adalah untuk memusnahkan atau mengurangi jumlah mikroorganisme secara
nyata (Grossman, 1995).
2.2.1 Medikamen Saluran Akar
Sterilisasi saluran akar dilengkapi dengan medikamen saluran akar.
Medikamen saluran akar merupakan suatu tahap yang penting dalam perawatan
saluran akar. Perlunya medikamen saluran akar untuk memusnahkan atau
15
mengurangi jumlah mikroorganisme kelihatan nyata (Grossman, 1995). Selain
untuk mengurangi jumlah mikroorganisme, medikamen juga digunakan untuk
mengurangi inflamasi periradikuler dan mengurangi nyeri, mencegah resorpsi
akar serta re-infeksi (Athanassiadis B dkk. 2007).
Medikamen digunakan untuk membantu meningkatkan keberhasilan
perawatan endodontik. Medikamen tersebut diharapkan dapat berpenetrasi ke
dalam tubulus dentin dan membunuh bakteri. Sehingga syarat dari medikamen
saluran akar yaitu harus memiliki aktivitas antibakteri (Athanassiadis B dkk.
2007). Bahan medikamen saluran akar yang telah dipakai selama ini antara lain:
a. Bahan berbasis fenol
Terbagi atas parachlorophenol, champhorated monoparachlorophenol (CMPC),
metyl acetate, eugenol dan thymol, memiliki daya antimikrobial, tetapi tidak
bertahan lama, menimbulkan bau tidak sedap, toksik terhadap jaringan dan
melemahkan sifat bahan tumpatan (Hauman, 2009).
b. Kombinasi antibiotik-steroid
Memiliki efek bakterisida yang kuat terhadap bakteri. Mengandung kortikosteroid
yang berguna mengurangi peradangan dan antibiotik untuk menghambat
pertumbuhan bakteri saluran akar. Tetapi keberadaan kedua kandungan tersebut
perlu diperhatikan mengingat efek samping yang ditimbulkan dari kandungan
kortikosteroid akan menurunkan kemampuan regenerasi sel dan jaringan serta
menghambat pembentukan fibroblast dan antibodi. Kandungan antibiotikanya
juga berakibat kurang baik untuk pemakaian jangka panjang (Hauman, 2009).
c. Formokresol
16
Merupakan kombinasi formaline dan tricresol dalam perbandingan 1:2 atau 1:1.
Formokresol merupakan bahan medikamen yang tidak spesifik dan sangat efektif
terhadap mikroorganisme aerob dan anaerob yang ditemukan dalam saluran akar.
Tetapi formokresol disebutkan juga menghasilkan iritasi derajat tinggi dan
menyebabkan nekrosis yang bertahan selama 2-3 bulan, sehingga bersifat toksik
(Hauman, 2009)
d. Kalsium hidroksida
Kalsium hidroksida (Ca(OH)2) telah digunakan sejak 1920 sebagai bahan
medikamen saluran akar. Kalsium hidroksida saat ini merupakan medikamen
saluran akar yang paling sering digunakan (C.Sathron dkk. 2007).
Mengingat pentingnya melakukan sterilisasi saluran akar sebelum melakukan
pengisian saluran akar, dibutuhkan suatu medikamen atau obat-obatan intra
saluran yang dapat memusnahkan atau mengurangi jumlah mikroorganisme.
Sebelum mempertimbangkan suatu medikamen yang akan digunakan,
menentukan jenis mikroorganisme apa yang akan dimusnahkan. Pada sebagian
besar kasus dijumpai berbagai mikroorganisme yang lebih sering ditemui dalam
berbagai kombinasi. Untuk itu dibutuhkan suatu medikamen yang dapat
mengurangi jumlah mikroorganisme di dalam saluran akar (Grossman, 1995).
2.3 Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L)
Tanaman di Indonesia banyak yang bisa memberi manfaat untuk kehidupan,
salah satu diantaranya adalah belimbing wuluh (Averrha bilimbi L.). Belimbing
wuluh merupakan salah satu spesies dalam famili Averrhoa yang tumbuh di
daerah ketinggian hingga 500 m di atas permukaan laut dan dapat ditemui di
tempat yang banyak terkena sinar matahari langsung tetapi cukup lembab. Pada
17
umumnya belimbing wuluh ditanam dalam bentuk tanaman pekarangan yaitu
diusahakan sebagai usaha sambilan atau tanaman peneduh di halaman rumah
(Parikesit, 2011). Pohon yang berasal dari Amerika tropis ini menghendaki tempat
tumbuh yang terkena cahaya matahari langsung dan cukup lembab. Pohonnya
tergolong kecil, tinggi mencapai 10 m dengan batang tidak begitu besar, kasar
berbenjol-benjol dan mempunyai garis tengah sekitar 30 cm. Percabangan sedikit,
arahnya condong ke atas, cabang muda berambut halus seperti beludru berwarna
cokelat muda. Bunga berupa malai, berkelompok, keluar dari batang atau cabang
yang besar. Bunga kecil-kecil berbentuk bintang, warnanya ungu kemerahan.
Buahnya berbentuk bulat lonjong bersegi, panjang 4-6,5 cm, warnanya hijau
kekuningan, bila masak berair banyak dan rasanya masam. Bijinya berbentuk
bulat telur (Wijayakusuma dan Dalimartha, 2006).
Belimbing wuluh disebut Averrhoa bilimbi L, yang termasuk dalam famili
Oxalidaceae. Tanaman ini dikenal dengan nama daerah limeng, selemeng,
beliembieng, blimbing buloh, limbi, libi, tukurela dan malibi. Nama asingnya
bilimbi, cucumber tree dan kamias (Anonymous, 2008). Adapun, Klasifikasi
ilmiah tanaman belimbing wuluh adalah (Dasuki, 1991)
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub-kelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
18
Familia : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi L
Gambar 2.1 Daun Belimbing Wuluh ( Puji Rahayu, 2013)
Daun majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Anak
daun bertangkai pendek, bentuknya bulat telur sampai jorong, ujung runcing,
pangkal membundar, tepi rata, panjang 2-10 cm, lebar 1-3 cm, warnanya hijau,
permukaan bawah warnanya lebih muda (Wijayakusuma dan Dalimartha, 2006).
2.3.1 Komponen Kimia Daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L)
Daun belimbing wuluh mengandung tanin, sulfur, asam format dan peroksida
(Wijayakusuma dan Dalimarta, 2006). Senyawa peroksida yang dapat
berpengaruh terhadap antipiretik, peroksida merupakan senyawa pengoksidasi dan
kerjanya tergantung pada kemampuan pelepasan oksigen aktif dan reaksi ini
mampu membunuh banyak mikroorganisme (Soekardjo, 1995). Penelitian yang
dilakukan oleh Lidyawati dkk. 2006, menunjukkan bahwa penapisan fitokimia
19
menunjukkan bahwa simplisia dari ekstrak metanol daun belimbing wuluh
mengandung flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid.
Pada sel daun terdapat cairan vakuola yang terdapat dalam vakuola terutama
terdiri dari air, namun didalamnya dapat terlarut berbagai zat seperti gula,
berbagai garam, protein, alkaloida, zat penyamak atau tanin dan zat warna. Jumlah
tanin dapat berubah-ubah sesuai dengan musim serta pigmen dalam vakuola
adalah flavonoid (Hidayat, 1995).
2.3.2 Manfaat Daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L)
Daun belimbing wuluh berguna sebagai obat encok, obat penurun panas
dan obat gondok (Mulyani dan Gunawan, 2006). Khasiat daun belimbing wuluh
yaitu sebagai obat gondongan dan rematik. Daun, bunga dan buah belimbing
wuluh dapat sebagai obat batuk (Anonymous, 2008).
2.4 Tanin
Leinmuler et al (1991) dalam Abdurohman (1998) menyebutkan bahwa tanin
ditemukan dalam hampir semua genus tanaman dikotil misalnya leguminosa.
Penyebaran tanin dalam tanaman beragam. Pada tanaman Rhus coraria, tanin
ditemukan 27% dalam daun, 6% dalam kulit pohon dan 0,4% dalam kayu.
Perbedaan kadar tanin dipengaruhi oleh tingkat kematangan, umur daun dan
musim. Tanin terdapat dalam berbagai tanaman baik digunakan sebagai bahan
makanan oleh manusia ataupun hewan.
Secara menyeluruh senyawa tanin menurun selama proses pematangan dan
pendewasaan. Senyawa tanin selalu mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan tanaman atau buah. Secara umum tanin mencapai kandungan
20
tertinggi pada waktu masih muda dan menurun setelah tua (Winarno dan Aman,
1981).
2.4.1 Sifat-sifat Tanin
Tanin tidak selalu berwarna kuning atau coklat. Asam tanat yang dapat dibeli
di pasaran mempunyai BM 1.701 dan kemungkinan besar terdiri dari sembilan
molekul asam galat dan sebuah molekul glukosa (Winarno, 2002). Winarno dan
Aman (1981) menyebutkan bahwa oksidasi tanin akan menghasilkan senyawa
berwarna coklat yang tidak mampu mengendapkan protein. Fenol sangat peka
terhadap oksidasi enzim dan mungkin hilang pada proses isolasi akibat kerja
enzim fenolase yang terdapat pada tumbuhan (Harborne, 1987).
Harborne (1987) dan Jasni et.al (1997) menyebutkan bahwa kompleks tanin-
protein umumnya terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen dan tidak larut. Ikatan
hidrogen antara gugus karbonil dari ikatan peptida dengan gugus hidroksil dari
tanin merupakan ikatan yang paling dominan di dalam kompleks tanin protein.
Interaksi hidrofobik tanin-protein terlihat pada cincin aromatik fenol dan alifatik
serta rantai samping aromatik pada protein asam amino (Hagerman and Butler,
1980 dalam Abdurohman,1998). Kompleks ini dipengaruhi oleh pH, suhu dan
bobot molekul. Nilai pH yang rendah akan menurunkan pembentukan kompleks
tanin-protein sebagai akibat adanya efek elektrostatik dari protein. Winarno
(2002) tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin dan asam hidroksi yang masing-
masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Warna ini
terbentuk karena terbentuknya kompleks antara logam Fe dari FeCI3 1 % dengan
gugus hidroksi dari tanin. Terikatnya Fe pada tannin menghasilkan warna yang
21
spesifik karena gugus hidroksil berkonjugasi dengan ikatan rangkap, sedangkan
terikatnya katekin dengan Fe tidak memberikan warna yang sama, sebab gugus
hidroksil tidak berkonjugasi dengan ikatan rangkap (Nurhasanah, 2001).
2.4.2 Manfaat Tanin
Beberapa tanaman diduga memproduksi tanin sebagai upaya pertahanan
melawan jamur dan bakteri patogenik serta melawan pemakannya seperti
serangga dan herbivora (Barry, 1989 dalam Abdurohman, 1998). Selain itu,
beberapa manfaat tanin (Imtihanah, 1989) pengobatan luka bakar, pada industri
tekstil dan industri tinta tanin sebagai zat warna, pencegah korosi, sebagai
penjernih dalam industri minuman anggur, sebagai bahan fotografi dan
menurunkan viskositas lumpur pada pipa pengeboran minyak.
2.5 Flavonoid
Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan yaitu daun, akar, kayu, kulit,
tepung sari, nektar, buah dan biji (Markham, 1988). Flavonoid mencakup banyak
pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari
fungus sampai angiospermae. Pada tumbuhan tinggi flavonoid terdapat baik
dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga (Robinson, 1995). Golongan
flavonoid digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6 yaitu kerangka
karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzen tersubstitusi) disambung oleh
rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995).
2.5.1 Sifat-sifat Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polar, maka flavonoid umumnya larut dalam
pelarut etanol (EtOH), metanol (MeOH), butanol (BuOH), aseton,
dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air dan lain-lain. Adanya
22
gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah
larut dalam air (Markham, 1988).
Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah
basa atau amonia, sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau larutan
(Harborne, 1987). Pengaruh glikolisasi menyebabkan flavonoid menjadi kurang
reaktif dan lebih mudah larut dalam air (cairan), sifat ini memungkinkan
penyimpanan flavonoid di dalam vakuola sel (disinilah flavonoid berada)
(Markham, 1988). Uji untuk mengetahui adanya flavonoid menggunakan serbuk
logam Mg dan beberapa tetes HCI pekat (Hayati, 2008).
2.5.2 Manfaat Flavonoid
Flavonoid berfungsi untuk menjaga pertumbuhan normal, pengaruh infeksi
dan kerusakan. Flavonoid telah dikenalkan sebagai anti karsinogenik, anti alergi,
menghambat pertumbuhan tumor, antimikrobia dan sering digunakan untuk
pengobatan tradisional (Harborne, 1988).
23
BAB III
HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Variabel bebas
Ekstrak belimbing wuluh
10,5%, 11%, 12%
Variabel terikat
Bakteri mix saluran akar
gigi
Variabel kendali
Suhu
Waktu
Media
pH
24
3.2 Hipotesis
1. Berdasarkan kerangka konsep di atas maka hipotesis pada penelitian ini
adalah ekstrak daun belimbing wuluh pada konsentrasi 10,5%, 11%,
12% efektif membunuh bakteri mix saluran akar gigi.
25
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah eksperimental
laboratorium
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Post test
Only Control Group Design Design
K O0
P1 O1
P2 O2
P3 O3
Keterangan :
P : Populasi
S : Sampel
Ra : Rendom alokasi
K : Perlakuan dengan control dengan kekeruhan setara 108 CFU/ml
yang diinkubasi 24 jam (kontrol positif)
P1 : Perlakuan dengan ekstrak daun belimbing wuluh pada
P S Ra
26
konsentrasi 10,5%
P2 : Perlakuan dengan ekstrak daun belimbing wuluh pada
konsentrasi 11%
P3 : Perlakuan dengan ekstrak daun belimbing wuluh pada
konsentrasi 12,5%
O0 : Pengamatan hasil pada kelompok K
O1 : Pengamatan hasil pada kelompok P1
O2 : Pengamatan hasil pada kelompok P2
O3 : Pengamatan hasil pada kelompok P3
4.2 Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri mix saluran akar
gigi yang diperoleh dengan menggunakan paper point yang dimasukkan ke dalam
saluran akar gigi dengan diagnosa nekrosis pulpa tanpa ada kelainan periapikal
pada akar gigi tunggal dan belum pernah dilakukan perawatan saluran akar.
4.3 Besar Sampel
Penelitian ini menggunakan bakteri, sehingga penentuan besar sampel
ditetapkan sesuai dengan penetapan baku uji bakteri yaitu menggunakan 108
bakteri. Jumlah pengulangan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
rumus Federer (1999) :
(n - 1) (t - 1) ≥ 15
(n - 1) (4 - 1) = 15
27
(n – 1) (3) = 15
n – 1 = 15;3
n = 5 + 1
= 6
Keterangan :
n : banyaknya ulangan
t : banyaknya perlakuan
Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas, maka diperoleh n = 6. Dan
t = 4 maka jumlah sampel keseluruhan adalah 24 sampel.
4.4 Identifikasi Variabel
a. Variabel terikat : Bakteri mix saluran akar gigi
b. Variabel bebas : Ekstrak daun belimbing wuluh 10,5%,
11%, 12%
c. Variabel kendali : Lamanya inkubasi, suhu, konsentrasi
ekstrak daun belimbing wuluh
d. Variabel tidak terkendali : Bakteri mix saluran akar gigi
4.5 Definisi Operasional
a. Daya hambat adalah kemampuan suatu zat untuk menghambat
pertumbuhan bakteri.
b. Bakteri mix saluran akar gigi adalah sejumlah bakteri yang terdapat di
dalam saluran akar gigi yang dapat menyebabkan infeksi saluran akar.
28
Bakteri mix saluran akar ini diperoleh dengan menggunakan paper point
steril yang dimasukkan ke dalam saluran akar gigi dengan diagnose
nekrosis pulpa.
c. Ekstrak daun belimbing wuluh merupakan ekstrak yang diperoleh dari
daun belimbing wuluh dengan konsentrasi 10,5%, 11%, 12%.
d. Waktu inkubasi adalah waktu yang digunakan untuk mengamati
pertumbuhan atau pembiakan bakteri mix saluran akar gigi yaitu 18-24
jam.
e. Suhu adalah ukuran panas atau dinginnya suatu benda. Suhu yang
digunakan untuk menumbuhkan bakteri mix saluran akar gigi yaitu 370C.
4.6 Bahan dan Alat Penelitian
4.6.1 Alat dan Bahan Pembuatan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
A. Alat
a. Botol timbang
b. Rotary evaporator
c. Pisau
d. Ayakan 40 mesh
e. Neraca analitik (adam)
f. Oven (binder)
g. Moisture analyzer
h. Batang pengaduk
i. Spatula
j. Alat-alat gelas
k. Kertas saring bebas abu (whatmaan ashless)
29
l. Vacuum gas
m. Penyaring Buchner
A. Bahan
a. Simplisia daun belimbing wuluh
b. Etanol 96%
c. N-heksana
d. Kloroform
Gambar 4.1 Alat pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh
4.6.2 Alat dan Bahan Uji Identifikasi Fitokimia
30
A. Alat
a. Tabung reaksi
b. Rak tabung reaksi
c. Penjepit tabung
d. Pipit tes
e. Gelas ukur
f. Tabung spiritus
g. Cawan penguap
B. Bahan
a. Akuades
b. Metanol 10 ml
c. Etanol
d. Kloroform
e. Asam asetat anhidrat
f. Asam sulfat
g. HCL 2N
h. FeCl3
4.6.3 Alat dan Bahan Uji Efektifitas Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L) Terhadap Bakteri Mix Saluran Akar Gigi
A. Alat
a. Cawan petri
b. Micropipette
c. Lampu Bunsen
d. Incubator
31
e. Timer
f. Tabung eppendorf 1,8mm
g. Tabung glass
B. Bahan
a. Blood agar 20 ml
b. Glukosa boilon
c. TSB (trypic soy broth)
d. Paper point yang berisi bakteri mix saluran akar gigi
e. Ekstrak daun belimbing wuluh
f. Etanol 96%
g. Masker
h. Handscoon
Gambar 4.2 Alat Uji Efektivitas Antibakteri
32
4.7 Tempat dan Waktu Penelitian
4.7.1 Tempat Penelitian
a) Pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh dan uji identifikasi fitokimia
Laboratorium Fitokimia dan Farmakognosi Farmasi Universitas Udayana
b) Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
4.7.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian Desember – Januari 2014
4.8 Alur Penelitian
4.9 Prosedur Penelitian
4.9.1 Pembuatan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
Daun belimbing wuluh dikumpulkan sebanyak 1kg, kemudian di timbang
Bakteri Mix Saluran Akar
Gigi
Ekstrak Daun Belimbing
Wuluh 10,5%, 11%, 12%
Uji Fitokimia
Saponin
Fenol
Tannin
Glikosida
Minyak atsiri
Flavonoid
33
lalu di potong kecil-kecil dan dikeringkan dengan bantuan kipas angin selama 14
hari.
Serbuk daun belimbing wuluh dihaluskan hingga diperoleh serbuk berukuran
100 mesh. Sebanyak 900 gram serbuk daun belimbing wuluh dimaserasi
menggunakan 2,5 liter etanol 96% pada suhu kamar selama 1 hari disertai dengan
pengadukan setiap 10 jam sekali. Disaring (diperoleh ekstrak cair pertama)
kemudian ampas dimaserasi kembali dengan 2,5 liter etanol 96% pada suhu kamar
selama 1 hari disertai dengan pengadukan setiap 10 jam sekali. Disaring
(diperoleh ekstrak cair kedua) kemudian ekstrak cair pertama dan kedua
disatukan, didiamkan 1 hari dan dilanjutkan ke tahap pengentalan ekstrak
menggunakan rotary evaporator (80 rpm, 450C, 0.62 bar).
4.9.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
Skrining fitokimia terhadap ekstrak daun belimbing wuluh meliputi
pemeriksaan minyak atsiri, tannin, alkaloid, sterol, terpenoid, saponin, fenol,
glikosida dan flavonoid.
a. Pembuatan larutan untuk skrining fitokimia
Pembuatan larutan uji untuk skrining fitokimia dilakukan dengan
melarutkan 500 mg ekstrak dalam 10 mL etanol 96 %.
b. Pemeriksaan minyak atsiri
Ekstrak yang diperoleh ditambah dengan etanol, bila berbau enak/aromatik
larutan alkoholik tersebut diuapkan kembali hingga kering. Bila residu
tetap berbau enak, menunjukan ekstrak positif mengandung minyak atsiri.
c. Pemeriksaan flavonoid
34
Reaksi Pew : Sebanyak 1 mL larutan ekstrak uji diuapkan, dibasahkan
sisanya dengan aseton P, ditambahkan sedikit serbuk halus asam borat P
dan serbuk halus asam oksalat P, dipanaskan hati-hati di atas tangas air
dan dihindari pemanasan berlebihan. Sisa yang diperoleh dicampur dengan
10 mL eter P. Diamati dengan sinar UV366; larutan berfluoresensi kuning
intensif, menunjukkan adanya flavonoid.
Gambar 4.3 : larutan flavonoid
d. Pemeriksaan steroid dan triterpenoid
Pemeriksaan steroid dan triterpenoid dilakukan dengan reaksi Liebermann-
Burchard.Sebanyak 2 mL larutan uji diuapkan dalam cawan penguap.
Residu dilarutkan dengan 0,5 mL kloroform, kemudian ditambahkan 0,5
mL asam asetat anhidrat. Selanjutnya ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat
melalui dinding tabung.Terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada
perbatasan larutan menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila
muncul cincin birukehijauan menunjukkan adanya steroid.
e. Pemeriksaan Saponin:
35
Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji dalam tabung reaksi ditambahkan
dengan 10 mL aquades kemudian dikocok vertical selama 10
detik.Pembentukan busa setinggi 1 - 10 cm yang stabil selama tidak
kurang dari 10 menit, menunjukkan adanya saponin.Pada penambahan 1
tetes HCL 2N, busa tidak hilang.
Gambar 4.4 : Larutan Saponin
f. Pemeriksaan alkaloid
Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga
di dapat residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCl 2N.
Larutan yang didapat kemudian di bagi ke dalam 5 tabung reaksi. Tabung
pertama ditambahkan dengan asam encer yang berfungsi sebagai blanko.
Tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendorff sebanyak 3 tetes dan
tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Tabung ke
empat ditambahkan pereaksi wagner sebanyak 3 tetes. Tabung kelima
ditambahkan pereaksi Bouchardat sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan
36
jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung ketiga
menunjukkan adanya alkaloid.
g. PemeriksaanFenol
Sebanyak 2 mL larutan uji ditambahkan 3 tetes FeCl3 10%. Terbentuk
warna hitam pekat menunjukkan adanya fenol.
Gambar 4.5 : Larutan Fenol
h. Tannin
Sebanyak 2 ml Larutan uji ditambahkan 2 tetes larutan Pb asetat 10%.
Terbentuk endapan berwarna putih menunjukkan adanya tannin.
37
Gambar 4.6 : larutan tannin
i. Glikosida
Sebanyak 2 ml larutan uji 2 ml asam asetat anhidrat, dilanjutkan dengan
penambahan asam sulfat pekat. Terbentuk larutan berwarna hijau kebiruan
menunjukkan adanya glikosida jantung.
Gambar 4.7 : larutan glikosida
38
4.9.3 Pembiakan spesimen
Kegiatan spesimen dilakukan pada inkubator, pada suhu 370C selama 18-24
jam. Sebanyak 1-2 ose dari biakkan yang telah dikultur dan tumbuh dengan subur
disuspensikan dengan menggunakan larutan TSB sampai diperoleh kekeruhan
standar 0,5 Mc Farland, ini berarti konsentrasi suspensi bakteri adalah 108
CFU/ml.
4.10 Penentuan MIC dan MBC Bahan Coba
MIC (Minimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi minimal bahan
coba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi 24 jam
dan tidak tumbuh koloni bakteri pada media perbenihan dengan menggunakan
metode dilusi.
MBC (Minimum Bactericidal Concentration) adalah konsentrasi minimal
bahan coba yang dapat membunuh 99,9% atau 100% bakteri setelah dilakukan uji
dilusi selama 24 jam.
Pada penelitian konsentrasi ekstrak yang diuji terdiri dari 10,5%, 11%, 12%.
Dari masing-masing konsentrasi ekstrak daun belimbing wuluh dari pengenceran
yang telah dilakukan, ambil sebanyak 5 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, kemudian pada setiap tabung reaksi diberi label sesuai dengan
konsentrasinya. Lalu tambahkan 1 ml suspensi bakteri dengan menggunakan
mikropipet ke dalam masing-masing tabung bahan coba tersebut, selanjutnya
dihomogenkan . kemudian diinkubasi pada suhu 370C 18-24 jam. Kemudian amati
kekeruhan yang terjadi dengan membandingkan tabung-tabung tersebut dengan
kontrol untuk menentukan nilai MIC dan MBC . Tabung dengan kekeruhan yang
mulai tampak jernih untuk setiap kelompok perlakuan yang merupakan MIC dan
39
MBC diambil 1 ose (10 ) untuk setiap konsentrasi kemudian digoreskan pada
media blood agar, diinkubasi dengan suhu 370C selama 18-24 jam.
Kemudian jumlah koloni bakteri dihitung dengan prinsip satu sel bakteri hidup
bila dibiakkan pada media padat akan tumbuh menjadi satu koloni bakteri.
Apabila bentuk koloni melebar dianggap berasal dari satu koloni, bila bentuknya
dua koloni bersinggungan dianggp sebagai dua koloni. Satuan yang dipakai
adalah CFU (Colony Forming Unit) /ml cairan (suspensi).
Setelah dihitung jumlah koloni bakteri pada masing-masing tetesan, dibuat
rata-ratanya dan dikalikan dengan faktor pengenceran dan faktor pengali. Oleh
karena pada penelitian konsentrasi yang dilakukan perhitungan jumlah koloni
bakteri merupakan konsentrasi awal (sebelum dilakukan dilusi) maka faktor
pengenceran x 1. Selain itu karena pada penetesan suspensi bahan coba dan
bakteri pada media padat sebanyak 50 μl, maka hasil perhitungan harus dikali
dengan faktor pengali 20 untuk mendapatkan hasil sesuai satuan standar
(CFU/ml).
4.11 Analisis Data
Data hasil penelitian ini tidak dilakukan uji statistik karena data yang
diperoleh adalah jumlah bakteri yang mati seluruhnya sehingga hasilnya 0, artinya
tidak dijumpai pertumbuhan pada media perbenihan atau bakteri yang berkontak
dengan bahan coba 100% mengalami kematian.
40
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
Dalam penelitian ini diperoleh ekstrak kental daun belimbing wuluh.
Kemudian dilakukan pengenceran dengan menggunakan akuades sehingga
didapatkan ekstrak daun belimbing wuluh berwarna coklat kehitaman. Disimpan
dalam botol kaca tertutup dan diletakkan dalam lemari pendingin dengan suhu 2-
80C.
Gambar 5.1 : Ekstrak kental daun belimbing wuluh
5.2 Uji Identifikasi Fitokimia
. Hasil uji identifikasi fitokimia yang dilakukan menunjukkan bahwa ektrak
daun belimbing wuluh yang mengandung zat antibakteri yang positif adalah
saponin, fenol, tannin, glikosida, minyak atsiri, flavonoid.
41
5.3 Uji Efektivitas Antibakteri
Pengujian efektifitas antibakteri bahan coba dilakukan dengan mengamati
perubahan kekeruhan pada tiap konsentrasi bahan coba. Dimulai dari konsentrasi
10,5%, 11%, 12%. Perubahan yang terjadi ditandai dengan hasil biakan mulai
tampak jernih bila dibandingkan dengan kontrol positif (Mc Farland yang
diinkubasi 24 jam). Selanjutnya, dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri
dengan menggunakan media blood agar yang bertujuan untuk membuktikan
perubahan tingkat kekeruhan pada setiap konsentrasi menunjukkan kemampuan
bahan coba membunuh bakteri sebesar 99%-100%, yang disebut dengan MBC
(Minimum Bactericidal Concentration).
Gambar 5.2 : Suspensi bakteri mix saluran akar gigi setelah berkontak dengan
berbagai konsentrasi ekstrak
42
Gambar 5.3 : Hasil biakan mulai terlihat jernih bila dibandingkan dengan kontrol
positif.
Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri dengan
menggunakan media blood agar yang bertujuan untuk membuktikan bahwa
tingkat kekeruhan pada setiap konsentrasi menunjukkan kemampuan bahan coba
membunuh bakteri sebesar 99%-100%, yang disebut dengan MBC (Minimum
Bactericidal Concentration). Pada setiap konsentrasi hasil dari jumlah koloni juga
dibandingkan dengan jumlah koloni yang terdapat pada kontrol positif.
Gambar 5.4 : Hasil uji antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh 10,5%, 11%,
12% pada media blood agar.
43
Dari hasil pengujian antibakteri pada ekstrak daun belimbing wuluh, pada
konsentrasi 10,5%, 11%, 12% adalah steril 0 CFU/ml, dimana tidak dijumpai
pertumbuhan bakteri dalam media blood agar atau bakteri yang berkontak dengan
bahan coba 100% mengalami kematian. Sedangkan pada penentuan MIC,
kekeruhan tabung tidak berubah sehingga pada penelitian ini nilai MIC 10,5%.
Pengulangan Konsentrasi 10,5%
(CFU/ml)
Konsentrasi 11%
(CFU/ml)
Konsentrasi 12%
(CFU/ml)
1
2
3
4
5
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Table 5.1 perhitungan jumlah bakteri untuk bahan coba ekstrak daun belimbing
wuluh
Keterangan: 0 CFU/ml = steril, tidak dijumpai pertumbuhan bakteri
Dari tabel, terlihat bahwa pengujian antibakteri (penghitungan jumlah koloni
yang terbentuk) terhadap bakteri mix saluran akar gigi pada bahan coba ekstrak
daun belimbing wuluh pada konsentrasi 10,5% adalah steril (0 CFU/ml), yang
berarti bahwa setelah penanaman pada media blood agar dan diinkubasi selama 24
jam tidak terlihat adanya pertumbuhan bakteri atau koloni bakteri, sehingga dapat
disimpulkan bahwa MBC dari bahan coba daun belimbing wuluh adalah 10,5%
terhadap bakteri mix saluran akar gigi. Data hasil penelitian ini tidak dapat
44
dilakukan uji secara statistik karena nilai perhitungan koloni bakteri adalah 0 yang
artinya tidak dijumpai pertumbuhan bakteri dalam media perbenihan atau bakteri
yang berkontak dengan bahan coba 100% mengalami kematian.
45
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak daun belimbing
wuluh ( Averrhoa bilimbi L. ) sebagai daya hambat pada bakteri mix saluran akar.
Daya hambat adalah kemampuan suatu zat untuk menghambat pertumbuhan
bakteri. Bakteri mix saluran akar gigi adalah sejumlah bakteri yang terdapat di
dalam saluran akar gigi yang dapat menyebabkan infeksi saluran akar. Saat ini
mayoritas yang diisolasi dari saluran akar adalah bakteri anaerob. Bakteri anaerob
terbagi menjadi dua yaitu bakteri anaerob gram positif dan bakteri anaerob gram
negatif. Kandungan pada daun belimbing wuluh yang berperan sebagai
penghambat/ membunuh bakteri mix saluran akar adalah tanin, flavonoid, dan
saponin. Ekstraksi daun belimbing wuluh dilakukan dengan menggunakan pelarut
etanol. Metode ekstraksi yang dipilih adalah maserasi, alasannya karena
pelaksanaannya sederhana serta untuk mengurangi kemungkinan terjadinya zat
aktif yang terkandung dalam daun belimbing wuluh oleh pengaruh suhu, karena
dalam maserasi tidak ada proses pemanasan (Kere, 2011).
Penggunaan konsentrasi 10,5%, 11%, 12% pada ekstrak daun belimbing
wuluh dikarenakan pada penelitian Winarti, tahun, 2005, menggunakan
konsentrasi 0%, 1%, 1,5%, 3,5%, 6%, 7,5%, 9%, 10,5%. Dari hasil penelitian
terbukti bahwa konsentrasi 10,5% memiliki efektivitas antibakteri terhadap
bakteri staphylococcus aureus. Maka dari itu peneliti mencoba menggunakan
konsentrasi diatas dari 10,5%, yaitu 10,5%, 11%, 12%, tetapi dilakukan pada
bakteri mix saluran akar gigi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode dilusi.
46
Senyawa aktif daun belimbing wuluh yang berkhasiat sebagai antibakteri
adalah flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Untuk membuktikan
bahwa adanya senyawa aktif tersebut dilakukan uji identifikasi fitokimia. Hasil uji
identifikasi fitokimia menunjukkan bahwa senyawa flavonoid, saponin, tannin
positif sedangkan steroid/triterpenoid negatif. Pada uji identifikasi fitokimia daun
belimbing wuluh tersebut juga ditemukan hasil positif pada glikosida, minyak
atsiri, dan fenol, sedangkan negatif pada alkaloid. Senyawa-senyawa tersebut
memiliki daya antibakteri.
Tanin dapat digunakan sebagai antibakteri karena mempunyai gugus fenol,
sehingga tanin mempunyai sifat-sifat seperti alkohol yaitu bersifat antiseptik yang
dapat digunakan sebagai komponen antimikroba. Tanin merupakan senyawa yang
dapat mengikat dan mengendapkan protein berlebih dalam tubuh. Pada bidang
pengobatan tanin digunakan sebagai obat diare, hemostatik (menghentikan
pendarahan), dan wasir (Naim, 2004). Siswantoro (2006) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa tanin yang terdapat dalam tanaman dapat digunakan untuk
membunuh bakteri. Tanin merupakan zat kimia yang terdapat dalam tanaman
yang memiliki kemampuan menghambat sintesis dinding sel bakteri dan sintesis
protein sel kuman gram positif maupun gram negatif.
Suspensi standar 0,5 Mc Farland adalah suspensi yang menunjukan
konsentrasi kekeruhan bakteri sama dengan 108 CFU/ml (Mutia, 2010). Maka
suspensi bakteri dibuat terlebih dahulu kemudian disesuaikan kekeruhannya
dengan 0,5 Mc Farland. Setelah dilakukan pengujian nilai MIC dan MBC dalam
berbagai konsentrasi, tidak dijumpai adanya pertumbuhan bakteri (steril atau 0
CFU/ml) pada konsentrasi 10,5%, 11%, 12% yang artinya pada konsentrasi
47
tersebut memberikan daya antibakteri. Nilai minimum yang ditunjukan pada
bahan coba adalah konsentrasi 10,5% yaitu 0 CFU/ml, maka ditentukan sebagai
nilai MIC dan MBC.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan acuan pustaka yang ada
menyebutkan bahwa daun belimbing wuluh memiliki kandungan flavonoid,
saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Dari hasil uji fitokimia didapatkan
kandungan yang negatif pada alkaloid dan steroid/triterpenoid. Pada uji
identifikasi fitokimia daun belimbing wuluh tersebut juga ditemukan hasil positif
pada glikosida, minyak atsiri dan fenol. Jadi pada penelitian ini ekstrak daun
belimbing wuluh dengan konsentrasi 10,5% efektif sebagai antibakteri pada
bakteri mix saluran akar gigi, walaupun tidak terdapat kandungan daun belimbing
wuluh yaitu alkaloid dan steroid/triterpenoid. Ditemukannya tiga kandungan zat
pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, sehingga dengan
konsentrasi yang lebih rendah pun dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
48
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 KESIMPULAN
Berdasarkan Kajian Pustaka, hasil dan pembahasan, selanjutnya hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa belimbing wuluh dengan konsentrasi
10,5%, 11%, 12% efektif dapat membunuh bakteri mix saluran akar.
7.2 SARAN
Saran dalam penelitian ini adalah :
1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan zat aktif mana
yang memiliki efek antibakteri paling besar pada ekstrak daun belimbing
wuluh.
2. Perlu penelitian lebih lanjut membandingkan dengan bahan herbal yang
lainnya.
49
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, D. W. 2005, Perbedaan khasiat antibakteri bahan irigasi antara
hydrogen peroksida 3% dan infusum daun sirih 20% terhadap bakteri mix,
Majalah Kedokteran Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 1. Hal 45-47.
Fransiska N, Lidiawati, Oktanauli P, Efek antimikroba polifenol the hijau
terhadap streptococcus mutans.
Grossman, L. I., Oliet, S., dan Rio, C. E. D. 1995,
IlmuEndodontikDalamPraktek,Ed ke-11, Jakarta, EGC. Hal 248-263.
Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2008, Mikrobiologi Kedokteran, Ed ke-23,
Jakarta, EGC. Hal 311-316
Kere, M. 2011, Daya anti bakteri ekstrak etanol buah mahkota dewa
(PhaleriaMacrocarpa [Scheff.]Boerl.) terhadap Fusobacterium nucleatum
sebagai bahan medikamen saluran akar secara in vitro, Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Kidd, E. A. M. dan Bechal, S. J. 1992, Dasar-Dasar Karies Penyakit dan
Penanggulangannya, Ed ke-2, Jakarta, EGC. Hal 31-45.
Lince M, Monalisa P, Rina W, Pengaruh Sari Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L) Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans
Mukhlisoh, W. 2010 Pengaruh Ekstrak Tunggal dan Gabungan Daun Belimbing
Wuluh (Averrhoa Bilimbi L) Terhadap Efektivitas Antibakteri Secara In
Vitro, Skripsi, Universitas Islam Negeri Malang.
Mutia, R. 2010 Efek Antibakteri Minyak Atsiri Kayu Manis terhadap
Enterococcus Faecalis Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar Secara In
Vitro, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Tarigan, R. 2006, PerawatanPulpa Gigi (Endodonti), Ed ke-2, Jakarta, EGC. Hal
23-85.
Tarigan, R. 2012, PerawatanPulpa Gigi (Endodonti), Ed ke-3, Jakarta, EGC. Hal
35-37.
Walton, R. danTorabinejad, M. 2008, PrinsipdanPraktikIlmuEndodonsia, Ed. Ke-
3, Jakarta, EGC. Hal 315-326.
50
Widrayani, B. 2013, EfektifitasAntibakteriBahanSterilisasiSaluranAkar Gigi
EkstrakLidahBuaya (Aloe Vera) 12,5% LebihTinggiDaripada CHKM,
Skripsi, UniversitasMahasaraswati, Bali.
Winarti, 2005 Pengaruh Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)
Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus.
51
L A M P I R A N
52
53
54
55
56
57
serbuk halus daun belimbing wuluh
Penyaringan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
58
Rotary Evaporator
Hasil Pembiakan Bakteri Mix
59