derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

102
TESIS DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA ROSITA SARI SUTANTO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

Upload: buidieu

Post on 09-Dec-2016

247 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

TESIS

DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS

BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA

ROSITA SARI SUTANTO

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 2: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

TESIS

DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS

BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA

ROSITA SARI SUTANTO

NIM 0914088101

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 3: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN

POSITIF DENGAN KADAR MDA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combine Degree)

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ROSITA SARI SUTANTO

NIM 0914088101

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 4: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS BERHUBUNGAN

POSITIF DENGAN KADAR MDA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Spesialis Kulit dan Kelamin

Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ROSITA SARI SUTANTO

NIM 0914088101

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH

DENPASAR

2013

Page 5: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL : 4 Juni 2013

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof.dr.Made Swastika A., Sp.KK(K), FINS-DV dr.Ketut Tangking W., MPH

NIP. 195201011980031003 NIP. 194801201979031001

Mengetahui,

Ketua Program Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana Universitas Udayana

Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001

Page 6: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 30 Mei 2013

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, No : 0735/UN14.4/HK/2013 , Tanggal 29 Mei 2013

Ketua : Prof.dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINS-DV

Sekretaris : dr. Ketut Tangking Widarsa, MPH

1. Prof.Dr.dr.N. Adiputra, MOH

2. Prof.dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK

3. Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And, FAACS

Page 7: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan

Ida Sang Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka

tesis yang berjudul: “Derajat Penyakit Acne Vulgaris Berhubungan Positif dengan

Kadar MDA” dapat diselesaikan.

Penulis menyadari tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran,

dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak,

tugas akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik. Oleh karena itu melalui kesempatan

ini penulis sampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada :

- Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD (KHOM) dan

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,

SpPD-KEMD yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan dokter

spesialis I di Universitas Udayana.

- Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi,

Sp.S(K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi

mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree).

- Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree),

Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS, yang telah memberikan

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program

Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree).

Page 8: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

- Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr I Wayan Sutarga, MPHM atas kesempatan

dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah

Denpasar.

- Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana dan pembimbing karya akhir penulis, Prof. dr. Made

Swastika Adiguna, SpKK(K) FINS-DV yang telah memberikan kesempatan

mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Bagian/SMF Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah Denpasar.

- dr. Ketut Tangking Widarsa, MPH., selaku pembimbing kedua yang telah banyak

memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran dalam penyusunan karya

akhir ini.

- Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah Denpasar, Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K) yang telah memberikan

kesempatan, bimbingan dan arahan sejak awal sampai pada akhir pendidikan

penulis.

- Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH., Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK, dan

Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku penguji, yang telah

memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan, penyelesain karya

akhir ini.

Page 9: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

- Laboratorium Prodia Denpasar, yang telah memberikan kesempatan pada penulis

untuk menggunakan prasarana dan sarana laboratorium untuk kelancaran

penelitian ini serta segala bimbingan, petunjuk dan saran perbaikan sehingga

memungkinkan karya akhir ini terwujud.

- Semua kepala Divisi dan staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala

bimbingan dan dorongan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

- Rekan-rekan sejawat PPDS I Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin atas pengertian,

bantuan dan kerjasama yang baik selama masa pendidikan ini berlangsung.

- Seluruh tenaga paramedis dan non medis di Unit Rawat Jalan yang telah

membantu dan memberikan dukungan sehingga memungkinkan penulis

menyelesaikan pendidikan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada ayah dr. Irwan

Sutanto dan ibu dr. Winarni Abadi, yang telah dengan penuh kasih sayang dan cinta

membesarkan, mendidik, mendukung dan selalu memberikan semangat kepada

penulis hingga pendidikan ini dapat diselesaikan. Terima kasih pula kepada suami

tercinta dr. Johannes Hartono serta anakku tersayang Jessica Nathania Hartono atas

segala pengertian, kesabaran, dan pengorbanannya selama ini serta semangat yang

tiada hentinya selama penulis menjalani program pendidikan ini. Ucapan terima kasih

juga penulis sampaikan kepada keluarga, sahabat serta semua pihak yang belum

tercantum namanya di sini yang telah membantu menyelesaikan karya akhir ini.

Page 10: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis akhir ini sangat jauh dari

sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis tetap mohon petunjuk kearah

perbaikan sehingga hasil yang tertuang dalam karya akhir ini dapat bermanfaat bagi

ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Denpasar, Juni 2013

Rosita Sari Sutanto

Page 11: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

ABSTRAK

DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS

BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN KADAR MDA

Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat dan

bersifat kronis, berulang dan sering menimbulkan scar wajah yang permanen dan

masalah psikososial. Hingga saat ini penyebab acne masih belum dapat dipahami

sepenuhnya. Akhir–akhir ini, beberapa ahli menyatakan bahwa Reactive Oxygen

Species (ROS) dan stres oksidatif berperan dalam perkembangan lesi acne inflamasi.

Salah satu biomarker stres oksidatif dalam sel adalah peroksidasi lipid dan produk

akhirnya yang dikenal sebagai malondialdehid (MDA). Berdasarkan hal ini, maka

peneliti ingin mengetahui hubungan antara derajat penyakit acne vulgaris dengan

stres oksidatif, yang akan diukur dengan markernya yaitu MDA.

Metode penelitian ini adalah cross sectional, analitik. Jumlah subjek

penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 64 orang. Terhadap

semua subjek dilakukan pemeriksaan derajat penyakit acne vulgaris dan pengambilan

darah vena sebagai bahan pemeriksaan kadar MDA.

Berdasarkan uji korelasi Spearman didapatkan adanya korelasi positif sedang

antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA (r = 0,566, p<0,05). Hasil penelitian

ini mendukung teori bahwa pada acne vulgaris terdapat stres oksidatif. Semakin berat

derajat acne vulgaris maka semakin tinggi kadar MDA, dimana MDA merupakan

salah satu indikator dari stres oksidatif.

Dari penelitian ini disimpulkan terdapat korelasi positif antara derajat acne

vulgaris dengan kadar MDA. Hasil penelitian ini dapat dijadikan penelitian dasar bagi

penelitian berikutnya yang meneliti keefektifan antioksidan dalam acne vulgaris dan

sebagai landasan pertimbangan pemberian antioksidan dalam tatalaksana acne

vulgaris.

Kata kunci : MDA, perbedaan kadar MDA, derajat penyakit acne vulgaris, korelasi

positif.

ABSTRACT

Page 12: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

POSITIVE CORRELATION BETWEEN ACNE VULGARIS SEVERITY AND

MDA LEVEL

Acne is one of the most common skin problem in the community. It is a chronic,

residive skin disorder. Acne can cause permanent facial scar and psychosocial

problems. Until now, the exact etiology of acne remains unknown. Recently, some

experts found that reactive oxygen species (ROS) and oxidative stress play role in

inflammatory skin development. One of oxidative stress biomarker in cells is lipid

peroxidation and its end product, known as malondialdehyde (MDA). Based on these,

we would like to know the correlation between acne vulgaris severity and oxidative

stress. Oxidative stress will be measured from its marker, MDA.

This was an analytic, cross sectional study. Subjects who met inclusion and

exclusion criterias were 64 persons. We performed examination to find out the acne

vulgaris severity and took venous blood as specimens to check the MDA level.

Spearman correlation test revealed positive correlation between acne severity

and MDA level (r = 0,566, p < 0,05). This study supported the theory that there are

oxidative stress in acne vulgaris. The more severe the acne severity, the higher was

the MDA level. MDA is an indicator of oxidative stress.

The conclusion of this study was there was positive correlation between acne

vulgaris severity and MDA level. The result of this study can be used as a basis for

the next study to assess the anti oxidant effectivity in acne vulgaris.

Keywords : MDA, MDA level difference, acne vulgaris severity, positive correlation.

Page 13: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ……………………………………………………….

PRASYARAT GELAR ……………………………………………………

LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………

UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………

ABSTRAK ………………………………………………………………..

ABSTRACT ………………………………………………………………

DAFTAR ISI ………………………………………………………………

DAFTAR TABEL ….……………………………………………………..

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH …………

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ……………………………………………………….

1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………………

1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………….

1.4. Manfaat Penelitian …………………………………………………..

1.4.1. Manfaat teoritis ……………….……………………………….

i

ii

iv

v

vi

x

xi

xii

xvi

xvii

xviii

xx

xxi

1

3

4

4

4

Page 14: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

1.4.2. Manfaat praktis …………..……………………………………

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Acne Vulgaris ...............................................................................

2.1.1. Pendahuluan ..................................................................................

2.1.2. Definisi ..........................................................................................

2.1.3. Epidemiologi …………………………………………………..

2.1.4. Etiopatogenesis ………………………………………………..

2.1.4.1. Hiperproliferasi epidermis folikuler …………………

2.1.4.2. Produksi sebum berlebih ………………………………

2.1.4.3. Bakteri Propionibacterium acnes ………………………

2.1.4.4. Inflamasi ………………………………………………

2.1.5. Manifestasi klinis ……………………………………………..

2.1.6. Klasifikasi acne …………………………………………………

2.1.7. Diagnosis ……………………………………………………….

2.1.8. Terapi ……………………………………………………………

2.1.9. Komplikasi ………………………………………………………

2.2. Reactive Oxygen Species (ROS) ……………………………………..

2.2.1. Definisi …………………………………………………………

2.2.2. Macam ROS ……………………………………………………

2.2.3. Mekanisme pembentukan ROS …………………………………

2.2.4. Produk oksidasi …………………………………………………

4

5

5

5

5

6

7

8

9

11

12

13

14

15

17

18

18

18

19

21

Page 15: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

2.3. Stres Oksidatif …………………………………………………………

2.4. Hubungan Stres Oksidatif dan Acne Vulgaris………………………..

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir …………………………………………………….

3.2. Konsep …………….………………………………………………….

3.3. Hipotesis ………………………………………………………………

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian …………………………………………………

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………………

4.3. Penentuan Sumber Data ……………………………………………..

4.3.1. Populasi target …………………………………………………

4.3.2. Populasi terjangkau ……………………………………………

4.3.2.1. Kriteria inklusi …………………………………………

4.3.2.2. Kriteria eksklusi ………………………………………

4.3.3. Teknik pengambilan sampel ……………………………………

4.3.4. Besar sampel ……………………………………………………

4.4. Variabel Penelitian ……………………………………………………..

22

25

28

29

29

30

30

30

30

30

31

31

32

32

32

Page 16: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

4.4.1. Definisi operasional variabel …………………………..………

4.5. Bahan Penelitian ………………………………………………………

4.6. Instrumen Penelitian ………………………………………………….

4.6.1. Alat-alat …………………………………………………………

4.6.2. Reagen …………………………………………………………

4.7. Prosedur Penelitian ……………………………………………………

4.7.1. Protokol penelitian ………………………………………………

4.7.2. Pengambilan data ………………………………………………

4.7.2.1. Pengambilan spesimen …………………………………

4.7.2.2. Pemeriksaan kadar MDA ………………………………

4.8. Analisis Data …………………………………………………………..

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Subjek …………………………………………………

5.2. Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris ………………………….

5.3. Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat

5.4. Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan kadar MDA ………………..

BAB VI PEMBAHASAN

6.1. Karakteristik Subjek …………………………………………………

6.2. Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris ………………………….

6.3. Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat

6.4. Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan kadar MDA ………………..

33

36

37

37

37

38

38

39

40

40

41

42

43

44

45

46

49

49

50

Page 17: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN …………………………………….

5.1. Simpulan ………………………………………………………………

5.2. Saran …………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..

LAMPIRAN – LAMPIRAN ………………………………………………

53

53

53

54

58

Page 18: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1. Klasifikasi ASEAN Grading Lehmann 2003 ………………………

2.2. Biomarker Kerusakan Oksidatif ……………………………………

4.1. Definisi Operasional Acne Vulgaris ……………………………..

5.1. Karakteristik Subjek penelitian …………………………………….

5.2. Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris ………………………...

5.3. Kadar MDA Kelompok Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan

Berat………………………………………………………………………...

5.4. Perbandingan Perbedaan Rerata Kadar MDA Kelompok Acne

Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat ………………………………

14

24

33

42

43

44

45

Page 19: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

DAFTAR GAMBAR

Halaman

3.1. Konsep ……………………….…………………………………...

4.1. Protokol Penelitian ………………………………………….……

5.1. Scatter plot korelasi derajat acne vulgaris dengan kadar MDA….

29

39

45

Page 20: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

DAFTAR SINGKATAN

Cl- = Ion Chlor

Cu+

= Ion cuprum

Fe++

= Ion fero

DHT = Dihidrotestosteron

DNA = Deoxyribosa Nucleic Acid

H2O2 = Hidrogen peroksida

HOCl = Asam hipoklorit

IgG = Imunoglobulin G

IL-1 = Interleukin 1

IL-8 = Interleukin 8

IL-1β = Interleukin-1β

LDL = Low Density Lipoprotein

MDA = Malondialdehid

NADH = Nikotinamida adenida dinukleotida

Page 21: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

NADPH = Nicotinis adenine dinucleotide phospat hydrogen

O2•- = Radikal ion superoksida

•OOH = Radikal peroksil

•OH = Radikal hidroksil

/O2 = Singlet oksigen

PUFA = Poly Unsaturated Fatty Acids

ROS = Reactive oxygen species

SOD = Superoksid dismutase

TBAR = Tiobarbiturat Acid

TNFα = Tumor Necrosis Factor-α

XO = Xantin oksidase

Page 22: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3

Lampiran 4

Lampiran 5

Lampiran 6

Lampiran 7

Lampiran 8

Informed Consent ……………………………………..…

Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian …………...

Status Penelitian …………………………………………

Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik Hanifin Rajka ……

Ethical Clearance ……………………………………..…

Surat IjinPenelitian ……………………………………...

Karakteristik Subjek ……………………………………..

Hasil SPSS Penelitian ………………………………..….

58

60

61

65

67

68

69

70

Page 23: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat dan

bersifat kronis dan berulang. Walaupun bukan merupakan suatu penyakit yang

mengancam nyawa, namun acne dapat menyebabkan masalah psikologi yang

berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stres. Selain itu tidak jarang

pula dapat terjadi scar yang permanen pada wajah.

Menurut Kligman, tidak ada seorangpun yang sama sekali tidak pernah

menderita acne. Di Amerika Serikat, tercatat lebih dari 17 juta penduduk yang

menderita acne setiap tahunnya, di mana 75 hingga 95% di antaranya adalah usia

remaja. Sedangkan pada satu studi prevalensi acne yang dilakukan di kota

Palembang, dari 5204 sampel berusia 14 sampai 21 tahun, didapatkan angka

prevalensi acne vulgaris sebesar 68,2% (Suryadi, 2008).

Hingga saat ini penyebab acne masih belum dapat dipahami sepenuhnya.

Walaupun patogenenesis acne adalah multifaktorial, namun telah diidentifikasi empat

teori berkontribusi sebagai etiologi acne. Keempat etiologi tersebut adalah

hiperproliferasi epidermis folikuler, produksi sebum yang berlebih, bakteri

Propionibacterium acnes, dan inflamasi. Akhir–akhir ini, beberapa ahli menyatakan

bahwa Reactive Oxygen Species (ROS) dan stres oksidatif berperan dalam

perkembangan lesi acne inflamasi. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,

Page 24: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

diduga bahwa stres oksidatif berperan dalam patogenesis acne. Namun, hal ini masih

merupakan kontroversi, karena ada penelitian yang menyatakan bahwa korelasi

antara stres oksidatif dan derajat penyakit acne vulgaris tidak signifikan.

Propionibacterium acnes dianggap berperan penting dalam patogenesis acne

dengan memproduksi faktor kemotaktik sehingga menyebabkan akumulasi netrofil

pada daerah lesi acne. Setelah terjadi fagositosis oleh netrofil, akan dilepas enzim

lisosom dan ROS.

Dalam rangka perlindungan terhadap serangan ROS, tubuh manusia memiliki

suatu sistem antioksidan yang terorganisir, baik antioksidan enzimatik maupun

antioksidan non-enzimatik, yang bekerja secara sinergis. Antioksidan melindungi sel

tubuh terhadap kerusakan oksidatif dan dapat mencegah produksi dari produk–produk

oksidatif.

Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, di mana produksi ROS

melebihi kapasitas antioksidan, berpotensi menyebabkan kerusakan, yang disebut

dengan stres oksidatif. Salah satu biomarker stres oksidatif dalam sel adalah

peroksidasi lipid dan produk akhirnya yang dikenal sebagai malondialdehid (MDA).

Terdapat dugaan bahwa pada keadaan stres oksidatif, yang disertai dengan produk

oksidatifnya, akan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi seperti sitokin pada

tingkat seluler. Hal ini diduga akan menginduksi terjadinya inflamasi.

Sebuah penelitian di Jepang menyatakan bahwa penderita acne inflamasi

menunjukkan peningkatan kadar hidrogen peroksida yang diproduksi oleh netrofil

secara signifikan, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (Akamatsu dkk.,

Page 25: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

2003). Sedang pada penelitian lain yang dilakukan oleh Kurutas dkk. (2005),

didapatkan bahwa terdapat penurunan aktivitas antioksidan Superoksid Dismutase

(SOD) pada penderita acne. Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan oleh

Surlinia (2010), didapatkan kesimpulan bahwa kadar MDA darah pada penderita acne

inflamasi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan individu non acne

vulgaris. Dari penelitian–penelitian yang pernah dilakukan, diduga bahwa stres

oksidatif berperan dalam patogenesis acne inflamasi. Penelitian yang dilakukan oleh

Arican tidak berhasil menunjukkan hubungan yang bermakna (nilai r = 0,20 dan nilai

p > 0,05) antara stres oksidatif dengan derajat penyakit acne vulgaris (Arican dkk.,

2005).

Berdasarkan data – data tersebut, maka disusunlah permasalahan apakah

terdapat hubungan antara derajat penyakit acne vulgaris dengan stres oksidatif, yang

akan diukur dengan markernya yaitu MDA.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat korelasi antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA ?

Page 26: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui korelasi positif derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Menambah wawasan keilmuan dan pemahaman tentang hubungan antara derajat

penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA.

1.4.2 Manfaat praktis

Sebagai dasar pertimbangan tatalaksana acne vulgaris.

Page 27: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Acne Vulgaris

2.1.1 Pendahuluan

Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di masyarakat

dan bersifat kronis serta kambuh–kambuhan. Walaupun bukan merupakan suatu

penyakit yang mengancam nyawa, namun acne dapat menyebabkan masalah

psikologi yang berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stress. Selain itu

tidak jarang pula dapat terjadi scar pada wajah yang permanen. Tidak kurang dari 15-

30% penderita acne memerlukan perawatan medis karena keparahan dan kondisi

klinisnya, 2-7% di antaranya mengalami scar post acne yang bertahan lama

(Zouboulis dkk., 2005).

2.1.2 Definisi

Acne vulgaris merupakan suatu keradangan kronis dari folikel pilosebasea

yang ditandai dengan adanya komedo, papul, kista dan pustul pada daerah-daerah

predileksi yaitu muka, bahu, lengan bagian atas, dada, dan punggung (Zaenglein dkk.,

2008).

2.1.3 Epidemiologi

Page 28: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Kligman mengatakan bahwa tidak ada seorangpun (artinya 100%) yang sama

sekali tidak pernah menderita acne (Wasitaatmadja, 2007). Di Amerika Serikat saja,

tercatat lebih dari 17 juta penduduk yang menderita acne setiap tahunnya, di mana 75

hingga 95% di antaranya adalah usia remaja (Baumann dan Keri, 2009).

Pada suatu studi prevalensi acne yang dilakukan di kota Palembang, dari 5204

sampel berusia 14-21 tahun, didapatkan bahwa usia terbanyak adalah 15-16 tahun

(Suryadi, 2008). Sedangkan berdasarkan sebuah penelitian retrospektif di Taiwan,

didapatkan data kejadian acne sebesar 83 % pada laki-laki dan 87 % pada perempuan

(Yu dkk., 2008).

Acne derajat ringan seringkali dijumpai saat lahir, yang kemungkinan

disebabkan karena stimulasi folikuler oleh androgen adrenal, dan dapat berlanjut

hingga periode neonatal. Namun, pada mayoritas kasus, acne menjadi masalah yang

signifikan sejak usia pubertas. Kasus terbanyak dijumpai pada pertengahan hingga

akhir remaja. Setelah itu, insidennya menurun perlahan. Namun, pada wanita, acne

dapat menetap hingga dekade ketiga bahkan lebih (Zaenglein dkk., 2008).

2.1.4 Etiopatogenesis

Etiologi acne vulgaris belum jelas sepenuhnya. Patogenesis acne adalah

multifaktorial, namun telah diidentifikasi empat teori sebagai etiopatogenesis acne.

Keempat patogenesis tersebut adalah hiperproliferasi epidermis folikuler, produksi

sebum yang berlebih, bakteri Propionibacterium acnes (P. acnes), dan inflamasi

(Zaenglein dkk., 2008).

Page 29: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

2.1.4.1 Hiperproliferasi epidermis folikuler

Mekanisme yang mendasari perubahan infundibulum folikel masih belum

jelas. Namun hipotesis yang menonjol adalah defisiensi asam linoleat lokal pada

folikel, pengaruh IL-1, dan androgen, sebagai faktor utama yang terlibat dalam

hiperkeratinisasi folikel (Jappe, 2003).

Sejak tahun 1986, defisiensi asam linoleat merupakan faktor penting dalam

etiologi acne (Jappe, 2003). Downing dkk. menyatakan bahwa semakin rendah

konsentrasi asam linoleat, yang berkorelasi dengan tingginya sekresi sebum,

menyebabkan defisiensi lokalisata asam lemak esensial pada epitel folikuler.

Defisiensi ini kemudian bertanggungjawab terhadap penurunan fungsi barrier epitel

dan hiperkeratosis folikuler, yang semakin memperparah acne (Bauman dan Keri,

2009). Baru-baru ini, Zouboulis menyatakan bahwa asam linoleat dapat meregulasi

sekresi IL-8, dan menyebabkan terjadi reaksi inflamasi (Jappe, 2003).

IL-1 juga berperan dalam terjadinya hiperproliferasi keratinosit. Jika

ditambahkan IL-1, keratinosit folikuler manusia menunjukkan adanya hiperproliferasi

dan pembentukan mikrokomedo (Zaenglein dkk., 2008).

Kelenjar sebasea adalah organ target androgen, distimulasi untuk

memproduksi sebum saat pubertas. Kelenjar sebasea mewakili densitas reseptor

androgen yang berbanyak pada kulit manusia. Androgen yang paling penting adalah

testosteron, yang diubah menjadi dihidrotestrosteron (DHT) oleh iso-enzim 5α

reduktase tipe I (Jappe, 2003). Kulit penderita acne menunjukkan peningkatan

Page 30: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

densitas reseptor androgen dan aktivitas 5α reduktase yang lebih tinggi. DHT adalah

androgen poten yang berperan pada acne. Androgen menyebabkan peningkatan

ukuran kelenjar sebasea, menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi

keratinosit pada duktus kelenjar sebasea dan acroinfundibulum (Zouboulis dkk.,

2005).

Hiperproliferasi epidermal folikuler menyebabkan terbentuknya lesi primer

acne, yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut bagian atas, infundibulum, menjadi

hiperkeratotik dan disertai peningkatan kohesi keratinosit. Peningkatan sel dan

kepekatannya menyebabkan sumbatan pada ostium folikuler. Sumbatan ini

menyebabkan terjadinya akumulasi keratin, sebum dan bakteri pada folikel, yang

kemudian menyebabkan dilatasi pada folikel rambut bagian atas, dan terjadi

mikrokomedo (Zaenglein dkk., 2008).

2.1.4.2. Produksi sebum berlebih

Sebum disintesis oleh kelenjar sebasea secara kontinu dan disekresikan ke

permukaan kulit melalui pori – pori folikel rambut. Sekresi sebum ini diatur secara

hormonal. Kelenjar sebasea terletak pada seluruh permukaan tubuh, namun jumlah

kelenjar yang terbanyak didapatkan pada wajah, pungung, dada, dan bahu (Baumann

dan Keri, 2009).

Fungsi sebum pada manusia tidak diketahui pasti. Diduga bahwa sebum dapat

mengurangi kehilangan air dari permukaan kulit dan menjaga kulit tetap lembut dan

halus (Nelson dan Thiboutot, 2008).

Page 31: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Kelenjar sebasea mulai terbentuk pada minggu ke-13 hingga 16 kehidupan

janin. Kelenjar sebasea mensekresikan lipid melalui sekresi holokrin. Selanjutnya,

kelenjar ini menjadi aktif saat pubertas karena adanya peningkatan hormon androgen,

khususnya hormon testosteron, yang memicu produksi sebum (Baumann dan Keri,

2009). Hormon androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar sebasea,

menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi keratinosit pada duktus

kelenjar sebasea dan acroinfundibulum (Nelson dan Thiboutot, 2008 ; Zouboulis

dkk., 2005).

Dihidrotestosteron (DHT) adalah androgen poten yang berperan dalam

terbentuknya acne. Enzim 17β-hidroksisteroid dehidrogenase dan 5α-reduktase

adalah enzim yang berperan mengubah prekursor dehidroepiandrosteron sulfat

(DHEAS) menjadi DHT (Zaenglein dkk., 2008).

Ketidakseimbangan antara produksi dan kapasitas sekresi sebum akan

menyebabkan pembuntuan sebum pada folikel rambut (Baumann dan Keri, 2009).

Selain itu, penderita acne memproduksi sebum yang lebih banyak, jika dibandingkan

dengan yang tidak menderita acne. Salah satu komponen sebum yaitu trigliserida,

berperan penting dalam patogenesis acne. Flora normal unit pilosebasea yaitu P.

acnes akan memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini

akan menyebabkan terjadinya lebih banyak kolonisasi P. acnes, memicu inflamasi,

dan selain itu juga bersifat komedogenik (Zaenglein dkk., 2008).

2.1.4.3 Bakteri Propionibacterium acnes

Page 32: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Acne bukan merupakan penyakit infeksi. Di antara spesies bakteri yang

mengkolonisasi kulit normal sebagai flora normal, hanya bakteri yang mampu

mengkolonisasi duktus folikuler dan bermultiplikasi lah yang dapat bersifat patogenik

terhadap terjadinya acne. Hanya tiga spesies mikroorganisme yang dapat

diasosiasikan dengan perkembangan lesi acne, yaitu propionibacteria, staphylococci

koagulase negatif, dan jamur Malassezia. Namun, setelah terapi antifungal, penderita

acne tidak menunjukkan perbaikan klinis, sehingga jamur dapat dieksklusikan.

Staphylococci juga dapat dieksklusikan, mengingat terjadinya resistensi antibiotika

pada kebanyakan penderita pada minggu pertama terapi, dan jumlahnya yang

meningkat dengan cepat. Sehingga fokus ilmiah diarahkan ke Propionibacteria

(Jappe, 2003).

Propionibacteria merupakan bakteri gram positif, non motil, sel berbentuk

batang yang pleomorfik, yang memfermentasi gula untuk menghasilkan asam

propionat sebagai produk akhir pada proses metabolismenya. Propionibacteria acnes

merupakan mikroorganisme penghuni predominan pada area kulit orang dewasa yang

kaya akan kelenjar sebasea. Pada kulit manusia, Propionibacteria ditemukan sejak

manusia lahir hingga meninggal. Analisis bakteriologi dan produksi sebum pada area

tubuh multipel menunjukkan hubungan yang erat antara jumlah P. acnes dengan

produksi sebum (Jappe, 2003).

Patogenisitas Propionibacteria diduga disebabkan karena adanya dua hal,

yaitu :

Page 33: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

1. Produksi enzim eksoseluler dan produk ekstraseluler bioaktif lainnya, seperti

protease, lipase, lecithinase, hyaluronat lipase, neuramidase, phospatase,

phospolipase, proteinase, dan RNase.

2. Interaksi mikroorganisme dengan sistem imun manusia.

Pada saat pubertas, jumlah P. acnes pada wajah dan pipi penderita acne

meningkat drastis, dan saat dewasa akan menunjukkan jumlah yang konstan.

Penelitian tentang DNA P.acnes yang dilakukan oleh Miura dkk., menemukan bahwa

pada penderita acne berusia 10-14 tahun didapatkan jumlah P.acnes di hidung dan

dahi yang lebih tinggi secara signifikan daripada non acne. Namun pada penderita

acne berusia lebih dari 15 tahun, tidak didapatkan perbedaan jumlah P.acnes yang

signifikan (Miura dkk., 2010).

Berdsarkan observasi yang dilakukan selama ini, diduga P. acnes berperan

secara tidak langsung dalam patogenesis acne dengan merangsang komedo dan

menghasilkan substansi–substansi yang menyebabkan terjadinya ruptur komedo,

sehingga memulai respon inflamasi.

2.1.4.4 Inflamasi

Beberapa hipotesis menyatakan peran P.acnes dalam terbentuknya acne.

Kerusakan jaringan kulit dapat merupakan akibat dari enzim bakteri yang memiliki

sifat degradasi, dan mempengaruhi integritas sel epidermis kulit dan fungsi barier

dinding folikuler folikel sebaseus. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin pro

Page 34: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

inflamasi dari keratinosit, yang akan berdifusi ke dermis dan memicu inflamasi

(Bruggemann, 2005).

Terdapat dua macam respon inflamasi yang terjadi, yaitu :

1. Rupturnya epitel komedo. Komedo yang mengandung korneosit, rambut,

sebum, dan campuran debris seluler akan memasuki dermis, dan memicu

terjadinya reaksi inflamasi.

2. Netrofil berakumulasi di sekeliling komedo yang intak yangmana dinding

epitelnya bersifat spongiotik. Hal ini menyebabkan terjadinya kebocoran

substansi yang dapat berdifusi dari komedo. Pada saat ini, imunoglobulin

seperti IgG, dan komplemen seperti C3, dapat dideteksi pada pembuluh darah

di sekitar komedo. Adanya faktor kemotaktik dengan berat molekul yang

kecil, memungkinkan terjadinya difusi dari folikel yang intak menuju ke

dermis, sehingga akan menarik netrofil. Setelah terjadi fagositosis, netrofil

akan melepaskan enzim lisosomal dan Reactive Oxygen Species (ROS), yang

akan menyebabkan kerusakan epitel folikuler, yang kemudian lebih lanjut

akan mengawali terjadinya inflamasi. Selain itu, diketahui pula bahwa P.

acnes merupakan aktivator komplemen jalur klasik dan alternatif yang poten.

Aktivasi komplemen akan menyebabkan semakin banyaknya netrofil.

Keseluruhan hal ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi (Kurutas dkk.,

2005).

2.1.5 Manifestasi klinis

Page 35: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Lesi utama acne adalah mikrokomedo, atau mikrokomedone, yaitu pelebaran

folikel rambut yang mengandung sebum dan P. acnes. Sedangkan lesi acne lainnya

dapat berupa papul, pustul, nodul, dan kista pada daerah predileksi acne yaitu pada

wajah, bahu, dada, punggung, dan lengan atas. Komedo yang tetap berada di bawah

permukaan kulit tampak sebagai komedo white head, sedangkan komedo yang bagian

ujungnya terbuka pada permukaan kulit disebut komedo black head karena secara

klinis tampak berwarna hitam pada epidermis (Baumann dan Keri, 2009 ; Sukanto

dkk., 2005).

Scar dapat merupakan komplikasi dari acne, baik acne non-inflamasi maupun

inflamasi. Ada empat tipe scar karena acne, yaitu : scar icepick, rolling, boxcar, dan

hipertropik. Scar icepick adalah scar yang dalam dan sempit, dengan bagian

terluasnya berada pada permukaan kulit dan semakin meruncing menuju satu titik ke

dalam dermis. Scar rolling adalah scar yang dangkal, luas, dan tampak memiliki

undulasi. Scar boxcar adalah scar yang luas dan berbatas tegas. Tidak seperti scar

icepick, lebar permukaan dan dasar scar boxcar adalah sama. Pada beberapa kejadian

yang jarang, terutama pada truncus, scar yang terbentuk dapat berupa scar

hipertropik (Zaenglein dkk., 2008).

2.1.6 Klasifikasi acne

Selama ini, tidak terdapat standart internasional untuk pengelompokan dan

sistem grading acne. Hal ini tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam

Page 36: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

pengelompokan acne. Saat ini, terdapat lebih dari 20 metode berbeda yang digunakan

untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan acne.

Klasifikasi acne yang paling ‘tua’ adalah klasifikasi oleh Pillsburry pada

tahun 1956, yang mengelompokkan acne menjadi 4 skala berdasarkan perkiraan

jumlah dan tipe lesi, serta luas keterlibatan kulit (Barratt dkk., 2009).

Klasifikasi lainnya oleh Plewig dan Kligman, yang mengelompokkan acne

vulgaris menjadi :

1. Acne komedonal

a. Grade 1 : Kurang dari 10 komedo pada tiap sisi wajah

b. Grade 2 : 10-25 komedo pada tiap sisi wajah

c. Grade 3 : 25-50 komedo pada tiap sisi wajah

d. Grade 4 : Lebih dari 50 komedo pada tiap sisi wajah

2. Acne papulopustul

a. Grade 1 : Kurang dari 10 lesi pada tiap sisi wajah

b. Grade 2 : 10-20 lesi pada tiap sisi wajah

c. Grade 3 : 20-30 lesi pada tiap sisi wajah

d. Grade 4 : Lebih dari 30 lesi pada tiap sisi wajah

3. Acne konglobata

Klasifikasi ASEAN grading Lehmann 2003 yang mengelompokkan acne

menjadi tiga kategori, yaitu ringan, sedang, dan berat sebagai berikut:

Tabel 2.1. Klasifikasi ASEAN grading Lehmann 2003 (Wasitaatmadja, 2010)

Page 37: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Derajat Komedo Papul / pustul Nodul

Ringan < 20 < 15 Tidak ada

Sedang 20-100 15-50 < 5

Berat >100 > 50 > 5

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis acne vulgaris ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan

klinis. Keluhan penderita dapat berupa gatal atau sakit, tetapi pada umumnya keluhan

penderita lebih bersifat kosmetik.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan komedo, baik komedo terbuka maupun

komedo tertutup. Adanya komedo diperlukan untuk menegakkan diagnosis acne

vulgaris (Wolff dan Johnson, 2009). Selain itu, dapat pula ditemukan papul, pustul,

nodul, dan kista pada daerah – daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar

lemak.

Secara umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi untuk

penderita acne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya hiperandrogenism (Zaenglein

dkk., 2008).

2.1.8 Terapi

Terapi acne vulgaris terdiri dari beberapa modalitas, antara lain (James dkk.,

2006 ; Zaenglein dkk., 2008 ; Ascenso dan Marques, 2009).

1. Terapi topikal.

a. Retinoid topikal.

Page 38: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Retinoid topikal akan menormalkan proses keratinasi epitel folikuler,

sehingga dapat mengurangi komedo dan menghambat terbentuknya

lesi baru. Selain itu, juga memiliki efek anti inflamasi.

b. Benzoil Peroksida.

Benzoil Peroksida memiliki efek anti bakterial yang poten. Selain itu,

dalam penggunaannya tidak akan terjadi resistensi P.acnes.

c. Antibakterial topikal.

Eritromycin dan Clindamycin merupakan antibaktrial topikal yang

paling sering digunakan. Penggunaan antibiotik jenis ini saja akan

menyebabkan peningkatan resistensi P.acnes. Penggunaan kombinasi

dengan Benzoil Peroksida dapat mengatasai masalah ini.

d. Sulfur, sodium sulfacetamide, resorcin, dan asam salisilat.

Walaupun kelompok obat ini merupakan obat lama, namun

penggunaanya masih sering dijumpai. Produk kombinasi antara sulfur

dan sulfacetamida cukup efektif dalam mengatasi acne dan rosacea.

2. Terapi sistemik.

a. Antibiotika oral.

Antibiotika oral digunakan untuk pengobatan acne vulgaris derajat

sedang hingga berat, atau pada kegagalan serta intoleransi terhadap

terapi topikal. Pada umumnya memerlukan 6-8 minggu untuk menilai

efikasinya. Beberapa antibiotika yang tersedia antara lain : Tetrasiklin,

Page 39: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Doksisiklin, Minosiklin, Eritomycin, Clindamycin, dan Trimetoprim-

Sulfametoxazole.

b. Terapi hormonal.

Tujuan terapi hormonal adalah untuk ‘melawan’ efek androgen pada

kelenjar sebasea. Adapun jenis – jenis yang dapat digunakan adalah :

kontrasepsi oral, kortikosteroid, antiandrogen, agonis Gonadotropin-

releasing hormone.

c. Isotretinoin.

Penggunaan isotretinoin oral disetujui untuk kasus acne berat,

rekalsitran, dan tipe nodular. Pada terapi ini, perlu diberikan edukasi

yang baik kepada penderita karena obat ini memiliki banyak efek

samping. Efek samping yang paling serius adalah efek teratogenik.

3. Modalitas lainnya.

a. Kortikosteroid intralesi.

Kortikosteroid intralesi paling efektif untuk mengurangi inflamasi

pada acne vulgaris tipe noduler. Dosis yang direkomendasikan adalah

injeksi suspensi Triamsinolon asetat 2,5-10 mg/mL sebanyak 0,05-

0,25 mL per lesi. Kadang memerlukan dosis ulangan dalam interval 2

hingga 3 minggu.

b. Fototerapi dan laser.

Penggunaan terapi fotodinamik dan berbagai jenis laser masih dalam

tahap penyelidikann. Walaupun terapi ini dapat menghancurkan

Page 40: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

kelenjar sebasea dan membunuh P.acnes, namun metode ini masih

dianggap kurang efektif.

2.1.9 Komplikasi

Semua tipe acne berpotensi meninggalkan sekuele. Hampir semua lesi acne

akan meninggalkan makula eritema yang bersifat sementara setelah lesi sembuh. Pada

warna kulit yang lebih gelap, hiperpigmentasi post inflamasi dapat bertahan berbulan-

bulan setelah lesi acne sembuh. Acne juga dapat menyebabkan terjadinya scar pada

beberapa individu.

Selain itu, adanya acne juga menyebabkan dampak psikologis. Dikatakan 30–

50% penderita acne mengalami gangguan psikiatrik karena adanya acne (Zaenglein

dkk., 2008).

2.2 Reactive Oxygen Species (ROS)

2.2.1 Definisi

ROS adalah molekul yang mengandung oksigen, bersifat sangat reaktif, yang

secara alami didapatkan dalam jumlah kecil akibat dari reaksi metabolik tubuh, dan

dapat bereaksi serta merusak biomakromolekul seperti lipid, protein, atau DNA (Wu

dan Cederbaum, 2003). Istilah ROS digunakan untuk mendeskripsikan beberapa

molekul dan radikal bebas yang berasal dari molekul oksigen (Turrens, 2003).

Radikal bebas adalah suatu spesies atau senyawa independen yang mengandung satu

Page 41: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital atom atau molekul nya (Gabrielli

dkk., 2012).

2.2.2 Macam ROS

Macam-macam ROS adalah sebagai berikut (Kooter, 2004) :

1. Radikal ion superoksida (O2•-).

2. Radikal Peroksil (•OOH).

3. Hidrogen Peroksida (H2O2).

4. Radikal Hidroksil (•OH).

5. Singlet Oksigen (/O2).

2.2.3 Mekanisme pembentukan ROS

ROS akan terbentuk setiap saat dalam berbagai kegiatan, bahkan ketika kita

sedang bernapas. Radikal bebas dapat terbentuk melalui 2 cara, yaitu secara endogen

(sebagai respons normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel, misalnya rantai

respirasi, fagositosis, sintesis prostaglandin, dan sistem sitokrom P450) dan secara

eksogen (misalnya merokok, sinar ultraviolet, obat-obatan, pestisida, pelarut industri,

polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit) (Kumar, 2011 ;

Winarsi, 2007).

Pada umumnya, kadar ROS yang rendah penting untuk fungsi fisiologi

normal, seperti misalnya ekspresi gen, pertumbuhan sel dan pertahanan terhadap

infeksi. Aktivasi makrofag dan netrofil merupakan bentuk mekanisme pertahanan

Page 42: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme. Dalam hal ini enzim oksidase dan

oksigenase akan membentuk berbagai senyawa radikal bebas dan ROS, termasuk

asam hipoklorit (HOCl), yang akan menyerang dan menghancurkan virus atau

bakteri. Namun di sisi lain, terbentuknya senyawa radikal tersebut sangat berbahaya

karena juga berpotensi menyerang sel tubuh (Kunwar dan Priyadarsini, 2011 ;

Winarsi, 2007).

Berikut pembentukan masing – masing ROS :

1. Radikal ion superoksida (O2•-)

Pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa mekanisme berikut

:

a. Reaksi samping dalam reaksi yang melibatkan Fe++

b. Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh

NADH/NADPH oksidase.

c. Reaksi yang dikatalisis oleh Xantin Oksidase (XO).

2. Radikal Peroksil (•OOH)

Radikal peroksil terbentuk melalui reaksi : O2•- + H

+ → •OOH

Radikal peroksil sangat reaktif, dan akan membentuk radikal baru melalui

reaksi :

•OOH + XH → •X + H2O2

Page 43: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

H2O2 dapat tereduksi melalui reaksi Fenton, dan menghasilkan oksidan yang

sangat kuat yaitu radikal hidroksil (•OH) (Urbanski dan Beresewicz, 2000).

3. Hidrogen Peroksida (H2O2)

H2O2 terbentuk karena aktivitas enzim oksidase yang mengkatalisis reaksi

dalam retikuloendoplasmik (mikrosom) dan peroksisom, melalui reaksi :

R H2 + O2 → R + H2O2

4. Radikal Hidroksil (•OH)

Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya.

Radikal hidroksil bukan merupakan produk primer proses biologis, melainkan

berasal dari H2O2 dan O2•-. Keberadaan H2O2 dapat berbahaya bila bersama-

sama dengan O2•- karena akan membentuk radikal hidroksil melalui reaksi

Haber-Weiss berikut :

O2•- + H2O2 → O2 + OH

- + •OH

5. Singlet Oksigen (O2)

Merupakan bentuk oksigen yang memiliki reaktivitas jauh lebih tinggi

dibanding oksigen bentuk ground state. Senyawa ini terbentuk melalui reaksi

yang dikatalisis oleh beberapa enzim, antara lain :

a. Enzim monooksigenase : 2 ROOH → 2 ROH + /O2

b. Enzim prostaglandin endoperoksida sintetase : 2PGG2 → 2PGH2 + /O2

c. Enzim mieloperoksidase

H2O2 + Cl- → H2O + ClO

-

ClO- + H2O2 → H2O + Cl

- + O2 /

Page 44: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

__________________________

2 H2O2 → 2 H2O + /O2

2.2.4 Produk oksidasi

ROS bersifat toksik terhadap sel karena dapat bereaksi dengan makromolekul,

seperti lipid, protein, dan DNA (Wu dan Cederbaum, 2003). Reaksi awal akan

menghasilkan radikal kedua, yang kemudian dapat bereaksi dengan makromolekul

kedua, dan menyebabkan terjadinya reaksi berantai.

Senyawa radikal bebas dapat merusak komponen penyusun sel, yaitu

(Winarsi, 2007) :

1. Lipid, terutama asam lemak tidak jenuh yang merupakan komponen penting

fosfolipid penyusun membran sel.

2. DNA, yang merupakan perangkat genetik sel.

3. Protein, yang berperan sebagai enzim, reseptor, antibodi, dan penyusun

matriks serta sitoskeleton.

Di antara makromolekul tersebut, target yang paling rentan adalah asam

lemak tidak jenuh (Poly Unsaturated Fatty Acids/PUFA). Kerusakan oksidatif pada

senyawa lipid terjadi ketika radikal bebas bereaksi dengan senyawa PUFA. Jembatan

metilen yang dimiliki PUFA merupakan sasaran utama bagi radikal bebas, yang akan

membentuk radikal alkil, peroksil, dan alkoksil. Reaksi berantai yang ditimbulkan

oleh peroksidasi lipid bersifat sangat merusak, dan menyebabkan baik efek secara

langsung maupun secara tidak langsung. Selama terjadi kerusakan oleh peroksidasi

Page 45: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

lipid, akan dilepaskan produk-produk toksik yang dapat merusak pada area yang jauh

dari area terbentuknya reaksi peroksidasi lipid, bertindak sebagai second messenger

Bentuk radikal asam lemak tersebut adalah diena terkonjugasi, termasuk di dalamnya

hidroperoksida, alkohol, aldehid, atupun alkana (Devasagayam, dkk., 2004 ; Winarsi,

2007).

2.3 Stres Oksidatif

Dalam rangka perlindungan terhadap serangan ROS, tubuh manusia memiliki suatu

mekanisme proteksi untuk mencegah pembentukan ROS atau mendetoksifikasi ROS.

Mekanisme tersebut adalah sistem antioksidan yang terorganisir, baik antioksidan

enzimatik maupun antioksidan non-enzimatik, yang bekerja secara sinergis. Molekul

antioksidan pada kulit berinteraksi dengan ROS atau produknya dengan cara

mengeliminasi atau meminimalisasi efeknya yang merugikan (Winarsi, 2007; Bickers

dan Athar, 2006).

Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu : antioksidan

enzimatis (misalnya Superoksida Dismutase/SOD, katalase, dan glutation

peroksidase), dan antioksidan non-enzimatis (misalnya tokoferol, karotenoid, dan

asam askorbat). Secara fisiologis terdapat dua sistem pertahanan tubuh, yaitu

(Winarsi, 2007) :

1. Sistem pertahanan preventif, yang dilakukan oleh kelompok antioksidan

sekunder atau disebut juga dengan antioksidan non-enzimatis. Dalam hal ini,

Page 46: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

terbentuknya ROS dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak

pembentukannya, sehingga tidak akan bereaksi dengan komponen seluler.

2. Sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal berantai, yang dilakukan

oleh kelompok antioksidan primer atau antioksidan enzimatis.

Pada kondisi–kondisi tertentu, terjadi masalah ketika produksi ROS melebihi

eliminasinya, yang bisa disebabkan karena produksi berlebihan selama terjadi trauma

atau karena kerusakan sistem antioksidan alami. Keadaan di mana terjadi

ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan, disebut dengan stres oksidatif

(DeHaven, 2007).

Sebuah postulat ‘Teori Radikal Bebas’ menyatakan bahwa, dengan

terakumulasinya kerusakan akibat radikal bebas dan stres oksidatif, maka sejumlah

proses biokimia dan proses seluler mulai berjalan secara ‘tidak normal’ (DeHaven,

2007).

Di samping memiliki reaktivitas yang sangat tinggi, radikal bebas juga

bersifat tidak stabil dan berumur sangat singkat. Oleh karena itu, maka pengukuran

stres oksidatif dilakukan berdasarkan pengukuran biomarker dari kerusakan oksidatif

pada makromolekul seperti lipid, protein, dan DNA. Secara tidak langsung, stres

oksidatif juga dapat diukur dengan mengestimasi kapasitas pertahanan antioksidan

pada serum, plasma, atau cairan tubuh lainnya (Deverts, 2007 ; Winarsi, 2007).

Berikut ini tabel yang menunjukkan biomarker daripada kerusakan oksidatif

pada makromolekul :

Tabel 2.2. Biomarker Kerusakan Oksidatif (Deverts, 2007)

Page 47: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Biomarker Availabilitas

1. Peroksidasi lipid

Malondialdehid (MDA)

Plasma, serum, saliva, urine,

kondensat ekshalasi nafas

2. Oksidasi Protein

Karbonil protein

Plasma, serum

3. Oksidasi DNA

8-hidroksi-2-deoksiguanosin

Plasma, serum, urine

Oksidasi lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal

dan paling mudah pengukurannya. Karena itulah, reaksi ini paling sering dilakukan

untuk mempelajari stres oksidatif (Winarsi, 2007).

Malondialdehid (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan produk

akhir peroksidasi lipid dalam tubuh. MDA adalah alat ukur yang paling banyak

digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid (Fuchs dkk., 2001). Senyawa ini

memiliki tiga rantai karbon, dengan rumus molekul C3H4O2. MDA dapat bereaksi

dengan komponen nukleofilik atau elektrofilik. Aktivitas non-spesifiknya, MDA

dapat berikatan dengan berbagai molekul biologis seperti protein, asam nukleat dan

aminofosfolipid secara kovalen (Winarsi, 2007).

MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas.

Di samping itu, MDA juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh

radikal bebas. Oleh sebab itu, konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya

Page 48: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

proses oksidasi dalam membran sel. Status antioksidan yang tinggi biasanya diikuti

oleh penurunan kadar MDA (Winarsi, 2007).

2.4 Hubungan Stres Oksidatif dan Acne Vulgaris

Propionibacterium acnes dianggap berperan penting dalam patogenesis acne. P.

acnes akan melepas faktor-faktor kemotaktik dan mediator pro inflamasi ke arah lesi

yang berperan dalam terjadinya respon inflamasi (Thiboutot, 2000). Aktivasi sel–sel

ini kemudian akan memproduksi seumlah sitokin seperti TNFα, IL-1β, dan IL-8

(Grange dkk., 2009). Makrofag dan netrofil mengandung sejumlah enzim yang

disebut kompleks NADPH oksidase, yang bila diaktivasi akan menghasilkan radikal

superoksida dan hidrogen peroksida (Wu dan Cederbaum, 2003). Setelah proses

fagositosis, netrofil akan melepas enzim lisosom dan ROS, yang akan menyebabkan

kerusakan epitel folikuler, yang kemudian lebih lanjut akan mengawali terjadinya

inflamasi (Kurutas dkk., 2005).

Beberapa antioksidan enzimatis, seperti glutathion peroksidase dan

superoksida dismutase pada penderita acne dilaporkan dengan kadar yang lebih

rendah dibandingkan penderita non acne (Abulnaja, 2009). Peningkatan produksi

ROS yang dapat disertai dengan penurunan kadar antioksidan menyebabkan

terjadinya stres oksidatif. Beberapa penelitian mengungkapkan adanya hubungan

antara stres oksidatif dengan acne inflamasi.

Sebuah penelitian di Jepang bertujuan untuk mengetahui kadar Hidrogen

Peroksida (H2O2) yang dihasilkan oleh netrofil pada penderita acne inflamasi, acne

Page 49: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

komedonal, yang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari penelitian ini

didapatkan bahwa penderita acne inflamasi menunjukkan peningkatan kadar H2O2

secara signifikan. Sebaliknya, pada penderita acne komedonal yang dibandingkan

dengan dengan kelompok kontrol, tidak menunjukkan perbedaan kadar H2O2 yang

bermakna (Akamatsu dkk., 2003).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Kurutas, bertujuan untuk menilai kadar

antioksidan pada penderita acne. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa kadar

Superoksid Dismutase (SOD) pada penderita acne lebih rendah secara signifikan

(p<0,001). Aktivitas SOD yang rendah ini akan menyebabkan peningkatan kadar

radikal ion superoksida pada epidermis (Kurutas dkk., 2005).

Arican dkk. (2005) melakukan sebuah penelitian kasus kontrol untuk

mengetahui akibat dari stres oksidatif pada penderita acne vulgaris. Pada penelitian

ini didapatkan bahwa kadar MDA pada penderita acne lebih tinggi secara signifikan

jika dibandingkan dengan kelompok kontrol ( p < 0,001 ).

Penelitian di Indonesia oleh Surlinia (2010) yang bertujuan untuk mengetahui

perbandingan kadar MDA pada penderita acne inflamasi dan individu sehat,

didapatkan hasil bahwa kadar MDA darah pada penderita acne inflamasi lebih tinggi

secara bermakna dibandingkan dengan individu sehat.

Dari penelitian–penelitian yang pernah dilakukan selama ini, diduga bahwa

stres oksidatif berperan dalam patogenesis acne inflamasi. Terdapat dugaan bahwa

pada kondisi stres oksidatif akan menyebabkan terjadinya produk–produk oksidasi,

yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein, mempengaruhi proses

Page 50: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

apoptosis, dan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi, seperti sitokin pada

tingkat seluler, yang berperan penting dalam induksi penyakit kulit inflamasi (Bickers

dan Athar, 2006). Stres oksidatif diduga dapat menginduksi terjadinya reaksi

inflamasi. Hal ini dibuktikan dalam penelitian oleh Tochio yang menyatakan bahwa

akumulasi daripada peroksidasi lipid berperan dalam terjadinya acne inflamasi.

Akumulasi ini akan menyebabkan upregulasi dari IL-1α, yang kemudian berperan

dalam perubahan lesi komedo menjadi lesi inflamasi (Tochio dkk., 2010).

Page 51: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Sebum disintesis oleh kelenjar sebacea secara kontinu dan disekresikan ke permukaan

kulit melalui pori – pori folikel rambut. Sekresi sebum ini diatur secara hormonal.

Penderita acne memproduksi sebum lebih banyak dibandingkan dengan penderita non

acne. Kadar sebum dan konsentrasi asam linoleat dalam sebum menunjukkan

hubungan yang terbalik. Sehingga dengan adanya peningkatan sebum, akan

menyebabkan defisiensi asam linoleat lokal pada epitel folikuler, yang akan

menyebabkan penurunan fungsi barier epitel dan hiperkeratosis folikuler. Keratinosit

yang menggumpal akan menyumbat pori – pori dan menyebabkan terjadinya komedo.

Komedo merupakan sumber nutrisi bagi bakteri, sehingga terjadi kolonisasi

Propionibacterium acnes. P. acnes dapat memproduksi faktor kemotaktik, yang

menyebabkan akumulasi netrofil pada daerah lesi. Setelah terjadi fagositosis, akan

dilepas enzim lisosom dan terjadi peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS). Hal

ini akan menyebabkan kerusakan epitel folikuler, dan mengawali terjadinya

inflamasi. Peningkatan ROS dan penurunan kadar antioksidan akan menyebabkan

terjadinya stres oksidatif. Keadaan stres oksidatif, disertai MDA yang merupakan

produk oksidasi nya, akan menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi seperti

sitokin pada level seluler, yang berperan terhadap induksi inflamasi lebih lanjut,

dalam hal ini adalah acne vulgaris.

Page 52: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

3.2 Konsep

Keterangan : diteliti

Tidak diteliti

Gambar 3.1. Konsep

3.3 Hipotesis

Derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar MDA.

Stres oksidatif

• Dermatitis Atopik

• Psoriasis

• Pioderma

• Morbus Hansen

• Kehamilan

• Penyakit inflamasi

sistemik

• Penderita

hiperandrogenisme

• Penggunaan obat :

anti inflamasi non

steroid, androgen,

kortikosteroid,

Phenytoin, Isoniazid,

Epidermal Growth

Factor receptor

Inhibitor

• Penggunaan

kontrasepsi hormonal

Faktor Endogen

Faktor Eksogen

Inflamasi

Acne Vulgaris

• Merokok

• Konsumsi alkohol

MDA

Page 53: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Subjek diambil

dari penderita yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik

RSUP Sanglah Denpasar.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP

Sanglah Denpasar, mulai Januari hingga Juni 2011. Penelitian juga melibatkan

Laboratorium Prodia Denpasar, sebagai laboratorium rujukan pemeriksaan kadar

MDA.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi target

Penderita acne vulgaris yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin

Divisi Kosmetik RSUP Sanglah, Denpasar.

4.3.2 Populasi terjangkau

Penderita acne vulgaris yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin

Divisi Kosmetik RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan Januari hingga Juni 2011.

Page 54: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

4.3.2.1 Kriteria inklusi

1. Penderita acne vulgaris usia 12-35 tahun yang berkunjung ke Poliklinik Kulit

dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan Januari

hingga Juni 2011.

2. Belum mendapat terapi acne selama dua minggu sebelumnya, baik terapi

topikal maupun terapi sistemik.

3. Bersedia untuk diikutsertakan dalam penelitian.

4.3.2.2 Kriteria eksklusi

1. Merokok.

2. Konsumsi alkohol.

3. Dermatitis atopik.

4. Psoriasis.

5. Pioderma.

6. Morbus Hansen.

7. Hamil.

8. Penyakit inflamasi sistemik.

9. Penderita hiperandrogenisme.

10. Pengguna obat kelompok anti inflamasi non steroid, androgen, kortikosteroid,

phenytoin, isoniazid, Epidermal Growth Factor receptor Inhibitor.

11. Pengguna kontrasepsi hormonal.

Page 55: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

4.3.3 Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling, yaitu pengunjung

Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Kosmetik RSUP Sanglah Denpasar periode

Januari hingga Juni 2011, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dijadikan

subjek penelitian sampai memenuhi jumlah sampel yang diperlukan.

4.3.4 Besar Sampel

3)}1/()1ln{(5,0

2

+

−+

+=

rr

ZZN

βα

Dimana :

N : besar sampel.

Zα : deviat baku alfa.

Zβ : deviat baku beta.

r : korelasi. (Machine dkk., 1997)

Besar sampel dihitung berdasarkan asumsi koefisien korelasi terkecil (r) yang

dianggap signifikan adalah 0,35, dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan power

penelitian sebesar 80%. Dengan menggunakan rumus di atas, diperlukan sampel

sebesar 64 orang.

4.4 Variabel Penelitian

Page 56: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

1. Variabel tergantung : acne vulgaris.

2. Variabel bebas : MDA.

3. Variabel kontrol : Merokok, konsumsi alkohol, dermatitis atopik, psoriasis,

pioderma, morbus hansen, hamil, pengguna kontrasepsi hormonal, obat

kortikosteroid, phenytoin, isoniazid, Epidermal Growth Factor receptor

inhibitor, dan anti inflamasi non steroid.

4.4.1 Definisi operasional variabel

1. Acne vulgaris adalah acne dengan manifestasi papul, pustul, atau nodul, yang

dinilai dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita. Hasil

pemeriksaan fisik acne vulgaris dinyatakan dalam 3 kategori, yaitu : acne

derajat ringan, sedang, dan berat, berdasarkan kriteria ASEAN grading

Lehmann 2003.

Tabel 4.1. Definisi Operasional Acne Vulgaris

Kategori Komedo Papul / pustul Nodul

Non acne Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Ringan < 20 < 15 Tidak ada

Sedang 20-100 15-50 < 5

Berat > 100 > 50 > 5

Page 57: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

2. MDA adalah produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh, yang merupakan

biomarker dari stres oksidatif, dimana kadar MDA ditentukan dengan

melakukan pemeriksaan spektrofotometrik dari bahan sampel plasma subjek

penelitian, sebanyak 1 kali pengukuran.

3. Merokok adalah kebiasaan menghisap rokok, yang didapatkan melalui teknik

wawancara.

4. Konsumsi alkohol adalah kebiasaan minum minuman yang mengandung

alkohol, yang didapatkan melalui teknik wawancara.

5. Dermatitis atopik adalah kelainan kulit, yang didiagnosis berdasarkan

terpenuhinya minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria

diagnosis Hanifin Rajka yang tercantum pada lampiran 4.

6. Psoriasis adalah suatu kondisi kulit yang pada pemeriksaan fisik ditandai

dengan adanya bercak eritema yang tertutup skuama tebal dan berlapis, warna

keperakan pada daerah ekstensor, serta didapatkan Auspitz sign positif, dapat

disertai dengan Koebner phenomena positif, dan dikonfirmasi dengan

menggunakan pemeriksaan histopatologi.

7. Pioderma adalah keadaan infeksi bakteri pada kulit superfisial, dapat

bermanifestasi senbagai impetigo, ektima, folikulitis, erisipelas, selulitis, atau

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang didiagnosis berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan klinis, dan dikonfrimasi dengan hasil pengecatan

gram yaitu ditemukannya bakteri coccus gram positif.

Page 58: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

8. Morbus Hansen adalah suatu kondisi klinis, yang didiagnosis berdasarkan

ditemukannya minimal satu dari tiga tanda kardinal, yaitu : 1. Bercak kulit

yang mati rasa, 2. Penebalan saraf tepi, dan 3. Ditemukannya kuman batang

tahan asam dari pemeriksaan hapusan kulit cuping telinga.

9. Hamil adalah keadaan terkandungnya janin dalam tubuh seorang wanita yang

ditandai dengan terhentinya menstruasi selama 6 minggu berturut-turur

dihitung berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT), dan dikonformasi

dengan pemeriksaan β-HCG yang positif.

10. Penyakit inflamasi sistemik adalah penyakit dengan gejala inflamasi pada area

atau organ yang mengalami kelainan yang ditandai dengan adanya tanda-

tanda inflamasi atau radang, yang diperoleh melalui teknik wawancara,

pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium yang

mendukung.

11. Penderita hiperandrogenisme adalah penderita dengan gejala-gejala

hiperandrogenisme, yang didapat melalui teknik wawancara, pemeriksaan

fisik, dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.

12. Pengguna antiinflamasi non steroid adalah subjek dengan riwayat sedang atau

pernah mengkonsumsi antiinflamasi non steroid yang sering digunakan

sebagai obat penahan rasa nyeri atau anti peradangan, dalam kurun waktu

lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh

melalui teknik wawancara.

Page 59: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

13. Pengguna obat androgen adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah

mengkonsumsi obat androgen yang sering digunakan sebagai pengobatan

hipogonadism, dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu

sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.

14. Pengguna kortikosteroid adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah

mengkonsumsi obat kelompok kortikosteroid dalam kurun waktu lebih dari

atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik

wawancara.

15. Pengguna phenytoin adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah

mengkonsumsi phenytoin yang sering digunakan sebagai obat anti epilepsi,

dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan tiga minggu sebelumnya,

yang diperoleh melalui teknik wawancara.

16. Pengguna isoniazid adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah

mengkonsumsi isoniazid yang sering digunakan sebagai obat anti epilepsi

dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan tiga minggu sebelumnya,

yang diperoleh melalui teknik wawancara.

17. Pengguna Epidermal Growth Factor receptor Inhibitor adalah subjek dengan

riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi Epidermal Growth Factor

receptor Inhibitor yang sering digunakan sebagai obat kanker paru-paru, usus

besar, dan payudara, dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan tiga

minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.

Page 60: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

18. Pengguna kontrasepsi hormonal adalah subjek dengan riwayat sedang

mengkonsumsi kontrasepsi hormonal, yang diperoleh melalui teknik

wawancara.

4.5 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena dari subjek penelitian.

4.6 Instrumen Penelitian

4.6.1 Alat-alat

1. Sarung tangan.

2. Tourniket

3. Spuit.

4. Spektrofotometer.

5. Kuvet spektrofotometer dengan panjang jalur optik 1cm.

6. Water bath atau heat block untuk mengontrol suhu pada 45oC ± 1

oC.

7. Tube disposable dan stopper (kaca atau polietilen).

8. Mikro-centrifuge.

4.6.2 Reagen

1. Reagen R1 : N-metil-2-phenylindole dalam acetonitrit.

2. Reagen R2 : asam hidroklorit terkonsentrasi.

3. Standart MDA : 1,1,3,3-tetramethoxypropane (TMOP) dalam tris-HCl.

Page 61: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

4. BHT (Butylated Hydroxytoluene) dalam acetonitrit.

5. Probucol dalam methanol.

6. Methanol.

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Protokol penelitian

1. Penderita acne vulgaris yang datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin

Divisi Kosmetik RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari-Juni 2011 yang

telah memenihu kriteria inklusi, eksklusi dan telah menandatangani informed

consent, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

a. Anamnesis meliputi : identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,

riwayat penyakit dahulu (dermatitis atopik, psoriasis, pioderma, morbus

hansen, epilepsi, tuberkulosis, dan keganasan), riwayat pengobatan,

riwayat penyakit keluarga, dan riwayat sosial.

b. Pemeriksaan fisik, meliputi : tanda-tanda vital, status general, dan status

dermatologi.

Page 62: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

2. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, subjek penelitian

dikelompokkan berdasarkan derajat penyakit acne vulgaris menjadi derajat

ringan, sedang, atau berat.

3. Pengambilan darah vena subjek penelitian.

4. Pemeriksaan kadar MDA

5. Analisis data

Kriteria inklusi

Kriteria eksklusi

Informed consent

Penderita acne vulgaris yang datang berobat ke

Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar

Penderita acne vulgaris yang datang berobat ke

Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar

pada bulan Januari – Juni 2011

Eligible subjects

Anamnesis

Pemeriksaan Fisik

Page 63: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Gambar 4.1. Protokol Penelitian

4.7.2 Pengambilan data

Prosedur pengukuran kadar MDA meliputi pengambilan spesimen penelitian

dan pemeriksaan kadar MDA yang akan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar.

4.7.2.1 Pengambilan spesimen

Spesimen yang diambil adalah darah yang diambil dari vena mediana cubiti

subjek penelitian, dengan prosedur sebagai berikut :

1. Lengan subjek diikat dengan tourniket dan subjek diminta menggenggam

tangannya untuk memudahkan identifikasi vena.

2. Desinfeksi daerah sekitar vena yang dituju dengan menggunakan alkohol

swab.

3. Penusukan vena yang dituju dengan menggunakan spuit yang telah tersedia,

hingga tampak darah mengalir dalam spuit.

4. Melepas tourniket pada lengan, dan subjek dapat membuka genggaman

tangannya.

A N A L I S I S D A T A

Acne vulgaris

Derajat ringan, sedang, dan berat

Kadar MDA

Page 64: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

5. Menutup bekas tusukan dengan menggunakan plester.

4.7.2.2 Pemeriksaan kadar MDA

Pemeriksaan kadar MDA dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar, dengan

prosedur sebagai berikut :

1. Menambahkan 10 µL probucol pada masing-masing tube assay.

2. Menambahkan 20 µL sampel atau standart pada tube assay tersebut.

3. Menambahkan 640 µL reagen R1 yang telah dilarutkan ke dalam masing-

masing tube.

4. Mencampur dengan memusingkan masing-masing tube.

5. Menambahkan 150 µL reagen R2.

6. Stopper masing-masing tube dan mencampur secara merata.

7. Menginkubasikan pada suhu 45oC selama 60 menit.

8. Men-centrifuge sampel yang keruh (misal 10.000 x selama 10 menit) untuk

mendapatkan supernatan yang jernih.

9. Memindahkan supernatan ke dalam kuvet.

10. Mengukur absorbance nya pada 586 nm.

4.8 Analisis Data

1. Analisis statistik deskriptif.

2. Analisis normalitas dan homogenitas kadar MDA pada kelompok acne

vulgaris dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov.

Page 65: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

3. Menguji korelasi antara kadar MDA dengan derajat acne vulgaris, dengan

mengunakan metode korelasi Spearman, dengan tingkat kepercayaan α =

0,05.

Page 66: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek

Karakteristik subjek penelitian meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, status

pernikahan, dan pendidikan terakhir. Data disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Karakteristik subjek

Karakteristik subjek Jumlah (orang) Persentase (%)

Umur (tahun)

12-19

20-27

28-35

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

Pekerjaan

Pelajar/mahasiswa

Swasta

Profesional

Lain-lain

Status pernikahan

Belum menikah

Menikah

Pendidikan terakhir

SD

SMP

SMA

Sarjana

4

28

32

22

42

10

38

13

3

36

28

1

0

33

30

6,3

43,8

50,0

34,4

65,6

15,6

59,4

20,3

4,7

56,3

43,8

1,6

0,0

51,6

46,9

Total 64 100,0

Page 67: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Selama periode bulan Januari sampai Juni 2011, telah dilakukan penelitian cross

sectional ‘Kadar MDA berhubungan positif dengan derajat penyakit acne vulgaris’.

Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar. Selama periode tersebut, didapatkan

64 orang sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, terdiri atas 42 orang

(65,6 %) perempuan dan 22 orang (34,4 %) laki - laki. Rerata umur subyek adalah

26,97 ± 5,204 tahun dengan umur minimum 15 tahun dan umur maksimum 35 tahun.

Kelompok usia acne vulgaris terbanyak adalah 28-35 tahun (32 %).

5.2 Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris

Klasifikasi acne vulgaris pada penelitian ini dikelompokkan menjadi derajat ringan,

sedang, dan berat. Derajat penyakit acne vulgaris terbanyak adalah derajat ringan,

yaitu sebesar 37,5 %. Data frekuensi masing-masing derajat penyakit acne vulgaris

disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Frekuensi derajat penyakit acne vulgaris

Derajat penyakit acne

vulgaris

Jumlah

(orang)

Persentase

(%)

Ringan

Sedang

Berat

24

23

17

37,5

35,9

26,6

Total 64 100,0

Page 68: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

5.3 Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat

Rerata kadar MDA pada kelompok acne vulgaris derajat ringan adalah 1,123 ± 0,224

μM/L, kelompok acne vulgaris derajat sedang adalah 1,223 ± 0,248 μM/L, dan

kelompok acne vulgaris derajat berat adalah 1,912 ± 0,785 μM/L. Dari uji Kruskall

Wallis didapatkan nilai p 0,000 (<0,05) yang artinya paling tidak terdapat dua

kelompok derajat acne vulgaris yang memiliki perbedaan rerata MDA yang

bermakna, seperti yang tertera pada Tabel 5.3. Untuk menentukan kelompok mana

yang berbeda secara bermakna, maka dilakukan analisis lanjutan (post hoc) dengan

menggunakan analisis Mann-Whitney. Hasil analisis Mann-Whitney menunjukkan

bahwa rerata kadar MDA pada kelompok acne vulgaris derajat ringan dan sedang

tidak berbeda secara bermakna, dimana nilai p > 0,05. Sebaliknya, rerata kadar MDA

antara kelompok acne vulgaris derajat ringan dan sedang berbeda signifikan dengan

rerata kadar MDA pada acne vulgaris derajat berat dengan nilai p < 0,05 seperti yang

tampak pada Tabel 5.4.

Tabel 5.3. Kadar MDA pada acne vulgaris derajat ringan, sedang, dan berat

Derajat penyakit

acne vulgaris

Kadar MDA (μM/L) Nilai p antara derajat

penyakit dan kadar

MDA

Rerata SD

Ringan

Sedang

Berat

1,123

1,223

1,912

0,224

0,248

0,785

0,000

Page 69: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Tabel 5.4. Perbandingan perbedaan rerata kadar MDA kelompok acne vulgaris

derajat ringan, sedang, dan berat

Kelompok yang dibandingkan Perbedaan rerata kadar

MDA (μM/L)

Nilai p antara

kelompok dan kadar

MDA

Ringan dan sedang 1,649 0,099

Sedang dan berat 3,926 0,000

Ringan dan berat 4,208 0,000

5.4 Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan Kadar MDA

Untuk mengetahui korelasi antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA dilakukan

uji korelasi Spearman. Berdasarkan uji korelasi Spearman didapatkan adanya korelasi

positif sedang antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA, dengan nilai r = 0,566

dengan nilai p = 0,000 ( p < 0,05) dan scatter plot hubungan antara derajat acne

vulgaris dengan kadar MDA disajikan pada gambar di bawah ini (Gambar 5.1).

Gambar 5.1. Scatter plot korelasi antara derajat acne vulgaris dengan kadar MDA.

Page 70: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subjek

Acne vulgaris merupakan suatu keradangan kronis dari folikel pilosebasea

yang ditandai dengan adanya komedo, papul, kista dan pustul pada daerah-daerah

predileksi yaitu muka, bahu, lengan bagian atas, dada, dan punggung (Zaenglein dkk.,

2008). Kligman menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang sama sekali tidak

pernah menderita acne (Wasitaatmadja, 2007).

Pada penelitian ini didapatkan frekuensi acne vulgaris yang lebih tinggi pada

jenis kelamin perempuan, yaitu sebesar 65,6 %. Penelitian oleh Khunger dan Kumar

(2012) di Malaysia untuk mengetahui prevalensi acne, didapatkan hasil yang sama

yaitu prevalensi acne lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan (82,1 %). Birawan

(2011) yang melakukan penelitian acne vulgaris di RSUP Sanglah Denpasar juga

mendapatkan data yang serupa, yaitu dominasi acne vulgaris pada jenis kelamin

perempuan sebesar 70,5 %. Dominasi jenis kelamin perempuan ini kemungkinan

disebabkan karena faktor hormonal. Sebum disintesis oleh kelenjar sebasea secara

kontinu dan disekresikan ke permukaan kulit melalui pori – pori folikel rambut.

Sekresi sebum ini diatur secara hormonal. Hormon akan tetap mempengaruhi

aktivitas kelenjar sebasea hingga usia dewasa. Pada perempuan, peningkatan

mendadak luteinizing hormone yang mengikuti kejadian ovulasi memicu percepatan

aktivitas kelenjar sebasea (Baumann dan Keri, 2009). Sekitar 85 % perempuan

Page 71: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

melaporkan perburukan gejala acne pada periode premenstrual (Rivera dan Guerra,

2009). Penyebab terbanyak keadaan ini adalah perubahan respon reseptor androgen

kutaneus terhadap perubahan hormonal fisiologi pada siklus menstruasi, yang

berkaitan terhadap munculnya lesi inflamasi dan peningkatan sebogenesis (Addor dan

Schalka, 2010). Kemungkinan alasan lain adalah faktor stres kronik dan kosmetik.

Stres kronik ditengarai merupakan penyebab peningkatan sekresi androgen pada

beberapa perempuan, yang menimbulkan terbentuknya acne. Selain itu acne yang

diinduksi oleh pemakaian kosmetik disebut sebagai penyebab penting acne ringan

hingga sedang pada populasi perempuan (Khunger dan Kumar, 2012). Jenis kelamin

perempuan umumnya lebih peduli terhadap penampilan fisik atau kosmetik, sehingga

jenis kelamin perempuan lah yang lebih cepat mencari pengobatan bila mengalami

keluhan kosmetik.

Kelompok usia acne vulgaris terbanyak pada penelitian ini adalah kelompok

usia 28-35 tahun (50 %). Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan

sebelumnya oleh Suryadi (2008) di Palembang yang mendapatkan hasil bahwa

kelompok usia acne vulgaris terbanyak adalah 15-16 tahun. Meskipun sebagian besar

kasus acne didapatkan pada usia remaja, namun akhir-akhir ini mulai didapatkan

peningkatan kasus acne pada usia dewasa, yaitu acne yang muncul setelah usia 25

tahun (Ascenso dan Marques, 2009). Terutama pada jenis kelamin perempuan, acne

dapat menetap hingga dekade ketiga atau lebih (Zaenglein dkk., 2008). Acne yang

didapatkan pada usia dewasa ini dapat merupakan ane yang persisten atau acne

dengan awitan lambat atau late onset (Rivera dan Guerra, 2009). Kelenjar sebasea

Page 72: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

mewakili densitas reseptor androgen yang berbanyak pada kulit manusia (Jappe,

2003). Hormon androgen adrenal dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) adalah

regulator aktivitas kelenjar sebasea yang signifikan, di mana kadar DHEAS mulai

meningkat saat pubertas dan mulai menurun setelah dewasa (Nelson dan Thiboutot,

2008). Namun selain dipengaruhi oleh hormon androgen, terbentuknya acne vulgaris

juga dapat dipengaruhi oleh faktor non hormonal. Terdapat beberapa varian acne

yang patogenesis nya tidak dipengaruhi oleh DHEAS, sehingga dapat pula dijumpai

acne pada usia dewasa atau setelah pubertas. Propionibacteria acnes merupakan

mikroorganisme penghuni predominan pada area kulit orang dewasa yang kaya akan

kelenjar sebasea. Analisis bakteriologi dan produksi sebum pada area tubuh multipel

menunjukkan hubungan yang erat antara jumlah P. acnes dengan produksi sebum

(Jappe, 2003). Pada saat pubertas, jumlah P. acnes pada wajah dan pipi penderita

acne meningkat drastis, dan saat dewasa akan menunjukkan jumlah yang konstan.

Penelitian Miura dkk. menemukan bahwa pada penderita acne berusia 10-14 tahun

didapatkan jumlah P.acnes di hidung dan dahi yang lebih tinggi secara signifikan

daripada non acne. Namun pada penderita acne berusia lebih dari 15 tahun, tidak

didapatkan perbedaan jumlah P.acnes yang signifikan (Miura dkk., 2010). Faktor-

faktor tersebut yang kemungkinan merupakan dasar didapatkannya kelompok usia

acne vulgaris terbanyak pada usia 28-35 tahun.

6.2 Frekuensi Derajat Penyakit Acne Vulgaris

Pada penelitian ini didapatkan frekuensi derajat penyakit acne vulgaris

terbanyak yaitu derajat ringan, sebesar 37,5 %. Hasil ini sesuai dengan yang

Page 73: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

didapatkan pada penelitian di Malaysia oleh Hanisah, yang mendapatkan bahwa

derajat penyakit acne vulgaris terbanyak dari 409 subjek adalah acne vulgaris derajat

ringan, sebesar 90,2 % (Hanisah dkk., 2009). Area predileksi acne vulgaris yaitu pada

muka, bahu, lengan bagian atas, dada, dan punggung (Zaenglein dkk., 2008). Karena

sebagian besar lesi acne vulgaris timbul di area wajah, maka seringkali menimbulkan

masalah kosmetik dan psikologis bagi penderita sehingga cenderung segera mencari

pengobatan ketika mengalami penyakit acne vulgaris derajat ringan. Hal ini yang

kemungkinan menyebabkan didapatkannya derajat ringan sebagai frekuensi derajat

penyakit acne vulgaris yang terbanyak pada penelitian ini.

6.3 Kadar MDA pada Acne Vulgaris Derajat Ringan, Sedang, dan Berat

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan rerata MDA yang signifikan antara

kelompok acne vulgaris derajat ringan, sedang, dan berat, di mana rerata kadar MDA

kelompok acne vulgaris derajat berat lebih tinggi daripada derajat ringan dan sedang

(p = 0,000). Semakin tinggi derajat penyakit acne vulgaris, maka semakin tinggi

rerata kadar MDA. Dari analisis lanjutan didapatkan perbedaan rerata kadar MDA

yang signifikan pada kelompok acne derajat sedang dan berat (p = 0,000) dan pada

kelompok acne derajat ringan dan berat (p = 0,000). Perbedaan kadar MDA yang

bermakna ini menunjukkan bahwa pada acne vulgaris terdapat stres oksidatif yang

berperan penting di dalam patogenesis nya (Arican dkk., 2005).

6.4 Korelasi Derajat Acne Vulgaris dengan Kadar MDA

Page 74: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif sedang antara derajat acne

vulgaris dengan kadar MDA, dengan nilai r 0,566 (p<0,05). Hal ini berarti terdapat

hubungan yang bermakna antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA.

Semakin berat derajat acne vulgaris, maka semakin tinggi kadar MDA, di mana MDA

merupakan salah satu indikator dari stres oksidatif. Hal ini semakin menguatkan bukti

peranan stres oksidatif dalam hal timbulnya dan parahnya derajat penyakit acne

vulgaris.

Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara prooksidan

dengan antioksidan karena pembentukan ROS yang melebihi kemampuan sistem

pertahanan antioksidan, atau menurun atau menetapnya kemampuan antioksidan.

Stres oksidatif menyebabkan terjadi kerusakan oksidatif terhadap penyusun sel seperti

DNA, protein, lemak, dan gula (Winarsi, 2007; Hiromichi dkk., 2008).

Malondialdehid (MDA) adalah produk akhir dari peroksidasi lipid, dan merupakan

salah satu indikator stres oksidatif (Arican dkk., 2005). Malondialdehid memiliki sifat

kimia yang stabil sehingga dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan

keaktifan radikal bebas di tubuh (Lucky dkk., 2007).Pada keadaan stres oksidatif

akan terbentuk produk–produk oksidasi, yang dapat menyebabkan terjadinya

denaturasi protein, mempengaruhi proses apoptosis, dan menyebabkan pelepasan

mediator proinflamasi, seperti sitokin pada tingkat seluler, yang berperan penting

dalam induksi penyakit kulit inflamasi (Bickers dan Athar, 2006). Akumulasi

peroksidasi lipid akan menyebabkan upregulasi dari IL-1α, yang kemudian berperan

dalam perubahan lesi komedo menjadi lesi inflamasi (Tochio dkk., 2010).

Page 75: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Hasil penelitian ini mendukung teori bahwa pada acne vulgaris terdapat stres

oksidatif. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa peroksidasi lipid

merupakan penyebab peningkatan progresivitas komedogenesis dan inflamasi pada

acne. Dari penelitian yang dilakukan oleh Bowe dan Logan (2010) didapatkan data

bahwa pada penderita acne dengan manifestasi minimal berupa mikrokomedo telah

didapatkan bukti adanya peroksidasi lipid. Progresi penyakit dengan manifestasi lesi

inflamasi menunjukkan peningkatan kadar peroksidasi lipid sebesar 4 kali lipat.

Terdapat peningkatan peroksidasi lipid seiring dengan terjadinya peningkatan

inflamasi (Bowe dan Logan, 2010).

Hubungan yang bermakna antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar

MDA yang didapatkan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan

oleh Arican yang tidak berhasil menunjukkan hubungan yang bermakna (nilai r =

0,20 dan nilai p > 0,05) antara stres oksidatif dengan derajat penyakit acne vulgaris.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan karakteristik subjek penelitian dan

perbedaan klasifikasi acne vulgaris yang digunakan dalam penelitian. Penelitian oleh

Arican dilakukan di Turki, dengan menggunakan 43 subjek acne vulgaris berusia 13-

35 tahun. Klasifikasi acne yang digunakan pada penelitian oleh Arican menggunakan

klasifikasi yang berbeda. Pada penelitian tersebut, yang termasuk dalam acne vulgaris

derajat ringan meliputi lesi komedonal saja, derajat sedang meliputi lesi papul dan

pustul, serta derajat berat meliputi lesi nodulokistik. Hal-hal tersebut yang

kemungkinan mendasari terjadinya perbedaan hasil penelitian.

Page 76: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Berdasarkan hal-hal yang didapatkan dari penelitian, maka penelitian ini dapat

dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya yang meneliti tentang keefektifan

pemberian antioksidan pada penderita acne vulgaris. Selain itu dapat pula

dipertimbangkan pemberian antioksidan pada penderita acne vulgaris untuk

memperbaiki keadaan stres oksidatif yang ada.

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian cross sectional yang memiliki

kelemahan di dalam menentukan hubungan sebab akibat antara peningkatan kadar

MDA dan penyakit acne vulgaris. Selain itu, jumlah sampel yang digunakan dalam

penelitian ini relatif masih kurang, yang dapat berpengaruh terhadap akurasi dan

validitas hasil. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan rancangan

kohort dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Page 77: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah :

Terdapat korelasi positif antara derajat penyakit acne vulgaris dengan kadar MDA.

7.2 Saran

1. Pertimbangan pemberian antioksidan dalam penatalaksanaan acne vulgaris,

dengan terlebih dahulu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui

keefektifan antioksidan dalam perbaikan status stres oksidatif pada penderita

acne vulgaris.

2. Penelitian lanjutan dengan rancangan kohort dan jumlah sampel yang lebih besar.

Page 78: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

DAFTAR PUSTAKA

Abulnaja, K.O. 2009. Oxidant/Antioxidant Status in Obese Adolescent Females with

Acne Vulgaris. Indian J Dermatol 54(1): 36-40.

Addor, F.A.S.S., Schalka, S. 2010. Acne in adult women: epidemiological, diagnostic

and therapeutic aspects. An Bras Dermatol 85(6):789-95.

Akamatsu, H., Horio, T., Hattori, K. 2003. Increased hydrogen peroxide generation

by neutrophils from patients with acne inflammation. Int J Dermatol 42(5): 366-9.

Arican, O., Kurutas, E.B., Sasmaz, S. 2005. Oxidative Stress in Patients with Acne

Vulgaris. Mediators of Inflammation 6: 380-4.

Ascenso, A., Marques, H.C. 2009. Acne in the Adult. Bentham Science Publishers

Ltd. 9: 1-10.

Barratt, H., Hamilton, F., Car, J., Lyons, C., Layton, A., Majeed, A. 2009. Outcome

measures in acne vulgaris: systematic review. British Journal of Dermatology,

160:132-6.

Baumann L., Keri, J. 2009. Acne (Type 1 sensitive skin). In: Baumann, L. Cosmetic

Dermatology. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill. p. 121-7.

Bickers, D.R., Athar, M. 2006. Oxidative Stress in the Pathogenesis of Skin Disease.

Available from: URL: http://www.nature.com/jid/journal/v126/n12/pdf/5700340a.pdf

Birawan, I.M. 2011. “Hubungan antara interleukin-8 (IL-8) dengan derajat keparahan

acne vulgaris” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Bowe, W.P., Logan, A.C. 2010. Clinical implications of lipid peroxidation in acne

vulgaris: old wine in new bottles. Lipids in Health and Disease 9:141:1-11.

Bruggemann, H. 2005. Insights in the Pathogenic Potential of Propionibacterium

acnes From Its Complete Genome. Semin Cutan Med Surg 24:67-72.

DeHaven, C. 2007. Acne. Available from: URL:

http://www.isclinical.com/whitepapers/acne.pdf

DeHaven, C. 2007. Oxidative stress and free radical damage. Available from: URL:

http://www.isclinical.com/whitepapers/oxidative-stress.pdf

Page 79: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Devasagayam, T.P.A., Tilak, J.C., Bollor, K.K., Sane, K.S., Ghaskadbi, S.S., Lele,

R.D. 2004. Free Radicals and Antioxidant in Human Health: Current Status and

Future Prospects. JAPI 52:794-804.

Deverts, D.J. 2007. Oxidative Stress. Available from:URL:

http://pmbcii.psy.cmu.edu/core_e/oxidative_stress.pdf

Fuchs, J., Herrling, T., Groth, N. 2001. Detection of Free Radicals in Skin: A Review

of the Literature and New Developments. In : Thiele, J., Elsner, P., editors. Oxidants

and Antioxidants in Cutaneous Biology. Basel : Karger. p. 1-17.

Gabrielli, A., Svegliati, S., Moroncini, G., Amico, D. 2012. New Insights into the

Role of Oxidative Stress in Scleroderma Fibrosis. The Open Rheumatology Journal

6(Suppl 1:M4);87-95.

Grange, P.A., Chereau, C., Raingeaud, J., Nicco, C., Weill, B., Dupin, N., Batteux, F.

2009. Production of superoxide anions by keratinocytes initiates P.acnes-induced

inflammation of the skin. PloS Pathog 5(7): 1-14.

Hanisah A., Omar K., Shah S.A. 2009. Prevalence of acne and its impact on the

quality of life in schoool-aged adolescents in Malaysia. J Primary Health Care. 1:20-

5.

Hiromichi, S., Yuichiro, Y., Berthold, K. 2008. Oxidative Stress and Antioxidants in

The Perinatal Period. In : Packer, L., Helmut, S., editors. Oxidative Stress and

Inflammatory Mechanism in Obesity, Diabetes, and The Metabolic Syndrome.

London : CRC Press Taylor & Francis Group. p. 71-85.

James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2006. Acne. In : James, W.D., Berger, T.G.,

Elston, D.M., editors. Andrew’s Diseases of the skin Clinical Dermatology. 10th Ed.

Philadelphia: Saunders Elsevier. p.231-50.

Jappe, U. 2003. Pathological Mechanism of Acne with Special Emphasis on

Propionibacterium acnes and Related Therapy. Acta Derm Venereol 83: 241-8.

Khunger, N., Kumar, C. 2012. A clinico-epidemiological study of adult acne : is it

different from adolescent acne?. Indian J Dermatol Venereol Leprol 78:335-41.

Kooter, I.M. 2004. Inventory of Biomarkers for Oxidative Stress. Available from:

URL: http://rivm.openrepository.com/rivm/bitstream/10029/9038/1/630111001.pdf

Kumar, S. 2011. Free Radicals and Antioxidants: Human and Food System. Advances

in Applied Science Research 2(1):129-35.

Page 80: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Kunwar, A., Proyadarsini, K.I. 2011. Free radicals, oxidative stress and importance of

antioxidants in human health. J Med Allied Sci 1(2):53-60.

Kurutas, E.B., Arican, O., Sasmaz, S. 2005. Superoxide Dismutase and

Myeloperoxidase activities in Polymorphonuclear Leucocytes in Acne Vulgaris. Acta

Dermatoven APA 14: 39-42.

Lucky, A.W., Biro, F.M., Huster, G.A., Leach, A.D., Morrison, J.A., Ratterman, J.

2007. Acne vulgaris in premenarchal girls. An early sign of puberty associated with

rising levels of dehydroepiandrosterone. Arch Dermatol,156:22-31.

Machine, D., M.J. Campbell, P.M. Fayers, A.P.Y. Pinol. 1997. Sample Size Tables

for Clinical Studies. Edisi 2. Blackwell Science.

Miura, Y., Ishige, I., Soejima, N., Suzuki, Y., Uchida, K., Kawana, S., Eishi, Y. 2010.

Quantitative PCR of Propionibacterium acnes DNA in samples aspirated from

sebaceous follicles on the normal skin of subjects with or without acne. J Mes Dent

Sci, 57:65-74.

Nelson, A.M., Thiboutot, D.M. 2008. Biology of Sebaceous Glands. In : Wolff, K.,

Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell D.J., editors.

Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th. Ed. New York: McGraw-Hill.

P. 687-90.

Rivera R., Guerra A. 2009. Management of Acne in Women Over 25 Years of Age.

Actas Dermosifiliogr 100:33-7.

Sukanto, H., Martodihardjo, S., Zulkarnain, I. 2005. Akne Vulgaris. Dalam: Pedoman

Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3. Surabaya:

Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. p.115-8.

Surlinia, N. 2010. “Perbandingan nilai aktivitas glutation peroksidase eritrosit dan

kadar malondialdehid darah pasien akne inflamasi dengan individu sehat” (tesis).

Jakarta: Universitas Indonesia.

Suryadi, R.M. 2008. Kejadian dan faktor resiko acne vulgaris. Available from: URL:

http://www.mediamedika.net/modules.php?name=Jurnal&file=index&a1=jurnal&a2

=338&sort=&recstart

Thiboutot, D. 2000. New Treatments and Therapeutic Strategies for Acne. Arch Fam

Med, 9:179-87.

Page 81: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Tochio, T., Tanaka, H., Nakata, S., Ikeno, H. 2010. Accumulation of lipid peroxide in

the content of comedones may be involved in the progression of comedogenesis and

inflammatory changes in comedones. Journals of Cosmetic Dermatology 8(2): 152-8.

Turrens, J.F. 2003. Mitochondrial formation of reactive oxygen species. J Physiol

552(2): 335-44.

Urbanski, N.K., Beresewicz, A. 2000. Generation of •OH initiated by interaction of

Fe2+

and Cu+ with dioxygen; comparison with the Fenton chemistry. Acta Biochimica

Polonica, 47:4:951-62.

Wasitaatmadja, S.M. 2010. Acne: Clinical sign, classification and grading. Dalam :

Makalah National Symposium and workshop in cosmetoc dermatology: Acne new

concepts and challenges. Jakarta.

Wasitaatmadja, S.M. 2007. Akne, erupsi akneiformis, rosasea, rinofima. Dalam:

Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 253-63.

Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan radikal bebas. Edisi 1. Jakarta: Penerbit

Kanisius.

Wolff, K., Johnson, R.A. 2009. Disorders of Sebaceous and Apoccrine Glands. In :

Wolff, K., Johnson, R.A., editors. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical

dermatology. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill. p.2-8.

Wu, D., Cederbaum, A.I. 2003. Alcohol, oxidative stress, and free radical damage.

Alcohol Research and health 27(4): 277-84.

Yu, Y.S., Cheng, Y.W., Chen, W. 2008. Lifetime Course of Acne: A Retrospective

Questionnaire Study in School Teachers. Dermatol Sinica 26:10-5.

Zaenglein, A.L., Graber, E.M., Thiboutot, D.M., Strauss, J.S. 2008. Acne Vulgaris

and Acneiform Eruptions. In : Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A.,

Paller, A.S., Leffell D.J., editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine.

7th. Ed. New York: McGraw-Hill. P. 690-702.

Zouboulis, C.C., Eady, A., Philpott, M., Goldsmith, L.A., Orfanos, C., Cunlife, W.C.,

Rosenfield, R. 2005. What is the pathogenesis of acne?. Exp Dermatol 14: 143-52.

Page 82: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

LAMPIRAN 1

INFORMED CONSENT

KADAR MDA BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN DERAJAT PENYAKIT

ACNE VULGARIS

Bapak / Ibu / Saudara / Saudari Yang Terhormat,

Acne vulgaris atau jerawat salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di

masyarakat dan bersifat kronis serta kambuh – kambuhan. Walaupun bukan

merupakan suatu penyakit yang mengancam nyawa, namun acne dapat menyebabkan

masalah psikologi yang berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stress.

Selain itu tidak jarang pula dapat terjadi scar pada wajah yang permanen. Menurut

Kligman, tidak ada seorangpun (artinya 100%) yang sama sekali tidak pernah

menderita acne.

Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang

radikal bebas dan antioksidan. Tanpa disadari, tubuh kita terus-menerus terpapar

radikal bebas, baik melalui proses metabolisme, kekurangan gizi, atau akibat respon

terhadap pengaruh dari luar tubuh seperti polusi lingkungan, sinar ultraviolet, paparan

asam rokok, dan lain-lain. Ketidakseimbangan antara kadar radikal bebas dan

antioksidan dalam tubuh akan menimbulkan kondisi stres oksidatif, yang akan

menimbulkan beberapa penyakit.

Page 83: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa pada penderita acne vulgaris

terjadi stres oksidatif, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi atau

peradangan lebih lanjut. Penelitian tentang stres oksidatif pada penderita acne masih

jarang dijumpai di Indonesia, dan khususnya belum pernah dilakukan di RSUP

Sanglah Denpasar.

Bila Bapak / Ibu / Saudara / Saudari bersedia untuk ikut serta dalam penelitian

ini, akan dilakukan pengambilan sampel darah dari pembuluh darah pada lipat lengan,

yang akan dilakukan di Laboratorium rujukan. Segala biaya dalam pemeriksaan ini

akan menjadi tanggungjawab peneliti. Dengan keikutsertaan di dalam penelitian ini,

Bapak / Ibu / Saudara / Saudari ikut berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan

dalm rangka menurunkan angka kesakitan akibat acne vulgaris atau jerawat.

Demikian kami sampaikan penjelasan ini, dan atas kesediaan

keikutsertaannya, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Seandainya ada

yang kurang jelas ataupun ada sesuatu yang ingin ditanyakan, sewaktu-waktu Bapak /

Ibu / Saudara / Saudari dapat menghubungi langsung melalui telepon 08123533025.

Hormat kami,

dr, Rosita Sari Sutanto

Peneliti.

Page 84: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

LAMPIRAN 2

PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

1. Nama responden :

Umur :

Alamat :

No telepon :

2. Nama suami / isteri / wali :

Alamat :

No telepon :

Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan, dan

manfaat dari penelitian : KADAR MDA BERHUBUNGAN POSITIF DENGAN

DERAJAT PENYAKIT ACNE VULGARIS.

Menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian sebagai pesereta yang akan diteliti

dan mengikuti prosedur penelitian seperti yang telah disampaikan.

Denpasar,

Peserta Penelitian, Suami/istri/wali, Peneliti,

( ) ( ) (dr. Rosita Sari Sutanto)

Page 85: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

LAMPIRAN 3

STATUS PENELITIAN

Nomor sampel :

Nomor CM :

Tanggal pemeriksaan :

ANAMNESIS

Identitas.

1. Nama :

2. Jenis Kelamin : Laki-laki. Perempuan.

3. Tanggal Lahir :

4. Alamat :

5. No telepon :

6. Pekerjaan : Pelajar / mahasiswa.

Swasta,sebutkan ......................................

Profesional, sebutkan ................................

Lain-lain, sebutkan ...................................

7. Pendidikan : tidak sekolah / SD / SMP / SMA / Sarjana.

Page 86: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

8. Status : Belum menikah.

Menikah.

Jika perempuan :

a. status kehamilan saat ini? Ya / tidak.

Jika ragu : HPHT tanggal .....................

b. kontrasepsi hormonal ? Ya / tidak.

Duda / janda.

Keluhan Utama :

Riwayat Penyakit Sekarang

1. Keluhan diderita sejak :

2. Gejala lain yang menyertai :

3. Kuantitas keluhan : Terus menerus.

Kumat-kumatan.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat atopi. Jika ya, obat ………………

Penyakit darah tinggi. Jika ya, obat ...……

Kencing manis. Jika ya, obat …………….

Epilepsi. Jika ya,obat ………………..........

. Penyakit paru. Jika ya, obat ………………..

Page 87: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Penyakit keganasan. Jika ya, obat ..................

Lain-lain ...................................................

Riwayat Pengobatan : Tidak.

Ya.

Jenis : Obat topikal.

Nama obat .............................................

Dipakai sejak .......................................

Obat oral/minum.

Nama obat .............................................

Diminum sejak .................................

Riwayat Penyakit Keluarga : Jerawat.

Jika ya, sebutkan siapa .....................................

Lain-lain ...........................................................

Riwayat sosial : Kebiasaan merokok.

Kebiasaan minum alkohol.

Paparan sinar matahari.

Page 88: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Jika ya, sebutkan rata-rata paparan per hari .......... jam/hari.

Lain-lain ................................................................................

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : ....................... GCS : E ........ V ....... M .......

Berat Badan : ....................... kg. Tinggi badan : ................. cm.

Tekanan darah : ................ mm/Hg. Suhu : ............................ oC.

Nadi : ................................ x/menit. Respirasi : ....................... x/menit.

Status General :

Status Dermatologi

1. Lokasi :

2. Efloresensi :

Komedo Papul / pustul Nodul Derajat

< 20 < 15 Tidak ada Ringan

20-100 15-50 < 5 Sedang

Page 89: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

>100 > 50 > 5 Berat

Efloresensi lainnya …………………………………………..

DIAGNOSIS :

Page 90: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

LAMPIRAN 4

KRITERIA DIAGNOSIS DERMATITIS ATOPI HANIFIN RAJKA

Kriteria mayor

1. Pruritus.

2. Morfologi dan distribusi khas.

3. Dermatitis bersifat kronis dan kumat – kumatan.

4. Riwayat atopi pada diri sendiri atau pada keluarga.

Kriteria minor

1. Xerosis.

2. Iktiosis / hiperlinearitas palmar / keratosis pilaris.

3. Peningkatan IgE serum.

4. Onset pada usia muda.

5. Kecenderungan terjadi infeksi kulit / gangguan imunitas seluler.

6. Kecenderungan terjadi dermatitis tangan atau kaki yang non spesifik.

7. Eczema puting susu.

8. Cheilitis.

9. Konjungtivitis rekuren.

10. Lipatan Dennie-Morgan.

11. Keratokonus.

12. Katarak subkapsular anterior.

13. Kehitaman pada area mata.

14. Pucat atau eritema pada wajah.

15. Pityriasis alba.

16. Lipatan leher anterior.

17. Gatal bila berkeringat.

18. Intoleransi terhadap wol atau pelarut lipid.

Page 91: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

19. Aksentuasi perifolikular.

20. Intoleransi makanan.

21. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau

emosional.

22. White dermographism / delayed blanch.

(Bos dkk, 1998).

Page 92: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

LAMPIRAN 7

NO JENIS

KEL

UMUR DERAJAT

ACNE

MDA

μM/L

PEKER-

JAAN

PENDIDI-

KAN

1 P 23 Sedang 1.635 Swasta SMA

2 L 28 Ringan 0.905 Pelajar SMA

3 P 20 Ringan 0.867 Pelajar SMA

4 L 24 Sedang 1.835 Swasta SMA

5 P 25 Ringan 0.912 Swasta SMA

6 P 18 Sedang 1.208 Swasta SD

7 L 35 Sedang 1.100 Swasta SMA

8 P 32 Ringan 0.984 Swasta SMA

9 P 22 Berat 1.259 Swasta SMA

10 L 15 Berat 1.449 Pelajar SMA

11 P 17 Ringan 1.125 Pelajar SMA

12 P 21 Ringan 1.145 Swasta SMA

13 P 18 Berat 1.237 Swasta SMA

14 P 33 Sedang 1.185 Swasta SMA

15 P 20 Sedang 1.044 Swasta SMA

16 P 35 Sedang 1.143 Lain-lain Sarjana

17 P 33 Ringan 1.035 Profesional Sarjana

18 P 28 Sedang 1.080 Profesional Sarjana

19 L 23 Berat 1.331 Swasta Sarjana

20 L 31 Ringan 0.878 Swasta SMA

21 L 20 Berat 1.471 Swasta SMA

22 P 33 Sedang 1.209 Swasta SMA

23 P 25 Berat 1.707 Swasta SMA

24 P 35 Berat 0.368 Swasta SMA

25 P 32 Sedang 1.229 Lain-lain Sarjana

26 L 31 Berat 2.005 Profesional Sarjana

27 P 20 Sedang 1.115 Swasta SMA

28 L 24 Sedang 1.045 Swasta Sarjana

29 P 29 Sedang 1.157 Profesional Sarjana

30 P 32 Sedang 0.949 Profesional Sarjana

31 P 27 Ringan 1.217 Profesional Sarjana

32 P 29 Ringan 1.302 Profesional Sarjana

33 L 28 Ringan 1.394 Profesional Sarjana

34 L 25 Ringan 1.181 Profesional Sarjana

35 L 23 Ringan 1.035 Pelajar Sarjana

36 L 23 Ringan 0.922 Pelajar Sarjana

37 P 26 Ringan 0.962 Swasta Sarjana

Page 93: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

38 P 26 Sedang 1.093 Lain-lain SMA

39 P 25 Berat 2.238 Swasta Sarjana

40 P 27 Sedang 1.029 Swasta SMA

41 L 25 Sedang 1.150 Pelajar Sarjana

42 P 31 Sedang 0.999 Swasta Sarjana

43 P 29 Sedang 1.028 Swasta Sarjana

44 L 30 Ringan 1,087 Profesional Sarjana

45 P 35 Berat 3,680 Swasta SMA

46 L 29 Berat 1,806 Swasta Sarjana

47 P 28 Sedang 1,517 Swasta SMA

48 P 31 Ringan 1,040 Swasta SMA

49 L 28 Ringan 0,905 Pelajar SMA

50 L 26 Sedang 1,084 Swasta SMA

51 P 21 Ringan 1,001 Pelajar SMA

52 L 35 Ringan 1,100 Swasta Sarjana

53 P 21 Ringan 1,219 Swasta SMA

54 L 28 Berat 1,640 Swasta SMA

55 P 30 Ringan 1,660 Profesional Sarjana

56 P 23 Berat 1,930 Pelajar Sarjana

57 L 23 Ringan 1,580 Swasta Sarjana

58 L 28 Sedang 1,630 Swasta SMA

59 L 35 Berat 2,970 Profesional Sarjana

60 P 27 Sedang 1,670 Swasta Sarjana

61 P 30 Berat 2,420 Swasta SMA

62 P 35 Berat 2,040 Swasta Sarjana

63 P 22 Ringan 1,510 Profesional Sarjana

64 P 35 Berat 2,960 Swasta SMA

Page 94: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

LAMPIRAN 8

Frequencies

Statistics

klpumur jenis kelamin

derajat

akne pekerjaan pendidikan menikah

N Valid 64 64 64 64 64 64

Missing 0 0 0 0 0 0

Frequency Table

klpumur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 12-19 tahun 4 6.3 6.3 6.3

20-27 tahun 28 43.8 43.8 50.0

28-35 tahun 32 50.0 50.0 100.0

Total 64 100.0 100.0

jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid laki 22 34.4 34.4 34.4

perempuan 42 65.6 65.6 100.0

Total 64 100.0 100.0

Page 95: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

derajat akne

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid ringan 24 37.5 37.5 37.5

sedang 23 35.9 35.9 73.4

berat 17 26.6 26.6 100.0

Total 64 100.0 100.0

pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid pelajar 10 15.6 15.6 15.6

swasta 38 59.4 59.4 75.0

profesional 13 20.3 20.3 95.3

lain lain 3 4.7 4.7 100.0

Total 64 100.0 100.0

pendidikan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid SD 1 1.6 1.6 1.6

SMA 33 51.6 51.6 53.1

sarjana 30 46.9 46.9 100.0

Total 64 100.0 100.0

Page 96: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

menikah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid belum menikah 36 56.3 56.3 56.3

menikah 28 43.8 43.8 100.0

Total 64 100.0 100.0

umur pasien

N Valid 64

Missing 0

Mean 26.97

Std. Error of Mean .650

Median 27.50

Std. Deviation 5.204

Variance 27.078

Skewness -.149

Std. Error of Skewness .299

Kurtosis -.765

Std. Error of Kurtosis .590

Range 20

Minimum 15

Maximum 35

Page 97: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda
Page 98: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov

a Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

MDA .150 64 .001 .881 64 .000

a. Lilliefors Significance Correction

MDA

ringan N Valid 24

Missing 0

Mean 1.12358

Median 1.06350

Std. Deviation .224985

Variance .051

Skewness 1.055

Std. Error of Skewness .472

Kurtosis .370

Std. Error of Kurtosis .918

Minimum .867

Maximum 1.660

Page 99: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

sedang N Valid 23

Missing 0

Mean 1.22322

Median 1.14300

Std. Deviation .248840

Variance .062

Skewness 1.326

Std. Error of Skewness .481

Kurtosis .565

Std. Error of Kurtosis .935

Minimum .949

Maximum 1.835

berat N Valid 17

Missing 0

Mean 1.91241

Median 1.80600

Std. Deviation .785526

Variance .617

Skewness .488

Std. Error of Skewness .550

Kurtosis .787

Std. Error of Kurtosis 1.063

Minimum .368

Maximum 3.680

Page 100: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Kruskal-Wallis Test

Ranks

derajat akne N Mean Rank

MDA ringan 24 22.65

sedang 23 29.63

berat 17 50.29

Total 64

Test Statisticsa,b

MDA

Chi-square 22.798

df 2

Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: derajat

akne

Mann-Whitney Test

Ranks

derajat akne N Mean Rank Sum of Ranks

MDA ringan 24 20.77 498.50

sedang 23 27.37 629.50

Total 47

Page 101: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Test Statisticsa

MDA

Mann-Whitney U 198.500

Wilcoxon W 498.500

Z -1.649

Asymp. Sig. (2-tailed) .099

a. Grouping Variable: derajat akne

Ranks

derajat akne N Mean Rank Sum of Ranks

MDA ringan 24 14.38 345.00

berat 17 30.35 516.00

Total 41

Test Statisticsa

MDA

Mann-Whitney U 45.000

Wilcoxon W 345.000

Z -4.208

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Grouping Variable: derajat akne

Ranks

derajat akne N Mean Rank Sum of Ranks

MDA sedang 23 14.26 328.00

berat 17 28.94 492.00

Total 40

Page 102: derajat penyakit acne vulgaris berhubungan positif dengan kadar mda

Test Statisticsb

MDA

Mann-Whitney U 52.000

Wilcoxon W 328.000

Z -3.926

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: derajat akne

Correlations

Correlations

MDA derajat akne

Spearman's rho MDA Correlation Coefficient 1.000 .566**

Sig. (2-tailed) . .000

N 64 64

derajat akne Correlation Coefficient .566** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 64 64

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).