cover dan lp farkol[1]
DESCRIPTION
farkolTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI KEMOTERAPI
“ABSORPSI”
Tanggal Praktikum : 7 November 2015
Kelas : EKelompok: 1
Ketua :Shelby Febriyani Rahayu (0661 13 164)
Anggota :
1. Handriana (0661 13 )
2. Anggita Julia Putri (0661 13 151)
Dosen Pembimbing :
1. Ir. E. Mulyati Effendi., MS
2. Yulianita, M.Farm
3. Nissa Najwa, M.Farm., Apt
4. Lusi Agus S., M.Farm.,Apt
Asisten Dosen :
1. Ardiliyas Chaniago
2. Vevy Helpida Jaffarelli
3. Jenny Aditya
LABORATORIUM FARMASIPROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR2015
LEMBAR PENGESAHANFARMAKOLOGI KEMOTERAPI
ABSORPSIKELOMPOK I
TanggalPraktikum : 7 November 2015
DOSEN PEMBIMBING :1. Ir. E. Mulyati Effendi., MS
2. Yulianita, M.Farm
3. Nissa Najwa, M.Farm., Apt
4. Lusi Agus S., M.Farm., Apt
KETUA :
…………Shelby Febriyani
(066113164)
ANGGOTA :
……………… ………………….
Handriana Anggita Julia Putri
(0661131 (066113151)
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Tujuan Percobaan
a. Mempelajari faktor yang mempengaruhi absorpsi obat yang mempengaruhi
intensitas efek obat yang timbul
b. Memahami bahwa media yang mempengaruhi absorpsi obat, mempunyai peran
penting dalam menentukan potensi suatu sediaan obat
c. Mempelajari pengaruh pH media terhadap kecepatan absorbsi di lambung
I.2 Latar Belakang
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan konstituen.
Proses interaksi obat didalam tubh sering disingkat dengan ADME yaitu absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi. Absorpsi adalah suatu proses masuknya bioaktif
kedalam sirkulasi darah menuju target organ melalui berbagai mebran penghalang.
Kecepatan dan banyaknya obat yang diabsorpsi menentukan onset dan durasi suatu
sediaan. Bebrapa ffaktor penting yang berpengaruh pada jumlah dan kecepatan zat
untuk terabsorpsi yaitu rute pemberian obat, konsentrasi dan lamanya kontak dengan
tempat absorpsi. Sifat kimia dam fisika dari xenobiotik.
Bebagai mekanisme terlibat dalam proses ini diantaranya adalah absorpsi
secara pasif tanpa memerlukan adanya energi dan proses yang memerlukan energi
yang disebut dengan transport aktif. Selain dua mekanisme ini dikenal juga
mekanisme absorpsi lainnya diantaranya adalah absorpsi dengan teransport konvektif,
berfasilitas, pasangan ion dan pinositosis. Mekanisme absorbsi ini juga terjadi pada
lambung. Umunya obat yang bersifat mudah larut lemak akan mudah diabsorpsi oleh
tubuh karena membran barier tempat masuknya zat aktif sebagian besar tersusun dari
lemak pada bagian luarnya sehingga bersifat hidrofob. Kemampuan obat larut dalam
lemak atau air menentukan banyaknya jumlah obat yang diabsorpsi, pernyataan
tersebut disebut koefisien partisi.
1.3 Hipotesis
a. persentase absorpsi asam salisilat dalam suasana larutan asam lebih tinggi dari suasana
larutan basa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Absorpsi
Proses absorpsi merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Faktor
mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute
masuk obat, aliran darah ketempat pemberian, fungsi saluran pencernaan
(Gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain, dan variable lainnya (Abrams,
2005).
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke
dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologic.
Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas
obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau
organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada umumnya,
membrane sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid
semipermeabel (Shargel and Yu, 1988). Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat
itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta cepat-lambatnya melarut menentukan
banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama
adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui membrane biologis obat masuk
keperedaran sistemik (Joenoes, 2002).
Obat pada umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan secara difusi pasif me
lalui membrane selular. Obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif hanyalah yang
larut dalam lipid. Makin baik kelarutannya dalam lipid, maka baik absorpsinya. Obat-
obat yang digunakan sebagian besar bersifat asam atau basa organik lemah.
Absorpsi obat dipengaruhi derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut
berhadapan dengan membran. Membran sel lebih permeable terhadap bentuk obat
yang tidak terionkan dari pada bentuk obat yang terionkan. Derajat ionisasi tergantung
pada pH larutan dan pKa obat seperti terlihat pada persamaan Henderson-
Hasselbach sebagai berikut :
(Watson, 2007).
Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari
sistem ADME (Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi). Bila pembebasan obat
dari bentuk sediaannya sangat lamban, maka disolusi dan juga absorpsinya lama,
sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara keseluruhan (Joenoes, 2002).
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat
a. Ukuran partikel obat
Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang
kontak dengan cairan/pelarut. Bertambah kecil partikel, bertambah luas
permukaan total, bertambah mudah larut
b. Pengaruh daya larut obat
Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:
1. Sifat kimia: modfikasi kimiawi obat
2. Sifat fisik: modifikasi fisik obat
3. Prosedur dan teknik pembuatan obat
4. Formulasi bentuk sediaan/galenik dan penambahan eksipien
c. Beberapa faktor lain fisiko-kimia obat.
- Temperatur
- pKa dan derajat ionisasi obat (Joenoes, 2002).
2.3 Mekanisme Lintas Membran
Mekanisme lintas membran berkaitan dengan peristiwa absorpsi, meliputi
mekanisme pasif dan aktif (Syukri, 2002).
a. Difusi pasif melalui pori
Semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat
melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler epitel usus
halus dan lain-lain) berukuran kecil yaitu 4-7 Å dan hanya dapat dilalui oleh senyawa
dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat,
atau lebih kecil dari 400 jika senyawanya terdiri atas rantai panjang (Syukri, 2002).
b. Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran
Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam komponen penyusun
membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia
tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan pada kedua sisi
membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti
hukum difusi Fick (Syukri, 2002).
c. Tranpor aktif
Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan transmembran yang
sangat berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa.
Pembawa ini dengan molekul obat dapat membentuk kompleks pada permukaan
membran. Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan
pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju ke permukaan asalnya
(Syukri, 2002).
Sistem transpor aktif bersifat jenuh. Sistem ini menunjukkan adanya suatu
kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat
terjadi persaingan beberapa molekul berafinitas tinggi yang menghambat kompetisi
transpor dari molekul berafinitas lebih rendah. Transpor dari satu sisi membran ke sisi
membran yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan konsentrasi. Tranpor
ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisis adenosin trifosfat (ATP)
dibawah pengaruh suatu ATP-ase (Syukri, 2002).
d. Difusi terfasilitasi
Difusi ini merupakan cara perlintasan membran yang memerlukan suatu
pembawa dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif).
Pembawa tersebut bertanggung jawab terhadap transpor aktif, tetapi pada transpor ini
perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi (Syukri,
2002).
e. Pinositosis
Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-
molekul besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan
pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran (Syukri, 2002).
f. Transpor oleh pasangan ion
Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan membran dari suatu
senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik. Perlintasan terjadi dengan
pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan senyawa endogen seperti
musin, dengan demikian memungkinkan terjadinya difusi pasif kompleks tersebut
melalui membran (Syukri, 2002).
Studi absorpsi in vitro dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang
mekanisme absorpsi suatu bahan obat, tempat terjadinya absorpsi yang
optimal, permeabilitas membrane saluran pencernaan terhadap berbagai obat,
serta pengaruh berbagai faktor terhadap absorpsi suatu obat.
2.4 Uji Permeasi Usus Terbalik
Biasanya menggunakan usus tikus kecil untuk parameter kinetic menentukan
transportasi yang handal dan direproduksi. Metode ini mutlak diperlukan untuk
mempertahankan oksigenasi jaringan kelangsungan jaringan usus yang hanya
berlangsung selama maksimal 2 jam. Awalnya, studi ini hanya digunakan untuk
mempelajari pengangkutan molekul makro dan liposom, namun kini telah
mengembangkan penelitian untuk transportasi para seluler obat – obat yang hidrifil
dan mempelajari efek dari enhancer dalam penyerapan obat.
Keuntungan dari metode ini adalah karena dapat digunakan untuk menentukan
transportasi di berbagai segmen dari usus kecil, sebagai studi awal untuk transportasi
obat, dan untuk memperkirakan tingkat level first pass metabolism obat pada sel
epitelusus. Sementara kerugian adalah karena adanya mukosa muskularis
menyebabkan obat untuk berpindah dari lumen kedalam lamina propria dan
menembus mukosa muskularis, menyebabkan obat – obat tertentu dapat terikat
dengannya dan menyebabkan transportasi lebih rendah dari yang seharusnya diukur
(Keperawatan, 2011).
2.5 Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus.
Tikus (Rattusnor vegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah
dipelihara, dan merupakan hewan yang relative sehat dan cocok untuk berbagai
penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattusnor vegicus antara lain memiliki berat 150-600
gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan
lebih pendek dari ekornya, serta telinga relative kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm.
2.6 Usus Halus
Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum pada
manusia memiliki panjang sekitar 25 cm terikat erat pada dinding dorsal abdomen dan
sebagian besar terlatak retroperitoneal. Jalannya berbentuk sepertihuruf C yang
mengitari pancreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum yang terikat pada
dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat bergerak bebas pada
mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus halus. Sedangkan
ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Dinding usus halus terdiri atas empat lapis
konsentris yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Leeson et al. 1990).
Lapisan mukosa terdiri dari lamina epitel, lamina propia, dan muskularis mukosa.
Bentuk mukosa tersusun dari tonjolan berbentuk jari yang disebut vili yang digunakan
untuk memperluas permukaan. Pada permukaan epitel vili terdapat mikrovili yang
dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi. Pada usus halus jugater dapat sel
goblet yang menghasilkan mucus sebagai pelindung mukosa usus.
Membran mukosa adalah lingkungan yang unik dimana banyak spesies
mikroorganisme yang berbeda dapat hidup dan berekspresi. Terdapat 1014
mikroorganisme dari 200 spesies, 40-50 genus hidup pada permukaan tersebut, dan
99% dari populasi mikroorganisme pada membrane mukosa terjadi di bagian distal
usus halus dan di bagian proksimal kolon. Membran mukosa dalam suatut ubuh
berkontak langsung dengan lingkungan luar dan membrane mukosa juga terkolonisasi
oleh mikroorganisme yang berbeda dalam jumlah yang besar.
2.7 Asam Salisilat
Asam salisilat atau nama dagangnya orthohydroxybenzoid acid, berbentuk
padat, serbuk kristal tidak berwarna atau berwarna putih, tidak berbau. Berat molekul
138,1 ; rumus molekuol C7H6oO3. Titik sublimasi 76, titik lebur 159, kelatutan
dalam air 0,2 gram/100 ml pada 20, kerapatan relative (air=1) ; 1,4 (BPOM. 2011)
Paparan jangka pendek dan panjang bila asam salisilat tertelan adalah dering
di telinga, mual, muntah , diare , pusing, kesulitan bernafas, sakit kepala, mengantuk,
disorientasi, gangguan pendegaran, gangguan penglihatan, kongesti paru, kerusakan
ginjal, kejang dan koma. Gejala awal keracunan salisilat antara lain mual dan muntah,
nyeri epigastrium dan kadang-kadang hematemesis. Pada intoksikasi ringan hingga
sedang dapat menimbulkan gejala hipersalivasi, berkeringat, demam, iritabilitas,
tinnitus dan hilangnya pendengaran. Pada keracunan berat kemungkinan terjadi
hipoventilasi, pingsan, halusinasi, kejang, papiloedema dan koma. Dapat pula terjadi
metabolic asidosis, non-kardionergik paru edema, hepatoksisitas dan distritmia
jantung. Keracunan salisilat kronis terjadi akibat penggunaan yang berlebihan selam
ajngka waktu 112 jam atau lebih. Jalur metabolisme asam salisilat menjadi jenuh
dengan demikian konsentrasi plasma mengalami peningkatan sehingga menghasilkan
rcun. Tanda-tanda keracunan kronis melipti metabolic asidosis, hipoglikemia, lesu
dan koma (BPOM, 2011)
BAB III
METODOLOGI KERJA
3.1. Alat dan Bahan
- Alat
Alat bedah
Alat suntik dengan stopcock dan selangkaret plastic
Tabung reaksi
Timbangan
- Bahan
Asam salisilat dalam HCL0,1 N
Asam salisilat dalam NaHCO3 0,3 M
Deretan konsentrasi asam salisilat
Larutan FeCl3 dalam HNO3 0,1 %
Larutan garam faali
Tikus putih yang telah dipuasakan
3.2. Cara kerja
- Hewan dipuasakan selama 24 jam
- Dianastesi hewan percobaan dengan uretan 25% dosis 1,8/kg BB
- Setelah teranastesi ditelentangkan hewan coba diatas papan fiksasi
- Dicukur bulu- bulu disekitar abdomen
- Disayat kulit di daerah linea alba dibelakang kartilago xipoideus kearah belakang
kira – kira 3-4 cm. disayat juga bawahnya
- Dikeluarkan lambung, diikat esophagus dengan benang
- Dibuat sayatan didaerah pylorus, dimasukkan pipa gelas dan fiksasi
- Dihubungkan pipa dengan alat suntik mealui stopcock.
- Dibersihkan lambung dengan larytan garam faali
- Dimasukkan salisilat sebanyak 4-6 ml
- Dicatat waktu mulaiasam salisilat dimasukkan dan dikocok melalui spoit adiambil 2
ml sebagai konsentrasi awal (C0)
- Dimasukkan kembali lambung kedalam rongga perut
- Diamkan selama satu jam, kemudian diambil cairan yang tersisa di dalam lambung
(Ct1)
Cara menentukan konsentrasi asam salisilat
- Ditambahkan ke dalam 1 ml filtrate 5 ml reagen (FeCl3 dalam HNO3 0,1 N)
- Dibandingkan warna yang terbentuk dengan deretan konsentrasi standar asam
salisilat pada tabung reaksi
- Dihitung prosentase absorpsi :
CT0 – Ct1
Ct0
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Data Pengamatan
Tabel 1. Data Biologis hewan coba
Pengamatan
Hewan Coba
Tikus
Bobot Badan 67,8 gram
Frekuensi Jantung(x/menit) 80/menit
Laju nafas(x/menit) 100/menit
Refleks + + +
Tonus otot + + +
Kesadaran + + +
Rasa nyeri + + +
Gejala lain :
- Defekasi
- Salivasi
- Urinasi
- Kejang
+
-
+
-
Table 2. Hasil pengamatan
Kelompok Ct0 Ct1 % Absorpsi Rata-rata1 25 10 60% 43,125%2* 40 15 62,5%3* 40 20 50%4* 40 - -5* 25 10 60% 46,25%6* 20 10 50%7 20 10 25%8 20 15 50%Keterangan : * = tikus mati Ct0 = konsentrasi awal
Ct1 = konsentrasi setelah 1 jam
4.2. Perhitungan
Perhitungan dosis
Urethan ( 1,8 mg/kg BB) 25 %
BB mencit = 67,8 gram
Dosis konversi = 1,8 g
1000 g ~ X
67,8 g
= 67,8 g X 1,8 g
1000 g
= 0,12204 g
Dosis pemakaian = 25 g
100 ml ~ 0,12204 g
x
= 0,12204 g X 100 ml
25 g
= 0,48816 mL ~ 0,5 mL
Perhitungan persentase absorpsi
Ct0 =25
Ct1 = 10
%absorpsi = Ct 0−Ct 1
Ct 0 x 100%
= 25−10
25 x 100%
= 60%
4.3. pembahasan
Pada praktikum kali ini kelompok kami melakukan percobaan mengenai Absorpsi . Absorpsi itu sendiri merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian ke dalam sirkulasi darah. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat meliputi :Kecepatan disolusi obat, Ukuran partikel, Kelarutan dalam lipid atau air, Ionisasi, Aliran darah pada tempat absorpsi, Kecepatan pengosongan lambung, Motilitas usus, Pengaruh makanan atau obat lainnya, serta Cara pemberian .
pada percobaan absorpsi ini dilakukan pada organ lambung, adapun obat yang kami uji adalah asam salisilat dalam HCL 0,1 N (asam) dan asam salisilat dalam NaHCO3 0,3 M (basa).dari hasil pengamatan yang didapat asam salisilat dalam HCL 0,1 N (asam) memiliki rata-rata absorpsi sebesar 43,125 % dan nilai rata- rata absorpsi asam salisilat dalam NaHCO3 0,3 M (basa) sebesar 46,25% . absorpsi pada asam salisilat dalam HCL 0,1 N (asam) lebih kecil dibandingkan asam salisilat dalam NaHCO3 0,3 M (basa).
Menurut hipotesis persentase absorpsi asam salisilat dalam suasana larutan asam akan
lebih tinggi dari suasana larutan basa. Itu dikarenakan obat yang bersifat asam lemah hanya
sedikit sekali terurai menjadi ion dalam lingkungan asam kuat dilambung, sehingga
absorpsinya baik sekali dalam lambung. Sedangkan, obat yang bersifat basa lemah akan
terionisaisi dengan baik didalam lambung jadi nilai absorpsi akan rendah. Namun hasil
percobaan yang telah dilakukan tidak sesuai hipotesis ini kemungkinan hasil yang tidak
sesuai ini dapat diakibatkan oleh mekanisme kerja yang tidak sesuai dan kondisi fisiologis
hewan. Hewan coba yang mati juga mempengaruhi absorpsi karena semua metabolismnya
berhenti jadi yang ada didalam tubuh semua tidak bisa diserap lagi jika adapun itu hanya sisa
saja.
Adapun adanya perbedaan persentase tiap- tiap kelompok tersebut dikarenakan factor
biologis dari hewan coba (tikus) yang digunakan seperti variasi keasaman (pH) saluran cerna,
sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, waktu pengosongan lambung, serta
banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi yang berbeda – beda pada setiap hewan
coba yang digunakan.
BAB V
KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu :
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat meliputi :Kecepatan disolusi obat, Ukuran partikel, Kelarutan dalam lipid atau air, Ionisasi, Aliran darah pada tempat absorpsi, Kecepatan pengosongan lambung, Motilitas usus, Pengaruh makanan atau obat lainnya, serta Cara pemberian .
2. dari hasil pengamatan yang didapat asam salisilat dalam HCL 0,1 N (asam) memiliki rata-rata absorpsi sebesar 43,125 % dan nilai rata- rata absorpsi asam salisilat dalam NaHCO3 0,3 M (basa) sebesar 46,25%
3. hasil percobaan yang telah dilakukan tidak sesuai hipotesis ini kemungkinan hasil yang tidak sesuai ini dapat diakibatkan oleh mekanisme kerja yang tidak sesuai dan kondisi fisiologis hewan
DAFTAR PUSTAKA
Anief,Moh,1993,Farmasetika,Gadjahmada University Press,Yogyakarta
Anonim,1995,Farmakope Indonesia edisi IV,Depkes RI,Jakart
Ansel, H. C, 1986, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta.
Mutschler,Ernest,1991,Dinamika Obat edisi V,Penerbit ITB,Bandung
Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka Pelajar
: Yogyakarta